ISBN 978-979-8452-61-1
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
20 SERI 4 IPTEK KEHUTANAN Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ISBN: 978-979-8452-61-1
Penerbit: BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270 Telp. (021) 5734333; Fax. (021) 5720189 Penyunting: Sub Bagian Data dan Informasi Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Desain Grafis dan Tata Letak: Dyah Puspasari, S.Hut, M.Si Budi Hidayat, S.Kom 20 Seri 4 IPTEK Kehutanan Tahun 2013
KATA PENGANTAR Sebagai salah satu upaya mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kemanfaatan dan penerapan hasil litbang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan secara berkala telah melakukan diseminasi hasilhasil IPTEK kehutanan kepada para pengguna di berbagai tingkatan. Target diseminasi hasil litbang tersebut adalah tercapainya 60% paket IPTEK kehutanan diadopsi atau dimanfaatkan pengguna, yaitu minimal 60% dari IPTEK dasar dan terapan yang dihasilkan dapat dimanfaatkan atau diadopsi oleh pengguna, baik pembuat kebijakan di lingkup Kementerian Kehutanan (opsi kebijakan), dunia usaha/industri dan masyarakat (paket teknologi dan produk), komunitas ilmiah (publikasi dalam jurnal ilmiah) serta pihak lain yang memanfaatkan hasil litbang. Dalam rangka mewujudkan hal di atas, penyebaran hasil litbang dilakukan dalam bentuk cetak maupun secara online. Harapannya dapat diakses sebanyak mungkin oleh pengguna. Untuk mendukung proses tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan menerbitkan Seri IPTEK Kehutanan secara berkala. Seri 4 IPTEK Kehutanan ini memuat 20 hasil litbang kehutanan yang terdiri atas 3 informasi utama yakni iptek rehabilitasi hutan dan lahan, informasi keragaman beberapa jenis kayu di Indonesia dan teknologi pengolahan hasil hutan. Seri IPTEK ini menyajikan informasi singkat sebagai pengetahuan awal. Informasi detil dapat dilihat dalam petunjuk teknis atau format lain yang lebih komprehensif. Semoga seri IPTEK ini menjadi jembatan untuk mentransformasi hasil litbang menjadi pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi pengguna sehingga dapat berkontribusi positip dalam pembangunan kehutanan. September 2013 Sekretaris Badan Litbang
Ir. Tri Joko Mulyono, M.M.
Daftar Isi
TOPIK 1
TEKNOLOGI REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Teknologi Perbenihan
3
Sumber-Sumber Benih Tanaman Hutan
7
Strategi Pemilihan Jenis untuk RHL
9
Pengadaan Bibit Berkualitas
11
Teknik Memilih Bibit dan Menanam yang Tepat
13
Teknik Konservasi Tanah dan Air
15
Mulsa Daun Kering: Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman
17
Pengendalian Hama dan Penyakit
19
Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Emas
21
Shorea balangeran: Untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut
23
Menghutankan Lahan Bekas Tambang Timah
25
TOPIK 2
KERAGAMAN JENIS KAYU DI INDONESIA
Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan
33
Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal
37
Keragaman Jenis Di pterokarpa di Kalimantan dan Sumatera
41
TOPIK 3
45
Keragaman Cempaka di Sulawesi Utara
TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Pencegah Jamur Biru pada Kayu
49
Pengering Kayu Tenaga Surya
51
Perekat Lignin
53
EMF, Perekat Kayu dari Limbah Merbau yang Alami,Berkualitas dan Ramah Lingkungan 55 Bioetanol dari Biji Mangrove sebagai Pengganti Bensin
57
Para Peneliti
59
Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Kehutanan
61
TOPIK 1
TEKNOLOGI REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Teknologi Perbenihan Sumber-Sumber Benih Tanaman Hutan Strategi Pemilihan Jenis untuk RHL Pengadaan Bibit Berkualitas Teknik Memilih Bibit dan Menanam yang Tepat Teknik Konservasi Tanah dan Air Mulsa Daun Kering: Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman Pengendalian Hama dan Penyakit Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Emas Shorea balangeran: Untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Menghutankan Lahan Bekas Tambang Timah
1
PAKET TEKNOLOGI REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dilaksanakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, untuk menjamin terjaganya daya dukung, produktivitas dan peranan hutan dan lahan dalam mendukung sistem penyangga kehidupan. Rehabilitasi hutan dan lahan bukanlah sesuatu yang baru. Namun, karena degradasi hutan dan lahan yang antara lain disebabkan oleh penebangan dan perambahan liar, konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan kebakaran masih terus terjadi, maka RHL menjadi semakin penting untuk terus dilakukan. Apalagi mengingat laju RHL selalu tertinggal dengan laju deforestasi, seperti ditunjukkan dalam Statistik Kehutanan 2010,. Pada tahun 2006-2009 laju deforestasi adalah sebesar 832.126 hektar per tahun sementara laju kegiatan RHL hanya sebesar 413.070 hektar per tahun. Kondisi tersebut baru menunjukkan luasan RHL, belum pada tingkat keberhasilan penanaman. Jika tingkat keberhasilan tersebut diperhitungkan, maka capaian RHL akan semakin tertinggal dari laju deforestasi. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa diperlukan input teknologi untuk mendukung keberhasilan RHL, disamping faktor lain seperti keberlanjutan pendanaan,kepastian lahan, kelembagaan yang kuat dan penanganan pasca kegiatan. Untuk itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah merekomendasikan paket teknologi rehabilitasi lahan terdegradasi, yang meliputi teknik perbenihan, pemilihan jenis, pembibitan, penanaman, konservasi tanah dan air serta pengendalian hama dan penyakit. Paket teknologi tersebut harus diaplikasikan pada semua tahapan RHL mulai dari perbenihan hingga penanaman di lapangan.
2
Teknologi Perbenihan Deskri psi
P
enyelenggaraan RHL harus didukung ketersediaan benih yang bermutu baik. Benih tersebut merupakan syarat awal untuk menghasilkan tanaman semai yang kuat hingga ke penanaman di lapangan, dan akhirnya tegakan pohon yang berkualitas. Guna menghasilkan benih bermutu tinggi, diperlukan penguasaan teknik perbenihan tanaman hutan yang meliputi: pengunduhan buah, ekstraksi benih, pengeringan, pembersihan/ seleksi, pengepakan, penyimpanan, pengujian dan penyaluran serta pengendalian hama dan penyakit.
3
Dalam terminologi penanganan benih ada 2 kelompok utama benih berdasarkan potensi fisiologisnya yaitu benih ortodok dan rekalsitran. Penanganan kedua jenis benih tersebut berbeda, sehingga informasi mengenai teknik penanganan benih sangat diperlukan bagi para praktisi/pengguna benih tanaman hutan.
Benih ortodok adalah benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (2,5%) dan disimpan pada suhu dan kelembaban penyimpanan yang rendah tanpa menurunkan viabilitas (kemampuan berkecambah) benih secara nyata. Benih Intsia bijuga
Penanganan benih ortodok mencakup 3 aspek, yaitu 1) produksi: tegakan benih, musim buah, potensi produksi benih, pengumpulan, ekstraksi dan sortasi; 2) pengujian: kemurnian, kadar air, perlakuan pendahuluan, uji fisiologis dan biokimia, penyakit benih dan berat 1000 butir benih; dan 3) penyimpanan: kadar air kritis, kondisi ruang simpan dan periode simpan. Pembiakan vegetatif dan pembibitan juga merupakan bagian dari penanganan benih.
Hal penting lain adalah pengetahuan tentang asal-usul benih. Oleh karena itu, benih sebaiknya diambil dari kebun benih klon, kebun pangkas, kebun beinh semai atau tegakan benih provenan yang sudah bersertifikat sehingga terjamin mutu genetiknya.
Jenis benih yang kedua adalah benih rekalsitran. Benih jenis ini adalah benih yang cepat rusak (viabilitas menurun) apabila diturunkan kadar airnya, dan tidak tahan disimpan pada suhu dan kelembaban rendah. Penurunan kadar air pada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian.
Deskri psi Lanjutan Berdasarkan sifatnya tersebut, benih rekalsitran dianjurkan disimpan dalam bentuk semai. Benih segar yang dikumpulkan, segera disemaikan dalam polybag, kemudian dibiarkan tumbuh sehingga mencapai tinggi tertentu dan disimpan dengan memberi bahan pengatur pertumbuhan atau memanipulasi kondisi ruang simpan untuk menghambat pertumbuhan selama penyimpanan.
Aplikasi Penanganan benih yang baik adalah perlakukan atau tindakan yang dilakukan sesuai prosedur berdasarkan pengalaman atau hasil penelitian. Tindakan tersebut dilakukan setelah pohon sebagai sumber benih ditetapkan. Perlakuan terhadap benih dari setiap jenis biasanya berbeda karena setiap jenis memiliki karateristik yang berbeda. a. Pengunduhan buah Waktu pengunduhan buah tergantung pada waktu buah tersebut masak fisiologis, yang dapat dilihat dari warna buah. Periodisitas masa berbunga dan berbuah suatu jenis pohon harus diketahui agar waktu panen buah dapat ditentukan. Hal ini diperlukan agar pengunduhan dapat disiapkan dengan baik. Cara pengunduhan yang baik adalah dengan memetik buah baik dengan tangan atau dengan alat pemetik buah. Buah juga dapat dipungut dari lantai hutan dengan syarat lantai hutan dibersihkan terlebih dahulu atau diberi alas/wadah penampung sebelum dilakukan pemungutan. b. Ekstraksi benih Ekstraksi benih tergantung pada bentuk dan sifat masing-masing buah. Caranya dengan dibelah, dipukul, dijemur dan lain-lain. Benih yang sudah diekstraksi harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada benih, misalnya dengan dicuci, direndam atau diayak. c. Pengeringan Sebelum disimpan, benih yang sudah dibersihkan perlu dikeringkan untuk menurunkan kadar air sampai tingkat yang sesuai untuk penyimpanan. Tingkat kadar air yang layak untuk disimpan berbeda untuk setiap jenis. Bahkan pada jenis tertentu, benih tidak dapat disimpan dalam waktu lama.
4
Aplikasi Lanjutan d. Seleksi Seleksi benih adalah tindakan untuk memeriksa kualitas benih untuk mendapatkan benih yang seragam dalam ukuran, bentuk dan bobotnya. Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan blower. Kegiatan pembersihan, pengeringan, seleksi dan sortasi dapat dilakukan secara bersamaan. e. Pengemasan Dalam usaha perbenihan, pengemasan harus diartikan usaha atau perlakuan yang bertujuan untuk melindungi fisik benih agar daya tumbuh dan atau daya berkecambahnya tetap berkualitas. Pengemasan juga bertujuan untuk memudahkan distribusi. Pengemasan harus mampu melindungi benih dari kerusakan baik faktor mekanis maupun lingkungan. Faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu kemasan selama pengiriman perlu diatur sesuai kebutuhan benih. Benih rekalsitran sebaiknya dikemas dalam wadah yang terbuat dari bahan kedap air namun tidak kedap udara. Kelembaban dan suhu yang tidak terlalu tinggi baik untuk benih rekalsitran.
Ekstraksi benih
Pengeringan benih dengan dianginkan
Penambahan media yang lembab seperti serbuk sabut kelapa atau serbuk gergaji olahan dapat membantu menjaga kelembaban dan melindungi benih dari benturan selama pengiriman. f. Penyimpanan Perlakuan yang terbaik pada benih ialah menanam benih atau disemaikan segera setelah benih – benih itu dikumpulkan atau dipanen, jadi mengikuti caracara alamiah, namun hal ini tidak selalu mungkin karena musim berbuah tidak selalu sama, untuk itu penyimpanan benih perlu dilakukan.
5
Mesin seleksi ukuran berat
Aplikasi Lanjutan Tujuan penyimpanan adalah menjaga biji agar tetap dalam keadaan baik (daya kecambah tetap tinggi), melindungi biji dari serangan hama dan jamur serta mencukupi persediaan biji selama musim berbuah tidak dapat mencukupi kebutuhan. Ada dua faktor yang penting selama penyimpanan benih yaitu, suhu dan kelembaban udara. Umumnya benih dapat dipertahankan tetap baik dalam jangka waktu yang cukup lama, bila suhu dan kelembaban udara sesuai dengan jenis benih. Untuk itu perlu ruang khusus untuk penyimpanan benih. g. Pengujian Pengujian benih dilakukan untuk mengetahui kualitas fisik dan fisiologis benih antara lain meliputi berat, kemurnian, kadar air dan perkecambahan. Kesehatan benih secara tidak langsung akan diketahui selama dilakukan uji perkecambahan. Benih yang tidak sehat akan lama berkecambah. h. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit dalam penanganan benih dilakukan pada setiap kegiatan penanganan benih dimulai dari pengumpulan buah hingga saat penyimpanan, yaitu: pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen; pengumpulan buah dari lantai hutan harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah, ektraksi dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi pelukaan, pemisahan dari benih rusak dan kotoran agar benih dalam kondisi bersih sebelum disimpan, fumigasi dilakukan secara berkala pada wadah dan ruang simpan, mempertahankan kadar air kesetimbangan selama penyimpanan, memeriksa kesehatan benih secara berkala selama penyimpanan untuk mengetahui kondisi benih, sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman berkisar 5 menit – 10 menit.
Keterangan Peneliti : Illa Anggraeni, Neo E. Lelana, Nur Hidayati, Eritrina Windyarini, Asmaliyah Unit kerja: Pusprohut, B2PBPTH Yogyakarta, BPK Palembang E-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected] Foto : Koleksi B2PBPTH Yogyakarta Info detil : www.forda-mof.org
6
Sumber-sumber Benih Tanaman Hutan Deskri psi
P
enggunaan benih unggul dalam penanaman merupakan keniscayaan, karena diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang berkualitas unggul/baik. Badan Litbang Kehutanan mulai tahun 2009 telah memprogramkan pembangunan demplot sumber benih pada setiap unit kerjanya di seluruh Indonesia. Tujuan pembangunan sumber benih adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber benih bermutu/unggul, mendorong proses sertifikasi sumber benih dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber benih yang telah bersertifikat tersebut.
7
TBT Cempaka di Minahasa Selatan
Sumber benih yang dibangun Badan Litbang Kehutanan mencakup 4 jenis pohon, yakni 3 jenis unggulan lokal dan 1 jenis langka yang perlu dilindungi. Pembangunan sumber benih tersebut berdasarkan keputusan Kepala Badan Litbang No. SK63/VII/P3PH-1 2010 tentang Pembangunan Demplot Sumber Benih. Saat ini tercatat 99 unit sumber benih yang mencakup 61 jenis tanaman dari 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan, dengan total luas 911,84 hektar.
Deskri psi Lanjutan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan dan perubahannya berdasarkan Permenhut Nomor P.72/MenhutII/2009, terdapat 7 tingkat sumber benih berdasarkan kualitas genetik, yakni: a. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT); b. Tegakan Benih Terseleksi (TBS); c. Areal Produksi Benih (APB); d. Tegakan Benih Provenan (TBP); e. Kebun Benih Semai (KBS); f. Kebun Benih Klon (KBK); g. Kebun Pangkas (KP). Sumber benih yang ada di Badan Litbang Kehutanan terdiri dari Tegakan benih Teridentifikasi (tingkat terendah) sampai dengan Kebun Pangkas (tingkat tertinggi). Sampai dengan tahun 2012, tercatat 25 (24,3%) dari 103 sumber benih Badan Litbang Kehutanan telah mendapat sertifikat sumber benih tanaman hutan dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH).
Sumber benih unggul yakni pada tingkat TBP, KBS, KBK, dan KP yang dimiliki Badan Litbang Kehutanan adalah sebanyak 66 sumber benih atau 64% dari total sumber benih yang telah dibangun, dengan rincian TBP=11, KBS=45, KBK=1 dan KP=9. Lokasi-lokasi sumber benih tersebut tersebar di seluruh Indonesia yakni di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT dan Papua. Untuk meningkatkan kualitas sumber benih tersebut, secara bertahap seluruh sumber benih Badan Litbang Kehutanan akan disertifikasi. Informasi lebih detil mengenai sumber benih ini, dapat dilihat pada www.forda-mof.org. KBS-K F2 Acacia mangium di KHDTK Wonogiri
Tantangan Diperlukan komitmen dari pengguna benih maupun Kementerian Kehutanan untuk mendorong penggunaan benih bermutu/unggul dengan regulasi peredaran benih dan dukungan dana serta perlunya kerjasama dengan lembaga penelitian di bidang pemuliaan pohon untuk peningkatan kualitas sumber benih jenis unggulan lokal.
8
Strategi Pemilihan Jenis untuk RHL Deskri psi Pemilihan jenis dilakukan setelah lokasi penanaman ditentukan dan diketahui kondisi tempat tumbuhnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis adalah tujuan penanaman, kesesuaian lahan dan model penanaman yang dilakukan. Hal lain yang juga sangat penting adalah bahwa jenis yang akan dikembangkan sebaiknya merupakan jenis lokal, karena secara ekologis sesuai pada lokasi tersebut dan secara ekonomi sudah diketahui manfaatnya, serta secara sosial diterima oleh masyarakat setempat.
Aplikasi
D
a. Tujuan Penanaman Tujuan utama penanaman dalam RHL adalah untuk tujuan perbaikan fungsi hidroorologi dan kesuburan lahan. Jenis yang dikembangkan sebaiknya yang memiliki kemampuan memperbaiki iklim mikro, ketersediaan air dan mengurangi erosi serta menyuburkan lahan yang terdegradasi. Jenis yang dipilih harus cepat tumbuh dan dapat bertahan dalam kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan.
alam semua kegiatan penanaman termasuk RHL, pemilihan jenis tanaman merupakan hal yang sangat penting. Keberhasilan penanaman baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sangat ditentukan oleh pemilihan jenis yang tepat.
9
Jenis leguminosae pada awal rehabilitasi sangat dianjurkan, karena jenis ini mampu mengikat nitrogen menjadi unsur yang menyuburkan tanah. Alternatif lain adalah jenis pioner. Jenis ini mampu tumbuh dalam kondisi ekstrem. Jika jenis pioner telah tumbuh, maka jenis lain yang tahan naungan dapat ditanam bersama dengan jenis pionir tersebut.
Aplikasi Aspek ekonomi dan sosial masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam RHL karena akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi hidrorologi tersebut. Oleh karenanya, jenis pohon serbaguna (multi purposes tree species/MPTS) khususnya yang dapat dimanfaatkan buahnya, juga sangat direkomendasikan dalam kegiatan RHL. Dengan demikian, keberlanjutan fungsi hidroorologi lahan dapat dipertahankan dengan tetap dan bahkan dapat meningkatkan keberlanjutan fungsi ekonomi dan sosial masyarakat yang tinggal disekitarnya. Jenis tanaman untuk RHL sebaiknya tidak hanya berupa pohon, perlu ditambah dengan tumbuhan bawah dan tanaman sela. Tanaman inimempunyai peran cukup besar untuk mengurangi erosi karena mampu mengurangi disperse air hujan, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah. b. Kesesuaian lahan Setiap jenis memiliki persyaratan tempat tumbuh tersendiri untuk dapat hidup dan berkembang optimal. Pengetahuan mengenai kondisi tempat tumbuh dan persyaratan tumbuh jenis yang akan ditanam sangat berpengaruh terhadap keberhasilan RHL. Jenis-jenis yang akan dikembangkan sebaiknya merupakan jenis lokal karena secara ekologis telah sesuai dengan kondisi daerah.
c. Model penanaman Penanaman pohon biasanya dikombinasikan dengan jenis tanaman lain yang menguntungkan secara ekologi dan juga ekonomi. Dalam hal ini, pemilihan jenis harus mempertimbangkan hubungan antar jenis yang akan ditanam. Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) adalah yang dipilih, karena akan menghasilkan kombinasi tanaman terbaik untuk memberikan hasil yang terbaik pula.
Terkait pemilihan jenis dengan kesesuaian lahan, Badan Litbang Kehutanan telah menghasilkan peta perwilayahan jenis-jenis pohon andalan yang dilengkapi dengan informasi persyaratan tempat tumbuh. Peta yang sudah disusun adalah peta perwilayahan di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua (Seri 2 Iptek). Untuk membantu pemilihan jenis, Badan Litbang Kehutanan telah menghasilkan alat bantu sidik cepat memilih jenis pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh. Pemilihan jenis pohon dilakukan berdasarkan variabel daur yang diinginkan, jenis hasil hutan yang diharapkan (kayu atau non-kayu), kondisi tanah (berlempung, berpasir, berkapur) dan altitude/ketinggian dari muka laut (Seri 2 Iptek).
10
Pengadaan Bibit Berkualitas
Deskri psi
Bibit yang berkualitas baik harus memenuhi tiga aspek, yani aspek mutu genetika, fisik dan fisiologis. Mutu genetika bibit tergantung pada asal usul bahan pembuatan bibit, baik generatif atau vegetatif. Mutu fisik digambarkan dari diameter, tinggi, jumlah daun, diameter pangkal bibit. Sedangkan mutu fisiologis dapat dilihat dari warna dan ukuran daun, banyaknya akar rambut yang berujung putih dan kondisi bibit yang sehat (bebas dari hama dan penyakit), kuat dan segar. Bibit yang baik dapat dihasilkan dari penggunaan benih berkualitas tinggi, media dan wadah pertumbuhan benih yang sesuai, serta pengaturan kondisi persemaian seperti suhu, cahaya, kelembaban, air, udara, dan lain-lain.
Aplikasi
S
Pembuatan bibit dapat dilakukan secara generatif (dengan biji), vegetatif (dengan bagian tumbuhan seperti batang dan tunas pucuk). Khusus untuk jenis yang jarang berbuah dan tipe benihnya rekalsitran, perbanyakan bibitnya dapat melalui teknik vegetatif. Dengan teknik ini, perbanyakan bibit secara massal dapat dilakukan dengan waktu relatif singkat dan menghasilkan bibit yang mutunya sama dengan sumber benih/induknya.
alah satu modal untuk membangun hutan tanaman maupun RHL adalah tersedianya bibit berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup pada waktu yang tepat. Bibit yang baik akan menghasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi.
11
Perbanyakan bibit Perbanyakan generatif, umumnya dapat dilakukan dengan mudah dan murah jika biji pohon tersedia melimpah. Perkecambahan biji ditentukan oleh tipe biji, ortodoks atau rekalsitran.
Aplikasi Lanjutan Biji tipe ortodoks misalnya sengon, mangium, sawo kecik , merbau memerlukan perlakuan untuk memecahkan dormansi biji sebelum dikecambahkan. Sedangkan biji tipe rekalsitran seperti meranti, mimba, nyamplung, damar dapat langsung ditanam tanpa perlakuan sebelumnya. Perbanyakan vegetatif, umumnya dilakukan dengan pencangkokan, stek dan kultur jaringan. Untuk mendukung produksi bibit massal dan berkualitas, Badan Litbang Kehutanan merekomendasikan teknik pembibitan vegetatif dengan stek pucuk dengan sistem pengkabutan (KOFFCO) dan aplikasi mikoriza (Seri 2 Iptek). Pengembangan teknik KOFFCO System atau Komatsu-FORDA Fog Cooling System ini telah berhasil meningkatkan produksi massal bibit dipterokarpa di atas 70%. Untuk jenis pulai bahkan dapat ditingkatkan sistem perakaran dan produksi massalnya sampai mendekati 100%. KOFFCO System juga telah diterapkan pada jenis-jenis lainnya seperti ramin, rasamala, nyawai, nyamplung, jabon, dan gaharu. Memacu pertumbuhan bibit Pemanfaatan mikoriza (endomikoriza dan ektomikoriza) sangat disarankan pada tahap persemaian karena dapat memacu pertumbuhan bibit (Seri 1 Iptek). Aplikasi mikoriza diperlukan karena dalam RHL, tanah yang akan ditanami berada pada kondisi terdegradasi dengan kandungan unsur hara yang rendah. Caranya dengan memanfaatkan fungi mikoriza lokal yang cocok dengan pohon yang akan ditanam, melalui tahapan sterilisasi media dan benih serta inokulasi. Pada pembibitan generatif skala besar, fungi endomikoriza dapat dicampur secara merata ke media bibit (sistem campur), sedangkan untuk benih ukuran kecil, sistem lapisan lebih tepat digunakan. Pada pembibitan vegetatif, fungi endomikoriza diberikan pada saat pemindahan bibit dari tempat perakaran ke tahap aklimatisasi (polybag/polytube). Aplikasi fungi ektomikoriza dapat dilakukan dengan menggunakan tablet dan kapsul spora, penularan dengan misela dan penggunaan spora pada sistem irigasi. Selain itu dapat pula ditularkan secara alami dengan menanam pohon induk bermikoriza di bedeng tanam sebelum bibit ditanam. Selain aplikasi mikoriza, juga dapat digunakan pupuk organik berupa arang kompos untuk memperkaya unsur hara dalam tanah (Seri 1 Iptek). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian arang kompos di persemaian dan di lapangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, meningkatkan pH dan KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk RHL pada lahan kritis/masam di Indonesia.
12
Teknik Memilih Bibit dan Menanam yang Tepat Deskri psi Memilih bibit siap tanam Bibit dikategorikan bermutu tinggi, apabila bibit tersebut memiliki kemampuan hidup yang kuat dan prosentase hidupnya besar di lapangan. Tinggi dan rendahnya mutu bibit suatu tanaman dicirikan pada (1) sifat fisik seperti tinggi, diameter, kelurusan batang, bentuk tajuk/daun, kekompakan perakaran dan sudah ada pengayuan pada batang (2) sifat fisiologi seperti warna pada daun dan kesehatan bibit (Hendromono, 2003). Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengetahui asal usul dari mana bibit tanaman tersebut diperoleh, apakah dari sumber benih yang telah memperoleh sertifikasi atau benih asalan/tidak diketahui induknya.
D 13
Sifat fisik dan fisiologi dari bibit tanaman dapat diketahui dengan memperhatikan beberapa ciri umum sebagai berikut: 1. Pilih bibit yang tingginya antara 30 s/d 60 cm. 2. Batang kokoh, tegak dan lurus berdiameter > 0,5 cm. 3. Daun atau tajuk berwarna hijau dan segar. 4. Di atas leher akar, batang telah berkayu. 5. Perakaran padat dan kompak. 6. Perbandingan akar dan batang 1: 1 atau 1 : 2. 7. Tidak ditemukan gejala serangan hama dan penyakit.
alam kegiatan RHL, keberhasilan tumbuh tanaman sangat ditentukan oleh kondisi bibit saat ditanam. Oleh karenanya, praktisi di lapangan harus memahami cara memilih bibit pohon yang siap tanam dan waktu penanaman yang tepat, sehingga dapat meningkatkan persentase hidup tanaman.
Jika memilih bibit yang memiliki ciri tersebut, serta mengetahui asal usul atau induk bibit, maka dapat diprediksi bahwa tanaman nantinya akan memiliki produktivitas tinggi.
Deskri psi Lanjutan Kapan waktu menanam yang tepat? Pengalaman membuktikan bahwa hampir semua bibit pohon atau tanaman muda, peka terhadap kekurangan air. Untuk menghindari kekurangan air yang dapat menyebabkan stress bahkan kematian pada bibit pohon setelah ditanam, maka dilakukan penanaman sebagai berikut ini: 1. Bibit ditanam pada tanah dengan kelembaban telah mencapai kapasitas lapang, ditandai dengan curah hujan yang sudah mencapai 100 mm per bulan, atau tanah telah basah sedalam 30 cm. Bibit tanaman 2. Bibit ditanam pada pagi hari atau menjelang sore hari, pada saat kondisi teduh. Untuk mengurangi proses penguapan dari bibit yang berlebihan. 3. Lubang tanam dibuat dengan ukuran minimal berukuran 30 x 30 x 30 cm. 4. Bibit dikeluarkan dari wadahnya dengan hati-hati agar medianya tidak terlepas dari akar. 5. Bibit ditanam secara tegak lurus, kemudian tutup kembali dengan tanah minimal sebatas leher akar dan padatkan perlahan-lahan dengan kaki. Jika di tempat penanaman sering terjadi angin kencang, ikatkan bibit pada ajir. Prosedur pemupukan Tanah sendiri sebenarnya sudah memiliki unsur hara dan mineral bagi pertumbuhan tanaman, dengan tingkat kesuburan yang berbeda-beda. Apabila kondisi unsur hara suatu tanaman tidak mencukupi (Tabel 1), maka dapat diberikan pupuk untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Prosedur pemupukan pada tanaman keras/tahunan mulai dari saat ditanam sampai umur 3 tahun, dilakukan dengan dosis dan waktu yang tepat. Menurut berbagai sumber prosedurnya adalah : 1. Dosis pupuk buatan setiap jenis (Urea, TSP, KCL) masing-masing sebesar 50-75 g per pohon disesuaikan dengan keadaan tanah, kondisi penutup tanah, penampakan tanaman. Dosis pupuk alam sebesar 2-5 Kg per pohon. 2. Waktu pemupukan untuk pupuk alam diberikan satu minggu sebelum tanam, pada dasar lubang tanam. Pupuk buatan buatan diberikan satu bulan setelah tanaman. 3. Pemberian pupuk buatan selanjutnya dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu menjelang musim kemarau bulan Maret atau April dan menjelang musim hujan pada bulan September atau Oktober.
14
Aplikasi Lanjutan 4. Pemberian pupuk buatan dilakukan dengan cara membuat rorakan kecil sedalam 5 cm yang melingkar dibawah batas lebar tajuk. Setelah pupuk ditaburkan secara merata dalam rorakan, tutup kembali dengan tanah. Tabel 1. Tanda-tanda tanaman kekurangan unsur hara Kekurangan hara
15
Tanda tanda pada tanaman
Jenis pupuk yang
Nitrogen ( N )
Daun hijau berubah menjadi hijau muda, kuning, coklat kemerahan, lama lama kering. Perkembangan tanaman kerdil.
Urea Pupuk organik
Phospor (P)
Warna daun menjadi hijau tua, sering terlihat mengkilap kemerah-merahan kadang-kadang menjadi kuning pucat. Perkembangan tanaman kerdil.
TSP Pupuk organik
Kalium (K)
Daun mula-mula mengkerut dan mengkilat, pada ujung daun warnanya menjadi pucat, selanjutnya terjadi bercak-bercak merah kecoklatan dan akhirnya luruh.
K Cl Pupuk organik
Calcium (Ca)
Pada daun muda terjadi perubahan warna pada tenunan di ujung dan tepi daun TSP dan kapur memucat, perakaran kurang berkembang. Tanaman menjadi lemah. Pupuk organik
Magnesium (Mg) Pada daun tua terjadi pemucatan menjadi kuning dengan bercak warna merah coklat. Tanaman menjadi lemah dan kering.
Pupuk organik Dolomit
Mangan (Mn)
Pada daun muda terjadi perubahan warna , pada beberapa tempat jaringan daun mati dan helai daun berwarna coklat kemudian patah.
Pupuk organik
Zat besi (Fe)
Perubahan warna pada tulang daun dari hijau menjadi kening pucat.
Pupuk organik
Belerang (S)
Warna daun muda hijau tidak merata, mengkilap semu putih atau kuning hijau.
Pupuk organik
Borium (B)
Daun muda berubah warna, jaringan daun mati daun tumbuh kerdil.
Pupuk organik
Cuprum (Cu)
Pada daun muda, ujung daun menjadi layu warna daun pucat.
Pupuk organik
Aplikasi Lanjutan Tabel 1.(lanjutan) Kekurangan hara
Tanda tanda pada tanaman
Jenis pupuk yang
Zincum (Zn)
Daun tua menjadi perubahan warna pada tulang daun menjadi pucat, daun gugur.
Pupuk organik
Molibdin (M0)
Perubahan warna pada daun dan berkeriput mongering atau mati pucuk bisa menyebabakan kematian tanaman.
Pupuk organik
Clor (Cl)
Daun mengkerut daun tertekuk seperti cawan.
K Cl Pupuk organik
Sumber: Hendromono (2003)
Secara singkat, untuk keberhasilan tumbuh tanaman harus dipilih bibit yang memiliki batang utama lurus dan kokoh, daun hijau segar serta tidak ditemukan gejala serangan hama dan penyakit. Bibit ditanam pada saat teduh pada musim hujan, pada lubang tanam yang sebelumnya diberi pupuk alami atau organik secukupnya. Sebulan setelah penanaman rawatlah dengan cara menggemburkan tanah sekitar tanaman dan memberikan pupuk buatan yang mengandung unsur hara N, P dan K masing-masing 50 gram. Pemberian pupuk organik sangat dianjurkan karena mampu memperbaiki struktur tanah sehingga membantu pertumbuhan akar.
Keterangan Peneliti : Hendromono M.Phill (alm), A. Syaffari Kosasih Unit kerja: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Pusprohut Info detil : www.forda-mof.org Bibit tanaman
16
Konservasi Tanah dan Air Deskri psi
L
ahan-lahan terdegradasi/kritis Konservasi tanah diartikan sebagai penerapan cara penggunaan setiap umumnya tergolong tanah podzolik merah kuning, yang sifat fisik dan bidang tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan kimianya jelek, sehingga memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar pengelolaannya harus tidak terjadi kerusakan tanah. Masalah konservasi tanah dan air (KTA) adalah memperhatikan konservasi tanah masalah pengaturan hubungan antara intensitas hujan dan kapasitas infiltrasi dan air. Terlebih lagi jika lahan tanah dan pengaturan aliran permukaan. tersebut berada pada daerah berlereng curam dan memiliki Ada 3 cara pendekatan dalam KTA, yaitu 1) memperbaiki dan menjaga tanah agar curah hujan yang tinggi. Secara umum, tujuan konservasi tanah dan air adalah meningkatkan produktivitas lahan, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan mencegah kerusakan tanah akibat erosi.
17
resisten terhadap penghancuran agregat tanah terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah, 2) menutup tanah dengan tumbuhan atau sisa tumbuhan, agar terlindung dari daya perusak butirbutir air hujan, 3) mengatur aliran air permukaan sehingga mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak. Dengan demikian, upaya KTA dapat dilakukan dengan metode vegetatif, mekanik dan kimia. Contoh metode vegetatif antara lain RHL dengan tanaman tahunan, mengadakan rotasi tanaman, memelihara rerumputan, menutup tanah dengan mulsa. Metode mekanik dilakukan dengan cara mengolah tanah menurut kontur, membuat teras, perbaikan drainase dan membangun irigasi, membangun waduk, dam penghambat, rorak, tanggul dan sebagainya. Metode kimiawi dilakukan dengan menggunakan bahan sintetis atau alami untuk membuat struktur tanah stabil dan meningkatkan daya tanah dalam menahan unsur hara.
Aplikasi Berdasarkan metode-metode tersebut, Badan Litbang Kehutanan merekomendasikan metode KTA untuk kegiatan RHL dengan mengkombinasikan metode vegetatif dan mekanis, yang disebut teknik mulsa vertikal (Pratiwi, 2007). Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan. Pada prinsipnya, teknik mulsa vertikal merupakan kombinasi antara pemanfaatan limbah hutan dengan pembuatan teras. Gambar 1. Mulsa vertikal pada teras gulud untuk kelerengan <15
o
Pada hutan yang baru dibuka, mulsa vertikal ditempatkan dengan jarak antar o saluran 10-20 m (kelerengan <15 , Gambar 1) atau jarak antar saluran 5-6 m o (kelerengan >15 , Gambar 2). Jika diterapkan pada hutan yang telah mulai tertutup tajuk, maka mulsa vertikal ditempatkan di bagian hilir individu tanaman (Gambar 3). Teknik ini terbukti dapat mengurangi laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara. Teknik KTA lain yang dapat diterapkan adalah sistem rorak. Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. Hasil penelitian dengan membuat rorak sepanjang 10 dan 15 m dapat menurunkan laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara.
Gambar 2. Mulsa vertikal pada teras kredit untuk kelerengan >15
o
Keberhasilan penerapan teknik KTA sangat tergantung pada peran masyarakat sebagai pelaku pengolah lahan. Masyarakat sebaiknya dilibatkan sejak perencanaan hingga evaluasi penggunaan lahan, sehingga motivasi, pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk menerapkan KTA meningkat. Gambar 3. Mulsa vertikal di bawah tanaman yang telah bertajuk
Keterangan Peneliti : Pratiwi Unit kerja : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) E-mail :
[email protected] Gambar : Kolesi Puskonser Info detil : www.forda-mof.org
18
Mulsa Daun Kering Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman
Deskri psi
K
eberhasilan pembangunan hutan Mulsa adalah suatu material yang tanaman ditentukan berbagai faktor diletakkan disekitar pohon untuk seperti bibit yang unggul, menekan gulma dengan cara berat manipulasi lingkungan termasuk fisik dan menghilangkan sinar pemeliharaan dan pencegahan matahari dan mempunyai keuntungan hama dan penyakit terpadu. tambahan berupa berkurangnya Selain itu juga pemeliharaan kehilangan air dari permukaan tanah tanaman yang intensif, teratur (Evans and Thurnbull, 2007). dan tepat waktu sampai tanaman Mulsa daun kering berumur 3–5 tahun tergantung Mulsa diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Mulsa organik yaitu bahan sisa pertanian seperti jerami, batang jagung, batang jenis pohon sangat diperlukan. kacang, daun pisang, pelepah batang pisang, alang-alang, serbuk gergaji. Mulsa
19
Berdasarkan data daun kering termasuk mulsa organik. keberhasilan penanaman 2. Mulsa non organik berupa batu kerikil, batu koral, batu kasar, batu bata dan batu hutan dalam berbagai gravel. kegiatan, banyak 3. Mulsa kimia sintetis yaitu mulsa plastik transparan, mulsa plastik hitam, mulsa kegagalan yang terjadi plastik perak dan mulsa plastik perak hitam (mpph). akibat kurangnya pemeliharaan. Salah satu Mulsa daun kering (MDK) adalah daun-daun kering yang banyak terdapat teknik yang dapat diterapkan di lantai hutan, dibawah tegakan dan tempat pengumpulan daundalam pemeliharaan pohon di hutan daun kering di taman atau kebun raya. Sumber MDK lainnya yaitu pada waktu penyiapan lahan, daun-daun dikeringkan tanaman yang murah dan ramah lingkungan lalu dikumpulkan. MDK tersebut dapat dimanfaatkan untuk adalah Teknik Pemeliharaan Pohon menekan gulma dan menyuburkan tanah. dengan Mulsa daun kering (Dry leaf mulches).
Deskri psi Lanjutan Teknik MDK ini telah diterapkan pada tanaman nyawai (Ficus variegata Blume) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Cikampek dan pada sebagian tanaman muda di Arboretum Badan Litbang Kehutanan Bogor. Hasil yang diperoleh menunjukkan tanaman bebas dari gulma dan tumbuh lebih cepat. Tahapan penerapan teknik MDK adalah sebagai berikut: 1. Mulsa daun yang digunakan adalah yang kering atau hampir hancur di lantai hutan. Daun yang berukuran besar dan tebal sebaiknya dicacah menjadi ukuran lebih kecil agar cepat terdekomposisi. 2. Pemeliharaan dilakukan dengan sistim piringan yaitu hanya memelihara individu pohon tidak. Pemeliharaan dengan memberika MDK seluas 1 x 1 m dengan tebal Tanaman Jabon dengan MDK minimum 30-60 cm. Mulsa daun kering dipadatkan dengan cara menginjak-injak. Bila tebal mulsa daun kering kurang dari 30 cm dikhawatirkan cahaya matahari dapat menembus timbunan mulsa daun kering ke lantai hutan sehingga gulma dapat tumbuh. 3. Pemberian mulsa daun kering dilakukan setelah kegiatan menanam pohon, dan sebaiknya pada tanaman berumur kurang dari tiga tahun. Frekwensi pemberian mulsa daun kering pada pohon setiap empat sampai lima bulan, karena berdasarkan hasil penelitian, mulsa daun kering akan hancur (decomposed) dalam waktu empat sampai lima bulan tergantung ukuran, ketebalan dan jenis daun. Informasi detil mengenai teknik MDK dapat dilihat pada buku Mulsa Daun Kering: Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman yang diterbitkan oleh Pusprohut tahun 2013.
Tantangan
Keterangan
Teknik MDK biasanya terlalu mahal untuk tanaman skala besar, tapi merupakan metode pemberantasan gulma yang ideal pada tanaman di desa dimana bahan-bahan seperti daun, kulit, batu tersedia. Pada tanaman yang pertumbuhan gulmanya sangat cepat, pemberian mulsa sering tidak berhasil.
Peneliti : Riskan Effendi dan kawan-kawan Unit kerja: Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Puskonser Info detil : www.forda-mof.org
20
Pengendalian Hama dan Penyakit Deskri psi
P
erlindungan tanaman hutan dari Hama adalah semua binatang yang serangan hama dan penyakit menimbulkan kerugian pada pohon hutan tanaman (HPT) sangat diperlukan dan hasil hutan. Namun kenyataannya, hama untuk mengurangi kerusakan/kerugian yang potensial dan eksplosif menimbulkan yang ditimbulkan akibat serangan kerugian adalah dari golongan serangga. hama dan penyakit dan untuk mempertahankan tingkat produksi Penyakit tumbuhan dapat didefinisikan sebagai hutan yang tinggi, mantap, dan penyimpangan dari sifat normal yang berkesinambungan. menyebabkan tumbuhan atau bagian tumbuhan Hama-penyakit menyerang tanaman hutan mulai dari biji, bibit di persemaian, tanaman muda di lapangan, tegakan siap tebang, sampai pada hasil hutan yang berada dipenyimpanan. Serangan hama-penyakit juga tidak memilih, hampir seluruh bagian tanaman dapat diserang mulai dari akar, batang, sampai pada daun.
Hama Helopeltis spp pada eukaliptus
tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti biasanya.
Hama dan penyakit biasanya tidak berdiri sendiri dalam menyebabkan kerusakan hutan, melainkan hasil interaksi dengan berbagai faktor lingkungan fisik lainnya. Satu faktor dapat bersifat predisposisi artinya Penyakit busuk hati disertai lubang membuka peluang bagi faktor penyebab lain untuk menimbulkan kerusakan. Misalnya faktor lingkungan berupa kelembaban yang tinggi dalam hutan dapat memberikan peluang jamur patogen (penyebab penyakit) untuk berkembang dan menimbulkan kerusakan. Atau gigitan serangga yang menyebabkan luka terbuka pada tanaman inang seringkali menjadi tempat masuknya berbagai macam mikroorganisme sehingga lebih rentan terserang penyakit. Oleh karenanya, sangat penting dilakukan Pada prinsipnya usaha pengendalian hama dan penyakit pengendalian hama dan penyakit tanaman tanaman hutan adalah usaha mencegah dan memberatas secara terpadu yang dilakukan sedini serangan hama dan penyakit untuk tidak berkembang sampai mungkin untuk menghindari pada batas ambang ekonomi.
kerusakan dan kerugian yang 21 besar.
Deskri psi Lanjutan Oleh karena setiap HPT memiliki karakteristikyang berbeda, maka teknik pengendaliannya akan berbeda untuk setiap HPT. Mencegah serangan HPT secara umum dilakukan dengan mengenali karakteristik HPT dan interaksinya dengan faktor lingkungan fisik dan biotik yang lain. Monitoring kondisi tanaman juga menjadi kunci utama pengelolaan HPT.
Aplikasi Pengendalian hama dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan (gulma, tumbuhan bawah, kulit buah), mengatur drainase dan kelembaban serta menghindari pemasangan lampu di sekitar persemaian serta emberantasan hama di tahap awal. Tanaman yang terserang agar segera dipisahkan atau menghilangkan bagian tanaman yang rusak sertadapat menggunakan pestisida (nabati dan sintetik) sesuai indikasi kerusakan. Teknik pengendalian lain yang dapat digunakan adalah pengendalian hayati dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alami hama (agen pengendali biologi ), seperti predator, parasit dan patogen. Prinsip-prinsip pengelolaan penyakit yang dapat dikembangkan adalah dengan Bibit sehat dan sakit menanam jenis yang tahan terhadap penyakit, membersihkan tempat tumbuh tanaman dari patogen, memusnahkan patogen beserta tanaman yang terserang penyakit agar tidak menjadi sumber penularan bagi tanaman yang lain, mencegah penyebaran dan penularan suatu penyakit dari suatu daerah ke daerah lain, mengobati tanaman yang sakit dan pengendalian hayati. Teknik lainnya adalah dengan pergiliran tanaman sehingga patogen-patogen yang ada akan kehilangan inang dan tidak dapat bertahan hidup sehingga tidak mengganggu tanaman pada putaran berikutnya. Badan Litbang Kehutanan telah menghasilkan beberapa penelitian terkait teknik pengendalian HPT yang dapat diakses lebih detil pada publikasi hasil litbang di www.forda-mof.org.
Keterangan Peneliti : Illa Aggraeni Unit kerja: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Puskonser Info detil : www.forda-mof.org
22
Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Emas Deskri psi
K
egiatan pertambangan umumnya menghasilkan kerusakan yang serius pada lahan. Kerusakan tersebut antara lain hilangnya permukaan tanah, menurunnya tingkat kesuburan tanah, serta meningkatnya unsur yang bersifat racun bagi tumbuhan tanaman. Kondisi ini mengakibatkan kegiatan revegetasi berjalan sangat lambat.
Manipulasi sifat kimia lumpur tailing dilakukan dengan menekan aktivitas ion-ion logam pada larutan tanah sehingga daya racunnya tertekan dan bahan ini menjadi tanah yang tidak beracun. Salah satu teknik yang diandalkan dalam meredam aktivitas ion-ion logam dalam larutan tanah adalah melalui mekanisme atau proses (chelate) yakni gugus fungsional bahan organik bereaksi dengan ion logam.
Pada bekas tambang emas, masalah lumpur tailing tidak hanya mendatangkan Areal Tambang masalah ekologi namun Bahan lumpur tailing dicampur dengan tanah dari lahan kritis yang bereaksi masam juga masalah ekonomi. (pH 4-5) sehingga mengoreksi derajat kemasaman tanah. Tanah campuran tersebut Jika jumlah produksi tailing selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai media tanaman untuk rehabilitasi lahan melampaui kapasitas kritis bekas tambang emas. tampung dam, maka diperlukan pembangunan Kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang emas selain memperbaiki sifat dam baru yang memerlukan kimia tanah dan serapan hara, juga dapat mendukung suksesi floristik biaya tinggi. Untuk mengurangi pada areal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dan cendawan mikoriza mampu jumlah tailing tersebut, maka diperlukan input meningkatkan serapan hara N, P, K, dan menurunkan tingkat teknologi mengolah limbah tailing menjadi kelarutan unsur logam yang bersifat toksik bagi tanaman sesuatu yang bermanfaat, misalnya seperti Pb dan Cu. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan sebagai media tanaman. tanaman meningkat. 23
Deskri psi Lanjutan Tahapan kegiatan rehabilitasi lahan secara garis besar sebagai berikut: a. Pemilihan jenis Jenis yang dipilih untuk areal bekas tambang emas adalah jenis yang cepat tumbuh (pioner) dan intorelan. Jenis tersebut antara lain Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria dan Eucalyptus pellita. b. Pemanfaatan media tailing sebagai media tanam Media tailing yang akan digunakan diuji tingkat toksisitasnya terhadap pertumbuhan tanaman. Uji toksisitas dapat dilakukan dengan menanam jenis Areal Tambang tanaman pertanian seperti cabe karena bersifat responsif terhadap kandungan logam berat, sehingga menjadi indikator yang baik untuk uji toksisitas. Uji dilakukan dengan mengecambahkan 300 benih cabe pada 3 bak kecambah dengan media 100% tailing, kompos:tailing (1:1) dan kompos:tailing (3:1). Setelah 1 bulan, dihitung jumlah benih yang berkecambah, semai normal, semai abnormal dan diamati perubahan warna daun. Semai yang normal adalah yang pertumbuhan batang, daun dan akarnya bagus. c. Penanaman Media tanam tailing dimasukkan dalam lubang tanam dengan komposisi tailing:kompos:topsil (1:1:1, v/v) jika areal tambang berupa hamparan berbatu dan komposisi tailing:kompos (3:1, v/v) jika areal tambah berupa hamparan tanah. Tanaman yang digunakan adalah tanaman berumur 3 bulan dan telah diinokulasi cendawan mikoriza. Pemeliharaan tanaman dilakukan setiap 3 bulan dengan memberikan pupuk NPK untuk tambahan hara tanaman. Penanaman sebaiknya dilakukan dengan mengikuti proses suksesi floristik untuk menjamin kesuksesan rehabilitasi, yakni dengan menanam mulai dari jenis rumput, herbasius termasuk jenis legum, kemudian dilanjutkan dengan pohon cepat tumbuh (termasuk jenis legum) dan pohon berumur panjang.
Tantangan
Keterangan
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan sebaiknya tidak hanya bertumpu pada aspek ekologi berupa revegetasi kawasan bekas tambang melainkan juga pada aspek ekonomi, yang tercermin pada jenis dan kombinasi tumbuhan yang ditanam.
Peneliti : Chairil Anwar Siregar dan I Wayan S. Dharmawan Unit kerja: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) E-mail :
[email protected],
[email protected] Gambar : Koleksi Puskonser Info detil : www.forda-mof.org
24
Shorea balangeran untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut
Deskri psi
B
alangeran (Shorea balangeran (Korth.) Burck.) adalah salah satu jenis komersil yang dapat dikembangkan dalam usaha budidaya tanaman penghasil kayu pertukangan di lahan rawa gambut. Balangeran merupakan jenis asli rawa gambut yang mempunyai pertumbuhan relatif lebih cepat dibanding jenis-jenis tumbuhan rawa gambut lainnya yang pada umumnya lambat. Penguasaan teknologi budidaya untuk jenis ini telah cukup memadai.
Shorea balangeran
Pohon balangeran dapat tumbuh mencapai tinggi pohon 20-25 m, diameter dapat mencapai 50 cm, biasanya tidak terdapat banir. Kayunya tergolong kelas kuat II, kelas awet III (I-III) dan tahan terhadap jamur pelapuk. Kayunya tidak mengalami penyusutan ketika dikeringkan. Kegunaan kayu balangeran antara lain dapat dipakai untuk balok dan papan pada bangunan perumahan, jembatan, lunas perahu, bantalan dan tiang listrik.
Balangeran tumbuh tersebar pada hutan primer tropis di basah di Sumatera dan
Di sisi lain, kondisi lahan Kalimantan yang sewaktu-waktu tergenang air, di daerah rawa atau di pinggir sungai, rawa gambut di Indonesia pada tanah liat berpasir, tanah liat dengan tipe curah hujan A-B pada ketingian telah banyak yang 0-100 m dpl. mengalami degradasi Musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun dan sangat sehingga memerlukan upaya dipengaruhi oleh keadaan setempat. Buah masak seringkali rehabilitasi. Melihat potensi bersamaan dengan famili Dipterocarpaceae yaitu bulan Februari, pertumbuhan jenis balangeran tersebut, maka April sampai Juni. Buah balangeran tergolong cepat peluang jenis ini untuk usaha budidaya baik berkecambah, dan hanya dapat disimpan selama 12 hari di bagi kegiatan rehabilitasi dan hutan dalam wadah yang diberi arang basah. tanaman dinilai cukup menjanjikan. 25
Aplikasi Perbenihan Benih balangeran bersifat rekalsitran oleh karena itu benih balangeran sebaiknya langsung disemai pada bedengan atau polibag dan disimpan dalam bentuk bibit, bukan disimpan dalam bentuk benih. Pembibitan Pembibitan balangeran dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif (stek). Benih harus diambil dari pohon induk yang baik fenotipenya agar diperoleh bibit berkualitas. Untuk mendukung pembuatan bibit secara vegetatif (stek pucuk) perlu dibangun kebun pangkas agar suatu persemaian bisa melakukan produksi bibit tanpa bergantung terhadap ketersediaan biji. Sistem KOFFCO dapat diterapkan untuk stek pucuk. Bahan stek yang baik adalah dari bagian pucuk yang masih dorman (resting) yang tumbuh ortotrop (tegak), bukan dari pucuk yang masih tumbuh menggelora (flushing) dan plagiotrop. Stok tanaman untuk bahan stek harus yang muda (dari biji berumur 6 bulan- 2 tahun) karena stek akan mudah tumbuh akarnya. Untuk meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian, dapat diaplikasikan Ektomikoriza (ECM). Asosiasi ECM pada famili Dipterocarpaceae ini bersifat obligat, artinya tanpa asosiasi ECM tanaman akan terhambat pertumbuhannya.
Penanaman Penanaman di lahan rawa gambut dihadapkan pada beberapa kendala berupa hambatan sifat fisika, sifat kimia dan tata air terutama pada lahan gambut yang telah rusak. Untuk mengatasi kendala yang ada diperlukan perbaikan kondsi lahan dengan melakukan manipulasi lingkungan pada areal penanaman. Penanaman dalam rangka restorasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut harus didasarkan pada pendekatan suksesi alami yang terjadi pada ekosistem tersebut. Pendekatan pertama adalah dengan mempelajari bagaimana proses awal tutupan lahan terjadi dan terbentuknya iklim mikro. Upaya manipulasi dapat dilakukan dengan penanaman menggunakan jenis-jenis pioneer dengan rentang toleransi ekologi yang luas. Selanjutnya, apabila kondisi lahan sudah membaik dan iklim mikro terbentuk dapat dilakukan penanaman lanjutan menggunakan jenis pioner akhir atau bahkan jenis klimaks. Tunas orthotrop dan plagiotrop
26
Aplikasi Lanjutan Balangeran adalah salah satu jenis pohon di hutan rawa gambut yang dikenal sebagai jenis pioner. Jenis ini dapat bertahan dan tumbuh dengan baik pada kondisi genangan sedang yang dipengaruhi air sungai. Pada awal pertumbuhan jenis ini memerlukan naungan ringan, namun memerlukan pembukaan kanopi dalam pertumbuhannya. Pembibitan
Untuk mengatasi kondisi genangan, dilakukan pembuatan guludan dan surjan serta mengatur tinggi muka air tanah secara mikro. Selanjutnya, untuk mengurangi kompetisi tumbuhan bawah dilakukan pembersihan tumbuhan bawah pada jalur tanam dengan lebar tertentu, pembersihan titik tanam pada radius tertentu dan pembersihan areal tanam dengan penebasan pada semua area (total). Yang perlu diperhatikan dalam pembersihan ini adalah tumbuhan bawah masih memiliki fungsi awal untuk menjaga kelembaban tanah dan memberikan naungan pada bibit yang ditanam. Oleh karenanya penting mengatur waktu penebasan dan pengulangan dalam kegiatan pemeliharaan tanaman. Persiapan lahan berikutnya adalah mengatasi kondisi kematangan tanah gambut dengan cara memberikan batuan pospat, zeolit atau amelioan lainnya untuk mengkondisikan tingkat keasaman tanah dan asam organik tanah pada titik tanam yang sesuai.
27
Selain itu juga perlu dilakukan pemadatan tanah untuk membantu daya ikat akar pada media tanah gambut yang sangat porous. Pemadatan dilakukan dengan mencincang gambut pada titik tanam, menambah dengan gambut yang ada di sekitarnya dan dipadatkan. Untuk membantu daya adaptasi tanaman di lapangan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi bibit di lapangan. Penanaman dapat dilakukan baik pada saat musim hujan maupun kemarau tetapi tidak pada saat puncak musimnya. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman sangat diperlukan karena cepatnya pertumbuhan tumbuhan bawah dan pencekik. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umur tanaman balangeran 5 tahun (diameter 5-8 cm), masih dapat dirobohkan oleh tumbuhan pemanjat dan pencekik. Caranya dengan menebas tumbuhan bawah setiap 3 bulan, sampai umur tanaman 24 bulan. Intensitas penebasan lebih dari 3 bulan menunjukkan pertumbuhan tanaman semakin kurang baik.
Aplikasi Lanjutan dengan penyemprotan insektisida (kimiawi).
Daun yang terserang belalang dan bintil daun
Pengendalian hama dan penyakit Beberapa jenis hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman balangeran sebagai berikut : a. Kutu loncat (Diaphorina sp) Kutu loncat tergolong serangga penghisap cairan tanaman dan ditemukan di persemaian dengan naungan berat/intensitas cahaya rendah. Pengendalian hama kutu loncat dapat dilakukan dengan mengurangi naungan pada persemaian. b. Ulat pemotong (Ophiusa triphaenoides) Larva ulat pemotong aktif di malam hari dan menyerang dengan cara memakan daun muda. Pengendaliannya dapat dilakukan secara mekanis dengan menangkap ulat pada waktu malam hari. c. Belalang (Catantops splendens) Belalang menyerang daun muda dengan ciri terdapat bekas gigitan tipe mulut pengunyah. Pengendalian dapat dilakukan dengan menangkap belalang dewasa dan memusnahkan telur-telurnya (mekanis) atau
d. Bintil Daun/Leaf Gall oleh Hymenoptera Serangan hama ini ditandai oleh bintil-bintil pada permukaan daun. Bintil menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi serangga, tetapi tanaman tidak mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut, kehilangan nutrisi, pertumbuhan tidak normal, dan memperlemah struktur tanaman. e. Penyakit Bercak Daun (Lasiodiplodia sp dan Colletotrichum sp) Penyakit ini berupa bercak-bercak berwarna coklat kemerahan yang tersebar di permukaan daun. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan menggunakan cuka kayu dengan dosis 40 cc per liter air dengan cara penyemprotan seminggu sekali. Informasi detil mengenai budidaya jenis ini dapat dilihat pada buku: Budidaya Shorea balangeran di Lahan Gambut yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru tahun 2012.
Keterangan Peneliti : Rusmana, Tri Wira Yuwati, Dony Rachmanadi, Purwanto Santoso, Beny Rahmanto, Abdul Kodir, Reni Wahyuningtyas Unit kerja : Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru E-mail :
[email protected],
[email protected] Gambar : Koleksi BPK Banjarbaru Info detil : www.forda-mof.org
28
Menghutankan Lahan Bekas Tambang Timah Deskri psi
P
ertambangan timah, seperti tambang terbuka lainnya, seringkali meninggalkan banyak masalah kerusakan lahan. Lansekap lahan berupa hamparan overburden, dan tailing kuarsa serta kolam-kolam (kolong) adalah masalah yang timbul pasca pertambangan timah. Pada kondisi lansekap demikian, suksesi vegetasi secara alami sangat sukar terjadi atau berjalan sangat lambat. Lansekap lahan bekas tambang timah Akibatnya, lahan menjadi gersang, tidak produktif Lansekap lahan bekas tambang timah seringkali berupa hamparan overburden, dan dan akhirnya ditinggalkan tailing kuarsa serta kolam-kolam (kolong). Overburden merupakan material yang oleh masyarakat. dipindahkan pada waktu pengupasan (stripping) lapisan penutup bijih timah. Lingkungan yang mulanya Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, terdiri dari ramai oleh kehidupan saat campuran tanah, bahan induk tanah, pasir, kerikil dan bahan lainnya, penambangan berubah karena terjadi pencampuradukan bahan-bahan penutup. Kondisi ini menjadi sepi. Kondisi ini sering diperparah jika diantara bahan-bahan di dalam overburden ini disebut sebagai Kota Hantu (Ghost terdapat mineral pirit (FeS ) yang teroksidasi sehingga Town). Lansekap seperti ini cukup luas, menimbulkan air asam tambang yang meningkatkan mencapai ribuan hektar, sehingga diperlukan kemasaman tanah. Kondisi tersebut menyebabkan daya input teknologi untuk merehabilitasi lahan bekas penambangan timah agar dukung tanah dari overburden ini terhadap tanaman sangat kembali produktif. rendah. 2
29
Deskri psi Lanjutan Tailing merupakan bahan mineral kuarsa memiliki kandungan fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, dan bahan organik kurang dari 2%. Oleh karena hampir semua bahannya adalah pasir kuarsa, tailing ini disebut tailing kuarsa. Tailing kuarsa ini miskin unsur hara dan daya menyimpan air tanahnya rendah, sehingga secara alami tanaman akan sukar tumbuh. Sedangkan kolong adalah kolam-kolam yang terbentuk setelah penambangan, umumnya berisi air masam yang merupakan kumpulan air asam tambang. Hamparan overburden sebelum ditanami
Aplikasi Badan Litbang Kehutanan melakukan rekayasa media dari bahan overburden dan tailing kuarsa sebagai media pembibitan di PT. Kobatin, Pulau Bangka. Hasil penelitian yang dilakukan sejak 2010 menunjukkan bahan overburden dan tailing kuarsa dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan bibit tanaman kehutanan. Percobaan pertumbuhan dilakukan pada jenis ubak (Eugenia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), trembesi (Samanea saman), ekaliptus (Eucalyptus urophylla) dan jabon (Anthocephalus cadamba). Dosis yang memberikan pertumbuhan bagus pada jenis tersebut di persemaian sampai tanaman berumur tiga bulan adalah: 1. Media bahan campuran overburden yang diberi top soil (bahan mineral liat) dan bahan organik masing-masing 20 % bobot, serta NPK 1% bobot dan kapur 10 % bobot. 2. Media bahan tailing kuarsa yang diberi top soil dan bahan organik masingmasing 20 % bobot, NPK 1 % bobot dan kapur 5 % bobot.
E. urophylla 10 bulan di hamparan overburden
E. urophylla 2 tahun 6 bulan di hamparan overburden
30
Aplikasi Lanjutan Pada tahap penanaman di hamparan overburden, lubang tanam yang diisi dengan media bahan campuran overburden yang diberi top soil dan bahan organik masing-masing 20 % bobot, NPK 1 % bobot dan kapur 10 % bobot yang kemudian ditanami bibit yang bermikoriza. Demikian juga untuk hamparan tailing kuarsa, digunakan media campuran bahan tailing kuarsa yang diberi top soil dan bahan organik masing-masing 20 % bobot, NPK 1 % bobot dan kapur 5 % bobot) yang juga ditanami bibit bermikoriza. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tanaman ekaliptus, ubak dan sengon buto relatif bagus sampai berumur tiga tahun pada hamparan E.urophylla 10 bulan di hamparan tailing kuarsa overburden dan tailing kuarsa. Sedangkan jenis yang tidak bisa tumbuh optimal di lapangan adalah jabon dan trembesi. Namun, tanaman pada hamparan overburden menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman pada hamparan tailing kuarsa. Hal ini karena di hamparan overburden mengandung unsur hara relatif lebih baik dibandingkan dengan unsur hara di hamparan tailing kuarsa. Berdasarkan pengamatan pada beberapa parameter pertumbuhan seperti tinggi dan, diameter batang serta phenologi, menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Oleh karenanya, rehabilitasi lahan bekas tambang timah optimis dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi rekayasa media tersebut. Dengan demikian, mengubah lahan bekas tambang timah yang gersang menjadi hutan yang produktif bukan menjadi hal yang mustahil lagi.
Tantangan Keberhasilan pertumbuhan perlu dibuktikan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Selain itu perlu dilakukan uji kompatibilitas jenis mikoriza terhadap jenis-jenis tanaman yang lain, disamping upaya untuk meningkatkan kandungan unsur hara tanah pada hamparan tailing kuarsa.
31
Keterangan Peneliti : Pratiwi, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Budi Narendra Unit kerja: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) E-mail :
[email protected],
[email protected] Gambar : Koleksi Puskonser Info detil : www.forda-mof.org
TOPIK 2
KERAGAMAN JENIS KAYU DI INDONESIA Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal Keragaman Jenis Di pterokarpa di Kalimantan dan Sumatera Keragaman Cempaka di Sulawesi Utara
32
Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan Deskri psi
E.urophylla 10 bulan di hamparan tailing kuarsa
K
33
Kusen pintu dari batang sawit dan flooring dari batang kelapa
Secara umum potensi kayu alternatif untuk pertukangan dapat dibedakan ke dalam ayu dari hutan tanaman baik skala dua kelompok menurut sumber material, yaitu hutan rakyat dan perkebunan. industri dan rakyat Kelompok jenis potensial yang terdapat di hutan rakyat diantaranya adalah bayur, serta dari areal perkebunan merupakan durian, jabon, kemiri, mahoni, mangium dan surian. Potensi bahan berkayu yang sumber bahan baku kayu terdapat di lahan perkebunan terdiri dari karet, kelapa dan sawit. pertukangan sebagai substitusi dari hutan alam. a. Bayur Kayu-kayu tersebut dapat Kayu bayur (Pterospermum spp.) banyak terdapat di pulau Jawa, menjadi alternatif yang potensial dengan meningkatkan kualitasnya melalui Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Kalimantan dan Maluku teknologi pengolahan kayu. Oleh karenanya, terutama di lahan rakyat dan daerah perkebunan dataran informasi mengenai jenis, potensi dan kegunaan jenis-jenis kayu tersebut tinggi. Jenis kayu ini baik digunakan untuk keperluan menjadi sangat penting untuk konstruksi ringan, rangka figura dan komponen furniture. diketahui sebagai dasar untuk pengembangan selanjutnya.
Deskri psi Lanjutan b. Durian Kayu durian (Durio spp.) terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Jenis ini baik digunakan untuk keperluan konstruksi ringan, isi panil dan komponen furniture. c. Jabon Kayu jabon (Anthocephalus chinensis) tersebar di seluruh wilayah nusantara dan baik digunakan untuk mainan anak, kotak buah, panil, rangka figura dan furniture. d. Kemiri Kayu kemiri (Aleurites moluccana) tersebar di seluruh wilayah nusantara, terutama di lahan rakyat dan perkebunan swasta Kayu ini baik digunakan untuk mainan anak, kotak buah, rangka figura dan barang kerajinan. e. Mahoni Kayu mahoni (Swietenia spp.) terutama dikembangkan di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan yang terkonsentrasi pada areal hutan Perhutani, areal konsesi (HPH) dan lahan rakyat. Kayu ini baik digunakan untuk panil, venir dekoratif, ukiran dan komponen furniture. f. Mangium Kayu mangium (Acacia mangium) merupakan salah satu jenis kayu Hutan Tanaman Industri yang dikembangkan paling masif di wilayah nusantara meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Acacia mangium di KHDTK Wonogiri
34
Deskri psi Lanjutan g. Surian Kayu surian (Toona sureni) menyebar di seluruh wilayah nusantara dan baik digunakan untuk panil, venir dekoratif, rangka figura dan komponen furniture ringan. h. Karet Kayu karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu jenis kayu perkebunan yang terdapat dalam jumlah besar di wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Kayu karet baik digunakan untuk mainan anak, perkakas rumah tangga, barang kerajinan, rangka figura, lantai (flooring) dan furniture. i. Kelapa Pohon kelapa (Cocos nucifera) terdapat di seluruh wilayah nusantara, mulai dari dataran rendah sampai wilayah pegunungan, dengan konsentrasi tanaman pada daerah pesisir. Bagian kayu luar biasa digunakan untuk keperluan konstruksi dan perkakas, sedangkan kayu bagian dalam lebih banyak digunakan untuk keperluan furniture. j. Sawit Secara umum potensi kayu sawit di Indonesia terkonsentrasi di pulau Sumatera. Kayu ini memiliki berbagai karakteristik fisis, mekanis, keawetan dan pemesinan yang rendah, sehingga untuk memanfaatkannya diperlukan perlakuan khusus. Berdasarkan penelitian Badan Litbang Kehutanan, kayu sawit dapat digunakan untuk berbagai produk pertukangan, panil dan furniture.
35
Tegakan jabon rakyat di Palembang
Karakteristik kayu alternatif a. Sifat fisis Kelompok jenis kayu alternatif memiliki nilai berat jenis dan stabilitas dimensi yang rendah. Kelemahan sifat fisis ini secara teknis dapat disempurnakan melalui impregnasi resin organis atau resin sintetik, namun perlakuan ini umumnya memerlukan biaya tinggi, sehingga secara ekonomis hanya efektif dilakukan pada produk tertentu yang memiliki nilai jual tinggi. b. Sifat mekanis Sifat mekanis kelompok jenis alternatif relatif rendah, sehingga membatasi kegunaan kayu dari kelompok ini untuk keperluan konstruksi.
Deskri psi Lanjutan Pada umumnya sortimen kayu alternatif tersedia dalam ukuran relatif kecil dan pendek, sehingga memerlukan proses konversi lebih lanjut dengan proses laminasi sebagaimana banyak dilakukan oleh industri kayu dewasa ini. c. Sifat Keawetan Kelompok kayu alternatif ini ini memiliki karakteristik keawetan rendah sehingga mutlak memerlukan perlakuan penyempurnaan keawetan. Penggunaan senyawa borax, basilit, tribromofenol, copper-arsenic atau kombinasi senyawa tersebut lazim digunalkan untuk melindungi kayu dari serangan jamur dan rayap.
disempurnakan melalui proses impregnasi resin pada beberapa lapis sel (sekitar 2 mm) dari permukaan kayu. Informasi detil mengenai jenis alternatif kayu pertukangan disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya tahun 2010 yang dapat diakses di www.forda-mof.org
d. Sifat Pemesinan Karakteristik pemesinan kayu alternatif pada umumnya cukup baik, relatif setara dengan kayu hutan alam, kecuali pada kayu kelapa dan kayu sawit. Kedua jenis kayu ini memiliki sifat pemesinan yang rendah karena banyak mengandung jaringan parenkim. Namun demikian kelemahan ini secara teknis relatif mudah Tegakan mahoni di Hutan Penelitian Parung panjang
Tantangan
Keterangan
Untuk mengembangkan jenis kayu alternatif pertukangannya diperlukan diversifikasi produk serta orientasi pada produk barang jadi sehingga memiliki keunggulan kompetitif di pasar. Untuk mencapai itu dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk meningkatkan R&D pengolahan bahan baku termasuk mengatasi permasalahan kualitas bahan baku hingga kelembagaan dan pemasaran.
Peneliti : Unit kerja: E-mail : Gambar : Info detil :
Nilam Sari, Amiril Saridan, Ngatiman, Nurul Silva Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD)
[email protected],
[email protected] Koleksi B2PD www.forda-mof.org
36
Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal
Deskri psi
P
ohon jati lokal yang kita kenal adalah Pemanfaatan suatu jenis kayu termasuk jati untuk tujuan tertentu jati yang dikembangkan melalui perkecambahan biji, seperti yang dipengaruhi oleh sifat dasar kayu tersebut. Kayu jati pada umumnya ditanam di Cepu, Bojonegoro, mempunyai corak dan warna yang coklat alami, tekstur halus, kelas kuat II Randublatung, Pulau Muna dan dan kelas awet I serta mudah untuk dikerjakan dan dilakukan ”finishing". Akan lain-lainnya. Jati tersebut tetapi karena pertumbuhan jati sangat lambat menyebabkan merupakan kayu perdagangan ketidakseimbangan antara penyediaan kayu dan kebutuhan industrinya. Dua yang memiliki kualitas sangat upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah bagus dan bernilai ekonomis memperpendek daur dan menanam klon unggulan yang tumbuh lebih cepat. tinggi. Tanaman jati dipanen pada umur berkisar antara 50 Hasil dari klon unggul tersebut adalah jenis kayu cepat tumbuh. Saat ini sampai 80 tahun. iInformasi mengenai kualitas kayu jati cepat tumbuh belum banyak diketahui, karena tanaman jati cepat tumbuh yang ada masih relatif muda dan belum Saat ini masyarakat telah mencapai masak tebang (dipanen). Namun sebagai informasi awal, berdasarkan mengenal varietas jati mas, beberapa hasil penelitian, diketahui pohon yang cepat tumbuh akan menghasilkan jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain. Jati sel-sel yang lebih pendek sehingga akan mengurangi kualitas kayunya. Oleh tersebut dipromosikan yang karenanya informasi mengenai sifat dasar kayu jati lokal dan jati cepat tumbuh dapat dipanen sejak umur yang masih berusia muda penting diketahui, agar para pengguna kayu 10 tahun (penjarangan) tersebut dapat memanfaatkan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. kemudian dipanen habis pada Hasil penelitian menggunakan jati lokal dan cepat tumbuh umur umur 15 tahun. Harapan masyarakat terhadap varietas baru tersebut adalah, pada 5, 7 dan 9 tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan jati cepat umur 15 tahun karakteristiknya sudah bisa tumbuh lebih baik (lebih cepat, lebih seragam dan diameter menyamai jati lokal yang berumur lebih besar) dari pada jati lokal. 50- 80 tahun. Benarkah demikian?
37
Deskri psi Lanjutan Bentuk batangnya juga lebih lurus dan percabangan lebih sedikit, namun persentase kayu terasnya lebih kecil dari jati lokal. Informasi lain yang penting diketahui adalah aspek struktur anatomi, fisis dan mekanisnya sebagai berikut: Struktur anatomi Hasil pengukuran struktur anatomi jati cepat tumbuh dan jati lokal pada umur 5, 7 dan 9 tahun memberikan hasil sebagai berikut: · Dimensi serat dan sel pembuluh jati cepat tumbuh lebih panjang, · Dinding serat jati cepat tumbuh sedikit lebih tebal, · Secara kualitatif tidak terdapat perubahan dalam struktur anatominya antara kedua jati · Pada umur muda di dalam sel pembuluh kedua jati tersebut telah ditemukan adanya tilosis, namun tidak ditemukan adanya endapan. Hal ini mengindikasikan telah terbentuknya kayu teras sekunder yang ditandai dengan perubahan warna. · Pada umur yang sama, meskipun diameter batang jati cepat tumbuh lebih besar dari jati lokal, akan tetapi porsi kayu teras pada jati lokal cenderung lebih tinggi dari jati cepat tumbuh.
Pangkal
Tengah
Ujung
A
B
C
D
20 cm Lempengan Jati Memperlihatkan Diameter, Presentase Gubal dan Teras A= Jati cepat tumbuh umur 5 tahun; B=Jati lokal 5 tahun; C=Jati lokal umur 15 tahun; D=Jati lokal umur 30 tahun
38
Deskri psi Lanjutan Sifat Fisis dan Mekanis · Jati cepat tumbuh cenderung mempunyai kadar air basah lebih tinggi, sedangkan berat jenis dan kerapatannya tidak berbeda dengan jati lokal. · Penyusutan kayu pada kedua jati tersebut termasuk lebih rendah dibanding dengan jati yang sudah tua., sehingga dalam proses pengeringan harus lebih hati-hati. · Jati umur 7 tahun mempunyai berat jenis sekitar 0,49 0,60 dan dapat digolongkan dalam kelas kuat IV dan III. Sesuai peruntukannya kayu kelas kuat III umumnya digunakan untuk konstruksi ringan, seperti mebel dan kerajinan.
A
A. Jati cepat tumbuh umur 7 tahun
B
B. Jati lokal umur 7 tahun
C
C. Jati cepat umur 7 tahun
Penampang lintang (skala 1 mm)
Penampang lintang (skala 250 mikron)
Penampang radial
Penampang tangensial
Struktur Anatomi Kayu Jati
39
Sifat Pemesinan · Salah satu karakteristik yang penting dalam pengolahan kayu adalah kemudahan untuk dikerjakan dengan mesin ataupun alat tangan. · Pada jati lokal dan jati cepat tumbuh yang masih berumur muda menunjukkan adanya cacat dominan berupa bulu halus (fuzzy grain), serat patah, dan bekas garukan. · Sifat pemesinan pada jati cepat tumbuh dan jati lokal yang berumur 5, 7 dan 9 tahun secara umum mudah dikerjakan, mempunyai kualitas sifat pemesinan kelas II sampai kelas I (baik sampai sangat baik). · Jati lokal dan jati cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 tahun berada dalam satu kelas, dengan bertambah umur pohon, cenderung kualitas pemesinan kedua jenis jati tersebut semakin baik. · Berdasarkan sifat pemesinan tersebut di atas, terlihat bahwa jati yang masih muda umur 7 tahun sudah dapat digunakan untuk berbagai bahan baku produk, seperti lumber sharing, finger joint laminated board (FJLB), flooring, bubutan, kursi taman, jelusi, barang kerajinan dan lain sebagainya.
Deskri psi Lanjutan Sifat Keawetan Kayu jati lokal dan jati cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 tahun menunjukkan bahwa semuanya mempunyai kelas awet yang rendah. Kayu jati berumur muda umumya tidak awet, oleh karena itu perlu dilakukan pengawetan dengan bahan pengawet dan metode pengawetan yang sesuai. Informasi detil mengenai jenis kayu jati cepat tumbuh disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya tahun 2010 yang dapat diakses di www.fordamof.org
Jati uji kolon di Gunung Kidul
Tantangan
Keterangan
Pengolahan kayu cepat tumbuh memerlukan seperti jati memerlukan pengetahuan tentang struktur anatomi, sifat fisis dan mekanis, pemesinan dan keawetan. Informasi ini sangat dibutuhkan sehingga pengguna kayu tersebut dapat memproses dan memanfaatkan kayu cepat tumbuh sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya
Peneliti : Unit kerja : E-mail : Gambar : Info detil :
Julianus Kinho, Arif Irawan Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado
[email protected] ,
[email protected] Kolesi BPK Manado www.forda-mof.org
40
Keragaman Jenis Di pterokarpa di Sumatera dan Kalimantan
Deskri psi
P
ulau Kalimantan dan Sumatera merupakan pusat pertumbuhan Dipterokarpa di Indonesia.Sebagian besar jenis dari suku ini merupakan penghasil kayu komersial untuk memenuhi berbagai keperluan, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu beberapa jenis dipterokarpa juga menghasilkan minyak, damar dan buah yang mempunyai nilai untuk diperdagangkan, sehingga jenis ini sangat penting perannya dari segi ekonomi. Saat ini kondisi dipterokarpa di hutan alam Kalimantan dan Sumatera sudah mulai terancam kelestariannya karena eksploitasi yang berlebihan beberapa dasawarsa lalu. Sehubungan dengan hal tersebut, informasi mengenai keberadaan jenis-jenis dipterokarpa di hutan alam sangat penting sebagai salah satu upaya pengembangan jenis melalui teknik pembudidayaan yang tepat dan kesesuaian tempat tumbuhnya.
41
Dipterokarpa merupakan salah satu suku besar dengan jumlah di seluruh dunia mencapai 506 jenis. Jenis ini tergolong dalam 14 marga yang sebagian besar (76%) jenis tumbuhan di kawasan Malesia, terutama di Indonesia. Secara geografis, persebaran jenis dipterokarpa tidak merata di wilayah Indonesia. Berbeda dengan jenis dari suku lain misalnya, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Lauracaeae, Moraceae, dan Annoceae yang umumnya mempunyai persebaran luas (Bawa,1998). Jenis-jenis dipterokarpa di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah jenisnya, kelompok besar terdiri dari 4 marga yaitu Shorea, Vatica, Dipterocarpus, dan Hopea, Dalam kelompok ini jumlah jenisnya lebih dari 10 dan kelompok. Yang kedua adalah marga kecil diantaranya Anisoptera, Dryobalanops, Parashorea, dan Cotylelobium. Jenis Shorea sp
Aplikasi Lanjutan Shorea. Marga Shorea paling mendominasi dibandingkan jenis lain, sebanyak 20 jenis, yang 4 (empat) diantaranya belum teridentifikasi sampai tingkat spesies. Kemudian marga Dipterocarpus ada 2 jenis, Hopea 2 jenis dan Parashorea 1 jenis. Jenis yang mempunyai sebaran luas adalah S. johorensis, S. parvifolia, dan S. parvistipulata. Habitat Dipterocarpaceae di sekitar KHDTK Sangai berada pada ketinggian 150 – 250 m dpl. Demplot Bina Pilih di KHDTK Labanan
Dipterokarpa di Kalimantan Tengah a. Di KHDTK Tumbang Nusa, ditemukan 270 pohon yang termasuk dalam 3 jenis dipterokarpa. Pohon terbanyak adalah dari jenis Shorea balangeran (Kahoi) sebanyak 140 pohon (52 %), Shorea teysmaniana (Meranti Bunga) sebanyak 14 pohon (43 %) dan Shorea platyclados (Meranti Batu) sebanyak 116 pohon (5 %). Jenis-jenis dipterokarpa ini tumbuh pada kawasan hutan rawa gambut dengan kondisi tanah yang mempunyai kandungan organik tinggi, kadar air tinggi, angka pori besar, dan adanya serat yang mengakibatkan tanah gambut tidak mempunyai sifat plastis. b. Di kawasan sekitar KHDTK Sangai (Tumbang Puan) terdapat ± 24 jenis Dipterocarpaceae, yang terdiri dari 4 marga yaitu: Dipterocarpus, Hopea, Parashorea dan Dipterocarpaceae di KHDTK Labanan
42
Deskri psi Lanjutan dipterokarpa, yang terdiri dari 6 marga yaitu Anisoptera, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Shorea dan Vatica. Jenis-jenis yang sebaran tumbuhnya cukup luas yaitu: Shorea leprosula Miq., S. parvifolia Dyer ssp. parvifolia Ashton dan S. smithiana Sym. Umumnya jenis Dipterocarpaceae banyak tumbuh di puncak bukit, lereng bukit, punggung bukit dan di sepanjang daerah tepi sungai. Dipterocarpaceae di KHDTK Labanan
Dipterokarpa di Kalimantan Timur a. Di kawasan PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau, ditemukan 44 pohon keruing (Dipterocarpus spp.) yang terdiri dari 4 jenis pohon keruing yaitu Dipterocarpus tempehes V.Sl (37 pohon=84%), D. palembanicus Slooten (3 pohon=7%), D. Humeratus Slooten (1 pohon=2%) dan Dipterocarpus sp. (3 pohon=7%). Selain itu pada lokasi penelitian juga ditemukan sebanyak 26 jenis dipterokarpa yang terdiri dari 7 marga yaitu Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Parashorea, Hopea, Shorea dan Vatica. Jenis yang dominan adalah Vatica sp. (IV= 42.92%), Dipterocarpus tempehes V.Sl. (IV= 40.62%) dengan indek keragaman jenis dipterokarpa H' = 3,89.
c. Di areal PT. Balikpapan Industries yang merupakan bagian dari Gunung Meratus teridentifikasi 27 jenis dipterokarpa yang terdiri dari 6 marga yaitu Anisoptera, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Shorea dan Vatica. Sebagian besar jenis Dipterocarpaceae tumbuh di daerah agak datar dan bergelombang pada ketinggian ± 300 m dpl
b. Di daerah Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), Kab. Paser teridentifikasi sebanyak 24 jenis Dipterocarpaceae di KHDTK Labanan
43
Deskri psi Lanjutan d. Jumlah jenis dipterokarpa di Kabupaten Berau (Labanan, Sambarata dan Siduung) sangat tinggi yakni 66 jenis yang terdiri atas 8 marga yaitu, anisoptera (1 jenis), cotylelobium (2 jenis), dryobalanops (1 jenis), dipterokarpus (17 jenis), hopea (2 jenis), parashorea (2 jenis), shorea (33 jenis) dan vatica (8 jenis). Dipterokarpa di Sumatera Utara a. Pada kawasan Tangkahan TN. Gunung Leuser, ditemukan 45 pohon yang tergolong dalam 7 jenis dipterokarpa, yaitu Shorea javanica Koord sebanyak 6 pohon (13%), Shorea leprosula Miq sebanyak 2 pohon (1%), Shorea macroptera Dyer sebanyak 7 pohon (16%), Shorea platyclados sebanyak 8 pohon (18%), Shorea teysmaniana sebanyak 1 pohon (2%), Dipterocarpus constulatus sebanyak 6 pohon (13%), Dipterocarpus elongatus Korth sebanyak 5 pohon (11%), Dipterocarpus haseltii sebanyak 5 pohon (11%) dan Hopea sangal Korth sebanyak 5 pohon (11%), Jenis-jenis Dipterokarpa ini
tumbuh pada kawasan yang curam bahkan sangat curam dengan kelerengan 26-40% dan >40%. b. Dari hasil eksplorasi di TN Kerinci Seblat, pada resort Bukit Tapan terdapat ± 4 jenis Dipterocarpaceae, yang terdiri dari 3 jenis Shorea dan 1 jenis Dipterocarpus. Sementara di Resort Muara Hemat terdapat ± 25 jenis Dipterocarpaceae yang terdiri dari ± 21 jenis Shorea, 1 jenis Anisoptera, 1 jenis Dipterocarpus dan 2 jenis Hopea. Marga Shorea paling mendominasi dibandingkan jenis lain. Masih diperlukan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui jenis Dipterocarpaceae yang berada di Resort Bukit Tapan dan Resort Muara Hemat sampai pada tingkat jenis. Di Bukit Tapan, TNKS terdapat ± 4 jenis Dipterocarpaceae pada ketinggian ± 1600 mdpl dan ± 25 jenis di Muara Hemat pada ketinggian 200-600 mdpl.
Tantangan
Keterangan
Dari jenis-jenis Dipterocarpaceae hasil eksplorasi, 69 jenis diantaranya masuk dalam Redlist IUCN. Mempertimbangkan potensi dipterokarpa, maka upaya konservasi baik secara insitu maupun eksitu perlu segera dilakukan, termasuk upaya eksplorasi jenis lebih lanjut. Kerjasama dengan instansi lain juga diperlukan mengingat banyaknya jumlah jenis serta sebaran dipterokarpa yang cukup luas.
Peneliti : Jamal Balfas, Krisdianto Unit kerja: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected],
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah, BPK Palembang, Setbadan Info detil : www.forda-mof.org
44
Keragaman Jenis Cempaka di Sulawesi Utara Deskri psi
K
ayu cempaka merupakan kayu Kayu cempaka di Sulawesi Utara dapat dijumpai komersil primadona di Sulawesi pada hutan dataran rendah sampai pegunungan Utara. Jenis kayu ini merupakan pada ketinggian 1.000 m dpl. Hasil eksplorasi unsur kayu yang wajib berada pada oleh BPK Manado berhasil mengindentifikasi 6 (enam) jenis kayu cempaka yang berasal dari 3 rumah adat Minahasa dan tidak genus yakni Elmerrillia, Magnolia dan Michelia. tergantikan oleh jenis kayu Jenis-jenis tersebut adalah Elmerrillia celebica lainnya. Kayu cempaka juga Dandy, Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy, Elmerrillia banyak digunakan sebagai tsiampacca (L.) Dandy, Magnolia elegans (Blume.) bahan pembuatan mebel, H.Keng, Magnolia candollei (Blume) H.Keng, dan Magnolia elegans (Blume.) H.Keng Michelia champaca L. interior ruangan, alat musik, kerajinan tangan, perahu, 1. Elmerrillia celebica Dandy. panel, alat olahraga dan Jenis cempaka ini dikenal dengan nama kayu lapis. Ta’as. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 700 m dpl di kawasan Cagar Alam Gunung
Berdasarkan studi awal Ambang dan 600 mdpl di daerah Kecamatan Tareran. Jenis Elmerrillia diketahui terdapat celebica Dandy dapat tumbuh keragaman jenis cempaka di hingga mencapai 20 m Kulit, bentuk daun dan buah jenis Elmerrillia celebica Sulawesi. Namun, data dan dengan diameter 40-50 informasi tentang jenis cempaka tersebut cm. Batangnya warna coklat bertotol putih dan kulit batang masih sangat terbatas, sehingga diperlukan terkelupas. Daunnya berbentuk lansat, permukaan berwarna hijau tua, belakang daun berbulu coklat halus, ujung daun informasi yang dapat digunakan untuk lancip, dasar membulat, dan pinggiran rata. Buahnya mengetahui keragamanan jenis berbentuk buni. cempaka di Sulawesi Utara. 45
Deskri psi Lanjutan 2. Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy. Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy., atau "Wasian" adalah salah satu jenis yang banyak diminati masyarakat sebagai bahan pembuatan rumah adat woloan. Jenis ini memiliki perawakan sedang sampai besar, dengan tinggi sekitar 15-20 m, dengan diameter batang 20-50 cm. Batang berwarna hitam keabu-abuan dengan bercak-bercak putih yang tersebar merata. Pangkal dan ujung daun meruncing, permukaan daun muda berbulu halus berwarna keperakan dan buah berbentuk buni.
Bentuk daun, batang dan buah jenis Elmerrilia ovalis
3. Elmerrillia tsiampacca (L.) Dandy Jenis ini tumbuh pada ketinggian 600-700 m dpl di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang. Cempaka jenis ini umumnya memiliki tinggi 20-30 m. Batang tidak bergetah, pepagan dalam berwarna coklat kekuningan, tidak berbanir, silindris dan berlentisel. Pangkal dan ujung daun meruncing, tepi daun rata, permukaan daun hijau tua, licin mengkilap. Buah bulat telur, permukaan buah bersisik, ukuran buah 3 x 5 cm, biji hitam dilindungi oleh kulit aril berwarna oranye kemerahan.
Batang, buah dan daun jenis Elmerrillia tsiampacca
4. Magnolia elegans (Blume.) H.Keng Jenis ini biasa dikenal masyarakat dengan nama lokal cempaka. Jenis ini juga banyak diminati sebagai bahan rumah adat woloan. Pohon dari jenis ini pada umumnya memiliki tinggi sekitar 20-25 m, dengan diameter 30-35 cm. Batang silindris, kulit batang berlekah, pepagan keras berwarna coklat tua kemerahan. Permukaan daun licin, belakang daun licin mengkilap, bentuk dasar daun melancip, tepi daun rata, pangkal daun meruncing. Buah berbentuk bulat berwarna hijau kecoklatan. belakang daun licin mengkilap, bentuk dasar daun melancip, tepi daun rata, pangkal daun meruncing. Buah berbentuk bulat berwarna hijau kecoklatan.
Batang, daun dan buah jenis Magnolia elegans
46
Aplikasi Lanjutan 5. Magnolia candollei (Blume) H.Keng Cempaka jenis ini tumbuh pada ketinggian 500800 m dpl di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Selain di Sulawesi, jenis ini juga terdapat di daerah Kalimantan. Jenis ini dapat mencapai 5-12 m dengan diameter batang 15-20 cm. Batang mulus, berlentisel, berwarna coklat kehitaman dengan corak putih. Permukaan daun licin, mengkilap, pangkal daun meruncing, ujung daun meruncing, tulang daun timbul pada belakang daun. Buah berbentuk bulat, permukaan buah berduri tidak tajam, berbentuk seperti cakar burung elang.
Pohon ini berukuran sedang sampai besar dengan tinggi hingga 50 m, batang lurus, silindris dengan diameter hingga 200 cm. Kulit batang halus berwarna putih kelabu. Permukaan daun muda berbulu, daun tua tidak berbulu. Daun muda berbulu halus sampai pada tangkai daun, pangkal daun meruncing, ujung daun runcing, tepi daun rata, pertulangan daun menyirip. Buah soliter dan aksiler serta berwarna merah ketika masak.
Batang, daun dan buah jenis Michelia champaca L.
Informasi detil dapat dilihat pada Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BPK Manado Tahun 2011.
Keterangan Kulit, bentuk daun dan buah jenis Magnolia candollei
6.Michelia champaca L. Secara ekologis Michelia champaca L. tumbuh tersebar di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 2.100 mdpl.
47
Peneliti : Mohammad Muslich, Nurwati Hadjib & Sri Rulliaty, Sumarhani, Martawijaya Unit kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected],
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah dan B2PBPTH
TOPIK 3
TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL HUTAN Pencegah Jamur Biru pada Kayu Pengering Kayu Tenaga Surya Perekat Lignin EMF, Perekat Kayu dari Limbah Merbau yang Alami, Berkualitas dan Ramah Lingkungan Bioetanol dari Biji Mangrove sebagai Pengganti Bensin
48
Pencegah Jamur Biru pada Kayu Deskri psi
K
ayu adalah material yang tidak tergantikan. Meskipun untuk Komposisi pencegah jamur biru yang sesuai dengan invensi ini terdiri atas komponen struktural bangunan, asam kresilat cair yang mempunyai konsentrasi 1-3%; minyak kelapa kasar, beton mungkin dapat menggantikan kayu, tetapi tidak ada material lain siongka, larutan NaOH, dan pelarut. Siongka yang digunakan dalam yang dapat menyamai karakteristik komposisi pencegah jamur biru dilarutkan dalam minyak kelapa kasar, kayu untuk bahan furniture, komponen rumah (pintu, jendela), sebelum dicampur dengan larutan NaOH berkonsentrasi 20-30%. Lebih alat musik, dan alat rumah disukai, larutan NaOH tersebut mempunyai konsentrasi 20%. Komposisi tangga. Masalah utama yang dijumpai pada kayu ialah pencegah jamur biru mempunyai pH akhir yang berkisar dari 11 sampai 13. sebagian besar tidak tahan lama, mudah terserang jamur, bubuk Komposisi pencegah jamur biru yang sesuai dengan invensi ini dapat dibuat ataupun dimakan rayap. Khusus dengan mula-mula mencampur siongka dan minyak kelapa kasar. Pencampuran kayu Indonesia, lebih 80% dari seluruh kayu yang dihasilkan kedua bahan tersebut dilakukan secara pemanasan pada suhu 140 C. Setelah tidak mampu bertahan lebih siongka dan minyak kelapa kasar telah tercampur, NaOH dimasukkan kedalam dari lima tahun. Ditambah dengan iklim yang basah campuran tersebut. Pencampuran tersebut dapat dilakukan pada suhu 120 C. dan lembab, kayu akan Selanjutnya, campuran siongka, minyak kelapa kasar, dan NaOH di campur dengan hancur hanya dalam pelarut air untuk mendapatkan campuran yang homogen. Selanjutnya pada larutan beberapa tahun. o
o
tersebut dicampurkan asam kresilat cair dan diaduk.
Serangan jamur biru merupakan salah satu masalah yang ditemui dalam pengolahan kayu. Perubahan warna kayu akibat serangan jamur tersebut dapat menurunkan kualitas, sehingga harga jual kayu rendah. Saat ini bahan pencegah jamur biru yang tersedia kurang ramah lingkungan dan harganya cukup tinggi. Untuk mengatasinya, disediakan komposisi pencegah jamur biru yang lebih ramah 49 lingkungan.
Aplikasi Komposisi pencegah jamur biru ini dapat mencegah timbulnya jamur biru pada kayu/bambu, khususnya yang baru ditebang/segar, lebih khusus pada kayu yang sangat rawan terserang jamur biru, seperti kayu karet. Komposisi pencegah jamur biru ini memiliki tingkat efektifitas pencegahan hingga 100%. Produk ini dapat dimanfaatkan oleh semua industri kayu.
Aplikasi Lanjutan
Pengujian Jamur Biru
Tantangan
Keterangan
Sosialisasi dan produksi massal diperlukan dalam pemasyarakatan produk ini. Hal ini dikarenakan, jumlah komoditas yang memerlukan komposisi pencegah jamur biru ini sangatlah melimpah, antara lain bersumber dari peremajaan tanaman karet yang sangat melimpah jumlahnya.
Peneliti Unit kerja
: Barly : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah Status IPTEK : Telah didaftarkan paten dengan no. pendaftaran P 00201300095
50
Pengering Kayu Tenaga Surya
Deskri psi
D
alam suatu proses pembuatan produk dari bahan baku berlignoselulosa, biaya energi terbesar adalah untuk pengeringan. Sinar matahari selama ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengeringan karena tidak adanya sistem dan proses yang mampu merubah energi matahari sebagai sumber panas pengeringan. Invensi ini berhubungan dengan sistem dan proses yang mampu meningkatkan intensitas sinar matahari sehingga pemanfaatannya bisa maksimal untuk pengeringan. Pengering Kayu dengan Tenaga Surya
Sistem pengeringan ini terdiri dari bagian penyerap sinar matahari, wadah penyimpan air, bagian penghantar panas, sarana pendistribusian panas, dan ruang pengering. Sistem pengeringan dilengkapi dengan sarana pemanas tambahan untuk memanaskan air di wadah penyimpan air dan penghisap yang dihubungkan ke ruang pengering. Ruang pengering dari sistem pengeringan ini dapat diisi dengan bahan baku kehutanan maupun bahan baku pertanian. Bagian penyerap sinar matahari dibentuk dari suatu kerangka yang salah satu permukaannya
51
Demplot Pengering di Jepara, Jawa Tengah
Deskri psi Lanjutan dengan bahan lembaran tembus cahaya. Di bawah bahan lembaran tembus cahaya tersebut ditempatkan sejumlah panel yang berfungsi untuk menyerap panas dan kemudian menyalurkannya melalui pipa konektor ke dalam wadah yang juga dilengkapi dengan sarana pemanas tambahan. Penghantar panas dapat dibentuk dari sejumlah pipa yang dibungkus dengan bahan konduktor. Sarana pendistribusi panas akan mendistribusikan panas dari penghantar panas ke dalam ruang pengering. Pendistribusi panas dapat berupa sejumlah kipas (inhaust fan) yang penempatannya berhadapan dengan penghantar panas. Sistem pemanas dari invensi ini selanjutnya dapat dilengkapi dengan sarana penghisap berupa sejumlah exhaust fan yang berfungsi menghisap udara basah yang terdapat dalam ruang pengering. Penghisapan udara basah dari ruang pengering tersebut akan membantu laju pengeringan di ruang pengering.
Aplikasi Sistem pengering panas tenaga surya ini cocok digunakan pada daerah tropis dengan intensitas sinar matahari melimpah. Dapat digunakan oleh industri furniture baik skala kecil maupun menengah. Selain untuk kayu, sistem pengeringan ini juga dapat digunakan untuk rotan, bambu, dan bahan-bahan pertanian dan bahan obat-obatan herbal. Cara pengeringan, kayu atau material yang dikeringkan ditempatkan dalam ruangan pengering. Mekanisme pengeringan dilakukan dengan mengikuti bagan pengeringan masing-masing jenis kayu/material yang dikeringkan.
Tantangan
Keterangan
Memasyarakatkan pengeringan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas produk hasil hutan khususnya kayu merupakan sebuah prioritas, khususnya pada industri kayu bertujuan ekspor. Kerjasama dengan instansi teknis dan industri yang membidangi industri kayu/rotan/bambu dalam menggunakan sistem pengering ini harus terus dipacu, khususnya untuk IKM dan koperasi yang yang memerlukan peningkatan kualitas produknya.
Peneliti Unit kerja
: Efrida Basri : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah Status IPTEK : Telah didaftarkan paten dengan no. pendaftaran P 00201300097
52
Perekat Lignin Deskri psi
P
erekat merupakan salah satu bahan utama dalam industri pengolahan kayu yang menyerap 20–60% biaya. Sampai saat ini, sebagian besar perekat yang diproduksi di Indonesia adalah perekat sintetis yang terdiri dari Urea formaldehida (80%), Fenol formaldehida (10%) dan Melamin formaldehida (10%). Sementara untuk produksi kayu pertukangan (wood working) untuk keperluan struktural atau bangunan dan perkapalan masih menggunakan perekat impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin tipe WBP dari jenis Perekat Tanin dari Kulit Mangium fenol resorsinol Komposisi perekat terdiri atas lignin isolat cair lindi hitam (black liquor) yang berasal dari formaldehida (Phenol Resorcinol Formaldehyde, limbah pulp, larutan NaOH 50% yang dibubuhkan pada lignin isolat cair lindi hitam, PRF) dan resorsinol dan kristal resorsinol teknis. Penambahan formalin dengan konsentrasi 30 sampai formaldehida (Resorcinol 40% sebanyak 0,5 sampai 1.0 mol dilakukan pada saat penggunaan perekat. Formaldehyde, RF).
53
Perekat lignin ini dihasilkan dari limbah pembuatan pulp, lebih hemat dibanding perekat sintetis/ impor, rendah emisi formaldehid, ramah lingkungan dan memiliki daya rekat yang memenuhi syarat.
Perekat lignin berbentuk cair, berwarna coklat gelap, dengan kekentalan 0,8 poise, 27oC, Density 1,16 kg/m3, Kadar padatan 48,95%, 3 jam o pada 135 C dan pH 10,8. Komposisi perekat dari invensi ini yang telah disatukan dengan formalin memenuhi sifat perekatan yang dipersyaratkan dalam Standar Inggris (BS 1204) WBP, ASTM D-905-49 (Uji geser tarik), DIN 68141 dan EN 301.
Deskri psi Lanjutan Komposisi perekat tanpa dicampur dengan formalin dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, misalnya 1 sampai 5 o o tahun. Lebih disukai, penyimpanan komposisi perekat dari invensi ini pada suhu yang berkisar dari 20 C sampai 35 C. Lebih o baik, suhu tersebut berkisar 27 C dalam tempat tertutup.
Aplikasi Perekat lignin dapat digunakan untuk pembuatan kayu lapis, finger joint dan kayu lamina pada berbagai jenis kayu a.l : tusam (Pinus merkusii), kempas (Koompassia malaccensis), keruing (Dryobalanop spp.) dan meranti (Shorea spp.), manii (Maesopsis eminii), tempeas (Teyman-niodendron sympliciodes), waru (Hibiscus tiliaceus), dan bunyo (Triomamalaccensis), jati (Tectona grandis), jabon (Anthocephalus chinensis), sengon (Paraserianthes falcataria), pasang (Quercus sp.atau Lithocarpus sp.), mangium (Acacia mangium), damar (Agathis sp.), gmelina (Gmelina arborea), dan kelapa (Cocos nucifera), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), dan suren (Toona sureni). Kualitas rekat kayu lapis yang menggunakan perekat lignin dari invensi ini memenuhi persyaratan Standar Indonesia untuk kualitas eksterior. Perekat ini dapat digunakan untuk pemakaian pada lantai parquet, galar balok dan konstruksi bagian dalam dinding kapal. Selain kualitas rekat yang tinggi, perekat lignin juga tahan terhadap serangan rayap kayu kering, sehingga dapat digunakan sebagai pelapis kayu. Untuk daya rekat optimum, produk perekatan sebaiknya dikempa dingin 3-8 jam untuk jenis kayu lunak (softwood), dan 10 - 24 jam untuk kayu keras (hardwood), dengan bobot labur sebanyak 150 – 200 g/m2 permukaan (softwood) dan sekitar 75-100 g/m2 permukaan (hardwood).
Tantangan
Keterangan
Mengembangkan perekat lignin yang waktu perekatannya yang semakin singkat. Mendorong berkembangnya industri yang memanfaatkan limbah industri pulp menjadi perekat lignin serta mendorong produksi yang cukup untuk beralihnya sebagian industri kayu menggunakan perekat ini.
Peneliti Unit kerja
: Adi Santoso : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah Status IPTEK : Pengajuan Paten, diujicobakan aplikasinya oleh beberapa industri kayu di Indonesia
54
EMF
Perekat Kayu dari Limbah Merbau yang Alami, Berkualitas dan Ramah Lingkungan
Deskri psi
P
erekat kayu merupakan bahan EMF (Ekstrak Merbau produksi yang memegang peranan penting dan menghabiskan Resorsinol 20-60% biaya produksi dalam industri Formaldehide) kayu komposit. Perekat kayu yang merupakan perekat kayu dipakai industri kayu untuk resorsinol alami yang keperluan struktural atau dibuat dari cairan ekstrak bangunan dan perkapalan saat serbuk gergajian kayu merbau ini menggunakan-perekat sintetis yang dikopolimerisasi dengan yang berasal dari hasil pengolahan minyak bumi yang kristal resorsinol teknis dan bersifat tidak dapat dipulihkan formaldehida pada suhu (non renewable) dan kamar. Penambahan resorsinol penggunaannya dalam formulasi ini dimaksudkan menghasilkan emisi sebagai 'pengumpan' untuk formaldehyde yang mengaktifkan senyawa fenolik dari berbahaya. ekstrak merbau.
Perekat berbahan dasar Contoh produk flooring yang menggunakan perekat resorsinol Dalam proses resorsinol dari limbah pembuatannya, perekat EMF dibuat dalam dua komponen terpisah yaitu: gergajian kayu merbau komponen yang terdiri dari cairan ekstrak merbau yang dibubuhi NaOH merupakan perekat berbahan dasar alami, memiliki kualitas setara dan kristal resorsinol, serta komponen terdiri dari campuran dengan perekat sintetis serta terbebas dari formaldehida dan polivinil alcohol yang berfungsi sebagai emisi formaldehida yang berbahaya sehingga fortifier. Dalam penggunaannya nanti, kedua komponen ini merupakan pengganti sepadan untuk kemudian dicampurkan minimal satu jam sebelum perekat sintetik impor. pemakaian.
55
Aplikasi Perekat resorsinol alami EMF diciptakan untuk pembuatan berbagai produk perekatan kayu tipe eksterior dengan proses kempa dingin (Coldset) untuk penggunaan struktural seperti Glulam, Laminated Veneer Lumber, bambu lamina, balok lamina kelapa, lantai kayu (Parquet flooring) finger joint, dan aplikasi lainnya dalam industri pengolahan kayu. Untuk keperluan pembuatan kayu lamina, perekat digunakan pada kayu dengan kadar air 10–12% dan permukaan diampelas. Pengempaan dilakukan pada suhu kamar selama 1-4 jam. Untuk kayu keras (hardwood) sebaiknya dilakukan pelaburan pada 2 permukaan dengan bobot labur masing-masing sekitar 75-90 g/m2 permukaan, masa tunggu sekitar 5-30 menit. Tekanan kempa minimum 0,5 MPa untuk soft wood, selama 1-3 jam. Minimum 1,0 Mpa untuk hard wood, selama 3-5 jam. Untuk perekatan yang memerlukan kekentalan tertentu, misalnya untuk venir lamina atau papan sambung diperbolehkan untuk mencampurkan ekstender atau bahan pengisi dan/atau pengeras ke dalam EMF-12 ini maksimal 15 % dari berat perekat cairnya. Sifat perekatan memenuhi persyaratan Standar Inggris (BS 1204) WBP, ASTM D-905-49 (Uji geser tarik), DIN 68141 dan EN 301.
Tantangan Proses industri kayu di masa yang akan datang mengarah kepada produk kayu lamina yang membutuhkan perekat dalam jumlah yang sangat besar. Teknik produksi dalam skala besar akan menjadi tantangan dalam pengembangan produk perekat EMF. Mengantisipasi kelangkaan kayu merbau karena eksploitasi, maka penggunaan bagian lain dari pohon merbau untuk pembuatan perekat EMF merupakan sesuatu yang penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber bahan bakunya. Promosi dan sosialisasi produk kepada industry kayu untuk menggunakan produk perekat EMF harus semakin digalakan untuk mengurangi ketergantungan akan perekat impor. Selain itu, peningkatan kesadaran akan penggunaan bahan perekat dari sumber terbarukan yang ramah lingkungan dapat membantu aplikasi perekat ini dalam skala luas.
Keterangan Peneliti : Adi Santoso Unit kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail :
[email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah Info detil : Telah didaftarkan paten dengan no. pendaftaran P 00201300096
56
BIOETANOL dari Biji Mangrove sebagai Pengganti Bensin
Deskri psi
K
risis energi dunia yang melanda Bioetanol dibuat dari biji sebagai akibat semakin tanaman mangrove yang melonjaknya konsumsi bahan mengandung bakar minyak fosil, sementara karbohidrat/pati yang cadangan minyak bumi terus tinggi seperti lindur dan mengalami penurunan. Jika api-api. Bioetanol dibuat dahulu indonesia merupakan dari tepung biji-biji Buah api-api negara exportir, saat ini mangrove dari jenis apiindonesia sudah termasuk api (Avicenia marina) dan lindur (Bruguiera gymnorrhiza) melalui proses hidrolisis sebagai net importir country menggunakan asam, kemudian dipanaskan pada suhu 120 C pada kurun waktu bahan bakar minyak. tertentu dalam keadaan tertutup. Larutan kemudian disaring dan didinginkan. o
Larutan kemudian difermentasi dengan jamur Sacharomyces cereviceae dalam
Teknologi pengolahan fermentor selama beberapa hari. Larutan kemudian didestilasi untuk menyuling karbohidrat/pati dari biji bioetanol yang dapat digunakan sebagai pengganti premium. mangrove menjadi Kombinasi perlakuan terbaik untuk jenis api-api adalah penggunaan konsentrasi merupakan salah satu H SO 10% dengan waktu fermentasi 5 hari, alternatif produksi bahan yaitu menghasilkan volume 144 ml/kg bahan dan konsentrasi bioetanol 43,7%. bakar nabati terbarukan Kombinasi perlakuan terbaik untuk jenis lindur adalah penggunaan konsentrasi untuk menggantikan bensin. H SO 5% dengan waktu fermentasi 3 hari, yaitu menghasilkan volume Jika selama ini produksi 330 ml/ kg bahan dengan konsentrasi bioetanol 34,3%. bioetanol umumnya diambil dari nira, molases dan tebu, maka Bioetanol yang dihasilkan tersebut kemudian dapat dimurnikan lagi hingga mencapai kemurnian bioetanol sebesar 99%. pengolahan dari biji mangrove yang Bioetanol yang dihasilkan memiliki kualitas yang telah sesuai menghasilkan karbohidrat tinggi merupakan dengan standar SNI 7390. alternatif penting penyediaan bahan bakar nabati tanpa mengganggu cadangan makanan bagi 2
4
2
57
4
Aplikasi Alur proses pembuatan bioetanol: BIJI MANGROVE (Seed)
Pengeringan (Drying)
Penggilingan (Grinding)
Tepung Mangrove (Fluor)
Hidrolisis dengan H2SO4 (Hydrolyses)
Pemakaian produk bioetanol dari mangrove adalah untuk mencampur bensin jenis premium sampai maksimum 20% dari total premium. Dengan rasio pencampuran tersebut maka tidak diperlukan perubahan atau tambahan komponen pada mesin otomotive yang menggunakan campuran bioetanol tersebut. Pencampuran bioetanol dengan bensin premium akan meningkatkan bilangan oktan, meningkatkan efisiensi konsumsi bahan bakar sehingga mampu mereduksi konsumsi bensin premium per satuan jarak tempuh.
Fermentasi (Fermentation)
Destilasi (Distillation)
BIOETANOL (Bioethanol)
Teknologi pembuatan bioetanol dari biji mangrove ini juga merupakan bentuk pemanfaatan bahan karbohidrat tanaman mangrove yang tersebar luas sepanjang pantai Indonesia sebagai negara kepulauan.
Tantangan
Keterangan
Inventarisasi untuk menemukan berbagai biji tanaman mangrove dan tanaman hutan yang memiliki kandungan karbohidrat/ pati tinggi diperlukan untuk semakin memberikan banyak alternative bahan baku bioetanol. Selain itu, perlu diupayakan peningkatan skala pengolahan dalam skala yang lebih besar sehingga dapat digunakan oleh masyarakat secara luas. Hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi rencana diaplikasikannya bioetanol pada sektor transportasi di tahun 2010 sebesar 7%, tahun 2015 sebesar 10% dan 2025 sebesar 15%.
Inovator : Unit Kerja : E-mail : Gambar : Status IPTEK :
Sudradjat dan Djeni Hendra PUSTEKOLAH
[email protected] Koleksi Pustekolah Pengajuan Paten (2 draft) untuk bioetanol dari lindur dan api-api.
58
Para Peneliti
59
A. Syaffari Kosasih
Pratiwi
Riskan Effendi
Illa Aggraeni
Chairil Anwar Siregar
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Sudradjat
Maman Turjaman
Nilam Sari
Jamal Balfas
Mohammad Muslich
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Efrida Basri
Adi Santoso
Djeni Hendra
[email protected]
[email protected]
[email protected]
I Wayan S. Dharmawan
Tri Wira Yuwati
Dony Rachmanadi
Beny Rahmanto
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Reni Wahyuningtyas
Erdy Santoso
[email protected]
Abdul Kodir
Budi Narendra
Purwanto Santoso
Nurul Silva
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Barly
Krisdianto
Nurwati Hadjib
[email protected]
[email protected]
[email protected]
60
Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Jalan Gunung Batu No. 5, Po. Box. 165, Bogor 16610, Telp. 0251- 8633234, 520067, Fax. 0251 - 8638111 http://p3hka.litbang.dephut.go.id, puskonser.or.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp. 0251 - 8631238, Fax. 0251 – 7520005 http://p3ht.litbang.dephut.go.id, www.forplan.or.id,
[email protected],
[email protected]
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, Po. Box. 182, Bogor 16610, Telp. 0251 - 8633378 Fax.0251 - 8633413 http://pustekolah.litbang.dephut.go.id, www.pustekolah.org,
[email protected],
[email protected]
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Jalan Gunung Batu No. 5, Po.Box. 272, Bogor 16110, Telp. 0251 - 8633944, Fax. 0251 - 8634924 http://puspijak.litbang.dephut.go.id, www.puspijak.org,
[email protected],
[email protected]
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Yogyakarta 55582, Telp. 0274 - 895954, Fax. 0274 – 896080 http://b2pth.litbang.dephut.go.id, www.biotifor.or.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jalan A. Wahid Syahrani No. 68, Sempaja, Po. Box. 1206, Samarinda, Kalimantan Timur, Telp. 0541 - 206364, Fax. 0541 - 742298 http://b2pd.litbang.dephut.go.id, www.diptero.or.id,
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Aek Nauli Jalan Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Parapat , Sumatera Utara 21174, Telp. 0625 - 41659, Fax. 0625 – 41659 http://bpk-aeknauli.litbang.dephut.go.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok Jalan Raya Bangkinang Kuok Km. 9, Bangkinang, Riau 28294 Telp. 0762 - 7000121 Fax. 0762 – 7000122 http://bphps-kuok.litbang.dephut.go.id, www.balithut-kuok.org,
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Palembang
61
Jalan Kol. H. Burlian Km. 6,5 Kotak Pos 179, Punti Kayu, Palembang, Telp. 0711 - 414864, Fax. 0711 - 414864 http://bpk-palembang.litbang.dephut.go.id, www.bpk-palembang.org,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor Jalan Raya Ciheuleut Po. Box. 105, Bogor 16001, Telp. 0251 - 8327768, 8380065, Fax. 0251 - 8327768 http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id,
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis Jalan Raya Ciamis - Banjar Km. 4, Ds. Pamalayan, Ciamis, Jawa Barat 46201, Telp. 0265 - 771352, Fax. 0265 - 775866 www.bptaciamis.dephut.go.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Solo Jalan Jend. A. Yani Pabelan Kotak Pos 295, Surakarta 57012 Telp. 0271 – 716709 Fax. 0271 - 716959 www.bpk-solo.litbang.dephut.go.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Mataram Jalan Dharma Bhakti No. 7 Po.Box. 1054, Ds. Langko Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB 83371, Telp. 0370 - 6573874, Fax. 0370 - 6573871 http://litbang-hhbk.org,
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Kupang Jalan Untung Surapati No. 7. PO. Box. 69, Kupang, NTT 85115, Telp. 0380 - 823357, 831068, Fax. 0380 - 831068 http://bpk-kupang.litbang.dephut.go.id, www.foristkupang.org,
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Banjarbaru Jalan Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721, Telp. 0511 - 4707872, Fax. 0511 - 4707872 http://foreibanjarbaru.dephut.go.id, www.foreibanjarbaru.or.id,
[email protected]
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Samboja Jalan Sukarno Hatta Km.38, Samboja, Po. Box 578, Balikpapan 76112, Telp. 0542 – 7217663, Fax. 0542 – 7217665 http://balitek-ksda.litbang.dephut.go.id ; http://balitek-ksda.or.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Manado Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas, Po. Box 1390, Kec. Mapanget, Manado 95119, Telp. 0431 - 3666683, Fax. 0431 - 3666683 http://bpk-makassar.litbang.dephut.go.id, www.balithutmakassar.org,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Makassar Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar 90243, Telp. 0411 - 554049, Fax. 0411 - 554058 http://bpk-manado.litbang.dephut.go.id,
[email protected],
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan, Manokwari Jalan Inamberi, Pasir Putih, Manokwari, Papua Barat 98131, Telp. 0986 - 213437, 213440, Fax. 0986 - 213441, 213447 http://bpk-manokwari.litbang.dephut.go.id, www.balithutmanokwari.com,
[email protected],
62
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. 11, Jl. Gatot Subroto - Jakarta 10270 T: 021-5734333 F: 021-5720189 E:
[email protected]
W: www.forda-mof.org