DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
• •t
'.
:
.. '. •
..
.
.. ••
I.
.. .. "
...
.
.
DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN Kampus Balitbang Kehutanan JI. Gunung Batu Nomor 5, PO BOX 331, Bogor 16610 Telepon (0251) 631238; Fax. (0251) 7520005 E-mail :
[email protected]
Pendahuluan ana man kayu putin (Me/a/euca caJuputl subsp. cqfuputi atau dalam literatur
T
lama sering juga disebut dengan Metaleuca Jeucadendron {Doran and Turnbull 1997)) merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting
bagi industri m inyak atsiri. Minyak kayu putih mengandung 1,8 cineote, yang
merupakan salah satu
jen i~
monoterpenes dari jenis monocyctic, dalam jumlah
besar {15-60 96) yang mempunyai fungsi pengobatan (Turnbull 1986, Boland et at. 1991). Disamping itu j uga mengandung sesqwpentene atconots gtobutot, viridif/orotdan spatnLJ/enot sebagai minyak esensial utama (Brophy and Doran 1996) Berdasarkan sebaran alaminya, jenis ini dibagi menjadi tiga subspecies, yaitu : 1). subsp. caJuputi Powell tumbuh di bagian barat daya Australia dan Indonesia bagian timur (Kepulauan Maluku dan Timar), 2). subsp. cumingiana Barlow tumbuh di bagian barat Indonesia (sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan bagian selatan), Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam, dan 3). Subsp. platyphylla Barlow tumbuh di bagian utara Queensland/ Australia, bagian barat laut Papua New Guinea, bagian selatan lrian Jay a, Kep. Aru dan Kep. Tanimbar (craven dan Barlow 1997). Seba ran alam jenis tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
.,-
A M~)lfPllii
• !M"-"lft!pm/' Jlrtl/:jft(pllii
c
GamtxJr I.
Persebaran a/am Melaleuca cajuputi
Minyak kayu putih umumnya mengandungt,8-cineo/e (3%-6096), dan sesquiterpene atconots gtobU/ot (trace-9%), viridiflorol (trace-16%) and spatnutenot (trace-30%). Komponen lain yang dikandung dalam jumlah kecil adalah limonene (trace-5%), -caryopny11ene (trace-4%), numU/ene (trace-2%), viridiflorene (0.5%-9%),
-terpineot
(1%-8%), - dan -selinene (masing masing 0%-3%) dan caryopnyllene oxide (trace-7%). Rendemen minyak bervariasi dari 0.4% sampai 1.2% (w;w %, berat basah).
Pendahu!uan
Subspecies cajuputi adalah penghasil minyak kayuputih dengan kadar 1,8 cineole dan rendemen yang tinggi, s edang subspecies lainnya yaitu cumingiana and p/atyphyl!a, menghasilkan minyak dengan kadar cineole rendah. Di daerah Kalimantan Selatan dan sumatera Selatan subspecies cumingiana dikenal sebagai gelam dan kayunya banyak digunakan untuk keperluan bangunan. lndustri minyak kayuputih di Indonesia tumbuh dari dua sumber bahan baku utama, yaitu tegakan alam Me/a/euca cajuputi subsp. cajuputi di Kep. Maluku, yaitu di pulaupulau Ambon, Buru dan seram, dan tanaman kayuputih di Jawa. Tanaman kayuputih di Jawa mulai ditanam sejak tahun 1926 menggunakan benih dari P. Buru. Hingga kini luas tanaman tersebut telah mencapai lebih dari 18,000 ha yang sebagian besar bearada di wilayah Perum Perhutani. sentra industri minyak kayu putih milik Perum Perhutani kini tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan produksi tahunan mencapai 300 ton. Angka ini adalah separuh dari perkiraan total produksi seluruh dunia. Sebelum devaluasi rupiah, nilai produksi tahunan tersebut adalah setara dengan US$ 3 juta (nilai tukar tahun 1997). Di Kepulauan Ambon, menurut keterangan pengusaha penyulingan minyak kayu putih, produksi tahunan mencapai 90 ton dengan bahan baku dari tegakan a lam (Gunn et al. 1997).
Peremajaan tanaman lama, dan penanaman untuk perluasan areal terus dilakukan di sentra tanaman kayuputih dengan menggunakan benih dari pohon benih yang ada di areal tanaman tersebut. Karena mutu genetik sumber benih tersebut rendah, maka produktivitas tanaman yang dihasilkannyajuga rendah dan akibatnya produksi minyak kayuputih juga rendah. Dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, upaya untuk meningkatkan produktivitas minyak kayuputih menjadi terasa lebih penting lagi, karena kebutuhan minyak kayuputih dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh pasokan dari pabrik penyulingan yang ada di Jawa maupun di Kepulauan Maluku. Menurut informasi industri pengepakan minyak kayu putih/ industri farmasi kebutuhan minyak kayu putih dalam negeri mencapai 1500 ton per tahun. sementara itu suplai tahunannya hanya sebesar 400 ton. Kekurangan sebesar lebih dari 1000 ton diperoleh dari import minyak ekaliptus dari China. Minyak ekaliptus memang mempunyai kandungan 1,8 cineo/e yang tinggi > 70% (Boland et a/1991).
Mengingat peran penting minyak kayuputih bagi industri farmasi di Indonesia dan akibat semakin menurunnya produktivitas tegakan kayuputih, sejak tahun 1995 program pemuliaan tanaman kayuputih mulai dilaksanakan. Program pemuliaan M. cajuputi subsp cajuputi ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman
kayu putih melalui seleksi untuk mencari individu atau famili pohon dengan kadar 1,8 cineo/e dan rendemen tinggi.
lndustri Minyak Kayu Putlh
strategi Pemunaan
2.1 Pembangunan populasi dasar/populasi breeding Mela/euca cajuputi di Jawa 2.1.1
Eksptorasi benih M. cajuputi
Eskplorasi benin atau koleksi benin M. cajuputi merupakan langkan awal dalam membangun populasi dasar di Jawa. Kegiatan koleksi benin tersebut dilaksanakan di sebaran alam M. cajuputi di Kepulauan Maluku dan tegakan tan am an M. cajuputi di Jawa. Dari nasil k(lleksi benih tersebut dipero1en benin dari ponon induk-ponon induk yang baik untuk dijadikan materi dalam pembangunan populasi dasar.
2.1.2 Kebun benih ujl keturunan M. ca)uputi sl
Dalam perkembangannya kebun benih Gundih tidak dapat difungsikan sebagai pot uji keturunan karena kerusakan tanaman. Sebagai gantinya dibangun kebun uji keturunan di Cepu (denganjumlah famili yang lebih kecil). Materi benih yang digunakan adalah 97 famili dimana 82 famili berasal dari 6 sumber benih (provenansi) dan 15 famili lainnya berasal dari 15 klon dari \
15 famili terbaik dari kebun benih minor. Rancangan uji ini menggunakan RCBD dengan 4 ulangan, jumlah plot 6 pohon berbentuk empat persegi panjang (3 x 2), dan jarak tanam 2 meter searah kolom
~i f. . J.
...
' l
....
I>
'
J
dan 3 meter antar baris.
2.1.4 Kebun benih uji keturunan generasi kedua Pembangunan kebun benih ini ditujukan untuk lebih meningkatkan kualitas genetik benih yang telah dihasilkan dari kebun benih generasi pertama. Selain itu juga bertujuan untuk menggabungkan potensi genetik yang ada di kebun benih Paliyan dan kebun benih Ponorogo, serta benih hasil persilangan terkendali Clari pohon plus di kebun Ponorogo.
2.1.5 Klonal test Apabila kandidat pohon plus untuk perbanyakan vegetatif telah ditentukan, perlu dilakukan uji klonal terhadap pohonpo hon kandidat tersebut. Tujuannya adalah untuk nienilai secara obyektif kinerja klon-klon unggul tersebut. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kineja
ramet
dari uji keturunan tidak selalu
sebaik
ortetnya (pohon
induknya). Uji klon
dilakukan di Paliyan Gunung Kidul.
lndustri Minyak Kayu Putih
2.1.6 Kebun benih klonat Kebun benih klon dibangun guna mendapatkan seluruh potensi genetik yang ada pada pohon plus. Ramet hasil perbanyakkan secara grafting diperoleh dari pohon plus yang ada di kebun Paliyan, Ponorogo dan Cepu.
2.2 Seleksi Seleksi pohon unggul pada kebun benih uji keturunan dilakukan melalui tahapan berikut: 1. Seleksi pertama adalah di dalam plot sebesar so% menyisakan
3 pohon terbaik dari 6 pohon, aka_n dilaksanakan pada umur 12 bulan dengan menggunakan kriteria pertumbuhan. 2. Seleksi kedua adalah menghilangkan 10
%
famili tejelek dan
seleksi di dalam plot yaitu menyisakan 1 pohon terbaik, akan dilaksanakan pada umur 17 bulan dengan menggunakan kriteria kadar
cineote dan rendemen minyak.
2.3 Persilangan Persilangan antara pohon pohon unggul dimaksudkan untuk lebih meningkatkan mutu genetik tanaman kayu putih. Persilangan dilakukan dengan memperhatikan sifat kandungan minyak dan rendemennya. Hasil persilangan full-sib ini selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk pembuatan kebun uji keturunan fuJl-sib.
2.4 Uji perolehan genetik M. cajuputi hasil seleksi uji keturunan F-1 Menguji peningkatan atau perolehan genetik produktivitas biomas, kadar 1,8-cineo/e %, dan rendemen minyak bila dibandingkan dengan hutan tanaman produksi. Dengan adanya uji tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi perolehan genetik dan kinerja pertumbuhan tanaman hasil seleksi, dan memberikan rekomendasi penggunaan benih unggul pada areal tanaman produksi baik di Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Prop. D.I. Yogyakarta, maupun lainnya.
•
Karal
3.1 Sistem perl<.awinan/persilangan (breeding system) 1. Bungan!:la bersifat protandrous, artin!:la tepung sari jatuh sebelum stigma
siap dibuahi, sehingga terjadin!:la pen\:jerbukan sendiri sangat kecil. serangga sebagai agen pen\:jerbukan, meskipun bungan!:Jajuga dikunjungi oleh burung. Pada Mela/euca cajuputisubsp. cajuputibunga dihasilkan secara terus menerus selama musim berbunga, sehingga besar kemungkinan terjadi selfing dalam satu t ajuk karena bunga pada setiap pohon tumbuh pada waktu !:Jang berlainan. 2. Genus Mela/euca tergolong outcrossed. Pada jenis Melaleuca alternifolia nilai outcrossing rate berdasarkan analisis isoz\:jmes terhadap populasi E11am adalah diatas 90% (Butcher et al. 1992). lnformasi tentang outcrossing rate padajenis M. cajuputibelum diketahui. Oleh karenan\:ja perlu mempertahankan keragaman genetik !:Jang luas pada setiap generasi untuk meminimalkan pen\:jempitan keragaman genetik serta efek negatif inbreeding.
3.2 Pembungaan dan produl<.si bUI 1. Pohon M. cajuputi subsp. cajuputi mulai berbunga pada umur 13 - 14 bulan.
Didaerah dengan curah hujan tinggi seperti di Jawa pembungaan dapat terjadi sepanjang tahun, m eskipun puncakn!:la terjadi pada bulan Maret. 2. Tenggang waktu antara anthesis hingga biji masak berkisar antara 7-8 bulan.
Potensi Pengembangan lndustri Minyak Kayu Putih
3. Dengan teknik persemaian yang tepat, biji sebanyak 1gram dpt menghsilkan antara 6000 -8000 bibit ..
3.3 Penyerbukan buatan 1. Teknik penyerbukan buatanjenis ini dapat menerapkan teknik yang digunakan
untukjenis ekaliptus, sebagaimana diuraikan oleh Moncur (1995). 2. Penyerbukan terkendali skala kecil direkomendasikan untuk rencana pemuliaan ini, khususnya untuk menghasilkan galur elite. untuk skala poduksi biji masal teknik ini tidak cocok karena rumit dan mahal.
3.4 Pembiakan vegetatif Pembiakan vegetatif masal dengan stek dapat dilakukan untuk M. cajuputi subsp. cajuputi. Sek dapat berasal dari akar atau pucuk. Cara lain \:jang dapat dilakukan adalah dengan sambungan (grafting). sementara itu upa\:Ja untuk mengembangkan teknik pembiakan vegetatif \Jang lebih efektif perlu diupa\:Jakan mengingat keunggulan cara pembiakan ini dalam memanfaatkan seluruh potensi genetik \:jang ada .. Melalui pembiakan vegetatif akan dapat dicapai peningkatan genetik a\:jng lebih baik dari pada dengan biji dari kebun benih hasil pen\:jerbukan alam (Shelbourne J992).
3.5 Keragaman genetik 1. Uji provenansi yang lengkap hingga kini belum pernah dilakukan. Dari hasil uji
provenansi yang ada, seperti di Vietnam (Huang Chuong et al. 1996) didapati bahwa keragaman yang nyata antar provenansi dalam pertumbuhan dan daya hidup. Keragaman kandungan minyak juga sangat nyata baik didalam provenansi maupun antara provenansi. Konsentrasi jenis minyak juga berhubungan dengan sumber provenansinya. 2. Untuk membangun populasi dasar M. cajuputisubsp. cajuputidirekomendasikan agar digunakan hanya benih yang berasal dari daerah yang sesuai, tumbuh cepat dan kandungan minyak cineole tinggi.
Karaktenstik 8otani
Hasil-hasil Pemunaan 4.1 Kebun benih minor Kebun benih uji keturunan !dang pertama dibangun di petak 95 BDH Palildan Gunung Kidul pada bulan Maret 1998. Uji keturunan ini terdiri dari 20 famili. Rancangan lapangan adalah RCBD dengan 10 ulangan, masing masing ulangan terdiri dari 10 tree plot. Seleksi tahap pertama dilakukan pada bulan April 1999 berdasarkan sifat pertumbuhan tanaman. Sebanldak 50% dari pohon !dang menampakkan pertumbuhan !dang rendah ditebang. Seleksi tahap kedua dilakukan pada bulan April 2000 berdasarkan sifat minldak 1,8
cineote.
Sedangkan hasil evaluasi pada umur 23 bulan kebun benih uji keturunan tersebut adalah sebagai nerikut :
1. Rendemen
minyak yang paling tinggi dihasilkan oleh
provenan grup dari P. Ambon yaitu rata-r ata sebesar 2,1 % sedangkan rendemen minyak yang paling rendah dihasilkan oleh provenan grup dari Northern Territory yaitu sebesar 1,5 %. semua provenan grup yang diuji mempunyai rendemen
minyak di atas rendemen m inyak dari Gundih set:>agai kont rol yaitu 1,4 %. Penelitian yang dilakukan oleh Brophy and Doran (1996) menyebutkan bahwa rendemen m inyak dari jenis M. cajuputi berkisar 0,4 % - 1,2 %. 2. Kadar 1,8-cineo/e minyak kayu putih tertinggi pada kebun benih tersebut ditampilkan oleh provenan dari Northern Territory .Australia, dan terendah dari western Australia. Disisl
lain
Northern
Territory
tersebut
mempunyai
rendemen minyak yang paling rendah. Ber dasarkan data di atas, maka disimpulkan bahwa beberapa provenans mempunyai keunggulan sifat tertentu.
mbanganlndustri Minyak Kayu Putih
3. Provenan grup dalam menampilkan suatu sifat merupakan hasil rata-rata dari beberapa famili di dalam provenan tersebut, sehingga walaupun suatu sifat dari provenan rendah, namun kemungkinan ada famili-famili di dalam provenan tersebut menampilkan suatu sifat \:jang lebih tinggi. Sebagai contoh
..
famili nomor 2 dari provenan grup P. Buru mempun\:jai kadar 1,8-cineote 60,2 %, namun provenan grup tersebut han\:ja mempun\:jai kadar 1,8-cineote 51,7 %.
Sehingga dalam seleksi \:jang dilakukan bukan seleksi provenan tetapi seleksi antar famili. 4. Kinerja sifat min\:Jak dari famili-famili pada kebun benih M. cajuputi di Pali\:jan berbeda dengan pohon indukn\:Ja dihutan alam, bahkan ada \:jang lebih rendah. Namun demikian bila dilihat data secara individu pohon di dalam famili, maka ada individu pohon \:Jang mempun\:Jai sifat rendemen min\:Jak \:jang tinggi sampai 4,78 % dan kadar 1,8-cineotesampai 73,9 %. Hal ini menunjukkan bahwa dari beberapa individu pohon hasil keturunan pohon induk dihutan alam tetap mempun\:jai mempun\:jai probabilitas sifat \:jang lebih baik dari indukn\:Ja. Estimasi korelasi genetik dan korelasi penotipik antara ke empat sifat yang diteliti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Korelasi genetik (rg) dan penotipik (rp) di antara 4 sifat di kebun benin l..lii keturunan M. cajuputi di Paliyan umur 2 tanun (susanto et al 2003).
0
Sifat
Tinggi (cm) Diameter @ 30 cm (cm) Kadar I ,8-cineole %
Diameter
Kadar 1,8-cineole percent
Rendemen M inyak
fN/W%DW)
rg
rp
rg
rp
rg
rp
0,95
0,81
-0,06
O,Q7
0,10
- 0, 18
-0,07
0,01
0,01
- 0, 15
- 0,25
0,18
Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa korelasi genetik antara tinggi pohon dengan diameter sangat tinggi dan positip, hal tersebut biasa terjadi pada pohon, karena pertumbuhan tinggi akan diikuti oleh pertumbuhan diameter. Doran eta/. (1997)juga menemukan korelasi genetik yang tinggi dan positip antara tinggi dengan diameter yaitu sebesar 0,76 pada uji keturunan M. atternifoliadi Australia. Korelasi yang positip tersebut sangat menguntungkan pada program pemuliaan yang mengandalkan seleksi, karena dengan memperbaiki sifat tinggi otomatis juga memperbaiki
sifat diameter. Korela si genetik yang positip juga terlihat antara pertumbuhan dengan rendemen minyak, sehingga dalam seleksi tidak terjadi masalah antara pertumbuhan dengan rendemen minyak. Korelasi genetik antara pertumbuhan (tinggi dan diameter) dengan kadar 1,8-cineole negatip, korelasi yang negatip sangat tidak menguntungkan dalam memuliakan kedua sifat antara pertumbUhan dengan kadar 1,8-cineo/e karena akan menghasilkan kebalikan, yaitu memperbaiki sifat pertumbuhan berarti menurunkan kadar 1,8cineo/e. Nilai korelasi genetik antara pertumbuhan dengan kadar 1,8-cineote terse but
negatip namun sangat kecil atau dapat dikatakan tidak ada korelasi, sehingga tidak bermasalah dalam memuliakan secara bersama-sama antara pertumbuhan dengan kadar 1,8-cineo/e. Meningkatkan kadar 1,8-cineole tidak akan berpengaruh negatip terhadap pertumbuhan. Korelasi genetik antara rendemen minyak dengan kadar 1,8-cineo/e terlihat negatip yaitu - 0,25. Korelasi negatip tersebut karena sifatnya merugikan dalam program pemuliaan, apabila memuliakan rendemen minyak maka kadar 1,8-cineote akan menurun. Strategi seleksi yang dilakukan harus sangat hati-hati, sehingga dalam seleksi kita akan menggunakan nilai indek, sehingga tidak akan membuang individu pohon yang memiliki rendemen minyak yang sangat tinggi, tetapi memiliki kadar 1,8-cineole yang sangat rendah. Namun di uji keturunan M. a/ternifo/ia di Australia korelasi genetik antara sifat pertumbuhan rendemen minyak ditemukan negatip sedangkan antara rendemen minyak dengan kadar 1,8-cineo/e berkorelasi positip (Doran et al. 1997). Korelasi genetik nilainya berbeda dengan korelasi penotipik, bisa keduanya positip, tetapijuga bisa satu positip dan lainnya negatip. Sebagai contoh antara pertumbuhan dengan rendemen minyak, untuk korelasi genetiknya negatip tetapi untuk kore lasi penotipiknya positip. Besar nilai korelasi jug a berlainan, korelasi genetik dapat lebih tinggi dari pad a korelasi penotipik, tetapi juga dapat sebaliknya. Adanya perbedaan nilai tersebut, karena pada sifat penotipik merupakan perpaduan antara genetik dengan lingkungan. Estimasi perbaikan atau perolehan genetik dari tinggi pohon, diameter, rendemen minyak dan kadar 1,8-cineo/e disajikan pada Tabel 2. Nilai intensitas seleksi diperoleh dengan menggunakan tabel seleksi berdasarkan ju mlah famili yang diuji dan besarnya nilai heritabilitas.
Potensi Pengembangan lndustri Minyak Kayu Putih
Tabel 2. Estimasi perolehan genetik dari 4 sifat di kebun benih uji ketrunan M. cajuputi di Paliyan umur 2 tahun (susanto et al 2003).
T inggi (m)
2,5
I, 163
0,74
0,38
15
Diameter (cm)
2,9
I, 163
1,14
0,58
20
50,8
I, 163
71,61
5,3
10
1,7
I, 163
0,59
0,36
21
Kadar 1,8-cineo/e % Rendemen Minyak
('N!W% DW) Keterangan : a 2P = varian penotipik, !J.G
= perolehan genetik
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa prediksi perolehan genetik untuk ke-empat sifat tersebut besarnya antara 10 - 21 %. Perolehan genetik yang paling besar adalah rendemen minyak yaitu sebesar 21 %, artinya dengan seleksi yang akan diterapkan pada uji keturunan maka akan menaikkan rendemen minyak sebesar 21 % dari nilai rata-rata sebelum dilakukan seleksi. Jadi bila pada penanaman tegakan M. cajuputi menggunakan benih dari kebun benih semai hasil konversi uji keturunan tersebut, maka tanaman tegakan M. cajuputitersebut akan menghasilkan rendemen minyak rata-rata 2,06 % (1,7 % • 0,36 %). PErolehan genetik rendemen minyak sebesar 21 % tersebut lebih tinggi dari perolehan genetik rendemen minyak pada uji M. atternifolia di Australia yaitu sebesar 17 % (Butcher, 1996). Perolehan genetik pada kadar 1,8cineole hanya 10 % dari rata-rata di uji keturunan, sehingga bila tegakan tanaman M. cajuputih menggunakan benih dari kebun benih semai hasil konversi Uji keturunan tersebut, maka tegakan M. cajuputi tersebut akan menghasilkan kadar 1,8-cineole rata-rata 56, 1 %. Perolehan genetik kadar 1,8-cineole sebesar 10 % jug a ditemukan pada Uji keturunan M. atternifotia (Butcher et at. 1996).
4.2 Kebun benlh utama Kebun benih uji keturunan utama dibangun di KPH Gundih, KPH Madiun dan KPH cepu. Uji keturunan ini terd iri dari 82 famili yang berasal dari provenansi Maluku, Gundih dan Ponorogo Uji keturunan di Gundih dan Ponorogo dibangun pada bulan Maret 2000, sedangkan di Cepu dibangun pada bulan Pebruari 2002. Karena gangguan hama kebun benih Gundih tidak dapat difungsikan sebagai uji keturunan.
Hasil-ha~il
Pernuliaan
Seleksi akhir uji keturunan di Ponorogo telah dilakukan dengan meninggaJkan satu pohon terbaik dalam setiap famili dan menghilangkan 20 famili terjelek ( sisa famili dalam kebun benih sebanyak 62). Hasil analisis rendemen minyak dan kadar 1,8 cineole menunjukkan telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kebun benih Paliyan. Rata-rata rendemen kebun benih Ponorogo sebesar 4.78%. Kebun benih Ponorogo kini telah siap memenuhi kebutuhan benih ungguJ kayu putih untuk kebutuhan dalam Skala operasional.
4.3 Persnangan pohon plus Persilangan terkendali antara pohon pohon plus di kebun benih Paliyan dilakukan untuk memperoleh keturunan full-Sib. Dari persilangan ini diperoleh 39 kombinasi persilangan dari 9 pohon plus.
Benih hasil persilangan ini digunakan untuk pembangunan uji keturunan full sib pada tahun 2004. Evaluasi terhadap uji keturunan ini tengah berlangsung. Persilangan juga telah dilakukan terhadap pohon-pohon plus di kebun benih Ponorogo.
4.4 UJI perolehan genetlk · Petak uji perolehan genetik telah dibangun pada musim tanam awal 2007 di Sukun Ponorogo. Materi genetik untuk uji perolehan genetik ini berasal dari benih hasil persilangan alami pohon pohon plus di kebun benih Paliyan, benih dari seluruh pohon yang ada di kebun benih Paliyan, benih awal famili di kebun Ponorogo dan benih biasa ( dari tegakan Perhutani di Gundih dan Ponorogo ).
Potemi Pengemhangan lndustri Minyak Kayu Putih
· ~
P
enanaman kayu putih pad a areal Perum Perhutani maupun Dinas Kehutanan Propinsi DIY sejauh ini hanya menggunakan benih yang berasal dari pohon-pohon penghasil benih (seed trees) di areal tegakan
kayu putih yang telah ada . Penunjukan pohon benih ini hanya berdasarkan karakteristik fenotipe saja, sama sekali belum memperhat ikan faktor genetik.
sumber benih seperti tersebut di atas dalamjangka panjangjelas merugikan karena potensi produksinya masih rendah. Data dari berbagai pabrik kayu putih yang ada di lndramayu, Gundih, Paliyan-Gn Kidul, dan Ponorogo menunjukkan bahw a rendemen berkisar antara 0.80 - 1.00, sedangkan kadar 1,8-cineo/e nya berkisar antara 55% 65%. saat ini peningkatan produktivitas tanaman ini telah diupayakan melalui upaya perbaikan sifat genetik (rendemen dan kadar 1,8-cineote), sehingga dapat diperoleh sumber benih yang telah termuliakan. Permasalahan benih untuk pengembangan penanaman kayu p utih dengan produktivitas yang tinggi saat ini bukan merupakan kendala Iagi. Upaya penyediaan benih unggul kayu putih telah dilakukan dengan pembangunan kebun uji keturuna n yang selanjutnya dikonversi menjadi kebun benih. Hingga saat ini tela h dibangun 4 kebun benih kayu putih yang terletak di Paliyan, Ponorogo, Cepu dan Gundih yang telah menghasilkan benih unggul. Berdasarkan analisa kadar minyak 1,8 cineole dan rendemennya , kebun benih tersebut berpotensi menghasilkan tanaman dengan kadar minyak 1,8 cineole sebesar 65% - 73% dan rendemen minyak set5esar 2,05%-
Dari total luasan
3 ha , kebun benih tersebut mampu memproduksi benih
3 kg
per tahun. oengan viabilitas benih sebesar 80%, dalam setiap 1 gram benih ratarata mampu menghasilkan 6000-8000 bibit kayu putih. oengan jarak tanam awal 3 x 1 m, maka kebutuhan benih untuk penanaman per ha ialah 3300 bibit. oengan demikian, kebun benih ini mampu untuk mencukupi penanaman kayu putih seluas lebih dari 5,400 ha setiap tahunn\:ja. Kemampuan ini jelas telah melebihi kebutuhan untuk penanaman bibit ka\:JU putih yang diperlukan oleh Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan Propin s i DI Yogyakarta, sehingga ada peluang kepada pihak lain yang ingin mengembangkan komoditi kayu putih unggut.
I
lndustr1 i Minyal< 1 Kayu Putih
/@?
asar domestik minyak kayuputih dipenuhi dari Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Propinsi DIY, industri rakyat di Kep Maluku dan beberapa sumber kecil lainnya. Perum
!
Perhutani mengoperasikan pabrik penyulingan minyak kayuputih yang terpadu
dengan areal tanaman kayuputih yang keseluruhannya mencapai 1uas 18,000 ha. abrik-pabrik Perum Perhutani terdapat di wilayah KPH lndramayu, KPH Gundih, PH Madiun, dan KPH Mojokerto. Hasil minyak kayuputih dari Perum Perhutani diperkirakan mencapai 300 ton per tahun. Sedangkan di Dinas kehutanan DIY produksi tahunannya mencapai 50 ton. Dinas Kehutanan Propinsi DIY mengoperasikan 2 pabrik penyulingan besar di sendangmole dan Gelaran. Selain itu juga mengoperasikan 3 pabrik penyulingan skala kecil yang terletak di Dlingo, Kediwung, sremo. suplai bahan baku diperoleh dari tanaman kayuputih yang dikelola sendiri oleh Dinas Kehutanan DIY seluas 4 000 ha .
Di kepulauan Maluku luas tanaman kayu putih diperkirakan mencapai 120. ooo ha.
Tanaman yang berupa tegakc;ln alam ini digunakan sebagai bahan baku industri minyak kayu putih. Penyulingan skala rumah tangga dilakukan dengan menggunakan kete l-ketel tradisional. Terdapat kurang Jebih 100 unit penyulingan kecil dengan kapasitas 160 kg daun. Tota\ produksi minyak kayu putih di kepuJauan Maluku kurang Jebih mencapai 196 ton/th. Dari ketiga daerah penghasil minyak kayu putih, kepulauan Maluku merupakan penghasil utama minyak kayu putih. Kesenjangan antar persediaan dan permintaan sebesar Jebih dari 1000 ton merupakan peluang untuk mengembangkan industri minyak kayu putih di dalam negeri. Peningkatan produksi minyak kayu putih akan dapat terwujud bila komponen tanaman dan pabrik penyulingan melakukan revitalisasi. Upaya merevitalisasi industri minyak kayu putih harus dimulai dari hutan tanaman kayu putih. Dengan tersedianya benih unggul tanaman kayu putih maka peremajaan tanaman tua akan dapat dilakukan dan d iharapkan pada akhirnya Juasan tanaman kayu putih akan dapat ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan industri farmasi dalam negeri dan pasar ekspor.
Poter.s Pengem argan lndustri MlnJ UaJU Putih
Pasar dan Ke1aya1
erbagai sumber men\:jebutkan bahwa kebutuhan min!:Jak ka!:JU putih dalam negeri belum dapat dipenuhi dari sumber sendiri. Oalam tiap tahunn\:ja terdapat kekurangan min\:jak ka!:JU putih sebesar 1000 ton. Selama ini kekurangan ini dicukupi dengan mengimpor min\:jak eukaliptus dari Cina. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarn\:ja peluang untuk pengembangan industri min\:jak ka!:JU putih masih terbuka lebar. Tetapi ken!:Jataann!:Ja usaha budida!:!a tanaman ka!:JU putih masih sangat memprihatinkan. Rendahn!:Ja harga jual daun ka!:JU putih men!:Jebabkan petani enggan untuk menanam ka!:JU putih di lahan mereka. Harga jual daun ka\:ju putih selama ini han\:ja didasarkan pada ongkos petik daun ka!:JU putih dan bia\:ja transport dari lokasi pemetikan ke pabrik pengolahan, sedangkan bia!:Ja budida!:Ja tanaman ka!:JU putih tidak diperhitungkan. Di lain pihak, keuntungan dari harga jual min!:Jak ka!:JU putih selama ini lebih dinikmati oleh industri pen!:JUlingan dan pengemas min\:jak. Kondisi seperti ini jika dibiarkan terus menerus dapat mematikan industri min!:Jak ka!:JU putih itu sendiri. Menurut studi \:jang dilakukan oleh Astana (2005), rendemen min!:Jak ka!:JU putih merupakan salah satu faktor penting \:jang menentukan laba-rugi industri ini. Selama ini industri pen!:Julingan min!:Jak ka!:JU putih, baik !:Jang diusahakan oleh rak!:Jat, Perum Perhutani maupun Dinas Kehutanan Propinsi DI Yog\:jakarta memberikan nilai \:jang rendah terhadap harga daun ka!:JU putih. Harga daun han\:ja didasarkan pada perhitungan upah pemetikan dan pengakutan ke pabrik pen\:julingan, dan berkisar antara Rp 90 - Rp 215 per kg. Oleh sebab itu meski rendemenn!:Ja rendah (maksimum 1%) usaha pen!:Julingan tetap menguntungkan. Akibat dari rendahn!:Ja harga daun ini maka tidak ada insentif bagi industri ini untuk mengembangkan tanaman ka\:ju putih. Upa!:Ja peremajaan tanaman ka!:JU putih berlangsung sangat lambat dan dilakukan han\:ja untuk mempertahankan luas areal tanaman, bukan dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman dan min\:jakn!:Ja. oengan harga daun !:Jang la!:Jak, antara Rp 500 - RP 900 per kg, rendemen min\:jak sebesar minimal 2% dianggap sebagai batas bawah agar usaha ini menguntungkan.
Pasa; dan 1eiayakan Ef.'onom: lndu~trl l.linyak Kayu Putin
Berdasarkan studi tersebut diatas, usaha penanaman dan penyulingan minyak kayu putih Skala rakyat dengan pola tumpangsari secara ekonomi dapat memberikan keuntungan yang layak kepada petani. oengan asumsi luas tanaman satu hektar, harga daun Rp 700 per kg dan suku bunga 12% per tahun, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 4.403.727, B/ C rasio sebesar 1, 18 dan nilai IRR sebesar 18%, petani dapat memperoleh laba hingga Rp 6.768.470 (jika biaya sewa lahan dan tenaga kerja sendiri tidak diperhitungkan). Dari hasil studi diatas dapat disimpulkan bahwa industri rl!inyak kayu putih mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ketersediaan benih unggul dengan rendemen minyak yang tinggi merupakan salah satu prasyarat bagi pengembangan industri ini. usaha yang telah dilaksanakan guna mendapatkan benih unggul dengan rendemen minyak tinggi yang telah dan sedang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan merupakan salah satu komponen produksi yang kini telah dapat dimanfaatkan. Semuanya berpulang kepada para pelaku industri minyak kayu putih, pemerintah melalui kebijakan regulasi, Perum Perhutani, Dinas kehutanan Propinsi, industri pengemasan dan para petani untuk memanfaatkan hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Astana, s. 2005. Analisis kelayakan finansial usaha budidaya dan penyulingan kayu putih skala rakyat. Makalah disampaikan pada Temu Lapang Puslit Sosial Ekonomi dan KebUakan Kehutanan dan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah di Semarang, 14 Desember 2005. Boland, D. Brophy, J.J. and House, A.P.N. 1991. Eucalyptus Leaf Oils. Use, Chemistry Distillation and Marketing. ACIAR, Canberra. Australia. 252p. Butcher, P.A., Bell, J.C.and Moran, G.F.1992. Patterns of genetic diversity and nature of the breeding system in Melaleuca alternifolia (Myrtacecae ). Australia Journal of Botany 40:365 -375. Butcher, P.A., Matheson, A.C. and Slee, M.U. 1996. Potential for genetic improvement of oil production in Melaleuca a/ternifolia and M. linariifolia. New Forest 11: 31-51. Brophy, J.J. and Doran, J.C. 1996. Essential Oils of Tropical Asteromyrtus, Callistemon and Mela/euca Species: In search of Interesting Oils with commercial Potential. ACIAR Monograph No. 40. craven L.A. and Barlow. B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119. Doran, J.C. and Turnbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropics. ACIAR Monograph No.24. ACIAR, Canberra, Australia. 384p. Doran, J.C., Baker, G.R., Murtagh G.J. and Southwell, I.A. 1997. Improving tea tree yield and quality through breeding and selection. RIRDC Research Paper series No 97 /53. Project No. DAN -87 A. Gunn, B.V., McDonald, M.W., Lea, D., Leksono, B. and Nahusona,, J. 1997. Ecology, seed and leaf collection of cajuput (Melaleuca cajuputi)from Indonesia and Australia. IPGRI Plant Genetic Resaources Newsletter No. 12 :36-43. Hoang Chuong , Doran, J.C., Pinyopusarerk, K. and Harwood, C.E. 1996. variation in growth and survival of Melaleuca species in the Mekong Delta of Vietnam. In: Dieters, M.J., Matheson, A.C., Nikles, D.G., Harwood, C.E. and Walker, S.M. (eds). Tree Improvement for sustainable Tropical Forestry. Proceedings QFRl-IUFRO conference, Caloundra, Queensland, Australia, 27 October - 1November 1996. Gympie, Queensland Forestry Research lnstitue. Pp :31-36.
Pasar d2n Keiayakan Ekun0111i indmtri Minyak Kayu Putih
Moncur, M.W.1995. Techniques for pollinating eucalypts. ACIAR Technical Reports No.34.20p. Shelbourne, C.J.A.1992. Genetic gains from different kinds of breeding population and seed or plant producing population. south Africa Forestry Journal 160:49-62. susanto M, J.C. Doran, R. Arnold and A. Rimbawanto. 2003. Genetic Variation in Growth and Oil Characteristics of Metateuca cajuputi subsp. cajuputi and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15(3): 469-482. Turnbull, J.W. (ed.) 1986. Multipurpose Australian Trees and Shrubs. Lesser-known Species for Fuelwood and Agroforestry. ACIAR, Canberra, Australia.