Irresistible Francisca Todi
2
Irresistible Seri Mafia Espresso, buku 1 Copyright © 2015 Francisca Todi Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penulis. Cover design by Bookcovers4u.com
3
For Eduard, tesoro mio
4
Catatan Penulis
Mafia Espresso edisi pertama saya penakan tahun 2011, karya pertama yang dituangkan dengan keringat dan jerih-payah. Saya masih ingat jantung yang berdebar-debar saat mengirimkan naskah ke penerbit, dan hati yang melambung tinggi waktu mendengar Mafia Espresso akan diterbitkan. Wonderful moments, apalagi mendengar banyak komen dari para pembaca bahwa mereka menyukai kisah ini. Empat tahun. Waktu yang lama bagi seorang penulis untuk terus belajar dan memperbaiki kekurangan. Bersamaan dengan niat menerbitkan versi digital buku ini, saya memutuskan untuk merevisi kisah ini, tanpa mengubah esensinya. Saya juga mengubah judulnya menjadi Irresistible, tapi tetap memakai Mafia Espresso sebagai judul seri karena banyak pembaca yang sudah mengenalnya. Harapan saya, edisi revisi dari kisah Sophie dan Antonio ini akan melunturkan hati para pembaca-pembaca baru. Kalau itu kamu, selamat menikmati buku di tanganmu ini.
5
Terima Kasih
Kepada Cassy dan Kezia Evi Wiadji, yang selalu meluangkan waktu untuk memberi input dan saran yang kreatif, dan selalu menyemangati saya untuk terus berkembang. To Eduard, for your encouragement and constant support, even when I spent night after night behind my laptop, and for your listening ears to all my musings about the plots and characters. Also thank you for the awesome cover. Kepada keluarga saya yang telah meluangkan waktu untuk membantu dalam proses penerbitan. Kepada Ruach, my beloved mentor and my source of inspiration, the one who makes all things possible.
6
Bab 1 A
staga. Ada di mana, sih? Aku mengaduk-aduk isi keranjang pakaian di kamar tidur, mencari-cari stocking tebal di antara gunungan pakaian yang belum diseterika. Dentuman radio dari tetangga apartemen atas menambah kepanikanku. Tetanggaku memutar radio begitu dia membuka mata, tapi dia tidak pernah bangun sebelum jam delapan pagi. Artinya, ini sudah jam delapan lewat, dan aku ada dalam masalah besar. Tergesa-gesa kukenakan stocking yang berhasil kutemukan. Di luar, hujan deras yang mendominasi musim gugur di Belanda sedang beraksi, menyelimuti langit dengan hamparan kelabu sejauh mata memandang. Selimutku sendiri terasa begitu nyaman dan hangat waktu weker berbunyi sejam yang lalu. Kini aku bakal datang terlambat pada hari yang amat sangat penting di kantor. Seperti apa tampang Patricia Vermeer, bosku, kalau aku sampai gagal muncul hari ini? Aku bergidik membayangkannya. Wajah seram Patricia masih terbayang-bayang di benakku saat telepon genggam berdering. Aku terlonjak. Namun saat melihat nama yang muncul di layar, senyumku langsung mengembang. “Ray! Aku baru mau meneleponmu! Aku—”
7
“Sophie, aku butuh bantuanmu.” Suara bariton Ray menyela. “Ada beberapa jas di rumahku yang perlu dibawa ke binatu.” “Oh? Sekarang? Sebenarnya aku sudah terlambat.” “Please, Sophie dear, aku ingin memakainya untuk pertemuan penting besok.” “Ya, tapi—” “Terima kasih, sayang. Aku harus pergi sekarang. Aku berjanji akan membalas kebaikanmu.” “Oh? Ya... ya, baiklah.” Perlahan aku menurunkan telepon di tangan. Lagi-lagi Ray telah menitahkan amanatnya. Benar-benar bukan saat yang tepat. Ray adalah kekasihku. Baiklah, sebenarnya dia tidak pernah resmi mengatakan kami berpacaran, tapi menilik hubungan kami, rasanya aku boleh beranggapan begitu. Entah kenapa, kalau berhadapan dengannya, aku berubah dari wanita mandiri berusia 29 tahun menjadi gadis remaja yang tak mampu berkata tidak kepada pemuda yang disukainya. Dan Ray tidak pernah segan meminta tolong kepadaku. Untuk mengambilkan paket di kantor pos. Membelikan gula yang habis. Mengantarkan cucian ke binatu. Aku menghela napas. Sekarang bukan saat yang tepat untuk merenungkan hubungan kami. Selesai berpakaian, aku menjambret bekal makanku dari dapur. Lalu menyimpang kembali ke kamar untuk menyambar ponsel yang hampir tertinggal. Kedua barang itu kujejalkan ke dalam tas besar di tanganku. Hanya untuk kukeluarkan lagi agar aku bisa menemukan kunci rumah. Ketika aku berdiri di depan pintu, aku tersadar kunci mobilku masih tergeletak di meja samping ranjang. AAARRGH! Aku tahu aku hampir mencapai status histeria. Mengingat apa yang dipertaruhkan hari ini, susah rasanya untuk bisa tetap tenang.
8
Hari ini bisa berakhir dengan dua versi. Satu, aku pulang dengan sorak-sorai dan bersiap-siap jadi orang kaya. Dua, aku mengepak koper dan bersiap-siap untuk tidur di stasiun Den Haag bersama para tuna wisma lainnya. Yah… mungkin aku sedikit membesar-besarkan. Tapi Patricia telah memperingatkanku bahwa anggaran timku hampir habis. Kalau hari ini aku gagal menghasilkan order untuk sistem raksasa yang kami buat, kemungkinan seluruh timku akan diberhentikan dalam waktu singkat. Misalnya... besok. Aku bergidik lagi. Cepat-cepat kukeluarkan mobil dari pelataran parkir. Gara-gara Ray, aku harus memutar tiga blok untuk pergi ke rumahnya dan mengambil tumpukan jasnya di atas sofa. Ray sendiri sudah berangkat kerja, tapi aku punya kunci rumahnya (satu lagi bukti bahwa hubungan kami lebih dari sekadar berteman), jadi aku bisa masuk kapan saja. Akhirnya mobilku meluncur di jalan bebas hambatan menuju Den Haag. Lalu lintas pagi ini cukup sepi untuk ukuran Belanda di waktu hujan. Aku mengerutkan kening sambil memperhatikan jalan yang lengang. Oh, tunggu… Hari ini liburan musim gugur dimulai! Semangat baru timbul di dalam diriku. Aku menegakkan tubuh. Yeah! Mungkin aku masih bisa datang tepat waktu ke kantor! Tetes hujan mendera kaca mobil dengan bunyi yang menghipnotis. Angin kencang sesekali meraung di sekitarku. Sambil melarikan mobil lebih kencang, aku menyempatkan diri untuk mengecek bayangan di kaca spion. Pernah, aku berangkat tergesa-gesa seperti ini, dan baru sadar di kantor bahwa aku hanya merias sebelah mataku. Sejak itu, aku selalu mengecek make-up di mobil. Kubaurkan eyeshadow hijau yang kelewat mentereng untuk mataku yang berwarna biru pudar, lalu dengan jemariku, aku mencoba
9
merapikan rambutku yang melingkar-lingkar seperti pasta fusili. Huh, tidak akan bisa sempurna, tapi lumayanlah. Ketika tatapanku kembali ke jalan raya, aku terkejut melihat angka 50 yang berkedip-kedip di papan lalu lintas digital, kira-kira dua ratus meter di depan. Mobilku sendiri meluncur terlalu cepat ke arah mobil depan yang sudah melambat. Oh, Tuhan! Hatiku menciut, seiring menyusutnya jarak antara mobilku dengan mobil depan. Aku menghantamkan kaki ke pedal rem. Kedua tanganku mencengkeram setir erat-erat. Mobil di depan mulai melaju lagi. Tempatnya berhenti tadi digantikan oleh mobilku hanya dalam sepersekian detik. Huh. Hampir saja. Aku menarik napas lega—lalu tersentak oleh benturan keras. Mobilku melonjak ke depan tanpa kendali. Aku menjerit kaget. Pedal rem kuinjak sampai habis. Beberapa senti sebelum menghantam mobil di depan, mobilku berhenti. Kupejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan jantungku yang berdetak liar. Saat mulai bisa bernapas normal, aku mengintip kaca spion untuk melihat mobil yang baru saja menabrakku dari belakang. Lexus hitam. Pengemudinya memberi sen, mengajakku menepi ke bahu jalan. Aku melirik jam dan menghela napas. Uh, sekarang aku benar-benar akan terlambat. Karena tak punya pilihan, aku meminggirkan mobil. Tetes hujan menyambutku antusias begitu aku keluar. Sambil merapatkan jaket, aku melangkahkan kakiku yang masih sedikit gemetar, dan pergi ke belakang mobil untuk mengecek kerusakan. Aku meringis. Bemper belakangku penyok tak berbentuk. Seorang pria muda maju menghampiriku. “Maaf. Aku kurang memperhatikan jalan,” ujarnya dengan aksen kental.
10
Orang asing. Spanyol? Italia? Aku mengamati wajah berdaya tarik Mediterania di depanku. Tinggi sedang. Rambut hitam, mata cokelat bening, dan kulit keemasan terjemur sinar matahari yang pasti tidak didapatnya di Belanda. Mobilnya yang berpelat nomor lokal tidak memberi petunjuk. Di bawah mantel abu-abu panjang yang dibiarkan terbuka, dia mengenakan setelan jas. Setidaknya dia terlihat mampu membayar kerusakan yang ditimbulkannya. “Walaupun kau turis, bukan saatnya melihat-lihat pemandangan kalau sedang mengemudi,” sambutku ketus. “Gara-gara matamu yang jelalatan, aku akan terlambat menghadiri pertemuanku.” Aku tahu aku keterlaluan, tapi aku tidak mampu menahan kegeraman. Mata cokelat di hadapanku melebar. “Maaf,” ulangnya dengan nada formal. “Tapi tadi kau mengerem mendadak.” “Oh? Sekarang kau menyalahkanku?” Aku bertolak pinggang. “Bukan aku yang menabrak mobil di depanku.” Air hujan mulai menetes-netes dari ujung rambutnya yang dimodelkan rapi. “Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat. Kuharap kau membawa formulir asuransimu. Kalau kita mengisinya sekarang, kita berdua bisa segera melanjutkan perjalanan.” “Ada di mobilku.” Masih dengan perasaan sebal, aku masuk ke dalam mobil. Baru aku mau keluar lagi dengan formulir di tangan, pintu sisi penumpang terbuka. Pria tadi masuk dan duduk di sampingku. Aku memandangnya sambil melotot. “Kuharap kau tidak keberatan kalau aku mengisi formulir di sini.” Dia melap keningnya yang basah dengan selembar tisu. “Aku tidak ingin menghadiri pertemuanku dengan tampang seperti anjing tercebur—jelas aku tidak akan terlihat sexy sepertimu dengan rambut basah kuyup.” Aku mengerjapkan mata, menatap wajahnya yang tetap terlihat serius. Kurang ajar. Lancang sekali orang ini! Sejenak aku mempertimbangkan untuk menendangnya keluar mobil, namun melihat 11
jarum yang ditunjuk arloji metal di tangannya, aku memutuskan untuk menyelesaikan urusan ini secepat mungkin. “Terserahlah.” Dia membalasku dengan senyum lebar. Tak ingin bercakap-cakap lebih lanjut, aku memutar tubuh menghadap setir mobil dan mulai mengisi formulir di tangan. Nama, alamat, pelat mobil... nomor asuransi? Aku mengerutkan bibir. Kartu asuransiku ada di laci mobil. “Permisi.” Aku menjulurkan tangan ke depannya untuk membuka laci itu. Sebuah boneka anjing putih terjatuh keluar begitu laci terbuka. Pria di sisiku menangkapnya dengan tangkas. Dia membolakbalikkan mainan di tangannya dengan penuh minat. “Lucu.” Senyumnya melebar. “Rupanya kau masih suka bermain boneka?” “Tentu saja tidak!” Aku merampas boneka anjing itu dan melemparnya balik ke dalam laci. “Ini punya keponakanku. Ketinggalan waktu aku berjalan-jalan dengannya kemarin.” “Ah…” Senyumnya kali ini berkesan mengejek. Pria ini benar-benar menjengkelkan. Aku mencabut kartu asuransiku dan membanting laci itu sampai menutup. Ugh. Dari sekian banyak orang yang mengemudi di jalan raya pagi ini, kenapa sih aku harus ditabrak oleh pria menyebalkan ini? Secepat kilat kuisi formulir itu. Selesai dengan bagianku, aku menyodorkan lembaran itu ke depan mukanya. “Ini. Tolong isi datadatamu.” “Ide bagus. Tadinya aku mau mengopi punyamu.” Dia menukar lembaran di tangannya dengan lembaranku. Kami berdua menuliskan data yang dibutuhkan, kemudian dia membubuhkan tanda tangannya di formulirku, dan aku di formulirnya. “Selesai.” Senyumnya kembali merekah waktu dia mengembalikan formulirku. “Sekali lagi maaf atas kerepotan yang kusebabkan. Kuharap harimu selanjutnya berjalan lancar.” 12
“Kau juga,” jawabku singkat. Begitu dia keluar, aku menyalakan mesin mobil dan melaju pergi. Perangkat bluetooth kuselipkan di telinga, lalu kupencet nomor telepon kantor. “Patricia, ini aku.” “Sophie! Kau ada di mana? Tahukah kau jam berapa sekarang?” Bosku langsung menyemprot. “Maaf, seorang idiot menjengkelkan menabrak mobilku. Tapi sekarang aku sudah dalam perjalanan. Kira-kira lima belas menit lagi aku sampai.” Sambil bicara, aku melirik kaca spion. Lexus hitam yang tadi masih mengekor di belakangku sudah menghilang. Nada suara Patricia berubah. “Kau baik-baik saja?” “Selain harus berurusan dengan pria menyebalkan yang membuat mobilku penyok, ya, aku baik-baik saja. Orang-orang Eco Green sudah tiba?” “Sebagian besar. Untungnya mereka masih menunggu bos mereka. Datanglah secepat mungkin, Sophie.” Aku mendesah. “Akan kuusahakan.” Begitu sambungan terputus, aku mengganti gigi untuk mengebut di lajur cepat. Jarum penunjuk kecepatan mulai melewati angka 140. Kalau aku sampai ditilang pagi ini, aku pasti akan mengirim tagihannya ke pria menyebalkan tadi. Seperempat jam kemudian, aku melangkah terburu-buru ke ruang pelatihan kantor. Aku bersyukur telah mempersiapkan presentasi ini sejak hari Jumat malam. Kunyalakan beamer dan kusambungkan laptop, dan dalam beberapa menit, sistem untuk presentasi hari ini sudah bekerja. Pintu ruangan terbuka. Suara orang bercakap-cakap terdengar, lalu Patricia melangkah masuk bersama rombongan tamu kami. Aku menyelamati diriku karena berhasil siap tepat waktu. Tapi begitu aku mengangkat wajah, tubuhku membeku. 13
Pria menjengkelkan tadi ada di sini! Lebih parah lagi, melihat bagaimana perhatian Patricia terfokus kepadanya, kemungkinan dia adalah bos calon klien kami. Perutku melilit mengingat labrakanku kepadanya beberapa waktu yang lalu. Sikapku yang jauh dari ramah. Dan wajahku yang sengaja kupasang sangar waktu aku berbicara dengannya. Tubuhku lemas. Ya ampun. Tamat sudah harapanku untuk mendapatkan klien baru hari ini. Pria itu baru melihatku sesudah dia mengambil tempat duduk di barisan paling depan. Dia melempar senyum heran, lalu mengalihkan perhatian pada Patricia yang berdiri di depan ruangan. Senyum! Aku meraih cangkir kopi di meja sambil mencoba mengumpulkan semangat. Apakah itu pertanda dia tidak marah? Apakah itu pertanda bahwa masih ada harapan bagiku untuk memenangkan kontrak ini? Anak buah pria itu duduk tegak di sekelilingnya. Tatapan mereka berputar, memperhatikan seisi ruangan dengan seksama. Aku mengangkat sebelah alis—walaupun tetap menjaga agar senyumku tidak luntur. Lagak mereka hampir seperti pengawal yang sedang menjaga raja Belanda. “Bapak-bapak yang terhormat, akhirnya kita bisa mulai.” Patricia mengatupkan telapak tangannya dan mengedarkan pandangan. Rambutnya yang mulai kelabu digelung rapi di pangkal leher. Setelan kemeja dan roknya licin tanpa kerutan. “Sesempurnanya kita mengatur agenda, ada saja hal-hal yang terjadi di luar rencana. Misalnya, apa yang menimpa Sophie Pieters, rekan saya ini.” Patricia menunjukku. “Dalam perjalanannya kemari, mobilnya ditabrak orang. Seorang idiot yang menjengkelkan—menurut kata-katanya sendiri.” Aku tersedak. Oh, kalimat pembukaan yang hebat, Patty! Aku langsung menunduk, pura-pura menatap layar laptop sambil berjuang melawan keinginan untuk kabur keluar ruangan. 14
Gemuruh tawa mengisi ruangan, tapi dugaanku, penabrakku tidak ikut tertawa bersama tamu-tamu yang lain. “Hal-hal tak diinginkan juga bisa terjadi pada bisnis Anda. Untuk situasi seperti itulah kami membuat sistem incident management yang canggih. Sophie akan menceritakan lebih lanjut apa keunikan sistem ini.” Patricia memberi tanda agar aku mulai. Dengan lutut goyah, aku bangkit berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Aku telah bekerja begitu keras untuk presentasi ini. Aku tak boleh membiarkannya hancur karena satu orang. Sambil menghindari tatapan langsung dengan penabrakku, aku menebar senyum dan memantapkan langkah ke depan ruangan, lalu mulai menjelaskan kinerja produk kami. Dua jam kemudian, aku selesai mendemonstrasikan sistem dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. “Baiklah,” Patricia menutup presentasiku. “Kita istirahat dulu selama lima belas menit.” Aku bergegas keluar ke belakang gedung dan berlari kecil menerobos hujan, menuju ke sebuah pavilyun kosong di taman. Sambil mengembuskan napas, aku duduk bersandar di salah satu pilar. Tugasku hari ini sudah selesai. Sekarang giliran Patricia dan tim penjualannya untuk menegosiasikan harga dan persyaratan layanan kami. Tapi apa yang akan menjadi keputusan calon klien kami— terutama setelah mendengar dirinya disebut sebagai seorang idiot yang menjengkelkan? Langkah-langkah kaki mendekat di belakangku. Aku berpaling— dan hampir terjatuh dari tempat duduk melihat siapa yang datang menghampiri. “Sophie Pieters, dunia ini kecil, bukan?” Penabrakku berdiri dengan senyum lebar, tapi sesuatu di matanya meyakinkanku bahwa dia tidak datang untuk beramah-tamah. Hati-hati aku membalas senyumnya.
15
“Kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Antonio Azzaro. Atau mungkin, kau lebih suka memanggilku ‘Si Idiot Yang Menjengkelkan’?” Aku meneguk ludah. “Oh, maafkan aku tentang hal itu. Aku hanya... sedikit stres. Presentasi hari ini sangat penting bagiku. Bagi kami.” Dia hanya mengangkat sebelah alisnya. “Untuk setiap kecerobohan, selalu ada harga yang harus dibayar, bukan?” Aku diam saja, karena tidak yakin mana yang dimaksudnya— kecerobohannya, atau kecerobohanku? “Kecerobohanku harus kubayar dengan dipermalukan di depan semua orang olehmu. Untungnya, tak seorangpun tahu akulah yang dimaksud,” ujar Antonio datar, sambil membereskan letak manset di pergelangan tangannya. “Dan harga kecerobohanmu… harus kaubayar dengan menemaniku selama aku berada di Belanda bulan ini.” Aku melongo. Menemani? Otakku berputar-putar, berusaha memikirkan definisi dari satu kata itu. Menemani… seperti seorang pemandu wisata? Seperti teman? Seperti budak? Atau…? Aku memijit keningku yang mendadak pening. “Tunggu dulu...” Dia mengibaskan tangannya. “Kalau kau tidak setuju, aku akan langsung menolak kontrak yang ditawarkan bosmu. Tentu saja setelah aku memberitahunya siapa sebenarnya yang dia sebut ‘Si Idiot Yang Menjengkelkan’ tadi.” Sudut bibir Antonio bergerak naik, memperlihatkan senyum penuh kepuasan. “Sungguh sayang, karena sebenarnya aku suka produk kalian.” Aku duduk dengan lemas. Bayangan wajah geram Patricia—dan dampratannya kalau dia tahu apa yang telah terjadi—memenuhi benakku. Belum lagi rekan-rekan satu timku. Apa reaksi mereka kalau mereka tahu mulutku yang kendor adalah penyebab mereka dipecat? Lalu semua keringat dan jerih-payah kami selama berbulan-bulan ini… 16
“Jadi, kau setuju.” Aku menatapnya, kehilangan kata-kata. Otakku sibuk membayangkan mukanya dengan dua tanduk merah di kepala dan trisula di tangan.
17
Bab 2 T
epat pukul lima sore, di garasi bawah tanah kantor, aku masuk ke dalam Lexus hitam Antonio. Pria itu mengangkat sebelah alisnya melihat tumpukan jas di tanganku. “Aku harus ke binatu sebentar,” ujarku singkat. Karena terburuburu tadi pagi, aku tak sempat lagi mampir ke binatu. Ray boleh mencari jas lain untuk dipakainya besok. Seorang rekan kerja Antonio datang mendekat dengan amplop putih di tangan. Antonio menurunkan kaca mobil untuk menerimanya. “Antonio, apakah aku harus...?” Kata-kata pria itu terputus, dan dia memandangku ragu-ragu. Antonio menggeleng. “Tidak usah. Oh, tunggu, mungkin kau bisa melakukan sesuatu.” Dia membuka telapak tangannya ke arahku. “Berikan kunci mobilmu.” “Apa?” Aku membelalakkan mata. Pertama, dia memaksaku menemaninya, sekarang dia mau meminta mobilku? Antonio masih mengacungkan tangannya. “Berikan kunci mobilmu. Biar Marco yang membawanya ke bengkel untuk direparasi.” “Oh.” Aku tertegun sejenak. Masih sedikit bingung, aku mengeluarkan kunci mobil dari tas dan memberikannya kepada Antonio.
18
“Golf silver, nomor pelat 55-XIA-78,” ujar Antonio sambil menyerahkan kunci itu kepada Marco. Pria itu mengangguk patuh, lalu mengundurkan diri. Keherananku melihat perilaku mereka melebihi keterkejutanku bahwa Antonio hafal nomor pelatku. Apakah bos-bos di Italia terbiasa menyuruh-nyuruh anak buah mereka seperti itu? Sementara itu, Antonio telah menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir. Aku buru-buru memberinya petunjuk jalan ke binatu langganan Ray—yang untungnya hanya berjarak dua blok dari kantor. Setelah urusan binatu selesai, aku duduk dengan punggung tegang di mobil. Aku tidak tahu tujuan kami, dan terus-terang, aku terlalu takut untuk mengira-ngira. Selama beberapa saat kami meluncur di jalan dalam keheningan, mengawasi hujan yang masih mengguyur deras. “Kau tidak terlihat seperti wanita yang sudah punya kekasih,” Antonio akhirnya bersuara, meski matanya tetap mengawasi jalan. Rupanya dia sempat memperhatikan bahwa jas-jas yang tadi kubawa ke binatu semuanya jas pria. Aku menoleh, sedikit tersinggung. “Memang wanita yang sudah punya kekasih seperti apa?” Dia hanya tertawa kecil. “Tidak sepertimu.” Tanpa sadar aku menatap gaun rajutan hitam dan sepatu lars selutut yang kupakai. “Bukan itu maksudku. Tidak ada yang salah dengan pakaianmu. Kau terlihat cantik.” Dia membelokkan mobilnya memasuki jalan raya. “Yang kumaksud adalah auramu. Wanita-wanita lajang memiliki aura yang berbeda—aura yang mengundang pria-pria untuk menaklukkan mereka.” Aku mendengus. Aura wanita lajang? Pria ini pasti sudah gila. Namun perkataannya tersangkut di otakku. Mungkinkah aku masih memancarkan aura itu karena Ray tidak pernah memperjelas
19
status hubungan kami? Kalau dipikir-pikir, apakah pria tidak jelas yang hanya kadang-kadang mengajakku kencan itu bisa dibilang kekasih? Antonio melirikku penuh minat. “Jadi benar. Kau masih lajang.” Aku membuang muka, menatap mobil-mobil yang bergerak lambat di tengah deras hujan. Lalu entah kenapa, aku mengakuinya. “Hubungan kami... rumit.” “Hubungan rumit biasanya tanda bahwa salah satu pihak tidak mau berkomitmen.” Antonio memutar setir untuk pindah ke lajur cepat. Aku mengangkat bahu, lalu memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Sebenarnya kita mau ke mana?” tanyaku hati-hati. “Ke Fortis Theater. Kita akan menonton pertunjukan musikal Mamma Mia.” Aku mengembuskan napas yang tanpa sadar sedang kutahan. Mungkin situasiku tidak separah yang kukira. Detik berikutnya, aku mengerutkan kening heran. “Pertunjukan itu selalu penuh. Aku tidak yakin kita bisa membeli tiket begitu saja.” Antonio merogoh saku jasnya, mengeluarkan amplop putih dari Marco dan meletakkannya di atas pangkuanku. “Dua tiket masuk. Ditambah makan malam di restoran Le Cirque.” Aku memeriksa tiket itu dan mengecek tanggalnya dua kali. Benar. Tanggal hari ini. “Jadi, kau sudah berencana pergi? Tadinya kau mau pergi dengan siapa?” “Denganmu. Aku punya koneksi yang bisa mengurus hal-hal seperti ini dengan cepat.” “Oh ya? Aku juga mau punya koneksi seperti itu,” gumamku sambil memasukkan tiket tadi kembali ke dalam amplop. “Bukankah kau punya satu sekarang?” Antonio menoleh dan mengedipkan mata. Aku melengos, lalu memilih untuk memandang keluar jendela. Kami terus melaju ke Scheveningen, daerah pantai Den Haag yang selalu ramai, tak peduli apa musimnya. Tram-tram bergerak 20
berselisihan, roda mereka menderit nyaring saat menikung. Saat lampu lalu lintas untuk mobil menyala merah, orang-orang berbondongbondong menyeberangi jalan, menembus gerimis menuju pantai. Antonio memarkir mobilnya di sebuah gedung parkir bawah tanah, lalu keluar untuk mengambil payung dan membukakan pintuku. 1 “Signora.” Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku keluar. Aku menggali ingatanku, tapi tidak bisa menemukan kejadian di mana Ray pernah memperlakukanku sebaik ini. Tapi aku tidak meraih siku Antonio yang disodorkannya kepadaku waktu kami keluar gedung parkir. Restoran Le Cirque masih sepi karena kami datang cukup awal. Antonio menunjukkan tiket pada pelayan yang berjaga di pintu, dan kami dibawa ke salah satu meja bundar bertaplak putih di pinggir jendela. Suara saksofon mengalun pelan. Seorang pelayan wanita berseragam hitam-putih menghampiri kami dengan senyum antusias. Setengah membungkuk, dia menyerahkan dua buku menu bersampul kulit. “Mungkin Anda ingin memesan minuman dulu?” tawarnya. “Sebotol anggur merah untuk memulai malam yang indah ini?” Antonio menatapku hangat, membuat jantungku mendadak berdegup kencang. “Boleh,” sahutku, sambil buru-buru menyembunyikan wajah di balik buku menu. Dia membolak-balik halaman buku menunya. “Kalau dari dulu aku tahu sebuah tabrakan bisa mempertemukanku dengan wanita cantik sepertimu, aku tidak akan mengemudi terlalu hati-hati.” ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 1 [Italia] ‘Nyonya’. Umum digunakan untuk menyapa wanita di atas 18 tahun, menikah maupun tidak.
21
Aku memperhatikan betapa indah warna keemasan kulitnya di bawah lampu remang-remang restoran. “Jangan cepat senang. Kontrak kita hanya sebulan.” “Kau yang jangan cepat senang.” Dia menatapku lekat. “Kalau sebulan sudah lewat, mungkin kau akan memintaku untuk memperpanjang kontrak kita.” Melihat kepercayaan dirinya, mendadak aku takut apa pun yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Pelayan wanita tadi kembali dengan sebotol anggur dan menunjukkan label etiketnya kepada Antonio. Setelah dia mengangguk setuju, si pelayan membuka botol itu dan menuangkannya ke dalam gelas kami. Antonio kembali melihat-lihat buku menu di hadapannya. “Steak daging rusa di sini enak. Aku pernah mencobanya.” Mendadak aku tersadar, dari tadi aku membaca kalimat yang ituitu juga tanpa mengerti artinya. Otakku terlalu kusut dengan berbagai kejadian hari ini. Aku menutup buku menu dan meletakkannya di meja. “Baiklah, aku akan memesan itu.” Waktu kami sudah sendirian lagi, aku menutupi kecanggunganku dengan pura-pura memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di pelataran depan restoran. Mereka yang lewat kebanyakan berpakaian rapi dan baru pulang dari kantor, tapi ada juga segerombolan anak muda yang mungkin dalam perjalanan ke bioskop di dekat situ. Lalu, mataku tertumbuk pada sosok seorang pria. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan. Ray. Aku yakin itu Ray. Aku mengenali rambutnya yang berwarna pirang gelap seperti pasir, dan gaya jalannya yang setengah mengambang. Dia sedang berjalan di bawah payung sambil memeluk seorang wanita berambut merah. Sambil tertawa-tawa, mereka melangkah masuk ke restoran. “Sophie?” Sentuhan Antonio pada tanganku menyadarkanku. 22
Aku mengambil gelas anggur, dan berhasil meneguk isi gelas itu sampai habis walaupun tanganku gemetar. Seharusnya aku tahu Ray tidak pernah serius denganku. Kenapa aku begitu bodoh? Dan kenapa hatiku begitu sakit? “Dia pria yang memiliki hubungan rumit denganmu?” Antonio melemparkan pandangan pada Ray dan si Rambut Merah. “Tidak rumit lagi.” Aku melempar serbet di pangkuanku ke atas meja dan bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah panjang aku menghampiri meja Ray, tekadku bulat untuk melabraknya. Tahu-tahu Antonio sudah menyusulku. Dia menggamit lenganku dan berbisik lembut, “Sophie, wanita cerdas tidak akan mempermalukan dirinya dengan membuat keributan di restoran. Dia bisa menghadapi cecunguk mana pun dengan anggun.” Aku menarik napas dalam-dalam. Antonio benar. Tidak ada gunanya merendahkan martabatku di sini gara-gara pria brengsek seperti Ray. Aku menoleh kepada Antonio dan mengangguk. Dia tersenyum, lalu melingkarkan lengannya di pinggangku. Sementara itu, Ray sudah melihatku. Sejenak dia tampak gugup. Lalu matanya membesar menatap Antonio yang berjalan di sampingku. “Ray! Rupanya kau juga ada di sini,” sapaku, bersahabat tapi tajam. “Sophie!” Ray meremas-remas serbet di tangannya. “Kebetulan sekali! Apa yang membawamu ke sini?” Si Rambut Merah di sebelahnya menatap kami dengan penuh tanda tanya. “Bukan apa, tapi siapa.” Antonio memelukku sambil tersenyum lebar. “Aku yang membawa kekasihku ini kemari.” “Kekasih?” ulang Ray dengan nada tidak percaya. Lalu dia purapura terkejut dan senang. “Sejak kapan? Kau tidak pernah cerita kau punya kekasih, Sophie.” Aku menatapnya gusar. Bukankah kau yang tidak pernah cerita bahwa kau punya kekasih, Ray? Kalau saja api bisa keluar dari mataku dan menghanguskan pria brengsek ini. 23
Tangan Antonio menekan punggungku halus, mengingatkanku untuk tetap bersikap anggun. Aku mengibaskan rambutku. “Ray, Ray, kau sungguh lucu. Aku kan tidak harus melapor padamu tentang kehidupan cintaku. Hubungan kita tidak sedekat itu,” ujarku manis. “Nah, senang bertemu denganmu. Nikmatilah makan malammu bersama Nona Rambut Merah ini.” Sambil mengumbar senyum dan mengangkat dagu sedikit lebih tinggi, aku membalikkan badan dan kembali ke meja kami. Tapi Antonio pasti bisa merasakan betapa seluruh tubuhku bergetar di dalam pelukannya. Dia membantuku duduk di kursi, lalu membungkuk dan berkata di telingaku, “Bagus. Aku bangga padamu. Sekarang dia akan mengawasimu. Kau harus tetap terlihat gembira dan mesra bersamaku.” Aku menjawab dengan mengulurkan tangan dan membelai pipinya. “Terima kasih, sayang.” Dia tersenyum dan memberiku kecupan ringan di pipi. “Apa pun 2 akan kulakukan untukmu, amore.” Pipiku menghangat. Mataku juga. Tapi dengan tabah aku menelan tangisku. Pelayan datang untuk menghidangkan makanan kami dan menuangkan anggur ke gelas-gelas kami hingga setengah penuh. Aku berkonsentrasi mengunyah steak, walaupun di benakku, aku hanya bisa memikirkan hubunganku dengan Ray. Betapa butanya aku selama ini. Bukankah tanda-tandanya sudah jelas? Dia tidak mau memberi komitmen. Dia hanya memanfaatkanku seperti pembantu. Sophie, tolong ambilkan paketku di kantor pos. Sophie, tolong bawakan jasku ke binatu. Tolol sekali aku!
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 2 [Italia] ‘cinta/sayang’
24
Seakan tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiranku, Antonio berkata, “Lihat sisi baiknya. Sekarang kau terlepas dari cecunguk itu. Hidupmu akan menjadi lebih baik.” “Kau benar.” Aku memaksa senyumku muncul. Walaupun tahu aku memulai permainan yang berbahaya, aku menyambung, “Dan waktunya tepat sekali, karena kau akan menemaniku sebulan penuh.” Mata cokelat Antonio berkilat. Senyum lebar merekah di wajahnya. “Benar sekali. Dan kalau kau mau, aku bisa menyingkirkan cecunguk itu.” “Menyingkirkan?” ulangku, tidak yakin apa maksudnya. Dia menyuap sepotong daging ke mulutnya dan mengangkat bahu. “Ya. Menyingkirkan. Bukan hal yang sulit bagiku.” Darahku mengalir lebih cepat. Namun aku berlagak tenang dan mengiris-iris potongan daging di piring. “Hm... Antonio?” kataku beberapa menit kemudian, seolah sambil lalu. “Ya?” “Di Italia, asalmu dari mana?” Dia meneguk anggurnya sebelum menjawab, “Aku tinggal di Roma, tapi sebenarnya aku lahir di Sisilia.” Aku hampir tersedak. Di kepalaku, berbagai hal yang kulihat hari ini mulai saling berhubungan, bagaikan potongan-potongan jigsaw yang pelan-pelan membentuk sebuah gambar. Sikap rekan-rekan kerja Antonio di ruang pertemuan. Perilaku Marco. Koneksi khusus untuk mendapatkan tiket musikal yang laku keras. Aku berusaha menepis kecurigaan dan menanggapi perkataannya dengan bergurau. “Sisilia? Jadi kau kenal dengan mafia-mafia di situ?” Dia meletakkan gelas anggurnya dan tertawa renyah. “Tentu saja. Mereka saudara-saudaraku.” Aku meneguk ludah. Meskipun ruang restoran tetap terangbenderang, perlahan duniaku tenggelam ke dalam kegelapan.
25
Beli buku ini di http://FranciscaTodi.com/buku atau di Google Play Book: https://play.google.com/store/books/details?id=FJBQCgAAQBAJ
26