Love Roulette Francisca Todi
2
Love Roulette Seri Mafia Espresso, buku 2 Copyright © 2015 Francisca Todi Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penulis. Cover design by Bookcovers4u.com
3
Untuk penggemar setia Sophie & Antonio, yang belum rela berpisah
4
Terima Kasih
Terima kasih banyak kepada Cassy, my beta reader and encourager, juga buat ide judul dan tagline-nya. Juga kepada Kezia Evi Wiadji dan Rina Suryakusuma yang telah memberi input-input berguna dalam penulisan buku ini. I love you awesome ladies! Kepada teman-teman di Twitter yang senantiasa menagih buku baru dan menyemangati saya untuk terus menulis. Buku ini spesial untuk kalian. Kepada my dear family yang membantu dalam proses penerbitan. Thank you for always being there for me. Kepada Ruach, my mentor and my source of inspiration, the one who makes all things possible. Last, but not least, to tesoro mio, Eduard, for the beautiful cover and design.
5
6
Bab 1 K
enapa waktu beringsut begitu lamban kalau kau sedang menunggu? Aku melirik jam di layar komputer, lalu mengecek ulang di arlojiku. Tentu saja, waktu yang ditunjukkan sama. Jam enam belas lewat tiga puluh. Payah. Padahal sudah sebulan lebih aku tidak bertemu dengan Antonio. Tadi pagi dia tiba dengan pesawat terbang di Belanda, setelah menyeberangi jarak sekitar seribu enam ratus kilometer dari Roma, tempat tinggalnya. Seharian dia mengurusi cabang perusahaannya di Amsterdam. Lalu, usai jam kantor, dia akan menjemputku. Kalau jam kantor akan pernah usai. Karena terus-terang, hampir gila aku menunggu jam bergerak ke pukul lima. Lihat saja, setelah membereskan segala macam urusan yang menurutku memakan waktu cukup lama, aku mengecek jam lagi, hanya untuk mendapati bahwa baru dua menit berlalu. Dua menit! Aku menghela napas, menahan rasa rindu yang semakin menggunung di dalam diriku. Kapan aku bisa keluar dari sini dan bertemu dengannya? “Sophie, aku belum mendapat laporan bulan ini.” Aku memutar kepala, menatap pria jangkung berambut pirang yang berbicara padaku dari meja seberang. Jeroen van Hest, senior di
7
kantor baruku ini, dan orang yang akan mengevaluasiku di akhir masa percobaan. Laporan apa? Fokus pikiranku sudah lama meninggalkan pekerjaan. Aku menggali memori sambil buru-buru membuka aplikasi di komputer. “Rasanya aku sudah mengirim.” Dia bangkit dan menghampiri mejaku. “Coba kulihat.” Ups. Layar aplikasi menampakkan formulir yang baru setengah terisi. Sekarang aku ingat lagi. Minggu pertama aku memang rajin mengisi laporan itu, tapi karena setiap hari kuhabiskan dengan cara yang sama—mengikuti pelatihan, pelatihan, dan pelatihan lagi, aku jadi malas mengisi. Kening Jeroen berkerut. “Hm. Sudah dikirim, heh?” Aku meringis. “Apa laporan ini benar-benar perlu?” elakku. “Sebulan ini hanya kuhabiskan untuk training. Tidak ada klien yang perlu di-billing.” “Perlu.” Dia mengangguk tegas. “Bagian keuangan perlu data lengkap tiap bulan. Atau… kau lebih suka tidak digaji?” “Waduh, jangan dong.” Aku cepat-cepat mulai mengisi bagian formulir yang masih melompong. Bisa-bisa aku hanya makan roti kering dan air kalau tidak mendapat gaji bulan ini. “Selain pelatihan sistem aplikasi, kau juga mengikuti beberapa kursus soft skills, kan? Faktur-fakturnya sudah kaumasukkan?” Aku tertegun lagi. “Faktur?” Jeroen menggeleng-geleng sambil menggaruk rambutnya—yang mengeriting di ubun-ubun dan terlihat mengilat karena kebanyakan gel. “Cari di sekretariat, lalu cantumkan dalam bentuk digital bersama laporanmu.” Ugh. Kuharap dia tidak akan mengevaluasi masa percobaan ini berdasarkan kemampuanku mengurus administrasi. Aku bergegas meninggalkan meja dan pergi ke ruang sekretariat. Setelah menjelaskan panjang-lebar kursus apa saja yang kuikuti bulan 8
ini, aku berhasil mendapatkan faktur-fakturnya. Tapi waktu aku pergi ke mesin fotokopi untuk men-scan, seorang rekan kerjaku sedang memfotokopi buku yang tebalnya lima senti! Ketika aku kembali ke meja kerja, jam sudah menunjukkan pukul lima kurang dua menit. Akhirnya! Waktunya untuk meninggalkan kantor—begitu aku menyelesaikan laporanku. Aku mengisi formulir secepat kilat, mencantumkan versi digital faktur-faktur, lalu menekan tombol ‘Kirim’. Saat aku mengecek arloji lagi, jarum panjangnya sudah bergerak ke angka dua. Astaga. Tadi dua menit serasa satu jam. Sekarang dua belas menit berlalu begitu saja, dan aku malah jadi terlambat pulang. Kujejalkan ponsel dan beberapa buku ke dalam tas. Kursi di meja seberang kosong. Dari barang-barang yang masih berserakan di atas meja, aku tahu Jeroen belum pulang. Entah ada di mana dia sekarang. Mungkin sibuk mengoordinasi timku yang tersebar di berbagai klien. Atau, sibuk menyuruh orang mengirimkan laporan bulanan. Tak mau menunggu lebih lama, aku mengenakan mantel dan bergegas keluar. Dia pasti bisa melihat sendiri bahwa aku sudah mengirimkan laporan. Di luar, langit musim dingin yang menaungi kota Den Haag sudah remang-remang. Aku berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju sudut jalan di mana mobil Antonio bisa berhenti. Kantorku terletak di pusat kota yang melarang kendaraan roda empat untuk masuk, jadi aku harus berjalan beberapa menit untuk mencapai jalan raya. Kukira Lexus hitam Antonio sudah akan menunggu di sana. Aku salah. Setelah empat puluh lima menit berdiri di situ, dia masih belum muncul juga. Dasar jam karet! Sambil berdiri menunggu, aku menggerak-gerakkan kakiku yang membeku. Angin kencang menurunkan suhu udara beberapa derajat, 9
dan matahari sudah terburu-buru masuk ke peraduan. Aku menggosokgosok tangan. Tingkat kesebalanku meninggi seiring jumlah mobil yang berlalu di jalan. Bukan Lexus hitam. Bukan Lexus hitam. Mobil merah. Putih. Hitam! Tapi bukan Lexus. Huuh… Napas yang terembus dari mulutku berubah menjadi kabut putih yang segera terbawa angin. Topi wol yang kupakai kutarik lebih dalam untuk menyembunyikan telinga dari sengatan beku. Beberapa orang berlalu di trotoar, semua berbalut mantel dan syal tebal. Mereka berjalan dengan langkah-langkah cepat, seolah berlomba dengan cuaca yang hendak membekukan setiap makhluk yang bergerak. Mengingat lamanya aku berdiri di sini, rasanya aku sudah mampu bersaing dengan boneka salju. Akhirnya aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengecek pesan yang kuterima dari Antonio Jam-Karet Azzaro untuk memastikan aku tidak salah jam, atau yang lebih parah, salah tanggal.
1
Tesoro mio , tunggu aku di depan kantor jam lima, ya. Miss you much! - Your Prince Charming Prince Charming apanya? Apa kuda putihnya tiba-tiba terkilir? Apa kastilnya mendadak diserang naga? Atau mungkin nenek sihir jahat menghadangnya di tengah jalan? Masih sibuk aku menggerutu dalam hati, seseorang menyapaku dari belakang. ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 1 [Italia] Sayangku.
10
“Sophie! Cepat sekali kau menghilang dari kantor hari ini.” Aduh. Jeroen lagi. “Oh… Aku sengaja datang lebih awal hari ini supaya bisa pulang tepat waktu.” Aku sengaja menekankan kata ‘lebih awal’. “Ada apa?” “Hm.” Wajah Jeroen serius. “Tadinya aku mau menanyakan apa rencanamu malam ini.” Aku tersentak. Gawat. Apakah ada tugas genting di kantor? Akhir-akhir ini pekerjaan tim kami memang menumpuk. Karena aku masih menjalani pelatihan, selama ini aku bebas tugas, tapi tak mustahil aku disuruh membantu kalau rekan-rekanku sudah kelebihan beban pekerjaan. Aku mencuri pandang ke arah mobil-mobil yang lewat di samping kami. Masih belum ada tanda-tanda kemunculan Lexus hitam yang kutunggu-tunggu. Kenapa Antonio harus ngaret seperti ini? Bagaimana kalau kencan kami sampai batal? “Aku ada janji,” jawabku, berharap dalam hati Jeroen tidak akan tega menyuruhku kembali ke kantor. “Kau membutuhkan sesuatu? Ada pekerjaan yang belum beres?” “Oh, tidak.” Tatapan Jeroen beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kami. “Kalau jadwalmu kosong, aku mau mengajak makan malam.” Alisku terangkat. Perkataannya tadi terdengar seperti orang yang mau mengajak kencan, tapi menilik raut mukanya yang tidak beremosi, dia lebih seperti orang yang baru saja mengajak rapat. “Ehmm…” Aku menggaruk-garuk kepala. Jawaban apa yang harus kuberikan? Aku bahkan tidak tahu apakah dia membicarakan soal bisnis atau bukan. “Aku sudah ada janji,” aku mengulangi perkataanku, memilih jawaban yang netral. “Kalau besok?” “Besok… agendaku juga sudah penuh.”
11
Akhirnya Jeroen berpaling dan menatapku. “Jadi kapan kau ada waktu?” Uh, mungkin ini saat yang tepat untuk menjelaskan bahwa aku sudah punya kekasih? Belum sempat aku menjawab, sebuah sedan hitam meluncur masuk ke tempat parkir di bahu jalan. Pintu pengemudi terbuka. Seorang pria keluar dengan senyum terkembang yang memperlihatkan dua lesung pipit dalam. Lain dengan diriku yang berambut cokelat pirang, bermata biru pudar dan berkulit pucat, dia berambut gelap, dengan bola mata bening berwarna karamel dan kulit cokelat keemasan. Antonio. Akhirnya. Mantel kelabu yang dipakainya berkibar sementara dia bergegas mendatangiku. Dua lengan kokoh menarikku ke dalam pelukan yang langsung melumerkan kekesalanku menjadi genangan rindu. “Tesoro.” Sepasang mata karamel Antonio menelusuri wajahku. Jari-jarinya membelai pipiku, bagai pemanas ruangan mini yang menghangatkan diriku. “Kangen sekali aku.” Hatiku berubah menjadi agar-agar. Kakiku juga. Lalu aku teringat bahwa Jeroen masih berdiri di samping kami. Aku buru-buru melepaskan diri dari pelukan Antonio dan berpaling pada Jeroen—yang kini menatapku dengan kening berkerut. “Jeroen, kenalkan, ini Antonio Azzaro. Kekasihku,” aku mengucapkan kata terakhir dengan jelas, tapi hati-hati. “Hoi.” Jabatan tangan Jeroen singkat. Dia menggosok-gosok batang hidungnya, lalu mengangguk. “Hm. Kalau begitu aku duluan. 2 Prettig weekend , Sophie.” Dia membalikkan badan dengan kaku dan berlalu dari hadapan kami. ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 2 [Belanda] Selamat berakhir pekan.
12
Aku memperhatikan sosok Jeroen yang menjauh. Benar-benar situasi yang canggung. Kuharap hubungan kerja kami tidak akan terganggu karena kejadian tadi. Apalagi evaluasi masa percobaanku ada di tangannya. “Rekan kerjamu?” Aku mengangguk, mengalihkan perhatianku kembali kepada Antonio. Tatapanku menjelajahi kontur wajah yang sudah lama tidak kulihat. Garis rahang yang tegas, dua dekik di pipinya, senyum lebar dan sepasang mata yang berbinar memandangku. “Ramah sekali dia. Apa aku menginterupsi sesuatu?” “Betul. Ajakan kencannya.” “Kencan?” Suara Antonio naik beberapa desibel. Sebelah lengannya merangkulku dengan posesif. “Lalu kau jawab apa?” “Oh…” Aku memasang lagak santai. “Kami masih mencari hari yang kosong.” Mata Antonio berkilat. “Sori, dia bakal mesti menunggu lama. Aku akan mengklaim semua waktu luangmu selama aku di sini.” Aku melepaskan diri dari pelukannya dan membuka pintu mobil. “Ah, kan cuma sepuluh hari. Lagipula, sambil menunggumu datang tadi, Jeroen dan aku sudah bisa menghabiskan kopi bersama.” Sindiranku tidak luput dari pendengarannya. Dia menahan pintu itu dengan sebelah tangan, mencegatku sebelum aku sempat masuk. “Ngambek?” Jelas. Aku melipat tangan di depan dada dan memanyunkan bibir. “Setidaknya kau bisa meneleponku. Ini Belanda, tahu, bukan Italia. Suhu udara saat ini mungkin cuma dua derajat. Belum lagi anginnya…” Sesal berbayang di wajah Antonio. “Urusanku memakan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan. Justru karena terburu-buru ingin cepat sampai di sisimu, aku tidak terpikir untuk menelepon.” Dia membawa tanganku ke bibirnya, lalu mengecupnya lembut. “Maaf, ya.”
13
Mana mungkin aku tetap marah kalau diperlakukan seperti ini? Soal dia jam karet, soal dia bukan pria sempurna, bukankah aku tahu dari dulu? Bahkan kakakku sempat menyamakan Antonio dengan sebuah apel penyok. Apel penyok yang menjungkir-balikkan hatiku. Tapi Antonio belum sadar bahwa aku telah memaafkannya. 3 “Tesoro, alsjeblieft ?” Dia memasang wajah memelas. “Aku hanya punya waktu sebentar di Belanda. Kau mau menghabiskannya dengan mengambek seperti ini?” Aku menggumamkan jawabanku. Melihat alisnya yang terangkat, rupanya suaraku tadi terlalu pelan. Aku terpaksa mengulanginya dengan suara yang lebih jelas. “Kubilang, aku juga kangen padamu.” Mata Antonio berbinar. Lengannya membawaku ke dalam pelukannya. Dia menunduk, menghadiahiku dengan ciuman mesra yang membangunkan kupu-kupu di perutku dari tidur musim dinginnya. “Kau suka pekerjaan barumu?” tanya Antonio setelah mobilnya bergabung dengan lalu lintas yang merayap lambat. “Lumayan,” jawabku. “Masih ada beberapa pelatihan yang harus kuikuti sebelum aku mengerti semua seluk-beluknya. Tapi yang jelas, pekerjaan ini menantang.” “Syukurlah.” Dia mengangguk senang. “Masih aneh rasanya pergi ke kantor lamamu dan tidak melihatmu di situ.” Setelah urusan dengan polisi dan persidangan selesai beberapa 4 bulan yang lalu , Antonio menandatangani kontrak pembelian produk di kantor lamaku dan resmi menjadi klien mereka. Karena dia juga sudah resmi menjadi pacarku, dan peraturan kantor melarang hubungan karyawan dengan klien, terpaksa aku mencari pekerjaan lain. ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ 3 [Belanda] Please. 4 Baca seri Mafia Espresso buku 1: “Irresistible”.
14
Yang akhirnya menjadi penyelamatku adalah Maggie Liu, sahabatku. Kebetulan dia kenal dengan bos baruku di sebuah klub olahraga dan mendengar bahwa pria itu sedang mencari product evangelist bagi perusahaannya. Setelah beberapa kali diundang wawancara, aku pun diterima. “Kantor itu tidak sama tanpa kehadiranmu,” ujar Antonio. “Maksudmu, tidak ada orang yang bisa kau perlakukan semenamena lagi di sana?” ujarku, menyindirnya soal masa lalu kami. “Maksudku, tidak ada wanita judes menggemaskan lagi yang bisa kugoda di sana.” Dia melirikku dan mengedipkan mata. Aku tertawa sambil diam-diam memandanginya. Dia terlihat begitu tampan dalam blazer corduroy gelap yang dipadu dengan kemeja putih bersih. Kadang, aku masih belum bisa percaya bahwa dia adalah kekasihku. Aku benar-benar wanita yang beruntung. Saat aku kembali mengalihkan perhatian ke jalan, aku baru sadar bahwa mobil kami sedang meluncur ke Amsterdam. “Lho, kita mau ke mana?” tanyaku bingung. Antonio tersenyum lebar sambil mengeluarkan dua tiket dari saku mantelnya. “Seingatku, kau sudah lama mau menonton comedy show ini.” Sambil ternganga aku mengambil tiket itu dari tangannya. Waktu penjualan tiket mulai, aku sudah berjuang dengan beribu penggemar lain untuk mendapatkan tiket itu, dan kalah cepat. Tiket dengan harga yang terjangkau kocekku langsung habis, bahkan tiket-tiket VIP-nya juga terjual dalam waktu singkat. “Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Bukankah pertunjukan ini sudah terjual habis?” Senyum Antonio berubah penuh arti. “Memang memakan waktu lebih banyak dari yang kuperkirakan. Untung aku berhasil mendapatkannya, kalau tidak sia-sia aku membiarkanmu kedinginan di depan kantor.”
15
Oh. Dia terlambat menjemputku karena sedang susah-payah berusaha mendapatkan tiket ini? Kegembiraanku kini beraduk dengan perasaan bersalah karena sudah mengambek tadi. Aku menghadiahinya dengan sebuah kecupan pipi. “Terima kasih,” bisikku, masih terlalu gembira untuk bisa berbicara dengan normal. “Hm… mengingat aku sudah dicemberuti tadi, sepertinya aku perlu hadiah yang lebih hangat,” ujar Antonio dengan wajah serius. “Kalau begitu nanti kita duduk di dekat pemanas ruangan, ya,” balasku sama seriusnya. Dia mengerang. “Nasibku memang, punya kekasih yang dingin seperti ini. Sini.” Dia merangkulku erat dengan sebelah lengan sambil terus menyetir. Sepuluh hari benar-benar waktu yang terlalu singkat—itulah kesimpulanku saat itu. Yang kukhawatirkan adalah bagaimana hubungan kami bisa bertahan di tengah jarak dan kesibukan dan rasa rindu yang membuncah. Sumpah, tak pernah terpikir dalam benakku tantangan macam apa yang bakal kuhadapi di saat berikutnya.
16
Bab 2 M
alam sudah jatuh ketika kami berjalan masuk ke sebuah teater di pusat kota Amsterdam. Seorang pelayan memeriksa tiket kami dan mengantarkan kami ke meja di tengah ruangan. Aku duduk di kursi yang ditarikkan oleh Antonio, lalu melayangkan pandangan berkeliling penuh antisipasi. Podium di depan masih gelap, dan pengunjung yang duduk di meja makan belum banyak. Rupanya kebanyakan orang memilih makan malam di tempat lain, dan hanya datang untuk menonton pertunjukan komedi yang baru mulai jam setengah delapan. “Oh ya, orang tuaku titip salam,” ujar Antonio setelah dia duduk di sampingku. “Mereka bertanya kapan kau akan mampir ke tempat mereka.” “Ehm... Ya. Terima kasih.” Aku membolak-balik menu di tanganku dengan seksama. “Sampaikan salamku juga pada mereka.” Tatapan Antonio masih melekat. “Lalu? Bagaimana harus kujawab pertanyaan mereka?” “Wow.” Aku mengacungkan buku menu ke depan wajahnya. “Porsi steak di sini beratnya minimal tiga ons.” Dia nyengir. “Ya. Kau tidak usah khawatir kelaparan malam ini.” Seorang pelayan datang ke meja kami dan menawarkan sebotol anggur. Setelah dia memenuhi gelas-gelas kami, kutenggak anggur di gelas untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Kehangatan menyebar ke tubuhku, seiring dengan perasaan lega. Fiuh, sepertinya Antonio sudah melupakan pembicaraan awal kami. 17
Namun begitu aku meletakkan gelas, Antonio menoleh dan bertanya, “Jadi? Kapan kau mau datang ke Italia?” Uh. Seharusnya aku tahu dia bukan tipe yang cepat menyerah. “Yah... sulit dikatakan.” Aku menekuni anggur di dalam gelas. “Aku baru mulai kerja. Sepertinya sulit minta cuti di bulan-bulan mendatang.” “Sebentar,” dia menyela. “Jadi aku terus yang harus datang ke Belanda untuk bisa bertemu denganmu?” “Ini bukan masalah siapa yang harus melakukan apa,” protesku. “Seperti yang kukatakan tadi…” “Baiklah, baiklah.” Dia mendesah dan memasang wajah sedih. “Kau baru mulai kerja. Aku mengerti.” Rasa bersalah mengusik hatiku. Sebenarnya bukan aku tidak mau datang, tapi terus-terang, kebiasaan orang Italia untuk melibatkan seluruh keluarga ke dalam hubungan cinta mereka membuatku jiper. Bayangkan saja, beberapa bulan yang lalu aku bahkan belum bisa meyakinkan diriku untuk menerima cinta Antonio. Kini keluarganya sudah mengundangku ke rumah mereka seolah kami akan hidup bahagia selamanya. Tentu saja aku mau hidup bahagia selamanya bersama Antonio. Tapi bukan berarti aku harus langsung berkenalan dengan seluruh keluarganya, kan? Lebih baik kalau aku dan Antonio memperdalam hubungan kami dulu. Kalau sudah yakin hubungan kami bakal kuat, baru mengambil langkah selanjutnya. Seperti, berkenalan dengan calon mertua. Aku bergidik. Cerita-cerita horor yang selama ini kudengar mengenai calon mertua membuat otakku kembali berputar, mencari akal untuk kabur dari kewajiban untuk bertemu dengan orang tua Antonio. Baiklah, aku mengaku saja, sumber cerita-cerita horor itu adalah Maggie, sahabatku. Sudah berminggu-minggu dia mengeluh mengenai
18
mami pacarnya yang, menurutnya, terlalu mengontrol. Di lain pihak, mungkin mami Antonio orangnya berbeda. Oh Tuhan, semoga wanita itu berbeda. Mendadak aku menyadari, sebelah lengan Antonio sudah melingkar di pinggangku. Kini tangannya yang lain menangkup pipiku, membawa wajahku mendekat ke wajahnya. Mata karamelnya membara dan... Ya ampun. Semua orang di ruangan sedang menontoni kami. Cepat-cepat aku mendorong Antonio menjauh, lalu mengalihkan pandangan ke meja. “Hah…?” Sejenak dia terlihat kebingungan—seolah aku baru meletuskan balon kebahagiaannya dan dia kesulitan mendarat kembali ke dunia nyata. “Jangan di sini,” ujarku dengan suara rendah. Suasana di sini kan tidak bisa disamakan dengan konser terbuka musim panas di mana semua orang berciuman dan berpelukan tanpa malu. “Jangan di sini?” Akhirnya Antonio bisa mengucapkan sesuatu. “Kenapa?” “Semua orang menontoni kita.” Aku meraih gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis. Dia mengerjapkan mata. Tatapannya menjelajahi ruangan, lalu kembali kepadaku. “Orang yang mana? Mereka semua sibuk sendiri.” “Tadi tidak,” bantahku. “Misalnya, oma yang duduk di sebelah kanan itu. Lalu meja di sampingnya yang penuh wanita-wanita penggosip.” Antonio mengangkat bahu. “Peduli apa?” Seolah mau membuktikan kecuekannya, dia memelukku dengan posesif. Oma di meja kanan memasang kaca matanya. Jangan-jangan untuk melihat kami lebih jelas. Pasangan setengah baya di sebelah kiri kami tertawa-tawa—entah karena melihat kami atau bukan. Yang pasti, aku benar-benar tidak nyaman. 19
Aku menggenggam tangan Antonio dan menurunkannya dari bahuku. “Jangan sekarang.” Alisnya terangkat. “Aku menunggu begitu lama untuk bertemu denganmu dan kau bilang jangan sekarang? Kalau bukan sekarang kapan? Kalau aku sudah hampir pergi lagi?” “Tentu saja tidak,” aku bersikeras. “Aku hanya tidak merasa perlu pamer cinta di depan semua pengunjung restoran.” “Aku memang mencintaimu, jadi apa salahnya kalau aku pamer?” balasnya. “Apa kau lebih suka memedulikan pendapat orang lain… dan berpura-pura tidak mencintaiku?” “Ya!” Jawabanku terlontar sebelum aku mendengar seluruh perkataannya. Aku menekap mulutku. “Maksudku, tentu saja tidak. Eh… tapi…” Terlambat. Antonio langsung menggeser posisi duduknya, menjauh dariku. “Kau ini benar-benar tidak berperasaan.” Tidak berperasaan? Kuno dan kolot, mungkin. Atau pemalu dan introver. Yang pasti, tidak mau berciuman di depan umum tidak ada hubungannya dengan kata ‘tidak berperasaan’. Aku baru mau membuka mulut untuk meluruskan kesalahpahaman ini saat suara mengalun beraksen Italia menyapa dari samping kami. “Antonio!” Aku menoleh, sedikit sebal dengan interupsi tak diundang ini. Namun melihat wanita setengah baya bertubuh gempal yang menghampiri kami, tubuhku mendadak kaku. “Maria!” Antonio bangkit menyambut wanita itu. Maria tampil beda dari saat aku melihatnya di kafe miliknya dulu. Rambutnya yang biasa digelung kini dilepas dan mengeriting rapi di pundak. Dia mengenakan sweter biru muda dan rok hitam yang konservatif, tapi manis.
20
“Rupanya kau ada di Belanda! Kenapa tidak mampir ke kafeku?” Maria memeluk Antonio hangat. “Belum sempat. Aku baru tiba tadi pagi.” “Ah, kau selalu banyak alasan.” Masih dengan senyum lebar, Maria melepaskan pelukannya. Namun begitu tatapannya berkeliling dan melihatku, senyumnya memudar. “Kau masih ingat Sophie, kan?” Antonio berlagak seolah Maria dan aku adalah teman lama. “Tentu saja,” jawab Maria datar. Aku memaksakan seulas senyum. Mengingat perlakuanku terhadapnya waktu pertama kali kami bertemu, aku bisa memaklumi sikapnya yang jauh dari antusias. Aku bertemu Maria waktu Antonio memaksaku pergi ke Amsterdam di awal perkenalan kami. Saat itu kami belum berpacaran, dan Antonio melakukan hal-hal yang cukup mengesalkanku. Singkat cerita, kami pergi ke kafe milik Maria, dan ketika wanita itu mencoba beramah-tamah, dia malah terkena ledakan emosiku. Seperti yang kukatakan, bukan kejadian yang bisa kubanggakan. Bertekad untuk memperbaiki situasi, aku menggunakan suaraku yang paling ramah. “Senang bertemu denganmu lagi, Maria! Kau sendirian? Ayo duduk bersama kami.” “Oh, aku tidak ingin mengganggu.” Maria menatapku dengan pandangan yang jelas artinya. Kau pikir aku memaafkanmu semudah itu? “Omong kosong, tentu saja kau tidak mengganggu.” Antonio ikut membantuku. “Sama sekali tidak,” timpalku sambil menggelengkan kepala. Maria menggeleng. “Aku tidak sendirian. Keponakanku sebentar lagi datang.” “Ada cukup tempat untuk keponakanmu di sini,” ujarku murah hati. Aku menoleh ke Antonio untuk mendapatkan dukungan. “Benar, kan, Antonio?” 21
Dia tidak menjawab. Perhatiannya terfokus ke belakang Maria— ke arah wanita muda yang tinggi semampai dan mengenakan gaun merah menantang. Wanita itu membelalakkan matanya yang lentik dan besar, seolah tidak memercayai pandangannya. “Antonio!” Dia mempercepat langkahnya menghampiri kami, lalu merangkul Antonio erat. Serentetan kalimat dalam bahasa Italia meluncur dari mulutnya. “Elena.” Antonio membalas pelukannya. Dia ikut mencerocos dalam bahasa ibunya. Aku menutup mulutku yang menganga dan menyaksikan interaksi mereka dengan mata melebar. Oke, rasanya aku tidak suka dengan keramahtamahan gaya orang Italia—terutama kalau keramahtamahan itu melibatkan Antonio dan wanita berparas cantik dan berhidung aristokrat seperti ini. Maria duduk di kursi seberangku. Dia melemparkan pandangan gembira pada adegan peluk-memeluk di sampingnya. Seolah bisa membaca pikiranku, dia menyunggingkan senyum lebar penuh kemenangan. “Oh ya, aku hampir lupa. Antonio dan keponakanku pernah berpacaran.”
Beli di http://FranciscaTodi.com/buku atau di Google Play Book: https://play.google.com/store/books/details?id=hpFQCgAAQBAJ
22