KAJIAN PEMBERIAN TEPUNG BUAH PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP KONSUMSI, KECERNAAN BAHAN KERING DAN PERFORMA TIKUS (Rattus norvegicus)
SKRIPSI NI WAYAN SUKSMA DEWI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NI WAYAN SUKSMA DEWI. 2008. Kajian Pemberian Tepung Buah Pare (Momordica charantia L.) terhadap Konsumsi, Kecernaan Bahan Kering dan Performa Tikus (Rattus norvegicus). Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Angota
: Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. : dr. Francisca A. Tjakradidjaja, MS, Sp. GK
Pertambahan bobot badan yang tinggi pada ternak sangat diharapkan. Bobot badan yang tinggi sering diiringi oleh akumulasi lemak yang tinggi sehingga menyebabkan kolesterol tinggi. Bahan aktif yang terkandung dalam daging buah pare yaitu momordisin, momordin, asam trikosanat, glikosida, triterpen, asam resinat dan sterol, selain dapat merangsang nafsu makan, dapat juga menurunkan kadar glukosa darah. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicobakan pemberian pare untuk melihat efeknya terhadap konsumsi, kecernaan pakan dan performa tikus yang ada hubungannya dengan metabolisme energi dan lemak. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober 2007. Penelitian ini menggunakan 18 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa kelamin strain Sprague Dawley berumur 120 hari dengan rataan bobot badan 88,34 ± 13,28 g per ekor. Ransum perlakuan terdiri dari tiga macam, yaitu : ransum kontrol (R0), ransum basal + 5% tepung daging buah pare (R1), ransum basal + 10% tepung daging buah pare (R2). Peubah yang diamati terdiri dari 1) Konsumsi BK dan zat makanan (BO, PK dan Energi), 2) Bobot Badan Awal, 3) Bobot Badan Akhir, 4) Pertambahan Bobot Badan, 5) Efisiensi Penggunaan Ransum, 6) Kecernaan Bahan Kering, 7) Kecernaan Bahan Organik, 8) Kecernaan Protein Kasar dan 9) Kecernaan Energi. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA), dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Ortogonal Kontras, untuk mendapat tipe kurva pendugaan terbaik digunakan uji Ortogonal Polinomial (Steel dan Torrie, 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, konsumsi protein kasar, konsumsi energi, PBB dan efisiensi penggunaan ransum. Perlakuan yang diberikan sangat nyata (P<0,01) menurunkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar dan kecernaan energi bruto. Rataan konsumsi bahan kering masing-masing untuk R0, R1 dan R2 berturut-turut berkisar 7,09 ± 0,65; 7,06 ± 0,43; 7,01 ± 0,66 g/ekor/hari, rataan konsumsi bahan organik 6,13 ± 0,58 (R0); 6,06 ± 0,36 (R1); 6,26 ± 0,78 (R2) g/ekor/hari, rataan konsumsi protein kasar 1,71 ± 0,16 (R0); 1,59 ± 0,09 (R1); 1,69 ± 0,21 (R2) g/ekor/hari, konsumsi energi bruto 296,66 ± 27,95 (R0); 301,98 ± 17,71 (R1); 313,072 ± 38,86 (R2) kal/g/ekor/hari, rataan PBB 0,55 ± 0,21 (R0); 0,45 ± 0,17 (R1); 0,53 ± 0,13 (R2) g/ekor/hari, rataan efisiensi penggunaan ransum 9,00% (R0); 7,00% (R1); 6,00% (R2), rataan kecernaan bahan kering 79,99 (R0); 76,89 (R1); 77,31% (R2), rataan kecernaan bahan organik 83,83 (R0); 80,74 (R1); 82,49% (R2), rataan kecernaan protein kasar 79,85 (R0);
76,46 (R1); 76,93% (R2), rataan kecernaan energi 81,15 (R0); 77,96 (R1); 78,66% (R2). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua ransum yang ditambah tepung daging buah pare tidak mempengaruhi konsumsi, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum, walaupun ada pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan kecernaan zat makanan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian pare dalam bentuk kering sampai level 10% dapat dilakukan karena tidak mengganggu performa tikus. Kata-kata kunci: tepung buah pare, kecernaan bahan kering, performa, tikus putih
ABSTRACT Use of Dried Bitter Melon ( Momordica charantia L.) on Consumption, Nutrient Digestibility and Performance of Rat (Rattus norvegicus) Ni Wayan S. D., A. S. Tjakradidjaja, F. A. Tjakradidjaja The present experiment was conducted to study feed consumption, growth rate and feed efficiency of rats that were offered pelleted diet composed of dried bitter melon. Eighteen of 120 days old rats with average initial weight of 88.34 ± 13.28 g were used in this experiment. The treatment diets were R0 = control diet, R1 = R0 + 5% dried bitter melon, R2 = R0 + 10% dried bitter melon. Treatments were allocated in a completely randomized design with six replications. Variables observed were feed consumption, nutrient digestibility, body weight gain and feed efficiency. The data were analyzed with Analysis of Variance (ANOVA) and significant differences were further tested by Contrast Ortogonal test. The average of feed consumption on dry matter basis were 7.09 ± 0.65 (R0); 7.06 ± 0.43 (R1); 7.01 ± 0.66 (R2) g/head/day, organic matter intakes were 6.13 ± 0.58 (R0); 6.06 ± 0.36 (R1); 6.26 ± 0.78 (R2) g/head/day, crude protein intakes were 1.71 ± 0.16 (R0); 1.59 ± 0.09 (R1); 1.69 ± 0.21 (R2) g/head/day, gross energy intakes were 296.66 ± 27.95 (R0); 301.98 ± 17.71 (R1); 313.072 ± 38.86 (R2) kal/g/head/day, body weight gain 0.55 ± 0.21 (R0); 0.45 ± 0.17 (R1); 0.53 ± 0.13 (R2) g/head/day, feed efficiency were 9.00 (R0); 7.00 (R1); 6.00% (R2), percentages dry matter digestibility were 79.99 (R0); 76.89 (R1); 77.31% (R2), organic matter digestibility were 83.83 (R0); 80.74 (R1); 82.49% (R2), crude protein digestibility were 79.85 (R0); 76.46 (R1); 76.93% (R2) and energy digestibility were 81.15 (R0); 77.96 (R1); 78.66% (R2). It is concluded that dried bitter melon had no effect on feed consumption, body weight gain and feed efficiency. However, there were significantly effects (P<0.01) on nutrient digestibility. Keywords: dried bitter melon (Momordica charantia L.), dry matter digestibility, performance, rat (Rattus norvegicus)
KAJIAN PEMBERIAN TEPUNG BUAH PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP KONSUMSI, KECERNAAN BAHAN KERING DAN PERFORMA TIKUS (Rattus norvegicus)
NI WAYAN SUKSMA DEWI D24104068
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KAJIAN PEMBERIAN TEPUNG BUAH PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP KONSUMSI, KECERNAAN BAHAN KERING DAN PERFORMA TIKUS (Rattus norvegicus)
Oleh NI WAYAN SUKSMA DEWI D24104068
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 15 Februari 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. A. S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. NIP. 131 624 189
dr. F. A. Tjakradidjaja, MS, Sp. GK NP. 010 605 0122
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mengesta, Tabanan-Bali pada tanggal 3 April 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak I Made Remaja dan Ibu Ni Ketut Sudaji. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Dharma Pertiwi pada tahun 1991. Pada tahun 1992, Penulis memasuki sekolah dasar di SDN 1 Mengesta dan lulus pada tahun 1998. Jenjang pendidikan menengah pertama ditempuh di SLTPN 1 Penebel pada tahun 1998 hingga tahun 2001. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Tabanan pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER), Kumpulan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) dan
Ikatan Mahasiswa Bali (BRAHMACARYA). Penulis juga kerap
mengikuti kepanitiaan acara kampus. Penulis pernah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Mahasiswa Berprestasi Angkatan Tahun 2004 tingkat departemen INTP pada semester ganjil 2006/2007. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Mikrobiologi Nutrisi pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Pemberian Tepung Buah Pare (Momordica charantia L.) terhadap Konsumsi, Kecernaan Bahan Kering dan Performa Tikus (Rattus norvegicus)”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari bulan Juli sampai dengan Oktober 2007 di Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hewan yang dibutuhkan untuk penelitian di laboratorium atau sebagai hewan piaraan adalah hewan yang mempunyai karakteristik produksi cepat, dapat dipelihara dengan biaya yang murah dan pemeliharaannya mudah. Selain itu pakan yang diberikan dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan. Tikus adalah salah satu hewan yang banyak digunakan di laboratorium karena memiliki anatomi, sifat produksi dan reproduksi yang menyerupai mamalia besar. Beberapa keunggulan tikus antara lain mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek dan pengadaan hewan ini tidak sulit. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan aktivitas biologis bahan aktif buah pare dapat menyebabkan sitotoksik,
antimikroba, herbisida,
spermisida dan berpengaruh pada metabolisme serta menghambat biosintesis sel. Hasil penelitian Chen et al. (2003 dan 2005) menunjukkan bahwa suplementasi pakan dengan pare dapat menurunkan kadar insulin dan leptin dalam serum. Pare juga berpengaruh pada metabolisme glukosa dan lipid yang dapat menetralkan efek dari pakan yang mengandung lemak tinggi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pare pada konsumsi, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan performa tikus yang berhubungan dengan metabolisme energi dan lemak. Penulis menghaturkan terima kasih atas kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Astungkara. Bogor, Februari 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
ii
ABSTRACT ...............................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan .............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
Tikus Putih sebagai Hewan Percobaan .......................................... Taksonomi Tikus Putih ...................................................... Kebutuhan Nutrisi Tikus .................................................... Kandang Tikus ................................................................... Pare (Momordica charantia L.) ..................................................... Khasiat Pare ....................................................................... Kandungan Kimia Pare ...................................................... Konsumsi Pakan ............................................................................. Kecernaan Bahan Kering ................................................................ Pertambahan Bobot Badan ............................................................. Efisiensi Penggunaan Ransum .......................................................
3 3 4 6 6 8 8 9 10 11 12
METODE ...................................................................................................
13
Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi ............................................................................................. Hewan Percobaan .............................................................. Kandang ............................................................................ Peralatan ............................................................................ Ransum ............................................................................... Rancangan ...................................................................................... Model ................................................................................ Peubah ............................................................................... Analisis data ...................................................................... Prosedur ......................................................................................... Pembuatan Tepung Buah Pare ......................................... Pembuatan Ransum Pelet .................................................
13 13 13 13 13 13 14 14 14 15 16 16 16
Pemberian Ransum .......................................................... Pengukuran Bobot Badan ................................................ Pengumpulan Feses ..........................................................
17 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
18
Kondisi Umum Penelitian .............................................................. Kandungan Zat Gizi Tepung Buah Pare ........................................ Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan ............................... Konsumsi, Ekskresi Feses dan Kecernaan Zat Makanan .............. Konsumsi Bahan Kering dan Zat Makanan ...................... Ekskresi Zat Makanan dalam Feses ................................. Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan ..................... Pertambahan Bobot Badan Tikus selama Penelitian .................... Efisiensi Penggunaan Ransum .......................................................
18 18 19 20 20 23 24 27 30
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
32
Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
32 32
UCAPAN TERIMA KASIH .....................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
34
LAMPIRAN ...............................................................................................
37
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Data Biologis Tikus ....................................................................
4
2.
Kebutuhan Nutrisi Tikus .............................................................
5
3.
Kandungan Zat Gizi Buah Pare pada Setiap 100 g Bahan yang dapat Dimakan ............................................................................
9
4.
Kandungan Zat Gizi Tepung Buah Pare .....................................
18
5.
Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan .............................
19
6.
Rataan Konsumsi, Feses dan Kecernaan Tikus Putih selama Penelitian ....................................................................................
21
Rataan Pertambahan Bobot Badan Tikus per Ekor per Hari selama Penelitian ........................................................................
28
Rataan Efisiensi Penggunaan Ransum per Ekor per Hari selama Penelitian ....................................................................................
30
7. 8.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Buah Pare (Momordica charantia L.) ...........................................
7
2.
Proses Pembuatan Tepung Buah Pare ............................................
16
3.
Kurva Hubungan Taraf Penggunaan Pare dengan Kecernaan Bahan Kering …………………………………………………….
26
Kurva Hubungan Taraf Penggunaan Pare dengan Kecernaan Bahan Organik ……………………………………………………
27
Grafik Perubahan Bobot Badan Tikus Putih selama Penelitian ......
29
4. 5.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering ......................................
38
2.
Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik ....................................
38
3.
Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar .......................................
38
4.
Sidik Ragam Konsumsi Energi ..................................................
38
5.
Sidik Ragam Bahan Kering Feses .............................................
38
6.
Sidik Ragam Bahan Organik Feses ...........................................
39
7.
Sidik Ragam Protein Kasar Feses ..............................................
39
8.
Sidik Ragam Energi Feses .........................................................
39
9.
Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering .....................................
39
10. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik ..................................
40
11. Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar ......................................
40
12. Sidik Ragam Kecernaan Energi .................................................
40
13. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan ...................................
40
14. Sidik Ragam Efisiensi Ransum ..................................................
41
15. Uji Lanjut Kecernaan Bahan Kering .........................................
41
16. Uji Lanjut Kecernaan Bahan Organik .......................................
41
17. Uji Lanjut Kecernaan Protein Kasar .........................................
42
18. Uji Lanjut Kecernaan Energi ....................................................
43
19. Uji Lanjut Bahan Kering Feses .................................................
43
20. Uji Lanjut Bahan Organik Feses ................................................
44
21. Uji Lanjut Energi Feses .............................................................
45
PENDAHULUAN Latar Belakang Hewan yang dibutuhkan untuk penelitian di laboratorium atau sebagai hewan piaraan adalah hewan yang mempunyai karakteristik produksi cepat, dapat dipelihara dengan biaya yang murah dan pemeliharaannya mudah. Selain itu pakan yang diberikan dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan. Tikus adalah salah satu hewan yang banyak digunakan di laboratorium karena memiliki anatomi yang mirip dengan mamalia dan beberapa keunggulan antara lain mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek dan
pengadaan hewan ini tidak sulit. Tikus
menyerupai manusia dalam evolusi manusia primitif sehingga sangat berguna dalam penelitian yang berhubungan dengan kondisi manusia dan sifat produksi serta reproduksinya menyerupai mamalia besar. Menurut Arrington (1972), alasan digunakannya hewan laboratorium sebagai objek penelitian dalam bidang peternakan, diantaranya karena biaya yang dibutuhkan tidak begitu mahal, efisien dalam waktu, kemampuan reproduksi yang tinggi pada waktu singkat dan sifat genetik dapat dibuat seseragam mungkin dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan ternak yang lebih besar. Tikus membutuhkan makanan yang mengandung protein 12%, tetapi dengan hanya diberikan makanan ayam petelur kebutuhan protein tikus sudah terpenuhi karena makanan ayam petelur mengandung 17% protein (Malole dan Pramono, 1989). Pare merupakan salah satu tanaman obat yang kaya nutrisi. Bahan aktif yang terkandung dalam daging buah pare yaitu momordisin, momordin, charantin, asam trikosapat, resin, asam resinat, (Mursito, 2002); senyawa tanin (1,2,3,4-butanatetrol), saponin (b-D-glukopiranosa) dan steroid/triterpenoid dengan inti kukurbitan (Setyaningsih, 1996); alkaloid, glikosida, aglicon, sterol, phenol dan protein (Tongia et al., 2004). Menurut Mursito (2002), salah satu khasiat pare adalah dapat merangsang nafsu makan. Dari hasil berbagai penelitian diketahui aktivitas biologis senyawa triterpen dapat menyebabkan sitotoksik, antimikroba, herbisida, spermisida dan berpengaruh pada metabolisme serta menghambat biosintesis sel. Hasil penelitian Chen et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi pakan dengan pare berpengaruh pada metabolisme glukosa dan lipid yang dapat menetralkan efek dari
pakan yang mengandung lemak tinggi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pare dan senyawa bioaktifnya dapat digunakan sebagai suplemen pakan yang dapat mengontrol bobot badan dan glukosa (Chen et al., 2005). Hasil penelitian Thasmi (1993) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah pare selama 52 hari sampai dosis 500 mg/kgBB tidak berpengaruh terhadap PBB tikus jantan. Penelitian Fardiani (2007) juga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah pare dengan dosis 0,6 ml/ekor/hari pada hamster betina tidak berpengaruh terhadap PBB walaupun secara deskriftif terdapat penurunan PBB. Waryani (2007) juga memberikan ekstrak buah pare dengan dosis 0,6 ml/ekor/hari tetapi pada hamster jantan dan menghasilkan hasil yang sama dengan Fardiani. Untuk meyakinkan hasil tersebut, dalam penelitian ini dicobakan pemberian pare untuk melihat efeknya terhadap konsumsi, kecernaan pakan dan performa tikus yang ada hubungannya dengan metabolisme energi dan lemak. Perumusan Masalah Pertambahan bobot badan (PBB) yang tinggi merupakan produk yang sangat diinginkan pada pemeliharaan ternak. Kolesterol tinggi sering terjadi seiring dengan PBB yang tinggi karena adanya penimbunan lemak (kolesterol) pada jaringan adiposa sehingga ditakutkan menjadi sumber penyakit. Bahan aktif yang terkandung dalam daging buah pare yaitu momordisin, momordin, asam trikosanat, asam resinat, glikosida triterpen dan sterol dapat merangsang nafsu makan sehingga meningkatkan konsumsi ternak. Selain itu kandungan dari bahan-bahan kimia tersebut juga dapat menurunkan kadar glukosa darah. Dengan turunnya kadar glukosa darah mengakibatkan adanya penurunan terhadap kolesterol karena pada kondisi ini mobilisasi lemak menjadi meningkat dan asam lemak dioksidasi untuk menyediakan energi. Asam lemak rantai pendek dalam makanan yang terutama dioksidasi di dalam hati tidak dapat disimpan sehingga dapat mengurangi kolesterol (Muchtadi et al., 1993). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian pare terhadap konsumsi, kecernaan pakan dan performa tikus yang berhubungan dengan metabolisme energi dan lemak tubuh.
TINJAUAN PUSTAKA Tikus Putih sebagai Hewan Percobaan Taksonomi Tikus Putih Tikus yang merupakan kelas Mammalia, famili Muridae dan genus Rattus mempunyai sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain yaitu tikus tidak dapat muntah. Hal tersebut karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat oesophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Baker et al. (1979), taksonomi tikus laboratorium seperti berikut : Kingdom
: Animal
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata (Craniata)
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Infrakelas
: Eutharia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Myomorpha
Superfamili
: Muroidea
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Malole dan Pramono (1989) menyatakan keunggulan tikus putih sebagai hewan percobaan yaitu karena siklus hidupnya yang relatif pendek, dari segi pengadaan tidak sulit karena dapat berkembangbiak dengan cepat, jenis hewan ini berukuran kecil sehingga pemeliharaannya relatif mudah, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan dan peliharaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Data biologis tikus disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Biologis Tikus Keterangan 1)
Kriteria Berat lahir
Keterangan2)
5-6 g
5-6 g
jantan
300-400 g
450-520 g
betina
250-300 g
250-300 g
Kecepatan tumbuh
5g/hari
-
Lama hidup
2-3 tahun, dapat 4 tahun
2,5-3,5 tahun
Lama produksi ekonomis
1 tahun
-
Perkawinan kelompok
3 betina : 1 jantan
-
Siklus birahi
4-5 hari
4-5 hari
Lama bunting
20-22 hari
21-23 hari
Jumlah anak
Rata-rata 9, dapat 20
6-12 ekor
Kawin sesudah beranak
1- 24 jam
-
Umur disapih
21 hari
21 hari
Umur dewasa
40-60 hari
-
jantan
10 minggu
-
betina
10 minggu
-
Konsumsi makanan
-
10g/100g BB/hari
Konsumsi air minum
-
10-12ml/100g BB/hari
Aktivitas
Nokturnal (malam)
-
Volume darah
57-70 ml/kg BB
54-70 ml/kg BB
Phospolipid
-
36-130 mg/dl
Trigliserida
-
26-145 mg/dl
Cholesterol
-
40-130 mg/dl
Berat badan dewasa
Umur dikawinkan
Sumber: 1) Smith dan Mangkoewidjojo(1988) 2) Malole dan Pramono (1989)
Kebutuhan Nutrisi Tikus Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi, protein 20-25% (akan tetapi hanya 12% jika protein tersebut lengkap berisi semua 10 asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar), lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5%
dan abu 4-5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kebutuhan nutrisi tikus lebih lengkap tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Tikus Nutrisi
Satuan
Konsentrasi dalam Ransum Berdasarkan 100% BK Pertumbuhan
Hidup pokok
Protein (ideal)
%
13,33
4,67
Lemak
%
5,55
5,55
Kkal/kg
4222,22
4222,22
Arginin
%
0,67
-
Aspargin
%
0,44
-
Asam glutamic
%
4,44
-
Histidin
%
0,33
0,09
Isoleusin
%
0,55
0,34
Leusin
%
0,83
0,20
Lisin
%
0,78
0,12
Methionin
%
0,67
0,25
Nonesensial
%
0,65
0,53
Kalsium
%
0,55
Fosfor
%
0,44
A
IU/kg
4444,44
D
IU/kg
1111,11
E
IU/kg
33,33
K1
µg/kg
55,55
Energi dapat dicerna Asam amino
Mineral
Vitamin
Sumber: NRC (1978)
Makanan tikus juga harus mengandung vitamin A (4000 IU/kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa-tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3 g/kg), tiamin (4 mg/kg), riboflavin (3 mg/kg), pantotenat (8 mg/kg), vitamin B12 (50 µg/kg), biotin (10 µg/kg), piridoksin (40-300 µg/kg), dan kolin (1000 mg/kg). Kualitas makanan tikus merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan tikus mencapai potensi
genetik untuk tumbuh, berbiak, hidup lama, atau reaksi setelah pengobatan. Setiap hari seekor tikus dewasa makan antara 12 g sampai 20 g makanan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989). Malole dan Pramono (1989) menjelaskan untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%) yang mudah diperoleh di toko makanan ayam, karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12% protein. Tikus membutuhkan jumlah lemak sekitar 5-15% setiap hari (Rogers, 1979). Lemak yang berlebihan akan disimpan dalam tubuh sebagai sumber cadangan energi. Tikus muda mempunyai jaringan lemak berwarna coklat di bagian leher sampai skapula, dan jumlahnya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur. Kandang Tikus Tikus biasanya dipelihara dalam kandang kotak terbuat dari metal atau plastik atau kayu yang ditutup dengan kawat yang dianyam dengan lubang anyaman 1,6 cm2. Luas lantai kandang yang dibutuhkan oleh tikus dewasa 250 cm2/ekor (berat tikus sekitar 300 g). Alas kandang biasanya terbuat dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk gergaji atau tongkol jagung yang harus bersih, tidak beracun, tidak menyebabkan alergi dan kering. Temperatur kandang yang ideal adalah 18-270C dengan rataan 220C dan kelembaban relatif 40-70% (Malole dan Pramono, 1989). Pare (Momordica charantia L.) Tanaman pare (Momordica charantia L.) dikenal luas di berbagai negara sehingga memiliki banyak nama. Di Indonesia pare mempunyai nama yang berbeda untuk setiap daerah seperti peria (Melayu); foria (Nias); pepare (Minangkabau);
paria (Batak Toba, Sunda); pare (Jawa Tengah); pepareh (Madura); pepule (Nusa Tenggara); palia (Makasar, Bugis); beleng gede (Gorontalo); popari (Manado); kepare (Ternate); papare (Halmahera, Maluku); pariane (Seram) (Sunarti, 2000). Pare merupakan tanaman merambat dengan ketinggian mencapai 5 m. Daun tunggal, berbentuk bulat panjang dan berwarna hijau tua. Bunga kecil-kecil berwarna kuning. Buah berbentuk bulat panjang, permukaan tidak rata, berwarna hijau saat masih muda dan berubah menjadi merah pada saat sudah masak (Mursito, 2002). Buah pare dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Buah Pare (Momordica charantia L.) Menurut Kartesz (1996), buah pare (M. charantia L.) memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Division
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Order
: Violales
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia L.
Pare tumbuh baik di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Tanaman ini mudah beradaptasi terhadap berbagai macam lingkungan dan dapat tumbuh sepanjang tahun. Tanaman ini dapat ditanam sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut. Pare mempunyai keanekaragaman bentuk dan ukuran buah. Ada tiga
kultivar yaitu pare gajih, pare kodok, dan pare hutan. Pare gajih berdaging tebal, hijau muda atau keputihan, besar dan panjang, rasa tidak begitu pahit. Pare kodok mempunyai buah yang berbentuk bulat pendek dan mempunyai rasa pahit. Pare hutan tumbuh liar, buah berukuran kecil dan mempunyai rasa pahit (Sunarti, 2000). Khasiat Pare Pare, selain sebagai makanan juga dipercaya menjadi obat berbagai macam penyakit. Hal ini didukung oleh Sunarti (2000), bahwa buah pare berkhasiat untuk mengobati batuk, radang tenggorokan, haus karena panas dalam, mata sakit dan merah, demam, malaria, pingsan karena udara panas, menambah nafsu makan, kencing manis, disentri, rematik, memperbanyak air susu, nyeri saat datang haid, sariawan, infeksi cacing gelang dan kurang gizi. Hasil penelitian Chen et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi pakan dengan pare dapat menurunkan insulin dan leptin dalam serum. Pare juga berpengaruh pada metabolisme glukosa dan lipid yang dapat menetralkan efek dari pakan yang mengandung lemak tinggi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pare dan senyawa bioaktifnya dapat digunakan sebagai suplemen pakan yang dapat mengontrol bobot badan dan glukosa (Chen et al., 2005). Pemberian air perasan buah pare secara oral dengan takaran 5 ml/kg berat badan kelinci menyebabkan penurunan kadar gula darah. Di samping itu, pemberian air perasan buah pare dengan takaran 1 ml/100g berat badan secara oral selama 21 hari dapat mempersulit kehamilan. Hasil percobaan in vitro menunjukkan bahwa air perasan buah pare 5% mampu membunuh cacing tambang pada anjing (Mursito, 2002). Kandungan Kimia Pare Sunarti
(2000)
menyatakan
buah
pare
mengandung
karantin,
hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C. Mursito (2002) memperjelas kandungan buah pare terdiri dari: momordisin, momordin, asam trikosapat, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C, serta minyak lemak. Penapisan fitokimia buah pare yang dilakukan oleh Setyaningsih (1996) menunjukkan adanya senyawa tanin (1,2,3,4butanatetrol), saponin (b-D-glukopiranosa) dan steroid/triterpenoid dengan inti kukurbitan. Lebih lanjut Tongia et al. (2004) menjelaskan bahwa kandungan kimia
ekstrak buah pare terdiri dari alkaloids, glycosides, aglycone, tanin, sterol, phenol dan protein. Pare juga mengandung zat nutrisi seperti yang tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Zat Gizi Buah Pare pada Setiap 100 g Bahan yang dapat Dimakan Komponen
Jumlah
Kalori
29,00 kal
Protein
1,10 g
Lemak
0,30 g
Karbohidrat
6,60 g
Kalsium
45,00 mg
Fosfor
64,00 mg
Besi
1,40 mg
Vitamin A
180,00 IU
Vitamin B1
0,08 mg
Vitamin C
52,00 mg
Air
91,20 g
Sumber: Sunarti (2000)
Menurut Okabe et al. (1982) yang dilaporkan oleh Thasmi (1993), pare mengandung 12 jenis glukosida triterpen yang dikenal dengan nama momordikosida A-L, sedangkan yang terdapat dalam buah pare adalah jenis K dan L. Aktivitas biologis senyawa triterpen dapat menyebabkan sitotoksik, antimikroba, herbisida, spermisida dan berpengaruh pada metabolisme serta menghambat biosintesis sel. Hasil penelitian Murakami et al. (2001) yang dilaporkan Grover et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan kimia lain pare yaitu: momorcharins, momordenol, momordicilin, momordicin, momordicinin, momordin, momordolol, charantin, charine, cryptoxanthin, cucurbitin, cucurbitacin, cucurbitan, cycloartenol, diosgenin, asam elaeostearic, erythrodiol, asam galacturonic, asam gentisic, goyaglikosida, goyasaponin dan multiflorenol. Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi makanan adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum. Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor ternak merupakan salah satu faktor penting yang secara
langsung mempengaruhi produktivitas ternak. Dalam dunia peternakan, tingkat konsumsi dapat disamakan dengan palatabilitas atau menggambarkan palatabilitas (Parakkasi, 1986). Menurut Scott et al. (1982), palatabilitas adalah rasa dari pakan itu sendiri sehingga mempengaruhi tingkat konsumsi. Secara umum palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna makanan. Konsumsi makanan dipengaruhi terutama oleh faktor kualitas makanan dan oleh faktor kebutuhan energi ternak yang bersangkutan. Makin baik kualitas makanannya, makin tinggi konsumsi makanan seekor ternak (Parakkasi, 1998). Tingkat konsumsi ransum pada tikus dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban kandang, kesehatan dan kualitas makanan (Malole dan Pramono, 1989). Daya cerna makanan diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi (Tillman et al., 1989). Jumlah bahan kering yang dapat dimakan oleh seekor hewan selama sehari perlu diketahui. Dengan mengetahui jumlah bahan kering yang dimakan dapat dipenuhi kebutuhan seekor hewan akan zat makanan yang perlu untuk pertumbuhannya, hidup pokok maupun produksinya. Bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai palatabilitas makanan yang diperlukan untuk menentukan mutu suatu pakan. Kemampuan ternak mengkonsumsi bahan makanan merupakan hal yang perlu diperhatikan karena erat hubungannya dengan tingkat produksi ternak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan variasi kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan (25%) dan konversi hasil pencernaan produk (15%) (Parakkasi, 1985). Rataan konsumsi harian seekor tikus betina putih strain sprague-dawley periode pertumbuhan dan reproduksi sekitar 10-15 g pakan/ekor/hari (NRC, 1978). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) juga menyatakan bahwa jumlah konsumsi tikus dewasa adalah 12-20 g pakan/ekor/hari dan 20-24 ml air/ekor/hari. Kecernaan Bahan Kering McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh ternak. Biasanya kecernaan ini dinyatakan dalam bahan kering (BK) dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998). Anggorodi (1990), menyatakan tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat
makanan yang diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang dibuang bersama feses. Anggorodi (1990) menyatakan bahwa pengukuran daya cerna adalah suatu usaha untuk meningkatkan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap di dalam saluran pencernaan. Nilai koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) komposisi kimiawi, 2) pengolahan makanan, 3) jumlah makanan yang diberikan dan 4) jenis hewan (Maynard dan Loosli, 1979). Ahlstrom dan Skrede (1998) melaporkan bahwa kecernaan nutrien dari tikus yang diberi pakan ad libitum sebagai berikut : bahan kering 86,20%, lemak 94,95%, karbohidrat 90,58%, protein 81,66%, abu 56,89%, pati 99,53% dan pati + gula 99,46%. Pertambahan Bobot Badan Maynard dan Loosli (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan peningkatan dalam struktur jaringan seperti otot, tulang dan organ, serta deposit lemak jaringan adiposa. Kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya (Aggorodi 1990). Maynard dan Loosly (1979) juga menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam ransum. Wahju (1985) juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah 45% faktor dalam dan 55% faktor luar/lingkungan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mempengaruhi pertambahan bobot badan, terutama keseimbangan energi dan protein serta zat-zat pakan lainnya yang terkandung di dalam pakan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tikus putih salah satunya adalah kualitas pakannya. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), kecepatan tumbuh seekor tikus sebesar 5 gram per hari. Hasil penelitian Chen et al. (2005) menunjukkan bahwa tikus yang disuplementasi ekstrak buah pare sebanyak 0,75% pada pakannya mempunyai massa
lemak viseral, glukosa plasma dan triasilgliserol hati yang lebih rendah dibanding kontrol. Pemberian pare dapat menurunkan akumulasi lemak jaringan yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas simpatik, lipolisis dan oksidasi lemak. Penelitian lain menunjukkan, tikus yang diberi infus daging buah pare sampai dengan dosis 5000 mg/kg bobot badan tidak berpengaruh terhadap bobot badan (Winarno
dan Sundari, 2003). Sedangkan penelitian Noguchi et al. (2001)
menunjukkan bahwa bobot badan akhir pada tikus yang disuplementasi ekstrak pare sebanyak 2% pada pakannya menyebabkan penurunan bobot badan. Efisiensi Penggunaan Ransum Eisiensi penggunaan ransum dihitung berdasarkan perbandingan rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi ransum (g/ekor/hari). Anggorodi (1990) menyatakan, faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan makanan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah suhu, gerak laju makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi dan keseimbangan zat nutrisi ransum. Palatabilitas ransum juga merupakan faktor penting dalam efisiensi ransum, sehingga diperlukan untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Konversi ransum sangat baik digunakan sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Keefisienan ransum dapat dilihat dari nilai konversi pakan, semakin rendah angka konversi maka efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi (Rasyaf, 1990). Hasil penelitian Chen et al. (2005) menunjukkan bahwa tikus yang disuplementasi ekstrak buah pare sebanyak 0,75% selama 4 minggu pemeliharaan pada pakannya mempunyai efisiensi penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak disuplementasi.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2007, di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Industri Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan 18 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa kelamin strain Sprague Dawley berumur sekitar 120 hari dengan rataan bobot badan 88,34 ± 13,29 g per ekor. Materi percobaan diperoleh dari Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kandang Kandang yang digunakan berukuran 31 x 26 x 12 cm3 sejumlah 18 buah, terbuat dari plastik dan dilengkapi dengan kawat penutup. Setiap kandang tersedia tempat air minum dengan kapasitas 150 ml terbuat dari kaca dan karet penutup botol dilengkapi dengan pipa logam. Kandang diberi alas sekam padi sebanyak 105-115 g/kandang, diganti setiap penimbangan bobot badan (setiap tujuh hari). Masingmasing kandang ditempatkan diatas rak terbuat dari kayu balok. Peralatan Timbangan yang digunakan adalah timbangan manual yang bermerek Meganexus dengan ketelitian 0,1 g. Peralatan lain yang digunakan adalah termometer, stoples untuk penimbangan tikus dan sekam, gunting, label, kantong plastik, sarung tangan dan masker. Ransum Ransum kontrol yang digunakan selama penelitian merupakan ransum komersil yaitu ransum broiler periode starter dengan merek BR 1 CP 511, dan ransum tersebut berbentuk crumble. Komposisi pakan ransum kontrol terdiri dari: jagung, dedak padi, tepung ikan, bungkil kedele, bungkil kelapa, tepung daging dan tepung tulang (MBM), pecahan gandum, bungkil kacang tanah, tepung daun, canola,
calsium phosphat, vitamin, trace mineral, dan antioksidan. Delapan belas ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok dan diberi salah satu dari 3 perlakuan ransum secara acak. Masing-masing perlakuan terdiri dari satu ekor tikus yang ditempatkan dalam kandang plastik. Ketiga ransum perlakuan yang digunakan adalah: R0
= Ransum kontrol
R1
= R0 + 5 % tepung daging buah pare
R2
= R0 + 10% tepung daging buah pare Rancangan
Model Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan dengan model matematika sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Keterangan : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai rataan umum τi = Efek perlakuan ke-i εij = Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Konsumsi ransum (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan ransum sisa setiap minggu, dan untuk mendapatkan konsumsi ransum per hari, hasil yang diperoleh dibagi tujuh. Konsumsi BK ransum diperoleh dengan mengalikan konsumsi (g/ekor/hari) dengan persentase BK ransum. b. Konsumsi Zat Makanan (g/ekor/hari) Konsumsi zat makanan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengalikan konsumsi BK ransum (g/ekor/hari) dengan persentase kandungan zat makanan.
c. Koefisien Cerna Bahan Kering (%) Kecernaan bahan kering merupakan selisih antara bahan kering yang dikonsumsi dengan bahan kering sisa yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan bahan kering yang dikonsumsi dikali seratus persen. d. Koefisien Cerna Bahan Organik (%) Kecernaan bahan organik hasil dari perhitungan selisih antara bahan organik yang dikonsumsi dengan bahan organik sisa yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan bahan organik yang dikonsumsi dikali seratus persen e. Koefisien Cerna Protein Kasar (%) Kecernaan protein diperoleh dengan cara menghitung selisih protein kasar yang dikonsumsi dengan protein feses dibagi dengan protein kasar yang dikonsumsi dikali seratus persen. f. Koefisien Cerna Energi (%) Kecernaan energi diperoleh dengan cara menghitung selisih energi yang dikonsumsi dengan energi feses dibagi dengan energi yang dikonsumsi dikali seratus persen g. Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari) Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) diperoleh dari selisih antara bobot badan akhir dengan bobot badan awal dibagi dengan lama waktu penelitian. h. Efisiensi Penggunaan Ransum Efisiensi ransum dihitung berdasarkan perbandingan pertambahan bobot badan harian dengan konsumsi ransum harian. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Ortogonal Kontras, kemudian untuk mendapatkan tipe kurva pendugaan yang terbaik data diolah dengan uji Polinomial Kontras (Steel dan Torrie, 1993).
Prosedur Pembuatan Tepung Buah Pare Pare yang diberi ke ternak adalah dalam bentuk pelet, terlebih dahulu dibuat dalam bentuk tepung buah pare. Proses pembuatan tepung buah pare dapat dilihat pada Gambar 2. Buah pare (Momordica charantia L.) ditimbang Dibuang tangkai dan bijinya Diiris tipis-tipis Ditimbang
Dikeringkan di bawah matahari sampai kering (selama ± 3 hari) Setelah kering, digiling dengan alat penggiling Tepung buah pare Ditimbang Gambar 2. Proses Pembuatan Tepung Buah Pare Pembuatan Ransum Pelet Tepung pare dicampur dengan ransum komersial broiler starter yang berbentuk mash secara manual hingga homogen, kemudian dimasukkan ke dalam mesin pelet. Pelet yang baru keluar dari mesin pelet diangin–anginkan terlebih dahulu, kemudian disimpan dalam kantong plastik yang telah diberi tanda sesuai dengan perlakuan. Pembuatan pelet dilakukan di PT Indofeed.
Pemberian Ransum Pemeliharaan tikus dilakukan selama 8 minggu dengan periode preliminary selama 2 minggu dan selama 6 minggu berikutnya dilakukan penerapan perlakuan serta pengumpulan feses. Pakan diberikan ad libitum setiap hari dengan berpatokan pada sisa pakan. Air minum diberikan ad libitum, dan setiap minggu dilakukan pergantian. Konsumsi pakan dihitung setiap satu minggu sekali. Sampel ransum yang diberikan dan sisa ransum dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam, untuk digunakan dalam perhitungan konsumsi bahan kering ransum. Pengukuran Bobot Badan Pada awal percobaan tikus ditimbang. Penimbangan dilakukan seminggu sekali. Setiap tikus diukur bobot badannya dengan menggunakan timbangan, dan wadah plastik bertutup sebagai alat bantu dalam penimbangan tikus. Pengumpulan Feses Pengambilan contoh feses dilakukan setiap minggu sekali selama penelitian. Feses yang ada dalam kandang terlebih dahulu dipisahkan dari sekam yang menempel pada feses. Adapun cara pemisahan feses yaitu dengan cara dijemur di bawah matahari sampai kering, kemudian baru dipisah satu persatu dari sekam. Selanjutnya feses yang terkumpul ditimbang dengan menggunakan timbangan manual. Setelah delapan minggu contoh feses tersebut dikomposit, kemudian diambil sampel sebanyak yang diperlukan untuk dianalisa proksimat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama penelitian berlangsung, temperatur dan kelembaban kandang selalu diukur. Temperatur rata-rata ruangan selama penelitian berturut-turut pada pagi, siang, sore dan malam adalah 25,58 ± 1,38; 32,40 ± 0,99; 31,22 ± 1,39 dan 26,33 ± 1,5 0C dengan rataan suhu harian 28,88 0C. Sedangkan kelembaban relatif ruangan adalah 83,81 ± 4,91 pada pagi hari, 63,81 ± 7,02 pada siang hari, 68,56 ± 7,17 pada sore hari dan 84,5 ± 6,14% pada malam hari dengan rataan kelembaban relatif harian 75,17%. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa, temperatur kandang yang ideal adalah 18-27 0C dengan rataan 22 0C dan kelembaban relatif 40%-70%. Kondisi ini menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban relatif kandang selama penelitian lebih tinggi dari yang direkomendasikan untuk suhu dan kelembaban relatif yang ideal untuk tikus. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berumur sekitar 120 hari karena tikus sudah dewasa kelamin dan mendekati dewasa tubuh sehingga penimbunan lemaknya lebih banyak. Oleh karena itu diharapkan efek perlakuan lebih terlihat terhadap performa tikus yang berhubungan dengan metabolisme lemak. Kandungan Zat Gizi Tepung Buah Pare Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat gizi tepung buah pare disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Zat Gizi Tepung Buah Pare1 Kandungan Zat Nutrisi
Jumlah
Bahan kering (%)
86,48
Abu (% BK)
7,61
Protein kasar (% BK)
23,59
Lemak kasar (% BK)
0,15
Serat kasar (% BK)
22,85
Beta-N (% BK)
45,8
Energi Bruto (kal/g)
3932,7
Keterangan: 1Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2007). BK = bahan kering
Dari Tabel 4 terlihat bahwa buah pare mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi yaitu mengandung protein kasar (PK) sebesar 23,59% BK, tetapi kandungan serat kasar (SK) pare juga tinggi yaitu sebesar 22,85% BK. Hal tersebut mengindikasikan bahwa buah pare dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber protein akan tetapi penggunaannya dibatasi oleh kandungan serat kasar yang tinggi. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan1 Ransum Perlakuan Kandungan Zat Makanan Bahan kering (%) Abu (% BK) Protein kasar (% BK) Lemak kasar (% BK) Serat kasar (% BK) Beta-N (% BK) Energi Bruto (kal/g) Keterangan:
1
R0
R1
R2
89,90
90,28
90,00
8,78
8,94
9,39
25,43
23,83
24,43
7,23
7,07
7,56
6,40
8,51
7,61
52,17
51,66
51,01
4412,68
4518,17
4530,00
Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2007). R0 = Ransum kontrol, R1 = R0 + 5% tepung daging buah pare, R2 = R0 + 10% tepung daging buah pare, BK = bahan kering.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa penambahan tepung buah pare ke dalam ransum basal dapat mengubah komposisi zat makanan dari ransum kontrol. Secara umum perubahan tersebut adalah bahan kering, abu dan serat kasar meningkat, kandungan protein kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen menurun sedangkan kandungan lemak kasar menurun pada level penambahan pare 5% dan meningkat pada level penambahan pare 10%. Penurunan kandungan PK sebesar 6,29% (R1) dan 3,93% (R2) dibandingkan ransum kontrol (R0) dapat disebabkan oleh proses pemanasan yang dialami oleh R1 dan R2 lebih lama dibandingkan R0, yaitu pada saat dikeringmataharikan untuk pembuatan tepung pare. Kandungan PK pare (23,59% BK) lebih rendah dibandingkan ransum kontrol yang kandungan PK-nya sebesar 25,43%. Hal ini menyebabkan dengan penambahan pare pada ransum kontrol,
kandungan PK ransum pada R1 dan R2 lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Kandungan SK pada ransum R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan R0. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan SK pada pare (22,85% BK) dibandingkan SK ransum kontrol (6,40% BK) sehingga ketika pare dicampur dengan ransum kontrol pada R1 dan R2, kandungan SK-nya menjadi lebih tinggi. Kandungan serat kasar ransum R1 lebih tinggi dibandingkan R2, padahal seharusnya dengan penambahan tepung buah pare yang lebih banyak pada R2, serat kasarnya meningkat pada R2. Hal ini disebabkan oleh pencampuran ransum yang kurang homogen sehingga pada saat diambil sampel untuk analisis hasilnya kurang sesuai. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada level penambahan pare 5% menurun sebesar 0,17%, sedangkan pada level penambahan pare 10% kandungan bahan organik (BO) menurun sebesar 0,68% dibandingkan ransum kontrol. Hal ini disebabkan oleh kandungan BK pada R2 lebih kecil dibandingkan R1. Kandungan BK yang berbeda antar ransum perlakuan dapat menyebabkan perbedaan komposisi BO ransum. Konsumsi, Ekskresi Feses dan Kecernaan Zat Makanan Konsumsi Bahan Kering dan Zat Makanan Kebutuhan hidup pokok dan produksi hewan dipenuhi dengan cara mengkonsumsi ransum. Menurut NRC (1978), rataan konsumsi seekor tikus betina putih strain sprague dawley periode pertumbuhan dan reproduksi sekitar 10-15 g pakan/ekor/hari. Berdasarkan analisis ragam, penambahan tepung daging buah pare sampai taraf 10% pada ransum kontrol, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar dan energi ransum perlakuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah konsumsi ransum pada ransum yang ditambahkan pare adalah sama dengan jumlah konsumsi ransum kontrol oleh tikus. Hasil ini menunjukkan tingkat kesukaan tikus terhadap ransum yang ditambahkan pare hampir sama dengan ransum kontrol. Menurut Parakkasi (1986) tingkat konsumsi dapat menggambarkan palatabilitas suatu pakan. Palatabilitas
adalah rasa dari pakan itu sendiri sehingga mempengaruhi tingkat
konsumsi. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah kualitas ransum yang diberikan (Parakkasi, 1998). Status protein ransum dalam
penelitian ini adalah 23,83-25,43% BK, sehingga status protein ransum dalam penelitian ini sudah sesuai dengan kadar protein yang diperlukan tikus menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 20-25% BK. Rataan konsumsi ransum, jumlah feses dan kecernaan zat makanan
tikus selama penelitian selengkapnya
disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Konsumsi, Feses dan Kecernaan Tikus Putih selama Penelitian Peubah
Ransum Perlakuan R0
R1
R2
7,09 ± 0,65 6,13 ± 0,58 1,71 ± 0,16 296,66 ± 27,95
7,06 ± 0,43 6,06 ± 0,36 1,59 ± 0,09 301,98 ± 17,71
7,01 ± 0,66 6,26 ± 0,78 1,69 ± 0,21 313,07 ± 38,86
Bahan kering (g/ekor/hari)
1,23 ± 0,13a
1,5 ± 0,05 b
1,47 ± 0,13 b
Bahan organik (g/ekor/hari)
0,96 ± 0,10 A
1,14 ± 0,04B
1,03 ± 0,09 B
Protein kasar (g/ekor/hari)
0,33 ± 0,03
0,36 ± 0,01
0,37 ± 0,03
Konsumsi Bahan kering (g/ekor/hari) Bahan organik (g/ekor/hari) Protein kasar (g/ekor/hari) Energi (kal/ekor/hari) Feses
Energi (kal/ekor/hari)
A
B
62,7 ± 5,61B
53,94 ± 5,44
64,67 ± 2,33
Bahan kering (g/ekor/hari)
5,78 ± 0,54
5,55 ± 0,39
5,55 ± 0,56
Bahan organik (g/ekor/hari)
4,67 ± 0,45
4,48 ± 0,28
4,70 ± 0,72
Protein kasar (g/ekor/hari)
1,25 ± 0,12
1,12 ± 0,07
1,20 ± 0,17
256,27 ± 24,21
260,83 ± 15,61
270,04 ± 34,25
Bahan kering (%)
79,99 ± 1,00 B
76,89 ± 0,78 A
77,31 ± 1,32 A
Bahan organik (%)
83,83 ± 0,81 B
80,74 ± 0,65 A
82,49 ± 1,02 A
Protein kasar (%)
79,85 ± 1,01 B
76,46 ± 0,79 A
76,93 ± 1,34 A
Energi (%)
81,15 ± 0,95 B
77,96 ± 0,74 A
78,66 ± 1,24 A
Tercerna
Energi (kal/ekor/hari) Koefisien Cerna
Keterangan: R0 = Ransum kontrol, R1 = R0 + 5% tepung daging buah pare, R2 = R0 + 10% tepung daging buah pare. Superskript huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01), Superskript huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Hasil penelitian Fardiani (2007) menyatakan bahwa pemberian ekstrak air buah pare dengan dosis 0,6 ml/ekor/hari pada hamster betina dapat meningkatkan konsumsi ransum, salah satu faktornya adalah karena pare dapat merangsang nafsu makan. Walaupun banyak literatur menyebutkan bahwa pare memiliki khasiat dapat meningkatkan nafsu makan namun dalam penelitian ini efeknya belum dapat dilihat.
Hal ini dapat disebabkan adanya efek rasa pahit yang ditimbulkan oleh cucurbitacin yang terkandung dalam daging buah pare yang menyebabkan palatabilitas ransum rendah. Palatabilitas ransum yang rendah mengakibatkan konsumsi ransum yang rendah. Konsumsi Bahan Kering. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa, rataan konsumsi bahan kering tikus selama penelitian berkisar antara 7,01-7,09 g/ekor/hari yaitu lebih rendah dari yang diungkapkan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa setiap hari seekor tikus dewasa makan antara 12-20 g pakan. Hal ini dapat disebabkan oleh management pemeliharaan yang berbeda, faktor suhu dan kelembaban udara. Peningkatan suhu lingkungan dapat menurunkan tingkat konsumsi (Anggorodi, 1990). Suhu dan kelembaban udara
selama
penelitian
lebih tinggi dari yang
dianjurkan untuk suhu dan kelembaban relatif yang ideal untuk pertumbuhan tikus yaitu sebesar 28,88± 3,42 0C dengan RH 75,17 ± 10,56%. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa, temperatur
kandang
yang
ideal
adalah 18-27 0C
dengan rataan 22 0C dan kelembaban relatif 40-70%. Peningkatan suhu lingkungan akan menurunkan tingkat konsumsi karena tikus stres (Anggorodi, 1990). Selain itu protein ransum yang terlalu tinggi juga membuat tikus stres karena produksi panas asal oksidasi protein sangat tinggi melebihi produksi panas asal karbohidrat (Sutardi, 1980). Suhu dan kelembaban udara yang terlalu tinggi memperparah stres pada tikus sehingga konsumsi menurun. Secara deskriptif, konsumsi BK pada ransum yang ditambahkan pare menurun sebesar 0,43% (R1) dan 1,13% (R2) dibandingkan ransum kontrol (R0). Hal ini dapat disebabkan, pada level penambahan pare sebanyak 5% dan 10%, rasa, bau dan warna sudah mengalami perubahan dibandingkan dengan ransum kontrol. Perubahan rasa, bau dan warna dapat mempengaruhi palatabilitas tikus dalam mengkonsumsi ransum yang ditambahkan pare. Selain itu juga disebabkan oleh komposisi bahan kering ransum yang berbeda. Secara umum palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna makanan Scott et al. (1982). Konsumsi Bahan Organik. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa, rataan konsumsi bahan organik selama penelitian berkisar antara 6,06-6,26 g/ekor/hari. Secara deskriptif, konsumsi bahan organik dari yang tertinggi sampai terendah adalah berturut-turut R2>R0>R1. Konsumsi bahan organik (BO) R0, R1 dan R2 berturut-
turut adalah 86,46% BK, 85,84% BK dan 89,30% BK. Penambahan pare menyebabkan penurunan konsumsi BO sebesar 0,72% pada R1, sedangkan pada R2 meningkatkan konsumsi BO sebesar 3,28%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa konsumsi BO yang tertinggi adalah pada tikus yang diberi ransum yang ditambahkan 10% pare. Konsumsi Protein Kasar. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa, rataan konsumsi protein kasar (PK) berkisar antara 1,59-1,71 g/ekor/hari. Konsumsi PK pada R0, R1 dan R2 berturut-turut adalah 24,12% BK, 22,52% BK dan 24,11% BK. Nilai tersebut menunjukkan bahwa penambahan pare pada ransum kontrol dapat menurunkan konsumsi PK sebesar 6,63% (R1) dan 0,04% (R2) dibandingkan dengan R0. Konsumsi PK yang lebih rendah pada R1 dan R2 dapat disebabkan oleh kandungan PK ransum R1 dan R2 lebih rendah dibandingkan R0. Selain itu, kandungan serat kasar dalam ransum juga dapat mempengaruhi konsumsi zat makanan lainnya. Tingginya kandungan serat kasar pada R1 dan R2 menyebabkan konsumsi PK pada R1 dan R2 lebih rendah dibandingkan R0. Konsumsi Energi. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa, rataan konsumsi energi bruto
berkisar antara 296,66-313,07 kal/g/ekor/hari. Konsumsi energi tertinggi
adalah pada tikus yang diberi ransum R2. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi BO yang tertinggi terjadi pada R2. Komponen BO yang meliputi pati, SK dan LK merupakan sumber energi, sehingga konsumsi energi pada R2 tinggi. Ekskresi Zat Makanan dalam Feses Berdasarkan hasil sidik ragam, penambahan tepung daging buah pare sampai taraf 10% pada ransum kontrol memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan BK feses (P<0,05), dan sangat nyata terhadap peningkatan BO dan energi feses (P<0,01). Sedangkan penambahan tepung daging buah pare sampai taraf 10% pada ransum kontrol tidak berpengaruh nyata terhadap PK feses. Hal ini menunjukkan bahwa ada komponen BO selain PK yang banyak dikeluarkan melalui feses, yang kemungkinan besar adalah bahan sumber energi yaitu dapat berupa karbohidrat atau LK. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sriutami (2008) (data yang belum dipublikasikan) yaitu bahwa penambahan pare sebanyak 5% dan 10% ke dalam ransum kontrol secara nyata meningkatkan ekskresi LK dan SK.
Rataan BK, BO, dan PK feses berturut-turut berkisar antara 1,23-1,50; 0,961,14 dan 0,33-0,37 g/ekor/hari. Sedangkan rataan energi feses berkisar antara 53,9464,67 kal/g/ekor/hari. Bahan kering feses pada ransum yang ditambahkan pare meningkat sebesar 20,32% (R1) dan 19,51% (R2), bahan organik feses meningkat sebesar 18,75% (R1) dan 7,29% (R2), sedangkan energi feses meningkat sebesar 19,89% (R1) dan 16,24% (R2) dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Kandungan BK dan zat makanan dalam feses sangat tergantung pada zat makanan dalam ransum dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Banyaknya ekskresi BO dan energi menunjukkan bahwa hanya sedikit dari zat makanan tersebut yang dapat dicerna dan diserap oleh tubuh tikus. Dengan ekskresi PK yang sama pada R1, R2 dan R3 dan ekskresi BO yang meningkat dengan pemberian pare menunjukkan bahwa pada tikus perlakuan ekskresi BO selain PK-nya tinggi. Artinya bahwa ada komponen bahan organik sumber energi yang banyak terbuang lewat feses. Kemungkinan bahan sumber energi tersebut adalah LK, SK atau pati. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sriutami (2008) (data yang belum dipublikasikan) yaitu bahwa penambahan pare sebanyak 5% dan 10% ke dalam ransum kontrol secara nyata meningkatkan ekskresi LK dan SK. Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa tingginya energi yang terbuang lewat feses disebabkan oleh tingginya LK dan SK yang terbuang lewat feses. Bahan organik terdiri dari PK, LK, SK dan pati. Jika LK dan SK meningkat, walaupun PK dan patinya tetap dalam feses, maka akan berdampak pada energi feses yang tinggi pula. Serat kasar memiliki sifat daya serap dan adsortif nutrien dalam tubuh sehingga serat dapat membentuk ikatan kompleks dengan sumber nutrient dan akhirnya dikeluarkan bersama feses (James dan Gropper, 1990). Kecernaan Bahan Kering dan Zat makanan Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang dicerna oleh tubuh hewan yang tidak diekskresikan melalui feses. Nilai rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan energi dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kecernaan bahan kering berkisar antara 76,89-79,99%, kecernaan bahan organik berkisar antara 80,74-83,83%. Kisaran kecernaan protein kasar yaitu 76,46-79,85%, sedangkan kecernaan energi berkisar antara 77,96-81,15%. Berdasarkan hasil sidik
ragam (ANOVA), penambahan pare pada ransum kontrol berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan energi. Penambahan tepung buah pare sebanyak 5 dan 10% menurunkan kecernaan zat makanan dibandingkan ransum kontrol. Penambahan tepung buah pare sebanyak 5% (R1) menurunkan kecernaan BK 3,87%, kecernaan BO 3,69%, kecernaan PK 4,25% dan kecernaan energi 3,93%. Untuk R2 penurunan kecernaan BK sebesar 3,35%, kecernaan BO 1,60%, kecernaan PK 3,66% dan kecernaan energi 3,07%. Menurunnya kecernaan zat makanan ransum yang ditambahkan tepung daging buah pare diduga karena bertambahnya kandungan serat kasar sehingga ransum menjadi sulit dicerna. Selain itu pada tikus yang diberi pare konsumsi ransumnya rendah, dan ekskresi zat makanan tinggi di feses sehingga kecernaan zat makanan menurun. Tillman et al. (1998) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu
komposisi makanan, salah satunya adalah serat
kasar. Selain dipengaruhi oleh komposisi nutrisi makanan, kecernaan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya zat antinutrisi dalam bahan makanan tersebut. Serat kasar yang tinggi menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Anggorodi (1990), bahwa semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan maka semakin rendah daya cerna bahan makanan tersebut. Kecernaan dipengaruhi oleh konsumsi dan ekskresi feses. Menurunnya kecernaan BK dan BO disebabkan oleh ekskresi zat makanan dalam feses yang tinggi. Berdasarkan komposisi zat makanan ransum percobaan, terlihat bahwa kandungan serat kasar pada ransum yang ditambahkan tepung daging buah pare mengalami peningkatan sehingga dapat menurunkan kecernaan zat makanan. Adanya zat antinutrisi seperti tanin dan saponin di dalam buah pare dapat juga sebagai penyebab menurunnya nilai kecernaan zat makanan terutama protein. Tanin dapat berikatan dengan enzim-enzim pencernaan sehingga aktivitas enzim saluran pencernaan
dalam
mencerna
zat
makanan
menjadi
terganggu.
Saponin
mengakibatkan terjadinya iritasi saluran pencernaan (Cheeke et al., 2000 ), sehingga dapat menurunkan kecernaan.
Hubungan taraf penggunaan pare dalam ransum dengan kecernaan bahan kering mengikuti persamaan kuadratik Y = 0,07 X2 – 0,97 X + 70,83 dengan R2 = 0,69,
dimana Y adalah kecernaan bahan kering dan X adalah persentase
penambahan tepung buah pare. Berdasarkan persamaan tersebut, terlihat bahwa kecernaan bahan kering minimum akan terjadi pada level penambahan pare 6,93 %. Grafik menunjukkan bahwa
pada level penambahan pare 5% kecernaan bahan
kering menurun, kemudian kecernaan bahan kering
meningkat lagi pada level
penambahan pare 10% pada ransum kontrol. Kurva kecernaan bahan kering disajikan pada Gambar 4. 71
Kecernaan BK (%)
70.5 70 69.5
y = 0,07x 2 - 0,97x + 70,83 R2 = 0,69
69
Kecernaan BK Poly. (Kecernaan BK)
68.5 68 67.5 67 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Level Pare (%)
Gambar 4. Kurva Hubungan Taraf Penggunaan Pare dengan Kecernaan Bahan Kering Kecernaan bahan organik hubungannya dengan level penambahan pare mengikuti persamaan kuadratik berikut Y = 0,10 X2 – 1,10 X + 91,24 dengan R2 = 0,75, dimana Y adalah kecernaan bahan organik dan X adalah persentase penambahan tepung buah pare. Berdasarkan persamaan tersebut, terlihat bahwa kecernaan bahan organik minimum akan terjadi pada level penambahan pare 5,50 %. Grafik menunjukkan bahwa
pada level penambahan pare 5% kecernaan bahan
organik menurun, kemudian kecernaan bahan organik meningkat lagi pada level penambahan pare 10% pada ransum kontrol. Kurva kecernaan bahan organik disajikan pada Gambar 5.
Kecernaan BO (%)
91.5 91 90.5 y = 0,1x 2 - 1,1x + 91,24 R2 = 0,75
90 89.5
Kecernaan BO Poly. (Kecernaan BO)
89 88.5 88 0
1 2
3
4 5
6 7
8
9 10 11
Level Pare (%)
Gambar 5. Kurva Hubungan Taraf Penggunaan Pare dengan Kecernaan Bahan Organik Pertambahan Bobot Badan Tikus selama Penelitian Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ternak adalah dengan mengukur pertambahan bobot badan dalam periode waktu tertentu. Besarnya tingkat pertumbuhan hewan merupakan manifestasi dari pemanfaatan pakan oleh tubuh ternak yang sangat bergantung pada kualitas pakannya. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa, pemberian pare tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan tikus selama penelitian. Akan tetapi ada kecenderungan bahwa dengan penambahan pare, rataan pertambahan bobot badan tikus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan ransum yang ditambahkan pare, konsumsi dan kecernaan zat makanan oleh ternak berkurang sehingga tidak banyak zat makanan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tikus untuk pertumbuhan dan pada akhirnya menyebabkan rataan pertambahan bobot badan tikus menjadi relatif kecil. Konsumsi energi yang lebih tinggi pada R1 dan R2 dibandingkan R0 seharusnya memberikan PBB yang lebih tinggi pada R1 dan R2, akan tetapi energi yang dikeluarkan melalui feses pada R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan R0. Kondisi tersebut menyebabkan kecernaan energi yang lebih rendah pada R1 dan R2, sehingga PBB terjadi sedikit penurunan walupun secara statistik tidak berbeda nyata. Energi yang dapat diserap oleh tubuh tikus adalah lebih banyak berupa energi dari protein. Kondisi ini dapat dilihat dari tidak adanya perbedaan protein yang terbuang ke feses, sebaliknya banyak lemak yang diekskresikan di feses. Bahan aktif buah
pare juga dapat mengaktifkan sistem simpatetik yang merupakan salah satu mekanisme untuk meningkatkan oksidasi lemak dan lipolisis (pemecahan lemak), sehingga deposit ataupun penyimpanan lemak menurun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Chen et al. (2003 dan 2005) menunjukkan bahwa pare sebagai suplemen pakan yang dapat mengontrol bobot badan dan glukosa melalui aktivitas simpatetik, lipolisis dan oksidasi lemak. Hasil ini mengindikasikan bahwa energi yang diperoleh dari ransum lebih banyak digunakan untuk membentuk otot dibandingkan lemak tubuh. Hal tersebut akan sangat bermanfaat jika diterapkan pada ternak produksi yang ditujukan untuk menghasilkan ”lean meat ”. Rataan PBB tikus berkisar antara 0,45-0,55 g/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan tikus jauh lebih rendah daripada kecepatan tumbuh seekor tikus sebesar 5 g/ekor/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pertambahan bobot badan yang rendah dapat disebabkan oleh konsumsi pakan yang rendah. Selain itu juga disebabkan oleh kecernaan pakan yang rendah pula, sehingga zat makanan banyak dikeluarkan lewat feses. Zat makanan banyak diekskresikan ke dalam feses padahal seharusnya tikus memerlukan nutrisi yang besar untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Potensi genetik untuk tumbuh tikus juga sudah mencapai maksimum karena sudah melewati fase pertumbuhan yang cepat. Rata-rata pertambahan bobot badan tikus selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan Tikus per Ekor per Hari selama Penelitian Peubah
Ransum Perlakuan R0
R1
R2
BB awal (g/ekor)
122,43 ± 12,12
124,57 ± 7,65
123,10 ± 16,07
BB akhir (g/ekor)
145,60 ± 13,77
143,55 ± 4,47
141,80 ± 9,56
PBB (g/ekor/hari)
0,55 ± 0,21
0,45 ± 0,17
0,53 ± 0,13
Keterangan: R0 = Ransum kontrol, R1 = R0 + 5% tepung daging buah pare, R2 = R0 + 10% tepung daging buah pare. BB = bobot badan, PBB = pertambahan bobot badan
Sudono (1981) menjelaskan bahwa mencit memiliki kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid yang terbagi dalam dua fase, yaitu: 1) fase tumbuh cepat saat laju PBB mencit meningkat tajam dan 2) fase tumbuh lambat saat laju PBB mulai
menurun sampai menjadi nol, yaitu saat hewan telah mencapai dewasa tubuh. Tikus putih sendiri mencapai dewasa kelamin yaitu matang secara seksual pada umur ± 10 minggu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), 50-60 hari (Malole dan Pramono, 1989). Kecepatan tumbuh seekor tikus turun setelah berumur 100 hari (Muchtadi, 1989). Diduga bahwa tikus sudah memasuki fase pertumbuhan yang lambat karena tikus yang digunakan dalam penelitian ini sudah berumur sekitar 120 hari, sehingga tikus sudah dewasa kelamin dan mendekati dewasa tubuh. Secara umum, pertambahan bobot badan tikus bervariasi setiap minggunya, dari minggu pertama sampai akhir penelitian. Rataan pertambahan bobot badan tikus selama penelitian untuk R0, R1 dan R2 masing-masing adalah 0,55 ± 0,21, 0,45 ± 0,17 dan 0,53 ± 0,13 g/ekor/hari. Semua tikus yang diberi perlakuan mengalami variasi perubahan bobot badan setiap minggunya. Bobot badan awal sampai minggu keempat perlakuan cenderung mempunyai pola yang sama, yaitu bobot badan pada perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan R0 dan R2. Pada dua minggu terakhir terlihat bahwa bobot badan pada tikus yang mendapat perlakuan R1 dan R2 lebih rendah dibandingkan tikus yang diberi ransum kontrol. Walaupun secara sidik ragam pertambahan bobot badan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata, akan tetapi pola perubahan bobot badan tikus selama penelitian menunjukkan perbedaan (Gambar 6).
Bobot badan (g/ekor/minggu)
160 140 120 100
R0
80
R1 R2
60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
Minggu k e -
Gambar 6. Grafik Perubahan Bobot Badan Tikus Putih selama Penelitian
Efisiensi Penggunaan Ransum Perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan konsumsi ransum akan diperoleh angka efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi penggunaan ransum dapat digunakan sebagai indikator yang menentukan keuntungan yang diperoleh baik dari segi teknis maupun ekonomis. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan efisiensi penggunaan ransum. Hal ini berarti bahwa penambahan tepung buah pare ke dalam ransum sampai level 10% tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum. Efisiensi ransum berkisar antara 6-9%. Secara deskriptif dapat dilihat bahwa tikus yang memperoleh ransum kontrol mempunyai nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan R1 dan R2. Hal ini mengindikasikan bahwa tikus yang diberi ransum kontrol lebih efisien dalam merubah ransum menjadi satu unit pertambahan bobot badan. Penambahan tepung buah pare ke dalam ransum menurunkan efisiensi penggunaan ransum sebesar 22,22% pada R1 dan 33,33% pada R2. Tikus yang diberi perlakuan R1 dan R2 mempunyai nilai efisiensi ransum yang lebih rendah dibandingkan R0. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi ransum yang tinggi tidak diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi. Pertambahan bobot badan yang rendah pada R1 dan R2 dikarenakan kandungan zat makanan pada R1 dan R2 lebih rendah kualitasnya (PK lebih rendah sedangkan SK lebih tinggi) dibandingkan R0. Rataan efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Efisiensi Penggunaan Ransum per Ekor per Hari selama Penelitian Peubah
Ransum Perlakuan R0
R1
R2
PBB (g/ekor/hari)
0,55 ± 0,21
0,45 ± 0,17
0,53 ± 0,13
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
7,09± 0,65
7,06 ± 0,43
7,01 ± 0,66
9,00
7,00
6,00
Efisiensi Ransum (%)
Keterangan : R0 = Ransum kontrol, R1 = R0 + 5% tepung daging buah pare, R2 = R0 + 10% tepung daging buah pare. PBB = pertambahan bobot badan, BK = bahan kering
Efisiensi penggunaan ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum, nilai kecernaan dan pemanfaatan zat nutrisi dalam proses metabolisme tubuh tikus. Adanya antinutrisi seperti tanin dan saponin diduga dapat mengganggu penyerapan
zat nutrisi oleh tikus. Terganggunya penyerapan zat makanan menyebabkan pertumbuhan tikus terhambat. Pada konsumsi yang sama antar perlakuan, terhambatnya pertumbuhan dapat menyebabkan efisiensi penggunaan ransum menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan tepung daging buah pare ke dalam ransum kontrol sebanyak 5% dan 10% tidak mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum, akan tetapi pemberian tepung daging buah pare dapat meningkatkan ekskresi zat makanan dalam feses sehingga dapat menurunkan kecernaan zat makanan ransum. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang level terbaik penggunaan tepung buah pare yang dapat meningkatkan
kecernaan zat makanan. Analisis
komposisi tubuh (protein dan lemak) juga perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Om Avignam Astu, Puji Syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa senantiasa Penulis curahkan, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ir Anita Sardiana Tjakradidjaja, MRur. Sc. sebagai dosen pembimbing utama, dr. Francisca A. Tjakradidjaja, MS, Sp. GK sebagai pembimbing anggota yang telah memberikan dana penelitian, waktu, dorongan, semangat, bimbingan, arahan, kritik dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih pula Penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, MS selaku pembimbing akademik
yang
senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberi saran yang membangun kepada penulis guna mencapai keberhasilan akademis yang optimal. Ucapan terimakasih juga Penulis berikan kepada Sri Suharti S.Pt., Msi. dan Dr. Ir. Sumiati, MSc. serta Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi. selaku dosen penguji seminar dan sidang atas saran dan kritik dalam perbaikan skripsi ini, serta kepada segenap civitas akademika Fakultas Peternakan IPB atas sumbangsih ilmu dan bantuan yang tak ternilai kepada Penulis. Rasa hormat, terimakasih dan sayang Penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah membesarkan, mendidik, memberikan doa, semangat dan kasih sayang serta dukungan moril dan materiil dengan tulus ikhlas.
Adik Wisma
tersayang, Bli Adi tercinta serta seluruh keluarga di Bali, Bogor dan
Palu,
terimakasih atas kasih sayang, semangat, dorongan dan doanya selama ini. Terimakasih Penulis sampaikan kepada teman sepenelitian Sinta atas kerjasama, semangat, kekeluargaan dan kesabarannya yang tulus selama penelitian, Nikur, seluruh teman KMHD dan BRAHMACARYA khususnya angkatan ‘41 (Ari, Yuli, Putu, Rista, Wulan, Nyoman, Narita, Gusti Ayu, Ayu, Didik, Sandi, Nyoman Ari dan Sangging) atas persahabatan dan dukungannya saat suka dan duka kepada Penulis. Terimakasih kepada seluruh teman-teman INMT khususnya INMT’41, Eka, Siska, Tika, Eca, Dede, Meri, Witra, Aan dan teman-teman ABC atas bantuan, persahabatan dan semangatnya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Astungkara. Bogor, Februari 2008 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ahlstrom, O. and A. Skred. 1998. Comparative nutrient digestibility in dogs, blue foxes, mink and rats. J. Nutr. 128 (12): 2676-2677. Anggorodi, R. 1990, Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta. Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing Inc., New York. Baker, J. H., J. R. Lindsey and S. H. Weisbroth. 1979. The Laboratory Rat. Academic Press. London, New York. Cheeke, P. R., R. Lee and Shull. 2000. Natural Toxicants in Feeds and Poisonous Plants. Avi Publishing Company, Inc. Connecticut. Chen, Q., L. L. Y. Chan and Edmund T. S. Li. 2003. Bitter Melon (Momordica charantia) reduces adiposity, lowers serum insulin and normalizes glucose tolerance in rats fed a high fat diet. J. Nutr. 133: 1088–1093. Chen, Q. and Edmund T. S. Li. 2005. Reduced adiposity in Bitter Melon (Momordica charantia) fed rats is associated with lower tissue triglyceride and higher plasma catecholamines. British J. Nutr. 93: 747-754. Fardiani, S. 2007. Pengaruh lama pemberian ekstrak air buah pare (Momordica charantia L.) terhadap konsumsi dan pengggunaan ransum hamster betina (Mesocricetus auratus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Grover, J. K. and S. P. Yadav. 2004. Pharmacological actions and potential uses of Momordica charantia: a review. J. of Ethnopharmacology 93: 123-132. James, L. G., and S. S. Gropper. 1990. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 3rd. Ed. Wadsworth Thomson Learning. Australia. Kartesz, J. 1994. A Synonymized checklist of the vascular flora of the United States, Canada, and Greenland. (L US Can ed2). http://www.ars-grin.gov/cgibin/npgs/html/taxon.pl?24520. [20 Mei 2007]. Malole, M. B. M., dan S. U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maynard, L. A., J. K. Loosli, H. F. Hinz and K. G. Warner, 1979. Animal Nutritions, 7th Ed. TMH Ed. Tata Mc. Graw-Hill Book Company Inc. New York. McDonald, P., R. A. Edward and J. F. D. Greenhalhg. 1995. Animal Nutrition. 4th Ed. Longman Group Ltd. London. New York. Muchtadi, D., N. S. Palupi dan Astawan, M. 1993. Metabolisme Zat Gizi (Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Manusia). Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Mursito, B. 2002. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta.
National Research Council. 1978. Nutrient Requirement of Laboratory Animal. 3rd Revised Ed. National Academy of Science, Washington D.C. Parakkasi, A. 1985, Ilmu Nutrisi Ruminansia Pedaging. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parakkasi, A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Vol IB. UI Press, Jakarta. Parakkasi, A. 1998, Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia. Jakarta. Rasyaf, M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Robinson, R. 1979. Taxonomy and Genetics. Dalam: Henry J. B., J. R. Linsey and S. H. Weisbroth (Editors). The Laboratory Rat. Volume 1. (Eds). Academic Press. San Diego. Academic Press Inc. Rogers, A. E. 1979. Nutrition. Dalam: Henry J. B., J. R. Linsey and S. H. Weisbroth (Editors). The Laboratory Rat. Volume 1 (Eds). Academic Press. San Diego. Academic Press Inc. Noguchi, R., Y. Yasui, R. Suzuki, M. Hosokawa, K. Fukunaga and K. Miyashita. 2001. Dietary effects of Bitter Gourd Oil on blood and liver lipids of rats. J. of Biochemistry and Biophysics 396: 207-212. Scott, M. L., M. C. Neishem and R. J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3 rdEd. M. L. Scott dan Associates. Ithacha, New York. Setyaningsih, D.S. Analisis fitokimia ekstrak etanol daging buah pare (Momordica charantia L.). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Teknologi Bandung, Bandung. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. [15 Desember 2006]. Smith, J. W. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotif dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit. Disertasi. Program Studi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sunarti, S. 2000. Potensi dan Cara Pemanfaatan Bahan Tanaman Obat. Prosea Indonesia, Yayasan Indonesia. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Thasmi, C. N. 1993. Pemberian ekstrak buah pare (Momordica charantia L.) pada tikus jantan LMR dan pengaruhnya terhadap kualitas spermatozoa dan jumlah anak yang dihasilkan dari perkawinannya dengan tikus betina normal. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta. Tongia, A., S. K. Tongia and Dave M. 2004. Phytochemical determination and extraction of Momordica charantia fruit and its hypoglycemic potentiation of oral hypoglycemic drugs in diabetes mellitus (NIDDM). Indian J. Physiol Pharmacol 48(2): 241-244. Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Waryani, N. 2007. Lama pemberian ekstrak air buah pare (Momordica charantia L.) terhadap konsumsi dan pengggunaan ransum pada hamster jantan (Mesocricetus auratus) dan dampaknya pada hamster betina pasangannya. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, M. W. dan D. Sundari. 2003. Gambaran histologi kelenjar pankreas akibat pemberian infus daging buah pare (Momordica charantia L.) pada tikus putih. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,017 5,219 5,236
KT 0,008 0,348 0,308
Fhit 0,024
F0,05 3,682
F0,01 6,359
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 2. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,100 5,328 5,427
KT 0,050 0,355
Fhit 0,141
F0,05 3,682
F0,01 6,359
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 3. Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,047 0,393 0,440
KT 0,023 0,026
Fhit 0,893
F0,05 3,682
F0,01 6,359
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 4. Sidik Ragam Konsumsi Energi Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17 db Fhit F0,05 F0,01
JK 841,487 13025,740 13867,227
KT 420,744 868,383
Fhit 0,485
F0,05 3,682
F0,01 6,359
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 5. Sidik Ragam Bahan Kering Feses Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17
JK 0,146 0,187 0,333
KT 0,073 0,012 0,020
Fhit 5,868*
F0,05 3,682
F0,01 6,359
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 6. Sidik Ragam Bahan Organik Feses Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17
JK 0,102 0,097 0,199
KT 0,051 0,006
Fhit 7,857**
F0,05 3,682
F0,01 6,359
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 7. Sidik Ragam Protein Kasar Feses Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,004 0,012 0,016
KT 0,002 0,001
Fhit 2,738
F0,05 3,682
F0,01 6,359
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 8. Sidik Ragam Energi Feses Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17
JK 391,471 332,100 723,571
KT 195,736 22,140
Fhit 8,841**
F0,05 3,682
F0,01 6,359
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 9. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 14 16
JK 33,510 15,055 48,565
KT 16,755 1,075 3,035
Fhit 15,581**
F0,05 3,739
F0,01 6,515
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 10. Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 15 17
JK 30,617 16,449 47,066
KT 15,309 1,097
Fhit 13,960**
F0,05 3,682
F0,01 6,359
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 11 Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 14 16
JK 39,899 15,477 55,376
KT 19,950 1,105
Fhit 18,046**
F0,05 3,739
F0,01 6,515
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 12. Sidik Ragam Kecernaan Energi Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 14 16
JK 33,260 13,407 46,668
KT 16,630 0,958
Fhit 17,365**
F0,05 3,739
F0,01 6,515
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 13. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 14 16 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,032 0,433 0,465
KT 0,016 0,031
Fhit 0,520
F0,05 3,739
F0,01 6,515
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 14. Sidik Ragam Efisiensi Ransum Tikus Percobaan SK Perlakuan Galat Total Keterangan:
db 2 14 16 db Fhit F0,05 F0,01
JK 0,003 0,008 0,012
KT 0,002 0,001
Fhit 2,746
F0,05 3,739
F0,01 6,515
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)
Lampiran 15. Uji Lanjut Kecernaan Bahan Kering Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Kecernaan Bahan Kering SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1vsR2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16
JK 29,899 28,000 1,7132 18,218 48,117
KT 14,950 28,18593 1,713205 1,301 3,007
Fhit 11,488** 21,660** 1,317 1,000
F0,05 3,739 4,600 4,600
F0,01 6,515 8,862 8,862
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Kecernaan Bahan Kering SK Perlakuan Linear kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16 db Fhit
JK 29,899 0,004 29,895 18,218 48,117
KT 14,950 0,004 29,895 1,301
Fhit 11,488** 0,003 22,974**
F0,05 3,739 4,600 4,600
= derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data
F0,01 6,515 8,862 8,862
F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 16. Uji Lanjut Kecernaan Bahan Organik Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Kecernaan Bahan Organik SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1vsR2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 27,702 23,612 4,090 21,092 48,794
KT 13,851 23,612 4,090 1,406 2,870
Fhit 9,850** 16,792** 2,908 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Kecernaan Bahan Organik SK Perlakuan Linier Kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 27,702 10,221 17,480 21,092 48,794
KT 13,851 10,221 17,480 1,406
Fhit 9,850** 7,269* 12,432** 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 17. Uji Lanjut Kecernaan Protein Kasar Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Kecernaan Protein Kasar SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1vs R2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 34,589 34,223 0,366 14,382 48,971
KT 17,295 34,22321 0,366 0,959 2,881
Fhit 18,038** 35,695** 0,382 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Kecernaan Protein Kasar SK Perlakuan Linear kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16
JK 34,589 0,004 34,585 14,382 48,971
KT 17,295 0,004 34,585 0,959
Fhit 18,038** 0,004 36,072** 1,000
F0,05 3,682 4,600 4,600
F0,01 6,359 8,862 8,862
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 18. Uji Lanjut Kecernaan Energi Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Kecernaan Energi SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1vsR2 Error Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16
JK 0,590 0,589 0,001 0,586 1,176
KT 0,295 0,589 0,001 0,042 0,074
Fhit 7,051** 14,075** 0,027 1,000
F0,05 3,739 4,600 4,600 2,484
F0,01 6,515 8,862 8,862
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Kecernaan Energi SK Perlakuan Linear kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16
JK 0,590 0,004 0,586 0,586 1,176
KT 0,295 0,004 0,586 0,042
Fhit 7,051** 0,087 14,015** 1,000
F0,05 3,739 4,600 4,600 2,484
F0,01 6,515 8,862 8,862 3,698
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 19. Uji Lanjut Bahan Kering Feses Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Bahan Kering Feses SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1 vsR2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 0,130 0,123 0,008 0,161 0,292
KT 0,065 0,123 0,008 0,011 0,017
Fhit 6,067* 11,429** 0,704 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Bahan Kering Feses SK Perlakuan Linier Kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 0,130 0,068 0,063 0,161 0,292
KT 0,065 0,068 0,063 0,011
Fhit 6,067* 6,290* 5,843* 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 20. Uji Lanjut Bahan Organik Feses Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Bahan Organik Feses SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R1vsR2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 14 16
JK 0,081 0,065 0,016 0,045 0,126
KT 0,041 0,065 0,016 0,003 0,008
Fhit 12,624** 20,355** 4,893* 1,000
F0,05 3,739 4,600 4,600
F0,01 6,515 8,862 8,862
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Bahan Organik Feses SK db JK KT Fhit Perlakuan 2 0,081 0,041 12,624** Linear 1 0,004 0,004 1,136 Kuadratik 1 0,078 0,078 24,112** Galat 14 0,045 0,003 1,000 Total 16 0,126 Keterangan:
F0,05 3,739 4,600 4,600 2,484
F0,01 6,515 8,862 8,862 3,698
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 21. Uji Lanjut Energi Feses Tikus Percobaan Uji Ortogonal Kontras Energi Feses SK Perlakuan R0 vs R1, R2 R 1vsR2 Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 7,108 7,091 3,000 11,919 19,026
KT 3,554 7,091 3,000 0,795 1,119
Fhit 4,473* 8,925** 3,776 1,000
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) Tanda** menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Uji Ortogonal Polinomial Energi Feses SK Perlakuan Linier Kuadratik Galat Total Keterangan:
db 2 1 1 15 17
JK 7,108 5,028 2,079 11,919 19,026
KT 3,554 5,028 2,079 0,795
Fhit 4,473* 6,328* 2,617
F0,05 3,682 4,543 4,543 2,403
F0,01 6,359 8,683 8,683 3,522
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda* menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05)