INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN PESERTA DIDIK REGULER (NORMAL) DI SMP NEGERI 23 PADANG Aulia Mailiana1, Adiyalmon, S. Ag, M.Pd2, Delmira Syafrini, MA3. Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI Sumatera Barat Abstrac The majority of learners with special needs who are less able to communicate well with students of regular (normal). Learners with special needs (tuna bronze) communicate using sign language, learners with special needs (disabled) just sitting in the classroom when their friends again play outside of the classroom, while the students with special needs (tuna barrel) learners which is difficult to control the emotions and difficult to adapt to the existing environment, this study aims to describe the form of social interaction between learners with special needs learners regular (normal) in SMP 23 Padang. This type of research used in this research is descriptive research with quantitative analysis are located in Champaign Junior High School 23. The informants in this study amounted to 17 people includes 7 people with special needs learners, learners regular 7 (normal), 1 the inclusion teacher, and 2 teacher subjects through the study of engineering documentation, observation and interviews. Accuracy of data is tested using the data triagulasi, the data were analyzed with an interactive model that consists of data collection, data reduction, data display and conclusion. The results of this study are: interaction between learners with special needs learners regular (normal) is more directed to associative interactions, as seen when the learning activities in the classroom has been going well, as in the teaching and learning activities of learners regular (normal ) would help learners with special needs to be able to understand the lessons that are poorly understood as explained by the subject teachers. While the shape of the interaction of learners with special needs learners regular (normal) outside the classroom more leads kapada dissociative forms of interaction, as seen when participants with special needs learners prefer to remain aloof from friends that this normal due to learners with special needs do not trust myself to be able to build a good interaction with other regular friends.
Key word: Students with special needes, reguler students (normal)
1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI Sumatera Barat Pembimbing I 3 Pembimbing II 2
PENDAHULUAN Menurut Tarmansyah (2009:143) pengertian inklusi secara luas juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti: 1. Anak yang menggunakan bahasa ibu, dan bahasa minoritas yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas 2. Anak yang beresiko putus sekolah karena bencana, konflik, bermasalah dalam sosial ekonomi, atau tidak berprestasi dengan baik. 3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda. 4. Anak yang sedang hamil. 5. Anak yang beresiko putus sekolah karena kesehatan tubuh yang rentan penyakit kronis seperti asma, kelainan jantung bawaan, alergi, terinfeksi HIV dan AIDS. 6. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, pengertian inklusi secara sempit adalah mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar bersama dengan anak sebayanya. Sedangkan secara luas pengertian inklusi adalah layanan pendidikan yang menerima semua anak berkebutuhan khusus tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi-kondisi lainnya seperti anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan, anak yang berasal dari golongan minoritas, anak yang terinfeksi HIV/AIDS atau anak yang sedang hamil untuk belajar di sekolah reguler di kelas yang sama. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan pada tanggal 2 September 2013 di SMP Negeri 23 Padang, penulis menemukan bahwa masih ada sebagian peserta didik berkebutuhan khusus yang kurang bisa berkomunikasi secara baik dengan peserta didik reguler (normal). Penulis akan meneliti interaksi sosial peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) di SMP 23 Negeri Padang yang jenis kelainannya yaitu: tuna rungu, tuna daksa, dan tuna laras. Sementara itu yang penulis temui di
lapangan peserta didik yang berkebutuhan khusus (tuna runggu) berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, peserta didik berkebutuhan khusus (tuna daksa) hanya berdiam diri di dalam kelas saat temanteman mereka lagi main di luar kelas, sedangkan peserta didik berkebutuhan khusus (tuna laras) peserta didik yang sulit mengendalikan emosi serta sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Untuk itu penulis mendesripsikan bentuk interaksi peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal), karena penulis melihat sekilas peserta didik tersebut memiliki kelebihan serta kekurangan yang agak sulit diterima lingkungannya. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap proses pembelajaran di SMP 23 Padang.Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: mendiskripsikan bentuk interaksi sosial antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) di SMP Negeri 23 Padang. KAJIAN TEORI Menurut Moh Asrori, (2004:87) interaksi sosial merupakan suatu pertukaran antara pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menemukan rasa diterima, dibutuhkan dan dihargai. Sedangkan menurut Ahmadi (2007:49) interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan, perseorangan dengan kelompok, dan antara kelompok dan kelompok yang saling mempengaruhi. Dalam penelitian ini, interaksi yang dimaksud adalah interaksi antara individu dengan individu. Individu disini maksudnya peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik regular (normal). Sedangkan menurut Gilin dan Gilin (dalam Soekanto, 2003:56) ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yang sebagai berikut:
1. a.
b.
c.
2.
a.
Proses-proses asosiatif (kerjasama, akomodasi, asimilasi) Kerjasama (cooperation) Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingankepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna. Akomodasi (accommodation) Suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Asimilasi (assimilation) Merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara individu atau kelompok dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingankepentingan dan tujuan bersama. Proses-proses disosiatif (persaingan kontravensi dan pertentangan, pertikaian)
Persaingan (competition) Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman. Persaingan ada dua tipe yaitu yang bersifat pribadi dan yang tidak bersifat pribadi. b. Kontravensi (contravention) Merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian, kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-
orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu. c. Pertentangan (pertikaian atau conflict) Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya: dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsurunsur kebudayaan, pola-pola prilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada sehingga menjadi suatu pertentangan atau (conflict). Menjelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat harus ada aksi dan reaksi, tanpa adanya aksi dan reaksi tersebut maka interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain tidak akan berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Selanjutnya penulis melihat bagaimana interaksi peserta didik berkebutuhan khusus dengan teman sebayanya di SMP Negeri 23 Padang, apabila interaksi ini berjalan dengan baik maka terbentuklah suatu kerjasama antar peserta didik dan apabila interaksi sosial ini tidak berjalan dengan baik maka terjadilah suatu perselisihan atau terbentuknya kelompok-kelompok tertentu, sehingga mengakibatkan tidak adanya kesesuaian antara peserta didik yang satu dengan peserta didik lainnya atau interaksi yang baik. Fokus dalam penelitian ini akan melihat serta mengkaji tentang bentuk interaksi peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) dengan menggunakan proses asosiatif dan disosiatif. Persyaratan yang harus dipenuhi supaya proses sosial dapat dikatakan interaksi sosial menurut Sarwono (1991:86), adalah: 1. Kontak sosial Kontak sosial merupakan hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti maksud dan tujuan masingmasing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial ini ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Kontak sosial secara langsung adalah dengan pertemuan, bertatap muka dan berdialog antara individu satu dengan yang lainnya. Sementara itu,
percakapan melalui telepon, radio, surat dan alat komunikasi lainnya merupakan kontak sosial tidak langsung. Saat terjadinya kontak sosial, dapat menciptakan hubungan yang positif karena adanya saling pengertian, menguntungkan, dapat berlangsung lama, berulang-ulang dan mengarah pada kerjasama. Sebaliknya, dapat pula menciptakan hubungan negatif yang dapat mengakibatkan pertentangan akibat tidak adanya saling pengertian dan merugikan kedua belah pihak. 2. Komunikasi sosial Komunikasi sosial merupakan suatu hubungan sosial yang didalamnya terjadi banyak penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang sedang berhubungan. Dengan kata lain, dapat diartikan sebagai persamaan pandangan antara individu-individu yang saling berinteraksi. Menurut Walgito (1999:5864) faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial yaitu: 1) Faktor Imitasi, merupakan dorongan untuk meniru orang lain, misalnya dalam hal tingkah laku, mode pakaian dan lain-lain. 2) Faktor Sugesti, yaitu pengaruh psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari orang lain. 3) Faktor Identifikasi, merupakan suatu dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. 4) Faktor Simpati, merupakan suatu perasaan tertarik kepada orang lain. Interaksi sosial yang berdasarkan atas rasa simpati akan jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan interaksi baik atas sugesti maupun imitasi. Selain empat faktor di atas dengan pengertian yang sama, satu faktor lagi yang mempengaruhi interaksi sosial adalah ajaran evolusionisme. Ajaran evolusionisme ini mengandung pengertian bahwa proses
perubahan dan perkembangan manusia selalu dipengaruhi alam sekitar sekaligus mempengaruhi tingkah laku manusia itu sendiri Abu Ahmadi (2009:62-64). METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, yang dilaksanakan pada tanggal ,,,,,,,,,, di SMP Negeri 23 Padang, dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik reguler (normal), langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu melakukan observasi, wawancara dan mengambil dokumentasi di setiap kegiatan, Miles dan Hubermen (Sugiyono, 2011:137)
menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif ada 3 tahapan analisis ada 3 tahapan analisis, yaitu: (1)Reduksi Data (Data Reductions), Reduksi data merupakan proses merangkul, memilih hal-hal yang paling pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang tidak perlu dari data yang diperoleh dari lapangan. (2), Penyajian Data (Display Data), Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori atau dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data dapat mempermudah dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. (3), Penarikan Kesimpulan (Verifikasi), Penarikan kesimpulan merupakan analisis lanjutan dari reduksi data dan display data sehingga data dapat disimpulkan dalam bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian, dan tahap ini terakhir dari data yang sudah ada disimpulkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini digambarkan bentuk interaksi antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) yang terjalin di sekolah: 5.1. Bentuk Interaksi sosial peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) di SMP N 23 Padang Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan, perseorangan dengan kelompok, dan antara kelompok dan kelompok yang saling mempengaruhi.
Begitu juga interaksi yang terjadi di SMP N 23 Padang antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal), bentuk interaksi mereka mengarah pada dua bentuk interaksi baik asosaitif ataupun disosiatif. Interaksi yang berbentuk asosiatif berupa adanya tutor teman sebaya sebagai bentuk kerjasama antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) dalam belajar, dijelaskan sebagai berikut: 5.1.1. Interaksi Sosial Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Peserta Didik Reguler (normal) di dalam kelas a. Tutor Teman Sebaya Tutor teman sebaya merupakan sebuah prosedur peserta didik mengajar peserta didik lainnya, tipe satu pengajar dan pembelajar dari usia yang sama, tipe dua pengajar yang lebih tua usianya dari pembelajaran, tipe lain adalah pertukaran usia pengajar yang terjadi di SMP Negeri 23 Padang, yang mana tujuan dari tutor teman sebaya tersebut adalah untuk membantu peserta didik berkebutuhan khusus dalam memahami pelajaran yang telah dijelaskan oleh guru agar peserta didik berkebutuhan khusus dapat mencapai hasil yang maksimal. Berdasakan hasil wawancara dengan peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) ternyata peserta didik berkebutuhan khusus bisa membina hubungan yang baik dalam belajar dan peserta didik berkebutuhan khususpun bisa bekerjasama dalam bentuk tutor teman sebaya dalam belajar, peserta didik berkebutuhan khusus menjalaninya dengan senang hati. Peserta didik reguler (normal) bersedia untuk menerangkan kembali pelajaran yang telah diberikan oleh guru kepada peserta didik berkebutuhan khusus, tentang
b.
pelajaran apa yang belum dipahami oleh peserta didik berkebutuhan khusus. Dari hasil keterangan yang telah penulis temukan menyatakan bahwa peserta didik penyandang tuna rungu merasa sulit untuk berkomunikasi yang baik dengan peserta didik reguler (normal), dalam kegiatan belajar ada teman yang mendampingi peserta didik berkebutuhan tersebut yang bertujuan untuk membantu peserta didik berkebutuhan khusus memahami pelajaran yang belum dipahami dengan baik. Berdasarkan keterangan yang penulis temukan dilapangan menyatakan bahwa kegiatan tutor teman sebaya dalam belajar itu merupakan salah satu komunikasi yang dilakukan oleh peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal), hal ini terlihat saat peserta didik berkebutuhan khusus melakukan komunikasi dengan peserta didik reguler secara langsung, atau indivudu dengan individu melakukan interaksi dengan baik melalui komunikasi. Jadi dengan adanya komunikasi yang dijalin oleh peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler lebih mengarah kepada bentuk interaksi asosiatif yang mana asosiatif itu merupakan kerjasama yang dilakukan oleh peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) atau komunikasi yang dilakukan oleh individu dengan individu dalam pencapaian hasil yang maksimal. Diskusi dalam Kelompok Hasil keterangan dari wawancara yang penulis
lakukan, penulis menemukan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus penyandang tuna laras, agak sulit mendekatkan diri pada teman yang reguler (normal) karena peserta didik berkebutuhan khusus ini memiliki ego yang tinggi dalam belajar, peserta didik berkebutuhan khusus mudah cepat marah dan kurang bisa mengendalikan emosinya. Tetapi meskipun peserta didik berkebutuhan tersebut berprilaku seperti itu, peserta didik reguler (normal) masih mau membantunya dalam kegiatan belajar. Simmel mengemukakan komunikasi adalah salah satu interaksi, dimana partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol lain. Melalui sarana-sarana itu mereka saling mempengaruhi secara timbal balik. Bentuk interaksi ini disebut dengan interaksi asosiatif yang artinya kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingankepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna, hal ini dikemukakan oleh Gilin dan Gilin (dalam Soekanto, 2003:56). Jadi antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler bisa menciptakan suatu hubungan interaksi yang baik yang mana bentuk interaksi yang diciptakannya adalah antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok sehingga terbentuklah suatu kerjasama diantara peserta didik berkebutuuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) tersebut. Namun dalam interaksi di luar kelas terutama teman bermain hubungan mereka lebih bersifat disosiatif, karena adanya jarak antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) mengalami kesulitan, bahkan peserta didik berkebutuhan khusus menjadi minder dan kurang percaya diri akibat diolok-olokkan peserta didik reguler (normal), berikut akan dijabarkan interaksi disosiatif yang terjadi di luar kelas. 5.1.2.
Interaksi Sosial Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Peserta Didik Reguler (normal) di Luar Kelas a. Teman dalam bermain di luar Kelas Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata peserta didik reguler (normal) mau serta bersedia untuk memahami karakter dan keterbatasan dari peserta didik berkebutuhan khusus, hal ini terlihat saat peserta didik reguler mau menerima peserta didik berkebutuhan khusus untuk menjadi temannya dalam bermain. Tetapi ada sebagian dari peserta didik berkebutuhan khusus tidak mau bergabung, merasa dicemoohkan sehingga mengakibatkan peserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih untuk menyendiri, karena peserta didik berkebutuhan khusus merasa minder untuk mendekatkan diri dengan teman reguler. Meskipun diantara mereka ada perbedaan, peserta didik
reguler terus saja mengajak peserta didik berkebutuhan khusus untuk ikut bergabung dengan peserta didik reguler. Ternyata bentuk interaksi peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler lebih mengarah kepada bentuk interaksi disosiatif, menurut Gilin dan Gilin (dalam Soekanto, 2003:56) merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian, kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orangorang lain atau terhadap unsurunsur kebudayaan golongan tertentu. Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya: dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola prilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada. Berdasarkan hasil temuan dilapangan, ternyata peserta didik berkebutuhan tidak mau bergabung dengan peserta didik reguler (normal), peserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih berteman dengan teman sebangkunya. Peserta didik berkebutuhan khusus ini kurang mau berteman dengan teman dari reguler karena peserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih untuk menyendiri dan berteman dengan teman tertentu saja atau lebih senang membentuk gab (kelompok), karena peserta didik berkebutuhan khusus menyadari adanya perbedaan-perbedaan di dalam diri peserta didik berkebutuhan khusus sehingga membuat peserta didik berkebutuhan khusus susah
untuk bergabung di luar kelas atau bermain dengan peserta didik reguler (normal). b.
Kegiatan Olah Raga Olahraga merupakan aktivitas yang sangat penting untuk mempertahankan kebugaran seseorang, olahraga juga merupakan salah satumetode penting untuk mereduksi stress. Olahraga juga merupakan suatu perilaku aktif yang menggiatkan metabolisme dan mempengaruhi fungsi kelenjar di dalam tubuh untuk memproduksi sistem kekebalan tubuh dalam upaya mempertahankan tubuh dari gangguan penyakit serta sress. Oleh karena itu, sangat dianjurkan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan olahraga secara rutin dan terstruktur dengan baik. Keterangan yang didapatkan peserta didik berkebutuhan khusus mengungkapkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih untuk menghindar dari teman-teman reguler karena peserta didik berkubutuhan khusus menyadari kelemahan yang dimilikinya, peserta didik berkebutuhan khusus ini takut akan terjadi kesalahpahaman, tetapi teman-teman reguler ada juga yang sering memberikan perhatian kepada peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Sementara diantara mereka ingin melakukan dan mencoba untuk berkomunikasi dengan baik, tetapi anak berkebutuhan khusus lebih memilih untuk menyendiri dibendingkan harus bergabung dengan peserta didik reguler meskipun peserta didik sering diajak untuk bergabung dalam berolahraga dan bermain peserta didik berkebutuhan khusus sering menolak ajakan tersebut, karena mengakui peserta didik reguler sering memperolok-olokkan peserta didik berkebutuhan khusus. Jadi dapat diketahui bahwa peserta didik berkebutuhan khusus
tidak mau bergabung dengan peserta didik reguler (normal) diakibatkan karena peserta didik reguler (normal) suka mengolokolokkan peserta didik berkebutuhan khusus, sehingga mengakibatkan peserta didik berkebutuhan khusus lebih suka menyendiri dari pada bergabung dengan peserta didik reguler (normal). Serta peserta didik berkebutuhan khusus mau berteman hanya dengan kelompok teman reguler yang tertentu saja sementara teman reguler yang lainnya dijauhi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi yang terjadi antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) baik bentuk asosiatif ataupun disosiatif berdasarkan keterangan yang didapat dilapangan menyatakan bahwa, dalam kegiatan tutor teman sebaya dan diskusi kelompok dalam belajar di dalam kelas sudah berjalan dengan baik, peserta didik berkebutuhan kusus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan satu orang teman maupun dalam kelompok karena dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik reguler (normal) mau membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memahami pelajaran yang kurang dipahami setelah diterangkan oleh guru mata pelajaran. Sementara interaksi yang terjadi di luar kelas dan dalam kegiatan olahraga termasuk kedalam interaksi disosiatif, yang menyatakan bahwa perserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih untuk tetap menyendiri atau mengasingkan diri dari teman-teman reguler (normal) atau membuat suatu perkumpulan atau gab, ini disebabkan karena peserta didik berkebutuhan khusus tidak percaya diri untuk dapat membina interaksi yang baik dengan teman lainnya. Peserta didik berkebutuhan khusus lebih memilih untuk menjauh dari peserta didik lainnya saat diluar kelas atau membentuk suatu kumpulan berupa gab (kelompok) dengan peserta didik berkebutuhan khusus lainnya, hal ini disebabkan karena peserta didik
berkebutuhan khusus takut bakal jadi bahan olok-olokkan temnanya yang normal. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan kepada sekolah, untuk dapat meningkatkan perannya dalam memberi kesempatan pada anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah ini sebagai wujud peningkatan pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah ini. 2. Diharapkan kepada guru, untuk lebih memberikan perhatian yang lebih baik pada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses pembelajaran, dan khusus bagi guru non GPK juga ikut berperan lebih baik dalam memperhatikan berbagai kesulitan yang dihadapi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengatasi hambatan yang disebabkan peserta didik normal atau reguler. 3. Dengan diselenggarakannya pendidikan inklusi di SMP N 23 Padang ini, diharapkan kepada peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengambil kesempatan ini untuk dijadikan peluang dalam menjalin hubungan yang lebih baik dengan peserta didik reguler(normal), sekaligus menimba pengetahuan dari guru-guru yang mengajar di sekolah ini. 4. Diharapkan pada peneliti berikutnya untuk meneliti tentang hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik reguler (normal) dalam berinteraksi. DAFTAR PUSTAKA Tarmansyah. 2009. Perspektif Pendidikan Insklusif Pendidikan untuk Semua. Padang : UNP Press Soejono,Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Raja Grafindo Veeger. 1990. Realitas Sosial. Jakarta. PT: Gramedia Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan, R & D. Bandung: Alfabeta.