M E D I A KO M U N I K A S I INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
KPAnews
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
Daftar
ISI
01|
Estimasi 2006 mengaktifkan KPA kabupaten/kota dan provinsi untuk mengumpulkan dan mengolah data. Sebuah pertemuan antar KPA di daerah.
ISU UTAMA
Setelah Estimasi, Mau Apa?
03|
Setelah
ISU KHUSUS
Warga Produktif ASEAN Terancam
06|
PROGRAM KHUSUS
Pelatihan Jurnalis di 14 Kota Langkah Awal Menggandeng Media Massa
07|
PROFIL
Dr. Suriadi Gunawan
“Kita Belum Akan Bisa Membendungnya”
08|
GALERI
Terdedah Kerana Dadah
08|
MITRA
Subdit HIV/AIDS & PMS Ditjen PPPL Depkes RI
Pemimpin umum: Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH | Pemimpin Redaksi: M. Nasser | Redaktur Pelaksana: Wahyu Hidayat | Redaksi: Ruddy Gobel, Nancy Nainggolan | Desain Grafis: Arif Susanto | Distribusi: Zainal Arifin | Diterbitkan oleh KPA Nasional | Alamat Redaksi: Surya Building 9th Floor, Jl. MH. Thamrin Kav. 9 Jakarta | Telp.: 021-3901758 | Fax: 021-3902665
ESTIMASI,
Masih ada pihak yang “nyinyir” bahwa wabah AIDS itu dibuat-buat. Sekretaris KPA Nasional, Dr. Nafsiah Mboi.
Mau Apa?
Pemerintah Indonesia sudah berhasil membuat estimasi untuk meraba epidemi HIV/AIDS di negeri ini.Apa langkah selanjutnya? emua mata di seluruh dunia kini tengah melirik ke Indonesia. Dengan kondisi geografis beribu pulau, jumlah penduduk yang sangat padat, dan mobilitas yang lumayan tinggi, negeri ini diwaspadai menjadi “bom waktu” epidemi HIV/AIDS bagi dunia, khususnya Asia. Dengan kondisi itu pula, penanggulangan AIDS relatif lebih sulit. Infeksi HIV kini tak lagi terkonsentrasi di antara orang-orang yang terkait dengan kegiatan berisiko tinggi, namun juga sudah meluas ke masyarakat umum, seperti yang sudah terlihat di Papua. Karena itu untuk mengetahui seberapa besar masalah epidemi HIV dan AIDS di Indonesia dan penyebarannya dibutuhkan data yang akurat mengenai estimasi populasi rawan terinfeksi HIV dan estimasi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Pada tahun 2002 Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang membuat estimasi sistematik tentang jumlah orang dewasa rawan HIV menurut sub-populasi perilaku berisiko tinggi. Estimasi dibuat untuk setiap provinsi, tetapi semua proses pelaksanaannya dilakukan di tingkat pusat dan berdasarkan data yang tersedia di tingkat pusat. Pada akhir 2006 lalu kembali Indonesia melakukan estimasi, tapi kali ini lebih dalam lagi, dengan melakukan estimasi untuk tingkat kabupaten/kota. Diharapkan, dengan estimasi ini program penanggulangan AIDS di Indonesia bisa dikembangkan lebih tepat sasaran sampai ke daerah terpencil sekalipun. Estimasi 2006 diyakini menghasilkan data yang lebih akurat dan adekuat dari estimasi sebelumnya. Menurut Staf Bidang Program KPA Nasional, Aang Sutrisna, ini
S
karena variabel data yang digunakan semakin beragam dengan menyertakan pendataan dari berbagai instansi dan dari hasil berbagai surveilans. “Kalau pada estimasi 2002, datadata dikumpulkan dan diolah oleh KPA pusat, maka estimasi 2006 mengaktifkan KPA kabupaten/kota dan provinsi untuk mengumpulkan dan mengolah. Dengan begitu, proses estimasi diyakini akan menjadi lebih baik,” tandas Aang.
Estimasi, Untuk Apa? Menurut Sekretaris KPA Nasional, Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, hingga kini masih ada pihak (baik eksekutif maupun legislatif) yang “nyinyir” bahwa wabah AIDS itu dibuat-buat. Menurut mereka kasus AIDS yang dilaporkan sekarang tidaklah sebanyak itu. Epidemi itu dikarang agar KPA mendapat dana. “Nah, estimasi ini kita gunakan untuk meyakinkan mereka. Bahwa kita memang benar-benar harus segera bertindak untuk menghentikannya,” kata Nafsiah. Selain itu, tambah Nafsiah, inilah beberapa manfaat estimasi: 1. Sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah tentang apa yang harus dilakukan terhadap laju epidemik HIV/AIDS dan sekaligus evaluasi apa yang telah kita kerjakan sebelum ini 2. Sebagai dasar untuk menyusun perencanaan. Kita akan mengadakan rencana Stranas (strategi nasional), bahwa untuk mengubah jalannya epidemi kita harus menjangkau 80% dari mereka yang paling berisiko tertular dengan pengobatan yang komprehensif 3. Sebagai dasar program. Dengan estimasi ini kita tahu masalah yang dihadapi masing-masing kabupaten, sehinga penanggulangannya akan lebih terarah. (Bersambung ke hal 07)
S I
H U S U S SUURATK PEMBACA
Manokwari (1) Dari kasus Manokwari, KPAN perlu mengkaji lagi kualitas Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) di Papua. Karena ternyata pernyataan Bu Nafsiah di beberapa kesempatan di Jayapura, bahwa KIE di masa lalu banyak yang salah, yang menakutkan, ternyata sampai saat ini masih terjadi, yang justru menimbulkan stigma dan diskriminasi. KPAN harus arif mengkaji apa yang terjadi, tidak hanya mendengar dari laporan sepihak. Lima tahun terakhir ini saya ikut berbagai kegiatan pertemuan HIV/AIDS, tapi baru di pertemuan di Manokwari ini saya terkejut dan gelisah melihat peserta dengan—maaf—kurus, lunglai dengan jalan tertatih-tatih, dan batuk-batuk, harus mengikuti kegiatan serius yang membahas organisasi, program kerja, AD/ART, dan lain-lain. Sosok seperti inilah yang mengejutkan manajer hotel serta menguatkan image bahwa sosok ODHA itu menakutkan. KPAN juga perlu mengkaji apakah tepat mengungkap ke media lokal tentang peristiwa ini, terutama adanya dampak terhadap ODHA, khususnya yang masih tertutup. Sedikitnya saya menemui 4 peserta mengalami guncangan emosi atas pemberitaan di koran lokal, dan salah satu di antaranya mendapat ancaman dari salah satu anggota keluarganya. Trauma pasca pengusiran yang terjadi pada beberapa peserta seharusnya jadi skala prioritas panitia untuk ditangani. Kita bersama berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu lagi ketika mereka pulang ke daerah masing-masing.
E
D I T O R I A L
Kerikil DI KEPALA BURUNG B
atu kerikil itu bernama Hotel Fujita. Pihak manajemen hotel di Manokwari, Irjabar, itu baru saja menunjukkan perilaku diskriminatif terhadap ODHA, melukai gencarnya segala upaya pemerintah menyerukan antistigma dan diskriminasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di negeri ini. Siapa yang harus kita salahkan? Tidak ada. Karena bukan itu yang harus kita lakukan. Alangkah baiknya kalau kita melihat ke dalam. Masih banyak kerikil lain—yang bahkan lebih tajam— yang tersebar di berbagai daerah di
S
Indonesia, yang harus disingkirkan. Dan berbekal kerikil dari kota yang terletak di daerah Kepala Burung Pulau Papua itu, marilah kita semakin merapatkan barisan untuk terus berupaya menyingkirkan hambatan-hambatan lain dalam upaya mengatasi epidemi AIDS ini. Bukan dengan mengulurkan tangan untuk menuding-nuding pihak lain, melainkan sebaliknya, mengulurkan tangan untuk menggandeng pihak lain.
Salam,
Redaksi
T A T I S T I K A
Robert Sihombing, Jayapura Support Group, Abepura
Manokwari (2) Tak hanya di Manokwari, stigma dan diskriminasi terjadi setiap hari. Dan banyak kasus yang sampai sekarang belum terpecahkan, seperti anak yang tidak boleh sekolah di Tulungagung, petugas kesehatan yang menghidar/tidak melayani dan menyuruh pergi pasien yang mengaku ODHA, dan sebagainya. Barangkali tidak cukup hanya dengan membuat peraturan saja, tetapi perlu program dan upaya sistematis secara khusus untuk pengurangan stigma dan diskriminasi. Karena seperti yang telah kita ketahui bersama, tantangan wabah HIV/AIDS mendatang adalah stigma dan diskriminasi. Dan faktor utama penyebabnya adalah ketidaktahuan. Memang benar kecaman saja tidak cukup, yang diperlukan adalah upaya melibatkan semua pihak agar peduli terhadap penanggulangan HIV/AIDS. Alangkah baiknya kalau kita tidak saling menyalahkan tapi bisa saling bekerjasama lebih erat lagi.
Sumber: Ditjen PPM dan PL Depkes RI
Andryansyah Arifin, Yayasan Mulia Abadi, Surabaya
KPAnews adalah media komunikasi bagi penyuksesan seluruh program penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang dilaksanakan oleh KPA, baik tingkat nasional maupun daerah. Selain itu KPAnews juga diharapkan menjadi tempat untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman, juga menjadi sarana penyaluran aspirasi para individu maupun lembaga yang peduli terhadap HIV/AIDS.
02 KPAnews
Redaksi KPAnews menerima sumbangan tulisan, foto, dan kartun yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan kesehatan secara umum. Tulisan yang dikirimkan maksimal 4500 karakter. Redaksi berhak mengedit (mengurangi dan menambah) isi tulisan yang dikirimkan. Foto dan kartun hendaknya dikirim dalam format jpeg dengan resolusi minimum 72 dan ukuran A4. Semua karya dikirim ke alamat e-mail
[email protected] disertai data diri singkat penulis.
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
I
S U
K
H U S U S
Warga Produktif ASEAN
TERANCAM ASEAN berkomitmen menghentikan penyebaran HIV di wilayahnya karena sudah mengancam berbagai kelompok masyarakat, terutama para pekerja produktif. eski beberapa negara di wilayah ASEAN telah berhasil mencapai kemajuan yang signifikan dalam memastikan bahwa komunitas-komunitas yang paling rentan telah mendapatkan prioritas dalam penanggulangan AIDS, tetap saja diperlukan fokus perhatian untuk mencapai kelompok masyarakat lain. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah kalangan pekerja yang menjadi motor bagi perkembangan ekonomi wilayah ini. Kenyataan ini cukup mengkhawatirkan berbagai kalangan dunia, utamanya di negara ASEAN, dan untuk itu diingatkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk menanggulanginya. Itulah salah satu yang terungkap dalam laporan Program Bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS) kepada para pemimpin negara ASEAN dalam sesi khusus mengenai HIV/AIDS di Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN ke-12, Sabtu (13/1) di kota Cebu, Filipina. Secara umum, laporan UNAIDS yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif UNAIDS dan Wakil Sekjen PBB, Dr. Peter Piot itu menyatakan bahwa AIDS bukan sekedar badai yang lewat namun merupakan ancaman jangka panjang bagi pembangunan dan keamanan nasional di Asia. Seperti kita tahu, laporan AIDS Epidemic Update 2006 yang dikeluarkan UNAIDS bersama WHO menyebutkan bahwa di Asia, epidemi yang paling parah terjadi di wilayah ASEAN di mana di beberapa negara orang dewasa yang hidup dengan HIV dapat mencapai hingga 1,5% penduduk. Ini merupakan pertama kalinya sebuah badan eksternal diundang untuk memberikan penjelasan kepada para kepala negara mengenai AIDS.“Kita masih dalam fase awal epidemi di Asia dan harus melipatgandakan serta mempertahankan upaya-upaya kita, jangan pernah lalai,” tulis laporan itu.
Komitmen
SECARA garis besar, kesepuluh negara ASEAN yang hadir dalam Pertemuan Tingkat Tinggi tersebut berkomitmen untuk:
M
1. Memastikan seluruh pemangku kepentingan dalam tingkat nasional dan lokal untuk terlibat secara aktif dan efektif dalam penanggulangan HIV/AIDS di ASEAN
Untuk itu diperlukan keterlibatan yang berarti dari komunitas serta masyarakat sipil–khususnya mereka yang hidup dengan HIV. Juga pentingnya kepemimpinan pribadi dari para kepala negara untuk AIDS ditekankan. Menyusul Sesi Khusus ini, para pemimpin ASEAN diharapkan untuk mengadopsi sebuah deklarasi mengenai AIDS, menegaskan komitmen mereka untuk memprioritaskan, memimpin, serta memperkuat program-program AIDS nasional untuk memastikan kebijakan-kebijakan serta programprogram yang akan merespons kepada orangorang yang paling berisiko dan yang paling membutuhkan di dalam wilayah ASEAN.
Kunci: Political Will Di sisi lain, kepada Sesi Khusus, Sekjen ASEAN, Ong Keng Yong, mengatakan bahwa komitmen terhadap kepemimpinan serta political will merupakan kunci dalam menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh penyebaran HIV dan AIDS. Ong juga memaparkan respons ASEAN di masa mendatang akan melibatkan inisiatif multi-sektoral serta kemitraan yang lebih dekat lagi dengan sektor swasta, masyarakat sipil, serta orang-orang yang hidup dengan HIV. Ia menegaskan elemen-elemen utama Deklarasi pada Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN ke-12 Sesi Khusus untuk HIV dan AIDS akan diadopsi oleh para pemimpin ASEAN. Ong menekankan komitmen untuk mengurangi dampak penularan HIV maupun dampak epidemi HIV terhadap pembangunan.
2. Melakukan upaya-upaya bagi pencegahan dan penurunan jumlah kasus baru serta memperbaiki kinerja program ART untuk memastikan ketaatan ketat terhadap rejimen-rejimen obat 3. Terus melakukan kampanye dan advokasi kepada publik, khususnya remaja, perempuan, serta pasangan kelompok rentan untuk melindungi diri mereka sendiri dari HIV 4. Menghentikan penyebaran HIV melalui pelayanan kesehatan seksual dan reproduktif yang ramah terhadap remaja dan perempuan, serta informasi spesifik HIV, pendidikan, dan komunikasi 5. Menetapkan peraturan yang dibutuhkan (termasuk kebijakan dan program di tempat kerja) untuk mencegah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, memiliki akses yang sama terhadap kesehatan, kesejahteraan sosial dan pelayanan pendidikan, termasuk juga keamanan pangan dan pendidikan yang berkelanjutan bagi anakanak 6. Bergerak untuk menghilangkan halangan dalam akses terhadap produk-produk pencegahan HIV dan AIDS yang berkualitas, obat-obatan, serta komoditas pengobatan; 7. Melibatkan para ODHA, organisasi masyarakat sipil serta sektor swasta, sebagai matra setara dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS 8. Memandu implementasi rencana kerja operasional ASEAN Work Programme on HIV ke-tiga (AWPIII) untuk 2006-2010 dan melimpahkan wewenang kepada ASEAN Task Force on AIDS untuk secara berkala melaporkan perkembangan.
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
KPAnews KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
03
I
S U
S
E K I L A S agar pengunjung mal dan masyarakat umum mendapatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga epidemi pun bisa terhambat. Bincang-bincang dihadiri oleh Putri Waria Indonesia 2006 Merlyn Sofyan, Konselor VCT/Klinik INTAN Eko Priatno S, SKM, dan PO KPA Kota Cirebon Retnoningsih, SKM. Acara juga dibarengi dengan peluncuran buku karya Merlyn, Perempuan Tanpa V.
Nganjuk dan Tulungagung Perlu KDS alah satu yang menghambat penjangkauan adalah jarak. Itulah yang dialami KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) Kasih Plus, Kediri, Jawa Timur. KDS Kasih Plus selama ini harus mendampingi ODHA di Nganjuk dan Tulungagung yang lokasinya sangat berjauhan. Karena itu diharapkan masing-masing daerah mempunyai KDS untuk mempermudah koordinasi. Itulah yang terungkap dari diskusi AO
S Putri Waria di Cirebon engan 74 kasus HIV, Cirebon menduduki peringkat ketiga setelah Kota Bandung dan Bekasi dalam prevalensi HIV/AIDS di Jawa Barat. Karena itu No-
D
vember lalu KPA Kota Cirebon mengadakan peringatan Hari AIDS Sedunia di Gramedia Grage Mall, Rabu (29/11) dengan acara bincang-bincang tentang HIV dan AIDS. Acara yang digelar gratis itu bertujuan
PEMERINTAH KECAM
Pengusiran ODHA di Manokwari
Sebuah program HIV/AIDS di Papua (Istimewa)
atu bukti terbaru sikap diskriminatif terhadap ODHA terjadi di Manokwari, tepatnya di Hotel Fujita, Irian Jaya Barat, Senin (15/1) lalu. Secara terang-terangan, manajemen hotel membubarkan pertemuan konsolidasi Jaringan ODHA Papua (JOP) Cendrawasih Plus. Dalihnya, pihak hotel khawatir akan tercipta image buruk terhadap hotel dan masyarakat enggan menginap di hotel tersebut. Meski Wakil Gubernur Irjabar, Rahimin Katjong, dan Sekretaris KPA Nasional, Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, sudah meng-
S
04 KPAnews
hubungi pihak manajemen hotel, pihaknya tetap menolak dan meminta panitia dan seluruh peserta meninggalkan hotel tersebut. Padahal semua peserta sudah check in, dan pemberitahuan sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya. Pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional mengecam tindakan pelanggaran HAM dan diskriminatif tersebut. “Sikap yang ditunjukkan oleh manajemen Hotel Fujita Manokwari sangat tidak beralasan dan tidak bertanggung jawab. Image hotel sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya kehadiran ODHA. Selain itu, tidak ada alasan untuk terjadinya penularan kepada tamu-tamu hotel lain, karena pada dasarnya HIV/AIDS hanya menular melalui hubungan seks penetratif tanpa kondom, penggunaan alat suntik yang tercemar HIV, dan dari ibu ke anak,” urai Sekretaris KPA Nasional, Nafsiah Mboi. Untuk itu Nafsiah mengajak masyarakat untuk lebih melek HIV/AIDS, karena umumnya sikap diskriminatif muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang rendah atas HIV/AIDS. KPA Nasional juga memberikan penghargaan yang tinggi kepada gubernur dan
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
jajaran pemerintah provinsi Irjabar yang telah menyatakan sikap dan memimpin langsung pertemuan jaringan ODHA setanah Papua. Juga kepada Ketua Harian KPA Provinsi Papua, Drs. P.S Ukung, yang tetap mendorong pelaksanaan pertemuan tersebut kendati terhambat oleh sikap manajemen Hotel Fujita. Rencananya, Pertemuan Konsolidasi JOP–Cenderawasih Plus akan dibuka Selasa (16/1) pagi oleh Gubernur Irjabar, Abraham O. Atururi. Pertemuan itu merupakan kegiatan yang difasilitasi KPA Provinsi Papua dan Pemprov Irjabar didukung beberapa LSM dan lembaga donor. Tujuan pertemuan ini untuk mengaktifkan kembali JOP–Cenderawasih Plus yang sudah terbentuk beberapa tahun silam. Seiring dengan GIPA (Greater Involvement of People Living with HIV/AIDS) atau keterlibatan ODHA yang lebih besar dalam penanggulangan HIV/AIDS, melalui JOP–Cenderawasih Plus diharapkan ada peningkatan kemampuan dan kemandirian ODHA sehingga mereka memiliki peran lebih dari yang sudah dilakukan selama ini dalam penanggulangan AIDS di Tanah Papua.
UJUNG TOMBAK dan PO sekaresidenan Kediri, Kamis (16/11). Dalam diskusi santai namun serius yang juga dihadiri oleh KDS Kasih Plus dan Vedha BPNA Kota Kediri tersebut masing-masing peserta berbagi pengalaman dalam menjalankan program di masing-masing kota. Dan disepakati bahwa pertemuan seperti itu akan dilaksanakan secara rutin setiap bulan.
Advokasi untuk Remaja Sekolah di Subang osialisasi dan advokasi tentang HIV dan AIDS harus terus dilakukan, khususnya di kalangan remaja yang masih rentan dengan pengaruh lingkungan. Untuk itu KPA Kabupaten Subang, Jawa Barat menggelar kegiatan sosialisasi sekaligus advokasi HIV dan AIDS bagi Dewan Sekolah, dan Kepala Sekolah di Subang, Rabu (27/12). Tujuannya adalah membuka wacana dari para stake holder dalam upaya menanggulangi penularan HIV di Kabupaten Subang, khususnya di kalangan remaja di lingkungan sekolah. Materi yang disampaikan adalah informasi mengenai HIV dan AIDS serta mengenai narkoba. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 40 orang Kepala Sekolah se-Kabupaten Subang, 40 orang Dewan Sekolah, dan 10 orang anggota KPA Kabupaten Subang. Selain itu juga hadir sebagai pembicara tentang narkoba, fasilitator dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
S
Eko Prasetyo Mujianto, ST Administration Officer (AO) KPA Kab. Ngajuk Lahir : Nganjuk, 30 Oktober 1982 Pendidikan : S-1 Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional Malang Alamat : Dsn. Tengger Rt.02 Rw.05 – Ds. Blongko Kec. Ngetos – Kab. Nganjuk 64474 ”Saya ingin mendapatkan pengetahuan dan peningkatan wawasan tentang upaya pencegahan penularan bahaya HIV/AIDS yang bisa saya manfaatkan untuk membantu orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan.”
Anang Junaidi, S Si Program Officer (PO) KPA Kab. Nganjuk Lahir Pendidikan Alamat
: Nganjuk, 15 April 1979 : S-1 Statistika Universitas Gajayana Malang : Dsn. Sugihan Rt. 02 Rw. 01 Ds. Duren Kec. Sawahan – Kab. Nganjuk 64475
“Melihat begitu cepatnya pergerakan virus HIV dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS, saya teretarik untuk berbuat sesuatu untuk ’mereka’. Karena itu saya bergabung dengan KPA dan saya berharap banyak hal yang bisa saya lakukan”.
Muslim Peduli AIDS Terbentuk di Bekasi ara tokoh agama Islam di Kota Bekasi membentuk forum bernama Muslim Peduli AIDS Kota Bekasi (MPAB). Forum yang anggotanya terdiri dari pimpinan majelis taklim, koordinator BKMT, koordinator TPA/TPQ, guru agama Islam, dan pemimpin pondok pesantren ini diketuai oleh H. Abdullah Syafei, S.Ag. MPAB terbentuk setelah KPA Kota Bekasi mengadakan program pelatihan dan sosialisasi HIV/AIDS dan Harm Reduction bagi para tokoh agama Islam Bekasi di Cisarua, Jawa Barat, Senin (11/12) hingga Rabu (13/12) lalu. Sebanyak 15 tokoh agama dari Bekasi yang hadir dalam acara tersebut tampak sangat antusias mengikuti acara dan mendapatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan Harm Reduction. Program pelatihan tersebut diselenggarakan oleh KPA Kota Bekasi bekerja sama dengan Depag Kota Bekasi, Burnet Indonesia, dan Yayasan Lembaga Kasih Indonesia.
P
Rencana Program KPA Kab. Nganjuk Mempersiapkan pelayanan terhadap masyarakat dengan mengupayakan tersedianya klinik VCT. Mendukung dan mensosialisasikan penggunaan kondom 100% pada kelompok risiko tinggi (WPS, waria, gay, serta pelanggan WPS). Selain itu juga sosialisasi HIV/AIDS pada masyarakat umum
Hambatan di Lapangan Belum semua birokrat menyadari bahwa masalah HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama, sehingga sedikit banyak hal tersebut berdampak pada proses jalannya akselerasi penanggulangan HIV/AIDS di daerah.
Solusi Membentuk sebuah komitmen bahwa permasalahan HIV/AIDS adalah merupakan tanggung jawab bersama. Dan semua birokrat serta pihak yang terkait harus menyadari dan bertanggung jawab pada tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
KPAnews KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
05
P
R O G R A M
K
H U S U S
PELATIHAN JURNALIS DI 14 KOTA
Langkah Awal Menggandeng
Media Massa membidik 14 kota yang dianggap masih rawan HIV/AIDS. Kota-kota itu antara lain Pekanbaru (termasuk Dumai), Palembang, Pangkalpinang, Yogyakarta, Mataram, Ambon, Manado (termasuk Bitung), Pontianak (termasuk Singkawang), Samarinda (termasuk Balikpapan), dan Bandarlampung.
Tak sekadar pelatihan
Informasi di media massa kadang tidak akurat dan justru kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan AIDS di Indonesia. ak bisa dipungkiri, peran media massa dalam penanggulangan HIV/AIDS sangat penting. Hal ini terbukti dari hasil baseline survey KPA Nasional 2005 lalu, yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menerima informasi mengenai HIV dan AIDS dari media massa. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menerima informasi dari petugas kesehatan maupun aktivis LSM. Namun tak bisa dipungkiri pula, masih banyak jurnalis yang belum cukup memiliki pengetahuan dasar yang cukup tentang isu HIV dan AIDS. Maka tidak mengherankan kalau informasi yang muncul di media massa tidak akurat dan justru kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan AIDS di Tanah Air. Bahkan masih ada pula media menyajikan berita yang cenderung sensasional dan justru diskriminatif terhadap ODHA. Hal itulah yang mendorong Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional menggelar program pelatihan bagi jurnalis 14 kota di Indonesia yang sudah mulai dilakukan awal Januari ini. Program yang baru pertama kali dilaksanakan pada tahun ini tersebut
T
06 KPAnews
Menurut Koordinator Komunikasi dan Advokasi KPA Nasional, Ruddy Gobel, program ini tak sekadar ingin memberikan pelatihan pada para jurnalis, tapi lebih untuk membangun jaringan dengan kalangan media. “Kami ingin mendorong mereka untuk menjadi bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Jadi mereka tidak sekadar meliput saja,” sebut Ruddy. Ruddy juga menguraikan tujuan lain program pelatihan ini, yaitu: 1. Mendorong ketertarikan kalangan jurnalis terhadap isu HIV dan AIDS 2. Membekali mereka pengetahuan tentang HIV dan AIDS serta semua aspek yang terkait dengan masalah tersebut, sehingga mereka pun dapat melaporkan secara lebih komprehensif, akurasi tetap terjaga, tapi tidak mencederai hak-hak orang lain (tidak membuka status ODHA secara sembarangan) 3. Mendorong agar mereka memiliki komitmen bersama untuk penanggulangan AIDS sehingga mereka dapat menjadi agen informasi dalam upaya penanggulangan AIDS. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, sambung Ruddy, materi yang diajarkan pun tidak
Pencegahan komprehensif Sementara itu Direktur Program KPA Nasional, M Nasser, mengharapkan KPA Nasional akan memberikan berbagai informasi mutakhir tentang upaya penanggulangan dan dinamika epidemik HIV/AIDS ke jaringan media yang sudah terbentuk. “Dengan demikian, penulisan tentang HIV dan AIDS di media lokal akan lebih komprehensif karena selain mendapat bahan penulisan dari narasumber lokal juga langsung dari narasumber nasional,” ujar Nasser. Lebih dari itu, Nasser melanjutkan, semua pemberitaan yang disampaikan oleh jaringan media ini dimaksudkan selain untuk sosialisasi program juga untuk melakukan advokasi kepada penentu kebijakan di daerah. Meski baru pertama kali dilaksanakan, sejak tahun lalu KPA Nasional sudah menempatkan progam advokasi media sebagai program unggulan (Global Media AIDS Representative dari UNAIDS-PBB). Ketika itu KPA membangun komitmen bersama para pimpinan media dalam upaya penanggulangan AIDS, selain memberi pemahaman dan pelatihan.
Yang Seharusnya Disadari Media 1. Seberapa penting posisi mereka dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia. Kalau mereka menyadari itu dan mau mengambil peran, maka upaya penanggulangan akan lebih mudah 2. Laporan sebagian besar wartawan yang bekerja di lapangan cenderung generalis. Masih banyak sebetulnya yang belum tahu bagaimana HIV menular, tapi karena tuntutan profesi mereka harus meliput 3. Masih terdapat kebingungan yang diala-
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
bersifat patronizing. “Yang jelas kami ingin menggugah empati mereka dalam meliput dan memberitakan tentang HIV dan AIDS. Kami ingin mereka memahami posisi penting mereka dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, apa kontribusi mereka dan bahaya apa yang akan terjadi kalau mereka tidak mengambil kontribusi tersebut,” urainya.
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
mi wartawan dalam membaca data yang terlaporkan, data estimasi, dan data surveilans, sehingga informasi yang keluar kadang keliru 4. Masih ada pemberitaan yang mencederai hak-hak orang lain (seperti menyebutkan status ODHA, misalnya). Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang bagaimana mengemas berita tentang HIV/AIDS dengan empati, tapi news value tetap terjaga.
I Sambungan dari halaman 01 4. Digunakan untuk advokasi bagi para penentu kebijakan maupun stake holder dan juga bagi LSM. Senada dengan Nafsiah, Aang Sutrisna menuturkan, estimasi digunakan untuk melihat apa yang sudah dilakukan untuk kemudian merencanakan apa yang akan dilakukan, seperti menentukan daerah prioritas yang akan digarap lebih intens. Tentu saja, kilah Aang, itu tidaklah mudah, mengingat berbagai hambatan yang sudah menghadang. Hambatan-hambatan tersebut adalah sumber daya manusia, baik kuantitas (masih sedikitnya staf KPA yang permanen) dan kualitas (manajemen program). Hambatan yang lain adalah terbatasnya sumber dana dan masih banyak ditemukan stigma dan diskriminasi (dari masyarakat maupun layanan kesehatan). Selain itu juga banyaknya ironi (di satu sisi banyak yang tidak mengakui ada lokalisasi di daerahnya, tapi hampir setiap kabupaten/kota memiliki tempat transaksi seks). “Dari hasil estimasi sebelumnya, kalau kita bandingkan dengan coverage tahun 2006, untuk populasi yang paling berisiko—seperti penasun—pencapaiannya baru di bawah 10 persen. PSK yang sudah diintervensi selama belasan tahun juga baru sekitar 20 persen,” sebut Aang. Untuk itu diperlukan adanya gerakan yang lebih masif secara nasional untuk melakukan program ke arah sana. Juga diperlukan gerakan advokasi untuk menggerakkan komitmen daerah.
Prioritas Papua Dari hasil estimasi diketahui bahwa perkembangan epidemi HIV di tanah Papua berbeda dengan di wilayah Indonesia lainnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya populasi umum yang dilaporkan sebagai pasien AIDS juga melebihi populasi yang secara tradisional dianggap lebih berisiko. Infection rate di Papua bisa 20 kali lipat lebih tinggi dari daerah lain di Indonesia. Selain itu, hasil serosurveilans HIV pada sub-populasi yang dianggap mewakili populasi berisiko rendah—seperti ibu hamil dan remaja SMU—mengindikasikan adanya penularan di antara populasi di luar yang sudah diestimasi. Hasil SSP pada kelompok remaja dan masyarakat umum di beberapa tempat juga menunjukkan adanya perilaku yang dapat menyebabkan penularan di antara populasi risiko rendah di Papua. “Dari angkaangka di situ, maka kami merasa harus melakukan intervensi khusus, menjangkau secara intensif dan lebih luas kepada masyarakat umum di Papua,” tandas Aang. Hasil estimasi ini,Aang menjelaskan, juga dapat digunakan untuk menghitung estimasi populasi rawan lainnya seperti anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV.
Langkah Selanjutnya Dalam waktu dekat, hasil estimasi akan
S U
dipublikasikan secara resmi, kemudian dideseminasikan (menyebarkan hasil estimasi dalam bentuk buku, CD, gambar, tabel, yang akan mempermudah untuk bahan advokasi) sampai ke tingkat kabupaten/kota. Ini untuk mendorong pemerintah daerah meningkatkan komitmen terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS. Berdasarkan hasil estimasi terbaru, KPA juga akan merencanakan program intensif di 22 provinsi, akan ada AO (Administration Officer) dan PO (Project Officer) yang akan
K
H U S U S
menjadi prioritas untuk meningkatkan pelaksanaan program dan mengoordinasikan program-program penanggulangan di daerahnya (provinsi atau kabupaten/kota).
P
R O F I L
Dr. Suriadi Gunawan STAF KHUSUS URUSAN RISET DAN PENELITIAN KPA NASIONAL
“Kita Belum Akan Bisa
Membendungnya” udul di atas bukanlah ungkapan pesimis dari seorang Dr. Suriadi Gunawan, Staf Khusus Urusan Riset dan Penelitian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional. kalimat tersebut terlontar karena prihatin melihat perkembangan epidemi HIV/AIDS dan penanggulangannya di Indonesia. Lihat saja, sekarang yang paling banyak tertular HIV adalah kalangan penasun (pengguna napza suntik), tapi yang baru dicapai dengan program penanggulangan baru 10 persen dari target 80%. Solusinya, menurut suami BK Pramayanti ini, harus ada komitmen kuat dari semua level di pemerintahan. Mulai dari presiden, menteri, dan yang di tingkat bawah. Tak hanya bicara saja, tapi juga bergerak. Harus ada satu gerakan nasional dari seluruh komponen masyarakat, yang dilakukan secara terus menerus. Kuncinya, tandas Suriadi, ada pada pemerintah yang menggerakkan. “Kalau tidak, maka epidemi AIDS akan terus membesar. Kita belum akan bisa membendung epidemi ini,” tegas Suriadi. Suriadi sudah ikut memerangi HIV/AIDS sebelum kasus AIDS ditemukan di Indonesia. Bersama kelompok kerja di Balitbang Depkes RI, sekitar tahun 1986 ia mempelajari wabah yang sudah menjadi pembicaraan dunia waktu itu dan mengi-
J
kuti pertemuan di WHO. Begitu kasus AIDS ditemukan di Bali pada 1987, Indonesia pun sudah siap. Menkes kemudian membentuk Panitia AIDS Nasional (PAN), dan Suriadi diangkat menjadi sekretarisnya. Mengingat perkembangan wabah AIDS begitu mengkhawatirkan, PAN beberapa kali direorganisasi, dan pada 1994 Presiden membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Tempat/tanggal lahir: Semarang, 11 September 1936 Pendidikan: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Riwayat kerja: Kepala Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Balitbang Kesehatan (1981-1987) Sekretaris Badan Litbang Kesehatan Depkes RI (1987-1988) Sekretaris Panitia AIDS Nasional (1987) Sekretaris Komisi Penyakit Infeksi PB IDI (2000) Konsultan WHO–NCD Project (2001-2002) Sekretaris Komisi Nasional Etika Penelitian Kesehatan (2003) MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
KPAnews KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
07
G
A L E R I
Terdedah Kerana DADAH Tak soal beda bahasa, yang penting sama makna. Inilah perang anti HIV/AIDS lewat poster di negara serumpun, Malaysia.
ISU MANCA AFSEL BUTUH TENAGA KERJA embaga The Global Business Coalition memperkirakan hanya 15 persen perusahaan konstruksi di Afrika Selatan yang memiliki kebijakan tentang HIV. Sebanyak 85% yang lain kurang bisa memberikan edukasi para pekerjanya tentang HIV atau menyediakan dukungan kesehatan yang cukup. Karena itu pemerintah Afrika Selatan menyerukan agar perusahaan-perusahaan tersebut segera menerapkan kebijakan HIV/AIDS di tempat kerja. Seruan pemerintah ini juga berkenaan tentang kebutuhan insinyur dan teknisi lokal untuk membangun beberapa bangunan di 9 kota tempat akan diselenggarakannya turnamen Piala Dunia 2010. Demikian dilansir majalah New Civil Engineer baru-baru ini.
L
KAMPANYE GAY wal bulan ini, komunitas Stonewall Project San Fransisco, AS meluncurkan kampanye “Hot Sex Without Crystal? Hell Yes!” (Bercinta Tanpa Kristal? Tentu Saja Bisa!). Tujuan kampanye Stonewall yang anggotanya adalah para aktor gay film porno itu untuk mematahkan mitos bahwa penggunaan methamphetamine kristal akan memengaruhi pemenuhan kebutuhan seks pria. Selain memasang iklan layanan masyarakat di majalah, kampanye juga dilakukan dengan menempelkan posterposter. Data terakhir menyebutkan, penggunaan methampetamine di kalangan pria melakukan seks dengan pria (MSM/men who have sex with men) berkurang secara berarti.
A
08 KPAnews
M
Subdit HIV/AIDS & PMS Ditjen PPPL Depkes RI
Sebuah Kebanggaan
BAGI INDONESIA ndonesia boleh berbangga. Meski memiliki kasus HIV/AIDS yang terbesar di Asia namun Indonesia memiliki metode surveilans yang diakui dunia sebagai the best practice in the world. Surveilans tersebut digagas oleh Subdit HIV/AIDS dan PMS Ditjen PPPL Depkes RI. Dipaparkan oleh Ketua Subdit, Dr. Sigit Priohutomo, MPH, berbeda dengan negara lain, Subdit membuat pengembangan surveilans generasi kedua (Second Generation Surveillance) dengan menggabungkan surveilans biologi dengan surveilans perilaku (integrated bio-behaviour surveillance). Dan ternyata hasilnya lebih menjelaskan keadaan di lapangan. “Misalnya, membengkaknya kasus AIDS di Papua dulu dianggap karena faktor budaya. Tapi setelah dilakukan surveilans ini, hasilnya ternyata berbeda di masing-masing tempat, meski budayanya sama. Ternyata, itu terjadi karena pengaruh faktor lain yaitu perilaku individunya,” papar Sigit. Dari surveilans itulah kemudian dilakukan estimasi untuk kemudian dimanifestasikan ke dalam program-program penanggulangan yang dilakukan. Surveilans, kata Sigit, adalah pokok pangkal semua gerakan penanggulangan HIV/AIDS.
I
Memberikan Napas Subdit HIV/AIDS dan PMS pada awalnya bernama Subdit Penyakit Kelamin dan
MEDIA KOMUNIKASI INFORMASI & EDUKASI DARI KITA UNTUK KITA
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS
I T R A
EDISI 04/I • FEBRUARI 2007
Dr. Sigit Priohutomo (paling kanan) dalam acara HAS 2006 lalu
Frambosia. Sejak kasus AIDS pertama di Indonesia ditemukan tahun 1987, namanya menjadi Subdit Penyakit Kelamin dan Frambosia termasuk HIV. Karena pada perkembangan selanjutnya HIV/AIDS begitu mengkhawatirkan, maka pemerintah memutuskan subdit ini menjadi Subdit HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS).“Dulu PMS kurang dipedulikan. Tapi kini setelah munculnya AIDS maka PMS dicoba untuk ‘diangkat’ kembali, karena PMS juga merupakan pintu masuk HIV,” tandas Sigit. Kini, dengan pengalaman menangani HIV/AIDS sejak ditemukannya AIDS di Indonesia, Subdit HIV/AIDS dan PMS boleh berbangga karena berbagai kalangan mengatakan, lembaga ini selalu memberikan “napas” dari seluruh program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.