Ah sepertinya aku lebih suka memanggilmu Ustaz. Ustaz Subhanallah, tepatnya. Seperti temanteman kampusmu, seperti adik-adik binaanmu yang akrab memanggilmu dengan ustaz Subhanallah. He-he-he, panggilan unik ya? Kau pernah mengatakan alasan kenapa dipanggil Ustaz Subhannallah karena kau kerap mengucapkan ‘Subhanallah’, sedikit-sedikit subhanallah. Kau menceritakan itu ketika mengisi kajian mabit di masjid tak jauh dari Halte Busway Puskesmas Klender. Tapi tak usahlah, aku tak mau memanggilmu Ustaz untuk saat ini. Nggak dosa kan? Aku harap kau mengangguk dan tak perlu marah lalu memecat aku jadi Humasmu. Jika kupanggil ustaz seperti ada sekat di antara kita. Di sini hujan. Rintiknya membentuk nyanyian indah. Hujan ini mengingatkanku pada momen aksi peduli Palestina. Masih ingat kah kau akhi? Dulu ketika aksi mengecam Zionis Israel yang memborbardir saudara kita Palestina di depan Kedubes AS, dengan TOA, di atas mobil bak, kau pun berteriak. “HUJAN KITA MASIH AIR, TIDAK ADA APA-APANYA DENGAN SAUDARA KITA YANG DI SANA, DI GAZA, MEREKA DIHUJANI PELURU! “JANGAN SAMPAI SEMANGAT KITA LUNTUR HANYA KARENA HUJAN!” Suaramu sangat lantang menggelegar, membuat semua orang semakin semangat mengepalkan tangan dan mengucapkan takbir keras-keras. Aku yang bertugas memegang spanduk rasanya juga ingin naik ke atas mobil bak dan ikut teriak sekeras mungkin. Di bawah hujan yang cukup deras, kita pulang bersama. Tadinya, seusai itu aku mau langsung pulang bersama Agung, teman kita yang aktifis dakwah dari kampus khusus tehnik, yang sedari awal aksi bersamanya. Namun aku dan Agung tak bisa menolak ajakanmu untuk pulang bareng tersebab kunci motor, dompet dan tasmu ada di mobil KNRP, sementara mobil KNRP ternyata sudah balik duluan ke markasnya di Ragunan. Dengan menenteng plastik, yang berisi tiga botol bensin yang rencananya mau dipakai untuk aksi membakar bendera zionis Israel tidak jadi karena cuacanya tak kondusif, kita nyebrang untuk naik kendaraan umum menuju HI. Antara bajaj, kopaja dan taksi. Akhirnya memutuskan naik Kopaja karena uang yang ada tak seberapa. Rp 6.000,- ludes untuk jarak yang tak seberapa. Arahnya juga tak ke HI busnya, belok ke arah Tanah Abang. Mau tak mau kita jalan lagi bersama para pendemo lain yang juga jalan kaki dari Kedubes. Pfuuuh…sia-sia rasanya naik Kopaja. Namun tak mengapa lah, hitung-hitung sedekah sama sopir bus. Setelah berlelah-lelah jalan, akhirnya motor Agung yang ada diparkiran liar depan Plaza Indonesia sudah terlihat. Dengan membayar tarif parkir Rp 4.000,- mahal banget kan? Sebenarnya, bayarnya Rp 3.000,-, meski ini kurang wajar, abang parkirnya tak ada kembalian seribu. Kemudian diminta menunggu karena mau ditukarkan uangnya. Bosan menunggu dan
dingin yang makin menyergap, kita memutuskan untuk jalan mengikhlaskan seribu. Satu motor tiga orang? Hanya dengan satu helm? Tariiik! Aku geleng-geleng kepala, Agung yang punya motor, yang duduk di belakangku aku duga melakukan hal yang sama. “Nggak nyangka, antum ‘segila’ ini,” “Nggak apa-apa, Gung. Sekali waktu kita nakal sedikit tak mengapa!” Motor melaju semakin kencang, aku menggigil. Dingin sekali. “Jangan terlalu dipeduliin kalau dingin, nanti malah makin dingin,” katamu. “Bukan, Akh. Ini tidak aku dramatisir. Gigil ini natural akhy!” Motor melaju semakin kencang, hujan pun tak reda-reda. Riang juga kita sepanjang itu. Kita tertawa yang tak usai-usai. Menertawakan apa saja, termasuk menertawakan diri sendiri. Di pertengahan jalan, di kawasan Kuningan, tetiba kau menghentikan motor. Ban bocor! Kita pun mundur beberapa langkah karena sebelumnya seperti melihat tukang tambal hujan. Namun ternyata nggak ada, untung bapak yang nongkrong di pangkalan ojek memberitahu. Kau pun mengendarai motor sendirian dalam keadaaan ban bocor, aku dan Agung jalan kaki ke arah Indorama, tempat di mana bengkel berada. Kami kehilangan jejakmu, tengok kanan-kiri tak ada jua. “Mungkin tak di sini kali?” kataku pada Agung. “Benar kok, cuma kok di sini nggak ada aroma keramaian ya?” Tak lama, aku dan Agung saling menoleh, kemudian tertawa bersama. Pasalnya, menemukanmu sedang duduk santai di posko keamanan sembari makan kerupuk. Oalah, dicari-cari kok yang dicari malah santai-santai. Kirim SMS atau telepon kek, eh iya lupa, hapemu kan di Ragunan hehe-he. Usai menambal ban, kita langsung lanjut ke kostanku. Hanyut dalam derasnya hujan dan klaksonan kendaraan. Untung tak ada polisi, secara, mana ada polisi yang mau ngatur lalu lintas. Tadi ketika aksi saja, polisi banyak yang neduh di tepian bangunan. Cemen banget kan? Masa’ sama hujan takut? Tapi kalau pun ada polisi dan kita tertangkap, citra kita, citra FSLDK akan ternoda; masa’ aktifis dakwah ugal-ugalan di jalanan? “Antum ada cadangan pakaian buat menggantikan pakaian kita?”
Hmm..pertanyaan itu membuat kita tertawa. Secara anak kost katanya bajunya terbatas, menerapkan konsep CKP, cuci kering pakai. Alhamdulillah sudah sampai pada level kering dan siap dipakai. Baru aku ambil jemurannya sehari sebelumnya. “Kalau celana dalam?” Ah, ada-ada saja pertanyaannya. Ya memang ini agak krusial, karena kebasahkuyupan kita sudah sampai dalam-dalam. Maaf, tak bermaksud apa-apa namun ini lagi-lagi penting. Sampai juga akhirnya di kostan. Aku menawarkan bakso tahu goreng, namun ternyata kalian mengelak. Aku juga sih sebenarnya sama. Bosan dengan batagor. Akhirnya, baru saja mau parkir, kau malah menawarkan diri membeli sesuatu. Sekalian ambil uang di anjungan tunai mandiri. “Cari yang anget-anget saja akhi..!” ucapku agak ceria ketika kau menanyakannya. Tentang makanan memang membuat dunia ceria. Aku dan Agung benar-benar takjub sekembalinya kau balik dari warung. Kau membawa nasi padang hangat dengan ayam goreng bumbunya, dan membawa satu kotak kardus berisi tentang sesuatu. Takjub “Ini… satu-satu,” katamu sembari mengeluarkan isinya, “Antum satu, ana satu dan ini antum satu sama kardusnya.” katamu berseloroh. Dan isinya ternyata adalah….celana dalam! “Anggap saja ini kenang-kenangan dari ana. Jarang-jarang kan ada aktifis kampus member kado seperti ini.” Aku dan Agung yang menahan tawa, akhirnya pecah. Seperti pecahnya air minum dalam plastik yang aku pecahin. Tumpah. Padahal air itu yang baru saja kau beli. Maaf ya. Setelah Agung, kini giliranmu yang aku carikan baju di lemari. Cari-cari yang agak cocok, karena badanmu lebih bongsor dariku. Kaos sepakbola yang bernama punggung, namaku. “Suatu kali,” katamu memulai pembicaraan ketika muluk nasi padang, “Imam Ahmad mengundang Imam Asy-Syafi’i ke rumahnya. Imam Ahmad telah menyiapkan hidangan dan kamar khusus untuk gurunya itu, Imam Syafi’i sampai di rumah Imam Ahmad setelah shalat Isya. Begitu sampai Imam Syafi’i langsung diajak Imam Ahmad untuk makan malam. Imam Syafi’i makan dengan tenang dan lahap. Usai makan Imam Syafi’i berbincang sebentar dengan Imam Ahmad lalu masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya dan merebahkan badan. Ketika waktu Subuh, Imam Syafi’i bangkit dan langsung menuju masjid bersama Imam Ahmad untuk shalat berjama’ah.Imam Ahmad mempersilahkan Imam syafi’i untuk menjadi Imam, Namun Imam syafi’i menolaknya,
“Jama’ah di sini lebih akrab denganmu. Hati mereka akan lebih tenang dan lebih mantap jika kau yang menjadi imam.” kata ImamSyafi’i dengan bijak. Usai shalat subuh kedua imam itu beri’tikaf di masjid sampai tiba waktu dhuha. Setelah shalat dhuha barulah keduanya kembali ke rumah Imam Ahmad. Sampai di rumah, Imam Syafi’i kembali masuk ke kamar, sedangkan Imam Ahmad langsung ditemui oleh putrinya. “Ayah, benarkah tamu kita itu Imam Syafi’i yang sering ayah ceritakan ? ” tanya putri Imam Ahmad. “Benar. Ada apa putriku?” jawab Imam Ahmad. ” Jika benar, maka ada tiga Koreksi dan kritikan untuk Imam Syafi’i. Tiga hal itu menurutku sangat tercela. Pertama. kulihat waktu makan, beliau makan banyak sekali. Kedua. Setelah masuk kamar, dia langsung merebahkan badan dan tidur. Semalam suntuk aku memperhatikan ternyata beliau tidak shalat malam. Padahal, shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shaleh. Dan Ketiga, begitu bangun tidur ia langsung ke Masjid untuk shalat subuh tanpa mengambil air wudu’ dahulu. Berarti beliau shalat tanpa wudhu. Imam Ahmad menjadi bingung dan penasaran mendengar penuturan putrinya itu. Namun ia tidak mau berprasangka yang bukan-bukan kepada gurunya. Saat itu juga Imam Ahmad menemui Imam Syafi’i untuk meminta penjelasan atas apa yang diamati putrinya. Mendengar hal itu, Imam Syafi’i tersenyum dan menjelaskan, ”Sahabatku Ahmad, memang benar aku makan banyak dan itu ada alasannya. Aku tahu makanan yang engkau hidangkan itu halal. Dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya, sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya, sedangkan makanan orang pemurah adalah obat.. Lain dengan memakan makanan orang bakhil, itu akan membawa penyakit. Aku makan berharap mendapat berkah dan juga mendapat obat. Soal perkara aku tidak shalat malam, pasalnya begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitab Allah dan sunnah Rasulullah digelar dihadapan mataku dan aku menelaah dengan seksama semalam suntuk. Hasilnya aku berhasil memecahkan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena itulah , aku tidak sempat melaksanakan shalat malam. Sedang aku sholat Subuh tanpa berwudhu sama sekali sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun. Aku masih punya wudhu’ sejak shalat isya, maka aku shalat dengan kalian tanpa mengulang wudhu. Mendengar ceritamu, aku dan Agung mengangguk. Namun saat itu aku baru ngeh, kau ternyata menyindirku agar segera menghabiskan nasi padang yang kau belikan. Seketika itu aku menyingkirkan ponselku, aku terlalu asyik Twitteran daripada menghabiskan makan. Padahal makananmu dan Agung hampir ludes, tak tersisakan.
Usai makan, kita banyak mendiskusikan banyak hal sembari menunggu hujan reda. “Gimana kabar LDK antum akh Agung?” “Iya lagi fokus banget sama internal nih,” “Wah, sibuk banget. Namun jangan sampai lupa amanah di ke-LDK-an FSLDK dong,” “He-he-he, masih banyak pembenahan. Kadernya harus diperkuat lagi karena golongan kiri makin kuat di siyasih. Di politik kampus.” Masih dalam rintikan hujan yang dingin, yang jatuhnya membawa lantunan berkah untuk tanah, yang rintiknya mendentingkan kerinduan terhadap peradaban. Kita masih dalam hangat, tentang canda, tentang tawa, tentang masa depan Indonesia, tentang masa depan pemuda. Bicara tentang pemuda selalu menarik, akhy. Pun pembicaraan ini bisa membikin telinga merah terbakar. Apalagi jika yang dibincangkan ialah peran pemuda dalam membangun bangsa. Menarik karena pemudalah harapan bangsa masa depan. Bicara pemuda artinya bicara apa yang akan terjadi kelak. Potret pemuda saat ini ialah gambaran bangsa di masa mendatang, Kita, terlebih aku yang baru 3 tahun ikut mentoring kampus, tak tahu bagaimana nasib akan membawa saat ini jika tak masuk dalam lingkaran cinta Allah itu. Aku mungkin tak kenal arah ke mana jalan mudaku kumanfaatkan. Masa muda pasti habis terkikis oleh galau yang membawa kacau. Alangkah sayang mereka yang tak mau masuk dalam halaqah. “Antum sudah berapa binaan akhy?” tanyamu. Plak! Tamparan kata itu menghampiriku. Binaan? Glek! Aku hanya senyum dan menggeleng. Kau menjelaskan bahwa kenapa harus punya binaan? Karena seorang murobbi akan terdorong untuk belajar lebih dalam terkait materi-materi Islam, memperkuat ibadah harian, dan akan meningkat kemampuan komunikasi dan manajemennya. Dengan kata lain, menjadi murobbi sama halnya membina diri sendiri. Membina tak jauh dari asah diri. “Antum gimana sih? Ilmu agamanya lumayan, kuasai dunia menulis, ikut bahasa Arab pula, masak nggak ditularin ke yang lain,” katamu. Aku hanya mengangguk dan mengulum senyum, sesekali menatap ke arah Agung yang sedang memegang Yang Berjatuhan di Jalan Dakwahnya Fathi Yakan sambil tiduran. Tentang binaan lumayan ribet. Seperti ada keroyokan binaan di kampusku karena kadernya yang terbatas sementara alumni yang minat sangat banyak. Aku tahu, kau dan Agung sudah punya binaan anak sekolah, adik kelas SMA. Kalau aku mau membina adik kelas SMA, aku harus menempuh perjalanan selama 8 jam ke kampung halamanku di Ungaran.
Aku masih ingat ketika kau menerangkan bahwa ada seorang teman bilang suatu ketika ditanya mengapa belum membina, jawabannya ( dan rata-rata ) adalah “Afwan, sibuk akhi. Ana kerap keluar, sering ada delegasi keluar kota, dan ini dan itu,” dan kau pun menjawab dengan mengatakan, “Iya sih sibuk, maklumlah tokoh siyasih, presiden mahasiswa dan menjabat ini itu, Namun bukan kah kita akan selalu disibukkan dengan deretan agenda yang melebihi daftar belanjaan ibu rumah tangga?