Beberapa di antara yang mengikuti pembahasan kita sejak awal mungkin agak khawatir dengan cepatnya pembahasan kita. Dan saya mau anda tahu bahwa saya sangat menyadari bahwa pembahasan yang terlalu cepat bukanlah cara mengajar yang paling tepat, seperti memaksa orang mandi dengan memaksanya berdiri di selang air yang besar. Di sisi lain, saya pernah ada dalam keadaan dimana di suatu tempat hampir tidak ada gereja, yang ada hanya gereja rumah, dan di sana ada banyak orang yang mengambil resiko untuk datang ke dalam pertemuan. Mereka tidak terlalu mempersoalkan mengenai gaya mengajar karena yang mereka katakan hanyalah, “Berikan kepada kami sebanyak mungkin bahakan yang bisa anda sampaikan, karena kami tidak bisa berkumpul dalam waktu yang lama. Dalam beberapa hari kami harus pulang ke kampung kami masing-masing.” Dan karena kita akan menggali dan membahas sebanyak mungkin bahan yang bisa kita pelajari dalam program kita. Itulah sebabnya program-program kita terasa begitu padat dengan informasi, itulah sebabnya kadangkala kita bergerak dengan sangat cepat, dan bahkan seolah-olah kita mengebut dalam proses belajar ini, untuk mencapai tujuan kita. Juga ingat kembali, bahwa kita belajar bukan untuk kepentingan kita sendiri, tetapi untuk kepentingan saudara dan saudari kita di seluruh penjuru dunia. Jadi, walaupun terasa sangat padat mari kita mencoba mengikuti pembahasan kita. Ia adalah Elohim, Allah. Ia adalah Yahweh. Ia adalah Tuhan. Lalu, Ia adalah Adonai. Sekarang, saya menyebutkan ini, ini berarti juga bahwa Ia adalah Tuan atau Penguasa. Dan gambaran itulah yang anda lihat di sini ketika anda melihat kata itu memakai T huruf besar dan semua huruf lainnya huruf kecil. Gambarannya adalah Allah yang memiliki, Tuan atas segala sesuatu, penekanan sebenarnya kepada kedaulatan-Nya, yang akan kita gali lebih mendalam lagi. Tetapi Adonai menekankan tentang dua hal. Yang pertama, Adonai menekankan kedaulatan yang mutlak dari Allah. Sekarang, saya ingin menunjukkan hal ini. Mari kita buka Yesaya 6. Ini adalah bagian lain dimana saya akan menunjukkan adanya perbedaan dan mengapa hal itu sangat menolong anda untuk mempelajari Alkitab, ketika anda mengenal nama-nama yang berbeda dari Allah. Perhatikan Yesaya 6:1. Saya ingin menunjukkan kepada anda di dalam Alkitab, dan anda bisa memperhatikan adanya perbedaan antara TUHAN yang semua hurufnya memakai huruf besar atau Tuhan, yang hanya T saja yang besar. Anda melihat dalam ayat 1, dikatakan, “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan,” T huruf besar dan u-h-a-n huruf kecil. Itu bukan dari kata Yahweh tetapi dari kata Adonai. Dan Adonai adalah seperti gelar untuk Allah. Jadi kalau anda mendapatkan nama Adonai Yahweh, gambarkan Yahweh sebagai nama Allah, dan Adonai sebagai gelar bagi Allah. Seperti Presiden Soekarno, misalnya. Presiden adalah gelar, Soekarno adalah nama dari presiden pertama itu. Dan inilah gambaran yang bisa anda lihat di sini, ada perbedaan di antara keduanya, dan itu sesuatu yang sangat penting. Ketika anda melihat Yesaya 6:1 di sana dikatakan, “Dalam tahun matinya raja Uzia.” Raja Uzia adalah seorang raja yang hebat yang di dalam sebagian besar kehidupannya menjalani kehidupan yang takut akan Tuhan dan bangsa itu menjadi makmur, bangsa Israel menjadi makmur, tetapi mendekati akhir kehidupannya, ia berpaling dari Allah. Dan sebagai akibatnya kemudian ia mati, dan orang yang mengambil alih kepemimpinan sebagai raja adalah seorang yang baik. Tetapi saat Uzia mati maka kebingungan, kekhawatiran merajalela di antara umat Allah. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, kemana harus berpaling. Dan Yesaya mengatakan, “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan.” Aku melihat Dia yang berdaulat. Bukankah sangat indah untuk menyadari bahwa ketika kebingungan dan kekhawatiran merajalela di dalam kehidupan kita, saat kita tidak mengerti apa yang terjadi di sekitar kita, bukankah luar biasa kalau kita bisa tetap memandang dan melihat Tuhan duduk di tahta-Nya, bahwa Ia tetaplah Allah yang hidup. Ketika raja-raja mati, Ia hidup, dan Ia memerintah dan Ia tidak terkejut atas apa yang sedang terjadi. Ia memiliki kedaulatan yang penuh atas segala sesuatu dan menolong kita memahami Yesaya 6:1. Kemudian anda melihat di dalam ayat 3, dan dikatakan di sana, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN,” ini menyebut Yahweh. Tetapi kemudian di dalam ayat 8 ada sesuatu yang lain lagi, “Lalu aku mendengar suara Tuhan,” dengan T huruf besar tetapi u-h-a-n huruf kecil. Adonai
yang berfirman, Dia yang berdaulat mengatakan, “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Jadi Adonia menekankan kedaulatan yang mutlak dari Allah dan yang kedua menekankan ketundukkan mutlak manusia. Inilah saat Yesaya tunduk. “Ketika Tuhan memanggil, anda pergi. Anda mempersembahkan hak anda untuk menentukan arah bagi kehidupan anda sendiri.” Mereka yang menyembah Adonai – kalau Ia memang memiliki segala sesuatu maka itu berarti mereka yang menyembah Adonai adalah para hamba-Nya. Jadi, mereka yang mengikuti Adonai adalah para hamba-Nya. Saya ingin membawa perhatian anda kepada Yosua 5. Ketika anda melihat hal ini, Yosua sedang ada di dekat Yerikho yang tidak mengenal Allah, ia mau memimpin dan membawa umat Allah ke dalam peperangan besar pertama mereka di Tanah Perjanjian dalam Yosua 5. Anda bisa membayangkan, dia merasa gugup, ia membawa membawa umat Allah ke dalam peperangan besar mereka yang pertama. Dan yang terjadi kemudian adalah ia berpikir sendirian di suatu malam dan melihat ada seorang asing berdiri di depannya. Dan Yosua mendatanginya serta bertanya, “Apakah engkau kawan atau lawan? ‘Bukan.’” Jangan melewatkan bagian ini, “tetapi akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang."” Yahweh ada di sana. “akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang. Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah dan berkata kepadanya: "Apakah yang akan dikatakan tuanku,” Adonai dipakai di sini “kepada hambanya ini?” Dan gambarannya adalah – jangan sampai melewatkan ini, cobalah untuk memposisikan diri anda sebagai Yosua. Anda memimpin sekelompok besar umat Allah untuk maju ke peperangan pertamanya, lalu anda bertemu dengan seorang asing, lalu anda bertanya, “Engkau di pihak siapa?” Dan orang itu memandang anda dan mengatakan, “Akulah Panglima Balatentara TUHAN.” Inilah Allah menyatakan diri kepada Yosua melalui gambaran ini, dan Yosua memahami—satu titik yang sangat penting dalam hidupnya, ia menyadari bahwa bukan dia panglima pasukannya. Dan ia memahami bahwa sebagai umat Allah, ia hanya orang kedua dalam pucuk kepemimpinan. Dan inilah sebabnya ia sujud dengan mukanya ke tanah dan mengatakan, “Apakah yang akan dikatakan Adonai kepada hambanya ini. Semua yang saya lakukan, semua yang sudah saya lakukan, semua kepemimpinan saya, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, saya hanyalah hamba-Mu.” Ini sebuah peringatan kepada semua pemimpin rohani bahwa anda tidak pernah menjadi pemimpin tertinggi. Bagi semua orang yang memimpin keluarganya, jangan lupa bahwa anda juga selalu menjadi bawahan. Anda bukan tuan atas keluarga anda, Allah sajalah Tuhan atas keluarga anda dan tugas anda hanyalah sujud dengan muka sampai ke tanah dan bertanya, “Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini?” Ini menolong kita melihat kebenarannya. Mereka yang menyembah Adonai adalah para pelayan dan mereka yang menyembah Adonai adalah hamba. Lalu 2 Samuel 7, ketika Daud mengatakan, di bagian akhir pasal ini, “Engkau mengenal hambaMu, ya Tuhan ALLAH. Engkau telah melakukan segala perkara yang besar ini dengan memberitahukannya kepada hamba-Mu ini.” Gambarannya adalah bahwa Daud sangat dikuasai oleh kenyataan bahwa dirinya adalah hamba Adonai. El Elyon berarti Allah Yang Mahatinggi. Ini menekankan kuasa Allah. Yang terjadi adalah – dalam Kejadian 14, Sodom dan Gomora terlibat dalam peperangan dan mereka kalah, dan Lot, keponakan Abraham, tertawan bersama penduduk kota itu. Dan karena itu Abraham mengumpulkan teman-temannya dan mengatakan, “Mari kita dapatkan Lot kembali.” Dan karena itu mereka pergi dan memenangkan perang, membebaskan Lot. Dan mereka membawa barangbarang jarahan dan para tawanan dari Sodom dan Gomora itu. Lalu dalam perjalanan pulang, Abraham bertemu dengan dua orang raja. Salah satunya adalah Melkisedekh, raja Salem – ia adalah orang yang cukup membuat kita bingung, di sepanjang isi Kitab Suci—lalu selain itu ada juga raja Sodom. Dan yang terjadi adalah bahwa dalam percakapan dengan Melkisedekh, Abram memberikan sepersepuluh dari segala sesuatu yang ada, yang jumlahnya hampir setoko penuh. Tetapi kemudian raja Sodom datang kepada Abram, dan perhatikan apa yang terjadi,
hampir di bagian akhir pasal itu, “Berkatalah raja Sodom itu kepada Abram: "Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu.” Jadi Abram mengambil semua barang-barang itu menjadi miliknya, semua barang yang ada, jarahan peperangan, bisa engkau miliki, dan banyak percakapan berlangsung di antara keduanya. “Tetapi kata Abram kepada raja negeri Sodom itu: "Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, -- inilah penyebutan Allah sebagai El Elyon—Pencipta langit dan bumi. Aku tidak akan mengambil apaapa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasut pun tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya.” Aku tidak akan menerima apapun kecuali apa yang dimakan oleh orang-orangku dan bagian dari orang-orang yang pergi bersama denganku.” Gambarannya adalah Abram mengatakan kepada raja Sodom, “Allahku adalah Yang Mahatinggi, dan Ia memiliki segala sesuatu. Aku tidak akan mengambil apapun darimu yang bisa membuat engkau mengatakan “Aku sudah memberikan hal ini kepadamu.” Allah memiliki segala sesuatu yang aku perlukan, dan Ia akan memberikannya kepadaku.” Inilah gambaran keyakinan kepada El Elyon sebagai Allah Yang Mahatinggi. Ini adalah gambaran akan kenyataan bahwa Allah sajalah yang Mahatinggi dan mulia. El Elyon, dan arti literalnya adalah Mahatinggi, Mahaagung. Dan anda melihat hal ini di dalam Daniel 4, sebuah ayat yang sangat luar biasa. Ini diucapkan dari bibir seorang raja yang tidak mengenal Allah, raja Nebukadnezar, dengarkan apa yang dikatakan raja ini. Ia mengatakan, “aku, Nebukadnezar, menengadah ke langit, dan akal budiku kembali lagi kepadaku. Lalu aku memuji Yang Mahatinggi dan membesarkan dan memuliakan Yang Hidup kekal itu, karena kekuasaan-Nya ialah kekuasaan yang kekal dan kerajaan-Nya turun-temurun. Semua penduduk bumi dianggap remeh; Ia berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya: "Apa yang Kaubuat?” Anda melihat seorang raja bangsa asing memuji Allah sebagai El Elyon, Allah Yang Mahatinggi. Ia sajalah yang Mahatinggi dan Mulia. Dan yang kedua, Allah sajalah yang bisa memenuhi kebutuhannya. Saudara seiman, kalau Allah memiliki segala sesuatu maka kita tidak membutuhkan apapun dari dunia ini. Kalau Allah memiliki segala sesuatu maka kita tidak memerlukan apapun dari dunia ini. Sekarang, anda ingat bahwa Allah adalah gunung batu mereka, El Elyon, Allah Yang Mahatinggi adalah Penebus mereka, Mazmur 78. Selanjutnya, El Shaddai, Ia adalah Allah yang Mahakuasa atau TUHAN Yang Mahakuasa. Gambarannya di sini – kata ini dipakai tujuh kali sebagai El Shaddai di dalam Alkitab dan kemudian beberapa penyebutan yang lain hanya memakai kata Shaddai saja. Saya rasa di dalam kitab Ayub saja ada sekitar 30 kali kata Shaddai di sebutkan. Mari kita perhatikan Kejadian 17, ketika Allah memberikan janji kepada Abraham tentang bagaimana Ia akan memberkati Abraham dan memberikan satu jalur keturunan yang akan menjadi berkat. Dan gambarannya adalah bahwa Ia adalah Allah Yang Mahakuasa, Ia memiliki kekuasaan dan bukan hanya kuasa, Ia juga Mahakaya. Shaddai secara literal berasal dari kata Sha yang berarti dia dan Dai yang berarti cukup. Ia Mahakaya, “Allah Yang Mahakuasa kiranya membuat orang itu menaruh belas kasihan kepadamu, supaya ia membiarkan saudaramu yang lain itu beserta Benyamin kembali. Mengenai aku ini, jika terpaksa aku kehilangan anak-anakku, biarlah juga kehilangan!” Dengan kata lain, ia mengatakan, apapun yang terjadi, Allah Yang Mahakaya, dan Ia akan mencukupkan kepadaku. Sebagai El Shaddai, Allah mengatakan dua hal. Yang pertama, Ia mengatakan, “Aku menjamin Firman-Ku.” Anda bisa melihat di dalam Kejadian 28:3, Kejadian 35:11, Allah berbicara kepada Yakub dan – ini mengingatkan saya akan satu kenyataan, bahwa salah satu nama Allah adalah Allah Yakub, sesuatu yang sangat luar biasa, bukan? Yakub bukanlah seorang yang paling hebat. Ia tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan. Tetapi Allah menghubungkan diri-Nya dengan Yakub. Saya mau mengingatkan anda, bahwa anda mungkin juga bukan seorang yang sangat hebat. Tetapi memang hubungan itu bukan terjadi karena ada hal-hal yang bisa kita tunjukkan. Kita adalah orang-orang berdosa yang membutuhkan anugerah yang besar, dan Allah menyebut diri-
Nya sebagai Allah kita. Memang bagian ini tidak ada di dalam catatan, dan kita tidak akan masuk terlalu jauh ke sana. Baik, mari kita lanjutkan. "Aku menjamin Firman-Ku,” kata Allah, “Aku menjamin Firman-Ku sebagai El Shaddai, dan Aku menjamin pemeliharaan-Ku. Aku akan mencukupkan kamu.” “Allah Yang Mahakuasa berfirman kepada-Ku, Tuhan Yang Mahakuasa, Ia memberkati aku dan berkata, ‘Aku akan memberkati kamu dan menjadikanmu beranak cucu dan bertambah banyak.” Ia menjamin pemeliharaanNya. Ini membawa kita kepada satu nama selanjutnya Yahweh atau Jehovah-Jireh, yang berarti Allah akan mencukupkan. Ini gambaran yang sangat inah yang bisa kita temukan salah satunya di dalam Kejadian 22 ketika Allah memerintahkan kepada Abraham untuk membawa anak tunggalnya, Ishak, yang sudah dijanjikan baginya dan kemudian Allah mengatakan, “Pergi dan korbankanlah anakmu di atas sebuah mezbah.” Jadi Allah menuntun Abraham ke puncak sebuah bukit dan disana Abraham bersiap untuk mengorbankan Ishak. Dan pada saat ia hampir melakukannya, “Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan.” Kata menyediakan, adalah kata yang sangat indah, kata ini mengandung makna melihat sebelumnya. Bahkan, dalam bahasa Latin untuk kata ini, yaitu provideo, berasal dari dua kata video yang berarti melihat, dan pro yang artinya sebelumnya. Gambarannya adalah tentang Allah yang sudah mengetahui segala sesuatu sebelumnya. Mari kita tanamkan ini baik-baik. Kita tidak akan pernah memiliki kebutuhan yang tidak diketahui oleh Allah sebelumnya. Bukankah ini berita yang sangat luar biasa? Kalau anda mengalami penyakit yang berat, bukankah sangat menghibur untuk mengingat bahwa Allah sudah tahu sebelumnya akan hal itu? Anda mengalami tragedi yang sangat menyedihkan, bukankah sangat menguatkan untuk mengingat bahwa Allah sudah mengetahui hal itu? Ketika suami atau istri atau ayah atau ibu meninggalkan kita, bukankah sangat indah untuk mengingat bahwa Allah sudah mengetahui hal itu? Tuhan sudah melihat sebelumnya. Ia adalah Yehova Jireh. Jehovah-Sabaoth, TUHAN Balatentara atau TUHAN semesta alam. Semesta alam di sini secara literal berarti pasukan yang tak terhitung banyaknya, kadangkala di sebut sebagai pasukan balatentara malaikat, kadangkala dipakai juga untuk pasukan dari dunia ini. Gambaran ini contohnya bisa kita lihat di dalam 1 Samuel 1:3. Berbicara mengenai Elkana, yang selama bertahun-tahun, berangkat dari kota kediamannya untuk menyembah dan mempersembahkan korban kepada TUHAN semesta alam di Silo, Yang Mahakuasa, TUHAN semesta alam, itulah Yehova-Sabaoth. Ketika anda melihat gambaran di dalam kitab Amos, disana disebutkan, “Sebab sesungguhnya, Dia yang membentuk gunung-gunung dan menciptakan angin, yang memberitahukan kepada manusia apa yang dipikirkan-Nya, yang membuat fajar dan kegelapan dan yang berjejak di atas bukit-bukit bumi -- TUHAN, Allah semesta alam, itulah nama-Nya.” Saya menyebutkan ayat ini karena Yehovah-Sabaoth sangat sering dipakai oleh para nabi. Dan anda bisa melihat dalam catatan berapa kali kata itu muncul di dalam Alkitab. Dan ini begitu penting karena para nabi seringkali adalah Allah yang berbicara kepada umat-Nya ketika mereka ada dalam pembuangan. Allah berbicara kepada umat-Nya ketika mereka mengalami masa-masa sulit, masa-masa gelap, bahkan ketika bangsa Asyur menyerang Israel, ketika Babel menghancurkan Yudea, ketika pasukan tentara bangsa itu dihancurkan. Allah mendisiplin mereka, yang, anda tahu, kadangkala hal ini tidak terlalu menyenangkan bahwa Allah adalah Tuhan balatentara karena kadangkala di dalam Perjanjian Lama Ia memakai balatentara asing dan menggunakannya untuk mendisiplin umat-Nya. Tetapi itulah yang terjadi dan dilakukan di sepanjang masa para nabi karena Ia mengingatkan umat-Nya bahwa Ia adalah TUHAN atas semesta alam. Ia adalah Tuhan atas balatentara dan atas pasukan, dan Ia memiliki kuasa untuk memakai semuanya itu. Mungkin bangsa itu sedang ada dalam pembuangan tetapi Allah memiliki kuasa untuk membawa mereka
kembali kalau mereka bertobat dan berbalik kepada-Nya. Ia adalah Tuhan atas balatentara, Tuhan atas pasukan, dan Allah adalah Tuhan yang mematahkan semua perlawanan. Sekarang, saya mau kita kembali memperhatikan 1 Samuel 1:3 dimana kita melihat TUHAN semesta alam yang kepada-Nya Elkana akan berdoa. Kata ini dipakai lagi dalam pasal yang sama, 1 Samuel 1. “Dengan hati pedih Hana berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedusedu. Kemudian bernazarlah ia, katanya: "TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hambaMu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” Saya hanya ingin memiliki anak. Kadangkala saya merasa bahwa ini kisah tentang orang yang cukup mementingkan diri, tetapi saya tidak yakin juga akan hal itu, tetapi yang pasti kisah yang sama juga banyak kita lihat ada di dalam Alkitab, kita melihat hal itu di dalam kehidupan Abraham, dan kita juga melihat kisahnya di dalam diri Hana, seorang wanita mandul yang bergumul dengan Allah, TUHAN semesta alam di dalam 1 Samuel 1, berseru kepada-Nya meminta anak. TUHAN semesta alam, Allah yang mematahkan semua perlawanan. Dan bukan hanya berbicara mengenai perlawanan pasukan yang kita alami, tetapi segala perlawanan yang menyerang hidup kita. Ia adalah TUHAN semesta alam. Jehovah-Rophi, Ia adalah TUHAN Yang Menyembuhkan. Inilah gambaran di dalam Keluaran 15 ketika Allah memurnikan air yang pahit dan berjanji kepada bangsa Israel bahwa kalau mereka menuruti Hukum-Hukum-Nya maka Ia akan menjaga mereka dari penyakit yang menimpa bangsa Mesir. Ia akan menjadi TUHAN Yang Menyembuhkan. Perhatikan bagian akhir dari ayat itu. Dikatakan “Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit mana pun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku TUHANlah yang menyembuhkan engkau.” Perhatikan baik-baik, Allah tidak berjanji menyembuhkan di dalam ayat itu. Ia mengatakan, “Akulah TUHAN Yang menyembuhkan.” Ia mengatakan, “Akulah Tuhan yang menyembuhkan. Datanglah kepada-Ku, Akulah Yang Menyembuhkan. Akulah Tuhan yang menyembuhkan, Tuhan yang memulihkan, Tuhan yang mengobati, Akulah yang melakukan semuanya itu.” “Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu.” Mungkin anda mengatakan bahwa di sekitar kita, di antara orang-orang beriman, ada orangorang yang sudah bergumul dengan penyakit, kanker, apapun itu dan sampai sekarang belum juga mengalami kesembuhan. Lalu apakah Ia memang TUHAN Yang Menyembuhkan? Tentu saja Ia adalah TUHAN Yang Menyembuhkan. Ia adalah TUHAN Yang Menyembuhkan sejak kekekalan sampai kekal. Ia adalah TUHAN Yang Menyembuhkan secara sempurna pada akhirnya. Dan bahkan orang-orang yang tubuhnya menjadi lesu dan lemah serta memiliki kekurangan, sangat baik untuk mengingat bahwa kita memiliki Allah yang menyembuhkan sejak kekekalan sampai kekal. Ia adalah Jehovah-Rophi, Allah Yang menyembuhkan. Jehovah-Nissi, TUHAN Adalah Panji-panjiku, TUHAN adalah Panji-panjiku. Keluaran 17 adalah kisah mengenai bangsa Amalek yang menghalangi perjalanan umat Allah. Lalu Musa memerintahkan Yosua untuk pergi dan memerangi bangsa Amalek, dan Musa berdiri di atas gunung memegang tongkat Allah di tangannya. Selama ia mengangkat tongkat itu, sebagai lambang untuk panji-panji, mereka unggul dalam peperangan. Kemudian Musa memerintahkan orang untuk memegangi tangannya. Itulah yang terjadi dalam Keluaran 17. Dan di bagian akhir pasal itu ada satu bagian yang mengatakan, “Lalu Musa mendirikan sebuah mezbah dan menamainya: "TUHANlah panji-panjiku!” Ia berkata: "Tangan di atas panji-panji TUHAN! TUHAN berperang melawan Amalek turun-temurun.” Dan gambarannya adalah, bukan hanya di dalam Keluaran 17, tetapi gambaran tentang panjipanji di jaman itu memiliki tiga arti. Yang pertama, menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan adalah panji-panji identitas kita. Ketika anda mengangkat tongkat atau panji-panji, Ia adalah yang menjadi Pusat dari keberadaan itu. Ia adalah Pribadi yang mempersatukan kita, Tuhan adalah panji-panji kita. Yang kedua, Tuhan adalah pusat persekutuan kita. Pada jaman itu,
pasukan tentara akan berkumpul di sekitar bendera yang mereka miliki. Ia adalah seperti bendera dimana kita berkumpul. Dan yang ketiga, Tuhan adalah bendera kemenangan kita. Saya sangat suka dengan gambaran ini. Anda bisa menggambarkan hal ini juga. Sekarang di sinilah kisah-kisah Perjanjian Lama menjadi sangat hidup. Hubungkan gambaran itu dengan kehidupan anda sendiri, anda sedang berada di tengah peperangan dalam kehidupan, dan anda sampai ke titik dimana anda siap untuk mengangkat bendera putih dan siap menyerah, karena anda merasa tidak akan bisa maju lagi. Untuk melihat bahwa Tuhan adalah panji-panji kita, Tuhan adalah panji-panji identitas kita, tempat kita berkumpul, dan ia adalah bendera kemenangan kita. Ini gambaran yang sangat luar biasa, dan Yesaya memakai gambaran yang sama ketika ia berbicara mengenai Mesias yang akan menjadi Pemenang di dalam Yesaya 11, “Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai,” ini berbicara mengenai Yesus, “akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa.” Dia adalah Yehova Nissi, TUHAN adalah Panji-panjiku. Jehovah-M'Kadesh, TUHAN Yang Menguduskan Kamu. Sekarang, kita berbicara mengenai istilah yang sering kita lihat khususnya di dalam Kitab Imamat, tetapi juga di sepanjang Perjanjian Lama yang berbicara mengenai Allah menguduskan sesuatu, Ia menjadikan sesuatu itu kudus. Bahkan, akar kata ini, yang berarti dipisahkan secara khusus untuk tujuan Ilahi, dipakai sekitar 700 kali di dalam Perjanjian Lama. Inilah sebabnya Ia mengatakan di dalam Imamat 20, “Akulah TUHAN yang menguduskan kamu.” Dan hal ini sangat indah karena dalam kenyataannya tidak ada satupun manusia yang bisa menjadi kudus dari dirinya sendiri, kita memerlukan Tuhan untuk menjadi kudus. Ia haruslah Allah yang menguduskan agar kita bisa menjadi kudus oleh-Nya. Inilah sebabnya Ia mengatakan di dalam Imamat 11:44, yang kemudian dikutip di dalam 1 Petrus 1:15, 16, “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Inilah saatnya kita kembali ke dalam kontras antara Perjanjian Lama, Bait Suci, dengan Perjanjian Baru, tubuh kita. Di dalam Perjanjian Lama, perkakas-perkakas yang dipakai di dalam Bait Suci dikuduskan untuk dipakai di hadapan Allah. Dalam Perjanjian Baru, kehidupan kita adalah Bait Tuhan yang dikuduskan di hadapan Allah. Bait Allah itu kudus, 1 Korintus 3 mengatakan demikian, dan andalah Bait Allah. Anda Bait Roh Kudus. Akulah TUHAN Yang Menguduskan Kamu. Jehovah-Shalom, TUHAN itu Keselamatan. Ini adalah Allah ketika Ia datang kepada Gideon dalam rupa Malaikat. Gideon mengadakan percakapan dengan Malaikat, kemudian menyadari bahwa malaikat itu adalah lambang kehadiran Allah. Gideon menjadi takut, dan mengatakan, “Celakalah aku, Tuhanku ALLAH! sebab memang telah kulihat Malaikat TUHAN dengan berhadapan muka." Tetapi berfirmanlah TUHAN kepadanya: "Selamatlah engkau! Jangan takut, engkau tidak akan mati." Lalu Gideon mendirikan mezbah di sana bagi TUHAN dan menamainya: TUHAN itu keselamatan.” Hakim-Hakim 6:20-24. Gambaran yang sangat jelas adalah bahwa Allah itu keselamatan kita yang sempurna. Kata Shalom secara literal berarti lengkap, kepenuhan, ketenangan, itulah yang perlu diisikan ke dalam bagian yang kosong di lembaran anda. Gambarannya adalah bahwa kadangkala ada masa di dalam kehidupan kita dimana kita sangat cemas dan kita merasa sangat khawatir. Gambaran tentang Allah ini yang juga dituliskan di dalam Filipi 4 tentang damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, yang menjaga hati dan menjaga pikiran kita di dalam Kristus. Ia adalah keselamatan dan damai sejahtera kita. Ia adalah ketenangan kita. Di tengah-tengah semuanya ini, ada gambaran yang saya dapatkan dari Markus 4:35-41, ini gambaran tentang badai yang mengamuk menimpa perahu para murid dan kemudian Yesus berdiri, Ia mengangkat tangan-Nya, dan Ia mengatakan, “Diamlah, tenanglah.” Dan yang kemudian terjadi adalah adanya ketenangan di tengah menggeloranya badai di sekitar mereka. TUHAN adalah Keselamatanku.
Jehovah-Tsidkenu, TUHAN Kebenaran Kita. Keadilan. Dan gambaran tentang keadilan di sini secara literal berarti adil atau jujur, yang arti asalnya adalah tegak, lurus, dan benar. Dan Tuhanlah keadilan kita. Kita akan melihat hal itu disebutkan di dalam Yeremia ketika berbicara mengenai tumbuhnya tunas adil dari Daud, “Ia akan memerintah sebagai raja yang bijaksana” di sini ia berbicara mengenai Yesus, “dan akan melakukan keadilan dan kebenaran di negeri. Dalam zamannya Yehuda akan dibebaskan, dan Israel akan hidup dengan tenteram; dan inilah namanya yang diberikan orang kepadanya: TUHAN keadilan kita.” Allah menunjukkan keadilanNya kepada umat-Nya. Anda melihat hal ini di dalam Imamat 22 ketika Ia menjadikan mereka kudus. Satu-satunya cara bagi Dia untuk melakukannya adalah karena Ia itu adil, Ia sepenuhnya benar. Ia sepenuhnya adil. Kita akan berbicara mengenai hal ini dalam kesempatan yang akan datang. Tetapi keindahan hal ini dinyatakan di dalam Alkitab, Allah bukan hanya menunjukkan keadilan dan kebenaran-Nya, tetapi kedua, Ia memberikan kebenaran itu kepada umat-Nya.” Dan inilah gambaran yang anda dapatkan juga di dalam 1 Korintus 1:30 bahwa Yesus adalah Kebenaran kita. “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia” –apa? “membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” Dia sajalah Kebenaran kita. Dia, Kristus adalah kebenaran kita di hadapan Allah. Bagaimana anda bisa menghadap Allah? Hanya melalui Kristus Kebenaran kita. Jehovah-Shammah, TUHAN Hadir Di Situ. Gambaran yang luar biasa. Kalau anda membaca keseluruhan kitab Yehezkiel, anda akan melihat bahwa tidak semua gambaran yang muncul bersifat positif. Ada hal-hal yang juga sulit di sepanjang kitab Yehzkiel, tetapi ada pengharapan di akhirnya. Ketika anda sampai di bagian akhirnya, disana dibicarakan mengenai Bait Suci dan bagaimana kemuliaan Allah sudah meninggalkan Bait Suci itu. Tetapi di bagian-bagian akhir kitab anda akan melihat dikatakan di sana, “Sejak hari itu nama kota itu ialah: TUHAN HADIR DI SITU.” Di bagian akhir kitab Yehezkiel, gambaran yang muncul adalah TUHAN Hadir Di Situ. Dan kita berbicara mengenai nama yang mendiami kota dan nama yang berdiam di dalam Bait Suci, TUHAN Hadir Di situ. Dan karena itu, mari kita perhatikan gambaran apa yang ada di sini. Pengharapan -- itu yang dijelaskan dalam Yehezkiel. Yehezkiel mengatakan, “Kehadiran Allah akan kembali di dalam Bait-Nya.” Itulah janji yang ada di dalam Yehezkiel. Dan anda perhatikan khususnya dalam Yehezkiel 37. Di sana Allah berbicara mengenai bagaimana Ia akan menyatakan kehadiran-Nya, secara khusus kehadiran Roh Kudus-Nya di dalam umat-Nya. Itulah yang disebutkan dalam Yehezkiel 37, bahwa ada pengharapan yang dinubuatkan. Pengharapan dialami di dalam Kisah Para Rasul, dan kehadiran Allah ada di dalam kehidupan kita. Itulah yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 2:1-4, ketika Roh Kudus datang ke atas umat-Nya. TUHAN Hadir Di Situ adalah berita dari Kisah Para Rasul 2 mengenai hari Pentakosta. TUHAN ada di sini bersama kita, Roh-Nya berdiam di dalam kehidupan kita. Lidah api itu, semua gambarannya diteruskan ke dalam kehidupan kita. Jadi Allah adalah pengharapan—itu yang dijelaskan dalam Yehezkiel, Ia ada di sana, Ia akan beserta dengan umat-Nya, di dalam kehidupan umat-Nya. Dan kemudian anda melihat ada pengharapan yang dinantikan di dalam Kitab Wahyu, akan datangnya hari dimana kehadiran Allah akan menjadi terang kita selama-lamanya. Alkitab mengatakan di dalam Kitab Wahyu 22, di bagian akhir, “mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya.” Selanjutnya, Jehovah-Rohi. Jehovah-Rohi, berarti TUHANlah Gembalaku. Dan di sini kita akan memperhatikan Mazmur 23. Saya merasa bahwa kebenaran di dalam pasal ini sangat mendalam dan tidak akan habis walau kita gali setiap hari. Saya akan membacakan bagian ini, yaitu dari Mazmur yang sangat kita kenal ini. Mazmur 23, “Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau
menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.” Beberapa pemikiran, refleksi dari Mazmur 23. Yang pertama, perhatian Gembala itu sangatlah bersifat pribadi. Sangat pribadi. Apakah anda melihat kata ganti orang yang mewarnai Mazmur 23? “TUHAN adalah Gembalaku, Takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia menyegarkan jiwaku.” Itu mewarnai seluruh pasal. Memang ada penekanan di sepanjang Perjanjian Lama tentang umat Allah, tetapi pasal ini secara khusus memberikan penekanan kepada kita sebagai pribadi. Saya mau mengingatkan anda tentang hal ini—Allah, Ia adalah Gembala anda, bukan hanya orang di dekat anda, di depan anda atau di belakang anda, tetapi Ia adalah Gembala anda. Perhatian-Nya sangat bersifat pribadi. Yang kedua, sang Gembala tidak pernah berhenti dalam memberi kepada saya. “TUHAN adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku.” Kadangkala Allah mengambil, tetapi Ia tidak pernah berhenti memberi. Ia adalah Gembala kita. Yang ketiga, pemeliharaan dari Gembala itu didasarkan kepada anugerah-Nya, bukan kekuatan saya. Ia membaringkan aku, Ia membawaku ke air yang tenang, Ia menyegarkan jiwaku, Ia menuntunku. Ia yang melakukan semua tindakan di sini. Bukankah sangat indah untuk mengingat bahwa ketika kita berjalan melalui masa-masa sulit, maka bukan kekuatan kita yang membawa kita melalui masa-masa itu, tetapi anugerah-Nya yang memelihara kita di sepanjang masa-masa itu. Ia yang melakukannya. Ia adalah Gembala kita. Pemeliharaan dari Gembala itu tidak didasarkan kepada kekuatan saya. Keempat, anugerah Gembalaku menghasilkan kemuliaan bagi Gembala. Ia menuntunku di jalan yang benar, mengapa? Oleh karena nama-Nya. Allah sudah mengikatkan kemuliaan-Nya dengan memberikan pemeliharaan kepada kita sebagai Gembala bagi kita. Kita berjalan melalui masa-masa sulit, Ia membuat kemuliaan-Nya semakin dikenal dengan cara-Nya memimpin kita sebagai Gembala. Selanjutnya, karena Gembalaku memberikan segala sesuatu. Itu membuat saya lepas dari ketakutan. “Meskipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” Bagaimana mungkin masih ada rasa takut? Karena sang Gembala, bahkan di hadapan maut, tetaplah Pemenang. Karena itu tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Karena Gembalaku memberikan kepadaku segala sesuatu. Itu membuat saya lepas dari ketakutan. Selanjutnya, Gembala itu bukan hanya memelihara saya, Ia memuaskan saya. Saya suka dengan gambaran di dalam ayat 5 ini, “Engkau menyediakan hidangan bagiku di hadapan para lawanku.” Anda melihat gambarannya? Anda dikepung oleh musuh-musuh, dan Gembala Agung ini menyediakan hidangan, pesta besar bagi anda. Di hadapan semua yang jahat di sekeliling anda, semua yang tidak baik, semua yang menyakitkan, Ia menyediakan hidangan di depan anda, bukan hanya memelihara, tetapi memuaskan. Selanjutnya, Gembala itu mengejar saya dengan kasih-Nya. Perhatikan kalimat yang dipakai, “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku.” Ia mengikuti aku dengan kasih-Nya. “seumur hidupku.” Yang terakhir, pengalaman pribadi dalam kebersamaan dengan Gembala itu tidak pernah berakhir. “Dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.” Saudara seiman, anda percaya kepada Gembala ini dan Ia tidak akan pernah melupakan atau meninggalkan anda. Akan datang harinya, Wahyu 7, ketika kita akan “melayani Dia siang malam di Bait Suci-Nya, dan matahari atau panas terik tidak akan menimpa mereka lagi.” Ini sebabnya, “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” Puji Tuhan, Ia adalah Gembala kita. Jehovah-Rohi dialah Gembala kita.
Kita akan melihat beberapa dari sifat Allah, walaupun tidak sedalam ketika kita melihat namanama-Nya. Nanti kita akan seperti membahas sepintas masing-masing sifat itu. Tentang Bapa, gambaran ini muncul dalam Mazmur 89:27, “Bapaku Engkau, Allahku dan gunung batu keselamatanku.” Sekarang, ini sangat menarik, dan anda perlu memahaminya, ada kontras di sini. Anda memperhatikan di dalam Perjanjian Lama, hanya 15 kali di dalam Perjanjian Lama Allah disebut secara langsung sebagai Bapa, hanya 15 kali. Salah satunya di dalam Mazmur 89. 15 kali disebut sebagai Bapa. Kalau anda melihat di dalam kitab-kitab Injil, anda membuka Perjanjian Baru di dalam Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, keempat Kitab Injil itu— dibandingkan 15 kali pemakaian di dalam Perjanjian Lama – di dalam ke-4 Kitab Injil itu saja sudah ada lebih dari 100 kali—yaitu 165 kali Allah disebut sebagai Bapa. 15 kali di dalam seluruh Perjanjian Lama, 165 kali di dalam Perjanjian Baru dan hanya kitab-kitab Injil saja, ini yang sangat indah yang terjadi ketika Yesus secara khusus mengajar para murid-Nya. Jadi gambarannya adalah mengenai nama yang kita pakai untuk menyebut Allah. Ini adalah nama, sebuah hak istimewa yang diberikan kepada kita yang adalah para pengikut Kristus untuk memanggil Dia sebagai Bapa. Kesimpulnnya adalah para pengikut Yesus memiliki hak istimewa yang sangat unik untuk memanggil Allah sebagai Bapa. Saya ingin anda memikirkan tentang hal ini, dan kita akan membicarakan mengenai sifat-sifat Allah, tetapi sudah kita singgung sedikit El Elyon, Yang Mahakuasa, Yang Mahatinggi, El Shadai, Dia yang Menyembuhkan, Dia yang Memulihkan, Panji-Panji kita, semua nama yang kita sebutkan sudah menggambarkan kebesaran Allah, dan anda dan saya, ketika kita datang menghadap Allah ini, tidak harus tunduk di hadapan-Nya dan mengatakan, “Ya Allah, dasar dan sumber dari segala sesuatu,” yang merupakan hakekat-Nya, dan kita mengenakan semua sifat itu kepada-Nya, tetapi kita bisa tunduk di hadapan-Nya dan mengatakan, “Allah, Bapa, Abba.” Kebenaran yang sangat luar biasa ketika kita bisa memandang kepada Allah dan memanggil Dia sebagai Bapa. Kita tidak akan pernah kehabisan, dan tidak pernah meremehkan hak istimewa kita untuk bisa tunduk di hadapan-Nya dan memanggil Dia, “Bapa.” Begini gambarannya. Ketika kita memanggil Dia Bapa, hal itu menunjukkan dua hal. Yang pertama, kita mengungkapkan penghormatan kita kepada-Nya. Matius 6, “Bapa kami yang ada di surga, dikuduskanlah nama-Mu.” Dan sangat penting untuk mengingat ketika kita berdoa, bahwa kita menyatakan penghormatan kepada-Nya sebagai Bapa. Ketika anda membayangkan figur seorang ayah, maka kita berbicara mengenai figur yang kita hormati, bahwa anda adalah seorang anak, dan Ia sang ayah. Dan gambaran sesungguhnya adalah seringkali di dalam doa kita, dalam kehidupan doa kita, kita hampir berbicara kepada Allah justru hampir seperti Dia yang menjadi anak dan kita yang menjadi ayah. “Ya Allah, ini yang terbaik untuk kehidupan saya. Ini yang terbaik bagi-Mu dalam keadaan seperti ini, dalam situasi seperti ini.” Kita bahkan hampir berpikir bahwa doa adalah cara mengendalikan Allah, doa adalah membuat Allah melakukan apa yang kita inginkan Dia lakukan. Itu bukan gambara doa yang diberikan Yesus kepada kita ketika memerintahkan kita bedoa kepada Bapa. Kita menyatakan Penghormatan kita kepada-Nya, tunduk di hadapan-Nya dan mengatakan, “Engkaulah Bapa, aku anak, itu berarti bahwa Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anak-Mu.” Kita menyatakan penghormatan kita kepada-Nya. Dan yang kedua, kita menikmati hubungan kita dengan Dia. Rasa hormat dan kedekatan hubungan kita di dalam satu nama bagi Allah sebagai Bapa. Penghormatan dan hubungan, itu gambaran tentang kedekatan. Memanggil Allah sebagai Bapa mengandung makna bahwa kita ada dalam hubungan yang dekat dengan Allah, seperti seorang anak kepada ayahnya, suatu gambaran yang sangat luar biasa. Anda memiliki hubungan yang sangat intim dengan sang Pencipta alam semesta. Anda tidak memiliki roh yang membuat anda menjadi hamba ketakutan lagi, tetapi anda menerima Roh yang menjadikan anda sebagai anak dan oleh-Nya kita berseru, “Abba! Bapa!” Roh sendiri yang bersaksi dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan kalau kita adalah anak, maka kita adalah pewaris, pewaris Allah dan sesama pewaris dengan Kristus kalau kita mengambil bagian dalam penderitaan-Nya agar suatu hari nanti kita mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Kita adalah anak-anak. Kita pewaris, pewaris dari
kemuliaan yang menantikan kita. Kalau kita mengambil bagian di dalam penderitaan-Nya, Alkitab mengatakan, kita akan mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Kita lanjutkan dengan gelar yang lain. Ia adalah Raja. Di dalam Alkitab disebutkan sekitar 2,800 kali, tetapi tidak satupun yang dipakai untuk menyebut tentang Allah. Itu karena Ia adalah Raja yang Agung di atas segala allah. Ia adalah Raja di atas segala raja, kata Wahyu 17. Ia adalah Raja kita. Ia adalah Hakim. Kita akan berbicara mengenai penghakiman Allah, keadilan Allah dalam pembahasan selanjutnya. Kejadian 18 menunjukkan kepada kita gambaran ini, “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” Yesaya 41, saya sangat suka bagian ini, kalau anda mau membacanya, silahka, disebutkan bahwa Ia menghakimi para ilah. Ia mengatakan, “Ajukanlah jawabanmu di hadapan-Ku, Akulah yang menghakimi para allah palsu.” Kemudian, Ia adalah Penebus. Menebus artinya membeli sesuatu atau seseorang dengan membayarkan sejumlah harga, yang nampak sangat indah dalam penjelasan Ayub 19, di bagian tengah, dan ini memang salah satu bagian yang paling indah di dalam kitab Ayub berkaitan dengan penderitaan dan pengalamannya, dimana ia mengatakan, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu!” Bagian yang luar biasa. Aku tahu Penebusku hidup. Ia adalah sang Penjunan. “Ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami, kami tanah liat, Engkaulah Penjunan. Kami semua hasil perbuatan tangan-Mu.” Allah adalah terang, Ia bukan sekedar terang, tetapi Ia satu-satunya terang. 1 Yohanes 1:5 “Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan.” Ia adalah Batu Karang. Karya-Nya sempurna dan semua jalan-Nya adil, Allah yang setia yang tidak pernah melakukan kesalahan, adil dan benar senantiasa. Ia Kota Benteng kita. Kita bisa melihat hal itu di dalam Mazmur 46, “TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub.” Ia adalah Perisai kita, Mazmur 3. Ia adalah Api yang Menghanguskan. Ini gambaran yang kita lihat di dalam Keluaran ketika Allah menyatakan diri-Nya di Gunung Sinai. Perhatikan Ibrani 12, “Kita beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” Saya tahu bahwa yang kita sebutkan baru sebagian kecil dari nama-nama Allah. Kita bahkan belum masuk ke dalam nama Yesus. Itu akan kita lihat dalam pembahasan yang lain. Maksud saya, Yesus adalah Alfa dan Omega. Ia adalah yang awal dan yang akhir. Ia adalah Yang Amin. Yesus adalah Roti Hidup. Ia adalah Kristus, Pencipta, Pembebas, Bapa yang Kekal, Ia adalah Allah. Ia adalah Gembala yang Baik. Ia adalah Imam Besar Agung. Ia adalah Yang Kudus. Ia adalah gambar dari Allah yang kelihatan. Ia adalah Aku. Ia adalah Hakim atas semua yang hidup dan yang mati. Ia adalah Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan. Ia adalah yang agung dan kuasa dan tidak ada bandingannya. Ia adalah Kuasa Allah. Ia adalah Kebangkitan dan Hidup. ia dalah Korban yang Agung. Ia adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Ia adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Yesus adalah semua hal itu. Dan kita tidak bisa mengecilkan-Nya menjadi seorang Juruselamat yang kecil, yang lemah dan yang mengemis agar anda menerima Dia. Dia selamanya layak menerima segala kemuliaan di atas alam semesta. Dan Ia tidak memerlukan anda menerima Dia; anda dan saya yang sangat memerlukan Dia. Kita membutuhkan Dia dalam segenap nafas kita. Satu-satunya alasan mengapa jantung kita masih berdetak adalah karena Yesus yang memberikan ritme bagi jantung kita saat ini. Ya Allah, pulihkanlah kemuliaan nama Yesus Kristus di dalam gereja-Mu hari ini. Nama-Nya besar. Nama-Nya mulia. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang memiliki penghormatan dan rasa takut yang besar kepada nama Allah. Mari kita lanjutkan. Sifat-sifat Allah. Apakah anda mengerti maksudnya ketika saya mengatakan sifat-sifat Allah? Saya mau mengajak kita berpikir tentang sifat itu dengan beberapa cara. Yang pertama, semua sifat Allah bersifat pribadi, yang berarti semua menjelaskan siapakah Allah itu. Kita tidak berbicara mengenai apa yang dilakukan oleh Allah. Kita memang akan menyinggung juga hal itu, dan melihat bagaimana hal itu berkaitan. Kita berbicara mengenai hakekat tentang
siapakah Allah itu, hakekat asli-Nya. Dan yang menjadi kunci—yang ini tidak ada dalam lembaran catatan di tangan anda. Ada hal yang kita perlu pahami ketika berbicara mengenai berbagai sifat Allah, kita memang hanya akan membahas 14 di antaranya, tetapi tentu saja bukan hanya 14 itu saja sifat Allah. 14 sifat itu hanya yang akan kita bicarakan lebih lanjut. Tetapi saya tidak mau anda memandang gambaran 14 itu seperti 14 potong yang berbeda dari sebuah kue. Kita sering memiliki kecenderungan untuk berpikir tentang Allah dengan membagi-bagi kasih-Nya di satu sisi dan rahmat-Nya di sisi lain lalu keadilan-Nya di sisi lain lagi; hal itu tidak benar. Allah ada dalam hakekat-Nya, Ia adalah kasih. Bukan hanya sebagian dari Allah yang adalah kasih, tetapi keseluruhan pribadi-Nya adalah kasih. Keseluruhan pribadi Allah adalah rahmat. Keseluruhan pribadi Allah adalah adil. Keseluruhan pribadi Allah adalah murka. Keseluruhan pribadi Allah adalah Mahakuasa. Semua bukan seperti potongan kue yang terbagi-bagi, semuanya—seluruh keindahan sifat Allah ditemukan di dalam kesatuan. Di dalam 1 Yohanes di awal, seperti yang kita baca tadi, “Allah adalah terang.” Dan di bagian akhir 1 Yohanes, disebutkan, “Allah adalah kasih.” Dan kadangkala kita memiliki kecenderungan untuk berpikir, “Dalam satu sisi sejarah, Allah adalah kasih, tetapi dalam sisi yang lain, Ia murka. Dalam Perjanjian Lama Allah murka; dalam Perjanjian Baru Allah disebut penuh kasih.” Tidak benar. Hal itu tidak benar. Allah selalu kasih dan selalu murka dan selalu rahmat dan semua keberadaan-Nya. Dan keindahannya adalah bahwa semuanya berada bersama-sama, itu yang akan kita lihat. Semuanya itu menjelaskan keberadaan-Nya. Semua itu bukan kumpulan sifat yang kemudian digabungkan menjadikan Dia utuh, tetapi semuanya adalah keseluruhan keberadaan-Nya. Semua sifat Allah bukan hanya bersifat pribadi, tetapi juga praktis. Maksudnya adalah bahwa semua sifat itu akan menolong kita untuk memahami bagaimana Ia bertindak dan bagaimana kita melihat sifat-sifat-Nya di berbagai bagian dinyatakan dengan cara yang berbeda. Jelas sekali bahwa kadangkala kita melihat keadilan Allah dengan sangat jelas, tetapi tidak berarti bahwa pada saat itu saja Ia adil dan tidak demikian di saat lainnya. Kita tidak boleh pernah mengatakan bahwa Allah lebih mengasihi di salah satu masa dalam sejarah, atau lebih mengasihi di jaman ini lebih dari di jaman itu. Anda tidak bisa mengatakan demikian, karena, yang pertama, Ia selalu penuh kasih dan kalau selalu penuh maka tidak akan bisa bertambah atau berkurang. Alasan yang kedua bahwa anda tidak bisa mengatakan Allah lebih mengasihi di satu masa daripada satu masa yang lain, adalah karena sifat Allah selalu sempurna. Untuk mengatakan bahwa Ia lebih mengasihi di satu masa dibandingkan dengan masa yang lain mengindikasikan bahwa Ia tidak secara sempurna mengasihi setiap saat, padahal Ia sempurna. Bapa Surgawi anda sempurna. Semua sifat-Nya sampurna. Ia sempurna dalam kasih, dalam anugerah,dalam keadilan. Semuanya menjelaskan Pribadi-Nya, dan menjelaskan keberadaan-Nya. Semua sifat Allah itu indah, sempurna, lengkap dalam segala sisinya. Semua sifat Allah itu permanen. Ia tidak mendapatkannya. Ia juga tidak kehilangannya. Ia kudus. Dahulu Ia kudus. Ia selalu kudus. Ia akan selalu kudus. Dahulu Ia selalu mengasihi. Ia mengasihi. Ia akan selalu mengasihi. Sifat-sifat-Nya permanen, mendasar dan tidak pernah berubah. Kita akan membahas hal ini kemudian. Semua sifat Allah layak dipuji. Kita menyembah Dia karena kasih-Nya, kita menyembah Dia karena murka-Nya, kita menyembah Dia karena kedilan-Nya, kita menyembah Dia karena rahmat-Nya, semua sifat itu. Sekarang, kita akan melihat beberapa kebenaran dari sifat itu secara lebih mendalam. Kebenaran yang pertama, kemuliaan Allah adalah kehendak-Nya yang terutama. Kemuliaan Allah adalah kehendak-Nya yang terutama. Yesaya 43 mengatakan,”Aku menciptakanmu bagi kemuliaan-Ku.” Beberapa pasal setelah itu ketika Ia berbicara mengenai karya-Nya di antara umat-Nya, Ia mengatakan, “Aku melakukannya bagi diri-Ku. Aku melakukan hal itu bagi diri-Ku. Bagaimana Aku merendahkan diri-Ku? Aku tidak akan merendahkan kemuliaan-Ku kepada
siapapun.” Kita bisa membaca dari awal sampai akhir di dalam Kitab Suci dan menunjukkan hal itu dari Kejadian sampai Wahyu. Kehendak-Nya yang terutama adalah kemuliaan-Nya. Sayangnya, banyak manusia tidak berpikir demikian. Kita berpikir—kalau seandainya kita ditanya mengapa Allah mengasihi kita? Kita akan berpikir, “Ya, karena saya layak dikasihi.” Itu bukan yang dikatakan Alkitab. Lalu kita bertanya, “Apa maksudnya?” Allah mengasihi kita bagi kemuliaan-Nya. Allah mengasihi anda bagi kemuliaan-Nya. Mengapa Yesus mati di kayu salib? “Tentu saja Dia mati bagi dosa-dosa saya, untuk membayar dosa-dosa saya.” Di satu sisi, itu jawaban yang tepat, tetapi di sisi lain, itu bukan jawaban yang lengkap. Apa yang dikatakan Yesus di dalam Yohanes 12 ketika Ia mau naik ke kayu salib? Ia mengatakan, “Bapa, dimuliakanlah nama-Mu.” Roma 3:21-26, Ia melakukan hal itu untuk menunjukkan keadilan-Nya, untuk mendemonstrasikan karakter Allah, sehingga Ia naik ke kayu salib. Ia naik ke kayu salib bagi kemuliaan-Nya. Allah hidup, Ia bekerja untuk memuliakan diri-Nya. Allah memang Allah yang secara radikal berpusat kepada diri-Nya. Itu kebenaran yang mendalam. Allah adalah Allah yang secara radikal berpusat kepada diri-Nya. Mungkin anda bertanya, “Apa maksudnya? Apakah itu berarti Allah adalah Allah yang egois dan mementingkan diri sendiri, sehingga Ia hidup bagi kemuliaan-Nya sendiri.” Untuk menjawabnya, mari kita ajukan pertanyaan lanjutan. Siapa lagi yang ingin anda muliakan? Pada saat Allah memuliakan seseorang atau sesuatu, apa yang terjadi? Ia tidak lagi menjadi Allah. Hanya Allah saja yang memiliki hak untuk memuliakan diri-Nya sendiri. Dan di sepanjang Alkitab, Ia menunjukkan hak itu. Kehendak-Nya yang terutama adalah kemuliaan-Nya. Kita tidak berpikir demikian. Kita bertumbuh di Sekolah Minggu dengan melihat atau menggambar sendiri cerita Sekolah Minggu dan memberikan tulisan, “Allah mengasihiku,” kita tidak menuliskan “Allah mengasihi diri-Nya sendiri,” dan menunjukkan kepada orang tua kita. Tetapi gambarannya memang adalah tentang Allah yang memuliakan diri-Nya sendiri. Mungkin pertanyaan yang muncul adalah, “Kalau begitu, apa hubungannya hal itu dengan diri kita?” Keindahan dari hal ini adalah bahwa kehendak yang paling utama dari Allah adalah kemuliaanNya. Kebenaran kedua, kemuliaan Allah adalah kepuasan tertinggi kita. Kita bayangkan demikian, kalau Allah secara sempurna dan tak terbatas mengasihi dan semua wujud kasih dimiliki oleh Allah lalu apakah hal terbesar yang bisa dilakukan-Nya untuk menunjukkan kasih kepada anda dan saya? Ia akan memberikan apa? Diri-Nya sendiri, menikmati kebersamaan dengan diri-Nya, kemuliaan di dalam diri-Nya, pengenalan akan diriNya. Inilah kepuasan yang tertinggi bagi kita yaitu mengenal kemuliaan-Nya. Keindahan dari hal ini adalah bahwa kepuasan itu ditemukan dalam pemenuhan tujuan Allah mempermuliakan nama-Nya. Di sinilah semuanya berkaitan, dan ini juga yang menjadi kuncinya. Ketika kita mau berbicara mengenai semua sifat itu, kita perlu memahami bahwa itulah gambaran yang ada. “Karena kita berpikir tentang kasih Allah dan hikmat Allah, kemudian kita mungkin memikirkan mengenai apa yang terjadi di dalam kehidupan kita dan kesedihan yang menimpa serta sakit yang harus dialami, kemudian kita mulai menunjuk kepada Allah dan mengatakan, “Engkau tidak mengasihi. Engkau tidak memiliki hikmat. Lihat apa yang terjadi kepadaku.” Dan kemudian kita mulai mempertanyakan sifat-sifat Allah karena dunia kita yang menyenangkan menjadi terbalik. Harus diingat bahwa Allah tidak menjalankan alam semesta ini dengan didasarkan kepada kebahagiaan dunia kita. Ini sangat mendalam, dan kita akan berbicara mengenai Allah dan kejahatan dalam pembahasan selanjutnya. Tetapi gambaran yang kita dapatkan dari Alkitab adalah bahwa yang terutama sekali dari segala sesuatu adalah kemuliaan Allah. Dan keindahan hal ini adalah bahwa hal ini menyangkut juga kepuasan umat-Nya. Dan kemudian, ketika kita memahami hal ini, kita akan sungguh-sungguh melihat kasih Allah, dan kita akan melihat kasih Allah dalam segala keindahannya, dalam keindahan yang tidak terkatakan. Jadi, berpeganglah kepada kebenaran ini, kebenaran ini sangat penting bagi kita. Inilah sebabnya sang pemazmur bisa mengatakan, “Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.” Ia tahu bahwa kepuasannya dapat ditemukan di dalam melihat
kemuliaan Allah. Mazmur 84, “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersoraksorai kepada Allah yang hidup. Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! Berbahagialah orang-orang yang diam di rumahMu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau.” Inilah indahnya, tetapi jangan membaca Mazmur 84 dan kemudian berkata, “Ini berarti saya harus senang pergi ke gereja.” Bukan itu. “Apakah itu berarti saya harus berhenti pergi ke gereja.” Andalah gereja. Ini bukan agama Perjanjian Lama. Anda tidak harus pergi ke gereja untuk bisa melihat kemuliaan Allah. Anda dan saya mendapatkan hak istimewa untuk mengalami kempuasan akan kemuliaan Allah setiap hari, karena itu biarlah hati kita merindukan, bahkan terus menginginkan untuk mengalami kemuliaan-Nya saat demi saat, hari demi hari. Dan ya, tentu saja bersekutu bersama dengan saudara seiman dan menaikkan pujian bagi kemuliaan yang layak bagi-Nya. Tetapi rasakan kemuliaan Allah sebagai kepuasan tertinggi anda setiap hari dan tanggalkan segala sesuatu dari dunia ini yang menghalangi anda mengalami kemuliaan Allah. Inilah kehidupan yang dijalani dengan mengutamakan Allah, dan inilah cara untuk mendapatkan kepuasan yang sejati. Baik, mari kita lanjutkan pembahasan kita. Sifat Allah, kebesaran dan kebaikan-Nya; demikian kita akan bagi hal itu. Beberapa orang membagi sifat Allah dalam pembagian yang berbeda, yang dikomunikasikan dan yang tidak bisa dikomunikasikan; artinya ada sifat yang dikomunikasikan, yaitu yang dibagikan dengan kita. Sifat yang tidak dikomunikasikan adalah sifat-sifat yang tidak dibagi-Nya dengan kita. Tetapi saya akan membaginya menjadi dua, kebesaran dan kebaikan Allah, masing-masing ada tujuh bagian. Tozer mengatakan, "Hakekat dari penyembahan berhala adalah memunculkan pikiran tentang Allah yang tidak layak bagi Dia.” Itu pernyataan yang tegas. Apakah pikiran kita tentang Allah tidak menggambarkan apa yang layak bagi dia? Itu penyembahan berhala, kata Tozer. Kebesaran Allah, kemandirian-Nya, kerohanian-Nya, kekekalan-Nya, kemahakuasaan-Nya, kemahahadiran-Nya, kemahatahuan-Nya, dan ketidakberubahan-Nya. Mari kita mulai dengan kemandirian-Nya. Ketika kita berbicara mengenai kemadirian Allah, kita berbicara mengenai Allah yang ada dari diri-Nya sendiri dan memenuhi diri-Nya sendiri. Ada dari diri-Nya sendiri dan memenuhi diri-Nya sendiri, kita akan melihatnya satu demi satu. Pertama, keberadaan Allah dari diri-Nya sendiri. Apakah Allah ada? Itu pertanyaan yang penting untuk pokok diskusi kita saat ini. “Orang bebal berkata di dalam hatinya, “Tidak ada Allah.’” Mazmur 14:1 mengatakan demikian. Saya mau sangat berhati-hati di sini karena hekaket dari pembahasan kita dibuat dalam struktur untuk menyampaikan kebenaran, menyampaikan apa yang diyakini sebagai pengajaran Alkitab. Pada saat yang sama, kita tidak akan memiliki cukup waktu untuk membahas semua yang ada di sana secara sangat mendalam. Dan bahkan hampir bisa dirasakan bahwa kita membahasnya dengan sangat cepat. Dan saya tidak sedang mengatakan, “Oh, ada jawaban yang sederhana mengenai Allah dan kejahatan di bagian itu, baik, kita akan membahasnya,” tetapi saya akan memberikan kepada kita beberapa dasar yang bisa dipakai untuk berpijak. Dan saya mau mengatakan hal itu karena kita sedang menjawab disini pemikiran kaum ateis yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Dan kita harus memahami – saya mau menyatakan keberatan terhadap pemikiran mereka—kita perlu memahami bahwa mengatakan kalau Allah itu tidak ada merupakan pernyataan yang tidak bisa dibuktikan. Banyak orang mengatakan bahwa beban pembuktian merupakan tanggungjawab dari orangorang yang percaya bahwa Allah itu ada, mereka yang percaya kepada keberadaan Allah harus membuktikan bahwa Allah itu ada. Tetapi sebenarnya sebaliknya, beban pembuktian merupakan tanggungjawab dari kaum atheis. Untuk mengatakan bahwa Allah tidak ada, atau mengatakan bahwa sesuatu itu tidak ada, seseorang atau sesuatu tidak ada, itu berarti mereka harus menyelidiki semua kemungkinan bahwa bisa saja ia memang ada. Kalau saya mengatakan
bahwa seseorang tidak ada di sebuah ruangan, maka saya harus menyelidiki seluruh ruangan itu untuk membuktikan bahwa memang ia tidak ada di dalam ruangan itu. Untuk mengatakan bahwa Allah tidak ada, itu berarti bahwa kaum atheis harus mengadakan penyelidikan untuk mencari kemungkinan kalau Allah itu ada. Dan kalau dia sudah memakai semua pengetahuan maka berarti dia sudah memiliki semua pengetahuan, dan dengan demikian secara definisi dia sendiri sudah menjadi allah, dan kemudian dia sendiri menyangkal keilahiannya dengan pernyataannya bahwa tidak ada Allah. Tidak masuk akal sama sekali. Hal itu tidak mungkin terjadi, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Orang tidak bisa mengatakan tidak ada Allah, karena itu paling tidak dia harus mengaku ada keinginan—paling tidak dia harus mengakui adanya kemungkinan bahwa Allah itu ada. Dan kita mulai dari sana, kita bisa menanyakan kepada diri kita sendiri, “Bagaimana kita bisa tahu kalau Allah ada?” Jawabannya adalah karena saya yakin Alkitab mencatat bahwa Allah sudah menyatakan diri-Nya kepada kita dengan sangat jelas. Dan saya ingin anda berpikir tentang hal itu dengan tiga cara. Sekali lagi, ini seperti mencoba menjelaskan tentang keberadaan Allah dalam dua menit saja. Itulah sebabnya saya hanya semacam membuat pernyataan saja. Saya tidak mengatakan bahwa hal ini akan menjadi mudah, “Oh, ya. Baiklah, saya bisa menjawabnya dalam dua menit.” Bukan demikian. Saya hanya meletakkan pondasi saja untuk berpijak. Yang pertama, perhatikan kepada penciptaan. Kejadian 1:1 tentu saja. Sangat mudah untuk menanyakan, “Dari manakah alam semesta berasal?” Menunjuk kepada bukti fisik, tentu saja. Beberapa ilmuwan menunjuk kepada teori Ledakan Besar yang mengatakan bahwa secara kebetulan pada jutaan atau milyaran tahun yang lalu, terserah pandangan anda, yang pasti dahulu sekali ada sebuah ledakan besar yang menyebabkan alam semesta menjadi ada. Pertanyaan yang sangat penting bukan tentang apa yang terjadi pada saat itu, tetapi apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Ex nihilo, nihil adalah kata yang mengatakan tentang ketidak-adaan, tidak ada apa-apa. Jadi kalau saya tidak membawa apa-apa di tangan saya, apa yang bisa anda ambil dari tangan saya itu? Tidak apa-apa tentu saja. Dan mari kita pikirkan tiga pernyataan yang saling berkaitan. Apapun yang menjadi ada pasti ada karena suatu penyebab. Apakah itu masuk akal? Sesuatu mulai menjadi ada maka ada sesuatu yang lain yang menyebabkannya ada. Apapun yang mulai ada memiliki penyebab akan keberadaannya itu. Alam semesta menjadi ada; dengan demikian alam semesta memiliki apa? Memiliki penyebab. Yang dijelaskan oleh Teori Ledakan Besar adalah bahwa alam semesta mulai menjadi ada tetapi berasal dari ketidak-adaan. Sulit untuk dijelaskan oleh kaum atheis atau evolusionis yang percaya bahwa alam semesta mulai menjadi ada dari ketiadaan sebelumnya. Bagaimana sesuatu bisa ada tanpa ada penyebabnya. Tanpa sesuatu, tidak ada sesuatu lain yang terjadi. Saya rasa Aristoteles pernah mengatakan, “Ketiadaan itulah mimpi dari batu-batu gunung.” Gambarannya adalah dari ketiadaan, hanya akan muncul ketiadaan. Jadi anda harus percaya— baik anda percaya bahwa alam semesta itu memang berasal dari ketiadaan tanpa penyebab atau anda percaya bahwa pasti ada penyebab di belakang keberadaannya. Dan di sinilah tampilnya peranan akal budi, yang akan kita bicarakan kemudian. Tetapi saya suka sekali apa yang dikatakan oleh Robert Jastrow, yang pernah menjabat sebagai Direktur untuk NASA bagian Penyelidikan Luar Angkasa. Ia mengatakan, “Untuk perincian kecil memang ada perbedaan, tetapi unsur-unsur yang penting di dalam catatan astronomis dengan catatan Alkitab di dalam Kitab Kejadian itu sama. Ini perkembangan yang aneh, yang tidak dibayangkan oleh siapapun kecuali para theolog. Mereka selalu percaya kepada perkataan Alkitab. Tetapi kami para ilmuwan tidak mengharapkan adanya bukti akan terjadinya awal yang tiba-tiba dari keberadaan alam semesta karena kami akhir-akhir ini sudah berhasil dalam melacak rantai perkembangan sebab akibat sampai ke masa lampau. Saat ini, nampak sekali bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah bisa dipakai untuk membuka tabir rahasia kisah penciptaan. Bagi para ilmuwan
yang memiliki keyakinan kepada pandangan mereka dan kekuatan kepintaran, kisah ini seperti berakhir dengan mimpi buruk. Ia baru saja diperhadapkan kepada gunung ketidaktahuan. Lalu ia berjuang untuk memanjat dengan sekuat tenaganya, dan ketika ia dengan puas sampai di puncak, ia disambut oleh para teolog yang sudah ada di sana sejak berabad-abad yang lalu.” Luar biasa bukan? Perhatikan Penciptaan. Yang kedua, berkaitan dengan itu, perhatikan rancangan. Yang saya maksudkan adalah bahwa Allah meninggalkan jejak kemuliaan-Nya di dalam rancangan alam semesta ini. Ia mengatakan di dalam Roma 1, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” Dengan kata lain, Allah sudah menyatakan kemuliaan-Nya sejak penciptaan. Itu yang ditulis dalam Mazmur 19, bagian awal dari Mazmur 19 menjelaskan bahwa ciptaannya menyatakan kemuliaan Allah. Dan anda melihat, bahkan dari gambaran ilmiah, dan anda melihat kenyataan bahwa kalau saja bumi lebih dekat sedikit saja kepada matahari, maka panas matahari akan seketika membakar permukaan bumi. Atau kalau sedikt saja lebih jauh dari matahari, maka bumi akan langsung membeku. Saya mau memberikan gambarannya demikian. Kadangkala supaya lebih jelas, lebih mudah menggunakan penggambaran atau ilustrasi. Bayangkan seorang pembuat jam, untuk membuatnya dibutuhkan kerumitan dan ketelitian yang tepat sesuai dengan rancangan untuk jam yang ada. Tidak mungkin bagi anda untuk mengambil sebuah jam lalu membongkarnya, memisah-misahkan bagian-bagiannya, memasukkannya ke dalam sebuah kantung dan mengocoknya, dan mengharap bahwa semua itu akan bergabung menjadi sebuah jam. Bisakah demikian? Tidak, anda perlu seseorang yang memahami rancangannya, dan itulah gambarannya. Saya sangat bersyukur kepada Allah atas banyak orang yang sangat cerdas, sangat intelek, para filsuf, para ilmuwan, yang bekerja sangat keras ketika mereka memikirkan mengenai rancangan kecerdasan Allah. Bahkan ada sebuah film yang berjudul Expelled yang bercerita mengenai para ilmuwan yang demikian yang disisihkan dari komunitas ilmuwan pada umumnya. Dan ada banyak diskusi mengenai hal ini, dan yang sangat menarik adalah, ini saya jelaskan supaya anda tidak salah paham, pandangan tentang adanya rancangan kecerdasan di balik keberadaan alam semesta bukan hanya diterima oleh para ilmuwan Kristen saja. Pandangan tentang adanya rancangan kecerdasan itu, sebagai salah satu teori ilmu pengetahuan, didukung bahkan oleh orang-orang yang bukan Kristen, bahkan orang-orang yang menyangkal keberadaan Allah tetapi paling tidak mengakui bahwa harus ada sesuatu yang menjadi penyebab ketika alam semesta mulai menjadi ada, harus ada Suatu Pribadi yang merancang di belakang seluruh permulaan itu. Seorang mantan agnostik yang bernama Paul Davies mengatakan, “Melalui pekerjaan ilmiah saya, saya menjadi semakin percaya dan semakin kuat dalam keyakinan bahwa alam semesta kita ini disusun dalam kecerdasan yang sangat mengagumkan yang bahkan semula sangat sulit untuk langsung bisa diterima begitu saja sebagai sebuah kenyataan.” Perhatikan Penciptaan, perhatikan rancangannya dan perhatikan moralitasnya. Perhatikan moralitas. Maksud saya bahwa bukti tentang adanya nilai-nilai moralitas menunjuk kepada suatu Pribadi pencipta moral. Roma 2 berbicara mengenai bagaimana kita semua memiliki hukum moral yang tertulis di dalam hati kita. Kita semua tahu benar dan salah. Kita memiliki kesadaran akan benar dan salah. Dan ini berasal dari sang pemberi hukum moral itu. Kalau evolusi itu benar, kalau tidak ada Allah kemudian dengan dasar apa kita memiliki hukum moral? Tidak akan ada moralitas. Kita hanya sekedar hasil evolusi dan karena itu tidak ada yang namanya benar dan salah dan tidak ada dasar untuk memberikan hukum moral. Nietzsche mengetahui dengan pasti tentang hal ini sehingga ketika ia menyatakan bahwa Allah itu sudah mati di abad ke-20, sebagai akibat dari kematian Allah itu, kita akan kehilagan semua makna dan nilai-nilai moralitas kebenaran di dalam kehidupan kita. Ia mengatakan bahwa abad ke-20 akan menjadi abad yang paling berdarah. Dan anda melihat bahwa meski pandangannya menyimpang, tetapi ia tahu apa yang dikatakannya. Ia tahu. Ia adalah seorang atheis yang mengatakan, “Tidak ada Allah,” tetapi secara radikal memberikan pengaruh kepada pondasi moral suatu budaya karena hal itu memutuskan hubungan antara budaya dengan sang pemberi hukum moral.
Michael Ruse, seorang ilmuwan filsuf agnostik, menunjukkan sesuatu. Ia benar dalam apa yang dikatakannya. Ia mengatakan, “Pandangan dari evolusionis modern adalah bahwa moralitas hanyalah sekedar adaptasi biologis yang tidak lebih dari keberadaan kaki dan gigi. Kalau mengingat adanya pandangan yang secara rasional dianggap bisa diterima mengenai keberatan akan apa yang mendasarinya, maka etika hanyalah sekedar khayalan belaka.” Dengan kata lain, tidak ada dasar untuk adanya etika. “Saya sangat menghormati ketika ada orang mengatakan ‘kasihilah sesamamu manusia’ kemudian mereka berpikir mengenai sesuatu yang melampaui dirinya sendiri yaitu kepada suatu hukum kasih, sesuatu yang mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah kasih. Namun tetap saja, pandangan yang demikian sama sekali tidak memiliki dasar sama sekali. Moralitas dianggap sebagai alat bantu untuk bertahan dan berkembang, dan makna yang lebih mendalam dari makna itu hanyalah khayalan semata.” Saya tidak mengatakan bahwa kalau seseorang adalah seorang atheis maka ia tidak bisa memiliki kehidupan moral atau percaya bahwa ada yang namanya moral. Pertanyaannya adalah, dari mana asalnya moralitas itu? Pertanyaannya adalah kalau Allah tidak ada apakah nilai-nilai moral akan ada? Ini menggarisbawahi seluruh ceritanya. Kenyataan bahwa kita memiliki moralitas yang tertulis di dalam hati kita menunjuk kepada keberadaan Allah. Jadi, perhatikan Penciptaan, rancangan, dan moralitas, lalu darimana asalnya Allah? Pertanyaan itu yang sering juga diajukan oleh anak-anak kecil. Lalu apa yang saya bisa katakan? Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya juga ingin tahu hal itu. Tetapi hal ini yang bisa saya jelaskan untuk menguatkan anda. Katakanlah bahwa Allah tidak pernah diciptakan dan bahwa Allah tidak pernah menjadi ada. Itu akan menjawab pertanyaan mereka. Mudah untuk mengucapkannya, tetapi tidak demikian kenyataannya. Saya yakin jawaban itu akan memancing pertanyaan selanjutnya, “Apa maksudnya?” Lalu bagaimana? Katakan, “Tidak tahu begaimana, tetapi itulah yang saya baca.” "Dari kekal sampai kekal, Engkaulah Allah.” Kenyataannya memang demikian, Allah tidak memiliki asal-usul. Dia tidak memiliki penyebab untuk keberadaan-Nya. Ini tentu saja sebuah gambaran iman. Kita berbicara mengenai alam semesta mulai menjadi ada; dan itu berarti alam semesta memiliki penyebab akan keberadaannya. Kita percaya bahwa ada satu Pribadi yang yang tidak memiliki penyebab keberadaan dan meyakininya—sebenarnya lebih sulit untuk meyakini bahwa alam semesta tidak memiliki penyebab akan keberadaannya dibandingkan meyakini bahwa Allah tidak memiliki penyebab keberadaan. Allah tidak pernah diciptakan dan tidak pernah memulai keberadaan-Nya, dan Allah sepenuhnya mandiri. Kisah Para Rasul 17:25 mengatakan bahwa Ia tidak dilayani oleh tangan-tangan manusia. Ia tidak mendapatkan sumber kehidupan dari pihak lain. Kita semua mendapatkan sumber kehidupan dari pihak lain, tetapi Allah tidak. Itu berarti bahwa Allah tidak membutuhkan kita atau siapapun untuk sesuatu apapun. Ia tidak membutuhkan siapapun atau apapun, termasuk diri kita. Dan itu membawa kita untuk melihat Allah sebagai Allah yang mencukupi diri-Nya. Allah tidak membutuhkan apapun. Ini salah satu ayat kesukaan saya di dalam Mazmur. Mazmur 50:10, “sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku.” Kemudian Ia mengatakan, “Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya.” Luar biasa bukan? Dan Allah mengatakan kepada umat-Nya, “Biar kamu tahu, seandainya Aku lapar, Aku tidak membutuhkan pertolonganmu.” Ia tidak membutuhkan apapun. Allah juga tidak membutuhkan hubungan dengan kita. Saudara seiman, Allah tidak menciptakan manusia karena Dia kesepian. Kadangkala mungkin terbersit dalam pikiran kita bahwa Allah menciptakan kita karena Ia kesepian. Allah memiliki hubungan dan persekutuan yang sempurna di dalam Tritunggal; kita akan berbicara mengenai hal itu nanti. Ia tidak membutuhkan hubungan dengan kita. Ia tidak memerlukan penyembahan kita. Ia tidak membutuhkan pujian kita. Ia tidak memerlukan pelajaran Alkitab kita. Ia tidak
membutuhkan kehadiran kita di gereja. Ia tidak membutuhkan penyembahan kita. Pada saat ini juga, Ia dikelilingi oleh makhluk yang tak terhitung banyaknya yang menyanyikan pujian bagi-Nya dan melakukan kehendak-Nya setiap saat. Ia tidak membutuhkan pujian kita. Tozer mengatakan, “Kalau tiba-tiba saja semua manusia menjadi buta. Tetap saja matahari akan bersinar di waktu siang dan bintang-bintang di waktu malam. Karena matahari dan bintang sama sekali tidak bergantung kepada jutaan manusia yang mendapatkan keuntungan dari cahayanya.” Jadi kalaupun semua manusia di dunia menjadi atheis, hal itu sama sekali tidak berpengaruh apapun terhadap Allah. Ia tetap saja sebagaimana adanya Dia tanpa terpengaruh oleh apapun. Kepercayaan kita kepada-Nya tidak menambahkan apapun kepada-Nya; keraguan kita kepadaNya tidak mengurangi apapun dari diri-Nya. Ia tidak membutuhkan hubungan dengan kita. Ia tidak memerlukan penyembahan kita. Ia tidak membutuhkan pemuridan kita. Ia tidak membutuhkan kita untuk ikut dalam pembahasan kita. Ia tidak membutuhkan kita. Bill Bright, mungkin ia termasuk salah satu dari sedikit orang yang sangat berpengaruh terhadap Kekristenan di abad ke-20 lebih dari orang-orang lainnya, dan ia sudah meninggal dunia. Sebelum ia meninggal, ia mengatakan demikian, “Siapakah Bill Bright? Saya hanyalah sekedar salah satu manusia yang bukan siapa-siapa di antara enam milyar manusia yang lain. Allah sudah memberikan kepada saya beberapa hal yang saya yakin Ia inginkan untuk saya lakukan, akan tetapi, tidak ada jaminan sama sekali bahwa waktu akan memungkinkan saya untuk menyelesaikan beberapa di antara hal itu.” Allah tidak memerlukan Bill Bright sama seperti Ia tidak memerlukan sebatang kayu. Ia menciptakan kita di dalam gambar-Nya, dan Ia mengasihi kita dan mengangkat kita, dan kita berharga di hadapan-Nya. Tetapi Ia bisa juga membangkitkan kayu dan batu dan membuat semuanya itu menyembah Dia, jadi kalaupun saya tidak ada di dunia ini tidak akan ada dampak yang besar bagi Dia. Ia tidak membutuhkan pemuridan kita. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah dengan demikian hal itu membuat kita menjadi tidak berarti? Kalau Allah tidak membutuhkan kita, lalu dimana makna keberadaan kita? Maksud saya, kita seringkali mendapati bahwa perasaan bermakna merupakan sesuatu yang sangat kita butuhkan di dalam kehidupan kita. Saya dibutuhkan oleh anak-anak saya. Saya dibutuhkan oleh istri saya. Saya dibutuhkan di dalam pelayanan saya. Kita memberikan makna bagi kehidupan kita, maksud saya, kalau kita tidak dibutuhkan oleh Allah apakah itu tidak berarti bahwa kehidupan kita memang tidak berarti apapun? Namun ada yang harus dipahami, bahwa makna kehidupan kita, sebenarnya, bukanlah didapatkan karena Allah membutuhkan kita. Makna kehidupan kita ditemukan di dalam kebutuhan kita akan Allah. Saudara seiman, ini bertolak belakang dengan doktrin harga diri yang mendominasi dunia psikologi dalam budaya kita sekarang. Mereka mengatakan bahwa harga dan makna diri ditemukan kalau anda merasa dibutuhkan dan penting. Ini bukan yang diajarkan Alkitab. Yang diajarkan Alkitab mengenai makna dan harga diri adalah bahwa Allah tak terbatas di dalam makna dan makna kehidupan kita bisa ditemukan dengan menghubungkan diri kepada Dia yang tak terbatas di dalam makna itu. Makna kehidupan kita bisa ditemukan dengan mendekat kepada Kristus sebagai Pribadi yang tak terbatas di dalam makna. Dan yang indah adalah— inilah sebabnya Ia harus menjadi pusat di dalam kehidupan kita—ketika kita berpikir mengenai kasih-Nya, maka kasih itu merupakan kasih yang paling mulia. Tidak ada sesuatu yang dibutuhkan-Nya untuk membuat Dia mengasihi kita. Allah memilih untuk mengasihi kita dengan kasih yang penuh, yang sepenuhnya tidak mementingkan diri. Kita akan lewatkan dulu lembaran yang ada di depan anda, nanti kita akan lihat lagi. Dalam kenyataannya adalah bahwa Allah tidak membutuhkan satu orangpun, tetapi Ia bekerja melalui setiap orang. Dan inilah yang sangat indah, Allah ada bagi diri-Nya sendiri; kita ada bagi Allah. Ada satu kutipan dari Tozer yang ada juga di dalam lembaran anda, tetapi sebenarnya saya agak ragu membagikannya karena hal itu juga merupakan sesuatu yang membuat saya malu, tetapi akan menolong anda melihat suatu konteks. Saya merasa malu karena kadangkala terbersit dalam pikiran saya bahwa pasti Allah senang bahwa saya bergabung dalam pelayanan, melakukan suatu kebaikan bagi-Nya. Tetapi apa yang saya baca di dalam buku sudah menegur
saya dengan keras, “Allah yang Mahakuasa, karena Ia Mahakuasa maka Ia tidak membutuhkan bantuan apapun. Gambaran tentang Allah yang harap-harap cemas mengharapkan manusia senang dan berpihak kepada-Nya bukanlah sesuatu yang benar, tetapi kalau kita melihat kecenderungan masa kini, itulah yang banyak terjadi. Orang-orang Kristen abad ini sering menganggap Allah mengharapkan kebaikan hatinya. Begitu buruknya pandangan kita akan diri kita sendiri sehingga begitu mudah, dan bahkan menyenangkan, bagi kita untuk berpikir bahwa kita dibutuhkan sekali oleh Allah. Mungkin hal yang paling sulit kita terima di dalam egoisme alamiah kita adalah untuk mulai berpikir bahwa Allah tidak membutuhkan pertolongan kita. Kita sangat sering menggambarkan Dia sebagai Bapa yang sibuk, tergesa-gesa dan agak frsutasi dalam usaha mencari tenaga membantu-Nya melakukan rencana-Nya yang agung dalam membawa damai dan keselamatan bagi dunia ini. Terlalu banyak pekerjaan pelayanan yang didorong oleh perasaan yang demikian. Seorang pengkhotbah yang pintar bisa dengan mudah menggerakan rasa belas kasihan di dalam hati seseorang, bukan terhadap orang-orang yang terhilang tetapi justru terhadap Allah yang sudah berusaha bekerja begitu keras dan begitu lama mencoba menyelamatkan orang-orang berdosa dan berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin orang untuk membantu-Nya. Saya khawatir bahwa banyak orang-orang muda yang masuk ke dalam pelayanan Kristen dengan motivasi yang tidak lebih dari ingin membantu Allah keluar dari rasa malu karena kasih-Nya yang tak berbalas dan kemampuan-Nya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Semua itu kemudian ditambah dengan idealisme yang baik dan rasa belas kasihan yang sehat kepada orang-orang yang kurang beruntung dan semua itu dicampurkan dan jadilah sebagai tenaga yang banyak menjadi pendorong untuk banyak kegiatan Kristen di jaman ini.” Saudara seiman, saya mau mengingatkan anda akan sesuatu. Kehidupan anda, kehidupan saya, gereja anda, gereja saya, Gereja Brook Hills dan semua gereja yang ada di sekitar kita bisa saja lenyap menjadi abu dalam sekejap, tetapi Allah akan tetap membuat nama-Nya diagungkan di antara bangsa-bangsa. Ia tidak melibatkan kita di dalam pelayanan karena Ia memerlukan kita. Ia melibatkan kita di dalam pelayanan karena Ia mengasihi kita. Ini hak istimewa bagi kita. Adalah hak istimewa bagi kita untuk menjadi bagian dari karya menyatakan kemuliaan Allah bagi bangsa-bangsa. Dan itu adalah hak istimewa yang tidak boleh kita tinggalkan, dan kita tidak perlu berpikir bahwa kita dibutuhkan di sana. Allah akan melaksanakan rancangan-Nya. Ia akan melaksanakan rancangan-Nya di India. Ia akan melaksanakan rancangan-Nya di Pakistan. Ia akan melaksanakan rancangan-Nya di Afganistan. Saya akan mengakhiri pembahasan kita dengan mengajak anda merenungkan keagungan Allah dalam kerangka apa yang dilakukan-Nya di Afganistan, India dan Pakistan. Dan saya ingin kita bertanya dengan jujur, bagaimana kehidupan kita akan berpengaruh terhadap bangsa-bangsa itu bagi kemuliaan Allah?