INFEKSI HEMODIALISIS Imam Hadi Yuwono Unit Hemodialisis RSUD Kota Semarang
A. Pengertian Infeksi Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam tubuh dan menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer & Brenda (2002) infeksi adalah beberapa penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan organisme patogenik di dalam tubuh. 1. Beberapa penyebab infeksi (Smeltzer & Bare, 2002) adalah a. Bakteri Bakteri adalah penyebab terbanyak terjadinya infeksi. b. Virus Virus berisikan nucleat acid, masuk kedalam tubuh untuk berkembang biak. c. Parasit Parasit hidup di makhluk hidup lain seperti cacing, protozoa dan arthropoda. d. Fungi atau Jamur 2. Rantai Infeksi Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antara berbagai faktor dan saling mempengaruhi yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal de entry dan host atau penjamuyang rentan (Potter & Perry, 2005). Agen Infeksi Host Penjamu
Reservoir
Portal de exit
Portal de entry Cara penularan Perry & Potter (2005)
3. Proses Infeksi Infeksi terjadi secara progresif beratnya infeksi pada klien tergantung dari tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut a. Periode Inkubasi Interval anatara masuknya patogen kedalam tubuh dan munculnya gejala.
b. Tahap prodormal Waktu antara munculnya gejala yang non sepesifik seperti malaise, demam ringan dan keletihan menjadi gejala yang spesifik. Pada masa ini mikroorganisme berkembang dan bisa menularkan ke orang lain. c. Tahap sakit Pada tahap ini akan muncul gejala yang spesifik sesuai dengan sakitnya. d. Tahap pemulihan 4. Tanda Infeksi Mitchell, Kumar, Fausto, Abbas & Aster (2012) menyebutkan bahwa tanda-tanda infeksi adalah a. Dolor, adalah rasa nyeri, nyeri akan terasa pada jaringan infeksi. b. Kalor, adalah rasa panas, ini terjadi karena aliran darah lebih banyak ke area yang mengalami infeksi untuk mengirim lebih banyak antibody dalam memerangi antigen atau penyebab infeksi. c. Tumor, padaa area yang mengalami infeksi akan mengalami pembengkakan karena peningkatan permeabilitas sel dan peningkatan aliran darah. d. Rubor, adalah kemerahan, karena peningkatan aliran darah ke area tersebut. e. Fungsio Laesa, adalah perubahan fungsi dari jaringan yang mengalami infeksi. 5. Pertahanan Terhadap Infeksi a. Flora Normal Secara normal manusia mempunyai pertahanan tubuh alami yaitu berupa flora normla yang ada di kulit, saliva, mukosa oral dan saluran gastrointestinal. Flora normal akan menjaga keseimbangan dalam tubuh agar tetap stabil. Adanya gangguan keseimbangan ini akan mengakibatkan individu rentan terhadap infeksi. b. Pertahanan Sistem tubuh Tubuh akan mengeluarkan patogen melalui inhalasi, kulit dan saluran pencernaan. c. Inflamasi Proses ini merupakan reaksi protektif vaskuler dengan menghantarkan cairan, produk darah dan nutrien ke jaringan interstial kedaerah cedera. Proses ini akan menetralisir dan dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati dan memulai perbaikan jaringan yang mengalami kerusakan. Tanda bila terjadi inflamasi adalah bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan hilangnya sebagian fungsi dari jaringan yang mengalami inflamasi. d. Sistem Imun Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor. Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen
sel tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen - baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) - sebelum berkembang menjadi penyakit. Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung. B. Infeksi Selama Hemodialisis Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (dialyzer) ke dalam dialysate. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan (Levy, Morgan., & Brown, 2004). Proses hemodialisis yang terjadi didalam membran semipermiabel terbagi menjadi tiga proses yaitu osmosis, difusi dan ultrafiltrasi. Osmosis adalah proses perpindahan zat terlarut dari bagian yang berkonsentrasi rendah kearah konsentrasi yang lebih tinggi. Difusi adalah proses perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi yang rendah. Sedangkan ultrafiltrasi adalah perpindahan cairan karena ada tekanan dalam membran dialyzer yaitu dari tekanan tinggi kearah yang lebih rendah (Curtis, Roshto., & Roshto, 2008). Proses osmosis, difusi dan ultrafiltrasi terjadi dalam membran semipermiabel yang lazim disebut dialyzer atau ginjal buatan. Dialyzer atau ginjal buatan memiliki dua bagian, satu bagian untuk darah dan bagian lain untuk cairan dialisat. Di dalam dializer antara darah dan dialisat tidak bercampur jadi satu tetapi dipisahkan oleh membran atau selaput tipis (National Kidney Foundation / NKF, 2006). Beberapa syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa menghasilkan clearence urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membran yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak mengandung racun. Proses hemodialisis memerlukan komponen utama agar proses bisa berjalan dengan sempurna yaitu mesin dialisis, dialyzer, dialysate, blood line dan fistula needles. Ketersediaan akses yang baik merupakan syarat mutlak dilakukan tindakan dialisis. American Journal of Kidney Diseases (AJKD) merekomendasikan bahwa pasien PGK stadium 4 dan 5 sudah harus dipasang akses vaskuler untuk persiapan tindakan hemodialisis yang berupa kateter subklavia atau Arteriovenous shunt (AJKD, 2006). Pembuatan akses vaskuler untuk proses hemodialisis bertujuan untuk mendapatkan aliran darah yang optimal agar proses hemodialisis bisa berjalan dengan baik (Reddy & Cheung, 2009). Akses vaskuler yang disarankan adalah AV Shunt atau cimino, double lumen dan arteriovenosa grafts (AVG) (NKF DOQI, 2006). AV Shunt
merupakan akses vaskuler yang paling aman saat ini. Akan tetapi bila saat insersi tidak menggunakan tehnik yang benar akan mengakibatkan kerusakan. Komponen hemodialisis dan akses vaskuler bila tidak dikelola dengan tepat bisa menjadikan sebagai sumber atau penyebab masuknya mikroorganisme atau zat patogen yang bisa menyebabkan infeksi (Daugirdas,.et.al, 2007; Loho & Pusparini 2000). Sehingga prosedur yang tepat saat menyiapkan mesin, menyiapkan komponen hemodialisis dan akses vaskular mutlak harus benar dan tepat karena pasien PGK sangat rentan terkena infeksi. Menurut Association for professionals in infection control and epidemiology (APIC) pasien PGK dengan hemodialisis sangat rentan terhadap perkembangan infeksi kesehatan terkait karena beberapa faktor termasuk paparan perangkat invasif, imunosupresi, komorbiditas pasien, kurangnya hambatan fisik antara pasien dalam lingkungan hemodialisis rawat jalan, dan sering kontak dengan petugas layanan kesehatan dalam prosedur dan perawatan.(APIC, 2010). Infeksi yang terjadi pada pasien hemodialisis dapat berasal dari sumber air yang dipakai, sistem pengolahan air pada pusat dialisis, sistem distribusi air, cairan dialisat, serta mesin dialisis. Komplikasi tersering kontaminasi cairan dialisis adalah reaksi pirogenik dan sepsis yang disebabkan bakteri gram negatif. Selain itu, infeksi dapat juga terjadi oleh mikroorganisme yang ditularkan melalui darah seperti virus hepatitis B (HBV), human immunodeficiency virus (HIV), dan lain-lain. Infeksi merupakan penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian pada pasien hemodialisis. Penyebab tingginya infeksi pada pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah menurunnya sistem imun, adanya penyebab sekunder (diabetes, penyakit jantung, dan lain-lain) yang pada akhirnya memperberat resiko infeksi (Loho & Pusparini, 2000) Disisi lain menurut Sukandar (2006) febris selama atau sesudah hemodialisis mungkin berhubungan dengan reaksi pirogen dari prosedur hemodialisis atau infeksi mikroorganisme (bakteri, parasit, virus atau keganasan. Penyebab febris pasien PGK dengan hemodialisis adalah TB paru, keganasan saluran cerna, Reaktivitas SLE, endokarditis bakterial akut, devertikulosis, infeksi akses vaskuler, trombosisis pada AV shunt perikarditis, effusi pleura, ISK dan infeksi penyakit ginjal polikistik. Infeksi pada pasien hemodialisis bisa diakibatkan karena 1. Prosedur pemasangan dan insersi skses vaskuler hemodialisis Minga, Flanagan & Allon (2001) melaporkan bahwa terjadi 8,2/100 pemasangan AV graff setiap tahunnya dan mempengaruhi kadar albumin menjadi rendah ( < 3,5 g/dl). Infeksi ini terjadi dibawah satu bulan pemasanagan sebesar 15%, 1 – 12 bulan 44% dan diatas satu tahun 41%. Penyebab inifeksi ini karena patogen gram positif sebesar 97 % kasus, terutama Staphylococcus aureus (60%) dan Staphylococcus epidermidis (22%).
Penggunaan kateter vena sentral memberi kontribusi besar terjadinya komplikasi infeksi pada pasien PGK hemodialisis, meskipun hanya digunakan pada sebagian kecil dari penderia PGK yang menjalani hemodialisis (Pisoni, 2002). Penggunaan kateter vena sentral saat hemodialisis dan menimbulkan reaksi panas pada pasien menunjukkan bahwa kateter tersebut mengalami bakterimia dan infeksi (Daugirdas., et al, 2007). Terjadinya infeksi merupakan alasan utama untuk penghapusan kateter ini , dan serangan infeksi aliran darah yang terkait dengan kateter mengakibatkan perawatan yang membutuhkan biaya besar dan peningkatan mortalitas (Moist, 2008). Orang yang menjalani hemodialisis sangat rentan terhadap infeksi staphylococcus, dengan akses vascular (VA) menjadi porte d'entre'e-utama untuk ini kuman ini. (Stefaan J. V., Johan. R. B, & De Vriese. A.S, 2009). Akses vaskuler yang rutin dialakukan setiap menjalani hemodialisis bisa mengakibatkan kondisi bakterimia dan infeksi yang akan meningkatkan komorbiditas pasien PGK yang berakhir pada kematian (Erika., et al, 2000). Penggunaan AV fistula sebagai alat yang menghubungkan blood line dengan vaskuler pasien berkontribusi terhadap kejadian masuknya bakteri Staphylococcus aureus ke tubuh pasien. Kejadian ini bisa berupa bakterimia dengan tanpa gejala dan lebih lajut mengakibatkan endokarditis. Kondisi yang berlangsung lama dan berkelanjutkan akan mengakibatkan kerusakan pada tempat akses vaskuler atau AV shunt. Tindakan penghapusan AV shunt adalah salah satu tindakan untuk mengatasi masalah ini dan menggantinya di vaskuler yang lain. (Linnemann, McKee & Laver 1978). 2. Infeksi karena kerentanan pasien PGK Erika,.et al. (2000) menyebutkan kerentanan pasien terkena infeksi nasokomial dengan hemodialisis kronis diakibatkan karena kondisi komorbiditas, uremik toxisitas dan anemia kronis karena PGK yang semuanya diyakini berkontribusi terhadap penekanan atau penurunan sistem kekebalan tubuh. Penelitian dari Erika,.et al. (2000) melaporkan bahwa infeksi nasokomial yang sering terjadi adalah infesi saluran kemih (ISK), infeksi vaskuler, pneumonia dan diare karena infeksi. Loho & Pusparini (2000) menyebutkan bahwa hepatitis B dan HIV merupakan penyakit infeksi yang bisa menular pada pasien hemodialisis karena terjadi infeksi silang saat hemodialisis. Kadar ureum yang tinggi pada pasien hemodialisis akan mempengaruhi sistem imonologi yaitu berupa pembentukan antibodi yang tidak memadai, stimulataion peradangan, kerentanan terhadap kanker, mengakibatkan malnutrisi yang akan berdampak pada penurunan kadar Hb, mudah terinfeksi dan sistem kekebalan yang menurun. (Glorieux .,Schepers .& Vanholder , 2007 ; Daugirdas, Blake & Ing , 2007). Proses hemodialisis yang tidak memperhatikan tercapainya adekuasi akan megakibatkan kadar ureum yang tinggi dan mengakibatkan pasien rentan terhadap
infeksi. Adekuasi hemodialisis bisa diukur dengan menghitung RRU. RRU yang disarankan agar tercapai adekuasi adalah 65% (PERNEFRI, 2003). Yuwono (2013) melaporkan bahwa rata RRU dengan QB 150 ml/menit adalah 52,0%, QB 175 ml/menit adalah 64,2% dan QB 200 ml/menit sebesar 66,3%. Disisi lain prosentase penggunaan QB yang terbesar adalah QB 150 ml/menit yaitu sebesar 49%. Sedangkan QB 175 ml/menit dipakai hanya pada 27,7% pasien dan QB lebih sedikit lagi yaitu 23,3%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar 23,3% pasien yang mencapai adekuasi hemodialisis. Sisanya masih dibawah garis normal. Kondisi pasien ini tentunya akan rentan terhadap infeksi karena kadar ureumnya masih tinggi. 3. Infeksi karena Komponen Hemodialisis Komponen hemodialisis terdiri dari mesin hemodialisis, dialyzer, dialysate, blood line dan AV fistula. Pada proses hemodialisis yang adekuat dan berdasarkan prosedur yang benar akan meminimalkan terjadinya infeksi dan reaksi inflamsi pada pasien hemodialisis. Reaksi pirogen, terkait dengan cairan dialysate, manifestasi klinis sama dengan infeksi yaitu demam, tetapi yang membedakan adalah deman karena reaksi pirogen akan berhenti seiring dengan berhentinya proses hemodialisis (Daugirdas.,et al, 2007). Reaksi inflamasi tidak hanya dari dialysate saja akan tetapi bisa dari dialyzer, blood line dan perangkat mesin hemodialisis. Kebocoran dialyzer, priming yang tidak baik, reuse dialyzer, desinfectan mesin yang tidak sesuai dan insersi vena tidak memperhatikan septic aseptic merupakan faktor yang bisa mengakibatkan reaksi infeksi pada pasien hemodialisis. Secara umum manifestasi gejala inflamasi karena faktor tersebut sama. Kontaminasi pada mesin hemodialisis bisa mengakibatkan infeksi oleh gram negatif dan jamur. Kejadian ini dikarenakan proses desinfectan mesin yang kurang baik dan pengelolaan air reverse osmosis sebagai water tretement yang tidak sesuai dengan prosedur yang baik (Daugirdas., et al, 2007) C. Menegemen Infeksi Hemodialisis Keterlambatan penanganan infeksi pada pasien hemodialisis merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas (Daugirdas., et al, 2007). Pencegahan infeksi merupakan tanggung jawab bersama dan melibatkan semua yang berhubungan dengan proses dan prosedur teknis atau administratif hemodialisis yang meliputi tenaga medis, para medis, tenaga administratif, petugas kebersihan, keluarga pasien, pengunjung pasien dan pasien, (APIC, 2010). Semua petugas paramedis, medis, administrtif dan petugas kebersihan harus pernah di beri pelatihan tentang cara dan tehnik pencegahan infeksi. Program ini dilakukan agar pencegahan infeksi bisa berjalan denagan baik dan semua bisa terlibat didalamnya. Cara pencegahan infeksi di unit hemodialisis (APIC, 2010) : 1. Kebersihan lingkungan Hemodialisis
2.
3.
4.
5.
a. Gunakan desinfektan yang sesuai dengan standar dan ketersediaannya disetiap unit hemodialisis. b. Jaga kebersihan alat alat hemodialisis yang berhubungan langsung dengan pasien, misalnya kursi, mesin hemodialisis, tempat tidur dan lainnya. c. Desinfectan dan jaga kebersihan alat yang dipakai bersama seperti tensi meter, agar tidak terjadi infeksi silang antar pasien. d. Bila alat yang dipakai adalah disposible maka buanglah pada tempat yang telah disediakan, tapi bila alat ini akan dipakai lagi pada waktu yang lain bersihkan dan desinfectan alat ini sesuai dengan prosedur yang ada. e. Alat disposible tidak boleh dipakai ke pasien yang lain. f. Mesin Hemodialisis harus di desinfectan panas sebelum diapakai pasien lain. g. Bila ada darah yang menempel pada mesin harus segera dibersihkan Kebersihan tangan a. Membersihkan tangan setelah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien. b. Hapus sarung tangan setelah merawat pasien. Jangan memakai sepasang sarung tangan yang sama untuk perawatan lebih dari satu pasien, dan tidak mencuci sarung tangan antara menggunakan dengan berbeda pasien. c. Bersihkan tangan setelah melepas sarung tangan. d. Jika tangan tidak tampak kotor, menggunakan cuci tangan berbasis alkohol untuk membersihkan tangan bukan sabun dan air. e. Jangan memakai artificial fingernails atau extender ketika berhubungan langsung dengan pasien. Imunisasi dan skrining tuberkulosis a. Identifikasi statua imunisasi pasien, Pasien yang akan menjalani hemodialisis diimunisasi HBV, tetanus, penyakit pneumokokus dan influenza. b. Karyawan dalam pengaturan HD harus menerima imunisasi campak, gondok, rubella, pertusis, difteri, tetanus, MMR (campak, gondok, rubella), akan ditawarkan HBV dan imunisasi influenza, dan melakukan skrining TB sesuai dengan peraturan rumah sakit. Obat-obatan a. Botol dosis tunggal harus didedikasikan untuk satu pasien saja dan tidak boleh kembali masuk. b. Obat parenteral harus disiapkan di area yang bersih dan jauh dari ruang perawatan pasien. c. Jangan menggunakan gerobak untuk mengangkut obat-obat ke ruang perawatan pasien. d. Bersihkan botol dengan desinfectan ketika mengambil obat dari dalamnnya. e. Gunakan teknik aseptik ketika mempersiapkan / penanganan obat parenteral / fluid. f. Jangan pernah menggunakan persediaan infus seperti jarum, jarum suntik, flush solusision, instrumen tindakan, atau cairan intravena pada lebih dari satu pasien. Pencegahan berbasisi transmisi a. Alat-alat bantu pernafasan dan selang oksigen harus dalam keadaan steril atau bersih, jika memungkinkan satu pasien satu slang oksigen.
b. Waspada dalam tindakan dan meminimalkan terjadinya luka pada petugas agar tidak terinfeksi. c. Pakailah APD yang sesuai standar. d. Pisahkan pasien yang menularakan penyakit lewat pernafasan/udara. e. HBV isolasi harus digunakan secara rutin pada semua pasien yang diketahui HBsAg positif. 6. Akses Vaskuler a. Lakukan tindakan yang benar dan berdasarkan prinsip steril dan tidak steril, b. Anjurkan pasien untuk pemasangan akses vaskuler sementara dan permanen atau pemasangan AV graff bila memungkinkan. 7. Water Treatment a. Cek mesin reverse osmosis sesuai dengan standar untuk keamanan distribusi air pada proses hemodialisis b. Lakukan pemeriksaan air secara berkala c. Desinfectan air denagn sinar ultrafiolet. D. Penutup Infeksi pada pasien hemodialisis merupakan masalah yang sangat penting dan harus segera ditangani. Keterlambatan penanganan infeksi bisa mengakibatkan kematian. Kondisi pasien yang menurun, kekebalan menurun, Hb rendah, ureum toksisitas sangat mudah untuk terkena infeksi. Perawat dialisis harus bisa menjaga agar pasien tidak terkena infeksi silang di unit hemodialisis dengan cara mengerjakan tindakan dan asuhan keperawatan sesuai prosedur dan menjalankan proses hemodialisis yang bisa mencapai adekuasi yang distandarkan. Penanganan dan pencegahan infeksi merupakan tanggung jawab bersama dari semua yang terlibat didalam unit hemodialisis. Pembekalan penegetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan untuk semua petugas di unit hemodialisis agar bisa bekerja sama dalam pencegahan dan penanganan infeksi. Pemeriksaan dan skrining untuk pasien dan petugas hemodialisis harus rutin dilakukan supaya bisa terdeteksi secara dini sehingga lebih mudah penanganannya dan tidak membutuhkan banyak biaya.
Daftar Pustaka
Association for professionals in infection control and epidemiology (APIC) (2010) Guide to the Elimination of Infections in Hemodialysis.Washington. APIC Headquarters. Curtis, J., Roshto, B., & Roshto, B. (2008). Principles Of Dialysis. In Core Curriculum For The Dialysis Technician (hal. 77-80). Medison: Medical Education Institute inc. Daugirdas, J, T.,Blake, P, G.,& Ing, T, S. (2007) Handbook Of Dialysis 4th Edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Erika M.C. D’Agata., David B. Mount., Valerie T., & William S. (2000). HospitalAcquired Infections Among Chronic Hemodialysis Patients. American Journal of Kidney Diseases, Vol 35, No 6 : pp 1083-1088. Glorieux. G., Schepers E.,& Vanholder R.C.(2007) Uremic Toxins in Chronic Renal Failure.Sec. Biol. Med Sci XXVIII/1: 173–204. Hoenich, N, A., & Ronco, C. (2008). Selecting a Dialyzer: Technical and Clinical Considerations.In Nissenson, A, R.,& Fine, R, N (Ed.), Handbook of dialysis therapy-4th. Philadelphia: Saunders , an imprint of Elsevier Inc. Levy, J., Morgan, J., & Brown, E. (2004). Oxford Handbook of Dialysis Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Linnemann .CC Jr, McKee. E,& Laver (1978) Staphylococcal infections in a hemodialysis unit. Am J Med Sci. 1978 Jul-Aug;276(1):67-75. Loho, T.,& Pusparini. (2000). Infeksi nosokomial pada hemodialisis. Majalah Kedokteran Indonesia, 50 (3), 132-144. Minga T.E., Flanagan K.H., Allon M.(2001) Clinical consequences of infected arteriovenous grafts in hemodialysis patients. Am J Kidney Dis. 2001 Nov ; 38(5): 975-978. Mitchell, R., Kumar, V., Fausto, N., Abbas, A. K., & Aster, J. (2012). Pocket Companion To Robbins & Cotran Pathologic of Disease, 8th. Philadelphia: Saunders Elsiver. Moist, L. M., Trpeski, L., Na, Y. & Lok, C. E.(2008) Increased hemodialysis catheter use in Canada and associated mortality risk: data from the Canadian organ replacement registry 2001-2004. Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 3, 1726-1732. National
Kidney Foundation. Recommendations
(2006)
Clinical
Practice
Guideline
and
Pisoni, R. L. et al.(2002) Vascular access use in Europe and the United States: results from the DOPPS. Kidney Int. 61, 305-316. Potter, P.A.,& Perry, A.G. (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,Proses, Dan Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC. Reddy ,B ., & Cheung, A, K. H. (2009). Hemodialysis. In Lai, K, N. (Ed.), Apractical Manual Of Renal Medicine. Hong Kong: Stallion Press. Smeltzer, S.C.,& Bare, B.G.(2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa Agung Waluyo dkk. Jakarta. EGC. Stefaan J. V., Johan. R. B, & De Vriese. A.S.(2009) Staphylococcus aureus Infections in Hemodialysis: What a Nephrologist Should Know. Clin J Am Soc Nephrol 4: 1388–1400 Sukandar, E. (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin Yuwoono. I.H. (2013) Pengaruh Pengaturan Kecepatan Aliran Darah (Quick of Blood) terhadap Rasio Reduksi Ureum pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUD Kota Semarang. Semarang. UNIMUS.