INFEKSI CACING GASTROINTESTINAL PADA MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA DAN SITUGUNUNG PARK
RIRIS PRAWESTI SURATNO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Situgunung Park adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Riris Prawesti Suratno NIM B04100038
ABSTRAK RIRIS PRAWESTI SURATNO. Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Situgunung Park Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA. Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa karnivora endemik Indonesia yang hanya terdapat di Pulau Jawa. Spesies ini dinyatakan terancam punah, sehingga tindakan konservasi diperlukan bagi Macan tutul jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung persentase serta derajat infeksi cacing parasit gastrointestinal pada Macan tutul jawa di lembaga konservasi ex-situ di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan kawasan in situ di Situgunung Park, Taman Nasional Gunung GedePangrango (TNGGP). Sebanyak 4 sampel tinja dikumpulkan dari PPSC pada bulan Januari-Februari 2014 dan 3 sampel tinja dari Situgunung Park pada bulan Mei 2013 dan Maret-Juni 2014. Analisis sampel tinja dilakukan dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, flotasi sederhana, dan penyaringan bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh sampel terinfeksi cacing gastrro-intestinal. Jenis cacing yang ditemukan beserta masing-masing persentase infeksinya adalah strongylid (85.71%), diikuti oleh trichurid dan ascarid (57.14%) serta Strongyloides (28,57%) dengan persentase terendah. Kisaran derajat infeksi kecacingan pada Macan tutul jawa di PPSC adalah <50–8825 telur per gram tinja (TTGT). Jumlah TTGT tertinggi pada strongylid (<50-8825 TTGT) di PPSC, diikuti oleh trichurid (<50–3400 TTGT) di PPSC dan Strongyloides (700-1100 TTGT) di SGP. Jumlah TTGT terendah pada ascarid (<50 TTGT) yang ditemukan di PPSC dan SGP. Kata kunci: cacing gastrointestinal, Macan tutul jawa, TTGT
ABSTRACT RIRIS PRAWESTI SURATNO. Infection of Gastro-Intestine Helminth in Javan leopard (Panthera pardus melas) in Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga and Situgunung Park. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and LIGAYA ITA TUMBELAKA. Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) is an endemic species of Indonesia that can only be found in Java island. This species is stated as critically endangered, so that the conservation act is needed to save Javan leopard. The objective of this research is to identify and determine the infection and the intensity of the gastrointestinal helminths in Javan leopard from Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) and Situgunung Park, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Four individual stool samples were collected from PPSC on Januari-Februari 2014 and 3 stool samples were collected from Situgunung Park, TNGGP on May 2013 and March-June 2014. All samples were examined using modified McMaster, flotation, and modified sedimentation techniques. The result showed that all samples were infected by gastro-intestine helminths. The identified helminths were strongylids (85,71%), trichurid and ascarids (57,14%) and Strongyloides (28,57%). The range of eggs per gram (EPG) varied from <50-8825 EPG. The highest count were found in strongylid (<508825 EPG) in PPSC, followed by trichurid (<50-3750 EPG) in PPSC and Strongyloides (700-1100 EPG) in SGP. The lowest count was ascarid (<50 EPG) which was found in PPSC and SGP. Keywords: gastrointestinal helminths, Javan leopard, EPG
INFEKSI CACING GASTROINTESTINAL PADA MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas) di PUSAT PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA DAN SITUGUNUNG PARK
RIRIS PRAWESTI SURATNO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah satwa liar yang dilaksanakan sejak bulan Januari–Juni 2014, dengan judul Infeksi Cacing Parasit Gastrointestinal pada Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Situgunung Park. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Elok Budi Retnani, M.S. dan Ibu Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M.Sc. sebagai pembimbing. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. sebagai pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Virsal D Putera dan Bapak Adam Firmanda dari Situgunung Park serta Kang Iryantoro, Bapak Cahyono, dan para animal keeper dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga yang telah mendukung penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga, serta teman-teman mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Uni Konservasi Fauna IPB dan atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015 Riris Prawesti Suratno NIM B04100038
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809)
2
Cacing Parasit Gastrointestinal pada Kucing Besar
3
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
6
METODE
7
Waktu dan Tempat
7
Alat dan Bahan
7
Rancangan Penelitian
7
Teknik Parasitologi
7
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Macan Tutul Jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan Situgunung Park (SGP)
9 9
Identifikasi Feses Macan Tutul Jawa
11
Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Macan Tutul Jawa
11
Pengendalian Helminthosis
16
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL 1 Cacing parasit gastrointestinal pada spesies kucing besar
5
2 Profil Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan Situgunung Park (SGP)
9
3 Tipe telur cacing yang ditemukan pada Macan tutul jawa
12
4 Kisaran jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan Situgunung Park (SGP)
14
DAFTAR GAMBAR 1 Macan tutul jawa dan Macan tutul jawa varian melanistik
3
2 Macan tutul jawa di Pusat Penyalamatan Satwa Cikananga (PPSC)
10
3 Hasil camera trap di Situgunung Park (SGP)
10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Denah kawasan Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
21
2 Peta jalur pengamatan di Situgunung Park
21
3 Kondisi kandang Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
22
4 Kondisi jalur pengamatan di Situgung Park, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (Punggungan Panel)
22
5 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC)
23
6 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) Macan tutul jawa di Situgunung Park, TNGGP
23
PENDAHULUAN Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus Linneaus, 1758) merupakan satwa karnivora liar yang tersebar di banyak negara dengan berbagai tipe habitat. Macan tutul terbagi menjadi 9 subspesies, yaitu P.p. orientalis, P.p. japonensis, P.p. delacouri, P.p. kotiya, P.p. fusca, P.p. saxicolor, P.p. nimr, P.p. pardus, dan P.p. melas (Uphykirna et al. 2001). Subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa endemik di Pulau Jawa. Status konservasi subspesies ini adalah terancam punah (critically endangered) menurut Ario, Sunarto, dan Sandersen (2008) dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature). Oleh karena itu, upaya pelestarian Macan tutul jawa perlu dilakukan. Upaya pelestarian Macan tutul jawa diantaranya dengan mengelola kesehatan satwa tersebut. Macan tutul merupakan satwa yang bersifat soliter berinteraksi dengan macan tutul lainnya saat musim kawin. Pada habitatnya, macan tutul merupakan satwa oportunis yang memangsa satwa lain dengan berbagai ukuran. Secara umum, satwa mangsa yang menjadi buruan Macan tutul jawa yaitu kijang, monyet ekor panjang, owa jawa, babi hutan, kancil, Rodentia, dan burung (GBIF 2013). Sumber infeksi cacing parasit gastrointestinal dapat diperoleh dari jenis pakan yang bersifat sebagai inang antara maupun inang paratenik dari cacing parasit. Endoparasit yang terdapat di dalam saluran pencernaan telah dilaporkan pada ternak sebagai penyebab penurunan berat badan yang berakibat pada kekurusan. Oleh karenanya, penelitian mengenai keberadaan dan identifikasi endoparasit yang terdapat di dalam saluran pencernaan perlu dilakukan. Helminthosis merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat cacing parasit (helminth). Gejala yang ditimbulkan akibat helminthosis pada hewan berupa diare, diare berdarah, penurunan berat badan, kegatalan pada anus, dan anemia. Hewan dapat terinfeksi cacing parasit melalui rute trans-mamari, trans-kutaneus, ingesti telur cacing dari tanah, inang antara, dan inang paratenik (ESCCAP 2010). Pengetahuan mengenai helminthosis pada Macan tutul jawa sangat berguna sebagai informasi jenis kecacingan yang dialami satwa. Informasi ini dapat dijadikan dasar pengetahuan untuk menyusun strategi pengendalian helminthosis di lembaga konservasi ex-situ. Minimnya data mengenai jenis-jenis cacing parasit gastrointestinal pada Macan tutul jawa menyebabkan kurangya pengawasan terhadap kesehatan macan tutul di habitatnya. Oleh karena itu, perlu adanya data mengenai keberadaan cacing parasit pada Macan tutul jawa. Salah satu metode yang dapat digunakan sebagai pengawasan terhadap tingkat kesehatan Macan tutul jawa di habitatnya adalah melalui keberadaan cacing gastrointestinal melalui analisis feses.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kejadian infeksi kecacingan dengan mengidentifikasi dan menghitung persentase kecacingan serta derajat infeksi cacing gasro-intestinal pada Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di
2 kawasan in situ di Situgunung Park, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) dan lembaga konservasi ex-situ di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC).
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai satu indikator status kesehatan macan tutul. Pengetahuan tersebut merupakan bahan pertimbangan dalam pengendalian helminthosis sebagai upaya dalam aplikasi medik konservasi pada Macan tutul jawa.
TINJAUAN PUSTAKA Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Taksonomi dan Morfologi Macan tutul jawa merupakan satwa endemik Indonesia yang persebarannya hanya di Pulau Jawa. Satwa ini merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar. Taksonomi Macan tutul jawa dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies Subspesies
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Carnivora : Felidae : Panthera : Panthera pardus Linneaus, 1758 : Panthera pardus melas Cuvier, 1809
Satwa ini memiliki warna tubuh kekuningan dengan pola rosette berwarna hitam. Setiap individu memiliki pola rosette yang berbeda. Bagian ventral perut dan lehernya berwarna putih. Beberapa individu memiliki variasi genetik yang yang menyebabkan warna dasar tubuhnya menjadi hitam (melanistik). Macan tutul betina memiliki ukuran tubuh 1.7–19 m dengan berat badan 17–58 kg, sedangkan macan tutul jantan memiliki ukuran tubuh 1.6–2.3 m dengan berat badan 31–65 kg (Hunter dan Hinde 2005).
3
A
B
Gambar 1 (A) Macan tutul jawa dan (B) Macan tutul jawa dengan varian melanistik (Dokumentasi Situgunung Park 2011). Biologi dan Perilaku Macan tutul mampu hidup sampai 21 tahun pada wilayah dengan ketinggian sampai 3000 m di atas permukaan laut (dpl) (Maryanto et al. 2008), sedangkan menurut Guggisberg (1975), macan tutul dapat hidup selama 21–23 tahun di captivity dan 10–12 tahun di alam. Macan tutul merupakan satwa yang soliter dan nokturnal. Walaupun soliter, macan tutul tetap “berkomunikasi” dengan menandai daerah teritorinya menggunakan urin, feses, dan cakaran pada batang pohon (scratch). Macan tutul hanya bertemu pada saat musim kawin. Reproduksi terjadi sepanjang tahun, namun meningkat pada musim hujan (Laman dan Knott 1997). Masa kehamilan macan tutul adalah 96 hari dan melahirkan 2 sampai 3 anak. Macan tutul mengalami dewasa kelamin pada umur 2.5 tahun pada betina dan 2 tahun pada jantan. Macan tutul dapat berjalan 60 km/hari pada habitat alaminya. Home range macan tutul jantan bisa mencapai 35 km2, sedangkan home range macan tutul betina seluas 13 km2. Home range dari macan tutul jantan lebih luas dari betina dan terkadang overlap dengan home range macan tutul betina (Hunt 2011). Satwa karnivora ini memiliki penglihatan dan penciuman yang tajam yang sangat berguna dalam berburu mangsanya. Macan tutul jawa merupakan satwa karnivora yang oportunis dengan memangsa satwa yang mudah ditangkap. Mangsa macan tutul sangatlah beragam. Berdasarkan hasil analisis feses, satwa yang paling sering menjadi mangsa macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango antara lain babi hutan (Sus scrofa), teledu kancil (Tragulus javanicus), dan musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) (Ario, Eryan, dan Supian 2009).
Cacing Parasit Gastrointestinal pada Kucing Besar Cacing parasit gastrointestinal secara umum dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Nematoda, Trematoda, dan Cestoda. Nematoda (round worm) memiliki bentuk tubuh gilig seperti tabung dengan kedua ujung runcing. Ujung anterior dilengkapi dengan mulut, sedangkan ujung posterior merupakan ekor. Cacing ini memiliki saluran pencernaan sempurna dari mulut sampai anus. Cacing Nematoda jantan memiliki ukuran lebih kecil dari cacing betina. Siklus hidup cacing Nematoda adalah langsung tanpa inang antara. Hewan dapat terinfeksi oleh cacing ini oleh telur atau larva yang termakan dan penetrasi larva melalui permukaan
4 kulit (Ballweber 2001). Sumber infeksi dapat berasal dari feses, tanah, pakan, maupun inang paratenik yang terkontaminasi fase infektif cacing parasit. Cacing kelas Cestoda memiliki tubuh pipih dan bersegmen tanpa saluran pencernaan. Bagian tubuhnya terdiri atas scolex, leher, dan strobila. Scolex merupakan bagian kepala yang dilengkapi dengan kait-kait pada sucker atau rostellumnya. Strobila merupakan tubuh cacing yang terdiri atas proglotidaproglotida. Setiap segmen mengandung satu atau dua organ reproduksi. Siklus hidup Cestoda adalah tidak langsung sehingga memerlukan inang antara untuk menjadi stadium infektif. Proglotida gravid yang telah berisi telur akan dilepaskan dan keluar bersama feses. Setelah proglotida gravid lepas, maka proglotid akan ruptur dan telur akan keluar. Telur Cestoda memiliki embryo dengan 6 kait. Telur Cestoda harus melalui inang antara terlebih dahulu untuk menjadi tahap metacestoda. Inang definitif akan terinfeksi jika memakan inang antara yang terinfeksi dengan metacestoda. Hewan yang menjadi inang antara adalah ikan, arthropoda, dan mamalia (Ballweber 2001). Trematoda umumnya berbentuk seperti daun dan menempel pada organ dengan acetabulum (ventral sucker). Tubuh Trematoda pada umumnya berbentuk pipih dorsoventral dan tidak memiliki anus, sehingga mengeluarkan sisa metabolisme dengan cara regurgitasi. Organ reproduksi jantan dan betina terdapat pada satu inividu. Terdapat dua subkelas Trematoda, yaitu Digenea dan Monogenea. Kelompok monogenea memiliki siklus hidup yang langsung dan terdapat pada satwa akuatik, sedangkan kelompok digenea memiliki siklus hidup tidak langsung, sehingga membutuhkan inang antara untuk memenuhi siklus hidupnya. Telur Trematoda akan keluar bersama feses. Telur akan menetas menjadi mirasidium dan berenang bebas untuk menemukan inang antara. Salah satu inang antara cacing Trematoda adalah siput air. Pada tubuh inang antara, mirasidium akan berkembang menjadi sporokista, kemudian berkembang menjadi redia. Setelah itu, redia akan berkembang menjadi serkaria. Serkaria merupakan tahap infektif dari Trematoda. Serkaria dapat singgah pada inang antara kedua atau langsung masuk ke dalam tubuh inang definitif, sehingga inang definitif akan terinfeksi jika memakan inang antara kedua yang mengandung serkaria atau melalui penetrasi serkaria langsung ke tubuh (Ballweber 2001). Infeksi cacing gastrointestinal yang telah diteliti sebelumnya pada kucing besar antara lain pada Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.), dan puma (Puma concolor). Shirbhate (2006) mengidentifikasi adanya infeksi cacing parasit melalui identifikasi telur cacing dalam feses Harimau bengala (Panthera tigris tigris) dan macan tutul (Panthera pardus spp.) di Melghat Tiger Reserve, Satpuda, India. Infeksi Taenia omissa pada Puma concolor diidentifikasi dari puma yang terperangkap di Manitoba, Kanada. Youssefi, Hoseini, dan Esfandiari (2010) mengidentifikasi cacing gastrointestinal pada saluran pencernaan Macan tutul persia (Panthera pardus saxicolor) di Iran berdasarkan hasil nekropsi. Identifikasi cacing gastrointestinal pada Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta dilakukan melalui identifikasi telur cacing dalam feses oleh Arrayyansyah (2014).
5 Tabel 1 Cacing parasit gastrointestinal pada spesies kucing besar Kelompok Nematoda
Jenis Cacing Gastrointestinal Toxocara cati
Toxascaris leonina
Ancylostoma caninum
Ancylostoma tubaeforme
Uncinaria stenocephala
Trichuris trichuria
Trichuris vulpis
Capillaria hepatica Cestoda
Dipyllidium caninum
Diphyllobothrium latum
Spirometra erinacea
Taenia omissa Taenia pisiformis
Hydatigera taeniaeformis
Trematoda
Fasciola hepatica
Hymenolepis diminuta
Metagonimus spp.
Inang Definitif
Pustaka
Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Macan tutul persia (Panthera pardus saxicolor), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Shirbhate (2006), Arrayyansyah (2014) Shirbhate (2006), Arrayyansyah (2014) Shirbhate (2006)
Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Puma (Puma concolor) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) Harimau bengala (Panthera tigris tigris), macan tutul (Panthera pardus spp.) macan tutul (Panthera pardus spp.)
Youssefi, Hoseini, dan Esfandiari (2010), Arrayyansyah (2014) Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006) Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Dare dan Watkins (2012) Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
Shirbhate (2006)
6 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) terletak di Kampung Cikananga, Desa Cisitu, Nyalindung, Sukabumi. Lembaga ini merupakan salah satu bentuk lembaga konservasi ex-situ yang berperan sebagai sanctuary dan tempat sementara bagi satwa yang akan dilepasliarkan kembali ke alam. Lembaga ini merupakan lembaga non-profit yang memiliki dedikasi terhadap konservasi satwa liar beserta habitatnya di Indonesia. Luas kawasan PPSC adalah 14 hektar dengan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas perkandangan bagi satwa, klinik hewan, dan kantor. Kawasan PPSC berada pada kecamatan Nyalindung dengan ketinggian 400–925 m dpl dan kemiringan 15–39%. Keadaan tanah pada umumnya latosol coklat dan asosiasi latosol coklat kemerah-merahan, memiliki tekstur halus dan gembur dengan pH rata-rata 4.6–5.5. Kampung Cikananga mempunyai daerah yang beriklim C (agak basah) menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson. Perbedaan temperatur siang dan malam, maupun antara musim penghujan dan musim kemarau tidak banyak berbeda yaitu 18–23 ºC. Suhu maksimum terjadi di musim kemarau pada bulan Mei–Oktober, sedangkan suhu minimum terjadi di musim penghujan pada November–April.
Situgunung Park, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Situgunung Park merupakan kawasan wisata alam yang terletak di Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, dan termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) merupakan habitat bagi lebih dari 100 jenis mamalia dan 250 jenis burung, serta berbagai jenis insekta. Satwa yang dapat ditemukan di TNGGP antara lain trenggiling, lutung jawa (javan leaf-monkey) yang termasuk satwa terancam punah bersama macan tutul dan elang jawa. Populasi macan tutul di TNGGP pada tahun 2009 antara 20–40 individu (Balai TNGGP 2011). Situgunung Park terletak di kaki Gunung Pangrango pada ketinggian 950–1036 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan ini memiliki tipe iklim B dengan cura hujan antara 1611–4311 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 16–29 oC dengan kelembaban rata-rata 84%. Kawasan Situgunung Park memiliki danau yang bernama Situ Gunung yang dikelilingi oleh hutan alam sub pegunungan dan hutan tanaman damar. Selain danau, air terjun Cimanaracun dan Curug Sawer merupakan keindahan alam yang terdapat di kawasan Situgunung Park. Fauna yang terdapat di kawasan Situgunung antara lain owa jawa (Hylobates moloch), lutung jawa (Trachypitecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kucing hutan (Felis bengalensis), Macan tutul jawa (Panthera pardus melas), surili (Presbytis comata), landak (Hystrix brachyura), babi hutan (Sus scrofa), muncak (Muntiacus muntjak), teledu kancil (Tragulus javanicus), dan beragam jenis fauna lainnya (Dishut Jabar 2007).
7
METODE Waktu dan Tempat Pengambilan sampel feses dilakukan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) pada bulan Januari–Februari 2014 dan Situgunung Park, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) pada bulan Mei 2013 dan Maret–Juni 2014. Analisis sampel feses dilakukan di Laboratorium Helminthologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah kantung plastik, penggaris, pinset, sarung tangan, spidol permanen, coolbox, ice pack, lemari es, gelas, sendok teh, saringan teh, gelas ukur 100 ml, mikroskop cahaya, tabung reaksi, kamar hitung McMaster, pipet, gelas objek, kaca penutup, gelas Bearmann, filter berukuran 450 µm, 100 µm, dan 30 µm, semprotan, dan timbangan digital. Sampel yang digunakan berupa feses Macan tutul jawa yang didapat dari PPSC dan Situgunung Park, TNGGP. Bahan-bahan yang digunakan adalah aquades dan larutan gula-garam jenuh.
Rancangan Penelitian Pengambilan sampel feses dilakukan di dua lokasi, yaitu Situgunung Park, TNGGP dan Pusat Penyelamatan Cikananga (PPSC). Sampel feses dari PPSC dikoleksi dua hari sekali selama dua minggu berturut-turut dengan selang dua hari sekali. Terdapat empat individu Macan tutul jawa yang terdiri atas tiga individu jantan dan satu individu betina yang masing-masing terletak pada kandang terpisah. Sampel feses dari Situgunung Park, TNGGP dilakukan dengan cara berjalan melintasi jalur yang telah ada. Pengamatan dilakukan selama dua bulan dengan metode transek walk. yaitu dengan berjalan di sepanjang jalur yang telah ada dengan panjang dan lebar jalur tidak ditentukan. Sampel feses dianalisis laboratorik secara kuantitatif dan kualitatif untuk mengidentifikasi jenis serta menghitung persentase dan derajat infeksi cacing parasit gastrointestinal.
Teknik Parasitologi Pengambilan Sampel Feses diambil dengan menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam kantung plastik spesimen. Plastik spesimen diberi keterangan berupa nama sampel, tanggal, dan waktu pengambilan, kemudian langsung dimasukkan ke dalam coolbox.
8 Pemeriksaan Kuantitatif Pendugaan derajat kecacingan melalui penghitungan TTGT (telur tiap gram tinja) dengan menggunakan teknik modifikasi McMaster (Whitlock 1948). Penghitungan TTGT dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan : n : Jumlah telur cacing dalam kamar hitung bt : Berat tinja (gram) Vt : Volume total sampel (ml) Vh : Volume kamar hitung (ml) Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menghitung jumlah telur cacing Nematoda dan Cestoda pada kamar hitung McMaster. Sebanyak 4 gram sampel dicampurkan dengan 56 ml larutan gula-garam di dalam gelas dan diaduk sampai homogen. Campuran tersebut disaring menggunakan saringan teh secara berulang (3–5 kali). Setelah itu, larutan diambil dengan pipet dan dimasukkan perlahan ke dalam kamar hitung McMaster. Telur cacing yang terdapat di dalam kotak-kotak pada kamar hitung McMaster diamati dengan mikroskop. Faktor pengali pada metode ini adalah 50, sehingga setiap telur yang diamati pada kamar hitung mewakili 50 telur per gram tinja pada perhitungan akhir. Pemeriksaan Kualitatif Pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi cacing parasit. Pemeriksaan ini dilakukan dengan dua metode, yaitu flotasi sederhana dan saringan bertingkat. 1. Metode Flotasi Sederhana Sebanyak 4 gram sampel dicampurkan dengan 56 ml larutan gulagaram. Setelah itu, larutan disaring beberapa kali dengan menggunakan saringan. Setelah disaring, larutan tersebut dituang ke dalam tabung reaksi hingga penuh sampai membentuk meniskus. Kaca penutup ditempatkan di atas tabung reaksi tersebut dan didiamkan selama 10 menit. Kaca penutup diangkat dan ditaruh pada gelas objek kemudian diamati dengan mikroskop cahaya (Zajac dan Conboy 2012). 2. Metode Filtrasi (Saringan Bertingkat) Metode ini dilakukan untuk menyaring telur Trematoda. Sebanyak 4 gram sampel dicampurkan dengan 50 ml aquades dalam gelas dan diaduk hingga homogen. Larutan tersebut disaring dengan saringan teh. Setelah itu, sampel tersebut disaring dengan menggunakan filter dengan berukuran 450 µm, 100 µm, dan 30 µm. Residu yang tertinggal pada saringan 30 µm disemprot dan dibilas kemudian ditampung dalam gelas Bearmann dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 (Willingham, Johansen, dan Barnes 1998).
9 Analisis Data Jenis-jenis cacing gastrointestinal yang ditemukan dianalisis berdasarkan morfologo tipe telur menurut Ballweber (2001), Blagburn dan Dryden (1999), Urquhart et al. (1996), serta Zajac dan Conboy (2012). Persentase infeksi (perbandingan jumlah hewan yang terinfeksi dengan hewan bebas infeksi) dan derajat infeksi (jumlah telur tiap gram tinja/TTGT) dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Macan Tutul Jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan Situgunung Park (SGP) Jumlah Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di PPSC sebanyak empat ekor, satu di antaranya adalah memiliki varian warna melanistik atau biasa disebut macan kumbang yaitu Gungun. Profil Macan tutul jawa di PPSC disajikan pada Tabel 2. Tiga Macan tutul jawa (Dimas, Sawal, dan Gungun) dievakuasi ke PPSC karena adanya konflik antara macan tutul dengan masyarakat setempat, sedangkan Cal merupakan hasil sitaan dari penyelundupan satwa liar. Dimas dievakuasi dari hutan di Kecamatan Cireunghas, Sukabumi karena telah memangsa ternak warga, yaitu itik, ayam, dan kambing. Sawal dievakuasi dari Gunung Sawal, Ciremai karena mencemaskan warga dan telah memangsa kambing di perkampungan. Gungun dijerat oleh warga karena meresahkan warga di Kuningan, sehingga kaki kanan belakang Gungun harus diamputasi oleh tim medis PPSC. Cal diselamatkan dari selundupan satwa liar ke Thailand oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara dan menetap di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Sulawesi Utara sejak masih anakan dan dipindahkan ke PPSC pada tahun 2012. Tabel 2 Profil Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
Nama
Jenis Kelamin
Dimas
Jantan
Sawal
Jantan
Gugun
Jantan
Gn. Ciremai, Garut
Cal
Betina
PPS Tasikoki, Sulawesi Utara (Translokasi)
Asal Kec. Cireunghas, Sukaraja, Sukabumi (Evakuasi BKSDA Sukabumi) Gn. Sawal, Ciamis (Evakuasi BKSDA Ciamis)
Estimasi umur (tahun) 3-4
Tanggal kedatangan/ lama tinggal di PPSC 11-Des-12/ 14 bulan
8-10
16-Jul-13/ 7 bulan
10-11
19-Apr-05/ 8 tahun 10 bulan 12-Nov-12/ 15 bulan
7
Kausa Humananimal conflict
Bobot badan (saat datang) 25 kg
Humananimal conflict
±40 kg
Humananimal conflict sitaan penyelundupan
35 kg
21 kg
10
A
C
B
D
Gambar 2 Macan tutul jawa di Pusat Penyalamatan Satwa Cikananga, yaitu (A) Dimas, (B) Sawal, (C) Gungun, dan (D) Cal. Keempat macan tutul jawa tersebut masing-masing berada dalam kandang berukuran 8 m x 8 m dengan tinggi 4 m. Secara umum, komponen kandang terdiri dari jeruji yang terbuat dari baja, lantai tanah, tumbuhan, kolam untuk air minum, batang pohon dan bambu, serta enclosure kecil dengan lantai semen. Pakan yang diberikan pada Macan tutul jawa di PPSC antara lain karkas ayam, daging babi, dan kelinci hidup. Pada masa pengambilan sampel, pakan yang diberikan adalah karkas ayam dan tungkai babi. Pakan diberikan setiap dua hari sekali dengan bobot pakan 2.5 kg per individu macan. Macan tutul memakan seluruh karkas ayam bersama tulangnya, sedangkan untuk babi, tulang tidak dimakan. Hasil camera trap pada tahun 2011–2012 menunjukkan bahwa terdapat tiga individu Macan tutul jawa di kawasan Situgunung Park, yaitu macan kumbang dewasa dan macan tutul anakan yang tidak diketahui jenis kelaminnya, serta macan tutul dewasa berjenis kelamin jantan. Foto macan tutul A dan B pada gambar 3 didapat dari camera trap yang terpasang pada punggungan Panel, sedangkan macan tutul C berasal dari punggungan Pamengpeuk. Macan tutul jawa tertangkap pada camera trap pada sore sampai dini hari. Feses yang dikoleksi dapat berasal dari ketiga individu ini.
A
B
C
Gambar 3 Hasil camera trap di Situgunung, TNGGP. (A) Macan kumbang dewasa, (B) macan tutul dewasa, dan (C) macan tutul anakan (Dokumentasi Situgunung Park 2011).
Identifikasi Feses Macan Tutul Jawa Karakteristik feses yang dikoleksi dari Macan tutul jawa di PPSC dan SGP dideskripsikan berdasarkan ciri-ciri fisik feses yaitu warna, ukuran, konsistensi, dan kandungan sisa pakan yang tidak tercerna. Feses macan tutul berisi sisa pakan yang tidak tercerna meliputi rambut, bulu, dan remukan tulang. Selain itu, pada
11 feses macan tutul juga ditemukan daun atau rumput pada ujung feses yang runcing (Raharyono dan Paripurno 2001). Hal ini merupakan ciri khas pada feses macan tutul. Feses yang dikoleksi dari PPSC memiliki rentang diameter 1.95–3.52 cm pada pangkal bolusnya dan berisi tulang dan rambut dari pakannya. Selain itu, terdapat daun pada ujung yang runcing. Warna feses yang diamati beragam, yaitu kuning, cokelat, keputihan, dan keabu-abuan. Feses Macan tutul jawa di PPSC yang baru masih memiliki lendir mengkilap pada permukaanya. Akurasi hasil analisis koprologik dalam helmintologi memerlukan sampel feses dalam kondisi segar, namun hal ini sulit dilakukan bagi sampel asal satwa liar in-situ. Jumlah sampel feses yang dikumpulkan dari SGP sebanyak tiga sampel, dua di antaranya yaitu SGP-1 dan SGP-2 ditemukan pada jalur macan. Adapun satu sampel yang lain yaitu SGP-3 ditemukan di Camping ground Tegal Bungbuay. Kedua lokasi ini merupakan bagian dari Punggungan Panel. SGP-1 dan SGP-2 ditemukan pada hari yang sama, namun umur keduanya berbeda yaitu kurang lebih satu minggu. Sedangkan sampel SGP-3 ditemukan beberapa bulan setelahnya. Sampel SGP-1 dan SGP-2 berisi bulu burung, sedangkan feses SGP-3 berisi rambut mamalia kecil. Diameter feses yang ditemukan di SGP adalah 2.5 cm. Sampel dari SGP berumur kurang lebih satu sampai dua minggu. Satwa karnivora merupakan satwa nokturnal dan memiliki daerah jelajah yang luas, sehingga identitas sampel feses individual di habitat in-situ sulit ditentukan. Feses yang dikumpulkan dari SGP merupakan jejak yang ditinggalkan oleh satwa dan dapat diidentifikasi jenis hewan yang meninggalkan jejak tersebut, namun belum dapat menentukan individu hewan yang meninggalkan jejak. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan identitas Macan tutul jawa yang meninggalkan jejak tersebut. Berdasarkan karakter, waktu, serta lokasi sampel tinja dari SGP, peneliti tidak dapat menentukan bahwa sampel tersebut berasal dari tiga individu. Namun demikian, dalam analisis laboratorik sampel tersebut diasumsikan sebagai sampel yang independen. Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Macan Tutul Jawa Temuan Tipe Telur Cacing Gastrointestinal Berdasarkan hasil pemeriksaan feses secara kualitatif dan kuantitatif, ditemukan empat tipe telur, yaitu strongyloid, strongylid, trichurid, dan ascarid. Telur Strongyloides hanya ditemukan pada sampel feses Macan tutul jawa dari SGP, sedangkan telur tipe strongylid, trichurid, dan ascarid ditemukan pada Macan tutul jawa dari PPSC dan SGP. Jenis-jenis telur cacing hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3. Telur tipe srongylid yang diamati memiliki karakteristik berbentuk lonjong dan mengandung morula yang berbentuk seperti buah anggur (Zajac dan Conboy 2012). Sel-sel tersebut akan berkembang menjadi larva. Berdasarkan ciri-ciri morfologi telur, maka telur yang ditemukan adalah telur tipe strongylid. Telur tipe strongylid pada karnivora adalah Ancylostoma sp. dan Uncinaria sp. Telur tipe strongylid yang berasal dari spesies Ancylostoma caninum dan Uncinaria stenocephala pada macan tutul (Panthera pardus spp.) pernah dilaporkan oleh Shirbatte (2006), sedangkan Ancylostoma tubaeforme ditemukan pada macan tutul persia (Panthera pardus saxicolor) oleh Youssefi, Hoseini, dan Esfandiari (2010).
12
Tabel 3 Tipe telur cacing yang ditemukan pada Macan tutul jawa No.
1
2
3
4
Jenis telur
Tipe telur yang ditemukan
Tipe telur berdasarkan literatur
Deskripsi menurut pustaka
Trichurid
Berbentuk lonjong, memiliki sumbat pada kedua ujungnya, berwarna kuning atau cokelat (Urquhart et al. (Blagburn dan 1996) Dryden 1999) Strongylid Berbentuk elips, dinding sel halus, di dalamnya terdapat morula seperti anggur (Zajac dan Conboy (Zajac dan 2012) Conboy 2012) Ascarid Berbentuk bulat, berwarna gelap, dinding sel tebal (Zajac dan Conboy 2012) (Zajac dan Conboy 2012) Strongyloides Tidak Berbentuk oval, terdokumentasi dinding sel tipis, ukuran lebih kecil dari tekur strongylid, (Zajac dan terdapat larva dalam Conboy 2012) telur (Urquhart et al. 1996)
Trichurid merupakan cacing nematoda yang disebut juga sebagai cacing cambuk (whipworm). Telur tipe trichurid berwarna cokelat, memiliki polar cap pada kedua ujungnya dengan dinding sel yang licin serta berwarna kuning atau cokelat. Trichuris vulpis dewasa menginfeksi sekum dan usus besar (Zajac dan Conboy 2012). Telur yang ditemukan dalam penelitian ini adalah telur tipe trichurid. Telur tipe trichurid yang ditemukan pada karnivora adalah Trichuris sp. Shirbatte (2006) melaporkan adanya infeksi Trichuris vulpis dan Trichuris trichuria pada macan tutul di India. Telur Strongyloides berbentuk oval dengan dinding sel yang tipis dan mengandung larva. Rute infeksi dari cacing ini adalah melalui infeksi pada kulit (perkutan) (Ballweber 2001). Cacing ini dapat menjadi parasit atau hidup bebas. Cacing Strongyloides sp. yang bertindak sebagai parasit adalah cacing betina.
13 Larva akan berkembang menjadi cacing jantan yang hidup bebas dan cacing betina (Urquhart et al. 1996). Ascarid merupakan jenis cacing yang umum menginfeksi hewan maupun manusia. Ascarid yang menginfeksi anjing dan kucing adalah genus Toxocara dan Toxascaris. Keduanya merupakan cacing parasit pada usus halus. Telur Toxocara berbentuk bulat dengan warna gelap memiliki embrio sel tunggal yang dilindungi oleh dinding yang tebal, sedangkan telur Toxascaris memiliki bentuk lonjong dan warna yang lebih terang (Zajac dan Conboy 2012). Berdasarkan ciri-ciri morfologi, telur yang ditemukan pada penelitian ini adalah telur Toxocara. Jenis cacing ascarid yang dilaporkan oleh Shirbate (2006) menginfeksi macan tutul adalah Toxocara cati dan Toxascaris leonina. Persentase Kecacingan Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh individu Macan tutul jawa, baik di PPSC maupun SGP terinfeksi cacing gastrointestinal. Macan tutul jawa yang terdapat di PPSC terinfeksi cacing jenis strongylid, trichurid, dan ascarid, sedangkan Macan tutul jawa di SGP terinfeksi jenis strongylid, trichurid, Strongyloides, dan ascarid. Total persentase infeksi tertinggi berturut-turut adalah strongylid (85.71%), diikuti oleh trichurid dan ascarid (57.14%). Adapun infeksi Strongyloides (28,57%) merupakan persentase infeksi terendah hanya ditemukan di SGP. Satu dari empat Macan tutul jawa yang terdapat di PPSC terinfeksi oleh satu jenis cacing yaitu ascarid pada Cal. Adapun tiga lainnya terinfeksi jenis campuran (Tabel 4). Seluruh macan di PPSC bebas infeksi Strongyloides. Seluruh sampel asal SGP terinfeksi strongylid dan trichurid, dua di antaranya terinfeksi Strongyloides, sedangkan infeksi ascarid hanya ditemukan pada satu sampel. Semua jenis cacing yang ditemukan adalah kelas Nematoda yang memiliki siklus hidup langsung. Kelompok cacing tersebut dikenal sebagai Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing gastrointestinal tersebut ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi telur atau larva infektif asal hewan terinfeksi. Infeksi STH umum ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia dengan predisposisi sanitasi yang buruk. Dengan demikian, lingkungan hidup satwa liar in-situ dapat mendukung kelangsungan hidup STH. Fase infektif dari STH adalah telur dan larva dari tinja. Faktor lingkungan utama yang mendukung hidup telur dan larva di lingkungan adalah suhu dan kelembaban. Suhu optimal bagi larva Nematoda untuk berkembang berkisar antara 18–26oC dengan kelembaban optimal 80% sampai 100%. Suhu optimal bagi telur cacing ascarid adalah 22–26oC, namun telur ascarid dapat bertahan pada temperatur ekstrim selama lebih dari 4 tahun (Urquhart et al. 1996). Larva Strongyloides dapat bertahan sampai 4 bulan di lingkungan, namun tidak dapat bertahan pada kondisi dingin dan kering (Junquera 2014). Larva cacing strongylid beberapa minggu dengan kelembaban optimal dan terlindung dari cahaya matahari. Larva strongylid yang terpapar cahaya matahari dan berada dalam kondisi kering akan mati (Urquhart et al. 1996). Telur trichurid dapat bertahan selama 5 tahun dalam kondisi optimal untuk bertahan hidup menurut Craig (1998). Suhu di bawah 5 oC akan menyebabkan pergerakan dan metabolisme L3 Nematoda minimal. Kondisi ini menyebabkan larva untuk bertahan hidup (Urquhart et al. 1996)
14 Kondisi lingkungan Indonesia yang tropis merupakan lingkungan yang cocok bagi perkembangan cacing dengan kelembaban tinggi dengan suhu yang hangat. Lingkungan kandang macan tutul di PPSC disesuaikan dengan habitatnya dengan lantai tanah, tumbuhan lebat, dan dilengkapi dengan sumber air berupa kolam. Kandang Macan tutul jawa di PPSC tidak dibersihkan setiap hari, sehingga banyak feses yang tersebar di dalam kandang. Kondisi ini cocok bagi perkembangan cacing kelompok STH di lingkungan PPSC. Derajat Infeksi Kecacingan Penghitungan telur tiap gram tinja (TTGT) dilakukan untuk mengetahui derajat infeksi cacing gastrointestinal. Ghoke et al. (2012) menyatakan bahwa infeksi cacing gastrointestinal pada karnivora liar dengan nilai >500 TTGT masuk dalam katagori infeksi berat dan dibutuhkan pengobatan segera. Kisaran jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada Macan tutul jawa di PPSC dan SGP disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kisaran jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) dan Situgunung Park (SGP) No
1 2 3 4 5 6 7
Nama Kisaran TTGT (telur tiap gram tinja) Macan Strongylid Strongyloides Trichurid Ascarid Trematoda Tutul Jawa C-Dimas 50 0 <50-3400 0 0 C-Sawal <50-8825 0 <50-3750 <50 0 C-Gungun <50 0 0 <50 0 C-Cal 0 0 0 <50 0 SGP-1 400 700 <50 0 0 SGP-2 <50 1100 100 0 0 SGP-3 100 0 50 <50 0
C: Macan dari PPSC, SGP: Macan dari Situgunung Park.
Hasil pemeriksaan dengan metode McMaster menunjukkan bahwa infeksi berat terjadi pada infeksi strongylid di PPSC, Strongyloides di SGP, dan trichurid di PPSC. Infeksi ascarid tergolong ringan pada kedua lokasi. Infeksi berat strongylid terdapat pada C-Sawal. SGP-1 dan SGP-2 mengalami infeksi berat cacing Strongyloides, sedangkan infeksi berat trichurid dialami oleh C-Dimas dan C-Sawal. Macan tutul jawa, baik di PPSC maupun di SGP bebas infeksi cacing Trematoda. Kisaran TTGT strongylid pada C-Sawal tinggi, yaitu <50–8825 TTGT. CGungun juga terinfeksi telur tipe strongylid, namun derajat infeksinya sangat rendah sehingga nilai TTGT pada C-Gungun adalah <50 TTGT. C-Cal tidak terinfeksi cacing strongylid. Macan tutul jawa di SGP terinfeksi oleh telur tipe strongylid dengan hasil 400 TTGT pada SGP-1 dan 100 TTGT pada SGP-3. SGP2 terinfeksi oleh telur tipe strongylid dengan derajat infeksi sangat rendah. Rute transmisi dari hookworm adalah melalui penetrasi larva infektif pada kulit (perkutan), ingesti larva tahap 3 (L3) dari lingkungan dan inang paratenik (peroral),
15 serta rute transmamari pada anak anjing. Rute transmamari hanya terjadi pada infeksi Ancylostoma caninum (Ballweber 2001). Hookworm merupakan cacing penghisap darah pada usus halus, sehingga infeksi hookworm dapat menyebabkan anemia, kehilangan berat badan, diare, hipoproteinemia, hingga kematian pada anjing dan kucing. Kisaran TTGT trichurid pada C-Dimas dan C-Sawal tinggi dengan nilai berturut-turut <50–3400 TTGT dan <50–3750 TTGT. C-Cal dan C-Gungun tidak terinfeksi cacing trichurid. Macan tutul jawa di SGP terinfeksi cacing tipe trichurid pada SGP-2 dan SGP-3 dengan jumlah telur berturut-turut 100 TTGT dan 50 TTGT. SGP-1 terinfeksi cacing tipe trichurid dengan derajat infeksi yang sangat rendah. Rute transmisi dari cacing Trichuris sp. adalah ingesti langsung dari telur infektif pada lingkungan. Gejala yang ditimbulkan dari cacing Trichuris sp. adalah asimptomatis pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi berat dapat menyebabkan anemia, diare, dan kehilangan berat badan (ESCCAP 2010). Telur Strongyloides ditemukan pada Macan tutul jawa di SGP pada SGP-1 dan SGP-2 dengan jumlah telur berturut-turut 700 TTGT dan 1100 TTGT. SGP-3 dan seluruh Macan tutul di PPSC tidak terinfeksi cacing Strongyloides. Rute transmisi dari cacing ini adalah infeksi larva dari lingkungan secara perkutan (ESCCAP 2010). Cacing dewasa ditemukan di duodenum proksimal jejunum. Jika jumlah cacing yeng menginfeksi tinggi, maka dapat menyebabkan enteritis kataralis yang akan mengganggu proses digesti dan absorbsi nutrien (Urquhart et al. 1996). Infeksi ascarid pada Macan tutul jawa di PPSC maupun SGP tergolong ringan, yaitu <50 TTGT. Tipe telur ini ditemukan pada C-Sawal, C-Gungun, dan C-Cal di PPSC serta SGP-3 di SGP. Jenis ascarid pada kucing Toxocara cati dan Toxascaris leonina. Hewan dapat tertular Toxocara melalui rute transplasental, transmamari, dan ingesti telur infektif secara langsung maupun melalui inang paratenik. Penularan Toxascaris hanya melalui ingesti telur infektif secara langsung atau melalui inang paratenik saja. Cacing ini dapat menyebabkan diare dan muntah terutama pada anak kucing dan anjing (Ballweber 2001). Infeksi Toxocara sp. berupa asimptomatis pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi berat dapat menyebabkan kekurusan dan gejala pot-bellied pada anak anjing dan kucing. Infeksi yang sangat berat dapat menyebabkan penyumbatan pada usus dan intussesptio. Sementara infeksi Toxascaris sp. asimptomatis (ESCCAP 2010). Infeksi Trematoda pada Macan tutul jawa, baik di PPSC maupun di SGP tidak ditemukan. Hal ini berkaitan dengan siklus hidup Trematoda yang memerlukan inang antara berupa siput. Oleh sebab itu, tidak adanya inang antara menyebabkan tidak adanya siklus hidup Trematoda. Selain itu, masa inkubasi Trematoda membutuhkan waktu selama beberapa minggu, sehingga tidak adanya telur menunjukkan cacing belum mencapai tahap dewasa. Berdasarkan sejarah keberadaan macan tutul Dimas, Sawal, Gungun, dan Cal di PPSC, Gungun merupakan Macan tutul jawa yang paling lama menetap di PPSC, sedangkan Dimas dan Cal datang tujuh tahun setelahnya dan disusul oleh Sawal pada tahun berikutnya. Dimas dan Sawal berasal dari hutan dan baru ditempatkan di PPS Cikananga kurang lebih satu tahun. Macan tutul Gungun juga berasal dari alam, namun Gungun telah dibawa ke PPSC Cikananga sejak tahun 2005. Macan tutul Cal diperkirakan sudah berada di tangan manusia sejak berusia satu tahun dan menetap di PPS Tasikoki, Sulawesi Utara selama kurang lebih
16 enam tahun. Infeksi cacing parasit gastrointestinal pada Macan tutul jawa dapat berasal dari habitatnya. Macan tutul jawa di SGP positif terinfeksi cacaing parasit gastrointestinal di habitatnya. Kandang di PPSC dibuat sama seperti habitat macan tutul sehingga siklus cacing parasit masih dapat berkembang di dalam kandang. Oleh karena itu, bentuk pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan terhadap cacing parasit harus tetap dilakukan. Kondisi fisik Macan tutul jawa di PPSC cukup baik ditandai dengan tingkah laku yang aktif dan masih agresif sesuai dengan sifat alami Macan tutul jawa di habitatnya. Salah satu gejala klinis dari infeksi cacing gastrointestinal adalah kekurusan. Gungun dan Cal yang memiliki kisaran TTGT rendah memiliki karakteristik tubuh yang relatif sama dengan Dimas dan Sawal yang terinfeksi cacing gastrointestinal dengan nilai TTGT yang tinggi. Oleh karena itu, infeksi cacing tidak menimbulkan gejala klinis yang signifikan. Selain itu, konsistensi feses juga tidak menunjukkan gejala diare. Sehingga tingkat kecacingan pada Macan tutul jawa di PPSC tidak menunjukkan gejala klinis yang patognomonis. Tingginya nilai TTGT menunjukkan banyaknya individu cacing yang menginfeksi Macan tutul jawa. Semakin banyak cacing, maka semakin banyak zat gizi dan darah yang diserap oleh cacing, sehingga berkurang pula gizi yang diterima oleh individu Macan tutul jawa. Infeksi cacing gastrointestinal umumnya adalah kronis. Infeksi ringan pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis yang signifikan. Gejala klinis dapat timbul tergantung pada beberapa faktor, salah satunya adalah status gizi hewan. Status gizi yang baik akan menyebabkan gejala klinis yang disebabkan oleh helminthosis tidak terlihat. Namun demikian, pengendalian cacing gastrointestinal harus tetap dilakukan walaupun tidak menimbulkan gejala klinis yang signifikan.
Pengendalian Helminthosis Pengendalian penyakit kecacingan (helminthosis) pada hewan memerlukan kombinasi dari manajemen dan pemberian anthelmintik yang cocok. Transmisi cacing parasitik kelompok STH melalui tanah yang terkontaminasi telur atau larva asal feses hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu, tindakan preventif berupa sanitasi kandang perlu dilakukan pada lingkungan satwa guna memberantas agen infektif berupa larva maupun telur cacing yang terdapat di kandang. Tindakan preventif yang dilakukan di PPSC adalah dengan membersihkan kandang secara manual dan desinfeksi menggunakan zat kimia sebanyak satu kali dalam dua minggu. Sebaiknya kandang juga dibersihkan setiap hari untuk mencegah perkembangan lebih lanjut dari telur maupun larva helminth pada feses. Kondisi kandang di PPSC merupakan kondisi yang optimal bagi perkembangan STH. Oleh karena itu, kebersihan kandang harus diperhatikan untuk mencegah infeksi cacing gastrointestinal karena larva dan telur infektif dapat bertahan lama pada kondisi yang optimal. Tindakan lainnya adalah dengan melakukan pemeriksaan feses secara berkala. Hal tersebut dilakukan sebagai dasar pengobatan kecacingan dan perbaikan manajemen. Tindakan ini berguna untuk menentukan obat cacing yang tepat untuk digunakan berdasarkan telur cacing yang ditemukan pada pemeriksaan feses. Tindakan pengobatan dilakukan dengan memberikan obat cacing pada
17 satwa. Pemberian anthelmintik merupakan tindakan terapeutik dan profilaktik dalam pengendalian kecacingan. Penggunaan anthelmintik sebaiknya diulang pada interval yang sesuai dan efektif bagi helminth yang menginfeksi hewan. Hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan helminthosis adalah pengetahuan tentang rute transmisi cacing parasit.Tindakan kuratif yang telah dilakukan di PPSC adalah dengan memberikan obat cacing tiga bulan sekali. Pemberian anthelmintik sebaiknya dilakukan secara berulang. Hal ini didasarkan pada siklus hidup helminth yang memerlukan waktu untuk menjadi dewasa dan cara kerja anthelmintik. Cacing Trichuris sp. memiliki masa inkubasi yang panjang sebelum berkembang menjadi tahap infektif yaitu 2-4 minggu dan menjadi dewasa selama 11 minggu sehingga penangannya adalah dengan memberikan anthelmintik berulang karena memiliki masa prepaten yang lama (Craig 1998). Seluruh satwa yang terdapat di PPS Cikananga mendapatkan penanganan berupa deworming setiap tiga bulan sekali. Anthelmintik yang digunakan untuk macan tutul jawa adalah praziquantel, fenbendazol, oxibendazol, ivermectin, milbemycin oxime, pyrantel embonate, dan niclosamida. Praziquantel merupakan antihelminth yang efektif untuk cacing cestoda. Praziquantel berinteraksi dengan fosfolipid pada integumen cacing cestoda yang menyebabkan adanya ketidakstabilan aliran ion natrium, kalium, dan kalsium. Fenbendazole efektif untuk memberantas cacing ascarid, hookworm, dan tapeworm, sedangkan oxibendazole hanya efektif untuk roundworm. Keduanya memiliki cara kerja yang sama yaitu dengan mencegah terjadinya metabolisme pada sel tubuh cacing. Pada anjing dan kucing, ivermectin diberikan sebagai tindakan preventif untuk infeksi cacing jantung dan digunakan sebagai mikrofilarisida. Milbemycin oxime efektif untuk heartworm, hookworm, whipworm, dan roundworm dengan cara menghambat kerja neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) (Plumb 2008). Pyrantel embonate dapat menyebabkan paralisis pada cacing tambang dan cacing gilig. Niclosamida hanya efektif untuk cacing Cestoda dengan cara menghambat metabolisme cacing (Weinbach dan Garbus 1969). Untuk satwa yang akan dilepasliarkan, evaluasi terhadap infeksi parasit dilakukan pada masa karantina. Derajat infeksi yang tinggi dapat terjadi di kandang, sehingga perlu adanya kontrol terhadap infeksi parasit sebelum satwa dikembalikan ke alam. Selain itu, perlu juga adanya eliminasi dari parasit yang didapat dari kandang namun tidak ditemukan di lokasi pelepasliaran (Woodford 2000). Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya infeksi baru di daerah pelepasliaran. Manajemen penyakit di alam menurut Wobeser (2002) berupa tindakan preventif, kontrol, eradikasi, dan tidak melakukan apapun (laissez-faire). Tindakan preventif dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit pada populasi atau individu yang tidak terinfeksi, tindakan kontrol dilakukan untuk mengurangi frekuensi kejadian penyakit, eradikasi dilakukan untuk mengeliminasi suatu penyakit, sedangkan laissez-faire merupakan tindakan tidak melakukan manajemen aktif dan merupakan metode terbaik jika peluang keberhasilan tindakan lainnya telah dipertimbangakan. Pada umumnya, lebih mudah untuk melakukan tindakan preventif daripada melakukan eradikasi dan kontrol. Perbaikan habitat merupakan tindakan yang baik sebagai tindakan preventif jangka panjang. Habitat yang baik akan menjaga kelangsungan hidup satwa
18 sehingga dapat menjaga ketahanan tubuh Macan tutul jawa terhadap infeksi cacing gastrointestinal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jenis cacing gastrointestinal yang menginfeksi Macan tutul jawa di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Situgunung Park berturut-turut yang sering ditemukan adalah jenis strongylid, trichurid, ascarid, dan Strongyloides. Adapun derajat infeksi tertinggi berturut-turut yaitu strongylidosis di PPSC, strongyloidosis di SGP, dan trichuridosis di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga. Saran Pemberian anthelmintik disesuaikan dengan jenis infeksi cacing parasit berdasarkan hasil pemeriksaan koprologis. Dua Macan tutul jawa di PPSC memiliki derajat infeksi yang tinggi namun tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi berat. Namun demikian, perlu adanya monitoring secara periodik sebagai bagian dari program pengendalian helminthosis.
DAFTAR PUSTAKA Ario A, Sunarto S, dan Sanderson J. 2008. Panthera pardus spp. melas. IUCN Red List of Threatened Species [Internet]. Februari 2013; [diunduh 2014 Januari 12]. Tersedia pada: http//:www.iucnredlist.org. Ario A, Eryan H, dan Supian. 2009. Protection and Monitoring of the Endangered Species of Javan Leopard (Panthera pardus melas) in Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. Jakarta: Conservation International Indonesia. Arrayyansyah AF. 2014. Infeksi cacing gastrointestinal pada Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [Balai TNGGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. 2011. Mt. Gede Pangrango National Park: Information Book Series. Cibodas: Balai TNGGP. Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitology. Woburn: Butterworth-Heinenmann. Blagburn BL dan Dryden MW. 1999. Pfizer Atlas of Veterinary Clinical Parasitology. Delaware: The Gloyd Group, Inc. Craig TM. 1998. Gastrointestinal Parasites of Small Animals. Di dalam: Aiello SE, editor. The Merck Veterinary Manual Eighth Edition. New Jersey: Merck & Co., Inc. Dare OK, and Watkins WG. 2012. First record of parasites from Cougars (Puma concolor) in Manitoba, Canada. Canadian Field-Naturalist. 126(4): 324– 327.
19 [Dishut Jabar] Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 2007. Taman Wisata Alam Situ Gunung. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat [Internet]. [diunduh 2015 Februari 9]. Tersedia pada: http://www.dishut.jabarprov.go.id /25index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=473&idMenu486.htm. [ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2010. ESCCAP Guideline No. 1: Worm Control in Dogs and Cats 2nd Edition. Worcestershire: ESCCAP. [GBIF] Global Biodiversity Information Facility. 2013. Panthera pardus melas. GBIF Backbone Taxonomy [Internet]. [diunduh 2014 Januari 12]. Tersedia pada: http://www.gbif.org/species/5219441. Ghoke SS, Naikwade BS, Thorat KS, Jogdand NK, dan Kalaskar PS. 2012. Incidence of helminthic infection in captive carnivores of Sidhharth Municipal Zoo, Aurangabad, Maharashtra. Zoo’s Print. 27(3): 25. Guggisberg C. 1975. Wild Cats of the World. New York: Taplinger Publishing Company. Hunt A. 2011. Panthera pardus. Animal Diversity Web [Internet]. [diunduh 2013 Desember 4]. Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz.umich. edu/accounts/Panthera_pardus/. Hunter L dan Hinde G. 2005. Cats of Africa: Behavior, Ecology, and Conservation. London: New Holland Publisher. Junquera P. 2014. Strongyloides spp., Parasitic Threadworms of Dogs and Cats. Parasitipedia [Internet]. [diunduh 2015 April 27]. Tersedia pada: http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id =2600&Itemid=2882.htm. Laman T dan Knott C. 1997. An observation of leopard (Panthera pardus) mating behavior in Serengeti National Park, Tanzania. African J of Ecology. 35(2): 165-167. Maryanto I, Anang SA, dan Agus PK. 2008. Mamalia Dilindungi PerundangUndangan Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Plumb DC. 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th Edition. Iowa: Blackwell Publishing. Raharyono D dan Paripurno ET. 2001. Berkawan Harimau Bersama Alam. Yogyakarta: KAPPALA Indonesia. Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakart: Sekretariat Negara. Shirbhate MV. 2006. Predator-prey relationship and parasitic infections in wild animals from Melghat (Satpuda) [tesis]. Amravati: Sant Gadge Baba Amravati University. Uphykirna O, Johnson WE, Quigley H, Miquelle D, Marker L, Bushs M, dan O’Brien SJ. 2001. Phylogenetics, genome diversity, and origin of modern leopard, Panthera pardus. Mol. Ecology. 10: 2617–2633. Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, dan Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitology 2nd Edition. Oxford: Blackwell Science. Weinbach EC dan Garbus J (1969). Mechanism of action of reagents that uncouple oxidative phosphorylation. Nature. 221(5185): 1016-1018. Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH. 1998. A new technique for counting Schistosoma japonicum egg in pig feces. SE Asian J Trop Med Pub Health. 29(1): 128-130.
20 Wobeser G. 2002. Disease management strategies for wildlife. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 21(1): 159-178. Woodford MH. 2000. Quarantine and Health Screening Protocols for Wildlife prior to Translocation and Release into the Wild. Gland: IUCN Species Survival Commission’s Veterinary Specialist Group. Whitlock HV. 1948. Some modifications of the McMaster helminth egg-counting technique and apparatus. J.Counc. Sci. Ind. Res. 21: 177–180. Youssefi MR, Hoseini SH, dan Esfandiari B. 2010. Intestinal parasite of persian leopard (Panthera pardus saxicolor) in Iran. World J of Zool. 5(2): 122124. Zajac AM dan Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology Eight Edition. West Sussex: John Wiley & Sons, Inc.
21
LAMPIRAN Lampiran 1 Denah kawasan Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga. Sumber: Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (2009).
Lampiran 2 Peta jalur pengamatan di Situ Gunung Park. Sumber: Uni Konservasi Fauna (2013).
22 Lampiran 3 Kondisi kandang Macan tutul jawa Dimas (A), Sawal (B), Gungun (C), Cal (D) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
A
B
C
D
Lampiran 4 Kondisi jalur pengamatan di Situgung Park, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (Punggungan Panel)
05/02/2014 Str Tri 1 17 50 850 6 0,5 300 25 0 0 0 0 0 0 0 0
07/02/2014 Str Tri 0 3 0 150 4 13 200 650 0 0 0 0 0 0 0 0
09/02/2014 Str Tri 0 2 0 100 35 12 1750 600 0 0 0 0 0 0 0 0
11/02/2014 Str Tri 0 10 0 500 176,5 54,5 8825 2725 0 0 0 0 0 0 0 0
Strylid 2 100 0 0 2 100
Tri 0 0 2 100 1 50
Strloid: Strongyloid, Strylid: Strongylid, Tri: Trichurid
SGP-1 TTGT SGP-2 TTGT SGP-3 TTGT
Strloid 14 700 22 1100 0 0
Lampiran 6 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) Macan tutul jawa di Situgunung Park
Str: Strongyloid, Tri: Trichurid
Nama Dimas-1 TTGT Sawal-1 TTGT Gungun-1 TTGT Cal-1 TTGT
03/02/2014 Str Tri 0 68 0 3400 41 11 2050 550 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 5 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) Macan tutul jawa di PPSC 13/02/2014 Str Tri 0 2 0 100 0 7 0 350 0 0 0 0 0 0 0 0
15/02/2014 Str Tri 0 0 0 0 19 75 950 3750 0 0 0 0 0 0 0 0
23
24
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Riris Prawesti Suratno merupakan putri keempat dari empat bersaudara dari Bapak Suratno dan Ibu Nani Sumarni. Penulis dilahiran di Depok pada tanggal 5 September 1992. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Mekarjaya XXX Depok (2004), SMP Negeri 3 Depok (2007), SMA Negeri 1 Depok (2010) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2010. Selama kuliah di IPB, penulis merupakan anggota aktif dari Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB sebagai sekretaris Bidang Keilmuan (2011-2012) dan kepala Bidang Keilmuan (2013-2014) serta anggota dari Divisi Konservasi Karnivora. Selain itu, penulis juga merupakan anggota dari Cluster Wild Carnivore HIMPRO Satwaliar FKH IPB.