1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup mulai dari hutan hujan tropis hingga savana yang gersang, dan dari pegunungan hingga batas pemukiman (Bailey, 1993). Sedangkan dari aspek topografi dan iklim, macan tutul memiliki toleransi tinggi terhadap variasi kelerengan, temperatur, dan curah hujan (Ramesh dkk., 2009). Macan tutul terbagi menjadi sembilan sub spesies. Dari sembilan sub spesies tersebut, terdapat satu sub spesies yang terdapat di Indonesia, yaitu macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809). Meskipun memiliki daya adaptasi tinggi, macan tutul Jawa memiliki distribusi habitat yang terbatas, yaitu meliputi Pulau Jawa, Pulau Nusakambangan, dan Pulau Kangean (Anonim, 1982). Perkiraan populasi macan tutul Jawa di Pulau Jawa saat ini berkisar antara 491,3 – 546,2 individu (Ario, 2010), perkiraan dilakukan berdasarkan luas hutan alam di Pulau Jawa yang hanya tersisa 13,68% atau seluas 3.277,33 km² yang terdiri dari beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, dan taman hutan raya. Selain tersebar di pulau Jawa, macan tutul Jawa juga tersebar di pulau kecil sekitarnya yaitu pulau Nusakambangan dan pulau Kangean. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Peduli Karnivor Jawa (PKJ) pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 20 individu
2
macan tutul Jawa di Pulau Nusakambangan. Sedangkan untuk Pulau Kangean belum terdapat informasi mengenai jumlah individu macan tutul Jawa. Sub spesies macan tutul Jawa termasuk satwa yang dilindungi UU No.5 tahun 1990 melalui PP. No 7 tahun 1999. Sedangkan dalam skala internasional spesies macan tutul masuk dalam red list IUCN dimana kondisinya terancam karena tren populasinya yang terus menurun (IUCN, 2015). Kemudian untuk status perdagangan internasional macan tutul masuk dalam Appendix 1 (CITES, 2015), sehingga perdagangan macan tutul diatur secara ketat dan hanya diperbolehkan untuk penelitian ilmiah. Meskipun termasuk satwa yang dilindungi, namun sampai saat ini informasi mengenai macan tutul Jawa masih sangat sedikit (Seidensticker dkk., 1980, Syahrial dan Sakaguchi, 2003, Ario, 2006, 2007, Gunawan dkk., 2009). Selain itu penelitian yang dilakukan masih terfokus pada populasi yang ada di Pulau Jawa. Mengingat salah satu persebaran penting macan tutul Jawa ada di pulau Nusakambangan, ekologi macan tutul Jawa di pulau kecil ini sangat penting untuk dipahami. Predator yang berukuran besar namun hidup pada pulau yang kecil memiliki resiko terjadi kepunahan yang lebih cepat daripada yang berukuran kecil (Indrawan dkk., 2007). Macan tutul Jawa sebagai mammalia predator membutuhkan ruang yang luas sebagai wilayah jelajahnya, sementara pulau yang kecil tidak mampu menampung dalam jumlah yang besar, sehingga kepunahan alami akibat kompetisi sangat mungkin terjadi. Sebagai karnivora besar, keberadaan macan tutul memiliki arti penting dalam ekosistem, yaitu sebagai top perdator dalam rantai makanan. Salah satu
3
fungsi top predator dalam ekosistem adalah sebagai pengendali populasi satwa, terutama satwa yang menjadi mangsanya. Dengan menjaga kepadatan mangsa dibawah daya dukung habitat maka keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga (Schwarz dan Fischer, 2006). Macan tutul merupakan predator yang memiliki karakter generalis (Hanski dkk., 1991). Predator generalis membutuhkan variasi jenis mangsa yang lebih tinggi dan mampu hidup di berbagai tipe habitat tanpa tergantung dengan habitat mangsanya. Meskipun mampu memangsa berbagai jenis satwa, macan tutul memiliki preferensi mangsa berukuran sedang dengan berat antara 10 hingga 45 kg (Hayward dkk., 2006), dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg (Hart dkk., 1996) yang terdiri dari 53,5% ungulata dan 25,4% primata. Sedangkan menurut Karanth dan Sunquist (1995) mangsa macan tutul berimbang antara ungulata dan primata, dengan total 89-98% dari satwa yang dimangsa. Karena itu untuk memenuhi kebutuhan pakannya, macan tutul memerlukan daerah jelajah yang luas, bahkan untuk mencari mangsa seekor macan tutul mampu bergerak 5-8,6 km dalam satu hari (Gray, 2013). Sampai saat ini sudah banyak penelitian mengenai mangsa macan tutul di kawasan yang berada di daratan luas atau pulau besar, seperti di Taman Nasional Meru Betiri (Seidensticker dkk., 1980); Afrika Selatan (Swanepoel, 2008); Taman Nasional Bukit Mukandara, Rajasthan, India (Meena dkk., 2013); bagian barat Maharashtra, India (Athreya dkk., 2014); dan Taman Nasional Machiara, Azad Jammu dan Kashmir di Pakistan (Chattha dkk., 2015). Namun penelitian mangsa macan tutul di pulau kecil seperti Pulau Nusakambangan masih jarang dilakukan.
4
Sebagai habitat macan tutul Jawa, Pulau Nusakambangan hanya memiliki luas 121 km², lebih kecil dibandingkan dengan habitat macan tutul lain seperti di Pulau Jawa, daratan Asia, maupun daratan Afrika. Luasan pulau secara langsung akan membatasi daya jelajah macan tutul (Gray, 2013). Sebagai predator generalis, macan tutul Jawa membutuhkan variasi jenis mangsa. Pada pulau kecil seperti Pulau Nusakambangan, variasi jenis satwa yang dapat dipilih sebagai mangsa kemungkinannya juga rendah. Menginat mangsa adalah salah satu komponen penting bagi kehidupan macan tutul Jawa, pengetahuan mengenai jenis mangsa bermanfaat dalam upaya melestarikan macan tutul Jawa di Pulau Nusakambangan. Dengan menjaga ketersediaan mangsa di habitatnya maka resiko punahnya macan tutul Jawa pada pulau ini dapat dikurangi.
1.2. Rumusan masalah Mangsa merupakan komponen penting dalam ekologi macan tutul. Sebagai satwa oportunis satwa ini mampu memangsa berbagai jenis satwa tergantung kepada
ketersediaan
mangsa
di
habitatnya
(Ott
dkk.,
2007).
Pulau
Nusakambangan yang berukuran relatif kecil merupakan habitat penting bagi macan tutul Jawa, namun informasi tentang jenis satwa yang dimangsa oleh macan tutul Jawa hingga saat ini belum tersedia. Oleh karena itu penelitian ini mencoba menjawab dua pertanyaan utama yaitu: a. Apa saja jenis mangsa dari macan tutul Jawa di pulau Nusakambangan? b. Jenis satwa apa saja yang potensial menjadi mangsa di pulau Nusakambangan?
5
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi mangsa macan tutul secara langsung adalah menggunakan metode identifikasi kotoran. Identifikasi kotoran dapat dilakukan dengan mengamati rambut mangsa yang terkandung dalam kotoran. Rambut dapat digunakan sebagai media untuk mengidentifikasi mangsa macan tutul karena pada umumnya rambut mangsa karnivora yang terkandung dalam kotoran tidak rusak setelah melalui proses pencernaan (Ramesh dkk., 2009). Pengamatan rambut dilakukan dengan dua cara, yaitu secara makroskopis dan secara mikroskopis. Selain menggunakan analisis kotoran, identifikasi mangsa macan tutul juga dapat dilakukan dengan mengamati jenis satwa yang terdapat di habitat macan tutul. Pengamatan dengan metode ini dilakukan untuk mengetahui jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul berdasarkan karakteristik satwa mangsa yang menjadi preferensi macan tutul.
1.3. Tujuan 1. Mengetahui spesies satwa yang menjadi mangsa macan tutul Jawa di Pulau Nusakambangan. 2. Mengetahui spesies satwa mangsa potensial bagi macan tutul Jawa di Pulau Nusakambangan.
1.4. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang ekologi macan tutul Jawa di pulau kecil. Pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan
6
sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen populasi satwa liar di habitat macan tutul Jawa. Pertimbangan yang dimaksud terkait dengan ketersediaan mangsa macan tutul Jawa di habitatnya, mengingat akhir-akhir ini banyak terdapat kasus masuknya satwa karnivora ke permukiman penduduk yang diperkirakan salah satu penyebabnya adalah kurangnya ketersediaan pakan di habitat alami.