POTENSI KEBERADAAN MANGSA MACAN TUTUL (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK
SUTOMO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN Sutomo (E03400060). Potensi Keberadaan Mangsa Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Dibimbing oleh Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA dan Ir. Agus. P. Kartono, M.Si. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 ditetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Perluasan mencakup Gunung Salak dan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Mengingat fungsi penting koridor bagi ekosistem didalamnya, keberadaan koridor harus dilindungi. Untuk mendukung perlindungan diperlukan data yang lengkap, dan strategi yang tepat. Salah satu strategi perlindungan dengan mengangkat fungsi penting koridor sebagai tempat mencari makan bagi jenis top predator, jenis langka dan dilindungi yaitu macan tutul. Tujuan penelitian untuk menjelaskan keberadaan mangsa macan tutul, baik jenis maupun kelimpahan setiap jenis di koridor. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk mendukung konservasi macan tutul, menggali nilai dan fungsi penting guna mendukung perlindungan habitat koridor. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diantaranya kelimpahan populasi owa jawa, kelimpahan populasi surili, kelimpahan populasi lutung, kelimpahan populasi babi hutan dan kelimpahan populasi muntjak. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti letak, luas, status lokasi penelitian, flora dan fauna di lokasi penelitian. Metode pengambilan data dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengambilan data langsung dengan metode jalur, systematic sampling with random start, IS 16 %. Metode terkonsentrasi dilakukan pada wilayah-wilayah yang diketahui menjadi daerah konsentrasi satwa. Pengumpulan data secara tidak langsung dengan metode jejak, dengan penghitungan 2 kali berturut-turut pada plot contoh yang dibuat. Ukuran plot contoh 1 x 1 m2 pada daerah-daerah yang menjadi jalur pergerakan satwa. Dilakukan juga analisis vegetasi untuk mengetahui komposisi vegetasi. Koridor merupakan rangkaian perbukitan yang menghubungkan habitat Gunug Halimun dan habitat Gunug Salak. Memiliki kelerengan rata-rata 30%, kategori kemiringan rumit, sangat curam dengan limpasan air cepat sampai sangat cepat sehingga rawan erosi. Tanah latosol coklat, salah satu jenis tanah dewasa dengan proses pembentukan horison B, kemampuan produksi tinggi karena unsur-unsur hara dalam tanah cukup tersedia, drainase baik sehingga sirkulasi udara dalam tanah berlangsung baik. Koridor merupakan daerah sumber air bagi kawasan dibawahnya, ada 13 aliran sungai di dalam kawasan koridor. Terdapat 5 jalan tembus dari perkampungan sisi utara dan selatan. Jalan yang paling lebar (3 m), jalan potong di tengah koridor. Empat jalan lainnya dengan lebar rata-rata 1,5 meter menjadi pembatas kedua ujung koridor dengan habitat G. Halimun dan G. Salak. Perpotongan oleh satu jalan utama di tengah koridor dengan dua di ujung barat dan timur membentuk koridor menjadi dua pulau habitat. Tumbuhan semak, perdu dan tumbuhan bawah mendominasi petak pengamatan semai. Berdasrkan 10 INP terbesar hanya tiga jenis yang termasuk dalam pepohonan. Harendong (Clidema hirta) memiliki kepadatan tertinggi (0,8464/3,2 ha). Jenis permudaan yang termasuk dalam 10 besar INP tingkat
semai antara lain kaliandra (Calliandra callothirsusa ) dan mara (Macaranga tanarius). Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi ole mara (Macaranga tanarius), kaliandra (Calliandra callothirsus), jirak (Sympolocos fasiculata) dan puspa (Schima walichii) memiliki INP (29,0700; 16,2355; 13,3586; 10,7716. Pada tingkat pertumbuhan tiang komposisi vegetasi didominasi kaliandra (Calliandra callothirsus) kayu afrika (Maesopsis emini), jirak (Sympolocos fasiculata), damar (Agathis damara) dan sampang (Evodia latifolia). Kemudian pada tingkat pertumbuhan pohon di dominasi jenis puspa (Schima walichii) dengan INP 88,84 %. Dari pengamatan lapangan secara langsung maupun tidak langsung dijumpai berbagai jenis satwa. Jenis yang sering dijumpai secara langsung maupun tidak langsung diantaranya dari kelompok primata, burung dan mamalia. Dari hasil inventarisasi diketahui ada 8 jenis mangsa macan tutul di koridor. Jenis-jenis itu antara lain surili (Presbytis aygula aygula), lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus), owa jawa (Hylobates moloch moloch), muntjak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), trenggiling (manis javanica), landak (Histrix javanica). Surili dijumpai pada seluruh jalur pengamatan baik di tengah, barat dan timur koridor, memiliki total populasi ±111 individu pada kisaran populasi 65157 individu. Lutung memiliki populasi terbesar dibandingkan dengan primata lain, ±197 individu pada kisaran populasi 134-259 individu dan kepadatan populasi rata-rata 0,62 individu/ha. Owa jawa memiliki sebaran populasi sempit dan jumlah populasi terkecil dibandingkan dengan primata lain, populasi ±37 individu dengan kisaran 12-62 individu. Total populasi babi hutan dari 14 daerah serangan dalam 5 wilayah pemukiman penduduk berjumlah 85 individu dengan 9 jantan, betina 6, anakan 39 dan tidak terdeteksi jenis kelamin dan masuk kelas umur dewasa 31 ekor. Trenggiling ±43 individu dengan kisaran populasi 19-67 individu. Populasi landak di koridor berkisar antara 13-86 individu dengan total populasi ±50 individu. Dari hasil pengamatan pada lokasi-lokasi yang sering terlihat kancil, terhitung ada 5 individu di kawasan koridor. Lokasi jejak ini di daerah semak belukar Pojok Goong, daerah perbatasan kebun teh Pojok adul, daerah Pasir bedil, daerah semak-semak Cisarua dan daerah tepi koridor Pasir pari. Berdasarkan hasil pengamatan jejak diduga populasi muntjak di koridor ada 6 ekor yaitu di daerah Growek, Cisaladah, Pasir pari, Cipicung dan Cisarua. Keberadaan macan tutul di koridor diketahui melalui jejaknya. Jejak di Growek dan Batu sisir berupa marking. Marking ini merupakan jejak berupa cakaran pada tanah hingga tercabut rumput di permukaan dengan kedalaman 23 cm, panjang 20-25 cm dan lebar 10-15 cm dan pada beberapa marking juga disertai dengan kotoran (faeces) dan bekas kencing. Marking yang ditemukan di tepi timur koridor diduga berasal dari habitat Gunung Salak berdasarkan arah marking yang menuju kawasan tersebut. Jenis yang di temukan markingnya di tepi barat arahnya menuju ke Gunung Halimun sehingga diduga kuat berasal dari habitat G. Halimun. Dari jejak yang dijumpai diduga hanya ada 2 ekor macan tutul yang mengunakan koridor sebagai tempat mencari mangsa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Biodiversity Conservation Indonesia dari bulan september 2004 hinga bulan Maret 2005 dengan memasang 11 titik kamera jebak dan hanya mendapatkan 2 individu macan dari growek dan dari Batu sisir yang dijumpai marking dalam pengamatan.
POTENSI KEBERADAAN MANGSA MACAN TUTUL (Panthera pardus melas Cuvier,1809) DI KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK
SUTOMO
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
: POTENSI KEBERADAAN MANGSA MACAN TUTUL (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK.
Nama Mahasiswa
: Sutomo
NRP
: E03400060
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Machmud Thohari, DEA. NIP : 130 891 377
Dosen Pembimbing II
Ir. Agus P. Kartono, M.Si. NIP : 131 953 388
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP : 131 430 799
Tanggal lulus : 17 Februari 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1981, sebagai anak tunggal keluarga Bapak Sukirman dan Ibu Sulastri. Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah: 1. Sekolah Dasar Negeri Tegalrejo VI, Wirosari, Grobogan lulus pada tahun 1994. 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Wirosari, Grobogan lulus pada tahun 1997. 3. Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Citeureup, Bogor lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan melalui program Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Sancang-Papandayan BKSDA Garut, KPH Ciamis (BKPH Pangandaran-BKPH Cijulang-BKPH Ciamis) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan Juli-Agustus 2003. Penulis melaksanakan Field Trip Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat pada bulan Februari 2004. Selanjutnya pada bulan Februari-Maret 2004, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HTI PT. Finnantara, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan penulis melaksanakan penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul: “Potensi Keberadaan Mangsa Macan tutul (Panthera pardus melas Cuvier 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun dan Gunug Salak ” dengan dosen pembimbing Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA. dan Ir. Agus P. Kartono, M.Si.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala karunia dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya tulis ini. Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang konservasi sumberdaya hutan dengan judul “Potensi Keberadaan Mangsa Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun dan Gunung Salak” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Kedua orang tua dan yang senantiasa memberikan dorongan semangat, doa dan pengorbanan baik moral maupun materi kepada penulis.
2.
Bapak Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA. dan Bapak Ir. Agus. P. Kartono, M.Si. selaku pembimbing.
3.
Kelurga besar Asrama Sylvalestari yang selalu menjadi sumber inspirasi dan motivasi.
4.
Organisasi Wanita Jerman Die Brucke dan PMD (Proyek Masa Depan) yang memberikan bantuan baik material dan spiritual. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu saran dan kritik selalu penulis harapkan untuk perbaikan. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman.
Bogor, Februari 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL......................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................... B. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... C. Manfaat Penelitian..........................................................................
II.
22 22 22 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Aksesibilitas di Koridor ....................................... B. Vegetasi di Koridor ......................................................................... C. Keanekaragaman Satwa di Koridor................................................ D. Mangsa Macan Tutul di Koridor ..................................................... E. Potensi Pakan Mangsa Macan Tutul di Koridor ............................. F. Keberadaan Macan Tutul di Koridor............................................... G. Gangguan Habitat di Koridor ..........................................................
VI.
19 19 19 20
METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ......................................................................... B. Alat dan Bahan ............................................................................... C. Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................ D. Metode Pengumpulan Data............................................................ E. Metode Analisis Data .....................................................................
V.
3 4 5 6 10
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Luas dan Letak Kawasan ............................................................... B. Topografi dan Jenis Tanah............................................................. C. Iklim ................................................................................................ D. Flora dan Fauna .............................................................................
IV.
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA A. Komunitas Biologi .......................................................................... B. Kepunahan Spesies ....................................................................... C. Koridor Habitat ............................................................................... D. Macan Tutul.................................................................................... E. Mangsa Macan Tutul ......................................................................
III.
ii iii iv v
28 30 34 36 46 53 55
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan..................................................................................... B. Saran ..............................................................................................
63 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
65
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di pulau jawa ....................
7
2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor ...................................................
31
3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor ................................................
32
4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor ......................................................
32
5. Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor ...................................................
33
6. Jenis- jenis satwa yang di jumpai di koridor ................................................
35
7. Vegetasi pakan surili dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor ....................................................................................................
47
8. Vegetasi pakan lutung dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor ....................................................................................................
48
9. Vegetasi pakan owa jawa dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor. .......................................................................................
49
10. Vegetasi pakan muntjak dan kancil di koridor .............................................
50
11. Gangguan habitat di koridor. .......................................................................
62
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Lokasi koridor dan kondisi penutupan lahan di koridor .................................
21
2.
Jalur pengamatan satwa mangsa macan tutul .............................................
23
3.
Petak contoh analisis vegetasi .....................................................................
25
4.
Jelarang dan kucing hutan di koridor............................................................
34
5.
Babi hutan di koridor.....................................................................................
40
6.
Sarang babi hutan di koridor ........................................................................
41
7.
Kancil di koridor ............................................................................................
45
8.
Nampong dan ilat ayam di koridor ................................................................
50
9.
Buah hamerang pakan owa jawa, lutung dan surili di koridor ......................
53
10. Macan tutul dari tepi barat dan tepi timur di koridor .....................................
55
11. Penebangan pohon secara ilegal di koridor .................................................
57
12. Penutupan lahan dan fragmentasi koridor....................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Vegetasi yang di temukan di koridor ............................................................
68
2.
Analisis vegetasi tingkat semai di koridor ....................................................
73
3.
Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor ................................................
76
4.
Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor ......................................................
78
5.
Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor ....................................................
79
6.
Hasil sensus babi dengan metode terkonsentrasi .......................................
80
7.
Hasil inventarisasi muntak (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus) di koridor .....................................................................
8.
81
Hasil inventarisasi lutung, surili, owa jawa, trenggiling dan landak di Koridor .........................................................................................................
82
Vegetasi pakan surili Unocal Geotermal Indonesia .....................................
85
10. Vegetasi pakan owa jawa di koridor ............................................................
86
11. Vegetasi pakan lutung di koridor ..................................................................
89
9.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di alam ini tidak ada yang kekal, selalu terjadi perubahan yang merupakan mata rantai sebab akibat mengikuti asas ekologi. Populasi satwaliar juga berubah mengikuti perubahan atau dinamika lingkungan. Perubahan ini setiap saat tergantung pada peranan sumber pengaruhnya (Alikodra, 1990). Ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk perubahan alam ada peranan manusia sebagai pengelola sumberdaya alam. Taman
Nasional
Gunung
Halimun
memiliki
koridor
hutan
yang
berhubungan langsung dengan hutan lindung Gunung Salak. Koridor hutan merupakan kawasan hutan yang menjadi jembatan antara dua habitat yang digunakan untuk penyebaran oleh flora maupun fauna antara dua habitat sehingga memungkinkan terjadinya aliran genetik (Primack et al.,1998). Koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki fungsi tertentu bagi satwa di dalam dan di sekitar kawasan. Menurut Cahyadi (2003) koridor hutan dijadikan sebagai tempat mencari makan oleh macan tutul (Panthera pardus melas), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan elang ular (Spilornis cheela). Koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak digunakan sebagai habitat oleh jenis owa jawa (Hylobates moloch moloch), lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus), surili (Presbytis aygula aygula), jelarang (Ratufa bicolor), kucing hutan (Felis bengalensis), muntjak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), musang
(Paradoxurus
hermaproditus)
dan
burung
puyuh
gonggong
dan
Gunung
Salak
mengalami
(Arborophylla javanica). Koridor
antara
Gunung
Halimun
penyempitan dan terputus (terfragmentasi). Terjadi penyempitan kawasan seluas 347,52 Ha selama 11 tahun terakhir, dari total 666,51 tahun 1990 menjadi 318,99 Ha tahun 2001, salah satu penyebabnya adalah perluasan areal pertanian di sekitar kawasan. Terjadi fragmentasi karena adanya jalan yang membagi koridor hutan menjadi dua bagian (Cahyadi 2003). Penyempitan dan fragmentasi pada koridor dapat menurunkan fungsi koridor salah satunya adalah fungsi sebagai habitat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 ditetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Perluasan mencakup Gunung Salak dan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak.
Mengingat fungsi penting koridor bagi ekosistem didalamnya, ekosistem di Gunung Halimun dan Gunung Salak maka keberadaannya harus dilindungi. Untuk mendukung perlindungan diperlukan data yang lengkap, dan strategi yang tepat. Salah satu strategi perlindungan dengan mengangkat fungsi penting koridor sebagai tempat mencari makan bagi jenis top predator, jenis langka dan dilindungi yaitu macan tutul. Untuk mengetahui seberapa besar fungsi koridor sebagai tempat mencari makan macan tutul perlu dilakukan studi tentang keberadaan mangsa macan tutul yang mengungkapkan jumlah jenis dan kelimpahan setiap jenisnya. B. Tujuan Tujuan penelitian ini menerangkan keberadaan mangsa macan tutul. Menjelaskan baik jenis maupun kelimpahan setiap jenis mangsa macan tutul di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. C. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:
a. Mendukung konservasi macan tutul di Taman Nasional Gunung Halimun b. Menggali nilai dan fungsi penting koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan
c. Mendukung perlindungan habitat koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Komunitas Biologi Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup yang satu dan yang lainnya dengan lingkungan (Sorianegara, 1998). Balgooyen (1973) dalam Sorianegara (1998) menyebutkan bahwa yang dipelajari dalam ekologi adalah parameter ruang waktu dan energi yang mempengaruhi penyebaran dan banyaknya populasi jasad hidup yang terdiri satu jenis atau lebih. Ekologi dalam lingkup yang lebih dalam dan luas disebut dengan ekosistem. Ekosistem adalah sistem alam yang terdiri dari komponen-komponen jasad hidup dan lingkungan yang diantaranya terjadi pertukaran zat dan energi yang perlu untuk kelangsungan makluk hidup (Soerianegara, 1998). Keanekaragaman hayati menurut WWF (1989) dalam Primack et al. (1998) adalah kekayaan hidup di bumi, tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, genetika yang ada di dalamnya dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman dilihat dalam tiga tingkatan: 1) pada tingkat spesies mencakup seluruh organisme di bumi, dari bakteria dan protista melalui dunia hewan tumbuhan dan jamur, 2) pada skala kecil keanekaragaman pada tingkat gen dalam suatu spesies, dan 3) keanekaragaman dalam tingkat variasi komunitas dan ekosisitem dan interaksi antar tingkatan tersebut. Primack et al. (1998) mendevinisikan komunitas biologi sebagai spesies yang menempati tempat tertentu dan mengalami interaksi antar spesies. Dalam komunitas biologi setiap spesies menggunakan sumber daya yang membentuk relungnya. Relung sendiri didevinisikan sebagai jenis atau tipe penggunaan sumberdaya dalam habitat oleh spesies. Ricklefs (1993) dalam Primack et al. (1998) menyatakan bahwa komposisi dalam komunitas dipengaruhi oleh kompetisi dan predasi. Pemangsa secara tidak langsung mengurangi spesies yang dimangsanya dan menghilangkan spesies tertentu dari habitatnya. Pemangsa juga secara tidak langsung menambah keanekaragaman di suatu komunitas karena kepadatan spesies mangsa berkurang sehingga kompetisi memperebutkan sumberdaya rendah. Dalam komunitas biologi keberadaan spesies tertentu mungkin penting dan menentukan kemampuan sejumlah besar komunitas lain untuk bertahan dalam komunitas. Spesies yang mempengaruhi susunan komunitas lebih dari yang diperkirakan berdasarkan jumlah individu atau biomasa (Janzen 1986a dalam
Primack et al., 1998). Melindungi spesies kunci adalah priroritas bagi usaha konservasi, jika spesies ini hilang dari daerah konservasi maka spesies lain akan hilang juga. Predator utama adalah spesies kunci karena ikut mengontrol jumlah herbivora (Redford 1992 dalam Primack et al., 1998). Memusnahkan sebagian kecil predator yang merupakan bagian kecil spesies biomasa, secara potensial akan menimbulkan perubahan yang dramastis pada vegetasi dan kehilangan besar pada keanekaragaman hayati (McLaren dan Peterson dalam Primack et al., 1998). B. Kepunahan Spesies Primack et al. (1998) mendevinisikan kepunahan spesies adalah tidak ada satu anggotapun dari anggota spesies di dunia atau populasi spesies yang ada tidak dapat berkembang dan masa depan spesies tersebut tergantung berapa lama individu yang hidup dapat bertahan. Jika suatu spesies masih ada dalam komunitas tetapi sudah tidak bisa memegang peran penting dalam organisasi komunitas maka spesies tersebut telah mengalami kepunahan secara ekologi. Secara alamiah spesies mengalami kepunahan, kepunahan secara alamiah tidak menimbulkan permasalahan bagi kehidupan manusia. Model kepunahan yang dapat menimbulkan permasalahan kehidupan manusia adalah kepunahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia sendiri. Menurut Primack et al. (1998) aktifitas manusia yang menyebabkan kepunahan
adalah
kegiatan
perburuan
dan
perusakan
habitat
melalui
pembakaran dan pembukaan hutan. Secara rinci aktifitas manusia yang mengancam keanakaragaman hayati antara lain: 1) Perusakan habitat, 2) Fragmentasi habitat, 3) Gangguan habitat, 4) Penggunaan spesies oleh manusia secara berlebihan, 5) Introduksi spesies eksotik, dan 6) Penyebaran penyakit. Cara yang baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan melindungi habitatnya. Kerusakan terhadap suatu habitat adalah ancaman kepunahan bagi spesies di dalamnya. Ekosistem hutan tropis mudah rusak karena pada umumnya tanahnya tipis miskin hara dan mudah tererosi oleh air hujan. Tingkat penggundulan hutan tropis sangat tinggi, dalam skala global setengah dari kerusakan hutan hujan tropis disebabkan oleh penggunaan lahan perladangan dalam skala kecil yang dilakukan oleh petani di daerah-daerah (Primack et al., 1998)
Shufer (1990) dalam Primack et al. (1998) membuat devinisi fragmentasi habitat sebagai berikut, fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Perusakan habitat yang meninggalkan fragmen-fragmen adakalanya terisolasi oleh daerah-daerah yang rusak dan mengalami degradasi. Habitat yang terfragmen berbeda dengan habitat asal dalam dua hal, memiliki daerah tepi yang luas dari habitat asal dan daerah tengah pusat dekat dengan daerah tepi. Ancaman fragmentasi habitat terhadap keberadaan spesies antara lain: 1) Pengecilan potensi suatu spesies menyebar dan kolonisasi, 2) Penurunan kemampuan hewan dalam penyebaran yang juga mempengaruhi penyebaran tanaman tertentu, dan 3) Pengurangan daerah jelajah hewan asli. Paton (1994) dalam Primack et al. (1998) menjelaskan bahwa fragmentasi memberikan kerentanan fragmen dalam invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah tepi hutan merupakan lingkupan terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar
ke bagian
dalam fragmen hutan. Fragmentasi habitat juga
menyebabkan spesies liar dekat dengan tumbuhan atau hewan peliharaan. Penyakit spesies peliharaan ini akan mudah menular pada spesies liar yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tertentu dan keadaan sebaliknya dapat terjadi. C. Koridor Habitat Simber et al. (1992) dalam Primack et al. (1998) mendiskribsikan koridor habitat merupakan jalur-jalur yang dilindungi yang menghubungkan suatu cagar alam satu dengan cagar alam lainnya. Habitat yang demikian dikenal dengan koridor konservasi atau koridor perpindahan. Koridor memungkinkan satwa menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain, sehingga memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migran musiman di antara berbagai habitat yang berbeda-beda untuk mendapatkan makanan. Primack et al. (1998) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan jumlah dan keanekaragaman satwa, pengelola hidupan liar sering menciptakan variasi landscape. Ladang dan semak-semak dibuat dan dibiarkan tumbuh secara kecilkecilan tanaman buah dipelihara. Keping-keping hutan dipotong dan jalan
setapak dibuat sepanjang kepingan hutan sehingga menghasilkan suatu kawasan yang beralih dipenuhi tepian-tepian dengan daerah transisi yang jelas. D. Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) 1. Bio-sistematika Menurut Anonim (1978) sistematika macan tutul Panthera pardus melas Cuvier, 1809 sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordota
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Carnifora
Famili
: Felidae
Genus
: Phanthera
Spesies
: Panthera pardus Linnaeus, 1758
Sub spesies
: Panthera pardus melas Cuvier, 1809
Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa dikenal dengan nama Panthera pardus melas. Nama latin lain dan authornya adalah Panthera pardus melas Cuvier, 1809. Panthera tersebar luas di berbagai belahan dunia. Tersebar di Afrika, Asia Kecil, Afganistan, Turkestan, Iran, India, Ceylon, Jawa, Cina, Manchuria, Amur-Suri, dan Afrika Utara. Panthera terbagi menjadi empat sub spesies; Macan tutul (P. pardus), Jaguar (P. onca), harimau (P. tigris) dan singa (P. leo) Distribusi macan tutul di Pulau Jawa antara lain, di Taman Nasional Ujung Kulon (Gunung Honje, Ranca Danau, Cibodas, Gunung Simpang), Gunung Halimun, Pasir Salam, Meru Betiri, Yang Plateu, Baluran, Alas Purwo, Maelang dan Pulau Kangean (Santiapillai dan Ramono, 1992). Terdapat 24 sub spesies macan tutul di dunia. Macan tutul dari Amur (P. p. oriental), Cina Utara (Panthera pardus japonensis), India (Panthera pardus fusca), Jawa (P. p. cuvier atau Panthera pardus melas), Srilanka (P. p. kotiya), Nepal (P. p.
pernigra), Kashmir (P. p. milliardi), Baluchistan (P. p. sindica),
Persia Tengah (P. p. dathei), Persia Utara (P. p. saxicolor), Kaukasia (P. p. ciscaucasia), Asia Kecil (P. p. tuliana), Sinai (P. p. jarvisi), Afrika Utara (P. p. pardus), Eritera (P. p. antinorii), Afrika Timur (P. p. suahelica), Zanzibar (P. p. adersi), Afrika Tengah (P. p. shortridgei), Tanjung Afrika (P. p. melanotica),
Uganda (P. p. chui), Afrika Barat (P. p. leopardus), dan Kongo (P. p. turiensi) (Grzimek`s, 1972). 2. Ciri Pengenal Menurut Grzimek`s (1972) satwa ini memiliki berat badan antara 40-60 kg, dengan panjang badan 90-150 cm dan tinggi badan antara 60-95 cm ini memiliki badan yang panjang dan cenderung silinder. Memiliki lengan yang pendek dan berekor panjang dengan ujung ekor berwarna putih. Menurut Hogerwerf (1970) ukuran rata-rata macan tutul yang hidup di Pulau Jawa sebagai berikut. Tabel 1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa. Jenis kelamin
Panjang* (cm)
Tinggi (cm)
Berat (kg)
Jantan
215
60-65
52
Betina
185
60-65
39
*) Diukur dari moncong hingga ujung ekor
Macan tutul mengalami dimorphisme warna rambut, warna dasar tubuh coklat kekuningan dan warna dasar tubuh hitam pada satu induk. Satwa dengan warna dasar tubuh hitam disebabkan adanya proses melanisme, adanya dominasi pigmen hitam pada rambut sehingga keseluruhan tubuh berwarna hitam yang disebut dengan macan kumbang (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Anonim, 1982). Macan tutul memiliki dua jenis variasi warna rambut yaitu pola totol-totol dan hitam polos. Jika diamati dengan seksama terdapat perbedaan pola totol untuk masing-masing individu. Jenis yang berwarna hitam biasa disebut macan kumbang dan jenis yang memiliki pola warna rambut totol-totol disebut macan tutul (Suyanto, 2002). Menurut Grzimek`s (1975) dalam Lekagul dan McNeely (1977) warna dasar macan tutul pada umumnya adalah kekuning-kuningan atau coklat kekuning-kuningan dengan tutul hitam yang tersusun dalam bentuk kembangan (rosette). Macan tutul dapat dibedakan dari tutul yang berbentuk tungggal pada kepala, kaki dan telapak kaki. Warna dasar tubuh bagian bawah putih atau abuabu dan ekor sisi bawahnya berwarna putih. 3. Perilaku Makan Macan tutul mengawali perburuan mangsa dengan perilaku mengintai. Macan tutul mengintai mangsa dari atas pohon atau semak-semak, kemudian dengan meloncat mangsa disergap dengan menerkam bagian tengkuk. Jika
mangsa tertangkap, lehernya digigit dan kakinya mencabik muka mangsa hingga tidak berdaya (Anonim, 1978). Macan tutul sering menyimpan sisa makanannya dengan cara menutupi dengan serasah rumput atau ranting. Untuk menghindari binatang pemakan bangkai kadang-kadang makanan disimpan di atas pohon (Grzimek`s, 1975). Macan tutul kembali ketempat penyimpanan makanan setelah 2 atau 3 hari, kadang-kadang lebih dari 3 hari (Goudrian 1948 dalam Hoogrewerf, 1970). Macan tutul akan kembali ketempat sisa penyimpanan makanan setelah gagal dalam berburu (Logan 1927 dalam Hoogerwerf, 1970). Grzimek`s (1975) menyebutkan bahwa macan tutul begitu memahami teritorinya dan tidak akan tersesat walau bepergian jauh. Tinggal bisa bertahuntahun dalam satu wilayah dengan catatan makanan tersedia cukup. Macan tutul sering berburu sendirian, hanya jenis di India yang melakukan perburuan bersama-sama. Macan menyukai hati, ginjal dan membuang bagian dalam (abdomen). Mangsa macan di Afrika antara lain: babon, babi, antelop pilihan mangsa jatuh pada yang terlemah. Binatang kecil juga menjadi mangsa, diantaranya: kelinci, pengerat, burung dan ikan. Kadang-kadang macan memakan buah yang manis. Di Asia mangsa macan antara lain: rusa, kerbau, kambing liar, rusa hitam, jenis kerbau-kerbauan lainnya, babi, jenis pengerat dan primata. Beberapa jenis macan hanya memilih jenis mangsa tertentu yang disukai antara bangsa kera dan babi hutan. Untuk jenis macan yang sudah tua mereka
tidak
memilih
makanan
apa
yang
terlihat
dan
dia
sanggup
mendapatkanya maka akan dimakan. Menurut Harahap dan Sakaguchi (2003) jenis hewan yang biasa dimakan oleh macan tutul yaitu kubung malaya (Cyanocephalus variegatus), surili (P. aygula aygula), lutung (T. cristatus sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak), trenggiling (Manis javanica), landak jawa (Histrix brachyura). Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa memangsa berbagai jenis satwa dari kelelawar hingga jenis rusa. Jenis satwasatwa tersebut antara lain; muntjak (M. muntjak), monyet ekor panjang (M. fascicularis), surili (P. a. aygula), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), kadang-kadang memangsa owa jawa (H. m. moloch). Jika habitat macan tutul dekat dengan pemukiman maka sering memangsa hewan piaraan seperti kambing, anjing, dan ayam.
4. Reproduksi Macan tutul adalah satwa yang soliter, di luar
masa kawin atau masa
memelihara anak, binatang ini akan selau sendiri dalam melakukan aktivitas harian. Mengalami masa kehamilan selama 87-89 hari (Hoogerwerf, 1970). Menurut Grzimek’s (1972) di hutan tropis macan tutul tidak mempunyai musim kawin, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Macan tutul mengandung selama 90-105 hari, melahirkan 1-4 ekor anak tetapi biasanya 2-4 ekor dalam satu kali kehiran. Anak baru membuka mata setelah enam hari kelahiran. Masa sapih anak-anaknya ± 2 tahun. Anak macan akan tumbuh giginya setelah berumur 5 bulan dan dewasa pada umur 3 tahun dan mencapai lebih dari 23 tahun umurnya. 5. Perilaku Populasi Macan tutul memiliki sistem teritori. Kawasan teritori ditandai dengan cakaran, kencing dan feses. Macan tutul berpindah tempat dengan jarak yang cukup jauh dan memiliki wilayah jelajah harian (home range) yang sangat luas. Menurut Sunquist (1981) seperti harimau jawa atau kucing besar lain macan tutul mempunyai home range yang luas, 60-72 km2. Macan tutul membutuhkan home range yang luas untuk memenuhi kebutuhan pakan dan mendukung reproduksi. Rata-rata aktivitas harian dalam berpindah tempat sejauh 2 km. Macan tutul jantan dewasa memiliki teritori 27-37 km2 (Robinowitz, 1989). 6. Habitat Macan tutul dapat hidup di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Macan tutul memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap habitatnya, dapat hidup di hutan savana yang panas, sampai hutan hujan yang lembab dan dingin. Macan tutul tidak memilih-milih habitat selama mangsa ada dan mencukupi. Di tempat yang kering jenis ini mampu bertahan, sering minum dari titik air pagi hari, dalam 2-3 hari hanya sekali minum (Grzimek’s, 1972). Di Taman nasional Gunung Halimun macan tutul tersebar di kawasan Gunung Botol, Gunung Panenjoan, dan Cikaniki (Suyanto, 2002).
E. Mangsa Macan Tutul 1. Lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus) Menurut Napier dan Napier (1967) lutung memiliki tinggi total 415-787 mm dengan berat badan 3650-13620 gr untuk jantan dan betina memiliki tinggi total 432–695 mm dengan berat badan 4767-11350 gr. Lutung
(T. c. sondaicus)
memiliki punggung yang berwarna hitam atau kemerahan dan bagian bawah (perut) berwarna hitam sampai coklat. Memiliki rambut pada pipi yang panjang, lebih panjang dari bagian wajah yang lain (Suyanto, 2002). Lutung beraktivitas pada siang hari (diurnal). Menurut Nursal (2001) lutung aktif sejak pukul 05.10-18.05 yaitu sejak bangun tidur dan kembali tidur. Alokasi pembagian waktu aktifitas lutung yaitu pagi pukul 06.00-10.00, siang 10.0014.00, dan sore hari 14.00-8.00. Pagi dan sore hari digunakan oleh lutung untuk berpindah, siang hari untuk istirahat. Lutung hidup berkelompok. Dalam satu kelompok terdapat satu jantan; artinya hanya ada satu jantan dewasa yang berperan sebagai pimpinan kelompok. Kehidupan berkelompok tidak hanya pada aktivitas penjelajahan tetapi juga tercermin dari aktivitas memelihara bayi, tidak hanya induk betina tetapi individu muda anggota kelompok juga berperan sebagai pengasuh bayi yang ada dalam kelompok (Rowe, 1996). Aktivitas lutung dalam habitat dilakukan pada wilayah yang menjadi daerah jelajah. Menurut Rowe (1996) daerah jelajah lutung berkisar antara 2,5-8 hektar (rataan 5 hektar). Pada umumnya lutung tinggal di habitat hutan primer, begitu juga di Taman Nasional Gunung Halimun lutung tinggal di kawasan hutan primer dan hutan sekunder. Di Taman Nasional Gunung Halimun, lutung dapat di jumpai di Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Gunung Panenjoan, Gunung Bapang, Gunung Kendeng, dan Ciawi Tali (Suyanto, 2002). 2. Surili (Presbytis aygula aygula) Tubuh surili (P. a. aygula) bagian atas (punggung), memiliki warna rambut hitam. Tubuh bagian bawah berwarna hitam sampai coklat. Memiliki rambut pada pipi yang lebih panjang dari pada rambut pada bagian muka yang lain (Suyanto, 2002). Rambut di kepala membentuk jambul, berat badan jantan 5500-7037 gr berat badan betina 5500-7000 gr (Napier dan Napier, 1967). Menurut Fleagle (1988) surili aktif pada siang hari, banyak memakan dedaunan (Suyanto, 2002). Surili termasuk golongan satwa yang tinggal dalam
kelompok. Fungsi dari kelompok yang dibentuk adalah untuk mempermudah dalam mencari makan, mempermudah akses reproduksi dan mempertahankan anak. Surili berasosiasi dengan tumbuhan dengan menggunakan strata tajuk A, B, dan C dengan ketinggian antara 9-26 m (Siahaan, 2002). Menurut Suyanto (2002) surili hidup di habitat berupa hutan primer. Kepadatan populasi surili di berbagai tempat bervariasi, berkisar antara 4-35 individu/km2 yang dipengaruhi oleh keadaan habitat (Supriyatna, 1994a) Menurut Sugarjito et al. (1998) dalam Suyanto (2002) surili menempati habitat Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Gunung Panenjoan, Gunung Ciawitali, Gunung Bapang, Gunung Kendeng, dan Cimara. 3. Babi Hutan (Sus scrofa) Grzimek`s (1972) menyatakan babi hutan memiliki sebaran paling luas diantara jenis yang lain. Sebarannya meliputi Eropa dan Asia. Memiliki tinggi badan antara 30-100 cm dengan panjang badan 35-50 cm dan berat badan antara 50-350 kg. Babi hutan (S. scrofa) memiliki tubuh buntak (memiliki kaki yang kecil dengan tubuh yang bulat dan besar, tidak proporsional), rambut kasar agak lebat dan berwarna hitam sampai agak keabu-abuan, memiliki surai dari tengkuk berjalan hingga ke punggung. Babi hutan memiliki ekor pendek dan gundul, pada waktu anakan memiliki garis membujur berwarna coklat kekuningan (Suyanto, 2002). Menurut Grzimek`s (1972) indra penglihatan babi hutan tidak berkembang sebaik indra penciuman. Perkembangan indra penciuman mendukung aktivitas mencari makanan yang beberapa jenis berada di bawah permukaan tanah. Dengan indra penciuman tersebut babi hutan dapat mengenali adanya bahaya, baik bau keringat pemburu atau bau besi pada jebakan. Dengan taring yang tajam babi bertahan atau pun menyerang lawan. Babi hutan memakan beraneka jenis makanan (omnivora). Babi hutan memakan cacing, larva serangga, ubi-ubian, dedaunan, dan bangkai binatang. Babi hutan termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal). Babi hutan hidup di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Grzimek`s (1972) menyebutkan bahwa babi hutan tidak selektif dalam hal habitat. Jika menemukan makanan air dan tempat berlindung ia akan tinggal di situ. Dari stepa yang kering, rawa dan hingga di atas ketinggian 4000 m dapat
dijumpai babi hutan. Akan tetapi preferensi habitat babi dari lapangan kebanyakan jenis babi menyukai tinggal dekat dengan perladangan atau pemukiman. Babi hutan tidak meninggalkan habitatnya jika memang karena kondisi yang tidak memungkinkan. Dalam habitat kecuali babi hutan jantan dewasa, babi hutan hidup berkelompok sepanjang tahun. Babi hutan memiliki teritori, terluas adalah jenis jantan yang soliter dan teritori yang paling sempit untuk kelompok yang terdiri dari induk dan anak-anaknya. Satuan kelompok terdiri dari beberapa betina dan anakan mereka, biasanya terdiri dari 6-10 individu atau lebih. Jika anak jantan telah dewasa akan meninggalkan kelompok dan soliter. Masa pubertas saat usia 8 sampai 10 bulan, tergantung juga dengan tingkat ketersediaan pakan. Jika telah tiba masa birahi maka berlomba-lomba jenis jantan baik dari satu keluarga atau pejantan dari keluarga lain. Satu pejantan bisa mengawini hingga 3 betina. Masa kehamilan untuk induk yang pertama akan melahirkan dan induk yang telah pernah melahirkan sebelumnya berbeda. Masa kehamilan betina tua 133-140 hari sedangkan masa kehamilan betina remaja relatif lebih cepat kira-kira mencapai 2 minggu,114-130 hari. Setelah hamil, induk tersebut menyingkir ketempat yang cukup aman dan dekat dengan pakan. Babi yang hamil mambuat sarang berupa tanah lapang dengan digali dan atasnya ditutup dengan daun-daunan yang sebelumnya diberi rangka berupa cabang atau kayu-kayu muda yang bisa dipatahkan atau dirobohkan. Babi meninggalkan sarang maksimal 2 minggu setelah itu tidak dipake lagi. Setelah masa dua minggu anak telah bisa makan sendiri. Babi hutan bisa hidup lebih dari 15 tahun (Grzimek`s, 1972). Suyanto (2002) menerangkan berdasarkan informasi penduduk dan tangkapan kamera jebak binatang ini tersebar merata di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Keberadaan Babi hutan jawa
(S. verrucasus) di
Taman Nasional Gunung Halimun masih diragukan. 4. Muntjak (Muntiacus muntjak) Dalam
Animal Encyclopedia,
Grzimek`s (1972)
memberi penjelasan
tentang morfologis serta beberapa perilaku dari jenis muntjak. Muntiacus muntjak panjang badan 13-23 cm, tinggi badan 40-65 cm dengan berat badan antara 1535 kg. Pada dasarnya memiliki ranggah yang panjang. Ranggah terlihat pendek karena adanya percabangan yang kadang-kadang hingga 3 percabangan.
Muntjak adalah pelari yang cepat, memiliki pinggang yang sangat ramping. Menyukai tipe habitat berupa semak–semak . Muntjak memiliki suara lolongan yang keras, yang menjadi tanda bahaya akan keberadaan predator atau pemburu. Masa kehamilan selama 6 bulan, setiap kelahiran hanya 1 anak jarang sekali sampai 2 anak (Grzimek`s, 1972). Permukaan tubuh muntjak (M. muntjak) berwarna trengguli atau merah bercambur abu-abu. Memiliki warna kehitaman membujur sepanjang punggung. Permukaan tubuh bawah (daerah sekitar perut) berwarna putih bercampur abuabu. Muntjak jantan memiliki tanduk yang panjang, biasanya memiliki satu cabang. Muntjak hidup di habitat yang berupa hutan sekunder. Berdasarkan informasi penduduk dan tangkapan kamera jebak binatang ini tersebar merata di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (Suyanto, 2002). 5. Owa jawa (Hylobates moloch) Menurut Napier dan Napier (1967) owa jawa (H. Moloch) memiliki telapak tangan dan pergelangan tangan yang panjang, sedangkan menurut Grizimek’s (1972) owa termasuk kelompok kera yang tidak berekor, mempunyai kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, dan rahang kecil pendek tidak menonjol. Owa jawa memiliki suara yang lantang dan khas (Suyanto, 2002). Grzimek`s (1972) menyatakan jenis owa memiliki tinggi tubuh antara 46-64 cm dengan berat antara 10-20 kg. Owa jawa mengalami pubertas pada usia 7 tahun. Masa kehamilan ± 210 hari dengan normal 1 anak setiap kelahiran. Dalam satu kelompok terdiri dari satu jantan dengan satu sampai dua betina dan beberapa anakan dengan berbagai usia. Betina sangat toleran terhadap anakanaknya yang dalam masa perkembangan walaupun sedang memelihara anak yang baru. Masa perkembangan yang dimaksud adalah masa pubertas jadi setiap anak berkumpul dalam keluarga rata-rata sampai umur 7 tahun. Ray dalam Grzimek`s (1972)
bahwa owa jawa memiliki teritori yang
diperkirakan 12-20 ha. Luasan teritori ini menyamai dengan jangkauan suaranya. Mereka memakan buah-buahan, bunga, serangga dan buah. Setelah selesai makan mereka kembali ke teritorinya. Owa jawa tidak membuat sarang tetapi memiliki preferensi untuk pohon tempat tidur dan tidak ada toleransi bagi keluarga lain untuk menggunakan pohon tempat tidur. Owa jawa aktif hanya di siang hari (diurnal). Owa jawa dalam berbiak mempunyai pasangan tetap (monogamy). Owa hidup dengan membentuk
kelompok kecil (koloni) yang terdiri dari satu pasanganya dengan anak-anaknya yang belum dewasa. Setiap kelompok kecil memiliki daerah jelajah yang dipertahankan (territory). Owa jawa bergerak dengan menggelantung pada cabang-cabang pohon (arboreal) (Suyanto, 2002). Menurut Leigton (1987) owa jawa memang hidup berkelompok namun kadang ada yang hidup soliter terutama individu muda yang belum menemukan pasangan, yang diusir dari kelompok induknya. Menurut Supriyatna et al (1994a) owa jawa hidup dengan sistem sosial berkelompok. Satu kelompok owa jawa terdiri atas 2 - 6 individu dengan jumlah rata-rata 3,2 individu perkelompok. Owa jawa tinggal di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon yang melaporkan bahwa kepadatan populasi owa jawa di hutan primer (13,5 individu/km2) yang lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan sekunder (2,4 individu/km2). Di Taman Nasional Gunung Halimun owa jawa dijumpai di Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Cimara, Gunung Panenjoan, Ciawitali, Gunung Bapang, dan Gunung Kendeng (Suyanto, 2002). 6. Trenggiling (Manis javanica) Menurut Lekagul dan McNeely (1977) trengiling dewasa memiliki panjang dari kepala-badan 340-470 mm. Kaki belakang 79-90 mm, telinga 15-22 mm dengan bobot 5-7 kg. Trenggiling
merupakan bangsa pholidota (mamalia bersisik). Seluruh
tubuh bersisik kecuali moncong, pipi, perut dan bagian tubuh dalam. Sisik merupakan modifikasi dari rambut yang melebur seperti halnya cula badak. Pada umumnya memiliki tungkai pendek dan tubuh meruncing pada ujung ekor. Saat berjalan ujung ekor tidak menyentuh tanah. Ekor pada trenggiling bersifat prehensil artinya digunakan untuk memegang. Tidak mempunyai gigi, sebagai gantinya memiliki lidah berkelenjar yang mengeluarkan cairan pekat untuk menangkap serangga yang menjadi makanannya. Termasuk jenis nocturnal, aktif pada malam hari. Makan semut dan rayap yang ditangkap langsung dalam sarang dengan cara membongkar sarang dengan cakarnya kemudian dengan lidahnya yang memiliki cairan seperti lem menangkap semut dan rayap. Trengiling tingal di hutan primer dan sekunder (Suyanto, 2002). Menurut Grzmek`s (1975) bahwa tenggiling tersebar luas di Indonesia. Persebaran yang luas terkait dengan ketersediaan pakan. Trenggiling hanya
makan semut dan rayap, jika di suatu daerah terdapat kedua serangga di atas maka trenggiling tidak akan meninggalkan daerah tersebut. Dalam perut trenggiling pernah ditemukan 12 jenis semut. Dalam satu malam trenggiling memakan 150-200 gr semut dan rayap dan total ada 21 jenis serangga yang jadi makanannya. Trenggiling jenis yang sangat unik. Telinga tidak berkembang dengan baik. Tidak mempunyai gigi, dengan lidah yang rekat menjadikan semut atau rayap menempel sehingga jika lidah ditarik dalam mulut maka serangga-serangga yang menempel ikut masuk dalam mulut dan langsung ditelan. Seperti beberapa jenis burung, teridentifikasi trenggiling memakan kerikil dan pasir untuk membantu pencernaannya (Grzimek`s, 1975). Grzimek`s
(1975)
menyebutkan
bahwa
sulit
untuk
menangkarkan
trenggiling. Untuk jenis yang baru ditangkap dari alam tidak akan mau langsung menerima pakan pengganti. Butuh hingga 8 minggu agar mau menerima pakan pengganti, waktu yang relatif lama sehingga kemungkinan besar trenggiling akan mati dulu sebelum dapat beradaptasi. Dalam pemeliharaan trenggiling dapat hidup lebih dari delapan tahun. Belum diketahui tentang masa kehamilan jenis ini. Jantan dan betina bersama-sama saat musim kawin. Setelah beberapa waktu muncul satu individu muda, untuk jenis yang ada di Asia rata-rata sekali melahirkan 3 ekor anak. Trenggiling mempertahankan diri dengan membentuk lingkaran dan bergerak cepat sambil menyemburkan air kencing. Trenggiling dapat bergerak secara arboreal maupun terestrial. Secara terestrial trenggiling mampu berjalan dengan kecepatan 5 km/jam. Untuk bergerak lebih dari 1 meter hanya membutuhkan waktu 1 detik. Berjalan dengan setiap saat berhenti mengawasi sekeliling dengan cara mengangkat kaki depan dan bertumpu dengan tungkai kaki belakang dan ekor lalu dengan penglihatan dan penciuman ia mendeteksi kemungkinan bahaya yang mengancam (Grzimek`s, 1975). Trenggiling termasuk jenis pemanjat. Cara memanjat menyerupai ulat, kaki depan mencengkeram pohon kemudian kaki belakang diangkat sama-sama merapat ke kaki depan setelah tumpuan kuat kaki depan bergerak kembali. Dapat bergelantung dengan ekor yang prehensil, untuk mengambil dan memeriksa sarang di pohon. Ekor trenggiling berfungsi juga untuk pegangan anakan yang turut memanjat (alat gendong). Trenggiling melindungi diri dengan menggulung badan menyerupai bola, rapat-rapat dengan ekor menutup kepala.
Dengan posisi tersebut pemangsa dihadapkan dengan bola yang terlindung dengan kulit berupa sisik yang keras (MacKinnon, 1983). 7. Landak (Histrix brachyura) Menurut Lekagul dan McNeely (1977) landak memiliki panjang badan dan kepala 45,5-64,4 cm, ekor 9,2-14,0 cm. Panjang kaki 8,2-9,4 cm telinga 3,2-5,7 cm dan memiliki bobot 5,9-10,76 kg. Landak memiliki ciri pengenal yang khas. Seluruh permukaan tubuh mulai dari kepala sampai ekor berduri. Separuh badan belakang memiliki duri yang lebih panjang dari bagian lain. Landak tinggal pada lubang-lubang batu atau liang tanah yang dibuatnya sendiri. Landak dapat hidup di setiap tipe hutan dan dapat pula hidup di areal perkebunan. Selain di Taman Nasional Gunung Halimun landak terdapat di Bali dan Nusa Tenggara kecuali flores (Suyanto, 2002). Grzimek`s (1975) menjelaskan diskripsi morfologi dan beberapa perilaku landak. Landak memiliki 18 gigi dengan berat badan di atas 15 kg. Memiliki indra penciuman dan pendengaran yang berkembang dengan baik berlawanan dengan kondisi indra penglihatan yang tidak berkembang. Landak dapat mengetahui jenis buah dan tempat dimana buah itu berada dari suara jatuhnya. Masa kehamilan 2 bulan, dalam satu tahun bisa melahirkan 2 sampai 3 kali dengan jumlah anak 1-4 untuk satu masa melahirkan, tetapi seringnya yang lahir 2 ekor anak. Landak menyukai habitat-habitat berupa hutan terbuka dan stepa. Pada siang hari landak beristirahat dalam lubang-lubang tanah atau celah-celah bebatuan yang menjadi tempat tidurnya. Landak muda yang baru lahir memiliki bulu–bulu yang lembut yang nantinya berganti dengan rambut yang permanen seperti induknya. Di alam yang biasanya menjadi pemangsa landak antara lain: elang, ular, macan dan manusia. Landak termasuk jenis nokturnal, pada siang hari tidur di sarang pada malam hari keluar mencari makanan. Makanan landak termasuk akar-akar yang kaya zat tepung termasuk ketela pohon jika tak sengaja masuk kekebun. Kadang-kadang landak mengumpulkan tulang dan diangkut dalam sarang, landak mengerkah tulang tersebut untuk mendapatkan kalsium (MacKinnon, 1983) Landak merupakan jenis herbivora, kadang-kadang memakan daging seperti kebanyakan pengerat. Di kebun binatang landak memakan kentang, wortel, buah hijauan dan pakan anjing. Landak liar memakan ubi-ubian,
tumbuhan berduri, akar, berbagai tanaman, dedaunan, buah, jagung dan kulit kayu (Grzimek`s, 1972). 8. Kubung Malaya (Cyanocephalus variegatus) Menurut Payne dan Francis (1985) dalam Suyanto (2002) kubung memiliki panjang badan dan kepala 241-245 mm kaki belakang 65-73 mm dan bobot 925300 gr. Kubung malaya di habitatnya bergelantungan menyerupai kalong. Memiliki selaput kulit antara kaki depan dan kaki belakang. Memiliki warna tubuh abu-abu dengan bercak hitam putih. Kubung aktif pada malam hari, kadang kala bisa dijumpai pada pagi dan senja hari. Memakan buah-buahan hutan. Kubung selalu bergelantungan baik sedang makan maupun sedang bergerak. Masa kehamilan 3 bulan, anak yang baru lahir menyerupai binatang berkantung. Kubung tinggal di habitat hutan primer dan sekunder selalu berada di pepohonan. Selain di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun kubung juga dijumpai pada perkebunan kelapa dan karet (Suyanto, 2002). 9. Kancil (Tragulus javanicus) Suku tragulidae termasuk anggota ruminansia. Di indonesia suku ini memiliki marga tunggal yang terdiri 2 jenis. Ciri ruminansia ini tidak mempunyai rangga, tetapi memiliki taring yang panjang pada jantan. Memiliki ukuran tubuh terkecil dibandingkan dengan artiodactila yang lain. Morfologi kancil yang dapat dikenal antara lain permukaan tubuh yang berwarna tengguli kecuali sepanjang punggung yang berwarna lebih hitam. Permukaan bawah badan, dari pangkal kaki depan hingga ujung perut berwarna putih (Suyanto, 2002) Grzimek`s (1972) menyebut kancil sebagai kelinci besar. Kancil merupakan famili tragulidae yang bisa melompat seperti lompatan kelinci. Memiliki tinggi 4555 cm dari permukaan tanah dengan panjang badan 2,5-5 cm dengan berat badan antara 2,25-2,70 kg. Memiliki 34 dengan 2 taring panjang pada jantan dewasa. Hidup soliter, berpasangan saat musim kawin dan dijumpai lebih dari satu jika mengasuh anaknya. Masa kehamilan 6 bulan dan biasanya melahirkan 2 ekor anak dalam satu waktu kelahiran. Pada siang hari banyak menghabiskan waktu di tempat perlindungan beraktivitas pada malam hari.
Kancil hidup di
daerah kering atau habitat berbatu-batu, di hutan primer dan hutan mangrove. MacKinon (1986) menyatakan bahwa kancil binatang ungulata yang terkecil di dunia. Memiliki tubuh yang sebesar kelinci dengan berat badan 0,7-2
kg. Memakan buah-buahan yang jatuh di lantai hutan dan semak-semak yang rendah.
Binatang
cerdik
dapat
mengelabuhi
pemangsa.
Hidup
soliter
berpasangan hanya saat musim kawin dan terlihat lebih dari satu saat pengasuhan.
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Luas dan Letak Kawasan Luas areal koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak 318,99 Ha. Secara geografis koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terletak pada koordinat 6044`00``- 60 46`30`` LS dan 106035`30``- 106037`30`` BB, pada wilayah administrasi kabupaten Sukabumi dan kabupaten Bogor. Koridor dapat dicapai melalui kecamatan Leuwiliang kabupaten Bogor, atau dari arah selatan melalui kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi. Koridor Gunung Halimun-Gunung Salak merupakan bagian dari wilayah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Lokasi dan keadaan penutupan lahan koridor disajikan pada Gambar 1. B. Topografi dan Jenis Tanah Koridor memiliki ketinggian berkisar antara 892-1.144 mdpl. Kelerengan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak berkisar 0%-90% dengan kelerengan rata-rata antara 0%-30%. Tipe tanah di areal koridor berdasarkan peta tanah tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1:250.000 tahun 1996 adalah Latosol dengan macam tanah Latosol Coklat. C. Iklim Koridor Gunung Halimun-Gunung Salak masih dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Iklim Koridor mengikuti kondisi iklim pada Taman Nasional Gunung Halimun. Berdasarkan klasifikasi Schimidt dan Ferguson, curah hujan Taman Nasional Gunung Halimun tergolong tipe B, musim kering dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki variasi curah hujan antara 4.000-6.000 mm/tahun (Cahyadi, 2003). D. Flora dan Fauna Menurut Cahyadi (2003) vegetasi di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu vegetasi yang termasuk tumbuhan bawah dan tumbuhan jenis pepohonan. Jenis-jenis tumbuhan bawah
antara lain: harendong (Clidema hirta), pakis (Diplazium asperum), aawian (Dinocholoa scandens), dan hareu (Rubus chrysophyllus). Jenis-jenis pepohonan antara lain: pasang (Quercus sundaicus), saninten (Castanopsis argentea), puspa (Schima walichii), dan rasamala (Althingia exelsa). Menurut Cahyadi (2003) terdapat 12 jenis satwa di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Satwa-satwa tersebut antara lain macan tutul (P. p. melas), elang jawa (S. bartelsi) dan elang ular (S. cheela). Koridor digunakan sebagai habitat oleh jenis owa jawa (H. m. moloch), lutung (T. c. sondaicus), surili (P. a. aygula), jelarang (R. bicolor), kucing hutan (F. bengalensis), muntjak (M. muntjak), babi hutan (S. scrofa), musang (P. hermaphroditus) dan burung puyuh (A. javanica) Menurut Cahyadi (2003) kawasan koridor merupakan tempat bersarang, cover, dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi kucing hutan, musang, babi hutan, muntjak, puyuh gonggong jelarang, lutung, surili, dan owa jawa; sedangkan bagi elang jawa, elang ular, dan macan tutul adalah sebagai tempat mencari makan (feeding ground).
Gambar 1. Lokasi koridor dan kondisi penutupan lahan di koridor
IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu Maret 2005 sampai dengan Mei 2005. Kegiatan penelitian dilakukan di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak, Taman Nasional Gunung Halimun. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: peta lapangan, GPS, buku identifikasi satwa, kompas, binokuler, alat penghitung, meteran, kamera, pathok, tally sheet pengamatan dan alat tulis. Bahan yang jadi kajian penelitian adalah populasi satwa mangsa antara lain populasi muntjak, owa jawa, babi hutan, surili dan populasi lutung. C. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan ada dua jenis, data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung diperoleh dari pengamatan lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi literatur. Data primer yang dikumpulkan meliputi kelimpahan populasi owa jawa, kelimpahan populasi surili, kelimpahan populasi lutung, kelimpahan populasi babi hutan dan kelimpahan populasi muntjak. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti letak, luas, status lokasi penelitian, flora dan fauna di lokasi penelitian. D. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpaulkan antara lain data kelimpahan satwa mangsa dan data vegetasi. Metode pengumpulan data kelimpahan satwa mangsa dilakukan dengan sensus langsung dan sensus tidak langsung yang disesuikan dengan satwa target. Sensus langsung dengan metode garis transek dan metode terkonsentrasi sedang sensus tidak langsung dengan metode jejak. Kombinasi juga dilakukan dengan pengamatan jejak pada jalur garis transek. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan analisis vegetasi. Berikut ini diskripsi metode pengumpulan data yang digunakan:
1. Metode Garis Transek (Lebar Jalur Sama) Satwa mangsa yang disensus dengan metode ini adalah lutung, surili dan owa jawa. Menurut Broockelman dan Ali (1987) dalam Alikodra (1990) metode garis transek dengan lebar jalur sama dapat dipergunakan untuk sensus primata dan dikuatkan oleh pengalaman dengan metode yang sama oleh Broockelman dan Ali (1987) dapat menghitung populasi P. obscura dan M. fascicularis di Suaka Marga Satwa Krau, Malaysia. Wilayah studi memiliki luas 318,985 ha. Sensus yang dilakukan dengan metode jalur, sistematik sampling with random start, IS 16 %. Sensus dilakukan pada 4 jalur dengan panjang rata-rata 1,27 km. Bentuk jalur pengamatan disajikan pada Gambar 2.
(di)
Keterangan:
di = Lebar kanan-kiri jalur
Li = Panjang jalur
(l )
Gambar 2. Jalur pengamatan satwa mangsa macan tutul 2. Metode Terkonsentrasi Menurut Alikodra (1990) setiap satwa liar memiliki model pergerakan yang berbeda-beda. Agar mendekati kebenaran pendugaan dalam metode ini langkahlangkah yang harus dilakukan sebagai berikut:
1.
Melakukan pengamatan pola pergerakan pada setiap wilayah jelajah.
2.
Melakukan pengamatan terhadap struktur populasi serta tanda-tanda lainnya untuk menghindari penghitungan ulang.
3.
Perlu diperhatikan kemungkinan adanya anggota populasi yang berada di dalam hutan atau lokasi lain sehingga tak terhitung dalam wilayah studi. Pengamatan dengan metode terkonsentransi dilakukan untuk menghitung
kelimpahan babi hutan. Lokasi pengamatan dilakukan pada derah-daerah yang
diserang oleh babi. Semua daerah berada di tepi kawasan, kebun teh dan pertanian penduduk. 3. Metode Jejak Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan satwa mangsa yang sulit untuk dijumpai secara langsung. Jenis satwa yang menjadi target metode ini adalah muntjak dan kancil. Dari metode ini dapat diduga jumlah populasi muntjak dan kancil. Pendugaan populasi dengan pengamatan jejak kaki dilakukan dua kali penghitungan berturut-turut pada plot contoh yang dibuat. Ukuran plot contoh 1 x 1 m2 pada daerah-daerah yang menjadi jalur pergerakan satwa. 4. Analisis Vegetasi Pengambilan data vegetasi menggunakan metode petak contoh dalam jalur, dengan Intensitas Sampling (IS) 10 %. Dibuat 8 jalur pengamatan, dalam setiap jalur terdapat 10 petak contoh. Bentuk jalur dan petak contoh serta ukuran seperti Gambar 3. Objek pengamatan adalah vegetasi pada pertumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Data yang dicatat dalam analisis vegetasi antara lain jenis dan untuk tingkat pertumbuhan pohon dicatat diameter setinggi dada (dbh), tinggi bebas cabang dan tinggi total.
c b a l Gambar 3. Petak contoh analisis vegetasi Keterangan: a: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 2 x 2 m2 b: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 5 x 5 m2 c: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 10 x 10 m2 d: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 20 x 20 m2
E. Analisis Data 1. Metode Garis transek (Lebar Jalur Sama) Analisis data metode jalur akan menghasilkan kelimpahan mangsa macan tutul per hektar.
Pendugaan kepadatan satwa mangsa dilakukan dengan
persamaan sebagai berikut: Intensitas sampling (IS):
IS =
n N Keterangan: IS = Intensitas sampling n = Luas jalur yang diamati N = Luas areal pengamatan Nilai kepadatan per jalur (yi):
y i
=
x i n i
Keterangan: yi = Nilai kepadatan per jalur ni = Luas jalur pengamatan ke-i xi = Jumlah individu satwa pada pengamatan ke-i Keragaman populasi contoh (Sy2):
(∑ yi )2 2 ∑ yi − n Sy 2 = n − 1
Keterangan: Sy2 = Keragaman populasi contoh yi = Nilai kepadatan per jalur n = jumlah jalur
Nilai dugaan titik rata-rata kepadatan populasi per jalur (ỹ):
− ∑y i y= n Keterangan: ỹ = Rata-rata kepadatan populasi per jalur yi = Nilai kepadatan per jalur n = Jumlah jalur pengamatan Keragaman rata-rata contoh (Sỹ2):
−2 Sy2 Sy = (1 − IS) n
Keterangan: Sỹ2 = Keragaman rata-rata contoh Sy2 = Keragaman populasi contoh n = Jumlah jalur pengamatan IS = Intensitas sampling Nilai pendugaan selang contoh pada selang kepercayaan 70 %:
− y ± tα
2 ;n −1
−2 S y
Keterangan: Sỹ2 = Keragaman rata-rata contoh tα/2;n-1 = Nilai pada tabel ỹ = Jumlah rata-rata populasi perjalur Nilai populasi total (Ỹ) individu:
− − Y = A × y
Keterangan: Ỹ = Nilai populasi total A = Luas total lokasi penelitian ỹ = Jumlah rata-rata populasi per jalur Keragaman nilai dugaan (SỸ2):
−2 −2 2 S Y = A ×S y Keterangan: SỸ2 = Keragaman nilai dugaan A = Luas total Sỹ2 = Keragaman rata-rata contoh Nilai pendugaan selang populasi total pada selang kepercayaan 70%:
− Y ± tα / 2 ; n − 1
−2 S y
Keterangan: Ỹ = Nilai populasi total tα/2;n-1 = nilai tabel SỸ2 = Keragaman nilai dugaan Koefisien variasi (CV):
−2 tα / 2;n−1 S Y CV = ×100% − Y
Keterangan: CV = Koefisien variasi tα/2;n-1 = Nilai tabel SỸ2 = Keragaman nilai dugaan Ỹ = Nilai populasi total Ketelitian = 100%-CV 2. Metode Terkonsentrasi Hasil pengamatan ditabulasi berdasarkan 4 kategori pengelompokkan yaitu: jantan, betina, tidak teridentifikasi dan anak.
Pendugaan populasi
dilakukan secara langsung dari hasil rata-rata sensus per lokasi pengamatan setiap waktunya. 3. Metode Jejak Pendugaan populasi dengan analisis jejak dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
P
=
n pi ∑ i=1 hn keterangan:
P = Jumlah populasi rata-rata pi= Jumlah jejak pada pengamatan ke-i hn= Total hari pengamatan 4. Analisis Vegetasi Data hasil pengukuran vegetasi di analisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP). Nilai INP menunjukkan tingkat dominasi, kerapatan dan frekwensi jenis. Dari nilai INP juga dapat diketahui kemerataan pertumbuhan vegetasi. Besarnya nilai INP ditentukan oleh Kerapatan Relatif (KR), Dominasi Relatif (DR) dan Frekwensi Relatif (FR). Untuk pohon INP= KR+FR+DR, untuk semai, pancang dantiang INP= KR+FR 1. Kerapatan
: Jumlah individu suatu jenis/luas unit contoh
2. Kerapatan Relatif
: (Kerapatan suatu jenis/kerapatan total jenis) x 100%
3. Frekwensi
: Jumlah plot ditemukannya jenis/total plot
4. Frekwensi Relatif
: (Frekwensi suatu jenis/total frekwensi) x 100%
5. Dominasi
: Luas bidang dasar suatu jenis/luas unit contoh
6. Dominasi Relatif
: (Dominasi suatu jenis/dominasi seluruh jenis) x 100%
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Aksesibilitas Koridor Secara geografis koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terletak pada koordinat 6044`00``-6046`30`` LS dan 106035`30``-106037`30`` BB. Secara administratif koridor berada di Kec. Leuwiliang, wilayah Kab. Bogor dan Kec. Cipeteuy, Kab. Sukabumi. Sebelah selatan berbatasan dengan perkebunan teh dan lahan pertanian penduduk, sebelah utara berbatasan dengan perkebunan teh, kampung Padajaya, Cigarehong, Cisurupan, Cimapag, dan Pasir pari. Koridor sebelah barat berbatasan dengan Gunung Halimun dan bagian timur berbatasan dengan Gunung Salak. Koridor berada pada ketinggian antara 892-1144 mdpl. Kelerengan berkisar antara 0%-90% dengan rata-rata antara 0%-30%. Kelerengan rata-rata mencapai 30% termasuk kategori kemiringan rumit dan berbukit daerahnya sangat curam, memiliki limpasan air cepat sampai sangat cepat sehingga rawan erosi jika vegetasi rusak (Purwowidodo, 2003). Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat skala 1:250.000 tahun 1996, jenis tanahnya adalah Latosol dengan macam tanah Latosol Coklat. Tanah latosol coklat merupakan jenis tanah dewasa dengan proses pembentukan horison B, kemampuan produksi tinggi karena unsur-unsur hara dalam tanah cukup tersedia. Tanah ini memiliki drainase baik tidak pernah terendam air sehingga tata udara dalam tanah berlangsung baik (Hardjowigeno, 1995). Koridor merupakan rangkaian perbukitan penghubung habitat Gunung Halimun dan Gunung Salak yang sekaligus batas alam Kab. Bogor dan Kab. Sukabumi. Rangkaian perbukitan sebelah selatan antara lain, jalur bagian selatan mulai dari Growek, Geblegan, Cipicung, Cipongpok, Pasir bedil, Tanah beureum, Cisarua, Cikuya, Cipanas, Lisung Buruk, Raksamala 5, Batu Kitab, Pasir Andam, Cilodor, Citamiang, Ciawi Tali, Sukana Galih, dan Cisalimar. Rangkaian sebelah utara antara lain; Pasir pari, Batu sisir, Cimapag, Cisaladah 2, Tanah Beureum, Pasir Panjang, Pojok Adul, Pasir Kiara, Pasir Palahlar, Kebon Sepuluh, Pojok Goong, Growek, Puspa, dan Ciherang. Koridor merupakan daerah sumber air bagi kawasan di bawahnya. Ada 13 aliran sungai di dalam kawasan koridor. Sungai-sungai yang ada di koridor memiliki lebar yang bervariasi antara 0,5-2,5 m . Ada 6 sungai besar dari 13 yang ada, 7 sungai yang lain berfungsi sebagai hulu dengan resapan berada di
lembah-lembah bukit di tengah koridor yang pada muaranya terbentuk sungai besar. Daerah sumber berupa rembesan pada cekungan-cekungan lembah antara 2-3 bukit, dari ujung tanah lembab kemudian becek dan terbentuk aliran kecil yang apabila dirunut membesar–membesar mencapai lebar aliran 0,5 hingga 2,5 meter. Lima sungai mengalir ke arah utara (Kab. Bogor) antara lain, Cipongpok, Cisaladah, Cimapag, Cikawung. Sungai-sungai yang mengalir kearah selatan antara lain, Ciwerkip, Cipicung, Ciherang, Cisarua, Cikuya, Cipanas dan Cilodor. Satu aliran sungai kering yaitu sungai Cisarua yang berjarak 30 m dari jalan potong utama. Penduduk yang tinggal di Kec. Cipeteuy dan daerah Leuwiliang diantaranya Kelurahan Cigarehong dan Cianten memanfaatkan aliran sungai dari mata air di koridor untuk keperluan irigasi dan beberapa kampung menggunakan untuk keperluan sehari-hari. Formasi vegetasi memanjang di kiri-kanan sepanjang aliran sungai. Dari hulu sungai ditemui formasi tajuk yang masih kontinyu pada lereng-lereng bukit. Menuju kehilir kontinyuitas tajuk mulai berkurang digantikan formasi semak belukar dan tegakan muda bekas penebangan. Di sepanjang aliran sungai ini menjadi daerah jelajah beberapa jenis primata dan mamalia karena paling banyak tersedia sumber pakan. Koridor
menjadi
jalur
mobilitas
penduduk
disekitarnya.
Kondisi
perekonomian penduduk sebelah utara secara umum tertinggal jika dibanding sebelah selatan koridor (Cipeteuy) yang statusnya sebagai daerah kecamatan. Dengan jarak yang lebih dekat dibanding ke Leuwiliang penduduk sebelah utara lebih sering bepergian untuk memenuhi kebutuhannya ke daerah selatan, dengan menyeberang koridor. Di sepanjang koridor total ada 5 jalan tembus dari perkampungan sisi utara dan selatan. Jalan yang paling lebar (3 m), jalan potong di tengah koridor. Empat jalan lainnya dengan lebar rata-rata 1,5 meter menjadi pembatas kedua ujung koridor dengan habitat Gunung Halimun dan Gunung Salak. Perpotongan oleh satu jalan utama di tengah koridor dengan dua di ujung barat dan timur membentuk koridor menjadi dua pulau habitat. Bentuk koridor berupa strep memanjang membuat luasnya daerah tepi yang bersinggungan dengan tanah milik yang di kawasan ini adalah perkebunan teh. Aktivitas pengelolaan perkebunan memobilisasi orang dalam jumlah besar secara periodik. Kegiatan ini antara lain memetik daun, penyemprotan, pembabatan, penyiapan lahan untuk tanaman baru dan pemeliharaan dari gulma. Dari setiap aktivitas manusia di sekitar kawasan memberi efek positif dan
negatif terhadap habitat koridor beserta isinya. Aktifitas orang dalam jumlah tertentu secara langsung membatasi jelajah satwa yang menggunakan areal perkebunan sebagai bagian dari habitatnya. B. Vegetasi di Koridor Berdasarkan klasifikasi Burtt dan Davy (1938) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998), hutan koridor termasuk hutan tropika basah (moist) berdasarkan formasi iklim termasuk hutan hujan tropis sub montana (tropical lower mountain evergreen rain forest). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), formasi hutan merupakan satuan vegetasi yang besar. Untuk daerah tropika pembedaan formasi-formasi hutan berdasarkan pada pembedaan iklim, fisiognomi (struktur hutan) tanah dan letak tinggi, dan sejarah perkembanganya). Sejarah dan perkembangan koridor menyebabkan perbedaan satuansatuan formasi hutan (asosiasi hutan) yang sangat ekstrim. Berdasarkan sejarahnya hutan koridor merupakan gabungan dari kawasan hutan tanaman Perhutani dan kawasan hutan lindung Gunung Salak. Tujuan pengelolaan yang berbeda mendasari terbentuknya asosiasi yang berbeda nyata dalam Koridor. Perbedaan nyata terlihat dari asosiasi puspa yang merupakan tanaman Perhutani, asosiasi kaliandra merupakan tumbuhan pada bekas areal PHBM. Untuk areal yang sejarahnya kawasan lindung diantaranya asosiasi
damar,
mara, batarua dan kayu afrika. Perkembangan yang terjadi di kawasan berupa perusakan dalam bentuk perkebunan dan penebangan liar menghasilkan asosiasi semak belukar. Di dalam masyarakat tumbuh-tumbuhan seperti hutan terjadi persaingan antara individu-individu dalam satu jenis atau berbagai jenis. Persaingan terjadi karena kebutuhan sumberdaya yang sama. Dampak dari persaingan ini adanya dominasi jenis-jenis tertentu. Dominasi jenis-jenis tertentu secara vertikal terlihat adanya strata–strata tajuk dalam hutan. Berdasarkan analisis secara vertikal tingkat pertumbuhan pohon, hutan koridor memiliki tiga strata tajuk. Strata A (30 m ke atas) dengan tajuk rata-rata 31,3 m, strata B (20-30 m) dengan tajuk ratarata 23 m dan strata C (4-20 m) dengan tajuk rata-rata 10 m. Jenis-jenis strata A antara lain batarua dan kurai, strata B (ki beusi, puspa dan pasang) dan strata C (puspa, afrika, kihiur dan kecapi). Perbandingan antar strata secara berurutan 1:5:99. Jumlah strata A cukup kecil dari perbandingan ini, hal ini terjadi karena
adanya gangguan berupa penebangan pohon sehingga proses suksesi menuju klimaks terganggu. Pengetahuan tentang banyaknya distribusi atau frekwensi dari permudaaan jenis-jenis pohon adalah sebagai dasar untuk menduga komposisi dalam tegakan hutan. Berdasarkan Indek Nilai Penting (INP) tumbuhan semak, perdu dan tumbuhan bawah mendominasi petak pengamatan semai. Dari 10 INP terbesar pada Tabel 2, hanya tiga jenis yang termasuk dalam pepohonan. Clidemia hirta memiliki kepadatan tertinggi (0,8464/3,2 ha). Dalam plot pengamatan yang sering dijumpai jenis Clidema hirta, Diplazium asperum, Argestoma montanum. Jenis permudaan yang termasuk dalam 10 besar INP tingkat semai kaliandra (Calliandra callothirsusa ) mara (Macaranga tanarius) dan balaka toa. Dominasi tingkat semai karena adanya rumpang-rumpang yang terisi oleh semak belukar. Semak belukar ini banyak dijumpai di koridor bagian tengah (Palahlar kearah barat hinga perbatasan dengan G. Halimun. Hal ini mengindikasikan proses regenerasi tingkat pohon tidak berjalan dengan baik. Tabel 2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor No
Jenis
Nama latin
Famili
K
KR
F
FR
INP
1
Harendong
Clidema hirta
Melastomaceae
0,85
11,49
0,61
8,09
19,58
2
Pakis
Diplazium asperum
Polypodiaceae
0,49
6,64
0,39
5,12
11,75
3
Rende badak
Argostemma montanum
Acanthaceae
0,38
5,19
0,26
3,47
8,66
4
Paku kadal
Blechnum orientale
Blechnaceae
0,19
2,55
0,25
3,30
5,85
5
Kaliandra
Calliandra callothirsus
Fabaceae
0,24
3,28
0,15
1,98
5,26
6
Mara
Macaranga tanarius
Euphorbiaceae
0,13
1,79
0,24
3,14
4,92
7
Andam
Dicranoptris dichotoma
Gleicheniaceae
0,25
3,45
0,10
1,32
4,77
8
Aawian
Dinochloa scandens
Paceae
0,24
3,28
0,09
1,16
4,43
9
Lolo
Fryeycetia javanica
Myritaceae
0,13
1,70
0,20
2,64
4,34
10
Rotan
Calamus javanensis
Palmae
0,12
1,62
0,18
2,31
3,93
Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi ole mara (Macaranga tanarius), kaliandra (Calliandra callothirsus), jirak (Sympolocos fasiculata) dan puspa (Schima walichii) memiliki INP (29,0700; 16,2355; 13,3586; 10,7716) terbesar di antara 68 jenis pancang yang teridentifikasi dalam 80 plot contoh. Mara merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan memiliki kerapatan terbesar. Hasil analisis vegetasi untuk 10 INP terbesar tingkat pertumbuhan pancang disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor No
Jenis
Nama latin
Famili
K
KR
F
FR
INP
1
Mara
Macaranga tanarius
Euphorbiaceae
0,11
15,25
0,26
13,82
29,07 16,24
2
Kaliandra
Calliandra callothirsus
Fabaceae
0,09
12,29
0,08
3,95
3
Jirak
Sympolocos fasiculata
Symplocaceae
0,05
6,78
0,13
6,58
13,36
4
Puspa
Schima walichii
Theaceae
0,04
5,51
0,10
5,26
10,77
5
Afrika
Maesopsis emini
Rhamnaceae
0,03
4,66
0,08
3,95
8,61
6
Kihiur
Costanea javanica
Fagaceae
0,03
3,81
0,04
1,97
5,79
7
Benying
Ficus fustilosa
Moraceae
0,02
2,12
0,06
3,29
5,41
8
Huru leer
Phoebe xcelsa
Lauraceae
0,02
2,12
0,06
3,29
5,41
9
Kisapi
Gordonia exelsa
Gordoniaceae
0,02
2,12
0,06
3,29
5,41
10
Huru batu
Phirenaria acuminata Planch
Theaceae
0,02
2,12
0,05
2,63
4,75
Pada tingkat pertumbuhan tiang komposisi vegetasi didominasi kaliandra (Calliandra callothirsus) kayu afrika (Maesopsis emini), Jirak (Sympolocos fasiculata), damar (Agathis damara) dan Sampang (Evodia latifolia) memiliki INP terbesar di antara 51 jenis tiang yang teridentifikasi dalam 80 plot contoh. Kaliandra merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan memiliki kerapatan terbesar. Daftar hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor No
Jenis
Nama latin
Famili
K
KR
F
FR
INP
1
Kaliandra
Calliandra callothirsus
Fabaceae
0,14
20,27
0,14
8,148
28,42
2
Afrika
Maesopsis emini
Rhamnaceae
0,09
13,06
0,16
9,630
22,69
3
Jirak
Sympolocos fasiculata
Sympolocaceae
0,05
6,76
0,15
8,889
15,65
4
Damar
Agathis damara
Araucariaceae
0,06
8,56
0,08
4,444
13,00
5
Sampang
Evodia latifolia
Rutaceae
0,03
4,96
0,10
5,926
10,88
6
Mara
Macaranga tanarius
Euphorbiaceae
0,03
4,05
0,11
6,667
10,72
7
Puspa
Schima walichii
Theaceae
0,03
4,51
0,10
5,926
10,43
8
Kiwates
Eurya japonica
Theaceae
0,03
4,05
0,06
3,704
7,76
9
Batarua
Platea exelsa
Fagaceae
0,02
3,15
0,06
3,704
6,86
10
Hamerang
Ficus toxicasia
Moraceae
0,02
3,15
0,04
2,222
5,38
Puspa mendominasi vegetasi tingkat pertumbuhan pohon. Puspa dapat dijumpai dari ujung barat kawasan sampai ujung timur kawasan. Puspa merupakan jenis lokal, menjadi tanaman pilihan perhutani selain damar dan pinus. Jenis-jenis komersial yang dijumpai di plot contoh antara lain; pasang (Quercus sundaicus), saninten (Castanopsis argentea), puspa (Schima walichii), dan kayu afrika (Maesopsis emini). Di plot contoh yang dahulu bekas areal PHBM dijumpai jenis nangka. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Puspa Kihiur Kironyok Jaranak Saninten Batarua Afrika Pasang Damar Jirak
LBDS 91698,21 21183,23 17368,13 17113 10024,45 15561,84 7735,39 11862,14 7633,34 3022,25
K 0,44 0,05 0,06 0,06 0,04 0,03 0,05 0,04 0,06 0,03
KR 36,20 4,17 4,95 5,21 3,39 2,60 4,17 3,39 4,95 2,34
F 0,48 0,16 0,10 0,06 0,15 0,11 0,13 0,10 0,10 0,10
FR 17,59 6,02 3,70 2,32 5,56 4,17 4,63 3,70 3,70 3,70
D 28655,69 6619,76 5427,54 5347,81 3132,64 4863,08 2417,31 3706,92 2385,42 944,45
DR 35,05 8,10 6,64 6,54 3,83 5,95 2,96 4,53 2,92 1,16
INP 88,84 18,28 15,29 14,06 12,77 12,72 11,75 11,62 11,57 7,20
Suksesi adalah bentuk adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan sebagai reaksi terhadap tingkat tumbuh dan proses stabilisasi. Berdasarkan sejarah pembentukan dan perkembangan hutan, koridor mengalami suksesi sekunder disklimaks. Penebangan liar yang terus menerus dan lintas strata mulai dari strata A-C menyebabkan terhambatnya proses regenerasi tegakan hutan. C. Keanekaragaman Satwa Di Koridor Koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki fungsi tertentu bagi satwa di dalam dan di sekitar kawasan. Koridor habitat merupakan jalurjalur yang dilindungi yang menghubungkan suatu cagar alam satu dengan cagar alam lainnya. Habitat yang demikian dikenal dengan koridor konservasi atau koridor perpindahan. Koridor memungkinkan satwa menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain, sehingga memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migran musiman di antara berbagai habitat yang berbeda-beda untuk dapat makanan (Simber et al., 1992 dalam Primack, 1998) Menurut Cahyadi (2003) koridor hutan dijadikan sebagai tempat mencari makan oleh macan tutul (Panthera pardus melas), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan elang ular (Spilornis cheela). Koridor hutan Gunung Halimun-Gunung Salak digunakan sebagai habitat oleh jenis owa jawa (Hylobates moloch moloch), lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus), surili (Presbytis aygula aygula), jelarang (Ratufa bicolor), kucing hutan (Felis bengalensis), muntjak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), musang (Paradoxurus hermaproditus) dan burung puyuh gonggong (Arborophylla javanica). Berdasarkan perjumpaan di lapangan jenis satwaliar di koridor antara lain dari kelompok primata, aves dan mamalia. Berdasarkan informasi kader
konservasi, di koridor juga terdapat kelompok reptil, pisces dan amphibi. Jenisjenis satwa liar yang dijumpai di koridor secara langsung maupun tidak langsung disajikan pada Tabel 6. Elang jawa menggunakan koridor sebagai tempat mencari makan. Elang jawa sering terlihat terbang di atas kawasan pada siang hari dari jam 10.0015.00. Elang jawa yang terlihat selalu sendirian. Elang ular menggunakan koridor sebagai tempat mencari makan. Elang ular tidak terbang berlama-lama di udara, di koridor elang bertengger pada percabangan pohon. Elang ular terbang untuk berpindah tempat dan memburu mangsa. Elang ular diketahui keberadaannya saat terbang menukik untuk menangkap mangsannya. Seperti elang jawa elang ular selalu terlihat sendirian. Musang diduga memiliki populasi yang padat di koridor. Dugaan ini berdasarkan jejak kaki dan kotoran yang sering dijumpai di sepanjang koridor seperti halnya babi. Kotoran musang ditemukan di bagian tengah koridor (palahlar, pasir panjang dan cisarua), di bagian barat ditemukan di kawasan Bepag dan Menara, di wilayah timur ditemukan di Pojok Goong tepi kebun teh dan jalan cagak ke arah Growek. Kotoran musang yang masih basah berwarna hitam dengan biji-bijian sisa di dalamnya. Biji-bijian yang sering terlihat diantaranya biji buah afrika. Jelarang jarang sekali dijumpai baik jejak kaki maupun kotorannya. Jelarang banyak tinggal di pinggir koridor dan memcari mangsa di areal kebun masyarakan dan kebun teh di sekitar pemukiman penduduk. Jelarang dan kucing hutan yang terdapat di areal koridor seperti disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Jelarang dan kucing hutan di Koridor (Sumber BCI, 2005)
Burung puyuh banyak dijumpai bekasnya pada lantai hutan yang relatif terbuka dan sedikit dijumpai di kawasan yang tertutup semak belukar selama pengamatan. Jejak paling banyak dijumpai di tegakan puspa, perbatasan dengan habitat Gunung Salak. Jejak yang dijumpai berupa cakaran pada tanah bekas mencari rayap. Burung ini menjadi salah satu target perburuan penduduk dan termasuk yang paling banyak diburu. Hal ini diketahui dari banyaknya jebakan pujuh yang dijumpai selama pengamatan lapangan. Tabel 6. Jenis-jenis satwa yang dijumpai di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama lokal
Nama latin
Macan tutul Owa jawa Surili Lutung Babi hutan Muntjak Musang Kucing hutan Puyuh gonggong Burung madu Elang ular Elang jawa Raja udang Sepah Caladi Bentet kelabu Burung cacing Anis Kipasan Landak Trenggiling Ayam hutan Burung hantu Bubut alang-alang Meninting Layang-layang Klontrok Siki nangka
Panthera pardus melas Hylobates moloch Presbytes aygula Trachypithecus cristatus Sus scrofa Muntiacus muntjak Paradoxurus hermaproditus Felis bengalensis Arborophylla javanica Anthereptes singalensis Spilornis cheela Spizaetus bartelsi Alcedo euryzona Pericrocotus cinnamoneus Sasia abnormis Lanius schach Cyornis banyumas Zoothera citrina Rhipidhura javanica Histrix brachyura Manis javanica Galus Sp. Otus Sp. Centropus bengalensis Enicurus velatus Hirundo tahitica Phaenichophalus javanicus Zosterops palpe brosus
Habitat di koridor Timur Tengah Barat √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
D. Mangsa Macan Tutul di Koridor Menurut Harahap dan Sakaguchi (2003) jenis hewan yang biasa dimakan oleh macan tutul dari hasil analisis fecal di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu kubung melayu (C. vriegatus), surili (P. aygula aygula), lutung (T. cristatus sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak),
trenggiling (M. javanica), landak jawa (H. brachyura). Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa memangsa muntjak (M. muntjak), monyet ekor panjang (M. fascicularis), surili (P. aygula aygula), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), kadang-kadang memangsa owa jawa (H. moloch). Berdasarkan pengamatan ditemukan 8 jenis mangsa macan tutul. Jenisjenis itu antara lain: 1. Surili Surili dijumpai di koridor, pada daerah sepanjang aliran sungai di hutan bagian tengah. Dijumpai di setiap jalur pengamatan, Legok buluh pada jalur pengamatan Cipongpog, Raksamala lima pada jalur Bepag, tegakan puspa pada jalur Cibadag, serta jalur Ciherang di bagian timur. Pada 4 tempat yang berbeda surili dijumpai pada waktu yang sama jam 08.00-09.00 sedang mencari makan. Terdiri dari 3 atau 4 ekor dalam tiap kelompok. Di Legok buluh surili satu kelompok sedang bermain dan mencari makan di atas pohon hamerang. Di Jalur puspa, Cibadak dijumpai 3 ekor surili dengan satu anakan, sedang bermain dan makan di atas pohon puspa. Di jalur Bepak, 2 ekor surili turun ke semak-semak tepi sungai, seperti sedang minum dan kembali lagi keatas pohon afrika karena merasa terganggu karena diamati. Surili tidak dapat dijumpai di hutan tepi koridor, pada jarak 150-200 m dari tepi. Tidak dijumpai kelompok surili terutama di tepi bagian tengah dan tepi bagian barat koridor. Di tepi bagian timur masih dijumpai tetapi sudah sangat jarang. Pada bagian tepi koridor formasi vegetasi berupa semak belukar dan jenis permudaan pohon yang baru sampai tingkat pertumbuhan tiang, akibat penebangan. Menurut Wilson dan Wilson (1975) dalam Ali (1993) bahwa Macaca fascicularis dan Presbytis cristata dan Tarsius bancanus relatif tidak terpengaruh oleh kegiatan tebang pilih, hal ini berbeda dengan hasil pengamatan di koridor karena vegetasi pohon daerah tepi didominasi puspa dan kayu afrika, masih dalam tingkat pertumbuhan tiang dengan jarak antar tegakan rata-rata 10-20 m. Dengan kondisi vegetasi tersebut sangat sedikit suplai makanan dan tajuk untuk brakhiasi, beristirahat dan bermain. Selain itu di bagian tengah dan bagian barat, akses manusia ke kawasan cukup tinggi. Di bagian tengah, penduduk sering menebang kayu untuk kayu bakar dengan periode rata-rata 1 minggu sekali/KK, mengambil pakan ternak setiap pagi atau sore, mengambil akar pakis rata-rata 2 minggu dan ditemukan juga perkebunan pada jarak ± 150 m dari tepi.
Surili dijumpai pada seluruh jalur pengamatan baik di tengah, barat dan timur koridor. Paling kecil jumlah kelompok dijumpai di jalur barat (Bepag) perbatasan dengan Gunung Halimun. Pada jalur pengamatan bagian barat, Cibadak dijumpai satu kelompok terdiri dari 3 individu, Ciherang dijumpai 2 kelompok masing-masing terdiri dari 4 individu. Pada jalur tengah, Cipongpok dijumpai 3 individu dan pada jalur Bepag hanya dijumpai 2 individu. Berdasarkan hasil pendugaan diketahui memiliki total populasi ±111 individu pada kisaran populasi 65-157 individu. 2. Lutung Lutung dijumpai di koridor dalam kelompok yang jumlahnya lebih besar dari owa dan surili. Di jalur Cipongpog dijumpai lutung berjumlah 6 ekor dengan ukuran tubuh relatif sama, diduga semua adalah kelompok umur dewasa tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Dijumpai sedang makan dan melakukan brakhiasi di antara pohon-pohon puspa dan hamerang, pada ketinggian 3-10 m dari permukaan tanah. Mereka tidak mengeluarkan suara dari mulut selama pengamatan kecuali suara dari pergeseran dahan dan ranting yang digunakan untuk brakhiasi. Perpindahan dari satu tajuk ke tajuk lain cepat, selalu bergerak untuk menemukan apa yang bisa dimakan. Di Jalur Bepag (daerah Raksamala 5) dijumpai 3 ekor lutung dengan satu diantaranya berukuran lebih kecil diduga masih termasuk kelas umur anak. Dijumpai sedang mencari makan dan bermain di atas pohon afrika pada ketinggian 25-35 m dari permukaan tanah. Tetap dalam satu pohon hingga 2 menit sedang makan buah afrika, terlihat pohon sedang berbuah banyak. Selesai makan kemudian melakukan brakhiasi pindah ke pohon lain dan tidak ada anggota kelompok yang tertinggal. Pada pengamatan di jalur Cibadak juga dijumpai 3 ekor lutung dengan satu anak. Mereka sedang mencari makan dan bermain di antara tajuk-tajuk pohon puspa. Pada jalur Ciherang dijumpai 2 kelompok lutung masing-masing 8 dan 7 ekor masing masing berada pada pohon pasang (Quercus lineata) dan kisampang (Evodia latifoliai). Seperti halnya surili, lutung tidak dapat dijumpai di kawasan perbatasan antara koridor dan perkebunan teh. Formasi vegetasi bagian tepi didominasi oleh semak belukar tidak dapat memberi suplai makanan yang cukup. Tidak ada tajuk yang nyaman untuk beristirahat maupun menciptakan iklim mikro yang sejuk. Menurut Medway (1977) lutung pada dasarnya binatang arboreal akan tetapi ada
beberapa koloni yang hidup di perbukitan daerah Kuala Selangor yang menghabiskan waktunya di lantai hutan. Menghabiskan waktu diantaranya beristirahat dan bermain, hutan di Kalimantan adalah hutan tropis dengan tajuk yang luas sehingga tercipta iklim mikro yang nyaman untuk beristirahat. Intensitas jelajah manusia pada daerah tepi tidak menjadi penyebab langsung tidak adanya lutung. Menurut pemandu lapangan, lutung sering mendekati orang yang berada dalam kawasan. Pernyataan pemandu tersebut benar, terbukti dijumpai kelompok lutung di daerah Cisarua pada jarak 20-30 m dari jalan lintas koridor, yang mana pada jalan tersebut sering dilalui manusia baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan bermotor. Lokasi Cisarua tersebut memilki struktur vegetasi yang didominasi oleh pepohonan dengan tajuk luas yang dapat digunakan untuk beristirahat dan bermain, juga menghasilkan iklim mikro yang nyaman untuk bermain di lantai hutan. Berdasarkan
hasil
pengamatan,
lutung
memiliki
populasi
terbesar
dibandingkan dengan primata lain. Pada jalur pengamatan Bepag dijumpai 3 individu, individu diantaranya kelas umur anak. Pada pengamatan di jalur Cipongpog dijumpai 6 individu dewasa dalam satu kelompok. Pengamatan yang dilakukan di Jalur Cibadak menjumpai 8 ekor lutung dengan 2 anak dalam satu kelompok. Jumlah terbesar dijumpai di jalur pengamatan Ciherang ada 2 kelompok, satu kelompok beranggotakan 8 individu dengan 4 anakan dan satu kelompok lagi terdiri dari 7 individu juga dengan 2 anakan. Berdasarkan hasil pendugaan populasi lutung sebesar ±197 individu pada kisaran populasi 134-259 individu dan kepadatan populasi rata-rata 0,62 individu/ha. 3. Owa Jawa Sebaran populasi owa jawa tidak merata di koridor. Owa jawa dijumpai pada bagian barat koridor di lokasi perbatasan antara Raksamala 5 dan Pasir andam. Perjumpaan kedua pada jalur Ciherang dekat dengan habitat Gunung Salak. Di jalur Bepag dijumpai 3 ekor owa dengan ukuran badan relatif sama. Keberadaan owa jawa ini ditandai dengan suara yang khas. Dijumpai sedang bermain dan bersuara pada pohon afrika pada ketinggian 15-20 m. Setelah menyadari akan keberadaan manusia berpindah kearah pohon yang lebih tinggi jenis puspa dengan tetap mengeluarkan suaranya. Pada jalur Ciherang dijumpai 3 individu dengan ukuran relatif sama dan tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya. Seperti perjumpaan di jalur Bepag, di jalur Ciherang owa jawa juga
mengeluarkan suara yang khas. Dijumpai sedang bermain dan bersuara serta mancari makan di pohon batarua. Waktu perjumpaan di jalur Ciherang dan Bepag antara 09.00-10.00, pada lokasi dengan habitus pohon dalam formasi yang lebih rapat dibanding kawasan lain dalam koridor. Pada jalur Cibadak dan jalur Cipongpok tidak dijumpai owa jawa. Kedua jalur ini mamiliki formasi vegetasi dengan habitus pohon yang jarang jika dibandingkan dengan kawasan Ciherang dan Bepag. Tidak dijumpainya owa jawa di bagian tengah koridor karena kondisi vegetasi dengan tajuk yang tidak kontinyu dan akses manusia yang tinggi. Menurut Keppeler (1984) menyebutkan owa jawa di Turalak Taman Nasional Ujung Kulon, hanya makan pada ketinggian di atas 10 m, yang merupakan ketinggian makan satwa arboreal sejati, berkaitan dengan berat badan dan resiko terhadap adanya predator (Bismark 1991). Distribusi penggunaan tajuk oleh owa jawa, tajuk A 7,06% kelas tajuk B 84,71% dan tajuk C 8,24%. Tajuk B lebih banyak digunakan karena tajuk yang kontinyu sehingga memudahkan penjelajahan. Owa jawa makan pada ketinggian antara 10-25 m di atas permukaan tanah (Rahayu, 2002). Menyingkirnya owa karena aktifitas eksploitasi manusia diungkap dalam Mars et al. (1987) dalam Ali (1993) yang menyebutkan telah berkurangnya suara Hylobates lar karena kegiatan eksploitasi hutan, setelah kegiatan eksploitasi selesai suara Hylobates lar kembali ramai. Untuk kondisi di koridor kemungkinan sangat kecil karena sifat eksploitasi yang kontinyu dan beragamnya jenis yang dieksploitasi. Dari hasil pengamatan, owa jawa merupakan spesies primata yang memiliki sebaran populasi sempit dan jumlah populasi terkecil dibandingkan dengan primata lain. Dijumpai di jalur Bepag satu kelompok yang terdiri 3 individu. Perjumpaan kedua pada jalur Ciherang terdiri 3 individu. Tidak bisa dilakukan pembedaan jenis kelamin, pembedaan hanya berdasarkan ukuran tubuh yaitu 6 individu dari 2 kelompok, termasuk dalam kelas umur dewasa. Berdasarkan pendugaan populasi, owa jawa di koridor berjumlah ±37 ekor dengan dalam kisaran populasi 12-62 ekor. 4. Babi Hutan Babi hutan memiliki sebaran paling luas di antara spesies mangsa yang ditemui. Jejak babi hutan dapat dijumpai di luar dan di dalam kawasan. Di luar kawasan jejak babi ditemukan di sepanjang areal kebun teh, kebun penduduk dan areal pertanian. Di dalam kawasan jejak babi ditemukan di tepi timur,
Growek dan Puspa yang berbatasan dengan habitat gunung salak. Di perbukitan tengah koridor dari Pojok Goong, Palahlar, Pasir kiara, Cipongpok, Cisarua, Cipanas hingga Cisaladah. Di tepi barat jejak babi ditemukan di Cimapag terus ke barat hingga Pasir pari dan Batu sisir. Ukuran rata-rata jejak yang ditemukan panjang 3-6 cm dengan lebar 2-4 cm. Keberadaan babi hutan di koridor seperti disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Babi hutan di koridor (Sumber BCI, 2005) Berdasarkan jejak yang dijumpai dalam hutan, rata-rata babi dalam hutan soliter. Dalam hutan babi menggunakan jalan yang digunakan oleh manusia. Jika tidak menggunakan jalur manusia babi memilih menyusuri tepian sungai untuk mencari makan hal ini dijumpai pada jejak di sungai Bepag dan Cibadak. Babi hutan mencari pada jalur punggungan bukit yang merupakan jalan manusia yang sudah lama tidak digunakan. Bekas-bekas babi mencari makan adalah tanah yang terbalik seperti selesai dibajak, bekas-bekas seperti ini banyak sekali di punggungan-punggungan bukit. Pada tepi koridor yang berbatasan dengan kebun teh dan perkampungan penduduk ditemukan 36 jalur babi. Jalur-jalur ini berada mamanjang dari bagian tengah (pasir Palahlar) hingga tepi ujung koridor sebelah barat (Batu sisir). Jalur babi menyerupai lorong dalam semak belukar, terbuka sampai ketinggian 1 m dan satu meter ke atas tertutup rapat oleh tajuk semak. Setiap jalur babi, vegetasi penutup tanah pasti bersih (mati terinjak) mirip dengan jalan manusia perbedaanya tanahnya akan berlubang seperti bekas aliran air, hal ini terjadi karena babi yang lewat berkelompok dan cara turunya dengan “mprosot” sehingga tanah akan tergaruk oleh kukunya. Jalur yang dipakai babi cenderung
tetap untuk kelompok babi kecuali untuk jenis yang soliter/nunggal dan untuk jalur yang pernah dipasang jerat jalur akan ditinggalkan dalam waktu tertentu. Babi hutan menyerang daerah pertanian dan perkebunan masyarakat sekitar. Yang menjadi sasaran babi hutan antara lain jagung, padi, kacang, singkong, dan jenis pertanian lainnya. Berdasarkan keterangan penduduk yang sering menjaga kebun dari serangan babi hutan, bahwa saat beroprasi di kebun yang berjalan paling depan betina, jantan besar mengiring paling bekang dan anak-anak berada di tengah. Sampai di kebun induk jantan dan induk betina mengamati di sekitar dan ke dalam kebun untuk memastikan kondisi aman setelah itu baru anak-anak mereka masuk duluan dan menyebar memakan makanan yang ada dalam kebun. Kegiatan makan selesai ketika induk jantan memberi
tanda
suara,
dan
anak-anak
berkumpul
lalu
bersama-sama
meninggalkan kebun dalam barisan seperti saat menuju kebun.
Gambar 6. Sarang babi hutan di koridor Di Pasir kiara, 25 m dari jalan perkebunan ditemukan 3 sarang babi yang telah ditinggalkan, dengan jarak 20-30 m satu sama lainya. Sarang babi yang ditemukan memiliki ukuran panjang 90-100 cm, lebar 45-60 cm ditutup dengan daun pakis yang diberi kerangka kayu-kayu muda. Setiap sarang memiliki 2 pintu, pintu untuk keluar dan pintu untuk masuk. Lokasi sarang berada di atas bukit dengan semak-semak yang lebat. Di bawah bukit terdapat aliaran sungai dengan lebar 30-40 cm dan terdapat tempat berkubang babi. Grzimek`s (1972) menyebutkan bahwa babi yang hamil membuat sarang berupa tanah lapang dengan digali dan atasnya ditutup dengan daun-daunan yang sebelumnya diberi rangka berupa cabang atau kayu-kayu muda yang bisa di patahkan atau robohkan. Babi meninggalkan sarang maksimal 2 minggu. Setelah masa dua
minggu anak telah bisa makan sendiri dan sarang tidak dipakai lagi. Sarang babi di koridor disajikan dalam Gambar 6. Babi hutan menggunakan rimbunan perdu misalnya bambu sebagai tempat tidur. Dari satu tempat tidur yang ditemukan, banyak serasah yang diduga sebagai alas yang berupa daun-daunan bambu. Tanah bekas tempat tidur berbentuk cekung dengan kedalaman 20-30 cm. Tempat tidur ini berada pada jalur yang digunakan untuk keluar masuk kawasan. Jarak antara tempat tidur dengan jalan ± 25 m. Selama pengamatan lapangan di tengah kawasan tidak dijumpai tempat tidur maupun bekas sarang. Babi hutan selama pengamatan dijumpai dalam kelompok dan nunggal atau sendiri. Babi hutan yang berkelompok minimal dengan pasanganya (berdua) dan maksimal 12 ekor dalam lokasi pengamatan. Berdasarkan pengamatan lapangan dan keterangan penduduk rata-rata kelompok yang lewat jalur antara 2-9 individu. Babi hutan yang berada dalam satu kelompok merupakan satu kesatuan keluarga terdiri atas induk jantan, induk betina, anak dan kadang ada remaja. Menurut keterangan penduduk babi hutan yang berkelompok bisa mencapai 16 ekor dengan 2/3 jumlah tersebut adalah anakan. Pendugan
populasi
babi
hutan
menggunakan
metode
konsentrasi
perwilayah serangan babi di lokasi perkebunan teh dan pertanian serta perkebunan penduduk. Pendugan juga dilakukan dengan pendekatan jumlah populasi pengguna jalur. Data jumlah perwilayah diperoleh dengan cara pengintaian dan informasi perjumpaan oleh penduduk tiap wilayah. Ada 14 titik di 5 daerah yang diserang babi yaitu daerah Padajaya, Cigarehong, Cimapag, Cisurupan dan Pasir pari. Di Padajaya dari lokasi pengamatan kebun teh dan pertanian penduduk diketahui ada 23 individu dengan 12 ekor anak, 3 ekor babi jantan, 2 ekor babi betina dan 6 diantaranya tidak terdeteksi yang termasuk kelompok dewasa. Wilayah Cigarehong diketahui terdapat 33 individu terdiri dari 12 anak, 17 tidak terdeteksi (dewasa), 2 jantan dan 2 betina. Di Cimapag diketahui hanya 3 individu terdiri dari 1 jantan dan 2 tidak terdeteksi, Cisurupan 11 individu terdiri dari 6 anak, jantan 1 dan betina 1. Di Pasir pari 15 individu 9 anakan, 3 tidak terdeteksi, 1 betina dan 2 jantan. Total populasi babi hutan dari 14 sasaran serangan dalam 5 wilayah pemukiman penduduk berjumlah 85 individu dengan 9 jantan, betina 6,anakan 39 dan tidak terdeteksi jenis kelamin dan masuk kelas umur dewasa 31 ekor. Berdasarkan pendekatan populasi pengguna jalur diketahui populasi babi koridor berkisar antara 72 – 315 individu.
5. Trenggiling Trenggiling tinggal di sepanjang kawasan koridor. Jejak trenggiling di jumpai di Bepag, Palahlar dan Cipongpok. Di jalur Bepag dijumpai jejak 2 ekor trenggiling dengan jarak antar jejak ± 200 m. Jejak ini pada tanah yang datar dan agak terbuka di atas rerumputan, sedikit saja tampak bekas kuku dan yang dominan adalah posisi rumput yang rebah yang menurut pemandu lapangan memang khas jejak trenggiling. Jejak yang kedua berada pada tanah sedikit penutup permukaan, panjang dari ujung kuku tengah 6 cm dengan lebar dari pangkal kelingking hingga ibu jari 3 cm. Perjumpaan terhadap jejak trenggiling pada jalur Cibadak, di bawah tegakan puspa. Jejak memiliki ukuran lebar 2,5 cm dan panjang 5 cm di dekat sarang rayap yang terbongkar. Pada jalur Ciherang tidak dijumpai jejak trenggiling. Pada jalur ini vegetasi paling rapat dengan habitus pohon, memiliki serasah yang tebal dengan kelembaban lantai hutan yang tinggi. Penutupan tajuk di kawasan ini lebih rapat di bandingkan dengan wilayah lain. Kelimpahan serangga berbanding terbalik dengan akumulasi curah hujan pada bulan yang bersangkutan. Sebagian besar ordo serangga di Taman Nasional Gunung Halimun memiliki jumlah individu yang berbanding terbalik dengan curah hujan bulan yang bersangkutan, jumlah serangga akan naik pada saat curah hujan menurun dan jumlah serangga akan turun saat curah hujan naik (Kahono et al., 2002 dalam dalam Kahono et al., 2003). Terkait dengan curah hujan tertinggi, akan menaikkan tingkat kelembaban lantai hutan sehingga diduga karena tinggkat kelembaban yang tinggi populasi serangga kecil termasuk pakan trenggiling. Trenggiling termasuk jenis yang sukar untuk mendapat jenis pakan subtitusi selain rayap dan semut. Grzimek`s (1975) menyebutkan bahwa sulit untuk menangkarkan trenggiling. Untuk jenis yang baru ditangkap dari alam tidak akan mau langsung menerima pakan pengganti. Butuh hingga 8 minggu agar mau menerima pakan pengganti, waktu yang relatif lama sehingga kemungkinan besar trenggiling akan mati dulu sebelum dapat beradaptasi. Perjumpaan dengan jejak trenggiling dari 4 jalur pengamatan hanya pada 3 jalur pengamatan. Pada jalur Bepag dijumpai jejak 2 individu yang berdasarkan ukuranya merupakan individu dewasa. Jejak satu individu dijumpai pada jalur Cibadak juga individu dewasa. Jejak paling banyak tiga individu pada jalur Cipongpok, 3 individu dewasa. Di koridor diduga terdapat ±43 individu dengan kisaran populasi 19-67 individu.
6. Landak Pengamatan yang dilakukan pada 4 jalur pengamatan, ditemukan jejak pada 2 jalur pengamatan. Keberadaan landak diketahui melalui jejak kaki serta bulu yang mirip duri yang ditinggalkan. Jejak kaki rata-rata 5,5-7,5 cm dengan lebar ujung tungkai 1,5-2 cm lebar bagian tengah telapak kaki antara 2-3 cm dan lebar antara pangkal bawah kelingking dan ibu jari 3-4 cm. Jejak ini terpisah menjadi 3 kelompok masing-masing 3 individu dan 2 individu terpisah sendiri. Jejak berupa bulu yang menyerupai duri dijumpai di jalur Cipongpok. Bulu ini panjang 14 cm warna dominan coklat dengan bercak putih. Bulu ini ditemukan di bawah rimbunan rumpun bambu pada jalur jalan yang biasa dilewati manusia. Keberadaan landak dalam satu kawasan tidak terpisahkan dengan kondisi geomorfisnya. Landak dijumpai di kawasan Bepag dan Cipongpok karena lokasi tersebut lebih banyak dijumpai celah-celah bebatuan pada punggungan bukit yang kondisi permukaan tanah relatif kering. Sesuai dengan Suyanto (2002) bahwa landak tinggal pada lubang-lubang batu atau gua liang yang dibuatnya sendiri. Grzimek`s (1975) juga menyatakan bahwa pada siang hari landak beristirahat dalam lubang-lubang tanah atau celah-celah bebatuan yang menjadi tempat tidurnya. Landak menyukai habitat habitat berupa hutan terbuka dan stepa. Landak dapat hidup di setiap tipe hutan dan dapat pula hidup di areal perkebunan. Populasi landak berdasarkan pengamatan yang dilakukan di koridor tidak besar. Perjumpaan landak berdasarkan jejak di jalur pengamatan bepag ada 5 individu dewasa. Perjumpaan yang kedua jejak landak di jalur pengamatan Cipongpok diketahui ada dua individu. Populasi landak di koridor berkisar antara 13-86 individu dengan total populasi ±50 individu. 7. Kancil Pengamatan keberadaan kancil dilakukan 3 tahap, pengumpulan informasi keberadan kancil dari masyarakat sekitar, survey lokasi dan pengamatan. Jejak kaki kancil teridentifikasi di lokasi pengamatan dengan lebar 1-1,5 cm dengan panjang ± 2 cm, dengan garis tipis di tengah yang menunjukkan jumlah kukunya. Pada setiap lokasi jejak dijumpai beberapa jenis pakan kancil antara lain nampong (Clibadium surinamense) dan ilat ayam (Carex baccans). Menurut keterangan penduduk setempat kancil sering dijumpai di lokasi kebun teh untuk merumput dan minum di aliran sungai dalam kebun teh. Beberapa penduduk
juga sering menjumpai kancil di lokasi perkebunan mereka. Di areal kebun penduduk kancil makan daun cabe, daun kacang dan daun singkong muda. Perjumpaan kancil di koridor disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Kancil di koridor (Sumber BCI, 2005) Kancil merupakan jenis soliter. Perjumpaan penduduk di lokasi Pojok Goong yang secara tidak sengaja dengan kancil yang berjumlah tiga ekor dengan dua ekor anakan. Seperti apa yang dijelaskan Grzimek`s (1972) bahwa kancil hidup soliter, berpasangan saat musim kawin dan dijumpai lebih dari satu jika mengasuh anaknya. Masa kehamilan 6 bulan dan biasanya melahirkan 2 ekor anak dalam satu waktu kelahiran. Lokasi dijumpai jejak-jejak keberadan kancil memiliki formasi vegetasi yang didominasi oleh semak belukar. Dalam Semiadi et al. (2002) juga menyebutkan bahwa kancil berada di sekitar Gunung Kendeng (koridor bagian barat termasuk di dalamnya) dan dapat hidup hingga ketinggian 1150 m dpl. Lebih lanjut disebutkan juga bahwa kancil menyukai tempat-tempat yang rimbun terlindung seperti semak-semak bahkan di bawah rimbunan kebun teh, dan lubang-lubang kayu. Kondisi penutupan tajuk lebih terbuka dibanding lokasi lain. Kancil hidup di daerah kering atau habitat berbatu-batu, di hutan primer dan hutan mangrove (Grzimek`s, 1972). Lokasi dijumpai jejak dekat dengan tepian koridor, perkebunan teh dan pertanian penduduk. Dari hasil pengamatan pada lokasi-lokasi yang sering terlihat kancil, terhitung ada 5 individu di kawasan koridor. Lokasi jejak ini di daerah semak belukar Pojok Goong, daerah perbatasan kebun teh Pojok adul, daerah pasir bedil, daerah semak-semak Cisarua dan Daerah tepi koridor Pasir pari.
8. Muntjak Keberadaan muntjak di koridor diketahui melalui jejak kaki dan bekas renggutan pada tumbuhan pakan. Jejak kaki muntjak ditemukan pada 6 lokasi yaitu growek, Cisaladah, Pasir pari, Cipicung dan Cisarua. Jejak kaki muntjak yang ditemukan relatif sama panjang yaitu 2,5-3 cm lebar dari tungkai dan bagian tengah 1,5 cm dengan ujung depan meruncing kemudian ada garis pemisah antara dua kuku. Setiap lokasi perjumpaan jejak, selalu terdapat jenis nampong dan ilat ayam dengan bekas renggutan pada bagian pucuk dan daun muda. Berdasarkan identifkasi, pada setiap lokasi jejak hanya ada satu individu. Seperti halnya kancil, muntjak biasa tinggal di semak-semak. Beberapa lokasi terjadi overlap dengan kancil karena beberapa jenis pakan muntjak merupakan pakan kancil. Hal ini sesuai dengan Lekogul dan Mc neely (1947) dalam Semiadi dkk. (2002), muntjak tergolong peranggas (broser/concentate selestive), dan dibandingkan dengan kancil muntjak lebih memiliki keragaman pakan yang tinggi karena muntjak juga memakan daun-daunan pohon, semak, tumbuhan herba dan buah-buahan hutan. Sangat sulit untuk mengetahui keberadaan muntjak di koridor. Untuk mengetahui keberadaan muntjak yang pertama dilakukan adalah mengumpulkan informasi penduduk lokal mengenai lokasi biasa terlihatnya muntjak, setelah itu disurvey ke lokasi. Untuk memastikan satwa tersebut berada di lokasi dilakukan pengamatan terhadap tumbuhan jenis pakan, apakah ada bekas renggutan jika ada bekas renggutan belum bisa dipastikan itu bekas muntjak bisa jadi itu bekas renggutan kancil. Untuk mengetahui apakah itu jenis kancil atau muntjak dibuat plot pengamatan. Plot pengamatan berupa luasan petak 1 x 1 m2 pada kedua ujung rimbunan makanan yang berupa jalan lintas. Berdasarkan hasil pengamatan jejak diduga populasi muntjak di koridor ada 6 ekor yaitu di daerah growek, Cisaladah, Pasir pari, Cipicung dan Cisarua. E. Potensi Pakan Mangsa Macan Tutul di Koridor Delapan jenis mangsa macan tutul yang dijumpai di koridor memakan berbagai jenis makanan dari vegetasi dan jenis serangga. Dari Hasil analisis vegetasi di jumpai 181 jenis vegetasi yang merupakan potensi pakan yang besar. Serangga secara umum di Taman Nasional Gunung Halimun diperkirakan ratusan ribu jenis. Hasil studi di sekitar canopy trail ada 2000 jenis, 48 famili dari ordo hymenoptera (Kahono et al., 2003).
1. Surili Vegetasi sumber pakan surili dari hasil perbandingan antara hasil analisis vegetasi di koridor dan vegetasi pakan surili Siahaan (2002), diketahui ada 28 jenis, 2 habitus liana dan 26 habitus pohon di koridor. Dari 28 jenis pakan surili hanya sembilan jenis pohon yang memiliki sebaran pertumbuhan merata. Sebaran pertumbuhan yang merata dapat dilihat dari dijumpainya jenis pada setiap tingkat pertumbuhan, semai, pancang tiang dan pohon. Untuk jenis perdu tidak akan didapat sampai tingkat pertumbuhan pohon karena ukurannya tidak akan mencapai ukuran pohon sehingga kemerataan tingkat pertumbuhan untuk perdu cukup sampai pertumbuhan tiang. Jenis-jenis vegetasi dan nilai INP untuk tiap tingkat pertumbuhan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Vegetasi pakan surili dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor (diolah dari Siahaan, 2002) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Jirak Kanyere Kihujan Kisampang Pasang Mara Puspa Ramo giling Saninten
Nama latin Sympolocos fasiculata Bridelia monoica Engelhardtia spicata Evodia latifolia Quercus sundaicus Macaranga tanarius Schima walichii Scefflera longifolia Castanopsis argentea
Bagian D Bh,D D D Bh,D D Bh,D D Bh,D
INP S 1,91 0,21 0,42 0,21 0,42 4,92 3,05 1,17 0,42
INP Pc 13,4 3,67 1,08 1,08 1,08 29,1 10,8 3,01 1,08
INP T 15,65 1,19 1,19 1,19 1,19 10,43 10,43 1,19 1,19
INP Ph 7,20 1,98 0,87 2,69 11,62 0 88,84 0,84 12,77
Keterangan : Bh : Buah D : Daun Ba : Bunga Pc: Pucuk INP S:INP Semai INP Pc: INP Pancang INP T: INP Tiang INP Ph : INP Pohon
Di habitat koridor surili lebih banyak makan dedaunan. Dari keseluruhan jenis vegetasi pakan yang terdaftar, daun yang dimakan 78,6%, buah sebanyak 46,4% dan bunga 7,1%. Di ketahui ada 7 jenis vegetasi yang di makan buah dan daun diantaranya harendong, kanyere, kibarera, pasang, puspa, rasamala dan saninten. Empat jenis hanya dimakan buahnya, antara lain benying, hamerang, kisireum, kopo dan teureup. 2. Lutung Dari hasil perbandingan vegetasi pakan lutung hasil studi Paulina (2005) di Kawasan Unocal Geotermal, Gunung Salak dengan hasil analisis vegetasi di koridor tercatat 23 jenis vegetasi pakan lutung di koridor. Satu jenis yaitu pisang dan 22 jenis lainya adalah habitus pohon. Beunying, cecengkehan, kaliandra dalah 3 dari 8 jenis pakan dengan habitus pohon yang sebaran pertumbuhannya
merata. Lutung memakan daun, buah dan pucuk dari jenis pakan yang ada. Seperti vegetasi pakan surili, vegetasi pakan lutung terhambat dalam proses regenerasi. Hal ini dapat dilihat dengan nilai 0 (nol) pada INP. Lutung lebih banyak makan dedaunan dibandingkan dengan buah dan pucuk. Lutung memakan daun sebanyak 95,7%, buah sebanyak 30,4% dan pucuk 13,04%. Ada 6 jenis yang dimakan daun dan buah diantaranya darangdan, kawoyang, kiara , kokopian, hamerang dan saninten. Untuk jenis rasamala dan saninten bagian yang dimakan daun dan pucuk. Pakan yang sangat potensial adalah saninten, dengan 3 bagian yang dimakan lutung buah, daun dan pucuk. Di lapangan saninten salah satu dari 8 jenis pakan yang memiliki sebaran pertumbuhan merata. Jenis-jenis vegetasi dan nilai INP pada tiap tingkat pertumbuhan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Vegetasi pakan lutung dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor (diolah dari Paulina, 2005) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Beunying Cecengkehan Kaliandra Kanyere Kareumi Kawoyang Ramo giling Saninten
Nama latin Ficus fustilosa Urophyllum arboreum Calliandra callothirsus Bridelia monoica Omalanthus populneus Prunus arborea Scefflera longifolia Castanopsis argentea
Bagian D D D D D D, Ba D D, Ba,Pc
INP S 0,21 2,41 5,26 0,21 0,42 0,42 1,17 0,42
INP Pc 5,41 2,16 16,26 3,67 1,08 4,33 3,01 1,08
INP T 2,38 2,38 28,42 1,19 1,19 3,57 1,19 1,19
INP Ph 0,87 0 0 1,98 0 1,20 0,84 12,77
Keterangan : Bh : Buah D : Daun Ba : Bunga Pc: Pucuk INP S:INP Semai INP Pc: INP Pancang INP T: INP Tiang INP Ph : INP Pohon
3. Owa Jawa Dikoridor teridentifikasi 30 jenis pakan owa jawa, 27 habitus pohon dan 3 jenis habitus liana (Farida, 2000). Dari 27 jenis habitus pohon hanya 11 jenis yang memiliki sebaran pertumbuhan yang merata. Tiga jenis pakan yang merata baik sebaran pertumbuhan maupun sebaran lokasi adalah batarua, puspa, saninten dan kihiur. Jenis puspa mendominasi tingkat pertumbuhan pohon dengan INP hingga 88,837%. Jenis-jenis pakan dengan tingkat pertumbuhan merata ditampilkan dalam tabel 8. Bagian vegetasi yang dimakan owa jawa buah, daun dan biji. Owa jawa lebih banyak mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan dengan daun dan biji. Terhitung 84,6% makanan owa jawa adalah buah-buahan, 7,7% biji-bijian dan 15,4% dedaunan. Terdapat 6 jenis pakan yang dimakan 2 bagian yaitu buah dan daun antara lain cempaka, ceri, hamerang, nanangkaan, kibarera dan rasamala.
Tabel 9. Vegetasi pakan owa jawa dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor (diolah dari Farida, 2000) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Batarua Beunying Cempaka Jirak Kanyere Kawoyang Kihiur Kihujan Pasang Puspa Saninten
Nama latin Platea excelsa Ficus fustilosa Michelia montana Sympolocos fasiculata Bridelia monoica Prunus arborea Castanea javanica Engelhardtia spicata Quercus sundaicus Schima walichii Castanopsis argentea
INP S 0,21 0,21 0,46 1,91 0,21 0,42 0,25 0,42 0,42 3,05 0,42
INP Pc 1,74 5,41 1,08 13,36 3,67 4,33 5,79 1,08 1,08 10,77 1,08
INP T 6,86 2,38 2,38 15,65 1,19 3,57 3,57 1,19 1,19 10,43 1,19
INP Ph 12,72 0,87 3,18 7,20 1,98 1,20 18,28 0,86 11,62 88,84 12,77
Keterangan: INP S:INP Semai INP Pc: INP Pancang INP T: INP Tiang INP Ph: INP Pohon
4. Kancil Berdasarkan identifikasi pakan kancil diketahui ada 43 jenis pakan kancil dimana 15 jenis dijumpai langsung di koridor. Jenis liana terdapat 8 jenis, perdu 22 jenis dan 15 jenis herba. Kancil memakan pucuk daun muda, bunga dan batang muda. Beberapa keterangan penduduk menyatakan bahwa kancil memakan beberapa jenis buah-buahan akan tetapi tidak di jumpai dilapangan buah bekas pakan kancil dan tidak ada sumber yang mendukung yang menyebutkan buah yang dimakan oleh kancil. Semua jenis pakan kancil dimakan juga oleh muntjak. Jenis vegetasi pakan kancil disajikan pada Tabel 16. 5. Muntjak Dari hasil pengamatan lapangan, muntjak memakan jenis rumput nampong, pacar tere, daun singkong, daun kacang, ilat ayam dan capiteuheur. Bagian yang dimakan adalah pucuk dan daun muda. Jenis pacar tere, nampong ilat ayam dan capiteuheur sebagai makanan kancil sesuai dengan hasil penelitian Semiadi et al. (2002). Menurut Semiadi dkk. (2002) dari penelitian tentang tipe sebaran habitat dan keragaman jenis tumbuhan pakan kancil dan muntjak terdapat 50 jenis tumbuhan dari 22 famili merupakan jenis pakan muntjak. Muntjak memakan pucuk daun muda, daun bunga dan buah. Lokasi bekas makan kancil berupa renggutan pada tumbuhan pakan dijumpai di daerah Pojok goong, Pojok adul, Pasir bedil, Cisarua, dan Pasir pari. Jenis vegetasi pakan muntjak dan nama latinnya disajikan pada Tabel 16.
a b Gambar 8. Nampong (a) dan ilat ayam (b) di koridor Tabel 10. Vegetasi pakan muntjak dan kancil di koridor No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Peki* Capiteuheur* Areuy buereum Bonteng Labu kunning Labu siam Kakacangan* Kingkilaban Teklan Solempat* Cariang Babandotan hutan* Hareuga Nampong* Sintrong* Seminggu Ibun Gewor Pacar tere* Talisahid merah Talisahid hijau Ilat* Karemi* Cacabean Kiurat Akar wangi Bungbrun Kasimukan* Goletrak* Kakawatan* Kibeling hutan Jarong Seuhang Hamerang* Beunying* Jampang sliper Kukucayan Jampang carulang Bayona merah Lameta
Tetraglocidium bibracteatum Micania cordata Ipomoea batatas Cucumis sativus Cucurbita moschata Sechium edule Teramnus labialis Musaenda frondosa ? Schismatoglotthis calyptra Schismatoglotthis rupestris Adennostoma macrophyllum Bidens chinensis Clibadium surinamense Erechtites valerianifolia Galinsogo parvinflora Drymaria cordata Commelina paleata Impatiens javensis Forestia glabrata Forestia sp. Carex baccans Ommalanthus gigantius Jussieua linifolia Plantago major Polygala paniculata Polygonum chinensis Anothis hirsuta Borreria alata Hedyotis auricularia Elatostema sp Stachytarpheta jamaicensis Ficus grossulariodes F. padana F. septica Axonopus compressus Digitaria sp. Eleusine indica Isachne sp. Isachne albens
Acanthaceae Asteraceae Convolvulaceae Cucur bitaceae Cucur bitaceae Cucur bitaceae Fabaceae ? Amaranthaceae Araceae Araceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Cariophyllaceae Commelinaceae Balsaminaceae Commelinaceae Commelinaceae Cyperaceae Euphorbiaceae Onagraceae Plantaginaceae Polygalaceae Polygonaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Urticeae Verbenaceae Moracaceae Moracaceae Moracaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae
Pemakan K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M K,M M M KM M KM KM KM KM KM KM KM KM KM M M M KM KM KM KM KM
Bagian yg dimakan PM Bh Ba BM √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tabel 10. Lanjutan No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
Pemakan
41 Alang-alang* Imperata cylindrica Poaceae 42 Tangkur gunung Lophaterum gracile Poaceae 43 Hutamala Mischantus floridulus Poaceae 44 Bayona hijau Panicum trigonum Poaceae 45 Jajahean P. respens Poaceae 46 Jampang pahit Paspalum conyugatum Poaceae 47 Lomotek Setaria barbata Poaceae 48 Sawuhen* Setaria palmifolia Poaceae 49 Rumput inggris Urochloa muticum Poaceae Sumber semiadi et al. 2002 Keterangan : PM : Pucuk daun muda Ba: Bunga Bh: Buah BM : Batang muda M: Muntjak 1-8: jenis merambat 9-32: Perdu 33-35 : Pohon 36-50: Rumput
M KM KM KM KM KM KM KM KM
Bagian yg dimakan PM Bh Ba BM √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
*:Dijumpai langsung K:kancil
6. Landak Landak termasuk jenis nokturnal, pada siang hari tidur sarang pada malam hari keluar mencari makanan. Makanan landak termasuk akar-akar yang kaya zat tepung termasuk ketela pohon jika tak sengaja masuk ke kebun. Kadangkadang landak mengumpulkan tulang dan diangkut dalam sarang, landak mengerkah tulang tersebut untuk mendapatkan kalsium (MacKinnon, 1983). Berdasarkan keterangan penduduk setempat landak memakan 40 jenis makanan dalam waktu semalam. Landak memakan jenis akar-akaran, umbi, lendir kotoran babi, tunas-tunas, rebung muda maupun yang sudah keras dan lumut, cukup banyak dijumpai jenis-jenis tersebut di koridor. Landak merupakan jenis herbivora, kadang-kadang memakan daging seperti kebanyakan pengerat. Di kebun binatang, landak memakan kentang, wortel, buah hijauan dan pakan anjing. Landak liar memakan ubi-ubian, tumbuhan berduri, akar, berbagai tanaman, dedaunan, buah, jagung dan kulit kayu (Grzimek`s, 1972). 7. Babi Hutan Babi hutan memakan beraneka jenis makanan (omnivora). Babi hutan memakan cacing, larva serangga, ubi-ubian, dedaunan, dan bangkai binatang. Babi hutan termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal). Babi hutan hidup di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Berdasarkan pengamatan babi hutan mencari makan di dalam hutan, di perkebunan teh, ladang penduduk dan kebun penduduk. Dalam hutan babi hutan memakan buahbuahan antara lain, pisang, nangka, pepaya hutan, kecapi hutan. Di areal perkebunan teh babi hutan memakan pisang baik bonggol maupun buahnya. Di
areal penduduk babi hutan memakan singkong, jagung, dan tanaman pertanian lain sesuai dengan musim tanam. Babi hutan di dalam hutan memakan umbi-umbian, buah-buahan di lantai hutan, memakan telur dan anak burung, memakan bangkai, memakan cacing tanah, memakan belalang dan beberapa jenis serangga lainnya (Grzimek`s, 1972). Babi hutan membongkar tanah untuk mendapatkan serangga dalam tanah, jengkrik, cacing, larva kumbang, dan kecoa. Dari hasil pembukaan rumput penutup permukaan tanah pada petak pengamatan jejak kaki pada jalur babi dijumpai jenis cacing, larva kumbang, jenis jengkrik, dan kecoa. 8. Trenggiling Menurut Suyanto (2002) trengiling tingal di hutan primer dan sekunder. Di hutan trenggiling memangsa semut dan rayap yang ditangkap langsung dalam sarang dengan cara membongkar sarang dengan cakarnya kemudian dengan lidahnya yang memiliki cairan seperti lem menangkap semut dan rayap. Dalam perut trenggiling pernah ditemukan 12 jenis semut. Dalam satu malam trenggiling memakan 150 -200 gr semut dan rayap dan total ada 21 jenis serangga yang jadi makanannya (Grzimek`s, 1975). Serangga merupakan salah satu sumber pakan dalam suatu habitat. Di Taman nasional Gunug Halimun diperkirakan ratusan ribu jenis serangga, hasil studi di sekitar canopy trail ditemukan 2000 jenis serangga yang yang 48 famili diantaranya adalah ordo Hymenoptera (Kahono et al., 2003). Kompetisi terhadap jenis pakan Lutung, owa jawa dan surili berkompetisi untuk beberapa jenis pakan. Surili dan lutung
berkompetisi
memakan
benying,
darangdan,
kanyere,
gompong,
hamerang, mangong rasamala, ramogiling, saninten seuseurehan dan walen. Owa jawa dan surili berkompetisi memakan benying darangdan, hamerang, harendong, jirak, kanyere, kibarera, kihujan, kisirem, kibarera, kopo, manggong, puspa, pasang, rasamala, saninten, teureup dan walen. Owa dan lutung berkompetisi memakan beunying, darangdan, hamerang, kanyere, kiara, kibonteng, kokopian, manggong, rasamala, saninten, dan walen. Ketiga primata berkompetisi memakan benying, darangdan, kanyere, hamerang, manggong, rasamala, saninten dan walen.
Gambar 9. Buah hamerang pakan owa jawa, lutung dan surili. Sebagai browser, muntjak dan kancil berkompetisi dalam hal pakan. Semua pakan kancil merupakan pakan muntjak tetapi tidak semua pakan muntjak dimakan oleh kancil. Muntjak memiliki jumlah jenis pakan yang lebih luas. Kompetisi terjadi untuk mendapatkan pakan diantaranya peki, capituher, solempat, kasimukan, goletrak dan beberapa jenis lainnya yang semua berjumlah 43 jenis. F. Keberadaan Macan Tutul di Koridor Dari survey dan pengamatan lapangan, berdasarkan jejaknya diketahui dua ekor macan tutul berada di koridor. Dua jejak dijumpai di sebelah timur (Growek) perbatasan antara koridor dan Gunung Salak dan di daerah Batu sisir yang berbatasan dengan Gunung Halimun. Jejak di Growek dan Batu sisir berupa marking tidak dijumpai jejak kaki karena dari marking yang ada diperkirakan macan lewat lebih dari 3 hari. Perkiraan macan lewat lebih dari 3 hari diketahui dari rumput bekas marking yang tercabut sudah layu dan mengering. Marking ini merupakan jejak berupa cakaran pada tanah hingga tercabut rumput di permukaan dengan kedalaman 2-3 cm, panjang 20-25 cm dan lebar 10-15 cm dan pada beberapa marking juga disertai dengan kotoran (faeces) dan bekas kencing. Marking yang ditemukan di tepi timur koridor diduga berasal dari habitat Gunung Salak berdasarkan arah marking yang menuju kawasan tersebut. Marking yang ditemukan di tepi barat
arahnya menuju ke Gunung Halimun
sehingga diduga kuat berasal dari habitat Gunung Halimun. Keberadaan macan tutul dengan tanda berupa marking seperti dijelaskan dalam Grizimek`s (1975) bahwa macan tutul menandai teritorinya dengan air kencing, kotoran (faeces)
dan cakaran atau goresan pada pohon-pohon tertentu.
Menurut Hoogerwerf
(1970) macan tutul meninggalkan tanda garukan yang jelas di tanah dan tanda cakaran pada pohon. Tidak dijumpai jejak macan tutul di bagian tengah koridor selama pengamatan. Di bagian tengah koridor terdapat 3 buah jalan potong koridor, jalan utama (lebar 3 m) dan 2 jalan setapak (lebar 1,5 m). Jalan ini sering digunakan penduduk setiap hari untuk mengambil rumput, menebang kayu dan perjalanan antar kampung di utara dan selatan koridor. Di bagian tengah koridor tingkat ekploitasi hutan cukup tinggi. Aktivitas pengambilan akar dan batang pakis, penebangan ilegal, perkebunan dalam kawasan, pengambilan kayu bakar dan mengambil rumput semua dilakukan di sini. Banyaknya aktivitas eksploitasi di bagian tengah karena bagian tengah dapat terjangkau oleh kandaraan bermotor. Jadi diduga karena banyaknya aktivitas manusia inilah yang menyebabkan tidak dijumpainya macan tutul di bagian tengah. Dari jejak yang dijumpai diduga hanya ada 2 ekor macan tutul yang mengunakan koridor sebagai tempat mencari mangsa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Biodiversity Conservation Indonesia dari bulan september 2004 hinga bulan Maret 2005 dengan memasang 11 titik kamera jebak dan hanya mendapatkan 2 individu macan dari growek dan dari Batu sisir yang dijumpai marking dalam pengamatan. Pergerakan
satwaliar
merupakan
bentuk
usaha
untuk
memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pergerakan satwa terkait dengan sifat individu dan kondisi lingkunganya seperti persediaan makanan, fasilitas untuk berbiak, pemangsaan, kecelakaan, kondisi cuaca, sumber air maupun karena kerusakan lingkungan (Boughly, 1973 dalam Alikodra, 1998). Macan tutul menggunakan koridor sebagai tempat mencari mangsa. Berdasarkan inventarisasi lapangan, terdapat 8 jenis mangsa macan tutul di koridor. Jenis-jenis itu antara lain surili (P. a. aygula), lutung (T. c. sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak), trenggiling (Manis javanica), landak jawa (Histrix brachyura) dan babi hutan (S. scrofa). Menurut harahap dan sakaguchi (2003) dari hasil analisis fecal macan tutul di resort cikaniki menyebutkan bahwa muntjak paling banyak dijumpai sisanya dalam feses macan. Di Taman Nasional Tsavo West Kenya, perburuan macan fokus pada daerah yang padat kelompok ungulata ukuran menengah. Di Taman Nasional Gensbok Afrika Selatan komposisi pakan macan untuk kelompok
ungulata tidak pernah kurang dari 37 %. Di Huai Kha Khaeng Wildlife Sanctuary Thailand, macan tutul menangkap primata hanya saat primata ada di tanah untuk selebihnya macan berkompetisi dengan harimau untuk berburu muntjak. Gambaran palatabilitas dari hasil studi di kawasan Asia dan Afrika menempatkan ungulata pada posisi teratas. Dari 11 lokasi studi dengan tipe gurun, stepa yang panas hingga hutan hujan, primata sebagai alternatif dengan pakan
utama
adalah ungulata. Menurut Grzimek`s (1975) macan tutul jenis yang sangat adaptif dalam hal tipe habitat maupun jenis makanan. Mangsa macan di Afrika antara lain: Babon, babi, antelops pilihan mangsa jatuh pada yang terlemah. Binatang kecil juga menjadi mangsa, diantaranya: kelinci, pengerat, burung dan ikan. Kadangkadang macan memakan buah yang manis. Di Asia mangsa macan antara lain rusa, kerbau, kambing liar, rusa hitam, babi, jenis pengerat dan primata. Beberapa jenis macan hanya memilih jenis mangsa tertentu yang disukai antara bangsa kera dan babi hutan. Untuk jenis macan yang sudah tua mereka tidak memilih, makan apa yang terlihat dan dia sanggup mendapatkanya.
a
b
Gambar 10. Macan tutul dari tepi barat (a) dan dari tepi timur (b) koridor (Sumber BCI, 2005) G. Gangguan Habitat di Koridor Suatu populasi dapat tumbuh mencapai batas kemampuan habitat pendukungnya. Di luar batas daya dukungnya faktor-faktor habitat bertindak sebagai suatu mekanisme umpan balik negatif. Pada mekanisme ini berlangsung kekuatan negatif habitat yaitu dengan mengurangi jumlah individu-individu yang tidak mampu bertahan hidup atau dengan mengurangi jumlah kelahiran. Jika populasi yang menurun sampai tingkat tertentu, sesuai dengan daya dukung
habitat yang inheren dengan reproduksi maka umpan balik positif berperan kembali. Mekanisme ini berlangsung terus menerus membentuk suatu siklus yang
tidak seragam. Populasi cenderung dipertahankan dalam bentuk
homeoststis atau keseimbangan di habitat mereka. Jika terjadi gangguan, itu ditimbulkan oleh manusia (Ali kodra, 1990). Menurut Primack (1998) aktifitas manusia yang menyebabkan kepunahan adalah kegiatan perburuan dan perusakan habitat melalui pembakaran dan pembukaan
hutan.
Secara
rinci
aktifitas
manusia
yang
mengancam
keanakaragaman hayati antara lain: 1) Perusakan habitat, 2) Fragmentasi habitat, 3) Gangguan habitat, 4) Penggunaan spesies oleh manusia secara berlebihan, 5) Introduksi spesies eksotik, dan 6) Penyebaran penyakit. Berbagai jenis gangguan habitat banyak terjadi di koridor. Berupa penebangan ilegal, perkebunan dalam kawasan, pembuatan jalan dalam kawasan dan perburuan. Berikut ini uraian tentang jenis-jenis gangguan dan daftar gangguan disajikan dalam Tabel 11. 1. Perusakan Habitat Bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu secara ilegal tidak hanya sebatas gangguan habitat saja tetapi sudah mengancam keberadaan koridor itu sendiri. Selain pengambilan kayu bakar dan pakan ternak bentuk pemanfaatan lain seperti dalam tabel dibawah merupakan aktifitas yang bertujuan komersil. Untuk non komersil dilakukan oleh penduduk sekitar koridor (Cigarehong, Pada Jaya, Cisurupan, Cimapag dan Pasir Pari). Perusakan hutan untuk tujuan komersil sudah melibatkan pemodal dari luar kawasan. Penebangan liar menyebabkan kerusakan besar di kawasan. Penebangan liar untuk satu lokasi penebangan minimal volume kayu yang ditebang 3 m3 ini juga hanya sekali ditemukan. Rata-rata volume tebang 7 m3 volume terbesar yang pernah tercatat oleh petugas 15 m3. Jumlah pohon yang ditebang rata-rata untuk satu lokasi tebang 4 pohon dengan rata-rata diameter 61 cm rentang diameter terkecil 20 cm dan diameter terbesar 120 cm. Catatan yang ada pada kader konservasi ini underestimate sebab catatan ini di peroleh saat kader memandu pengunjung di lapangan, tidak ada aktivitas khusus pendataan kerusakan oleh penebang liar. Faktual di lapangan selama pengamatan kalau tidak mendengar orang menebang yang dijumpai adalah pohon yang sudah roboh, dalam proses bucking atau siap angkut.
Gambar 11. Penebangan pohon secara ilegal di koridor Pengambilan akar dan batang pakis di koridor sudah tergolong aktifitas perusakan habitat. Pakis diambil akar dan batangnya dengan cara digali higga kedalaman ± 40 cm. Lokasi pengambilan tidak hanya di punggungan bukit tetapi sampai pada daerah kiri kanan aliran sungai di lembah. Selama pengamatan satwa di lapangan banyak dijumpai bongkaran-bongkaran tanah bekas pengambilan pakis. Pakis yang telah diambil dari hutan dikumpulkan di jalan perkebunan di sebelah pinggir selatan koridor untuk menunggu pengangkutan. Pengangkutan dilakukan setiap bulan dua kali dengan volume angkut 5-10 m3. Kegiatan perkebunan dilakukan di koridor bagian timur (di antara jalan potong di tengah dan Gunung Salak). Jenis tanaman yang ditanam antara lain pisang, kacang panjang, singkong, jagung, cabe dan kopi. Untuk tanaman kopi diperkirakan sudah lebih dari lima tahun karena tanaman ini terlihat sudah tua dan menurut keterangan kader tanaman ini sudah bebuah berkali-kali. Terjadinya penggunaan areal koridor untuk pertanian diduga disebabkan pengawasan yang lemah dari pihak Taman Nasional. Pendugaan ini berbeda dengan pendugaan yang dilakukan oleh Cahyadi (2003). Menurut Cahyadi (2003), aktivitas pertanian ini disebabkan oleh pandangan masyarakat sekitar yang melihat kawasan koridor berupa semak belukar dipandang sebagai lahan tidur. Pendugaan tersebut tidak mungkin terjadi karena masyarakat sebagian besar mengetahui bahwa kawasan koridor itu bagian dari wilayah TN. Gunung Halimun, untuk masuk aja harus ada perijinan dan ada sanksi terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya di dalamnya secara ilegal. 2. Fragmentasi Koridor Shufer (1990) dalam Primack (1998) membuat devinisi fragmentasi habitat sebagai berikut, fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat
yang luas di perkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Perusakan habitat yang meninggalkan fragmen-fragmen adakalanya terisolasi oleh daerahdaerah yang rusak dan mengalami degradasi. Habitat yang terfragmen berbeda dengan habitat asal dalam dua hal, memiliki daerah tepi yang luas dari habitat asal dan daerah tengah pusat dekat dengan daerah tepi. Ancaman fragmentasi habitat terhadap keberadaan spesies antara lain: 1) Pengecilan potensi suatu spesies menyebar dan kolonisasi, 2) Penurunan kemampuan hewan dalam penyebaran yang juga mempengaruhi penyebaran tanaman tertentu, dan 3) Pengurangan daerah jelajah hewan asli. Fragmentasi koridor terjadi di tengah kawasan. Fragmentasi berupa jalan penghubung antara Kec. Leuwiliang dan Kec. Cipeteuy. Jalan ini memiliki lebar 3 m yang praktis memotong rangkaian tajuk untuk perpindahan primata. Jalan ini selalu ramai hingga mengganggu mobilitas primata. Fragmentasi ini diperlebar oleh kegiatan penebangan liar untuk mengambil kayu komersil dan pembukaan areal untuk pertanian. Fragmentasi jalan di koridor dapat di lihat pada gambar 11. Selain jalan tengah kawasan fragmentasi terjadi di bagian tepi barat dan tepi timur koridor. Fragmentasi ini disebabkan oleh jalan setapak yang menghubungkan kampung sebelah selatan dengan kampung sebelah utara koridor. Jalan setapak masing-masing memiliki lebar 1,5 m. Jalan ini praktis memotong kontinuitas tajuk antara koridor dengan habitat Gunung Salak dan habitat Gunung Halimun. Jalan ini digunakan setiap hari oleh masyarakat untuk bepergian antar kampung sebelah utara dan selatan koridor. Setiap jenis satwa liar mempunyai reaksi yang berbeda terhadap penebangan dan diskontinuitas tajuk. Penebangan terbatas dapat menstimulasi pertumbuhan rumput dan semak yang disukai rusa sehinga populasi rusa dapat berkembang biak dengan baik. Tetapi untuk jenis yang memerlukan pohon yang besar untuk bersarang maupun bergerak seperti owa jawa dapat terganggu (Alikodra, 1993). Penebangan pohon di koridor memberi ruang tumbuh bagi rumput dan semak-semak yang mendukung kehidupan muntjak dan kancil. Jenis-jenis satwa yang tefragmen habitatnya di koridor adalah owa jawa dan macan tutul, hanya dijumpai di tepi barat dan timur koridor. Menurut Marsh et al. (1987) dalam Alikodra (1993) menyatakan bahwa pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan 3 hal: 1.
Suara yang ditimbulkan alat-alat berat (truk, tracktor dan gergaji mesin)
2.
Rusaknya cabang yang dipergunakan untuk tempat berpindah dari satu pohon kepohon yang lain
3.
Setelah penebangan regenerasi pohon sangat lambat, sehingga kondisi semula sulit terbentuk Hasil penelitian Wilson dan Wilson (1975) dalam Alikodra (1993), setiap
primata mempunyai respon yang berbeda terhadap tebang pilih. Di Kalimantan Timur M. fascicularis, P. cristata dan Tarsius bancanus relatif tidak terpengaruh oleh kegiatan tebang pilih. Menurut Marsh et al. (1987) dalam Alikodra (1993) kelompok Hylobates lar yang suaranya berkurang selama ada kegiatan eksploitasi hutan, tetapi mereka tetap mempertahankan teritorinya. Setelah eksploitasi selesai suara mereka ramai kembali.
km
Gambar 12. Fragmentasi dan penutupan lahan di koridor.
S
b
C h
di 2003
3. Perburuan Untuk pemanfaatan jenis hewan di koridor ada dua cara, dengan senapan dan dengan jebakan. Perburuan dengan senapan banyak dilakukan oleh masyarakat sebelah selatan kawasan (wilayah Kec. Cipeteuy). Masyarakat sebelah utara (wilayah Kec. Leuwiliang) banyak menggunakan jerat, dan jarang sekali menyengajakan berburu karena mayoritas masyarakat utara koridor bekerja sebagai pemetik teh pada pagi hari dan bertani pada sore hari. Satwa yang menjadi target perburuan dengan senapan antara lain; jenis burung, surili, musang, babi dan muntjak. Yang termasuk perburuan dengan jebakan adalah cubluk, jaring, jerat dan memancing. Masyarakat sekitar mengunakan cubluk untuk menjebak burung puyuh. Cubluk merupakan lubang pada tanah dengan 2 pintu. Lubang petama untuk masuknya burung puyuh dengan diameter ±10 cm tegak lurus dengan kedalaman ± 40 cm. Lubang yang kedua sebagai pintu keluar yang di buat melengkung sehingga memungkinkan puyuh untuk berjalan ke atas, terhubung dengan lubang masuk. Lubang masuk didesain sedemikian rupa agar puyuh tidak bisa naik, agar puyuh terjebak, pada lubang masuk ditutup dengan serasah. Puyuh yang sudah masuk tidak bisa keluar lewat lubang masuk dan dia akan berjalan ke pintu 2. Pada pintu dua dipagari dengan kayu yang ditancapkan ke tanah mengelilingi lubang dengan bagian atas diikat membentuk kerucut. Cubluk ini bisa dijumpai di setiap punggungan bukit di sepanjang koridor. Untuk menangkap jenis burung tertentu masyarakat mengunakan jaring burung yang dipasang pada tempat tertentu. Lokasi disesuikan dengan keberadaan burung yang menjadi sasaran berdasarkan pengalaman di hutan. Lokasi yang biasa dipasang jaring antara lain Palahlar, Growek, Puspa, Kebon Sepuluh, Cisarua, Bepag dan
Pasir Pari. Burung-burung tangkapan yang
tergolong laku dijual antara lain burung hantu, cacing awi, anis dan ayam hutan. Berdasarkan
informasi
penduduk
setempat,
burung
anis
harganya
Rp
600.000,00/ekor, burung cacing awi Rp 150.000,00/ekor dan ayam hutan Rp 300.000,00/ekor.
Tabel 11. Gangguan habitat di koridor No 1
2
Jenis kerusakan Penebangan liar
Berkebun
Waktu
Lokasi
Sasaran
Januari, 2004
Bepag
Maret, 4004
Bepag
temogu, pasang, batarua dan puspa batarua
Juli, 2004
Tanah Merah
Juni, 2003
Cisarua
Mei, 2004
Cisarua
Juni,2003
Raksamala 5
Mei, 2003
Cadas Bodas
September, 2003 Mei, 2004
Palahlar
Maret, 2003
Ciherang
tahun 2005
Pasir Tulang
Setiap waktu
Cipicung
Setiap waktu
Geblegan
Setiap waktu
Cipongpok
Setiap waktu
Tanah Merah
Setiap waktu
Bepag
Desember, 2004 April, 2005
Muara 3
kiara, maja, pasang dan puspa saninten, jirak dan afrika akar dan batang pakis akar dan batang pakis akar dan batang pakis akar dan batang pakis akar dan batang pakis lahan seluas 800 m2
Legok Buluh
lahan seluas 800 m2
tahun 2000-an
Pada Jaya
lahan seluas 600 m2
Sepanjang koridor Ciherang, Cigorowek,
burung puyuh, babi hutan, ayam hutan kura-kura
3
Jebakan
setiap waktu
4
Memancing
setiap waktu
5
Berburu dengan senapan
setiap waktu
Jalur puspa
Sumber: catatan kader konservasi di luar pengamatan lapangan
batarua, pasang dan afrika sanninten, batarua, puspa, afrika dan damar bayur, afrika dan batarua raksamala,bayur, afrika, puspa dan batarua afrika, jirak, puspa dan capaka batarua, kihiur, batur, puspa dan afrika puspa dan raksamala
trenggiling dan muntjak
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dijumpai dua individu macan tutul di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Macan tutul yang berada di koridor berasal dari habitat Gunung Salak dan Gunung Halimun. Macan tutul menggunakan koridor sebagai tempat mencari makan (feeding area). Terdapat 8 jenis satwa mangsa macan tutul di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak, surili (P. aygula aygula), lutung (T. cristatus sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak), trenggiling (M. javanica), landak jawa (H. brachyura) dan owa jawa (H. moloch). Lutung merupakan mangsa dengan populasi terbesar di koridor. Lutung populasinya ±197 individu yang dapat dijumpai secara langsung di koridor. Populasi mangsa terbesar ke-2 surili ±111 individu .Babi hutan diduga memiliki populasi terbesar ke-3, berjumlah 85 individu tinggal di sepanjang koridor. Populasi landak 50 individu, tinggal pada daerah yang dijumpai gowa batu. Jenis yang hanya tinggal di ujung barat dan timur adalah owa jawa dengan populasi dugaan sebesar ±37 individu. Populasi trenggiling berada di wilayah yang banyak tumbuhan pakis, diduga populasi trenggiling berjumlah ±43 individu. Jenis mangsa yang diduga paling sedikit populasinya adalah muntjak dan kancil, muntjak 6 ekor dan kancil 5 ekor. Permasalahan koridor sebagai tempat mencari makan adalah akses manusia yang begitu tinggi, yang membatasi mobilitas macan tutul untuk menangkap mangsa. Sebagai feeding area dan habitat satwa koridor sangat terganggu karena penebangan liar dan perkebunan, semak belukar meluas dan proses regenerasi pepohonan terganggu. Proses regenerasi pohon yang terganggu menyebabkan berkurangnya sumber pakan dan diskontinuitas tajuk sehingga menghambat pergerakan primata terutama owa jawa.
B. Saran 1. Dilakukan pemulihan areal dengan penaman jenis lokal untuk mengatasi permasalahan proses regenerasi pohon yang terganggu misalnya jenis rasamala, saninten, pasang, ramogiling, kanyere dan jenis-jenis lainya yang diidentifikasi sebagai pakan satwa. 2. Perlunya kunjungan rutin oleh petugas Taman Nasional ke kampungkampung sekitar hutan untuk membina hubungan baik dengan penduduk. 3. Pemberdayaan masyarakat sebagai satuan pengaman hutan. 4. Menghimbau kepada penduduk setempat dan pengelola perkebunan teh untuk menggunakan bahan-bahan biologis yang ramah lingkungan untuk menghindari biomagnifikasi terhadap satwa-satwa di koridor.
VII. DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor. Amir, M., S. Kahono, P. Aswari, Erniwati, R. Ubaidillah, E. L. Pujuastuti, W. Nurjito, A. Suwito. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Biodiversity Conservation Project. Indonesia. A Joint Project with LIPI, PHPA, JICA. Bogor. Bismark, M. 1984. Ekologi dan Konservasi Primata. Program pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Cahyadi, I. 2003. Analisis Spasial Struktur dan Fungsi Koridor Hutan Antara Taman Nasional Gunung Halimun Dengan Hutan Lindung Gunung Salak. Tesis Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. 1978. Studi Habitat dan Populasi Macan Tutul (Panthera pardus) Di Jawa Khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Bogor. Farida, R. 2000. Keanekaragaman Jenis Pakan Primata di Taman Nasional Gunung Halimun. Biodiversity Conservation Project. Indonesia . A Joint with LIPI, PHKA and JICA. Bogor. Farida, W. R., G. Semiadi, T. H. Handayani dan Harun. 2002. Tipe Sebaran Habitat Keragaman Jenis Tumbuhan Pakan Pada Kancil (Tragulus javanicus) dan Muntjak (Muntiacus muntjak) di Taman Nasional Gunung Halimun. Proceeding Seminar Nasional Bio-ekologi dan Konservasi Ungulata. Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian IPB, LIPI dan PHPA. Bogor. Fleagle, J. G. 1988. Primate Adaption and Evaluation; San Diego; Stony Brook Pr State University Of New York. Grzimek’s, B. 1972. Animal Life Encyclopedia. Volume 10. Mammal I. Van Nostrand Reinhold Company. New York. . 1972. Animal Life Encyclopedia. Volume 13. Mammal IV. Van Nostrand Reinhold Company. New York. . 1975. Animal Life Encyclopedia. Volume 11. Mammal II. Van Nostrand Reinhold Company. New York. . 1975. Animal Life Encyclopedia. Volume 12. Mammal III. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Harahap, S. A dan N .Sakaguchi. 2003. Monitoring Leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) in Cikaniki Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia. Volume VII : The Inventory of Natural Resources, Gunung Halimun National Park. Biodiversity Conservation Project in Indonesia. A Joint Project with LIPI, PHPA and JICA. Bogor. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hogerwerf, A. 1970. Udjung Kulon: The Land of The Last Javan Rhinoceros. E. J. Brill, Leiden. Keppeler, M. 1984. The Gibbon in Java. The Edinburg University Press. Eidenburg Leighton, D. R. 1978. Gibbons : Territoriality and monogami. Pp. 135-145: B. B. Smuth, D. L. Cheney, R. M. Seyfarth, R. W. Wrangham and T. T. Strushsaker, Eds. Primates Societies. University of Chicago Pres. Chicago and London. Lekagul, B and J. A. McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Kurusapha Ladprao Prees. Bangkok. MacKinnon, K. 1983. Alam Asli Indonesia. Yayasan Indonesia Hijau dan PT Gramedia. Jakarta. Medway, L. 1977. Mammals of Borneo. Percetakan Was sdn. Bhd. Kuala Lumpur. Napier, J. R. and P. H. Napier. 1967. A Hand Book of Living Primates. Cambridge. . 1985. The Natural History Of Primates. Cambridge. Nursal, W. I. 2001. Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus sondaicus Geoffray, 1812). Di Pos Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. Bogor. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Paulina, R. 2005. Penentuan Palatabilitas Lutung Hitam(Trachypithecus cristatus) di Kawasan Unocal Geotermal of Indonesia LTD. Gunung Salak Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Primack, R. B., J. Supriyatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Purwowidodo. 2003. Mengenal Tanah. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan. Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayu, A. 2002. Variasi Perilaku Makan dan Pemilihan Jenis Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Berdasarkan Beberapa Parameter Strutur Populasinya Di Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Robinowits, A. R. 1989. The Density and Behavior of Large Cats in a Dry Tropical Fores Mosaica in Huai Kha Khaeng Wildlife Sanctuary. Thailand. Rowe, N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonias Press. New York Santiapillai, C. and W. S. Ramono. 1992. Status of the Leopard. Tiger Paper. Vol. XIX: NO. 2. Siahaan, A. D. 2002. Pendugaan Parameter Demografi Populasi Surili (Presbytis aygula Linnaeus, 1758). DI Kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung Salak. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soerianegara, I. 1998. Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugardjito, J., M. H. Sinaga dan M. Yoneda. 1997. Survey of distribution and density of primates in Gunung Halimun National Park West java, Indonesia. Research and Conservation of Biodeversity in Indonesia. Volume II: The Inventori Of Natural Resources In gunung Halimun National Park. Biodiversity Conservation Project in Indonesia. A Joint Project with LIPI, PHPA and JICA. Bogor. Sunquist, M. E. 1981. The Social Organization of Tigers (Panthera tigris) in Royal Chitawan National Park. Nepal. Supriatna dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Suyanto, A. 2002. Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Biodeversity Conservation Project. Bogor. Wibisono, H. T. 1995. Survei Populasi Primata di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon Jawa Barat. Makalah Lokakarya Rencana Pengkajian Konservasi dan pengelolaan Satwa Primata Taman Nasional Ujung Kulon. Sawangan-Jawa Barat.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Vegetasi yang di temui di Koridor
No
Jenis
Nama Latin
Famili
Habitus
1
aawian
Panicum montanum Roxb.
Graminae
Herba
2
Afrika
Maesopsis emini
Rhamnaceae
Pohon
3
Andam
Neprosepis hitsula Presl.
Nepenthaceae
Epifit
4
Areui berem
Ficus cuspidata
Moraceae
Epifit
5
Areui tanah
Ficus recurva
Moraceae
Epifit
6
Babawangan
Scirpus erectus Poir.
Gramine
Herba
7
Balaka toa
Galinsoga parviflora Cav.
Compositae
Pohon
8
Barito
Ficus deltoida Jack.
Moraceae
Epifit
9
Batarua
Macaranga subfalcata Muel.
Fagaceae
Pohon
10
Bayur
Pterospermum javanicum Jungh.
Sterculiaceae
Pohon
11
Benda
Ficus lepicarpa BI.
Moraceae
Pohon
12
Bengang
Neesia altissima (Bl.) Bl.
Bombacaceae
Pohon
13
Beunying
Ficus fustilosa Reinw. Ex. BL.
Moraceae
Pohon
14
Bingbin
Pinanga kuhli
Aracaceae
Pohon
15
Burunungul
Castanopsis argentea
Fagaceae
Pohon
16
Cacabean
Jassiena erecta Linn.
Melastomacaceae
Perdu
17
Calik angin
Malous paniculatus
Euphorbiaceae
Pohon
18
Canar
Smilax leucophylla
Liliaceae
Liana
19
Cangkoreng
Dinochloa scandens (Blume ex nees) O.K.
Poaceae
Liana
20
Cangkuang
Paspalum orbicutare Farst.
Theaceae
Semak
21
Capituher
Micania cordata (Burm. F. ) Bl. Robinson
Asteraceae
Liana
22
Cariang
Begonia robusta BI.
Begoniaceae
Herba
23
Cariu
Pospalum longifolium Roxb.
Theaceae
Pohon
24
Cecengkehan
Urophyllum arboreum
Rubiaceae
Pohon
25
Ceceremaian
Breynia microphylla
Euphorbiaceae
Pohon
26
Cempaka
Michelia champaka L.
magnoliaceae
Pohon
27
Ceri
Garcinia dioica
Gultiferae
Pohon
28
Congkok
Curculigo orcimoides Gaertin
Fabaceae
Herba Pohon
29
Damar
Agathis damara
Araucariaceae
30
Darangdan
Ficus melinocarpa
Moraceae
Pohon
31
Dedurenan
Elaegnus Sp.
Elaegnace
Pohon
32
Ela
Amumum gracile
Zingiberaceae
herba
33
Gamet
Polygonum pervoliatum Linn.
Poligonaceae
Pohon
34
Ganitri
Eleocarpus ganitrus Roxb.
Elaecarpaceae
Pohon
35
Gelam
Gordonia exelsa
Theaceae
Pohon
36
Goletra
Borreria alata
Rubiaceae
Pohon
37
Gompong
Schifera aromatica (Bl) O.K.
Araliaceae
Pohon
38
Hamerang
Ficus fulva Reinw. Ex. Bl
Moraceae
Pohon
39
Hamirung
Ficus padana Burm. F.
Moraceae
Pohon
40
Hampelas
Ficus ampelas Burm. F.
Moraceae
Perdu
41
Hantap
Sterculia coccinea
Sterculiaceae
Pohon
42
Hareas
Rubus cryssophyllus
Rosaceae
Semak
43
Harendong
Clidemia hirta
Melastomaceae
Semak
Lampiran 1. Lanjutan
No
Jenis
Nama Latin
Famili
Habitus
44
Harendong gula
Inocybe cutifracta Petch.
Icacinaceae
Semak
45
Hareu gajah
Rubus cryssophyllus
Rosaceae
Semak
46
Hariang
Vitis quadricornuta Miq.
Vitaceae
Liana
47
Haruman
Pytecelobium montanum Benth
Fabaceae
Pohon
48
Huru
Eurya accuminata DC.
Theaceae
Pohon
49
Huru apu
Litsea sp.
Lauraceae
Pohon
50
Huru batu
Phirenaria acuminata Planch
Theaceae
Pohon
51
Huru gemblung
Actinodaphnae procera
Lauraceae
Pohon
52
Huru leer
Phoebe xcelsa
Lauraceae
Pohon
53 54 55
Huru tales Huru tumila Ilat ayam
Phoebe opaca Litsea norronhae Bl. Seleria sp.
Lauraceae Lauraceae Cyperaceae
Pohon Pohon herba Herba
56
Ilat godek
Carex baccans Nees.
Caparidaceae
57
Iles
Thypanium trolibatum Schutt.
Araceae
Liana
58
Ipis kulit
Eugenia clavimyrtus
Myrtaceae
Pohon
59
jampang pait
Digitaria rhopalotricha
Graminae
Herba
60
Jangkorang
Scefflera aromatica Harms.
Saxifragaceae
Pohon
61
Jangkar
Eugenia fastigata Miq.
Eucomiceae
Liana
62
Kijaran
Dolichandrone spathaceae
Dipterocarpaceae
Pohon
63
Jawer kotok
Celosia cristata Linn.
Celastraceae
Semak
64
Jirak
Sympolocos fasiculata
Sympolocaceae
Pohon
65
Kadaka
Asplenium nidus L.
Polypodiaceae
Epifit
66
Kajitutan
Anotis hirsuta Miq
Anonaceae
Herba
67
Kakacangan
Teramnus labialis
Taxaceae
Herba
68
Kakawatan
Cyanodon dactylon Persl.
Graminae
Herba
69
Kalapa cium
Heritera javanica
Sterculiaceae
Pohon
70
Kali morat
Lithocarpus teysmanii
Fagaceae
Pohon
71
Kaliandra
Calliandra callothirsus
Fabaceae
Pohon
72
Kanyere
Bridelia monoica (Lour.), Merr.
Euphorbiaceae
Pohon
73
Karage
Ficus fasculosa Wall.
Moraceae
Pohon
74
Renyung
Aporosa microcaly Hassk
Apocynaceae
Pohon
75
Kareumi
Omalanthus populneus
Euphorbiaceae
Pohon
76
Kawoyang
Castanopsis acuminatissima A.DC.Ex Hance
Fagaceae
Pohon
77
Kecapi
Chisocheton divergens
Meliaceae
Pohon
78
Kenung
Helicia robusta
Proteaceae
Pohon Pohon
79
Kiajak
Ardisia fuliginosa BL.
Aracaliaceae
80
Kiasahan
Tetracera scandens Merr.
Taxaceae
Pohon
81
Kiapu
Pistia stratiotes Linn.
Piperaceae
Pohon
82
Kiara
Ficus xylophilla Wall.
Moraceae
Pohon
83
Kibancet
Turpinia pomifera DC.
Tricloro matoceae
Pohon Liana
84
Kibangbara
Vitex heterophylla
Vitaceae
85
Kibarera
Cayratia geniculata
Vitaceae
Liana
86
Kibeunter
Pipiturus incanus Wedd.
Piperaceae
Liana
Lampiran 1. Lanjutan
No
Jenis
Nama Latin
Famili
Habitus
87
Kibesi
Barchemia affinis
Rhamnaceae
Liana
88
Kibeureum
Toona sureni Merr.
Tiliaceae
Liana
89
Kibonteng
Platea latifolia Bl.
Icacinoceaa
Pohon
90
Kibulu
Forestia molissima Kds.
Commelinaceae
Liana
91
Kicareuh
Commersonia bartaramia Merr.
Commelinaceae
Perdu
92
Kicemang
Embelia ribes Burm. F.
Myrsinaceae
Liana
93
Kiendog
Drypetes minahassae
Euphorbiaceae
Pohon
94
Kihaji
Dysoxylum alliaceum
Meliaceae
Pohon Pohon
95
Kihamru
Voocanga foetida Rolff.
Vitaceae
96
Kihanyaruk
?
?
Pohon
97
Kihiur
Costanea javanica
Fagaceae
Pohon
98
Kihonje
Pittosporum ferrugineum Ait.
Pittosporaceae
Herba
99
Kihujan
Engelhardtia spicata
Junglandaceae
Pohon
100
Kihuut
Sympolocos cochincinensis (Lour) S. Moore
Sympolocaceae
Pohon
101
Kijambe
Sympolocos fasiculata
Sympolocaceae
Pohon
102
Kijeler
Neprolepis hirsutula Presl.
Nephenthaceae
Pohon
103
Kikawat
Garcinia havilandi
Gutiferae
Pohon
104
Kileunca
Solanum ningrum Linn.
Solanaceae
Semak
105
Kileho
Cyrtandra picta Bl.
Gesneriaceae
Herba
106
Kimenga
Eragrostis amobilis O.K.
Equsetaceae
Semak
117
Kipait
Radermachera glandulosa
Bighoniaceae
Pohon
108
Kipare
Deyeuxia auxres Zimm.
Moraceae
Pohon
109
Kipunti
Palaquium macrocarpum Burck
Oxalidaceae
Pohon
110
Kirinyuh
Eupatorium pallescens DC.
Asteraceae
Perdu
111
Kiriung
Castanea acuminatissima BL
Caryophyllaceae
Pohon
112
Kironyok
Castanopsis argentea (Bl.) DC.
Fagaceae
Pohon
113
Kisampang
Evodia latifolia DC.
Rutaceae
Pohon
114
Kisapi
Gordonia exelsa BL
Goodeniaceae
Pohon
115
Kiseer
Antidesma tetandrum Bl.
Euphorbiaceae
Pohon
116
Kisepet
Commelina obliqua
Commelinaceae
Pohon
117
Kisirem
Michelia montana Bl.
Magnoliaceae
Pohon
118
Kisumbu
Panicum trigonum Retz.
Pandanaceae
Pohon
119
Kitando
Fragaceae elliptica Roxb.
Fagaceae
Pohon
120
Kiterong
Actinophora burmani Kds.
Aceraceae
Pohon
121
Kituah
Leea indica Merr.
Lecythidaceae
pohon
122
Kitumang
Kleinhokiahospita Linn.
Juglandaceae
Pohon
123
Kiwates
Eurya japonica DC.
Theaceae
Pohon
124
Kokopian
Nyssa javanica
Cornaceae
Perdu
125
Kokosan monyet
Losianthus lucidum Bl.
Rubiaceae
Pohon
126
Kolijage
Plectronia horida Schum
Plantaginoceae
Pohon
127
Kopo
Eugenia formosa
Myritaceae
Pohon
128
Kurai
Trema orientale (L) Bl.
Ulmaceae
Pohon
129
Leuksa
Pipturus respandus Meed.
Piperaceae
Pohon
Lampiran 1. Lanjutan
No
Jenis
Nama Latin
Famili
Habitus
130
Lastulang
Euphorbia tirucalli Linn.
Euphorbiaceae
Herba
131
Lolo
Fryeycetia javanica
Myritaceae
Pohon
132
Manggong
Macaranga denticulata (Bl.) M. A.
Euphorbiaceae
Pohon
133
Menter
Dalbergia pinnata Prain.
Palmae
Pohon
134
Mara
Macaranga triloba Muel. Arg.
Euphorbiaceae
Pohon
135
Meong tandu
Frynetia gaudichaudii
Pandanaceae
Liana
136
Nampong
Clibadium surinamense L.
Asteraceae
Perdu
137
Nanangkaan
Planchonella aboveta
Sapotaceae
Pohon
138
Pakis
Diplazium asperum
Polypodiaceae
Herba
139
Paku beunyeur
Athirium dilatatum (Bl). Milde
Lauraceae
Herba
140
Paku kadal
Lindsea orbiculata (Lamk.)
Lauraceae
Herba
141
Paku kebo
Blechnum copense (L) Schl.
Blechnaceae
Herba
142
Paku tiang
Depteris conyugata Reinw.
Gesneriaceae
Herba
143
Paku
Equisetum debile Roxb.
Equisetaceae
Herba
144
Pandan
Pandanusfurcatusi Roxb.
Pandanaceae
Herba
145
Pasang
Quercus lineata Bl.
Fagaceae
Pohon
146
Patat
Phrynium capitatum Willd
Marantaceae
Herba
147
Pinus
Pinus mercusii
Pinaceae
Pohon
148
Pisang cole
Musa accuminatissima
Musaceae
Perdu
149
Pulus
Laportea stimulans (L.f.)Gaud. Ex. Miq.
Urticaceae
Semak
150
Puspa
Schima walichii
Theaceae
Pohon
151
Puspa leman
Schima noronhae Reinw.
Theaceae
Pohon
152
Raja goah
Alpinia malaccensis Rosc.
Alismataceae
Pohon
153
Ramo giling
Brassaia maculata
Araliaceae
Pohon
154
Rane
Selaginela plana Hieron
Selaginelaceae
Herba Pohon
155
Rasamala
Althingia exelsa
hammamelidae
156
Reksa
Amomum delbatum Roxb.
Amaryllidaceae
Pohon
157
Rende badak
Argostemma montanum
Acanthaceae
Semak
158
Rengas
Gluta renghas
Anacardiaceae
Pohon
159
Renyung
Aporosa microcalyx Hask
Apocynaceae
Pohon
160
Rotan
Calamus javanensis
Palmae
Liana
161
Rumput siraru
Ophioglossum reticulatum Linn.
Ophioglossaceae
Herba
162
Sadagori
Sida acuta Burm. F.
Selaginelaceae
Herba
163
Sambangan
Spatholobus ferrugineus Benth
Sonneratiaceae
Herba
164
Saninten
Castanopsis javanica (BI.) DC.
Fagaceae
Pohon
165
Saray
Caryota mitis Lour.
Palmae
Perdu Herba
166
Sariawan
Sympolocos odoratissima
Sympoloceae
167
Sauhen
Orophea hexandria
Annonaceae
Pohon
168
Seuseureuhan
Piper aduncum L.
Piperaceae
Pohon
169
Soelangkar
Leea Indica Merr.
Lechytidaceae
Pohon
170
Solempat
Schismatoglottis calyptrata
Aracaceae
Pohon
171
Sorogol
Xerospermum norohianum
Sapindaceae
Pohon
172
Suliga
Belamcanda chinensis Leman
Begoniaceae
Pohon
Lampiran 1. Lanjutan
No
Jenis
Nama Latin
Famili
Habitus
173
Suliper
?
?
Pohon
174
Suren
Pandanus furcatus
Pandanaceae
Perdu
175
Tamogu
Curcuma heynena
Cucurbitaceae
Pohon
176
Tangkur
Lophaterum gracile
Poaceae
Herba
177
Tepus
Amomum coccineum
Zingiberaceae
Herba Pohon
178
Teureup
Arthocarpus elasticus Reinw.ex.Bi.
Moraceae
179
Tokbrai
Blumeodendron elateriospermum
Bixaceae
Pohon
180
Tunggerek
Castanopsis tungurut
Fagaceae
Pohon
181
Walen
Ficus ribes Reinw. Ex. Bi.
Moraceae
Pohon
Lampiran 2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Jenis Aawian Afrika Andam Areui berem Areui tanah Babawangan Balaka toa Batarua Bengang Benying Bingbin Cacabean Canar Cangkoreng Cangkuang Capi tuher Cariap Cariu Cecengkehan Ceceremaian Cempaka Congkok Darangdan Dudurenan Ela Gamis Gelam Goletra Gompong Hampelas Hantap Hareas Harendong Harendong gula Hareu gajah Hariang Huru apu Huru leer Ilat ayam Ilat godek Iles Jampang Jampang pait Janglar Jawer kotok Jirak Kadaka Kajitutan Kakacangan Kakawatan Kali morat Kaliandra Kanyere Karenyuh Kareumi Kawoyang Kenung Kiajak Kiaksara Kibancet
N 77 1 81 1 11 11 38 1 1 1 21 16 37 5 5 43 16 13 14 3 3 2 1 1 20 7 4 3 1 1 3 11 270 1 2 16 3 2 24 2 1 33 54 1 10 10 10 3 30 53 3 77 1 8 2 2 2 2 2 1
N Plot 7 1 8 1 2 2 11 1 1 1 10 4 13 3 4 7 2 3 11 3 2 2 1 1 7 2 2 1 1 1 3 4 49 1 1 4 2 1 9 1 1 3 4 1 1 9 3 1 1 6 1 12 1 4 2 2 2 2 2 1
K 0,24 0,00 0,25 0,00 0,03 0,03 0,12 0,00 0,00 0,00 0,07 0,05 0,12 0,02 0,02 0,13 0,05 0,04 0,04 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,06 0,02 0,01 0,01 0,00 0,00 0,01 0,03 0,85 0,00 0,01 0,05 0,01 0,01 0,08 0,01 0,00 0,10 0,17 0,00 0,03 0,03 0,03 0,01 0,09 0,17 0,01 0,24 0,00 0,03 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00
KR 3,28 0,04 3,45 0,04 0,47 0,47 1,62 0,04 0,04 0,04 0,89 0,68 1,57 0,21 0,21 1,83 0,68 0,55 0,60 0,13 0,13 0,09 0,04 0,04 0,85 0,30 0,17 0,13 0,04 0,04 0,13 0,47 11,49 0,04 0,09 0,68 0,13 0,09 1,02 0,09 0,04 1,40 2,30 0,04 0,43 0,43 0,43 0,13 1,28 2,26 0,13 3,28 0,04 0,34 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 0,04
F 0,09 0,01 0,10 0,01 0,03 0,03 0,14 0,01 0,01 0,01 0,13 0,05 0,16 0,04 0,05 0,09 0,03 0,04 0,14 0,04 0,03 0,03 0,01 0,01 0,09 0,03 0,03 0,01 0,01 0,01 0,04 0,05 0,61 0,01 0,01 0,05 0,03 0,01 0,11 0,01 0,01 0,04 0,05 0,01 0,01 0,11 0,04 0,01 0,01 0,08 0,01 0,15 0,01 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,01
FR 1,16 0,17 1,32 0,17 0,33 0,33 1,82 0,17 0,17 0,17 1,65 0,66 2,15 0,50 0,66 1,16 0,33 0,50 1,82 0,50 0,33 0,33 0,17 0,17 1,16 0,33 0,33 0,17 0,17 0,17 0,50 0,66 8,09 0,17 0,17 0,66 0,33 0,17 1,49 0,17 0,17 0,50 0,66 0,17 0,17 1,49 0,50 0,17 0,17 0,99 0,17 1,98 0,17 0,66 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,17
INP 4,43 0,21 4,77 0,21 0,80 0,80 3,43 0,21 0,21 0,21 2,54 1,34 3,72 0,71 0,87 2,98 1,01 1,05 2,41 0,62 0,46 0,42 0,21 0,21 2,01 0,63 0,50 0,29 0,21 0,21 0,62 1,13 19,58 0,21 0,25 1,34 0,46 0,25 2,51 0,25 0,21 1,90 2,96 0,21 0,59 1,91 0,92 0,29 1,44 3,25 0,29 5,26 0,21 1,00 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,21
Tabel 2. Lanjutan No 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Jenis Kibangbara Kibarera Kibelut Kibesi Kibeurem Kibonteng Kibulu Kicareuh Kicemang Kihampelas Kihamru Kihanyaruk Kihiur Kihonje Kihujan Kijambe Kijeler Kikawat Kileunca Kimenga Kipait Kipunti Kisirem Kirinyuh Kisampang Kisapi Kiseer Kisepet Kisumbu Kitando Kiterong Kituah Kokopian Kokosan monyet Kolong ajak Kopo Laksa Las tulang Lolo Mantar Mara Marasi Meong tandu Nampong Nanangkaan Pakis Pakis kebo Pakis munyer Paku Paku benyeur Paku kadal Paku kebo Paku tiang Pandan Pasang Patat Pisang cole Pulus Puspa Raja goah
N 2 6 1 1 8 4 17 1 3 2 45 4 2 1 6 1 1 22 35 14 6 3 1 5 1 17 1 11 3 1 3 1 1 1 2 6 6 15 40 8 42 21 5 11 4 156 6 7 21 43 60 4 4 13 2 12 1 6 33 16
N Plot 1 2 1 1 3 3 6 1 1 2 9 1 1 1 1 1 1 7 11 7 2 1 1 2 1 3 1 4 1 1 3 1 1 1 1 2 3 4 16 2 19 7 2 2 3 31 1 1 3 12 20 3 2 3 2 4 1 1 10 6
K 0,01 0,02 0,00 0,00 0,03 0,01 0,05 0,00 0,01 0,01 0,14 0,01 0,01 0,00 0,02 0,00 0,00 0,07 0,11 0,04 0,02 0,01 0,00 0,02 0,00 0,05 0,00 0,03 0,01 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,01 0,02 0,02 0,05 0,13 0,03 0,13 0,07 0,02 0,03 0,01 0,49 0,02 0,02 0,07 0,13 0,19 0,01 0,01 0,04 0,01 0,04 0,00 0,02 0,10 0,05
KR 0,09 0,26 0,04 0,04 0,34 0,17 0,72 0,04 0,13 0,09 1,91 0,17 0,09 0,04 0,26 0,04 0,04 0,94 1,49 0,60 0,26 0,13 0,04 0,21 0,04 0,72 0,04 0,47 0,13 0,04 0,13 0,04 0,04 0,04 0,09 0,26 0,26 0,64 1,70 0,34 1,79 0,89 0,21 0,47 0,17 6,64 0,26 0,30 0,89 1,83 2,55 0,17 0,17 0,55 0,09 0,51 0,04 0,26 1,40 0,68
F 0,01 0,03 0,01 0,01 0,04 0,04 0,08 0,01 0,01 0,03 0,11 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,09 0,14 0,09 0,03 0,01 0,01 0,03 0,01 0,04 0,01 0,05 0,01 0,01 0,04 0,01 0,01 0,01 0,01 0,03 0,04 0,05 0,20 0,03 0,24 0,09 0,03 0,03 0,04 0,39 0,01 0,01 0,04 0,15 0,25 0,04 0,03 0,04 0,03 0,05 0,01 0,01 0,13 0,08
FR 0,17 0,33 0,17 0,17 0,50 0,50 0,99 0,17 0,17 0,33 1,49 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 1,16 1,82 1,16 0,33 0,17 0,17 0,33 0,17 0,50 0,17 0,66 0,17 0,17 0,50 0,17 0,17 0,17 0,17 0,33 0,50 0,66 2,64 0,33 3,14 1,16 0,33 0,33 0,50 5,12 0,17 0,17 0,50 1,98 3,30 0,50 0,33 0,50 0,33 0,66 0,17 0,17 1,65 0,99
INP 0,25 0,59 0,21 0,21 0,84 0,67 1,71 0,21 0,29 0,42 3,40 0,34 0,25 0,21 0,42 0,21 0,21 2,09 3,30 1,75 0,59 0,29 0,21 0,54 0,21 1,22 0,21 1,13 0,29 0,21 0,62 0,21 0,21 0,21 0,25 0,59 0,75 1,30 4,34 0,67 4,92 2,05 0,54 0,80 0,67 11,75 0,42 0,46 1,39 3,81 5,85 0,67 0,50 1,05 0,42 1,17 0,21 0,42 3,05 1,67
Lampiran 2. Lanjutan No 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145
Jenis Ramo giling Rane Reksa Rende badak Rengas Rotan Rumput siraru Sadagori Samaean Sampang Saninten Sarag Sarai Sariawan Sauhen Soelangkar Solempat Sorogol Sulibra Suliper Tamogu Tandan Tangkur Tepus Walen
N 8 59 6 122 1 38 6 3 2 4 2 1 2 5 45 13 37 2 7 50 2 24 43 11 4
N Plot 5 8 1 21 1 14 1 1 1 2 2 1 1 1 11 5 11 2 2 1 2 5 10 2 1
K 0,03 0,18 0,02 0,38 0,00 0,12 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,14 0,04 0,12 0,01 0,02 0,16 0,01 0,08 0,13 0,03 0,01
KR 0,34 2,51 0,26 5,19 0,04 1,62 0,26 0,13 0,09 0,17 0,09 0,04 0,09 0,21 1,91 0,55 1,57 0,09 0,30 2,13 0,09 1,02 1,83 0,47 0,17
F 0,06 0,10 0,01 0,26 0,01 0,18 0,01 0,01 0,01 0,03 0,03 0,01 0,01 0,01 0,14 0,06 0,14 0,03 0,03 0,01 0,03 0,06 0,13 0,03 0,01
Keterangan = N : Jumlah individu F: Frekwensi FR: Frekwensi Relatif K: Kerapatan KR: Kerapatan Relatif INP: Indeks Nilai Penting
FR 0,83 1,32 0,17 3,47 0,17 2,31 0,17 0,17 0,17 0,33 0,33 0,17 0,17 0,17 1,82 0,83 1,82 0,33 0,33 0,17 0,33 0,83 1,65 0,33 0,17
INP 1,17 3,83 0,42 8,66 0,21 3,93 0,42 0,29 0,25 0,50 0,42 0,21 0,25 0,38 3,73 1,38 3,39 0,42 0,63 2,29 0,42 1,85 3,48 0,80 0,34
Lampiran 3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Jenis Afrika Babawangan Barito Batarua Benying Cariu Cecengkehan Ceceremaian Cempaka Ceri Dedurenan Hamirung Hantap Haruman Huru apu Huru batu Huru gembluing Huru leer Huru tumila Ipis kulit Jangkorang Janitri Jirak Kalapa cium Kaliandra Kanyere Karage Karuemi Kawoyang Kenung Kiapu Kibangbara Kibesi Kihamru Kihiur Kihonje Kihujan Kijambe Kikawat Kilimo Kirinyuh Kironyok Kisampang Kisapi Kiseer Kiterong Kiwates Lolo Manggong Mara Nampong Pakis Pasang Pulus Puspa Puspa leman Ramo giling Renyung Sampang Saninten
N 11 1 2 1 5 1 2 1 1 1 1 2 1 1 3 5 1 5 2 2 1 1 16 4 29 4 1 1 4 1 3 1 1 3 9 1 1 1 3 5 1 5 1 5 1 2 4 1 1 36 1 2 1 1 13 1 4 2 4 1
N plot 6 1 1 2 5 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 4 1 5 1 2 1 1 10 2 6 3 1 1 4 1 2 1 1 2 3 1 1 1 3 2 1 1 1 5 1 2 2 1 1 21 1 1 1 1 8 1 2 1 4 1
K 0,034 0,003 0,006 0,003 0,016 0,003 0,006 0,003 0,003 0,003 0,003 0,006 0,003 0,003 0,009 0,016 0,003 0,016 0,006 0,006 0,003 0,003 0,050 0,013 0,091 0,013 0,003 0,003 0,013 0,003 0,009 0,003 0,003 0,009 0,028 0,003 0,003 0,003 0,009 0,016 0,003 0,016 0,003 0,016 0,003 0,006 0,013 0,003 0,003 0,113 0,003 0,006 0,003 0,003 0,041 0,003 0,013 0,006 0,013 0,003
KR 4,661 0,424 0,847 0,424 2,119 0,424 0,847 0,424 0,424 0,424 0,424 0,847 0,424 0,424 1,271 2,119 0,424 2,119 0,847 0,847 0,424 0,424 6,780 1,695 12,288 1,695 0,424 0,424 1,695 0,424 1,271 0,424 0,424 1,271 3,814 0,424 0,424 0,424 1,271 2,119 0,424 2,119 0,424 2,119 0,424 0,847 1,695 0,424 0,424 15,254 0,424 0,847 0,424 0,424 5,508 0,424 1,695 0,847 1,695 0,424
F 0,075 0,013 0,013 0,025 0,063 0,013 0,025 0,013 0,013 0,013 0,013 0,025 0,013 0,013 0,025 0,050 0,013 0,063 0,013 0,025 0,013 0,013 0,125 0,025 0,075 0,038 0,013 0,013 0,050 0,013 0,025 0,013 0,013 0,025 0,038 0,013 0,013 0,013 0,038 0,025 0,013 0,013 0,013 0,063 0,013 0,025 0,025 0,013 0,013 0,263 0,013 0,013 0,013 0,013 0,100 0,013 0,025 0,013 0,050 0,013
FR 3,947 0,658 0,658 1,316 3,289 0,658 1,316 0,658 0,658 0,658 0,658 1,316 0,658 0,658 1,316 2,632 0,658 3,289 0,658 1,316 0,658 0,658 6,579 1,316 3,947 1,974 0,658 0,658 2,632 0,658 1,316 0,658 0,658 1,316 1,974 0,658 0,658 0,658 1,974 1,316 0,658 0,658 0,658 3,289 0,658 1,316 1,316 0,658 0,658 13,816 0,658 0,658 0,658 0,658 5,263 0,658 1,316 0,658 2,632 0,658
INP 8,608 1,082 1,505 1,740 5,408 1,082 2,163 1,082 1,082 1,082 1,082 2,163 1,082 1,082 2,587 4,750 1,082 5,408 1,505 2,163 1,082 1,082 13,359 3,011 16,235 3,669 1,082 1,082 4,326 1,082 2,587 1,082 1,082 2,587 5,787 1,082 1,082 1,082 3,245 3,434 1,082 2,777 1,082 5,408 1,082 2,163 3,011 1,082 1,082 29,070 1,082 1,505 1,082 1,082 10,772 1,082 3,011 1,505 4,326 1,082
Lampiran 3. Lanjutan No 61 62 63 64 65 66
Jenis Seuseureuhan Sulibra Suren Teureup Tokbrai Walen
N 1 1 3 3 1 1
N plot 1 1 1 2 1 1
K 0,003 0,003 0,009 0,009 0,003 0,003
KR 0,424 0,424 1,271 1,271 0,424 0,424
F 0,013 0,013 0,013 0,025 0,013 0,013
FR 0,658 0,658 0,658 1,316 0,658 0,658
Keterangan = N : Jumlah individu F: Frekwensi FR: Frekwensi Relatif K: Kerapatan KR: Kerapatan Relatif INP: Indeks Nilai Penting
INP 1,082 1,082 1,929 2,587 1,082 1,082
Lampiran 4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Jenis Afrika Batarua Benying Calik angin Cecengkehan Ceceremean Cempaka Damar Hamerang Hamirung Haruman Huru Huru apu Huru tales Ipis kulit Janitri Jirak Kali morat Kaliandra Kanyere Kareumi Kawoyang Kecapi Kibarera Kibonteng Kicareuh Kihiur Kihujan Kihuut Kikawat Kilimo Kiriung Kisampang Kisapi Kiterong Kiwates Manggong Mara Paku tiang Pasang Puspa Ramo giling Rasamala Sampang Saninten Seuseureuhan Suren Tamogu Tokbrai
N 29 7 2 1 2 2 2 19 7 3 1 1 5 1 4 1 15 1 45 1 1 3 1 3 1 1 3 1 1 1 2 1 1 1 1 9 1 9 3 1 10 1 1 11 1 1 1 1 1
N Plot 13 5 2 1 2 2 2 6 3 3 1 1 3 1 3 1 12 1 11 1 1 3 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 9 2 1 8 1 1 8 1 1 1 1 2
K 0,091 0,022 0,006 0,003 0,006 0,006 0,006 0,060 0,022 0,009 0,003 0,003 0,016 0,003 0,013 0,003 0,047 0,003 0,141 0,003 0,003 0,009 0,003 0,009 0,003 0,003 0,009 0,003 0,003 0,003 0,006 0,003 0,003 0,003 0,003 0,028 0,003 0,028 0,009 0,003 0,031 0,003 0,003 0,034 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
KR 13,063 3,153 0,901 0,450 0,901 0,901 0,901 8,559 3,153 1,351 0,450 0,450 2,252 0,450 1,802 0,450 6,757 0,450 20,270 0,450 0,450 1,351 0,450 1,351 0,450 0,450 1,351 0,450 0,450 0,450 0,901 0,450 0,450 0,450 0,450 4,054 0,450 4,054 1,351 0,450 4,505 0,450 0,450 4,955 0,450 0,450 0,450 0,450 0,450
F 0,163 0,063 0,025 0,013 0,025 0,025 0,025 0,075 0,038 0,038 0,013 0,013 0,038 0,013 0,038 0,013 0,150 0,013 0,138 0,013 0,013 0,038 0,013 0,013 0,013 0,013 0,038 0,013 0,013 0,013 0,013 0,013 0,013 0,013 0,013 0,063 0,013 0,113 0,025 0,013 0,100 0,013 0,013 0,100 0,013 0,013 0,013 0,013 0,025
Keterangan = N : Jumlah individu F: Frekwensi FR: Frekwensi Relatif K: Kerapatan KR: Kerapatan Relatif INP: Indeks Nilai Penting
FR 9,630 3,704 1,481 0,741 1,481 1,481 1,481 4,444 2,222 2,222 0,741 0,741 2,222 0,741 2,222 0,741 8,889 0,741 8,148 0,741 0,741 2,222 0,741 0,741 0,741 0,741 2,222 0,741 0,741 0,741 0,741 0,741 0,741 0,741 0,741 3,704 0,741 6,667 1,481 0,741 5,926 0,741 0,741 5,926 0,741 0,741 0,741 0,741 1,481
INP 22,693 6,857 2,382 1,191 2,382 2,382 2,382 13,003 5,375 3,574 1,191 1,191 4,474 1,191 4,024 1,191 15,646 1,191 28,418 1,191 1,191 3,574 1,191 2,092 1,191 1,191 3,574 1,191 1,191 1,191 1,642 1,191 1,191 1,191 1,191 7,758 1,191 10,721 2,833 1,191 10,430 1,191 1,191 10,881 1,191 1,191 1,191 1,191 1,932
Lampiran 5. Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Jenis Afrika Batarua Bayur Benda Benying Burunungul Calik angin Cempaka Damar Gompong Hamerang Hamirung Harendong Huru batu Huru leer Ipis kulit Jaranak Jirak Kanyere Kawoyang Kecapi Kitumang Kiara Kibangbara Kibesi Kibonteng Kicareuh Kiendog Kihaji Kihiur Kihujan Kihuut Kikawat Kipare Kironyok Kisampang Kisirem Kiwates Kokosan monyet Kurai Lidah ayam Nanangkaan Pasang Pinus Puspa Ramogiling Rasamala Renyung Sampang Saninten Teureup Tokbrai Tunggerek
LBDS 7735,39 15561,84 1923,25 1256 379,94 1923,25 2899,79 1967,995 7633,34 314 3487,755 2929,62 415,265 572,265 314 2850,335 17113 3022,25 706,5 1256 415,265 314 452,16 693,94 3081,125 379,94 706,5 314 1105,065 21183,23 346,185 1141,39 761,185 2610,125 17368,13 1354,125 346,185 314 1926,39 2826 2826 314 11862,14 900 91698,21 314 804,625 314 1256 10024,45 3080,34 1256 4371,665
N 16 10 2 1 1 2 7 4 19 1 9 8 1 1 1 7 20 9 3 1 1 1 1 2 4 1 1 1 3 16 1 1 2 5 19 3 3 3 4 1 1 1 13 1 139 1 2 1 4 13 7 1 4
Plot 10 9 2 1 1 2 6 3 8 1 4 6 1 1 1 7 5 8 2 1 1 1 1 2 3 1 1 1 3 13 1 1 2 5 8 3 3 3 4 1 1 1 8 1 38 1 2 1 4 12 6 1 3
K 0,050 0,031 0,006 0,003 0,003 0,006 0,022 0,013 0,060 0,003 0,028 0,025 0,003 0,003 0,003 0,022 0,063 0,028 0,009 0,003 0,003 0,003 0,003 0,006 0,013 0,003 0,003 0,003 0,009 0,050 0,003 0,003 0,006 0,016 0,060 0,009 0,009 0,009 0,013 0,003 0,003 0,003 0,041 0,003 0,436 0,003 0,006 0,003 0,013 0,041 0,022 0,003 0,013
KR 4,167 2,604 0,521 0,260 0,260 0,521 1,823 1,042 4,948 0,260 2,344 2,083 0,260 0,260 0,260 1,823 5,208 2,344 0,781 0,260 0,260 0,260 0,260 0,521 1,042 0,260 0,260 0,260 0,781 4,167 0,260 0,260 0,521 1,302 4,948 0,781 0,781 0,781 1,042 0,260 0,260 0,260 3,385 0,260 36,198 0,260 0,521 0,260 1,042 3,385 1,823 0,260 1,042
F 0,125 0,113 0,025 0,013 0,013 0,025 0,075 0,038 0,100 0,013 0,050 0,075 0,013 0,013 0,013 0,088 0,063 0,100 0,025 0,013 0,013 0,013 0,013 0,025 0,038 0,013 0,013 0,013 0,038 0,163 0,013 0,013 0,025 0,063 0,100 0,038 0,038 0,038 0,050 0,013 0,013 0,013 0,100 0,013 0,475 0,013 0,025 0,013 0,050 0,150 0,075 0,013 0,038
FR 4,630 4,167 0,926 0,463 0,463 0,926 2,778 1,389 3,704 0,463 1,852 2,778 0,463 0,463 0,463 3,241 2,315 3,704 0,926 0,463 0,463 0,463 0,463 0,926 1,389 0,463 0,463 0,463 1,389 6,019 0,463 0,463 0,926 2,315 3,704 1,389 1,389 1,389 1,852 0,463 0,463 0,463 3,704 0,463 17,593 0,463 0,926 0,463 1,852 5,556 2,778 0,463 1,389
D 2417,309 4863,075 601,016 392,500 118,731 601,016 906,184 614,998 2385,419 98,125 1089,923 915,506 129,770 178,833 98,125 890,730 5347,813 944,453 220,781 392,500 129,770 98,125 141,300 216,856 962,852 118,731 220,781 98,125 345,333 6619,759 108,183 356,684 237,870 815,664 5427,541 423,164 108,183 98,125 601,997 883,125 883,125 98,125 3706,919 281,250 28655,691 98,125 251,445 98,125 392,500 3132,641 962,606 392,500 1366,145
DR 2,956 5,948 0,735 0,480 0,145 0,735 1,108 0,752 2,917 0,120 1,333 1,120 0,159 0,219 0,120 1,089 6,540 1,155 0,270 0,480 0,159 0,120 0,173 0,265 1,178 0,145 0,270 0,120 0,422 8,096 0,132 0,436 0,291 0,998 6,638 0,518 0,132 0,120 0,736 1,080 1,080 0,120 4,534 0,344 35,046 0,120 0,308 0,120 0,480 3,831 1,177 0,480 1,671
INP 11,753 12,718 2,182 1,203 0,869 2,182 5,709 3,183 11,569 0,843 5,529 5,981 0,882 0,942 0,843 6,153 14,064 7,203 1,977 1,203 0,882 0,843 0,896 1,712 3,608 0,869 0,993 0,843 2,592 18,281 0,856 1,160 1,738 4,614 15,290 2,688 2,302 2,290 3,630 1,803 1,803 0,843 11,623 1,067 88,837 0,843 1,754 0,843 3,374 12,772 5,778 1,203 4,101
Lampiran 6. Hasil inventarisasi babi hutan dengan metode terkonsentrasi
No 1
2
Nama lokasi Pada Jaya
Cigarehong
3
Cisurupan
4
Cimapag
5
Pasir pari
Kode
Waktu Perjumpaan
A A B A A B A A A B A B A B
15/04/05 18.30 17/04/05 06.30 17/04/05 23.20 24/04/05 19.16 23/04/05 06.30 23/04/05 22.07 26/04/05 06.00 28/04/05 23.00 27/04/05 19.30 27/04/05 23.11 30/04/05 21.08 1/05/05 20.15 4/05/05 06.00 5/05/05 20.40
Jantan 1
Dewasa Betina Tak terdeteksi 1 4
1 1
1
1 1
1 1
2 7
Anak
Total
6
8 4 1 10 7 8 8 10 2 1 8 3 12 3 85
6 6 6
10 2 1 1 1 1 9
1 1 6
6 3 1 2 31
9 39
Lampiran 7. Hasil inventarisasi muntjak (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus) Jenis
Lokasi
Jumlah Plot
Analisis
Pelanduk
Pojok Goong Pojok Adul Pasir Bedil Cisarua Pasir Pari
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
Muntjak
Growek Cisaladah 2 Pasir Pari Pasir Bedil Cipicung Cisarua
3 2 2 2 2 2
3 2 2 2 2 2
Jumlah Individu Dewasa Anak 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Total Individu 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 5
2 1 1
2 1 1
2 1 1
2 1 1
1 1
1 1
1 1 6
1 1 6
Lampiran 8. Hasil inventarisasi lutung, surili, owa jawa, trenggiling dan landak di koridor Hasil pengamatan lapangan No 1
2
3
4
Jenis Lutung Surili Owa Trenggiling Landak Lutung Surili Trenggiling Lutung Surili Owa Lutung Surili Trenggiling Landak
Jantan
Remaja Betina Tak terdeteksi
Jantan
Dewasa Betina Tak terdeteksi 2 2 3 2 5 6 2 1 12 8 3 6 3 3 2
Anak 1
2 1 3 2
Total 3 2 3 2 5 8 3 1 15 10 3 6 3 3 2
Keterangan sedang makan sedang makan bermain dan bersuara jejak kaki jejak kaki sedang makan sedang makan jejak kaki sedang makan sedang makan makan dan bersuara sedang makan sedang makan jejak kaki jejak kaki
Lampiran 8. Lanjutan Intensitas sampling li (km)
di (m)
m2
Luas total
Is (%)
1,2 1,5 1,4 0,98
100 100 100 100
120000 150000 140000 98000
318,99
16
Luas jalur (ha)
50,8
Nilai kepadatan populasi perjalur tiap jenis (yi) dan keragaman populasi contoh (Sy^2) ỹ (ind/ha) ∑yi^2 (∑yi)^2 Jalur (ha)
Jenis
(∑yi)^2/n
Sy^2
1(12 ha)
2 (15 ha)
3 (14 ha)
4 (9,8 ha)
Landak Lutung
0,416666667 0,25
0 0,533333333
0 1,071428571
0,204081633 0,612244898
0,155187075 0,616751701
0,21526 1,86975
0,3853285 6,0861226
0,09633 1,52153
0,03964 0,11607
Owa Surili
0,25 0,166666667
0 0,2
0,214285714 0,714285714
0 0,306122449
0,116071429 0,346768707
0,10842 0,67169
0,2155612 1,9239766
0,05389 0,48099
0,01818 0,06357
Trenggiling
0,166666667
0,066666667
0
0,306122449
0,134863946
0,12593
0,2910125
0,07275
0,01773
Keragaman rata-rata contoh (Sỹ^2), contoh pada selang kepercayaan 70 % dan total populasi (Ỹ) Sy^2
1-is
(Sỹ^2)
ỹ (ind/ha)
tα/2;n-1
(Sỹ^2)^0,5
Landak Lutung Owa
Jenis
0,03964277 0,116072267 0,01817602
0,84 0,84 0,84
0,008324982 0,024375176 0,003816964
0,16 0,62 0,12
1,25 1,25 1,25
0,09 0,16 0,06
ỹ±tα/2;n-1(Sỹ^2)^0,5 0,04 0,42 0,04
0,26924 0,81191 0,1933
49,5031 196,738 37,0256
Ỹ(ind)
Surili
0,063566222
0,84
0,013348907
0,35
1,25
0,12
0,20
0,49119
110,616
Trenggiling
0,01772668
0,84
0,003722603
0,13
1,25
0,06
0,06
0,21113
43,0203
Lampiran 8. Lanjutan Keragaman nilai dugaan (SỸ^2) dan pendugaan selang populasi total Jenis
A^2
(Sỹ^2)
(SỸ^2)
tα/2;n-1
Ỹ(ind)
(SỸ^2)^0,5
Landak Lutung Owa Surili
101754,6201
0,008324982
847,1053582
1,25
49,503125
29,11
13,12
Y±tα/2;n-1(SỸ^2)^0,5 85,8845
101754,6201 101754,6201 101754,6201
0,024375176 0,003816964 0,013348907
2480,286788 388,3937508 1358,312931
1,25 1,25 1,25
196,737625 37,025625 110,61575
49,80 19,71 36,86
134,48 12,39 64,55
258,991 61,6603 156,685
Trenggiling
101754,6201
0,003722603
378,7920389
1,25
43,02025
19,46
18,69
67,3485
Koefisisen variasi (CV) dan ketelitian Jenis Landak Lutung Owa Surili Trenggiling
tα/2;n-1
(Sỹ^2)^0,5
Ỹ(ind)
Cv (%)
Ketelitian
1,25 1,25
0,091241338 0,156125514
49,503125 196,737625
0,230392874 0,099196528
0,769607126 0,900803472
1,25 1,25
0,061781585 0,115537469
37,025625 110,61575
0,208577118 0,130561729
0,791422882 0,869438271
1,25
0,061013137
43,02025
0,177280283
0,822719717
Jumlah individu, kisaran, kepadatan dan ketelitian Jenis
Jumlah ind
Kisaran
Kerapatan
Ketelitian(%)
Landak Lutung Owa
±50 ±197 ±37
13-86 134-259 12-62
0,16 0,62 0,12
77 90 79
Surili
±111
65-157
0,35
87
Trenggiling
±43
19-67
0,13
82
Lampiran 9. Vegetasi pakan surili di koridor
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jenis Areui berem Areui tanah Beunying Darangdan Gompong Hamerang Harendong Harendong gula Haruman Jirak Kanyere Kibarera Kihujan Kisampang Kisirem Kopo Manggong Mara Pasang Paku tiang Puspa Ramo giling Rasamala Saninten Seuseureuhan Suren Teureup Walen
Sumber Siahaan, 2003
Nama Latin Ficus cuspidata Ficus recurva Ficus fustilosa Ficus melinocarpa Schifera aromatica Ficus toxicasia Clidema hirta Cinnamomoum sp. Pytecelobium montanum Sympolocos fasiculata Bridelia monoica Tetrastigma dictomum Engelhardtia spicata Evodia latifolia Eugenia tenercuspis Eugenia formosa Macaranga rizinoides Macaranga tanarius Quercus sundaicus Alsophphyla glauca Schima walichii Scefflera longifolia Althingia exelsa Castanopsis argentea Piper aduncum Pandanus furcatus Arthocarpus elastica Ficus ribes
Famili Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Araliaceae Moraceae Melastomaceae Lauraceae Sympolocaceae Sympolocaceae Euphorbiaceae Vitaceae Junglandaceae Rutaceae Myritaceae Myritaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fagaceae Pakeraceae Theaceae Araliaceae Hammamelidae Fagaceae Piperaceae Pandanaceae Moraceae Moraceae
Habitus Liana Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Paku Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
Bagian D D Bh Ba D Bh Bh,D Bh,D,Ba D D Bh,D Bh,D D D Bh Bh D D Bh,D D Bh,D D Bh,D Bh,D D D Bh D
INP S 0,21 0,80 0,21 0,21 0,21 0,00 19,58 0,21 0,00 1,91 0,21 0,59 0,42 0,21 0,21 0,59 0,00 4,92 0,42 0,50 3,05 1,17 0,00 0,42 0,00 0,00 0,00 0,34
Pc 0,00 0,00 5,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,08 13,36 3,67 0,00 1,08 1,08 0,00 0,00 1,08 29,07 1,08 0,00 10,77 3,01 0,00 1,08 1,08 1,93 2,59 1,08
T 0,00 0,00 2,38 0,00 0,00 5,38 0,00 0,00 1,19 15,65 1,19 2,09 1,19 1,19 0,00 0,00 1,19 10,43 1,19 2,83 10,43 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 0,00 0,00
Ph 0,86 0,00 0,00 0,00 0,84 5,53 0,88 0,00 0,00 7,20 1,98 0,00 0,86 2,69 2,30 0,00 0,00 0,00 11,62 0,00 88,84 0,84 1,75 12,77 0,00 0,00 5,78 0,00
Lampiran 10. Daftar vegetasi pakan owa jawa di koridor
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Jenis Batarua Beunying Burunungul Cempaka Ceri Darangdan Hamerang Hampelas Hantap Harendong Harendong gula Jirak Kalapa cium Kali morat Kanyere Kawoyang Kecapi Kiara Kibarera Kibonteng Kibulu Kihaji Kihiur Kihujan Kisirem Kokopian Kokosan monyet Kopo Manggong
Nama Latin Platea exelsa Ficus fustilosa Castanopsis argentea Michelia montana Garcinia dioicia Ficus melinocarpa Ficus toxicasia Ficus ampelas Sterculia coccinea Astonia spectabilis Melastoma polyanthheus Sympolocos fasiculata Heritera javanica Lithocarpus teysmanii Bridelia monoica Prunus arborea Chisocheton divergens Scheflera macrostachya Tetrastigma dictomum Platea latifolia Gironniera subaequalis Dysoxylum alliaceum Costanea javanica Engelhardtia spicata Eugenia tenercuspis Nyssa javanica Losianthus sp. Eugenia formosa Macaranga rizinoides
Famili Fagaceae Moraceae Fagaceae Magnoliaceae Gultiferae Moraceae Moraceae Moraceae Sterculiaceae Melastomaceae Melastomaceae Sympolocaceae Sterculiaceae Fagaceae Euphorbiaceae Rosaceae Meliaceae Araliaceae Vitaceae Icacinoceaa Ulmaceae Meliaceae Fagaceae Junglandaceae Myritaceae Cornaceae Euphorbiaceae Myritaceae Euphorbiaceae
habitus Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
Bagian Bj Bh Bj Bh, D Bh, D Bh Bh, D Bh Bh Bh Bh Bh Bh Bh D Bh Bh Bh Bh, D Bh Bh Bh Bh Bh Bh Bh Bh Bh Bh
S 0,21 0,21 0,00 0,46 0,00 0,21 0,00 0,21 0,62 19,58 0,21 1,91 0,00 0,29 0,21 0,42 0,00 0,00 0,59 0,67 1,71 0,00 0,25 0,42 0,21 0,21 0,21 0,59 0,00
INP Pc 1,74 5,41 0,00 1,08 1,08 0,00 0,00 0,00 1,08 0,00 0,00 13,36 3,01 0,00 3,67 4,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,79 1,08 0,00 0,00 0,00 0,00 1,08
T 6,86 2,38 0,00 2,38 0,00 0,00 5,38 0,00 0,00 0,00 0,00 15,65 0,00 1,19 1,19 3,57 1,19 0,00 2,09 1,19 0,00 0,00 3,57 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 1,19
Ph 12,72 0,87 2,18 3,18 0,00 0,00 5,53 0,00 0,00 0,88 0,00 7,20 0,00 0,00 1,98 1,20 0,88 0,87 0,00 0,87 0,00 2,59 18,28 0,86 0,13 0,00 3,63 0,00 0,00
Lampiran 10. Lanjutan
No
Jenis
30
Nanangkaan
31 Pasang 32 Puspa 33 Rasamala 34 Rotan 35 Saninten 36 Sauhen 37 Teureup 38 Tunggerek 39 Walen Total jenis
Sumber, Farida 2000
Nama Latin
Famili
habitus
Bagian
Planchonella aboveta
Sapotaceae
Pohon
Bh, D
Quercus sundaicus Schima walichii Althingia exelsa Calamus sp. Castanopsis argentea Orophea hexandria Arthocarpus elastica Castanopsis tungurut Ficus ribes
Fagaceae Theaceae hammamelidae Palmae Fagaceae Annonaceae Moraceae Fagaceae Moraceae
Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
Bh D Bh, D Bj Bj Bh Bh Bh Bh
S 0,67
INP Pc 0,00
T 0,00
Ph 0,84
0,42 3,05 0,00 3,93 0,42 3,73 0,00 0,00 0,34 145
1,08 10,77 0,00 0,00 1,08 0,00 2,59 0,00 1,08 66
1,19 10,43 1,19 0,00 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 49
11,62 88,84 0,38 0,00 12,77 0,00 5,78 4,10 0,00 53
Lampiran 11. Vegetasi pakan lutung di koridor
No
Jenis
Nama Latin
1 Beunying Ficus fustilosa 2 Calik angin Maltatus paniculatus Cecengkehan 3 Urophyllum arboreum Darangdan 4 Ficus melinocarpa Gompong 5 Schifera aromatica Hamerang 6 Ficus toxicasia Ipis kulit 8 Kibezzia azura Kaliandra 9 Calliandra callothirsus 10 Kanyere Bridelia monoica Kareumi 11 Omalanthus populneus 12 Kawoyang Prunus arborea Kiara 13 Scheflera macrostachya 14 Kibonteng Platea latifolia Kiseer 15 Antidesma momantum Kokopian 16 Nyssa javanica Manggong 17 Macaranga rizinoides 18 Pisang cole* Musa accuminatissima Ramo giling 19 Scefflera longifolia Rasamala 20 Althingia exelsa Saninten 21 Castanopsis argentea Seuseureuhan 22 Piper aduncum Walen 23 Ficus ribes Sumber Paulina, 2005 Keterangan : D : Daun Ba : Buah
Famili Moraceae Euphorbiaceae Rubiaceae Moraceae Araliaceae Moraceae Melastomaceae Fabaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Rosaceae Araliaceae Icacinoceaa Euphorbiaceae Cornaceae Euphorbiaceae Musaceae Araliaceae hammamelidae Fagaceae Piperaceae Moraceae Pc : Pucuk
Habitus Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu Pohon Pohon Pohon
Bagian D D D D, Ba D D, Ba D D D D D, Ba D, Ba D D D, Ba D Ba D D,Pc D, Ba,Pc D, Pc D
INP S 0,21 0 2,41 0,21 0,21 0 0 5,26 0,21 0,42 0,42 0,00 0,67 0,21 0 0,21 0,21 1,17 0 0,42 0 0,34
Pc 5,41 0 2,16 0 0 0 2,16 16,26 3,67 1,08 4,33 0 0 1,08 1,08 0 0 3,01 0 1,08 1,08 1,08
T 2,38 1,19 2,38 0 0 5,38 4,02 28,42 1,19 1,19 3,57 0 1,19 0 1,19 0 0 1,19 1,19 1,19 1,19 0
Ph 0,87 5,71 0 0 0,84 5,53 6,15 0 1,98 0 1,20 0,90 0,87 0 0 0 0 0,84 1,75 12,77 0 0