KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797)
YUMARNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Yumarni NRP. E 061060081
ABSTRACT YUMARNI. Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats. Under direction of HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, and RINEKSO SOEKMADI. The Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) corridor is an area connecting the Gunung Halimun and the Gunung Salak in the Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP). The corridor functions as a habitat and a movement line for some important protected wildlife, such as javan gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797). Javan gibbon is an endemic primate of Java Island. Its populations tend to decline and are scarcely distributed only in West and Central Java. The IUCN (International Union for Conservation of Nature) categorizes it as an endangered species. It is heavily dependent on its habitat condition that should provide appropriate trees for its food and bed. The local community’s high dependence on land and natural resources in the corridor has become a thread to the existence of Javan gibbon. The study is aimed at formulating the management of corridor models for conservation of the javan gibbon. It employs the Line Transect Methods for the data of javan gibbon’s population, the square line method for the javan gibbon’s habitat, and the use of Arc GIS 9.3 program for spatial modelling of javan gibbon’s habitat suitability in the National Park’s corridor, and the use of secondary data for the analisys of social economy of community. The research found nine groups of javan gibbon with 28 individuals in the corridor and nojavan gibbon in the research site of Cipanas. The group density of javan gibbon varied from 0.01 to 0.03 groups per km2, the population density was between 0.04 and 0.09 individual per km2. The average of highest INP values of trees was owned by rasamala (Altingia excelsa) at 144.26%, manii (Maesopsis eminii) at 64.65% and puspa (Schima wallichii) at 60.90%. The highest INP values for young trees were of kisireum (Syzygium rostratum) 79.02%, manii (73.68%), and huru hiris (Litsea brachystachya) 62.69%, while those for sapling were of manii (88.58%), kopinango (Nyssa sp.) 81.12%, and mara bereum (Macaranga triloba) 63.53%, for seedling level of batarua (Quercus gemiliflorus) 83.50%, manii (72.42%), and pasang (Quercus oldocarpa) 44.39%. For the habitat suitability, all groups of javan gibbon were found in the suitable class of habitat and nojavan gibbon found in the highly suitable and unsuitable habitat. There were estimation 28,608 people living in the corridor at 2020. most of them (76.58%) were at low level education (elementary and middle school); 52.64% were at 19 to 59 years of age; 63.29% were farmers; 83.4% held land less than 0.25 hectares; and 86.7% had monthly family income lower than Rp 74,000,-/capyta/year. Keywords: conservation, corridor, national park, habitat, javan gibbon.
RINGKASAN YUMARNI. Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797). Dibimbing oleh: HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, DAN RINEKSO SOEKMADI. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003, dengan luas 113.357 ha. Perluasan ini membentuk koridor TNGHS, yang menghubungkan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Fungsi koridor TNGHS adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. status owa jawa menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) termasuk kategori spesies yang terancam punah (Endangered Species). Selain penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawapun diperkirakan sudah sangat sedikit. Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah 8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa diantara populasi owa jawa yang masih tersisa, sebahagian besar berada di TNGHS. Tujuan penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS, berdasarkan administrasi pemerintahan koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan). Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011. Metode yang dipakai adalah line trnsect sampling untuk owa jawa, metode garis berpetak untuk habitat owa jawa, analisis spasial untuk kesesuaian habitat owa jawa, dan untuk melihat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk dipakai data sekunder tentang keadaan sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS. Diidentifikasi sembilan kelompok owa jawa dengan 28 individu di koridor TNGHS. Hasil penelitian ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Rinaldi et al. (2008) yang menemukan 11 kelompok dan lebih besar apabila dibandingkan dengan Komarudin (2009) yang menemukan empat kelompok. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan frekuensi perjumpaan dengan owa jawa, yang dapat disebabkan oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada jalur penelitian. Di lokasi Sukagalih dan Cisarua ditemukan masing-masing dua kelompok owa jawa dengan enam individu, di Cilodor ditemukan dua kelompok dengan lima individu, di GH dan Ciherang masing-masing ditemukan satu kelompok dengan empat individu, dan di Cipicung ditemukan satu kelompok dengan tiga individu. Sementara di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa. Kerapatan kelompok owa jawa di lokasi Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua yaitu 0,03 kelompok/km², lebih besar dari pada kerapatan kelompok di GH, Cipicung, dan Ciherang yaitu 0,01 kelompok/km². Kerapatan populasi terbesar yaitu 0,09 individu/km² ditemui di Sukagalih dan Cisarua, diikuti oleh Cilodor
0,07 individu/km², GH dan Ciherang dengan masing-masing 0,06 individu/km², dan Cipicung 0,04 individu/km². Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi beberapa hasil penelitian sebelum ini yaitu Komarudin (2009) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa di koridor TNGHS 5,7 kelompok/km² dan kerapatan populasi 21,42 individu/km², Iskandar (2007) menyatakan rerata kerapatan kelompok owa jawa di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS 3,4 kelompok/km² dan kerapatan populasi 8,2 individu/km², Nijman (2004) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa di Gunung Halimun 3,0 kelompok/km² dan kerapatan populasi 6,8 individu/km². Kecilnya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Komarudin (2009) disebabkan oleh semakin berkurangnya habitat owa jawa di koridor TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa, areal berhutan di koridor TNGHS mengalami pengurangan setiap saat. Kemudian apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS dan Nijman (2004) di Gunung Halimun disebabkan oleh lebih jeleknya kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dari pada lokasi lain di TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi et al. (2008), yang menyatakan bahwa hutan di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra yang memanjang dari Utara ke Selatan. Owa jawa terdistribusi hampir pada semua lokasi penelitian, kecuali di lokasi Cipanas. Jumlah anggota masing-masing kelompok berkisar antara dua sampai empat individu. Komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS secara keseluruhan lengkap untuk semua tingkatan umur, yaitu ada pasangan induk, anak remaja, dan ada bayi. Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian ditemukan 77 jenis vegetasi di koridor TNGHS, dan 42 jenis diantaranya adalah vegetasi tingkat pohon. Rerata nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon dimiliki oleh rasamala (Altingia excelsa) yaitu 144,26%, diikuti oleh manii (Maesopsis eminii) dengan nilai 64,65% dan puspa (Schima wallichii) dengan nilai 60,90%. Permudaan vegetasi di koridor TNGHS terdiri dari 40 jenis vegetasi tingkat tiang, 51 jenis vegetasi tingkat pancang, dan 45 jenis vegetasi tingkat semai. INP tertinggi vegetasi tingkat tiang adalah 79,02% yaitu kisireum (Syzygium rostratum), diikuti 73,68% yaitu manii, dan 62,69% yaitu huru hiris (Litsea brachystachya). Vegetasi tingkat pancang INP tertingginya 88,58% yaitu manii, diikuti 81,12% kopinango (Nyssa sp.), dan 63,53% mara bereum (Macaranga triloba). Vegetasi tingkat semai INP tertinggi 83,50% yaitu pasang batarua (Quercus gemiliflorus), diikuti 72,42% yaitu manii, dan 44,39% yaitu pasang (Quercus oldocarpa). Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS memperlihatkan bahwa, semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi berada pada kelas sesuai. Hal ini dapat terjadi karena areal hutan di koridor TNGHS telah mengalami degradasi dan fragmentasi, sehingga areal yang berhutan di koridor TNGHS sudah sedikit dan terkelompok-kelompok menjadi areal yang kecil. Keadaan ini menyebabkan habitat owa jawa di koridor TNGHS sudah sangat terdesak, yang menyebabkan owa jawa hanya di jumpai pada areal-areal yang memang sesuai untuk kehidupan mereka. Kelas kesesuaian habitat sangat sesuai dan tidak sesuai, tidak ditempati oleh kelompok owa jawa. Habitat dengan kelas sangat sesuai luasannya kecil yaitu
20,44 ha dan terfragmentasi, sehingga tidak memenuhi syarat untuk home range owa jawa. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai adalah berupa enclave, yang banyak terdapat di koridor TNGHS yaitu berupa areal pertanian, perusahaan pertambangan, dan kebun teh. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai jelas tidak memenuhi syarat untuk kehidupan owa jawa yang arboreal, karena bukan merupakan areal yang berhutan. Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS disebabkan karena tingkat sosial ekonomi penduduk yang relatif rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS diindikasikan dengan: jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu diperkirakan 28.608 jiwa pada tahun 2020, 76,58% penduduk berpendidikan SD sampai SLTP, 52,64% penduduk berumur 19 sampai 59 tahun, 63,29% penduduk bekerja sebagai petani dengan harga komoditas pertanian yang rendah, 53,3% keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima sampai enam orang, 65,69% pengeluaran rumah tangga adalah untuk kebutuhan beras, 83,4% kepemilikan lahan penduduk kurang dari 0,25 ha, 56,7% waktu tempuh penduduk ke hutan adalah cepat (kurang 30 menit), 86,7% penduduk berpenghasilan dibawah Rp. 74.000,-/kapita/bulan. Upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan untuk konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa diantaranya adalah: Pertama selalu memantau keberadaan populasi owa jawa yang sekarang masih tersisa, karena dengan cara ini akan dapat diketahui kondisi populasi dan habitatnya. Kedua melakukan peningkatan kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS yang ada sekarang, ini dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, seperti rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), dan saninten (Castanopsis argentea). Ketiga dengan meningkatkan luasan habitat yang sesuai untuk kehidupan owa jawa, hal ini dapat dilakukan juga dengan penanaman untuk memperluas tutupan lahan berupa hutan dan memperbaiki faktor-faktor lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa. Keempat adalah dengan meningkatkan taraf sosial ekonomi penduduk yang berada di koridor TNGHS, sehingga ketergantungan mereka terhadap lahan dan suberdaya alam yang ada di koridor TNGHS dapat diminimalkan. Model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa di koridor TNGHS harus mempertimbangkan aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang ada di koridor TNGHS. Aspek perlindungan dilakukan dengan melibatkan penduduk setempat secara partisipatif, untuk menjaga sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di koridor TNGHS. Aspek pengawetan dilakukan dengan penanaman untuk membuat penghubung (konektifitas) antar habitat owa jawa yang terfragmentasi di koridor TNGHS. Sementara konektifitas alami belum berfungsi optimal, dapat dibangun konektifitas buatan (artificial connectifity) berupa tiangtiang atau jembatan penghubung yang sifatnya sementara. Aspek pemanfaatan berorientasi pada peningkatan ekonomi penduduk setempat berbasis sumberdaya hutan non kayu, hal ini dapat dilakukan melalui sistem agroforestri dengan tumpang sari. Kata kunci: konservasi, koridor, taman nasional, habitat, owa jawa.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797)
YUMARNI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Dosen penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S. Dosen penguji pada Ujian Terbuka: Prof. (Ris.). Dr. M. Bismark, M.S. Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S.
PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian untuk penulisan disertasi ini dilakukan di koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, dari bulan Oktober 2010 sampai bulan Juni 2011. Tema yang dipilih untuk disertasi ini adalah: Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797). Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas bimbingan, bantuan,
motivasi
dari
berbagai
pihak,
pada
kesempatan
ini
penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F. selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu dan fikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3.
Bapak Prof. (Ris) Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
4.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang memberikan Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat atas beasiswa Pemda.
5.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SPs IPB, beserta staf atas semua layanannya,
6.
Koordinator Kopertis Wilayah X Padang beserta staf, atas izin melanjutkan studi dan semua bantuannya.
7.
Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Padang beserta staf, atas izin melanjutkan studi dan semua bantuannya.
8.
Kepala dan staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, atas fasilitas penelitian, bantuan literatur, peta-peta digital, dan lainlainnya.
9.
Soojung Ham: Division of Eco Science, Ewha Womans University Seoul Korea, atas foto-foto owa jawa.
10. Kepala
dan
staf
Laboratorium
Satwaliar,
Departemen
Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua layanannya. 11. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua bantuannya dalam analisis spasial. 12. Teman-teman Hoya Club beserta keluarga atas semangat, dorongan, bantuan, perhatian, dan kerjasamanya. 13. Bapak H. M. Al-Husain dan bapak Somad, beserta tim atas pendampingan selama kegiatan penelitian di lapangan. 14. Kedua orang tua penulis Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.) atas semua jasa, perhatian, kasih sayang, doa, dan pengorbanan yang tidak terhingga dan tidak akan terbalas. 15. Uda, adik-adik beserta semua keluarga atas semua perhatian, kasih sayang, dan doanya. 16. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak, dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan kita semua. Bogor, Februari 2012 Yumarni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotogadang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 19 Maret 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara, dari pasangan orang tua Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.). Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, lulus pada tahun 1990. Tahun 1999 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2006. Penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dan dari Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat Padang. Penulis bertugas sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat Padang, dari tahun 1993 sampai 1997. Sejak Tahun 1998 sampai sekarang penulis bertugas di Fakultas Kehutanan perguruan tinggi yang sama. Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Artikel dengan judul Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Koridor TNGHS untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) telah diterbitkan pada Jurnal Menara Ilmu Volume I Nomor 27 Januari Tahun 2012, Analisis Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012. Analisis Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi. Karya-karya ilmiah tersebut adalah merupakan bagian dari disertasi penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .……………………………………………………………...xiii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….iv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………...v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah..................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6 1.5. Kebaruan (Novelty) Penelitian..................................................................... 6 1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi ................................................................................................... 9 2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ................................... 9 2.3. Koridor ...................................................................................................... 11 2.4. Habitat ....................................................................................................... 16 2.5. Struktur Lansekap Ekologi ........................................................................ 19 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) ............................................................. 21 2.7. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ........................................................ 24 2.8. Pixel ........................................................................................................... 26 2.9. Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) ......................................... 26 2.10. Tekanan terhadap Koridor TNGHS ........................................................ 30 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian ………………………………………………….33 3.1.2. Waktu Penelitian ………………………………………………….34 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan Penelitian …...………………………………………...…...34 3.2.2. Alat Penelitian …………………………………………………….35 3.3. Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Owa Jawa …………………………………………………………35 3.3.2. Habitat Owa Jawa ………………………………………………...37 3.3.3. Tekanan terhadap Owa Jawa ……...………………………….......45 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ................................. 40 4.2. Koridor TNGHS ........................................................................................ 44 4.3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS ......................... 51 4.4. Tekanan terhadap Koridor TNGHS .......................................................... 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Owa Jawa 5.1.1. Populasi Owa Jawa ……………………………………………….65 5.1.2. Distribusi Kelompok Owa Jawa …………………………………..69 5.1.3. Komposisi Kelompok Owa Jawa …………………………………74 5.2. Habitat Owa Jawa 5.2.1. Kesesuaian Habitat Owa Jawa ……………………………………80 5.2.2. Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa ……………………………..95 5.3. Tekanan terhadap Owa Jawa 5.3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk …………………...….106 5.3.2. Pengurangan Luasan Hutan ………..….………………………...110 5.3.3. Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan ...…………………………..111 5.3.4.Tingkat Umur Penduduk …………………………………...……112 5.3.5. Tingkat Pendidikan Penduduk …………………………………..113 5.3.6. Pekerjaan Penduduk ………………………..……...………..…..114 5.3.7. Penghasilan Penduduk …………………………………………..115 5.3.8. Jumlah Anggota Keluarga Penduduk ...………………………….117 5.3.9. Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk ………………………....117 5.3.10. Pembahasan Umum Tekanan terhadap Koridor TNGHS ……..118 5.4. Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS 5.4.1. Aspek Perlindungan………………………...…………………...120 5.4.2. Aspek Pengawetan……………………………………….......….120 5.4.3. Aspek Pemanfaatan………………………………...……………121 VI. PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………….116 VII. SIMPULAN DAN SARAN . 7.1. Simpulan .................................................................................................. 123 7.2. Saran ........................................................................................................ 124 DAFTAR PUSTAKA ………………………...……………………………….125 LAMPIRAN..............................................……………………………………..138
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7
Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS ...... 40 Skor dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa ............ 41 Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS .......................................... 42 Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS .................................. 47 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS Tahun 1990 sampai 2001 ......... 47 Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989-2004 ............ 52 Pertumbuhan penduduk tahun 1989-2004 dan perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 di koridor TNGHS......................................................................... 52 8 Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS........................................... 53 9 Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS ..................................... 53 10 Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS .......................................................... 54 11 Penghasilan penduduk di koridor TNGHS ...................................................... 54 12 Harga jual beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS ......................... 55 13 Jumlah anggota keluarga di Koridor TNGHS.................................................. 55 14 Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS ................................................ 56 15 Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS ....................... 56 16 Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS ................................... 57 17 Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS ............................................................. 59 18 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS ............ 63 19 Faktor lingkungan identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS ......... 65 20 Jumlah dan komposisi kelompok owa Jawa di koridor TNGHS ..................... 69 21 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat pohon di koridor TNGHS .................................................................... 90 22 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat tiang di koridor TNGHS .................................................................................. 94 23 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat pancang di koridor TNGHS ............................................................................. 96 24 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat semai di koridor TNGHS ..................................................................... 98
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. ........................................................................................................... 8 2 Peta TNGHS. ................................................................................................... 33 3 Peta batas administrasi koridor TNGHS. ......................................................... 34 4 Desain Line Transect Methods. ........................................................................ 36 5 Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan Kemiringan lereng. ................ 38 6 Alur penentuan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. ........... 39 7 Desain plot Metode Garis Berpetak…………………………………………..44 8 Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS 61 9 Areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan kaliandra (b). .................................................................................................... 62 10 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS. ........... 64 11 Peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ................................. 64 12 Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS...................... 69 13 Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ...................... 70 14 Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS. ............................... 71 15 Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor TNGHS. ........................................................................................................... 74 16 Peta tutupan lahan di koridor TNGHS. ........................................................... 75 17 Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS. .......................................... 77 18 Areal pertanian di koridor TNGHS…………………………………………...84 19 Peta jarak dari permukiman di koridor TNGHS……………………………...85 20 Kegiatan adopsi pohon oleh Yamahan Club dan papan nama Kelompok Tani Hutan di Kampung Sukagalih. ......................................................................... 80 21 Peta jarak dari jalan di koridor TNGHS........................................................... 81 22 Peta ketinggian tempat di koridor TNGHS. ..................................................... 82 23 Peta jarak dari sungai di koridor TNGHS. ...................................................... 84 24 Peta kemiringan lereng di koridor TNGHS. .................................................... 91 25 Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa di Koridor TNGHS. ................................ 88 26 Jumlah jenis pohon di koridor TNGHS……………………………………....95 27 Jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989 sampai 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020. ........................................................................ 101 28 Persentase pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS. ........................... 112
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS..............................138 2. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di Koridor TNGHS…………………139 3. Famili dan jumlah jenis tumbuhan di koridor TNGHS……………….……..141 4. Sebaran jenis vegetasi tingkat pohon pada tiap lokasi………………………142 5. Sebaran jenis vegetasi tingkat tiang pada tiap lokasi………………………..144 6. Sebaran jenis vegetasi tingkat pancang pada tiap lokasi…………….………146 7. Sebaran jenis vegetasi tingkat semai pada tiap lokasi…………………….…148
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan bagian dari Kawasan Pelestarian Alam. Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, TNGHS merupakan kawasan ekologi dengan fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjend. PHKA 2004). Fokus utama pengelolaan TNGHS adalah untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Provinsi Jawa Barat, yang unik dan memiliki keanekaragaman jenis hayati yang tinggi. Fungsi TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap tumbuhan dan satwasatwa langka dan hampir punah, perlindungan terhadap sumber air, pendidikan dan penelitian, serta rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a). TNGHS berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003. Perluasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi Perum Perhutani dan hutan lindung serta hutan produksi terbatas yang berada di sekitar TNGH, menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS dari luas awal 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007b). TNGHS merupakan pusat keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Provinsi Jawa Barat, serta merupakan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Perluasan TNGH menjadi TNGHS, membentuk koridor TNGHS. Koridor adalah areal yang menghubungkan dua ekosistem dengan kawasan yang terpisah, fungsi koridor adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan dilindungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Forman dan Godron 1986). Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur yang menghubungkan dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu ekosistem Gunung Halimun dan ekosistem Gunung Salak (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor TNGHS merupakan habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan dilindungi di TNGHS, salah satu diantaranya adalah owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) (Rinaldi et al. 2008).
2 Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya sangat terbatas yaitu hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Status owa jawa menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) termasuk kategori spesies yang terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Selain penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawa pun diperkirakan sudah sangat sedikit (MacKinnon 1987). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa, diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS. Fungsi koridor TNGHS sangat penting untuk makhluk yang hidup di Gunung Halimun dan Gunung Salak, sehingga koridor TNGHS ini perlu dipantau keadaannya setiap waktu. Owa jawa merupakan spesies payung (umbrella species), berkurangnya owa jawa di koridor TNGHS menjadi pertanda rusaknya koridor TNGHS ini. Luas koridor yaitu 4.200 ha dan sepertiganya sudah menjadi semak belukar, pohon-pohon besar sebagian telah menghilang. Kehidupan owa jawa sangat bergantung pada kondisi habitatnya, karena mereka membutuhkan pohon-pohon besar untuk pergerakan, mencari makan, dan beristirahat (Supriyanto 2007). Menurut Alikodra (1997) kualitas dan kuantitas habitat sangat menentukan komposisi, penyebaran, dan produktifitas satwaliar. Owa jawa merupakan salah satu jenis primata yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya (Iskandar et al. 2009). Kehidupan dan perkembangan owa jawa di koridor TNGHS, membutuhkan habitat dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling tersambung. Kondisi koridor TNGHS sekarang mengalami fragmentasi dan degradasi, yang mengakibatkan hubungan antar tajuk pohon terputus dan ekosistem owa jawa menjadi terganggu. Data citra satelit (satellite image) TM tahun 1990 sampai 2001 memperlihatkan bahwa, terjadi penyempitan dan fragmentasi koridor TNGHS. Selama 11 tahun areal berhutan koridor TNGHS telah mengalami penurunan sebesar 52% yaitu seluas 347,523 ha, dari luas 666,508 ha pada tahun 1990 menjadi 318,985 ha pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Data Citra Ikonos 2004,
3 memperlihatkan bahwa luas hutan di koridor TNGHS yang masih tersisa adalah 1.069,67 ha atau 25,43% dari luas koridor TNGHS yaitu 4.206,18 ha. Hutan yang masih tersisa di koridor TNGHS ini terdiri dari hutan primer 268,56 ha, hutan sekunder 759,06 ha, dan hutan tanaman 42,05 ha (GHSNPMP-JICA 2009). Owa jawa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak, membutuhkan habitat yang sesuai untuk kehidupannya yang arboreal. Kesesuaian habitat owa jawa dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan habitatnya, diantaranya adalah tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Kualitas faktor-faktor lingkungan ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktifitas manusia di koridor TNGHS. Aktifitas atau ketergantungan manusia terhadap lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat yang berada di koridor TNGHS. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh MacKinnon et al. (1993) bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi membutuhkan dukungan dari masyarakat yang ada di dalam dan sekitarnya, karena mereka banyak menggantungkan hidupnya dari produk dan jasa hutan yang ada di kawasan tersebut. Ada lima desa dari dua kabupaten dan tiga kecamatan yang berada dalam koridor TNGHS. Masyarakat dari lima desa ini aktifitas kehidupannya sangat tergantung dari dalam koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor TNGHS banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk permukiman, lahan pertanian (sawah dan ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, serta keperluan lainnya. Aktifitas masyarakat ini berawal dari pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), yang dilakukan oleh Perum Perhutani sebelum perluasan TNGH. Kondisi ini mengharuskan pengelolaan koridor TNGHS, dilakukan secara bersama dengan masyarakat. Lemahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi batas kawasan TNGHS di lapangan serta belum selesainya proses tata batas dan zonasi TNGHS, merupakan kendala bagi pengelola TNGHS untuk mempertahankan kemantapan kawasan hutan dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang dapat diterima para pihak (GHSNPMP-JICA 2008). Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa terdapat beberapa wilayah di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak
4 belukar, sehingga perlu direstorasi. Akibat banyaknya areal semak belukar ini hubungan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terputus, dan keadaan ini tidak cocok untuk kehidupan owa jawa (Supriyanto 2007). Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka penting dilakukan penelitian untuk: Memformulasikan upaya-upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, dengan memperhatikan aspek owa jawanya sendiri, habitatnya, dan tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk. 1.2. Perumusan Masalah Kehidupan owa jawa semakin terancam dengan adanya indikasi penurunan kuantitas dan kualitas habitat mereka di koridor TNGHS (Rinaldi et al. 2008). Hal ini dapat mengakibatkan penurunan populasi bahkan kepunahan bagi primata endemik Pulau Jawa ini, sehingga perlu dilakukan pemantauan populasi, kualitas dan kuantitas habitat, dan intensitas gangguan akibat aktifitas manusia terhadap kehidupan owa jawa di koridor TNGHS Keberadaan owa jawa di koridor TNGHS sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini akan menentukan kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Faktor-faktor yang menentukan kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS diantaranya adalah jenis tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan raya, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Agar koridor TNGHS sesuai sebagai habitat owa jawa, maka harus diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mendukung untuk kehidupan owa jawa tersebut. Koridor TNGHS banyak mengalami tekanan, yang diakibatkan oleh aktifitas penduduk yang tinggal di sana. Tekanan yang terjadi seperti berupa perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian berupa sawah dan ladang, penambahan areal permukiman seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan penebangan liar. Semua gangguan tersebut berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, karena owa jawa membutuhkan kondisi hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling tersambung untuk kelangsungan hidupnya. Habitat dengan semua komponennya menjadi sangat penting bagi owa jawa, karena dapat menyediakan berbagai hal
5 yang dibutuhkannya seperti tersedianya cukup pohon sebagai sumber makanan, pohon tempat tidur dan tempat berlindung, serta ruang untuk bergerak. Usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi kelestarian owa jawa di koridor TNGHS adalah dengan menyediakan habitat dan ruang pergerakan yang sesuai untuk kehidupan mereka, serta meminimalkan tekanan terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Koridor TNGHS dapat berfungsi sebagai habitat maupun jalur pergerakan dari kawasan Gunung Halimun ke Gunung Salak, atau sebaliknya bagi owa jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Dengan tersedianya habitat dan ruang pergerakan bagi owa jawa, serta kecilnya tekanan yang terjadi akibat aktifitas manusia di koridor TNGHS, berarti kita dapat melestarikan owa jawa yang harus mendapatkan makanan, melakukan pergerakan, beristirahat, dan terhindar dari gangguan predator dan manusia. Situasi yang ada saat ini menimbulkan masalah yang menjadi fokus penelitian ini yaitu: 1. Berapa jumlah populasi, dimana distribusi, dan bagaimana komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. 2. Bagaimana tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. 3. Bagaimana kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS. 4. Seberapa besar tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk di koridor TNGHS. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan antara sebagai berikut: 1. Menghitung populasi, menggambarkan distribusi, dan mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. 2. Melakukan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. 3. Menganalisis kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS. 4. Mengetahui tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk yang berada di koridor TNGHS.
6 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah berupa informasi atau masukan bagi pengelola TNGHS terkait dengan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek keberadaan owa jawanya, tingkat kesesuaian serta ekologi habitatnya, dan potensi ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang tinggal di koridor TNGHS. 1.5. Kebaruan (Novelty) Penelitian Keterbaruan dari penelitian ini adalah formulasi model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek owa jawanya, ekologi habitatnya, dan ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang tinggal di koridor TNGHS. 1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Keberadaan koridor TNGHS salah satunya ditujukan sebagai jalur pergerakan dan habitat bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa, penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Populasi owa jawa diperkirakan sudah sangat sedikit (Indrawan et al. 2007), diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS (Supriatna 2006). Status owa jawa menurut IUCN adalah spesies yang terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu. Kondisi seperti digambarkan tersebut, sangat mengkhawatirkan akan kelangsungan hidup dari kelompok primate yang dilindungi ini. Owa jawa membutuhkan hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan pohonpohon yang tinggi, multi strata, tajuk yang rapat dan saling tersambung untuk kelangsungan hidupnya yang arboreal dan untuk pergerakannya secara brakhiasi. Saat ini koridor TNGHS mengalami degradasi yang cukup serius, yang diakibatkan oleh adanya perubahan kawasan hutan alam menjadi hutan tanaman, lahan pertanian dan perkebunan, serta permukiman oleh masyarakat (Cahyadi 2003). Keadaan ini sangat tidak mendukung untuk kelangsungan hidup owa jawa,
7 karena pada hutan tanaman satu strata dan pada areal pertanian yang sudah tidak ada pohon-pohonnya tidak sesuai untuk kehidupan owa jawa. Owa jawa membutuhkan jenis-jenis pohon tertentu untuk dijadikan pohon pakan dan pohon tidur. Jenis-jenis pohon yang dibutuhkan owa jawa tersebut seperti jenis-jenis darangdan (Ficus sinuata), pasang batarua (Quercus gemiliflorus), rasamala (Altingia excelsa), dan saninten (Castanopsis javanica) yang sekarang sudah jarang ditemui di TNGHS (Iskandar 2007). Perlu dilakukan analisis vegetasi habitat owa jawa di koridor TNGHS, sebagai salah satu indikasi untuk melihat kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS dan untuk merencanakan upaya konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Fragmentasi dan degradasi hutan di koridor TNGHS akan menimbulkan perubahan lansekap dan tutupan lahan, hal ini akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas habitat owa jawa. Habitat merupakan aspek penting yang mempengaruhi kehidupan owa jawa. Komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup owa jawa adalah vegetasi. Vegetasi bagi owa jawa berfungsi sebagai penyedia pohon-pohon sebagai tempat mencari makanan, tempat tidur, tempat berlindung, dan ruang pergerakan. Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS, seperti bertani (sawah dan ladang), bertempat tinggal, pengambilan kayu bakar dan makanan ternak, dan perburuan (GHSNPMP-JICA 2009), akan menyebabkan tekanan terhadap koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tekanan tersebut dapat menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas habitat mereka, maupun merasa terganggunya owa jawa berada di koridor TNGHS karena kehadiran manusia. Akibat dari semua ini akan mempengaruhi jumlah populasi, daerah distribusi, dan komposisi kelompok owa jawa yang dapat bertahan hidup di koridor TNGHS. Bertitik tolak dari pemikiran yang ada, maka penelitian ini penting dilakukan, yang bertujuan untuk memformulasikan model konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tujuan penelitian ini dicapai dengan melakukan
perhitungan
jumlah
populasi,
mengetahui
distribusi,
dan
mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, menganalisis tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, dan tingkat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk.
8 Penelitian ini akan mengetahui keadaan populasi owa jawa itu sendiri, tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa, dan tingkat tekanan penduduk terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, dapat dilihat pada Gambar 1. Koridor TNGHS
Owa Jawa
Habitat
Penduduk
- Populasi - Distribusi - Komposisi
Analisis - Kesesuaian Habitat - Vegetasi
Aktifitas Penduduk di Koridor TNGHS
- Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa - INP Vegetasi
Tekanan terhadap Owa Jawa dan Habitatnya
- Jumlah Populasi - Peta Distribusi - Komposisi Kelompok
Keadaan Populasi, Kesesuaian Habitat, Kuantitas dan Kualitas Habitat, dan Tekanan terhadap Owa Jawa Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS U k H bi O J Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa.
9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990). 2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa taman nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990). Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan alam indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993). Fungsi taman nasional adalah sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen. PHPA 1996). Indonesia memiliki 50 kawasan taman nasional sampai tahun 2006, dengan total luas sebesar 16.384.194,14 Ha, salah satu diantaranya adalah
10 TNGHS (Dirjen. PHKA 2006b). TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dengan Kabupaten Lebak. TNGHS ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007a). TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam, adalah merupakan kawasan ekologi. Fungsi utamanya adalah sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus
pengelolaan
untuk
mempertahankan
perwakilan
ekosistem
hutan
pegunungan Jawa Barat (Ditjen. PHKA 2006a). Kawasan TNGHS berupa bentang alam yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Fungsi yang diemban oleh TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap sumbersumber daya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat perlindungan terhadap sumber air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a). Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan memiliki
peranan
yang
cukup
berarti,
sehingga
masing-masing
perlu
dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (>1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4) hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (buffer zone) antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto et al. 2008). Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati pada kawasan TNGHS.
11 2.3. Koridor Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai. Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi, sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan et al. 2007). Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan vegetasi yang hampir seragam. Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor adalah: 1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat: a. Meningkatkan species richness (prediksi teori biogeograpi pulau). b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan kembali populasi lokal yang sudah punah di alam. c. Mencegah terjadinya inbreeding dan mempertahankan variasi genetik dalam populasi.
12 2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies. 3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara patch. 4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka. 5. Memberikan alternatif
tempat perlindungan untuk gangguan yang besar,
seperti keluar dari gangguan kebakaran. 6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan. Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah: 1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat: a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak diingini dan melewati lansekap. b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek (tekanan silang luar). 2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan abiotik lainnya (penularan sumber bencana). 3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator. 4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa sulit untuk memperluas areal penyebaran. 5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah. Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis, dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau konektifitas dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah fragmen yang saling terhubung atau semakin tinggi konektifitas antar fragmen
13 dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda, untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor hutan yang luasnya 7.700 ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan konservasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon et al. 1993). Pengamatan terhadap mamalia arboreal di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar 30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua spesies (Indrawan et al. 2007). Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan. Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa (termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut kasus masing-masing kawasan (Indrawan et al. 2007).
14 Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai ”batu loncatan” yang akan menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan et al. 2007). Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor menjadi empat tipe yaitu: 1. Line Corridor: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat utama bagi edge spesies. 2. Strip Corridor: Arealnya lebih luas dengan lingkungan interior yang dapat memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi spesies interior. 3. Gabungan antara Line dan Strip Corridor: Koridor ini berbentuk lingkaran, sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan biasanya lebih disukai oleh banyak hewan. 4. Stream Corridor: Merupakan bentuk ganda dari Strip Corridor dengan pinggir jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan interior dengan aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu kontrol nutrient permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir. Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008). Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi
meliputi Kecamatan Kabandungan
(Desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan), sedangkan Kabupaten Bogor
15 meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan
seluas 2.533,00 hektar
berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat, sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11 tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi ini mengakibatkan konektivitas ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber pakan seperti jenis saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp.), dan Ficus sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (Panthera pardus) yang menjadi satwa maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), salah satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa. Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut (GHSNPMPJICA 2007b). Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha) mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh Perum Perhutani dilaksanakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
16 di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009). Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009). Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai dengan penanaman aren (Arenga pinnata) seluas 22,5 hektar sepanjang batas kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan. Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA, PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009). 2.4. Habitat Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat terbentuk jenis baru (Soemarwoto 1997).
17 Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbedabeda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan habitatnya (Alikodra 1990). Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah, dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak, dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap komponen relung dapat menjadi sumberdaya pembatas ketika komponen itu
18 membatasi ukuran populasi (Indrawan et al. 2007). Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata, memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990). Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil, ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur) mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997). Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya mamalia besar, terutama badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong (Alikodra 1990). Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman (2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat mempengaruhi kepadatan populasi.
19 Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya arus meteri dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itupun akan terjaga. Keteraturan ekosistem, menunjukkan ekosistem tersebut berada dalam suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, akan selalu berubah-rubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari aktifitas manusia (Soemarwoto 1997). Setiap spesies primata mempunyai respon yang berbeda terhadap penebangan hutan. Pada kelompok Hylobates suaranya akan berkurang selama ada kegiatan eksploitasi hutan, tetapi mereka tetap mempertahankan teritorinya. Beberapa bulan setelah kegiatan eksploitasi selesai, suara mereka kedengaran ramai kembali. Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Suara yang ditimbulkan oleh alat-alat berat dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon/ cabang yang dipergunakan untuk tempat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya, setelah kegiatan eksploitasi regenerasi pohon sangat lambat sehingga sering kondisi semula tidak dapat terbentuk kembali (Alikodra 1997). 2.5. Struktur Lansekap Ekologi Menurut Forman dan Godron (1986), lansekap adalah suatu bentang alam yang terdiri dari beberapa unit ekosistem dalam bentuk satu kesatuan klaster, atau berupa daerah heterogen yang dibentuk oleh kelompok ekosistem yang berinteraksi secara berulang pada bentuk yang sama. Pada struktur lansekap dibahas tentang distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya dengan ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi elemen-elemen lansekap atau ekosistem tersebut.
20 Elemen-elemen dari lansekap adalah (Forman dan Godron 1986): 1. Patch yaitu areal homogen yang dapat dibedakan dengan daerah sekelilingnya. 2. Matriks yaitu areal homogen yang mendominasi lansekap. 3. Corridor yaitu patch yang berbentuk memanjang. 4. Edge yaitu daerah peralihan antar patch atau antara patch dengan matriks. Terjadinya patch dapat dibagi menjadi tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance yaitu kejadian yang mengganggu struktur ekosistem, komunitas atau populasi dan dapat merubah sumberdaya dan ketersediaan materi, atau lingkungan fisik suatu areal lanskap (Forman dan Godron 1986). Lansekap disusun oleh unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa penutupan lahan (land cover) yang berbeda, misalnya: hutan, belukar, lahan pertanian, perkotaan dan sebagainya. Penutupan lahan yang berbeda-beda dan saling berinteraksi tersebut disebut dengan elemen lansekap. Elemen lansekap sering disamakan dengan tipe ekosistem, pada setiap elemen pembentuk lanskap bisa dibagi menjadi elemen yang lebih homogen, misalnya lahan pertanian bisa dibagi menjadi sawah, ladang, dan pekarangan rumah. Hutan bisa dibagi menjadi hutan sejenis dan hutan campuran atau hutan alam dan hutan tanaman. Elemen yang relatif lebih seragam disebut tesera (tessera) (Forman dan Godron 1986). Ada tiga karakteristik yang difokuskan dalam mempelajari lansekap ekologi yaitu (Forman dan Godron 1986): 1. Struktur: yaitu hubungan spasial antara ekosistem yang berbeda atau hubungan spasial antara elemen lanskap yang ada, seperti distribusi energi, material, dan hubungan spesies dengan ukuran, bentuk, jumlah, macam, dan konfigurasi ekosistem. 2. Fungsi: yaitu interaksi diantara elemen spasial meliputi aliran energi, materi, dan spesies diantara komponen elemen ekosistem. 3. Perubahan: yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lansekap. Penelitian Frohn (1998) memperbaiki matriks dengan karakteristik variasi independen dalam data remote sensing, spesifikasi, resolusi spasial, dan sensitifitas sebahagian besar perubahan yang sesungguhnya dalam pola lansekap.
21 Hasilnya menunjukkan bahwa: matriks lanskap sensitif terhadap perubahan akibat fragmentasi, dan bentuk path yang mendekati komplek diperkirakan besar kemungkinan akan mengalami perubahan. Matriks lansekap tidak sensitif terhadap perubahan resolusi spasial, dan pemecahan masalah identifikasi untuk Contagion dan Fractal Dimension matriks lansekap, dan membandingkan data empiris Contagion dan Fractal Dimension dengan memperbaiki data penggunaan matriks untuk perubahan gradien variasi. 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah suatu sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan (display) data yang terkait dengan permukaan bumi. Pengoperasian sistem ini membutuhkan perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan manusia yang mengoperasikannya (brainware). Secara rinci SIG agar dapat beroperasi membutuhkan komponen-komponen sebagai berikut: Orang (yang menjalankan sistem), aplikasi (prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengolah data), data (informasi yang dibutuhkan dan diolah dalam aplikasi), software (perangkat lunak SIG), dan hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem) (Darmawan 2006). SIG merupakan perkembangan baru yang menggunakan komputer, untuk menggabungkan data mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). SIG merupakan alat analitik (analitical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat, dan teliti. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (poligon), batas (line/arc), dan lokasi (point). Mengingat kemampuan SIG yang cukup handal dalam menganalisis data spasial, penggunaan SIG di bidang kehutanan berkembang dengan pesat. Software yang digunakan dalam SIG adalah ArcInfo, ArcView, dan ArcGIS (Jaya 2002). Analisis SIG memungkinkan pemusatan perhatian pada lokasi kritis yang perlu dilindungi dan diberikan penanganan khusus, serta mengenali
daerah-daerah
pembangunan,
yang
perlu
dihindarkan
dari
proyek-proyek
untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya (Indrawan et al. 2007).
22 Penggunakan SIG memungkinkan proses integrasi basis data yang kompleks dapat dilakukan dengan efektif baik dari segi prosedur kerja (proses input, pengolahan dan analisa data, sampai pada visualisasi), luarannya, maupun ruang lingkup dan aplikasi pemanfaatannya. SIG dapat menyajikan output dengan format yang mudah dimengerti, dan mudah dimutakhirkan bilamana terdapat perubahan atau penambahan informasi yang berhubungan dengan evaluasi lahan dan perencanaan penggunaan lahan di wilayah penelitian (Ramli dan Baja 2005). SIG mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta serta data statistik. Dengan tersedianya komputer dengan kecepatan dan kapasitas ruang penyimpanan yang besar seperti saat ini, SIG akan mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. SIG juga mengakomodasi dinamika data, pemutakhiran data yang akan menjadi lebih mudah untuk dipahami (Darmawan 2006). Aplikasi SIG yang baik adalah apabila dapat menjawab salah satu atau lebih dari lima pertanyaan berikut ini yaitu: (1) lokasi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai lokasi tertentu, (2) kondisi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kondisi dari suatu lokasi, (3) tren; yaitu untuk melihat tren dari suatu keadaan, (4) pola; yang dapat dipergunakan untuk membaca dan mempelajari gejala-gejala alam, (5) pemodelan; yang dapat dipergunakan untuk menyimpan kondisi-kondisi tertentu dan mempergunakannya untuk memprediksi keadaan di masa yang akan datang, maupun memperkirakan apa yang terjadi pada masa lalu (Gunarso et al. 2003). Prasetyo et al. (2009) melakukan perbandingan kondisi hutan yang ada di Pulau Jawa tahun 2000 dengan tahun 2005, dari hasilnya dapat dibuat model perkiraan kondisi hutan di Pulau Jawa tahun 2020. Pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam seperti tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). Data spasial yang digunakan dalam bidang kehutanan antara lain: Peta rencana tata ruang, peta tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jalan, peta sungai, pata tata batas, peta batas unit pengelolaan hutan, peta batas administrasi kehutanan, peta tanah, peta
23 iklim, peta geologi, peta vegetasi (turunan dari foto udara atau citra satelit), peta potensi sumberdaya hutan (volume kayu, jenis, kelas umur, dan lain-lain). Data spasial ini umumnya sangat terkait dengan data deskriptif (tabular) yang diperlukan dalam melakukan analisis suatu permasalahan (Jaya 2002). Pendekatan SIG dapat menunjukkan korelasi antara elemen biotik dan abiotik dalam suatu lansekap ekologi, serta dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan keanekaragaman hayati dan bahkan dapat pula mengarahkan upaya ke lokasi potensial tempat spesies langka. Foto udara dan citra satelit merupakan sumber data tambahan bagi SIG. Suatu seri citra yang diambil secara seri menurut urutan waktunya, akan dapat mengungkapkan pola kerusakan habitat dari waktu ke waktu yang memerlukan perhatian untuk pengelolaan (Indrawan et al. 2007). Ada tiga jenis fitur geografis dalam SIG yaitu: point/titik, line/garis, dan polygon/luasan (area). Point/titik adalah lokasi diskrit yang biasanya digambarkan sebagai simbol atau label. Point menggambarkan suatu fitur yang batas atau bentuknya terlalu kecil untuk ditampilkan dalam garis atau luasan. Point biasanya juga digunakan untuk menggambarkan lokasi yang tidak mempunyai luasan, seperti titik yang tinggi atau puncak gunung. Line atau arc/garis, adalah fitur yang dibentuk oleh sekumpulan koordinat yang saling berhubungan. Sedangkan point menggambarkan fitur linier pada peta yang terlalu sempit untuk digambarkan sebagai luasan seperti sungai, jalan, garis kontur dan lain-lain. Polygon/luasan adalah fitur yang dibentuk dari garis yang menutup pada suatu titik dan menggambarkan suatu area yang homogen seperti batas negara, danau, dan lainlain (Yuniar et al. 2007). Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis, yaitu data yang menjelaskan objek-objek yang dapat dikaitkan dengan lokasi geografis. Data geografis meliputi data spatial dan data atribut. Data spatial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi, bentuk dan hubungan dengan objek-objek lainnya di permukaan bumi, sehingga disebut juga data geospasial (geo sama dengan bumi). Sumber data untuk SIG diantaranya adalah peta topografi, peta tematik, foto udara, citra satelit, data statistik, data pengukuran GPS, hasil survey dan pemetaan langsung di lapangan (Yuniar et al. 2007).
24 SIG merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer, maka data yang digunakan harus dalam bentuk digital. Data yang masih dalam bentuk hardcopy, harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk digital (Darmawan 2006). Peta digital menyimpan dua jenis informasi dasar yaitu: (1). Informasi spasial, yang menjabarkan lokasi dan bentuk dari feature geografis dan hubungan spasial pada feature lainnya. (2). Informasi deskriptif (non spasial), yang berisi keterangan/ atribut dari suatu feature (Gunarso et al. 2003). Bentuk digital data spasial umumnya dapat disusun dalam dua macam struktur data yang berbeda, yaitu vektor dan raster. Pada struktur data vektor objek atau fitur titik, garis, dan luasan dikelola dan direpresentasikan dalam rangkaian titik-titik koordinat. Sebuah titik direkam sebagai sepasang koordinat (X, Y), suatu garis merupakan rangkaian pasangan koordinat, sedangkan luasan merupakan rangkaian garis yang menutup di titik yang sama dan membentuk batas suatu luasan. Penampilan peta digital yang disusun dalam struktur data vektor terlihat seperti pada peta tradisional/konvensional. Dalam bentuk yang sederhana, struktur data raster terdiri atas sel-sel bujur sangkar atau kotak segi empat yang biasa disebut pixel (picture element). Lokasi tiap pixel ditentukan dari nomor baris dan kolom. Setiap pixel memiliki nilai (value) sebagai indikasi nilai atribut yang diwakilinya. Contoh peta digital yang disusun dalam struktur data raster adalah peta/foto hasil scanning dan citra satelit (Darmawan 2006). Pada SIG data-data yang dikumpulkan dapat di overlay. Overlay atau penampalan data merupakan salah satu kegiatan dalam SIG, agar data yang ada mempunyai arti dan dapat digunakan untuk suatu kepentingan tertentu. Pada umumnya overlay dilakukan untuk menghasilkan satu atau lebih peta tematik. Peta tematik merupakan suatu peta yang memperlihatkan data dari suatu tema tertentu, misalnya peta hutan, peta hidrologis dan lain-lain (Gunarso et al. 2003). 2.7. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Pengumpulan data menggunakan metoda konvensional survey lapangan memerlukan waktu yang lama, dan pada daerah-daerah yang bertopografi berat pelaksanaannya menjadi tidak praktis. Berdasarkan pengalaman tersebut telah banyak digunakan teknik inventarisasi dengan menggabungkan penggunaan
25 sarana penginderaan jauh dan metoda survey lapangan seperti metoda pengambilan contoh bertingkat (multi-stage) dan berganda (double sampling). Penginderaan jauh mampu memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh menggunakan sarana lain, mempermudah pekerjaan lapangan, dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah (Jaya 2007). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Penginderaan jauh merupakan salah satu ilmu pengetahuan dan teknologi bidang survei dan pemetaan, yang perkembangannya sangat erat hubungannya dengan sistem informasi geografis (SIG). Kedua iptek tersebut telah diterapkan di Indonesia untuk perolehan dan pengolahan data spasial guna pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup (Poniman 2007). Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry 1983 dalam Jaya 2007) remote sensing adalah suatu ilmu dan seni pengukuran atau suatu cara untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena dengan menggunakan suatu alat perekam dari kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan objek atau fenomena yang diukur tersebut (Jaya 2007). Penginderaan jauh merupakan upaya memperoleh informasi tentang suatu objek dengan menggunakan alat yang disebut sensor (alat peraba), tanpa melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh data dari jarak jauh dengan menggunakan peralatan tertentu. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dalam penginderaan jauh didapat masukan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau (Darmawan 2006). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, akan tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang
26 diperoleh. Kegiatan penginderaan jauh dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya 2007). 2.8. Pixel Pixel adalah istilah umum yang merupakan kependekan dari picture element (elemen gambar). Sebagai suatu elemen, pixel merupakan bagian terkecil dari suatu citra digital. Pada data raster, citra dibagi-bagi menjadi suatu sel, dimana masing-masing grid dari sel merupakan representasi dari suatu pixel. Pixel juga sering disebut dengan sel grid. Dalam arti yang lebih luas istilah pixel juga digunakan untuk menyatakan nilai file data untuk setiap unit citra (pixel file), atau lokasi dari suatu grid pada displai atau hasil cetakan (pixel displai) (Jaya 2007). 2.9. Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa yang hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan statusnya dilindungi oleh IUCN dengan kategori spesies terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Primata merupakan salah satu kelompok satwaliar yang dapat dijadikan indikator ekologis suatu kawasan hutan, sehingga dengan mengetahui sebaran dan kondisi kelompok primata pada suatu areal hutan, dapat memberikan informasi bagi upaya pengelolaan dan rehabilitasi kawasan hutan tersebut (Rinaldi et al. 2008). Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) diklasifikasikan sebagai berikut (Nijman 2004): Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Choordata
Sub phyllum
: Vertebrata
Klass
: Mammalia
Ordo
: Primata
Sub ordo
: Arthropoidea
Super famili
: Homoinoidea
Famili
: Hylobatidae
Genus
: Hylobates
Spesies
: Hylobates moloch Audebert 1797.
Spesies Hylobates moloch mempunyai dua sub-spesies yaitu ylobates moloch moloch Audebert 1797 atau disebut juga silvery gibbon yang terdapat di Jawa
27 Barat dan Hylobates moloch pongoalsoni Sody 1949 yang terdapat di Jawa Tengah (Jones et al. 2004). Rata-rata bobot badan owa jawa jantan adalah 7,65±0,39 kg dan betina 7,63±0,33 kg. Ukuran ekstremitas atasnya relatif lebih panjang dibandingkan dengan ekstremitas bawah, hal ini sesuai dengan aktifitas pergerakannya yaitu brakiasi atau bergelantungan dan berayun pada dahan pohon serta melompat dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lainnya (Permanawati et al. 2009). Populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Halimun mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Salak (Andayani et al. 2001). Kehidupan owa jawa yang arboreal atau beraktifitas pada tajuk pohon, memerlukan hutan-hutan primer sebagai habitat utamanya. Sumberdaya alam yang tersedia di hutan primer, dapat memenuhi kebutuhan hidup owa jawa sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologisnya. Hutan primer dengan kondisi tajuk yang saling bersambungan, merupakan tempat utama bagi aktifitas owa jawa. Selain menyediakan bahan makanan berupa buah dan daun, kondisi tajuk yang saling bersambungan ini memungkinkan owa jawa untuk melakukan pergerakan antar cabang pohon (brachiation) pada kanopi pohon di hutan (Rinaldi et al. 2008). Rata-rata aktifitas owa jawa dalam sehari adalah 9,5 jam, yaitu dari jam 6.30 sampai 16.00 WIB. Perilaku owa jawa yang terlama (57.05% ± 0.45) yaitu istirahat, diikuti perilaku bergerak (21.99% ± 0.14), makan (15.73% ± 0.34), bercumbu (5.16% ± 0.03), bersuara (2.35% ± 0.02), perilaku sosial (1.6% ± 0.09), agonistic behaviours (0.37 % ±0.01), dan kopulasi (0.05% ± 0.01). Aktifitas puncak owa jawa dilakukan pada dua periode yaitu jam 06:35 sampai 07:30 WIB dan jam 14:35 sampai 15:30 WIB. Owa jawa mempunyai dua tipe suara yaitu suara jantan solo dan perempuan solo, suara jantan lebih pendek dari pada suara betina. Owa jawa mempunyai empat tipe perilaku bergerak yaitu brakhiasi (melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya), klimbing (memanjat), jumping (melompat) dan bipedal (berjalan dengan dua kaki). Frekuensi pergerakan yang sering dilakukan yaitu tipe brakhiasi (Amarasinghe NK dan Amarasinghe AAT 2010). Hasil penelitian tingkah laku owa jawa yang dilakukan oleh Riendriasari et al. (2009) di Fasilitas
28 Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB memperlihatkan bahwa, pola aktifitas harian owa jawa yang paling banyak dilakukan meliputi tingkah laku bergerak (45,70%), diikuti dengan tingkah laku istirahat (42,50%), makan (23,90%), bermain (15,90%), dan menelisik (6,60%). Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007) terhadap habitat dan populasi owa jawa di TNGHS memberikan hasil bahwa, ada 33 jenis (11 famili) pohon yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan 15 jenis (6 famili) pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Jenis pohon tempat tidur adalah jenis-jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Terdapat persamaan kriteria jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tempat tidur, antara lain jenis-jenis pohon yang tinggi dengan diameter besar dan tajuk yang lebar. Pemilihan tajuk yang lebar dan saling berhubungan antara satu pohon dengan pohon lain, merupakan salah satu cara untuk mempermudah pergerakan. Pemilihan pohon yang tinggi dan berdiameter besar merupakan penyesuaian dengan cara hidup owa jawa yang arboreal dan sebagai salah satu cara untuk menghindari ancaman satwa pemangsa (predator) dan perburuan. Luas daerah jelajah kelompok owa jawa di TNGHS rata-rata pada musim hujan (17,10±1,86 hektar) dan pada musim kemarau (20,02±2,69 hektar), dengan rata-rata 18,56±2,73 hektar. Perbedaan luas daerah jelajah antara musim hujan dan musim kemarau, terjadi karena faktor ketersediaan sumber pakan dan air. Pada musim kemarau ketersediaan buah-buahan sebagai pakan relatif sedikit, sehingga memaksa kelompok owa jawa untuk melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari makan. Kebutuhan air pada musim hujan dapat dipenuhi dari tersedianya banyak buah-buahan yang dapat dikonsumsi (Iskandar 2007). Hasil penelitian Komarudin (2009) menyimpulkan bahwa kisaran daerah jelajah owa jawa di koridor TNGHS adalah 28-40 hektar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, populasi owa jawa dari waktu ke waktu cenderung menurun. Dari survey yang dilakukan Kappeler (1987) pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa jawa sekitar 8.000 individu. Pada survey yang dilakukan pada tahun 1992 sampai 1994 menunjukkan tidak terdapatnya populasi owa jawa pada 16 lokasi yang pernah
29 disurvey sebelumnya, dan pada 9 lokasi populasinya kritis karena berada pada areal yang sangat sempit (0,5-5,0 km²) dan terfragmentasi. Martarinza (1993) memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hanya 3002.000 individu. Nijman (2004) memperkirakan populasi owa jawa di Gunung Halimun 850-1.320 individu dan di Gunung Salak 140 individu. Dari hasil penelitian Iskandar (2004) di komplek hutan Cikaniki TNGHS, dugaan jumlah populasi owa jawa maksimal sebesar 143 individu dan populasi minimal sebesar 111 individu. Supriatna (2006) memperkiraan populasi owa jawa di Gunung Halimun dan Gunung Salak hanya tinggal 900-1.221 individu. Nijman (2006) memperkiraan total populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekitar 4.000–4.500 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS, berkisar antara 2.318-2.695 individu. Iskandar et al. (2009) memperkirakan populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, adalah 347 individu. Terfragmentasinya hutan sebagai habitat owa jawa di koridor TNGHS, mempengaruhi sebaran dan kelimpahan jenis sumber pakan serta daya reproduksi owa jawa. Terbatasnya sebaran dan kelimpahan jenis pakan akan berpengaruh pada perilaku menjelajah (ranging behavior) owa jawa, dan terjadinya perilaku kompetisi antar kelompok. Menyempitnya luasan daerah jelajah setiap kelompok, akan mengakibatkan terjadinya perkawinan antar individu yang masih memiliki kekerabatan yang dekat. Perkawinan tersebut akan menghasilkan inbreeding species dan akan mengakibatkan kualitas populasi yang rendah (Iskandar 2004). Owa jawa yang terdapat di koridor TNGHS pada zona Gunung Halimun dan Gunung Salak, masih menunjukkan kapasitas untuk berkembang biak dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya kelompok yang struktur kelas umur dalam kelompoknya sangat baik, dan adanya individu soliter yang dalam proses penyapihan dari kelompoknya. Sedangkan pada zona wilayah hutan bagian tengah koridor TNGHS, owa jawa tidak dijumpai dalam kelompok yang baik dan lengkap, hal ini sekaligus menunjukkan kualitas habitat untuk berkembang biak dengan baik sudah sangat menurun (Rinaldi et al. 2008). Tekanan terhadap kawasan konservasi dan habitat owa jawa pada kenyataannya masih tetap tinggi, sehingga kemampuan untuk melestarikan habitat
30 spesies endemik ini masih harus dipertanyakan. Habitat owa Jawa di kawasan TNGHS sudah mulai terancam oleh adanya penyerobotan lahan di dalam kawasan ini, maupun pada daerah penyangga. Pengalihan fungsi lahan khususnya untuk dijadikan lahan pertanian dan penambangan emas tanpa ijin (PETI), merupakan tekanan terhadap habitat owa jawa. Selain itu juga terdapatnya area kantong (enclave) perkebunan teh di tengah TNGHS, dan terdapatnya beberapa desa di dalam kawasan menambah terancamnya habitat owa Jawa (Suryanti 2007). Menurut Sutherland (2006), untuk survey hewan besar yang hidup arboreal dapat digunakan Line Transect Methods. Metode ini digunakan untuk observasi hewan-hewan yang terus berpindah dengan rute yang sudah ditentukan pada areal penelitian. Peneliti dapat bergerak dengan lambat untuk mendeteksi hewan yang ada pada transek dan sebagian besar untuk jarak yang dekat, akan tetapi jangan bergerak terlalu pelan karena hewan yang ada didepan pada transek dapat melarikan diri sebelum peneliti melihatnya dan individu yang bergerak cepat sering ditemui lebih dari satu kali. Pergerakan terlalu lambat juga akan memakan waktu yang lebih lama, sementara sebaiknya peneliti membuat transect yang lebih panjang untuk mendapatkan data yang akurat. Iskandar (2005) merekomendasikan hal-hal penting yang harus dilakukan untuk konservasi owa jawa adalah: (1) pengelolaan habitat yang ideal sesuai dengan karakteristik, tingkah laku dan pola kelompok owa jawa, (2) kontrol aturan yang efektif untuk membantu mengurangi dan membatasi tekanan perburuan,
penebangan
liar,
ketergantungan
kelompok
masyarakat,
dan
(3).mengadakan program monitoring secara berkala, keterlibatan staf taman nasional, adanya laporan tahunan untuk perkiraan status populasi terakhir. 2.10. Tekanan terhadap Koridor TNGHS Pengelolaan koridor TNGHS tidak dapat dipisahkan dari keberadaan penduduk yang ada di dalam maupun di sekitarnya, yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam koridor TNGHS. Penduduk di dalam dan di sekitar koridor TNGHS, adalah bagian atau unsur dari ekosistem koridor TNGHS. Masyarakat dan koridor TNGHS saling tergantung, sehingga mereka akan menjaga koridor TNGHS apabila mereka mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam di koridor TNGHS. Sebaliknya
31 mereka tidak akan menjaga apabila mereka tidak mendapat manfaat dari keberadaan koridor TNGHS, hal ini diperkirakan karena kondisi sosial ekonomi penduduk yang memprihatinkan dan kesadaran serta pengetahuan mereka yang relatif kurang terhadap pentingnya kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Harmita 2009). Kebijakan penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dilakukan tanpa melibatkan masyarakat setempat, ini berarti menyangkal hak dan eksistensi mereka. Pola ini juga tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam dan lahan yang berada di kawasan konservasi, serta pola lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Masalahnya sekarang adalah bahwa pada umumnya kawasan lindung didirikan di wilayah hutan yang berpenduduk, dikelola tanpa partisipasi masyarakat lokal, perluasan kawasan hutan ke dalam lahan-lahan masyarakat, pengeluaran masyarakat dari kawasan hutan, pembatasan akses masyarakat setempat pada kawasan hutan, dan pelarangan pemanfaatan tradisional masyarakat setempat (Moeliono et al. 2010). Partisipasi menjadi isu penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan. Tujuan perencanaan partisipatif dalam pengelolaan sumberdaya melibatkan banyak pihak. Perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (dampak negatif paling minimum), menjadi tujuan yang diharapkan dalam suatu kegiatan partisipatif (Ditjen. PHKA 2004). Balai TNGHS telah menyusun kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi masyarakat adat dan warga yang hidup turun temurun, baik yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan TNGHS yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS. Pertama yang diterapkan adalah kebijakan konservasi dan membangun kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini dituangkan menjadi tiga strategi yaitu penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, pemulihan
kawasan
bersama
masyarakat,
dan
pengembangan
ekonomi
masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono 2007). Masyarakat yang merupakan pendatang baru dan musiman untuk mereka Balai TNGHS menawarkan kebijakan dan strategi yang berbeda, untuk tipologi
32 masyarakat seperti ini digunakan kebijakan meminimalkan kesempatan perilaku free riding. Kebijakan ini menurunkan tiga strategi yaitu peningkatan kapasitas masyarakat, aksi kolektif menolak ”penunggang bebas” (free rider), dan penyelesaian konflik atau meminimalkan konflik, serta penguatan kelembagaan (Supriyanto dan Ekariyono 2007). Kondisi output dari suatu pengelolaan sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu (Bryson 2004): 1. Win/win: yaitu dimana kondisi lingkungan terjaga dengan baik dan kesejahteraan masyarakat meningkat. 2. Win/lose: yaitu dimana kualitas lingkungan meningkat akan tetapi kesejahteraan masyarakat menurun 3. Lose/win:
yaitu
dimana
kualitas lingkungan
menurun
sementara
kesejahteraan masyarakat meningkat 4. Lose/lose: yaitu dimana kondisi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sama-sama menurun.
33 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS. Koridor TNGHS berada dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan). Peta TNGHS dapat dilihat pada Gambar 2 dan peta batas administrasi koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 2 Peta TNGHS.
34
Sumber: Balai TNGHS 2008. Gambar 3 Peta batas administrasi koridor TNGHS. 3.1.2. Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini yaitu pengamatan di lapangan, dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan Juni 2011. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Tali plastik, kayu pancang, cat, alkohol 70%, kantung plastik, spidol, tally sheet, pinsil, buku catatan, dan lain-lain.
35 3.2.2. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Teropong binokuler, GPS (Global Positioning System), kamera digital, stop watch, haga meter, kompas, gunting, parang, jangka sorong, meteran, peta kerja, peta rupa bumi Indonesia (RBI), ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model), dan lain-lain. 3.3. Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Owa Jawa Metode yang digunakan untuk pengamatan populasi owa jawa adalah Line Transect Sampling Methods seperti yang dilakukan oleh Yanuar et al. (2009). Metode ini sering digunakan di hutan tropika untuk menghitung kelimpahan relatif dan estimasi kerapatan berbagai jenis mamalia dengan berat badan lebih dari 1 kg (Wallace et al. 1998). Aswan (2009) melakukan penelitian Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Ukuran Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun–Salak. Penelitiannya menggunakan tiga metode yaitu: Metode strip transect, Metode Line Transect, dan Metode Variable Circular Plot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Metode Line Transect merupakan metode inventarisasi yang paling efektif untuk owa jawa. Pemilihan lokasi transect untuk sampel ditentukan berdasarkan survey pendahuluan, dari hasil penelitian sebelumnya, serta informasi dari staf Balai TNGHS dan masyarakat yang berada di koridor TNGHS, tentang informasi sebaran kelompok owa jawa dan tipe habitat yang disukainya di koridor TNGHS. Ttransect yang dibuat adalah tujuh lokasi dengan jarak antar transect 1 km, masing-masing transect diberi nama menurut nama lokasinya yaitu transect 1 Sukagalih, 2 Cilodor, 3 Guesthouse (GH), 4 Cisarua, 5 Cipicung, 6 Ciherang, dan 7 Cipanas. Panjang transect adalah 700 m yaitu berdasarkan lebar koridor TNGHS (Cahyadi 2003) dan lebar transect adalah 100 m yaitu 50 m ke kiri dan 50 m ke kanan dari garis tengah transect, dengan asumsi jarak pandang manusia adalah 50 m (Subekti et al. 2001). Pengamatan dilakukan dengan cara menyusuri transect dan berhenti pada saat perjumpaan dengan satu individu atau kelompok owa jawa (Suyanti et al. 2009). Pengamatan dilakukan dua kali sehari sesuai dengan pola aktifitas harian kelompok owa jawa yaitu pada pagi hari (jam 05.00-09.00 WIB) dan sore hari
36 (jam 14.00-17.00 WIB), ulangan dilakukan 16 kali pada masing-masing transect, yaitu satu kali pengamatan pada masing-masing transect tiap seminggu (7 hari). Data yang diambil adalah posisi koordinat pendeteksian dengan GPS, lokasi atau nomor jalur, jumlah individu, komposisi kelompok, kelas umur, dan habitat tempat owa jawa ditemukan. Untuk jumlah kelompok dalam satu lokasi dan jumlah individu, data yang diambil adalah jumlah tertinggi yang pernah ditemui. Pencatatan jumlah, distribusi, dan komposisi kelompok owa jawa dilakukan dengan Metode Sensus (SCNP 1981). Desain Line Transek Methods dapat dilihat pada Gambar 4.
50 m Arah Transect
50 m
Gambar 4 Desain Line Transect Methods. Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Kerapatan kelompok = Jumlah kelompok Luas transect (km2) Kerapatan populasi = Jumlah individu Luas transect (km2) Distribusi kelompok owa jawa ditentukan dengan memplotkan data titik koordinat identifikasi kelompok owa jawa yang diperoleh di lapangan pada peta koridor TNGHS dengan menggunakan software Arc GIS 9.3. Data titik koordinat yang sudah diplotkan pada peta koridor TNGHS menghasilkan peta distribusi kelompok owa jawa pada setiap lokasi penelitian. Untuk mengetahui komposisi kelompok owa jawa, data yang dicatat adalah jumlah individu berdasarkan kelas umur (Iskandar 2007).
37 3.3.2. Habitat Owa Jawa 3.3.2.1. Kesesuaian Habitat Owa Jawa Analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder yang meliputi peta digital, data survey lapangan, dan literatur seperti yang dilakukan oleh Dewi (2005). Komponen lingkungan yang digunakan dititik beratkan pada faktor-faktor penentu kualitas habitat owa jawa yaitu tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Hasil survey lapangan distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai bobot setiap variabel. Hasil pembobotan dan dukungan literatur digunakan untuk membangun suatu model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Analisis peta dilakukan terhadap peta rupa bumi Indonesia (RBI) untuk mendapatkan peta areal pertanian, permukiman, jalur jalan, dan distribusi sungai. Peta tutupan lahan diolah dari data vector tutpan lahan TNGHS, dan dari data ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model) diperoleh peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Hasil survey lapangan data titik perjumpaan dengan kelompok owa jawa menghasilkan peta distribusi kelompok owa jawa. Tahapan analisis untuk membuat peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS adalah penentuan skor dan bobot. Urutan skor dilakukan berdasarkan pertimbangan pada kebutuhan hidup owa jawa pada masing-masing faktor habitat yang digunakan, makin baik kriteria yang dipilih atau makin menguntungkan untuk kehidupan owa jawa maka makin tinggi nilai skor yang diberikan. Skor dibuat menjadi tiga tingkatan pada masing-masing layer yaitu 1 untuk nilai rendah, 2 untuk nilai sedang, dan 3 untuk nilai tinggi. (A) Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer yaitu data survey lapangan yang dilakukan untuk mendapatkan data titik koordinat perjumpaan dengan kelompok owa jawa, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Data sekunder diperoleh dari Balai TNGHS yaitu peta-peta digital kawasan TNGHS yang terdiri dari: peta tutupan lahan, topografi
38 (ketinggian tempat dan kemiringan lereng, yang dibuat dari ASTER GDEM), peta jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, dan jarak dari sungai yang dibuat dari peta rupa bumi Indonesia (RBI). (B) Pembangunan Data Spasial Peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng dibuat dengan melakukan pengolahan data ASTER GDEM wilayah TNGHS. Proses pembuatan peta-peta tersebut adalah seperti pada Gambar 5. Data ASTER GDEM 3D Analyst
Peta Ketinggian Tempat
Peta Kemiringan Lereng
Gambar 5 Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Nilai bobot ditentukan dengan pertimbangan pribadi (personal adjustment), yaitu nilai tinggi diberikan untuk faktor habitat yang dianggap paling mempengaruhi kehidupan owa jawa. Nilai bobot yang diberikan adalah sebagai berikut: 30 untuk tutupan lahan, 15 masing-masing untuk jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan, 10 masing-masing untuk ketinggian tempat dan jarak dari sungai, dan 5 untuk kemiringan lereng. Faktor kelas penyusun peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS meliputi tutupan lahan (Fk1), jarak dari areal pertanian (Fk2), jarak dari permukiman (Fk3), jarak dari jalan (Fk4), ketinggian tempat (Fk5), jarak dari sungai (Fk6), dan kemiringan lereng (Fk7). Kemudian dilakukan overlay dan analisis spasial, sehingga didapat persamaan: Total Skor = a Fk1 + b Fk2 + c Fk3 + d Fk4 + e Fk5 + f Fk6 + g Fk(7) dimana a sampai g menunjukkan nilai bobot yang digunakan. Langkah berikutnya adalah perhitungan nilai indeks kesesuaian habitat owa jawa dan validasinya. Dari nilai indeks kesesuaian habitat owa jawa dilakukan analisis deskriptif habitat owa jawa. Tahapan analisis kesesuaian habitat owa jawa dapat dilihat pada Gambar 6.
Tutupan Lahan (Fk1)
Tinggi (Fk5)
Jalan (Fk4)
Sungai (Fk6)
Validasi
Peta Distribusi Kelompok Owa Jawa
Lokasi Perjumpaan Kelompok Owa Jawa
Survey Lapangan
Gambar 6 Alur pembuatan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.
Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa di Koridor TNGHS
Diterima
Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa
Analisis Spasial Skor Kumulatif = aFk1+bFk2+cFk3+dFk4+eFk5+fFk6+gFk7
Overlay
Penentuan Nilai Bobot
Rumah (Fk3)
Rupa Bumi Indonesia (RBI)
Pertanian (Fk2)
Ditolak
Lereng (Fk7)
ASTER GDEM
Analisis Peta
39
40 (C) Analisis Data (a). Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan metode tumpang tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting), dan pengharkatan (scoring). Komponen lingkungan yang digunakan dalam analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS, difokuskan pada faktor-faktor yang menentukan kualitas habitat owa jawa. Faktor-faktor tersebut yaitu meliputi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur, ketersediaan air, ketersediaan ruang untuk pergerakan, dan keamanan dari tekanan atau gangguan akibat predator dan aktifitas manusia. Pemodelan spasial dilakukan dengan menggunakan menu builder dengan program Arc GIS 9.3. Faktor-faktor penyusun model yang dianggap berpengaruh terhadap kesesuaian habitat owa jawa disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS Parameter
Keterangan
Tutupan lahan Tutupan lahan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan owa jawa, jenis tutupan lahan berupa hutan primer merupakan tempat yang paling baik bagi kehidupan owa jawa Jarak dari areal pertanian Areal pertanian merupakan faktor pembatas kondisi habitat owa jawa, karena areal pertanian tidak dapat digunakan oleh owa jawa sebagai habitat Jarak dari permukiman Keberadaan penduduk di permukiman akan membuat owa jawa terganggu baik secara langsung maupun tidak langsung akibat aktifitas manusia Jarak dari jalan raya Tekanan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan faktor pembatas bagi kehidupan owa jawa. Jalan dapat menimbulkan kebisingan dan meningkatkan aksesibilitas manusia ke habitat owa jawa Ketinggian tempat Ketinggian tempat akan mempengaruhi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa, karena ketinggian tempat akan menentukan keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi itu. Semakin tinggi tempat dari permukaan bumi, maka keanekaragaman jenis tumbuhannya akan semakin berkurang
41 Tabel 1 (lanjutan) Parameter
Keterangan
Jarak dari sungai Keragaman jenis tumbuhan di tepi sungai lebih tinggi, karena tumbuhan yang hidup dekat dengan sungai akan mendapatkan kebutuhan mineral yang cukup, dengan demikian kebutuhan pohon pakan owa jawa tersedia Kemiringan lereng Kemiringan lereng menentukan keamanan owa jawa dari gangguan predator dan manusia, pada kemiringan lereng tinggi owa jawa akan lebih aman dari gangguan predator dan manusia karena susahnya predator dan manusia mencapai lokasi tersebut Skoring yang diberikan pada masing-masing layer ditentukan berdasarkan metode ranking, sesuai dengan kebutuhan owa jawa dalam memilih habitat tempat mencari makan, bergerak, dan beristirahat. Urutan skoring diberikan berdasarkan pertimbangan pada kebutuhan hidup owa jawa, makin baik kriteria yang diberikan makin tinggi nilai skoringnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Skor dan bobot faktor penyusun model peta kesesuaian habitat owa jawa Parameter Tingkatan Skala Skor Bobot Tutupan lahan Tinggi Hutan 3 30 Rendah Non Hutan 1 Jarak dari areal pertanian Jauh > 1.500 m 3 15 Sedang 1.000-1.500 m 2 Dekat < 1.000 m 1 Jarak dari permukiman Jauh > 1.500 m 3 15 Sedang 1.000-1.500 m 2 Dekat < 1.000 m 1 Jarak dari jalan Jauh > 3.000 m 3 15 Sedang 1.000-3.000 m 2 Dekat < 1.000 m 1 Ketinggian tempat Rendah < 1.000 m dpl. 3 10 Sedang 1.000-1.500 m dpl. 2 Tinggi > 1.500 m dpl. 1 Jarak dari sungai Dekat < 500 m 3 10 Sedang 500-1.500 m 2 Jauh > 1.500 m 1 Kemiringan lereng Tinggi > 40% 3 5 Sedang 30-40% 2 Rendah <40% 1
42 Selanjutnya dilakukan pengolahan peringkat dan bobot pada masing-masing faktor kesesuaian habitat owa jawa, kemudian ditentukan sempadan (buffer). Pemberian bobot/peringkat didasarkan pada nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat owa jawa di koridor TNGHS. Model matematika yang digunakan adalah: a. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS: Skor Kumulatif = Σ [ Wi x Fki ] Keterangan: Skor Kumulatif = Nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat Wi
= Bobot untuk setiap parameter
Fki
= Faktor skor kelas dalam parameter
b. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat owa jawa, ditentukan berdasarkan: Sangat sesuai = ≥ rata-rata + Standar deviasi Sesuai
= rata-rata ± Standar deviasi
Kurang sesuai = ≤ rata-rata – Standar deviasi c. Model Indeks Kesesuaian Habitat (IKH) owa jawa di koridor TNGHS adalah: Total Skor Kesesuaian Habitat = (aF1) + (bF2) + (cF3) + (dF4) + (eF5) + (fF6) + (gF7) Keterangan: a sampai g adalah nilai bobot yang digunakan F 1 = skor kesesuaian tutupan lahan F 2 = skor kesesuaian jarak dari areal pertanian F 3 = skor kesesuaian jarak dari areal permukiman F 4 = skor kesesuaian jarak dari jalan F 5 = skor ketinggian tempat F 6 = skor jarak dari sungai K 7 = skor kemiringan lereng d. Nilai validasi kesesuaian habitat owa jawa ditentukan dengan rumus: Validasi = n x 100% N Keterangan: Validasi = Persentase kepercayaan n
= Jumlah kelompok owa jawa pada satu klasifikasi kesesuaian
N
= Jumlah total kelompok owa jawa
43 (b). Analisis Deskriptif Hasil analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS, dideskripsikan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara faktor habitat dengan sebaran kelompok owa jawa di koridor TNGHS. 3.3.2.2. Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa Vegetasi merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan penggunaan habitat oleh owa jawa. Owa jawa lebih menyukai areal dengan vegetasi pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk yang rapat dan kanopi yang saling tersambung, sesuai dengan kehidupannya yang arboreal atau pada tajuk pohon dan melakukan pergerakan secara brakhiasi atau melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Untuk kelangsungan hidupnya owa jawa membutuhkan jenis pohon-pohon tertentu sebagai pohon sumber makanan, tempat tidur dan tempat berlindung, serta untuk pergerakan (Iskandar 2007). Pengambilan sampel untuk data vegetasi habitat owa jawa dilakukan dengan membuat tiga petak contoh sepanjang line transect sampling pengamatan populasi owa jawa yang dianggap mewakili habitat, dimana kelompok owa jawa ditemukan seperti yang dilakukan oleh Bangun et al. (2009). Petak contoh yang dibuat berukuran 20 x 20 m, untuk mengamati tumbuhan tingkat pohon yaitu dengan diameter batang setinggi dada minimal 20 cm. Dalam plot berukuran 20 x 20 m dibuat anak plot berukuran 10 x 10 m untuk mengamati tumbuhan tingkat tiang yaitu tumbuhan dengan diameter antara 10 sampai 19 cm. Di dalam plot berukuran 10 x 10 m dibuat anak plot berukuran 5 x 5 m, untuk mengamati tumbuhan tingkat pancang, yaitu permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter batang kurang dari 10 cm. Terakhir dalam plot berukuran 5 x 5 m dibuat lagi anak plot berukuran 2 x 2 m untuk mengamati tumbuhan tingkat semai yaitu permudaan dengan tinggi kurang dari 1,5 m (Kusmana 1997). Desain plot Metode Garis Berpetak dapat dilihat pada Gambar 7. Ketersediaan pakan owa jawa di koridor TNGHS, diketahui dari data jenis pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa untuk pohon pakan. Jenis-jenis pohon pakan ini diketahui dari literatur, penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007). Data yang diambil meliputi nama jenis, famili, jumlah individu, dan diameter setinggi dada. Tumbuhan yang tidak diketahui
44 jenisnya, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium menggunakan kunci determinasi. 10 m B 5m C
10 m Arah jalur
D
2m A
20 m Gambar 7 Desain plot Metode Garis Berpetak. Keterangan: Plot A: ukuran 20 x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon (diameter minimal 20 cm). Plot B: ukuran 10 x 10 m untuk vegetasi tingkat tiang (diameter antara 10 sampai 19 cm). Plot C: ukuran 5 x 5 m untuk vegetasi tingkat pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm). Plot D: ukuran 2 x 2 m untuk vegetasi tingkat semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m). Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dari lapangan, dianalisis untuk mengetahui indeks nilai penting (INP). Indeks nilai penting suatu jenis tumbuhan berkisar antara 0 sampai dengan 300, ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan dalam komunitas tersebut (Kusmana 1995). Formula yang digunakan untuk menentukan INP yaitu: INP = KR + DR + FR Keterangan: Kerapatan jenis ke-i (Ki) = Jumlah individu jenis ke-i Luas total petak contoh (ha) Kerapatan Relatif (KR)
= (Ki)/ ΣKi) X 100%
Dominansi jenis ke-i (Di) = Luas bidang dasar jenis ke-i Luas total petak contoh (ha)
45 Dominansi Relatif (DR) = (Di/ ΣDi) X 100% Frekuensi jenis ke-i (Fi) = Jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i Jumlah total petak contoh Frekuensi Relatif (FR)
= (Fi/ ΣFi) X 100%.
3.3.3. Tekanan terhadap Owa Jawa Kelestarian owa jawa di koridor TNGHS, sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini, sangat dipengaruhi oleh aktifitas penduduk di koridor TNGHS. Untuk ini di lakukan analisis sosial ekonomi penduduk yang ada di koridor TNGHS, untuk mengetahui dan merencanakan upaya-upaya konservasi owa jawa di koridor TNGHS. Hal ini bertujuan sebagai saran pengelolaan koridor TNGHS, untuk habitat owa jawa. Data yang digunakan pada analisis sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS adalah data sekunder yang di dapat dari hasil penelitian terdahulu dan dari Balai TNGHS. Data sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS diperoleh dari data sekunder, sehingga datanya relatif lama dan ini merupakan kelemahan dari data ini.
46 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) 4.1.1. Sejarah Kawasan TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan beragam budaya tradisional. Ketiganya membentuk suatu karakter ekosistem yang sangat unik sebagai gudang ilmu pengetahuan, penelitian, sekaligus sebagai objek wisata alam. TNGHS juga merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA. 2007b). Secara Geografis TNGHS terletak pada 106°12’58” BT – 106°45’50” BT dan 06°32’14” LS – 06°55’12” LS. Secara administrasi wilayah kerja TNGHS terletak di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Bogor) dan Propinsi Banten (Kabupaten Lebak). Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari Kabupaten Sukabumi, dan 9 kecamatan bagian dari Kabupaten Lebak), dengan 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Sejak tahun 1935 berawal dari penetapan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, merupakan awal ditetapkan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) menjadi salah satu taman nasional. Penetapan ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha, di bawah pengelolaan sementara oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, yaitu dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH dibawah Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan sarana dan prasarana, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkan SK Menteri
47 Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, tentang perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 113.357 ha. Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan di sekitarnya sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Pulau Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik seperti owa jawa, elang jawa, dan macan tutul. Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah Gunung Salak dan sekitarnya, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari kawasan TNGHS pada tahun 2003. Secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan yaitu: penebangan di hutan produksi, kegiatan penebangan liar, dan bencana alam. Kegiatan illegal yang terjadi antara lain: penambangan (emas, panas bumi, dan galena), penebangan liar, perburuan satwa, dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan untuk perluasan pemanfaatan lahan yang dijadikan permukiman, lahan pertanian, pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS dan kebutuhan lainnya (GHSNPMP-JICA 2008). Tahun 1995 sampai 2003 kawasan TNGH dipilih sebagai lokasi Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati dan dilanjutkan pada tahun 2004 sampai 2009 oleh Proyek Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Proyek ini merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Secara historis TNGHS sudah menjadi kawasan lindung dalam tradisi budaya masyarakat lokal, sedangkan secara administratif sama halnya dengan taman nasional lainnya di Indonesia TNGHS lahir dari perkembangan perubahan status dan bentuk pengelolaan beberapa kawasan hutan sebelumnya, seperti terlihat pada Tabel 3.
48 Tabel 3 Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS Tahun
Status
1924-1934
Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan Luas mencakup 39,941 hektar. Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat. Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I. Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III. Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 hektar (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perum Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya).
1935-1961 1961-1978 1979-1990 1990-1992 1992-1997 1997-2003 2003
Beroperasi 2 perusahaan pertambangan dalam kawasan TNGHS, yaitu PT. Aneka Tambang dan PT. Chevron Geothermal Salak. PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), sedangkan PT. Chevron Geothermal Salak melakukan penambangan panas bumi di
kawasan
Gunung
Salak.
Kedua
perusahaan
pertambangan
tersebut
mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan, sebelum alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi (TNGHS). Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan teh yaitu PT. Nirmala Agung, PTPN. VIII Cianten, PTPN. VIII Cisalak Baru, PT. Jayanegara, PT. Intan Hepta, PT. Yanita Indonesia, PT. Salak Utama, PT. Baros Cicareuh, PT. Hevea Indonesia (HEVINDO), dan PT Pasir Madang. Sekitar kawasan TNGHS juga terdapat banyak perusahaan yaitu: industri air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan,
pertambangan, perkebunan, peternakan, industri garmen, industri
elektronika dan lain-lain, yang sumber mata airnya sangat dipengaruhi oleh keadaan ekosistem di dalam kawasan TNGHS (GHSNPMP-JICA 2008).
49 Pengelolaan taman nasional di Indonesia dihadang oleh berbagai permasalahan, mulai dari kebijakan penetapannya, ketidakpastian hukum, dan tumpang tindih aturan, sampai pada masalah sosial budaya. Sejak taman nasional pertama ditetapkan, salah satu permasalahan adalah proses penetapannya yang jarang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan taman nasional ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan/melalui Balai Taman Nasional. Penetapan kawasan konservasi umumnya dan taman nasional khususnya tidak memperhatikan hakhak adat/tradisional masyarakat setempat. Cara penetapan bertabrakan dan menafikan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat yang telah ada sejak lama (Moeliono et al. 2010). 4.1.2. Penelitian Banyak peneliti yang melakukan penelitian di TNGHS karena beberapa alasan yaitu: -
Lokasinya relatif dekat dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung.
-
TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan terluas yang tersisa dan relatif terjaga di Pulau Jawa.
-
Terdapat sarana dan prasarana khusus untuk kegiatan penelitian seperti stasiun penelitian, jembatan tajuk (canopy), dan plot permanen. Stasiun penelitian yang terletak di Cikaniki juga menyediakan fasilitas untuk
akomodasi para peneliti, di stasiun ini juga tersedia laboratorium yang memiliki peralatan standar seperti kulkas, lemari pembeku, oven pengering, mikroskop, timbangan elektronik dan lain-lain. Sarana dan prasarana ini sangat berguna bagi kegiatan penelitian hutan hujan tropis. Selain peneliti dari luar TNGHS, staf Balai TNGHS juga melakukan kegiatan pemantauan untuk jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi dan terancam punah di TNGHS. Jenis-jenis ini seperti owa jawa, elang jawa, macan tutul, dan beberapa jenis tumbuhan. Beberapa hasil kegiatan penelitian telah dibukukan dan terkumpul dalam kumpulan publikasi penelitian. Saat ini TNGHS menjadi salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki data yang cukup lengkap, seperti data flora dan fauna.
50 4.1.3. Aksesibilitas Kantor Balai TNGHS dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan melalui jalan darat. Perjalanan dari Jakarta memerlukan waktu sekitar 3 jam dengan jarak 125 km, melalui rute perjalanan Jakarta menuju Bogor terus ke Parungkuda dan Kabandungan. Sedangkan dari Bandung memerlukan waktu sekitar 4 jam dengan jarak 152 km dengan rute Bandung ke Sukabumi terus ke Parungkuda dan Kabandungan. Lokasi-lokasi lainnya di kawasan TNGHS seperti: Cikaniki, Citalahab, hutan koridor TNGHS, Ciptagelar atau lokasi-lokasi lainnya, untuk mencapainya lebih baik mempelajari terlebih dahulu peta jalur lokasi yang dituju, karena jalan masuk ke dalam kawasan TNGHS umumnya masih jalan berbatu yang akan lebih aman apabila ditempuh dengan menggunakan mobil khusus, sepeda motor, atau mungkin harus berjalan kaki. 4.2. Koridor TNGHS Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke arah Timur yang menghubungkan Gunung Halimun dengan Gunung Salak. Wilayah koridor menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS yaitu ekosistem Gunung Halimun dengan Gunung Salak, sehingga berfungsi sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati maupun fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008). Sekarang koridor TNGHS telah terdegradasi, karena berbagai aktifitas pembangunan dan kegiatan masyarakat.
Kegiatan masyarakat berupa adanya
infrastruktur bangunan dan prasarana jalan, lahan pertanian, perladangan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat alih penggunaan lahan hutan, serta masih dijumpai terjadinya kegiatan penebangan liar, pertambangan, dan pembukaan lahan (Rinaldi et al. 2008). Kondisi koridor TNGHS saat ini mengalami tekanan akibat tingginya aktifitas penduduk, maka upaya-upaya pengelolaan untuk mengembalikan fungsi koridor TNGHS menjadi sangat penting dilakukan. Fungsi koridor TNGHS yang dimaksud adalah sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu antara ekosistem Gunung Halimun dengan ekosistem Gunung Salak. Diharapkan
51 kawasan koridor TNGHS untuk masa yang akan datang menjadi habitat yang baik bagi flora dan fauna, terutama yang terancam punah dan dilindungi, serta menjamin terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian alam dan lingkungan di TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). 4.2.1. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng di kawasan koridor TNGHS sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Kelas kemiringan lereng yang dominan di kawasan koridor TNGHS adalah kelas kemiringan lereng 15 sampai 25% dengan kondisi topografi landai, luasnya sekitar 1.292,89 hektar. Sepanjang lereng koridor TNGHS bagian Utara yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor keadaan topografinya sangat curam, dengan kemiringan lereng besar dari 40%. Kawasan koridor TNGHS bagian ke Gunung Salak atau bagian Timur kemiringan lerengnya relatif lebih datar, dibandingkan dengan kawasan koridor bagian Gunung Halimun atau bagian Barat (GHSNPMP-JICA 2009). Lansekap Gunung Halimun selain mempunyai gunung-gunung yang tinggi (1.400-1.929 m dpl), juga memiliki lembah ngarai dan patahan kulit bumi (Suryanti 2007). 4.2.2. Jenis Tanah Jenis tanah di kawasan koridor TNGHS didominasi oleh jenis Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol coklat, dengan luas sekitar 1.811,78 hektar. Jenis ini termasuk ke dalam tipe tanah Mediteran, jenis ini termasuk ke dalam jenis tanah yang kepekaannya sedang terhadap erosi (GHSNPMP-JICA 2009). 4.2.3. Intensitas Hujan Wilayah koridor TNGHS terbagi menjadi dua wilayah intensitas hujan tahunan rata-rata, yaitu sedang (dengan curah hujan 4.000-4.500 mm/tahun) dan tinggi (dengan curah hujan 4.500-5.000 mm/tahun). Kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan yang tinggi terdapat di bagian Utara yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Bogor, sedangkan kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan tahunan yang sedang terdapat di bagian Selatan yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Sukabumi (GHSNPMP-JICA 2009).
52 4.2.4. Hidrologi Kawasan koridor TNGHS mempunyai peran yang sangat penting dalam pengaturan tata air bagi daerah-daerah di sekitarnya. Kawasan koridor TNGHS bagian Timur atau yang mengarah ke Bogor dan Tangerang, sungai terbesarnya adalah sungai Cianten. Sungai Cianten ini memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong, dan Cisurupa. Sungai besar yang mengalir dari koridor TNGHS menuju Sukabumi atau Samudera Hindia adalah sungai Citarik. Sungai ini berasal dari 7 buah anak sungai yaitu anak sungai Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeuteuy (GHSNPMPJICA 2009). 4.2.5. Penutupan Lahan Interpretasi citra Ikonos (tanggal aquisisi 24 Agustus 2004) di wilayah koridor TNGHS menghasilkan 19 tipe penutupan lahan yang terdiri dari 5 kategori besar, yaitu: Natural Vegetation, Secondary Vegetation, Artificial Vegetation, Natural non Vegetation, dan Artificial non Vegetation. Tipe penutupan lahan terluas di kawasan koridor TNGHS adalah semak belukar yaitu sekitar 1.484,53 hektar dengan persentase 35,29%, berikutnya hutan sekunder dengan luas sekitar 759,06 hektar atau 18,05%. Koridor TNGHS dengan luas 4.206,18 hektar dan memiliki lebar rata-rata kurang dari 1,69 km, hanya mempunyai sekitar 216 hektar saja hutan alam primer, selebihnya didominasi oleh hutan sekunder dan semak belukar (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan sekunder di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra, yang memanjang dari Utara ke Selatan. Beberapa spotspot areal merupakan semak belukar pegunungan dan padang paku andam. Bagian Utara koridor TNGHS (Kabupaten Bogor), berupa perkampungan Purwabakti dan Purasari, serta sebagian besar wilayahnya merupakan perkebunan teh PT. Cianten. Bagian
Selatan
koridor
TNGHS
(Kabupaten
Sukabumi)
merupakan
perkampungan Cisarua dan Cipeuteuy, yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah koridor TNGHS yang sudah dikelola oleh masyarakat sebelum koridor TNGHS ditetapkan. Tipe dan kategori penutupan lahan dengan luas masing-masing dan persentasenya di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 4.
53 Tabel 4 Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS Tipe Kategori Luas Persentase penutupan lahan (ha) (%) Hutan primer 216,00 6,38 Natural vegetation Hutan sekunder 759,06 18,05 Secondary vegetation Kebun campuran 185,13 4,40 Artificial vegetation Hutan tanaman 42,05 1,00 Artificial vegetation Agathis 0,19 0,00 Artificial vegetation Pinus 28,30 0,67 Artificial vegetation Pertanian lahan kering 512,48 12,18 Artificial vegetation Perkebunan teh 514,63 12,24 Artificial vegetation Perkampungan 24,90 0,59 Artificial non vegetation Padang paku 10,12 0,24 Natural vegetation Padang rumput 8,73 0,21 Natural vegetation Jalan 29,64 0,70 Artificial non vegetation Sawah 234,13 5,57 Artificial vegetation Kolam 1,45 0,03 Natural non vegetation Sungai 13,76 0,33 Natural non vegetation Lahan terbuka 54,96 0,31 Artificial non vegetation Semak belukar 1.484,53 35,29 Artificial vegetation Semak belukar 32,14 0,76 Natural vegetation Pertabangan 1,43 0,03 Artificial non vegetation Sumber: GHSNP MP-JICA Interpretasi Citra Ikonos 24 Agustus 2004 (GHSNPMP-JICA 2009). Tutupan lahan di koridor TNGHS selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akibat aktifitas manusia. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya luasan non hutan. Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2001, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS tahun 1990 sampai 2001 Tipe Vegetasi Tahun Perubahan 1990 2001 (ha) Hutan Sekunder (ha) 666,508 318,985 -347,523 Semak belukar (ha) 269,360 526,819 257,459 Areal Pertanian (ha) 1.355,649 1.475,835 120,186 Kaliandra (ha) 0,0 33,796 33,796 Puspa (ha) 0,0 17,586 17,586 Perkebunan Teh (ha) 300,789 452,409 151,620 Sumber: Cahyadi (2003)
54 4.2.6. Keanekaragaman Flora Flora yang ditemukan di koridor TNGHS sekitar 280 jenis, yang terdiri dari 197 genus dan 80 famili. Rincian flora yang terdapat di koridor TNGHS adalah: Pohon sebanyak 123 jenis (44%), pohon kecil sebanyak 61 jenis (21,8%), perdu, terna, dan epifit sebanyak 97 jenis (34,6%). Sebagian besar dari koridor TNGHS banyak ditumbuhi semak belukar, seperti paku andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), nampong (Clibadium surinamensis), dan jenis sekunder mendominasi koridor TNGHS sebanyak 70% (GHSNPMP-JICA 2009). Pada hutan yang agak utuh/sedikit terganggu yang terdapat di sekitar lereng gunung/bukit di koridor TNGHS, masih dijumpai jenis primer yang menjulang tinggi seperti: kihujan (Engelhardtia serrata), Castanopsis spp., Quercus sp., Lithocarpus spp., Litsea spp., serta beberapa jenis jambu-jambuan (famili Myrtaceae). Jenis-jenis tingkat pohon yang sudah jarang dijumpai dan termasuk flora langka yaitu palahlar (Dipterocarpus hasseltii), dan awi sengkol (Schizostachyum sp.), jenis lain seperti paku tiang (Cyatheacontaminans), Cinnamomum spp., dan rasamala (Altingia excelsa). Banyak jenis-jenis lainnya di hutan alam, yang kini keberadaannya semakin kritis (Rinaldi et al. 2008). Pada tingkat kerusakan yang lebih berat (hampir 80%) areal koridor TNGHS ditumbuhi oleh rerumputan seperti alang-alang (Imperata cylindrica) dan kirenyuh (Eupatorium inulifolium). Selanjutnya agak ke dalam terjadi perubahan komposisi tumbuhan, dan disini banyak dijumpai Macaranga spp. dan Ficus spp. Sedangkan tumbuhan bawahnya seperti cangkore (Dinochloa scandens), Calamus manan, Begonia sp., dan Cyrtandra sp. (Endangered Species Team 2008). Jenis-jenis tumbuhan hutan primer yang masih tersisa dan banyak dijumpai di Gunung Halimun dan Gunung Salak adalah puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei), paku siuer (Cyathea junghuniana), dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti: Quercus gemelliflora, Castanopsis argentea serta dari famili Lauraceae (Cryptocarya mentek dan Litsea robusta). Jarang dijumpai diameter pohon yang mencapai diatas 50 cm, kondisi seperti ini mencerminkan bahwa tingkat kerusakan hutan cukup tinggi. Tingkat kerusakan hutan yang tinggi ini, mengakibatkan pohon-pohon yang dijumpai merupakan pohon-pohon hasil regenerasi (Rinaldi et al. 2008).
55 Kenyataan bahwa tingkat kerusakan hutan relatif cukup tinggi di koridor TNGHS diperlihatkan oleh komposisi jenis pohon-pohon yang sebagian besar berupa jenis-jenis tumbuhan sekunder seperti yang diperlihatkan oleh beberapa jenis utama dari suku Euphorbiaceae dan Moraceae. Jenis paling umum yang mewakili suku Euphorbiaceae adalah Macaranga triloba, M. tanarius, Aporosa frutescens, Mallotus paniculatus, dan Homolanthus pupulneus, sedangkan dari suku Moraceae diwakili oleh berbagai jenis Ficus seperti Ficus grossuloides, F. sinuata, F. fistulosa, F. hirta, dan F. padana. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis-jenis hutan sekunder yang banyak tumbuh pada kawasan hutan terganggu yang telah mengalami kerusakan (Rinaldi et al. 2008). Cerminan hutan terganggu di koridor TNGHS, dapat dilihat dari kelas tinggi pohon yang sebagian besar terdapat pada kisaran 10 sampai 15 meter. Jenis-jenis yang banyak mengisi kelas diameter dan kelas tinggi yang kecil ini antara lain adalah
dari famili Euphorbiaceae, Symplocaceae, Melastomataceae, dan
Cyatheaceae. Sedangkan kelompok famili Fagaceae, Juglandaceaea, Lauraceae, dan Theaceae umumnya berada pada kelas diameter diatas 30 cm. Jenis-jenis yang berada pada kelas diameter dan kelas tinggi yang relatif besar diperlihatkan oleh Lithocarpus sp., Quercus gemelliflora, Egelhardia serreta, Schima wallichii, dan Altingia excelsa. Jika dilihat dari tinggi pohon, maka sebahagian besar pohon tidak mencapai lapisan A (tinggi > 30 m), akan tetapi banyak terdapat pada lapisan B (tinggi 20 – 30 m), dan lapisan C (tinggi < 20 m). Untuk proses regenerasi pohon-pohon hutan yang tercatat dari anakan pohon, ternyata ada beberapa jenis pohon primer yang siap menggantikan jenis sekunder seperti jenis dari Lauraceae, Fagaceae, Cyatheaceae, Myrtaceae, dan Elaeocarpaceae (Endangered Species Team 2008). Adanya rumpang (gap) pada tajuk pohon akibat kerusakan hutan, mengakibatkan terangsangnya pertumbuhan jenis tumbuhan lantai hutan di koridor TNGHS seperti jenis herba kirenyuh (Eupatorium inulifolium), nampong (Clibadium surinamensis), dan nunut (Clidemia hirta). Berbagai jenis bambu juga banyak tumbuh, akibat terbukanya kanopi hutan. Lokasi yang kanopi hutannya agak tertutup seperti di lereng-lereng yang terjal, jenis yang banyak tumbuh yaitu jenis Begonia spp., dan keladi hutan (Colocasia esculenta) (Rinaldi et al. 2008).
56 Hutan yang tersisa di koridor TNGHS banyak ditumbuhi oleh rotan manau (Calamus manan), akibat terbukanya kanopi hutan maka rotan manau ini dapat tumbuh dengan subur. Potensi lain di kawasan hutan koridor TNGHS juga diperuntukkan sebagai sumber pakan hewan seperti kelelawar, dan mamalia kecil lainnya, serta beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman hias. Terdapat beberapa jenis penting yang perlu diperhatikan terutama palahlar (Dipterocarpus hasselthi) dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti saninten (Castanopsis javanica) dan pasang (Quercus oldocarpa), serta dari famili Lauraceae seperti kilimo (Litsea cubeba) dan kimanis (Cinnamomum sp.) (Endangered Species Team 2008). Vegetasi tingkat belta di koridor TNGHS ada sebanyak 110 jenis, yang termasuk ke dalam 81 genus dan 41 famili. Jenis-jenis belta yang dijumpai di koridor TNGHS, antara lain Ficus sp., Prunus arborea, Psychotria viridiflora, dan Symplocos sp. (GHSNPMP-JICA 2009). 4.2.7. Keanekaragaman Fauna Jenis-jenis primata yang ditemui di koridor TNGHS yaitu owa jawa (Hylobates moloch) yang mempunyai peranan penting sebagai penyebar bibit pohon, surili (Presbytis commata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan monyet (Macaca fascicularis). Sebahagian besar sebaran primata khususnya owa jawa dan lutung dijumpai di wilayah Gunung Halimun, sedangkan di wilayah Gunung Salak tidak banyak dijumpai primata. Walaupun ada informasi mengenai keberadaan primata yang diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat, kurangnya keberadaan primata di koridor TNGHS wilayah Gunung Salak, diduga karena tingginya aktifitas manusia di wilayah ini (GHSNPMP-JICA 2009). Terdapat 56 jenis burung di koridor TNGHS, 16 jenis diantaranya dilindungi menurut PP No. 7/ tahun 1999, bahkan 6 jenis diantaranya termasuk Lampiran 2 CITES yang dilindungi perdagangannya, serta elang jawa termasuk jenis yang terancam punah menurut buku daftar merah IUCN. Selain itu juga terdapat empat jenis burung pemangsa, yaitu: elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang jawa (Spizaetus bartelsi), dan alap-alap capung (Microchierax fringilarius).
Keberadaan burung pemangsa ini menandakan
bahwa, kawasan koridor TNGHS memiliki sumberdaya yang cukup untuk
57 menunjang kehidupan mereka. Keberadaan burung pemangsa tersebut biasanya dijadikan indikator untuk menilai kondisi hutan primer yang menjadi habitatnya (GHSNPMP-JICA 2009). Jenis-jenis burung yang umum di jumpai pada hutan terganggu di koridor TNGHS yaitu srigunting kelabu (Dicrurus leocophaeus), pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), tepus pipi perak (Stachyris melanothorax), dan pijantung kecil (Arachnothera longirostra). Penggunaan habitat oleh burungburung tersebut tidak terbatas pada satu tipe saja, akan tetapi beberapa jenis burung dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Jenis burung yang menggunakan dua tipe habitat yaitu habitat hutan alam dan habitat hutan terganggu ada 10 jenis, burung yang menggunakan seluruh tipe habitat ada 6 jenis yaitu Cacomantis merulinus, Dicrurus leucophaeus, Alophoixus bres, Orthotomus sepium, Dicaeum trigonostigma, dan Arachnothera longirostra (Endangered Species Team 2008). Tercatat dan teridentifikasi 9 jenis mamalia yang termasuk ke dalam 7 famili di
koridor
TNGHS.
Jenis-jenis
tersebut
yaitu
musang
(Paradoxurus
hermaproditus) dari famili Viverridae, babi hutan (Sus scrofa) dari famili Suidae, tupai (Tupai sp.) dari famili Tupaidae, Sigung (Mydaus javanensis) dan sero ambrang (Amblonyx cinereus) dari famili Mustelidae, trenggiling (Manis javanica) dari famili Manidae, kucing hutan (Prionailurus bengalensis) dan macan tutul (Panthera pardus melas) dari famili Felidae, dan muncak (Muntiacus muntjak) dari famili Cervidae (Endangered Species Team 2008). 4.3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi berada pada Kecamatan Kabandungan, dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan. Kabupaten Bogor berada pada Kecamatan Leuwiliang yaitu Desa Purasari dan Kecamatan Pamijahan yaitu Desa Purwabakti. Bagian Utara koridor TNGHS seluas 1.662,78 hektar masuk wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan koridor TNGHS seluas 2.533,00 hektar masuk wilayah Kabupaten Sukabumi. Perbatasan wilayah koridor TNGHS antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi
58 terletak memanjang dari Barat ke Timur, yang merupakan bagian tertinggi atau puncak bukit dari kawasan koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Pembangunan wilayah di koridor TNGHS untuk menyediakan sarana dan prasarana seperti: jalur sutet (saluran listrik tegangan tinggi), jalan kabupaten yaitu yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi yang memotong koridor TNGHS di daerah Cianten dan Cisarua, dan jalan-jalan perusahaan
yang
memotong
koridor
TNGHS
(GHSNPMP-JICA
2009),
merupakan tekanan terhadap hutan dan ancaman terhadap keberadaan satwasatwa di koridor TNGHS. 4.3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah penduduk di koridor TNGHS dengan aktifitas mereka, akan menentukan tingkat tekanan terhadap koridor TNGHS. Jumlah penduduk tahun 1989 sampai tahun 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penduduk di koridor TNGHS. Data penduduk di koridor TNGHS tentang pertumbuhan jumlah penduduk tahun 1989 sampai tahun 2004 ada pada Tabel 6, dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020 ada pada Tabel 7. Tabel 6 Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989-2004 Lokasi 1989 1992 1995 1998 2001 2004 Jumlah Penduduk (Jiwa) Kabandungan 5.017 5.417 6.067 6.485 6.780 7.481 Cipeutey 3.687 4.308 5.024 5.178 5.283 5.369 Cisarua 2.365 2.542 2.732 2.799 2.895 3.035 Cipanas 2.829 3.024 3.219 3.414 3.609 3.829 Sumber: Yatap 2008 Tabel 7 Pertumbuhan penduduk tahun 1989-2004 dan perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 di koridor TNGHS Desa Laju pertumbuhan Proyeksi jumlah penduduk penduduk tahun 1989-2004 tahun 2020 (%/tahun) (jiwa) Kabandungan 3,27 11.395 Cipeuteuy 3,04 7.980 Cisarua 1,89 3.953 Cipanas 2,36 5.275 Sumber: Diolah dari Yatap 2008
59 4.3.2. Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS sebagian besar (76,58%) berada pada tingkat SD sampai SLTP, diikuti oleh penduduk yang tidak tamat SD (16,26%), SLTA 5,67%, Diploma 1,32%, dan Sarjana 0,17%. Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS Desa
Tidak tamat
SD-SLTP
SLTA
Diploma
S1
Jumlah
SD (orang)
(orang)
(orang)
(orang)
(orang)
(orang)
122 46
23 16
3 2
1.718 1.246
168 5,67
39 1,32
5 0,17
2.964 100
Kabandungan 372 1.198 Cipeuteuy 110 1.072 Jumlah (orang) 482 2.270 Persentase (%) 16,26 76,58 Sumber: Diolah dari Warlian (2004) 4.3.3. Struktur Penduduk menurut Umur
Struktur penduduk menurut umur, akan menentukan aktifitas mereka di koridor TNGHS. Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS Desa Umur penduduk (tahun) 0-15 16-18 19-59 Jumlah (jiwa) Kabandungan 2.024 353 2.970 Cipeuteuy 2.443 420 3.362 Jumlah 4.467 773 6.332 Persentase (%) 37,13 6,43 52,64 Sumber: Warlian 2004
>60 89 368 457 3,80
Persentase struktur penduduk menurut umur tertinggi di koridor TNGHS berada pada umur 19 sampai 59 tahun yaitu 52,64%, diikuti oleh 0 sampai 15 tahun yaitu 37,13%, 16 sampai 18 tahun 6,43%, dan diatas 60 tahun yaitu 3,8%. 4.3.4. Pekerjaan Penduduk Secara umum pekerjaan penduduk di koridor TNGHS adalah sebagai petani, pekerja perkebunan teh, pedagang, buruh bangunan, dan bekerja di luar daerah. Desa Cipeuteuy sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani (1.192 orang), sebagai buruh tani (425 orang), buruh perkebunan swasta (80 orang),
60 PNS/TNI (6 orang). Desa Kabandungan beberapa penduduknya bekerja sebagai PNS, sopir, dan montir. Penduduk Desa Purasari memiliki pekerjaan sebagai pedagang (181 orang) dan pengemudi (24 orang). Penduduk Desa Purwabakti yang bekerja sebagai petani 425 orang, sebagai buruh perkebunan sebanyak 420 orang, dan 7 orang sebagai PNS TNI (GHSNPMP-JICA 2009). Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS Pekerjaan Desa Cpeuteuy Purwabakti Petani (orang) 1.192 425 Buruh tani (orang) 425 Buruh kebun teh (orang) 80 420 PNS/TNI (orang) 6 7 Jumlah 1703 852 Sumber: Diolah dari GHSNPMP-JICA 2009.
Persentase (%) 63,29 16,63 19,57 0,51 100
4.3.5. Penghasilan Penduduk Penghasilan penduduk sebagai pekerja perkebunan berkisar antara Rp. 120.000,- sampai Rp. 600.000,- per bulan. Pensiunan perkebunan mendapatkan uang pensiun sebesar Rp. 120.000,- sampai Rp. 140.000,- per bulan. Penghasilan pedagang, buruh tani, buruh ternak biasanya dihitung secara harian, yaitu rata-rata sebesar Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,-. Petani dan peternak mendapatkan upah waktu hasil panen atau ternaknya di jual yaitu Rp. 150.000,- sampai Rp. 500.000,per ekor ternak atau 80 gedeng padi untuk satu gedeng bibit padi (GHSNPMPJICA 2009). Penghasilan penduduk di koridor TNGHS terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Penghasilan penduduk di koridor TNGHS Penghasilan Desa (kapita/bulan) Purwabakti Cipeuteuy Jumlah % Jumlah % Rendah (