IMPLEMENTASI MEDlK KONSERVASI PADA OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1798): STUD1 KASUS PADA EMPAT LEMBAGA KONSERVASI EKSITU Dl INDONESIA
WlNNY PRAMESYWARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK WlNNY PRAMESYWARI. lrnplernentasi Medik Konsewasi pada Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798): Studi Kasus pada Ernpat Lembaga Konsewasi Eksitu d i Indonesia. Dibimbing oleh R.P. AGUS LELANA. lmplementasi rnedik k0nSe~aSipada 61 ekor owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga Sukabumi (15 ekor), Kebun Binatang Surabaya (10 ekor), Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa Bodogol Sukabumi (6 ekor), dan Pusat Prirnata Schrnutzer Taman Margasatwa Ragunan Jakarta (30 ekor) rnenjadi obyek dalam studi kasus ini. Studi difokuskan pada aspek (1) pemeliharaan (good care practices), (2) medis (good medical practices), dan (3) penangkaran (good breeding practices) untuk mewujudkan medik konsewasi yang rneliputi tindakan preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif. Masalah utama yang dihadapi dalam program tersebut antara lain tingginya angka kernatian pada infant (62,5%), besarnya ancaman zoonosis, dan tingginya kasus penyakit, seperti gangguan-gangguan gastrointestinal (43,9%), muskuloskeletal (16,7%), respirasi (12,1%), integurnenturn (10,6%), perilaku (10,6%), dan reproduksi (6,1%). Zoonosis seperti hepatitis B, TBC, dan herpes, sulit untuk didata mengingat tidak sernua lernbaaa konsewasi eksitu melakukan ~emeriksaanlaboratoris. Kebernasilan penangkaran diantaranya ditentukan oleh' kemampuan dalarn rnenjodohkan owa, ~enakondisianpakan dan kandanq sesuai kondisi alami, serta perawatan infant. i<eberhasilan medik konsewasi balam rnengatasi rnasalah' di atas sangat berperan dalarn rnempertahankan eksistensi dan meningkatkan populasi owa jawa yang semakin kritis.
ABSTRACT WlNNY PRAMESYWARI. Implementation of Conservation Medicine o n Silvery Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1798): Cases Study a t Four Excitu Conservation Institutions i n Indonesia. Under direction of R.P. AGUS LELANA. The implementation of conservation medicine on 61 silvery javan gibbons (Hylobates rnolnch Audebert 1798) at The Cikananga Animal Rescue Center in Sukabumi (15 gibbons), The Surabaya Zoo (10 gibbons), The Javan Gibbon Center on Bodogol Sukabumi (6 gibbons), and The Schmutzer Primate Center on Ragunan Zoological Park Jakarta (30 gibbons), was became the objects of this cases study. The study was focused on (1) good care practices, (2) good medical practices, and (3) good breeding practices to implement good conservation medicine practices that consist of preventive, curative, rehabilitative, and promotional aspects. The main problems that faced on that practices are high number of infant mortality (62,5%), threat of zoonotics, and health problems such as gastrointestinal disorders (43,9%), musculoskeletal disorders (16,7%), respiration disorders (12,1%), integument disorders (10,6%), behaviour disorders (10,6%), and reproduction disorders (6,196). Zoonotics such as hepatitis B, TBC, and herpes was difficuit to recorded because the lack of medical check up and laboratory test. The success of breeding program was noted and seen to be depend on capability of gibbons to pairs, foods and environmental enclosure adaptation as natural condition, as well as infant care. The success of conservation medicine to solve mentioned problems are very important to maintain existence and to increase the population of silvery javan gibbons that being critically.
IMPLEMENTASI MEDlK KONSERVASI PADA OWA JAWA (Hylobates rnoloch Audebert 1798): STUD1 KASUS PADA EMPAT LEMBAGA KONSERVASI EKSITU Dl INDONESIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mernperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi lmplementasi Medik Konsewasi pada Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798): Studi Kasus pada Empat Lembaga Konsewasi Eksitu di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari pembirnhing dan belum pernah diajukan dalen bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Surnber inforrnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan rnaupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalarn teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2008
Winny Pramesywari
NIM B04103152
Judul Skripsi : lmplementasi Medik Konsewasi pada Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798): Studi Kasus pada Empat Lernbaga Konservasi Eksitu di Indonesia Nama : Winny Pramesywari NIM : 804103152
Disetujui Dosen Pembimbing
drh. R.P. Aqus Lelana. Sp.MP. MSi NIP. 131 473 988
kteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
2 7 FEB '2.008
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S W l atas segala rahrnat dan karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Berawal dari latar belakang sebagai rnahasiswa kedokteran hewan dan minat serta kepedulian terhadap satwa liar, rnaka dalam penyusunan karya tulis ilmiah sebagai tugas akhir penulis rnernilih tema upaya konservasi owa jawa rnelalui pendekatan medis. Judul karya ilmiah ini adalah 'Implementasi Medik Konservasi pada Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798): Studi Kasus pada Empat Lembaga Koflse~asiEksitu di Indonesia'. Pengambilan data dan penulisan telah dilaksanakan dari April 2007 hingga Januari 2008. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah mendapat berbagai bantuan baik materi, inforrnasi, dan saran, serta dukungan moral dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dalam kesernpatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1
Bapak dan lbu tercinta atas lirnpahan kasih sayang dan materi yang diberikan, serta sebagai sumber semangat dan inspirasi.
2
Bapak drh. R.P. Agus Lelana SpMp. MSi beserta keluarga atas kesabaran dalarn membimbing, ilmu dan pengalaman, serta waktu dan perhatian yang diberikan selama proses penyusunan.
3
lbu Dr.drh. Anita Esfandiari, MS atas kesediaan menjadi dosen penilai dan masukan yang diberikan dalarn penulisan.
4
Bapak drh. R. lpin R. Manggung selaku dosen pembirnbing akademik, atas kesabaran dalam membirnbing serta saran selarna proses perkuliahan.
5
Pimpinan Pusat Ponyelamatan Satwa Cikananga, Bpk. Budi sela5u humas, Bpk. Rezit Sozer, drh. Kholis, staff PPSC, serta seluruh keeper terutama Ucup, Ntis, dan Mbak Dian.
6
Pirnpinan Kebun Binatang Surabaya, Bpk. Warsito, drh. Rahmat, drh. Liang, Mas Faisol, Ibu Penla, Bpk. Hery, Mama Sri, Ibu Warti, Bpk. Pri, dan perawat satwa (Pak Rukin, Pak Kobing, Pak Supii, dan Pak Sukadi).
7
Manajer Javan Gibbon Center (JGC) Bpk. Anton Prior, drh. Nana, keeper (Ayunk dan Mul), dan Abah.
8
Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan Jakarta, drh. Edwar, drh. Ary, lbu Mimi, Hj. Tini, Mbak Osa, Mbak Febri, dan keeper (Mas Joko, Pak Sailan, Pak Dede, Pak Alfon, Pak Watno, Pak Nairnan, dan Mas Dayat).
9
Kakak-kakak tercinta serta keluarga besar di Malang, Surabaya, Jakarta, Madura, dan Magelang atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tiada henti.
10 Elfa dan Gobel atas tahun-tahun kebersamaan, kasih sayang, kesabaran.
dan dukungan yang diberikan. 11 Daniel, Rarna. Rani, Silvi, Cepi, dan Ratu atas persahabatan, dukungan, kritik, saran, dan pengalarnan unik tak terlupakan.
12 Keluarga Besar Gymnolaemata 40, terutama Theo, Lina, Tyas, Madhu, Dinda, Linda, Wywy, Revina "Kakak Suiung", Zulfa "Kakak Kedua", Angga, dan Asrnur, atas kebersamaan dan kenangan berharga selama proses studi di FKH IPB. 13 Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) atas kebersamaan, dukungan,
ilmu, pengalarnan, dan ekspedisi yang selalu berkesan.
14 Keluarga Besar Himpro Satwa Liar, lkatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI), dan Sahabat PlLl atas kebersarnaan dan pengalarnan berharga yang tak terlupakan. 75 Penghuni Pondok Adinda Babakan Lio atas kebersamaan dan dorongan
yang diberikan. 16 Seluruh pihak yang memiliki rninat dan dedikasi terhadap pelestarian satws
liar. Penulis menyadari bahwa karya ilrniah ini rnasih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang diajukan untuk penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Penulis juga mernohon maaf atas segala kesalahan dan kelturangan yang terdapat dalarn karya ilrniah ini. Sernoga karya ini memberikan rnanfaat bagi ilmu kedokteran hewan dan upaya peiestarian satwa liar, serta kasyarakat pada umumnya.
Bogor, Februari 2008 Winny Prarnesywari
Penulis dilahirkan di Jernber, Jawa Timur pada tanggal 26 November 1984 dari pasangan lr. H. lbnu Machlad dan Wiendaryaningsih. Penulis rnerupakan putri bungsu dari ernpat bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD lslarn Baiturrahmah IV Padang pada tahun 1997. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SLTP Negeri 2 Padang yang diselesaikan pada tahun 2000. Penulis rnelanjutkan ke SMU Negeri 2 Padang dan lulus tahun 2003 dari SMA Negeri 1 Malang. Pada tahun yang sarna penulis lulus seleksi rnasuk IPB melalui jalur Seleksi Penerirnaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis rnernilih bidang studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Penulis aktif di berbagai kegiatan intra karnpus, diantaranya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna 2004-sekarang, Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar 2004-2006, dan lkatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) pada tahun 2004. Selain itu, penulis juga tergabung dalarn berbagai organisasi ekstra karnpus, diantaranya ProFauna 2004-2006, WWF 2004-2005, Sahabat PlLl 2005-sekarang, dan Forum Badak Indonesia 2007.
DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL .................................................................................................
xii ...
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
XIII
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xiv
1 PENDAHULUAN............................................................................................. 1 .I Latar Belakang..........................................................................................
I 1
1.2Kerangka Pemikiran 1.3Tujuan dan Manfaat ..................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA....
-
2.1.6Penyebaran...................................................................................... b 2.1.7Peranan ........................................................................................... 6 .......................................................................... 2.1.8Status Konservasi I 2.1.9Penyakit pada Satwa Primata 2.2Medik Konservasi 2.2.1Pengertian 2.2.2 Ruang Lingkup 2.2.3Peranan Dokte 3 BAHAN DAN METODE................................................................................. 12 3.1Waktu dan Tempat .................................................................................. 12 3.2Bahan dan Metode.................................................................................. 12 4 HASlL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 16 4.1Program Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices).......................19 20 4.1.I Manajemen Sumberda 22 4.1.2Manajemen Perkandan 4.1.3Manajemen Pakan ...... 29 33 4.1.4Manajemen Pengendal 4.1.5Manajemen Data dan lnformasi...................................................... 34 4.2Program Medis yang Baik (Good Medical Practices)............................... 35 4.2.1Prosedur Karantina .. 4.2.2Pemeriksaan Keseha 4.2.3Kasus Medis dan Terap 4.2.4Anesthesia 4.3Program Penang 4.4lmplementasi Medis Konservasi yang Baik ............................................. 51 55 4.4.1Tindakan Preventif ......................................................................... 55 4.4.2Tindakan Kurati 55 4.4.3Tindakan Reha Tindakan Prom 56 4.4.4
5 KESIMPUIAN DAN SARAN ......................................................................... 57 5.1 Kesirnpulan............................................................................................. 57 .57 5.2 Saran .......................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
58
LAMPIRAN ........................................................................................................
62
DAFTAR TABEL 1 ProfiI lembaga konservasi eksitu ...................................................................
16
2 Distribusi owa jawa berdasarkan jenis kelamin dan umur di empat lokasi studi (Desember 1999-September 2007) ......................................................17 3 Distribusi owa jawa saat studi dilakukan berdasarkan jenis kelamin dan umur di empqt lokasi studi (Juli-September 2007) ........................................ 17 4 Data kematian owa jawa berdasarkan jenis kelamin dan umur di empat lokasi studi (Februari 2002-September 2007) ................................................ 18
5 Manajemen sumberdaya manusia di empat lokasi studi................................ 20 6 Manajemen perkandangan owa jawa di empat lokasi studi ........................... 22 7 Manajemen pakan owa jawa di empat iokasi studi ........................................ 29 8 Jenis pakan owa jawa di empat lokasi studi .................................................. 30 9 Prosedur karantina owa jawa di PPS Cikananga. KB Surabaya. dan Pusat Primata Schmutzer. TM Ragunan ................................................................. 36 10 Jenis dan dosis anthelmentik untuk owa jawa di PPS Cikananga. KB Surabaya. dan Pusat Primata Schmutzer. TM Ragunan ............................... 37 11 Pemeriksaan kesehatan rutin pada owa jawa di empat lokasi studi ..............38 12 Kategori kasus medis pada owa jawa di PPS Cikananga. KB Surabaya. dan Pusat Primata Schrnutzer. TM Ragunan (Januari 2002-September 2007) .............................................................................................................
39
13 Gambaran umum implementasi medik konservasi pada owa jawa berdasarkan studi lapangan dan studi literatur ..............................................
52
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir distribusi sumberdaya genetik satwa dan potensi mernperoleh penyakit (Lelana 2007) .................................................................................... 2 2 Peta penyebaran owa jawa .............................................................................
6
3 Ruang lingkup medik konservasi (Lelana 2004) ............................................ 10 4 Diagram alir peranan dokter hewan dalarn proses medik konservasi II satwa liar (Lelana 2004) ................................................................................ 5 Diagram lshikawa sistem rnedik konsewasi satwa liar (Lelana 2004)............12
6 Populasi dan jumlah kematian owa jawa di empat lokasi studi (Desember 1999-September 2007) ... ............................................................
19
7 Contoh pengayaan kandang (a) rumah kecil pada kandang pulau di Kebun Binatang Surabaya, (b) pohon artifisial pada kandang peraga di Pusat Primata Schmutzer, dan (c) hook (dilingkari) dan tali pada kandang sosialisasi di PPS Cikananga ........................................................................ 25
8 Kandang karantina di (a) Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan (b) Pusat Primata Schmutzer, TM Ragunan .................................................. 26 9 lnkubator untuk owa infant di nursery Kebun Binatang Surabaya.................. 26 10 Kandang penjodohan di Javan Gibbon Center .............................................. 27 11 Aplikasi pintu ganda pada kandang peraga di Pusat Prirnata Schmutzer ......29 12 Jenis pakan owa jawa, (a) buah-buahan pasar di Pusat Primata Schmutzer dan (b) buah hutan di Javan Gibbon Center.................................................. 31 13 Dua jenis readermicrochip yang digunakan di Tarnan Margasatwa Ragunan, (a) model lama dan (b) model baru ..............................................
35
14 Kategori lkasus medis pada owa jawa di PPS Cikananga, KB Surabaya, dan Pusat Prirnata Schmutzer, TM Ragunan (Januari 2002-September 2007)... ...................... .... ... ............... .................... .... ... ...... ........................... .. 39 15 Trauma pada jari owa jawa di Pusat Prirnata Schrnutzer disebabkan dinding kawat yang tajam .............................................................................. 43 16 Alopecia pada owa jawa di PPS Cikananga disebabkan stress.....................45 17 Prolapsus vaginalis pada owa betina dewasa di Javan Gibbon Center .........47
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data dasar dan catatan rnedis individu owa jawa di ernpat lokasi studi ......... 63 2 Contoh software ARKS dari Pusat Prirnata Schrnutzer ................................. 68 3 Contoh kandang tertutup...............................................................................
69
4 Contoh kandang terbuka ...............................................................................
71
5 Contoh evaluasi pakan rnenggunakan skala alornetrik pakan di Javan Gibbon Center ..............................................................................................
72
6 Fasilitas dan aktivitas di Pusat Penyelarnatan Satwa Cikananga .................. 73 7 Fasilitas di Kebun Binatang Surabaya........................................................... 75 8 Aktivitas di Javan Gibbon Center ................................................................... 76
9 Fasilitas di Pusat Prirnata Schrnutzer ............................................................
77
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konservasi menurut Wikipedia (2006)' adalah suatu upaya memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam, termasuk tumbuhan dan satwa, dengan melindungi dari eksploitasi, kehilangan habitat, dan kepunahan spesies. Namun mengingat besarnya masalah kesehatan yang terjadi pada satwa, dimana tidak hanya membahayakan satwa itu sendiri namun juga mengancam manusia dan lingkungan, maka diperlukan suatu konsep yang lebih relevan untuk mengatasi masalah ini. Weinhold (2003) rnenyebutkan bahwa pada pertengahan tahun 1990-an telah diperkenalkan istilah medik konsewasi, yaitu suatu konsep yang menghubungkan medis dan lingkungan dengan tujuan memahami hubungan antara kesehatan satwa liar, manusia, dan ekosistem, untuk mencegah dan mengatasi penyebaran penyakit. Konsep medik konsewasi be!um banyak diterapkan di negara-nega:a berkembang, termasuk lndonesia. Konsep ini periu lebih dikembangkan mengingat lndonesia merupakan salah satu negara mega biodiversitas dengan jumlah plasma nutfah yang hampir setara dengan negara Brazil dan Zaire. lndonesia memiliki 10-20% dari tumbuhan dan satwa yang ada di dunia. Dalam dokumen "Biodiversity Action Plan for lndonesia" tercatat bahwa lndonesia memiliki sekitar 12% jenis mamalia, 16% jenis amtibi dan reptil, 17% jenis burung, dan 20% jenis ikan dari keseluruhan jenis yang ada di dunia (Bappenas 1993 dalam Soehartono & Mardiastuti 2003). Dari ratusan jenis marnalia yang dirniliki lndonesia, 40 jenis di antaranya adalah satwa primata dengan 21 jenis sebagai satwa primata endemis lndonesia. Jumlah ini cukup besar mengingat jumlah satwa primata di dunia terdiri dari 195 jenis (Fauzi 2006). Sebanyak 32 jenis satwa primata lndonesia tercatat dalam IOCN Red List dengan pengkategorian 2 jenis kritis (critically endangered), 4 jenis genting (endangered), 7 jenis rentan (vulnerable), 10 jenis nyaris terancam (near threatened), satu jenis tergantung upaya konsewasi (conservation dependent), dan 8 jenis tidak memiliki cukup data untuk pengkategorian (data deficient)'.
I
hltp://en.wikipedi~.orglwik'IIwnse~ationrndicine[22 April 20071 http://~\~~.iucnredli~t.org [27 April 20071
Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) terrnasuk satwa liar endemis yang dikategorikan kritis. Narnun satwa ini kurang rnendapat perhatian dalarn upaya pelestariannya dibanding satwa lain dalarn kategori yang sarna. Sedikitnya penelitian yang pernah dilakukan rnengenai owa jawa secara tidak langsung rnengharnbat upaya pelestarian satwa ini. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih rnendalarn, tidak hanya dari segi ilrnu biologi narnun juga dari segi rnedis. Hal tersebut sangat penting untuk rnemberikan gambaran dan acuan dalarn pelaksanaan rnanajernen perneliharaan dan perawatan owa jawa yang berbasis rnedik konservasi.
1.2 Kerangka Pernikiran Dalarn pelestarian satwa liar, rnobilitas surnberdaya genetik mernbuka peluang lebih besar bagi satwa terkena penyakit. Sesuai dengan Garnbar 1. munculnya penyakit dalarn distribusi surnberdaya genetik berupa domestikasi, translokasi, rnaupun reintroduksi, perlu diantisipasi dengan rnenerapkan tindakan-tindakan rnedik konservasi yang tepat. domestication wild
captive
I
I
translocation
Garnbar 1
Diagram alir distribusi surnberdaya genetik satwa dan potensi rnernperoleh penyakit (Lelana 2007)
1.3 Tujuan dan Manfaat
Studi kasus ini bertujuan untuk rnernpelajari implementasi konsep rnedik k o n s e ~ a s ipada owa jawa. Dengan studi ini diharapkan dapat rnernberi garnbaran menyeluruh dan pernaharnan rnendalarn mengenai manajemen perawatan dan kesehatan owa dalarn habitat buatan (eksitu), sehingga dapat dijadikan pertirnbangan dalarn pelaksanaan konse~asieksitu secara maksirnal.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) 2.1 .IKlasifikasi Secara taksonomi, owa jawa (Hylobates moloch) diklasifikasikan dalam3: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Primata
Famili
: Hylobatidae
Genus
: Hylobates
Spesies
: Hylobates moloch (Audebert 1798)
Sub spesies
: Hylobates moloch moloch Hylobates moloch pangoalsoni
2.1.2 Morfologi Tubuh owa jawa ditutupi rambut keperakan atau kelabu. Bagian atas kepala dan muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu atau putih. Dagu pada beberapa individu berwarna hitam. Warna rambut jantan dan betina sedikit berbeda terutama dalam tingkatan umur. Umumnya anak yang baru lahir memiliki warna lebih cerah. Panjang tubuh owa dewasa berkisar 750-800 mm dengan berat tubuh jantan 4,5-8 kg dan betina 4-7 kg. Owa dibedakan menjadi dua sub spesies, yaitu Hylobates moloch moloch yang berwarna lebih gelap, dan Hylobates moloch pangoalsoni yang berwarna lebih terang (Supriatna & Wahyono 2000). Owa memiliki lengan yang relatif panjang, tubuh yang ramping, dan tidak memiliki ekor dimana morfologi ini berperan penting saat berayun dari satu pohon ke pohon lain. Owa memiliki kantong suara yang terletak di bawah dagu untuk membantu mempertinggi suara panggilan yang dikeluarkan4.Owa rnemiliki rumus gigi I2 I2
C1
' hltp Ilw~ucnredl~sl org
P2 P2
M3 (Suyanto 2003). M3
nrtp /lantrnald#verstlyLrnrnz Lmtch e d u l s ~ l e l a ~ o u n tntormat sl on1 Hylobates-rnoloch ntm (27 Apr~l20071 ' nhp 1 1 wthepr mate cornlny ooales_rno och h m l [ 5 Me, 20071
2.1.3 Perilaku
Satwa prirnata ini sepenuhnya hidup di pohon (arboreal) dan jarang turun ke tanah. Owa dikenal sebagai pernain akrobat hutan yang ulung dirnana pergerakan sepenuhnya dengan berayun (brankiasi) dari satu dahan ke dahan lainnya dengan jarak rnencapai lebih dari 10 meter. Pergerakan di pohon sangat cepat, dapat rnencapai lebih kurang 60 krnljarn. Spesies ini juga rnernanjat saat rnakan dan bergerak pelan. Selain itu, owa juga rnarnpu berpindah ternpat dalarn jarak pendek rnenggunakan kedua kaki (bipedal)
'.
Daerah jelajah (teritori)
berkisar antara 16-17 ha, dan jelajah hariannya dapat rnencapai 1500 rn. Owa aktif dari pagi hingga sore hari (diurnal), dirnana siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling rnencari kutu antara jantan dan betina pasangannya, atau antara ibu dan anaknya, dan pada rnaiam hari tidur di percabangan pohon. (Supriatna & Wahyono 2000). Semua jenis hylobates melakukan kornunikasi dengan suara. Owa rnerniliki suara yang nyaring dan saling bersahutan. Pada pagi hari, owa selalu rnengeluarkan lengkingan nyaring yang disebut morning call. Suara yang sangat keras ini dapat terdengar hingga sejauh satu krn. Biasanya jantan lebih dahulu bersuara kernudian disusul betina. Setiap jenis rnerniliki ciri suara dan alunan yang berbeda yang dapat dilihat dari grafik sonografi dengan garnbaran panjang pendek alunan suara yang tidak sarna. Berdasarkan ha1 tersebut, beberapa ahli rnenjadikan suara sebagai alat identifikasi di lapangan. Ada ernpat jenis suara yang dikeluarkan owa yaitu suara betina untuk rnenandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjurnpa dengan kelornpok tetangganya, suara yang dikeluarkan bersarna antar keluarga saat terjadi konflik, dan suara dari anggota keluarga sebagai tanda bahaya. Suara tarida bahaya dikeluarkan bila ada satwa pernangsa di sekitarnya seperti rnacan tutu1 atau rnacahkurnbang (Panthera pardus) (Supriatna & Wahyono 2000). Owa rnenandai daerah teritorinya dengan "bernyanyi". Owa betina rnengeluarkan suara yang keras beberapa kali sehari urltuk rnenandai teritorinya. Baik owa jantan rnaupun betina akan rnengeluarkan suara bila berjurnpa dengan owa asing di daerah teritorinya. Selama perjurnpaan ini, betina bersuara dengan keras dan berteriak, sedangkan jantan rnendekati owa pengacau dan rnengusirnya6.
hftp:llwww.theprimate.~m/hylobate~~moloch.htmi [5 Mei 20071 6
http:/!animaldiversity.ummz.umichedu!sitelaccountslinformation/
Hylobates-moloch.htmI [27 April 20071
Selain rnenggunakan kornunikasi dengan suara, owa juga berkornunikasi rnelalui ekspresi wajah dan gerakan tubuh (tactile). Kornunikasi tactile dilakukan dalarn bentuk social grooming, yaitu saat satu individu rnerawat atau rnernbersihkan individu lain yang bertujuan rnernperkuat ikatan antar individu. Kornunikasi dengan gerakan ini cukup penting pada pasangan owa, sarna seperti pada induk dan anaknya7. Sebagairnana jenis hylobates lainnya, owa hidup berpasangan dalarn sistern keluarga rnonogarni. Kelornpok owa urnurnnya kecil, hanya terdiri dari ernpat individu yaitu sepasang induk dan 1-2 anak yang belurn rnandiii. Pasangan owa akan rnenghasilkan rata-rata 5-6 keturunan selarna rnasa reproduksi yaitu sekitar 10-20 tahun. Seperti kebanyakan satwa prirnata, owa rnelahirkan satu keturunan tiap kelahiran, dengan rnasa kebuntingan sekitar tujuh bulan (197-210 hari). Jarak antar kelahiran pada betina reproduktif sekitar 40 bulan (3-4 tahun). Kebanyakan owa betina rnerawat sendiri anak rnereka hingga berusia dua tahun. Anak owa akan rneninggalkan kelornpoknya ketika rnereka mencapai dewasa kelarnin (siap kawin) pada urnur 8-9 tahun. Urnurnnya owa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000). 2.1.4 Pakan
Menurut beberapa penelitian, owa mengkonsurnsi lebih kurang 125 jenis turnbuhan. Bagian turnbuhan yang sering dirnakan adalah buah, bli, bunga, dan daun rnuda. Selain itu, rnereka juga diketahui rnernakan ulat pohon, rayap, rnadu. dan beberapa jenis serangga lainnya. Owa rnengkonsurnsi lebih kurang 61% buah, 38% daun, dan sisanya berbagai jenis rnakanan seperti bunga dan berbagai jenis serangga (Supriatna & Wahyono 2000). Satwa ini lebih rnernilih untuk rnengkonsurnsi buah-buahan yang tinggi kandungan gulanya. S6perti jenis hylobates lainnya, owa rnerupakan hewan frugivora yang rnernakan buah-buahan di kanopi bagian atas pada hutan hujan tropis. Kebiasaan ini rnenirnbulkan rnasalah karena buah-buahan tersebut hanya diternukan pada area kecil dan terbatas di kawasan hutan hujan. Pergerakan owa
dengan brankiasi
rnernudahkan rnereka berpindah ternpat dengan cepat dan efisien dari satu surnber pakan ke surnber pakan lain8.
-
http llw lhepr male cornlhylobales-rnoloch nlrnl[5 Me, 200n http I/antrnald~versnyJrnrnz urnlch eauls$telaccounkl~nformal~on~nylobates~rnolocn htrn 127 Apr. 20071
2.1.5 Habitat
Owa hidup di hutan tropik, mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan pada ketinggian 1400-1600 m dpl. Narnun satwa ini jarang ditemukan dalam hutan pada ketinggian lebih dari 1500 rn dpl. Vegetasi dan jenis tumbuhan yang berada pada daerah setinggi itu bukan merupakan surnber pakan owa. Selain itu, banyaknya lumut yang menutupi pepohonan dapat menyulitkan pergerakan brankiasi owa (Supriatna & Wahyono 2000). 2.1.6 Penyebaran
Owa merupakan satwa primata endemik yang hanya ditemukan di pulau Jawa. Sebaran Hylobates moloch moloch terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Taman Nasional Gunung GedePangrango, serta Cagar Alam Gunung Simpang dan Leuweung Sancang. Selain itu juga ditemukan di beberapa hutan lindung seperti Gunung Ciremai. Hylobates moloch pangoalsoni hanya ditemukan di sekitar Gunung Slamet hingga sekitar Pegunungan Dieng di Jawa Tengah (Supriatna & Wahyono 2000).
Gambar 2 Peta penyebaran owa jawaQ 2.1.7 Peranan
Peranan satwa prirnata ini dalam ekosistem tidak digambarkan dengan jelas dalam literatur. Namun sesuai dengan jenis pakannya, dapat disimpulkan bahwa owa berperan dalam penyebaran benih tumbuhan. Selain itu, owa dijadikan indikator dalam menentukan kerusakan suatu habitat karena sifatnya yang sangat peka terhadap perubahan habitat. http:llw.worldwildlife.org/wildfinderlsearchBySpecieslhylbatesmoloch. [7Juni 20071
Satwa ini tidak rnerniliki efek negatif bagi rnanusia. Selain itu juga bukan rnerupakan surnber perekonornian yang penting bagi rnanusia. Satwa ini juga tidak digunakan untuk penelitian biornedis, tidak seperti jenis satwa prirnata lainnya. Owa terkadang diburu untuk dijadikan rnakanan dan perdagangan ilega~'~. 2.1.8 Status Konservasi
Meskipun owa telah dilindungi sejak tahun 1931 rnelalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266, yang kernudian diperkuat dengan Undangundang No. 5 tahun 1990 dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 3011Kpts1111991, populasinya di alarn terus rnenyusut. Pada tahun 2004, Vincent Nijrnan (peneliti dari Zoological Museum) mengindikasi jurnlah owa liar di Pulau Jawa hanya sekitar 4100 sarnpai 4500 ekor (Bukhorie 2007). Ancarnan terbesar berasal dari penyusutan habitat alarni (deforestasi hutan hujan tropis) karena penebangan dan pernbukaan lahan pertanian. Tanpa luas daerah jelajah yang rnernadai, spesies owa, seperti spesies tropis lain, akan sangat sulit untuk bertahan. Ancarnan lain berupa perburuan ilegal untuk rnakanan dan perdagangan satwa juga turut berperan dalarn penurunan populasi owa dan rnerupakan ancarnan kedua terbesar setelah deforestasi (Bukhorie 2007; Supriatna & Wahyono 2000). Satwa prirnata endernik ini rnerupakan salah satu satwa prirnata Indonesia yang harnpir mendekati kepunahan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) rnengategorikan owa dalarn Appendix I yaitu sebagai spesies satwa liar yang secara internasional dilarang diperdagangkan dalarn segala bentuk dan terancarn punah jika perdagangan tidak dihentikan (Soehartono & Mardiastuti 2003). Selain itu, owa juga lennasuk kategori critically endangered (kritis) dalarn Red List of Threatened Species dari IUCN (The lnternational Union for the Conservation of Nature and Natural Resources). Suatu takson dikatakan kritis bila takson tersebut menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alarn dalarn waktu dekat, yaitu lebih dari 50% selarna lirna tahun (Prirnarck et al. 1998). Sebagai upaya penyelamatan satwa prirnata ini telah didirikan tarnan nasional dan pusat rehabilitasi, narnun belurn ada program konsewasi yang spesifik untuk H. moloch.
I0
hRp:/lanimaldiversity.ummz.umich.edu/sit accountslinforrnationIHylobates~moloch.htrnl[27 April 2007)
2.1.9 Penyakit pada Satwa Primata
Sedikitnya penelitian terutarna dari aspek rnedis yang pernah dilakukan terhadap owa, menyebabkan sulitnya menemukan literatur yang membahas penyakit spesifik pada owa. Pada umurnnya literatur rnencanturnkan penyakit pada satwa prirnata secara urnurn sebagai perbandingan untuk rnengetahui dan memahami penyakit pada owa. Penyakit satwa prirnata pada urnurnnya disebabkan bakteri, virus, jamur, dan parasit (cacing, protozoa, dan ektoparasit). Enteritis dan pneumonia rnerupakan penyakit utama yang dapat rnenyebabkan kematian. Satwa primata juga dapat rnernbawa zoonosis yang berbahaya pada rnanusia seperti hepatitis dan rnarburg (Sajuthi 1991 dalarn Fauzi 2006). Penyakit viral rnerupakan penyakit yang paling berbahaya terutarna yang bersifat zoonosa. Penyakit viral yang rnenginfeksi satwa prirnata antara lain virus cacar (monkeypox, benign epidermal monkeypox, molluscum contagiosurn, dan virus yaba), virus herpes, rnesles (rubeola), hepatitis, yellow fever, poliomyelitis, rabies, dan virus rnarburg (Martin 1978). Penyakit bakterial yang utama diternukan adalah tuberculosis, pneumonia. dan
enteritis.
Pneumonia
disebabkan
oleh
Streptococcus pnemoniae,
Haemophilus influenza, Klebsiella pnemoniae, dan Bordetella bronchiseptica. Adapun enteritis disebabkan genus Shigella, Salmonella dan Campylobacter (Sajuthi 1991 dalarn Fauzi 2006). Penyakit
parasitik
disebabkan
oleh
ektoparasit
dan
endoparasit.
Ektoparasit antara lain kutu, tungau, dan caplak. Ektoprasit yang sering ditemukan adalah Psoroigates sp, Sarcoptes scabiei, Pediculus abtusus, dan yang paling berbahaya terdapat di tractus respiratorius yaitu Pneumysus simicola. Endoparasit, yaitu cacing dan protozoa, sebagian besar rnerupakan 1
parasit usus. Cacing yang rnenyebabkan penyakit pada satwa prirnata adalah Oesophagostornurn sp,
Strongylus sp,
Trichostrongyloides, dan
Filaria
(Dipetalomena sp dan Tetrapetalomena sp). Kecuali jenis terakhir, sernua jenis cacing ditemukan di saluran pencernaan. Protozoa yang rnenyerang satwa primata diantaranya Balantidium coli, Entamoeba sp, Giardia sp, Plasmodium braziliniurn, dan Plasmodium simiae. (Sajuthi 1991 dalarn Fauzi 2006). Penyakit jamur atau derrnatopitosis disebabkan oleh spesies dari Microsporurn dan Trichophyton. Derrnatophitosis menyebabkan lesi berbentuk ringworm dengan alopecia, lesi berbentuk bulat, dan berkerak (Martin 1978).
Penyakit lain yang menyerang satwa prirnata antara lain dilatasi larnbung akut (bloat), penyakit rnulut, intususepsi, volvulus, hernia, prolaps rektal dan vaginal, hernia perineal dari vesica urinaria, perlukaan, dan keracunan. Penyakit rnulut rneliputi rnasalah gigi dan abses pada gusi (Martin 1978).
2.2 Medik Konservasi 2.2.1 Pengertian Dalarn Ensiklopedi Wikipedia (2006)11, disebutkan bahwa definisi rnedik konservasi adalah suatu bidang yang rnelintasi berbagai disiplin ilrnu yang mempelajari hubungan antara kesehatan hewan dan rnanusia, serta kondisi lingkungan. lstilah lain untuk bidang ini adalah rnedik ekologi, rnedik lingkungan, atau geologi rnedik. Weinhold (2003) rnenjelaskan bahwa konsep yang dimaksudkan untuk mencari hubungan antara penyakit pada lingkungan, satwa liar, dan manusia telah muncul sejak lama, narnun unsur-unsur dari konsep ini masih berdiri sendiri dan belurn rnenjalin kerjasarna satu sarna lain. Untuk rnernulai penyatuan berbagai unsur dalarn hubungan potensial ini, dicetuskan istilah 'rnedik konservasi' pertarna kali pada tahun 1996 dalarn artikel "Wildlife, People, and Development" yang dipublikasikan oleh jurnal "Tropical Animal Health and Production". Lelana (2004) rnendefinisikan rnedik konservasi sebagai segala urusan yang berhubungan dengan penanganan rnedis rnaupun keterlibatan tenaga rnedis secara langsung ataupun tidak langsung dalarn program pelestarian satwa liar dan darnpaknya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Selain itu, medik konservasi juga rnerupakan salah satu strategi Sistern Kesehatan Hewan Nasional dalarn rnengharrnonikan kesehatan hewan, rnasysrakat, dan lingkungan (Rancangan Undang-undang Kehewanan, Pengganti UU No. 611967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan) serta strategi dalarn pelestarian spesieslplasrna nutfah berikut habitatnya.
2.2.2 Ruang Lingkup Medik konservasi rnencakup hubungan antara petugas rnedis, pengelola satwa liar, dan satwa liar itu sendiri (Garnbar 3). Dalarn irnplenietasinya pada lernbaga konservasi eksitu, rnedik konservasi rnerupakan kesatuan program " ht!p:l/en.wikipedia.orglwikilsnnservationmedicine [22 April 2007;
pemeliharaan, medis, dan penangkaran, sebagai upaya mewujudkan kualitas kehidupan satwa, manusia, dan lingkungan yang optimal. Menurut Lelana (2007), secara garis besar implementasi medik konservasi dikategorikan dalam empat tindakan yaitu (1) preventif, sebagai upaya pencegahan penyakit pada individu dan populasi satwa liar terutarna zoonosis; (2) kuratif, yang meliputi tindakan pengobatan atau pengurangan sakit dan penyakit; (3) rehabilitatif, merupakan upaya pemulihan keadaan dan fungsi tubuh normal setelah relokasi dan sakit; serta (4) promotif, yang betujuan meningkatkan kualitas kehidupan satwa secara biologis.
c ? e t u a a s Medis
. •
pernantapan regulasi biologis satwa liar pengembangan medis reproduksi penanganan dan pemulihan animal welfare penanganan kasus klinis pengendalianzoonosis dan penyakit satwa liar penentuan status rnedik konservasi safwa liar
Satwa Liar
sating ketergantungan dalam program konservasi satwa liar pengambilan keputusan status medis berbasis pengetahuan dan profesionalisme sistem peringatan dini pendidikan pengelola satwa liar Pengelola S. Liar
Gambar 3 Ruang lingkup medik konservasi (Lelana 2004) 2.2.3 Peranan Dokter Hewan
Masuknya dokter hewan spesialis satwa liar dalam badan konservasi dunia IUCN Specialis Survival Commision menunjukkan peran aktif dan legalitas dokter hewan dalam dunia konservasi. Menurut Lelana (2004), peranan dokter hewan dalam proses medik konservasi khususnya pengelolaan satwa primata antara lain sebagai (1) kontrol fisiologi, (2) kontrol adaptasi, (3) kontrol mikrobiologi, (4) kontrol kualitas, (5) kontrol reproduksi, (6) kontrol genetik, (7) kontrol behaviour, dan (8) kontrol animal welfare (Gambar 4).
Kontrol Adaptasi
Penyitaan
ZooBSafari 8
KontrolAnimal Welfare
Gambar 4
I
Diagram alir peranan dokter hewan dalam proses medik konservasi satwa liar (Lelana 2004)
Menurut Martin (1991), kinerja dokter hewan termasuk dalam lingkup perhatian yang luas terhadap kesehatan hewan dan memilki keahlian dalam (1) memonitor status kesehatan individu dan populasi hewan; (2) membantu immobilisasi hewan dan monitor anesthesia, pengoleksian sampel biologi, memaksimalkan pengoleksian data biologi dan medis, dan merespon masalah kesehatan dan krisis medis; (3) manajemen perawatan spesies terancam dalam kandang; serta (4) membantu mendesain strategi untuk monitor dan kontrol masalah penyakit dan transmisinya pada populasi di alam dan kandang.
3 BAHANDANMETODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi kasus dilaksanakan dari Juli hingga Oktober 2007. Pengambilan data dilakukan di empat lokasi yaitu Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) Sukabumi,
Kebun Binatang Surabaya (KBS), Pusat Penyelamatan dan
Rehabilitasi Owa Jawa atau Javan Gibbon Center (JGC) Bodogol Sukabumi, dan Pusat Primata Schrnutzer Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Pengambilan data di tiap lokasi memerlukan waktu 10-14 hari observasi. Studi pustaka dan pengumpulan informasi dilaksanakan dari April 2007 hingga Januari 2008.
3.2 Bahan dan Metode Bahan yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan observasi langsung di lapangan dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap petugas terkait yang mencakup perawat satwa (keeper), teknisi medis, tenaga ahli (dokter hewan dan ahli biologi hewan), serta pihak pengelola. Sedangkan data sekunder bersumber dari laporan kegiatan pemeliharaan dan perawatan owa jawa, catatan kesehatan owa jawa, buku, jurnal, serta penelusuran internet. Data yang diambil meliputi rnanajemen umurn, rnanajemen kandang, rnanajemen pakan, manajemen kesehatan (prosedur karantina, pemeriksaan fisik, deteksi dan kontrol parasit, imunisasi, penyakit yang muncul dan terapinya, serta penyimpangan perilaku), dan manajemen sumberdaya manusia. Data dianalisa menggunakan metode analisa deskriptif dan dikonfirmasikan dengan . konsep rnedik konservasi melalui Diagram lshikawa sebagai berikut: Peramow
Peminlah PUiai 6 Daeiah
Slslem !~!,nlasi
Finansial
Saram
Pnsanna
Program Keja
avsksio
Klien: Pengelola Saiwa Liar
'*
Spener
ObatMbatan
Hahitai
Tenaga Medis
s3wa uar
Penunta
Sahva
Gambar 5 Diagram lshikawa sistern rnedik konservasi satwa liar (Lelana 2004)
lnforrnasi yang dikurnpulkan diajukan dalarn daftar pertanyaan berikut: Program Pemeliharaan Manajemen Sumberdaya Manusia
1. Apakah petugas rnenggunakan pakaian dan peralatan khusus saat berada di area kandang rnaupun saat rnenangani owa? Peralatan apa yang digunakan? 2. Apakah digunakan footbath di pintu area kandang, karantina, gudang pakan, dan klinik hewan? Desinfektan apa yang digunakan? 3. Apakah dilakukan perneriksaan kesehatan rutin terhadap petugas terkait?
Prosedur apa yang dilakukan? 4. Apakah dilakukan irnunisasi rutin terhadap petugas? lrnunisasi apa yang diberikan dan berapa frekuensi pernberiannya? 5. Apakah dilakukan pelatihan khusus bagi petugas yang rnenangani owa?
6. Apakah diterapkan larangan rnerokok, rnakan, dan rninurn di area kandang? 7. Apakah dilakukan evaluasi rutin terhadap kinerja petugas? Manajemen Perkandangan 1. Apakah tersedia area karantina bagi owa yang baru datang? Fasilitas apa yang tersedia? Apakah area tersebut sudah rnernenuhi persyaratan? 2. Bagaimana jenis kandang yang digunakan? Apakah sudah rnernenuhi persyaratan sebagai kandang yang ideal? 3. Apakah ukuran kandang cukup sesuai dengan jumlah dan urnur owa?
4. Apakah terdapat kandang khusus untuk rnerawat owa sakit atau owa yang rnasih rnuda (infant dan juvenile)? 5. Apa saja pengkayaan lingkungan kandang yang diberikan? Apakah dapat rnernenuhi kebutuhan owa untuk rnengekspresikan perilaku alarnin?a? 6. Apakah di sekitar kandang owa terdapat kandang lain yang berdekatan?
Bagairnana kondisi pernisahan antar kandang?
7. Berapakah
frekuensi
pernbersihan
kandang?
Bagairnana
sistern
pernbersihan yang diterapkan? Apakah sudah rnernenuhi standar? 8. Apakah sistern drainase air dan pernbuangan kotoran rnenjadi perhatian
dalarn desain kandang? 9. Apakah kandang dan lingkungan sekitar cukup bersih dan bebas sampah?
10. Bagairnana sistern kearnanan kandang yang digunakan? apakah cukup
rnenjarnin keselarnatan satwa, petugas, dan pengunjung?
Manajemen Pakan 1. Berapakah frekuensi pernberian pakan? 2. Apa saja variasi pakan yang diberikan? 3. Apa yang rnenjadi pertirnbangan dalarn penentuan variasi dan kuantitas pakan? 4. Apakah kualitas dan kuantitas pakan sudah rnernenuhi kebutuhan owa? 5. Apakah pakan yang diberikan diyakini dirnakan oleh owa? 6. Apakah dilakukan evaluasi pakan secara rutin? Apakah rnelibatkan ahli
nutrisi dan dokter hewan?
7. Darirnana pengelola rnendapatkan suplai pakan? Apakah pendistribusiannya rnernperhatikan faktor higiene dan sanitasi? 8. Apakah penyirnpanan, persiapan, dan pernberian pakan rnernperhatikan
faktor higiene dan sanitasi? 9. Bagairnana cara pendistribusian pakan dalarn kandang?
10. Apakah terdapat wadah khusus untuk pakan dan air rninurn? Apakah sanitasi wadah rnenjadi perhatian petugas? 11. Apakah selalu tersedia air rninurn bersih dalarn kandang? Darirnana surnber air yang digunakan? 12.Apakah kebersihan dan kualitas air terkontrol sehingga bebas dari kontarninasi bakteri, parasit, agen infeksius, dan zat kirnia berbahaya? 13. Apakah pernah terjadi rnasalah kesehatan yang disebabkan pakan? ~s tujuan tertentu? 14. Apakah dilakukan pernberian pakan k h u s ~ dengan 15. Apakah dilakukan pernberian suplernen vitamin dan mineral? 16. Apakah pernberian pakan oleh pengunjung rnenjadi perhatian khusus oleh
pengelola? Apa tindakan yang dilakukan untuk rnencegah ha1 tersebut? Manajernen Pengendalian (Restrain) 1. Bagairnana teknik pengendalian owa yang diterapkan? 2. Anesthetik apa yang digunakan dan berapa dosis yang diberikan? 3. Apabila terjadi translokasi, apzkah prosedur pernindahan owa telah rnernenuhi standar animal welfare? Manajernen Data dan informasi 1. Apakah dilakukan pencatatan rutin untuk setiap inforrnasi yang berkaitan
dengan perawatan owa? 2. Apakah dilakukan penandaan untuk rnernpermudah identifikasi owa?
Program Medis
1. Apakah pemeriksaan kesehatan rutin dilakukan? Berapakah frekuensi pemeriksaan tersebut? 2. Prosedur apa yang dilakukan dalam pemeriksaan rutin? 3. Apakah dilakukan vaksinasi secara rutin? Vaksin apa yang diberikan? 4. Apakah tersedia fasilitas peralatan medis? Apakah cukup lengkap dan terawat? 5. Apakah terdapat fasilitas atau ruang khusus untuk rnenangani owa sakit atau terluka? 6. Apakah tersedia area karantina bagi owa yang baru datang maupun owa
yang rnenderita penyakit menular? Apakah area tersebut sudah rnernenuhi persyaratan?
7. Apakah dilakukan pencatatan rutin terhadap kejadian medis dan tindakan pengobatannya (medical record)?
8. Apakah penanganan owa sakit atau terluka dilakukan dengan segera? 9. Apakah alat transportasi untuk pengobatan selalu tersedia?
10. Kasus medis apa yang pernah terjadi pada owa dan bagairnana cara penanganannya? 11. Apakah pernah terjadi wabah penyakit? Apakah dilakukan investigasi lebih lanjut? 12. Apakah terjadi penyimpangan perilaku pada owa? Faktor apa yang rnenjadi penyebabnya? 13. Apakah dilakukan pemeriksaan postmortem? Apakah fasilitas perneriksaan tersebut tersedia dan memadai? 14.Apakah pernah dilakukan euthanasia terhadap owa? Alasan apa yang mendasari tindakan tersebut?
*
Program Penangkaran 1. Apakah
dilakukan
program penangkaran? Sejauh rnana tingkat
kesuksesan program tersebut? 2. Bagairnana teknik penangkaran yang diterapkan? 3. Apa upaya yang dilakukan untuk rneqgatasi terjadinya kasus kematian
pada owa jawa yang baru lahir?
4 HASlL DAN PEMBAHASAN lrnplernentasi rnedik konservasi pada owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) telah dipelajari di ernpat lernbaga konservasi eksitu, yaitu Pusat Penyelarnatan Satwa Cikananga (PPSC), Kebun Binatang Surabaya (KBS), Pusat Rehabilitasi Owa Jawa atau Javan Gibbon Center (JGC), dan Pusat Prirnata Schrnutzer, Tarnan Margasatwa Ragunan (PPS, TMR). Profil tiap lernbaga tersebut disajikan dalarn Tabel 1. Menurut Conway 1980, Dresser 1988,
& Seal 1988 dalarn Prirnack et a/. (1998), pada prinsipnya lernbaga konservasi ini harus marnpu rnenjalankan strategi konservasi eksitu, yaitu upaya mencegah kepunahan spesies
dengan
rnernelihara individu-individu dalarn kondisi
terkendali di bawah pengawasan rnanusia. lndividu dari populasi eksitu dapat direintroduksi ke alarn secara berkala untuk rnernperbesar upaya konservasi yang sedang berjalan. Menurut Turnbelaka (2003) populasi eksitu juga dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan dan penelitian, serta salah satu piogiaiii hubungan masyarakat. Tabel 1 Profil lernbaga konservasi eksitu Contoh Lernbaga Konservasi KB Surabaya JGC
Profil
PPS Cikananga
Kelembagaan Pendanaan
LSM Pernerintah dan LSM Penarnpungan. rehabilitasi, pelepasliaran kernbali, dan pendidikan konse~asi
Swasta Swasta
LSM LSM
Pernerintah Pernerintah
Peragaan, breeding, dan pendidikan k0nseNasi
Rehabilitasi, pelepasliaran kernbali, dan pendidikan k0nseNasi
Peragaan, breeding, dan pendidikan konse~asi
Desa
Surabaya, Jawa Tirnur
Desa Bodogol, Sukaburni, Jawa Barat
Ragunan, DKI Jakarta
Ada
Ada Ada Ada Ada
Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Ada Ada Ada Ada
Ada Ada
Ada Ada
Tidak ada Tidak ada
Ada Ada
Tujuan
Lokasi
Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat Sarana dzn Prasarana t Klinik satwa t Nursery t Karantina t Ruang nekropsi t krematoriurn t Perpusta-
Ada Tidak ada Ada
Schrnutrer, TMR
n
Studi kasus implementasi medik konsewasi dilakukan terhadap seluruh individu owa yang ada dan pernah ada di empat lokasi studi. Dari hasil pendataan diketahui terdapat 61 ekor owa dengan deskripsi 15 ekor di PPS Cikananga (Juli 2007), 10 ekor di KB Surabaya (Desernber 1999-Agustus 2007), 6 ekor di JGC (Maret 2003-Agustus 2007), dan 30 ekor di Pusat Primata
Schmutzer, TM Ragunan (Agustus 2002-September 2007). Distribusi sampel secara lengkap tersaji dalam Tabel 2. Profil masing-masing individu owa disajikan pada Lampiran 1. Dari seluruh individu yang pernah ada, tercatat 48 ekor owa masih ada hingga saat studi dilakukan dan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 2 Distribusi owa jawa berdasarkan jenis kelamin dan umur di empat lokasi studi (Desernber 1999-September 2007) Kiasifikasi Jenis Keiamin Jantan Betina Unknown Umur Infant Juvenile Remaja Dewasa Unknown Total
..
%
Jumlah Owa Jawa JGC Schmuker. TMR
PPS Cikananga
KB Surabaya
Total
%
11 4
6 3 1
3 3
15 13 2
35 23
57,4 37,7 4.9
. .
4 1
-
2
1 5
6 20 2 30 49,2
6 1 16 35 3 61 100
9
.
6
4
15
1 10
24,6
16,4
.
6 9,8
-
3
9,8 1,7 26,2 57,4 4,9 100
Tabel 3 Distribusi owa jawa saat sudi dilakukan berdasarkan jenis kelamin dan umur di empat lokasi studi (Juli-September 2007) Klasifikasi Jenis !<elamin Jantan 0 Betina 0 Unknown Umur Infant Juvenile Remaja * Dewasa Unknown Total
PPS Cikananga
KB Surabaya
11 4
3 2
Schmuker, TMR
T o r
3
?I
3
10 1
28 19 1
58,3 39,6 2-1
1
2
4.2 2.1 22,9 64,6 6-2 100
-
1 .
9 6
-
15
-
1 1
2 1 5
%
JGC
5
1 18
6
22
2
I
11 31 3 48
Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3, dapat diketahui bahwa sebagian besar owa berjenis kelarnin jantan. Dua ekor tidak tercatat jenis kelarninnya dalarn studbook yaitu owa yang rnati saat kelahiran atau prernatur (KB Surabaya dan Schrnutzer) dan sepuluh hari post partus (Schrnutzer). Klasifikasi urnur dilakukan berdasarkan tanggal
kelahiran,
kernatangan seksual atau
kernarnpuan
reproduksi owa, dan estirnasi berdasarkan ciri fisik owa. Tidak ada literatur yang rnenyebutkan secara pasti batasan tahundalarn klasifikasi usia owa. Tiga ekor owa tidak diketahui urnurnya karena tidak adanya catatan tanggal kelahiran dan sulit dilakukan identifikasi urnur. Populasi owa berkurang karena kernatian atau translokasi. Berdasarkan data pada studbook dan catatan rnedis, tercatat terjadi delapan kasus kernatian dari Februari 2002 hingga September 2007. Data kernatian owa di ernpat lokasi studi disajikan dalarn Tabel 4. Tabel 4 Data kernatian owa iawa berdasarkan ienis kelamin dan urnur di ernpat iokasi studi ( ~ e b r u a2002-~e~ternber2007) i Jumlah Owa Jawa Klasifikasi PPS KB JGC Schmutzer, Total % Cikananga Surabaya TMR Jenis Kelamin Jantan 3 1 4 50 . 1 1 12.5 Betina 2 3 37,5 Unknown 1 Umur . 2 5 62.5 infant 3 . . Juvenile . . 1 1 12,5 Remaja 2 2 25 Dewasa . Unknown Total 5 3 8 100
. .
Sebagian besar kernatian terjadi pada infant (62.5%) dikarenakan kelahiran prernatur dan kondisi yang sangat lernah. Satu kasus terjadi pada owa betina dewasa di KB Surabaya yang rnengalarni distokia, satu kasus pada owa jantan rernaja di Schrnutzer dikarenakan penyakit infeksius yang diderita sejak owa berada pada pernilik sebelurnnya, dan satu kasus lain pada owa jantan dewasa di KB Surabaya terjadi karena trauma. Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dipelajari bahwa kernatian tertinggi terjadi di KB Surabaya yang rnerniliki jurnlah owa infant terbesar.
1----7 Total data indiudu
1 mJurnlah individu saatstudiiI 1 dilakukan 1
Jumlah
Jumlah kematian
II
PPS KBSurabaya Cikananga
JGC
i
Schmher, TMR
I
Lembaga KonservasiEksitu
Gambar6 Populasi dan jumlah kematian owa jawa di empat lokasi studi (Desember 1999- September 2007) Berdasarkan
hasil
studi,
diperoleh
gambaran
bahwa
untuk
mengimplementasikan medik konservasi pada owa jawa, harus diterapkan (1) program pemeliharaan, (2) program medis, dan (3) program penangkaran yang baik (good care, medical, and breeding practices). Penerapan program-program ini melibatkan berbagai unsur dalam lembaga konservasi eksitu, diantaranya petugas medis (dokter hewan dan teknisi medis veteriner), petugas lapangan (pihak pengelola dan perawat owa), dan owa itu sendiri. 4.1 Program Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices)
Berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat disarikan bahwa program pemeliharaan yang baik (good care practices) perlu didukung dengan manajemen di bidang (1) sumberdaya manusia, (2) perkandangan, (3) pakan, (4) pengendalian (restrain), dan (5) pendataan. Menurut PKBSl (1995), terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhatikan dalam perawatan satwa primata, yaitu: (1) aspek kebutuhan biologis, meliputi tersedianya ruang gerak, makan dan minum yang memadai, udara dan cahaya yang cukup, lingkungan yang merangsang psikomotoris dan tingkah laku, serta pasangan untuk bersosialisasi, berinteraksi, dan berkembangbiak; (2) aspek kesejahteraan (animal welfare), meliputi bebas dari kelaparan dan kehausan, bebas dari rasa takut dan menderita, bebas dari rasa sakit, penyakit, dan luka, bebas dari ketidaknyamanan suhu dan fisik, serta bebas untuk mewujudkan perilaku alaminya; serta (3) aspek perlakuan (treatment) yang diberikan untuk menjaga satwa tetap bebas dari kuman patogen.
4.1.1 Manajernen Surnberdaya Manusia (SDM) Profil rnanajernen SDM di ernpat lokasi studi disajikan pada Tabel 5. Secara garis besar, rnanajernen SDM rneliputi penentuan kornpetensi SDM yang tersedia, prosedur kearnanan bagi petugas agar tetap higienis dalarn bekerja, prosedur yang berhubungan dengan kesehatan petugas seperti perneriksaan rutin dan irnunisasi, pelatihan petugas, serta evaluasi kinerja rutin.
Tabel 5 Manajernen surnberdaya rnanusia di ernpat lokasi studi Profil PPS KB Surabava JGC .~~~ Cikananga Kompetensi SDM t Tenaga ahli Dokter hewan, Dokter hewan, Kurator, dokter kurator kurator, parahewan panggil medis satwa (periodik) ~
~
Perawat satwa Prosedur iceamanan t Pakaian dan peralatan khusus t
t
footbath
t Larangan
Schmuker. TMR Dokter hewan, kurator, paramedis satwa
SMP-S1
SD-SMA
SMP-SMA
SMA, D3vet,S1
Wearpack, sarung tangan. masker, sepatu boot
Sepatu boot
Sarung tangan, sepatu boot
Wearpack, sarung tangan, masker, sepatu boot
Ada (tectrol, carbol)
Tidak ada
Tidak ada
Ada (Longlife, carbol)
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
makan, minum, & merokok di area kandang t Pelatihan pe-
nanganan awa Prosedur kesehatan t frekuensi dan prosedur pemeriksaan t imunisasi
Evaluasi kinerja
, Tiap 6 bulan (TBC, hepatitis
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada (hepatitis B) Ada
Tidak ada
B) Ada (hepatitis B Tidak ada dan rabies) Tidak ada Tidak ada
Tidak ada
Pada urnurnnya SDM yang bekerja dengan owa rneliputi petugas dengan kornpetensi sebagai kurator (ahli perilaku dan biologi satwa), dokter hewan, pararnedis, dan perawat satwa. Menurut Silberrnan (1993), setiap petugas harus
(a) rnengetahui dan rnelaksanakan prosedur kearnanan, (b) rnengetahui dan waspada terhadap perilaku agresif owa, (c) terlatih dalarn rnengendalikan owa dan higiene personal, serta (d) selalu ingat potensi substansi berbahaya dan resiko yang rnungkin diternui di lapangan terrnasuk potensi zoonosis. Berdasarkan pengarnatan di
lapangan,
ernpat
lokasi
studi telah
rnenerapkan prosedur kearnanan kerja dengan tingkat berbeda-beda. Standar prosedur kerja yang higienis harus diterapkan secara ketat dan disiplin. Silberrnan (1993) rnenyatakan bahwa perawat satwa wajib rnenggunakan perlengkapan khusus saat bekerja yang rneliputi pakaian khusus (wearpack), masker, sarung tangan, dan sepatu boot. Setelah bekerja, perawat wajib mencuci tangan, kaki, dan bagian tubuh terbuka lainnya. Pakaian dan sepatu harus didesinfeksi dan disirnpan di ternpat khusus. Selain itu juga dilakukan pelarangan rnakan, rninurn, dan rnerokok di area kandang. PPS Cikananga dan Schrnutzer menerapkan penggunaan bak cuci kaki (footbath) yag dirnaksudkan untuk rnencegah penyebaran kurnan dan bibit penyakit patogen di lingkungan sekitar. Footbath digunakan di pintu rnasuk dan keluar gedung karantina, area kandang, gudang pakan, dan ternpat persiapan pakan. Bak ini diisi dengan larutan desinfektan Tectrol (PPS Cikananga) atau Longlife (Schrnutzer). PPS Cikananga juga rnenyediakan bak besar berisi desinfektan untuk rnensuciharnakan kendaraan yang rnasuk dan keluar area kandang, terutarna karantina. Menurut PKBSI (1995), untuk rnencegah penyebaran kurnan, idealnya perawat satwa yang bertugas di karantina hanya bekerja di bagian tersebut dan tidak berpindah ke ternpat lain. PPS Cikananga rnelakukan prosedur perneriksaan kesehatan petugas pada awal rnasa tugas dan secara rutin tiap enarn bulan yang rneliputi perneriksaan TBC dan hepatitis B. Selain itu juga dilakukan irnunisasiqhepatitisB dan rabies. Silberrnan (1993) rnenyatakan bahwa sebelurn dan selarna bekerja, petugas harus rnenjalani perneriksaan fisik, terrnasuk pencatatan sejarah rnedis lengkap. Selarna perneriksaan, dilakukan uji TB intraderrnal dan rontgen dada, perneriksaan parasit pada feses, perneriksaan darah, dan pengarnbilan serum. Heuschele (1978) dan Silberrnan (1993) rnerekornendasikan uji TB intraderrnal dan perneriksaan kesehatan rutirt dilakukan tiap ernpat hingga enam bulan, irnunisasi tetanus tiap sepuluh tahun, serta irnunisasi rabies dan hepatitis B. Selain itu, perlu dilakukan pencatatan terhadap setiap hasil perneriksaan rutin, irnunisasi, kejadian penyakit, dan kecelakaan kerja pada petugas.
4.1.2 Manajemen Perkandangan Profil manajemen perkandangan di empat lokasi studi disajikan pada Tabel
6. Pada tabel tersebut dapat dipelajari unsur fisik kandang, unsur pengayaan kandang, sistem sanitasi kandang, dan sistem keamanan kandang.
Tabel 6 Manajemen perkandangan owa jawa PPS KB Surabaya Profil Cikananga Fisik t bentuk, Kandang JK. tertutup jenis, & tertutup (Karantina: ukuran (karantina: 1,3xZx2 rn; 1,5xI,5x2 rn; k. peraga nursery: sosialisasi: 52x30~35cm 1,5xI,5x3rn) & l,lxl,2xlrn) JK. Pulau (+120rn2) t unsur
Karantina: dinding kerarnik dan besi; sosialisasi: dinding kawat, besi, dan kayu
Karantina: dinding kerarnik & besi; kandang nursery: besi & papan kayu; hook k. pulau: dinding bata & kerarnik: k. pulau: tanah
di empat lokasi studi JGC Schumker, TMR Kandang JKandang tertutup tertutup (karantina: (sosialisasi: 3xIx1.9 rn; k.Z 13,5~4,8~2,78rn peraga: 59 rn x 9,2 rn&68 rnZ k. penjodohan: x14,5rn) kondisional, sesuai jarak JKandanq pulau pohon yang (f150 rn ) tersedia) Karantina & hook Karantina: besi k. peraga: dinding & kawat; kerarnik, besi; k.sosialisasi: k. peraga: dinding dinding kawat & kawat dan besi, tanah; besi, lantai semen; k.penjo- k. pulau: tanah dohan: dinding kawat & baiana pohon, tanah
-
Pengayaan t kandang
Ada
Karantina&nursery: tidak ada; K. pulau: ada
Ada
Ada
Ada
Karantina & k. pulau: tidak ada; Nursery&hook k pulau: ada
Ada
Ada;
Tali, ayunan, batang pohon
Karantina&hook k. pulau: kayu; Nurseyayunan; K. ~ulau:rurnah kecil,pohon rnati
Tali, batang pohon
~ara;tina&hook k. peraga:tali; K. peraga:pohon artifisial:. K.~ulau: . pohon alarni
2x sehari (07.00 dan 15.00)
Karantina:2x sehari (09.00 dan 15.00); Nursery: tiap saat jika kotor; Hook K. pulau: Ixsehari; K. pulau:kondisiona!
2x sehari (06.30 dan 14.00)
K. peraga: sekali dalarn 2 hari; K. pulau:-; Karantina: I x sehari (08.00)
malam (hook) t wadah
pakan & air minum t sarana
bermain
Sistem sanitasi t frekuensi
+ metode
Sistern basah
Karantina. nursery &hook k. pulau: sistern basah; K. pulau & k. peraga nursery: sistern kering
Sistern basah
Karantina & hook k.peraga: sistern basah; K. peraga & k. pulau: sistern kering
+ peralatan
Sapu lidi, karet pernbersih, selang air, rnea;,i penye.:? prot, kayu, desinfektan
Sapu lidi, pengki, pel, -karet ;mbersih, selang air, desinfektan
Sapu lidi, pengki, karet pernbersih. selang air
Sapu lidi, pengki, karet pernbersih, selang air, desi,fc!dan
Ada (harna tikus) Pintu geser, kandang jepit
Ada (harna tikus) Pintu geser, parit (k. pulau)
Tidak ada
Ada (hama tikus)
Pintu ganda, kandang jepit
Pagar pernbatas, pintu geser, pintu ganda,gang(hook), parit (K.pulau)
& bahan
+ kontrol hama Sistem keamanan
Berdasarkan studi dapat digarnbarkan bahwa bentuk kandang owa secara urnurn terbagi dua jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka (pulau). Kandang tertutup adalah kandang yang dibatasi atap dan dinding, baik berbahan kawat, besi, kaca, plastik, atau bata (Lampiran 2). Adapun kandang terbuka berupa ternpat terbuka yang tidak ditutupi oleh apapun dan biasanya dikelilingi parit sebagai pengarnan, sehingga disebut juga kandang pulau (Lampiran 3). Pernilihan bentuk kandang dapat disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia, jurnlah owa yang akan diternpatkan, dan tujuan pernbuatan kandang. Meskipun bentuk kandang di tiap lokasi studi bervariasi, urnurnnya faktor yang menjadi perhatian adalah faktor kepentingan satwa dan perawat satwa. Untuk kepentingan satwa, kandang harus dapat rnernenuhi kebutuhan biologis satwa, mernungkinkan perilaku bebas dan alarni, rnernbuat satwa %etah dan nyarnan, serta kandang harus sehat, rnudah dibersihkan dan didesinfeksi untuk rnenghindari penyakit. Adapun untuk kepentingan perawat satwa, kandang harus rnernungkinkan perawat satwa bekerja rnaksirnal dan seaman rnungkin, serta dapat rnendekati satwa sedekat rnungkin narnun tetap arnan. Untuk kandang karantina, selain rnernenuhi syarat tersebut juga harus rnarnpu mencegah terjadinya penularan zoonosis. Untuk kandang peraga, faktor lain yang harus diperhatikan adalah kepentingan pengunjung, dirnana kandang harus rnenarik dan rnernudahkan pengunjung rneiihat perilaku satwa, serta arnan.
Menurut Sozer (2005)", kandang dapat dikatakan ideal jika merniliki luas yang cukup bagi pergerakan owa, dirnana kandang yang sernakin luas akan sernakin baik. Antar kandang sebaiknya rnemiliki jarak cukup jauh atau dipasang penyekat untuk rnernperkecil kontak antar owa sehingga dapat rnengurangi tingkat stress. Kandang juga harus dilengkapi pengayaan yang dapat mendukung aktivitas alarni owa seperti brankiasi. Menurut
PKBSI
(1995),
perkandangan
sangat
rnernpengaruhi
perkembangan satwa, terutarna perilakunya. Karena itu, sedapat rnungkin lingkungan kandang harus mirip dengan habitat alaminya, sehingga dapat mengurangi rnunculnya kelainan perilaku. Untuk mewujudkan ha1 ini, perlu dilakukan pengayaan lingkungan atau environmental enrichment yang bertujuan rnengurangi timbulnya kebosanan dan perilaku yang tidak diinginkan pada satwa yang dikandangkan. Selain itu, pengayaan kandang dapat meningkatkan dayatarik dan nilai pendidikan dari peragaan satwa. Pemasangan tali, ayunan, dan batang pohon dalarn kandang dapat mendorong rnunculnya perilaku brankiasi owa. Pernberian pohon, baik alarni rnaupun artifisial, juga dapat dijadikan ternpat beraktivitas dan rnernberikan irnajinasi habitat alami owa. Tempat rnakan dan rninurn juga harus dipertirnbangkan sebagai pengayaan kandang. Material pengayaan harus arnan, tidak terdapat bagian tajarn, dan diletakkan pada ternpat yang tepat sehingga rnernperkecil resiko trauma dan kecelakaan pada owa. Sebagai tempat bernaung di rnalarn hari dan melindungi diri dari cuaca buruk, kandang harus dilengkapi dengan kandang rnalarn atau hook. Berdasarkan pengarnatan di lapangan terdapat dua bentuk hook. Pertarna, seperti terdapat di PPS ~ikanangadan kandang penjodohan JGC, hook berupa kotak kayu kecil dengan bagian depan setengah terbuka dan diternpatkan di dalarn kandang. Kedua, seperti terdapat di KB Surabaya, kandangsosialisasi JGC, dan Schrnutzer, hook berupa bangunan di belakang kandang peraga dengan panggung kayu untuk ternpat owa beristirahat, dan dihubungkan dengan kandang peraga rnenggunakan pintu geser (guillotine door) yang dapat dibuka dari luar oleh perawat satwa. Penghubung juga dapat berupa lorong sehingga rnerangsang aktivitas pergerakan owa. Menurut PKBSl (1995), sebaiknya pakan terakhir
diberikan dalarn hook,
sehingga owa
akan
rnerasa
nyarnan
menggunakan kandang tersebut. Larnpu pernanas sangat diperlukan untuk rnernpertahankan suhu lingkungan kandang. I2
Rezit Sole;, man2je; PPS Cikanangn
L
Garnbar 7 Contoh pengayaan kandang (a) rurnah kecil pada kandang pulau di Kebun Binatang Surabaya, (b) pohon artifisial pada kandang peraga di Pusat Prirnata Schrnutzer, dan (c) hook (dilingkari) dan tali pada kandang sosialisasi di PPS Cikananga Berdasarkan standar CDC (Center for Disease Control), tiap lernbaga konsewasi eksitu harus rnerniliki area atau gedung karantina yang terpisah dari area kandang (Mootnick 1997). Area karantina berfungsi sebagai tempat preconditioning bagi satwa yang baru rnasuk (translokasi) dan ternpat perawatan bagi owa yang rnenderita penyakit rnenular. Dikaitkan dengan hasil pengarnatan di lapangan, diperoleh garnbaran bahwa lokasi area karantina di PPS Cikananga dan Schrnutzer terpisah jauh dari area kandang lain dan tertutup. Tiap kandang dalarn area karantina dipisahkan dinding bata yang dilapisi ubin kerarnik untuk mernudahkan pernbersihan kandang. Dasar kandang terpisah i50 crn dari lantai untuk rnencegah owa rnernungut makanan yang terjatuh sehingga rnengurangi resiko owa terpapar kurnan dan agen penyakit. Tiap kandang dihuni oleh satu ekor owa untuk rnerninirnalisir kernungkinan penularan penyakit antar owa.
(a) Gambar 8 Kandang karantina di (a) Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan (b) Pusat Prirnata Schmutzer, TM Ragunan Perawatan owa infant dan juvenile membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus. Untuk itu, KB Surabaya menyediakan nursery sebagai tempat perawatan infant dan juvenile. Owa infant ditempatkan dalam kandang kecil berukuran 52 x 30 x 35 cm dan diberi ayunan sebagai tempat bermain dan tidur. Pada rnalarn hari, kandang ditempatkan dalam inkubator dan diberi selimut untuk menjaga suhu tetap hangat serta tambahan lampu pernanas untuk menurunkan kelembaban ruangan (Gambar 9). Pada pagi dan sore hari, kandang dikeluarkan dari inkubator untuk memudahkan pemberian pakan dan pembersihan owa.
Gambar 9 lnkubator untuk owa infant di nursery Kebun Binatang Surabaya Pada JGC terdapat kandang penjodohan yang dirancang untuk memasangkan owa dalam upaya mewujudkan perilaku alaminya. Prior (2007, komunikasi pribadi)13 menjelaskan bahwa hasil yang diharapkan dari upaya ini "Anton Prior, manajer Javan Gibbon CeVIter
adalah owa mampu membentuk suatu kelornpok sosial sehingga siap untuk dilepasliarkan
kembali.
Kandang
dirancang
sealarni
mungkin,
dimana
pembuatannya memanfaatkan pohon yang ada sebagai penyangga utama kandang. Lokasi kandang terletak di pinggir hutan, jauh dari keramaian untuk meminimalisir kontak dengan manusia. Kandang didisain berbentuk segitiga dengan tujuan memperkecil sudut kandang sehingga mengurangi resiko kecelakaan pada owa. Di dalam kandang diberi pengkayaan yang dapat dijadikan sarana perwujudan perilaku alaminya seperti tali dan batang pohon.
Gambar 10 Kandang penjodohan di Javan Gibbon Center Pembuangan feses, urin, dan sisa pakan dari kandang sangat penting untuk menghilangkan bau tak sedap, mencegah infestasi paras~t dan peningkatan populasi hama, serta memelihara estetika kandang. Berdasarkan studi, diperoleh gambaran bahwa sistem kebersihan kandang di empat lokasi studi di!akukan dengan dua cara, yaitu sistem kering dan sistern basah. Sistem kering, urnumnya diterapkan dengan menggunakan wadah khusus pada dasar kandang guna menampung kotoran dan sisa pakan yang terjatuh. Pada kandang peraga di Schmutzer, pembersihan cukup dilakukan dengan menyapu kotoran dan sisa pakan karena dasar kandang berupa tanah. Pernbersihzn kandang pulau dilakukan dengan memotong rumput yang sudah tinggi dan membersihkan parit pada periode tertentu.
Sistem basah merupakan sistem yang paling sering diterapkan, terutama pada kandang yang tidak memiliki wadah penampung kotoran, atau dengan lantai keramik atau semen. Aplikasi sistem basah ini hampir sama di tiap tempat studi, dimana dilaksanakan minimal sekali sehari. Mula-mula kotoran dan sisa pakan dibersihkan, kemudian air disemprotkan ke lantai, dinding, dan sudut kandang. Setelah disikat, lantai kandang disiram dengan desinfektan Lysol, Virkon, Destan, atau karbol yang dicampur soda api, guna membunuh kuman. Pembuangan air limbah di PPS Cikananga dan Schmutzer dialirkan ke septik tank untuk mencegah te jadinya kontaminasi pada lingkungan sekitar. Berdasarkan wawancara dengan petugas, diketahui kontrol terhadap hama tikus pernah dilakukan di Schmutzer. Hal ini dimaksudkan untuk membasmi tikus sebagai vektor penyakit infeksius, seperti leptospirosis. Kontrol tikus ini dilakukan dengan memasang perangkap dan kotak jebakan sedangkan penggunaan umpan tidak dilakukan karena dikhawatirkan dapat terrnakan oleh owa. Menurut Fowler (1978), tidak mungkin suatu tempat bisa bebas dari hama tikus dan serangga, namun populasinya bisa ditekan hingga level yang rendah dengan menerapkan program pengontrolan aktif. Caranya adalah dengan menyingkirkan air yang menggenang, serta membuang feses dan urin, sehingga serangga tidak memiliki lagi tempat untuk berkembangbiak. Sistem perkandangan yang menjamin keamanan dan keselamatan satwa, perawat satwa, maupun pengunjung telah diterapkan di empat lokasi studi. Aplikasi gang atau jalan lintasan pada hook di Schmutzer dapat duadikan area pengurungan atau penahanan bila owa lepas dari kandang malam. Aplikasi pintu ganda di PPS Cikananga, 'JGC, dan kandang peraga Schmutzer, juga dapat mencegah owa keluar dan melindungi perawat satwa saat pemberian pakan dan pembersihan, dengan mengurung owa di bagian kandang lain (Girnbar 11). Kandang jepit berguna untuk melindungi perawat satwa dan dokter hewan saat dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan pada owa. Pemasangan parit di sekeliling kandang pulau
KB Surabaya dan Schrnutzer berguna untuk
mencegah owa keluar dan terjadinya kontak langsung dengan pengunjung. Pemasangan pagar pembatas di sekeliling kandang peraga Schmutzer juga dapat mencegah pengunjung mendekati kandang.
Gambar 11 Aplikasi pintu ganda pada kandang peraga di Pusat Primata Schmutzer
4.1.3 Manajemen Pakan Profil manajemen pakan di empat lokasi studi ditampilkan dalam Tabel 7. Pada tabel tersebut dapat dipelajari mengenai jadwal pernasokan dan sumber pakan, kontrol yang dilakukan untuk menjaga kualitas pakan, frekuensi pemberian pakan, jenis pakan yang diberikan, ketersediaan air bersih, serta pemberian suplemen untuk rneningkatkan daya tahan tubuh owa. Tabel 7 Manajemen pakan owa jawa di empat lokasi studi Profil
PPS Cikananga
KB Surabaya
JGC
Schumtzer, TM Ragunan
Tia~ 5 hari
tiap hari
Setiap Jumat
Tiap 2 hari
Pasar&suplayer Pencucian pakan
kualitas
Pasar&suplayer Pencucian pakan
Frekuensi pemberian
2x sehari (07.30&15.30)
Pasar&suplayer Penyortiran dan pencucian pakan 2x sehari (07.30 & 14.30)
Menu pakan
Daun-daunan & buah
Karantina & K. Pulau: 2x sehari (09.30 & 15.00); Nursery: per 3 jam Karantina & K. Pulau: daundaunan & buah; Nursery: Infant-09.00 & 15.00: pisang
Pasar&suplayer Pencucian, perebusan makanan olah(tahu) 4x sehari (06.00, 07.00, 12.00, 14.00) 06.00: buah hutan; 07.00: buah pasar 12.00: daun2an; 14.00: makanan
Roti, daundaunan & buah
Jadwal oemasokin Sumber Kontrol
Air bersih
Tersedia tiap hari Pemberian Ada (vitamin) suplemen
halus, selebihnya tambahan susu (2 sd susu + 30 ml air matang); Juvenile- 9.00, 12.00&15.00:buah 06.00&17.00:susu (2 sd susu+ 60 rnl air matang) Tidak tersedia Tersedia tiap hari Ada (vitamin) Ada (vitamin)
Tersedia (sumber air) Ada (vitamin dan mineral)
Secara umum, pakan diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari, dengan berbagai variasi jenis. Pada Tabel 8 disajikan daftar jenis pakan yang biasa diberikan pada owa di empat lokasi studi (tercatat lebih dari 50 jenis). Buah merupakan menu pakan yang paling banyak diberikan (64,3%), dengan jenis utarna antara lain pisang, apel, dan jeruk. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis pakan yang paling disukai owa adalah hijauan yaitu daun sawi, selada, dan kangkung. ijntuk buah, jenis yang disukai adalah pisang mas, jagung, dan rnarkisa. JGC juga mernberikan buah hutan yang diperoleh dari hutan sekitar untuk membiasakan owa dengan makanan alami dari hutan (Garnbar 12). Tabel 8 Jenis pakan owa jawa di empat lokasi studi Nama Lokal Nama Latin Buah-buahan a. Buah pasar pisang Musa acuminata sp. markisa kuning Passinora flavicarva semangka Citrulus vulgaris jeruk Citrus sp. ape1 Malus pamilus jagung Zea mays pepaya Carica papaya tomat Solanum lycopersicum mentimun Cucurnis sativus wortel Daucus carota bengkuang Pachyrrhims erosus duku Lansium domesticurn corr rambutan Nephelium lappaceum mangga Mangifera indica kesemek Dyospiros kaki kedondong Canarium spp belimbing A verrhoa carambola pir Pyrus sp. nanas Ananas comosurn manggis Garcinia mangostana saw0 Achms zapofa jambu biji Psidium guajava salak Salacca edulis melon Cucumis melo
kentang terong b. Buah hutan manyal harendong hampelas walen kondang buah afrika ki haji darandan pining songgom beunying salam hareueus Hijauan dan kacang-kacangan kangkung bayam sawi hijau sawi putih selada siomek kumek kacang panjang buncis daun pepaya daun poh-pohan lembayung (daun kacang panjang) daun paku Pakan tambahan tahu tempe roti tawar nasi jagung+kacang tolo kelapa asam madu telur rebus susu
Solanum tuberosum Solanum melongena
Clidemia hirta Ficus ampelas Ficus ribers
-Maesopsis eminii Barringtonia macrocarpa ~ i c u fistulosa s Eugenia polyanta
-
Ipomoea aquafica Spinacia sp. Brassicajuncea Brassica chinensis Lactuca sativa Nasturitium officinale Mustardgeens Vigna sinensis savi Phaseolus vulgaris Carica papaya Pilea Trine~ia Vigna sinensis savi Salvinia natans
Garnbar I 2 Jenis pakan owa jawa, (a) buah-buahan pasar di Pusat Prirnata Schrnutzer dan (b) buah hutan di Javan Gibbon Center
Menurut Ullrey dan Allen (1993), menu pakan dan kesehatan memiliki hubungan yang berkaitan. Makanan merupakan dasar dalam menjalankan fungsi normal metabolisme, sehingga pakan yang diberikan harus mengandung nutrisi yang dibutuhkan satwa yaitu air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin.
Menu
pakan dengan defisiensi atau
kelebihan
nutrisi dapat
mempengaruhi perjalanan suatu infeksi penyakit. PKBSl (1995) menjelaskan bahwa dalam penentuan kualitas dan kuantitas pakan harus rnempertimbangkan jenis makanan yang dirnakan di habitat asli, kandang dan lingkungan sekitar, dan spesies pembanding yang persyaratannya diketahui. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
empat
lokasi studi telah
mernberikan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Untuk mencegah pernbusukan, pakan di PPS Cikananga dan Schmutzer disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 10-15" C. Untuk menjaga kebersihan, pakan dicuci lebih dahulu dan diberikan dalam wadah yang bersih. Perawat satwa di JGC merebus makanan olah seperti tahu, sebelum dibeiikaii. 3i Schmutzer, pakan disebar di seluruh kandang untuk memperpanjang waktu yang digunakan dalarn mencari makanan dan merangsang rnunculnya sifat-sifat alarni. JGC melakukan evaluasi pakan secara rutin tiap tiga bulan menggunakan skala alometrik pakan (Lampiran 5). Evaluasi ini penting untuk memastikan apakah kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan sudah rnemenuhi kebutuhan kalori owa, yang dapat dihitung dengan rumus umum 140 kkal x (berat badan)0.75 (Kleiber 1947 dalam Wells et a/. 1990). Untuk owa dewasa yang dikandangkan dengan berat badan rata-rata 4,5 kg (betina dewasa) hingga 7 kg (jantan dewasa), kebutuhan energi untuk beraktivitas secara teori berkisar antara 433 hingga 603 kkal MEIhari. Evaluasi pakan dapat digunakan untuk identifikasi penyakit tahap awal berupa defisiensi atau kelebihan nutrisi sebelum munculnya gejala klinis. Ullrey dan Allen (1993) menyatakan bahwa harus dibedakan antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi, karena hanya jumlah pakan yang dikonsumsi yang berkaitan dengan kesehatan satwa. Pemberian makanan oleh pengunjung menjadi masalah serius yang harus diperhatikan pihak pengelola. Pemberian yang sembarangan dan tidak sesuai dengan pakan alami satwa dapat menyebabkan penyakit, terutama gangguan gastrointestinal seperti diare. Sebagai pencegahan, di KB Surabaya dan Schmutzer dipasang papan permgatan yang melarang pengunjung memberi makanan pada satwa. Schmutzer juga rnelakukan pemeriksaan ketat terhadap
pengunjung sehingga tidak bisa rnernbawa makanan ke area kandang. Di kandang pulau KB Surabaya, diberikan pakan dalarn jurnlah berlebih untuk rnencegah owa rnemakan rnakanan yang diberikan pengunjung. Perawat satwa turut berperan dengan rnengawasi dan rnencegah pengunjung yang akan rnernberi rnakanan pada owa. 4.1.4 Manajemen Pengendalian (Restrain)
Dari hasil pengarnatan di lapangan, keernpat lernbaga konservasi rata-rata telah rnernperhatikan sistem pengendalian owa yang rnemenuhi persyaratan kesejahteraan hewan (animal welfare). Menurut Fowler (1978a), pengendalian satwa rnerupakan suatu upaya rnernbatasi pergerakan satwa untuk tujuan tertentu. Kecelakaan dalarn suatu pengendalian akan berdarnpak terhadap perilaku, kehidupan, atau aktivitas seekor satwa. Sehubungan dengan itu, teknik pengendalian owa berbeda-beda mulai dari rnengurung owa dalarn kandang buatan hingga pernbatasan aktivitas rnuskular atau irnrnobilisasi. Dari hasil pengarnatan di lapangan, diperoleh garnbaran bahwa secara garis besar, teknik pengendalian owa terbagi dua yaitu secara fisik dan secara kirniawi. Teknik pengendalian secara fisik
dimaksudkan untuk mengurangi
penggunaan bahan kirnia terhadap owa (Kholis 2007, kornunikasi ~ r i b a d i ) ' ~ . Teknik pengendalian secara fisik pada owa dapat diterapkan jika owa berada pada kandang kecil. Alat yang digunakan antara lain jaring, perangkap, dan pengarnan bagi pengendali. Jaring harus terbuat dari bahan berupa kantong kain (kain kanvas atau nilon) sehingga owa tidak terjerat. Pengendalian secara fisik juga dapat dilakukan dengan rnernanfaatkan sistem kandang jepit, dirnana satu sisi kandang dapat digeser sehingga owa akan terjepit pada sisiqyang lain. Pengendali harus rnenggunakan sarung tangan. Keernpat alat gerak harus dikunci, dirnana tangan owa dikunci di belakang punggung untuk rnenjauhkan tangan pengendali dari jangkauan gigitan owa. Teknik pengendalian secara kirniawi dilakukan dengan anesthesia yang dirnaksudkan untuk rnengurangi stress dan trauma. Berdasarkan analisa terhadap catatan rnedis, dilakukan 39 anesthesia pada tahun 2002 hingga September 2007. Anesthesia dilakukan untuk tujuan translokasi, general check
up atau penanganan kasus rnedis seperti tindakan bedah. Pernberian anesthetik 14
drh. Kholis, Pusat Penyelamatan Salwa Cikananga
intramuscular dilakukan menggunakan tulup (bow gun). Anesthesia harus dilakukan di bawah pengawasan d&er
hewan dan tersedia antidota untuk
rnenghilangkan efek obat yang tidak diinginkan. Penerapan prosedur anesthesia secara lebih lengkap dibahas dalarn sub bab program rnedis yang baik (good medical practices). 4.1.5 Manajernen Data dan lnformasi
Berdasarkan
pengarnatan di
lapangan,
diketahui
belum
terdapat
keseragaman dalarn sistern pendataan di ernpat lokasi studi, sehingga rnenyebabkan kesulitan dalam pengurnpulan inforrnasi. Pada urnurnnya data dan inforrnasi yang dicatat rneliputi inforrnasi urnurn (rnorfologi, habitat alarni, perilaku, dan status konservasi), data dasar (narna, jenis kelarnin, lokasi kandang, riwayat asal-usul, serta perkiraan umur atau data kelahiran dan kernatian), serta arsip korespondensi dan perizinan. Pendataan ini berperan penting dalarn rnengernbangkan rnetode perneliharaan yang tepat, penelitian, penjagaan informasi saat terjadi transfer owa, dan rnengontrol peredaran owa. Pusat Prirnata Schrnutzer merupakan anggota dari International Species Information System (ISIS), yaitu suatu sistern pendataan internasional yang rnencatat data dan inforrnasi mengenai satwa yang ada di suatu lernbaga konservasi eksitu. Software yang digunakan adalah ARKS (Animal Records Keeping System (ARKS), yaitu pencatatan terhadap berbagai data dan keterangan yang berkaitan dengan satwa. Prawiradilaga (2003) rnenjelaskan bahwa data yang dikumpulkan dalarn software ini rneliputi ernpat kategori, yaitu
(1) basic inventory data, berupa spesies, tanggal kedatangan, tanggal kelahiran, jenis kelarnin, identitas induk, ternpat kelahiran, dan pertambahan jurnlah; (2) transaction data, yaitu inforrnasi rnutasi (kedatangan dan kebeFangkatan);
(3) special data, rnencakup nama lokal, kode microchip, nornor studbook, dan ukuran tubuh; serta ( 4 ) enclosure or cage data, yaitu inforrnasi kandang. Contoh software ARKS dari Schrnutzer disajikan pada Larnpiran 2. Untuk rnernudahkan identifikasi owa, TM Ragunan rnelakukan penandaan dengan teknik irnplan transponder. Menurut Loornis (1993) dan Prawiradilaga (2003), transponder atau microchip adalah benda kecil berukuran 1x4 rnrn dengan kode khusus dirnana kode tiap microchip tidak sarna. Edwar (2007, kornunikasi pribadi)" rnenjelaskan bahwa transponder diirnplan drngan injeksi I5
drh. Sapri Edwar. Tarnan Margasatwa Ragunan Jakarta
subkutaneous di daerah leher belakang (tengkuk) atau scapula. Untuk membaca data pada microchip digunakan reader(Gambar 13). Loornis (1993) rnenyatakan bahwa teknik penandaan ini harus memenuhi persyaratan antara lain tidak mengganggu aktivitas satwa, bebas dari stress dan rasa sakit, dan microchip mudah dibaca.
(a) Gambar 13 Dua jenis reader microchip yang digunakan di Taman Margasatwa Ragunan, (a) model lama dan (b) model baru 4.2 Program Medis yang Baik (Good Medical Practices)
Berdasarkan studi di ernpat lokasi, dapat disarikan bahwa program medis memegang peranan penting dalam pelaksanaan konse~asieksitu. Program medis ini meliputi (1) pelaksanaan prosedur karantina, (2) pemeriksaan kesehatan rutin, (3) terapi yang tepat dalam menangani kasus medis yang terjadi, dan (4) pelaksanaan anasthesia.
4.2.1 Prosedur Karantina Prosedur karantina sangat penting untuk mencegah masuknya penyakit maupun mengendalikan penyebaran penyakit pada suatu populasi satwa. Owa yang baru datang atau menderita penyakit rnenular ditempatkan pada kandang khusus dan terpisah selama periode tertentu. Prosedur karantina bagi owa yang baru datang pada PPS Cikananga, Kebun Binatang Surabaya, dan Pusat Primata Schmutzer dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Prosedur karantina owa jawa di PPS Cikananga, KB Surabaya, dan Pusat Prirnata Schrnutzer, TM Ragunan Prosedur PPS Cikananga KB Surabaya Schumher, TM Ragunan
Waktu
Kegiatan
Minimal 30 hari. tergantung status kesehatan satwa dan ketersediaan kandang selanjutnya Pemeriksaan fisik dan darah, uji TB, vaksinasi Hepatitis B, deteksi dan kontrol
minimal 14 hari
Pemeriksaan fisik, deteksi dan kontrol parasit
Minimal 30 hari. tergantung status kesehatan satwa dan ketersediaan kandang selanjutnya Perneriksaan fisik, uji TB, vaksinasi rabies, deteksi dati kontrol parasit
Masa karantina yang diterapkan di empat lokasi studi berbeda-beda, tergantung kondisi dan status rnedis owa. Prosedur karantina yang umum dilakukan adalah perneriksaan fisik
serta deteksi dan
kontrol parasit.
Pemeriksaan fisik rneliputi identifikasi dan pencatatan ciri khusus, penirnbangan berat badan, pengukuran suhu, penentuan jenis kelarnin, perkiraan urnur, serta perneriksaan gigi. Mootnick (1997) rnenyatakan bahwa rnasa karantina bagi owa yang baru rnasuk harus dilakukan minimal selarna 33 hari berdasarkan standar CDC (Center for Disease Control) dan owa harus diternpatkan di kandang tertutup. Prosedur karantina yang dilakukan mencakup pencatatan sejarah kesehatan sebelurnnya, perneriksaan fisik, uji tuberculosis (TB) dan rontgen, perneriksaan darah yang rnencakup perhitungan sel darah lengkap dan perneriksaan virus, deteksi dan kontrol parasit berupa perneriksaan feses minimal dua kali, serta vaksinasi hepatitis, tetanus, polio, dan rabies (Roberts 1978; Mootnick & Otsrowski 1999). PPS Cikananga, JGC, dan Schrnutzer melaksanakan uji TB rnenggunakan MOT (Mammalian Old Tuberculin) yang disuntikkan intradermal di kelopak rnata (eyelid) (Kholis 2007, kornunikasi pribadi; Edwar 2007, kornunikasi pribadi). Pengarnatan hasil uji dilakukan selarna tiga hari setelah pengujian. Martin (1978) rnenjelaskan bahwa uji dinyatakan positif jika terjadi kebengkakan pada kelopak rnata, bercak rnerah, kelopak rnata yang rnenutup dengan discharge purulenta, dan nekrosa lokal. Seekor owa akan dinyatakan bebas tuberculosis jika terdapat tiga hasil negatif yang diarnati saat 24, 48, dan 72 jam setelah pengujian. Apabila terjadi hasil yang rneragukan rnaka dilakukan uji ulang dengan jarak antar uji minimal 14 hari. Observasi hasil uji dilakukan 2-8 jam setelah pengujian karena
hasil uji hanya terlihat sesaat. Owa yang rnenunjukkan hasil positif harus segera diisolasi dan ditangani lebih lanjut. Pengarnbilan darah dilakukan untuk mengidentifikasi adanya titer antibodi terhadap virus dalarn darah terutama hepatitis B dan herpes simplex (HSV). Kholis (2007, komunikasi pribadi) rnenyebutkan bahwa selain pemeriksaan darah, dilakukan uji hepatitis rnenggunakan tes strip untuk mernperkuat hasil uji sehingga dapat rnencegah terjadinya false positive. Owa dengan hasil tes strip dan pemeriksaan darah HBsAg positif harus diternpatkan di ruang karantina atau isolasi. Owa yang sehat (hasil perneriksaan negatif) akan divaitsin uniuk rnencegah paparan. Deteksi dan kontrol parasit rnencakup perneriksaan feses dan pemberian anthelmentik (dewoming). Teknik pemeriksaan yang
digunakan adalah
perneriksaan natif, teknik apung, dan sentrifuse atau flotasi (Kholis 2007, kornunikasi pribadi; Suharta 2007, komunikasi pribadi; Edwar 2007, komunikasi pribadi). Anthelmentik yang digunakan pada owa disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis dan dosis anthelmentik untuk owa jawa di PPS Cikananga, KB Surabaya, dan Pusat Prirnata Schmutzer, TM Ragunan Anthelrnentik Dosis Keterangan Nama Dagang Kandungan Vermoxw Mebendazole 15 mglkg Ba PO Penguiangan setelah 10 hari 1vorneca
lverrnectin
1 cc150 kg BB IM
Pernberian selama 3 hari
Orarnec syrupa
lvermectin
0,25 cclkg BB
Pemberian l x
~rivexan"
Pyrantel parnoat 100 rng, mebendazole 150 mg
0,5-1 tablet PO
Pemberian selama 2-3 hari
Pirantel parnoat
250 rng PO
Combantrin syrupe
3.
Pernberian Ix
4.2.2 Pemeriksaan Kesehatan Rutin
Setiap lokasi studi telah melakukan pemeriksaan kesehatan owa secara rutin. Prosedur pemeriksaan kesehatan rutin pada ernpat lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 11. Tindakan ini penting dilakukan sebagai upaya preventif, yaitu pencegahan terhadap rnunculnya penyakit pada owa.
Tabel 11 Pemeriksaan kesehatan rutin pada owa jawa di empat lokasi studi Aspek
PPS Cikananga
Frekuensi
Tiap 6 bulan
Prosedur
KB Surabaya
JGC
Schurnker, TM Ragunan Tiap 6 bulan
Pemeriksaan fisik dan darah, uji TB, vaksinasi, deteksi dan kontrol parasit
Tiap 3 bulan Tiap 3 bulan atau kondisional Deteksi dan Perneriksaan kontrol parasit fisik dan darah, uji TB, vaksinasi hepatitis, deteksi dan kontrol parasit, perneriksaan kerokan kulit
atau kondisional Perneriksaan fisik dan darah, vaksinasi hepatitis dan rabies, deteksi dan kontrol parasit
Ada
Ada
Ada
Ada
Stetoskop, spuit. penirnbang badan, tulup, rnikroskop
Stetoskop, spuit, penirnbang badan, tulup, mikroskop,
Stetoskop, spuit, penimbang badan, tulup, mikroskop
Stetoskop, spuit, penirnbang badan, tulup, mikmskop
Tidak ada
Tidak ada
Mcrbil keliling, kandang translokasi
Fasilitas
c Ruang pemeriksaan 4
Peralatan rnedis
4
Alat Kandang transpor- translokasi tasi
Secara garis besar, prosedur yang dilakukan saat pemeriksaan kesehatan rutin sama dengan prosedur karantina, mencakup pemeriksaan fisik, uji tuberculosis (TB), pemeriksaan darah, deteksi dan kontrol parasit, serta vaksinasi 1~ cclekor). Deteksi parasit mencakup pemeriksaan hepatitis dan rabies ( ~ a b i s i n feses yang dilakukan setiap tiga atau empat bulan. Kontrol parasit dilakukan dengan pemberian anthelmentik tiap 3 bulan atau apabila ditemukan kasus atau gejala, dengan jenis anthelmentik yang berbeda untuk mencegah resistensi cacing terhadap obat (Kholis 2007, komunikasi pribadi; Suharta 2007, komunikasi pribadi). JGC juga melakukan deteksi parasit kulit, yaitu Sktoparasit, dengan melakukan pengambilan sampel kerokan kulit yang akan diperiksa secara laboratoris. Mootnick dan Otsrowski (1999) menyebutkan bahwa pemeriksaan rutin harus dilakukan minimal satu kali dalam setahun.
4.2.3 Kasus Medis dan Terapi Melalui analisa catatan medik dan wawancara dengan tim medis, diketahui terjadi 66 kasus medis dari Januari 2002 hingga September 2007. Kasus rnedis tersebut dikategorikan berdasarkan sistem tutiuh yang rnencakup gangguan gastrointestinal, respirasi, integumentum, muskuloskeletal, reproduksi, dan
perilaku. Terdapat juga penyakit lain bersifat zoonosa, yaitu tuberculosis (TBC), hepatitis B, dan herpes, namun tidak tersedia data yang lengkap mengenai jumlah owa yang terinfeksi penyakit tersebut. Tabel 12 Kategori kasus medis pada owa jawa di PPS Cikananga, KB Surabaya, dan Pusat Primata Schmutzer, 'TM Ragunan (~anua62002-September 2007) Kategori
Z Kasus
Gastrointestinal Muskuloskeletal Respirasi lntegumentum Perilaku Reproduksi
E
29 11 8 7 7 4 66
I
% Kasus 43,9 16,7 12,l 10,6 10.6 61 100
Z Hewan 18 6 5 4 4 2 39
% Hewan 46,l 15,4 12,s 10.3 10,3 51 100
I
Prilaku 6,1%
Gastrointestinal
Muskuloskeletal
43.9%
Respirasi 16,7%
Gambar 14 Kategori kasus medis pada owa jawa di PPS Cikananga, KB Surabaya, dan Pusat Primata Schmutzer, TM Ragunan (Januari 2002-September 2007) a. Gangguan Gastrointestinal Berdasarkan catatan medis dari lokasi studi, diketahui bahwa gangguan gastrointestinal merupakan gangguan yang paling sering terjadi. Gejala umum gangguan ini adalah diare serta penurunan nafsu makan dan aktivitas dari owa. Untuk memastikan penyebab dari kejadian ini, dilakukan pemeriksaan parasit feses. Diare paling sering terjadi pada owa juvenile di Kebun Binatang Surabaya karena pemberian makanan yang tidak sesuai oleh pengunjung (tercatat empat kasus). Masalah kesehatan gigi juga dikategorikan ke dalam gangguan gastrointestinal.
Di Schrnutzer pernah teridentifikasi adanya protozoa Balantidium sp. dan Entamoeba sp. dan diberikan terapi antibiotik arnubisidal, yaitu ~ l a g y l " (rnetronidazole) dosis 20 rnglkg BB selarna 5-7 hari. Melalui analisa catatan rnedis dan wawancara
dengan tim
rnedis, diketahui terapi gangguan
gastrointestinal karena protozoa dan bakteri rnenggunakan antibiotik spektrurn luas antara lain antibiotik yang rnengandung kornbinasi sulfarnetaksazol dan trirnetoprirn (Trirnoxsul syrupm, Bactrirn syrup',
~atoprirn', ~ i n k a n i u r n ~atau )
teramycin long acting (Teralen"). Renquist & Whitney (1987) rnenyebutkan bahwa protozoa utarna yang rnenyebabkan diare adalah Giardia sp. dan Entamoeba histolytica. Gejala umum pada giardiosis adalah diare. Melalui perneriksaan feses, teridentifikasi banyak kista dan tropozoit Giardia sp. Tropozoit rnerniliki bentuk sirnetris bilateral dan bulat dengan ujung posterior rnenyernpit. Amoebiosis ditunjukkan dengan disentri,
terkadang
mengandung darah dan
mucus.
Komplikasi dapat
rnenyebabkan abses hati dan otak. Diagnosa berdasarkan keberadaan tropozoit dalarn feses. Giardiosis dan arnoebiosis ersifat menular, baik pada satwa prirnata maupun rnanusia. Pengobatan giardiosis dan arnoebiosis dilakukan dengan rnetronidazole dosis 10-50 rnglkg BB peroral tiga kali sehari selama 7-10 hari. Pada beberapa kasus di lokasi studi, teridentifikasi adanya telur cacing seperti Trichuris spp. sehingga dilakukan pernberian anthelmentik seperti tercanturn pada Tabel 10. Untuk mengatasi kontra indikasi yang ditimbulkan antibiotik, diberikan injeksi ~ovadryl@ (dipenhidramin HCI) intrarnuskular dengan dosis 1 cc/lO kg BE sebagai antihistarnin (Edwar 2008, kornunikasi pribadi).
,
Menurut Martin (1978), Strongyloides spp. dan Oesophagostomum spp., adalah nematoda yang sering menyebabkan enteritis akut. Pengobatan efektif dengan thiabendazole dosis 100 rnglkg BB. lnfestasi Trichuris $p.
dapat
dikontrol dengan dichlorvos 0,38 rnglkg BB. Cestoda dapat diobati dengan niclosarnide 0,38 rnglkg BB. Enterobiasis dengan infestasi pinworm (Enterobius vemicularis) dapat diobati dengan piperazine 100 rnglkg BB. Menurut Martin (1978), bakteri patogen yang rnenyebabkan enteritis terutama adalah Shigella spp. dan Salmonella spp. Kondisi stress dapat mernperrnudah owa terpapar Shigella spp. dan Salmonella spp. Diare dengan darah pada feses merupakan gejala shigellosis yang paling umum selain kelen?shan, edema facial, dan ernasiasi. Prolaps rectal juga kadang terjadi. Saat nekropsi, gambaran patologi anatomis yang sering ditemukan adalah petechi dan
echimosa pada permukaan serosa colon, nekrosa disertai ulcer pada permukaan mukosa,
darah dan
mucous dalam lumen, dan inflamasi limfonodula
mesenterica. Tidak seperti Shigella spp., Salmonella spp. dapat hidup dan berkembang biak di luar tubuh inang sehingga mudah menular pada satwa lain atau manusia. Kondisi septicemia yang cukup fatal dapat te rjadi. Bakteri lain penyebab enteritis adalah Proteus spp., Pseudomonas spp., dan Escherichia coli. Campylobacteriosis yang disebabkan bakteri gram negatif Campylobacter jejuni dilaporkan Renquist dan Whitney (1987) pernah terjadi. Periode inkubasi 3-5 hari diikuti periode demam dengan gejala malaise (tidak enak badan), pusing, myalgia (sakit pada otot), dan sakit abdominal. Diare mungkin mengandung darah terjadi selama tiga hail hingga dua minggu. Pengobatan serupa dengan shigellosis dan salmonellosis dimana erythromycin merupakan pilihan antibiotik yang efektif. Martin (1978) menjelaskan bahwa pengobatan terhadap shigellosis dan salmonellosis dapat dilakukan dengan antibiotik trirnethoprim, su!fadiazine, dan sulfamethoxazole untuk mencegah infeksi. Terapi cairan dilakukan dengan cairan Lactated Ringers - 5% dextrosa dosis 20 mllkg BB atau tergantung tingkat keparahan dehidrasi. Menurut Renquist dan Whitney (1987) serta Schoeb TR (1989),
dapat juga
dilakukan pemberian kaolin plus pectine (~aotin",
~ a o ~ e c t a t e yMenjaga . sanitasi kandang dan lingkungan sekitar juga harus dilakukan. Kholis (2007, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa jenis pakan dan stress juga dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal. Owa memiliki saluran pencernaan yang sensitif, sehingga mudah sekali mengalami gangguan karena pemberian pakan yang tidak sesuai. Stress dapa! menyebabkan meningkatnya asam lambung yang memicu diare. Dari hasil pengamatan di lapan$an, terapi yang dilakukan antara lain dengan menyuntikkan Papaverine (papaverin HCI) intramuscular sebagai antasida untuk mengatasi peningkatan asam lambung. Pemberian oralit@(Na-bikarbonat dan glukosa anhidrat) dapat mencegah dan rnengatasi dehidrasi dengan mengganti ion-ion yang hilang. Kholis (2007, komunikasi pribadi) menyebutkan bahwa pemberian obat-obatan tradisional seperti daun jambu biji dan daun pepaya juga cukup efektif. Selain itu, dilakukan pengurangan pakan yang mengandung banyak air seperti pepaya dan penambahan pakan berserat seperti pisang. Kontak dengan manusia dan satwa lain yang dapat memicu stress sedapat mungkin juga dikurangi.
'
Dilatasi gastritis akut atau kembung dilaporkan pernah tejadi di Schmutzer. Gejala klinis predominan berupa abdomen yang membesar karena berisi gas atau ingesta cair (Martin 1978). Penyebab kasus ini tidak diketahui pasti namun diperkirakan karena makanan. Menurut Edwar (2008, komunikasi pribadi), terapi yang cukup efektif adalah dengan pemberian
us cop an" yang mengandung
hiosina-N-butilbromida dosis 1 cclekor sebagai spasmolitik untuk merangsang peristaltik usus dan minyak kelapa untuk membantu pengeluaran gas. Tercatat terdapat satu kasus di PPS Cikananga dirnana terjadi abses pada gusi (gingivitis) yang disebabkan pemotongan gigi taring oleh pemilik sebelumnya. Dilakukan pemberian amoxicillin 77-87,5 mg peroral selama 15 hari untuk menghentikan infeksi. Terapi selanjutnya adalah tindak bedah untuk mengeluarkan nanah. Kholis (2007, kornunikasi pribadi) menjelaskan bahwa pemberian amoxicillin peroral selama empat hari setelah operasi bertujuan mencegah infeksi lebih lanjut. Gigi rusak dan rapuh juga sering dijumpai pada
owa. Suharta (2007, kornunikasi pribadi) menyebutkan bahwa pembersihan karang gigi pernah dilakukan di KB Surabaya.
b. Gangguan Muskuloskeletal Gangguan muskuloskeletal mencakup perlukaan atau kasus traumatik. Berdasarkan wawancara dengan tim medis, diketahui penyebab kasus ini antara lain perkelahian antar owa dalam satu kelompok, kecelakaan akibat benda tajam dalam kandang, atau dinding kawat yang tidak rapi. Perlukaan dapat berupa terkoyaknya lapisan kulit dan otot maupun fraktura. Dari sebelas gangguan muskuloskeletal yang terjadi, delapan di antaranya merupakan pengoyakan kulit dan otot dan satu kasus merupakan fraktura. Berdasarkan analisa catatan medis dan wawancara denganatirn medis, diketahui terapi untuk luka superfisial cukup diberikan desinfektan topikal
to eta dine^, sulfadiazina, dan
revanol). Adapun untuk trauma yang lebih parah,
dilakukan tindak operasi. Tercatat pernah dilakukan penjahitan luka robek pada ujung jari telunjuk kiri owa betina di Schmutzer dan amputasi jempol yang patah pada owa betina di KB Surabaya. Untuk mencegah dan mengobati infeksi diberikan antibiotik peroral yaitu amoxicillin atau antibiotik intramuscular seperti ~icormicina~ (penicillin-streptomycin) 10 mglkg BB yang tiap 2 hari sekali atau
uph hap en" (penicillin long-acting) 0,5 cc/lO kg tiap 3-5 hari sekall hingga owa tidak menunjukkan gejala sakit lagi. uph hap en^ biasa diberikan bersama
lnjectavite sebagai pengencer. Antiinflamasi lokal juga diberikan seperti gentamycin salep, Nebacetin powder@(neomisin SO4 dan basitrasin). Edwar (2007, komunikasi pribadi) menyebutkan pernah terjadi infeksi akibat luka yang disertai peningkatan suhu tubuh sehingga diberikan ~empra"(asetaminofen dan paracetamol) 10 mglkg BB sebagai penurun panas. Untuk mempercepat tumbuhnya jaringan diberikan salep bipanten, yang juga berfungsi sebagai antibiotik lokal. Untuk mencegah tetanus diberikan ATS (anti tetanus). Pemberian cortison dilakukan sebagai antiinflamasi dan antihistamin (injeksi IM 1 mllekor).
Gambar 15 Trauma pada jari owa jawa di Pusat Primata Schmutzer disebabkan dinding kawat yang tajam Martin (1978) menyatakan walaupun luka terlihat resisten terhadap infeksi, namun pembersihan secara ekstensif haws dilakukan. Hidrogen peroksida adalah agen pembersih yang sangat berguna, sama seperti saline atau air yang mengalir. Jaringan yang mengalami nekrosa haws dibuang sehingga terbentuk jaringan granular sebagai penutup luka. EIase ointment diberikan secara topikal untuk mengatasi pemecahan enzim pada luka terinfeksi. Luka yang tidak terlalu parah tidak perlu diperban namun cukup diberi antibiotik long-acting seperti Bicillin" untuk mengurangi infeksi. Kasus trauma yang terjadi di Kebun Binatang Surabaya dilaporkan menyebabkan kematian pada seekor owa jantan dewasa. Gambaran patologi anatomis saat nekropsi adalah hiperdilatasi jantung, hemorhagi mukosa colon, hati, dan ginjal, serta penebalan mukosa vesica urinaria. Kematian diduga disebabkan tetanus yang memperparah penyakit infeksius yang diperkirakan telah diderita owa sebelumnya.
c. Gangguan Respirasi Dari analisa catatan medis dan pengamatan di lapangan, diketahui gejala urnum gangguan respirasi meliputi keluarnya discharge dari hidung dan kadang disertai batuk. Gejala ini paling banyak terjadi pada owa yang baru rnasuk ke Schmutzer dan berasal dari sumbangan masyarakat (tercatat empat kasus). Edwar (2008, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa gejala ini dapat diatasi dengan memberikan obat antara lain ~ e t a k o m @(dekstrometorfan HBr dan fenilpropanolamin) peroral selama 3 hari atau Promedek syrupm 1 sdt (dekstrornetorfan HBr, prometazina HCI, gliserilguaiakolat). Untuk mengatasi batuk
yang
disebabkan alergi,
diberikan antihistarnin Coredryl syrupm
(dipenhidramine HCI) 10 mglkg BB atau injeksi ~ymadril' (difenhidramina-HCI) 1 cclekor intramuscular. Untuk terapi gangguan respirasi yang disebabkan bakteri, diberikan antibiotik spektrurn luas seperti
uph hap en" 10 mgkg BB (penicillin
long-acting), Syndox' (amoxicillin tablet) 10 rnglkg BB, Bicorrnicina' 10 mglkg BB
(penicillin-streptomicin), atau Klavamoxm10 mglkg BB (amoxicillin). Menurut Renquist & Whitney (1987). Klebsiella sp. merupakan penyebab utama infeksi pernapasan yang menginfeksi satwa primata dengan resistensi rendah seperti infant atau juvenile. Klebsiella sp. adalah bakteri gram negatif non m ~ t i l bacillus , pendek dengan ujung membulat dan kapsul tipis, serta terdapat di air menggenang, air minum yang kotor, tanah, dan sebagai flora dalarn saluran pencernaan. Bakteri lain yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae dengan gejala pneumonia, meningitis, arhtritis, depresi, dan dehidrasi. Pasfeurella sp., Pseudomonas sp., Proteus sp., dan Bordetella sp.. dilaporkan juga dapat menyebabkan pneumonia (Joslin 1999; Wells et al. 1990). Gejala klinis antara lain batuk, bersin, edema facialis, discharge, dyspnea, dan anorexia. Lesi yang terjadi dapat mezyebabkan kongesti pleural dan hepatisasi paru-paru menjadi abu-abu. Diagnosa dengan mengisolasi organisme. Pengobatan dengan pemberian antibiotik bakteri sensitif seperti streptomycin, kanamycin, colimycin, atau gentamycin. lnstalasi aerosol kanamycin dalam inkubator dilaporkan efektif (Renquist & Whitney 1987). d. Gangguan lntegurnenturn
Berdasarkan studi, diketahui bahwa gangguan integumenturn rneliputi alopecia, gatal, dan neoplasia. Gangguan yang paling seriny terjadi adalah alopecia (lima kasus pada tiga ekor owa). Kholis (2007, kornunikasi pribadi)
mengatakan kasus ini terjadi akibat stress karena kehadiran owa lain. Namun beberapa kasus lain diduga sebagai efek sekunder hepatitis B. Terapi dilakukan dengan pemberian minyak ikan dan squalen topikal untuk menstimulasi pertumbuhan rambut baru. Menurut Florence dan Peel (1977), stimuli tekanan seperti hemorhagi, suhu, racun, tingkat emosi, atau pemberian obat akan mempengaruhi pelepasan CRF (cortical releasing factor) dari hypothalamus dan rneningkatkan produksi ACTH (adrenal cortico tiroid hormone). Korteks adrenal merespon ACTH sehingga terjadi hipertropi dan peningkatan produksi glukokortikoid. Pada tingkat aktivitas korteks adrenal yang tinggi, perkembangan folikular akan berhenti pada fase telogen. Akibatnya rambut yang tidak terikat akan mudah lepas dari folikel saat berkeringat atau grooming. Pertumbuhan rambut baru tidak terjadi karena suspensi dari fase anagen. Akumulasi efek yang terjadi adalah alopecia general pada berbagai tingkat keparahan. Pertumbuhan rambut kembali dapat dirangsang dengan adanya hormon yang dapat melawan efek ACTH dan rnemperpendek fase telogen, yaitu hormon tiroksin.
Gambar 16 Alopecia pada owa jabva di PPS Cikananga disebabkan stress Gangguan integumenturn lain, yaitu gatal, dilaporkan pernah terjadi di KB Surabaya. Menurut Suharta (2008, komunikasi pribadi), gejala ini diduga disebabkan infestasi parasit sehingga dberikan BBE (benzena benzoat emulsion)
3% sebagai terapi. Renquist dan Whitney (1987) menyatakan bahwa gangguan pada kulit bisa disebabkan oleh arthropoda. Banyak jenis tungau, kutu, atau pinjal yang dapat rnenginfestasi satawa satwa primata. Sebagian arthropoda ini
berpindah ke manusia melalui kontak langsung. Arthropoda yang banyak menginfestasi adalah Sarcoptes scabiei, Tunga penetrans, dan Ornithodorus sp. Kulit yang terinfestasi memiiiki ciri khas berupa pruritus dan sisik, dan infestasi Tunga penetrans dapat menyebabkan inflamasi dan ulserasi. Sulit dilakukan terapi namun kebiasaan grooming dapat melindungi owa dari infestasi arthropoda. Selain arthropoda, penyakit kulit juga bisa disebabkan oleh fungi, antara lain Candida albicans. Candidiasis merupakan infeksi fungi pada membran mukosa. Kasus ini banyak dilaporkan terjadi pada s a h a primata, tetapi biasanya berupa efek sekunder dari defisiensi nutrisi, penyakit lain, atau penggunaan antibiotik berlebih. lnfeksi ditunjukkan dengan gejala pruritis, lesi yang bereksudat pada lipatan kulit. Candidiasis oral tarnpak seperti lesi dengan eksudat putih kental yang terdapat pada lidah atau mukosa buccalis yang terinflamasi. Terapi dapat dilakukan dengan aplikasi topikal atau peroral dari nystatin, clotrimazole, atau miconazole. Jenis fungi lain adalah Trichophyton rnentagrophytes yang merupakan penyebab ringworm. Terapi untuk kasus ini adalah griseofulvin peroral (Renquist & Whitney 1987). Neoplasia subkutan dilaporkan pernah terjadi pada owa jantan dewasa di PPS Cikananga. Neoplasia ini terdapat di abdomen sinistra dan bersifat benign. Dilakukan terapi pembedahan untuk mengangkat neoplasia yang dilanjutkan dengan pemberian antibiotik amoxicillin+vitamin C 11 mglkg BB, ~ r a n s a r n i n ~ (asam traneksamat) sebagai hemostatikum untuk pendarahan abnormal dan hemorhagi, metampiron 10 mglkg BB sebagai analgesik, infus RL untuk mernpertahankan cairan tubuh, dan injeksi ~eurobion"intramuscular (vitamin B kompleks). Dilakukan biopsi jaringan dalam larutan formalin 10%. e. Gangguan Perilaku Berdasarkan
hasil
studi,
stress
secara
umum
ditandai dengan
berkurangnya nafsu makan dan perubahan perilaku, baik pasif maupun hiperaktif. Kholis (2007, kornunikasi pribadi) menjelaskan bahwa owa merupakan satwa primata yang sangat sensitif sehingga rentan mengalami stress. Kejadian ini kadang disertai gejala sekunder seperti diare, kahexia, rnaupun alopecia. Terapi yang dilakukan berupa penanganan gejala sekunder dan menghilangkan atau mengurangi penyebab stress.
f. Gangguan Reproduksi Berdasarkan analisa catatan medis dan wawancara tim medis, diketahui gangguan reproduksi yang terjadi di lokasi studi meliputi prolapsus vaginalis, distokia, abortus, dan gangguan laktasi. Kelainan organ reproduksi berupa prolapsus vaginalis terjadi pada owa betina berumur 10 tahun di JGC. Kelainan ini sudah ada sejak awal keberadaan owa tersebut di JGC, sehingga sulit dideteksi penyebabnya. Owa mengalami penurunan nafsu makan yang mengakibatkan kahexia. Belum dilakukan tindak terapi untuk mengatasi kasus ini, namun dilakukan pemberian mulitvitamin Scott ~mulsion"untuk menambah nafsu makan dan menjaga asupan nutrisi.
Gambar 17 Prolapsus vaginalis pada owa betina dewasa di Javan Gibbon Center Menurut Martin (1978), sindrom ini sering terjadi pada satwa primata yang bunting. Satwa terlalu banyak berada pada posisi tubuh vertikal sehingga uterine dan ligamen perineal robek dan cervix menonjol pada vulva. Kejadian ini kadang terjadi setelah melewati setengah periode kebuntingan. Kebuntingan dapat tetap dipertahankan dengan penjahitan uterin dan ligamen. Namun histerektomi harus dilakukan apabila terjadi kerobekan parah. Kasus distokia dilaporkan pernah terjadi di Kebun Bintang Surabaya yang mengakibatkan kematian induk maupun anak. Kasus lain adalah abortus yang diduga disebabkan stress pada induk. Terapi rehabilitatif dilakukan untuk mengembalikan kondisi induk. Owa yang sama juga mengalami gangguan laktasi pada kelahiran anak berikutnya. Untuk terapi diberikan Moloco" yang berfungsi merangsang produksi air susu dan calactate5 yang mengandung kalsium.
g. Tuberculosis (TB) Meskipun data owa yang rnenderita tuberculosis belurn termonitor dengan baik, narnun petugas medis dari beberapa lokasi studi telah rnelakukan deteksi dengan uji TB. Pelaksanaan uji TB ini secara lengkap telah dibahas dalarn sub subbab Prosedur Karantina. Martin (1978) rnenjelaskan bahwa satwa primata dapat diinfeksi oleh tiga jenis bakteri tuberkel, yaitu Mycobacterium hominis, M. Bovis, dan M. avian. Kasus klinis urnurnnya berupa penyakit pulrnonar dirnana penyebabnya harus dipastikan rnelalui prosedur uji. Perubahan awal infeksi berupa pembesaran lirnfonodula rnediastinal supuratif atau kaseosa. Menurut Renquist dan Whitney (1987), gejala klinis tuberkulosis tidak terlihat jelas hingga penyakit dalam tahap parah. Gejala pertarna yang terarnati adalah perubahan perilaku yang rnencolok. Pergerakan lebih larnbat dan dalarn waMu singkat satwa akan rnenunjukkan penarnpilan yang kusarn, sering duduk di pojok kandang, dan menolak untuk rnakan. Batuk atau gejala respiratori lain terjadi terus rnenerus. Gejala sekunder juga dapat terjadi seperti diare, ulserasi kulit, pernbesaran ginjal dan hati. Renquist & Whitney (1987) rnenjelaskan bahwa kernatian rnendadak dapat terjadi. Lesi saat nekropsi berupa nodul putih kekuningan hingga abu-abu dengan variasi ukuran diameter yang cukup besar hingga beberapa rnilimeter. Lesi berada di bawah permukaan organ yang terinfeksi. Nodul berisi bahan kaseosa dan rnungkin mengalami ruptur atau berlubang. Martin (1978) menjelaskan bahwa terapi dapat dilakukan dengan rnenggunakan isoniazid sebagai obat propilaktif. Narnun satwa prirnata yang menderita TB tidak akan benar-benar sernbuh. lsoniazid hanya berfungsi rnenekan penyakit, bukan menghilangkan. Selama pengobatan satwa akan aktif kembali. lsoniazid dapat rnengurangi efektifitas uji tuberculin sehingga dapat rnenutupi hasil uji sebenarnya (false negative). h. Hepatitis Seperti halnya pada tuberculosis, informasi rnengenai jumlah owa yang rnenderita hepatitis di empat lokasi studi juga titiak tersedia dengan lengkap. Namun harnpir semua lokasi studi telah melakukan deteksi hepatitis dengan tes strip dan pemeriksaan darah untuk rnengetahui adanya titer antibodi tehadap virus hepatitis. Pelaksanaan uji hepatitis ini secara lengkap telah dibahas dalam sub subbab Prosedur Karantina.
Schoeb (1989) menjelaskan bahwa hepatitis yang umum terjadi pada satwa primata mencakup dua tipe yaitu hepatitis infeksius (hepatitis A) dan hepatitis serum (hepatitis B). Hepatitis A disebabkan picornavirus, yang ditransmisikan melalui rute fecal-oral. Sedangkan hepatitis B disebabkan hepadnavirus yang ditransmisikan melalui serum atau darah dan kontak langsung maupun tidak langsung dengan sekresi penderita. Kedua jenis hepatitis ini bersifat zoonosa. Penyakit ini sering tidak menunjukkan gejala klinis yang cukup berarti kecuali demam atau jaundice. Bisa terjadi kematian mendadak tanpa penyebab yang jelas. Hanya dilakukan terapi suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Kholis 2007, komunikasi pribadi; Martin 1978).
i. Herpes Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara terhadap petugas medis, diketahui bahwa deteksi dan penanganan herpes belum mendapat perhatian khusus dari empat lokasi studi. Berdasarkan analisa terhadap hasil pemeriksaan darah, diketahui beberapa ekor owa terdeteksi positif HSV namun tidak dilakukan penanganan lebih lanjut karena herpes tidak menimbulkan gejala serius pada owa Martin (1978) menjelaskan bahwa herpes mempakan zoonosis penting yang disebabkan virus Herpes simiae (herpes B). Virus ini dapat menimbulkan efek yang cukup parah pada manusia sehingga hams menjadi perhatian besar bagi orang-orang yang bekerja dengan satwa primata. Transmisi pada manusia dapat terjadi melalui gigitan satwa, kontak luka dengan saliva, atau luka cakaran. Masa inkubasi cukup pendek yaitu 4-10 hari. lnfeksi berulang dapat terjadi walaupun telah terdapat antibodi dalam tubuh. Perkembangbiakan virus dapat terjadi selama periode aktif lesi. Deteksi pada satwa primata sulit dilakukan karena lesi biasanya terdapat di mukosa ruang buccalis. Lesi berupa ulcer pada kulit, lidah, dan bibir. Lesi akan menghilang dengan cepat sehingga terkadang luput dari pengamatan perawat satwa. Deteksi lain dapat dilakukan melalui pemeriksaan darah untuk mengetahui keberadaan antigen virus (Martin 1978; Renquist & Whitney 1987). 4.2.4 Anesthesia Anesthetik yang umum digunakan di lokasi studi adalah ketamin HCI (Ketalar*, Ketavet',
u eta mil?
dengan rute injeksi intramuscular dosis 10 mglkg
BB (Suharta 2008, komunikasi pribadi). Ketamin merupakan derivat phenicilidine hidrokorida berbentuk serbuk putih yang mudah larut dalam air. Obat ini memiliki index terapi yang tinggi, waktu onset pendek, relaksan otot yang baik, dan durasi efek pendek (15-30 menit) (Martin 1978). Menurut Fowler (1978a), ketamin bekerja menghambat refleks normal pharyngeal-laryngeal 'sehingga dapat mengurangi resiko penyumbatan inhalasi oleh makanan atau ingesta. Ketamin tidak
menyebabkan relaksasi otot skeletal. Efek yang muncul adalah
hipersalivasi. Kelopak mata terbuka namun kornea tetap basah. Ulserasi kornea akan terjadi pada pemaparan obat yang cukup lama. Kombinasi ketamin dengan xylazin atau diazepam juga digunakan. Xylazin merupakan sedativa non-narkotik, analgesik, dan relaksa otot. Efek ini dimediasi oleh depresi sistem syaraf pusat. Xylazin dapat disuntikkan intramuscular maupun intravena. Kombinasi ketamin dan diazepam (0'25-0,5 mgfkg BE) bertujuan mengurangi efek konvulsi. Diazepam menyebabkan relaksasi otot sehingga perilaku owa akan lebih tenang. Obat ini memiliki waktu metabolis cukup lama sehingga efek akan hilang setelah 60 hingga 90 menit (Fowler 1978a). ~nexate' (flumazenile 0,5 mgf5 ml) juga digunakan sebagai sedativa. Menurut Fowler (1978a), obat yang ideal harus memiliki antidota untuk mengurangi efek obat dan mencegah kematian karena kegagalan pernafasan atau masalah lain yang terjadi karena immobilisasi. Joslin (1999) dan Ludders et a/. (1982) menjelaskan bahwa sebagai antidota untuk mengurangi hipersalivasi, dapat digunakan atropin 0,12 mglkg BB, atau yohimbin
yo ever sin^) 0,125-0,251
mglkg BB. Edwar (2008, komunikasi pribadi) menjeiaskan sebaiknya owa dipuasakan minimal delapan jam sebelum anesthesia untuk mengurangi efek muntah. 4.3 Program Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practices)
Tiap lokasi studi telah melakukan program penangkaran dengan tingkat keberhasilan berbeda-beda. Edwar (2008, komunikasi pribadi) menyatakan bahwa upaya breeding pada owa tergantung dari (1) penjodohan, (2) pengkondisian pakan, dan (3) enclosure enrichmenf (pengayaan kandang). Kendala utama yang dihadapi dalam upaya penangkaran owa adalah pencarian pasangan yang tepat atau penjodohan. Owa merupakan satwa yang sangat sensitif dan pemilih dalam menentukan pasangannya. Oleh karena itu sangat sulit mencari pasangan yang sesuai bagi satu individu owa. Upaya
penjodohan dapat dikatakan berhasil jika kedua owa memperlihatkan perilaku sosial yaitu grooming. Selain itu juga tidak terlihat tanda-tanda stress pada owa. Upaya ini akan semakin berhasil apabila tersedia pakan yang tepat dan sesuai baik kualitas maupun kuantitas, serta adanya pengayaan kandang yang dapat merangsang munculnya perilaku alami owa. Permasalahan besar lain yang dihadapi adalah tingginya angka kematian pada owa yang baru lahir (infant). Kematian ini bisa disebabkan oleh lemahnya kondisi owa infant, induk betina yang tidak mau merawat dan menyusui anaknya, maupun akibat serangan dari owa lain. Menurut Edwar (2008, komunikasi pribadi) kematian tersebut dapat dicegah dengan melakukan pemisahan antara induk jantan dan betina segera setelah owa lahir. Kebun Binatang Surabaya melakukan pemisahan owa infant dari induk betina. Suharta (2007, komunikasi pribadi) menjelaskan selain bertujuan mencegah kematian owa dan memberi perawatan khusus di nursery, tindakan ini juga dilakukan untuk mempercepat kembali norrnalnya siklus reproduksi induk betina sehingga dapat segera bunting kembali. Tindakan ini cukup efektif dan dibuktikan dengan adanya dua ekor owa yang lahir di KBS dan telah berusia *1,5 tahun dan 6 bulan.
4.4 lmplementasi Medik Konservasi yang Baik Berdasarkan studi, dapat disarikan bahwa implementasi medik k o n s e ~ a s i merupakan kesatuan pogram pemeliharaan, program medis, dan program penangkaran, dalam mengharmonikan kualitas kehidupan satwa, manusia, dan lingkungan yang optimal. Secara garis besar tindakan ini dikategorikan dalam empat kelompok yaitu (1) preventif, (2) kuratif, (3) rehabilitatif, dan (4) promotif. lmplementasi medik konservasi pada owa berdasarkan studi kasus dan studi literatur dicantumkan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Gambaran umum implementasi medik konsewasi pada owa jawa berdasarkan studi lapangan dan studi literatur Tindakan Preventif
Definisi Uoava pikegahan oenvakit ieruiama zoonosis
Contoh Aplikasi Studi Literatur Studi Lapangan Prosedur karantina * oroses karantina oada satwa vana baru karantina satwa vana baru masuk minimal masuk minimal 30 hari ( P P S ~~ihmutzer) , 33 hari berdasarkanstandar CDC (Mootn~ck orosedur karantina: uemeriksaan fisik 1997) isemua lokasi), pemkriksaan darah (PPSC, prosedur karantina mencakup perneriksaan JGC, Schmutzer), uji tuberculosis (PPSC, fisik, pemeriksaan darah, deteksi dan kontrol JGC, Schmutzer), deteksi dan kontrol parasit penyakit, uji TB interval 2 minggu & rontgen, ldeworming (semua lokasi), serta vaksinasi vaksinasi hepatitis, tetanus, polio, rabies hepatitis (PPSC, JGC) & rabies (Schrnutzer) (Roberts 1978; Mootnick & Otsrowski 1999) Ruang Lingkup
.
pemeriksaan rutin kesehatan owa jawa
-
pemeriksaan rutin: pemeriksaan darah dan uji TB tiap 6 bulan (JGC), pemeriksaan feses&deworming tiap 3 bulan (semua lokasi), pemeriksaan kerokan kulit (JGC), vaksinasi hepatitis (PPSC, JGC) & rabies (Schmutzer)
monitor kesehatan * imunisasi hepatitis B pada perawat satwa perawat satwa pada awal masa tugas (PPSC.JGC) penggunaan perlengkapan khusus (wearpack, masker, sarung tangan, dan sepatu boot) (PPSC, JGC, Schmutzer) pelarangan merokok diiarea kandang (PPSG, JGC, Schmutzer)
pemeriksaan kesehatan rutin tiap satu tahun seperti pemeriksaan saat karantina (Mootnick & Otsrowski 1999)
perneriksaan kesehatan perawat satwa dan petugas terkait pada awal,masa tugas dan berkala meliputi uji TB intradermal (tiap 416 bulan), rontgen dhda, pemeriksaan feses komplit, pemeriksaan darah, dan pengambilan serum (Heuschele 1978; Silberman 1993) imunisasi perawat satwa dan petugas terkait meliputi imunisasi tetanus tiap 10 tahun, imunisasi rabies dan hepatitis B (Silberrnanl993) Standar prosedur kerja yang higienis menggunakan perlengkapan khusus (wearpack, masker, sarung tangan, dan
V,
w
sepatu boot), mencuci tangan seusal bekerja, tidak makan, minum dan merokok dl area kandang (Wells 1990; Silberman 1993) sistem kandang yang tepat dan higienis
Kuratif
Rehabilitatif
UPaYa pengobatan terhadap satwa sakit
Diagnosa dan tindakan terapi yang tepat dan segera
Pemulihan kondisi owa awal relokasi dan setelah sak~t
adaptasi bagi owa yang baru masuMahir
.
terapi cairan elektrolit
pembersihan kandang rutin 2x sehari pembersihan kandang rutin minimal 2x (PPSC, JGC) sehari menggunakan desinfektan (Fowler penggunaan disinfektan (semua lokasi) 1978b; Mootnick 1997; PKBSl 1995) sistem sanitasi dan irigas' kandang dengan pembuangan feses dan sampan di tempat septic tank khusus (PPSC, Schmutzer) khusus (Fowler 1978b) pembuangan feses dan sampah di tempat * penggunaan footbath di p~ntumasuk dan khusus (PPSC, Schmutzer) keluar gedung karantina, kandang, gudang penggunaan footbath di pintu masuk dan pakan (Silberman 1993) keluar gedung karantina, kandang, gudang pemasangan perangkap tikus serta paltan (PPSC, Schm~tzer) penggunaan rodent'sida dan insektisida pemasangan perangkap tikus (Schmutzer) . (Fowler 197813) pemberian obat tradisional seperti daun pemberian anthelmentik pada kasus jambu dan daun pepaya ketika diare (PPSC) helminthiasis (Martin 1978) pemberian anthelmentik saat terjadi kasus pemberian antibiotik padal kasus infeksi helminthiasis (semua lokasi) (Martin 1978; Renquist & Whitney 1987; pemberian buscopan@pada kasus kembung Schoeb 1989) (gastritis akut) (Schmutzer) pemberian preparat hormon tiroksin pada pemberian antibiotik pada kasus infeksi kasus alopecia (Florence & Peel 1977) (semua lokasi) tindak bedah pada kasus neoplasia (PPSC), radang gusi (PPSC), dan trauma (PPSC, KBS, Schmutzer) pemberian zat rangsang (minyak ikan, squalen topikal) pada kasus alopecia (PPSC) adaptasi pakan (semua lokasi) masa adaptasi minimal satu minggu (Roberts inkubator untuk owa infant yang baru 1978) dipisahkan dari induk (KBS)
.
pemberian cairan RL-dekstrosa 5% saat baru sembuh (PPSC, KBS, Schmutzer)
pemberian cairan RL-dekstrosa 5% saat baru sembuh (Martin 1978)
w VI
pemberian vitamin, suplemen, & pakan tambahan Promotif
peningkatan kualitas hidup
.
pakan yang memadai dan berkualitas
sistem kandang yang tepat dan higienis
.
minimalisir faktor stress
pemberian multivitamin (Martin 1978) pemberian mulitivitamin dan neurobionC3 (semua lokasi) 5 pakan berair (memperparah diare) dan t pakan padat (meringankan diare) (semua lokasi) pemberian pakan minimal 2x sehari (semua pemberian pakan minimal 2x sehari lokasi) kuantitaspakan dan mlnum yang memadai .penyortiran untuk memastikan kualitas pakan pakan yang bersih, tidak busuk pemberian makanan tambahan, vitamin, dan (PPSC, Schmutzer) suplemen pencucian pakan dari kotoran dan pestisida (Mootnick 1997; PKBSl 1995; Ullrey & Allen (PPSC, JGC, Schmutzer) 1993) memasak makanan olah (tahu) (JGC) tempat pakan dan minum yang bersih (PPSC, JGC, Schmuber) pemberian makanan tambahan seperti roti, madu,,tahu,tempe (JGC, Schmutzer) pernberian vitamin dan suplemen (semua lokasi) larangan pemberian makan oleh pengunjung (semua lokasi)
. .
pembersihan kandang rutin 2x sehari (PPSC, JGC) penggunaan disinfektan (semua lokasi) sistem sanitasi dan irigasi kandang dengan septic tank khusus (PPSC, Schmutzer) fasilitas inkubator di nursery (KBS)
.
pengayaan dan disain kandang yang dapat merangsang - - psikomotoris dan prilaku alami (semua lokasi) pemasangan owa (semua lokasi)
..
pembersihan kandang rutin minimal 2x sehari menggunakan desinfektan (Fowler 1978b; Mootnick 1997; PKBSl 1995)
* tersedianya ruang gerak dan lingki~nganyang merangsang . .psikomotoris dan prilaku (PKBSI 1995) pasangan untuk bersosialisasi, berinteraksi, dan berkembarlg biak (PKBSI 1995) VI
P
4.4.1 Tindakan Preventif
Tindakan preventif rnerupakan tindakan yang dilakukan untuk rnencegah rnasuk dan rnunculnya penyakit pada satwa, terutarna zonosis. Berdasarkan studi di empat lokasi, dapat disarikan bahwa tindakan ini meliputi prosedur karantina, perneriksaan kesehatan owa secara, rutin, monitor kesehatan perawat satwa, dan aplikasi sistern kandang yang higienis. Tindakan preventif dilakukan sejak owa datang dan selama berada di lembaga konse~asi.Menurut Wells et a/. (1990), tindakan ini rneliputi deteksi dan kontrol parasit, irnunisasi, uji tuberculin, dental prophylaxis, serta review rnanajemen pakan dan kandang secara periodik. 4.4.2 Tindakan Kuratif
Tindakan
kuratif adalah
upaya
pengobatan terhadap owa
sakit.
Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa tindakan kuratif dapat diwujudkan dengan rnelakukan diagnosa dan terapi yang tepat dan segera. Oleh karena itu diperlukan uji laboratoris untuk memperkuat diagnosa terhadap suatu kasus medis, sehingga dapat dilakukan tindakan terapi yang tepat. 4.4.3 Tindakan Rehabilitatif
Menurut Lelana (2007), tindakan rehabilitatif merupakan upaya pernulihan keadaan dan fungsi tubuh normal setelah relokasi atau sakit. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tindakan ini meliputi proses adaptasi bagi owa yang baru masuk dan owa infant, terapi cairan elektrolit, serta pemberian vitamin, supemen, dan pakan tarnbahan. Berdasarkan wawancara terhadap petugas terkait, proses adaptasi bagi owa yang baru masuk berupa penyesuaian lingkungan dan pakan. Perubahan lingkungan dan menu pakan dapat menyebabkan owa mengalami gangguan, terutama gastronestinal dan perilaku (stress). Oleh karena itu dilakukan penyesuaian secara bertahap hingga owa kernbali normal dan tidak stress. Menurut Roberts (1978), adaptasi mernerlukan waktu minimal satu rninggu. Berdasarkan analisa catatan medis dan wawancara, dapat disimpulkan bahwa tindakan rehabilitatif paling penting bagi owa sakit adalah terapi cairan. Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseirnbangan elektrolit dan cairan tubuh dengan rnelakukan infus Ringer Lactate - dekstrosa 5%.
Berdasarkan pengamatan dan catatan medis, empat lokasi studi juga melakukan tindakan
rehabilitatif berupa pemberian vitamin antara lain
~ e m a t o p a n(vitamin ~ dan penambah darah), Biosalaminem 0,5-1 cclekor (vitamin+ATP), ~ o n o ~ ~ o (mineral s ~ a n ~ dan vitamin), Metabolase" (vitamin & mineral), Neouroboran" 1-1,5 cclekor (vitamin B kompleks), Neurobion 5000" (vitamin B kompleks), lnjectavit" 2 cclekor injeksi intramuscular (multivitamin), dan Scott Emulsion syrupa peroral (multivitamin). Edwar (2008, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa pemberian ~ematopan" dimaksudkan untuk memacu produksi sel darah merah dan meningkatkan nafsu makan. 4.4.4 Tindakan Promotif
Tindakan promotif merupakan upaya peningkatan kualitas hidup owa secara biologis (Lelana 2007). Berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan sistem imun sehingga tidak mudah terpapar penyakit. Pelaksanaan tindakan promotif di empat lokasi studi rnencakup pemberian pakan maksimal baik secara kuantitas dan kualitas, pemberian vitamin, penerapan sistem kandang yang tepat dan higienis, serta upaya memperkecil faktor stress. Vitamin diberikan secara rutin tiap hari atau seminggu sekali. Multivitamin yang diberikan antara lain Sakatonik
ABC", Multivitaplexm, Scott Emulsion",
dan lnjectavitm. Adapun
upaya
memperkecil faktor stress antara lain dengan menerapkan disain dan pengayaan kandang yang dapat merangsang psikomotris dan perilaku alami, serta melakukan pemasangan owa.
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus terhadap implementasi medik konservasi pada owa jawa di PPS Cikananga, Kebun B~natangSurabaya, Javan Gibbon Center, dan Pusat Primata Schmutzer, TM Ragunan dapat disimpulkan bahwa: 1. Konsewasl eksitu owa perlu didukung dengan medik konse~asi, mengingat banyaknya masalah kesehatan, terutama kematian infant.
2. lmplementasi medik konservasi pada empat lokasi studi telah menerapkan aspek-aspek tindakan preventif, tindakan kuratif, tindakan rehabilitatif, serta tindakan promotif. 3. Untuk mengimpiementasikan medik konse~asiperlu didukung dengan
program pemeliharaan yang baik (good care practices), program medis yang baik (good medical practices), dan program penangkaran yang baik (good breeding practices). 4. Owa, manusia, dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dalam implementasi medik konservasi,. 5. Upaya
konse~asi eksitu
memegang
peranan
penting
dalam
mempertahankan eksistensi dan meningkatkan jumlah owa yang semakin kritis.
5.2 Saran
1. Pemeriksaan kesehatan rutin bagi SDM yang bekeja dengan o w Ram8 benar-benar dilaksanakan, mengingat owa berpotensi dalam panularan zoonosis.
2. Perlu dilakukan penyeragaman sistem pendataan di seluruh lernbaga konservasi eksitu untuk rnemudahkan transfer data saat translokaal,
3. Pemeriksaan status kesehatan owa, terutama terhadap rosnssls harup, dilakukan secara rutin, dengan lebih teliti dan segera.
4. Sabaiknya setiap owa rnemiliki kartu catatan medis tersendlrl, sehlngga memudahkan rnelihat data kesehatan sebelumnya dalam mengantieipari penyakit maupun dalam rangka translokasi atau reintroduksl
5. M u daakukan evaluasi mengenai upaya pengembangblahn 6 1 ~ 8 1 tercltama mengatasi tingginya angka kematian pada owa infant
DAFTAR PUSTAKA Bukhorie E. 2007. Owa Jawa Semakin Terancam karena Fragmentasi Habitat. Wildlife & Habitat 7(3): 1, 4-5. Fauzi RPS. 2006. Medis Konsewasi Berbasis Kesejahteraan Hewan: Studi Kasus pada Orangutan di Taman Margasatwa Ragunan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, lnstitut Pertanian Bogor. Florence BD, Peel RR. 1977. Alopecia in A Captive Group of Japanese Macaques (Macaca fuscata). J. Zoo and Animal Medicine 8(3):11-14. Fowler ME. 1978a. Restrain. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Anima4 Medicine. Philadephia: WB Saunders Company. hlm. 35-52. Fowler ME. 1978b. Sanitation and Disinfection. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine. Philadephia: WB Saunders Company. hlm. 2219. Heuschele WP. 1978. Preventive Medicine. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine. Philadephia: WB Saunders Company. hlm. 17-19. Joslin OJ. 1999. Other Primates Excluding Great Apes. Di dalam: Fowler ME, Miller RE, editor. Zoo and Wild Animal Medicine. Missouri: Saunders. Lelana RPA. 2004. Medik Konservasi Di dalam: Seminar Strategi Medis Konse~asi untuk Orangutan; lnstitut Pertanian Bogor, 25 September 2004. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, lnstitut Pertanian Bogor. Lelana RPA et a/. 2007. Pelestarian Satwa dengan Teknologi Reproduksi dan Medik Konse~asi.Bogor: Sekolah Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor. Loomis MR. 1993. Identification of Animals in Zoos. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine: Current Therapy. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm. 21-23.
Ludders JW, Sedgewick CJ, Manley SV, Haskins SC. 1982. Anesthesia for Restraint and Transportation of Five Lowland Gorrilas (Gorilla gorilla). Journal Zoo and Animal Medicine 13(2):78-81. Martin DP. 1978. Primates. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine. Philadephia: WB Saunders Company. him. 525-552. Martin HD et al. 1991. Conservation Biology and Veterinary Medicine. Di dalam: Proceeding of the Conservation of the Great Apes in the New World Order of the Environment; Tanjung Puting, 15-22 Desember 1991. Jakarta: Kementerian Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. hlm. 2-5. Mootnick AR. 1997. Management of Gibbons (Hylobates spp) at the lnternational Center for Gibbon Studies, California: with A Special Note on Pileated Gibbons (Hylobates pileatus). lnternational Zoo Year Book 35: 271-279. [terhubung
berkala].
http://www.gibboncenter.org/publications.htm
[I2
September 20071 Mootnick AR, Ostrowski SR. 1999. Procedures for Primate Quarantine at the lnternational Center for Gibbon Studies. Journal of Zoo & Wildlife Medicine 30(2):
201-207.
[terhubung
berkala].
http://www.gibboncenter.orgl
publications.htm f12 September 20071 Prawiradilaga DM. 2003. Pedoman dan Standar Penandaan Satwa Liar Dilindungi Ex-situ (Hidup dan Mati). Di dalam: Wedana M, Sicilia, Indria, editor. Proceeding Indonesia's Wildlife Seminar; Jakarta, 27-29 Maret 2003. Jakarta: Pusat Primata Schmutzer. hlm. 9-20. Primack RB, Supriatna J, M Indrawan, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [PKBSI] Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia. 1995. Diktat Perawatan Satwa. Jakarta: Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia. Renquist DM, Whitney RA. 1987. Zoonoses Acquired from Pet Primates. Veterinary Clinics of North America: Small Animal Practice 17(1): 219-240.
[terhubung berkala]. http:l/pin.primate.wisc.edu/aboutp/petslzoonoses.htmI [ I 5 Desember 20071 Roberts JA. 1993. Quarantine. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine: Current Therapy. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm. 326-331. Schioegel LM, Daszak P. 2004. Conservation Medicine: Tackling the Root Causes of Emerging Infectious Diseases and Seeking Practical Solutions. Wildlife Tracks 8 (4): 1-7. [terhubung berkala]. http://www.wildlifetrust.org/ news12005/images/wildlife~tracks.pdf[5 Mei 20071 Schoeb TR. 1989. Diseases of Laboratory Primates. http://www.netvet.wustl.edul species/primates/primatel.txt [ I 5 Desember 20071 Silberman MS. 1993. Animal and Human Welfare: Occupational Health Programs in Wildlife Facilities. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine: Current Therapy. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm. 57-61. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA). Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suyanto A. 2003. Mammals of Gunung Halimun National Park, West Java. Jakarta: CV Pandu Surya Jaya. Tumbelaka LITA. 2003. Peran Kebun Binatang dalam Program Penangkaran, pehabilitasi, dan Reintroduksi. Di dalam: Wedana M, Sicilia, Indria, editor. Proceeding Indonesia's Wildlife Seminar; Jakarta, 27-29 Maret 2003. Jakarta: Pusat Primata Schmutzer. hlm. 27-29. Ullrey DE, Allen ME. 1993. Identification of Nutritional Problems in Captive Wild Animals. Di dalam: Fowler ME, editor. Zoo and Wild Animal Medicine: Current Therapy. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm. 3841.
Weinhold B. 2003. Conservation Medicine Combining the Best of All Worlds. Environmental Health Perspectives 111 (10):524-529. [terhubung berkala].
http:l/www.ehponline.org/members12003/111-1O/EHP111pa524PDF.PDF [5 Mei 20071 Wells SK, Sargent EL, Andrews ME, Anderson DE. 1990. Medical Management of the Orangutan. Louisiana: The Audubon Institute.
Lampiran 1
13
Sasa
Data dasar dan catatan medis individu owa jawa di ernpat lokasi studi
I
I Cikananga
9
Remaja
PPS Cikananga
I
1 2005 lsolasi
15 September 2005
I Bandung Serahan masyarakat
I aastrointestinal (diare) / Hepatitis B
--
e2
No
Nama
Jenis Kelamin
14
Bombom
6
Remaja
15
Jowo
6
Remaja
16 Tigor 6 -
Dewasa
KB Surabaya
Kandang
30 Desember KB
--
--
?
Dewasa
KB Surabaya
--
6
Infant
KB Surabaya
--
Gg. reproduksi (distokia) Lahir prematur
6
Infant
KB Surabaya
--
6
Dewasa
KB Surabaya
--
30 Desember 1999 15 Februari 2002 12 Januari 2003 5 Juni2003
Mati, 24 November 2003 Mati, 15 Februari 2002 Mati, 17 Januari 2003 Mati, 26 November 2006
17
Belo
19
---
20
Rahul
21
Ciki
22
Reza
18
Umur
Lokasi Lembaga Konservasi PPS Cikananga PPS Cikananga
Lokasi Kandang lsolasi lsolasi
Waktu Pemeliharaan 2 Desember 2005 31 Desember 2005
Asal KONUS Bandung KONUS Bandung
KB Bandung Lahir, TigorBelo Lahir, TigorBelo KB Bandung KB Bandung
Catatan Medis Hepatitis B, gg. gastrointestinal (gingivitis) Hepatitis B, gg. integumentum (alopecia)
--
Keterangan
---
Gg. musculoskeletal (trauma) Dewasa KB Surabaya Kandang 5 Juni 2003 P -Gg. reproduksi Pulau (melahirkan abnormal, gg. laktasi), gg. muskuloskeletal (fraktura jempol) Unknown KB Surabaya Karantina 24 April 2004 P -EP Gg. lntegumentum Surabaya (gatal), gg. musculoskeletal (trauma), gg. respirasi (pilek) - ---y----p Unknown Infant 1September Lahir, Tigor- i Lahir prematur Mati, 1 2005 Ciki September 2005 Juvenile KB Surabaya Nursery 8 -20 Mei 2006 Lahir, Tigor- Gg. gastrointestinal Ciki (diare) Infant KB Surabaya Nursery 8 3 Maret 2007 Lahir, Tigor- Gg. gastrointestinal Ciki (diare)
-
23 -24
ET
25
Koko
--
No
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Lokasi Lembaga Konservasi Javan Gibbon Center Javan Gibbon Center Javan Gibbon Center Javan Gibbon Center Javan Gibbon Center Javan Gibbon Center Pusat Prirnata Schrnutzer
26
Yukl
?
Dewasa
27
Moni
?
Rernaja
28
Jeffry
6
Dewasa
29
Kiskis
6
Dewasa
30
Nancy
?
Dewasa
31
Moli
6
Dewasa
32
Atep
6
Dewasa
33
Ulah
?
Dewasa
34
Encep
?
Dewasa
35
Euis
'2
Dewasa
36
Rocky
6
Remaja
37
Rico
?
Rernaja
Pusat Prirnata Schrnutzer
Dewasa
Pusat Prirnata Schrnutzer
Pusat Prirnata Schrnutzer Pusat Prirnata Schmutzer Pusat Prirnata Schmutzer Pusat Prirnata Schrnutzer
Lokasi Kandang Kandang Sosialisasi Kandang Penjodohan Kandang Penjodohan Kandang Sosialisasi Kandang Penjodohan Kandang Penjodohan Kandang Peraga (22) Kandang Peraga (22) Kandang Peraga (16A) Kandana Peraga 7 1 6 ~ )
--
---
Waktu Pemeliharaan Maret 2003 Maret 2003 September 2003 Februari 2004 Juni 2004 20 September 2004 16Agustus 2002 16Agustus 2002 3 Juli 2003
Serahan rnasyarakat TN Ujung Kulon Serahan rnasyarakat Serahan rnasyarakat Serahan masyarakat Serahan masyarakat TM Ragunan
15 Desember 2003
TM Ragunan TM Ragunan TM Ragunan Serahan rnasyarakat
15 Desernber 2003
Serahan rnasyarakat
21 Februari 2004
Serahan rnasyarakat
3 Juii 2003
Catatan Medis
Asal
Keterangan
Tidak ada inforrnasi
--
Tidak ada inforrnasi
--
Tidak ada inforrnasi
--
Tidak ada inforrnasi
--
Tidak ada inforrnasi
--
Tidak ada inforrnasi
--
Gg. perilaku (stress), gg. gastrointestinal (diare)
--
--
--
Gg. gastrointestinal (diare)
--
--
--
Gg. respirasi (ISPA, pilek), gg. gastrointestinal (diare) Gg. gastrointestinal (diare), gg. respirasi (pilek) Gg. respirasi (pilek), gg. gastrointestinal (balantidiosis)
Translokasi ke TM Ragunan, 13 April 2004 Translokasi ke TM Ragunan, 13 April 2004 Translokasi ke TM Ragunan, 30 Januari 2007
0. VI
No
Nama
Jenis Kelamin
Umur
39
Romi
a
Remaja
40
Cecep
6
Dewasa
41
Aldo
52
Siti
53
--
Lokasi Lembaga Konservasi Pusat Prirnata Schmutzer Pusat Primata Schrnutzer Pusat Primata
Dewasa
?
Dewasa
Unknown Infant
1
Schmutzer Pusat Primata Schmutzer Pusat Primata Schrnutzer
Lokasi Kandang
-Karantina Karantina
Kandang Peraga (19C)
--
I
4 A~ril2004 1 Aaustus 20& 1 Agustus 2004 1 Agustus 2004 1 Agustus 2004 1 Agustus 2004 21 Agustus 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 18 Oktober 2004 11 Februari 2006
/
Serahan / masyarakat I PPS Cikananga PPS Cikanang PPS Cikananga PPS Cikananga PPS Cikananga Serahan masyarakat TM Ragunan TM Ragunan TM Ragunan TM Ragunan TM Ragunan TM Ragunan I TM Ragunan Lahir, AtepUlah
I I
I
Keterangan
Catatan Medis
Asal
Waktu Pemeliharaan
I
I Gg. gastrointestinal I (dia6) I Gg. gastrointestinal
I
I
I Mati, 18 April 1 2004
--
(kembung) Gg. perilaku (stress)
--
--
--
--
--
Gg. perilaku (stress)
--
Gg. gastrointestinal (diare) Gg. - gastrointestinal (diare)
--
-
--
---
--
Gg. muskuloskeletal (trauma) Gg. muskuloskeletal (robek telunjuk kiri)
--
--
--
--
--
--
--
--
Mati, 11 Februari 2006
rn, rn.
No
Nama
Jenis Kelamin
Umur
I
Janet
55 I
56 57
? I
1 Mename I ng Yayat
P
8
Remaja I
I Dewasa
Lokasi Lembaga Konservasi Pusat Primata Schmutzer
Lokasi Kandang
--
Pusat Primata Schrnutzer
--
Pusat Prirnata Karantina Schrnutzer -Dewasa Pusat Primata Karantina Schrnutzer Dewasa Pusat Prirnata Karantina Schrnutzer Unknown Pusat Prirnata Kandang Schrnutzer 1Pulau (1) Unknown Pusat Primata IEnclosure Schmutzer IMacaca Pusat Primata .Schmutzer -
Waktu
Asal
20 Februari 2006
Serahan masyarakat
20 februari 2006
Serahan rnasyarakat
30 Maret 2006
Serahan rnasyarakat Serahan masyarakat Serahan rnasyarakat TM Ragunan TM Ragunan Lahir, AtepUlah
14 Juni 2007 14 Juni 2007
Januari 2007 Januari 2007 11 September 2007
Catatan Medis
Keterangan Translokasi ke TM Ragunan, 5 Desernber 2006 Translokasi ke TM Ragunan, 5 Desember 2006
--
Contoh software ARKS dari Pusat Primata Schmutzer
Lampiran 2
Report Start 11111900
I
Report End 8/29/2007
Specimen Report for
Taxonomic Hylobates moloch
Family: Hyiobatidae Order. Primates
Common name: Javan gibbon
... .
. . . .... . .. ....
Current information Sex:
Female
Sire ID:
WILD at Obtained From Wild
Birth type:
Wild Born
Dam ID:
WILD at Obtained From Wild
Birth Location: Obtained From Wild
Rearing:
Unknown
6irthdate:Age:
Hybrid:
Not a hybrid
- 2000
7Y,OM,27D +/,I Yr.
Time since last 3Y,OM,27D as of report end date Date in
Acquisition
-
Holder
1 Aug 2001Donation from, Quarantine UNKNOWN INONE Date -
Identifier tvpe Identifier 1 Aug 2004 House Name Miss 7Jun2007 Transponder ID
Date
Disposition
-
SCHMUTZER I S20422 Location
9851200288791
Note tvpe
23 Aug 2005Acquisition note
Arrived here afler being held at Cikananga PPS since 22.08.2003. Oringinally conficated from Tegal Buleud, Sukabumi.
17 Jun 2007 Note
Replaced: Vendor unknown cPPSC> with
Mnemonic Validation: 611712007 2:16:59 AM
rn
Enclosure
1 Aug 2004 Quarantine 12
Date
Sex
1 Aug 2004 Female Date -
Rearinq
1 Aug 2004 Unknown
Date
local Id
Location
1 Aug 2004 Sire
WILD
WILD
1 Aug 2004 Dam
WILD
WILD
Printed:812912007
Schmutzer Primate Centre, Ragunan Zoo
Parentb)
Page 2
Lampiran 3 Contoh kandang tertutup
Kandang owa juvenile di nursery Kebun Binatang Surabaya
Kandang rnalam (hook) dari kandang pulau di Kebun Binatang Surabaya
Kandang sosialisasi di Javan Gibbon Center
Kandang peragaan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan
Lampiran 4 Contoh kandang terbuka
Kandang pulau di Kebun Binatang Surabaya
Lampiran 5 Contoh evaluasi pakan menggunakan skala alometrik pakan di Javan Gibbon Center
I I
I
SICALA ALflCtldETRIK PAI(AII JAVAII 4jlBBOtl CEIITER Tgi. Analisa : 20 Maret 2006 Tg Dalang 20 Sec3ember 2004 TS -anr 2001 Pssl Bogor [O~n,ng h a m'.n)
Species : OvMI J m Nama: Moli Jenis Kelamin : Jantan Berat badan : 5.3 kg KebLnuhan energi:
Total intake makanan : Total kaiori : Totel protein : Food item:
MEC 244.51
1
576.50 462.77 11.51 15
1.5MEC 366.765
2MEC
489.02
]
2.5MEC 611.275
3MEC 733.53
73
Lampiran 6 Fasilitas dan aktivitas di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga
Klinik hewan
Gedung karantina yang terletak cukup jauh dari area kandang lain
Kompleks kandang owa jawa
Gudang pakan
Pembersihan kompleks kandang menggunakan mesin penyemprot
owa
dengan
sistem
basah
Lampiran 7 Fasilitas di Kebun Binatang Surabaya
Klinik hewan dan gedung karantina
Gedung nursery bagian depan
Gedung nursery bagian belakang
Lampiran 9 Fasilitas di Pusat Primata Schmutzer
Rumah Gorila dan Dapur Primata
Lemari pendingin untuk menyimpan makanan