Hery Wijayanto
Penyelamatan, perawatan, rehabilitasi dan pelepasliaran satwa liar memiliki 3 kepentingan: 1. Program ini memberi kesempatan belajar
tentang satwa liar dan lingkungan kita 2. Berkontribusi terhadap konservasi spesies 3. Untuk kesejahteraan hewan
Perawatan satwa liar juga menyediakan kesempatan untuk mempelajari tentang biologi, sejarah alami, habitat, populasi, tingkah-laku, reproduksi, dan penanganan spesies
1. Kesejahteraan hewan
Kesejahteraan satwa liar yg luka, sakit, atau ditinggal mati induknya harus menjadi perhatian dari waktu ke waktu sejak diselamatkan sampai pelepasliaran Penanganan yg tepat dan manusiawi sangat penting untuk diterapkan Jika hewan harus dieutanasi, harus dipastikan tidak ada ekspose stress tambahan (banyak orang, gaduh, terlalu banyak sentuhan, banyak orang lalulalang, dan temperature ekstrem
Transportasi hewan menuju fasilitas perawatan/klinik hewan, harus dipastikan bahwa cara transportasinya benar, dan stress harus diminimalisir semaksimal mungkin Satwa lebih nyaman dalam kondisi gelap,
tenang, ventilasi cukup, dan lingkungan yang sejuk Tidak disarankan memberi makan dan minum selama transport (kecuali waktunya cukup lama antara saat diselamatkan hingga tiba di fasilitas penyelamatan)
Tujuan utama penyelamatan satwa liar adalah rehabilitasi dan pelepasliaran sesegera dan seefektif mungkin Prognosis dan penilaian harus dilakukan
segera, apakah hewan dapat dilepasliarkan, ditidurkan, atau dapat dimanfaatkan untuk edukasi dalam captivity (harus ada persetujuan dari otoritas satwa liar)
Lingkungan pemeliharaan harus memenuhi kebutuhan fisik dan psikis hewan
2. Kesehatan hewan
Pelepasliaran satwa harus tidak boleh mengintroduksi organisme asing yang mungkin diperoleh selama dalam proses rehabilitasi yang dapat mengganggu keseimbangan alami antara hospes, lingkungan, dan patogen
Disease risk assesment Disease risk assesment pada satwa liar hingga
saat ini masih terkendala oleh 2 hal: 1. 2.
keterbatasan pengetahuan kita tentang agen infeksi yang dibawa satwa liar; sedikitnya test yang sesuai untuk deteksi beberapa patogen satwa liar
Beberapa uji klinis yg biasa dilakukan antara
lain: clinical assesment, uji labotatorik (haematologi, biokimia, serologis, uji feces, mikrobiologi), screening test untuk penyakit spesifik (tuberkulin test)
Clinical assesment Idealnya, clinical assesment harus dilakukan
oleh drh pada semua satwa yang direhabilitasi Akan tetapi, jika tidak ada penyakit yg perlu perhatian khusus, drh mungkin saja tidak melakukan Clinical assesment Clinical assesment meliputi: pemeriksaan fisik, hematologi, uji feces, serologis, analisis biokimia, blood smear
Pada beberapa kasus, sangat bijaksana jika dapat menyimpan serum atau plasma pada suhu -70oC untuk retrospective disease investigation Jika status penyakit satwa telah dapat ditentukan, harus diputuskan apakah satwa dapat ditreatment dan direhabilitasi atau, jika terlalu beresiko untuk satwa lain, satwa harus ditidurkan
Pre-release assesment Sebelum release semua satwa liar harus
diperiksa secara klinis dan uji kesehatan serta di cek oleh rehabilitator yg berpengalaman Satwa harus bebas dari agen infeksi yg membahayakan satwa lain jika dilepas liarkan Satwa yg dilepasliarkan tidak boleh mengandung agen infeksi yg bukan agen infeksi endemik di area pelepasan
Disease risk management Untuk meminimalisir terinfeksi patogen dari
satwa lain, dari lingkungan atau dari darah atau air dapat dilakukan dengan upaya preventif (karantina), desain kandang yg baik, nutrisi, uji rutin dan pengobatan, pembasmian hama, serta pemeriksaan postmortem
Karantina Karantina adalah isolasi dan screening
kesehatan satwa yg bertujuan untuk mencegah atau mengontrol introduksi atau penyebaran penyakit infeksi Periode karantina beragam, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan kita tentang beberapa penyakit Perawatan satwa dalam fasilitas perawatan semakin singkat semakin baik
Karantina satwa untuk rehabilitasi dan pelepasaliaran memiliki 2 tujuan: 1. Untuk mengamati/periode isolasi dimana
penyakit subklinis mungkin menjadi klinis atau terdeteksi sebelum satwa baru masuk dan kontak dengan hewan rehabilitasi lain 2. Untuk mencegah infeksi penyakit dari satwaliar yg belum siap dilepasliarkan ke satwa yg siap dilepasliarkan
Desain kandang Desain kandang harus dirancang dengan
hati-hati untuk mencegah penularan penyakit dan meminimalisir stress hewan Satwa harus terlindung dari kebisingan, cuaca ekstrem, dan persinggungan dengan hewan domestik Cahaya matahari harus cukup, selain untuk kebutuhan satwa (sintesis vit D), juga untuk membunuh bakteri, virus, dan fungi
Kandang dan furniture harus mudah
dibersihkan dan disinfeksi Memiliki drainage yg baik dan mudah kering Kandang harus nyaman untuk satwa, memiliki shelter, tempat bersembunyi, pembatas pandang, enrichment, dan air untuk satwa akuatik dan semi-akuatik
Pemeliharaan Good animal husbandry techniques sangat penting untuk menjaga kesehatan satwa dan mencegah penularan penyakit 2. Tempat cuci tangan dengan sabun dan antiseptik harus tersedia (mencegah infeksi zoonosis) 3. Penggunaan disinfektan yg tepat dan reguler harus diterapkan sesuai petunjuk pabrik 4. Kandang yg pernah terisi satwa sakit harus dibersihkan dengan tuntas dan didisinfeksi sebelum digunakan untuk satwa yg baru 1.
5. Sanitasi, membuang feces dan sampah
(sisa pakan dll) akan mencegah hama yg membawa penyakit. Air siraman kotoran tidak boleh mengalir/melalui kandang lain. Level dan pembersihan kandang harus disesuaikan dengan stress dan gangguan yg mungkin timbul terhadap satwa 6. Jika satwa harus dikandangkan dalam grup, harus dipertimbangkan umur, jenis kelamin, dan spesies
7. Satwa baru harus dikandangkan secara
individual sampai drh yakin bahwa satwa tsb tidak menularkan penyakit 8. Semakin cepat periode rehabilitasi semakin baik
Diet dan nutrisi 1. Pakan sedapat mungkin harus segar
(daerah tropis pakan segar cepat membusuk, harus dibersihkan dan diganti dengan rutin) 2. Pakan beku tidak boleh disimpan lebih dari 3 bulan 3. Air minum segar harus tersedia setiap saat di bejana yg bersih, bahkan untuk satwa yg secara alami tidak terlalu perlu air)
4. Jika satwa dalam grup, jumlah tempat
pakan harus mencukupi untuk menjamin semua satwa memiliki akses yg sama ke pakan
Pengobatan rutin dan pencegahan penyakit Dilakukan untuk mencegah patogen atau satwa terinfeksi patogen 2. Pengobatan rutin terutama ditujukan untuk kontrol parasit dengan tetap mempertimbangkan aspek imunitas satwa (jangan semua parasit dihilangkan) 3. Satwa dalam penangkaran lebih rentan thd infeksi (salmonelosis, candidiasis, coccidiasis) yg diduga karena immune incompetence, immune suppression, dan ekspose terhadap lingkungan dan satwa lain yg terkontaminasi 1.
4. Meskipun beberapa vaksin telah tersedia
(Bordetella bronchiseptica, tetanus, footrot), tetapi tidak dianjurkan memvaksin satwa selama dan sebelum dilepasliarkan
Kontrol dan pencegahan hama
Spesies hama (rodent, kelelawar, burung, kelinci, serangga) sangat potensial menyebarkan penyakit dan membuat stress satwa Rodent menyebarkan salmonella, leptospira, encephalomyocarditis virus serangga menyebarkan parasit darah (malaria, leucocytozoon) dan virus (pox viruses) Penggunaan perangkap dan racun untuk kontrol serangga harus mempertimbangkan keamanan terhadap spesies non target
3. Tanggap darurat satwa liar (wildlife emergencies) Penyelamatan satwa liar biasanya menarik perhatian publik dan media. Dalam penyelamatan satwa liar, aspek penyelamatan minor akan memerlukan usaha besar Dokter hewan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan satwa, tetapi dengan tetap mempertimbangkan aspek lain Keputusan penyelamatan satwa dalam kondisi emergensi diutamakan untuk kepentingan prinsip-prinsip biologi dan konservasi, setelah itu baru kesejahteraan dan emosi orang2 yang terlibat
Keterlibatan dokter hewan tetap harus merujuk pada keputusan institusi pemerintah yg relevan dengan konservasi Dokter hewan harus dapat menghargai otoritas instansi, terutama dokter hewan yg belum berpengalaman. Konsultasi dengan orang yg lebih berpengalaman. Prinsip utama: dengar, pelajari, menilai, dan rencana sangat bijak untuk diterapkan
Jika banyak pihak dan volunter terlibat secara signifikan, drh harus concern pada semua faktor dengan hati-hati, evaluasi situasi, asses hewan secara klinis, ambil sampel untuk diagnosa (meskipun jelas prognosanya tidak baik) sebelum membuat keputusan atau memberi saran, terutama jika eutanasia menjadi rekomendasi akhir Jangan mudah membuat statement ke media, kecuali jika drh diminta secara khusus
4. Kesehatan manusia
Drh bertanggung jawab juga terhadap patogen zoonotik untuk melindungi staff, client, dan perawat satwa Resiko terbesar adalah saat awal penyelamatan dan penangkapan melalui gigitan, cakaran, dan semburan Penyelamatan umumnya melibatkan emosi yg tinggi, sehingga relawan kadang mempertaruhkan keselamatannya sendiri untuk menyelamatkan satwa
5. Euthanasia Drh menduduki posisi penting dalam memutuskan dan menfasilitasi euthanasia Euthanasia diputuskan jika satwa tidak mungkin diselamatkan, atau jika pelepasliaran hanya memperpanjang penderitaannya, atau anak yang tidak mungkin dirawat
Kriteria euthanasia 1. Satwa menderita luka parah yg tidak
mungkin diatasi/diobati 2. Satwa menderita luka yg meninggalkan cacat dan tidak memungkinkan untuk survivalnya 3. Hasil diagnosa memberika prognosa yg buruk meskipun di treatment 4. Satwa menderita penyakit infeksi yg mengancam satwa lain selama rehabilitasi maupun saat pelepasliaran
Satwa sakit atau lemah yg populasinya masih melimpah (memberi kesempatan hilangnya gen yg lemah (Hanger and Tribe, 2005) 6. Satwa anakan yg tidak memiliki induk, atau yg jika dilepasliarkan atau dipelihara tingkat keselamatannya rendah 7. Tidak ada fasilitas pemeliharaan (fasilitas, personel, finansial, pakan, drh, obat2an) 8. Pelepasliarannya ilegal atau dilarang karena resiko penyakit dan tidak mungkin dipelihara permanen 5.
9. Spesies hama 10. Satwa yg tingkah-lakunya tidak
memungkinkan untuk dilepasliarkan
Teknik euthanasia Euthanasia bertujuan untuk menghilangkan
kesadaran secara cepat diikuti dengan kematian dengan rasa sakit distress, dan ketidaknyamanan yg minimal Euthanasia harus mudah dan aman dilakukan,
reliable (dapat diandalkan), sedapat mungkin tidak berpengaruh secara gross maupun histologis, tersedia dengan mudah dan murah, dapat dotolerir oleh personil yg melaksanakan maupun pemerhati
Suntikan IV pentobarbitone merupakan pilihan terbaik yg dapat diterima dan manusiawi Dalam beberapa kasus, euthanasia tidak mungkin diberikan karena ukuran satwa yg ekstrem, tidak adanya teknik yg manusiawi, atau jarak yg terlalu jauh. Untuk kasus seperti ini, satwa boleh dibiarkan mati tanpa intervensi Setelah euthanasia, harus dipastikan satwa telah mati sebelum dilakukan nekropsi atau penguburan Satwa yg menderita penyakit berbahaya harus dikremasi
6. Nekropsi
Satwa yg mati atau dieuthanasi harus dinekropsi oleh drh satwa liar atau drh ahli patologi Nekropsi tidak hanya untuk diagnosa, tetapi juga untuk mempelajari anatomi dan fisiologi satwa Penentuan penyebab kematian memberi kesempatan mempelajari alasan dan upaya penyelamatan satwa yg menderita penyakit yg sama dan memberi pertimbangan apakah satwa dapat dilepasliarkan atau tidak
Satwa liar yang umum dan dapat mati pada pembasmian hama atau boleh diburu jika menderita penyakit dan dapat menular akan lebih baik jika dieuthanasia dan dinekropsi untuk menggali informasi yg penting untuk disease surveillance pada satwa liar dan manajemennya