47
6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatur, mengelola serta mengalokasikan pemanfaatan SL secara lestari dan berkeadilan dalam bentuk pengendalian atau pembatasan pemanfaatan SL secara serasi dan seimbang. Upaya pengendalian diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Peraturan perundangundangan tersebut diharapkan menjadi instrumen untuk mengatur dan mengendalikan perilaku aparatur pemerintah sebagai pelaksana dan masyarakat pemanfaat SL sebagai kelompok sasaran. Maarse dalam Hoogerwerf (1983) menyatakan bahwa implementasi kebijakan atau peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh 4 aspek, yaitu: isi kebijakan (peraturan); informasi; dukungan; dan pembagian potensi. Implementasi dapat gagal karena samar-samarnya isi dari kebijakan, misalnya tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penetapan prioritas, program yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Tidak terdapat struktur komunikasi yang mampu memperlancar arus informasi baik antar pelaksana dan antar pelaksana dengan objek (sasaran) kebijakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat sulit jika pada pelaksanaan tidak cukup dukungan untuk kebijakan ini. Selanjutnya pembagian potensi dilakukan dengan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang terkait. Berikut ini dianalisis dan dibahas aspek-aspek yang mempengaruhi keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Aspek-aspek yang dibahas meliputi: isi peraturan perundang-undangan; aliran informasi dan pemahaman peraturan perundang-undangan; dukungan masyarakat; serta pembagian tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan SL. 6.1 Isi Peraturan Perundang-Undangan Peraturan perundang-undangan dikatakan berfungsi sebagai instrumen pengendali perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarkis, serta memiliki kecukupan isi (Mazmanian dan Sabatier 1983; Maarse dalam Hoogerwerf 1983; Isworo 1996; Harjono 2005). Kecukupan isi peraturan perundang-undangan dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana (Mazmanian dan Sabatier 1983). Selanjutnya Purwanto dan Sulisyastuti (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya proses implementasi adalah kualitas kebijakan (peraturan), kualitas kebijakan meliputi kejelasan tujuan dan kejelasan pelaksana. Hasil analisis menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL, khususnya UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003 menurut urutannya telah sesuai secara hierarki. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan legislasi dasar, PP 8/1999 merupakan aturan pelaksanaannya, serta Kepmenhut 447/2003 sebagai aturan pelaksanaan lebih lanjut yang merupakan pedoman pemanfaatan tumbuhan dan SL.
48 Peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES di Kabupaten Maros belum ada. Oleh sebab itu, kewenangan pemberian izin pemanfaatan komersial SL kupu-kupu belum diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Peraturan tersebut keberadaannya diperlukan, sebab secara hierarki merupakan turunan dari UU 32/200411 dan PP 38/2007 serta tindak lanjut dari Permen LH 29/2009. Peraturan tersebut diharapkan sebagai penjelasan lebih lanjut dari PP 38/2007 serta menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Maros dalam melaksanakan kewenangannya terkait dengan pemanfaatan SL. Analisis kecukupan isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu dilakukan terhadap UU 5/1990, PP 8/1999, PP 38/2007, Kepmenhut 447/2003, dan Permen LH 29/2009 (Tabel 6.1). Tabel 6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar Peraturan Tujuan perundangan
Objek hukum
UU 5/1990
Dijelaskan dalam Pasal 3
PP 8/1999
Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Tidak ada
Diatur dalam Diatur Pasal 36 ayat (1) dalam Pasal butir d 40 ayat (2) dan (4) Diatur dalam Diatur Pasal 18 ayat (1) dalam Pasal dan (2) 58 Diatur dalam Tidak ada Lampiran AA Diatur dalam Diatur Pasal 6─16, dalam Pasal Pasal 24─28, 112 Pasal 31─33, Pasal 43─46, Pasal 50─55, Pasal 61─70, Pasal 80─90, Pasal 94─95, Pasal 102─103, dan Pasal 107─111. Diatur dalam Tidak ada Pasal 3, 5, 7, Pasal 8 ayat (1)─(3), Pasal 10, 13, dan 19
PP 38/2007 Kepmenhut 447/2003
Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1)
Permen LH 29/2009
Dijelaskan dalam Pasal 1
11
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Sanksi
Kewenangan pelaksana Tidak ada
Diatur dalam Pasal 65 butir a dan b Diatur dalam Lampiran AA Diatur dalam Pasal 9, 10, 12, 33, 43, 70, 81, 82, 85, 87, 89, 90, 94, 95, 102, 107, 108, 109, 110, dan Pasal 116.
Diatur dalam Pasal 4, 6, Pasal 8 ayat 4, Pasal 11, 12, 22, 23, dan 24
49 Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL secara umum belum memenuhi syarat kecukupan sebagai instrumen pengendali, hal ini ditunjukkan oleh UU 5/1990 belum menyebutkan kewenangan yang jelas kepada pelaksana. Demikian halnya PP 38/2007 belum secara jelas menyebutkan tujuan serta sanksi dalam isi peraturan tersebut. Selanjutnya Permen LH 29/2009 juga belum menyebutkan ketentuan sanksi, padahal ketentuan sanksi dalam setiap peraturan diperlukan. Menurut Kasper dan Streit (1998) bahwa kelembagaan tanpa sanksi tidak akan berguna. Bila dianalisis lebih lanjut terhadap isi UU 5/1990, PP 8/1999, dan Kepmenhut 447/2003, maka ditemukan beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, terutama yang terkait dengan sanksi bagi pelaku perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi. Hal ini menimbulkan interpretasi yang berbeda dari para pelaksana peraturan di lapangan. Isi peraturan perundang-undangan harus jelas, karena isi yang samar-samar akan menimbulkan kesalahfahaman ketika diimplementasikan. Secara substansi, isi dari pasal 18 ayat (1) PP 8/1999 menyatakan bahwa "... Tumbuhan dan SL yang dapat diperdagangkan adalah jenis SL yang tidak dilindungi...". Pada pasal 26 ayat (1) Kepmenhut 447/2003 menyebutkan bahwa penangkapan SL wajib diliput dengan izin, selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa peredaran komersial (perdagangan) hanya dapat diizinkan bagi Pengedar Dalam Negeri atau Pengedar Luar Negeri yang terdaftar dan diakui. Hasil analisis terhadap isi PP 8/1999, ditemukan bahwa PP tersebut belum mengatur dengan jelas mengenai ketentuan sanksi bagi siapa-siapa (perorangan maupun badan usaha) yang melakukan perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin, baik sanksi pidana maupun denda administrasi. Ketentuan sanksi terhadap siapa-siapa yang bukan merupakan badan usaha yang didirikan munurut hukum Indonesia (tidak memiliki izin), kemudian melakukan perdagangan SL dari jenis-jenis yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES belum dijelaskan secara spesifik. Pasal 57 PP 8/1999 menjelaskan bahwa perbuatan melakukan perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin dapat dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan. Sementara itu, aturan hukum untuk menjerat penyelundup terdapat dalam UU 10/1995 tentang Kepabeanan. Penyelundupan dalam UU tersebut hanya menyangkut kegiatan mengimpor atau mengekspor barang, tidak termasuk perdagangan yang dilakukan di tingkat lokal. Pasal 64 ayat (2) PP 8/1999 secara jelas memang menyatakan bahwa "...Pelanggaran sebagaimana pasal 50,...,57,...63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan SL tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara...". Namun demikian ancaman sanksi tersebut tidak cukup membuat efek jera bila tidak disertai dengan ancaman pidana atau denda administrasi. Hasil wawancara dengan para pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan bahwa belum ada ketentuan sanksi terhadap pihak-pihak yang bukan merupakan badan usaha terdaftar dan melakukan aktivitas perdagangan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi. Hal ini menyebabkan para petugas di lapangan ragu untuk bertindak, sehingga aktivitas pemanfaatan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi berlangsung secara tidak terkendali, sebab tidak ada proses hukum atas tindakan tersebut.
50 Pendapat tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara dengan pejabat di Direktorat Penyidikan Ditjen PHKA, yang menyatakan: "...terkait dengan pasal 57 tersebut, PP 8/1999 merupakan aturan yang "akrobatik", sebab proses penyidikannya tidak bisa langsung mengacu kepada UU 5/1990 karena dalam UU tersebut tidak ada sanksi bagi pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi. Sehingga proses hukum atas pelanggaran tersebut harus mengacu kepada UU Kepabeanan, maka diserahkan kepada penyidik Bea Cukai atau Karantina, jadi prosesnya panjang...". (DP1.6).
Substansi dari Kepmenhut 447/2003 masih sangat umum. Isi Kepmenhut 447/2003 menyangkut objek yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh jenis tumbuhan dan SL. Sementara itu, kupu-kupu yang merupakan kelompok SL dari kelas serangga membutuhkan aturan yang lebih detail. Sebab SL tersebut memiliki siklus hidup yang spesifik dan memiliki musim perkembangbiakan. Sifat dari SL ini yang dapat terbang kemana-mana menyebabkan sulitnya membatasi atau melarang pihak-pihak yang tidak berhak untuk memanfaatkannya. Contoh dalam hal ini adalah sulitnya mengawasi setiap warga yang menangkap kupukupu di pekarangan rumahnya atau di tempat-tempat lain. Selain itu, isi dari Kepmenhut 447/2003 belum sepenuhnya dapat diimplementasikan karena karakteristik situasi di lapangan yang tidak memungkinkan. Seperti misalnya terkait dengan implementasi Pasal 61 Kepmenhut 447/2003, yang menyatakan bahwa "... Seluruh kegiatan peredaran komersial dalam negeri wajib disertai Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar (SATS-DN)...". Ketentuan tersebut dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul sulit untuk dilaksanakan. Para penangkap yang menjual kupu-kupu kepada pengumpul pedagang, selanjutnya pengumpul pedagang menjual kepada penjual souvenir atau pembeli setempat tidak disertai dokumen SATS-DN. Setiap peredaran (perdagangan) kupu-kupu di tingkat lokal di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang wajib disertai dokumen SATS-DN sulit untuk dilaksanakan, mengingat jarak angkut yang tidak terlalu jauh antara penjual dan pembeli. Kesulitan lainnya adalah dalam hal jarak tempat tinggal atau tempat usaha pengumpul pedagang dengan kantor BKSDA, sebab menurut ketentuan Kepmenhut 447/2003 dokumen SATS-DN diterbitkan oleh Kepala BKSDA atau Kepala Seksi Wilayah yang ditunjuk. Sesuai dengan Lampiran AA PP 38/2007 disebutkan bahwa pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi melaksanakan pengawasan pemberian perizinan. Isi dari peraturan tersebut belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi bagi penangkap maupun pengedar tumbuhan dan satwa liar yang tidak memiliki izin. Selain itu, peraturan tersebut belum menjelaskan mekanisme pengawasan yang terkait dengan pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Sementara itu, substansi Permen LH 29/2009 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pengelolaan keanekaragaman hayati dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Peraturan ini diharapkan menjadi NSPK dalam pengelolaan keanekaragaman hayati termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu. Namun berdasarkan hasil penelaahan atas isi peraturan tersebut menunjukkan bahwa Permen LH 29/2009 masih sangat umum.
51 Isi dari peraturan tersebut mencakup perencanaan konservasi keanekaragaman hayati; kebijakan dan pelaksanaan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan dan pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati; pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati; penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati; pengembangan sistem informasi dan pengelolaan data base keanekaragaman hayati; serta pembiayaan. Substansi dari peraturan ini belum operasional untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kecukupan isi peraturan dalam rangka pemanfaatan komersial kupu-kupu maka diperlukan peraturan yang lebih operasional di tingkat lapangan sesuai dengan karakteristik alami SL kupu-kupu dan karakteristik situasi pemanfaatan. Aturan operasional tersebut bersifat lokal spesifik yang dibuat berdasarkan data dan informasi yang dimiliki oleh pihakpihak yang terkait serta mengakomodir pengetahuan masyarakat pemanfaat kupukupu di daerah penyangga TN Babul, Kabupaten Maros. 6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan Perundang-Undangan Implementasi peraturan akan memperoleh hasil yang optimal apabila pembuat peraturan, pelaksana di lapangan, serta kelompok sasaran memperoleh informasi yang memadai tentang objek permasalahan yang akan diatur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kepmenhut 447/2003 yang dibuat oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), substansinya menyangkut hal yang sangat umum. Informasi yang dimiliki oleh pembuat peraturan tentang rumitnya permasalahan pemanfaatan berbagai jenis SL di lapangan sangat terbatas. Informasi yang terbatas tersebut menyebabkan peraturan yang dibuat terlalu menyederhanakan persoalan. Seperti misalnya dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu, peraturan yang ada menyebutkan bahwa setiap penangkapan wajib diliput dengan izin. Sementara itu, dalam penerapannya terlalu sulit dilaksanakan. Sebab untuk mengontrol setiap warga yang melakukan aktivitas penangkapan maupun perdagangan kupu-kupu sulit dilakukan. Aspek informasi terkait juga dengan bagaimana suatu peraturan yang dibuat dikomunikasikan atau terinformasikan kepada pelaksana peraturan di lapangan dan kelompok sasaran tentang bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan. Penyampaian informasi tentang suatu kebijakan (peraturan) dalam implementasi sering disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk tatap muka langsung, melalui media cetak, media elektronik seperti TV dan radio, atau melalui media internet (Purwanto dan Sulistyastuti 2012). Aliran informasi tentang peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dalam penelitian ini diukur dari tingkat pemahaman para pelaksana peraturan yaitu aparatur instansi terkait serta para penangkap dan pengumpul pedagang kupu-kupu sebagai kelompok sasaran. Tingkat Pemahaman adalah kemampuan individu untuk memahami secara umum tentang peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL yang mencakup: pengetahuan tentang jenis-jenis peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL; tugas, hak dan kewajibannya yang terkait dengan pemanfaatan SL; prosedur dan tata cara pemanfaatan SL; serta larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan SL.
52 Pemahaman pelaksana maupun kelompok sasaran terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL merupakan hal penting bagi keberhasilan implementasi. Aparatur pemerintah di daerah sebagai pelaksana yaitu aparatur pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, serta Balai Besar KSDA Sulsel memegang peranan penting dalam proses implementasi peraturan. Sebab menurut kewenangannya, mereka yang berhubungan langsung dengan kelompok sasaran yaitu masyarakat pemanfaat kupu-kupu. Pemahaman aparatur instansi terkait terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL disajikan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Tingkat pemahaman informan aparatur pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar Kode Informan
Pengetahuan tentang 1 2 3 4
Jumlah
Kategori
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros: DM 1 DM 2 DM 3
√ √ √
-
-
-
1 1 1
Kurang Kurang Kurang
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan: DS 1 DS 2
√ √
-
-
√
1 2
Kurang Cukup
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan: BK 1 BK 2 BK 3 BK 4 BK 5
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √ √ √
4 3 4 3 4
Baik Baik Baik Baik Baik
Keterangan: 1 : Jenis-jenis peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar; 2 : Tugas, hak dan kawajibannya terkait dengan pemanfaatan satwa liar; 3 : Prosedur dan tata cara pemanfaatan satwa liar; 4 : Larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan satwa liar.
Tabel 6.2 menunjukkan bahwa pemahaman aparatur pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah provinsi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL mayoritas terkategori kurang. Hasil wawancara dengan informan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros menyatakan: "...aturanaturan tentang pemanfaatan SL kami belum faham... sebab sesuai tupoksi kami, belum menyangkut hal itu...." (DM1.7). Sementara informan lainnya menyatakan: "...saya baru tahu kalau perizinan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi/non Appendix CITES itu menjadi kewenangan kabupaten..." (DM2.1). Kurangnya pemahaman aparatur pemerintah daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL disebabkan oleh
53 rendahnya perhatian terhadap SL serta masalah koordinasi dengan Balai Besar KSDA Sulsel. Seperti dinyatakan: "...banyak hal yang terlalu banyak diurus di Dishut...kayu...kawasan...rehabilitasi... sehingga masih luput perhatian terhadap pemanfaatan TSL yang tidak dilindungi.." (DM2.4). Selanjutnya dinyatakan: "... perlu ada koordinasi BKSDA ke Dishut kabupaten atau sebaliknya dalam hal pengaturan perizinan pemanfaatan TSL ini....."(DM2.2). Sementara itu, hasil wawancara dengan informan di Direktorat Jenderal PHKA menyatakan: "...kendala implementasi Kepmenhut 447/2003 di daerah sehingga belum dapat diterapkan adalah masalah pemahaman,... selain itu adalah masalah SDM yang belum siap..."(DP3.7). Selanjutnya dinyatakan bahwa "...personil pada Dinas Kehutanan di daerah sering berganti-ganti sehingga perhatian terhadap persoalan pemanfaatan TSL masih rendah..." (DP3.8). Kurangnya perhatian terhadap persoalan pemanfaatn TSL oleh pemerintah daerah juga disebabkan oleh urusan TSL merupakan urusan pilihan. Oleh sebab itu menurut informan di Direktorat Jenderal PHKA bahwa "...walaupun ada PAD, tetapi kecil... sehingga lebih baik mengurus tambang dari pada TSL, ...repot administrasinya..."(DP4.5). Tingkat pemahaman peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran juga penting diketahui. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul mayoritas terkategori kurang (Tabel 6.3). Informasi yang diperoleh dari beberapa pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin menyatakan bahwa alasan tidak mengurus izin penangkapan adalah karena tidak mengetahui kewajiban-kewajiban apa yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha pemanfaatan kupu-kupu. Selain itu mereka belum mengetahui tata cara dan prosedur pengurusan izin serta persyaratan yang harus dilengkapi. Hal ini sesuai yang dinyatakan Kartodihardjo (2006) bahwa implementasi peraturan yang belum efektif disebabkan masyarakat sebagai kelompok sasaran belum memahami isi peraturan atau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh belum ada sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL serta kurangnya pembinaan kepada warga pemanfaat kupu-kupu oleh instansi terkait. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...peraturan-peraturan dari Pemerintah persisnya saya belum tahu, ...tetapi yang saya tahu.... seperti kami ini... para pengumpul... harus punya izin..." (KT1.26). Salah seorang pengumpul pedagang dari Desa Jenetaesa menyatakan: "...ya...harapannya agar masyarakat ini seperti kita diberikan penjelasan atau dibimbing dari pemerintah untuk berusaha lebih baik (maksudnya tertib, punya izin dll)...."(KT5.9). Selanjutnya pengumpul pedagang dari Desa Samangki menyatakan: "...saya tidak tahu aturannya, pak... saya sendiri tidak tahu apa-apa tentang aturan... kewajiban dan larangan-larangan... dari dulu sudah seperti ini... semua orang menangkap... biasa saja..." (KT3.5). Tingkat pemahaman kelompok sasaran terhadap peraturan perundangundangan pemanfaatan SL yaitu warga pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul dilakukan terhadap para penangkap dan pengumpul pedagang. Hasil analisis pemahaman peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh para penangkap dan pengumpul pedagang di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.3.
54 Tabel 6.3 Tingkat pemahaman para penangkap dan pengumpul pedagang terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar Kode Informan
Pengetahuan tentang 1 2 3 4
Jumlah
Kategori
Penangkap: Desa Kalabbirang TK 1 TK 2 TK 3
-
-
-
-
-
Kurang Kurang Kurang
Desa Jenetaesa TJ 1 TJ 2 TJ 3
-
-
-
-
-
Kurang Kurang Kurang
Desa Samangki TS 1 TS 2 TS 3
-
-
-
-
-
Kurang Kurang Kurang
Pengumpul Pedagang Berizin: Desa Kalabbirang KI 1
-
√
-
√
2
Cukup
Desa Samangki KI 2
-
-
-
√
1
Kurang
Pengumpul Pedagang tidak Berizin: Desa Kalabbirang KT 1 KT 2
-
√ -
-
√ √
2 1
Cukup Kurang
Desa Jenetaesa KT 4 KT 5
-
-
-
√ √
1 1
Kurang Kurang
Desa Samangki KT 3
-
-
-
-
-
Kurang
Keterangan: 1 : Jenis-jenis peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar; 2 : Tugas, hak dan kawajibannya terkait dengan pemanfaatan satwa liar; 3 : Prosedur dan tata cara pemanfaatan satwa liar; 4 : Larangan dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan satwa liar.
Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang yang memiliki izin pengedar SL dalam negeri di Desa Kalabbirang menyatakan: "...tidak ada sama sekali perhatian dan kepedulian dari Dishut Maros... BKSDA juga jarang
55 ada perhatian... TN (Babul) masih ada sedikit...misalnya meminta masukan untuk pembangunan penangkaran..." (KI1.47). Selanjutnya salah seorang pengumpul pedagang dari Desa Samangki menyatakan: "...kurang pembinaan dari BKSDA,...masyarakat perlu dibina dan diawasi...bukan hanya melarang...tetapi memberikan solusi..." (KI2.34). 6.3 Dukungan Masyarakat Implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL juga sangat ditentukan oleh dukungan dari kelompok sasaran yaitu masyarakat. Dukungan masyarakat tersebut ditunjukkan oleh kepatuhannya melaksanakan peraturan. Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003 telah diidentifikasi sejumlah 13 poin yang terkait dengan kewajiban-kewajiban para pemanfaat komersial kupukupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros (Lampiran 3). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 2 poin (15,38 %) kewajiban yang telah dilaksanakan, sementara 11 poin (84,62 %) belum dilaksanakan. Data statistik dan laporan tahunan Balai Besar KSDA Sulsel tahun 2009 hingga 2012 menunjukkan bahwa di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, tidak ada yang memiliki izin penangkapan komersial kupu-kupu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penangkapan kupu-kupu dari habitat alam berlangsung secara tidak terkendali dan tidak tercatat (unreported). Artinya bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu, sehingga hal ini dapat menimbulkan ancaman terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam. Bagi masyarakat pemanfaat kupu-kupu dalam jangka pendek, aktivitas yang berlangsung tersebut memberikan keuntungan yang berarti, namun dalam jangka panjang akan berdampak terhadap berkurang atau bahkan hilangnya sumber pendapatan mereka. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas dari para penangkap kupu-kupu dari habitat alam adalah anak laki-laki usia sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah serta usia yang masih belia dari para penangkap tersebut menyebabkan minimnya pengetahuan dan kesadaran untuk patuh kepada peraturan perundang-undangan. Hasil wawancara juga menujukkan bahwa mayoritas dari para penangkap tersebut memiliki pemahaman yang kurang terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL. Syarat dan prosedur memperoleh izin penangkapan untuk tujuan komersial sesuai pasal 31 dan 32 Kepmenhut 447/2003 sulit untuk dilaksanakan oleh para penangkap secara perorangan. Para penangkap yang tersebar di lokasi penelitian umumnya dikoordinir oleh beberapa pengumpul pedagang. Oleh sebab itu, idealnya pengajuan izin penangkapan hendaknya dilakukan oleh para pengumpul pedagang dengan melampirkan daftar nama para penangkap yang dikoordinir tersebut sehingga memudahkan pengawasan dan pembinaan. Namun faktanya adalah para pengumpul pedagang kupu-kupu tersebut tidak ada yang mengajukan dan memiliki izin penangkapan komersial sampai dengan tahun 2013. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para pengumpul pedagang yang memiliki izin pengedar SL tetapi tidak memiliki izin penangkapan menyatakan bahwa akan menjadi beban bila harus mengajukan izin penangkapan setiap tahun. Menurut mereka, selama ini tidak pernah ada sanksi bagi siapa-siapa yang memanfaatkan kupu-kupu tanpa izin, baik izin penangkapan maupun izin
56 pengedar. Implementasi peraturan tidak efektif akibat dari sanksi yang mungkin ada dari implementasi suatu peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat adanya resiko apabila mereka melanggar peraturan (Kartodihardjo 2006). Alasan yang dikemukakan bahwa mengurus izin penangkapan akan menambah kewajiban yang harus dikerjakan. Kewajiban yang dimaksud adalah membuat laporan kegiatan pemanfaatan setiap bulan serta wajib membayar PSDH, sedangkan di lingkungan mereka masih banyak yang tidak memiliki izin namun tidak diberikan sanksi. Salah seorang informan di Desa Kalabbirang menyatakan: "...saya pribadi mengakui kelemahan...tidak memberikan laporan secara baik...namun alasannya adalah...saya yang repot...orang lain bisa tangkap seenaknya..." (KI1.42). Oleh sebab itu, persepsi yang terbentuk dari para pemanfaat kupu-kupu terutama para pengumpul pedagang bahwa dengan mengikuti peraturan maka akan menambah beban pekerjaan serta mengurangi pendapatan. Hal yang hampir sama terjadi adalah terkait dengan cara memperoleh izin pengedar SL dalam negeri. Menurut salah seorang pengumpul pedagang di Desa Jenetaesa, bahwa untuk memiliki izin sebagai pengedar SL dalam negeri dirasa cukup memberatkan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sesuai Kepmenhut 447/2003, syarat untuk memiliki izin pengedar SL dalam negeri adalah harus memiliki akte pendirian perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), membuat proposal, pemeriksaan persiapan teknis, mendapat rekomendasi kepala seksi wilayah. Konsekuensi dari melaksanakan peraturan tersebut adalah menelan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut sesuai pendapat Kartodihardjo (2006) bahwa implementasi peraturan tidak efektif disebabkan oleh biaya yang ditanggung ketika melakukan pelanggaran peraturan sebenarnya lebih murah daripada bila peraturan dipatuhi Hasil wawancara dengan beberapa orang pengumpul pedagang menyatakan bahwa penghasilan dari pemanfaatan kupu-kupu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, beberapa pengumpul pedagang juga menyatakan bahwa pendapatan yang tidak pasti dari pemanfaatan kupu-kupu menyebabkan mereka tidak mematuhi peraturan. Meskipun demikian, izin pengedar dalam negeri hanya diurus satu kali dan akan diperpanjang setiap lima tahun sekali. Namun menurut mereka, selain mengurus izin pengedar SL dalam negeri, masih ada lagi kewajiban lain antara lain misalnya mengurus SATS-DN12 bagi seluruh kegiatan peredaran SL di dalam negeri. 6.4 Pembagian Tugas dan Fungsi Instansi Terkait Pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL ditandai dengan uraian tugas dan fungsi instansi yang bertanggung jawab dalam pengaturan pemanfaatan SL. Tugas dan fungsi tersebut diberikan kepada beberapa instansi pusat maupun daerah. Terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, pembagian tugas dan fungsi pelaksana peraturan perundang-undangan terdapat pada instansi: Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros.
12
SATS-DN (Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri).
57 Pasal 65 poin a PP 8/1999 menyatakan: "...Departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar...". Melalui Kepmenhut 104/2003, Dirjen PHKA ditunjuk sebagai Pelaksana Otoritas Pengelola CITES di Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 1 butir 23 Kepmenhut 447/2003 dinyatakan: "...Otorita Pengelola (Management Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam mengatur dan mengelola pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar secara berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam -Departemen Kehutanan...".
Pasal 1 ayat (1) Permenhut 02/200713 menyatakan: "...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam adalah organisasi pelaksana tugas teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen PHKA...". Selanjutnya pada Pasal 2 dinyatakan: "...Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku...".
Pasal 65 poin b PP 8/1999 menyatakan: "...Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority)...". Selanjutnya menurut Lampiran AA PP 38/2007 bahwa pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Pelaksanaan dari tugas dan fungsi Ditjen PHKA, Balai Besar KSDA Sulsel, LIPI, Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait dengan pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros dijelaskan lebih lanjut berikut ini. 6.4.1 Direktorat Jenderal PHKA Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003 menunjukkan bahwa terdapat beberapa tugas dan fungsi Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola dalam rangka pemanfaatan komersial SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu di Kabupaten Maros disajikan pada Tabel 6.4.
13
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
58 Tabel 6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu Instansi Ditjen PHKA
Tugas dan fungsi Menetapkan kuota penangkapan (pasal 6 ayat 2). Menyampaikan kuota penangkapan kepada Kepala Balai BKSDA dan Asosiasi Pemanfaat (pasal 13 ayat 1). Membuat ketentuan mengenai penilaian proposal, rencana kerja tahunan dan pertimbangan teknis terkait tata cara dan prosedur memperoleh izin pengedar atau perdagangan dalam dan luar negeri (pasal 44 ayat 6, dan pasal 51 ayat 7). Menerbitkan izin pengedar SL luar negeri (pasal 50 ayat 2). Menerbitkan SATS-LN (pasal 70 ayat 1). Melakukan koordinasi dalam pengembangan kebijakan, pelaksanaan konvensi dan penegakan hukum, khususnya dengan pihak Ditjen Bea dan Cukai, POLRI dan Karantina (pasal 81 ayat 1). Menyampaikan laporan tahunan (annual report) dan laporan 2 tahunan (biennial report) kepada Sekretariat CITES (pasal 105 ayat 1). Melakukan pembinaan kepada para Balai, para pengedar SL ke dan dari luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat TSL (pasal 107 ayat 4). Menerbitkan pedoman-pedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan TSL serta sosialisasi ketentuanketentuan di atas (pasal 108 ayat 1). Membentuk gugus tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dan menindaklanjuti proses hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran perundang-undangan yang berkaitan dengan TSL yang mempunyai skala nasional (lintas provinsi) dan internasional (Pasal 109 ayat 1 dan 2).
Pelaksanaan Ya Tidak √ √
√
√ √ √
√
√
√
√
Tabel 6.4 menunjukkan bahwa terdapat 3 dari 10 poin tugas dan fungsi Ditjen PHKA yang belum dilaksanakan terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Seperti misalnya ketentuan mengenai penilaian proposal izin pengedar SL, pedoman, petunjuk dan standar teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan komersial SL belum ada. Hasil wawancara dengan informan di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan: "... sebaiknya format proposal untuk pengajuan izin edar sudah ditetapkan.... supaya para pengusaha yang mau mengajukan izin tinggal
59 mengisi saja....jangan proposalnya mereka buat sendiri seperti mengarang bebas..."(BK3.35). Hasil wawancara dan studi dokumen menunjukkan bahwa sejauh ini belum pernah ada pengajuan izin pengedar LN pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros kepada Direktorat Jenderal PHKA. Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang menyatakan: "...selama ini kami mengirim ke kolektor LN tidak pakai izin ekspor...tidak pakai SATSLN14....masalahanya...dari 3 jenis, Toides helena, haliphron, dan hypolitus...harganya tidak lebih dari 30 ribu rupiah...sementara rumit mengurus CITES...harus di jakarta...mahal...jadi kalau sesuai aturan...berat..." (KI1.39). Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa Ditjen PHKA belum menyediakan pendanaan yang memadai bagi kegiatan inventarisasi atau monitoring populasi sebagai dasar penetapan kuota. Keterbatasan informasi yang dimiliki para pihak yang terkait dengan penetapan kuota terutama Balai Besar KSDA Sulsel, Ditjen PHKA, serta Pusat Penelitian Biologi LIPI menyebabkan implementasi terhadap proses pengusulan dan penetapan kuota tidak efektif di lapangan. Hasil wawancara dengan pengumpul pedagang kupu-kupu di Desa Kalabbirang menyatakan bahwa kuota pemanfaatan kupu-kupu yang ditetapkan setiap tahun tersebut sebagian besar tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Menurut mereka, terdapat jenis-jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat namun belum ditetapkan kuotanya. Sebaliknya jenis-jenis yang sudah dimanfaatkan secara luas tetapi belum ada kuotanya. Dukungan dari pihak-pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan SL juga belum memadai. Koordinasi antara otoritas pengelola dan otoritas keilmuan dalam hal pendanaan juga belum jelas. Direktorat Jenderal PHKA tidak menyediakan pendanaan yang memadai dalam proses penetapan kuota. Demikian halnya dari pihak LIPI tidak secara khusus memasukkan kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi SL ke dalam anggaran penelitian tahunannya. 6.4.2 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Keberhasilan implementasi peraturan pemanfaatan SL khususnya pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros sangat ditentukan oleh peran Balai Besar KSDA Sulsel. Sebagai pelaksana peraturan perundangundangan pemanfaatan SL, Balai Besar KSDA Sulsel dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan Kepmenhut 447/2003. Implementasi isi peraturan tersebut berdasarkan urusan dan kewenangan Balai Besar KSDA Sulsel, ditunjukkan pada Lampiran 4. Hasil penelaahan atas isi Kepmenhut 447/2003, terdapat 40 poin tugas dan fungsi Balai KSDA terkait dengan pemanfaatan komersial SL. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi isi peraturan yang menyangkut pemanfaatan komersial kupu-kupu yang telah dilaksanakan adalah sebanyak 12 poin (30 %), sedangkan 28 poin (70 %) belum dilaksanakan. Pemahaman terhadap isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan kategori baik. Pemahaman yang baik tersebut belum diwujudkan pada tataran implementasi. Implementasi peraturan perundangan yang tidak efektif disebabkan karena aparat pemerintah di 14
SATS-LN (Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri).
60 lapangan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya (Kartodihardjo, 2006). Hasil wawancara dan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 5 hal yang menyebabkan sehingga kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh petugas Balai Besar KSDA Sulsel tidak berjalan. Pertama, terdapat banyak jenis SL yang menjadi tanggung jawab Balai Besar KSDA Sulsel untuk diatur pemanfaatannya. Tercatat sebanyak 215 jenis SL yang terdiri atas 130 jenis yang dilindungi dan 85 jenis yang tidak dilindungi yang masuk di dalam kuota pemanfaatan untuk lokasi tangkap Sulsel Periode Tahun 2013. Selain itu, terdapat pula jenis-jenis yang telah dimanfaatkan secara komersial namun belum tercantum di dalam kuota pemanfaatan. Oleh sebab itu, Balai Besar KSDA Sulsel perlu mempertimbangkan secara cermat dalam menentukan prioritas jenis-jenis SL untuk kegiatan inventarisasi, monitoring populasi, maupun pemantauan pengendalian pemanfaatannya. Jumlah jenis SL yang berada dalam wilayah kerja Balai jumlahnya cukup banyak. Sementara itu, satwa liar termasuk kupu-kupu di habitat alam memiliki karakteristik biaya transaksi tinggi (high transaction cost). Mahalnya biaya transaksi berkaitan dengan pengorbanan yang dilakukan dalam rangka melaksanaan peraturan, biaya pengawasan, penegakan peraturan dan mengendalikan para pihak agar sumber daya tidak dimanfaatkan secara berlebihan dan ilegal. Oleh sebab itu, kebijakan yang baik (dapat diimplementasikan) harus memperhatikan adanya karakteristik tersebut. Adanya biaya transaksi dalam mekanisme peraturan tidak bisa dihindari, namun yang terpenting adalah meminimalisir biaya tersebut sehingga hanya kepada biaya yang memang diperlukan (Priyono 2004). Kedua, SL kupu-kupu belum menjadi SL yang "bermasalah" sehingga belum menjadi prioritas. Ketiga, SL kupu-kupu yang dimanfaatkan oleh masyarakat berada di daerah penyangga TN Babul sehingga pemanfaatan kupukupu tersebut seolah-olah menjadi urusan dan tanggung jawab Balai TN Babul. Keempat, produk kupu-kupu awetan, secara fisik relatif lebih mudah disembunyikan atau disamarkan sehingga pengiriman ke luar daerah atau antar pulau sulit dikendalikan. Kelima, dengan adanya pembagian kewenangan sesuai PP 38/2007 menimbulkan kesan adanya ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi pengaturan pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa implementasi peraturan yang tidak efektif juga disebabkan oleh Balai Besar KSDA Sulsel kurang memberikan informasi dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Peraturan yang belum tersosialisasi dengan baik menyebabkan kurangnya pemahaman mereka tentang isi dari ketentuan peraturan tersebut. Tujuan pemberian sosialisasi adalah agar kelompok sasaran memahami isi peraturan yang akan diimplementasikan sehingga mereka tidak hanya dapat menerima akan tetapi ikut berpartisipasi atau patuh terhadap peraturan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Hasil wawancara dan pengamatan menunjukkan bahwa petugas di lapangan belum melakukan kontrol dan tindakan terhadap aktivitas penangkapan dan perdagangan jenis-jenis kupu-kupu yang dilindungi sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap pelanggaran. Pelaksana peraturan tidak melarang atau
61 memproses secara hukum para pelaku yang melakukan aktivitas pemanfaatan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan sehingga proses hukum tidak dilakukan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan komersial jenis kupu-kupu yang dilindungi. Pertama adalah karena alasan kemanusiaan, bahwa hasil yang didapat oleh masyarakat pemanfaat kupukupu mayoritas hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seharihari maka pengenaan sanksi masih belum dapat diterapkan dengan tegas. Kedua adalah adanya hambatan psikologis dari para petugas terutama yang memiliki hubungan kekerabatan, kenalan dan lain-lain untuk memproses secara hukum atas pelanggaran yang terjadi. 6.4.3 LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Otoritas Ilmiah memiliki beberapa kewenangan terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan dari tugas dan fungsi LIPI terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu ditunjukkan pada Tabel 6.5. LIPI sebagai pemegang otoritas ilmiah diharapkan memiliki data dan informasi ilmiah mengenai populasi jenis-jenis SL yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi di lapangan. Data dan informasi tersebut juga didukung oleh data biologi yang didapatkan dari kegiatan pengamatan di habitatnya atau di penangkaran serta dari informasi yang sudah ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL sebagai dasar penentuan kuota pemanfaatan untuk jenis kupu-kupu belum pernah dilaksanakan. Hasil wawancara dengan salah seorang pejabat pada Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI menunjukkan bahwa selama ini yang dilakukan LIPI sehubungan dengan pemberian rokomendasi penetapan kuota jenis kupu-kupu adalah berdasarkan usulan Direktorat Jenderal PHKA sebagai Otoritas Pengelola. Dasar penilaian dalam memberikan rekomendasi adalah membandingkan usulan kuota dengan usulan serta realisasi pemanfaatan pada tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangan lainnya adalah memperhatikan daerah sebaran jenisjenis berdasarkan referensi yang dimiliki. Inventarisasi dan monitoring populasi belum dilaksanakan terutama disebabkan oleh terbatasnya sumber daya, khususnya pendanaan. Hasil wawancara dengan informan tersebut menyatakan: "... ada anggaran monitoring populasi kurang lebih 200 juta per tahun,...tetapi diutamakan terhadap jenis-jenis yang bermasalah..." (LP.26). Monitoring populasi hanya dilakukan terhadap jenis-jenis tertentu yang apabila "bermasalah" atau mendapat "sorotan" dari masyarakat luas, sementara kelompok jenis kupu-kupu (Lepidoptera) belum termasuk jenis-jenis yang bermasalah atau mendapat sorotan. Menurut LIPI (2003), hambatan dalam melaksanakan inventarisasi dan monitoring populasi adalah: (a) lokasi yang harus disurvei dalam rangka penentuan kuota sangat luas, bahkan mencakup seluruh wilayah Indonesia; (b) jumlah jenis yang harus ditetapkan kuotanya sangat banyak; (c) data biologi SL terutama mengenai reproduksinya masih sangat kurang; serta (d) sumber daya manusia (SDM) yang mendalami bidang SL juga masih sangat terbatas.
62 Tabel 6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu Instansi
Tugas dan fungsi
Pusat Penelitian Biologi, LIPI
Memberikan rekomendasi kepada Otoritas Pengelola tentang penetapan Daftar Klasifikasi, kuota penangkapan dan perdagangan termasuk ekspor, re-ekspor, impor, introduksi dari laut, semua spesimen tumbuhan dan SL (pasal 66 ayat 2 butir a, PP 8/1999). Memonitor izin perdagangan dan realisasi perdagangan, serta memberikan rekomendasi kepada Otaritas Pengelola tentang pembatasan pemberian izin perdagangan tumbuhan dan SL karena berdasarkan evaluasi secara biologis pembatasan seperti itu perlu dilakukan (pasal 66 ayat 2 butir b, PP 8/1999). Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003). Mengembangkan atau menetapkan metode standar pelaksanaan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 2, Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003). Mengumpulkan data dan informasi tentang populasi jenis SL baik dari hasil inventarisasi dan monitoring maupun data dan informasi lainnya, yaitu : - kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan - informasi ilmiah dan teknis lain tetang populasi dan habitat atau jenis yang ditetapkan - realisasi penangkapan SL dari kuota tahuntahun sebelumnya - kearifan tradisional (pasal 10 dan pasal 8 ayat 2 butir a sampai d Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003). Membuat rekomendasi penetapan satwa buru terhadap jenis-jenis dilindungi dari habitat alam yang populasi di habitat alamnya cukup tinggi atau melebihi daya dukung habitat. (pasal 7 ayat 5 Kepmenhut No. 447/Kpts-II/2003).
Pelaksanaan Ya Tidak √
√
√
√
√
√
63 6.4.4 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Lampiran AA PP 38/2007, kewenangan Pemerintah Provinsi Sulsel dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros adalah melaksanakan pengawasan pemberian izin pemanfaatan. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel tersebut disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu Pelaksanaan Instansi Tugas dan fungsi Ya Tidak Dinas Melaksanakan pengawasan pemberian Izin √ Kehutanan Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) Provinsi tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi dan tidak Sulsel termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES (Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007). Hasil wawancara menunjukkan bahwa pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL yang terkategori kurang sampai cukup merupakan salah satu penyebab sehingga pelaksanaan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi belum dilakukan. Selain itu adalah belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut terkait dengan pembagian kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES. 6.4.5 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros sehubungan dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu seperti ditunjukkan pada Tabel 6.7. Tabel 6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu Instansi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros
Tugas dan fungsi
Pelaksanaan Ya Tidak
Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1 Kepmenhut 447/ 2003).
√
Menerbitkan Izin Pemanfaatan (Penangkapan dan Peredaran) untuk tujuan komersial SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES. (pasal 13 ayat 4 Kepmenhut 447/ 2003 dan Lampiran AA hal. 759, PP 38/2007).
√
64 Hasil wawancara menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum pernah memproses serta menerbitkan izin pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Informan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, meyatakan: "...kalau menyangkut satwa liar belum.... itu masih kewenangan BKSDA... kami di sini tidak mengurus hal itu..." (DM1.3). Selanjutnya dinyatakan: "...mengenai PP 38 .... memang betul ada urusan-urusan yang dilimpahkan ke kabupaten... tetapi itu perlu dibuat perda untuk pedoman pelaksanaan kami... tetapi sampai sekarang mengenai perizinan TSL belum ada..." (DM1.4). Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan pengaturan pemanfaatan SL belum menjadi perhatian pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, pemahaman aparatur terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL yang kurang; kedua, belum adanya payung hukum berupa peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan daerah tentang pemanfaatan SL; ketiga, perhatian pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan SL sangat kurang sebab pendapatan daerah yang mungkin diperoleh dari pemanfaatan SL tidak signifikan terhadap pendapatan asli daerah; keempat, kurangnya sosialisasi dan koordinasi dari pemerintah pusat khususnya Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tentang pengelolaan pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi pidana dan denda administrasi bagi pelaku perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin. Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh aparatur pemerintah daerah dan warga pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul tergolong kurang. Dukungan masyarakat dalam implementasi peraturan pemanfaatan SL tergolong rendah, serta implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL oleh instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul belum sepenuhnya dilaksanakan.