PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR *) Oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara mega-biodiversity telah memiliki komitmen untuk melestarikan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang ada secara berkelanjutan, dengan merativikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES. Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara serasi dan seimbang yang dilakukan melalui kegiatan : 1) perlindungan sistem ekologis penting penyangga kehidupan; 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 3) pemanfaatan secara lestari sumber dalam alam hayati. Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar sebagai suatu sumber daya alam hayati tersebut tersebar di berbagai tipe habitat yang terdapat di dalam wilayah Indonesia, didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta peraturan pelaksanaannya, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a) Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b) Penangkaran; c) Perburuan; d) Perdagangan; e) Peragaan; f) Pertukaran; g) Budidaya tanaman obat-obatan, dan h) Pemeliharaan untuk kesenangan. Selanjutnya, pengaturan kegiatan pemanfaatan lebih lanjut telah ditetapkan berbagai Keputusan Menteri Kehutanan. Berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999, Departemen yang bertanggungjawab di bidang kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan satwa liar. Dengan demikian pelaksanaan konservasi tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Selanjutnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996), Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam telah ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola (Management Authority) CITES di Indonesia. Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) telah menerbitkan perizinan dalam bidang pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, melakukan penilaian keberhasilan pemanfaatan tumbuhan dan satwa, melakukan pembinaan dan mendaftarkan unit usaha penangkar satwa liar jenis yang tercantum dalam Appendiks I CITES, melakukan pembinaan unit usaha pengedar tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau pengedar satwa liar yang dilindungi dari hasil penangkaran, serta melakukan pengendalian pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri. Dalam pelaksanaan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar terdapat beberapa permasalahan antara lain : a)
belum lengkapnya data dasar populasi dan habitat tumbuhan dan satwa liar yang dapat dimanfaatkan,
b) adanya kerusakan dan penurunan kualitas habitat satwa liar, c) penetapan kuota pemanfaatan, d) pengendalian peredaran ke atau dari luar negeri, dan
e) belum mantapnya sistem pengendalian pemanfaatan nasional, regional dan internasional. Walaupun adanya permasalahan pemanfaatan tersebut di atas, dalam pelaksanaannya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati selaku Pelaksana Harian Otoritas Pengelola CITES di Indonesia, telah berupaya menekan permasalahan yang ada semaksimal mungkin, dengan melakukan kerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang konservasi dan instansi terkait. Selanjutnya dalam pelaksanaan pengendalian pengawasan peredaran telah melaksanakan koordinasi dengan instansi-instansi yang terkait dengan peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar, antara lain seperti : Pusat Karantina Hewan dan Pusat Karantina Tumbuhan Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Pusat Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI. dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
II.
PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pemanfaatan satwa liar di awali dari kegiatan penangkapan satwa dari alam (habitat alam) atau pengambilan dari hasil penangkaran (pengembangbiakan satwa atau pembesaran satwa) terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Untuk pemanfaatan jenis yang dilindungi harus dilakukan penangkaran atau satwa tersebut ditetapkan sebagai satwa buru di wilayah Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan secara komersial, terdiri dari pemanfaatan dalam negeri dan pemanfatan ke luar negeri. Untuk pemanfaatan komersial dalam negeri, maka setiap orang atau badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial dalam negeri berupa izin mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang telah ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negeri. Sedangkan untuk pemanfaatan komersial ke luar negeri, maka setiap badan usaha harus mendapat izin pemanfaatan komersial luar negeri berupa izin mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi undangundang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran ke luar negeri. 1. Kuota Penangkapan atau Pengambilan Perdagangan jenis satwa liar diawali dengan penetapan kuota pengambilan/ penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-detriment finding) sebagaimana tertuang dalam Article IV CITES. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Dalam proses penyusunan kuota disadari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Untuk itu peranan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan sangat berarti dalam membantu informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat dimanfaatkan. Kuota pengambilan tumbuhan dan penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang dikelompokkan ke dalam : Kelas
NO.
Jumlah Jenis
1.
Mamalia
5
2.
Reptilia (Ular)
12
3.
Reptilia (Biawak)
7
4.
Reptilia (Kura-kura)
8
5.
Reptilia (Buaya)
2
6.
Aves/burung
19
Keterangan
7.
Insekta/serangga
23
8.
Gaharu
2
9.
Pakis
1
10.
Anggrek (budidaya)
11.
Ramin
1
12.
Koral/karang hias (alam)
73
13.
Koral/karang hias (budidaya)
61
Berbagai jenis
Silangan
2. Perizinan Perdagangan jenis satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan mendapat izin dari Pemerintah (Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal PHKA). Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003, untuk izin perdagangan satwa liar, dikenal 3 (tiga) jenis izin, yaitu: a. Izin mengambil atau menangkap tumbuhan dan satwa liar diterbitkan Balai KSDA berdasarkan kuota wilayah yang ada; b. Izin sebagai pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA. Pemegang izin sebagai pengedar dalam negeri yang akan mengambil atau menangkap satwa wajib memiliki izin pengambilan atau penangkapan yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA, serta wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Satwa hasil penangkapan, dapat diangkut ke daerah lain untuk diedarkan di dalam negeri, atau dapat juga diangkut ke pengedar dalam negeri di daerah lain yang selanjutnya diangkut ke luar negeri. Pengangkutan di dalam negeri spesimen satwa liar wajib dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATSDN) yang diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA. c.
Izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa liar ke negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (khusus untuk pemanfaatan sarang burung walet diterbitkan oleh Walikota/ Bupati). Pemegang izin sebagai pengedar ke luar negeri dapat mengangkut/ mengirim spesimen satwa ke luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menunjukkan legalitas peredaran satwa liar untuk tujuan perdagangan ke luar negeri, kepada setiap pedagang diwajibkan meliput peredaran tumbuhan dan satwa liar Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATSLN). Terhadap spesimen yang tercantum dalam Appendiks CITES, peredarannya ke luar negeri (ekspor)/ CITES export permit. Apabila dari luar negeri (impor) wajib diliput dengan dokumen CITES import permit, dan pengiriman lagi ke luar negeri (reekspor)/CITES re-export permit). Dokumen tersebut memuat informasi mengenai jenis dan jumlah satwa liar yang diangkut, nama dan alamat pengirim dan penerima, serta asal dan tujuan pengiriman.
3. Perdagangan ke Luar Negeri Perdagangan ke luar negeri tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memiliki izin sebagai pengedar ke luar negeri serta memiliki SATS-LN, baik CITES permit atau Non CITES permit yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA. Sampai dengan saat ini tercatat di Direktorat Jenderal PHKA sebanyak 277 pemegang izin usaha pengedar tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri sengan rincian sebagai berikut : Jumlah Pengedar ke Luar Negeri No.
Jenis Spesimen Dari Alam
Hasil Penangkaran
1.
Reptil hidup
16
21
2.
Kulit reptil/barang jadi
15
-
3.
Mamalia
9
19
4.
Koral/transplantasi koral
22
8
5.
Insekta
5
6
6.
Amfibi
13
1
7.
Tanduk rusa
5
-
8.
Gaharu
22
-
9.
Pakis
10
-
10.
Ramin
1
-
11.
Burung
10
9
12.
Sarang burung walet
10
-
13.
Wallrus (re-ekspor)
6
-
14.
Kulit kanguru (re-ekspor)
4
-
15.
Kulit buaya (re-ekspor)
-
2
16.
Arwana
-
36
17.
Buaya
-
29
18.
Sikas
-
1
19.
Kima dan lola
-
3
20.
Tumbuhan lidah buaya
-
1
21.
Anggrek/tumbuhan alam
-
9
148
145
Jumlah
Pengusaha pemegang izin pengedar ke luar negeri tersebut di atas menjadi anggota Himpunan Asosiasi Pemanfaat Flora Fauna Indonesia (HAPFFI) dan masing-masing perusahaan telah bergabung ke dalam 9 (sembilan) asosiasi pemanfaat fauna flora yang terdiri dari: No.
Nama Asosiasi
Keterangan
1.
Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII)
2.
Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Seluruh Indonesia (APPBSI)
3.
Indonesian Reptile Association (IRATA)
4.
Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia (APPBI)
5.
Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Percobaan Indonesia (APPERI)
6.
Kompartemen Flora (Pakis)
7.
Asosiasi Penangkar dan Pemanfaat Reptil/ Amfibi Seluruh Indonesia (APPRASI)
8.
Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN)
and
Amphibi
Burung
Trade
Hewan
9.
Asosiasi Pengusaha Ikan Arwana Indonesia (ASPIARI)
Tidak aktif
4. Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa liar. Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa liar dilakukan mulai dari tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar, pengawasan peredaran dalam negeri, dan pengawasan peredaran ke dan dari luar negeri yang dilakukan oleh Balai KSDA. Pengendalian dan pengawasan penangkapan satwa liar di alam dilakukan dengan tujuan agar pemanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap), penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam, dan untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup tidak menimbulkan banyak kematian yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar. Pengendalian perdagangan satwa liar satwa liar di dalam negeri, dilakukan dengan pengendalian dalam penerbitan SATS-DN, pemeriksaan stok satwa yang ada pada pengedar ataupun penangkar satwa, dan pemeriksaan stok yang akan dimohonkan SATS-LN atau yang akan diekspor. Dalam penerbitan SATS-DN yang dikendalikan antara lain memeriksa kesesuaian jenis dan jumlah antara dokumen yang diterbitkan dengan spesimen yang akan di angkut. Pemeriksaan stok satwa antara lain mengendalikan ada tidaknya mutasi satwa dari pengedar atau penangkar yang ada di wilayahnya. Sedangkan pemeriksaan spesimen yang akan diekspor dilakukan dalam mengendalikan kesesuaian jenis dan jumlah spesimen yang akan diekspor dengan dokumen ekspor yang ada. Pengendalian dan pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal PHKA antara lain adalah mengendalikan SATS-DN yang telah diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA serta mengendalikan permohonan ekspor spesimen agar tidak melebihi kuota nasional yang ada. Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peredaran satwa di dalam negeri Balai KSDA telah bekerjasama dengan Balai/ Kantor Karantina Hewan atau Karantina Tumbuhan atau Karantina Ikan yang ada di daerah. Sedangkan untuk peredaran ke luar negeri selain bekerja sama dengan Balai/ Kantor Karantina, juga dilakukan dengan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, Kepolisian, Departemen Perdagangan (d/h Deperindag). 5. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Tumbuhan dan satwa liar Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama ini dikenakan berupa pengenaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebagai pengganti nilai intrinsik dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Pengenaan PSDH didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku di Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Sejak tahun 1989, besarnya penerimaan negara bukan pajak dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (berupa iuran ekspor) rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp. 200.000.000,-, yang disebabkan belum adanya Keputusan Menteri Kehutunan sebagai tindak lanjut dari PP No. 59 Tahun 1998 dan pengenaan PSDH masih menggunakan tarif yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHPA pada tahun 1989. Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 476/MPP/Kep/8/2004 tentang Penetapan Harga Patokan Tumbuhan Alam dan Satwa liar Yang Tidak Dilindungi, maka penerimaan PSDH yang diberlakukan sejak bulan September 2004 akan menghasilkan penerimaan 8 – 10 kali lipat penerimaan sebelumnya atau Rp. 1,6 – Rp. 2 Milyard. Dengan akan ditetapkannya Keputusan Mentari Kehutanan tentang Tata Usaha Pengenaan dan Pemungutan PNBP di Bidang PHKA, dimana pengenaan PSDH dilakukan pada saat penangkapan atau pengambilan di alam dan saat akan ekspor, maka penerimaan PNBP diperkirakan sebesar Rp. 3,2 – Rp. 4 Milyar, dengan asumsi kuota penangkapan satwa atau pengambilan tumbuhan alam tidak mengalami penurunan.
III.
PERMASALAHAN
1. Lemahnya peraturan perundangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Status perlindungan fauna dan flora dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 belum mengakomodasi klasifikasi perlindungan fauna dan flora sesuai ketentuan CITES dan belum mengatur sanksi bagi pelanggaran pemanfaatan jenis- jenis yang tidak dilindungi. 2. Data dasar potensi TSL guna pemanfaatannya (dari luar kawasan konservasi) masih lemah dan belum sepenuhnya menggunakan Non Detrimental Finding. Penetapan kuota dilakukan melalui prinsip kehati-hatian (precausinary approach) dan kelestarian.
3. Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara komersial, pelaksanaannya masih sangat tergantung kepada permintaan pasar dan nilai dari sumber daya alam hayati masih dinilai sangat rendah. 4. Kriteria/standar nasional tentang pengelolaan penangkaran dan lembaga konservasi (LK) belum ada. Begitu juga tentang Tim Akreditasi penilai kinerja penangkaran dan Lembaga Konservasi belum ada. 5. Kurang sinkronnya kebijakan pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU dan tidak masuk Appendiks CITES. Selama ini pelaksanaannya dilakukan DKP sehingga sulit kontrolnya. Pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU namun masuk Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura). Keterlibatan PHKA selama ini karena kapasitas PHKA sebagai Management Authority CITES. 6. Belum mantapnya sistem dan koordinasi pengendalian dan pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar dengan instansi terkait, khususnya di daerah terbatas di bandar udara dan bandar laut, mengingat sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan tidak termasuk dalam tugas Custom, Immigration and Quarantine (CIQ). IV.
KEBIJAKAN PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Dengan mengacu kepada visi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), maka disusunlah visi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati : Terwujudnya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bagi Kesejahteraan Masyarakat. Sedangkan misi Direktorat Konservasi Keanekaragaman hayati yang dikembangkan dari strategi konservasi dunia terdiri dari : 1. Melindungi dan memelihara proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan; 2. Mengawetkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 3. Memanfaatkan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian; 4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan KSDAHE. Misi tersebut di atas dapat diwujudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari : 1. Memulihkan populasi (Population Recovery) spesies langka/ terancam punah/ kritis in situ dan ex situ. Akibat kerusakan habitat dan perburuan liar banyak species yang saat ini populasinya dalam kondisi yang kritis, yang apabila tidak ada campur tangan pengelolaan yang intensif maka peluang untuk menjadi punah dalam waktu dekat menjadi besar. Populasi jenis-jenis ini harus dipulihkan ke tingkat aman dan secara alami dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Pemulihan populasi (Population Recovery) dilaksanakan untuk mengeliminir faktor-faktor penghambat maupun faktor penyebab turunnya populasi dan mempromosikan peningkatan faktor-faktor yang mendukung meningkatnya populasi. Faktor-faktor di atas dapat berupa faktor alami maupun faktor manusia, termasuk faktor pemerintah. 2. Mengelola dan mengendalikan pemanfaatan spesies terancam punah (endangered) dan species yang populasinya melimpah di alam maupun di dalam penangkaran. Indonesia saat ini menganut azas pemanfaatan jenis secara lestari (sustainable utilization). Pemanfaatan secara lestari ini dalam arti pemanfaatan dapat dalam bentuk pemanenan dari alam seperti perburuan dan perdagangan, atau pemanfaatan dari jasa yang ditimbulkan oleh species tersebut, misalnya ekoturisme berbasis species. Pemanfaatan dalam bentuk perdagangan, secara internasional diatur melalui konvensi yang dikenal dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sehingga di lingkup nasional sistem perundang-undangan perlu disesuaikan CITES. Hal ini berimplikasi pada perbaikan sistem pemanfaatan bukan hanya di lingkup internasional tetapi juga secara nasional. Pemanfaatan jenis-jenis terancam bahaya kepunahan harus sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan gangguan terhadap populasi di alam dan terjadinya “genetic drain”. Sedangkan untuk jenis-jenis yang populasinya belum terancam pemanfaatan dari alam harus melalui perencanaan yang baik melalui pengembangan program pengelolaan species. 3. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan jenis. Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar habitat adalah unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Di masa yang lalu, pengelolaan konservasi sering sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak melakukan ini. Masyarakat justru sering dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat konservasi. Paradigma konservasi ke depan harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan konservasi. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan atau konsep pengelolaan
kolaboratif (Colaborative Management), perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan konservasi species. 4. Mengendalikan populasi jenis dan habitat. Dalam kondisi habitat yang terbatas dan populasi berkembang dengan baik karena pengelolaan yang baik maka populasi dapat lebih besar dari kemampuan habitat untuk mendukungnya. Namun demikian untuk jenis-jenis yang secara global maupun nasional terancam bahaya kepunahan, populasi yang seperti itu perlu dikendalikan dengan hati-hati dan perhitungan yang cermat. Perburuan mungkin dapat dibuka untuk musim-musim tertentu dan dengan metoda tertentu pula. Kecuali itu perburuan perlu juga dikembangkan bagi jenis-jenis eksotik, yang walaupun dilindungi namun di suatu daerah tertentu merupakan jenis asing yang dapat mengganggu keberadaan jenis asli, misalnya Rusa Timor dan Monyet Ekor Panjang di Irian. Kegiatan ini selain secara ekologis membantu lingkungan, secara ekonomis dapat membantu masyarakat sekitar untuk mengembangkan sosial ekonominya. Bahkan apabila dikelola dengan cara yang profesional, dapat menjadi obeyek yang mendatangkan pendapatan bagi pemerintah. 5. Mempertahankan keanekaragaman genetik dan kemurnian jenis. Selama ini konservasi terhadap keanekaragaman genetik hampir terlupakan. Kebijakan yang mengarah pada konservasi genetik baik in situ maupun ex situ walaupun ada, kondisinya sangat tersebar, dan bersifat sektoral yang dilaksanakan oleh berbagai instansi tanpa ada koordinasi dan strategi yang jelas. Beberapa species, sebagai contoh species kayu-kayu komersial, banyak yang sudah terancam bahaya kepunahan, sementara itu konservasi terhadap keunggulankeunggulan genetiknya belum dilaksanakan. Sedangkan habitat hutan alam (terutama di dataran rendah yang kaya akan species) akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Untuk itu harus segera dikembangkan strategi yang jelas bagi konservasi genetik jenis-jenis kayu komersial dan jenis lain yang sedang mengalami ancaman degradasi genetik. 6. Mengendalikan akses terhadap sumberdaya genetik untuk menunjang budidaya dan menjamin kepemilikan sumberdaya (resource property right and benefit sharing). Kebijakan pengendalian akses terhadap sumber daya genetik telah diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD). Selama ini banyak sekali sumber daya genetik Indonesia yang dikembangkan di luar negeri dan kembali ke Indonesia dalam bentuk produk genetik bermutu tinggi yang harus dibeli, apabila Indonesia menginginkan untuk menggunakannya. 7. Mengembangkan sistem informasi melalui pengelolaan penelitian, pengembangan sistem inventarisasi serta monitoring populasi dan habitat. Pengembangan sistem informasi merupakan misi yang yang sangat mendesak untuk dilaksanakan karena sistem informasi yang baik dan berdasar kaidah-kaidah ilmiah merupakan dasar yang sangat relevan bagi penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan. Selama ini sistem informasi untuk pengambilan kebijaksanaan di bidang konservasi sangat didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan intuisi. Dalam kondisi dimana informasi yang akurat sangat kurang, prinsip tersebut sangat relevan untuk dilakukan, namun sistem informasi akurat perlu dikembangkan agar pengambilan keputusan dapat lebih berdasar kaidah-kaidah ilmiah. 8. Penyempurnaan dan pengembangan peraturan perundang- undangan. Sistem peraturan perundang-undangan merupakan dasar melakukan tindakan sehari-sehari agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati dapat sesuai dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati. Beberapa peraturan perundangan perlu segera disempurnakan karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan beberapa hal masih belum diatur secara baik dalam sistem peraturan perundangan. Undang-undang No. 5 tahun 1990 memerlukan revisi terutama pada pengaturan yang berhubungan dengan pembagian status hukum species, pengaturan terhadap masing-masing status species, pengenaan sanksi terhadap aturan bagi setiap status species, pengaturan mengenai pengelolaan kolaborasi dengan masyarakat, dan sebagainya. 9. Mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders. Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah saja tetapi harus dilaksanakan oleh seluruh unsur masyarakat termasuk pemerintah daerah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat sekitar habitat maupun masyarakat secara luas. Kerja sama ini perlu dikembangkan ke arah kerja sama mengenai teknis-teknis konservasi, perbaikan sistem administrasi pemerintahan yang ramah terhadap lingkungan, penegakan hukum, sistem informasi, dan sebagainya. Selain itu, pengembangan jaringan kerja perlu diarahkan bagi pembinaan masyarakat sekitar hutan/ habitat dalam pengembangan sosial ekonomi yang berdampak pada semakin efektifnya konservasi. 10. Mengoptimalkan Pelaksanaan konvensi yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi atau mengikatkan diri dalam beberapa konvensi yang berhubungan dengan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity related conventions), diantaranya CITES, CBD dan Ramsar. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia terikat pada komitmen-komitmen yang dihasilkan dari keputusan-keputusan di dalam konvensi yang sering berdampak langsung pada pelaksanaan konvensi tersebut di dalam negeri. Konvensi seperti CITES bahkan mengharuskan negara anggota untuk mengembangkan sistem legislasi nasional yang dapat melaksanakan konvensi secara efektif, selain penegakan terhadap legislasi yang sudah dikembangkannya. 11. Mengembangkan potensi SDM di bidang pengelolaan konservasi species, genetik, ekosistem esensial dan penegakan hukum (law enforcement). Dalam memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan era perdagangan bebas dan teknologi informasi, serta prediksi terjadinya krisis hidupan liar dalam jangka 50 tahun yang akan datang, maka diperlukan sumber daya manusia yang profesional bagi pengelolaan konservasi termasuk penegakan hukumnya. Profesionalisme sumber daya manusia untuk pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati perlu dikembangkan melalui sistem rekrutmen dan mutasi yang terarah dengan pola pelatihan yang berkesinambungan mulai dari pelatihan konservasi bagi pegawai baru (freshers training), pelatihan bagi pejabat struktural, pelatihan bagi pejabat fungsional konservasi dan pelatihan bagi petugas penegakan hukum mengenai konservasi dan kejahatan dalam bidang hidupan liar (wildlife crimes), serta pelatihan bagi pegawai lain dan masyarakat umum tentang konservasi. Dalam jangka panjang mungkin diperlukan semacam pusat pendidikan dan latihan khusus untuk konservasi seperti yang ada di Amerika Serikat dengan National Conservation Training Center (NCTC) yang digunakan untuk pelatihan bukan hanya pegawai PHKA tetapi juga pegawai lain yang berhubungan dengan konservasi. 12. Menerapkan/ memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare). Dalam kegiatan pemanfatan satwa liar melalui kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar, wajib memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan atau perlakuan lain yang menyebabkan satwa tertekan (stress) pada invidu yang ditangkap maupun kelompok atau populasi yang ditinggalkan di habitat alamnya. Selain penangkapan, juga pemanfatan satwa liar dalam lembaga konservasi dan taman satwa wajib memperhatikan kesejahteraan satwa tersebut. *) Disampaikan Dalam Rangka Refleksi Pelaksanaan Tugas Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2004.