1 ASPEK PENGENDALIAN PERDAGANGAN ILEGAL
SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DI PROPINSI DKI JAKARTA Oleh: Tarsoen Waryono **)
Pendahuluan Kondisi saat ini pusat perdagangan satwa liar di lindungi di DKI Jakarta dijumpai di beberapa lokasi, walaupun sering melakukan operasi satwa di lapang, namun penindakan hukum belum memadai. Untuk itu perlu pembentukan Tim Terpadu sebagai upaya pengendalian. Hal tersebut menjadi penting, walaupun wewenang penangananan berada di pusat (Departemen Kehutanan), akan tetapi kejadiaanya berada di daerah. Tingkat keberhasilan pengendalian yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, akan dapat dipergunakan sebagai barometer bagi Pemerintah daerah lain di Indonesia dalam kaitannya dengan pengendalian perdagangan satwa liar yang dilindungi. Peraturan-peraturan yang ada sudah tegas, akan tetapi masih belum aplicable untuk diimplementasikan. Institusi pemerintah dan stakeholder lain sudah ada komitmen yaitu: (a). Pengendalian perdagangan satwa liar yang dilindungi. (b). Inventarisasi satwa liar yang dilindungi yang dimiliki oleh masyarakat. (c). Sosialisasi peraturan, dan penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan preventif, efentif dan represif. (d). Pengadaan stasiun pemeliharaan satwa liar yang dilindungi dari hasil sitaan yang dilakukan pemerintah. (e). Penanganan terhadap 4 komponen pokok, yaitu : (1) penangkap dan pengambil satwa liar, (2) pedagang lokal, (3) pembeli, (4) penggemar satwa liar yang dilindungi eksportir. (f). Akan diadakan sosialisasi penyerahan satwa liar yang dilindungi oleh pengusaha atau pejabat. (g). Perlu adanya monitoring satwa liar yang dilindungi. (h). Adanya penggunaan hukuman minilmal seperti kasus narkoba dengan mengundangkan melalui perda. (i). Perlu diciptakan wahana pasar satwa liar yang dilindungi. (j). Perlu membentuk lembaga independen dengan akreditasi CITES guna menggalakkan potensi sumberdaya satwa liar yang dilindungi.
*). Seminar Nasional Strategi dan Aplikasi Pemberdayaan Kebijakan Perlindungan Satwa Liar Di Indonesia, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta, Dephutbun. 8 Agustus 2001. **). Staf pengajar Jurusan Geografi FMIPA-UI.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 Strategi dan Aplikasi Pemberdayaan Kebijakan Perlindungan Satwa Liar di Indonesia Hutan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tergolong kaya, setelah Zaire dan Brasil. Dengan luas daratan yang hanya sekitar 1,3 % dari luas permukaan bumi, dapat dijumpai tidak kurang 27.500 jenis tumbuhan berbunga, 515 spesies mamalia, 511 spesies reptilia, 270 spesies amphibia dan 1539 spesies burung (311 spesies endemik). Satwa liar memberi manfaat terhadap manusia dan pembangunan vegetasi pada ekosistem hutan. Manfaat itu antara lain : diburu untuk memperoleh kulit, bulu dan daging, menyebarkan biji-bijian khususnya satwa pemakan biji sehingga terjadi keseimbangan ekosistem. Perdagangan satwa ilegal di wilayah RI cenderung meningkat. Hal ini akan memperburuk citra Indonesia di mata Internasional. Ketentuan CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and fauna) yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1978 akan menjatuhkan kondisi yang demikian berupa penurunan strata perlindungan satwa ke dalam appendix I, II atau III. Upaya pemerintah cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berupaya menerapkan pola pemanfaatan satwa liar melalui beberapa hal, yakni : (a) pemanfaatan tata usaha perdagangan satwa, (b) pengumpulan informasi lapangan serta ilmiah guna pengkajian data populasi, habitat dan pengguna/pemanfaat satwa, (c) penegakan peraturan perundang-undangan atau hukum, dan (d) pembenahan persepsi masyarakat dalam upaya konservasi satwa. Pelanggaran-pelanggaran dalam bidang perlindungan satwa liar terbesar dilakukan dengan penangkapan dan pemasaran satwa liar secara ilegal yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : (1). Kelompok pemanfaat di daerah hulu Kelompok ini adalah para penagkap di alam bisanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai habitat satwa liar. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bujukan untuk menangkap satwa liar karena keterbatasan pengetahuan dan perbedaan sosial ekonomi dengan masyarat di luar hutan. Walaupun banyak suku di Indonesia yang memiliki kearifan dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, tetapi ketidakberdayaan terhadap akses informasi, sosial dan ekonomi menyebabkan lunturnya budaya yang menjaga keseimbangan ekosistem hutan. (2). Kelompok Perantara Kelompok ini bergerak sangat dinamis ke segala penjuru tanah air untuk melakukan negosiasi dan memesan berbagai satwa liar yang dilindungi. Kebanyakan kelompok ini terdiri dari orang-orang yang telah mengetahui bahwa pemanfaatan satwa liar telah diatur oleh pemerintah dan mereka berspekulasi untuk memperoleh keuntungan besar dan cepat tanpa memperhitungkan prinsip-prinsip kelestarian. (3). Kelompok Pemanfaatan Hilir Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 Pedagang di perkotaan yang secara sembunyi-sembunyi menjual jenis satwa liar yang dilindungi baik untuk kalangaan domestik maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah untuk perlindungan satwa liar adalah: (a). Perlindungan sistem ekologis penyangga kehidupan, (b) Pengawetan keanekaragaman hayati, dan (c). Pemanfaatan secara lestari. Sedangkan strategi untuk mewujudkan kebijaksanaan tersebut adalah : (1). Penetapan Peraturan Perundang-undangan dan ratifikasi Konvensi Internasional Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar secara lestari telah diatur secara khusus melalui Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan satwa Liar. Pemanfaatan tersebut meliputi pemanfaatan untuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penagkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat dan pemeliharaan untuk kesenangan. Ratifikasi konvensi CITES 1978 merupakan komitmen Indonesia untuk mengkontrol perdagangan jenis-jenis satwa liar dan meminimalkan adanya pelanggaran (perdagangan ilegal) yang menyebabkan abncaman dan punahnya satwa liar. Nilai perdagangan satwa liar ilegal menurut sekretariat CITES menduduki peringkat ke dua setelah perdagangan ilegal narkotika. (2). Penetapan Quota Penangkapan dari Alam. Beredarnya suatu jenis satwa liar dimulai dari penangkapan di alam, pengumpulan dan pengangkutan di dalam negeri untuk tujuan perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Quota diberlakukan untuk penangkapan satwa dari alam tergantung dengan populasi di alam dan memperhatikan aspek keseimbangan ekosistem khususnya daya regenerasi dan reproduksi. (3). Koordinasi dan Sinkronisasi Program Perlindungan Satwa Liar Koordinasi dilakukan bersama Kepolisian, Bea dan Cukai, LIPI dan berbagai instansi terkait. Di lingkup Internasional negara-negara yang telah meratifikasi konvensi CITES dapat ikut membantu Indonesia dalam pemantauan perdagangan internasional satwa yang berasal dari Indonesia.
Konsep Perlindungan dan Pemanfaatan Satwa Lindung Di Indonesia Secara konsepsional satwa lindung perlu dipertahankan keberadaannya sehingga bencana kepunahan bisa dihambat, untuk dapat melaksanakan beberapa kajian, yang antara lain: (a) melarang pemanfaatan satwa lindung, (b) satwa lindung adalah satwa yang dilindungi menurut CITES. Peraturan CITES menempatkan sxatwa lindung dalam 3 katagori, yaitu Appendix I yang melarang pemanfaatan satwa, Appendix II yang memperbolehkan pemanfaatan satwa Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 dengan ijin quota CITES, Appendix III memperoleh quota dari otorita pengelola dan otorita ilmiah negara masing-masing. Pemilahan dalam appendix didasrkan atas kelangkaan, keunikan dan endimesme. (1). Pemanfaatan satwa lindung secara terkendali Posisi Indonesia dalam forum CITES sering tidak menguntungkan karena untuk mempertahankan jenis satwa Non Appendix yang berarti dapat dijual bebas tidak pernah ada data yang aktuil hasil survey sendiri. Hal ini dapat berakibat orang asing yang banyak mempunyai dana untuk pendataan mengklasifikasikan satwa liar yang terdapat di Indonesia ke dalam golongan Appendix. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi sumber pemasukan devisa negara. Karena bisnis satwa liar sangat menguntungkan dan berharga puluhan ribu dollar per ekor. Badak di Indonesia termasuk Appendix I, keadaannnya di hutan betul-betul diambang kepunahan dan harus dilindungi. Demikian pula orang hutan, komodo, buaya, ular piton, banteng, harimau berbagai jenis kakatua dan nuri. Ada beberapa satwa yang seharusnya merupakan Non Appendix tetapi di masukkan ke dalam golongan Appendix. Para eksportir satwa mengeluh karena tidak memperoleh kuota yang diinginkan dan menuduh pemerintah tidak memberi dukungan atas dasar data yang konkrit tentang kelangkaan satwa di alam. Hal ini disebabkan oleh kurangnya data aktual tentang populasi satwa langka di Indonesia. (2). Menggalakkan upaya penangkaran Penangkaran adalah mengembangbiakan satwa-satwa domestik. Satwa domestik tersebut awalnya liar dan ditangap melalui perburuan, jerat, jaring dari alam bebas. Penangkaran adalah salah satu upaya penyehjatan dan perbanyakan populasi jenis untuk menghindarkan kepunahan. Cara lain adalah ranching, yaitu mengambil anakan dari alam dan dibesarkan. Hal ini bisa dilakukan untuk mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi yang terjadi di alam. Misalnya anak penyu (tukik) yang ditetaskan secara alami dalam ukuran kecil, secara naluri menuju ke laut dan ikan-ikan pemangsa sudah menghadangnya. Mortalitas anak penyu di alam bisa mencapai 95 %. Melalui ranching mortalitas bisa ditekan sampai 5 % karena anak penyu baru dilepas sesudah dewasa dan mencapai ukuran 25 cm. Jalak bali merupakan salah satu satwa yang berhasil ditangkarkan di Amerika Serikat dan Inggris. Sebagian pernah dikembalikan ke Indonesia di Zoo Surabaya yang tidak jelas pengembangangbiakannya, sedangkan yang dikembalikan ke habitat asli Taman Nasional Bali Barat, burung-burung tersebut menghilang ? Di negara Singapura dan Philipina burung-burung ex Indonesia ditangkarkan dan menjadi komoditi expor. Bila melihat pengalaman di luar negeri, seharusnya Indonesia sudah mampu melaksanakan penagkaran/expor, baik yang dilakukan oleh hobies maupun lembaga seperti TMII, TSI ataupun penagkar swasta. Melalui penagkaran maupun rancing diharapkan satwa liar yang dilindungi akan menghasilkan keturunan kedua (F2), ketiga (F3) dan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 seterusnya sehingga satwa keturunan tersebut menghasilkan satwa domestik yang tidak diatur lagi oleh CITES maupun Otorita. (3). Mensosialisasikan arti satwa lindung bagi kehidupan Kepunahan satwa liar oleh masyarakat tradisional akhir-akhir ini disebabkan adanya motivasi ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat/institusi pemilik modal yang mengimingimingi dengan imbal jasa atas hasil tangkapan masyarakat tradisional. Peraturan yang ditetapkan akan memberikan konsekuensi yang berlainan terhadap kedua tipologi masyarakat tersebut. Masyarakat tradisional yang didesak oleh adanya perubahan ekosistem akibat adanya intervensi dari luar yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya akan cenderung memenuhi kebutuhan masyarakat/institusi pemilik modal yang mengerti nilai ekonomis satwa liar yang dilindungi untuk melakukan perburuan. Sosialisasi peraturan mengenai perlindungan satwa liar dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pelajaran di sekolah, media elektronik dan cetak. Seminar dan ceramah juga dapat memberikan konstribusi pemecahan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan satwa liar. Para petinggi juga harus memberikan contoh terhadap masyarakat dan bawahan mengenai satwa liar tersebut. (4). Membuat peraturan yang mengikat dengan sistem insentif dan disinsentif Peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur satwa liar ini adalah : Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Pemerintah No. 7/1997 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Untuk dapat mengendalikan satwa yang sudah langka perlu setiap daerah mengeluarkan peraturan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Peraturan yang dibuat pusat sebaiknya setelah mempelajari peraturan daerah untuk dijadikan undang-undang.
Implementasi Kebijakan Hukum Terhadap Pelanggaran Perdagangan Satwa Liar Ilegal
(a).
(b). (c). (d).
Efektivitas hukum terdiri atas faktor : Perundang-undangan; Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pemanfaatan satwa liar harus benar-benar dilandasi faktor fisiologis, sosiologis dan yuridis. Sarana dan Prasarana; Dalam pelaksanaan suatu hukum akan berlangsung efektif apabilas ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai. Aparatur; Kejujuran, ketegasan, profesionalisme petugas penegak hukum akan menentukan terlaksananya peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan. Budaya Hukum; Pada masa krisis, besarnya nilai ekonomis yang dimiliki oleh satwa liar dan terjadinya penyimpangan pelaksanaan reformasi menyebabkan pelestarian alam dikalahkan oleh masyarakat yang benar-benar dalam kesulitan memenuhi basic need Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 maupun masyarakat berpendidikan dan berkapital besar untuk merambah nice satwa liar maupun secara langsung menangkap satwa liar guna memenuhi pasar perdagangan satwa liar. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah : (a). Konsekuen; Penindakan hukum dilakukan dimana saja dan tidak ada diskriminasi atau penindakan hukum dilakukan terhadap semua golongan. (b). Konsisten; Penindakan hukum yang dilakukan terhadap sesuatu objek harus terus dilakukan. Tidak boleh objek tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang dilegalkan, kecuali terjadi peraturan perundang-undangan berubah. (c). Kontinyu; Penindakan harus dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya pada saat-saat operasi tertentu saja. Mencegah lebih baik daripada melakukan penindakan. Oleh karena itu disarankan dilakukan hal-hal sebagai berikut : (a). Dilakukan sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang adanya larangan serta sanksi yang ada dalam Undang-undang terntang satwa liar yang dilindungi. (b). Penindakan dilakukan sedini mungkin. Jangan dilaukan penindakan setelah banyak terjadi pelanggaran. (c). Disamping diberikan sanksi perlu dilakukan reward bagi mereka yang membantu dalam melestarikan satwa liar yang dilindungi. (d). Penyitaan satwa yang dilindungi tidak boleh ada ‘penebusan’ sehingga penindakan yang dilakukan tidak berguna. (e). Hasil sitaan harus ada laporan ke masyarakat luas apakan dilakukan penangkaran atau dikembalikan ke habitatnya.
Peluang dan Strategi Penagkaran Satwa Liar yang Dilindungi Peluang penangkaran satwa liar, adalah potensi sebagai negara biodiversitas (BAPPENAS, 1993), kekayaan satwa di Indonesia dibandingkan dengan dunia adalah : (a) 27.500 jenis (10 %) jenis tumbuhan berbunga, (b) 515 jenis (12 %) binatang menyusui, (c) 1.539 jenis (16 %) reptilia dan amfibia, (d) burung (17 %), (e) ikan 25 %, dan (f) 15 % serangga. (Mc Neely et. Al. 1990, Supriatna 1996), di dunia hewan, kedudukan Indonesia di dunia sangat istimewa, karena : (a) 500 - 600 jenis mamalia besar yang ada, 36 % endemik, (b) 40 jenis primata, 25 % endemik, (c) 78 jenis paruh bengkok, 40 % endemik, dan (d) 121 jenis kupu-kupu, 44 endemik. Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai salkah satu negara yang mempunyai ‘Mega Diversituy’ jenis hayati dan merupakan ‘Mega Center’ keanekaragaman hayati dunia. Keanekaragaman hayati Indonesia yang jumlahnya cukup tinggi, baru + 6.000 Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
7 spesies tumbuhan, + 1.000 spesies hewan dan 100 spesies jasad renik yang telah diketahui potensi dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjang kebutuhan hidupnya (KPPNN 1992). Pada tingkat keanekaragaman di dalam spesies, penyusutan juga terjadi walaupun sulit diamati pada populasi alami. Tetapi pada spesies budidaya, berkurangnya keanekaragaman di tingkat ini jelas terlihat. Pemakaian bibit unggul secara besar-besaran menyebabkan terdesaknya dan mulai menghilangnya bibit tradisional secara turun-temurun dikembangkan oleh petani sendiri. Menyadari berkembangnya proses penyusutan keanekaragaman hayati Indonesia di semua tingkatannya maka pemerintah berupaya agar laju penyusutannya dapat dikurangi dengan jalan menyisihkan areal hutan alam untuk kawasan pelestarian. Didalam areal seperti keanekaragaman hayati diharapkan dapat dipertahankan secara insitu (di tempat habitat aslinya). Akhir-akhir ini, untuk melebarkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati, Indonesia juga telah mengembangkan konsep pelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi. Ini dilakukan dengan pembentukan taman hutan raya yang merupakan perpaduan konsep taman, hutan dan kebun koleksi. Teknologi Penagkaran yang Tersedia Penangkaran satwa liar berkembang pesar dengan adanya teknologi reproduksi canggih seperti : 1. Artificial Insemination (AI) Untuk penangkaran satwa liar yang perilaku berreproduksi tidak memungkinkan di dalam kandang. Selain itu untuk menghindari bahaya yang sering terjadi sewaktu memindahkan satwa dari satu tempat ke tempat lain. 2. In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan salah satu teknologi yang paling baik untuk ‘artificial breeding’ spesies langka. Wildt dkk, 1990 mengatakan bahwa material genetik dari satwa liar dapat diintroduksi kepada populasi tangkar yang biasanya mempunyai karakteristik sulit untuk bereproduksi disebabkan oleh perilaku unik, “stress susceptibility” dan handicap secara fisik. Sealain itu prosedur pelaksanaan IVF lebih atraktif karena tidak memerlukan kejelasan mengenai estrus atau adanya interaksi jantan-betina. 3. Embryo Transfer (ET) Digunakan untuk mempercepat jumlah anak yang diproduksi, selain itu betina yang tidak produktif dapat digunakan. Kombinasi dengan teknologi ‘embryo freezing’ dapat membatu preservasi kombinasi material genetik suatu individu yang mempunyai berbagai karakter bahkan spesies lain sebagai pengganti. Isu-isu Konservasi Ex-situ dan Komersialisasi Satwa Liar
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
8 Beberapa prasarat untuk suksesnya suatu penagkaran satwa liar agar medapat manfaat yang baik bagi publik adalah : 1. Spesies langka mempunyai nilai kegunaan intristik dalam rangka memperkaya budaya dan spiritual. 2. Penggunaan satwa liar untuk tujuan komersial dan konsumtif hanya dipromosikan jika ada juga keuntungan konservasi. 3. Tujuan dari komersialisasi dan konsumsi spesies langka dan endemik adalah menjaga keanekaragaman hayati agar tidak terjadi penyusutan yang bersifat ‘irreversible’. 4. Penelitian mengenai ekologi dan demografi spesies tersebut harus diketahui sebelum dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. 5. Manajemen adaptif sebaiknya dipakai untuk menangkal adanya ketidakpastian dalam masalah ekologi dan sosio ekonomi. 6. Jika penggunaan spesies berubah polanya dari tradisional kepada komersial, maka pengetahuan tradisional dan sistem manajemennya harus didasari oleh pengetahuan ilmiah. 7. Pendapatan dari penggunaan spesies ini harus cukup terdistribusi untuk membayar manajemen dan menciptakan insentif untuk promosi pelestarian keanekaragaman hayati walaupun tidak pembayar keseluruhan program konservasi. 8. Tolok ukur untuk ‘Boidiversity and ecological integrity’ harus memakai definisi ‘Acceptable limits of change’ yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebih. 9. Subsidi ekonomi akan diperlukan dalam masa transisi sebelum tercipta penggunaan yang berlanjut. Selain itu apabila terjadi ketidakseimbangan ekologi, pola pemanfaatan harus ditinjau ulang. Penagkaran Satwa Liar yang Dilindungi : Apa yang Kurang ? Manajemen dan teknologi usaha penangkaran dan komersialisasi satwa lindung yang perlu mendapat perhatian adalah : 1. Penagkaran satwa liar yang dilindungi untuk tujuan komersial sebaiknya lebih ditujukan bukan hanya bersifat konsumtif berupa hewan peliharaan dan laboratorium tetapi restocking populasi di alam yang menurun drastis. Restocking dapat melibatkan pebisnis, peneliti, dan pemerintah daerah agar program tersebut dapat berlanjut. Penagkaran burung-burung langka dapat digunakan untuk merestorasi hutan kota yang selama ini masih belum memfungsikan hutannya secara ekologis, karena banyak difokuskan kepada keindahan dan rehabilitasi lahan. 2. Monitoring dan evaluasi untuk menjaga kualitas penagkar dan kuantitas yang ditangkar perlu dilakukan oleh badan atau organisasi yang independen. Badan ini bertanggungjawab kepada pemerintah dan publik serta menggunakan standar internasional, seperti IUCN Guidelines of Capative Breeding, AAZPA dan lainnya.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
9 3. Rehabilitation and Rescue Center untuk satwa lindung guna mengelola satwa hasil sitaan pemerintah yang terancam harus secepatnya dibuat dan direalisasikan antara pemerintah daerah bekerjasama dengan BKSDA dan Universitas. 4. Perlu adanya Genome Resource Banking untuk satwa liar. Bank gen ini dimaksudkan untuk menyimpan material genetic termasuk spermatozoa, embryo dan oocyte dalam temperatur rendah. Jika perkiraan Bank Dunia bahwa hutan dataran rendah Sumatera akan punah tahun 2005, maka kemungkinan banyak sekali spesies endemik akan juga punah. Uraian Penutup Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian keterkaitannya dengan pengendalian perdagangan satwa yang dilindungi antara lain: (1). Dalam upaya perlindungan terhadap satwa liar yang sudah dianggap langka perlu dibuat peraturan yang bersifat pencegahan dan pembatasan, yang didasarkan kepada data hasil survey. (2). Daerah bisa menetapkan suatu quota satwa yang diperjualbelikan bagi satwa-satwa yang termasuk dalam Appendix III dan Non Appendix (CITES) (3). Bagi satwa yang tergolong Appendix I dan II supaya dikonsultasikan dengan LIPI dan Departemen Kehutanan, terutama untuk pemilikan pribadi, kebun binatang dan taman safari. (4). Perburuan burung di wilayah DKI Jakarta supaya dilarang dan perlu diadakan pengkayaan jenis burung, demikian pula penangkaran kera ekor panjang di hutan lindung Angke kapuk tidak diperkenankan. (5). Peraturan CITES dan Peraturan nasional perlu dipelajari dan disosialisasikan. Tempattempat peragaan seperti Kebun Binatang Ragunan dan TMII adalah tempat pendidikan masyarakat mengenai satwa liar yang dilindungi. (6). Menggalakkan swadana masyarakat untuk mengembangbiakan satwa langka yang dilindungi dengan berbagai kemudahan dan bimbingan pemerintah daerah. (7). Insentif dan disinsentif perlu diberikan kepada setiap pelaku penangkaran yang jujur dan yang tidak baik.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008