USULAN PERLINDUNGAN KODOK MERAH Leptophryne cruentata UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA
PENGUSUL Nama Pekerjaan Instansi Alamat Telpon Faksimili Email
: Mirza D. Kusrini : Staf pengajar di Insitut Pertanian Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB : Kampus Darmaga, Bogor. PO Box 168,Bogor 16000 Indonesia : +62-251-621947 : +62-251-621947 :
[email protected]
PENGENALAN JENIS Kodok merah (Leptophryne cruentata) adalah kodok berukuran kecil (jantan dewasa 2030 mm; betina dewasa 25-40 mm) dengan kelenjar paratoid yang kecil dan seringkali tak jelas.Tidak memiliki alur bertulang di kepala, jari kaki ke 3 dan ke-5 berselaput sampai ke benjolan subartikuler. Warna hitam dengan bercak merah dan kuning. Ada yang memiliki tanda jam pasir di punggung dengan pinggiran merah dan kuning di tengahtengah hitam. Ada juga yang hanya memiliki bercak kuning tersebar di seluruh warna hitam (gambar 1). Bagian bawah berwarna kemerahan atau kekuningan.
Leptophryne cruentata dari Cibodas (kiri. Foto: Mirza D.Kusrini) dan Rawa Denok (kanan, Foto: Anisa Fitri). Foto diambil pada bulan Juni-Juli 2004
Berdasarkan taksonomi, kodok ini masuk dalam:
1
Kelas Bangsa Suku Anak Suku Marga Species Nama lain Nama umum
: Amphibia : Anura : Bufonidae : Adenominae : Leptophryne : Leptophryne cruentata (Tschudi, 1838) : Bufo cruentatus, Cacophryne cruentata : Bahasa Indonesia: Kodok merah Bahasa Inggris: Bleeding toad, Fire toad
PENYEBARAN Endemik Jawa Barat. Sejauh ini diketahui dijumpai di Cibeureum, Lebak Saat dan Rawa Denok yang semuanya terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Iskandar (1998) juga mencatat bahwa jenis ini pernah ditemukan di Ciapus, Selabintana dan Curug Luhur (Sukabumi Selatan). Kurniati (2003) mencatat adanya jenis ini di daerah Cikeris di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Umumnya dijumpai di sepanjang tepi sungai berbatu dengan arus cukup deras, di antara kolam-kolam air dekat tepi sungai, duduk di antara bebatuan di sungai atau di antara dedaunan semaksemak tepi sungai. Seiring meningkatnya survei di berbagai tempat, kodok ini sekarang dijumpai di lokasi di luar Jawa Barat. Lokasi lain Kodok merah dijumpai pula di kawasan Wisata Guci, Gunung Slamet, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah (Zoo Indonesia, 2014). Selama kurun waktu 2013-2014 tercatat beberapa lokasi baru dijumpainya Kodok merah di Jawa Barat yaitu Curug Ceret, Sungai Citirilik di wilayah kerja Resort Tegalega (survey tim CWMBC/ICWRMIP, September 2013), dijumpai pula Kodok merah di area Curug Cisurian dan Cilutung wilayah kerja Resort Cigugur, Taman Nasional Gunung Ciremai (Hasil survey bulan November 2013) (PILI – Green Network, TNGC dan PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field, 2013). Walaupun penyebarannya cukup luas, namun terlihat jelas bahwa kodok ini hanya ditemukan di daerah pegunungan. STATUS HUKUM Kodok merah saat ini telah masuk ke dalam Daftar Merah(Redlist) IUCN sebagai CR A2ac atau Critically Endangered. Tidak dilindungi dalam hukum Indonesia.
PEMANFAATAN Jenis ini tidak dimanfaatkan oleh manusia baik untuk konsumsi atau lainnya.
ANCAMAN Secara umum habitat utama dari kodok ini masuk ke dalam kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Ciremei. Salah satu hábitat di luar kawasan konservasi adalah 2
di Guci, kaki Gunung Slamet. Semua lokasi penyebaran kodok ini verada di gunung yang yang aktif, sehingga rentan terhadap letusan vulkanik. Habitat di TN Gunung Gede Pangrango, terutama di sekitar air terjun di Cibereum intensif dikunjungi wisatawan pendaki pada akhir pekan dan musim libur sekolah. Hal ini berpotensi mengancam populasi di daerah tersebut. Gede Pangrango adalah daerah pegunungan yang masih aktif, sehingga selalu ada potensi ancaman dari kegiatan vulkanis. Salah satu ancaman bagi keberadaan kodok ini adala penyakit. Jamur Batrachochytrium dendrobatidis (Bd) adalah patogen yang mengakibatkan penyakit pada katak yaitu chytridiomycosis, yang diduga menyebabkan penurunan serta punahnya berbagai populasi amfibi di berbagai belahan dunia (Berger dkk., 1998, 1999). Saat ini, Bd telah ditemukan di hampir seluruh populasi amfibi di dunia kecuali di Asia, yang tampaknya lebih disebabkan oleh kurangnya penelitian bukan oleh absennya patogen ini. Kondisi klimat di daerah Jawa Barat, terutama di lokasi-lokasi dataran tinggi sangat potensial bagi perkembangan Bd. Sebagai contoh suhu di TNGP dan TN Gunung Halimun Salak Gunung di siang hari berkisar antara 13.5–28 oC dengan kelembaban relatif 63–100% yang merupakan kondisi optimal bagi Bd. Ron (2005) mengembangkan model penyebaran global Bd berdasarkan variabel lingkungan dan memprediksi hutan-hutan pegunungan di Jawa dan Sumatera sangat mungkin menjadi penyebaran Bd. Selain itu Indonesia juga mengintroduksi katak lembu Rana catesbeiana, yang diketahui seringkali terinfeksi Bd di kolam-kolam penangkaran di Amerika Selatan (Mazzoni dkk, 2003) sehingga berpotensi menyebarkan Bd. Walaupun Bd belum dijumpai di Indonesia, potensi ancaman Bd tdak boleh dikesampingkan.
POPULASI DI ALAM Hasil survey yang dilakukan Liem pada tahun 1960an menunjukkan bahwa kodok ini adalah jenis yang paling umum dijumpai di jalur Cibodas di dalam Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) setelah Rana chalconota (total spesimen 149). Iskandar (1998) menyatakan bahwa kodok ini menghilang dari Cibeureum pada tahun 1990an. Sementara hasil survey yang dilakukan Kusrini dkk. (2005) pada tahun 2004 selama 3 bulan di daerah yang sama menunjukkan bahwa walaupun Rana chalconota masih mendominasi di kawasan TNGP namun jumlah individu Leptophryne cruentata yang ditemukan sangat rendah. Hasil survey tersebut hanya menemukan 3 individu yang terdiri dari 2 individu di Cibeureum (1685 m dpl) dan 1 individu di Rawa Denok (1699-1795 m dpl). Sementara itu, hasil survey Agustus 2003 di daerah di luar kawasan TNGP yaitu di Cikeris (TN Gunung Halimun - 1500 m dpl) juga hanya menemukan 3 individu jantan berukuran tubuh 25-30 mm pada satu kali survey (Kurniati, 2003). Di taman Nasional Ciremai, kodok merah ditemukan bervariasi yaitu 2 – 24 ekor dalam satu hari pengamatan ((PILI – Green Network, TNGC dan PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field, 2013), sementara di Guci hanya ditemukan 8 individu (Mumpuni 2014).
3
REKOMENDASI a. Pertimbangan: 1. Populasi Leptophryne cruentata di alam sangat rendah 2. Habitat sangat terkonsentrasi di hutan-hutan alam di pegunungan berapi 3. Penurunan populasi jenis ini di TN Gunung Gede Pangrango tidak diketahui penyebabnya b. Tindak Lanjut: Dengan pertimbangan di atas (no.1-3), maka jenis kodok Leptophryne cruentata sudah waktunya untuk dilindungi dan masuk dalam daftar satwa liar yang dilindungi undangundang.
DAFTAR ACUAN Berger, L., R. Speare, P. Daszak, D. E. Green, A. A. Cunningham, C. L. Goggin, R. Stratcombe, M. A. Ragan, A. D. Hyatt, K. R. McDonald, H. B. Hines, K. R. Lips, G. Farantelli and H. Parkes. 1998. Chytridiomycosis causes amphibian mortality associated with population declines in the rain forest of Australia and Central America. Proc.Natl.Acad.Sci. USA 95: 9031-9036. Berger, L., R. Speare and A. Hyatt. 1999. Chytrid fungi and amphibian declines: Overview, implications and future directions. In: A. Campbell (eds) Declines and disappearances of Australian frogs. Canberra, Environment Australia: 23-33 pp. Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. 1. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. 132 hal. Iskandar, D. & Mumpuni 2004. Leptophryne cruentata. Dalam: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded pada tanggal 15 November 2006. Kurniati, H. 2003. Kodok merah Leptopryne cruentata ditemukan di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Fauna Indonesia 5(2): 71-74. Kusrini, M. D., A. Fitri, H. Utama, D. M. Nasir, D. Ardiansyah, V. Lestari and R. Rachmadi. 2005. Project 202404: Ecology and conservation of frogs of Mount Gede Pangrango National Park. Bogor, Institut Pertanian Bogor: 23 hal. Mazzoni, R., A. A. Cunningham, P. Daszak, A. Apolo, E. Perdomo and G. Speranza. 2003. Emerging pathogen of wild amphibians in frogs (Rana catesbeiana) farmed for international trade. Emerging Infectious Diseases 9(8): 995-998. Mumpuni, 2014. Survei Amfibia di Kawasan Wisata Guci, Kaki Gunung Slamet, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Zoo Indonesia.
4
[PILI-Green Network, TNGC dan PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field] 2013. Kajian Biodiversitas di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat (unpublished).
Ron, S. R. 2005. Predicting the distribution of the amphibian pathogen Batrachochytrium dendrobatidis in the new world. Biotropica 37(2): 209-221.
5