USULAN SANCA BULAN Simalia boeleni (Brongersma, 1953) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGUSUL Nama Pekerjaan Instansi Alamat Telpon Faksimili Email
: Mumpuni dan Amir Hamidy : Staf peneliti di Laboratorium Herpetologi, MZB : Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : Museum Zoologicum Bogoriense, Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI, Gd. Widyasatwaloka JL. Raya Jakarta-Bogor km 46, Cibinong : +62-21-8765056 : +62-21-8765068 :
[email protected] [email protected] atau
[email protected]
A. PENGENALAN JENIS Deskripsi : Ukuran : 1,83-2,44 m (dewasa) (O’Shea, 1996), informasi lain menyebutkan anakan baru lahir berukuran 37.5 cm, sedangkan ukuran betina pada usia 3 tahun bisa mencapai 1,65 m dan ukuran jantan pada usia 6 tahun bisa mencapai 2,64 m. Simalia boeleni jantan dewasa foto oleh Mumpuni
Warna : Anakan : Anakan yang baru lahir tubuhnya hampir seluruhnya berwarna merah, kemudian berubah kuning atau putih pada ventralnya. Warna tubuh ini akan berubah menjadi hitam (dorsal) seiring dengan pertumbuhannya. Perubahan warna ini dimulai dari ekor ke seluruh tubuh dan kepala.
1
Dewasa : Dorsal berwarna hitam mengkilap (dewasa) dengan kilauan kebiruan, ungu dan oranye terutama jika terkena sinar matahari. Ventral berwarna putih mulai dari bawah kepala, leher, perut dan berangsur angsur hilang menjadi gelap dan hitam di bagian posterior (ekor). Warna putih pada bagian perut ini membentuk pola strip-strip yang tidak teratur ke arah anterior, terutama di sepanjang lateral tubuhnya. Kepala bagian dorsal berwarna hitam, ventral berwarna putih, terdapat strip vertikal berseling hitam putih (kuning) pada sisik-sisik supra labial dan lower labial (O’Shea, 1996). Pada bagian dagu dan tenggorokan yang berwarna putih terdapat titik titik berwarna hitam. Pola sisik : Sisik tengah dorsal (44-51) semuanya smooth, sisik ventral (282-298), sisik subcaudal (57-64) hampir semuanya berpasangan. Kepala cukup simetris, leher terlihat jelas, mata relatif besar dengan pupil yang vertikal. Jumlah sisik loreal (6-12), sisik supralabial (8-11 dimana sisik ke 5 dan 6 menyentuh mata), sisik infralabial (14-17), sisik preocular 2, sisik postocular 2-4, terdapat dua pasang sisik prefrontal yang semuanya menyentuh sisik loreal serta dua pasang sisik parietal yang diikuti oleh sebuah sisik postparietal (O’Shea, 1996). B. CATATAN TAKSONOMI Jenis ini pertama kalinya dikoleksi oleh K.W. J. Boelen yaitu (holotipe RMNH 9651) pada tanggal 25 Desember 1952, dari Dimija dekat danau Wissel, distrik Paniai (Papua) pada ketinggian about 1.750 meter dpl. Selanjutnya dideskripsi oleh Brongersma pada tahun 1953 sebagai Liasis boeleni. Pada tahun 1958 Worrell mendeskripsi jenis yang sama dengan nama Liasis taronga. Selanjutnya McDowell (1975), Underwood & Stimson (1990) dan Kluge (1993) merevisi dengan analisis phylogeny kelompok python. Di Indonesia bagian timur terdapat 5 jenis Simalia (S. boeleni, S. amethistina, S. clastolepis, S. tracyae dan S. nauta). Diantara kekerabatan dalam genus Simalia, S. boeleni dan kelompok python semak (S. amethistina, S. clastolepis, S. tracyae dan S. nauta) memiliki kesamaan ciri morfologi, yaitu kepemilikan dua pasang sisik besar di daerah parietalnya. Karakter tidak adanya sisik interparietal pada S. boeleni dimungkinkan sebagai karakter turunan dari kelompok python semak (Harvey et al., 2000). Dalam sistem binominal nomenclature klasifikasi Python bulan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Reptilia Order : Squamata Suborder : Serpentes Family : Pythonidae Genus : Simalia Species : Simalia boeleni (Brongersma, 1953) Synonim : Liasis boeleni Brongersma, 1953 Liasis taronga Worrell, 1958 Local name : English : Boelen’s Python, Black Python Indonesia : Python bulan, Sanca Bulan C. PENYEBARAN Dataran tinggi Papua (Indonesia) dan Papua New Guinea (Iskandar, 2001). Informasi ilmiah lokalitas tipenya (RMNH 9651) berasal dari Dimija, danau Wissel, Papua (Indonesia). Informasi lainnya menyebutkan di daerah pegunungan Jayawijaya dan bagian dari puncak Jaya (Kusuma, 2001). Informasi distribusi jenis ini di New Guinea pada ketinggian 1000-2000 meter dpl, sedangkan populasi di Irian, pada ketinggian 1750 m dpl (O’Shea, 1996). Belum pernah ada records dari pulau-pulau sekitar Papua.
2
D. INFORMASI BIOLOGI Habitat : Hutan tropis pegunungan (>1000 m dpl), hidup dibawah pohon, kelembaban yang tinggi dan intensitas cahaya matahari yang rendah (O’Shea, 1996). Kebiasaan : merupakan ular nokturnal, namun apabila dikandangkan pada suhu yang lebih panas, jenis ini terlihat lebih aktif. Ular ini tidak terlalu agresif, informasi lain juga menyebutkan bahwa jenis ini merupakan pemanjat yang hebat (O’Shea, 1996). Mangsa : kelompok mamalia kecil dan burung-burung yang bersarang di tanah (O’Shea, 1996). Informasi dari individu yang dikandangkan, bahwa betina cenderung memekan tikus kecil yang memiliki variasi warna, sedangkankan yang jantan memakan tikus besar tanpa membedakan warnannya. Perkembangbiakan : Jumlah telur 14 butir (O’Shea, 1996). Dari laporan CV Herpafauna di Bali, disebutkan bahwa ular ini dalam kandang mulai bertelur bulan Juli, Oktober dan November. Jumlah yang menetas adalah 8, 16 dan 22 tetapi masih belum diketahui dari satu induk atau dua induk. E. STATUS HUKUM Jenis ini masuk Appendix II (CITES), artinya masih bisa menagkap dari alam untuk diperdagangkan dengan pengawasan yang ketat. Akan tetapi karena pertimbangan kelestariannya di alam yang semakin terancam, maka Pemerintah Republik Indonesia sekarang telah menetapkan kuota 0 untuk jenis ini, artinya sudah tidak diijinkan penangkapan dari alam untuk tujuan perdagangan, baik untuk pet maupun kulit, jenis ini hanya bisa diperdagangkan dari hasil penangkaran. Sedangkan untuk data kuota tangkap tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999 dan 1998 : 200; 2000 dan 2001 : 125; tahun 2003 : 50 (hanya untuk induk penangkaran). BKSDA Irian Jaya I Jayapura telah merekomendasikan jenis ini untuk masuk ke daftar satwa yang dilindungi dan dinaikkan statusnya ke Appendiks I (Kusuma, 2001). Pemerintah Papua New Guinea juga telah menetapkan Sanca Bulan sebagai jenis yang paling dilindugi. F. PEMANFAATAN Jenis ini telah menjadi incaran kolektor reptil di seluruh dunia, karena warna kilauan hitam yang indah. Selama ini Sanca Bulan telah dimanfaatkan untuk diperdagangkan sebagai hewan piaraan (pet), namun demikian masyarakat lokal juga mengkonsumsinya (Maturbongs pers comm.). G. ANCAMAN Eksploitasi dari alam Walaupun Pemerintah telah memberlakukan kuota 0 untuk jenis ini, namun sanca Bulan tetap saja menjadi incaran para kolektor reptil dari seluruh dunia, karena beberapa hal, yaitu warna kulitnya yang sangat indah, belum berhasilnya penangkaran (sehingga jumlah yang diperdagangkan juga masih sedikit) dan jenis mangsanya yang relatif mudah didapatkan, sehingga orang tidak akan kesusahan memberi makan. Sistem kuota yang telah diberlakukan pemerintah masih belum bisa mengawasi perdagangan jenis ini, sehingga perdagangan ilegal masih saja terus berlangsung. Di pasar gelap Jakarta Sanca bulan mencapai harga yang menakjubkan yaitu Rp. 6 juta per ekornya. Harga ini akan berlipat di pasaran internasional, sepasang Sanca Bulan biasanya ditawarkan dengan harga US$20,000. Harga ini juga bervariasi dari US$ 3,100 untuk anakan sampai harga terendah yaitu US$ 650 untuk jantan muda (Kusuma, 2001).
3
Sehingga tidak mengherankan mengeksploitasi jenis ini.
apabila
orang
berlomba-lomba
berburu
untuk
Penangkaran yang belum berhasil Sanca Bulan merupakan jenis yang sangat sulit untuk ditangkarkan, hal ini terkait dengan mikrohabitat jenis ini, yaitu kondisi lembab, rendah intensitas cahaya matahari dan temperatur yang rendah sesuai ketinggian 1000-2000 m dpl. Kondisi yang demikian masih belum bisa disediakan oleh para breeder. Selain faktor tersebut masih banyak juga faktor lain yang menyebabkan kegagalan penangkaran jenis ini, misalnya kondisi kandang yang terlalu panas bisa menyebabkan hilangnya kemauan makan dan warna kulitnya akan menjadi lebih gelap dan kusam dan lpemberian makan yang berlebihan justru mengakibatkan stress dan kematian. Informasi terakhir dari breeder yang masuk ke LIPI, adalah CV Herpafauna di Bali yang telah membiakkan jenis ini sampai tahap F1 pda tahun 2001-2004. Sampai saat ini belum ada lagi laporan tentang keberlangsungan penangkaran jenis ini. Bahkan dari jatah kuota yang telah diberikan Pemerintah tahun 2003 yaitu untuk 50 individu sebagai calon induk untuk penangkaran (parent stock), tidak terealisasi. Ketersediaan habitat Sanca Bulan menghuni hutan-hutan tropis pegunungan (1000-2000 m dpl) di Papua dan Papua New Guinea. Namun demikian, dengan sifatnya sebagai reptil yang menghuni dataran tinggi, justru ini bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan populasinya di alam. Dengan adanya fragmentasi habitat oleh perambahan hutan di wilayah dataran rendah, menyebabkan habitat hutan pegunungan terfragmentasi, hal ini bisa menjadikan barier antar populasi di setiap habitat pegunungan. Di dalam populasi-populasi yang terisolir tersebut akan terjadi inbreeding sehingga menurunkan kualitas genetiknya. Kondisi yang demikian akan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, menyangkut turunnnya daya adaptasinya. Penggundulan hutan di dataran rendah dan masuk ke hutan-hutan pegunungan, telah mendesak jenis ini ke hutan-hutan pegunungan yang lebih tinggi (di atas batas normal distribusinya, yaitu 1.000-2.000 meter dpl) (Maturbongs pers comm.) . Sistem bertani lahan berpindah juga telah mempercepat pembukaan hutan sebagai lahan baru pertanian terutama pada lereng-lereng pegunungan. POPULASI DI ALAM Studi populasi di alam secara intensif, belum pernah dilakukan, namun demikan informasi dari Johannes Arthur Maturbongs (peneliti the World Wide Fund for Nature (WWF)) di Irian in Irian Jaya, menyebutkan bahwa Sanca Bulan sudah sangat jarang ditemukan di habitat aslinya. Survei yang dilakukan WWF pada pertengahan tahun 2000 meliputi wilayah Wamena dan distrik Jayawijaya hanya menemukan satu spesimen saja, yaitu ditemukan di lereng kaki bukit yang sangat curam dan lembab (Maturbongs pers comm.). I. REKOMENDASI a. Pertimbangan : 1. Semakin maraknya eksploitasi telah mengancam kelestarian Simalia boeleni. 2. Penyebarannya yang sangat terbatas hanya meliputi hutan-hutan pegunungan di Papua dan New Guinea. 3. Daya adaptasinya yang rendah sehingga rentan terhadap perubahan lingkungan. 4. Populasi S. boeleni di alam sudah langka. b. Tindak Lanjut :
4
Dengan pertimbangan di atas (no.1-4), maka Sanca Bulan Simalia boeleni sudah waktunya untuk dilindungi dan masuk dalam daftar satwa liar yang dilindungi Undang-Undang RI.
DAFTAR PUSTAKA Harvey, M. B., David G. Barker, Loren K. Ammerman and Paul T. Chippindale. 2000. Systematics of Python of the Morelia amethistina complex (serpents: Boidae) with the description of three new species. Herpetological Monographs 14:139185. Iskandar, D. T. and Ed Colijn. 2001. A checklist of South Asian and New Guinean Reptiles part I : Serpentes. JICA-Ministery of Forestry, The Gibbon Foundation and ITB. Kluge, A. G. 1993. Aspidites and the phylogeny of pythoninae snakes. Records of Australian Museum. Supplement 19:1-77 Kusuma, B. D. M. 2001. Hunted and hounded, rare Boelen's python slithers to extinction. The Jakarta Post edisi April 03, 2001. McDowell, S. B. 1975. A catalogue of the snakes of New Guinea and the Solomons, with special reference to those in the Bernice P. Bishop Museum. Part II. Anilioidea and Pythoninae. Journal of Herpetology 9:1-79. O'Shea, M. A. 1996. Guide to the Snakes of Papua New Guinea. Independent Publishing, Port Moresby. Underwood, G. And A. F. Stimson. 1990. A classification of Pythons (Serpentes Pythoninae). Journal of Zoology, London 221: 565-603.
5