PENEGAKAN HUKUM, REHABILITASI DAN PELEPASLIARAN SATWA DILINDUNGI HASIL SITAAN NEGARA UJUNG TOMBAK UPAYA PENSTABILAN EKOSISTEM KAWASAN KONSERVASI Oleh R.Tri Prayudhi *) Mahasiswa Program Pascasarjana PSL Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
[email protected] Absract Perburuan dan perdagangan satwa liar telah mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem suatu kawasan, yang berdampak pada kerugian atas terancam punahnya satwa-satwa yang menjadi buruan untuk diperdagangkan. Dampak perburuan juga mengakibatkan konflik antara satwa dan manusia yang berdampak juga pada kerugian bagi manusiaitu sendiri. Upaya yang terpenting dalam menghentikan tindak kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi ini adalah penegakan hukum yang memberikan efek jera, lemahnya penyidik dalam membuat berita acara penyidikan yang memberatkan bagi para tersangka, menjadikan putusan hukum rendah, dan hal ini tidak akan membuat para pelaku tindak kriminal ini jera, dikarenakan nilai ekonomi dari perdagangan satwa liar dilindungi dapat mencapai puluhan juta bahkan miliaran.Dampak dari perburuan dan perdagangan satwa selain konflik yang timbul, juga terjadinya perubahan perilaku pada satwa selama proses perburuan, pengakutan hingga diperdagangkan, tindakan ini merupakan bentuk kekejamanyang tidak mensejahterahkan satwa dan dapat mengakibatkan penyakit yang dapat menularkan, antara satwa dengan manusia.Selain upaya hukum yang dilakukan untuk konservasi dan pelestarian satwa liar diperlukan juga upaya rehabitasi dan pelepasliaran satwa hasil sitaan negara, yang biayanya tidak sedikit, upaya rehabiltasi dan pelepasliaran satwa hasil sitaan negara merupakan salah satu upaya penstabilan ekosistem, dengan upaya ini maka kelestarian satwa liar di alam dapat terjaga. Kata Kunci : Penegakan hukum, perburuan satwa, perdagangan satwa, konflik satwa, pusat penyelamatan satwa, Rehabitasi satwa, ekosistem, Konsevasi I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara komponen biotik dan abiotik. Ekosistem yang stabil adalah ekosistem yang komponen biotik dan abiotiknya seimbang. Keseimbangan ekosistem dapat rusak apabila ada gangguan dari manusia dan bencana alam atau rusak secara alamiah.Kerusakan alamiah tidak dapat dikendalikan oleh manusia, akan tetapi gangguan terhadap ekosistem yang dilakukan oleh manusia dapat dikendalikan dan diminimalisir. Gangguan tersebut seperti pembukaan ladang, perburuan satwa liar secara illegal untuk diperdagangkan. Hal ini menyebabkan kondisi ekosistem
tidak seimbang karena salah satu dari penyusun ekosistem hilang. Ke-tidaksabilan penyusun ekosistem ini mempengaruhi kepunahan suatu satwa liar di suatu habitat. Faktor-faktor yang memperngaruhi kepunahan satwa liar selain degradasi hutan adalah perburuan dan perdagangan satwa, dimana populasi suatu spesises menurun akan mengakibatkan rantai makanan terputus. Selain kepunahan satwa dampak lainnya akibat ketidakseimbangan ekosistem di suatu habitat adalah konflik satwa liar . Propinsi Bengkulu merupakan wilayah di pesisir barat pulau Sumatera yang berada diantara dua kawasan konservasi Taman Nasional yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan juga kawasan konservasi lainnya yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumbedaya Alam Bengkulu di bawah Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Propinsi Bengkulu saat ini memiliki konflik terhadap satwa liar dilindungi cukup tinggi, dimana tercatat ada 80 kasus konflik satwa liar dilindungi sejak 2004, kasus tersebut merupakan konflik antara Harimau(Phantera tigris sumatrae)(phantera tigris sumtrae) dengan manusia dan gajah (elephan maximus sumatrae) dengan manusia (Antara.2014). sedangkan konflik satwa lainnya berupa kasus kepemilikan satwa liar dilindungi, dan kasus perdangan dan perburuan satwa
yang berhasil dilakukan penegakan hukum ada 6 kasus (BKSDA
Bengkulu 2006). Tingginya tingkat konflik satwa liar dilindungi diakibatkatkan rendahnya pengetahuan masyarakat dan rendahnya upaya penegakan hukum, dimana rendahnya hukuman terhadap para pelaku kejahatan satwa liar dilindungi berdampak pada ketidak jeraan para pelaku, sehingga para-pelaku kejahatan satwa liar di lindungi terus akan melakukan tindak kejahatan selama ada permintaan pasar akan suatu spesies.Hendarto, (2013) mengatakan bahwa perdagangan satwa liar saat ini menempati rangking kedua di dunia setelah perdagangan narkotika. Hal ini di sebabkan lemahnya penegakan hukum dan sanksi yang tegas, sehingga praktekkejahatan perdagangan satwa semakin subur. Mata rantai ini akan berhenti jika hukum berbicara. Perdagangan satwa liar adalah ancaman kepunahan satwa liar. Perburuan dan perdagangan satwa liar merupakan bentuk eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan ini telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu.Masalah konservasi sumberdaya alam tidak berdiri sendiri, tetapi selalu saling terkait erat. Keterkaitan antara masalah satu dengan yang lain disebabkan karena sebuah faktor merupakan sebab berbagai masalah, sebuah faktor mempunyai pengaruh yang berbeda
dan interaksi antar berbagai masalah dan dampak yang ditimbulkan bersifat kumulatif (Soedradjad, 1999).
1.2 Rumusan masalah Makalah ini berusaha menguraikan masalah pentingnya upaya penegakan hukum yang memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi dan rehabitasi serta pelepasliaran satwa liar dilindungi hasil sitaan negara sebagai upaya penstabil ekosistem. II.
PEMBAHASAN
2.1 Ekosistem Odum (1983) dalam Wiryono (2013) mengatakan bahwa ekositem merupakan setiap unit yang meliputi seluruh organisme yang berfungsi bersama (yaitu komunitas biologi) dalam suatu wilayah yang berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sehingga aliran energi mengasukjab struktur biota yang jelas dan siklus materi antara bagian hidup dan tak hidup adalah suatu sitem ekologi atau ekosistem. Ekosistem akan berada dalam keadaan seimbangan dengan alam dan jika tidak diusik akan kembali seimbang semula, ekosistem yang seimbang ini dinamai klimaks, namun ekosistem itu juga bersifat dinamis, selalu berubah, dimana keseimbangan antara hewan pemangsa dan hewan mangsa, jika jumlah hewan mangsa meningkat maka hewan mangsa akan berkurang, jika hewan pemangsa meningkat maka hewan mangsa akan berkurang. Akibatnya ketersediaan pakan bagi hewan pemangsa akan berkurang sehingga jumlah hewan pemangsa akan turun (Wiryono 2013). InteraksiAntarKomponenEkosistem,
merupakan
semuamakhlukhidupselalubergantungkepadamakhlukhidup
yang
lain.
Tiapindividuakanselaluberhubungandenganindividu lain yang sejenisatau lain jenis, baikindividudalamsatupopulasinyaatauindividu-individudaripopulasi lain. Kestabilan ekosistem dapat terjadi adanya bentuk rantai makanan yang kompleks, dimana interaksi antar komponen ekosistem saling tergantung, ketegantungan ini menunjukan
semakin
komples
jikasalahsatuspesieshilang,
aliran
energu
dan
aliaran
makanan.Artinya,
jaring-jaringmakananmasihtetapbisaberjalan.Sebaliknya,
jikajaring-jaringmakananitusederhana,
jikasalahsatuspesieshilang,
makaaliranenergidanaliranmakanan di alam ekosistemtersebutakankacau. (Wiryono 2013).
Satwa merupakan komponen biotik dalam suatu ekosistem, dimana satwa liar membutuhkan daerah yang luas sebagai habitat yang baik untuk bertahan hidup. Perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies di banyak kawasan. Langkah yang paling penting dalam menemukan solusi untuk melakukan penstabilan ekosistem hutan hujan adalah menghentikan semua jenis deforestasi, Sunarto (2013) dalam Eyes on the Forest (2013) Rustam (2013) mengatakan bahwa Keberadaan satwa pada kawasan tertentu menandakan kualitas dan keadaan kawasan tersebut, satwa dikenal sebagai bio indikator, dimana habitat satwa adalah seluruh faktor lingkungan alami yang mendukung keberadaan satwa hingga mampu survive dan berkembang biak.
2.2 Konfilk satwa Wilda Hasanah (2012) mengatkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara satwaliar dengan masyarakat yaitu kerusakan habitat akibat perambahan
hutan
dan
tingkat
kesukaan
satwaliar
terhadap
jenis
tanaman.Kementerian Kehutanan mencatat sedikitnya 75% satwa liar berada di luar kawasan konservasi, termasuk di Bengkulu. Sehingga menimbulkan kerawanan konflik
dengan
manusia.
Hal
itu
diungkapkan
Direktur
Konservasi
dan
Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementerian Kehutanan Novianto Bambang, (News Liputan6, 2014 ). Menurut
PERMENHUT
No.48/Menhut-II/2008
Konflik
manusia
dan
satwaliar adalah segala interaksi antara manusia dan satwaliar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwaliar dan atau pada lingkungannya. Konflik atau pertentangan merupakan wujud dari persaingan terhadap sumber daya yang terbatas, tidak adanya saling pengertian atau tidak adanya keinginan menghargai keberadaan entitas lain di sekitarnya. Secara alamiah, makhluk hidup mempunyai teknik tersendiri untuk menghindari terjadinya konflik. Konflik akibat sumber daya yang terbatas dapat dikurangi dengan cara memilih jenis makanan yang melimpah atau yang sangat spesifik, sehingga pertentangan antar spesies berkurang. Sementara itu, konflik dalam masalah pemanfaatan ruang dapat dikurangi dengan menandai daerah aktivitas atau teritori sehingga individu atau spesies lain tidak datang. Konflik juga dapat dihindari dengan berpindah ke lokasi lain atau beraktivitas di daerah yang sama namun pada waktu yang tidak bersamaan. Cara-cara penghindaran tersebut
dalam ekologi dikenal dengan istilah pemisahan relung (niche segregation). (Priatna 2012). Patriana (2012) juga menyatakan bahwa Konflik antara manusia dengan satwa liar seperti Harimau (Phantera tigris sumatrae) atau lazim disebut konflik manusiaHarimau(KMH) dapat disebabkan oleh faktor makanan dan ruang. Aktivitas perburuan satwa liar terutama yang merupakan hewan mangsa Harimausangat mempengaruhi ketersediaan
pakan
bagi
Harimau.
Sementara itu,
konversi
hutan
menjadi
pemukiman,perkebunan, pertambangan dan jaringan jalan telah mempersempit habitat yang dapat dihuni oleh Harimau (Phantera tigris sumatrae). Meningkatnya laju konversi hutan di Sumatera serta tingginya aktivitas perburuan satwa telah meningkatkan intensitas KMH. Kedua belah pihak, baik Harimau(Phantera tigris sumatrae) maupun manusia, sama-sama mengalami kerugian. Selain kerugian dalam bentuk kehilangan hewan ternak dan korban jiwa, manusia juga akan kehilangan entitas penting dari ekosistemnya yang tidak tergantikan yaitu Harimauliar, yang mungkin saja ditangkap dan dipindahkan ke fasilitas konservasi eksitu atau bahkan terbunuh pada saat terjadi konflik. Dalam pedoman penanganan konflik satwa Harimau(Phantera tigris sumatrae), bahwa satwa yang berhasil di amankan (tangkap) dalam keadaan mati maka spesiemen di lakukan pemusnahan atau di kirim ke musiem zoologi, sedangkan satwa yang tertangkap dalam keadaan hidup dilakukan translokasi untuk dilakukan pelepasliaran di alam dengan melihat kondisi kesehatan, umur ketersediaan areal, satwa mangsa, sejarah lokasi pelepasliaran. Artinya bahwa satwa yang berkonflik harus segera dilakukan pelepasliaran agar pesntabilan ekosistem terjadi, yang diharapkan dapat meningkatkan jumlah polulasi di alam . 2.3 Perburuan dan perdagangan satwa Ancaman utama keberadaan satwa liar dilindungi adalah perburuan yang berlebihan dan kehilangan habitat yang disebabkan kegiatan dan motif manusia, bernilainya suatu jenis satwa yang menjadi faktor pendorong bagi sekelompok manusia untuk melakukan perburuan secara ilegal, sehingga terjadi penurunan jumlah populasi di alam. Beberapa motif satwa di buru untuk di ambil secara hidup untuk diperdagangkan dan atau dipelihatra, Ada juga motif lain yang hanya bagian-bagian yang di ambil seperti kulit, taring, tulang, gading, sisikdaging dan lain-lainnya untuk diperdagangkan. Bagian-bagian tubuh satwa tersebut di yakini dapat digunakan dalam
obat-obatan tradisional china dan korea. Cara perburan juga bermacam-macam ada yang ditembak atau diracuni bahkan sengaja dipasang perangkap (jerat) oleh mayarakat sekitar kawasan (Irawan.2012) Propinsi Bengkulu merupakan surga bagi pemburu dan perdagangan, hal ini disampaikan Prayudhi (2006) dimana di tahun 2003-2006, ada 46 ekor satwa liar yang dipelihara oleh masyarakat hasil dari perdagangan ilegal maupun penangkapan di alam, dari 46 satwa liar yang dilindungi tersebut terdiri atas 40 ekor Siamang, 1 ekor owa, 4 ekor buaya dan 1 ekor beruang, jumlah 46 ekor tersebut dimiliki secara illegal, 26 % oleh pegawai pejabat negeri sipil di Bengkulu, 22 % anggota TNI dan Polri, sisanya adalah masyarakat sipil.Tidak saja kasus kepemilikan ilegal, perdagangan satwapun semakin meningkat, dimana di tahun 2010 sampai dengan 2014 tercatat ada 10 kasus yang berhasil digagalkan, kasus tersebut meliputi perburuan dan perdagangan Harimau(Phantera tigris sumatrae), trenggiling dan satwa liar dilindungi lainya. Berdasarkan Center Orangutan Protection (2013) bahwa perdagangan satwa di Indonesia menjadi urutan no 2 tindak kejahatan setelah perdagangan narkoba, yang jaringan dan akses bisnisnya tidak saja lokal namun juga adanya permintaan pasar internationa, pernyataan tersebut didukung oleh Ani Mardiastuti (2012) Profesor di Fakultas Kehutanan IPB dalam diklat wildlife crime Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan R.I, dimana nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa mencapai Rp 9 triliun setiap tahunnya. Pernyataan diatas dijelaskan dengan fakta dilapangan yang terjadi, dimana pada tahun 2008 dilakukan pengrebekan penampung trenggiling di Palembang, Bareskrim Mabes Polri menyebutkan, harga trenggiling dari pengumpul lokal Rp 250.000 per kilogram. Harga daging Trenggiling di pasar internasional mencapai 112 dollar AS per kilogram (sekitar Rp 1 juta), dan harga jual daging trenggiling di restoran mencapai 210 dolar AS per kilogram (sekitar Rp 1,9 juta). Sedangkan harga sisik trenggiling mencapai 1 dolar AS per keping. Penggrebekan tersebut ditemukan 13,8 ton daging trenggiling beku yang disimpan dalam empat kontainer atau senilai Rp 14 miliar , 200 ton kulit sisik trenggiling. Polisi juga menyita 478 kilogram labi-labi beku, 85 empedu trenggiling,, menurut Direktur V Tipiter Mabes Polri, Brigjen Sunaryono, Jumat (1/8) di gudang tempat pengumpulan trenggiling di Jalan Irigasi, Palembang, trenggiling dipasok dari wilayah seperti Sumsel, Jambi, dan Bengkulu dalam keadaan hidup. (Kompas, 2008)
Bengkulu merupakan salah satu wilayah pemasok untuk perdagngan trenggiling di wilayah Sumsel, di tahun tersebut juga pernah dilakukan penangkapan pengumpul lokal trenggiling yang dilakukan oleh BKSDA Bengkulu. Kompas (2009), menyebutkan telah terjadi penangkapan pengumpul trenggiling dengan barang bukti 7 ekor trenggiling hidup yang berhasil diselamatkan, ketujuh trenggiling tersebut setelah dilakukan BAP, maka dilepasliarkan kembali ke alam. Meningkatnya permintaan pasar tidak membuat jera dan takut bagi para pelaku perburuan dan perdagangan satwa dilindungi, hal ini dikarenakan tidak adanya putusan hukum yang membuat efek jera bagi para pelaku tindak kejahatan ini. Kasat Reskrim Polres Musi Rawas, AKP Teddy Ardian dalam Antara (2012) menyatakan bahwa telah tertangkap tangan seorang residivis perdagangan satwa langka yang dilindungi.Pemain lama yang diduga kuat anggota sindikat perdagangan trenggiling antar provinsi diciduk usai melakukan transaksi dengan seseorang penjual seharga Rp 250 perkilogram. Dengan diamankan Barang Bukti (BB) satu ekor hewan lindung Trenggiling seberat 8 kilogram dan panjang sekitar 1 meter di belakang rumah tersangka di dalam ember yang berukuran besar. Tidak saja di Musi Rawas namun di Bengkulu para residivispun terus melakukan bisnis haram ini. Jawapos (2013) menyebutkan dimana Polres Kabupaten Kepahiang, Bengkulu berhasil mengamankan 25 ekor Trenggiling, 10 ekor ular jenis Piton, dan 20 kulit Biawak dari dua orang pedagang. Dari tangan milik residivis RZ(50) yang pernah tertangkap tangan juga di tahun 2006. Tindak kejahatan perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungin tidak akan berhenti jika upaya penegakan hukum tidak memberikan efek jera bagi para pelaku. Fakta lainnya tidak saja trenggiling satwa lainnya seperti Harimau(Phantera tigris sumatrae), kukang , siamang merupakan satwa yang di buru dan diperdagangan baik di lokal proinsisi bengkulu tapi juga di bawa ke propinsi lainnya seperti Palembang.
2.4 Kekejaman satwa Kekejaman satwa adalah proses tidak sesuainya kondisi satwa dalam proses penangkapan, pengandangan hingga saat di jual, kekejaman ini dapat berupa terjadinya luka fisik, perubahan prilaku, stres, hingga kematian,(Animals Indonesia 2014).Bentuk kekejaman inidi sebabkan tidaksejahterahnya satwa dalam perlakukan, dalam wikipedia (2014) kesejahteraan satwa tersebut terdiri atas 5 hal yaitu :
a) Bebas dari rasa lapar dan haus, b) Bebas dari rasa tidak nyaman, c) Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, d) Bebas mengeprsikan prilaku alami, e) Bebas dari rasa stress dan tertekan Lima kebebasan satwa ini dicetuskan tahun 1992 oleh pemerintahan Inggris, sedangkan di Indonesia kesejahteraan satwa baru dituangkan ke dalam peraturan melalui undang-undang No 18 tahun 2009 tentang kesejahteraan satwa, yang mengatur segala urusan yang behubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran prilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan oleh manusia. Dalam agama Islam diajarkan mengenai kesejahteraan satwa yang dijelaskan oleh Imam Izz ibn Abd al-Salam dalam kitab qowa ‘id al-Ahkam (1/167) dalam Fatwa MUI(2014), menyebutkan kewajiban manusia atas hak-hak satwa diantaranya menjamin ketersediannya nafkah yang layak untuknya sekalipin lumpuh atau sakit yang sekiranya ia tidak dapat di manfaatkan, tidak memberikan beban diluar kemampuannya, tidak menyatukan dengan hewan yang membahaykan dirinya, baik dengan hewan yang sejenis maupun yang tidak sejenis, serta mengumpulkan antara penjantan dan betinya guna melanggengkan keturunannya. Animals Indonesia (2014) mengatakan bahwa satwa yang diperdagangkan telah mengalami bentuk kekejaman, seperti kukang yang di jual di pasa-pasar burung, dimana gigi taring dipotong tanpa pembiusan, pemotongan gigi kukang ini dapat berakibat kematian karena infeksi pada gigi kukang tersebut. Pedagang melakukan pemotongan ini agar para pembeli atau pemelihara tidak terancam karena gigitan kukang saat di pelihara. Selain pemotongan gigi, kukang yang merupakan hewan nocturnal (aktif dimalam hari) selama di perdagangan dan dipelihara juga mengalamai kekejaman dimana kukang di paksa aktif pada pagi siang hari, yang mana seharusnya saat pagi dan siang kukang tidak aktif melakukan (tidur). Hal-hal diatas tersebut mengakibatkan tidak sejahteranya satwa yang berakibat stres dan menimbukan penyakit. Satwa-satwa yang berhasil di selamatkan dari perdagangan umumnya telah mengalami stres dan berpenyakit sehingga membutuhkan waktu dan biaya untuk
dilakukan rehabilitasi mengembalikan prilaku alaminya agar dapat dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya.
2.4 Penegakan hukum Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegak hukum adalah orang atau badan yang melakukan suatu kegiatan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha, yang dapat di artikan sebagai petugas yang berhubungan dengan masalah peradilan. Sedangkan pengertian dari Peradilan itu sendiri adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. (Hadi,2012) MenurutUU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 2 :“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Dalam Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,dimana terkandung gerak sistemik dari komponenkomponen pendukungnya (sub sistem), yaitu kepolisian, kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dilihat dari uraian tersebut, maka secara formal tugaskepolisian memegang peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, sebab kepolisianmerupakan gerbang utama masuk dan diprosesnya suatu perkara ke
dalam sistem peradilan pidana.Kepolisian bertugas untuk memproses tersangka pada tahap penyidikan dan mengajukannya kepenuntutan di pengadilan. Apabila dikaitkan dengan penanganan tindak pidana perdagangan satwa liar maka wewenang untuk melakukan penyidikan selain dimiliki oleh Penyidik Kepolisian, terdapat juga kelembagaan PPNS yangmemiliki kewenangan penyidikan berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang no 5 tahun 1990 tentang Konservasi SumberDaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Baik penyidik Polri maupun Penyidik PPNS memiliki kewenangan yang sama dalam hal penyidikanterhadap tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi. Namun, Penyidik PPNS tidak memiliki kewenangan penuh seperti yang dimiliki oleh Penyidik Polri oleh karena itu terdapat hal-hal yang harus dipenuhi oleh PPNS dalam melakukan penyidikan, antara lain kewajiban untuk selalu melakukankoordinasi dengan Penyidik Polri dan wajib melakukan laporan mengenai penyidikan yang dilakukan agarPenyidik Polri dapat memberikan bantuan teknis kepada Penyidik PPNS. (Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 ) Masih berdasarkan (Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 ) bahwa bantuan penyidikan yang diberikan oleh penyidik Polri kepada penyidik PPNS dapat berupa bantuan taktis seperti bantuanpersonil dan peralatan dalam penyidikan, bantuan teknis seperti bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian serta bantuan upaya paksa yaitu bantuan kegiatan penindakan apabila undang-undang yangmenjadi dasar bagi PPNS tidak memberikan kewenangan dalam hal penindakan. Penyidik PPNS melaksanakan penyidikan setelah mengetahui bahwa telah terjadi peristiwa yang merupakan tindak pidana yang termasuk dalam lingkup tugas dan wewenangnya. Pelaksanaan penyidikan ini dapat berasal dari laporan yang diberikan petugas atau pelapor, tertangkap tangan, dan diketahui secara langsung oleh Penyidik PPNS. Dalam hal telah diketahui adanya suatu tindak pidana, Penyidik PPNS menuangkan hal tersebut dalam bentuk laporan kejadian dan laporan kemajuan. Apabila pada tahap penyidikan, penyidik PPNS sudah dianggap memiliki bukti permulaan yang cukup sehingga dapat memulai proses penyidikan maka penyidik PPNS wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum melalui penyidik Polri, dilengkapi dengan laporan kejadian dan berita acara. Kemudian penyidik Polri akan melihat dahulu apakah sudah lengkap atau masih ada kekurangan menyangkut administrasi penyidikan, penerapan pasal serta analisis yuridisnya.
Penyidik PPNS tidak memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan dan/atau penahanan kecuali dalam hal tertangkap tangan. Penangkapan atau penahanan dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan Penyidik Polri. Mengenai tata cara penggeledahan tidak diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, sehingga apabila diperlukan penggeledahan maka berlaku ketetuan penggeledahan menurut KUHAP. Penyidik PPNS memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaanberdasarkan Pasal 39 ayat (3) huruf D Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap bahan dan barang yang dapat dijadikan bukti dalamperkara tindak pidana perdagangan satwa. Meskipun penyidik PPNS memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan satwa liar, penyidik PPNS dalam praktiknya tetap harus melakukan koordinasi dengan penyidik Polri agar proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan tidak ada kasus yang terganjal di tahap penyidikan ataupun kasus yang tidak ada kejelasan. Selain itu, Penyidik PPNS Balai BKSDA umumnya lebih
memfokuskan
pada
upaya
penyelamatan
satwa
liar
dibandingankan
denganmeneruskan upaya hukum sehingga koordinasi dengan penyidik Polri perlu dilakukan sedini mungkinDalam penyidikan tindak pidana perdagangan satwa liar, kinerja dan profesionalisme aparat penyidiksangat menentukan tingkat keberhasilan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa secara keseluruhan. Mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan merupakan proses awal dari rangkaian proses dalam mencari dan menemukan kebenaranmateril. Keberhasilan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri dan penyidik BKSDA dalamkasus perdagangan satwa liar
menjadi
penentu
proses
penegakan
hukum
selanjutnya,
yakni
penuntutan,pembuktian di sidang pengadilan hingga putusan. Di sini tergambar bahwa koordinasi yang baik antar subsistem di dalam sistem peradilan pidana akan mencapai efiesiensi dan efektifitas yang maksimal dalampenegakan hukum. Di dalam sistem peradilan pidana, penyidik merupakan roda penggerak artinyaapabila penyidik menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, maka seluruh sub sistem dalam sistemperadilan pidana dapat bekerja dengan baik. Namun, apabila penyidik tidak menjalankan fungsinyasebagaimana mestinya meskipun terdapat peraturan perundangundangan yang dirumuskan secarasempurna, penegakan hukum tidak akan berjalan. Dalam beberapa contoh kasus yang telah penuliskemukakan, banyak kasus perdagangan satwa liar yang didiamkan begitu saja tanpa ada proses hukum lebih
lanjut. Hal ini tentu saja menghambat sub sistem lainnya untuk bekerja secara maksimal. Dari beberapa kasus perdagangan satwa liar dilindungi, putusan hukum tidak pernah memberikan kemenangan bagi upaya konservasi, dimana hasil putusan hukum terhadap pelaku kejahatan satwa liar dilindungi tidak memberikan efek jera. Kemenangan penegakan hukum yang dimaksud adalah hukuman masimal sesuai undang-undang no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem, dimana tindakan memiliki, menyimpan bagian-bagian satwa liar dilindungi dapat dikenakan hukuman masimal tahanan 5 tahun dan denda 200 juta. Hal inilah yang mempengaruhi juga atas tingginya tindakan kejahatan perburuan dan perdagangan satwa, dimana para pelaku lama (residivis) akan terus melakukan tidakan melawan hukum, selama permintaan ada dan tindakan tegas hukuman yang membuat jera tidak terpenuhi. Putusan rendah terhadap pelaku kejahatan satwa liar dilindungi ini disebabkan rendahnya pengetahuan para petugas penegak hukum seperti baik penyidik polri maupun PPNS BKSDA, maupun saksi ahli yang di gunakan oleh penyidik dalam proses hukum yang dapat memberatkan hukuman terhadap tersangka. Keterangan yang memberatkan tidak saja kerusakan ekosistemyang biasa menjadi dasar para saksi ahli yang di gunakan oleh para penyidikan BKSDA, tapi kesaksian ahli yang dapat menilai baik secara ekologis, juga nilai rupiah atas perdagangan dan upaya rehabilitasi yang mengakibatkan kerugian negara. Menurut (Jamarti 2014) Dalam presentasi Center orangutan protection schoolbahwa uang yang dikeluarkan untuk 1 ekor orangutan setiap bulannya untuk merehabitasi orangutan hasil sitaan sekitar 30 juta rupiah, bila dikalikan 12 bulan makan sekitar Rp. 360.000.000 uang yang harus dikeluarkan tiap tahunnya untuk 1 ekor orangutan, ini merupakan kerugian negara yang di akibatkan dari perdagangan 1 ekor orangutan. Pernyataan diatas jelas bahwa kerugian negara akibat perdagangan satwa liar tidak saja nilai ekologi tapi nilai rupiah yang harus dikeluarkan negara untuk merehabitasi satwa tersebut sampai dengan dapat dilepasliarkan kembali kehabitatnya.
2.5 Pusat Penyelamatan dan Rehabitasi Satwa Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) merupakan program hasil kerjasama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia (Ditjen PHKA Dephut RI), dengan LSM baik lokal maupun
nasional. PPS dibentuk untuk membantupenanganan satwa liar sebagai hasil konsekuensi upaya penegakan hukum di bidang konservasi satwa liar melalui kegiatan penertiban dan penegakan hukum. Tujuan utama PPS adalah merehabilitasi dan mengelola satwa hasil sitaanuntuk kemudian dilepaskan kembali ke alam atau habitat aslinya danmemulihkan populasinya. Selain berperan sebagai tempat rehabilitasi satwa, PPSjuga
berperan
sebagai
ruang
pendidikan
lingkungan,
membantu
pemantauanperdagangan satwa liar yang dilindungi, serta mendukung pelestarian berbagaikawasan konservasi sebagai habitat satwa liar . PPS memiliki dasar hukum dalam melaksanakan program-programnya, diantaranya Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SumberDaya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 tahun 1997 tentang PengelolaanLingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 13 tahun1984 tentang Perburuan, PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan JenisTumbuhan dan Satwa Liar, Keppres No. 43/M/78 tahun 1978 tentang ratifikasiCITES (Convention on International Trade of Endangared species of Wild Flora and Fauna). Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.31/Menhut-II/2012 tentang lembaga konservasi, bahwa pusat penyelamatan satwa (PPS) dan pusat rehabitasi satwa (PRS) merupakan lembaga konservasi untuk kepentingan khusus dimana dijelaskan dalam pasal 1 bahwa pusat penyelamatan satwa adalah tempat untuk melakukan kegiatan pemeliharaan satwa hasil sitaan atau temuan atau penyerahan dari masyarakat yang pengelolaannya bersifat sementara sebelum adanya penetapan penyaluran satwa (animal disposal) lebih lanjut oleh Pemerintah, Sedangkan Pusat rehabilitasi satwa adalah tempat untuk melakukan proses rehabilitasi, adaptasi satwa dan pelepasliaran ke habitat alaminya. Sedangkan menurut (Permenhut Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-II/2012) bahwa perolehan satwa di PPS atau PRS merupakan hasil penyerahan melalui Pemerintah terhadap satwa liar hasil upaya penegakan hukum, penyerahan secara sukarela dari masyarakat, akibat bencana alam, dan/atau akibat konflik; dan hibah, pemberian atau sumbangan satwa liar dari lembaga konservasi dalam negeri dan/atau dari lembaga konservasi luar negeri untuk kepentingan konservasi in-situ, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dari 7 Pusat Penyelamatan Satwa di Indonesia yang pernah di bangun oleh yayasan Gibon Indonesia saat ini hanya beberapa pps yang masih bekerja dan berfungsi diantaranya adalah : PPS Cikananga, Sukabumi, PPS Jojga, Jogjakarta; PPS Tasitoki , Sulawesi utara dan saat ini ada beberapa PPS yang akan di bangun di wilayah Sumatera
bagian selatan dan Sumatera bagian utara, untuk menangangi konflik satwa di wilayah tersebut.PPS atau PRS sangat berperan penting dalam mengakomodasi hasil proses penyitaan /penertiban satwa liar yang dilindungi sebagai salah satu tindak lanjut proses penegakan hukum. Dimana memiliki fungsi mendukung secara teknis penanganan danpengelolaan satwa yang dilindungi sebagai hasil sitaan dan barang negara. Proses penanganan satwa hasil sitaan di PPS atau di PRS diantaranya : 1. Karantina satwa. 2. Penilaian dan perlakuan medis: a). Anamnesis b).Signalement c).Pemeriksaan fisik-anatomis dan fisiologisd).Pemeriksaan feces e) Pemeriksaan darah f) Diagnosis danprognosis g) Pengobatan f) Rekomendasi medis untuk disposal 3. Penilaian dan perlakuan perilaku: a). Penempatan kandang isolasi, observasi, enclosure dan solf-releaseb). Pengamatanperilaku c). Pelatihan d) Rekomendasi perilaku untuk release 2.5 PelepasliaranSatwa Reintroduksi adalah satu kegiatan rehabilitasi modern dengan melepasliarkan kembali individu satwa hasil sitaan ke kondisi liar. Dengan kata lain, reintroduksi adalah kegiatan mempersiapkan satwa hasil sitaan (peliharaan) menjadi jenis feral ke suatu kawasan hutan konservasi sebagai habitat barunya yang sesuai, di mana satwa jenis ini tidak ada di kawasan tersebut tetapi kawasan ini dahulu merupakan daerah penyebarannya secara geografis. Reintroduksi juga dimaksudkan untuk membentuk populasi satu jenis satwa di lokasi baru dan memanfaatkan jenis utama ini untuk meningkatkan konservasi kawasan hutan terpilih secara efektif (Meijard et al. 2001). Program
pelepasliaran (reintroduksi) terbagi atas dua tahapan yaitu pra-
introduksi dan kegiatan introduksi dan pasca introduksi. 2.5.1 Pra-pelepasliaran satwa
Kegia-tan pra-reintroduksi harus dilakukan agar tujuan dari kegiatan ini nantinya dapat tercapai dengan baik. Kegiatan sebelum pelaksanaan reintroduksi yang harus dilakukan adalah (1) pemeriksaan kondisi satwa yang akan di reintroduksi, meliputi pemeriksaan medis seperti kotoran, darah, radiologi, dan kulit; (2) survei kondisi dan tipe habitat areal reintroduksi; (3) survei pengaruh aktivitas manusia pada pelaksanaan program reintroduksi; dan (4) pengangkutan satwa dari stasiun karantina ke stasiun reintroduksi. 2.5.2 Kegiatan Pelepasliaran Kegiatan reintroduksi atau pelepaliaran dapat dibagi atas 3 tahap, yaitu (1) sosialisasi (kandang adaptasi), (2) adaptasi, dan (3) pelepasliaran. Ketiga tahap tersebut tidak semua dilalui oleh satwa yang akan direintro-duksi. Satwa yang masih memiliki naluri liar yang masih baik dan satwa liar hasil sitaan dewasa yang agresif tidak melalui tahap adaptasi, tetapi langsung dilepasliarkan ke alam dan dipantau sampai mereka mampu beradaptasi dengan baik di alam. (Santosa.2012) Santoso (2012) menyebutkan bahwa pada tahap sosialisasi diberikan beberapa perlakuan kepada satwa liar, yaitu pemberian pakan (buah dan sayuran serta pakan hutan), pembersihan kandang, pemberian alat pendukung adaptasi, pem-berian daun sarang, dan sekolah satwa liar. Khusus untuk sekolah satwa liar, perlakuan ini hanya diberi-kan kepada satwa liar muda (anakan dan remaja) yang lebih manja dan selama di kandang adaptasi tidak menunjukkan perilaku liar. Tahap adaptasi sebaiknya dilakukan pada saat musim buah. Tujuannya agar satwa liar hasil sitaan dapat lebih cepat mengenal berbagai jenis buah hutan yang menjadi pakan mereka. Tahap adaptasi ditujukan kepada satwa liar hasil sitaan yang sudah dikenali ciri-ciri fisik-nya, kondisinya sehat, dan telah memiliki perubahan dalam perilaku hariannya (naluri liar sudah mulai terlihat). Keberhasilan adaptasi di habitat alaminya dapat berjalan cepat apabila satwa liar hasil sitaan mampu (1) melakukan proses imitasi (meniru), (2) aktif mencoba pakan hutan, (3) memiliki pengalaman sebelumnya (tidak lama dipelihara manusia), dan (4) dilatih oleh pawang dengan baik. Santosa (2012) mengatakan bahwa ada 5 faktor penentu keberhasilan yang teriden-tifikasi berhubungan atau berpengaruh pada keberha-silan proses reintroduksi satwa liar khususnya orangutan. Kelima faktor tersebut adalah
umur, jenis kelamin, perlakuan yang diberikan, riwayat hidup (latar belakang), dan lama proses tahapan yang dilalui satwa liar dilindungi. 2.5.3 Pengamanan Upaya konservasi dengan melakukan rehabitasi satwa yang bertujuan untuk pelespasliaran guna penstabilan ekosistem tidak akan bermanfaat apablia tidak dilakukan upaya kegiatan perlindungan dan pengamanan satwa liar yang telah di lepasliarkan. Pengamanan ini dikerjakan oleh satuan unit pengaman yang memiliki tugas menjaga dan melindungi satwa liar hasil yang sudah diliarkan dari perburuan liar, mensurvei lokasi-lokasi keberadaan satwa liar yang telah di realese dan menyosialisasikan program reintroduksi ini kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi yang menjadi lokasi pelepasliaran satwa dari PPS atau PRS. Satuan
tugas
pengamanan
ini
terdiri
atas
polisi
kehutanan
BKSDA/Taman nasional, masyarakat, peneliti dan LSM, di beberapa lokasi taman nasional yang merupakan lokasi pelepasliaran satwa satuan tugas pengamanan ini sangat efektif dalam melakukan tindakan prefentif atas kejahatan perburuan, ilegal logging dan pembukaan untuk perkebunan.
2.6 Kesimpulan Upaya konservasi satwa liar merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara terpadu, antara unit pelaksana teknis dilapangan, lembaga konservasi dan organisasi non pemerintah, penegakan hukum merupakan ujung tombak dalam upaya penyeleamatan satwa liar dilindungi dari kepunahan, pemberian sangsi hukum yang tinggi dapat membuat efek jera bagi para pelaku tindakan kejahaan, Kemampuan dan pengetahuan penyidik serta saksi ahli yang dapat memberikan keterangan keahlian dalam penyidikan mengenai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar tidak saja kerugian secara ekologis namun kerugian negara dalam bentuk nilai rupiah yang diakibatkan dari perdagangan satwa liar dilindungi dapat memberikkan keterangan yang menguatkan bagi satwa liar dilindungi. Pasca penegakan hukum, satwa liar dilindungi yang menjadi barang bukti merupakan satwa yang harus di pelihara sebaik-baiknya dan pusat penyelamatan dan rehabitasi satwa merupakan tempat terbaik dalam proses pengembalian prilaku alami sebelum dilepasliarkan ke habitatnya.Pelepasliaran satwa hasil sitaan dapat menstabilkan ekosisetem di suatu kawasan, sehingga rantai makanan yang terputus dapat kembali
seperti sediakalanya. Upaya rehabitasi satwa hasil sitaan negara memiliki waktu dan biaya besar, sehingga dilakukan secara terpadu antara berbagai pihak kepentingan baik, kementrian kehutanan melalui UPTdi daerah baik itu BKSDA maupun Taman-Nasional, kepolisian daerah, Akademisi, LSM dan masyarakat di sekitar kawasan yang menjadi lokasi rehabitasi dan pelepasliaran satwa tersebut.
Daftar Pustaka Eyes on the Forest.2013 Deforestasi oleh SMG/APP dan konflik maut manusia – Harimau(Phantera tigris sumatrae).Laporan Investigasi Eyes on the Forest. Riau Fatwa MUI (2014) Fatwa MUI no 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Majelis Ulama Indonesia. Jakarta Hasanah, wilda,.2012. Mitigasi Konflik Satwa liar dengan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Timbang Lawan dan Timbang Jaya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat) [Skripsi].MedanProgram Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Hadi, Ilma. 2012. Siapa Sajakah Penegak Hukum di Indonesia?. In http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502201cc74649/siapa-sajakahpenegak-hukum-di-indonesia.[03.09.14] Hendarto, Daniek. 2013.Apa Yang Salah Dengan Pasar Burung.Centre Orangutan Protection. Inhttp://www.orangutanprotection.com/indexina.php?menu=show_webl.[20.09.14] Irawan, Rifky.2012. Motif Perburuan Terhadap Harimau(Phantera tigris sumatrae) Sumatera Pada kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. [Skripsi].Riau.Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan, Universitas Riau Jauhari Said.2012.Upaya pelestarian populasi Harimau(Phantera tigris sumatrae) sumatera secara menyeluruh. Kompas.2012.warga konsumsi daging paus. 2 Oktober 2012 in http://tekno.kompas.com/read/2012/10/02/15032580/warga.konsumsi-dagingpaus[26.09.14] Kompas.2009.Tujuh Ekor Trenggiling Kembali ke Alam Bebas. April 13, 2009. In http://bola.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/15/n5l7sm-penjualtrenggiling-di-musirawas-diamankan-polisi[26.09.14] Liputan 6. 2014.Kemenhut: 75% Satwa Liar Hidup di Luar Kawasan Konservasi.News liputan 6. 12 Jun 2014 In http://news.liputan6.com/read/2062217/kemenhut-75satwa-liar-hidup-di-luar-kawasan-konservasi [04/09/14] Mardiastuti, Ani.2012. Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa liar, prosiding DIKLAT WILDLIFE CRIME, BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN RI .JAKARTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/MenhutII/2012 Tentang Lembaga Konservasi. Kementrian Kehutanan R.I PERMENHUT No. 48/Menhut-II/2008.penangan konflik satwa. Kementrian Kehutanan R.I Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Prayudhi, R.T.2006. Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar di Bengkulu. Profauna Indonesia.Inhttp://www.profauna.org/suarasatwa/id/2006/03/perburuan_dan_perda gangan_satwa_liar_di_bengkulu.html [01.09.14]
Priatna, Dolly, dkk. 2012. Penyelamatan Harimau(Phantera tigris sumatrae) Sumatera, PEDOMAN PRAKTIS PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KONFLIK ANTARA MANUSIA DENGAN HARIMAU(PHANTERA TIGRIS SUMATRAE). Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Rustam.2013. Isusatwaliarpolitikdanmasadepanbangsa indonesia. In http://www.profauna.net/id/kampanye-lainnya/isu-satwa-liar-politik-danmasa depan-bangsa-indonesia#.VDFvkFc3HIU [01.09.14] Santosa,Y. Julius P.S, Dones R, Dede A.R. 2012. Faktor–Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Vol. 17 (3): 186191 ISSN 0853 – 4217 Siregar parpen.2010.Konservasi sebagai upaya mencegah konflik manusia satwa.in