SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014
RPI 13 Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email :
[email protected] web : www.puskonser.or.id
EXECUTIVE SUMMARY Penelitian model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem pada Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13, meliputi: (a) evaluasi zonasi taman nasional, (b) Valuasi manfaat taman nasional ,(c) Implementasi dan evaluasi criteria indicator optimal, (d) Evaluasi manfaat dan fungsi taman nasional (e) Kriteria, indikator pengelolaan taman nasional, (f) Pengelolaan kolaboratif, (g) Restorasi ekosistem dan (h) Pengelolaan Daerah Penyangga. Tujuan pengelolaan Taman Nasional secara umum adalah untuk memperoleh manfaat, baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). Pencapaian tujuan ini berarti memaksimalkan nilai total ekonomi dari kawasan konservasi, bukan hanya penerimaan financial tetapi nilai lainnya sebagai habitat berbagai jenis makhluk hidup, sumber keanekaragaman hayati, pengatur dan penyedia tata air, penyedia karbon, pengendali erosi dan banjir, pengatur iklim, pengendali ekosistem alan dan lain sebagainya.Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung nilai ekonomi total (NET). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai sasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengelolaan Taman Nasional bervariasi menurut potensi dan pemanfaatnnya sampai saat ini potensi tersebut belum dikelola secara optimum. Penelitian menunjukkan bahwa salah satu aspek nilai pada lingkungan yang berasal dari sumber air ekosis-tem karst untuk keperluan air minum, irigasi, tenaga listrik dan wisata, dapat mencapai 2,2 trilyun/tahun, sedangkan nilai wisata dapat menca-pai 3,4 milyar/tahun. nilai untuk pertanian didaerah taman penyangga taman saional ekositem pegungna dapat mencapai 1,7 milyar, kebut-uhan air masyarakat 11,9 milyar, dan untuk perikanan 3,9 milyar sedangkan pengelolaan kawasan untuk mencegah banjir dan longsor dapat bernilai 630 milyar/tahun. Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang langsung dapat dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar (non-market value), nilai fungsi ekologis serta keuntungan yang tidak langsung lainnya. Nilai (value)
i
merupakan harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa, dimana valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil menurut sudut pandang masyarakat, pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dalam bentuk jasa lingkungan hutan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa yang mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Bentuk dari nilai jasa lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: 1) Perlindungan dan pengaturan tata air (jasa lingkungan air); 2) Konservasi keanekaragaman hayati (jasa lingkungan keanekaragaman hayati); 3) Penyediaan keindahan bentang alam (jasa lingkungan ekowisata); dan 4) Penyerapan dan penyimpan-an karbon (jasa lingkungan karbon). Pengelolaan Taman Nasional dilakukan berdasarkan Zonasi, dimana hasil penelitian menunjukan kriteria penetapan zonasi belum sepenuhnya did-sarkan pada aturan yang ada. Hal ini disebabkan kondisi vegetasi dan keberadaan masyarakat yang ada sebelum penetapan atau perluasan taman nasional. Seperti adanya pemukiman penduduk dalam zona inti, sehingga kriteria populasi dan indensitas fauna menjadi kriteria penting.Zona rimba sebagai zona membatasi aktivitas masyarakat kedalam kawasan ditentukan oleh fungsi ekosistem sebagai DAS, habitat satwa, vegetasi asli dan luasan yang cukup. Secara keseluruhan kriteria dan indikator taman nasional telah teridentifikasi 10 kriteria dengan 28 indikator masing-masing dengan nilai indeks 1-4.Implementasi kriteria indikator optimal pengelolaan taman nasional dapat dilihat dari penetapan zonasi yang telah dilaksanakan dan keselarasannya dengan tata guna lahan di daerah penyangga. Taman nasional yang berbatasan dengan hutan produksi, pengelolaan hutan produksi perlu mendukung keamanan dan pelestarian satwa endemik. Untuk itu perlu pengelolaan kawasan bekas tebangan dalam bentuk wilayah konservasi seluas 30%; dan pengelolaan kawasan dengan metode Reduce Impact Logging (RIL). Taman nasional yang berbatasan dengan areal penggunaan lain, desa, perkebunan dan kawasan budidaya, areal selebar 2-7 km dari batas TN perlu dikelola dalam bentuk agroforestry sedangkan pemukiman ditata dalam jarak minimal 5 km
ii
dari batas kawasan.Keberadaan masyarakat dalam TN di identifikasi masih ada masyarakat melakukan praktek ladang berpindah berladang sawah. Sebagian taman nasional telah mendapatkan areal ladang dan pemukiman tersebut menjadi zona khusus. Zona khusus dengan bangunan sapras yang memadai telah mengindikasikan terjadinya peningkatan degradasi hutan sekitarnya melalui perluasan ladang atau pengambilan kayu. Kondisi ini perlu di evaluasi terutama pembatasan luas zona khusus dan membangun zona rehabilitasi disekitar zona khusus. Berdasarkan data dan hasil analisis diatas, kriteria indikator yang perlu di bangun untuk pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi adalah: a.
Nilai keberadaan taman nasional
b.
Nilai jasa lingkungan dan karbon
c.
Nilai wisata yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat
d.
Nilai manfaat langsung bagi masyarakat
e.
Keanekaragaman satwa liar ekosistem habitat dan keaslian vegetasi
f.
Keberadaan masyarakat dan diluar kawasan
g.
Tata guna lahan dan pemukiman diluar kawasan
h.
Pola tanam dan vegetasi daerah penyangga
i.
Aktivitas dan kebutuhan Keberadaan masyarakat disekitar kawasan menjadi dasar untuk mengembangkan nilai taman nasional dalam pemulihan kebutuhan dasar dan peningktan ekonomi melalui pengelolaan jasa lingkungan wisata alam
j.
Peningkatan persepsi masyarakat berbanding lurus dengan nilai yang didapat masyarakat dari hasil pengelolaan kawasan
k.
Peningkatan persepsi masyarakat memberikan dampak positif terhadap pengamanan kawasan, pengamanan dari perburuan, keberhasilan pembinaan habitat dan restorasi ekosistem. Pengelolaan taman nasional berdasarkan ekosistem ditentukan oleh:
a.
Tipe ekosisten dan keberadaan satwa liar endemik dan langka
b.
Keragaman ekosistem sesuai habitat satwa tertentu
c.
Potensi ekosistem dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan menjadi objek wisata
d.
Kebutuhan dasar dan sosial ekonomi masyarakat
e.
Tingkat partisipasi masyarakat
iii
f.
Tingkat kerusakan kawasan
g.
Daya dukung kawasan sebagai habitat satwa
h.
Penataan dan fungsi kawasan daerah penyangga Penetapan dan pengelolaan daerah penyangga menjadi sangat penting
mengingat
adanya
upaya
masyarakat
mengintervensi
kawasan
akibat
kurangnyapemahaman mereka terhadap kebijakan, kepentingan ekonomi, seta konservasi. Pengelolaan dimaksud adalah perpaduan keserasian pengelolaan keragaman hayati, lahan pertanian sesuai dengan kondisi fisik, dan potensi daerah guna mendapatkan hasil yang optimal dalam menunjang sistem perokonomian masyarakat lokal. Pengelolaan tersebut dapat mencegah konflik antara masyarakat dengan kawasan konservasi dan mengurangi konflik antara satwaliar dengan masyarakat atau sebaliknya. Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan daerah secara terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan objektif wilayah. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi di sekitarnya harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah dalam satu perencanaan terpadu.Program pembangunan
kawasan
konservasi
tersebut
berorientasi
pada
peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pembangunan daerah penyangga merupakan alternatif pemecahan masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi masyarakat desa hutan, serta upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam melestarikan potensi tumbuhan guna pelestarian jenis dan manfaatnya melalui pengembang-an wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya dan industri dari tanaman hutan yang bernilai ekonomis tinggi guna mewujudkan ketahanan pangan. Pengembangan daerah penyangga daerah taman nasional dapat diarahkan pada upaya pembangunan kecukupan pangan dan buah-buahan yang selama ini masih tergantung pada import. Pada prinsipnya pemanfaatan lahan di daerah penyangga adalah memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal sehingga unsur hara, air dan cahaya dapat dimanfaatkan secara baik. Untuk memanfaatkan ruang secara optimal dapat dilakukan dengan cara: 1) jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan diusahakan dan kondisi biofisik lokasi seperti kesuburan tanah dan topografi, 2)
iv
tata letak tanaman harus mempertimbangkan perkembangan lapisan tajuk dan sistem perakaran. Dengan pengaturan waktu dan ruang yang optimal, diharapkan setiap komponen yang ada di dalam suatu ekosistem tidak akan menekan komponen yang lain, bahkan sebaliknya diharapkan dapat saling melengkapi. Penelitian restorasi untuk perbaikan habitat diarahkan untuk penanaman pohon penelitian pakan satwa, meningkatkan keragaman jenis populasi di zona yang terfragmentasi atau terdegradasi seperti, zona rehabilitasi. Restorasi dalam aspek ekonomi dikembangkan dalam zona khusus dan zona pemanfaatan tradisional. Pada areal terpragmentasi jenis yang dipilih adalah jenis lokal cepat tumbuh dan restorasi dilaksanakan pada vegetasi dengan keragaman jenis rendah, dengan indeks 1,1.Restorasi ekosistem di taman nasional dapat melibatkan partisipasi masyarakat yang dibangun dalam sistem kolaborasi atau partisipasi kelompok petani daerah penyangga, kelompok nelayan di daerah pantai untuk merehabilitasi mangrove. Pengelolaan taman nasional secara kolaboratif perlu dibangun untuk mengatasi konflik. Kegiatan dapat dimulai dari peningkatan persepsi, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalan menentukan zonasi, aturan pemanfaatan restorasi ekosistem hingga pengembangan wisata. Kolaborasi dimulai dengan ini bentuk kerjasama untuk meningkatkan manfaat dan jasa lingkungan taman nasional, peningkatan ekonomi masyarakat dan sistem mengatasi konflik. Penelitian strategi manajemen saat ini masih terbatas pada pengelolaan zona pemanfaatan, zona khusus dan mengatasi konflik. Dari aspek kolaboratif telah teridentifikasi kelembagaan yang berperan dalam pemanfaatan hasil hutan dan air serta penanganan konflik yang dalam hal ini diakibatkan ketika kesesuaian taman nasional dengan penataan dan penggunaan lahan di daerah penyangga. Pengelolaan daerah penyangga adalah bagian kriteria penting dalam strategi pengelolaan taman nasional. Keberadaan masyarakat, tingkat ekonomi, kebutuhan lahan, dan pola tanam di daerah penyangga sangat menentukan terhadap partisipasi masyarakat, potensi konflik dan potensi terjadinya degradasi fungsi kawasan. Daerah penyangga taman nasional umumnya berpola, areal 0,5-1 km dari batas kawasan taman nasional masih berhutan, areal 2-5 km didominasi oleh tanaman dengan sistem agroforestry, 5 km dari batas kawasan berupa areal pemukiman atau desa dan kawasan budidaya intensif. Pola ini berdampak positif bagi pengamanan taman nasional habitat
v
dan koridor satwa dan sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan koridor satwa dengan tehnik restorasi pada jalur pergerakan atau homerange satwa dikembangkan di zona penyangga yang berbatasan dengan taman nasional terutama pada hutan produksi atau hutan lindung bahkan di lahan masyarakat dengan tanaman hutan rakyat atau agroforestry. Pengelolan daerah penyangga dengan mengembangkan jenis tertentu seperti ulat sutera dan lebah telah menunjukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, pengembangan ekonomi dengan nilai B/C ratio B dari 1 dan IRR 23,7-43,7%. Nilai ekonomi lainnya adalah hasil kayu agroforestry, hutan rakyat dan kebun campuran. Di taman nasional di Maluku, masyarakat juga mengembangkan hutan rakyat, kebun campuran dan kebun murni pada jarak 3-5 km dari batas taman nasional di dominasi dengan kebun agroforestry (88%) dan pada jarak lebih dari 5 km dikembangkan tanaman holtikultura dan sawah. Berdasarkan analisis hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa efektivitas pengelolaan taman nasional sangat dipengaruhi oleh faktor: a.
Tingkat degradasi kawasan dan pola penataan zonasi,
b.
Tingkat kerusakan habitat, sistem DAS, populasi dan keragaman jenis satwa menurut ekosistem habitatnya,
c.
Fungsi dan pola pemanfaatan lahan daerah penyangga, tingkat ekonomi masyarakat dan kelembagaan yang terbangun dalam sistem kolaborasi,
d.
Tipe zonasi kawasan taman nasional yang berbatasan dengan masyarakat daerah penyangga terutama pada lahan bukan kawasan hutan,
e.
Tingkat partisipasi masyarakat dan kelembagaan yang dapat berkolaborasi dalam pengelolaan pemanfaatan zona penyangga, zona khusus, zona rehabilitasi dan zona pemanfaatan berbasisi ekosistem. Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan
mempertimbangkan 1). nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan nilai manfaat langsung kepada masyarakat 2). Membangun kriteria dan indikator zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus yang memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan dasar masyarakat. 3). Keselarasan zona rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi, topografi, tutupan lahan dan luas kawasan 4). Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang
vi
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan. Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga.
vii
KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 20102014 (Revisi) adalah Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 73 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan menyediakan informasi dan teknologi untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari dengan sasaran tersedianya paket informasi karakteristik tipologi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat serta paket teknologi konservasi kawasan dan daerah penyangga. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di bidang model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem berdasarkan output yang sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif. Sintesis akhir RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem tahun 2014 dapat dijadikan acuan untuk mendorong terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem yang berkelanjutan. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk model pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi, draf akademis usulan hutan Mekongga sebagai kawasan konservasi dan kriteria dan indikator pengelolaan lestari kawasan konservasi. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang konservasi flora, fauna dan mikroorganisme secara berkelanjutan.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 13 Koordinator Pelaksana (PuskonseR)
: Prof. DR. M. Bismark, M.S. : Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S. Ir. Reny Sawitri, M.Sc. DR. Ir. Hendra Gunawan, M.Si. Vivin S. Sihombing., SKel. Rozza Tri Kwatrina, S.Si., M.Si. Yelin Adalina, S.Si., M.Si.
BPK Aek Nauli
: Sanudin, S.Hut., M.Si. Wanda Kuswanda, S.Hut., M.Si. Asep Sukmana, S.P.
BPK Semboja
: Tri Sayektiningsih, S.Hut. Fariqotul Falah, S.Hut., M.Si. Tri Atmoko, S.Hut., M.Si.
BPK Banjarbaru
: Triwira Yuwati, M.Sc.
BPK Makassar
: Indra A.S.L.P.P., S.Si., M.Sc. Maryatul Qiptiyah, S.Si., M.Si. Nur Hayati, S.P., M.Sc. Heri Suyanto, S.Hut. Abdul Kadir W, S.Hut., M.Sc.
BPK Manado
: Lis Nurrani, S.Hut.
BPK Kupang
: Rahman Kurniadi, S.Hut., M.Sc.
BPK Manokwari
: Aji Wanara, S.Hut.
ix
DAFTAR ISI Hal. EXECUTIVE SUMMARY ..............................................................................
i
TIM PELAKSANA PELAKSANA RPI 13 .....................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... I.
xv
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5 C. Metode Sintesis ........................................................................................... 6
II.
EKOSISTEM DAN SATWA LIAR .................................................................. 7 A. Habitat,Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan ........................................... 8 B. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah .................................... 12
III.
EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN ..................................................... 16 A. Nilai Ekonomi Biodiversitas ........................................................................ 16 B. Nilai Flora ................................................................................................... 17 C. Nilai Ekosistem Mangrove .......................................................................... 20 D. Nilai HHBK ................................................................................................ 20 E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air ................................................................... 22 F. Nilai Ekonomi Wisata Alam ........................................................................ 25 G. Nilai Ekonomi Taman Nasional Sebagai Penyangga Kehidupan .................. 27 H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon ...................................................... 28
IV.
ZONASI TAMAN NASIONAL ....................................................................... 30 A. Kriteria dan Indikator Zonasi ....................................................................... 30 B. Evaluasi Zonasi Taman Nasional ................................................................. 55
V.
DEGRADASI DAN RESTORASI .................................................................... 67
VI.
PENGELOLAAN KOLABORATIF ................................................................. 91
VII.
PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA ................................................... 102
VIII STRATEGI PENGELOLAAN ......................................................................... 140
xi
IX.
SINTESIS ........................................................................................................ 148 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 179
xii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. 2.2.
2.3. 2.4. 2.5.
Hal. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 % ................................................. 12 Kondisi ekologis vegetasi hutan daerah penyangga TN Siberut
12 (jumlah/ha) ........................................................................................................ Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal
13 bekas tebangan ................................................................................................. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata ..................................... 14 Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas
14 tebangan ...........................................................................................................
2.6.
Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP) ............................ 15
2.7.
Kondisi ekologis populasi burung ..................................................................... 15
3.1.
Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden .................................... 18
3.2.
Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG .................................................... 19
3.3.
Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK
20 Wakatobi ..........................................................................................................
3.4.
Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina ...................... 23
3.5.
Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi ................................................. 27
4.1.
Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT ................................................. 32
4.2.
Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara ...................................... 34
4.3.
Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan ................................... 36
4.4.
Kriteria dan xiiindicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ........................ 38
4.5.
Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh ....................... 40
4.6.
Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara .................. 41
4.7.
Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan ............... 42
4.8. 4.9.
Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit
43 Tigapuluh ......................................................................................................... Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis ............................ 44
4.10 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh ............... 45 4.11 Kriteria dan indicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ............................ 46 4.12 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT ................ 47
xiii
Tabel 4.13
Hal. Porsi zonasi utama dalam taman nasional ...................................................................... 51
4.14 Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango ............. 52 4.15
Kriteria dan xivndicator zona khusus Taman Nasional Bantimurung
53 Bulusaraung .....................................................................................................
4.16 Pembagian jalur di usulan zona khusus Taman Nasional Kutai ......................... 62 5.1
5.2
Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan
74 konservasi ........................................................................................................ Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede
76 Pangrango ........................................................................................................
5.3
Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango ............................. 78
5.4
Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi .................................................... 82
5.5
Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak ..................................................... 83
5.6
Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Halimun Salak ................................ 84
6.1
6.2
Matriks Analisis Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
93 Pengelolaan TN Babul .......................................................................................... Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah,
98 2012) .....................................................................................................................
6.3
Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan ................................. 100
6.4
Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe Lolobata ...................... 100
7.1
Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di kawasan TN Kutai .............................. 106
7.2
Tipologi masyarakat dan biofisik di daerah penyangga TN Kerinci
107 Seblat, Kabupaten Pesisir Selatan .........................................................................
7.3
Tipologi masyarakat di kawasan dan daerah penyangga TN Lore Lindu ................. 110
7.4
Pola penggunaan lahan daerah penyangga TNKS .................................................. 113
7.5
Nilai B/C ratio usahatani pada masing-masing pola pemanfaatan lahan .................. 117
7.6
Penggunaan lahan oleh masyarakat Siberut Selatan ....................................................... 117
7.7
7.8 7.9
xiv
Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga
119 TN Kerinci Seblat ................................................................................................. Bentuk pengelolaan lahan dan pendapatan masyarakat di Kec. Cibeber,
119 TN Halimun-Salak ................................................................................................ Populasi primata (individu/km²) di Cagar Biosfer Siberut ...................................... 121
Tabel
Hal.
7.10 Populasi primata di lokasi penelitian ..................................................................... 121 7.11 Jenis ikan dari S. Sangata yang dikonsumsi dan diperjual-belikan ......................... 122 7.12
Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai
123 Saibi Cagar Biosfer P. Siberut ..............................................................................
7.13 Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut .................................................. 126 7.14
Potensi necromass dan kesuburan tanah di daerah penyangga TN
127 Siberut ..................................................................................................................
7.15 Struktur dan komposisi daerah penyangga TNAL ................................................. 133 8.1
Analisis SWOT di TN Kutai ................................................................................. 145
8.2
Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus ..................... 146
8.3
Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat ..................... 146
9.1
Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional .............................................................. 154
9.2
Kriteria Penilaian Kawasan Konservasi Gunung Maras ........................................ 174
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Hal.
Diagram Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem
6 (RPI 13) ...........................................................................................................
2.1
Perbandingan kerapatan dan volume pohon di hutan produksi .......................... 13
4.1
Lokasi potensi HHBK di TNGHS .................................................................... 50
4.2
Tanaman dammar di TNGHS ........................................................................... 51
4.3
Kawasan TN Gn Halimun Salak, pasca tambang PT Antam, Cikidang .............. 56
4.4
Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian
58 S. Sangatta .......................................................................................................
4.5
Pohon ulin yang berumur ribuan tahun, Sangkima ............................................ 59
4.6
Fasilitas yang rusak di Sangkima ...................................................................... 59
4.7
Telaga bening ................................................................................................... 60
4.8
Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder ....................... 60
4.9
Kp Pangradin II dan kebun karet di TNGHS .................................................... 61
4.10 Jenis tanaman restorasi ..................................................................................... 62 4.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ........................... 64 4.12
Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan
65 perubahan landskap kawasan ............................................................................
4.13 Persepsi masyarakat terhadap usulan status zona khusus ................................... 66 5.1 5.2
5.3 5.4 5.5
Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge ...................................... 77 Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di
78 zona rehabilitasi, Resort Tapos ......................................................................... Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort
80 Cimungkat ....................................................................................................... Model adopsi pohon di Resot Saronnge, Kabupaten Cianjur ............................. 80 Pohon rasamala (Altingia xviixcels Noronha), tanaman Model Gerakan
81 Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi .........................................
5.6
Lokasi rencana rehabilitasi di TNGHS ............................................................. 83
5.7
Rehabilitasi yang dilakukan oleh TN Kutai dan stakeholders ............................ 85
5.8
Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung ........................ 85
xvii
Gambar 5.9
Hal.
Rehabilitasi dengan dana DIPA, tahun 2012 ...................................................... 86
5.10 Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai ................. 87 5.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ............................ 87 6.1
6.2
7.1
7.2
7.3
7.4
Pemetaan Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (interest) dan
94 Pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul ........................................... Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan
97 pengaruh............................................................................................................... Grafik persepsi masyarakat
Desa Sebangau Permai terhadap
104 pengelola TN Sebangau ....................................................................................... Tengkorak tapir, dan simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur
114 hijau Jorong Bangun Rejo ..................................................................................... Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas
114 kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat ................ Pola pemanfaatan lahan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe
115 Lolobata ...............................................................................................................
7.5
Grafik pendapatan berdasarkan pola pemanfaatan lahan ....................................... 116
7.6
Hutan di areal kecamatan dan kebun campuran masyarakat lokal di
7.7
118 daerah penyangga TN Siberut ........................................................................................
7.8
Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1 tahun, dan
7.9
LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar
7.10
biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007). ................................................
7.11
Jenis-jenis bahan obat-obatan ............................................................................... 125
7.12
124
Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah
127 penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat ..........................................................
7.13 Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan. .............................................................. 130 7.14
7.15
Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah
130 penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat............................................... Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam
131 pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu ......................................................
7.16 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Jawa ..................................................... 132 7.17 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis .................................... 132
xviii
Gambar
Hal.
7.18 Kebun agroforestri dan kebun karet rakyat ............................................................. 132 9.1
9.2
9.3 9.4
Hubungan Luaran Dan Penelitian Pengelolaan Taman Nasional
148 Berbasis Ekosistem (RPI 13). ................................................................................. Bagan alir proses penetapan kriteria dan indikator tersebut dapat
154 terlihat pada bagan alir berikut ..............................................................................
Model
Pengelolaan
Kolaborasi
Taman
Nasional
Bantimurung
166 Bulusaraung ..........................................................................................................
Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem ................ 168
xix
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Kementerian Kehutanan (2011), kawasan hutan di Indonesia masih tersisa sekitar 133.513.800 ha. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan tersebut meliputi hutan konservasi (kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam) seluas 20.093.600 ha, hutan lindung 31.595.100 ha, hutan produksi terbatas 22.343.800 ha, hutan produksi terbatas 36.736.400, hutan produksi 110.768.900 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 22.744.900 ha. Dilihat dari tipe penutupan vegetasinya, kondisi hutan Indonesia terdiri dari hutan primer sekitar 41.937.800 ha, hutan sekunder 46.403.700, hutan tanaman 2.756.600 ha, non hutan 42.365.400 ha dan tidak ada data 50.300 ha. Kawasan hutan yang penutupannya masih merupakan hutan primer, lebih dari 50% hanya tersisa pada kawasan hutan yang statusnya hutan konservasi dan hutan lindung. Kawasan hutan merupakan bagian penting sebagai tempat hidup jutaan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun hewan. Menurut Primark et al. (1998), sedikitnya telah ditemukan sekitar 1.500 jenis burung, 500 mamalia, 8.500 ikan, 25.000 tumbuhan berbunga, 1.250 paku-pakuan, dan ribuan jenis takson lainnya yang hidup pada kawasan hutan di Indonesia. Beragam tumbuhan dan hewan tersebut telah banyak berperan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk sumber makanan dan obat-obatan. Peranan hutan yang juga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia adalah sebagai pengatur hidroorologis, mencegah banjir, mengatasi kekeringan, tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah. Namun, masih tingginya proporsi hutan produksi, yang diperuntukan untuk memproduksi kayu, dengan implementasi sistem pengelolaan yang kurang tepat ternyata telah mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan mengalami kerusakan. Hal ini didorong pula oleh pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga konversi hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan olahan meningkat drastis. Luas hutan di Indonesia yang terdegradasi sampai tahun 2007 diperkirakan telah melebihi 50 juta ha (www.dephut.go.id, 2007). Hal ini terbukti dari data di atas yang menunjukan lebih dari 75% kondisi hutan telah berubah menjadi hutan sekunder dan non hutan. Luasnya kerusakan hutan dan besarnya dampak negatif yang dirasakan oleh manusia, ternyata secara positif meningkatkan akan kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. Hal yang menggembirakan dalam 20 tahun terakhir ini kesadaran terhadap pelestarian hutan, termasuk perlindungan keragaman hayati beserta ekosistem didalamnya, telah dirasakan banyak pihak. Begitu pula, orientasi kebijakan konservasi dalam setiap pengelolaan hutan telah menjadi landasan normatif setiap penentu kebijakan.
Sintesis 2010-2014
|1
Seiring meningkatnya kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan secara global, maka dalam prinsip standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council / FSC) pada tahun 1999 muncul sebuah konsep yang dikenal dengan HCVF (High Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi. Konsep HCVF ini mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan kawasan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Meski konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi, namun dengan cepat konsep ini banyak digunakan pula dalam pembangunan sektor perkebunan yang banyak mengkonversi kawasan hutan, seperti untuk perkebunan kelapa sawit. Pemikiran dan implementasi untuk menerapkan konsep HCVF sebenarnya sudah ada sejak lama. Hal ini dapat tercermin dari Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pada isi undang-undang tersebut telah ditetapkan sebagian kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan hutan lindung. Hutan Suaka Alam merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara berkelanjutan dan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Begitu pula, pada kawasan hutan untuk produksi ditetapkan pula kawasan yang harus dilindungi, seperti sempadan sungai, daerah pasang surut air laut, area plasma nutfah, area keragaman hayati tinggi, kantong satwa dan lainnya. Konsep-konsep tersebut yang sebagian besar lebih dijabarkan dalam prinsip penetapan area menjadi HCFV. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi secara umum berfungsi untuk melestarikan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dilakukan melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, suaka margasatwa, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan (Departemen Kehutanan, 1990). Berbagai peraturan untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi sebagai penjabaran dari undang-undang terus disusun dan disyahkan, Peraturan Pemerintah. diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Sintesis 2010-2014
|2
Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada tingkat Kementerian Kehutanan juga telah ditetapkan berbagai keputusan sebagai landasan dalam pengelolaan hutan konservasi seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kahutanan Nomor P.48/MenhutII/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di suaka margasatwa, taman nasional, Taman Hutan Raya dan taman wisata alam. Salah satu kawasan hutan konservasi yang menjadi perhatian saat ini adalah taman nasional karena dalam pengelolaannya dapat memadukan kepentingan konservasi dan pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen Kehutanan, 1990). Sebagai kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi maka pada taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem zoansi yaitu, zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini sedikitnya telah menetapkan 50 taman nasional yang tersebar di seluruh kepulauan, yang diantaranya meliputi 11 taman nasional di Pulau Sumatera, 12 taman nasional di Pulau Jawa, 6 taman nasional di Nusa Tenggara dan Bali, 8 taman nasional di Kalimantan, 8 taman nasional di Sulawesi dan 5 taman nasional di Maluku dan Papua (http://www.dephut.go.id, 2012). Riwayat penunjukkan asal usul kawasan taman nasional tersebut sangat bervariasi. Namun secara umum, asal usul penunjukan kawasan taman nasional adalah dari kawasan hutan negara, baik itu dari hutan produksi, terutama area HCVF, hutan lindung maupun hutan konservasi sendiri seperti suaka margasatwa (SM) yang pengelolaanya ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional. Pengelolaan taman nasional di Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik karena berbagai permasalahan sering timbul setelah terbentuknya suatu kawasan menjadi taman nasional. Setiap taman nasional tentunya memiliki permasalahan masing-masing. Namun permasalah secara umum yang sering terjadi di setiap taman nasional adalah mulai dari konflik kepentingan lahan karena belum jelasnya tata batas kawasan, degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena pencurian kayu (illegal logging), bahan tambang dan perambahan (konversi hutan), tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu yang masih tinggi,
Sintesis 2010-2014
|3
tingginya kepentingan egosektoral antar instansi terkait dan kondisi sumberdaya manusia serta prasarana pendukung yang belum memadai. Untuk mengatasi berbagai ancaman dan permasalahan dalam pengelolaan taman nasional diperlukan berbagai rencana strategi pengelolaan yang tepat dan konprehensif sesuai dengan karakteristik taman nasional itu sendiri. Salah satu konsep strategi yang berkembang saat ini dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan berbasis ekosistem dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait (secara kolaboratif). Pendekatan pengelolaan ekosistem tidak hanya mempertimbangkan bagaimana kawasan taman nasional hanya dipandang sebagai tempat pengawetan tumbuhan dan satwa, tetapi harus memasukkan unsur manusia sebagai pemanfaat kawasan dan hasil hutan, kayu dan non kayu, termasuk satwaliar. Oleh karena ekosistem hutan, termasuk sebagai taman nasional, merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi yang meliputi mahluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas bioik) dan lingkungan abiotik, masing-masing mempengaruhi sifat-sifat lainnya dan keduanya perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi keseimbangan, keselarasan dan keserasian alam di bumi ini (Irwan, 2007). Selain itu, pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem tentunya menuntut adanya kemitraan dan kesepakatan kerjasama pengelolaan yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena kekuatan-kekuatan diluar yurisdiksi masih cukup kuat mempengaruhi kebijakan dan arah pengelolaan taman nasional. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan birokrasi pemerintah, kekuatan sosial ekonomi lokal, regional, nasional dan global, kekuatan sosial politik dan kekuatan sosial budaya dan tata nilai masyarakat setempat yang berada di daerah penyanganya. Untuk mengembangkan pengelolaan taman nasional saat ini harus mampu mengintegrasikan kepentingan semua pihak dalam mengantisipasi kebijakan sektoral dan antar wilayah administrasi dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan hutan secara umum (Kuswanda, 2011). Untuk menyusun strategi rencana pengelolaan taman nasional berbasis ekositem tentunya membutuhkan berbagai kajian dan rangkaian penelitian secara menyeluruh pada berbagai taman nasional di Indonesia. Kebutuhan penelitian untuk dapat mendukung hal tersebut yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah (a) kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem, dan (c) strategi pengelolaannya, yang saat ini sedang dilakukan dalam RPI Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan penelitian tersebut akan menghasilkan berbagai solusi dari berbagai permasalahan utama untuk mengembangkan model dan strategi pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem, seperti a) dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi yang belum lengkap, b) belum memadainya kelembagaan untuk mendukung pengelolaan yang adaptif, c) informasi dan pengembangan jasa lingkungan yang masih kurang, d) dinamika
Sintesis 2010-2014
|4
ekosistem kawasan yang terus berubah (cenderung semakin terdegradasi) dan e) pengelolaan daerah penyangga yang kurang optimal. Berbagai taman nasional telah dijadikan sebagai contoh penelitian yang mewakili berbagai model pengelolaan berdasarkan tipologi kawasan, seperti tipologi kawasan dengan ekosistem pegunungan, ekosistem dataran rendah, dan perairan meliputi TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Ceremai, TN Gunung Merapi, TN Gunung Halimun Salak, TN Siberut, TN Alas Purwo, dan Bangka Belitung. Mewakili ekosistem dataran rendah meliputi TN Kutai, dan TN Sebangau. Mewakili ekosistem pegunungan meliputi TN Bantimurung Bulu Saraung, TN Lore Lindu, TN Bugani Nani Warta Bone, TN Laiwanggi Wanggameti. Mewakili ekosistem perairan dan pulau, serta dataran rendah mewakili TN Teluk Cendrawasih, TN Aketajawe, TN Wasur. Dari rangkaian penelitian yang telah dilakukan dalam lingkup RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi di Berbasis Ekosistem, telah dihasilkan berbagai informasi yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pengguna melalui publikasi ilmiah. Untuk itu, sintesa antara sebagai bentuk evaluasi RPI 13 yang didalamnya berisikan tentang kondisi ekologi dan masyarakat sekitar taman nasional, valuasi nilai ekonomi dan strategi pemanfaatannya, review usulan penetapan kriteria dan indikator zonasi dan strategi pengelolaan berbasis ekosistem serta pengembangan daerah penyangga. Diharapkan hasil antara ini dapat menjadi masukan dalam reevaluasi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional berserta daerah penyangganya sehingga dapat dikelola secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan taman nasional. B. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti dalam RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem dirumuskan sebagai berikut: 1. Berdasarkan fungsi kawasan, kualitas ekosistem dan biogeografi yang ditetapkan sebagai taman nasional menyebabkan adanya perbedaan sistem pengelolaan. 2. Keragaman ekosistem dan jenis flora fauna, penataan pemanfaatan lahan di luar kawasan TN dan tipologi sosial ekonomi dan budaya menentukan terhadap model pengelolaan TN. 3. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, invasi untuk pemenuhan kebutuhan lahan, konflik satwaliar, dan kualitas habitat dalam kawasan adalah faktor penting sebagai dasar strategi pengelolaan taman nasional. 4. Pengelolaan kawasan konservasi yang memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat terdapat dalam sistem taman nasional. Pertimbangan tersebut dijabarkan dalam pengelolaan zonasi taman nasional dan daerah penyangga. 5. Pengelolaan yang berbasis pada peraturan yang ada, dapat tidak sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga perlu dukungan penelitian yang terintegratif berbasis ekosistem.
Sintesis 2010-2014
|5
C. Metode Sintesis antara hasil-hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan laporan hasil penelitian di berbagai taman nasional yang disampaikan pelaksana penelitian di lingkup RPI 13, yaitu Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Makassar, BPK Manado, BPK Semboja, BPKJ Banjar Baru, BPK Kupang dan BPK Manokwari. Sintesis hasil penelitian mengacu pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI 13. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model pengelolaan Taman Nasional sebagaimana pada Gambar 1. LUARAN Kriteria indikator pengelolaan TN tiap tipologi ekosistem 13.1
KEGIATAN PENELITIAN DALAM RPI
Evaluasi zonasi taman nasional 13.1.2
Valuasi Manfaat Taman Nasional 13.1.1
Implementasi dan evaluasiKriteria Indikator Optimal TN13.1.4
Evaluasi pemanfaatan dan Fungsi Taman Nasional 13.1.5
Pengelolaan Kolaboratif 13.3.2
Kriteria Indikator Pengelolaan TN 13.1.3 Model Pengelolaan TN Berdasarkan Ekosistem 13.2
Model Pengelolaan Taman Nasional 13.2.1
Strategi Manajemen Taman Nasional 13.3
Pengelolaan Daerah Penyangga 13.3.3
Restorasi Ekosistem 13.3.1
Gambar 1. Diagram Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem (RPI 13).
Sintesis 2010-2014
|6
II. EKOSISTEM DAN SATWA LIAR Taman Nasional dengan berbagai bentuk geometrik, luas dan tipe ekosistemnya telah menunjukan tingkat tekanan masyarakat yang berbeda terhadap kawasan. Perbedaan juga disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan lahan berdasarkan budaya lokal. Dengan perbedaan bentuk geometrik kawasan maka pembagian dan sebaran zonasi juga mengikuti pola geometrik sehingga dapat terjadi zona inti tidak dalam satu kesatuan landcave demikian pula dengan zona lainnya. Oleh karena itu parameter dan indikator zonasi akan berbeda-beda pula. Penelitian model pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional dalam kegiatan RPI 13, hasil penelitian dalam kegiatan luaran 1 menjadi bahan acuan dalam mensintesa luaran 2 dan 3 yaitu menentukan model pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem. Dalam hal ini selain berdasarkan tipe ekosistem dengan keterwakilannya yang perlu dilindungi sebagai taman nasional, nilai potensi ekosistem baik dari segi biodiversitas, satwa langka dan jasa lingkungan menjadi bagian penelitian yang menunjang pengelolaan taman nasional. Keragaman vegetasi dan satwa liar menjadi prinsip utama dalam pengelolaan taman nasional, seperti mengelola habitat dalam bentuk padang pengembalaan untuk meningkatkan daya dukung habitat pakan satwa herbivora atau keberadaan satwa arboreal seperti primata sebagai indikator kualitas vegetasi dan habitat. Kawasan taman nasional di Indonesia sesuai dengan tipe vegetasi yang terlindungi dalam kawasan secara umum mencakup pegunungan, dataran rendah, perairan. Taman nasional yang memiliki ekosistem pegunungan diantaranya adalah: TN Gunung Leuser, TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, Tn Bukit Tigapuluh, TN Bukit Dua Belas, TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung Merapi, TN Gunung Merbabu, TN Bromo Tengger Semeru, TN Gunung Palung, , TN Bantimurung Bulusaraung, TN Lore Lindu, TN Kelimutu, TN Gunung Rinjani Taman Nasional yang memiliki ekosistem dominan dataran rendah yaitu: TN Berbak, Tn Ujung Kulon, TN Alas Purwo, TN Baluran, TN Meru Betiri, TN Kutai, TN Tanjung Puting, TN Kayan Mentarang, TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Betung Kerihun, TN Bali Barat, TN Komodo, TN Mampeni Tanah Daru, TN Laiwangi Wanggameti, TN Akatajane Lolobatu, TN Tesso Nillo, TN Wasur, TN Way Kambas Taman Nasional yang didominasi perairan diantaranya adalah TN Sebangau merupakan perwakilam ekosistem rawa gambut yang relative masih utuh. Kawasan ini memiliki karakteristik yang unik ditinjau dari struktur dan jenis tanah, topografi, hidrologi, flora dan fauna. Kedalaman gambutnya berkisar antara 3m -14 m. Taman Nasional yang memiliki ekosistem dominan perairan diantaranya TN Karimunjawa, TN Kepulauan Seribu, TN Danau Sentarum, TN Sebangau, TN Teluk Cendrawasih,
Sintesis 2010-2014
|7
TN Manusela, TN Bogani Nani Wartabone, TN Bunaken, TN Sanger Gunung Api Bawah Laut Mahangetang, TN Sanger Gunung Api Awu, TN Rawa Aopa Watu mohai, TN Kepulauan Togean, TN Wakatobi A. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan Keterwakilan taman nasional ekosistem pegunungan diantaranya adalah TN Gunung Gede Pangrango, TN Batang Gadis dan TN Bantimurung Bulusaraung, disamping itu keterwakilan tipe ekosistem pegunungan sebagai habitat satwaliar juga ditunjukkan oleh kawasan hutan cagar alam. Populasi satwa yang menjadi indikator kualitas vegetasi yang sesuai dengan habitat adalah primata arboreal Hylobates moloch (Owa Jawa), Hylobates syndactylus (siamang), dan Hylobates agilis (Ungko). Penutupan lahan di kawasan TN selalu dimonitor untuk mengetahui dasar-dasar pengelolaan seperti penetapan atau evaluasi zonasi dan program restorasi, sebagai contoh TN Gn Gede Pangrango pada tahun 2010 berdasarkan citra landsat TM 7, didominasi oleh hutan sekunder seluas 9.752 atau 40%, sedangkan hutan primer yang meliputi wilayah pegunungan tipe ekosistem sub-montana sampai sub alpin seluas 6.267 ha atau 25% yang terletak di bagian terdalam/tengah (Gunawan, 2012). Kondisi hutan primer yang terdapat di bagian terdalam atau tengah merupakan habitat sebaran satwaliar langka atau dilindungi dengan areal dengan vegetasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah hutan sekunder yang termasuk tipe hutan montana (1000 m dpl -1500 m dpl) cenderung lebih rendah. Kondisi yang demikian ini, juga dijumpai pada hutan Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS). Populasi siamang di kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS) dan sekitarnya tersebar pada hutan primer sebanyak 81,8%, serta pada hutan sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering sebanyak 9,1%. Hasil analisis pola sebaran spasial menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS tersebar menurut pola berkelompok atau agregat. Jumlah populasi siamang di CADS dan daerah penyangganya yang menjadi contoh areal penelitian adalah 24 individu yang tersebar dalam 7 kelompok. Nilai dugaan kepadatan individu adalah sebesar 9,91±3,40 individu/km2. Apabila luas CADS sekitar 69,7 km2 maka diperkirakan populasi total adalah 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya (Kuswanda, 2014). Hasil penelitian ini hampir sama dengan Bangun et al. (2009) dan Sultan et al. (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan rata-rata ungko dan siamang di Taman Nasional Batang Gadis sebesar 8,82 individu/km2 dan 12,9 individu/km2. Berdasarkan tipe habitat dan ketinggian, maka habitat siamang di CADS dapat dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600 – 900 m dpl, hutan primer pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600 – 900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl. Gron (2008) menyebutkan bahwa walaupun hidup simpatrik dengan kelompok
Sintesis 2010-2014
|8
gibbon lainnya pada beberapa tipe habitat, siamang cenderung dijumpai pada ketinggian yang melebihi gibbon yang sampai pada ketinggian 1800 m dpl. Hasil analisis Indeks Neu menunjukkan bahwa tidak ada pemilihan tipe habitat tertentu berdasarkan penutupan lahan dan ketinggian dari permukaan laut bagi siamang namun cenderung menyukai tipe habitat hutan sekunder. Model RSF (resources selection function) untuk mengetahui sumberdaya yang paling mempengaruhi penggunaan habitat berdasarkan persamaan regresi logistik adalah: 𝜋(𝑥) =
exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 ) 1 + exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 )
Keterangan : 𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang X6 = Lbds total tingkat tiang X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang Hasil ini memberikan gambaran bahwa vegetasi pertumbuhan tingkat tiang memiliki arti sangat penting bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa aboreal siamang tergantung pada keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat pertumbuhan tiang sangat penting. Secara keseluruhan hasil penelitian habitat ini menunjukkan bahwa komponen habitat didominasi tingkat tiang memberikan implikasi penting bagi keberadaan siamang. Jenis tumbuhan pakan siamang sedikitnya telah teridentifikasi 48 jenis tumbuhan pakan, terdiri dari 12 jenis dikonsumsi daun dan buahnya, 22 hanya dikonsumsi buahnya, 12 jenis hanya daunnya, 2 jenis dikonsumsi buah dan kulitnya dan 1 jenis dikonsumsi semuanya. Pola sebaran tumbuhan pakan secara umum mengelompok. Rata-rata nilai produktivitas pakan daun (hutan sekunder dan hutan primer) adalah sebesar 10,5 kg/ha/hari berat basah atau 5,75 kg/ha/hari berat kering. Nilai produktivitas pakan buah adalah sebesar 58,94 kg/ha per hari berat basah dan 35,90 kg/ha per hari berat kering pada hutan sekunder dan pada hutan primer diperoleh sebesar 60,50 kg/ha per hari (berat basah) dan 26,95 kg/ha per hari (berat kering). Rata-rata nilai produktivitas buah (mempertimbangkan musim berbuah) rata-rata berkisar antara 10,45 kg/ha per hari (berat basah) dan rata-rata sebesar 4,81 kg/ha per hari (berat kering). Nilai konsumsi pakan siamang berdasarkan hasil pengamatan di kebun binatang diperoleh rata-rata sebesar 1,02 kg/hari per individu. Berdasarkan produktivitas habitat, maka daya dukung habitat hutan primer dan sekunder adalah 1 individu dalam 3,5-4 ha. Nilai dugaan ini masih cenderung over estimate karena belum memperhatikan faktor persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan primata lainnya, seperti orangutan. Jenis tumbuhan pakan siamang sebagian besar juga merupakan pakan orangutan (Kuswanda, 2011). Habitat yang paling sesuai bagi
Sintesis 2010-2014
|9
siamang di sekitar CA. Dolok Sipirok adalah di hutan produksi dan hutan lindung yang masih relatif utuh (primer dan sekunder) dengan nilai HSI sebesar 0,68 dan 0,52 dan yang kurang sesuai adalah APL (0,48). Nilai Karakteritik tumbuhan untuk penilaian kesesuaian habitat bagi siamang tertinggi di hutan produksi dan terendah di hutan lindung. Nilai rata-rata jenis tumbuhan pakan, Lbds total dan tinggi tumbuhan di hutan produksi masing-masing sebesar 2,9 jenis/0,01 ha, 0,167 m2/0,01 ha dan 15 meter. Ancaman kerusakan habitat diantaranya adalah pembukaan lahan untuk area perkebunan di setiap status hutan, pencurian kayu dengan kerusakan tegakan tertinggi. Pembakaran hutan dan lahan yang dapat menurunkan reproduksi siamang, pengambilan hasil hutan lainnya seperti rotan, getah kemenyan dan kayu bakar serta pengembangan infrastruktur yang memotong habitat siamang. Penelitian di Taman Nasional Batang Gadis berdasarkan analisis SWOT dan AHP diarahkan pada strategi menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi dengan prioritas untuk mengembangkan potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi (Kuswanda, 2012). Pada zona rehabilitasi, jenis tumbuhan yang teridentifikasi pada plot seluas 1,2 ha sekitar 70 jenis. Pada ketinggian 350 meter dpl sebanyak 33 jenis, ketinggian sekitar 500 m dpl 36 jenis dan ketinggian 600 m dpl 33 jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis termasuk kategori sedang (H’<3) yang mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem sudah mengalami gangguan. Komunitas tumbuhan dengan perbedaan ketinggian 100 m dpl cukup berbeda (rata-rata indeks kesamaan sebesar 41,1%). Keragaman jenis satwaliar, baik untuk mamalia darat maupun primata pada setiap tipe ketinggian tempat termasuk kategori rendah. Hasil pendugaan kepadatan satwaliar untuk primata antara 1,6 – 3,8 ind/ha dan untuk mamalia darat 1,6 – 2,2 ind./ha. Jenis-jenis satwa yang termasuk kategori langka dan dilindungi diantaranya siamang (Hylobates syndactylus), trenggiling (Manis javanica) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis). Pada zona rimba berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot 1,6 ha di TNBG teridentifikasi 119 jenis tumbuhan. Pada tipe ekosistem dataran rendah ditemukan 49 jenis, ekosistem Sub Pegunungan 55 jenis, ekosistem Pegunungan 40 jenis dan pada ekosistem lahan terdegradasi 39 jenis. Keragaman jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan secara umum termasuk kategori tinggi (H’ > 3) sehingga masih merupakan ekosistem yang stabil. Keanekaragaman jenis tertinggi (primata dan mamalia darat) ditemukan di ketinggian 1.200-1.300 m dpl sebesar 1,517 dan 1,979. Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar 2,4 ind./ha dan mamalia darat sebesar 2,2 ind./ha. Penelitian satwa indikator di TN Kerinci Seblat wilayah Sumatera Barat diareal zona rimba yang berbatasan dengan zona rehabilitasi, zona khusus, zona pemanfaatan terbatas adalah siamang dan ungko. Dengan habitat yang berbukit-bukit dan sebagian besar masih hutan primer atau sekunder tua. Populasi H. Syndactylus
Sintesis 2010-2014
| 10
adalah 8,5 inv/km2 dan H. Agilis 8,6 individu/km2. Kedua jenis tersebut berada dalam habitat yang sama dengan perbedaan sumber pakan (Bismark, 2014). Pada zona inti, hasil identifikasi pada plot seluas 1,6 ha ditemukan sebanyak 158 jenis. Pada ekosistem ketinggian 700 - 900 m dpl ditemukan sebanyak 83, ketinggian 1.000 – 1.100 m dpl 87 jenis, 1.200 – 1.300 m dpl 74 jenis dan ketinggian 1.400 – 1.600 m dpl 58 jenis. Jenis yang mendominasi antara lain modang/Litsea odorifera Valeton, lagan/Dipterocarpus kunstleri King. dan meranti/Shorea sp. Keragaman jenis termasuk kategori tinggi (H’>3) sehingga masih merupakan ekosistem yang stabil. Persentase tutupan tajuk antara 80-95%. Pada kelompok primata teridentifikasi sebanyak 6 jenis dan kelompok mamalia darat 15 jenis. Keanekaragaman jenis (H’) satwaliar tergolong rendah, untuk primata hanya 0,5301,450 dan mamalia darat 1,642-2,107. Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar 1,8 ind./ha dengan kepadatan tertinggi pada siamang (0,8 ind./ha). Hasil penelitian karakteristik tumbuhan dan satwaliar di atas telah melengkapi informasi penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Conservation International – Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumut (2005) yang baru menginformasikan jenis tumbuhan dan satwaliar di seluruh kawasan TNBG. Penelitian ini juga menemukan indikasi masih adanya orangutan (Pongo abelii) di TNBG berdasarkan penemuan sarang dan tanda lainnya di area zona rimba. Keragaman jenis tumbuhan dan satwaliar di TNBG secara umum lebih tinggi di banding kawasan lainnya, di Sumatera bagian Utara, seperti Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Taman Nasional Tesso Nilo. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Sulawasi Selatan seluas 43.750 hektar dan terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene-Kepulauan adalah untuk konservasi ekosistem karst Maros-Pangkep yang berbentuk menara (tower karst). Di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung dijumpai tiga ekosistem, yaitu tipe ekosistem karst yang merupakan tipe ekosistem di atas batuan karst/batu gamping atau diatas batuan karst yang berdinding terjal dengan puncak menaranya yang relative datar (forest over limestone) terletak di wilayah Ammarae tipe ekosistem hutan dataran rendah non dipterokarpa pamah dengan topografi datar sampai berbukit di wilayah Karaenta tipe hutan pegunungan bawah (1575 m dpl) dengan topografi bergelombang hingga terjal (Indra et al., 2010). TN Babul memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan tingkat pohon di kawasan hutan Ammarae indeks keragamannya (H’) adalah 2,848. Indeks keragaman pohon di kawasan hutan Karaenta (H’) adalah 3,380 sedangkan di hutan pegunungan indeks keragaman pohon (H’) 3,378. Potensi biofisik lainnya adalah mamalia yang terdiri dari babi hutan, monyet ekor panjang, monyet Sulawesi, tarsius, tupai, kus-kus, musang dan tikus cerucut dimana indeks keragaman di kawasan hutan Ammarae (H’) 1,36, di kawasan hutan Karaenta (H’)0,94 dan di kawasan hutan Tondokarambu (H’) 1,20.
Sintesis 2010-2014
| 11
Burung yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 60 jenis dengan indeks keragaman (H’) 3,93, di kawasan hutan Karaenta 45 jenis dengan indeks keragaman (H’) 3,63 dan di kawasan hutan Tondokarambu 32 jenis dengan indeks keragaman (H’) 3,32. Kupu-kupu yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 100 jenis dengan indeks keragaman (H’) 4,38, di kawasan hutan Karaenta 156 jenis dengan indeks keragaman (H’) 4,27 dan di kawasan hutan Tondokarambu 117 jenis dengan indeks keragaman (H’) 1,53 (Indra et al. 2010). B. Habitat Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah Contoh penelitian di TN ekosistem dataran rendah yang cukup lengkap dalam penelitian RPI 13 adalah TN Siberut dengan satwa kualitas vegetasi adalah 4 jenis primata endemik. TN Siberut adalah adalah zona inti dari cagar biosfer Siberut, sehingga penelitian mencakup areal bekas IUPHHK di sekitar TN yang kondisinya sama dengan di beberapa wilayah TN Siberut. Di Taman Nasional Siberut tercatat 164 jenis pohon. Jenis pohon di hutan sekunder tua yang dominan tertera pada Tabel 2.1, sedangkan kondisi ekologis vegetasi hutan di areal penelitian dirinci dalam Tabel 2.2 (Bismark et al., 2012). Tabel 2.1. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 % No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama lokal Tetepana Roan/Koan Potsaiguan/Potceiguan Posa Politcen/Polikceu/politciu Pokatoksu Poka/Kruing Koka/Koga/keruing kora/Poka-Kruing Dibu Boiko
Nama Ilmiah Hydnocarpus woodii Horsfieldia irya Warb. Koompassia sp. Alseodaphne sp. Euodia aromatic Knema sp. Dipterocarpus caudiferus Merr. Eugenia sp. Alangium javanicum (Bl.) Wang
Perbandingan potensi vegetasi dengan di daerah penyangga TN Siberut berupa hutan bekas tebangan di hutan produksi Tabel 2.2 Kondisi ekologis vegetasi hutan daerah penyangga TN Siberut (jumlah/ha) Tipe Vegetasi Ht. Sekunder Tua LOA 0 tahun LOA 1 tahun LOA 3 tahun
Jenis 59 64 51 50
Semai 25.000 56.250 126.250 75.000
Pancang 6.000 68.000 5.800 8.600
Tiang 78 114 12 20
Pohon 128 122 54 122
Dari potensi tegakan yang ada , areal bekas tebangan masih mendukung pemanfaatan satwa yang menjadi indikasi bagi kualitas habitat satwa, terutama
Sintesis 2010-2014
| 12
INP (%) 19,5 13,8 11,1 14,1 10,0 14,0 22,0 59,2 26,4 17,6
primata endemik, yang menjadi sasaran pengelolaan pengelolaan Taman Nasional Siberut. Berdasarkan hasil penelitian, pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata, (Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani) di areal bekas tebangan tertera pada Tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3. Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal bekas tebangan Vegetasi LOA 1 tahun LOA 3 tahun
30-39 12 27
Diameter Pohon 40-49 50-59 >60 12 6 20 8 2
Total 30 47
Jenis pohonnya adalah Aglaium javanica, Dipterocarpus, Artocarpus, Baccaurea sumatrana, Hydnocarpus woodii, Gymnacranthera bancana, Alseodaphne, Canarium furtosum dan Shorea sp., sedangkan kerapatan dan volume pohon di beberapa plot sebagaimana Gambar 2.1
Gambar 2.1. Perbandingan kerapatan dan volume pohon di hutan produksi Potensi pohon berdiameter 20-50 cm yang tersisa di areal bekas tebangan (LOA), mempunyai kerapatan 40-60 pohon/ha menunjukkan adanya pengelolaan hutan produksi dengan kategori Reduce Impact Logging (RIL). Pohon berdiameter di atas 40 cm masih tersedia sebagai pohon tidur primata. Di hutan primer, pohon tempat tidur primata didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae. Di areal bekas tebangan, yang dominan ditebang adalah jenis keruing (Dipterocarpaceae). Kerapatan pohon untuk pohon tidur H. klossii adalah 65 pohon per ha (Whitten, 1980). Berdasarkan jumlah tebangan dan volume tebang (Tabel 4), pelaksanaan pemanfaatan hutan di PT S3 masih termasuk dalam kategori RIL. Penebangan hutan produksi dengan RIL adalah 7,5 pohon/ha dengan volume 60 m3/ha (Bismark dan Sawitri, 2004). Hasil inventarisasi jenis dan potensi pohon di areal bekas tebangan hutan yang tidak ditebang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Sintesis 2010-2014
| 13
Tabel 2.4. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata Areal bekas tebangan INP Jenis (%) Nephelium sp. 75,9 Alangium javanicum 12,1 Dipterocarpus sp. 15,0 Canarium hirsutum Kakaona reflexa Dipterocarpus sp. Artocarpus kemando Euodia aromatica Alseodaphne sp.
18,3 52,9 22,8 12,3 13,2 12,4
Areal tidak ditebang INP Jenis (%) Shorea pauciflora 59,2 Dipterocarpus sp. 26,4 Dipterocarpus 19,5 caudiferus Phoebe grandis 17,6 Dipterocapus sp. 13,8 Horsfieldia irya 14,1 Aporosa lucida 22,5 Hydnocarpus woodii 11,3 Chamnosperma sp. 10,7
Kawasan TN. Siberut *) INP Jenis (%) Gluta elegans 11,77 Chasalia chartaceae 24,64 Cleidion spiciflorum 37,58 Mallotus subpeltatus Bhopia mitida Eugenia cymosa Arthocarpus bornensis Eugenia sp. Xanthophyllum sp.
18,02 8,22 20,16 14,19 18,47 12,51
*) Laporan survei TNS, 2010 Berdasarkan Tabel 2 dan 3, di areal LOA 1 dan LOA 3 tahun terlihat peningkatan jumlah pancang dan dinamika jumlah semai. Data ini menunjukkan dampak RIL terhadap suksesi vegetasi. Hal tersebut didukung dengan tingkat kesuburan tanah pada areal bekas tebangan (Tabel 2.5). Kondisi tanah dan sumber nutrisi dari nekromass memungkinkan perbaikan pertumbuhan semai dan pancang sebagai proses suksesi dan perbaikan habitat. Tingginya biomas nekromass menunjukkan tingginya kadar K dan P serta nilai KTK. Tabel 2.5. Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas tebangan Kimia Tanah
Vegetasi
N 0,21 0,33 0,24
LOA 0 LOA 1 LOA 3
C/N 9 11 11
P2O5 35 25 30
K2O5 52 38 49
KTK 14,2 11,92 16,25
Biomass Nekromas
Jumlah Semai/ha
298,74 114,55 288,96
56.250 126.250 75.000
Dari 42 jenis pohon dalam plot pengamatan di taman nasional, 50% jenis pohon ditemukan dalam jumlah satu individu pohon. Kondisi ini menunjukan tingkat keragaman yang tinggi atau adanya pemanfaatan, mengingat lokasi plot berada dalam zona pemanfaatan tradisional. Jumlah indeks keragaman jenis pohon dalam plot pengamatan 1,448 (Laporan TNS, 2010). Di areal bekas tebangan, dari 24 jenis dalam sampel plot, 80-90% ditemukan dalam jumlah 2 individu pohon. Di areal bekas tebangan, keragaman jenis pohon berkisar 1,14 - 1,30 indeks Shannon. Pada kondisi awal di areal bekas tebangan jenis primata akan bermigrasi lokal ke areal berbukit dengan kriteria lindung dan sekitar sungai yang tidak ditebang (Bismark, 2004). Hasil penelitian populasi menunjukan sulitnya ditemukan primata di areal bekas tebangan, terutama jenis Hylobates dan Simias, yang hidup arboreal dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan dari perburuan (Tabel 2.6).
Sintesis 2010-2014
| 14
Tabel 2.6. Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP) Jenis Primata Hylobates klossii Simias concolor Presbytis potenziani Macaca siberu
Populasi (individu/km2) Areal bekas Areal belum TN. Siberut*) tebangan (DP) ditebang (DP) 2009 2010 0 0 4,6 5,7
12,1 0 0 0
4,45 8,84 6,60 2,65
8,9 4,6 4,2 5,3
P. potenziani primata pemakan daun dan M. pagensis yang bersifat semi terestrial dapat bertahan diareal bekas tebangan tiga tahun, sedangkan di areal yang belum ditebang yang mudah teramati adalah H. klosii karena populasi cukup tinggi dibanding dengan populasi TNS, sedangkan 3 jenis lainnya sedikit teramati karena kerapatan tajuk dan perilakunya yang semi terestrial dan dapat bersembunyi lebih lama kalau mendengar sesuatu yang dianggap membahayakan, termasuk suara dari aktifitas penebangan pohon. Hasil inventarisasi di TNS bagian Selatan menunjukkan sulitnya ditemukan jenis Macaca dan Simias (Laporan TNS, 2010). Data pada Tabel 2.7 menunjukkan sensitifnya perilaku primata endemik di Siberut yang sulit dijumpai dalam waktu pengamatan yang terbatas. Berdasarkan analisis hasil monitoring populasi primata di TNS tahun 2009 dan 2010 (Tabel 7), rata-rata populasi empat jenis primata endemik mengalami kenaikan populasi sebesar 2% (Tabel 2.7). Kondisi ekologis habitat terkait dengan populasi dan kehadiran burung di areal penelitian tersaji pada Tabel 2.7 Tabel 2.7. Kondisi ekologis populasi burung Parameter Kerapatan pohon/ha Jenis burung Luas sampel (ha) Populasi burung/ha Frekuensi kehadiran burung
Ht. primer 204 10 5,8 0,83 34,55
Vegetasi LOA 1 th 66 11 7,92 0,24 39,01
LOA 3 th 110 12 3,92 0,15 47,28
`
Sintesis 2010-2014
| 15
III. EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN Taman nasional memiliki potensi sumberdaya hutan dalam bentuk jasa lingkungan hutan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa yang mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). (Direktorat Pemanfaatan dan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2009). Manfaat tangible dari taman nasional adalah sebagai penghasil kayu dan non kayu yang nilainya dapat langsung tercermin dari harga pasar dalam bentuk satuan nilai uang. Sedangkan manfaat intangible dari taman nasional atau manfaat yang tidak kasat mata kelihatan anatara lain sebagai habitat berbagai jenis mahluk hidup, sumber keanekaragaman hayati, pengatur dan penyedia tata air, pengendali erosi dan banjir, pengatur iklim dan pengendali keseimbangan ekosistem alam. Jasa lingkungan menurut Pgiola et.al (2004) dan Lemona dalam Direktorat Pemanfaatan dan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (2009) yang nilainya telah dapat dihitung melalui pendekatan nilai riil dari sudut pandang masyarakat , nilai pilihan maupun nilai keberadaan, dibagi ke dalam 4 katagori, yaitu: (1). Perlindungan dan pengaturan tata air (jasa lingkungan air), (2) Konservasi keanekaragaman hayati (jasa lingkungan keanekaragaman hayati), (3) Penyediaan keindahan bentang alam (jasa lingkungan ekowisata), dan (4) Penyerapan dan penyimpanan karbon (jasa lingkungan karbon). Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung nilai ekonomi total (NET). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai sasaran (Bakosurtanal, 2004). Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang langsung dapat dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar (nonmarket value), nilai fungsi ekologis serta keuntungan yang tidak langsung lainnya. A. Nilai Ekonomi Biodiversitas Jasa lingkungan keanekaragaman hayati merupakan nilai ekonomi taman nasional sebagai habitat satwaliar dan tumbuhan langka dan dilindungi ataupun nilai perdagangan satwa dan tumbuhan. Oleh karena itu, perlindungan dan pelestarian tumbuhan dan satwa langka termasuk tanaman obat serta perlindungan dan pelestarian bentang alam maupun ekosistem hutan yang kegunaannya diketahui atau permintaannya dimasa yang akan datang merupakan nilai pilihan (Nurfitriani, 2005). Penelitian dibeberapa taman nasional ditujukan untuk mengetahui potensi serta nilai keanekaragaman hayati yang dilakukan dengan wawancara dan inventarisasi vegetasi dan satwaliar serta nilai pilihan yang merupakan pernyataan kesediaan membayar untuk melestarikannya.
Sintesis 2010-2014
| 16
B. Nilai Flora Identifikasi potensi biodiversitas beberapa TN telah dilaporkan diantaranya, potensi jenis tumbuhan yang termasuk unggul lokal di TN Laiwanggi Wanggameti (TNLW) adalah 31 jenis, antara lain kaduru bara (Palaquium obtusifolium), kaduru rara (Palaquium obovatum), laru (Myristica littoralis), kawita kaba (Tarenna incerta) tada katabi (Aglaia leucophylla) murungiha (Helicia excelsa), cendana (Santalum album), inju watu (Spondias piñata), kesambi (Schleichera oleosa), manera (Aglaia eusideroxylon), mayela (Artocarpus glaucus), pulai (Alstonia scholaris), beringin (Ficus benyamina), kainjilu (Ficus variegate) dan sawo kecik (Manilkara kauki). Jenis satwaliar di TNLW yang teridentifikasi adalah 22 jenis mamalia, 72 jenis kupu-kupu, 7 jenis amphibian, 4 jenis reptilia dan burung 215 jenis, delapan diantaranya endemik Sumba yaitu rangkong (Aceros everetti), kakatua jambul jingga (Cacatua sulphurea citrineoristata), gemak sumba (Turnix everetti), punai sumba (Treron teysmani), walik rawamanu (Ptilonopus dohertyii), burung madu sumba (Nectarina buettikoferi), sikatan sumba (Ficedula harteti) dan punggok wangi (Ninox rudolfii). Nilai kayu di TNLW berdasarkan potensi daerah penyangga dibagi menjadi dua yaitu untuk pertukangan dan kayu bakar. Kurniadi et al. (2010) menyatakan bahwa nilai ekonomi kayu pertukangan di TNLW berdasarkan 22 plot pengamatan adalah sebesar Rp. 271.216.098,5,-/ha. Selanjutnya dengan asumsi daur tebang 20 tahun, maka nilai ekonomi kayu pertukangan sebesar Rp. 13.560.804,9/ha/tahun. Apabila kawasan berhutan di daerah penyangga TNLW seluas 41.516,5 ha, maka total nilai ekonomi sumber daya kayu sebesar Rp. 562.997,157.639.4/tahun. Nilai ekonomi kayu bakar diperoleh melalui pendekatan harga kayu bakar di pasar dan ongkos angkut maka harga kayu bakar yang diproduksi dalam kawasan hutan sebesar Rp. 841.003,4 ,-/ha/tahun. Nilai tanaman obat 15 jenis tumbuhan pohon di TNLW ditaksir dengan kesediaan membayar oleh masyarakat di sekitar TNLW didapatkan sebesar RP. 1.270.000.-/ha/tahun, apabila luas kawasan berhutan 41.016,5 ha maka nilainya sebesar RP. 52.090.955.000/tahun. Nilai satwaliar keanekaragaman hayati di TN Wasur terdiri dari 50 jenis burung yang termasuk 15 famili dengan beberapa jenis burung migran memiliki kelimpahan tinggi di Rawa Donggamit diantaranya adalah itik gunung (Anas superciliosa), gajahan pengala (Numenius phaeopus), kaki rumbai kecil (Phalarcopus lobatus), trinil bedaran (Tringa terek) serta tiga jenis burung di Pantai Ndalir dengan jumlah populasi mencapai lebih dari 500 individu seperti cerek pasir Mongolia (Charadrius mongolus, 1100 individu), gajahan timur (Numenius madagascariensis, 522 individu) dan kaki rumbai kecil (Philomanchus pugnax, 720 individu). Burung migran tersebut juga tersebar di habitat rawa lainnya seperti Rawa Nggom, Rawa Mbalatar, Rawa Maar, Rawa Ukra besar, Rawa Tum Ter dan Rawa Biru yang
Sintesis 2010-2014
| 17
memiliki ketersediaan pakan berupa cacing, udang, kerang dan ampipoda (Winara et al., 2010). Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di sekitar TN Wasur adalah memanen burung migran dan telurnya untuk dikonsumsi; berburu rusa, kangguru dan wallaby dengan pendapatan Rp. 556.000/bulan Potensi burung di TN Teluk Cendrawasih yang terdapat di P. Rumberpon sebanyak 30 jenis, 16 famili, sebagian besar family Psitacidae terdiri dari 8 jenis. Kelimpahan burung terbanyak diantaranya adalah nuri hitam (Chalcopsita atra), nuri kepala hitam (Lorius lorry), kakatua koki (Cacatua galerita) dan pergam pinon (Ducula pinon). Pemanfaatan sumberdaya alam di TN Teluk Cendrawasih oleh masyarakat sekitar dari sektor perikanan, udang lobster, dan teripang memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp. 804.000/bulan/KK, apabila dinilai dari pemanfaatan sumber daya alam secara keseluruhan adalah sekitar Rp. 1.023.000,/bulan. Penilaian potensi biodiversitas hutan tropika di TN Alas Purwo yang memiliki luas 43.420 ha dengan formasi vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan tanaman dan savanna padang rumput dan potensi tumbuhan langka seperti ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), keben (Barringtonia asiatica), sawo kecik (Manilkara kauki) dan 13 jenis bamboo, bernilai ekonomi sebesar Rp. 11.723.400.000,-/tahun (Mukhtar, 2010). Penilaian pelestarian dan ekosistem dilakukan di Taman Nasional Batang Gadis, merupakan kesediaan masyarakat sekitar untuk membayar pelestarian satwaliar yang berjumlah 47 jenis mamalia dan 247 jenis burung (Kuswanda, 2011). Hasil analisis penyebaran kuesioner pada masyarakat di daerah penyangga untuk mengetahui kesedian membayar (WTP) terhadap kawasan TNBG sebagai habitat satwaliar yang termasuk katagori langka dan dilindungi (IUCN, 2009) maupun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber protein, disajikan pada Tabel 3.1 Tabel 3.1. Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden Jenis Satwa No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Lokal Rusa Ajak Beruang Madu Landak Trenggiling Kijang Kambing hutan Macan Dahan
Sintesis 2010-2014
| 18
Nama ilmiah Cervus unicolor (Kerr, 1792) Cuon alpinus (Pallas, 1811) Helarctos malayanus (Raffles, 1821) Hystrix brachyura Linnaeus, 1758 Manis javanica Desmarest, 1822 Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780) Naemorhedus sumatraensis (Bechstein, 1799) Neofelis nebulosa Griffith 1821
Rata-rata nilai WTP (Rp/tahun) 742.857 778.571 1.771.429 311.429 1.435.714 464.286 1.114.286 1.750.000
Rata-rata nilai WTP (Rp/tahun) 68.857.143 3.892.857 460.000
Jenis Satwa No 9 10 11
Nama Lokal Harimau Sumatera Tapir Kancil
Nama ilmiah Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929 Tapirus indicus (Desmarest, 1819) Tragulus javanicus (Osbeck, 1765)
Perhitungan nilai ekonomi satwaliar di kawasan ini dihitung dari rata-rata nilai WTP untuk semua responden di tujuh desa penelitian, selanjutnya dikalikan rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak 71 desa (Balai KSDA Sumut II, 2006) (Tabel 3.2.) Tabel 3.2. Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG Rerata WTP Penduduk (Rp./tahun) (jiwa) Longat 3.817.647 2179 Lumban dolok 5.205.882 5154 Sopotinjak 3.115.000 204 Humbang I 6.171.765 907 Hutabariingin Julu 5.617.647 388 Pastap julu 3.782.353 525 Huta Padang 6.997.059 571 Total 34.707.353 9928 Rata-rata 4.958.193 1.418 Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006) NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) Desa
Total (Rp./tahun) 8.318.652.941,18 26.831.117.647,06 635.460.000,00 5.597.790.588,24 2.179.647.058,82 1.985.735.294,12 3.995.320.588,24 49.543.724.117,65 499.282.000.000,00 4.532.002.694.382,00 5.818.424.316.405,00
Berdasarkan tabel diatas, nilai ekonomi TNBG sebagai kawasan pelestarian satwaliar melalui kesediaan membayar, didapatka nilai sebesar Rp. 28 milyard per tahun, dan apabila kawasan TNBG dengan potensi satwaliar yang terjaga maka dalam 25 tahun mendatang, nilai satwaliar meningkat mencapai Rp. 4,53 triliun. Nilai pelestarian kawasan TNBG sebagai habitat satwaliar yang didekati dengan analisis kesediaan membayar (WTP) dengan metode CVM (Contingency Valuation Method), ternyata memberikan penilaian yang beragam bahkan melebihi pendapatan yang diperolehnya, hal ini menunjukkan penghargaan masyarakat yang cukup tinggi terhadap keberadaan satwaliar langka dan dilindungi seperti harimau, tapir, beruang madu, macan dahan dan trenggiling, disamping satwaliar yang diburu dan dimanfaatkan daging maupun tenaganya seperti rusa, kijang dan beruk (Kuswanda, 2011).
Sintesis 2010-2014
| 19
C. Ekosistem Mangrove Jasa lingkungan keanekaragaman hayati mangrove meliputi pemanfaatan kayu untuk bangunan rumah, kayu bakar dan jasa ekosistem terhadap perairan sebagai habitat, ikan, kepiting dan udang yang mendukung memenuhi kebutuhan masyarakat baik dijual maupun dikonsumsi. Hal ini sangat membantu dalam peningkatan ekonomi dan taraf hidup, dapat dilihat dari nilai jualnya per tahun, Tabel 3.3 (La Ode Ahyar,2009). Kepiting dan udang yang ditangkap pakai bubu dan jaring memberikan sumbangan yang sangat besar karena nilai jualnya yang cukup tinggi dan pemasarannya sampai keluar daerah. Berdasarkan hasil kepiting dan udang yang cukup tinggi maka kondisi vegetasi mangrove dan perairan di sekitarnya cukup baik dengan tingkat pencemaran yang cukup rendah. Tabel 3.3. Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK Wakatobi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Pemanfaatan Kayu (m3) Kayu bakar (ikat) Ikan (kg) Udang (kg) Kepiting (ekor)
Hasil ratarata/ha 2,380 292.404 306.396 346.620 486.144
Nilai (Rp.)/tahun 833.000 1.023.414.000 1.072.386.000 4.852.680.000 6.806.016.000
Persen (%) 0,01 7,44 7,80 35,28 49,48
Di TN Karimunjawa yang diwakili oleh ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, padang lamun dan terumbu karang, memiliki nilai biodiversitas sebesar Rp. 11. 200.000.000,- /tahun, sedangkan manfaat yang didapatkan masyarakat dari perikanan tangkap sebesar Rp. 6. 421.000.000/tahun dan budidaya rumput laut menghasilkan Rp. 13.000.000.000,-/ tahun (TN Karimunjawa, 2012). D. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Jenis tanaman obat yang terdapat di TN Lore Lindu 138 jenis yang termasuk ke dalam 80 suku terdiri dari 33 jenis tingkat pohon, 23 jenis perdu/pohon kecil, 70 jenis herba tingkat semak, 8 jenis herba tingkat rumput, 3 jenis epifit, 1 jenis liana. Tanaman obat tersebut umumnya dimanfaatakan oleh masyarakat local secara tradisional di daerah penyangga taman nasional. Inventarisasai vegetasi di kaawsan ii di bedakan menurut ketinggian lokasi yang terdapat di pegunungan di kelompok hutan Kaduaha (Ketinggian 1196 m dpl) memiliki nilai H’2,156 merupakan kondisi keragaman yang terstabil artinyan masih terpelihara kondisinya dengan sangat baik, apabila dibandingkan dengan kelompok hutan Simoro (ketinggian 400-700 m dpl) yang memiliki nilai H’ 0,29 (Kiding Allo et. al, 2009) Pemanfaatan hasil hutan non kayu di Taman Nasional Gn Halimun Salak diantaranya adalah getah pinus (Pinus merkusii), kopal (Agathis damara), poh-pohan
Sintesis 2010-2014
| 20
dan karet memberikan kontribusi tambahan pendapatan kepada masyarakat sekitar kawasan. Hutan tanaman pinus yang berbatasan dengan Desa Taman Sari luasnya sekitar 5 ha dengan potensi 6.690 pohon berumur 25 tahun diteres 30-60 pohon/hari dan menghasilkan getah 160 kg-450 kg/bulan dengan pendapatan sebesar Rp. 400.000,- - Rp. 1.1125.000,- /bulan, sedangkan masyarakat Desa Purwabakti meneres getah pinus sebanyak 32-140 kg/bulan dengan tambahan pendapatan sekitar Rp. 80.000,- - Rp. 150.000,- ( Adalina et.al, 2014; Adalina & Sawitri, 2013a). Petani pengambil getah kopal sebanyak 24 orang masyarakat Desa Sukagalih menghasilkan 200 kg/bulan dengan harga Rp. 3000,-/kg maka tambahan penghasilan sekitar RP. 600.000,-. Petani karet yang terdapat di dalam kawasan seluas 75 ha di Desa Pangradin mendapatkan getahnya sekitar 7 -15 kg/dua hari dengan harga Rp 5.000/kg sehingga tambahan pendapatan sekitar RP. 525.000,- -Rp. 1.500.000,/bulan (Adalina et al., 2014). Penghasilan petani yang menanam poh-pohan (Pilea melastomaides) di bawah tegakan pinus oleh masyarakat Desa Taman Sari seluas < 0,25 ha -0,5 ha mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp. 80.000,- - Rp. 915.000,-/orang/bulan (Adalina & Sawitri, 2013b). Di Taman Nasional Akatajawe Lolobata, wilayah Hutan Bukit Durian, kerapatan jumlah pohon damar mencapai ± 86 pohon/ha, sedangkan di Hutan Tayawi mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP kelompok pohon berdiameter ≥10 cm dbh di Hutan Bukit Durian menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis tumbuhan yang memiliki INP lebih besar dari 10%. Heritiera avafuruensis Kostern (Sterculiaceae) adalah jenis pohon dengan nilai INP paling tinggi sedangkan Dillenia spp merupakan jenis yang sering ditemui pada setiap perjumpaan dengan A.dammara. Hasil perhitungan INP pada habitat A.dammara di Hutan Tayawi menunjukkan terdapat 7 jenis pohon dominan, diantaranya adalah A.dammara, Heritiera avafuruensi Kostern dan Canarium hirsutum. H.avafuruensis ditemukan disetiap plot yang juga terdapat A.dammara, hal ini ditunjukkan oleh nilai frekuensi relatif yang sama 12,5%. Kopal merupakan salah satu komoditas atau hasil akhir dari pengolahan getah damar yang memiliki nilai jual yang tinggi. Metode penyadapan getah damar yang diterapkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar kawasan TNAL masih cenderung tradisional. Penjualan getah damar 6,3-12,6 ton masyarakat memperoleh keuntungan antara Rp. 18.900.000 - Rp. 37.800.000 per tahun, artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,80% - 86,22% terhadap pendapatan total masyarakat. Hal ini menunjukkan kontribusi pendapatan dari getah damar masyarakat tidak merata (Nurrani, 2013b). Sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat sebagai obat teridentifikasi pada kawasan TNAL yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional. Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, sebanyak 20 Jenis pada Desa Akejawi dan sebanyak 46 jenis pada Dusun Tayawi. Berdasarkan habitus tumbuhan, kategori pohon paling banyak dengan persentase sebanyak 42,68 %, herba 28,05 %, liana 19,51 % serta perdu dan palma dengan masing-masing persentase 4,88%.
Sintesis 2010-2014
| 21
Bagian yang banyak dimanfaatkan adalah daun sebanyak 40,00%, batang 18,95%, kulit 15,79%, akar 10,53 %, batang bagian dalam 5,26 %, seluruh bagian tumbuhan 4,21%, getah 3,16 % serta biji dan bunga dengan masing-masing persentase sebesar 1,05% (Nurrani, 2014). Masyarakat sekitar TN Wasur memanen kemiri sebesar Rp. 500.000,-/tahun; memanen tanaman obat berupa daun kayu putih (Asteromyrtus sympiocarpa) sebesar Rp. 2000,-/kg dan sarang semut (Mymorcodia pendans) sebesar Rp. 75.000,-/kg; tanaman hias berupa anggrek keriting (Dendrobium concolor), anggrek kelinci (D. antenatum), anggrek johanes (D. johanes), anggrek nenas (D. smiliae), anggrek bawang (D. canalikulatum), anggrek goldi, anggrek tanah anggrek macan dan anggrek larat sebesar Rp. 5.000.000,-/tahun dari kayu bush (Melaleuca cajuputi), rahai (Acacia mangium), gempol (Neuclaea orientalis) dan kayu besi lapang (Eucalyptus sp.); nilai ekonomi kayu bakar sebesar Rp. RP. 1.036.000,-/bulan; sedangkan pendapatan dari hasil perikanan seperti udang di Pantai Ndalir Rp. 979.000,-/bulan dan ikar air tawar Rp. 1306.900/bulan (Winara et al., 2010). E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air Kawasan Taman Nasional mampu menyediakan jasa-jasa lingkungan yang sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat secara keseluruhan, terutama dari bidang pengembangan pariwisata serta penyediaan sumber-sumber air. Air yang berasal dari kawasan TN Bantimurung Bulusaraung ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan manfaatnya sangat besar bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan taman nasional sebagai sumber air minum dan pengairan lahan pertanian, demikian juga di taman nasional lainnya seperti TN Laiwanggi Wanggameti, TN Wasur, TN Alas Purwo dan TN Batang Gadis. Air yang berasal dari TNLW digunakan oleh 16 desa dengan jumlah penduduk 18.438 jiwa untuk keperluan rumah tangga maupun pengairan sawah seluas 923 ha. Nilai ekonomi sumberdaya air di TNLW ditunjukkan oleh kesediaan rata-rata masyarakat membayar air sebesar Rp. 215,19/m3 lebih rendah dari harga air oleh PDAM kota Waingapu sebesar Rp. 1000,-/m3, hal ini dikarenakan tingkat daya beli masyarakat yang rendah dan pandangan masyarakat sekitar kawasan bahwa air bukan merupakan barang komersial. Apabila rata-rata konsumsi air 36,5 m3/kk/tahun maka nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp. 33.702.797,09/tahun. Sedangkan nilai air untuk pengairan sawah didekati dengan produktivitas lahan sebesar Rp. 12.376.000,-/ha, sehingga untuk pertanian bernilai sebesar Rp. 11.423.048.000,-/tahun. Oleh karena itu, nilai ekonomi air secara keseluruhan adalah Rp. 11.423.048.000/tahun. Sedangkan di TN Alas Purwo, nilai ekonomi air bagi keperluan rumah tangga maupun pertanian di tiga desa sampel sebesar Rp. 110.680.947,-/tahun (Mukhtar, 2010). Jasa lingkungan air yang terdapat di TN Bantimurung Bulusaraung meliputi nilai ekonomi air irigasi, nilai air mikrohidro diestamasi, nilai air untuk perikanasn dan
Sintesis 2010-2014
| 22
usaha cuci mobil yang melibatkan beberapa pihak yang sangat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan air di TN Babul ini yaitu Taman Nasional, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan, Dinas Pariwisata dan PDAM), industri, usaha cuci mobil dan masyarakat (Lembaga Pengelola Air), memiliki nilai ekonomi sangat besar berkisar antara Rp. 2,066 trilyun sampai Rp. 2,2 trilyun per tahun ( Hayati, 2011). Nilai ekonomi air yang terdapat di TN Wasur dinilai dari potensi air permukaan yang terdapat di Danau Rawa Biru seluas 12,570 ha dengan beberapa sungai antara lain S. Maro, S. Yauram, S. Maar dan S. Torasi. Kapasitas air tawa D. Biru mencapai 50.000.000 m3, tetapi debit air ini berkurang karena pendangkalan dan meningkatnya laju transpirasi dan evatranspirasi akibat semakin meluasnya invasi tanaman tebu rawa (Hanguana malayana) dan rumput pisau (Carex sp.). Nilai manfaat air bersih sebesar Rp. 11,5 milyard/tahun (Winara et al.,2010) Nilai ekonomi air yang berasal dari Danau Siombun yang mempunyai luas sekitar 4 ha dengan debit 100 liter/detik dan Anak Sungai Simandolang, Sungai Batang Gadis di taman Nasional Batang Gadis, dimanfaatkan sebagai air bersih oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina. Pendugaan nilai ekonomi air yang didistribusikan pada konsumen PDAM (air bak), analisis dilakukan berdasarkan rata-rata nilai ekonomi air bersih pada WTP (ketersediaan membayar) karena nilai tersebut lebih mencerminkan nilai sebenarnya dibandingkan nilai WTS (kesediaan menerima kompensasi atau dibayar). Nilai ekonomi air rata-rata pada tingkat konsumen sebesar RP. 1.107,33/m3, dikalikan dengan nilai produksi air sebesar 630.882 m3/tahun, maka diperoleh nilai air bersih yang dimanfaatkan PDAM sebesar Rp. 698.594.565,06/tahun (Kuswanda, 2011) . Tetapi berdasarkan nilai bahan baku yang dimanfaatkan oleh PDAM dikurangi biaya distribusi, nilai air bersih saat ini masih sekitar Rp.331,459.565,06/tahun. Nilai air ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sector pertanian dan perikanan, karena pelanggan PDAM di Kab. Madina masih terbatas sekitar 4,6%. Apabila diasumsikan masyarakat di Kabupaten Madina untuk waktu yang akan datang menggunakan air PDAM maka nilai air diprediksi sekitar Rp. 7.205.642.719/tahun (Tabel 3.4) Tabel 3.4. Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina No 1. 2. 3. 4 5 6
Uraian Total produksi air (m3) PDAM Tahun 2009 Total air terjual (m3/tahun) Kehilangan atau kebocoran air ((m3/tahun) Jumlah pelanggan (orang) Harga air baku (Rp/m3) berdasarkan análisis nilai fungsi WTP pada tingkat konsumen Nilai ekonomi air pada tingkat konsumen (Rp./tahun)
Hasil 630.882 630.685 197 8.616 1.107,33
Sumber data LK (2009) LK (2009) LK (2009) LK (2009) Analisis data primer (2011)
698.594.565,06
Sintesis 2010-2014
| 23
No 7 8 9 10 11 12
Uraian Biaya transmisi/distribusi air (Rp./tahun) Nilai ekonomi air baku PDAM (siap didistribusikan) (Rp./tahun) NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk Kurniawan (2006) NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk Antoko (2011) Tingkat pelayanan kebutuhan terhadap jumlah penduduk (%) Asumsi : Penduduk terlayani 100%
Hasil 367.135.000,00 331.459.565,06 3.008.671.736,00
Sumber data LK (2009) Analisis data primer (2011) Analisis data primer (2011)
3.862.691.612,00 4,6
LK (2009)
7.205.642.719,00
Analisis data primer (2011)
Nilai ekonomi air untuk keperluan rumah tangga dan keramba di Seksi Wilayah Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Semitau, Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), diperoleh dari persamaan Y = 63,512-0,005 X1 + 67,911 X3 + 2,296 X4 dengan faktor peubah yang berpengaruh adalah biaya pengadaan air (X1), jumlah anggota keluarga (X3) dan umur kepala keluarga (X4), sedangkan faktor yang tidak berpengaruh diantaranya pendapatan, pendidikan kepala keluarga dan jarak sumber air, sehingga biaya pengadaan air yang kecil akan memperbesar konsumsi air karena ketersedian air di Danau Sentarum yang berlimpah. Kesediaan membayar air ratarata sebesar Rp. 14.182.369,29 jiwa/tahun, sedangkan nilai yang dibayarkan sebesar Rp. 1.749.389,82 jiwa/tahun sehingga nilai surplus konsumen sebesar Rp. 12.432.979,47. Dengan demikian, total nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga di TN Danau Sentarum sebesar Rp. 127.641.323.610,00 walaupun yang dibayarkan oleh masyarakat yang berjumlah 948 jiwa hanya sekitar Rp. 15.744.508.380,00 sehingga nilai manfaat hidrologis yang ada belum optimal (Anggraeni et al., 2013). Kondisi juga terjadi di beberapa lokasi taman nasional lainnya seperti di TN Gunung Gede Pangrango dimana nilai ekonomi total air sebesar Rp. 4.181.000.000,00/tahun dan nilai surplus penggunaan air oleh konsumen sebesar Rp. 4.119.000.000,00 (Darusman, 1993). Nilai ekonomi total air untuk TN Gunung Halimun Salak sebesar Rp. 5.223.870.380,00, sedangkan nilai surplus konsumen sebesar Rp. 4.060.503.012,00 (Widada dan Darusman, 2004), dan nilai ekonomi sumber aya air di Tn Ujung Kulon yang diwakili Gn Honje sebesar Rp. 813.935.214,29 (Balai Taman Nasional Ujung Kulon, 2012). Perbedaan penghitungan nilai hidrologis tersebut disebabakan perbedaan kondisi lokasi, cakupan wilayah, jumlah penduduk dan ketersediaan air. Apabila konsumsi air secara keseluruhan TNDS sebesar 1190,31 m3 maka total nilai kesediaan membayar adalah sebesar Rp. 15.044.768.326,15/periode dan nilai yang dibayarkan hanya sebesar Rp. 3.013.547.952,35, sehingga nilai surplus sebesar Rp. 12.031.220.373,80/ periode. Pemanfaatan air untuk ikan keramba oleh masyarakat di sekitar TN Danau Sentarum memberikan konstribusi pendapatan
Sintesis 2010-2014
| 24
sekitar 39% dari pendapatan total masyarakat sebesar Rp. 70,939.513,33/tahun (Anggraeni et al., 2013). Jasa lingkungan air di kawasan TN Gunung Ceremai dari 119 mata air memiliki debit sekitar 10-110 l/dt. PDAM Kuningan memanfaatkan mata air Paniis yang debit airnya sekitar 860 l/dt untuk Kabupaten Cirebon atau 2.200.200 m3/bulan memberikan kontribusi pendapatan sekitar Rp. 4.815.684.450,-/bulan (Widodo, 2012). Nilai ekonomi air yang dimanfaatkan untuk rumah tangga di TN Rinjani adalah sebesar Rp. 10.216,-/jiwa atau Rp. 173.933.532,- /tahun/KK sedangkan nilai ekonomi air yang digunakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah sekitar Rp. 1.640.299,630,- (Ramdhani, 2011). Jasa air yang dihasilkan oleh TN Kutai dengan luas hutan 198.629 ha maka simpanan air tanah sekitar 900 m3/ha/tahun atau sekitar 178.766.100 m3/tahun. Apabila kawasan hutan taman nasional ini dikonversi maka ditinjau dari aspek jasa air akan kehilangan Rp. 34.000.000.000,-/tahun (Jalil, 2013). F. Nilai Ekonomi Wisata Alam Pengelolaan dan daya tarik wisata telah diatur di dalam Pasal 4 Undang-undang No 9 tahun 1990. Obyek dan daya tarik wisata terdiri dari (a) Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; (b) Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia berwujud museum, koleksi peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Kepariwisataan yang termasuk ke dalam obyek dan daya tarik wisata alam adalah taman nasional, taman wisata, taman hutan raya dan taman laut. Jasa lingkungan wisata merupakan kesediaan pengunjung membayar yang dipengaruhi oleh preferensi terhadap jasa lingkungan alami serta lokasi dan infrastruktur. Hasil studi Siswantinah Wibowo (2003) dalam Hayati (2011) menyatakan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan ekowisata di TN Gn Gede Pangrango adalah sebesar Rp. 131 milyar pada tahun 2000/2001. Nilai keberadaan TNLW yang memiliki nilai estetika, budaya dan kultural dapat dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Kesediaan masyarakat membayar manfaat wisata tersebut rata-rata sebesar Rp. 4.821,-/KK/tahun dengan jumlah masyarakat sekitar kawasan 4291 KK, maka nilai total ekonomi wisata tersebut sebesar Rp. 20.688.750,-/tahun. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan menggunakan analisis regresi untuk melihat hubungan antara variabel kesediaan membayar (WTP) responden terhadap perubahan kualitas lingkungan dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti karakteristik responden yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan dan konservasi
Sintesis 2010-2014
| 25
(kesediaannya menyisihkan penghasilannya untuk peningkatan kualitas lingkungan di TN Babul). Valuasi ekonomi jasa wisata di TN Babul ditinjau melalui persamaan matematik sebagai berikut: WTP= β0+ β1 Sx + β2 Umur + β3 Pdkkn + β4 Ph + β5 kons + β6 kp + β7 Ws + β8 lpkj + β9ra +ei Dimana : WTP β0, β1…. Βx Sx Pddkn Ph Kons
Ws Lpkj pencaharian ra ei
: kesediaan membeyar dari responden ke-I (dalam rupiah) :koefisien regresi : jenis kelamin responden : tingkt pendidikan responden : tingkat penghasilan responden per tahun : Kesediaan responden menyisihkan pendapatan runah tangga untuk kegiatan konservasi : persepsi atau penilaian responden terhadap fasilitas atau sarana prasarana dan kualitas produk obyek wisata : Persepsi responden tentang TN Babel sebagai tempat wisata :Persepsi responden tentang TN Babel sebagai sumber mata : Persepsi responden tentang Babel sebagai daerah resapan air : Kesalahan pengganggu
Penaksiran berdasarkan persamaan matematik diatas adalah: WTP = 1.034,597 -55,018 - 1.005,588 + 297,226+ 907,869+197,841+5.0106 – 3.636,337- 1.866,578 +4.576,923 = 5.557,143 Apabila total pengunjung di TN Babul pada tahun 2010 sebanyak 621.134 orang,dengan rata-rata WTP sebesar Rp. 5.557,143, maka nilai manfaat ekonomi jasa wisata di TN babel adalah sebesar Rp. 3.451.730.371,43. Taman Nasional Gn Rinjani memberikan kontribusi berupa nilai ekonomi wisata alam yang merupakan kesedian pengunjung membayar sebesar Rp. 4.100,-/orang, sehingga pendapatan dari kegiatan ini sebesar Rp. 748.205.256,-/tahun (Ramdhani, 2011). Nilai ekonomi wisata TN Bunaken dengan jumlah pengunjung 27.741 individu, dihitung menggunakan model fungsi permintaan VISIT = 24.27071- 0.004585 COST maka estimasi kesedian membayar dari wisatawan nusantara sebesar Rp. 140.405.171.010 pada tahun 2013, maka nilai surplus konsumen sebesar Rp. 6.433.449.930 atau sebesar Rp. 232.271,- /individu, sedangkan kesedian membayar wisatawan mancanegara adalah sebesar US$ 13.054.000 dengan nilai surplus konsumen sebesar US$ 8,36 (Samsudin et al., 2013). Nilai ekonomi wisata yang diperoleh dari pengunjung TN Bromo Tengger Semeru pada tahun 2010, adalah sebesar Rp. 36.210.000,- sedangkan kesediaan pengunjung membayar sekitar Rp. 13.076,92/individu (Bernadi, 2012). Sedangkan nilai ekonomi wisata di TN Alas Purwo yang memiliki potensi wisata pantai,
Sintesis 2010-2014
| 26
estuaria, pengamatan burung dan mamalia, serta keunikan dan keindahan pemandangan adalah sebesar Rp. 71.395.000,-/tahun. Pengunjung TN Ujung Kulon bersedia membayar (Willingness to Pay) sebesar Rp. 15.666/individu dengan nilai surplus konsumen sebesar Rp. 3.015,873/kunjungan sehingga nilai ekonomi wisata alam sebesar 16.511.904.761,91 (Prayoga, 2013). Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat mendapatkan jumlah kunjungan yang relatif sedikit yaitu sekitar 302 individu/tahun dari Tahun 20102012. Kesedian membayar pengunjung untuk menikmati keindahan danau sebesar Rp. 486.970.684,2 sedangkan nilai yang dibayarkan adalah sebesar Rp. 332.904.984,3, sehingga surplus konsumen adalah sebesar Rp. 154.065.699 (Maria et al., 2013). TN Karimunjawa memberikan nilai ekonomi wisata alam sebesar Rp. 2.900.000.000,- - Rp. 21.000.000.000,- dengan rata-rata pertahun sebesar Rp. 7.500.000.000,- (TN Karimunjawa, 2012) G. Nilai Ekonomi Taman Nasional sebagai Penyangga Kehidupan Nilai ekonomi kawasan TNBG sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, iklim dan mencegah erosi sangat penting mengingat rata-rata kawasan di daerah penyangga memiliki kelerengan tanah > 40% dan jenis tanah di kawasan termasuk andosol, komplek podsolik merah kuning-latosol, komplek podsolik coklat-podsolik-latosol, dan latasol yang peka terhadap erosi (Kuswanda et.al., 2009). Nilai ekonomi erosi taman nasional ini dihitung berdasarkan rata-rata nilai WTP dari semua responden pada setiap desa penelitian, selanjutnya dilakalikan rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak 71 desa, disajikan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5.Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi Rerata WTP Penduduk (Rp./tahun/ (jiwa) responden) Longat 1.945.000 2179 Lumban dolok 1.262.500 5154 Sopotinjak 2.392.500 204 Humbang I 572.500 907 Hutabariingin Julu 790.000 388 Pastap julu 1.285.000 525 Huta Padang 875.000 571 Total 9.122.500 9.928 Rata-rata 1303.214 1.418 Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006) NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) Desa
Luas (ha)
Nilai erosi (Rp/tahun)
3743.06 765.36 1733.45 1398.04 796.83 251.67 1000.68
4.238.155.000 6.506.925.000 488.070.000 519.257.500 306.520.000 674.625.000 499.625.000 13.233.177.500 131.231.000.000 1.191.189.038.632 1.529.311.374.065
Sintesis 2010-2014
| 27
Masyarakat bersedia membayar nilai ekonomi erosi cukup tinggi, hal ini terkait dengan kesadaran masyarakat akan bahaya erosi/longsor yang mereka alami akibat kerusakan hutan. Nilai kesediaan membayar seluruh masyarakat di daerah penyangga mengingat fungsi TNBG sebagai pencegah erosi/longsor mencapai Rp. 131,23 milyard per tahun, apabila fungsi tersebut masih berlangsung maka dalam 25 tahun mendatang nilai tersebut mencapai Rp. 1,19 trilyun dengan asumsi suku bunga tetap 10% per tahun atau mencapai Rp. 1,53 trilyun dengan asumsi suku bunga 7% (Antoko, 2011), Nilai yang didapatkan dari fungsi Taman Nasional Leuser sebagai penyangga kehidupan dengan perkiraan waktu selama 30 tahun kedepan dibedakan menurut kondisi hutan yaitu US$ 9.100.000.000 apabila kawasan digunakan secara lestari, US 7.000.000.000 apabila hutan dalam keadaan terdeforestasi dan bila dikonversi akan memiliki nilai yang tinggi yaitu US$9.500.000.000 (Balai Taman Nasional Leuser, 2010). H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon a.
Ekosistem Mangrove
Jasa lingkungan karbon diketahui dari hasil-hasil penelitian mitigasi karbon di hutan alam dataran rendah, hutan mangrove dan hutan alam dataran tinggi. Di hutan dataran rendah, mitigasi karbon diwakili oleh Cagar Biosfer P. Siberut (Bismark et al., 2008), terdapat 10 jenis pohon mangrove yaitu: Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Blume, Bruguiera cylindrica W.et.A., B. gymnorrhiza (L). Savigny, Xylocarpus granatum Koen, Barringtonia racemosa Blume, Ceriops tagal C.B Rob., Aegyceras corniculatum Blanco, Luminitzera littorea Voigl. dan Avicennia alba L. Jenis yang mendominasi tegakan hutan mangrove R. apiculata dengan kerapatan 80 pohon/ha, R. mucronata 28 pohon/ha dan B. gymnorrhiza sebesar 12 pohon/ha. Biomasa tegakan di atas tanah dan kandungan karbon hutan mangrove yang terdiri dari jenis R. apiculata, R. mucronata dan jenis B. gymnorrhiza cukup rendah yaitu sebesar 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha, setara dengan 90,16 ton CO2/ha. b. Ekosistem Gambut Dalam penelitian di lahan gambut, data yang ditampilkan merupakan cuplikan dari peneliti yang telah melakukannya. Berdasarkan atlas Gambut Indonesia (Wahyunto et al., 2003, 2004, dan 2007), Papua mempunyai lahan gambut terluas, namun karena pada umumnya gambut di Papua lebih tipis, maka cadangan (stock) karbonnya hanya sekitar 3.623 Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt). Gambut di Sumatera mepunyai kedalaman antara 0,5 sampai lebih dari 12 m, dan cadangan karbonnya mencapai 22,3 Gt dan di Kalimantan cadangan karbon lahan gambut sekitar 11,3 Gt. Menurut penelitian Rahayu el al., 2005., di Nunukan Kalimantan Timur, hutan gambut mengandung sekitar 200 ton C/ha, sedangkan Page et al., 2002., penelitian di hutan gambut bekas terbakar tahun 1997 di Kalimantan Timur, menyatakan
Sintesis 2010-2014
| 28
kandungan karbon sekitar 600 ton/ha, sedangkan biomassa hutan gambut hanya mengandung sekitar 200 ton C/ha. Wasis dan Mulyana (2010), menyatakan bahwa kandungan karbon pada lahan gambut eks-PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah setelah 10 tahun terbakar yaitu sebesar 262,2 ton C/ha. Disamping itu, nilai ekonomi karbon di TN Tesso Nillo dengan total biomassa hutan 2013 sebanyak 11.774.265, 67 ton dihitung melalui model pendugaan biomassa Y = 1048,145+4050,848 ln(X), sehingga stock karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah 5.887.132,835 ton (Jati, 2014). TN Berbak mengandung cadangan karbon sebesar 25.998.500 ton carbon dari rata-rata 0-225 ton carbon/ha serta emisi karbon 95.988.500 ton CO2. Apabila tingkat laju deforestasi TN Berbak -1,14% atau kehilangan hutan seluas 1.800 ha maka emisi bersih karbon (Balai Taman Nasional Berbak, 2012). Menurut ketinggian simpanan karbon berkisar antara 164-225 ton C/ha dan harga simpanan karbonnya dapat mencapai Rp. 4.933.968.000.000,-, dimana potensi pohon setiap tipe ekosistem antara 105,6-409,7 m³/ha. c.
Ekosistem Dataran Rendah
Penelitian di daerah penyangga TN Siberut dengan tipe hutan alam dataran rendah Pulau Siberut, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa biomasa tegakan hutan yang berdiameter lima cm ke atas di hutan primer, hutan bekas tebangan/LOA satu tahun dan LOA lima tahun, masing-masing sebesar 131,92 ton/ha, 70,39 ton/ha, dan 97,55 ton/ha. Kandungan karbon dan serapan karbondioksida berturut-turut sebesar 65,96 ton C/ha dan 242,07 ton CO2/ha; 35,19 ton C/ha dan 129,15 ton CO2/ha; 48,77 ton C/ha dan 178,99 ton CO2/ha. Jenis pohon yang memiliki potensi biomasa, kandungan karbon dan serapan karbondioksida tertinggi yaitu koka (Dipterocarpus elongatus Korth.) sebesar 132,28 ton/ha, 66,14 ton C/ha dan 242,73 ton CO2/ha. Potensi necromass pada tapak tegakan (hutan primer, LOA satu tahun dan LOA lima tahun) berturut-turut sebesar 0,65 ton/ha, 0,78 ton/ha, dan 0,73 ton/ha (Bismark et al., 2008). d. Ekosistem Pegunungan Potensi karbon yang terdapat di TN Kelimutu dibedakan menurut zonasi dimana zona inti yang didominasi oleh tumbuhan Vaccinium varingiefolium dan Rhododendron renchianum memilki jumlah karbon sebesar 69,29 ton/ha, sedang zona rehabilitasi yang ditanami jenis tumbuhan Eucalyptus urophylum memilki kandungan karbon sebesar 107,04 ton/ ha (Fauzi, 2012). Jasa karbon yang dihasilkan TN Kutai berdasarkan luas tutupan hutan primer sejumlah 8860 ha dan hutan sekunder seluas 137.802 ha dimana nilai serapan karbon hutan primer sekitar 263 ton/ha dan hutan sekunder 95 ton/ha, sehingga nilai karbon yang dihasilkan 15.421.370 ton. Apabila asumsi harga karbon US$ 5 maka nilai karbon keseluruhan sebesar US$77.106.850 atau Rp. 639.961.650.000,(US$=Rp.9.000,-). (Jalil, 2013).
Sintesis 2010-2014
| 29
IV. ZONASI TAMAN NASIONAL Taman Nasional mengemban berbagai fungsi, yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, maka pelaksanaan pengelolaan yang dianggap mampu untuk menjaga keseimbangan fungsi taman nasional adalah pengelolaan berdasarkan sistem zonasi. Zonasi yang baik adalah zonasi yang disusun dengan mengacu pada kriteria dan indikator yang benarbenar sesuai atau disusun berdasarkan kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat. Masalah zonasi merupakan salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh berbagai taman nasional di Indonesia. Untuk itu, penelitian yang tergabung dalam RPI Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem, permasalahan yang menyangkut zonasi taman nasional diakomodir untuk dilaksanakan mulai tahun anggaran 2010 – 2014. Salah satu kebutuhan penelitian yang dapat mendukung penyelesaian masalah zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi utamanya taman nasional adalah aspek yang lingkupnya berkaitan kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi dan teknologi yang mampu merumuskan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari. Hal ini tertuang pada sasaran RPI yaitu paket informasi karakteristik tipologi atribut biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat dan luaran RPI berupa kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem. Disisi lain, pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi juga dinilai belum optimal karena masih minimnya informasi setiap komponen ekosistemnya, terutama komponen biotik yang sifatnya dinamis. Begitu pula belum tersedianya indikator yang tepat untuk menentukan zonasi sering menjadi permasalahan dalam menilai kelayakan dan menentukan strategi pengelolaan suatu taman nasional dalam bentuk zona inti, rimba atau zona lainnya. A. KRITERIA DAN INDIKATOR ZONASI Kriteria adalah titik tengah dari informasi yang disediakan dan diintegrasikan oleh indikator sehingga dapat digunakan sebagai standar penilaian (CIFOR, 1999; Purnama, 2005). Indikator merupakan parameter kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diukur dan diuji keabsahannya dalam menguji suatu unit manajemen untuk mencapai kriteria pengelolaan (Setyadi et al., 2006; Gunawan, 2012). Pentingnya indikator ekologis dalam pengelolaan suatu ekosistem dan kawasan dinyatakan oleh Carignan dan Villard (2002), bahwa sangat sulit untuk mengukur semua komponen pada suatu ekosistem untuk kepentingan pengelolaan, sehingga indikator ekologis sangat penting diketahui. Lebih lanjut De Leo dan Levin (1997)
Sintesis 2010-2014
| 30
menyatakan bahwa satu indikator tunggal saja tidak cukup untuk mengukur suatu ekosistem atau kawasan, namun diperlukan satu set indikator. Keberadaan spesies tertentu dapat menjadi parameter penting untuk menentukan indikator suatu zonasi. Spesies-spesies tersebut ada yang tergolong spesies payung (umbrella species), flagship species, spesies endemik, spesies langka, dan spesies dilindungi. Sebagaimana dinyatakan Lambeck (1997) dan Noss (1999) dalam Carignan dan Villard (2002), bahwa pada level spesies ada beberapa indikator ekologis yang dapat digunakan, diantaranya adalah keystone species, area-limited umbrella species, dispersal-limited species, resource-limited species, process-limited species, dan flagship species. Untuk TNBG, beberapa diantaranya adalah harimau sumatera (P. tigris) dan macan dahan (N. nebulosa) sebagai spesies payung (umbrella species); kucing emas (C. temmincki) sebagai spesies langka; orang utan (P. abelli Lesson) sebagai flagship spesies dengan status konservasi kritis terancam punah; trenggiling (M. javanica), siamang (S. Syndactylus Raffles), kelompok elang, kelompok rangkong, damar (H. beccariana), meranti (Hopea spp.), dan S. acuminata sebagai spesies dengan beberapa status konservasi dan dilindungi; serta A. argus sebagai spesies endemik. Keberadaan spesies pada suatu zonasi harus ditindaklanjuti melalui pengelolaan kawasan yang sesuai dengan karakteristik zonasi. Sebagai contoh adalah tingginya potensi satwa pada kawasan terbuka bekas tebangan zona rimba. Kondisi ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari habitat dan ruang jelajah satwa-satwa tersebut. Dengan demikian, dalam pengelolaan selanjutnya pada kawasan hutan bekas tebangan perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi, pemulihan, dan pengayaan habitat. Areal ini dapat ditunjuk sebagai zona rehabilitasi untuk selanjutnya ditetapkan kembali sebagai zona rimba. Pada zona pemanfaatan, selain adanya potensi alam dan wisata alam yang tinggi, juga adanya tempat minum beberapa jenis mamalia dan habitat beberapa jenis burung srigunting (Dicrurus spp.) merupakan obyek penelitian dan pendidikan yang cukup penting. Selain itu, dengan adanya keberadaan lintasan rusa (C. unicolor) dan macan dahan (N. nebulosa) maka diperlukan identifikasi ruang jelajah kedua spesies tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sering dikunjungi manusia. Hal ini untuk mengurangi dampak akibat tingginya intensitas kontak satwa dengan manusia. Indikator ekologis menunjukkan bahwa potensi ekosistem zona pemanfaatan masih cukup baik. Oleh sebab itu perlu disusun konsep pengembangan wisata alam yang mendukung kelestarian obyek wisata alam dan potensi biotik yang terdapat di dalamnya. Beberapa kawasan yang sangat potensial untuk pengembangan wisata alam tersebut adalah Danau Saba Begu dan Puncak Sorek Merapi di TN Batang Gadis (Kuswanda et al., 2009).
Sintesis 2010-2014
| 31
1.
Zona Inti
Di TN Bukit Tigapuluh (TNBT) berdasarkan kriteria PP No 68 Tahun 1998 maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona inti sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.1 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006). Tabel 4.1. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1)Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (2) Mmewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya (3) Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia (4) Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami (5) Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi (6) Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah
Keterangan (Remark):
Usulan Indikator
Hasil pada Lokasi Pengamatan (1) Keanekaragaman jenis - Tinggi (H’tumbuhan = tumbuhan dan atau satwa tinggi 3,25-3,71)
(2) Tipe ekosistem khas
- Bagian dari hutan hujan tropika dataran rendah
(3) Tipe vegetasi hutan primer (4) Pemanfaatan sumberdaya alam tidak ada (5) Dibatasi oleh zona rimba
- Hutan primer & hutan sekunder - Beberapa kawasan berbatasan dengan zona pemanfaatan - Bentuk cenderung tidak radial/melingkar - Kelerengan ≥ 25%
(6) Luas optimal (7) Bentuk cenderung melingkar (8) Kelerengan ≥ 25%
(9) Potensi tumbuhan tinggi (10) Potensi satwa tinggi (11) Potensi fisik wilayah unik
- Beruang madu, harimau sumatera - Bagian dari kelompok perbukitan
(12) Spesies penting ada (13) Tingkat kelangkaan nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate)
- Beruang madu, harimau sumatra - Terancam punah (indeterminate)
= Usulan (proposal)
Mengacu pada kriteria zona inti dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka potensi dan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan fisik pada zona inti di TNBT ternyata
Sintesis 2010-2014
| 32
masih tinggi yang terlihat dari salah satu indikatornya yaitu tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan yang berkisar antara 3,25 – 3,71, terdapat berbagai jenis satwa, dan bentuk fisik wilayah yang unik berupa kelompok perbukitan. Sebagian besar kawasan memiliki topografi yang curam dengan kelerengan ≥25%. Kondisi tersebut cukup rawan secara ekologis sehingga perlu ditetapkan sebagai salah satu indikator zona inti. Selain itu bentang alam TNBT juga khas yang merupakan hutan hujan dataran rendah, sehingga memerlukan upaya konservasi. Salah satu kriteria zona inti yang penting adalah keaslian kondisi alamnya. Indikator yang semestinya mewakili untuk kriteria ini adalah hutan primer, namun demikian telah terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup signifikan dalam kurun waktu tiga tahun (2000 sampai dengan 2003) di TNBT, dimana sebagian hutan primer telah berubah menjadi hutan sekunder. Dengan kondisi tersebut, penetapan zona inti berdasarkan indikator hutan primer saja tidak akan mewakili. Untuk itu perlu penambahan indikator hutan sekunder selain hutan primer sehingga zona inti yang ditetapkan memiliki luasan yang cukup bagi kelangsungan biota penting di dalamnya. Kriteria selanjutnya menyatakan bahwa zona inti mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Berdasarkan kriteria tersebut, indikator zona inti yang dapat mengindikasikan kondisi tersebut adalah terdapatnya jenis langka dan tingkat kelangkaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNBT merupakan bagian dari habitat beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera dan beruang madu. Status kelangkaan satwa ini bahkan ada pada tingkat terancam punah atau indeterminate. Mengingat tingginya kepentingan terhadap perlindungan beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera, beruang madu dan tapir maka dalam pengelolaannya perlu dievaluasi batas-batas zona inti saat ini, terutama pada kawasan yang menjadi ruang jelajah (home range) satwa, sehingga dapat memberikan ruang yang cukup bagi satwa untuk hidup dan berkembangbiak. Dalam rencana penataan zona seperti yang terdapat dalam Zonasi Taman Nasional Batang Gadis (Balai KSDA II Sumut, 2006) disebutkan beberapa alasan ekologis yang mendasari penunjukan kawasan zona inti. Berdasarkan alasan tersebut, maka ditunjuk zona inti yang berupa dua fragmen besar yaitu sebagian di bagian utara (± 20.250 Ha) dan bagian lainnya di bagian selatan dengan luas ± 13.233 Ha, sehingga total luas zona inti ± 33.483 Ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona inti TNBG sudah memenuhi kriteria zona inti. Namun demikian, kriteria tersebut belum dijabarkan dalam indikator yang mencirikan
Sintesis 2010-2014
| 33
kondisi zona inti TNBG. Mengacu pada hasil penelitian Kwatrina & Mukhtar (2006) mengenai indikator zonasi TNBT , maka indikator ekologis zona inti yang digunakan adalah sebagai berikut: a) keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi, b) tipe ekosistem khas, c) tipe vegetasi hutan primer, d) potensi tumbuhan tinggi, e) potensi satwa tinggi, f) spesies penting ada, dan g) tingkat kelangkaan nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekosistem, satwa dan tumbuhan sebagai dasar penetapan indikator ekologis zona inti TNBG disajikan pada di bagian Utara dan bagian Selatan Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 (Kuswanda, 2009). Tabel 4.2. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara Indikator ekologis zona inti ** (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa tinggi
(2) Tipe ekosistem khas
(3) Tipe vegetasi hutan primer
(4) Potensi tumbuhan tinggi
(5) Potensi satwa tinggi
Sintesis 2010-2014
| 34
Indikator ekologis zona inti TNBG Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H’ pada tingkat pohon sebesar 3,51, pada tingkat belta sebesar 3,48 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,41. Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H’ tertinggi pada klas Aves sebesar 3,94. Untuk klas Mamalia darat sebesar 2,53, Primata sebesar 1,99 dan Reptil sebesar 1,03 Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga dataran tinggi Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl. Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan Montana (1000 – 1800 m dpl) Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan sebesar 662,5 ind./ha. Terdapat berbagai jenis hoting, medang, damar dan meranti. Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis untuk punah”. Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H. agilis F. Cuvier), jelarang (Ratufa affinis Raffles), binturong (Arctictis binturong Raffles), trengggiling (M. javanica Desmarest), rangkong (Buceros spp.) dan berbagai jenis dari Klas Aves. Terdapat indikasi adanya orang utan (Pongo abelii Lesson) dan ajak (Cuon alpinus Pallas) .
Indikator ekologis zona inti ** (6) Spesies penting ada (7) Tingkat kelangkaan (Scarcity level) nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate)
Indikator ekologis zona inti TNBG Terdapat beruang madu (Helarctos malayanus Raffles) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock) dengan status kelangkaan “terancam punah”. Terdapat kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis Bechstein) dan kucing mas (C.temminckii) yang tergolong satwa langka Terdapat orang utan (P. abelii) dengan status “kritis” Terdapat damar (H.beccariana) dan meranti (Hopea spp.) dengan status “kritis untuk punah” Terdapat sikatan bubik (Muscicapa dauurica Pallas) dengan status “data deficient/ kekurangan data”
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006 Kondisi zona inti yang tergambar dari indikator tumbuhan dan satwa dalam Tabel 2, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi dan satwa di zona inti bagian Utara masih sangat baik. Hasil ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh dan Conservation International - Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumatera Utara (2005) yang mendapatkan potensi tumbuhan dan satwa yang tinggi di wilayah TNBG. Pada zona inti juga dijumpai beberapa jenis satwa yang keberadaannya masih berupa dugaan, yaitu adanya keberadaan kambing hutan (N. sumatraensis Bechstein), kucing mas (C. Temminckii Vigors & Horsfield), dan ajak (C. alpinus) yang terindikasi berdasarkan jejak dan suara. Selain itu juga terdapat indikasi keberadaan orangutan pada zona inti yang diindikasikan dengan ditemukannya sarang orang utan, serta dijumpainya berbagai jenis satwa dilindungi dan satwa terancam punah seperti harimau sumatra (P. tigris Pocock) dan beruang madu (H. malayanus Raffles). Kondisi ekosistem dan vegetasi pada zona inti juga menunjukkan potensi yang tinggi dan perlu dilindungi. Zona inti bagian Utara ini memiliki perwakilan hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi dengan dua sub tipe vegetasi, yang mewakili ketinggi 300-1800 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya terdiri dari hutan primer dalam kondisi yang masih sangat baik. Hal ini terlihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang diamati yaitu 3,41-3,51, dan kerapatan pohon sebesar 662,5 ind./ha. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran seperti cekakak cina (Halcyon pileata Linnaeus) dan berbagai jenis elang yang juga ditemukan pada zona rimba. Selain itu ditemukan empat jenis dari kelompok rangkong (Famili Bucerotidae), dua jenis pelatuk (Picidae) dan satu jenis luntur putri (Trogonidae) yang keberadaannya sangat tergantung pada keberadaan hutan, terutama hutan primer.
Sintesis 2010-2014
| 35
Tabel 4.3. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan Indikator ekologis zona inti ** (1) Keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi
Indikator ekologis zona inti TNBG
(2) Tipe ekosistem khas
(3) Tipe vegetasi hutan primer
(4) Potensi tumbuhan tinggi
(5) Potensi satwa tinggi
(6) Spesies penting ada
(7) Tingkat kelangkaan (Scarcity level) nyaris punah, genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan pesat, rawan (Depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis (indeterminate)
Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H’ pada tingkat pohon sebesar 3,15, pada tingkat belta sebesar 3,25 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,37. Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H’ tertinggi pada klas Aves sebesar 3,10; kemudian Mamalia darat sebesar 1,68; dan primata sebesar 1,06. Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga dataran tinggi Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl. Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan Montana (1000 – 1800 m dpl) Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 445 ind./ha., pada tingkat belta sebesar 2.590 ind./ha dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 68.750 ind./ha. Terdapat berbagai jenis hoteng, medang, damar dan meranti. Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis untuk punah”. Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H.agilis), siamang (S.syndactylus), beruang (H.malayanus), trengggiling (M.javanica), rangkong (Buceros spp.) dan berbagai jenis dari Klas Aves. Terdapat beruang madu (H.malayanus) dengan status kelangkaan “terancam punah”. Terdapat damar dan meranti dengan status “kritis untuk punah” Terdapat jenis burung endemik sumatera, seperti kuau (Argusianus argus Linnaeus) dan beberapa jenis burung yang dilindungi.
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006
Sintesis 2010-2014
| 36
Zona inti bagian Selatan ini secara umum termasuk hutan dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata diatas 1.200 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya terdiri dari hutan primer dengan kondisi yang masih sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang diamati di atas 3,0. Kondisi hutan yang demikian merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis satwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran terutama berbagai jenis elang. Dilihat dari parameter satwa, maka zona inti wilayah Selatan memiliki potensi biotik yang sangat tinggi. Dalam hal penyusunan kriteria dan indicator zonasi taman nasional Bantimurung Bulusaraung, maka terdapat berbagai faktor penting yang menjadi dasar pertimbangan bagi penentuan kriteria dan indicator tersebut seperti: - Populasi dan komunitas seperti keanekaragaman hayati flora dan fauna, keberadaan jenis langka, endemik dan dilindungi, estimasi jumlah individu dari jenis endemik, langka dan dilindungi agar populasi dapat bertahan, luas area yang dibutuhkan oleh jenis endemic, langka dan dilindungi, trend populasi jenis langka, endemic dan dilindungi, tingkat ancaman dari keberadaan jenis eksotik, keberadaan hama dan penyakit, - Degradasi lingkungan seperti kondisi tanah, kebutuhan reklamasi dan rehabilitasi, tingkat gangguan berupa polusi (air, suara, udara), - Keterhubungan atau kekontinyuan habitat, tingkat fragmentasi habitat, keberadaan koridor terutama pada areal diluar taman nasional, ketersediaan habitat yang sesuai untuk berkembangbiak - luasan areal yang mampu meminimalisir dampak keberadaan manusia maupun meminimalisir dampak gangguan satwa liar, serta luasan yang dibutuhkan untuk dapat menjamin keberlangsungan proses alamiah seperti proses hidrologis dapat berlangsung dengan baik - Keberadaan areal cadangan yang mampu menjamin keberlangsungan proses perkembangbiakan agar dapat berjalan dengan baik, keberadaan habitat bagi species migran, - Analisis tingkat ancaman manusia di masa yang akan datang, seperti dokumentasi ancaman, tingkat dukungan masyarakat terhadap taman nasional serta tingkat pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan taman nasional Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Indra et al., 2013)(Tabel 4.4).
Sintesis 2010-2014
| 37
Tabel 4.4. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung Kriteria 1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
2. Merupakan perwakilan tipe ekosistem alami dan formasi biota tertentu yang menjadi ciri khas ekosistem
3. Mempunyai kondisi alam yang masih asli
Indikator a. Kekayaan jenis flora b. Kekayaan jenis fauna c. Kekayaan jenis yang bergantung pada hutan a. Adanya zona inti pada setiap tipe ekosistem
a.1. Karst a.1.1. Keberadaan Formasi vegetasi karst yang belum terganggu a.1..2. Keberadaan fauna khas ekosistem karst a.2. Hutan peg. Bawah a.2.1. Keberadaan formasi hutan lumut a.3. Hutan hujan non dipterocarpaceae pamah a.3.1. Keberadaan jenis Ficus spp a.Merupakan hutan primer
b.Bebas dari gangguan masyarakat
4. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
Sintesis 2010-2014
| 38
c.Tidak berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan dan zona lainnya (pmf tradisional, khusus, budaya/religi a. Mampu mendukung daerah jelajah satwa b. Tidak ada fragmentasi habitat
Pengukur Daftar jenis berdasarkan taksonomi Daftar jenis berdasarkan taksonomi Daftar jenis flora dan fauna lokal yang bergantung pada hutan Perwakilan tipe ekosistem karst, dan atau hutan pegunungan bawah, dan atau hutan hujan non dipterocarpaceae pamah Sebaran formasi vegetasi karst
Sebaran fauna khas karst Daftar jenis fauna khas karst Sebaran formasi hutan lumut
Sebaran jenis Ficus spp Vegetasi asli, bukan jenis eksotik atau yang ditanam oleh masyarakat Masyarakat mengetahui letak lokasi zona inti Masyarakat memahami fungsi zona inti Masyarakat memahami peruntukan zona inti Tidak ada perubahan akibat aktivitas manusia Terdapat zona rimba yang mampu menyangga zona inti
Luasan daerah jelajah satwa penting Tutupan vegetasi yang kontinyu Tidak terjadi perubahan kondisi fisik habitat
Kriteria
5. Mempunyai ciri khas potensi yang memerlukan upaya konservasi
Indikator c. Terpeliharanya kelangsungan fungsi resapan air d. Produktivitas ekosistem tetap terjaga a. Bentang alam karst b. Fungsi reservoir air pada kawasan karst tetap terjaga c. Proses karstifikasi tetap berlangsung
6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar yang langka
a. Kekayaan jenis flora dan fauna langka b. Kekayaan jenis flora dan fauna dilindungi
7. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas (focal species) dan/atau endemik
1. Keberadaan satwa atau tumbuhan yang prioritas (focal species) 2. Keberadaan satwa atau tumbuhan endemik
Pengukur Efek tepi minimal Kualitas dan kuantitas air Stabilitas iklim mikro Kenampakan eksokarst dan endokarst Adanya aliran sungai bawah tanah dan atau danau bawah tanah Memiliki karst yang masih berkembang dengan baik Proses perkembangan ornamen gua tetap berlangsung Daftar jenis berdasarkan status konservasi (IUCN) Daftar jenis berdasarkan status perlindungan (UU Indonesia, CITES) Daftar jenis satwa atau tumbuhan prioritas Daftar jenis satwa atau tumbuhan endemik
Set minimum kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung berdasarkan hasil penilaian di lapangan menyatakan bahwa zona inti TN Bantimurung Bulusaraung memiliki keanekaragaman tipe ekosistem antara lain ekosistem karst, hutan dataran rendah no dipterokarpa pamah serta hutan pegunungan bawah, dengan kondisi kawasan hutan primer yang masih asli, memiliki keanekaragaman jenis flora 157 dengan kisaran jenis tumbuhan cukup luas dan dijumpai di berbagai ekosistem diantaranya kalo-kaloro, bayur, baru’, bera-berasa, danggang-danggang, dao, kaleleng didi, angsana, karangko, kayu ara, lambu-lambu, langoting, mawai, polo salak-salak dan tera-terasa, dimana indeks keanekaragaman jenis pohon (H’ = 2,848 -3,375), tiang (2,806-2,900), pancang (1,927-3,556) dan semai (3,004-3,580). Sedangkan keanekaragaman hayati yang dijumpai diantaranya mamalia 5 jenis, burung 83 jenis dan kupu-kupu 96 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H’) mamalia (0,94-1,36), burung (3,32-3,93), dan kupu-kupu (1,53-4,38). 2.
Zona Rimba
Berdasarkan kriteria zona rimba dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona rimba sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.5 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006).
Sintesis 2010-2014
| 39
Tabel 4.5. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1) Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi (2) Kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan pemanfaatan (3) Kawasan yang merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu
Keterangan:
Usulan Indikator (1)Kondisi vegetasi rapat (2) Terdapat sumber-sumber air
Hasil pada Lokasi Pengamatan - Vegetasi rapat - Bagian dari DAS
(2) Keanekaragaman jenis tumbuhan sedang - tinggi (3) Mempunyai potensi wisata alam
- H’ sedang - tinggi, yaitu 2,72-3,32 - Memiliki panorama alam
(5) Bagian habitat dan atau ruang jelajah (home range) satwa langka
- Habitat harimau sumatera dan tapir
= Usulan
Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti. Dengan demikian indikator yang mencirikan zona rimba semestinya merupakan suatu kawasan yang memiliki potensi alam masih relatif baik, seperti penutupan vegetasi yang masih rapat, keanakaragaman tumbuhan yang masih tinggi dan terdapatnya sumber-sumber air. Indikator–indikator tersebut penting karena zona rimba juga merupakan bagian dari habitat satwa migran tertentu sehingga memerlukan kawasan yang memiliki sumbersumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak. Sebagian kawasan zona rimba merupakan hutan sekunder dengan kondisi lahan landai, agak curam dan curam, serta menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai. Kondisi ini mendukung bagi kehidupan satwa-satwa penting yang perlu dikonservasi seperti harimau sumatera dan tapir. Sebagai kawasan penyangga dan peralihan dari zona inti ke zona pemanfaatan maka zona rimba semestinya memiliki indikator potensi wisata alam yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam terbatas. Dalam rencana penataan zonasi TNBG (BKSDA II Sumatera Utara, 2006) disebutkan bahwa zona rimba TNBG yang ditunjuk berbatasan langsung dengan batas fungsi luar kawasan TNBG dengan luas total ± 65.947 Ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona rimba TNBG, sudah memenuhi kriteria zona rimba sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Mengacu pada Kwatrina dan Mukhtar (2006), maka indikator-indikator yang mencirikan kondisi zona rimba TNBG adalah a)
Sintesis 2010-2014
| 40
kondisi vegetasi rapat (baik), b) keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, c) bagian habitat dan atau ruang jelajah satwa langka. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka indikator ekologis zona rimba TNBG bagian Utara dan bagian Selatan disajikan pada Tabel 4.6 dan 4.7. Tabel 4.6. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara Indikator ekologis zona rimba ** (1) Kondisi vegetasi masih baik
Indikator ekologis zona rimba TNBG
(2)Potensi dan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang – tinggi
(3) Bagian habitat dan/ atau ruang jelajah (home range) satwa langka/dilindungi
Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem. Penutupan lahan berupa hutan primer, sekunder dan areal bekas tebangan. Kerapatan pohon 550 ind/ha di hutan primer, 430 ind/ha di hutan sekunder dan 235 ind/ha di lahan bekas tebangan Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’ tertinggi pada klas Aves, yaitu 2,93 pada hutan areal bekas tebangan, 3,37 pada hutan sekunder dan 3,19 pada hutan primer. Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon sedang - tinggi dengan H’ yaitu 3,4 pada hutan primer, 3,13 pada hutan sekunder dan 2,77 pada areal bekas tebangan. Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan INP tertinggi adalah Shorea gibbosa Brandis dan H. beccariana yang status keterancaman berdasarkan daftar merah IUCN adalah “kritis untuk punah”. Terdapat 4 jenis satwa langka yaitu beruang (H. malayanus), harimau (P.tigris), macan (Neofelis nebulosa Griffith), kucing emas (C.temminckii), dan rangkong (Buceros spp.)yang termasuk satwa dilindungi. Terdapat 29 jenis satwa dilindungi yang terdiri dari 17 jenis Aves, 3 jenis Primata dan 9 jenis Mamalia darat Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis elang (Accipitridae) dan cekakak cina (Halcyon pileata Boddaert).
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006 Secara umum kondisi vegetasi pada zona rimba di bagian Utara masih utuh dan alami. Parameter satwa menunjukkan bahwa zona rimba pada bagian Utara memiliki potensi yang tinggi antara lain dengan dijumpainya lima jenis satwa langka dan dua puluh sembilan jenis satwa dilindungi yang tersebar di hutan primer, hutan sekunder bahkan pada areal bekas tebangan.
Sintesis 2010-2014
| 41
Tabel 4.7. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan Indikator ekologis zona rimba ** (1) Kondisi vegetasi masih baik
Indikator ekologis zona rimba TNBG
(2) Potensi dan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan sedang – tinggi
(3) Bagian habitat dan atau ruang jelajah (home range) satwa langka/dilindungi
Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem. Penutupan lahan berupa hutan primer dan sedikit sekunder. Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon 497,5 ind/ha, tingkat belta 2330 ind/ha, dan semai dam tumbuhan bawah 84.000 ind/ha. Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’ tertinggi pada klas Aves, yaitu 3,51, klas primata 1,45; dan klas mamalia darat 2,24. Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon tinggi dengan H’ yaitu pada tingkat pohon sebesar 3,29, pada tingkat belta sebesar 3,15 dan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,46. Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan INP tertinggi adalah Cinnamomum parthenoxylon Meissn. dan Dracontomelon dao Err.&Rolfe Terdapat beberapa jenis satwa langka seperti 4 jenis satwa langka yaitu ungko, harimau, dan rangkong yang termasuk satwa dilindungi. Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis elang.
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006 Kondisi vegetasi pada zona rimba bagian Selatan merupakan hutan primer. Apabila dibandingkan dengan zona rimba TNBT yang sebagian besar penutupan lahannya berupa hutan sekunder, maka zona rimba TNBG jauh lebih baik. Penafsiran citralandsat wilayah TNBG tahun 2005 menunjukkan keberadaan hutan primer yang masih cukup luas di wilayah utara TNBG. Hasil pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa hutan primer kawasan Utara ini masih baik kondisinya. Selain itu, juga diindikasikan dari masih banyaknya ditemukan jenis meranti (S. gibbosa) dan damar (H. beccariana) yang memiliki status keterancaman “kritis untuk punah” pada zona rimba. Keberadaan hutan primer di zona rimba ini penting artinya bagi kehidupan dan perkembangan beberapa jenis satwa yang tergantung pada keberadaan hutan terutama hutan primer, seperti rangkong (Buceros rhinoceros Linnaeus). 3.
Zona Pemanfaatan Intensif
Kriteria zona pemanfaatan dalam PP No. 68 Tahun 1998 mengandung pengertian yang sama dengan zona pemanfaatan intensif sebagaimana yang terdapat dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan oleh
Sintesis 2010-2014
| 42
Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal 21 Juli 1998, yaitu zona yang ditujukan untuk pemanfaatan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem taman nasional untuk kepentingan pariwisata alam. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona pemanfaatan intensif sebagaimana disajikan dalam Tabel 8. Zona pemanfaatan intensif merupakan kawasan yang diperuntukkan khusus bagi kegiatan pemanfaatan secara intensif. Zona pemanfaatan intensif di TNBT merupakan zona untuk pengembangan wisata alam secara intensif. Berdasarkan kriteria dalam PP. No. 68 tahun 1998, maka indikator yang mengindikasikan kawasan tersebut adalah tingginya potensi biotik dan wisata, lokasi yang strategis, aksesibilitas yang mudah dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan potensi wisata alam TNBT cukup banyak, dan sebagian besar belum dikelola dengan baik. Sebagian kawasan tersebut ada yang dapat dijadikan kawasan pariwisata alam dan rekreasi serta kawasan wisata alam terbatas tergantung pada potensi biofisik dan fungsi kawasannya. Beberapa lokasi perlu ditinjau kembali karena terdapat kawasan yang menjadi bagian dari ruang jelajah harimau sumatera. Peninjauan ini bertujuan agar kegiatan wisata alam tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis satwa. Tabel 4.8. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit Tigapuluh Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 (1) Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik
Usulan Indikator (1) Potensi biotik sedang –tinggi (2) Potensi wisata tinggi
-
-
-
(2) Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam (3) Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam
Keterangan =
Hasil pada Lokasi Pengamatan Sedang – tinggi (H’ = 2,17 – 3,08) didominasi oleh jenis S. leprosula, Dyospyros bantamensis dan Litsea sp. Terdapat beruang madu, harimau sumatera, kuaw, rangkong, ungko tangan hitam, owa dan siamang Terdapat air terjun, kolam air dan wisata Bukit Lancang Bagian dari ruang jelajah harimau sumatera dan tapir
(3) Bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting
-
(4) Lokasi strategis (5) aksesibilitas mudah
- Berbatasan dengan daerah penyangga - Dilewati jalur lintas sumatera
Usulan
Sintesis 2010-2014
| 43
Jika dilihat lebih spesifik, maka kegiatan wisata dan rekreasi merupakan tujuan pengelolaan yang utama (primary objective) pada kawasan taman nasional khususnya di zona pemanfaatan. Sehingga berdasarkan regulasi yang berlaku, baik di dunia maupun di Indonesia, pengembangan kawasan Granit Training Center (GTC) sebagai kawasan wisata alam sudah sesuai dan memenuhi persyaratan. Jenis kegiatan wisata yang dapat dikembangkan di kawasan GTC dapat berupa tracking, bird watching, wildlife watching, sightseeing, climbing, fishing, camping, swimming, sport tourism, dan educational tourism (Sularso, 2006 dalam Kwatrina dan Mukhtar, 2006). Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya. Berdasarkan peta peruntukan zonasi yang dikeluarkan oleh Balai KSDA Sumatera Utara (2006), zona pemanfaatan di bagian selatan TNBG meliputi tujuh lokasi dengan luas keseluruhan ± 2.022 ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona pemanfaatan TNBG seperti yang disusun oleh BKSDA Sumatera Utara II (2006) sebagian besar sudah memenuhi kriteria zona pemanfaatan sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan tersebut. Dalam menjabarkan kriteria zona pemanfaatan, maka digunakan indikator zonasi TNBT (Kwatrina dan Mukhtar, 2006), yaitu a) potensi biotik sedang- tinggi, b) potensi wisata tinggi, c) bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekologis yang dapat dijadikan indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis Indikator ekologis zona pemanfaatan** (1) Potensi biotik sedang – tinggi
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
(2) Potensi wisata tinggi
Sintesis 2010-2014
| 44
Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe ekosistem, seperti danau dan hutan pegunungan diatas 1.500 m dpl. Penutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan primer. Ditemukan sekitar 24 jenis tumbuhan tingkat pohon. Ditemukan sekitar 33 jenis burung, 5 jenis primata, dan 8 jenis mamalia darat Habitat beberapa satwa langka dan dilindungi, seperti ungko, siamang, dan macan dahan Terdapat danau tempat minum beberapa jenis mamalia, seperti rusa (Cervus unicolor Kerr) dan kambing hutan
Indikator ekologis zona pemanfaatan**
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
(3) Bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting
(N.sumatraensis) Beragam jenis tumbuhan khas dataran tinggi yang unik dan menarik. Habitat beragam jenis burung srigunting (Dicrurus spp.). Lintasan rusa (C.unicolor) dan macan dahan (N.nebulosa)
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006) 4.
Zona Rehabilitasi
Kriteria zona rehabilitsi belum diatur dalam PP. No. 68 Tahun 1998. Pada prinsipnya zona ini ditujukan untuk memulihkan kondisi kawasan yang telah terdegradasi atau rusak. Berdasarkan hasil penelitian maka diusulkan kriteria zona rehabilitasi sebagai berikut: a. Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik dan atau biotik; b. Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona rehabilitasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.10. Tabel 4.10. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh Usulan kriteria (1) Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik dan atau biotik; (2) Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia
Keterangan :
Usulan Indikator Penutupan lahan tidak rapat Terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan (exotic) Penurunan potensi aliran sungai Degradasi tanah
Hasil pada Lokasi Pengamatan - Vegetasi ada yang rapat dan ada yang tidak rapat, berupa semak - Terdapat jenis tanaman bukan asli kawasan TNBT
(5) Lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH, jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang, dll
- Bekas jalur transportasi HPH, areal bekas pertambangan batu granit, areal bekas tebangan HPH, areal bekas perladangan masyarakat yang penutupan vegetasinya kurang
(1) (2) (3) (4)
= Usulan
Indikator yang mengindikasikan kondisi seperti yang tersebut pada kriteria yang diusulkan adalah penutupan lahan tidak rapat, terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan (exotic), penurunan potensi aliran sungai dan degradasi tanah. Kondisi lahan dapat berupa lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH, jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang. Untuk menetapkan zona rehabilitasi tidak semua indikator harus ditemui di lapangan. Apabila salah satu
Sintesis 2010-2014
| 45
indikator tersebut ditemukan dan diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih buruk, maka suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Tindakan pemulihan dan revegetasi yang dilakukan pada zona rehabilitasi dapat saja berbeda-beda untuk setiap lokasi, tergantung pada tujuan pemulihan kawasannya. Zona rehabilitasi dapat ditujukan sebagai zona inti, rimba atau zona pemanfaatan. Kawasan yang termasuk zona rehabilitasi dapat berubah setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahannya. Dengan demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga dapat saja tidak ditetapkan secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan penafsiran citra landsat secara berkala, misalnya tiga tahun sekali, untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Tabel 4.11) Tabel 4.11. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung Kriteria 1. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia;
Indikator Kawasan yang terdegradasi akibat bekas areal terpapar bencana dan atau bekas aktivitas masyarakat
2. Adanya invasif spesies yang mengganggu jenis atau spesies asli dalam kawasan Rec : andanya invasif spesies (spesies asing yang menganggu spesies asli kawasan) 3. Pemulihan kawasan sekurangkurangnya memerlukan waktu 5(lima)tahun.
Terdapat jenis flora dan atau fauna yang infasif
Pengukur Areal bekas terpapar bencana dan atau aktivitas masyarakat Kawasan merupakan lahan kritis Kualitas tanah rendah Strata tidak lengkap efek tepi Daftar flora dan fauna asing dan atau infasif
Kerusakan vegetasi minimal 5 % dari luas setiap zona Kawasan memiliki kualitas tanah rendah
Luas Areal yang terdeforestrasi dan atau terdegradasi di setiap zona sifat fisik, biologi, dan kimia tanah kandungan BO
Penyusunan Kriteria dan indikator pada zona rehabilitasi telah menghasilkan 3 kriteria dan 4 indikator.Penyusunan kriteria dan indicator ini terutama dilakukan berdasarkan areal yang direhabilitasi merupakan areal bekas terpapar bencana atau aktivitas masyarakat, areal yang mengalami invasi. Luasan minimal yang bisa direhabilitasi adalah lima persen dari zona yang ada.
Sintesis 2010-2014
| 46
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi, diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi (4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong rendah (2,546) (Tabel 4.13). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman budidaya. 5.
Zona Tradisional
Dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal 21 Juli 1998, zona pemanfaatan tradisional ditujukan untuk mempertahankan hubungan tradisional dan adanya ketergantungan tradisional terhadap potensi sumber daya alam taman nasional. Sementara PP No. 68 Tahun 1998 tidak secara khusus mengatur mengenai zona pemanfaatan tradisional. Berdasarkan data potensi, maka usulan kriteria pemanfaatan tradisional untuk TNBT adalah sebagai berikut: a. Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional; b. Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional; c. Memiliki potensi sumberdaya alam yang mendukung kehidupan masyarakat lokal; d. Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya alam. Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona pemanfaatan tradisional sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.12. Tabel 4.12. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT Usulan kriteria (1) Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional (2) Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional
Usulan Indikator
(1)Suku asli dan atau pendatang
Hasil pada Lokasi Pengamatan
- Suku Talang Mamak, Anak dalam
Sintesis 2010-2014
| 47
(3) Memiliki potensi sumberdaya alam yang mendukung kehidupan masyarakat local
(4) Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya alam
Keterangan:
(2) Potensi biotik (HHBK), kayu dan satwa sedang tinggi (3) Topografi datar-landai (4) Kelerengan 0-8% dan atau 8-15% (5) Tanah lempung, pasir, liat (6) Vegetasi umum bukan hutan primer (7) Pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan rendah-sedang (8) Pengetahuan tata batas sedang-tinggi (9) Interaksi dan ancaman rendah (10) Kepentingan untuk mengakomodir keberadaan suku asli dan masyarakat lokal
- Buah-buahan, madu, petai, jerenang, kayu sialang, murai, rangkong, simpai, beruk, babi, rusa - Tanah lempung, pasir, liat, batuan - Hutan lindung dan hutan produksi terbatas (hutan primer dan sekunder) - Sedang - tinggi, berupa kepemilikan hutan, ladang, kebun dan sawah - Rendah; 12%-46,3% - Sedang
= Usulan
Zona pemanfaatan tradisional dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kawasan penyangga. Zona ini ditujukan untuk mengurangi dampak pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia terhadap taman nasional. Zona pemanfaatan tradisional secara spesifik berada di dalam kawasan taman nasional, apabila kawasan penyangga ini berada di luar taman nasional maka akan berfungsi sebagai daerah penyangga. Oleh sebab itu kriteria yang pertama mengenai letak, akan membedakan antara zona pemanfaatan tradisional dengan daerah penyangga. Untuk TNBT adanya zona pemanfaatan tradisional juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku-suku asli dan pendatang yang telah lama mendiami kawasan sebelum dibentuknya taman nasional seperti: suku asli Talang Mamak, Anak Dalam dan Melayu Tua serta suku pendatang seperti: Batak, Jawa dan Minang. Kriteria selanjutnya adalah ketersediaan sumberdaya alam yang akan mendukung kehidupan masyarakat. Indikator yang mendukung kriteria tersebut adalah potensi biotik (HHBK), kayu dan satwa yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Potensi HHBK lebih diutamakan dibanding potensi kayu dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan kayu secara berlebihan oleh masyarakat. Untuk TNBT, jerenang (Daemonorops draco) merupakan tanaman HHBK yang telah dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh masyarakat.
Sintesis 2010-2014
| 48
Penetapan indikator-indikator seperti; topografi yang datar dan atau landai, kelerengan 0-8% dan atau 8-15%, sifat fisik tanah (lempung, pasir, dan liat) serta vegetasi umum selain hutan primer, bertujuan agar zona pemanfaatan tradisional bukan merupakan kawasan yang rawan secara ekologis melainkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang mendukung kehidupan masyarakat. Sementara itu indikatorindikator pemanfaatan, pengetahuan, interaksi dan kepentingan, ditetapkan untuk mengindikasikan kondisi masyarakat yang diinginkan dalam upaya mencegah timbulnya pengaruh negatif secara fisik dan ekologis terhadap potensi sumberdaya alam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan dan interaksi terhadap sumberdaya alam sedang, dan sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, seperti menangkap ikan dengan memancing dan melakukan seleksi dalam penebangan pohon. Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional di TNBT sangat strategis dan perlu mendapat perhatian karena keberadaan suku-suku asli di kawasan tersebut. Sebagian besar mereka mendiami kawasan sempadan sungai, untuk itu perlu pengawasan terhadap pemanfaatan lahan yang cenderung meningkat dan pengawasan terhadap kelestarian kawasan sempadan sungai. Berdasarkan penafsiran citra landsat tahun 2003, diketahui bahwa penutupan lahan pada kawasan zona pemanfaatan tradisional sebagian besar berupa semak. Kondisi ini perlu mendapat perhatian mengingat kecenderungan perubahan lahan tersebut. Untuk itu perlu sosialiasi yang lebih intensif kepada masyarakat lokal mengenai batas kawasannya dan penggunaan lahan yang lebih baik. Disamping itu untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dalam kawasan taman nasional, perlu peningkatan keragaman dan kuantitas jenis-jenis HHBK seperti madu, tanaman obat, rotan dan lain-lain. Pengelolaan zona tradisional di TN Gn Halimun Salak, (Gambar 4.1) dilakukan dengan adanya kegiatan masyarakat memanfaatkan HHBK berupa perkebunan rakyat yang telah ada sebelum penetapan taman nasional seperti karet dan hutan tanaman damar dan pinus serta hasil hutan lainnya yaitu bambu, madu, tumbuhan obat-obatan, buah-buahan hutan (saninten) dan rotan (umbut dan batangnya).
Sintesis 2010-2014
| 49
Gambar 4.1. Lokasi potensi HHBK di TNGHS Pemanfaatan HHBK berupa getah damar dan pinus dilakukan masyarakat bekerjasama dengan YPPS (Yayasan Pemerhati Pengembangan Sukabumi) diketahui oleh polresta dan kepada desa serta di monitor oleh TNGHS. Hasil getah damar dalam 1 tahun telah menghasilkan ± 1 ton, dibeli dari masyarakat dengan harga Rp. 3.500,- - 4.000,-/kilogram. Di Wilayah Kawah Ratu, Sukabumi (Gambar 4.2) meliputi Parakan Salak, Tenjo laya, Manglid, dan Cidahu tergabung dalam Kelompok Tani Mandiri terdapat 8 kelompok dengan anggota 31 orang dengan tambahan pendapatan Rp. 500.000,- Rp. 900.000,-/ bulan. Sedangkan hasil getah pinus yang terdapat di sekitar Seksi Wilayah Bogor meliputi Gn Bodas, Gn Buthak, dan GN Bunder telah mengahasilkan 12 ton- 18 ton dengan harga Rp. 2.500,/kilogram. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian di Ds Purwabakti, Kabupaten Bogor, masyarakat yang memiliki ketrampilan masih terbatas dalam meneres getah pinus hanya mendapatkan hasil 56 kg/orang/bulan dan tambahan pendapatan sekitar Rp. 80.000,- - Rp. 150.000,- per bulan (Adelina dan Sawitri, 2013a). Dengan demikian, hasil yang begitu banyak dalam satu tahun dari getah pinus kemungkinan dilakukan oleh pendatang yang telah memiliki ketrampilan dalam kegiatan ini, yang bukan merupakan masyarakat lokal. Sehingga tujuan memberdayakan masyarakat sekitar untuk meningkatkan pendapatan, berkurangnya tingkat ketergantungan masyarakart dan intervensi masyarakat terhadap kawasan tidak tercapai.
Sintesis 2010-2014
| 50
Gambar 4.2. Tanaman damar di TNGHS Perbandingan porsi zonasi taman nasional di Cagar Biosfer sangat berbeda antara TNS dan TNGGP. Hal ini disebabkan perbedaan luas, perbedaan kerapatan penduduk dan budaya masyarakat daerah penyangga serta tingkat ekonomi dan ketersediaan lahan garapan.Perbedaan ini terlihat dari porsi zonasi penting sebagaimana Tabel 4.13. Tabel 4.13. Porsi zonasi utama dalam taman nasional No. 1. 2. 3. 4. 5.
Zonasi utama Zona inti Zona rimba Zona pemanfaatan tradisional Zona pemanfaatan Zona kampung
TNGGP ( Luas: 22.851,03 ha) 42 % 31 % 1,3 % 5,8 % -
TNS (Luas: 192.655 ha) 24,2 % 52,8 % 23,1 %
Hasil kajian lapangan pada zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus, terdapat beberapa kondisi yang masih perlu dipertimbangkan dalam penetapan ketiga zonasi tersebut. Hal ini terutama menyangkut ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan. Untuk mengakomodir kepentingan dan meredam konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat sekitar maka evaluasi implementasi zonasi dilakukan lebih mendalam terutama terhadap porsi zona pemanfaatandi zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus. Pengelolaan zona tradisional di TNGGP melibatkan masyarakat sekitar kawasan ex Perum Perhutani dengan vegetasi utama adalah Pinus (Pinus merkusii) dan Damar (Agathis lorantifolia) dengan memanfaatkan bahan makanan, obat-obatan, bahan baku kerajinan atau Hasil Hutan Non Kayu (HHBK) lainnya. Kondisi beberapa kawasan hutan di zona tradisional, sebagai parameter penetapannya dan sebagai pembanding bagi penetapannya di wilayah lain (Tabel 4.14).
Sintesis 2010-2014
| 51
Tabel 4.14. Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango No.
Parameter
1.
Lokasi Luasan Kelerengan Kondisi tanaman Jenis tanaman Diameter rata-rata Tinggi rata-rata Jarak tanam Kerapatan Keragaman Satwaliar Mamalia
2.
3.
4.
Resort Nagrak
Cimungkat`
Bodogol
25-30 ha 10-30%
20 ha 5-35%
10 ha 5-10%
Agathis 40-50 cm 18-25 m 5 mx5m 400 pohon
Agathis 40-100 cm 20-25 m 5 m x 10 m 160 pohon/ha
Agathis 60-200 cm 35-40 m 2 mx3m 600 pohon/ha
macan tutul, mencek, macan dahan, musang, sigung, babi hutan
monyet ekor panjang, owa jawa, babi hutan, macan tutul, mencek, macan kumbang
Owa jawa, lutung, monyet ekor panjang, babi hutan , trenggiling
Reptilia
Katak bertanduk
-
-
Burung
elang jawa, puyuh gonggong, raja udang, pipit, kores jenggot, kutilang, toed, cacing, haur, sikatan dada merah, sepah gunung, tohtor, tulung tumpuk
kutilang, kapinis gunung,
Elang jawa, ayam hutan, br. Tikus, maninting, walik
Kegiatan masyarakat
Wisata sepeda gunung atau motor road
Penanaman palawija dibawah tegakan dan Penyadapan getah damar
Penyadapan getah damar
Di beberapa lokasi zona tradisional terdapat aktifitas masyarakat dalam bentuk pemanfaatan HHBK seperti penyadapan getah walaupun saat ini dilakukan secara illegal, hal ini terkait dengan mata pencaharian, keahlian dan kepemilikan lahan. Tetapi di beberapa lokasi walaupun vegetasi damar dapat disadap getahnya, tetapi masyarakat tidak melakukannya karena tidak memiliki ketrampilan menyadap dan lahan garapan pertaniannya mencukupi seperti yang terjadi di Blok Los Beca, Cimungkat (Sawitri dan Bismark, 2013).
Sintesis 2010-2014
| 52
6.
Zona khusus
Penyusunan kriteria dan indikator pada zona khusus telah menghasilkan 3 kriteria dan 5 indikator (Tabel 4.15). Penyusunan kriteria dan indikator zona khusus berdasarkan Permenhut 56 tahun 2006 bertujuan untuk mengakomodir keberadaan sekelompok masyarakat yang telah ada di dalam kawasan taman nasional sebelum areal tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Mulyana et al. (2010) menyatakan bahwa zona khusus merupakan bagian dari taman nasional yang mengakomodasi kepentingan masyarakat, sehingga merupakan bagian dari kawasan yang digarap masyarakat yang berbasis konservasi. Kriteria dan indikator zona khusus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, lebih menekankan pada aspek keberadaan areal zona khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari taman nasional, selain aspek masyarakat lokal yang bermukim pada tempat tersebut. Yang dimaksud dengan masyarakat lokal disini adalah masyarakat lokal tersebut harus memiliki identitas resmi yang menyatakan bahwa mereka benar-benar tinggal, bermukim atau beraktivitas sehari-hari atau mengelola lahan di dalam kawasan TN Babul (di dalam areal zona khusus TN Babul) tersebut. Selain itu, karena zona khusus merupakan bagian dari kawasan taman nasional, maka masyarakat lokal tersebut harus bersedia mematuhi aturan yang dibuat dan disepakati bersama dengan pihak taman nasional. Dalam hal ini, pihak taman nasional harus berperan aktif untuk menyusun dan menggagas kesepakatan bersama yang menjadi aturan bagi zona khusus. Aturan yang dibuat diharapkan benar-benar sesuai dengan kondisi spesifik masyarakat yang bemukim di zona khusus, dibuat secara bersama sehingga dapat benar-benar diterapkan, dipatuhi dan memiliki kekuatan hukum yang baik. Tabel 4.15. Kriteria dan indikator zona khusus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung No. 1.
Kriteria Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai TN
Indikator
Pengukur
Terdapat sekelompok masyarakat yang tinggal, beraktivitas sehari-hari atau mengelola lahan di zona khusus serta memiliki identitas (KTP/KK) yang sesuai dengan wilayah administrasi yang dia tempati serta bersedia mematuhi aturan zona khusus Tersedianya sarana penunjang kehidupan berupa rumah atau jalan
Data SK penunjukan wilayah administratif yang bersangkutan Data kepemilikan KK dan KTP Adanya aturan yang telah disepakati oleh masyarakat dan pihak TN. (kesepakatan yang telah dibuat tidak boleh melanggar peraturan perundangan diatasnya) Keberadaan fisik sarana penunjang kehidupan
Sintesis 2010-2014
| 53
2.
3.
Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai TN Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti
atau tempat ibadah atau sarana pendidikan Terdapat dokumen pendukung terkait pembangunan sarana dan prasarana Terdapat zona lain yang memisahkan zona khusus dengan zona inti Terdapat dan terpeliharanya batas zona khusus dengan zona yang lain
Dokumen verifikasi keberadaan sarana dan prasarana
Terdapat peta zonasi yang telah disahkan Terdapat batas fungsi yang sudah di tetapkan pada masing-masing zona
Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi dan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, dengan tata guna lahan diarahkan penggunaannya sebagai tempat tinggal, interaksi sosial dan sistem pewarisan tradisi serta pelestarian tumbuhan dan satwa berguna dengan kondisi lanskap kampung, dusun atau desa (Koesmaryandi et al., 2012) Kriteria zona khusus menurut Arrayun (2010) adalah sebagai berikut: 1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional; 2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional; 3. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi perlindungan dan pengamanan; pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat dan; rehabilitasi; monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah. Prinsip pengelolaan usulan zona khusus TNK yang diajukan oleh Moelyana et. al (2010) terkait dengan keberadaan masyarakat diantaranya ijin memanfaatkan dan hak mengelola kawasan secara ramah lingkungan namun tidak mempunyai hak memiliki, melalui peraturan yang mengikat berdasarkan kriteria yang terkait tentang kriteria lingkungan (kesehatan ekosistem), ekonomi (tingkat penghidupan yang layak), sosial (kesetaraan antar kelompok), budaya (keutuhan dan identitas) serta politik (proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan). Sedangkan pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai (2010)sebagai berikut:
Sintesis 2010-2014
| 54
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kawasan TN Kutai Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk ditata batas pengamanan Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam zona khusus Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab kepada Balai TN Kutai Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan areal lindung Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus
B. EVALUASI ZONASI TAMAN NASIONAL Sebagian besar area peruntukan zonasi di TNBG yang disusun Balai KSDA Sumut (2006) merujuk indikator di atas sudah sesuai. Beberapa kawasan yang harus di revisi diantaranya adalah hutan terdegradasi dapat dijadikan zona rehabilitasi dan area menuju puncak sorek merapi dapat dijadikan zona pemanfaatan wisata. Kedua area tersebut sebelumnya termasuk zona rimba. Begitu juga bekas area budidaya masyarakat di sekitar enclave Batahan dapat dijadikan zona pemanfaatan tradisional yang sebelumnya termasuk zona inti (Kuswanda, 2014). Faktor internal dan ekternal dalam pengelolaan TNBG, berdasarkan hasil analisis SWOT dan AHP diperoleh informasi bahwa faktor kekuatan (internal) untuk mengembangkan pengelolaan TNBG berdasarkan prioritasnya, yaitu : 1) adanya legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan sarpras, dengan bobot sebesar 40,3%, artinya faktor tersebut dinilai responden sebanyak 40,3% merupakan potensi kekuatan dalam pengeloaan TNBG; 2) kondisi ekosistem dan kerapatan vegetasi yang relatif utuh, terutama zona inti dan rimba (27,1%); 3) potensi keragaman satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi (20,9%) dan 4) potensi IPTEK, jasa lingkungan dan ekowisata yang tinggi (11,7%). Faktor ancamannya (eksternal) yaitu : 1) penebangan liar dan degradasi ekosistem, terutama di zona pemanfaatan dan rimba, dengan bobot 39,9%; 2) pembukaan dan konflik penggunaan lahan (31,7%); 3) kepentingan egosektoral dan tumpang tindih kebijakan antar lembaga (14,9%) dan 4) perburuan satwa dan pengambilan HHBK yang masih tinggi (13,5%). Hasil analisis AHP menunjukan bahwa strategi untuk mengoptimalkan faktor kekuatan adalah strategi penguatan kelembagaan dan SDM menjadi prioritas untuk mengembangkan faktor legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan pengembangan sarana dan prasarana, dengan bobot 61,8%; strategi menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi menjadi prioritas untuk mengembangkan
Sintesis 2010-2014
| 55
potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi (45,9%); dan strategi pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat secara berkelanjutan menjadi prioritas untuk mengembangkan faktor kondisi ekosistem dan vegetasi yang relatif utuh dan potensi IPTEK, jasling, dan ekowisata yang tinggi (34,9% dan 36,6%). Strategi meminimalisasi faktor ancaman adalah pengamanan kawasan dan penegakan hukum secara tegas menjadi prioritas dalam meminimalisasi ancaman penebangan liar dan degradasi ekosistem serta pembukaan dan konflik penggunaan lahan (bobot 34,7% dan 27,0%); strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi alternatif untuk meminimalisasi berkembangnya perburuan satwa dan pengambilan HHBK (34,8%); meningkatkan koordinasi dan kerjasama program dengan stakeholders untuk mengurangi kepentingan egosektoral dan tumpang tindih kebijakan antar lembaga (29,6%). Strategi pemulihan ekosistem yang terdegradasi dinilai responden sebagai strategi lanjutan setelah stretegi di atas dapat dilaksanakan. 1.
Zona Inti
Kriteria dan indikator yang digunakan dalam menetapkan kawasan sebagai zona inti adalah habitat maupun daerah jelajah satwa serta ekosistem hutan primer yang memiliki potensi satwa endemik, dilindungi dan migrasi serta tumbuhan langka dan dilindungi. Permasalahan yang terjadi di dalam zona inti adalah kawasan pasca tambang PT Antam di Cikidang, seluas 12 ha yang telah diusahakan untuk direhabilitasi, tetapi mengalami kegagalan. Rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh TNGHS untuk menanggulangi kegagalan ini diantaranya kegiatan SPORC dalam bentuk latihan bersama dan Densus tahun 2013. Rehabilitasi yang telah dilakukan sebagian besar mengalami kendala karena lokasi penanaman merupakan bekas tambang bukaan sehingga bibit yang ditanam tidak dapat tumbuh dengan baik (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Kawasan TN Gn Halimun Salak, pasca tambang PT Antam, Cikidang Kawasan yang ditetapkan sebagai zona rimba merupakan penyangga dari zona inti, dan merupakan hutan sekunder dan merupakan habitat atau daerah jelajah satwaliar. Kondisi di lapangan yang perlu diwaspadai adalah zona ini berbatasan
Sintesis 2010-2014
| 56
langsung dengan enclave seperti Perkebunan teh Nirmala, sehingga sosialisasi tentang keberadaan satwaliar terutama jenis dilindungi perlu dilakukan kepada masyarakat di sekitar perkebunan. Sebagai daerah ekotone yang dapat berfungsi sebagai koridor satwaliar dalam mencari makanan perkebunan teh merupakan tempat mencari pakan terutama jenis mamalia kecil seperti trenggiling yang mencari pakan berupa semut dan tidur di epifit paku yang menempel pada pohon teh. 2.
Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan yang merupakan lokasi dengan potensi obyek dan daya tarik wisata seperti camping ground dikelola secara kolaboratif antara masyarakat dengan TNGHS, dengan kewajiban membangun fasilitas wisata dan kebersihan. Kondisi yang demikian memberikan dampak langsung kepada masyarakat yang berperan aktif dalam pengelolaan areal wisata. Permasalahan yang terkait dengan pengembangan wisata diantaranya: Penetapan zona pemanfaatan untuk wisata hendaknya disosialisasikan kepada masyarakat pengelola karena kawasan ini berbatasan langsung dengan zona tradisional masyarakat yang memanfaatkan HHBK berupa getah damar atau pinus. Kegiatan pengambilan getah dapat dipasarkan kepada pengunjung sebagai atraksi pemanfaatan HHBK di kawasan Pengembangan kegiatan wisata hendaknya dilakukan dalam bentuk paket wisata yang memberikan muatan pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Zona pemanfaatan di TN Kutai yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam atau ekowisata (Sawitri dan Karlina, 2013) diantaranya adalah: a.
Prevab
Daya tarik keberadaan satwaliar orangutan dan penyusuran traking di hutan Dipterocarpaceae. Di kawasan ini pengunjung juga dapat melakukan penanaman pohon lokal seperti ulin, kapur, kecapi hutan, langsat hutan, kenanga, arabendang/buah bolo, sangkuang, meranti dan klengkeng hutan yang merupakan bibit tanaman berasal dari hutan. Restorasi hutan bekas kebakaran yang dilakukan oleh WWF Sundaland bioregion Balikpapan dengan TN Kutai, tahun 2002-2003, seluas 200 ha menanam pohon-pohon lokal, saat ini tanaman tersebut telah memiliki ukuran tinggi sekitar 8-12m dan diamater 15-20 cm. Penanaman juga dilakukan oleh pengunjung yang berasal dari mancanegara, tahun 2011 seperti ulin ( tinggi 1-2 m, diameter 2-3 cm), kapur (tinggi 0,5-1 m dan diameter 1-1,5 m) serta kecapi (tinggi 0,75 – 1,5 m dan diameter 1,5 -2 cm). Universitas Mulawarman, melakukan penanaman kapur, tahun 2012 berukuran tinggi 0, 50 - 1 m, peserta workshop orangutan melalukan penaman meranti dan klengkeng hutan tahun 2013. Disamping itu dijumpai tanaman buah-buahan yang juga dimanfaatkan orangutan sebagai sumber pakan dan tempat tidur/bersarang seperti rambutan, mangga, jeruk, matoa,
Sintesis 2010-2014
| 57
sawo, duren dan gandaria. Pengelolaan zona pemanfaatan dilakukan bersama dengan masyarakat dan PT KPC sekitar yang diwakili oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sejak 27 Maret 2012 di sekitar Prevab, dalam bentuk unit usaha Ekokabo Jaya berupa perahu wisata, pemandu wisata, katering, homestay dan suvenir daur ulang barang bekas plastik, kardus dan koran. Masyarakat Desa Kabo juga melakukan pemanfaatan lahan di TN Kutai dengan penanaman tanaman palawija. Dampak negatif perambahan kawasan adalah banjir dan abrasi sempadan sungai Sangatta yang seluas 3-5 m dikiri-kanan sungai. Komitmen keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan di zona pemanfaatan adalah perubahan persepsi terhadap keberadaan TN Kutai dan penanaman di zona rehabilitasi. Kawasan Sempadan Sungai Sangatta merupakan prioritas restorasi karena merupakan habitat satwa liar seperti orangutan, buaya muara dan biota perairan, sumber air minum masyarakat dan areal transportasi sungai.
Gambar 4.4. Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian S. Sangatta b.
Sangkima
Sangkima merupakan perwakilan hutan hujan dataran rendah dengan kemudahan aksesibilatas, sehingga kunjungan pengunjung dapat dilakukan setiap saat. Lokasi yang sangat strategis dapat dimanfaatkan untuk menarik kunjungan pengunjung dan memperkenalkan keanekaragaman hayati Taman Nasional Kutai seperti ulin yang berumur ribuan tahun (Gambar 4.5). Fasilitas yang terdapat di kawasan ini tidak terawat, hal ini dapat dilihat adanya vandalisme di Shelter Shorea. Fasilitas banyak yang rusak terutama jembatan sling disamping itu dari segi keamanan juga perlu diperhatikan. Keperluan fasilitas lainnya berupa visitor centre, toilet, papan petunjuk arah jalan dan point of interest, papan kesan dan pesan serta beberapa shelter untuk beristirahat karena telah rusak (Gambar 4.6). Pembangunan trak jalan setapak dari kayu ulin dibagi menjadi beberapa bagian yang ditujukan untuk pengunjung anak-anak, remaja maupun dewasa. Perbaikan jalan setapak diperlukan untuk memenuhi kenyamanan dan keamanan pengunjung dengan memberikan tempat istirahat ditengah perjalanan terutama untuk jalan yang menanjak ataupun menurun. Pengamatan pemandangan maupun burung dapat
Sintesis 2010-2014
| 58
dibuatkan lokasi yang terdapat di tebing bukit sekalian merupakan tempat istirahat . Papan informasi tentang potensi tanaman perlu diperbaharui dan dilengkapi dengan gambar buah dan daun. Pos karcis dibuat menarik dan jelas agar pengunjung dapat langsung mengenali.
Gambar 4.5. Pohon ulin yang berumur ribuan tahun, Sangkima
Gambar 4.6. Fasilitas yang rusak di Sangkima c.
Teluk Kaba
Masyarakat Desa Sangkima Lama, Kecamatan Sangattta Selatan, Kabupaten Kutai Timur mendirikan Koperasi Jasa Pariwisata Teluk Kaba beranggotakan 10 orang yang terdiri dari nelayan dengan pekerjaan utama sebagai petani rumput laut dan mengambil ikan disamping sebagai petani dengan lahan garapan sekitar 4-5 ha. Kegiatan yang disodorkan masyarakat adalah pariwisata pantai dan naik perahu, kuliner ikan laut, hasil olahan rumput laut. Masyarakat mengaharpkan bantuan dari Pemda daerah dan TNK seperti pembangunan jalan masuk, penataan lokasi wisata dan permainan anak, shelter tempat istirahat, homestay serta pelatihan pengelolaan wisata dan pengolahan hasil rumput laut dan ikan
Sintesis 2010-2014
| 59
d.
Telaga Bening
Telaga bening merupakan lokasi seluas 300 ha yang saat ini sudah tidak dimanfaatkan oleh Pemda sebagai sumber air minum daerah dalam bentuk PDAM (Gambar 4.7). Sebagai danau air tawar yang terhubung dengan laut oleh aliran Sungai Teluk Pandan ke laut yang dikelilingi oleh kebun kelapa sawit dan karet, kawasan ini telah dimanfaatkan oleh TNK sebagai areal pelepasliaran buaya muara yang ditangkap dari daerah sekitar Bontang dan Sangatta sebanyak 27 ekor. Pemanfaatan buaya ini dapat dilakukan melalui atraksi pemberian pakan dan peningkatan pengetahuan masyarakat akan konservasi buaya muara.
Gambar 4.7. Telaga bening e.
Saleba
Saleba adalah areal perkemahan yang dikembangkan oleh TN Kutai bersama dengan stakeholder maupun masyarakat yang tergabung dalam kemitraan Bontang Mangrove. Kawasan yang sebelumnya dikelola masyarakat, kemudian dikembalikan ke fungsinya melalui aksi penanaman dalam rangka mewujudkan penanaman 1 milyar pohon, jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang dibudidayakan diantaranya meranti, kapur, hopea, puspa, Dryobalanops sp., Shorea balangeran, gaharu, nyatoh serta durian rambutan dan mangga (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder
Sintesis 2010-2014
| 60
3.
Zona Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLMPPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya terwujud. Beberapa permasalahan yang dijumpai di zona rehabilitasi TN Gn Halimun diantaranya: Zona rehabilitasi yang diplotkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan seperti yang terdapat di Ds Pangradin, Jasinga termasuk Resort Gunung Telaga, Seksi Wilayah Bogor, dimana di kawasan ini ditemukan perkebunan karet rakyat dan buah-buahan yang telah dikelola dan diambil hasilnya oleh masyarakat (Gambar 4.9). Kondisi masyarakat Kp Pangradin II, Ds Pangradin sebanyak 150 KK, memiliki garapan (0,5 -1 ha) di dalam kawasan yang berjarak 1 km dari batas hutan. Lahan tersebut ditanami karet yang menghasilkan 10-20 kg getah /hari, seminggu 3 kali pengambilan dengan harga Rp. 4.500,-/kilogram, hasil dari getah karet Rp. 540.000,- - Rp. 1.080.000,-/bulan. Kebun buah-buahan di dalam kawasan (0,75 – 3 ha) dengan jenis pohon durian, manggis, cempedak, pisang dan rambutan menghasilkan Rp. 300.000,- - Rp. 500.000,- / bulan
Gambar 4.9. Kp Pangradin II dan kebun karet di TNGHS
Jenis tanaman restorasi dalam suatu hamparan di tanami dengan tumbuhan sejenis atau 3 jenis yang umum ditemukan yaitu rasamala, puspa dan ki sireum (Gambar 4.10).
Sintesis 2010-2014
| 61
Gambar 4.10. Jenis tanaman restorasi
Kegiatan adopsi pohon dengan pohon prestasi perlu ditinjau kembali keberhasilan dan manajemennya, diperlukan suatu sistem yang lebih sederhana. Peninjauan ke lapangan (ground chek) diperlukan untuk mengetahui keadaan dan potensi tumbuhan dengan inventarisasi vegetasi untuk menentukan sistem rehabilitasi dan jenis tanaman
4.
Zona Khusus
Usulan TN Kutai tahun 2013 seluas 198.629 ha dibagi ke dalam 5 zona yaitu zona inti (66.585 ha, 33,52 %), zona rimba (65.678 ha,33,07%), zona pemanfaatan (2.193 ha, 1,1%), zona rehabilitasi (45.341 ha, 22,83%) dan zona khusus (18.831 ha, 9,48%) (Balai Taman Nasional Kutai, 2013). Zona inti dan zona rimba memiliki luasan yang cukup sebagai habitat satwaliar dan tumbuhan serta penahan intervensi pengaruh dari luar. Sedangkan zona rehabilitasi merupakan kawasan yang telah mengalami degradasi dan luasannya sebagian tumpang tindih dengan zona khusus yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kutai Timur seluas 23.172 ha. Hasil kajian menyatakan bahwa pembagian jalur di usulan zona khusus TN Kutai, sebagai berikut, Tabel 4.16 Tabel 4.16. Pembagian jalur di usulan zona khusus Taman Nasional Kutai Zonasi Jalur Budidaya
Lebar Potensi Kiri-kanan Komponen jalan 250 m Areal Budidaya 1. Hortikultur dan pemukiman, 2. Perikanan fasilitas umum 3. Sayuran 4. Buah-buahan 5. Peternakan 6. Pohon kayu
Sintesis 2010-2014
| 62
Manfaat Ekonomi 1. Pendapatan masyarakat 2. Sumber gizi Pendapatan daerah
Zonasi Jalur interaksi
Jalur hijau
Lebar Potensi Kiri-kanan Komponen jalan 251-750 m Kebun rakyat , 1. Habitat satwa Hutan produksi, habitat) hutan rakyat , 2. Buah-buahan perkebunan 3. Budidaya pohon 4. Agrowisata 5. Kebun Herbal 6. Penangkaran anggrek, rotan 7. Kelapa sawit, karet, gaharu >751m Hutan alam ), 1. Habitat satwa sungai & anak 2. Sumber air sungai , mata air 3. Wisata alam
Manfaat Ekonomi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pendapatan masyarakat Sumber gizi Industri kayu Industri pertanian Industri tanaman obat Budidaya tanaman hias Jasa lingkungan Wisata budaya
1. Sumber pendapatan 2. Jasa lingkngan: air 3. Wisatawan dan lapangan pekerjaan
Lokasi pemukiman atau kawasan budidaya, apabila diplotkan pada lahan di kiri kanan jalan sepanjang Bontang-Sangatta selebar 250 m, akan menempati luas 3.400 ha atau 18,06% dari usulan zona khusus seluas 18.831ha. Zona interaksi selebar 251m – 750 m yang merupakan areal pemanfaatan, hal ini berdasarkan kemampuan masyarakat dalam mengolah lahan garapan seluas dua ha sedangkan sisanya dibiarkan dalam bentuk lahan tidur, dibedakan antara persawahan; perkebunan karet, gaharu dan kelapa sawit; rumah walet dan pembuatan batu bata, akan mencakup luasan 6.800 ha atau 36,11 % dari luas usulan zona khusus. Di dalam kawasan ini dapat disisipkan kantong-kantong habitat satwa/HCVF sebagai daerah pengungsian satwaliar dengan jenis tanaman perkayuan lokal dan tanaman pakan satwaliar marga ficus (Ancrenaz, 2013). Kawasan lindung atau green belt lebih dari 751 m atau 45,83% dari usulan zona khusus diplotkan sepanjang batas antara usulan zona khusus dan zona rehabilitasi difungsikan sebagai habitat satwaliar perairan terutama buaya (Crocodylus porosus) sebanyak 27 ekor yang terdapat di Telaga Bening seluas 300 ha (Gambar 6) yang dapat dikembangkan sebagai pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata atraksi buaya. Kegiatan ini dapat melibatkan masyarakat dan mitra Kutai seperti PT Badak LNG, PT Kaltim Prima Coal, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina dalam konservasi dan membangun ekonomi alternative berbasis konservasi (Archive, 2007). Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman, monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun. Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon –
Sintesis 2010-2014
| 63
700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta menghindari kawasan yang telah bervegetasi. PT Santan yang telah melaksanakan rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama 2 bulan dengan biaya penanaman Rp. 800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan masyarakat 40 orang /desa. Jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam diantaranya ulin, meranti, kapur, medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan salam, 30 – 60 cm, dengan keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco Mandiri juga telah melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1 % ulin serta 19 % tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%, rendahnya tingkat keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti prosedur rehabilitasi yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 4.11).
Gambar 4.11. Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi dan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona khusus merupakan kawasan hutan yang telah dirambah masyarakat dan terletak disepanjang jalan Bontang- Sangatta. Pengelolaan lahan oleh masyarakat tergantung landskap dan jaraknya dari rumah. Lahan garapan yang merupakan pekarangan rumah ditanami tanaman buah-buahan seperti mangga, ceremai, jambu air, jambu biji, rambutan, durian, coklat, nangka, pepaya, jeruk, alpuket, pisang dan kemiri. Disamping pekarangan rumah adalah daerah berawa yang dijadikan daerah persawahan dengan tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Selanjutnya, kawasan yang memiliki kelerengan 5-10% atau berjarak > 0,5 km dari rumah ditanami dengan jenis tanaman perkayuan seperti sengon, jati, jabon, mahoni, gmelina dan ketapang serta tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet. Pengelolaan zona khusus yang merupakan kawasan konflik tenurial juga dijumpai
Sintesis 2010-2014
| 64
konflik satwaliar seperti buaya muara yang dijumpai di sumur penduduk Desa Teluk Pandan maupun orangutan yang masuk ke perkampungan masyarakat dan memakan hasil panen palawija. Disamping itu dampak pengelolaan masyarakat adalah terjadinya banjir karena perubahan landskap kawasan, dimana daerah yang berawa dimanfaatkan sebagai persawahan maupun ditimbun untuk perumahan (Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan perubahan landskap kawasan Dalam perkembangannya, zona khusus ini diusulkan menjadi enclave oleh pemerintah daerah. Zona khusus yang diusulkan menjadi enclave tahun 2000 ± 15.000 ha, tahun 2013 menurut zonasi TN Kutai 18.831 ha, tetapi dalam perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap wacana ini maka dilakukan wawancara dan hasilnya tercantum pada Gambar 4.13. Pendapat masyarakat dipengaruhi oleh asal-usul dan mata pencaharian masyarakat. Masyarakat bermata pencaharian pertanian intensif berupa persawahan bersedia dipindahkan dengan penggantian lokasi lahan, sedangkan masyarakat dengan pertanian ekstensif lebih memilih status kawasan adalah enclave karena indikasi kandungan batubara yang berkalori tinggi dengan nilai sumberdaya 6000 7000 sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga sekitar $ 92 milyar dollar (Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010), sehingga lahan yang berharga ini merupakan investasi untuk diperjual belikan. Masyarakat yang menetap dan mengelola lahan dalam bentuk kebun dengan usaha sampingan berjualan sembako, menginginkan status kawasan berupa zona khusus karena masyarakat ini memiliki tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya lahan yang tinggi dan persepsi terhadap konservasi yang cukup tinggi. Sedangkan masyarakat yang tidak memberikan respon adalah masyarakat pendatang yang baru dan lahan yang dikelola belum menghasilkan.
Sintesis 2010-2014
| 65
Tidak tahu 12%
Enclave 45%
Bersedia pindah, 16%
Zona khusus, 27%
Gambar 4.13. Persepsi masyarakat terhadap usulan status zona khusus Pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai (2013)sebagai berikut: 1) Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kaawsan TN Kutai 2) Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk ditata batas pengamanan 3) Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk 4) Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam zona khusus 5) Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab kepada Balai TN Kutai 6) Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan areal lindung 7) Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus 8) Secara prinsip peraturan perundangan yang diacu adalah peraturan perundangan yang berlaku pada kawasan konservasi dan peraturan-peraturan lain yang disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Sintesis 2010-2014
| 66
V. DEGRADASI DAN RESTORASI Kawasan Konservasi di Indonesia yang terdiri dari Kawasan pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan luas keseluruhan seluas 27.16 juta hektar. KSA terdiri dari Cagar Alam 248 unit, Suaka Margasatwa 75 unit, Taman Nasional 50 unit, Taman Wisata Alam 118 unit, Taman Hutan Raya (Tahura) 22 unit dan Taman Buru 14 unit. Dari keseluruhan kawasan konservasi tersebut, taman nasional yang terluas (60%). Penutupan lahan di kawasan konservasi dapat dibedakan ke dalam hutan primer 11.063.000 ha, hutan sekunder 4.771.500 ha, hutan tanaman 153.000 ha dan tidak berhutan 5.245.300 ha, sedangkan dari luasan tersebut kawasan konservasi yang mengalami degradasi kawasan yaitu hutan primer 1.281,1 ha, hutan sekunder 8.132,2 ha dan hutan tanaman 221,2 ha. Degradasi kawasan tersebut salah satunya termasuk kawasan taman nasional. Taman nasional darat umumnya mengalami deforestasi dan atau degradasi akibat perambahan, perladangan, penambangan liar, penebangan liar, kebakaran hutan, pengambilan hasil hutan non kayu, perburuan satwa liar dan masuknya jenis eksotik, spesies yang bersifat invasif (Gunawan, 2012). Deforestasi dan atau degradasi yang diakibatkan oleh manusia maupun bencana alam menurunkan fungsi taman nasional yang berdampak pada sistem ekologi, hidrologi, ekonomi dan social. Untuk itu, diperlukan program pemulihan kawasan konservasi melalui rehabilitasi dan atau restorasi (pemulihan) agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan fungsi kawasan konservasi hutan sebagai penyangga kehidupan dapat terpenuhi. A. Degradasi Habitat 1.
Perambahan Hutan
Perambahan hutan adalah semua aktifitas yang terjadi di dalam kawasan hutan tanpa ijin dari representasi kelembagaan negara. Praktek aktifitas menduduki atau mengkonversi lahan pada kawasan hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan dalam rangka mengembangkan agroindustri sebagai komoditas keuntungan ekonomi. Dari aspek konservasi, perambahan hutan menurunkan daya dukung atau daya tampung lingkungan sebagai habitat satwa serta mengancam potensi sumberdaya alam. Di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau luas perambahan pada tahun 2002-2009 mencapai 28.606,08 ha atau 30% dari luas kawasan, yang diakibatkan dari perbedaan persepsi antara stakeholder dalam hal ini konsesi HPH, HTI dan masyarakat di sekitar, akses jalan koridor HPH-HTI, konversi kawasan menjadi perkebunan kelapa sawit, inkonsistensi kebijakan dengan terbitnya sertifikat perkebunan kelapa sawit dari koperasi dan dukungan dari kelembagaan local (adat/desa)(Diantoro, 2011). Perambahan di TN Kutai dilakukan oleh masyarakat local maupun pendatang dari etnis Dayak, Kutai, Bugis, Jawa dan Madura, saat ini dikelola dalam bentuk zona khusus TN Kutai 18.831 ha diminta menjadi enclave tahun 2000, seluas 15.000
Sintesis 2010-2014
| 67
ha, tahun 2013 tetapi dalam perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha. Pengelolaan zona khusus ini meliputi pemukiman; persawahan; perkebunan kelapa sawit, gaharu, karet dan buah-buahan; rumah walet dan fasilitas umum (Sawitri dan Karlina, 2013). Masyarakat lokal dengan pertanian ekstensif atau perkebunan lebih memilih status kawasan menjadi enclave karena ada indikasi terdapat kandungan batubara yang berkalori tinggi sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga sekitar $ 92 milyar dollar (Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010), sehingga lahan yang berharga ini merupakan investasi untuk diperjual belikan. 2.
Fragmentasi Kawasan
Fragmentasi kawasan adalah proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi hutan seperti pulau-pulau kecil yang terpencar (Meijaard et al., 1999). Fragmentasi habitat mewakili perubahan dari habitat yang semula utuh kemudian terpecah menjadi dua atau lebih fragmen yang lebih kecil (Franklin et al., 2000). Fragmen hutan yang tersisa biasanya langsung mencolok di tengah lingkungan yang pada dasarnya merupakan gurun-gurun ekologis, khususnya perkebunan, lahan pertanian dan lahan bera (Meijaard et al., 1999). Fragmentasi dan pengurangan habitat telah diakui secara luas sebagai penyebab utama terjadinya penurunan species di seluruh dunia (Lovejoy et.al 1986). Berkurangnya luasan dan terfragmentasinya kawasan berhutan diduga mengakibatkan penurunan populasi sampai kepunahan lokal satwaliar langka. Kondisi ini terjadi pada habitat orangutan telah mengalami fragmentasi sebagai akibat dari pembukaan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit (WWF, 2011). 3.
Jenis Eksotik
Introduksi jenis tumbuhan eksotik untuk keperluan penelitian, tanaman hias, tanaman pangan, pengendalian kebakaran, peningkatan produksi kayu di hutan tanaman memberikan dampak berupa gangguan terhadap ekosistem hutan alam. Jenis tanaman atau jenis eksotik tumbuhan digolongkan sebagai jenis invasif apabila berpotensi mengancam lingkungan atau ekosistem dan berkompetisi dengan jenis asli dan mengambil alih menjadi dominan pada lingkungannya yang baru (Wibowo et al., 2010). Beberapa jenis yang termasuk kedalam 100 jenis paling invasif didunia diantaranya Acacia mearnsii, Ardisia elliptica, Arundo donax, Cecropia peltata, Cinchona pubescens, Clidemia hirta, Euphorbia esula, Fallopian japonica, Hedychium gardneriarium, Hiptage benghalensis, Leucaena leucocephala, Ligustrum robustum, Melaleuca quiquenervia, Micornia calvescens, Mimosa pigra, Morella faya, Opuntia stricta, Pinua pinester, Prosopis glandulosa, Psidium cattleianum, Pueraria montana var lobata, Rubus ellipticua, Schinus terebinthifolius, Spartina anglica, Spathodea campanulata, Sphagneticola trilobata, Tamarix ramosissima dan Ulex europaeus (www.issg.org). Di Indonesia ditemukan jenis tumbuhan invasif yang dibedakan menurut habitatnya yaitu perairan ataupun daratan. Jenis tumbuhan invasif yang terdapat di
Sintesis 2010-2014
| 68
perairan diantaranya Eichornia crassipes (Mart.)Solms, Hydrilla verticillata (L.f)Royle, Mimosa pigra L, Pistia stratiotes L, dan Salvinia molesta D.S. Mitchell, sedangkan beberapa jenis tumbuhan invasif yang dijumpai di daratan adalah Acasia nilotica (L) Willd.ex Del, Austroeupatorium inulaefolium (Kunth) R.M. King&H.Rob., Chromolaena odorata (L.) King &H.Rob, Crystopegia grandiflora R.Br, Dicranopteris linearis (Burm.F.), Eupathorium sordisum Less, Jatropha gossypifolia L., Lantana camara L., Mikania micrantha Kunth, Melastoma affine D. Don, Mimosa diplotrica C. Wright ex Sauvelle, Panicum maximum Jacq., Passiflora ligularis A. Juss, Pennisetum polystachion (L.) Schult.), Piper aduncum L., Sida rhombifolia L., Stachitarpeta indica (l.) Vahl, Stachitarpeta jamaicensis (L.) Vahl, Themeda arguens (L.), Hack, dan Tribulus terrestris L. (Tjitrosoedirdjo, 2005). Di Taman Nasional Gn Gede Pangrango pada ketinggian 1000m dpl sampai 1500 m dpl dijumpai jenis tumbuhan invasif yaitu Passiflora ligularis yang merupakan tanaman buah yang didatangkan dari Amerika latin dan ditumbuh kembangkan di Kebun raya Cibodas yang kemudian disebarkan bijinya oleh tupai tanah ke kawasan (Sawitri dan Garsetiasih, 2011). Tumbuhan ini merambat naik ke pohon dan menutupi tajuk pohon serta menekan pertumbuhannya (Tjitrosoedirdjo, 2005). Habitat banteng di beberapa taman nasional mengalami penurunan daya dukungnya karena keberadaan jenis invasif seperti Acacia nilotica menginvasi Savanna Bekol, Talpat, keramat dan Balanan seluas 10.000 ha di TN Baluran, jenis tumbuhan Crotalaria sp. dan Sesbania sabans di Padang penggembalaan Sadengan,di TN Alas Purwo serta jenis tumbuhan Chromolaena odorata di Padang Penggembalaan Pringtali (Sawitri & Takandjandji, 2007). Vegetasi langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) telah menginvasi TN Ujung Kulon seluas 28.750 ha (Haryanto, 1999), hingga tahun 2010, vegetasi ini diperkirakan telah menginvasi habitat badak jawa sekitar 40.000 ha atau 60% dari luas kawasan dan penyebarannya terkonsentrasi di sebelah Barat Semenanjung yaitu Kalejetan, Cikeusik, Cibandawoh, Gunung Payung dan Cibunar. Disamping itu, jenis tumbuhan lainnya yang menginvasi habitat badak jawa adalah bamboo cangketreuk (Szhizostachyum zollingeri Kurz) seluas 2.400 ha (Sawitri & Setyawati, 2011). 4.
Pemanfaatan Flora Fauna
Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar taman nasional dipicu oleh ketergantungannya terhadap hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan diantaranya adalah penggunaan kayu sebagai konstruksi bangunan, perkakas rumah tangga, kapal dan kayu bakar serta hasil hutan bukan kayu. Jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TN Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara sebagai bahan bangunan 12 jenis adalah hati besi (Instia palembanica Miq.), bintangur (Callophyllum sp.), gofasa (Kleinbosvia hospital L.), binuang (Tetrameles nudiflora
Sintesis 2010-2014
| 69
R. Brown), jati putih (Gmelina arborea Roxb.), kamaiwa (Nuclea sp.), kayu bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr.), lingu (Pterocarpus indicus Willd), mologatu (Dyospyros sp.), nyatoh (Palaquium rostratum Burck.), marpala (Neonauclea calycina Merr.) dan gora bagea (Syzigium sp.); perkakas rumah tangga seperti kenari (Canarium vulgare Leenh), Matoa (Pometia pinnata Forst. F), mersawa (Syzigium sp.), wiru (Streblus elongates (Miq.) Corner), kayu telur (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) dan kolot kambing (Garuga floribunda Decne); serta kayu bakar seperti kayu sirih (Piper sp.), kerikis (Zyzyphus angustifolius Miq.), gusak (Dilenia sp.), laban (Vitex pubescens Vahl), owaha (Litsea glutinosa C.B. Rob) (Nurrani dan Tabba, 2013). Hasil hutan non kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan masyarakat, diperjual belikan sebagai komoditi ekspor atau bahan baku untuk industri. Beberapa hasil hutan non kayu yang umumnya dipungut masyarakat dari dalam kawasan konservasi diataranya getah kayu berupa damar, kopal dan jelutung, perca, kemenyan, pinus; minyak atsiri yaitu kayu putih, minyak lawang, nilam; kulit kayu sebagai bahan penyamak kulit dari pilang dan bakau, kayu manis, bahan pewarna; buah-buahan dan biji seperti tengkawang, kemiri, matoa dan asam; jenis pohon atau tanaman tertentu seperti kayu cendana, rotan, bamboo dan gaharu (Djajapertjunda, 2001). Hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan masyarakat sekitar TN Aketajawe Lolobata yang dimanfaatkan sebagai tali, kerajinan anyaman, atap, pembukus makanan, bahan makanan dan minuman, serta obat-obatan diantaranya rotan (Dracontomelon spp.), panadan (Pandanus sp.), woka (Livistonia rotindufolia (LMk), kasbi (Manifot utitillsima Phl), saguer (Arenga pinnata Merr), sagu (Metroxylon sago Rottb.), tapaya (Carica papaya L.), paku-pakuan (Pteridophyta sp.), pisang (Musa sp.), tali kuning (Arcangelsia flava (Menisp.), langsat (Lansium domesticum Corr.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), dan pala (Myristica lepidota Blume) (Nurrani et al., 2013b). Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar TN Gunung Gede Pangrango diantaranya rasamala (Altingia excelsa) dan puspa (Schima wallichii) sebagai kayu pertukangan, kaliandra (Calliandra sp.) dan bamboo (Gigantochloa spp.) sebagai kayu bakar, pakis haji (Dyplazium sp.), tanaman hias, rotan, dan konyal (Passiflora suberosa). Pemanfaatan tumbuhan dari kawasan secara illegal oleh masyarakat sekitar disebabkan rendahnya tingkat pendidikan (92,2%), tingkat pendapatan (59,9%), dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (88,2%) (Sudomo dan Siarudin, 2008). Illegal logging atau pembalakan liar berkaitan dengan aktifitas illegal yang memungut sumberdaya hutan terutama kayu (timber forest product) sebagai komoditas, kegiatan ini merupakan rangkaian yang dimulai dari penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu tidak sah atau tidak memiliki ijin otoritas
Sintesis 2010-2014
| 70
setempat. Jenis kayu yang diambil umumnya jenis kayu komersial diantaranya famili Dipterocarpaceae, bangkirai, ulin, ramin, pulai, jati, rasamala, laban, puspa, cangcarakan, sideung Illegal fishing adalah pengambilan SDA laut dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak, bahan beracun baik alami maupun buatan serta tidak memiliki ijin tangkap (TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund, 2009). Kegiatan ini merupakan suatu ancaman terhadap ekosistem dan keberadaan biota laut terutama terumbu karang. Disamping itu, biota laut yang dilindungi juga tidak terlepas dari illegal fishing dengan menggunakan alat bantu bubu, rawai dasar atau compressor. 5.
Konflik kepentingan
Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai tindakan atau arah serta sudah menyatu sejak adanya kehidupan (Mitchell et. al, 2000 dalam Alikodra, 2009). Perbedaan dan pertentangan kepentingan muncul apabila terjadi perbedaan pandangan, ideology dan harapan dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan. Konflik antara manusia dan satwaliar cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar yang dapat mengakibatkan efek detrimental terhadap upaya konservasi (Garsetiasih, 2012). Kerugian yang diakibatkan konflik diantaranya kerusakan tanaman pertanian, perkebunan atau perkayuan, pemangsaan ternak oleh satwa, korban jiwa dan kematian satwa. Konflik antara Harimau Sumatera dengan masyarakat desa maupun tenaga kerja dikarenakan adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan alam menjadi tanaman monokultur, sehingga menurunnya kwantitas, kwalitas dan daya dukung habitat; menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, kera yang bermigrasi ke tempat yang lebih baik atau mati; hilangnya tempat berlindung dan membesarkan anak serta perubahan daerah jelajah. Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu 1996 – 2004 lebih dari 152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25 orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka dan ratusan ternak milik masyarakat desa dimangsa oleh harimau (Hasiholan, 2010). Konflik antara banteng dengan masyarakat serta masyarakat dengan pihak pengelola TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo terjadi di daerah penyangga taman nasional yang berupakan areal pertanian masyarakat, kawasan hutan Perum Perhutani dan areal Perkebunan Bandealit. Kondisi ini dicirikan oleh meningkatnya perburuan serta kerusakan tanaman pertanian, perkebunan dan perkayuan yang dirusak ataupun dimakan banteng, sehingga mengakibatkan kerugian sebesar 30% sampai 50% (Garsetiasih, 2012).
Sintesis 2010-2014
| 71
Konflik antara manusia dan orangutan umumnya berupa perusakan kebun masyarakat, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri oleh orangutan. Hal ini terjadi diduga orangutan sudah semakin terdesak akibat semakin menyusutnya habitat, sehingga orangutan terpaksa memasuki wilayah perkebunan untuk memperoleh makanan (World Wildlife Fund, 2011). Kondisi ini mengidikasikan adanya masalah pemanfaatan ruang dan tata kelola kawasan konservasi (Yassir, 2012). Dengan adanya konflik ini, sangat disayangkan kemudian orangutan secara cepat dicap sebagi hama. Sebab bisa jadi masalah utamanya adalah adanya pembangunan atau konversi hutan alam yang dilakukan di habitat orangutan. Konflik kepentingan lahan yang terjadi di beberapa kawasan konservasi, seperti yang terjadi antara Balai TN Gn Halimun Salak dengan masyarakat adat Kasepuhan Sirna Resmi, disebabkan oleh perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai dan akuan hak kepemilikan dimana kondisi tata batas di lapangan tidak jelas, rendahnya apresiasi masyarakat terhadap taman nasional, ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam (Marina dan Dharmawan, 2011). 6.
Sumberdaya Genetik
Pemanfaatan keragaman hayati untuk memenuhi berbagai kebutuhan bahan makanan, obat-obatan, pakaian, kontruksi rumah maupun estetika memerlukan upaya pelestariannya. Pelestarian keragaman hayati merupakan suatu program konservasi sumberdaya genetik yaitu memepertahankan keragaman genetik dan meminimalkan proses yang dapat mengurangi keragaman tersebut (Neel et al., 2001). Aktivitas manusia di dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung mengubah keragaman jenis melalui aktivitas pembalakan, kondisi ini sangat berpengaruh kepada jenis-jenis yang kelimpahannya rendah atau terancam punah (Indrioko, 2012). Jenis yang terancam punah dikatagorikan sebagai rentan (vulnerable), terancam (endangered) dan kritis (critically endangered) menurut IUCN (1996), memerlukan waktu kepunahan 100 tahun, 20 tahun atau 5 generasi dan 10 tahun atau 3 generasi dengan kemungkinan terjadinya kepunahan sekitar 10%, 20% dan 50%. Dengan demikian, upaya pelestarian sumberdaya genetik untuk jenis yang terancam punah dilaksanakan melalui konservasi secara in-situ maupun eks-situ (Indrioko, 2012). Konservasi sumberdaya genetik telah dilakukan dengan membangun plot baik di dalam kawasan konservasi, hutan produksi, hutan penelitian dan hutan tanaman. Pembangunan plot konservasi jenis secara in-situ seperti eboni (Diospyros celebica Bakh) seluas 2 ha dengan jarak tanam 5m x 5m terdapat di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Kiding Allo, 2012), sedangkan Shorea leprosula di PT Sari Bumi Kusuma pada petak 3 C (20 ha) dan S. leprosula, S. macrophylla, S. parvifolia, S. platycados, S. pinanga serta S. stenoptera pada petak 7 F (75 ha) dengan jarak tanam 5m x 5m yang bibitnya merupakan kumpulan dari beberapa HPH yaitu PT Musi Hutan Persada, Perum Perhutani, Pt Suka Jaya Makmur, PT Erna Djuliawati dan PT Sarpatim (Purnomo dan Widiyatno, 2012). Pembangunan plot
Sintesis 2010-2014
| 72
konservasi secara eks-situ di hutan penelitian dan hutan tanaman untuk jenis dilindungi diantaranya ulin (Eusideroxylon swageri dan cempaka (Michelia champaka) (Nugroho, 2012; Murniati, 2012). Dalam rangka meningkatkan kinerja plot diperlukan pertimbangan beberapa hal, yaitu: representasi keragaman genetik dari plot yang dibangun, kepastian status taksonomi, keberlanjutan informasi kekerabatan jenis, teknik pengambilan materi sampel untuk bibit maupun desain plot didasarkan pada keragaman genetik dan pada saat puncak musim buah dan pembungaan (Indrioko, 2012). B. MODEL RESTORASI Restorasi ekosistem di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan kawasan sesuai dengan struktur, komposisi, fungsi dan produktivitas hutan seperti keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002). Di taman nasional lokasi restorasi tersebut di tetapkan sebagai zona rehabilitasi yang mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. Zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasannya cenderung berubah dalam setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan citra landsat secara berkala, untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi. Zona rehabilitasi berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan di dalam kawasan, sehingga teknis pengelolaan zona rehabilitasi harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap kawasan (Sawitri dan Bismark, 2013). Tekanan masyarakat di daerah penyangga ke dalam kawasan merupakan dampak dari beberapa faktor seperti kepentingan dalam menyediakan mata pencarian, pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan kepemilikan lahan. Masyarakat di daerah penyangga mestinya di TNGGP dengan 66 desa di kabupaten Bogor yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani (80%-98%) dengan luas lahan 0,1 - 0,3 ha/KK, berpendidikan rendah, dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Di Kabupaten Bogor (Arshanti, 2001). Disamping itu, luas lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang akibat pengembangan areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum (Wahyudi, 2012). Dengan demikian Model rehabilitasi atau restorasi ekologi taman nasional perlu disinkronikan dengan pengembangan pembangunan dalam daerah penyangga, termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam kegiatan di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi agar fungsi dan manfaat di TNGGP dapat dioptimalkan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1986 dalam Arshanti, 2001).
Sintesis 2010-2014
| 73
Kriteria Lokasi Restorasi Perubahan dan peningkatan fungsi di enam taman nasional yang mengalami perluasan dengan hutan produksi, maka areal hutan produksi yang umumnya hutan tanaman monokultur perlu di restorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional. Sebagai contoh, Zona rehabilitasi, di TNGP areal ini seluas 19% dari luas kawasan dengan model restorasi yang ditetapkan adalah Model adopsi pohon intenasional, adopsi pohon, gerhan partisipatif, gerhan dan pengelolaan batas luar kawasan berbasis masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi program gerhan partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis masyarakat dapat dilihat dari tingkatan persepsi masyarakat terhadap model rehabilitasi. Persepsi ini dapat dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung, serta kelembagaan Model rehabilitasi yang dibangun oleh para pemangku kepentingan. Lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis tumbuhan, sebaran satwalliar langka dan dilindungi, penutupan lahan dan lereng (Gunawan, 2012). Kriteria prioritas kawasan hutan yang segera direstorasi dengan variabel penilaian dan skala intensitas tercantum pada Tabel 5.1 dan 5.2 Tabel 5.1. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi No
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang harus dipenuhi
Variabel Penilaian <0,25 0.25-0,5 ha >0,5 -0,75 ha >0,75-1 ha >1ha <30 30-59 60-89 90-119 >119 <2 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis >4jenis Hutan primer Hutan sekunder Hutan tanaman Semak/belukar
1.
Luas kerusakan kawasan hutan konservasi
0,219
Besarnya/luasnya kerusakan kawasan hutan konservasi
2.
Kekayaan jenis tumbuhan
0,151
Jumlah jenis tumbuhan di kawasan hutan konservasi
3.
Sebaran satwaliar langka atau dilindungi
0,128
Jumlah beserta sebaran (wilayah jelajah) satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan konservasi
4.
Penutupan lahan
0,117
Tipe penutupan lahan di kawasan konservasi
Sintesis 2010-2014
| 74
Skala intensit as 1 2 3 4 5 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 1 2 3 4
No
Kriteria
Bobot
*)
Persyaratan yang harus dipenuhi
5.
Lereng (slope)
0,110
Tipe kelas lereng (slope) di kawasan hutan konservasi
6.
Intensitas hujan*)
0,065
Curah hujan tahunan ratarata/hari hujan dalam satu tahun di kawasan hutan konservasi
7.
8.
9.
10.
Kepadatan penduduk di desadesa sekitar kawasan konservasi
Jenis tanah*)**)
Elevasi/ketinggian
Luas pemilikan/penguasa an lahan rata-rata
0,063
0,054
0,051
0,041
Jumlah kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan konservasi
Tipe kelas jenis tanah berdasrkan kepekaan terhadap erosi di kawasan hutan konservasi
Tipe kelas elevasi/ketinggian di kawasan hutan konservasi
Ukuran/luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat
Variabel Penilaian Lahan terbuka 0-8% >8-15% >15-25% >25-45% >45% <13,6mm/hari 13,6-20,7 mm/hari >20,7-27,7 mm/hari >27,7-34,8 mm/hari >34,8 mm/hari <125 jiwa/km2 125-249 jiwa/km2 250-374 jiwa/km2 375-499 jiwa/km2 >499 jiwa/km2 Entisol, aquic, alfisol/aqualf, aquult Ultisol Inceptisol, alfisol Andisol,oxisol,v ertisol, spodosol Entisol, histosol, rendoll <1.000 mdpl 1.000-1.500 m dpl >1.500 -2.000 m dpl >2.000 – 2.500 mdpl >2.500 dpl >1 ha
Skala intensit as 5 1 2 3 4 5 1 2
Sintesis 2010-2014
3 4 5 1 2 3 4 5 1
2 3 4 5 1 2 3 4 5 1
| 75
No
Kriteria
Bobot
Persyaratan yang harus dipenuhi
Variabel Penilaian
Skala intensit as
masyarakat di desadi desa-desa sekitar desa sekitar kawasan hutan konservasi Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung **) Nama tanah menurit USDA Soil taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003)
Tabel 5.2. Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede Pangrango No.
Kriteria kawasan yang perlu segera direstorasi
I.
Aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi Keberhasilan jenis langka dan dilindungi Keanekaragaman tipe ekosistem Potensi keanekaragaman jenis Ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir Pemanfaatan SDA secara lestari oleh para pemangku kepentingan Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam Tempat peninggalan budaya Logistik bagi penelitian dan pendidikan Total skor aspek tingkat kepentingan Aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Besarnya kepedulian para pemangku kepentingan sebagai penerima manfaat kawasan hutan konservasi Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan konservasi Luasan suatu kawasan hutan konservasi Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan hutan konservasi Total skor aspek tingkat kemendesakan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. II. 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Sintesis 2010-2014
| 76
Bobot
Skala intensitas
Skor
0,310 0,181 0,142 0,127
5 4 5 3
1,550 0,724 0,710 0,381
0,122
5
0,610
0,050
5
0,250
0,035 0,033 1
2 4
0,070 0,132 4,270
0,287
1
0,287
0,182
5
0,910
0,162
1
0,162
0,132
2
0,264
0,106
5
0,530
0,069 0,062
3 3
0,207 0,186
1
2,546
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi, diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi (4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong rendah (2,546) (Tabel 5.4). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman budidaya. Penetapan zona rehabilitasi di TNGGP bertujuan untuk pemulihan fungsi ekosistem kawasan TNGGP yang berasal dari hutan produksi tanaman monokultur seperti pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis lorantifolia) dan ecaliptus (Eucalyptus alba) serta tanaman budidaya. Luasan zona rehabilitasi adalah 4.367,192 ha (19%), yang terbagi ke dalam wilayah Cianjur seluas 1.298,54 ha, wilayah Sukabumi 1.823,575 ha dan wilayah bogor seluas 1.245,077 ha (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2009). Luasan zona rehabilitasi dalam satu hamparan sangat bervariasi dengan kisaran 3,257 ha – 317,359 ha. Untuk mengefektifkan pengelolaan dan kegiatan rehabilitasi maka zona rehabilitasi dengan luas yang relatif kecil dilakukan perkayaan dengan jenis pohon lokal seperti kegiatan penanaman di Resort Sarongge (Gambar 5.1)
Gambar 5.1. Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge Zona rehabilitasi yang berasal dari tanaman perkebunan kopi (Coffea sp.), seperti yang terdapat di Megamendung, Resort Tapos, kegiatan awal rehabilitasi adalah pembabatan tanaman bekerjasama dengan masyarakat dan aparat desa setempat, kemudian dilakukan rehabilitasi kawasan dengan penanaman pohon buah-buahan dan tumbuhan jenis asli (Gambar 5.2).
Sintesis 2010-2014
| 77
Gambar 5.2. Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di zona rehabilitasi, Resort Tapos Kebijakan rehabilitasi taman nasional selain penetapan zonasi yang perlu direhabilitasi juga mengikuti peraturan yang ada dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi lahan, sosial ekonomi masyarakat serta kesesuaian jenis yang dapat berfungsi bagi pengembangan habitat satwaliar dan sosial masyarakat. Kriteria penilaian prioritas restorasi kawasan TNGGP dilakukan berdasarkan aspek tingkat kepentingan dan aspek tingkat kemendesakan (Gunawan, 2012). Rehabilitasi lahan di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan, meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan sehingga dapat berfungsi secara optimal sebagai unsur produksi yang terkait dengan kesuburan tanah, media pengatur tata air, dan perlindungan lingkungan dari erosi dan banjir melalui pemberdayaan masyarakat (Pamulardi, 1995 dalam Tumanggor, 2008). Model rehabilitasi di zona rehabilitasi TNGGP bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan perambah dari dalam kawasan yang berjumlah 2.763 KK, dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan alih mata pencaharian dikuatkan oleh suatu MoU dalam batasan waktu tertentu (Balai Taman Nasional Gunung Gede pangrango, 2009). Kegiatan restorasi di laksanakan dalam lima model yaitu adopsi pohon internasional, adopsi pohon, gerakan rehabilitasi lahan partisipatif, gerakan rehabilitasi lahan, dan pengelolaan batas kawasan berbasis masyarakat (Tabel 5.3). Kegiatan restorasi sampai dengan tahun 2012 telah dilakukan di kawasan TNGGP seluas 2.265,5 ha atau 52% dari zona rehabilitasi (Sawitri dan Bismark, 2013). Tabel 5.3. Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango No 1.
Model Rehabilitasi
Luas (ha)
Jenis pohon
Adopsi pohon internasional
1
33
Sintesis 2010-2014
| 78
Jarak PertumBiaya waktu Pemberdayaan tanam buhan (ha) (tahun) masyarakat (m) (%) 0,7x0,7 100 178.495.000 3 - Persiapan lahan - Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan
No
Model Rehabilitasi
Luas (ha)
Jenis pohon
Jarak tanam (m)
Pertumbuhan (%)
Biaya (ha)
waktu Pemberdayaan (tahun) masyarakat
2.
Adopsi pohon
38
10
5x5
100
43.200.000
3
3.
Gerhan Partisipasif
50
16
5x5
43
2.500.000
3
4.
Gerhan
2175
8
40-80
2.500.000
1
5.
Batas kawasan hutan
1,5
2
tidak teratur/ 4x5 tidak teratur
40
2.500.000
1
1.
Model Restorasi
a.
Model Adopsi Pohon Pola Internasional
gulma - Penyulaman - Pengeukuran pohon - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Pengukuran pohon - Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Penanaman - Penyulaman - Pemeliharaan - Penanaman - Pemeliharaan
Pelaksanaan model ini telah dilaksanakan dengan sistem Miyawaki pada bulan Januari 2012 di Blok Los Beca, Cimungkat seluas 1 ha, dengan tanaman 33 jenis dan jarak tanam 0,7 m x 0,7 m. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek suksesi tanaman seperti di hutan alam. Pelaksanaan kegiatan dimulai dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaannya dilakukan oleh Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement (OISCA) dengan dana dari Mitsubishi Corporation dan melibatkan Kelompok Tani Cipanas, Desa Kadudampit dan Baru Geulis, Desa Caringin serta pam swakarsa yang beranggotakan 40 orang (Gambar 5.3).
Sintesis 2010-2014
| 79
Gambar 5.3. Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort Cimungkat b. Model adopsi pohon Adopsi pohon bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan kondisi hutan yang semula hutan produksi menjadi hutan konservasi dengan fungsi konservasi dengan mengikutsertakan masyarakat, organisasi, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perusahaan lokal maupun asing untuk berpartisipasi dalam Model ini (Balai Taman Nasional Gn Gede Pangrango, 2011) (Gambar 5.4). Biaya yang dikenakan dalam kegiatan penanaman ini adalah Rp. 108.000,-/pohon dalam jangka waktu tiga tahun dengan perincian alokasi dana sebagai berikut: penanaman sebesar Rp 37.800,- (35%), manajemen sebesar Rp.16.200,- (15%) dan pemberdayaan masyarakat sebesar Rp.54.000,- (50%) yang akan diserahkan tunai kepada masyarakat. Untuk mengefektifkan pemberdayaan masyarakat maka dibentuk kelompok tani yang akan menerima uang adopsi secara tunai atau diserahkan dalam bentuk ternak kambing, domba, kelinci, lebah madu, pertanian organik dan pembinaan pemandu wisata alam (Soemarto, 2013).
Gambar 5.4 . Model adopsi pohon di Resot Saronnge, Kabupaten Cianjur
Sintesis 2010-2014
| 80
c.
Model Gerhan Partisipatif
Gerakan Rehabilitasi Lahan Partisipasif dilaksanakan di Blok Ramusa, Blok Eucalyptus dan Blok Lambau, Resort Gunung Putri seluas 50 ha. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam KTH Puspa Lestrari, tokoh masyarakat, serta didampingi oleh TNGGP, Dinas PKT, Tim Pakar Institut Pertanian Bogor, dan LSM ESP USAID dalam bentuk Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) (Sumardiani, 2008). Bibit tanaman pokok dan pohon buahbuahan disediakan oleh TNGGP, sebanyak 21.100 bibit, karena kualitas bibit yang kurang baik dan kurangnya pemeliharaan maka tingkat keberhasilan rendah, sekitar 43% (Tumanggor, 2008). d. Model Gerhan Gerakan Rehabilitasi Lahan yang dilaksanakan di kawasan TNGGP berlokasi di lahan-lahan kritis berupa semak belukar yang telah ditinggalkan oleh perambah hutan ataupun di kawasan yang memerlukan perkayaan jenis (Gambar 5.5). Jenis pohon yang ditanam terbatas pada tanaman asli, dikerjakan oleh masyarakat terutama anggota pam swakarsa didampingi petugas TNGGP melakukan penanaman dan pemeliharaan selama satu tahun, karena keterbatasan waktu pemeliharaan maka tingkat keberhasilannya sangat bervariasi sekitar 40 -80% (Tabel 5.3).
Gambar 5.5 Pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha), tanaman Model Gerakan Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi e.
Model Pengelolaan Batas
Pengelolaan batas kawasan dengan tanaman bambu (Bambusa vulgaris) dan aren (Arenga pinnata), tingkat keberhasilannya sangat rendah karena kurangnya pemeliharaan, kekeringan dan kesesuaian lokasi yang kurang cocok.
Sintesis 2010-2014
| 81
2.
Implementasi Restorasi
Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi TNGGP dilakukan dengan mengevaluasi keberhasilannya melalui beberapa aspek penentu, tercantum dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi Model Restorasi No.
Aspek Penentu
Adopsi Pengelolaan Adopsi Gerhan pohon Gerhan batas pohon partisipatif internasional kawasan 1 2 1 3 2
1. Pembagian dan letak zonasi 2. Aturan pendukung 1 2 2 3. Tipologi masyarakat 1 2 1 4. Persepsi masyarakat 3 3 2 5. Para pihak terkait - Balai Taman 3 3 3 Nasional - Perhutani 1 2 3 - Masyarakat 3 3 3 - LSM 3 3 2 - Kelembagaan desa 1 1 3 - Universitas 1 1 3 - Dinas Kehutanan 1 1 3 6. Partisipasi dan 3 3 2 pemberdayaan masyarakat 7. Keberhasilan 3 3 1 pertumbuhan tanaman 8. Pendampingan 3 3 1 masyarakat Nilai total 31 32 30 Keterangan : 3 = tinggi , 2 = sedang dan 1 = rendah
3 3 1
1 1 1
3
3
2 2 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1
2
1
1
1
25
18
Model adopsi pohon internasional sistem Miyawaki maupun adopsi pohon yang mendapat dukungan dari masyarakat secara perorangan maupun lembaga, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun Konsorsium Gedepahala diharapkan mampu menjadi salah satu model solusi konflik lahan hutan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat (Tabel 7). Partisipasi dan pemberdayaan petani dan buruh tani yang memiliki garapan lahan dilakukan dengan diversifikasi pekerjaan sebagai peternak. Masyarakat yang telah meninggalkan lahan garapan di Resort Sarongge, Kabupaten Cianjur, beralih menjadi peternak kelinci, mampu meningkatkan
Sintesis 2010-2014
| 82
penghasilannya dari Rp. 400.000,-/bulan menjadi RP. 1.000.000,-/bulan (Soemarto, 2013). Di Resort Tapos dan Bodogol, Kabupaten Bogor, masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan diberi bantuan berupa ternak domba dan kambing (Tangguh, 2012; komunikasi pribadi). Di Resort Cimungkat, masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan yang mengikuti adopsi pohon diberi pelatihan tentang pertanian organik, peternakan dan outbond oleh OISCA (Hidayat, 2012; komunikasi pribadi). Sedangkan Model rehabilitasi lainnya seperti Gerhan Partisipasif dalam bentuk PKBM dengan rencana kegiatan di luar kawasan berupa budidaya jamur, tanaman hias, pembuatan kompos dan pupuk organik serta pemanenan dari pohon buah-buahan tidak dapat berjalan dengan baik karena masyarakat masih sangat intensif mengolah lahan garapannya berupa tanaman sayur-sayuran (Mulyani, 2007).
Gambar 5.6. Lokasi rencana rehabilitasi di TNGHS Kegiatan restorasi di TNGHS ditunjang oleh program adopsi pohon yang telah dilakukan bersama dengan 14 adopter dan masyarakat ( Tabel 5.5). Tabel 5.5. Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Adopter Mitra TNGHS PT KMI PT Satria Dharma Pusaka Crawford Yamaha Jelajah Alam PT Grace Special Chemicals Indonesia Yamaha Green United Kagoshima University Universitas Pakuan PILI Network PT AIA
Jumlah bibit (batang) 9.690 10.000 1.000 2.300 200 1000 5000 190 100 2.000
Luas (ha) 10 10 10 3 0,5 2 10 0,5 0,25 4
Sintesis 2010-2014
| 83
No. 11. 12. 13. 14.
Adopter Gunma Safari Park PT Cevron PT Amerta Indah Otsuka (Pocari) Kuskus Outdoor Advanture and Nature Club
Jumlah bibit (batang) 1.230 5000 150 37.860
Luas (ha) 3 10 40 0,5 93,75
Program adopsi pohon didampingi dengan penanaman pohon prestasi yang ditanam oleh masyarakat bersamaan dengan pohon wajib dari adopter dengan perbandingan 1:4 sejumlah 151.440 batang dengan jarak tanam rata-rata sekitar 4 x 5 m maka luasan yang telah direhabilitasi oleh masyarakat 302,88 ha. Disamping itu, beberapa mitra TNGHS melakukan penanaman, beberapa diantaranya adalah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 1000 batang, Wanadri 1000 batang, ANC 150 pohon dan Universitas Pakuan 1000 pohon. Penanaman per pohon seharga Rp 12.000,- termasuk harga bibit yang berasal dari cabutan, ajir, pupuk dan pembuatan lubang (Tabel 5.6). Tabel 5.6. Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Halimun Salak Model No Rehabilitasi
Luas (ha)
Jenis pohon
1. Adopsi pohon
93,75
7
2. Pohon prestasi
-
10
3. Gerhan
4.213
3
1,5
2
4. Restorasi mandiri
Sintesis 2010-2014
| 84
Jarak tanam (m) 5x5 atau 5x4
PertumBiaya waktu Pemberdayaan buhan (Rp/ha) (tahun) masyarakat (%) 100 30.000 .000 – 5 - Penanaman 30.750.000 - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman - Pengukuran pohon 5x5 43 2.500.000 3 - Pembibitan - Penanaman - Pemeliharaan - Pembersihan gulma - Penyulaman tidak 40-80 2.500.000 1 - Pembibitan teratur/ - Penanaman 4x5 - Penyulaman - Pemeliharaan tidak 40 2.500.000 1 - Penanaman teratur - Pemeliharaan - Penyulaman
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLMPPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya terwujud. Pengelolaan zona rehabilitasi dilakukan secara kolaborasi dengan tokoh masyarakat sekitar kawasan, pemegang konsesi tambang seperti Restorasi bekas kebakaran yang dilakukan oleh TN Kutai dan WWF tahun 2002-2003, PT PAMA dan PT KPC, PT Indomico dan Universitas dimulai dengan penanaman pohon seluas 3 ha di sekitar Mentoko (Gambar 5.7). Disamping itu, restorasi untuk perkayaan juga dilakukan pada saat kegiatan workshop atau penelitian
Gambar 5.7. Rehabilitasi yang dilakukan oleh TN Kutai dan stakeholders
. Gambar 5.8. Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung
Sintesis 2010-2014
| 85
Selanjutnya, pelaksanaan restorasi oleh Dishut Kukar pada tahun 2009 (1200 ha), BP DAS tahun 2010 (1800 ha), BP DAS tahun 2011 (1200 ha), BP DAS tahun 2012 (600 ha) dan 2013 (600 ha) oleh perusahaan tambang (Gambar 5.9). Jenis tanaman lokal yang ditanam adalah ulin, kapur dan meranti serta tanaman pakan untuk orang utan seperti sengkuang dan tabu hitam. Kkeberhasilan pertumbuhan tanaman sangat rendah sampai sedang karena kurangnya pemeliharaan dan monitoring serta evaluasi, bahkan di kawasan konflik seperti zona khusus penanaman yang dilakukan oleh TNI memiliki keberhasilan sangat rendah.
Gambar 5.9. Rehabilitasi dengan dana DIPA, tahun 2012 Pada tahun 2013, melalui SK Menteri Kehutanan direncanakan penanaman di zona rehabilitasi dilakukan oleh pemilik konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai seperti PT Indomico Mandiri, PT Santan Batubara, PT Mahakam Sumber Jaya, PT Ketadim, dan PT Tambang Damai (Gambar 5.10).
Sintesis 2010-2014
| 86
Gambar 5.10. Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman, monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun. Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon – 700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta menghindari kawasan yang telah bervegetasi. PT Santan yang telah melaksanakan rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama 2 bulan dengan biaya penanaman Rp. 800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan masyarakat 40 orang /desa. Jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam diantaranya ulin, meranti, kapur, medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan salam, 30 – 60 cm, dengan keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco Mandiri juga telah melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1 % ulin serta 19 % tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%, rendahnya tingkat keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti prosedur rehabilitasi yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri
Sintesis 2010-2014
| 87
Strategi manajemen taman nasional dalam konteks penelitian RPI 13 meliputi aspek restorasi ekosistem, pengelolan daerah peyangga dan pengelolaan kolaboratif. Restorasi ekosistem di taman nasional dikembangkan untuk tujuan perbaikan tata air (DAS) Fungsi habitat dan fungsi ekonomi sesuai dengan parameter zonasi. Faktor kesesuaian lahan, jenis asli, tofografi, ketinggian tempat, tingkat kerusakan habitat, serta fungsi habitat dan tata air mempengaruhi terhadap teknik sivikultur restorasi. Di Taman Nasional Gn Ceremai (TNGC), kegiatan restorasi dilaksanakan dengan tiga pola, yaitu rehabilitasi kawasan bersama masyarakat, rehabilitasi bersama mitra pohon dan restorasi kawasan dukungan JICA (Kurung dan Ginanjar, 2011). Rehabilitasi Hutan dan Lahan di kawasan TNGC dilakukan sejak tahun 2009 (300 ha), tahun 2010 (1.800 ha) dan tahun 2011 (1.300 ha). Pelaksanaan RHL diprioritaskan pada lahan kritis bekas garapan dan kebakaran dengan pola pengkayaan tanaman, jarak tanam 5 x 5 m, jenis pohon local dan jenis MPTS. Program rehabilitasi bersama mitra pohon dilakukan secara swadaya oleh swasta seperti Bank rakyat Indonesia, Perbanas Cirebon, BPK Penabur Cirebon, MTs Husnul Khotimah dan PT Yamaha Musik Indonesia serta masyarakat peduli kelestarian, telah ditanam sebanyak 25.000 bibit. Restorasi dengan dukungan dari JICA dilakukan di bekas garapan sayuran, lahan bekas kebakaran dan kawasan yang berdekatan dengan hutan alam. 4.
Penelitian Penunjang Restorasi
Bantimurung dikenal sebagai kawasan dengan jumlah populasi dan spesies kupukupu endemik yang tinggi. Namun demikian, jumlah kupu -kupu kian lama kian menurun, beberapa diantaranya bahkan berada di ambang kepunahan. Kecenderungan penurunan populasi jenis kupu - kupu tersebut disebabkan oleh degradasi habitat kupu kupu akibat tekanan penduduk, perambahan kawasan dan aktivitas wisata di Ex. TWA. Bantimurung serta karena adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu secara liar (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, 2005). Guna menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa kupu-kupu dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya maka Badan Penelitian Kehutanan Makassar melaksanakan kegiatan pembinaan habitat kupu-kupu. Kegiatan pembinaan habitat kupu-kupu dilakukan secara bertahap terdiri dari studi fenologi, teknik perbanyakan dan pembangunan demplot pertanaman tanaman pakan kupu-kupu (Suryanto et al., 2011). Fenologi tumbuhan pakan ulat dan kupu-kupu umumnya dalam fase vegetative. Fase generatif terjadi pada mali - mali ( Leea indica Merr) mulai berbunga bulan Oktober-Desember dan berkembang menjadi buah pada Februari - April, Micromelum minutum berbunga dan berbuah antara bulan Juni hingga November. Dracontomelon dao berbunga dan buah pada bulan Juni hingga Desember. Buah muda bangkala (Nauclea orientalis) muncul pada bulan Maret dan masak pada bulan April. Cinnamomum celebicum Koorders. pada bulan Juli - Oktober terdapat satu pohon mengalami masa pembungaan
Sintesis 2010-2014
| 88
dan pembuahan. Passiflora sp pada bulan agustus tampak berbuah yang sudah masak berwarna merah tua. Kelimpahan anakan alam mali - mali (Leea indica) kurang dengan nilai kerapatan semai 1.5 dan frekuensi 0,666 dan pancang sebesar 0.186 dan nilai frekuensi jenis 1 sedangkan kelimpahan permudaan alam Micromellum minutum cukup tinggi dengan nilai sebesar 8.625 per m2 dan frekuensi 1 sedangkan pancang 0.32 per m2 dengan frekuensi jenis 1. Persentase tumbuh anakan alam di lapangan 90 %. Kerusakan disebabkan oleh serangan babi. Perubahan hidroperiodik tidak berpengaruh terhadap aktivitas vegetatif dan generatif tumbuhan pakan. Beberapa tumbuhan belum berbunga dan berbuah selama periode pengamatan, perbanyakan vegetatif perlu menjadi perhatian. Media tabur terbaik Dracontomelon dao adalah media pasir dan arang sekam padi. Micromellum minutum dapat ditabur media apapun. Media sapih dan naungan terbaik Micromelum minutum adalah Campuran tanah, pupuk kandang dan sekam padi komposisi 1:1:1 dengan Intensitas naungan 50%. Draconto melondao dapat tumbuh baik disemua media sapih dengan naungan 50%. Perlakuan takaran pupuk kandang berpengaruh terhadap tinggi dan diameter semua jenis tanaman pakan kupu-kupu. tanaman jenis dao adalah 900 gr per lubang tanam dengan tinggi 69.7 cm dan diamter 10.57 mm, tanaman jenis mali - mali adalah 600 gr per lubang tanam dengan tinggi 83.82 cm. dan diameter 7.98 mm dengan jumlah cabang rata - rata 2.72. tanaman Micromelum minutum adalah pada takaran control dengan tinggi rata-rata 62.76 cm, diameter rata-rata 5.98 mm dan jumlah daun rata - rata 620.86. Draconto melondao tumbuh dengan baik pada araea terbuka, mali - mali tumbuh baik dan dapat tumbuh diarea naungan dan berbunga pada september berbuah pada maret, Micromelum minutum tumbuh baik dan tampak mulai berbunga. Pengamatan jumlah daun menunjukkan bahwa jumlah daun mengalami peningkatan pada akhir musim hujan. Belum tampak peran dao untuk populasi kupu-kupu karena umur tanaman muda sehingga belum berbunga dan memberi pengaruh terhadap populasi kupu sedangkan pada beberapa jenis tanaman lain tampak ditemukan beberapa jenis serangga yaitu kupu kupu dewasa diatas bunga mali-malai dan ulat ditemukan pada tanaman Micromelum minutum. Keberadaan ulat dan kupu kupu dia rea demplot merupakan hal posistif bagi perkembangan upaya pembinaan habitat kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Di TN Gn Ceremai, model penataan ruang restorasi dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan restorasi dalam rangka pemulihan fungsi lindung hidrologi (58,25%), pemulihan habitat satwa (10,75%) dan penyangga perekonomian masyarakat di sekitar yang tergantung pada hutan (31,01%) (Gunawan, 2011).Jenis tanaman asli setempat yang disarankan untuk restorasi kawasan pada ketinggian kurang 500 m dpl diantaranya adalah benda (Artocarpus elasticus Reinw), hantap (Sterculia javanica R.Br.), caringin (Ficus benyamina L. ), Dahu (Dracontomelon mangiferum L), lame (Alstonia scholaris R.Br.), kiara (Curzii King); ketinggian 500m – 1000 m dpl adalah caringin ,
Sintesis 2010-2014
| 89
leungsir (Pometia tomentosa T&B, dangdeur (Gossampinus heptaphylla), simpur (Dillenia aurea SMITH), huru (Litsea sp.); ketinggian lebih dari 1000 m dpl adalah saninten (Castanopsis argentea A.DC), pasang balung (Quercus semiserrata Roxb), kawoyang (Pygeum latifolium Miq), songgom (Barringtonia gigantostachys K.et V.) dan kalimorot (Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.). Disamping itu jenis-jenis MPTS yang ditujukan untuk mendukung perekonomian masyarakat diantaranya alpuket (Persea americana ), Aren (Arenga pinnata), bambu (Bambusa sp.), cananga (Cananga odorata), dan salam (Eugenia polyantha).
Sintesis 2010-2014
| 90
VI. PENGELOLAAN KOLABORATIF Konflik kepentingan antara masyarakat dan kawasan konservasi khususnya taman nasional menjadi tak terhindarkan di banyak tempat. Kedua belah pihak merasa memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan kepentingannya di kawasan tersebut. Pendekatan penegakan hukum untuk melindungi kawasan konservasi dari masyarakat yang hidup di sekitarnya sulit mencapai keberhasilan. Sebaliknya, membiarkan masyarakat untuk terus memanen hasil alam secara tidak terkendali dari kawasan taman nasional akan secara langsung berkibat buruk bagi kelestarian kawasan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Rendahnya tingkat kesejahteraan dan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan taman nasional menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik antara masyarakat dengan pengelola taman nasional. Tingkat kesejahteraan yang rendah serta tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan tersebut akan memaksa masyarakat untuk mengokupasi kawasan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan. Upaya peningkatan kesejahteraan dan penurunan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan mejadi permasalahan umum yang perlu diselesaikan oleh pengelola taman nasional diantaranya, dengan melibatkan stakeholders terkait sehingga tujuan pengelolaan taman nasional dapat terwujud. Penyebab lain konflik antara masyarakat dengan pengelola seperti di TN Babul adalah terkait dengan tata batas kawasan yang pada akhirnya berimbas kepada konflik pemanfaatan sumberdaya hutan yang terdapat dalam kawasan. Konflik tata batas terjadi karena rendahnya keterlibatan masyarakat serta kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat mengenai tujuan dan dampak yang ditimbulkannya dari proses tata batas kawasan hutan sebelum penunjukan TN Babul maupun pada proses rekonstruksi tata batas kawasan TN Babul. Dampak yang ditimbulkan dari konflik tata batas ini pada kedua belah pihak (masyarakat dan pengelola TN Babul) adalah tidak dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan oleh pengelola TN Babul dalam mengatasi permasalahan konflik ini adalah dengan jalan membuka ruang akses pemanfaatan sumberdaya hutan bagi masyarakat setempat melalui kolaborasi/kemitraan sehingga kedua belah pihak mendapatkan legitimasi dalam melaksanakan aktivitasnya. Berdasarkan persoalan dan konflik tersebut diatas, maka diperlukan suatu model pengelolaan taman nasional yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak yang terkait khususnya kepentingan masyarakat sekitar. Salah satu model pengelolaan yang dapat dilakukan adalah model pengelolaan kolaboratif. Untuk itu diperlukan suatu kajian yang mendalam mengenai model pengelolaan kolaboratif sehingga masyarakat sekitar tetap dapat memperoleh manfaat dari taman nasional tanpa mengganggu eksistesi dari taman nasional itu sendiri.
Sintesis 2010-2014
| 91
Implementasi kebijakan Permenhut No. P 19/2004 tentang Pengelolaan kolaboratif KSA dan KPA menurut Kementerian Kehutanan menekankan adanya proses kerjasama oleh para pihak yang saling bersepakat, lebih lanjut, pada pasal 7 point (2) ditekankan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan KSA dan KPA tetap pada Menteri Kehutanan. Sedangkan pengelolaan kolaboratif menekankan adanya pembagian kewenangan dalam penangambilan keputusan. Selanjutnya, penerapan pola-pola kolaborasi, TN Sebangau termasuk dalam katagori konsultasi (Yuwati, 2011), dimana setiap program kerja yang melibatkan masyarakat, dilakukan konsultasi dan sosialisasi untuk mendapatkan input dari masyarakat, tetapi kewenangan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi program tetap berada di pihak pengelola yaitu Balai TN Sebangau. Kondisi yang demikian ini menunjukan adanya pola-pola pengelolaan kolaborasi yang terjadi di beberapa taman nasional di Indonesia. A. Dasar Kebijakan Kebijakan adalah seluruh tindakan yang disetujui memberikan konsekuensi penting terhadap banyak orang dan sumberdaya alam dan dilakukan oleh pemerintah, institusi, kelompok maupun individu (Hummel, 1984; Ellefson, 1992). Tindakan yang diambil oleh pemerintah sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan tujuan Negara disebut sebagai kebijakan publik (Nugroho, 2009). Salah satu bagian atau proses kebijakan publik antara lain kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pendekatan teknis maupun kebijakan terpadu, interdisiplin, serta berbasiskan kemampuan sumberdaya lokal dengan melibatkan semua para pemangku kepentingan (stakeholder) (Ramdan et. al, 2003). Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan konservasi yang berbasis ekosistem berbentuk taman nasional, beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, diantaranya adalah: 1. Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain menyatakan sub bidang kehutanan merupakan urusan pilihan yang dapat dikelola daerah 4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang anatara laian mencantumkan kewajiban perusahaan menunaikan tanggung jawab social dan lingkungan (CSR) sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan. 5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 6. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 tentang Pengelolaan kolaboratif KSA dan KPA 7. Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional
Sintesis 2010-2014
| 92
8. Peraturan Menteri Kehutanan No. 64 Tahun 2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 9. Peraturan Menteri Kehutanan No. 85 tahun 2014 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian alam B. Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Para pemangku kepentingan (Stakeholders) memiliki kepentingan dan pengaruh yang beragam untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan taman nasional, disamping mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar kawasan. Peran stakeholders dalam mengakomodir kepentingan masyarakat berupa fungsi control, bantuan fisik, bantuan teknis dan dukungan penelitian. Pemangku kepentingan sering diidentifikasi dari segi kekuatan dan kepentingan relative terhadap isu, atau dari segi pengaruh yang mereka miliki (Ramirez, 1999). Stakeholders dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) stakeholder primer atau utama yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek; (2) pemangku kepentingan pendukung (sekunder) yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung, tetapi memiliki kepedulian sehingga turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan pemerintah; dan (3) pemangku kepentingan kunci, yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan (Kanji et al., 2001; Mardle et al., 2003; Suedi, 2011). Kepentingan (importance) merujuk pada peran dalam pencapaiaan luaran dan tujuan, serta menjadi focus pertimbangan terhadap keputusan. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan yang dimiliki untuk mengontrol proses kebijakan (Tabel 6.1) adalah contoh yang terjadi di TN Babul. Tabel 6.1. Matriks Analisis Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan TN Babul Stakeholder
Kepentingan
Balai TN Babul Masyarakat sekitar PDAM Maros
Kelestarian kawasan TN Babul Pemanfaatan SDAH untuk memenuhi kebutuhan hidup Peningkatan volume penjualan air dan pendapatan Peningkatan jumlah pengunjung dan pendapatan Keberlangsungan pasokan air kerumah penduduk dan pendapatan Keberhasilan pengelolaan hutan di Kabupaten Maros
Disparbud Maros Lembaga Pengelola Air Desa Dishutbun Maros
Pengaruh terhadap TN Babul +++
Prioritas berdasarkan kepentingan 1
+++ / ---
1
+
4
++
2
++
2
++
2
Sintesis 2010-2014
| 93
Pengaruh terhadap TN Babul ++ / -
Prioritas berdasarkan kepentingan 3
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar TN Babul
++
2
Peningkatan kapasitas petani Pencegahan sertifikasi kawasan hutan Pengembangan Hutan Rakyat
++ ++
3 4
+
5
++ / -
2
++
1
Stakeholder
Kepentingan
Dinas Pertanian Maros Pemerintah desa dan Kecamatan BP2KP Maros BPN Maros PNPM Mandiri LSM Perguruan tinggi dan lembaga penelitian
Peningkatan hasil pertanian masyarakat
Peningkatan kapasitas masyarakat (advokasi) Kelestarian kawasan TN Babul dan kesejahteraan masyarakat
Keterangan :
+++ / --- = tinggi,
++ / -- = sedang,
+ / - = rendah
Pemetaan stakeholder dilakukan melalui skoring kepentingan (interest) dan pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul guna membantu pengelola bagaimana melibatkan stakeholder tersebut untuk mencapai tujuan (Reed et al., 2009), (Gambar 6.1.) 25.00
A
B
Keterangan : 1. Balai TN Babul 2. Masyarakat sekitar TN Babul 3. PDAM Maros 4. Disparbud Maros 5. Lembaga Pengelola Air Desa 6. Dishutbun Maros 7. Dinas Pertanian Maros 8. Pemerintah Desa dan Kecamatan 9. BP2KP Maros 10. BPN Maros 11. PNPM Mandiri 12. LSM 13. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian
1 13 2
20.00
4 8 5
15.00
Interest
3 11
10.00
12
6
7 9
10 5.00
C 0.00 0.00
5.00
D
10.00
15.00
20.00
25.00
Power
Gambar 6.1. Pemetaan Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (interest) dan Pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul
Sintesis 2010-2014
| 94
Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi tetapi memiliki pengaruh yang rendah diklasifikasikan sebagi Subjects (Kotak A). Stakeholder ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lainnya (Reed et al, 2009). Disamping itu, stakeholder ini sangat bisa membantu dan berkontribusi sesuai dengan kepentingan/manfaat yang diperoleh sehingga hubungan yang baik harus tetap dibina (Thompson, 2011). Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Townsley (1998) tersebut, maka yang termasuk stakeholder primer dalam contoh pengelolaan TN Babul adalah : 1. Balai TN Babul. Sebagai pengelola kawasan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 sehingga sangat berkepentingan terhadap kelestarian kawasan TN Babul. 2. Masyarakat Sekitar TN Babul. Masyarakat sekitar berkepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat dalam TN Babul untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. PDAM Maros. PDAM Maros berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan Taman Nasional dalam memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Maros. 4. Disparbud Maros. Instansi ini berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan jasa wisata yang terdapat dalam kawasan TN Babul. 5. Lembaga Pengelola Air Desa. Mendapatkan manfaat dari pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan TN Babul yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi diklasifikasikan sebagai Key Players (Kotak B), sehingga kelompok ini harus dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru (Reed et al., 2009; Thompson, 2011). Stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini dapat dikatakan sebagai stakeholder sekunder dalam pengelolaan TN Babul adalah : 1. Dishutbun Maros. Stakeholder ini berkepentingan terhadap keberhasilan pengelolaan hutan secara umum di Kabupaten Maros. 2. Dinas Pertanian Maros. Stakeholder ini berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi hasil pertanian dan berpengaruh terhadap kelestarian kawasan TN Babul. 3. Pemerintah desa dan kecamatan. Stakeholder ini berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar TN Babul. 4. LSM lokal. Stakeholder ini tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat berperan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat melalui kegiatan pendampingan dan penguatan kelembagaan masyarakat. 5. Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian. Stakeholder ini tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat berperan dalam memberikan
Sintesis 2010-2014
| 95
dukungan penelitian yang aplikatif kepada masyarakat serta membantu mendorong pengelolaan TN Babul yang efektif. Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah diklasifikasikan sebagai Crowd (Kotak C), dimana pelibatan kelompok ini berubah seiring berjalannya waktu, tetapi komunikasi yang baik tetap harus dijalin. Stakeholder yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah BPN Maros yangi tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh positif terhadap pengelolaan TN Babul melalui pencegahan terjadinya sertifikasi lahan hutan menjadi hak milik dan PNPM Mandiri yang juga tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh positif pengelolaan TN Babul melalui pengembangan hutan rakyat (HR). Stakeholder dengan tingkat kepentingan yang rendah tetapi memiliki pengaruh yang tinggi diklasifikasikan sebagai Context setters (Kotak D), kelompok ini relative bersifat pasif tetapi dapat berubah menjadi key player sehingga hubungan dengan stakeholder ini harus dibina guna melestarikan kawasan. Stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini adalah BP2KO Maros BP2KP Maros yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan kapasitas petani dan hasil pertanian serta keberadaannya memiliki pengaruh terhadap kelestarian kawasan TN Babul. Mengingat kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan taman nasional umumnya rendah dilihat dari tingkat pendidikannya, maka bentuk kolaborasi yang dilakukan di TN Babul adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia atau peningkatan kemampuan (capacity building) melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan, yang melibatkan stakeholder yang berkaitan seperti Badan Pelaksana Penyuluhan dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (Kadir, 2013) . Pengelolaan jasa lingkungan air melibatkan Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM), Lembaga Pengelola air di masyarakat dan Dinas Pariwisata hendaknya berperan aktif dalam kelestarian kawasan dalam sistem bagi hasil, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Kerjasama pengelolaan pariwisata antara TN Babul dan Pemda Maros, menghasilkan kesepakatan dalam bentuk bagi hasil 25%: 75%. Keberhasilan implementasi kolaborasi di beberapa taman nasional juga diikuti kegagalan pelaksaannnya di beberapa kawasan seperti TN Kutai dan TN Danau Sentarum. Kegagalan kolaborasi di TN Danau Sentarum diakibatkan tidak adanya kepercayaan antar pemangku kepentingan dan kompetisi dalam menentukan arah kebijakan taman nasional dan kegiatan masyarakat (Anshari, 2006). Sedangkan di TN Kutai, kegagalan kolaborasi karena perebutan kendali pengelolaan antara pemangku kawasan yang mewakili pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lemahnya penegakan hukum, perambahan dan penambangan illegal.
Sintesis 2010-2014
| 96
Terbentuknya wadah Mitra Kutai sebagai aliansi tujuh perusahaan seperti PT Kalimantan Prima Coal, PT Indominco, PT Surya Hutani Jaya, PT Porodisa, PT Kiani Lestari, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina untuk mengatasi permasalahan di TN Kutai belum berhasil karena masing-masing membawa misi dan kepentingan yang berbeda, sehingga kegiatan yang dilaksanakan selama ini belum efektif. Menurut Falah (2012), untuk penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai diperlukan: penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemda dan masyarakat; kejelasan aturan main mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan evaluasi dan monitoring; program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan di TNK; secretariat/badan pelaksana yang independen dan professional; pelaporan keuangan secara berkala dan transparan berdasarkan sumber dananya serta dilakukan oleh auditor independen. Untuk itu, diperlukan penyamaan persepsi bagi para pemangku kepentingan yang dapat dikelompokkan dalam kepentingan ekologi dan ekonomi. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya para pemangku kepentingan dikelompokkan dalam sebuah matrik (Gambar 6.2). Tinggi
Kelompok A
Kelompok B
K E P
Masyarakat lokal Kementerian Kehutanan Perusahaan anggota Mitra Kutai Pemkab Kutai Timur Lembaga Swadaya Masyarakat lokal Tokoh masyarakat dan internasional
E N T I
Kelompok C
Kelompok D
Akademisi/Lembaga penelitian Pers /media
Kementerian ESDM Pemprop Kaltim Pemkab Kutai Kartanegara Pemkot Bontang
Rendah N G A N Rendah Tinggi
PENGARUH
Gambar 6.2. Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan pengaruh Kotak A menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap TNK tetapi rendah pengaruhnya terhadap pengambilan kebijakan, mencakup anggota lembaga/persona yang bertanggung
Sintesis 2010-2014
| 97
jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kotak B menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait dan kepala pemerintahan. Kotak C menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Interest mereka diperlukan untuk memastikan : a). interesnya tidak berpengaruh sebaliknya, dan b). kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kotak D merupakan pemangku kepentingan yang rendah kepentingan yang rendah kepentingan tetapi berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Selanjutnya persepsi para pemangku kepentingan berhubungan dengan pengelolaan TN Kutai, dijabarkan dalam Tabel 6.2. Tabel 6.2. Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah, 2012) No. Aspek 1. Fungsi kawasan TNK a.Fungsi pelestarian ekosistem
b.Fungsi pendidikan
c.Fungsi penelitian
Sintesis 2010-2014
| 98
Keterangan
Implikasi
-71 orang (78,02%) memberi nilai 2 (kurang) -20 orang (21,98%) memberi nilai 4 (baik) -Hasil citra landsat TNK tahun 2009 menunjukkan luas lahan berhutan 76,5% dari luas TNK -Hasil penelitian kolaborasi Unmul – OCSP: populasi orangutan diprediksi sekitar 2000 individu, yang berarti kondisi habitat bagus, terutama di zona inti Rata-rata nilai 4 (baik), namun dianggap pendidikan lebih terfokus pada pelajar, kurang menyentuh masyarakat, dan hanya insidentil tidak berkesinambunagn Rata-rata nilai 5 (sangat baik), meski belum terlihat kontribusi yang signifikan untuk pengelolaan, karena belum menyentuh permasalahan atau belum
Sebagian besar pihak terkait belum mengetahui informasi mengenai potensi dan kondisi terkini TNK perlu sosialisasi lebih lanjut untuk mendukung kampanye arti penting TNK
Perlu pendidikan lingkungan lebih lanjut untuk masyarakat secara berkelanjutan
Perlu publikasi hasil peneitian TNK kepada media/pers Perlu pengumpulan hasil riset, penyusunan status riset dan inventarisasi
No.
Aspek
d.Jasa lingkungan
e.Pemanfaatan ekonomi jasa lingkungan
2.
Masalah dalam pengelolaan TNK
3.
Alternatif solusi
Keterangan dipublikasikan, serta hasil riset masih tercerai berai Rata-rata nilai 4, disadari pentingnya TNK sebagai daerah tangkapan air dan menjaga iklim setempat, terutama karena adanya ancaman kerusakan lingkungan akibat penambangan Rata-rata nilai 1 (kurang sekali), karena belum ada pemanfaatan ekonomi air dan karbon, ekowisata tidak signifikan karena belum tergarap Tata ruang/zonasi kawasan (84,61%), pengamanan kawasan (9,9%) dan kelembagaan dan koordinasi antar pihak (5,45%) Penyampaian informasi nilainilai penting, kondisi terkini serta permasalahan taman nasional melalui media cetak dan elektronik
Implikasi potensi biofisik terkini Perlu penelitian, publikasi, dan kampanye mengenai manfaat ekologi, arti penting dan ekonomi jasa lingkungan TNK
Perlu penelitian manfaat ekonomi air, karbon dan ekowisata TNK, dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana pengelolaan Tata ruang menjadi priorotas penanganan masalah utama
Penyamaan persepsi, penetapan dan pengukuhan zonasi, pengelolaan kolaboratif
Alternatif solusi yang dicanangkan para pemangku kepentingan dalam penyamaan persepsi melalui komunikasi dan koordinasi diantaranya adalah isu pelestarian air yang menjadi kepentingan bersama, serta pelestarian keanekaragaman hayati khususnya orangutan. Persepsi masyarakat terhadap hutan di TN Akatajawe Lolobata (Tabel 6.3) adalah tempat perlindungan bagi satwa dan tumbuhan yang berfungsi sebagai penghasil air, udara segar, mencegah erosi dan banjir yang bisa dimanfaatkan hasilnya baik hasil hutan kayu maupun non kayu sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Persepsi responden dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, persepsi yang pertama (13,33%) memandang hutan secara sederhana tanpa ada niat untuk memanfaatkan maupun mengeksploitasinya. Kelompok yang kedua (15,56) berimplikasi pada perilaku masyarakat sehingga berusaha untuk menjaga hutan agar fungsi-fungsi diatas tetap terjaga. Sebab jika hutan tidak lagi bisa melaksanakan fungsinya maka masyarakat pula lah yang akan merasakan akibatnya yaitu terjadinya bencana alam. Kelompok yang ketiga (48,89%) dan keempat (14,44%) bersifat aktif dan agresif dimana hutan merupakan obyek
Sintesis 2010-2014
| 99
yang bisa dimanfaatkan dan dieksploitasi demi untuk meningkatkan pendapatan. Penebangan liar, pengambilan hasil hutan non kayu yang tidak memedulikan azas kelestarian, berburu dan perambahan lahan merupakan aktivitas yang sering dilakukan. Mereka menganggap bahwa hutan adalah tempat mencari kehidupan yang diwariskan nenek moyang. Tabel 6.3. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Persepsi masyarakat terhadap hutan Hutan merupakan tempat perlindungan kehidupan satwa dan tumbuhan Hutan dapat menghasilkan udara yang sejuk, penghasil air, mencegah erosi, dan banjir Hutan merupakan tempat mengambil hasil hutan seperti kayu baik untuk bangunan maupun kayu bakar, damar, rotan dan berburu Hutan merupakan lahan usaha dan berkebun Tidak tahu definisi hutan
Rata-rata (%) 13,33 15,56 48,89 14,44 7,78
Sumber : Analisis data primer 2010 Persepsi masyarakat terhadap kawasan taman nasional sangatlah penting menyangkut keberhasilan pengelolaan taman nasional. Masyarakat yang memahami adanya taman nasional dan fungsinya akan mempengaruhi partisipasinya terhadap pengelolaan taman nasional itu sendiri. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dapat dikelompokkan menjadi empat pandangan, disajikan dalam Tabel 6.4. Tabel 6.4. Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe Lolobata No 1. 2. 3. 4.
Persepsi masyarakat terhadap TNAL Taman nasional adalah kawasan yang berfungsi sebagai perlindungan tumbuhan, satwa dan sumberdaya hayati yang ada didalamnya Taman nasional adalah hutan milik negara yang dilindungi Taman nasional adalah lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan Tidak tahu definisi taman nasional
Rata-rata (%) 6,67 15,56 31,11 46,67
Sumber : Analisis data primer 2010 Ada dua persepsi pokok yang dianut oleh masyarakat yaitu bahwa taman nasional adalah hutan/kawasan milik negara yang harus dilindungi dan dilestarikan berkaitan dengan fungsinya sebagai perlindungan sumberdaya alam hayati yang ada didalamnya. Persepsi yang kedua adalah bahwa taman nasional adalah lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan melestarikan hutan.
Sintesis 2010-2014
| 100
Persepsi responden pada kelompok 1 dan 2, adalah mereka yang paham akan keberadaan taman nasional dan fungsinya bagi penyangga kehidupan sehingga potensi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan sangatlah besar. Kelompok ketiga adalah responden yang pengetahuannya sebatas pada pengertian taman nasional sebagai lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan. Menganggap bahwa taman nasional adalah subjek/pelaku yang mengelola bukan objek yang harus dikelola. 46,67% masyarakat dikawasan penyangga taman nasional belum mengetahui informasi tentang fungsi dan kewenangan taman nasional oleh karena itu diperlukan penyuluhan oleh instansi terkait. Sebagai contoh masih lemahnya pemberdayaan kelembagaan di bidang pelestarian keanekaragam hayati, adalah konservasi orangutan di CA Dolok Sipirok cenderung masih mengalami berbagai kendala akibat : a. Landasan hukum untuk pengelolaan lingkungan bagi konservasi jenis terutama pada lahan hak milik belum jelas. b. Masih lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. c. Kurangnya penyuluhan dan sosialisasi serta mekanisme umpan balik dalam pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum. d. Konflik kepentingan antara kegiatan konservasi dan pembangunan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan. e. Upaya pendidikan, pelatihan, dan disiplin petugas konservasi masih rendah dan tidak kontinue. f. Rendahnya pengetahuan dan kurangnya Sumberdaya Manusia (SDM) terlatih dalam pelestarian keanekaragaman hayati yang sangat beragam. Partisipasi dari berbagai lembaga terkait dalam pelaksanaan konservasi orangutan sangat diperlukan, yang selama ini masih rendah dan tidak terkoordinasi. Tanpa dukungan dan peranan yang nyata dari berbagai kelembagaan terkait, program konservasi orangutan akan sulit untuk berhasil. Program yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan peranan kelembagaan tersebut diantaranya adalah masyarakat lokal yang tinggal di sekitar habitat orangutan merupakan aktor utama terhadap keberhasilan atau kegagalan konservasi orangutan. Namun sampai saat ini lembaga yang terdapat pada masyarakat secara umum belum memiliki kebijakan maupun peraturan yang kuat untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya hutan maupun lahan. Akibatnya, ancaman terhadap kawasan konservasi termasuk sebagian besar bersumber dari aktivitas masyarakat, seperti pembalakan kayu liar, pembukaan lahan hutan alam untuk pertanian dan perkebunan serta pemukiman, dan perburuan, akibat interaksi masyarakat ke dalam kawasan masih cukup tinggi.
Sintesis 2010-2014
| 101
VII. PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA Daerah penyangga menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam baik sebagai kawasan hutan lain, tanah Negara maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Oleh karena itu, daerah penyangga mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan konservasi, memberi kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi secara berkelanjutan dengan kawasan hutan. Tekanan masyarakat di daerah penyangga tidak terlepas dari permasalahan yang pada umumnya dijumpai di sekitar kawasan hutan yaitu kemiskinan, kesehatan, aksesibilitas dan kebutuhan hidup primer (pangan, sandang, papan, air, listrik dan pendidikan). Kementerian Kehutanan (2009) menunjukkan bahwa 31.957 desa berinteraksi dengan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa tersebut yang selama ini menerima dampak langsung dari kerusakan hutan. Rositah (2006) menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin, disamping itu tercatat adanya korelasi yang kuat antara tutupan hutan dengan kemiskinan (Sunderlin et al., 2007) A.Tipologi Masyarakat Daerah Penyangga Keberadaan masyarakat di dalam maupun di sekitar taman nasional memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya alam. Taman nasional yang memiliki wilayah kepulauan di kelilingi oleh masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan keterampilan dan modal yang terbatas serta memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di perairan laut maupun di pesisir pantai. Masyarakat nelayan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdiri dari nekton, kerang-kerangan, kepiting, udang, serta vegetasi mangrove. Sedangkan taman nasional dengan ekosistem daratan mendapat ancaman/tekanan penduduk sekitar taman nasional yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan kepemilikan luas tanah yang terbatas. Berdasarkan hasil penelitian Sawitri dan Subiandono, 2011, tingkat ketergantungan masyarakat sekitar kawasan maupun di dalam kawasan terhadap sumberdaya hutan dapat diketahui dari kegiatan harian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan hasil hutan baik berupa keragaman hayati maupun jasa lingkungan seperti air bersih. Tingkat intervensi masyarakat masuk ke dalam hutan berhubungan dengan lokasi kampung maupun kebutuhan akan kayu bakar maupun bahan bangunan. Walaupun telah dibagikan gas untuk memasak tetapi kayu bakar tidak ditinggalkan
Sintesis 2010-2014
| 102
dan masih merupakan bahan yang lebih dominan dipergunakan pada setiap rumah tangga. Di Kampung Dengkleng, Sukamulya; Kampung Lebak Sembada, Citorek Kidul dan Kampung Naga, Citorek Tengah penggunaan kayu bakar dari hutan hanya 1-2 pikul/bulan karena masyarakat di tiga kampung ini memiliki kebun sendiri sebagai sumber kayu bakar. Mata air merupakan potensi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sebagian besar sumber mata air terdapat di hutan akan tetapi ada juga yang terdapat di sekitar lahan pertanian, misalnya mata air Cirametek dan Cipari (Anonimous, 2005). Kearifan lokal untuk menjaga sumber mata air tersebut dilakukan dengan menjaga pohon-pohon yang ada di sekitar mata air supaya tidak diganggu. Kondisi sumber mata air pada waktu musim hujan airnya menjadi agak keruh dan lebih banyak daripada biasanya yang menyebabkan banjir (caah/gundur). Sedangkan pada waktu musim kemarau kondisinya relatif stabil. Jenis kayu rimba seperti rasamala (Altingia excelsa Noronha), pasang (Querqus spp), saninten (Castanopsis argentea A. DC.) dan puspa (Schima wallichii Korth) paling banyak diminati masyarakat untuk kepentingan bahan bangunan perumahan maupun leuit atau bangunan tempat menyimpan padi. Sedangkan pemanfaatan jenis tanaman obat-obatan dan jamur masih terbatas pada penyakit yang umum diderita masyarakat seperti sakit perut, kuning dan mata. Tetapi di beberapa taman nasional juga merupakan tempat hunian masyarakat dengan adat istiadat dan budaya yang masih sangat tradisional. Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dihuni oleh Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak dan lain-lain, di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dijumpai masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang terdiri dari Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cicarucup, Cisitu, Cisungsang, Citorek dan Urug (Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, 2008 dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2008). Masyarakat tradisional tersebut memiliki keterikatan yang sangat erat dengan lingkungannya dimana masyarakat Suku Talang Mamak percaya bahwa bukit dan tumbuhan yang terdapat di taman nasional memiliki kekuatan magis dalam kehidupan, sedangkan masyarakat kasepuhan melakukan kegiatan seren taun setiap tahun sebagai rasa syukur terhadap keberhasilan dalam pertanian khususnya padi sebagai makanan pokok serta kegiatan patroli hutan pam swakarsa . Dengan demikian masyarakat tradisional tersebut dengan kearifan tradisionalnya secara tidak langsung turut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melindungi sumberdaya alam hayati di taman nasional. Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul) di Kecamatan Camba, Mallawa, dan Cenrana, Kabupaten Maros pada umumnya adalah suku Bugis. Dari segi umur, masyarakat yang menggarap lahan di dalam TN Babul sebanyak 76,2% dan sekitar 6,2% telah melakukan proses jual beli lahan dalam kawasan tersebut (Kadir et al., 2010). Tingkat pendidikan masyarakat
Sintesis 2010-2014
| 103
sekitar TN Babul umumnya masih rendah dimana sebagian besar berpendidikan sekolah dasar, rendahnya tingkat pendidikan dapat berimplikasi terhadap terbatasnya wawasan berpikir dan kemampuan mengadosi teknologi baru sehingga tingkat produktifitas dalam menggarap lahan juga rendah. Pekerjaan pokok masyarakat sekitar TN Babul umumnya adalah petani sawah dan kebun. Hanya sebagian kecil yang bekerja di bidang jasa, dan pegawai. Pekerjaaan sampingan mereka adalah petani kebun, wiraswasta, buruh sawah, pembuat gula aren, dan pemburu lebah madu. Selain itu masyarakat juga memiliki tanggungan keluarga berkisar antara 1-9 orang. Hal ini mengindikasikan potensi untuk menggarap lahan cukup tersedia. Jika kemampuan masyarakat dalam bertani dan tenaga kerja yang tersedia dapat dimaksimalkan serta didukung dengan pembinaan yang tepat, maka peluang peningkatan produktifitas dalam menggarap lahan terbuka lebar. Masyarakat daerah penyangga TN Sebangau memiliki pola pemanfaatan sumberdaya yang diambil di dalam maupun di luar kawasan yang terkait pada perikanan (5%), pertanian dan agroforestri (85%), kehutanan (3%) dan budidaya walet (1%) (Yuwati dan Robby, 2013). Pemanfaatan sumberdaya kehutanan di dalam kawasan berupa pengambilan getah jelutung, gemor, rotan dan kayu galam, karena pemanenan yang berjalan terus-menerus maka pohon yang ada berukuran kecil-kecil dan lokasi pengambilannya cukup jauh. Sedangkan, kendala yang dihadapi masyarakat di luar kawasan diantaranya sulitnya mendapatkan ikan pada musim penghujan dan rendahnya harga jual, serta banjir kondisi yang demikian diperparah dengan kebijakan pengelolaan taman nasional yang melarang masyarakatnya memanfaatkan hasil hutan seperti penebangan kayu, pengambilan kayu bakar, ikan kecil dan gamor, sehingga persepsi masyarakat terhadap pihak pengelola dan WWF terlihat pada Gambar 7.1.
91 64
Bagaimana peran WWF/BTNS?
Harapan dari WWF/BTNS?
sering sosialisasi
18
36
tingkatkan komunikasi
27
bantuan sarpras
peningkatan kesejahteraan
9
penambahan program
55
positif
100 80 60 40 20 0
negatif
%
Hubungan masy-TNS?
Gambar 7.1. Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap pengelola TN Sebangau
Sintesis 2010-2014
| 104
Berdasarkan kondisi diatas maka pendekatan pengelolaan dan pengembangan daerah penyangga TN Sebangau, hendaknya memprioritaskan kesempatan berusaha dan tingkat pendapatan ekonomi melalui pengembangan ekonomi alternative dan perluasan pemasaran komoditas terutama perikanan,pengadaan sumberdaya alternative seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat dan tanaman pangan, peningkatan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah penyangga, komunikasi, kapasitas kelembagaan ekonomi dan pengembangan daerah penyangga. Pola pemanfaatan daerah penyangga sejalan dengan perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di sekitar kaawsan taman nasional juga perlu diwaspadai, hal ini cukup mengkhawatirkan karena peningkatan jumlah penduduk akan sejalan dengan peningkatan intervensi masyarakat akan sumberdaya lahan hutan dan hasil hutan, dimana dalam jangka waktu dua tahun masyarakat di daerah penyangga dan zona khusus TN Kutai meningkat lebih dari 50% (Sawitri dan Karlina, 2013). Asal-usul penduduk yang dijumpai di daerah penyangga dan zona khusus, TN Kutai, Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan berasal dari Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Pengamatan asal-usul masyarakat ini berkaitan dengan perilaku dan tipologi masyarakat, seperti Suku Dayak dan Kutai yang terdapat di zona khusus TN Kutai dan berasal dari daerah sekitar Kalimatan Timur, mayoritas merupakan petani yang berladang berpindah, sehingga pembukaan hutan yang dilakukan secara bersama-sama sekitar 50 orang dengan sistem tebang habis dan pembakaran, menguasai lahan 3 sampai > 15 ha,tetapi pengelolaan lahan yang dilakukan kurang intensif, karena hanya 2 ha yang ditanami padi ladang selama 2 periode tanam atau 2 tahun, setelah itu lahan akan ditanami karet atau dibiarkan dan menunggu pembeli untuk diperjual belikan. Masyarakat dari Sulawesi yang umumnya termasuk Suku Bugis, merupakan masyarakat yang cukup mudah dalam mengadopsi teknologi dan merupakan masyarakat yang dapat berkegiatan di darat maupun di laut. Pengembangan kegiatan masyarakat di darat adalah mengelola lahan garapan untuk usaha pertanian padi ladang, pohon buah-buahan, pohon HHBK seperti gaharu dan tanaman umbi-umbian dan obat-obatan, disamping usaha sampingan berupa kegiatan warung dan berjualan bahan bakar. Kegiatan alternatif di laut juga dilakukan masyarakat yaitu budidaya rumput laut, perikanan laut dan ekowisata pantai yang masih direncanakan oleh masyarakat di Teluk Kaba dengan membentuk koperasi. Masyarakat yang berasal dari Jawa terdiri dari Suku Jawa yang bermukim di zona khusus dan memiliki pekerjaan tetap, pemilikan lahan garapan dilakukan sebagai investasi maupun lahan garapan yang diusahakan secara intensif dengan menanam karet, kelapa sawit serta bersawah.
Sintesis 2010-2014
| 105
Masyarakat Madura yang berasal dari P.Madura memasuki kawasan TNK dengan berbekal ketrampilan pembuatan batubata dan usaha sambilan berupa warung dan ternak unggas ayam dan entok. Pola usaha masyarakat di daerah penyangga dan zona khusus di TN Kutai dapat dijabarkan pada Tabel 7.1. Pola usaha tersebut terdiri dari usaha pertanian dan usaha lainnya. Tabel 7.1. Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di kawasan TN Kutai Parameter Luas Garapan Jarak rumah ke lahan garapan Jarak tempat tinggal ke sungai Frekuensi interaksi
Kutai 2 - 5 ha
Dayak 3 - >10 ha
15 km
0-5 km
0 – 200 m
0 – 200 m
2–5 kali/bulan
setiap hari saat musim tanam1kali/bulan Mendapatka n lahan garapan untuk budidaya tanaman pangan semusim dan karet
Asal Etnis Jawa 2 - 5ha
Bugis 4 – 10 ha
Madura 2 – 4 ha
0,25-2 km
0,5- 5 km
0,1 – 2 km
2 km
6 km
2 km
Setiap hari/ saat musim tanam
2 kali/bulan
Setiap hari
Mendapatka n lahan untuk budidaya tanaman pangan semusim
Mendapatka n lahan garapan untuk budidaya tanaman pangan, buah² an, hhbk dan kelapa sawit Sistim tebang pilih dan bakar
Mendapatka n lahan garapan untuk usaha batu bata dan ternak
Tujuan berinteraksi dengan TNK
Mendapatkan lahan garapan untuk budidaya kebun pisang dan karet
Teknik pembukaan lahan yang diterapkan Pola tanam yang diusahakan di lahan garapan
Sistem tebang habis dan bakar
Sistem tebang habis dan bakar
Sistem tebang habis dan bakar
- Tanaman semusim - Tanaman pisang dan karet
- Tanaman pangan semusim - Padi dan Karet
-Tanaman pangan semusim
Sintesis 2010-2014
| 106
- Tanaman pangan semusim - Padi, buah²an, gaharu, kelapa sawit
Sistem tebang habis
-
Parameter Sistim budidaya Penggunaan Jenis Pohon - Untuk kayu bangunan
- Untuk memasak
- Untuk membuat kapal Pemanfaata n satwa untuk konsumsi dan sesajen Jenis satwa yang sering dijumpai
Kutai Kurang intensif
Dayak Kurang intensif
-Ulin, meranti, kapur
-Ulin, meranti, kapur
-kayu laban kayu laban, ulin
-kayu laban kayu laban, ulin
- kapur, meranti Ikan, punai, payau dan pelanduk
- kapur, meranti Babi, ikan , punai, pelanduk
Orang utan, monyet,buaya , berbagai jenis ikan
Orang utan, monyet, buaya,, berbagai jenis ikan
Asal Etnis Jawa Sangat intensif ulin dan meranti
Bugis Intensif
Madura Sangat intensif
-Ulin, meranti, kapur
-Ulin kapur, meranti
-
-
-
-kapur, meranti
Ikan
Monyet, dan berbagai jenis burung
-semua jenis untuk pembakaran batu bata -
Payau, pelanduk, punai, ikan
Burung
Monyet dan berbagai jenis ikan
Monyet, dan berbagai jenis burung
Ketergantungan masyarakat di daerah penyangga di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Lore Lindu ditunjukan oleh tipologi masyarakat dan pola usaha pertaniannya (Tabel 7.2 dan 7.3) (Bismark et.al, 2012). Tabel 7.2. Tipologi masyarakat dan biofisik di daerah penyangga TN Kerinci Seblat, Kabupaten Pesisir Selatan
No.
1.
2. 3.
Parameter
Asal-usul Asli Pendatang Jumlah KK Pekerjaan
Nagari Lumpo
Lokasi Nagari Tanjung Gadang
Nagari Air Haji
Kec. IV Jurai
Kec. Sutera
Kec. Linggo Sari baganti
95% 5% 4-5 orang
90% 10% 3-7 orang
95% 5% 3-7 orang
Sintesis 2010-2014
| 107
No.
4.
5.
Parameter
Utama Sampingan Perumahan Di kawasan Di daerah penyangga Jenis bangunan rumah Di kawasan Di daerah penyangga
6.
7.
Jarak rumah di daerah penyangga ke kawasan Persawahan Luas Lokasi Bibit Pengairan
8.
Panen Perladangan Di kawasan Di daerah penyanga Jenis tanaman -Di kawasan
-Di daerah penyangga
Sintesis 2010-2014
| 108
Nagari Lumpo
Lokasi Nagari Tanjung Gadang
Nagari Air Haji
Kec. IV Jurai
Kec. Sutera
Petani Buruh tani
Petani Buruh tani
Kec. Linggo Sari baganti Petani -
60-80 m2
20-25 m2 60-100 m2
12-20 m2 50-80 m 2
Permanen (90%) -
Semi permanen (100%) Permanen (95%)
Semi permanen (100%) Permanen (90%)
0-2 km
0,5 km
0,25 - 1 ha Di daerah penyangga 20 kg/ha Irigasi
0,05 - 0,5 ha Di daerah penyangga 20 kg/ha Irigasi
1 - 2 ha Di kawasan
3,5 ton/ha
3 ton/ha
1,5-2 ha 0,25-2 ha
1-2 ha 0,25-1 ha
1,5 -2 ha
Jengkol, sayursayuran, coklat, durian, pinang, kelapa sawit, papaya, jambu biji, rambutan, kopi, sengon, gambir, pala, kulit manis Karet, kelapa sawit, jengkol,
Kelapa sawit, mangga, durian, rambutan, karet, kopi , coklat, kulit manis, sayuran, jengkol, asam kandis, kemiri, pisang, pala, pinang, jati putih
Permanen (50%) dan semi permanen (50%) 1 km
Karet, jengkol, petay, durian, cengkeh, pinang, manggis, kulit manis
Karet, pinang, jengkol, petay,
20 kg/ha Irigasi dan tadah hujan 1-2 ton/ha
Karet, durian, coklat, kelapa sawit, pinang,
No.
9.
Parameter
Pemanfaatan hasil hutan Kayu pertukangan
Tanaman obat
Satwaliar
10.
Peternakan Sapi Kambing
Nagari Lumpo
Lokasi Nagari Tanjung Gadang
Kec. IV Jurai
Kec. Sutera
jambu bol, pala, kelapa, durian, coklat, asam kandis, aren, jambu biji, mangga, nangka, jambu biji, sirsak, rambutan, pisang, tebu, papaya, jeruk bali dan singkong
jambu bol, cabe merah, coklat
Pulai Meranti Bernuak Durian Nangka Medang -
Pulai Meranti Durian Nangka Sengon
Kambing hutan Burung Ular Labi-labi
Trenggiling Rusa Babi hutan Murai batu Marabak tembak Ular
1-3 ekor 1-2 ekor
-
1-2 ekor -
Nagari Air Haji Kec. Linggo Sari baganti pala, pisang
Dammar hutan Medang Limus Jati putih Meranti merah Borneo Pasak bumi Resam Kapiciek Kayu berangan Malua Asam kandis Babi hutan Rusa
1-4 ekor 2-5 ekor
Sintesis 2010-2014
| 109
Tabel 7.3. Tipologi masyarakat di kawasan dan daerah penyangga TN Lore Lindu Lokasi No. 1.
2. 3.
Parameter Asal-usul Asli pendatang Jumlah KK Pekerjaan Utama Sampingan
4.
5.
6.
7.
Perumahan Di daerah penyangga Jenis bangunan rumah Di daerah penyangga
Jarak rumah di daerah penyangga ke kawasan Persawahan Luas Lokasi Bibit Pengairan Panen
8.
Perladangan Luas Di kawasan Di daerah penyanga Jenis tanaman
Sintesis 2010-2014
| 110
Pakuli Kec. Gumbasa
Omu Kec. Gumbasa
Salua Kec. Kulawi
Mataue Kec. Kulawi
95%
10%
84 %
99%
5% 4-5 orang
90% 3-6 orang
16 % 4-5 orang
1% 3-5 orang
Petani
Petani
Petani
Buruh tani
Pengambil tanaman obat
Buruh tani
Pedagang
Petani
80-100 m2
60- 80 m2
55-75 m2
50-70 m 2
Permanen (80%) dan semi permanen (20%) 0,5 - 1 km
Permanen (90%), Semi permanen (10%) 5 -7 km
Permanen (95%), Semi permanen (5%) 2-5 km
Permanen (90%), Semi permanen (10%) 0,5-1 km
0,25 - 5 ha Di daerah penyangga 7 kg/ha Irigasi 700 – 840 kg/ha
Di daerah penyangga 7 kg/ha Irigasi 700 – 840 kg /ha
-
0,5-1 ha
-
Irigasi 700-840 kg/ha
1 - 2 ha 1 – 5 ha
0,5-1 ha 2- 7 ha
0,5 – 1 ha 1 – 4 ha
1-2,5 ha
Lokasi No.
Parameter -Di kawasan -Di daerah penyangga
9.
Jarak tanam Pemanfaatan hasil hutan Kayu pertukangan
Kayu bakar
Pakuli Kec. Gumbasa coklat coklat
Omu Kec. Gumbasa coklat coklat
Salua Kec. Kulawi
Mataue Kec. Kulawi
coklat mangga
coklat bambu
mangga kelapa, aren, jambu air pisang jagung nangka rambutan jambu biji aren singkong
mangga jagung papaya durian alpuket kacang hijau kacang tanah kemiri kelapa aren singkong
jeruk langsat papaya kelapa nangka jagung rambutan jambu air kemiri aren jati
beraturan
beraturan
beraturan
kemiri singkong sagu kelapa kayu manis pisang durian jeruk pinang kemangi mangga jagung daun bawang kopi aren kalliandra balaroa tidak beraturan
kayu di hutan
kayu di hutan
kayu di hutan
kayu di hutan
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di kebun
kayu di hutan kayu di kebun
Tanaman obat
HHBK
300 jenis tanaman dari hutan dan Kemiri Pangi aren
-
-
-
kemiri pangi aren
daun pandan rotan kemiri aren mangga hutan anggrek
anggrek aren
Sintesis 2010-2014
| 111
Lokasi No.
Parameter Satwaliar
10.
11. 12
Air Peternakan Sapi Kambing Perikanan Pemberdayaan masyarakat
Pakuli Kec. Gumbasa maleo telur maleo Kelembagaan
Omu Kec. Gumbasa telur maleo maleo Kelembagaan
1-2 ekor -
1-2ekor 1-2 ekor ikan mujair dan emas Kelompok masyarakat peduli satwa, Cakar Maleo Saluki (14 orang) budidaya maleo
Kelompok Usaha Assyifa tanaman obat (50 orang), Kelompok Usaha gula aren Sangurara (30 orang), dan kelompok usaha kue malese, KPLH Palapi
Salua Kec. Kulawi
Mataue Kec. Kulawi
ayam hutan babi Kelembagaan Kelembagaan Pam swakarsa (5 orang)
1-2 ekor ikan mujair dan emas Pam swakarsa (1 orang) dan Budidaya anggrek (30 jenis)
B. Penataan Lahan Daerah Penyangga Pemanfaatan dan penggunaan lahan di daerah penyangga taman nasional dijumpai tipe pengelolaan lahan yang dapat dibedakan menurut jarak lokasi dengan taman nasional, sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan kondisi fisik areal seperti iklim, jenis tanah, ketinggian dari permukaan laut, topografi, curah hujan, sistem penanaman hutan rakyat, kesesuaian lahan terhadap jenis tanaman, gangguan satwaliar serta sumber air. Kondisi ini memberikan model hutan rakyat secara monokultur maupun campuran jenis tanaman perkayuan, buah-buahan, palawija, tanaman obat-obatan dan sayur-sayuran. Pola penggunaan lahan di daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Pesisir Selatan dibagi menjadi tiga jalur yaitu jalur hijau, interaksi, peralihan dan budidaya yang didasarkan pada aspek ekologi, biofisik dan social ekonomi dan budaya masyarakat (Bismark et al., 2012a)(Tabel 7.4).
Sintesis 2010-2014
| 112
Tabel 7.4. Pola penggunaan lahan daerah penyangga TNKS. Zonasi (Jalur) Jalur hijau
Lebar jalur (km) 0-2
Jalur interaksi Jalur peralihan Jalur budidaya
0,5– 5 0,5 – 1 4–6
Penggunaan lahan Hutan, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, kebun agroforestri, kampung Kampung, kebun agroforestri, ladang, hutan, sawah Kampung, pekarangan, ladang Ladang
Jalur hijau yang terdiri dari hutan, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, sungai, ladang dan kampung di dalam kawasan berfungsi sebagai daerah pengungsian satwaliar yang menyediakan pakan dan komponen habitat berupa sumber air, tempat istirahat, tidur dan bersarang. Satwaliar yang umum ditemukan selama penelitian adalah jenis primate simpai (P. melalophos) yang berkelompok 2-5 individu dengan daerah jelajah sampai ke ladang dan agroforestri masyarakat, demikian pula dengan P. cristata yang berkelompok 9-14 individu. Walaupun demikian masyarakat melaporkan kehadiran P. tigris sumatrae 2 kali sebulan di areal ladang masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan 2 km dari batas taman nasional (Gambar 7.2). Ladang tersebut dapat berupa kebun agroforestri berupa tanaman perkebunan karet, perkayuan suren (Toona sureni) (Gambar 7.3), mahoni, jati serta buah-buahan seperti pohon coklat, durian, nangka, rambutan, dan jambu bol. Kondisi ini dapat dijumpai di Nagari Air haji dan di Jorong Bangun Rejo. Jalur interaksi yang komponen utamanya kebun agroforestri, persawahan tadah hujan maupun irigasi, ladang dan perkampungan mempunyai fungsi sebagai habitat satwaliar, pengembangan jasa lingkungan dan pengembangan plasma nutfah untuk jenis unggulan pada tanah kritis yang ditumbuhi alang-alang dengan tanaman dari kebun bibit desa (KBD) seperti gaharu dan bayur maupun persemaian swadaya masyarakat berupa bibit tanaman karet. Kebun agroforestri masyarakat umumnya berupa tanaman campuran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun tanaman yang dapat diambil hasilnya setiap saat seperti pinang, asem kandis, kemiri, pohon buah-buahan, dan coklat. Jalur peralihan dan jalur budidaya terdiri dari areal perkampungan, pekarangan dan ladang dengan tanaman pertanian berupa sayur-sayuran kacang panjang, terong dan cabe. Di kedua jalur ini pemanfaatan sumberdaya alam dengan memadukan prinsip konservasi dan kearifan tradisional, pembentukan desa konservasi, peternakan, pemanfaatan tumbuhan species asli penghasil HHBK: buah-buahan, pewarna, pakan ternak, tanaman obat-obatan, madu, kayu bakar, getah, kebutuhan peralatan rumah tangga, sehingga diharapkan tercapainya manfaat ekonomi yang optimal berupa distribusi tenaga kerja dan pendapatan.
Sintesis 2010-2014
| 113
Gambar 7.2. Tengkorak tapir, dan simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur hijau Jorong Bangun Rejo
Gambar 7.3. Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat Berbeda dengan taman nasional lainnya, daerah penyangga TN Siberut berupa hutan produksi. Luas wilayah konservasi dalam hutan produksi (IUPHHK) yang memenuhi untuk terlindungnya populasi efektif sejumlah 125 individu per jenis berdasarkan populasi H. klossii 8 individu per km² (Bismark, 2007) adalah 15,5 km² atau ± 1.500 ha per RKL. Daerah penyangga TNS dengan IUPHHK PT Salaki Suma Sejahtera (PT S3) dengan rencana pemanfaatan selama 35 tahun akan terdapat 7 RKL selama masa konsesi dengan populasi minimal yang terfragmentasi dalam RKL-RKL berupa wilayah konservasi. Bila wilayah konservasi dalam RKL seluas 1500 ha maka wilayah konservasi yang terbentuk setelah selesainya Izin IUPHHK mencapai 23% dari kawasan berhutan IUPHHK PT S3 sekarang (45.314 ha). Luas areal didekati dengan jumlah populasi satwa primata langka yang harus dilindungi, yaitu 250 individu. Primata dengan populasi terkecil di TN Siberut yaitu M. pagensis dengan populasi 2,5 individu/km², membutuhkan areal 100 km² untuk populasi 250 individu, areal tersebut sesuai dengan lebar daerah penyangga sepanjang 1.500m. Berdasarkan suara
Sintesis 2010-2014
| 114
Hylobates klossii di areal tebangan terdengar dalam jarak 1,5 km, apabila daerah penyangga ditetapkan dengan lebar 1.700 m, maka dampak penebangan terhadap populasi primata di TN Siberut akan dapat dihindari. Masyarakat desa di kawasan penyangga TNAL lebih banyak mengolah lahannya sebagai kebun campuran (45,55%) dengan komoditas Kelapa, pala, pisang, coklat,tanaman buah-buahan, kasbi, batatas dan sayuran. Pola hutan rakyat belum diminati, karena masyarakat merasa kebutuhan kayu masih tercukupi dari hutan alam dan juga pengetahuan tentang jenis tanaman dan teknologi hutan rakyat belum sampai pada masyarakat sekitar. Perbedaan pola pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakatnya. Dimana pola berkebun biasanya dilakukan oleh masyarakat asli/lokal Pulau Halmahera khususnya dan Maluku Utara umumnya. Sedangkan pola hortikultura dan sawah merupakan pola bawaan dari masyarakat transmigran. Bentuk-bentuk pola pemanfaatan lahan yang telah teridentifikasi dari hasil penelitian di Taman Nasional Aketajawe Lolobata Blok Lolobata dapat dibuat suatu model pola lahan yang menyusun kawasan penyangga yang terbagi ke dalam 3 jalur, yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur budidaya yang tertata sebagaimana Gambar 7.4 perlu pengelolaan intensif (Nurrani, 2013a).
Gambar 7. 4. Pola pemanfaatan lahan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata Keterangan : TN (taman nasional), KC (kebun campuran), KT (kebun tumpangsari), KM (kebun murni), HRT (hortikultura), SW (sawah), DS (desa), HL (hutan lindung), HPT (hutan produksi terbatas) Jalur hijau TNAL blok Lolobata terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi terbatas, dimana tutupan lahan keduanya masih alami dan masih mampu menjalankan fungsinya sebagai penyangga sejauh 0 – 5,5 km dari batas kawasan taman nasional. ada jalur interaksi diharapkan dikembangkan menjadi tempat
Sintesis 2010-2014
| 115
konservasi tumbuhan yang bernilai ekonomis dan ekologis melalui sistem agroforestri. Namun pada TNAL blok Lolobata jalur interaksi dihuni oleh pola kebun campuran, kebun murni dan kebun tumpangsari dengan tanaman utama adalah kelapa. Jalur budidaya dikembangkan dengan pola kebun tumpangsari, hortikultura, sawah dan pemukiman penduduk. Pada jalur ini pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dipenuhi.
Rata-rata Pendapatan dalam setahun juta (rupiah)
Kegiatan usahatani masyarakat yang ada di sekitar daerah penyangga Lolobata memberikan pengaruh yang besar terhadap kelestarian taman nasional. Jika usahatani yang diterapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara ekonomi maka kemungkinan untuk merambah dan mengganggu kawasan hutan sangat kecil (Nurrani, 2013b). Jumlah pendapatan masyarakat pada beberapa pola lahan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 7.5. 60 40
20 0 -20
Pola Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan ˂ 1 Ha Luas Lahan 1 - 2 Ha Luas Lahan > 2 Ha
Gambar 7.5. Grafik pendapatan berdasarkan pola pemanfaatan lahan Lahan hortikultura dan kebun campuran memberikan kontribusi terbesar kepada masyarakat, Gambar 7.5 menunjukkan hortikultura dengan luas lahan 1-2 ha mampu memberikan pendapatan paling tinggi sebesar Rp 40 juta pertahunnya. Kebun campuran dengan luas lahan >2 ha memberikan pendapatan pada masyarakat sebesar Rp 38 juta. Sedangkan pola lahan tumpangsari dengan luas >2 ha memberikan pendapatan pada masyarakat sebesar Rp 13 juta per tahun. Secara umum seluruh pola pemanfaatan lahan memberikan benefit pada masyarakat karena nilai B/C rationya > 1 (Tabel 7.5). Namun pada analisis ini prinsip dan substansi utama yang dipentingkan adalah besarnya manfaat, sehingga dapat dikemukakan bahwa lahan hortikultura dan kebun campuran merupakan pola yang lebih baik dari pola lainnya.
Sintesis 2010-2014
| 116
Tabel 7.5. Nilai B/C ratio usahatani pada masing-masing pola pemanfaatan lahan Kebun Kebun Hortikultura Sawah Komponen campuran Tumpangsar (HRT) (SW) (KC) i (KT) Total Biaya (Rp) 3.952.840 3.254.215 2.500.778 1.909.167 Total Penerimaan (Rp) 29.412.500 21.273.264 12.681.200 9.457.143 Pendapatan (Rp) 25.459.660 18.019.049 10.180.422 7.547.976 R/C ratio 7,44 6,54 5,07 4,95 HRT dan KC 11,65 KC dan KT 11,40 BCR KT dan SW 5,45 SW dan KM
Kebun Hutan Murni rakyat (KM) (HR) 1.390.833 1.203.333 8.300.000 0 6.909.167 1.203.333 5,97 0,00
2,23
Mata pencaharian masyarakat di daerah penyangga TN Siberut umumnya bertani dengan membangun kebun campuran seluas 4.500 ha. Luas ini melebihi angka rata-rata kebun campuran di kecamatan Siberut Selatan. Desa ini umumnya setiap lahan ada vegetasinya baik pemukman, semak belukar, hutan adat, ladang dan kebun. Komoditi pertanian adalah padi ladang, jagung, kedelaii, pisang, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi. Potensi terbesar adalah ubi kayu. Penggunaan lahan di kecamatan Siberut selatan meliputi hutan dan areal budidaya sebagaimana Tabel 7.6. Tabel 7.6. Penggunaan lahan oleh masyarakat Siberut Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7
Jenis penggunaan Pemukiman Sawah Kebun campuran Perkebunan Hutan Belukar Lain-lain
Luas (ha) 324 190 3.094 108 41.561 5.212 344
Persentase terhadap luas Kecamatan (%) 0,64 0,37 6,09 0,21 81,76 10,25 0,68
Data menunjukkan lebih dari 89% areal kecamatan masih berhutan, ini menunjukkan ketersediaan habitat satwaliar untuk kepentingan ritual dan pemanfaatan tradisional (Gambar 7.6). Sedangkan kebun campuran, 6,09% adalah areal sumber pangan dan ekonomi masyarakat lokal (Gambar 7. 7).
Sintesis 2010-2014
| 117
Gambar 7.6 dan 7.7. Hutan di areal kecamatan dan kebun campuran masyarakat lokal di daerah penyangga TN Siberut Rendahnya kerapatan penduduk dan areal pemukiman yang menyebar serta kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan dapat menunjang keamanan dan kelestarian satwa serta habitatnya di kawasan taman nasioanal. Hal ini diperkuat dengan adanya jalur hijau hutan alam selebar 1,5 km dari pemukiman. Hal ini serupa yang disarankan untuk membatasi taman nasional dengan hutan produksi sebagai penyangga selebar 1700 m (Bismark et al., 2012b). Dengan kondisi kerapatan penduduk yang relatif rendah (30,34 jiwa/km2), populasi satwa yang stabil dan bagian desa yang masih berhutan lebih dari 80%, maka pengelolaan zonasi taman nasional lebih memberikan peluang masyarakat tradisional mendapatkan sumberdaya biodiversitas di dalam taman nasional. Dari seluas 192.655 ha taman nasional, 52,8% nya dikelola sebagai zona pemanfaatan tradisional, sedangkan zona inti hanya 24,2 %. Adapun untuk pemukiman ditetapkan sebagai zona kampung seluas 23,1%. Zona kampung ini didominasi oleh hutan dan kebun campuran, seperti di Siberut Tengah, kawasan hutan 83,6% dan kebun campuran 10,02%. Sumber pangan dari Siberut Selatan didominasi oleh hasil padi sawah 54 ton/tahun, ubi kayu 30 ton/tahun dan ubi jalar 72 ton/tahun. Jenis lain adalah kacang tanah dan keladi. B. Potensi di Daerah Penyangga Daerah penyangga merupakan kawasan pendukung kawasan konservasi dalam mempertahankan kelestarian ekosistem dan keanekragaman hayati, disamping itu daerah ini sangat potensial untuk dikelola sebagai jasa lingkungan yang terdiri dari asset wisata; penyangga konservasi; kawasan budidaya; penghasil tanaman perkayuan dan obat-obatan, keragaman hayati, kandungan karbon dan air. Nilai ekonomi jasa lingkungan daerah penyangga TN Kerinci Seblat, Rawa Bento, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi (Tabel 7.7)(Putra, 2011)
Sintesis 2010-2014
| 118
Table 7.7. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga TN Kerinci Seblat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Total
Parameter Ekowisata Kayu bakar Pakan ternak Perikanan Air domestik Air perikanan Air pertanian Penyerapan karbon Nilai pelestarian
Nilai Ekonomi (Rp/tahun) 2.627.742.000,1.023.100.000,250.087.500,50.172.000,615.257.837,1.761.666,142.172.000,6.511.437.959,188.180/orang 11.228.899.147,-
Persentase (%) 23,40 9,11 2,22 0,44 5,87 0,016 1,32 57,95 0,001 100
Selanjutnya, tipologi masyarakat yang didasarkan pada pengelolaan lahan dalam rangka ketahanan pangan dan pendapatan dibagi menjadi dua yaitu sawah dan ladang/kebun. Sawah terletak pada kelerengan yang cukup landai dan dilakukan dengan membuat terasering yang cukup baik, sedangkan ladang/kebun umumnya terletak pada lahan dengan kemiringan yang cukup tajam dan berada agak jauh dari pemukiman masyarakat ( Tabel 7.8). Tabel 7.8. Bentuk pengelolaan lahan dan pendapatan masyarakat di Kec. Cibeber, TN Halimun-Salak
No
Indikator
Dengkleng. Sukamulya
Lokasi (Kampung. Desa) Lebak Cirotan Ciparay, Sembada, Atas, Citorek Citorek Cihambali Timur Kidul
1.
Sawah
a.
Kepemilikan
Hak milik
-
b.
Luas sawah (ha) Jenis padi
0.04-0.05 Lokal
c. d.
2.
Frekuensi 2 kali/tahun Penanaman Sistem Irigasi non pengairan teknis Ladang/ kebun
a.
Kepemilikan
Hak milik
b.
Luas ladang
0.5-1
e.
Naga, Citorek Tengah
Hak milik
Hak milik
-
Kawasan hutan 0.02
0.25-1
0.5-1
-
Lokal
Lokal
Lokal
-
2kali/tahun
1 kali/tahun
1 kali/tahun
-
Irigasi non teknis
Irigasi non teknis
Irigasi non teknis
Kawasan TNGHS 0.05-0.25
Kawasan TNGHS 0.25-1
Hak milik
Hak milik
0.25-1
0.25-1
Sintesis 2010-2014
| 119
No
c.
Indikator
d.
Sistem berladang Kelerengan
e.
Jenis tanaman Kayu
Lokasi (Kampung. Desa) Lebak Cirotan Ciparay, Naga, Dengkleng. Sembada, Atas, Citorek Citorek Sukamulya Citorek Cihambali Timur Tengah Kidul Agroforestri Agroforestri, Agroforestri Agroforestri Agroforestri, Monokultur ,monokultur monokultur 30-45 % 20 % 20% 15-20% 5-10%
jeunjing, ky. afrika, mahoni & tisuk
agathis, mahoni, rasamala, puspa, pinus
jeunjing, ky. Afrika
Pisang, durian, kelapa, peteuy, kecapi
Jambu biji, nangka, kelapa, nanas,
Jambu, jeruk
Tanaman industri Tanaman obat
Cengkeh, Aren -
Aren, cengkeh Kumis kucing, jahe
-
3.
Perikanan
-
4.
Peternakan
Ayam
5.
Rata-rata pendapatan Rp./Bln/KK
550.000 – 1.500.000
Tanaman pertanian dan MPTS
1.
-
jeunjing. Ky. Afrika
jeunjing, ky. Afrika
Pisang, Jambu air, jengkol, limus, cabe durian, keriting jambu air, jambu bol, rambutan, nanas ,terong Kopi, aren Aren -
Jahe, kunyit, laja. kucai, kumis kucing Ikan mas dan Ikan mas dan Ikan mas dan Ikan mas dan nila nila nila nila Ayam, Ayam Ayam, Ayam, bebek kambing Bebek manila, manila, kerbau. domba, Domba kerbau 1.500.000 1.500.000 1.175.000- 1.350.0001.700.000 1.700.000
Keaneragaman Hayati
Populasi primata di areal hutan produksi di daerah penyangga TN Siberut yang terkena dampak penebangan akan turun 20%. Tabel 7.9 menunjukkan populasi primata di areal bekas tebangan LOA 5 tahun tidak berbeda dengan populasi di taman nasional. Untuk itu wilayah konservasi dapat ditunjuk pada areal bekas
Sintesis 2010-2014
| 120
ditebang 5 tahun dengan populasi jenis primata arboreal sejumlah 125 individu sebagai populasi efektif. Tabel 7.9. Populasi primata (individu/km²) di Cagar Biosfer Siberut Hutan Primer Siberut Utara
Hutan Bekas Tebangan Siberut Utara
LOA 5 Tahun Siberut Selatan
TN Siberut*)
H. klossii
8,14
6,54
4,26
4,45
S. concolor
10,99
8,70
7,56
8,84
P. potenziani
10,14
10,32
7,40
6,60
M. pagensis
31,56
33,10
19,74
2,65
Jenis
Hutan rakyat di Desa Madobag yang merupakan bagian dari daerah penyangga, menunjukkan potensi primata yang sulit ditemukan, terutama jenis Hylobates dan Simias, yang hidup arboreal dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan dari perburuan, jumlah individu rata-rata 22,4 (Bismark et.al, 2011) (Tabel 7.10). Tabel 7.10. Populasi primata di lokasi penelitian.
Jenis Primata Hylobates klossii Simias concolor Presbytis potenziani Macaca siberu Jumlah individu
Populasi (individu/km2) Desa Madobag (2012) TN. Siberut 2009 2010 12,1 4,45 8,9 8,84 4,6 4,6 6,60 4,2 5,7 2,65 5,3 22,54 23
P. potenziani primata pemakan daun dan M. pagensis yang bersifat semi terestrial dapat bertahan di lokasi dekat dengan pemukiman, sedangkan di areal yang jauh dari pemukiman mudah teramati adalah H. klosii karena populasi cukup tinggi dibanding dengan populasi TNS. Di daerah penyangga TN Kutai dijumpai pohon buah-buahan lokal yang dipanen dari hutan, dikelola dalam hutan atau setengah dibudidayakan di pekarangan atau di kebun rakyat diantaranya Krantungan (Durio oxleyanus), Kasturi (Mangifera casturi), keledang (Artocarpus lanceifolius), mundar (Garcinia celebica), maritam (Nephelium juglandifolium). Keanekaragaman jenis tanaman buah-buahan di Kalimantan cukup tinggi dan beberapa termasuk endemik diantaranya 24 jenis mangga liar, 16 jenis rambutan (Nephelium lappaceum) dan durian (Durio sp.)(Sawitri et al.,2011). Selain memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang ada di sekitarnya, masyarakat juga memanfaatkan berbagai jenis ikan di S. Sangata (Tabel 7.11) dan burung
Sintesis 2010-2014
| 121
seperti rangkong (Rhinoplas vigil), punai (Treron sp.) dan beo (Gracula religiosa) baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diperjualbelikan (Sawitri et al. 2011). Tabel 7.11. Jenis ikan dari S. Sangata yang dikonsumsi dan diperjual-belikan Nama Lokal Haruwan/Toman/Gabus
Sili
Sepat
Sidat Terumpah Puyu Batu Baung
Patin Lele Keting Sembilang Lumbat
Sintesis 2010-2014
| 122
Nama Latin Channa melasoma Channa striata Channa cyanospilos Channa melanoptera Channa pleurophithalmus Channa marulioides Macrognathus aculatus Macrognathus maculatus Mastacembelus notophthalmus Trichogaster leerii Trichogaster trichopteris Trichogaster pectoralis Trichopsis villata Sphaerichthys selatanensis Sphaerichthys vaillanti Sphaerichthys osphromenoides Sphaerichthys acrostoma Anguilla marmorata Cynoglossus puncticeps Pseudothombus arsius Anabas testudineus Helostoma temminchii Mystus nemurus Mystus gulio Mystus nigriceps Mystus micracanthus Mystus bimaculatus Pangasius nieuwenhuisii Clarias leiacanthus Arius spp. Brachygobius aggregatus Ompok leiacanthus Ompok euganeiatus Ompok sabarus Ompok hypophthalmus Ompok bimaculatus Kryptoptemus parvarialiss
Harga (Rupiah/kilogram) 35.000,- -40.000,-
60.000,-
10.000,-
25.000,15.000,30.000,15.000,35.000 – 40.000,-
35.000 – 40.000,20.000 – 25.000,20.000 – 25.000,30.000 – 40.000,20.000 – 30.000,-
Nama Lokal
Harga (Rupiah/kilogram)
Nama Latin Kryptoptemus palembangensis Kryptoptemus schilbeides Silurichthys hasseltii Silurichthys phaiosoma Hemirlamphodon phaisoma Hemirlamphodon neglectus Epinephelus spp Lutjanus fuscescens Lutjanus maxweberi Lutjanus johnii Oreochronius mossambicus Mugil cystachius Cyprinus carpio Punctius spp Rasbora spp Osteochilus spp Oxygaster anomalura Parachela hypophthalmus Parachela oxygastroides
Julung-julung Kerapu Kakap
Mujair Belanak Ikan Mas Seluang Karper
15.000 – 20.000,35.000 – 40.000,15.000 – 20.000,-
10.000 – 15.000,30.000 – 40.000,34.000 – 40.000,15.000 – 20.000,10.000 – 15.000,-
Penangkapan ikan dilakukan dengan cara memancing, menjaring, meracun maupun menyetrum. Cara memancing secara tradisional, untuk ikan-ikan kecil seperti ikan seluang (Rasbora spp.) menggunakan umpan kail kelapa. Sedangkan untuk jenis ikan lainnya digunakan umpan seperti ulat bambu, usus ayam dan ikanikan kecil. Banyaknya orang yang memancing di S. Sangata 10 orang per hari per dusun, hasil rata-rata 3-5 kg per orang. Hasil tangkapan ikan tersebut umumnya dijual atau dikonsumsi sendiri. Di daerah penyangga TN Siberut berpotensi sebagai habitat dipterocarpaceae (Tabel 7.12). Tabel 7.12. Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi Cagar Biosfer P. Siberut
Keadaan Hutan Primer Bekas tebangan < 1 tahun
Tinggi ratarata (m)
Kerapatan (Batang/ha)
Basal Area (m2/ha)
Indeks Nilai Penting
Keragaman Jenis
Pohon
Tiang
Pohon Tiang Pohon
Tiang
Pohon Tiang
23,5
24,0
13,34
10,83
0,23
123,3
43,66
0,23
0,15
19,6
9,3
4,0
1,6
0,04
64,7
16,3
0,19
0,08
Sintesis 2010-2014
| 123
Keadaan Hutan Bekas tebangan 5 tahun
Tinggi ratarata (m) 21,3
Kerapatan (Batang/ha)
Basal Area (m2/ha)
Indeks Nilai Penting
Keragaman Jenis
8,0
0,79
27,9
0,12
5,34
0,08
19,9
0,09
45
45
40
40
40
35
35
35
30
30
30
25 20 15
Tinggi (m)
45
Tinggi (m)
Tinggi (m)
Sebaran sebaran tinggi pohon disajikan pada Gambar 7.8, Gambar 7.9 dan Gambar 7.10.
25 20 15
25 20 15
10
10
10
5
5
5
0
0
1
31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 Nomor Pohon
0 1
31
61
91
121
Nomorpohon Pohon Nomor (Number of trees)
151
181
1
31
61
91 121 151 181 211 241 271 301 331 Nomor Pohon Nomor pohon
(Number of trees)
Gambar 7.8., 7.9 dan 7.10. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1 tahun, dan LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007). Pada Gambar 7.8., jenis pohon yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30 m) yaitu koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), katuko (Shorea johorensis Foxw.) dan kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20 m – 30 m) yaitu alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan rimbo (Glochidion sp.); strata C (10 m – 20 m) yaitu tumu (Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.). Jenis pohon yang mendominasi tinggi (Gambar 7.9) pada strata A (> 30 m) yaitu rimbo (Glochidion sp.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.) dan kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20 m30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m-20 m) yaitu tumu (Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.). Pada Gambar 7.10, jenis yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30 m) yaitu koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.) dan roan (Horsfieldia irya Warb.); jenis yang mendominasi strata B (20 m – 30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m – 20 m) yaitu roan (Horsfieldia irya Warb.), kosoi (Aporosa sp.) dan rimbo (Glochidion sp.). Potensi daerah penyangga Taman Nasional Gn Halimun Salak antara lain untuk pengembangan lebah madu dan sutera. Jenis lebah madu yang dapat
Sintesis 2010-2014
| 124
dikembangkan adalah Apis cerana. Budidaya lebah ini memberikan hasil B/C ratio 1,025-1,109, IRR 23,77%-43,79% dan NPV positif. Sedangkan pengembangan sutera berasal dari 3 hibrid ulat sutera hasilnya tinggi dilihat dari perbandingan rasio kulit dan kokon 20% dan berat kokon 1,48-1,84 hr/kokon dengan pemberian pakan daun murberi yang berproduksi 538-760 gr/pohon/pangkas. Di daerah penyangga TN Lore Lindu, masyarakat adat Suku Kaili di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa sebagian besar mata pencaharian utamanya sebagai petani dan pekerjaan sampingan terkait dengan kelompok pemberdayaan masyarakat yang diikuti, baik sebagai pengambil tanaman obat di hutan, pemelihara tanaman di plot percontohan tanaman obat (2 ha) maupun pembuatan gula aren dan pembuatan kue tradisional malese (Bismark et al., 2012). Desa Pakuli merupakan Model Desa Konservasi dengan tiga kelompok binaan Asyifa sebanyak 50 orang, KPLH Palapi sebanyak 10 orang dan Sangurara sebanyak 30 orang. Pengambilan tanaman obat berupa daun, batang, akar, bunga, buah, kulit batang dan bagian tanaman kainnya, dilakukan oleh anggota kelompok dengan upah berkisar antara Rp. 100.000,- - Rp 200.000,- per karung sesuai dengan jenis tanamannya seperti sarang semut, leangaru, daun dadap, daun bekawa, daun mangga, daun kemiri, akar kuning dan rumputrumputan (Gambar 7.11).
Gambar 7.11. Jenis-jenis bahan obat-obatan Jenis tanaman obat yang telah digunakan tercatat sebanyak 300 jenis, sebagai hasil survey antara anggota Asyifa, BPPT dan NGO Korea Selatan. Pembinaan yang telah dilakukan oleh TNLL terhadap kelompok ini berupa perlengkapan berkebun, pelatihan tanaman obat dan keikutsertaan di pameran. Sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat sebagai obat teridentifikasi pada kawasan TNAL yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional.
Sintesis 2010-2014
| 125
Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, sebanyak 20 Jenis pada Desa Akejawi dan sebanyak 46 jenis pada Dusun Tayawi. Berdasarkan habitus tumbuhan, kategori pohon paling banyak dengan persentase sebanyak 42,68 %, herba 28,05 %, liana 19,51 % serta perdu dan palma dengan masing-masing persentase 4,88%. Bagian yang banyak dimanfaatkan adalah daun sebanyak 40,00%, batang 18,95%, kulit 15,79%, akar 10,53 %, batang bagian dalam 5,26 %, seluruh bagian tumbuhan 4,21%, getah 3,16 % serta biji dan bunga dengan masing-masing persentase sebesar 1,05%. 2. Kesuburan Lahan Necromass adalah bagian organ dari tumbuhan (daun, ranting, batang, akar, bunga dan buah), baik yang telah lapuk maupun yang belum, yang ada di atas permukaan tanah. Peran necromass dalam siklus karbon adalah akan menghasilkan emisi CO2 dalam proses pelapukan bahan tersebut dan hasil akhir dari proses ini yaitu tersedianya bahan organik yang dapat diserap oleh akar tumbuhan (Morikawa, 2002). Potensi necromass di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.13. Tabel 7.13. Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut Keadaan hutan Hutan primer
Plot 1 2 3
Rata-rata Bekas tebangan 1 tahun
1 2 3
Rata-rata Bekas tebangan 5 tahun Rata-rata
1 2 3
Biomasa (ton/ha) 0,63 0,73 0,60 0,65 0,84 0,87 0,65 0,78 0,84 0,68 0,68 0,73
Kandungan karbon (ton C/ha) 0,32 0,37 0,30 0,33 0,42 0,44 0,33 0,39 0,42 0,34 0,34 0,37
Serapan CO2 (ton CO2/ha) 1,17 1,36 1,10 1,21 1,54 1,61 1,21 1,43 1,54 1,25 1,25 1,36
Dari Tabel 7.13, dapat diterangkan bahwa potensi necromass di hutan bekas tebangan satu tahun paling tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan lima tahun maupun hutan primer. Hal ini disebabkan pada hutan bekas tebangan satu tahun masih banyak sisa-sisa pembalakan yang masih belum terdekomposisi dengan sempurna. Hubungan potensi necromass dengan beberapa parameter kesuburan tanah hutan produksi Siberut disajikan pada Tabel 7.14. Potensi necromass terkait dengan kesuburan tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan anakan dalam suksesi di kawasan hutan bekas tebangan. Berdasarkan analisis contoh tanah (kedalaman 5 cm) di kawasan bekas tebangan dibandingkan dengan hutan primer, terdapat perbedaan
Sintesis 2010-2014
| 126
dalam beberapa parameter, diantaranya Kapasitas Tukar Kation (KTK), C/N, dan P2O5 dari hutan primer menurun sampai bekas tebangan lima tahun. Tabel 7.14. Potensi necromass dan kesuburan tanah di daerah penyangga TN Siberut Parameter
Hutan primer
Necromass (ton/ha) C/N P2O5 (ppm) KTK (me/100g)
0,65 10,2 – 10,3 4,8 – 7,2 38,59 – 41,67
Lokasi Tebangan 1 tahun 0,78 9,9 – 12,6 4,6 – 7,9 16,63 – 21,5
Tebangan 5 tahun 0,73 6 – 12,8 5,26 – 11,2 9,9 – 17,9
3. Potensi Wisata Potensi wisata di kawasan TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan belum dikelola, namun sebagian areal sudah menjadi andalan objek wisata yang dikenal oleh masyarakat. Potensi wisata yang terdapat di dalam kawasan seperti Air Terjun Lumpo, jembatan akar, serta batu bidak (Gambar 7.12).
Gambar 7.12. Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat Pengelolaan Wisata Bedul, di daerah penyangga dan kawasan TN Alas Purwo, merupakan wisata mangrove di estuaria. Infrastruktur areal wisata terdiri dari tiket, penitipan kendaraan, pemandu, kebersihan, sebanyak 10 orang dengan jadwal tugas 4 orang/hari. Karcis pengunjung: wisatawan mancanegara Rp. 20.000,- (TNAP) + Rp. 4.500,-; wisatawan lokal Rp. 2.500,-(TNAP) + Rp. 4.500,-; pelajar Rp. 1.250,(TNAP) + Rp. 4.500,-; penitipan motor Rp. 1.000,-, mobil Rp. 3.000,- dan Rp. 3.500,- untuk perahu. Sejak bulan Agustus telah mengalami kenaikan untuk karcis masuk kawasan. Penggunaan uang karcis yaitu setor ke desa Rp. 500,-/orang, setor ke Perhutani Rp 300.000,- - Rp. 500.000,-/bulan, Gaji Rp. 500.000,-. MOU perijinan pengelolaan areal wisata tersebut dilakukan antara Badan Pengelola Desa Sumberasri, Departemen Kehutanan dan Perhutani. Kegiatan wisata telah dilaksanakan dalam bentuk paket wisata berupa Atraksi penyu bertelur 10-15 orang
Sintesis 2010-2014
| 127
(Biaya Rp. 500.000,- - Rp. 227.000,- untuk pertahu) di Ngagelan; Paket Kere, menginap di tempat nelayan mencari udang (Tunder) Rp. 200.000,- - Rp. 97.000,untuk perahu); Paket ke Cungur melihat burung migran, bulan Agustus (Rp. 260.000,- - Rp. 127.000,- untuk perahu). Pengunjung ke lokasi ini selama tahun 2113, sejumlah 36.539 jiwa. Partisipasi pengelola yang berasal dari Sumberasri terhadap kawasan adalah mengikuti penanaman mangrove dan pengamanan kawasan dari perburuan liar, pengambilan rencek, penebangan kayu. Stakeholder dan pembangunan yang telah dilakukan diantaranya oleh Dinas Pariwisata melalui pembinaan PNPM Homestay, atap dan kursi perahu; Pemerintah Daerah TK II membangun pembangunan darmaga, dan rumah souvenir; Pihak pengelola dari BUMDES Sumberasri adalah pembangunan rumah ibadah; TN Alas Purwo membuat bangunan gapura; Dinas Perikanan dan Kelautan memberikan bantuan kepada kelompok nelayan setiap tahun, mesin pembuatan krupuk dan presser, pembelajaran pemanggangan ikan; sedangkan masyarakat membentuk Kelompok Sadar Wisata “Pok darwis” tahun 2008, homestay 12 rumah, tarif Rp. 60.000,-/orang, agrowisata blimbing, jeruk dan buah naga, home industri krupuk tempe, acara pethik laut di Bedul dan Grajagan, budidaya lele, kelompok perahu 10 orang, warung makanan 7 tempat, kelompok kambing 30 orang, 15 ekor, iuran Rp. 100.000,- /anak kambing. Pengembangan areal wisata ini masih mengalami beberapa permasalahan yaitu kurangnya pendampingan oleh petugas TNAP di loket karcis; karcis belum terpadu; promosi belum optimal; belum adanya rencana penataan ruang dan lanskap; kurangnya bangunan fasilitas umum seperti visitor center tentang mangrove, aula pertemuan, tempat permainan anak, kolam berendam/renang, tracking di dalam kawasan mangrove, pelebaran jalan 0,5 m kiri kanan jalan, pengisian souvenir shop dan perluasan darmaga (Sawitri, 2014). Disamping itu, akibat belum adanya penataan ruang maka tambatan perahu nelayan di sekitar hutan mangrove mengganggu pertumbuhan anakan mangrove; menipisnya ketebalan mangrove memicu terjadinya wabah cikunguya, dan pemanfaatan biota perairan oleh masyarakat masih menggunakan jaring dengan berukuran mess besar mengakibatkan hasil biota perairan yang kecil ikut terjaring. D. Strategi Pengembangan Daerah Penyangga 1. Kelembagaan Pengelolaan daerah penyangga selain keterlibatan stakeholder juga diikuti dengan peraturan-peraturan, seperti daerah penyangga TN Lore Lindu dalam wilayah Cagar Biosfer dimana kawasan intinya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 503.738 ha, tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 6 Tahun 2006. Perda ini memuat tujuan pengelolaan daerah penyangga TNLL untuk menyeleraskan pembangunan daerah dengan program pembangunan TNLL sebagai satu kesatuan pembangunan yang terpadu, meningkatkan dan mengembangkan konservasi lingkungan bagi masyarakat di daerah penyangga guna mewujudkan interaksi positif antar kebutuhan masyarakat dan TNLL, serta mengurangi dampak
Sintesis 2010-2014
| 128
negative akibat pembangunan sehingga keberadaan dan fungsi TNLL sebagai kawasan konservasi dapat lestari. Strategi pengelolaan yang digunakan dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah penataan struktur dan pemanfaatan ruang, kebijaksaan tata guna/lahan, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam, kebijaksanaan pengembangan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan serta kelembagaan dan kemitraan. Penyelenggaraan pengelolaan daerah penyangga tersebut dilakukan dengan membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan–Daerah Penyangga TNLL Propinsi dan Kabupaten serta forum kemasyarakatan di desa- desa. Hak dan kewajiban masyarakat diantaranya adalah: mengetahui rencana pengelolaan daerah penyangga, berperan dalam pengelolaan daerah penyangga, menikmati manfaat dari pengelolaan daerah penyangga, pengakuan/perlindungan hak-hak keperdataan masyarakat setempat, memelihara dan meningkatkan fungsi dan kualitas daerah penyangga serta berlaku tertib atas rencana pengelolaan daerah penyangga. Rambu-rambu yang diberlakukan kepada masyarakat guna kelancaran pengelolaan daerah penyangga TNLL meliputi berbagai larangan: 1) Melakukan kegiatan yang dapat merubah fungsi peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan 2) Penebangan pohon di sekitar sempadan sungai dan mata air serta daerah lereng terjal 3) Membuka dan mengolah lahan kebun di daerah lereng terjal, kecuali menggunakan teknologi konservasi tanah 4) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kebakaran hutan 5) Melakukan kegiatan yang dapat mencemari air 6) Melakukan perburuan satwaliar yang dilindungi 7) Melakukan kegiatan yang dapat merusak situs peninggalan budaya dan purbakala 8) Menangkap ikan atau mahluk air lainnya dengan menggunakan strum, zat kimia, racun dan bahan peledak 9) Pengelolaan lahan masyarakat berkaitan erat dengan mata pencaharian utama maupun sumber pendapatan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Jorong Bangun Rejo memiliki kesadaran yang cukup tinggi dalam menkonservasi kawasan TNKS dengan melakukan patroli secara swakarsa yang beranggotakan 21 orang (Gambar 7.13). Kelembagaan pengelolaan daerah penyangga kedua taman nasional tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut (Gambar 7.14 dan 7.15).
Sintesis 2010-2014
| 129
Gambar 7.13. Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan Sumber: Abbas (2010)
TNKS
Peternakan
ICDP
Zonasi TN batas DP
Pertanian
Masyarakat
Patroli Swakarsa
Kelompok Tani
PEMDA
DISHUT
Pariwisata
Kawasan hutan
Kawasan Objek wisata DP
KBR
Agrowisata
Zona Khusus Agroforestri, Peternakan Desa Konservasi
Restorasi TN
Zona Pemanfaatan
Zona Rehabilitasi
Gambar 7.14. Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat
Sintesis 2010-2014
| 130
TNLL
PEMDA
Masyarakat
PERDA
Kelompok tani
Cakar Maleo
Penggiat obatobatan
Pola penggunaan lahan
Penangkaran Maleo
Plot tanaman obatobatan dan masyarakat
Penyuluhan, pendidikan konservasi
Hasil Hutan Non Kayu
Rehabilitasi sungai
Zonasi TN
Pelestarian budaya/masyarakat adat pengguna telur maleo
Tim Koordinasi Pengelolaan DP
Kehutanan
Pertanian
Gerhanas
Rehabilitasi
Agroforestri
Gambar 7.15. Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu 2. Kearifan Lokal di Daerah Penyangga Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahannya tercermin dari tipologi masyarakat sebagai pelakunya. Umumnya, etnis Jawa menitikberatkan pada sistim usahatani secara intensif dengan budidaya berbagai jenis tanaman pangan semusim dan sayur-sayuran (Gambar 7.16), kebun rakyat pada etnis Kutai adalah kombinasi antara berbagai tanaman pangan semusim (singkong), sayur-sayuran, tanaman serbaguna serta tanaman buah-buahan dan pola usahatani kebun rakyat pada etnis Bugis didominasi oleh tanaman pangan semusim (jagung) dan beberapa jenis tanaman buah-buahan seperti nangka, rambutan dan kelapa (Gambar 7.17)(Sawitri et al, 2011)
Sintesis 2010-2014
| 131
Peternakan
Gambar 7.16. Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Jawa
Gambar 7.17. Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis Masyarakat di daerah penyangga TNKS, kearifan lokal adalah mengembangkan perkebunan karet dan kebun campuran dengan sistem agroforestri (Gambar 7.18)
Gambar 7.18. Kebun agroforestri dan kebun karet rakyat
Sintesis 2010-2014
| 132
Pengelolaan lahan milik berupa perkebunan karet murni yang tidak intensif dan efektif memberikan pendapatan yang kurang memadai sehingga masyarakat membuka lahan di dalam kawasan TNKS untuk dijadikan kebun dengan tanaman bernilai ekonomis. Tetapi masyarakat di daerah penyangga di Jorong Bangun Rejo, membangun kebun campuran yang terdiri dari tanaman karet dan padi gogo ataupun rumput gajah, sedangkan tanaman kelapa sawit dengan kopi dan suren. Potensi masing-masing pola pemanfaatan lahan yang ada di kawasan penyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata blok Lolobata dapat dilihat dibawah ini : Tabel 7.15. Struktur dan komposisi daerah penyangga TNAL Pola Hutan sekunder
Hutan rakyat
Kebun campuran
Kebun Kebun tumpangsari
Hortikultura
Sawah
Pedesaan
Potensi - Keanekaragaman jenis tanaman - Habitat satwa - Penyimpan air
Manfaat ekonomi Manfaat ekologi - Sumber pendapatan - Pelestarian - Satwa bernilai biodiversitas ekonomis tanaman - Manfaat air - Habitat dan populasi satwa - Nilai jasa lingkungan - Pohon hutan dan - Pendapatan - Pelestarian eksbudidaya masyarakat situ - Industry kayu - Kayu - pendapatan - budidaya - tanaman masyarakat - pelestarian eks-situ perkebunan - sumber gizi - biodiversitas - pangan masyarakat - buah-buahan - sayuran - tanaman - pendapatan - budidaya perkebunan masyarakat - pelestarian eks-situ - tanaman - pendapatan - budidaya perkebunan masyarakat - pelestarian eks-situ - buah-buahan - sumber gizi - sayuran masyarakat - buah-buahan - pendapatan - budidaya - sayuran masyarakat - pelestarian eks-situ - sumber gizi masyarakat - sumber pangan - pendapatan - budidaya masyarakat - sumber kebutuhan pangan makanan - pemukiman - peningkatan - lingkungan - sarana jalan pendapatan pedesaan - kebun masyarakat - berkurangnya pekarangan - lapangan kerja intervensi ke hutan
Sintesis 2010-2014
| 133
Pola
Potensi - kerajinan - industry pertanian - pemeliharaan ikan
Manfaat ekonomi
Manfaat ekologi - konservasi tanah dan air
Sistem usahatani berbasis kelapa yang digabungkan dengan tanaman sela (kebun campuran) tidak hanya meningkatkan pendapatan dari segi diversifikasi hasil produksi saja namun juga akan memperbaiki airase tanah sehingga dapat memperbaiki sistem perakaran dan meningkatkan daya serap terhadap unsur hara yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas kelapa. 3. Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam daerah yang berorientasi peningkatan sosial ekonomi berhadapan dengan misi perlindungan yang diemban kawasan konservasi taman nasional (Wiratno, et.al. 2004). Katagori persepsi menurut Ngakan et.al (2006) dibagi tiga, yaitu: (a) persepsi baik, apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa mereka bergantung hidup dari hutan dan menginginkan agar hutan dikelola secara lestari; (b) persepsi sedang, apabila masyarakat menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya hutan tetapi tidak memahami kalau hutan perlu dikelola dengan baik agar manfaatnya bias diperoleh secara berkelanjutan dan (c) persepsi tidak baik, apabila masyarakat tidak menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya hutan atau kepentingan lain yang membuat mereka cenderung berasumsi bahwa tidak perlu menjaga kelestarian hutan. Keadaan yang terjadi di masyarakat tersebut perlu diketahui agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi yang akan dilaksanakan oleh pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah daerah dan pengelola kawasan. Kondisi ini ditunjukkan oleh masyarakat di daerah penyangga TNGHS (Sawitri dan Subiandono, 2011). Dari ketiga persepsi tersebut, persepsi masyarakat Kp. Lebak Sembada, Ds Citorek Kidul termasuk persepsi positif berdasarkan konservasi kawasan, sedangkan persepsi masyarakat lainnya merupakan persepsi abu-abu karena mereka masih menghendaki pembukaan areal pertambangan emas padahal kawasan ini telah dimasukkan ke dalam TNGHS, sehingga diperlukan pengkajian kawasan, sosial ekonomi masyarakat dan potensi geologi. Persepsi masyarakat di daerah penyangga Taman Nasional Akatajawe Lolobata, didasarkan pada tingkat pendidikan, etnis dan tingkat ketergantungan pada sumberdaya hutan. Persepsi yang baik dijumpai pada masyarakat yang memahami akan keberadaan taman nasional dan fungsinya terhadap konservasi keanekaragaman hayati dam penyangga kehidupan, sehingga turut berpartisipasi aktif terhadap kegiatan pengelolaan kawasan. Persepsi tingkat sedang terbatas pada pengertian
Sintesis 2010-2014
| 134
bahwa taman nasional merupakan kawasan hutan yang harus dijaga dan dilindungi kelestariannya. Sedangkan, masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah, tradisional dan suku terasing tidak mengetahui fungsi taman nasional meyakini bahwa hutan merupakan lahan adat warisan leluhur, sehingga memungkinkan pembukaan kawasan sebagai lahan garapan budidaya pertanian seperti yang dilakukan masyarakat Kulo dan Tajawi dari suku Togutil (Nurrani dan Tabba, 2013). Persepsi masyarakat di sekitar TN Babul tentang manfaat kawasan hutan, pada umumnya menyatakan bahwa manfaat taman nasional yang utama adalah manfaat ekologi (59,4%) untuk mencegah terjadinya banjir, longsor serta menjaga ketersediaan air. Selain itu manfaat lainnya yang dinyatakan masyarakat adalah manfat ekonomi untuk memuni kebutuhan sehari-hari sebagai tempat untuk berkebun, mengolah sawah serta mengambil hasil hutan bukan kayu (madu, nira aren, dan biji kemiri) sehingga komoditas yang diinginkan masyarakat untuk dikembangkan dalam kawasan adalah perkayuan dan MPTS, tanaman perkebunan dan pertanian (Kadir et al., 2010). Pengembangan wisata alam di Prevab-Mentoko, TN Kutai melibatkan masyarakat Dusun Kabo Jaya yang terdiri dari Kampung jawa, Kampung Bugis, Kampung Banjar, Kampung Tator dan Kampung Timur sesuai dengan etnis atau daerah asalnya. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan formal dan lama tinggal dimana pengembangan wisata alam diarahkan pada responsible tourism dan memberikan dampak positif berupa tambahan penghasilan dari homestay, usaha barang kerajinan, pemandu wisata dan penjualan hasil kebun (Sayektiningsih, 2010). E. KORIDOR Dengan berkembangnya program pengembangan wilayah, penataan fungsi kawasan semakin penting artinya dan bahkan semakin meningkatkan nilai dan peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Disisi lain, kepentingan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi memberi peluang pula bagi peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik lahan, bahkan kegiatan tersebut cenderung terjadi secara illegal. Untuk menyelaraskan kepentingan diatas, dengan memperhatikan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dalam ekosistemnya, maka dikembangkan sistem pengelolaan lahan di luar kawasan taman nasional berupa koridor. Koridor merupakan areal memanjang di suatu lanskap dan berbatasan dengan hutan dimana manusia beraktivitas sehingga menyebabkan habitat satwa terfragmentasi. Koridor ini dibagi menjadi dua yaitu kesesuain habitat berfungsi sebagai kelangsungan hidup dan reproduksi serta areal perlintasan (Rosenberg et al., 1997)
Sintesis 2010-2014
| 135
Wilayah koridor merupakan penghubung ekosistem yang berfungsi sebagai tempat terjadinya aliran genetik untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan penyangga kehidupan (Rinaldi, 2008). Koridor Halimun-Salak menghubungkan ekosistem Gn Halimun dan Gn Salak meliputi wilayah administrasi Kabupaten Bogor yaitu Desa Purasari dan Desa Purwabakti serta Kabupaten Sukabumi yang terdiri dari Desa Cihamerang, Desa Cipetey dan Desa Kabandungan dengan luas total 4.206,18 ha (Natalia, 2012). Kondisi koridor ini mengalami degradasi akibat infrastruktur bangunan dan prasarana jalan, lahan pertanian, pemukiman serta konversi lahan hutan (Rinaldi, 2008). Hutan di koridor dari tahun 1990 – 2001, dari 666.508 ha menjadi 318.985 sehingga luasan fragmentasi dan degradasi sekitar 347.523 ha, serta lebar koridor yang menyempit dari 1,4 km menjadi 0,7 km (Cahyadi, 2003). Kondisi koridor Halimun- Salak sementara ini terdiri darin tutupan hutan primer (6,38%), hutan sekunder (12,18%), semak belukar (35,29%), perkebunan teh 12,24%) dan pertanian lahan kering (12,18%) (Natalia, 2012). Di koridor ini dijumpai 58 jenis burung yang merupakan 23,8 % dari keseluruhan jenis burung di TN Gn Halimun Salak, sedangkan komposisi semak belukar merupakan habitat kesukaan burung prenjak jawa (Prinia familiaris) yang juga pemakan biji-bijian, jenis burung lain yang dijumpai bersarang di lokasi ini diantaranya cekakak cina (Halcyon pileata), puyuh batu (Coturnix chinensis), cinenen (Orthothomus sp.), dan elang hitam (Ichtinaetus malayensis) dengan memanfaatkan pohon rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan semak belukar ( Shofwan, 2006). Burung elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790), menggunakan pohon yang dijumpai di koridor Halimun Salak sebagai tempat istirahat yaitu pohon kayu afrika (Maesopsis eminii), jaret (Mastixia tricholoma), pasang (Querqus sp.) dan ki putri (Podocarpus sp.) dimana bentuk pohon tinggi, cabang berukuran besar dan mendatar serta tajuk tidak terlalu rapat (Purbahapsari, 2013). Pohon untuk bersarang merupakan emergent trees, tinggi dan besar dengan tajuk yang rapat seperti pohon rasamala (Altingia axselsa), puspa (Schima wallichii) dan ki hujan (Engelhardia spicata). Disamping itu kawasan koridor meyediakan pakan potensial terdiri dari 10 jenis burung terestrial yang tidak banyak bergerak, 2 jenis mamalia, 8 jenis reptil dan 2 jenis amfibi. Potensi kupu-kupu (Lepidopthera: Ditrisia) di kawasan koridor yang terdiri dari hutan, lahan pertanian dan perkebunan teh paling banyak dijumpai famili Nymphalidae yaitu jenis Yphtima sp. yang menyukai pohon Arecacea, Cyperaceae dan Poaceae; sedangkan di Eurema sp. (Pieridae) dijumpai di pohon Caesalpiniceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae dan Delias belisima terdapat di pohon Poaceae. Disamping itu, keragaman jenis kupu-kupu yang dominan tersebut tergantung pada
Sintesis 2010-2014
| 136
keragaman jenis pohon sebagai sumber pakan dan tempat bertelur sebagai tumbuhan inang (Efendi, 2009). Koridor Siberut yang telah di cadangkan untuk tidak dimanfaatkan adalah selebar 1 km sepanjang batas hutan produksi seluas 6.870 ha, yang ditetapkan sebagai daerah penyangga di hutan produksi menghubungkan antara Taman Nasional Siberut dan hutan produksi. Menurut penelitian, minimal lebar vegetasi batas taman nasional adalah 1,7 km. Fungsi dan sistem pengelolaan yang terstruktur dengan sistim zonasi akan menyelaraskan fungsi pelestarian dan pemanfaatan serta kepentingan sosial masyarakat, terutama masyarakat yang masih tergantung pada sumberdaya hutan. Disamping itu untuk melindungi kawasan konservasi tersebut dari dampak pengelolaan hutan produksi yang berbatasan dengan taman nasional. Koridor gajah yang digagas Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menghubungkan berada di landskap Bukit Tigapuluh dengan kawasan HTI karet PT Lestari Asri Jaya (LAJ), kawasan eks HPH Dalek Hutani Esa (DHE) dan PT Tebo Multi Agro (TMA) dialokasikan pada daerah sempadan sungai selebar 100 m dengan tanaman kemiri (Aleurites mollucana) sebagai pembatas. Kelompok gajah yang berjumlah sekitar 100 ekor membutuhkan 500 ha/ekor, maka dibutuhkan sekurangkurangnya 50.000 ha, tetapi kawasan restorasi ekosistem eks HPH DHE yang telah tersedia luasnya sekitar 45.095 sehingga terjadi kekurangan luasan yang diharapkan dapat dipenuhi dari PT LAJ dalam bentuk wilayah konservasi (Rambe, 2014). Koridor antara landsekap Hutan Batang Toru-Taman Nasional Batang Gadis yang digagas oleh Konsorsium Sahabat melalui program TFCA-Sumatera mencanangkan pemulihan dua kawasan koridor di Hutaimbaru dan Lobu Pining seluas 1099 ha dengan serta 6 kawasan harangan desa diantaranya Blok hutan Batang Toru Barat-Blok Hutan Dolok Ginjang di Desa Dolok Nauli, dan antara Blok hutan Batang Toru Barat dengan hutan Batang Toru Timur untuk keberlangsungan orangutan (Pongo abelii) dengan tanaman perkayaan seperti durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), cempedak (Artocarpus integra), asam kandis (Garcinia), petai (Parkia speciosa), aren (Arenga pinnata) dan beringin (Ficus benyamina) dalam bentuk social forestry dari dua jenis tumbuhan kemenyan toba (Styrax sumatrana) dan kemenyan durame (Styrax benzoin) (Petra, 2014). Pengembangan koridor orangutan di daerah penyangga TN Kutai, didominasi Moraceae (INP 36,3%), tinggi pohon 8-38 m (rerata 17,25 m) dengan diameter 1185 cm (rerata 19,98 cm). Sebagai habitat orangutan ini, daerah penyangga TN Kutai memiliki kerapatan 300 pohon/ha, basal area 14,4 m2/ha dan indeks keragaman jenis >3,5. Pembangunan koridor orangutan yang direncanakan adalah di Hutan Menamang yang terletak di beberapa areal konsesi seperti HTI PT Surya Hutani Jaya dan perkebunan kelapa sawit PT Hamparan Sentosa yang akan menghubungkan Taman nasional Kutai dengan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Potensi yang dimiliki kawasan hutan dengan pohon sumber pakan diantaranya Lagerstroermia
Sintesis 2010-2014
| 137
speciosa (INP 28,62%), Vitex pinnata (INP 20,79%), Dracontomelon dao (INP 17,79%), Dillenia excelsa (INP 15,46%), Cananga odorata (INP 13,81%), Peronema canescens (INP 13,65%), Syzygium sp (INP 12,85%), Artocarpus elasticus (INP 10,54%), Macaranga gigantea (INP 7,93%) dan Baccaurea lanceolata (INP 7,76%)(Sayektiningsih, 2011). Permasalahan di pemanfaatan kawasan hutan dalam areal yang cukup luas seperti hutan produksi dapat menciptakan kondisi Island biogeograf, di mana jumlah spesies yang akan bertahan di suatu kawasan akan sesuai dengan luas areal yang ada (Soemarwoto, 1989). Semakin luas hutan alam yang tersisa dan berfungsi sebagai habitat satwa, semakin banyak jenis satwa dapat dilestarikan. Pembangunan jalan tembus antar kabupaten di Aceh dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan skala besar, pertambangan dan pemukiman dalam 10 tahun terakhir mengakibatkan putusnya enam koridor di kawasan hutan ekosistem Leuser dan ekosistem Ulu Masen, seluas 3,3 juta ha dimana disini ditemukan empat jenis satwa terancam punah yaitu gajah sumatera, harimau sumatera, badak sumatera dan orangutan sumatera. Kondisi ini mengakibatkan habitat satwaliar terutama mamalia besar menjadi terfragmentasi sehingga meningkatkan konflik satwa dengan manusia serta menghancurkan daerah tangkapan air di Aceh (Chik Rini, 2012). Penyatuan pemahaman dan persamaan persepsi yang dilakukan melalui sosialisasai secara terus menerus kepada masyarakat desa untuk meningkatkan persepsi tentang kelstrian satwa dan membangun koridor diantara kebun rakyat atau hutan rakyat dengan tanaman MPTS maupun sumber pakan satwa. Pembangunan koridor hendaknya mempertimbangkan target jenis dan pemanfaatannya sebagai habitat untuk mencari pakan, bersarang atau perlintasan (Sieving et al, 2000). Disamping itu, perilaku satwa juga merupakan pertimbangan dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang berupa hutan, lahan pertanian, perkebunan dan semak belukar, karena jenis tanaman eksotik pada banyak lahan pertanian dibandingkan dengan tanaman asli. Konsep design koridor dan landskap untuk konservasi satwa juga harus memperhatikan panjang dan lebar koridor, untuk daerah yang terbuka panjang dan lebar koridor akan lebih besar dibandingkan sempadan sungai.
Sintesis 2010-2014
| 138
VIII. STRATEGI PENGELOLAAN Pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional menghadapi berbagai persoalan yang dapat dikelompokkan menjadi persoalan internal maupun eksternal (Wiratno, 2007). Persoalan internal terkait dengan organisasi serta kelembagaan Balai diantaranya adalah: 1. Sistem perencanaan yang dituangkan dalam Rencana Pengelolaan (RP) berjangka waktu 20-25 tahun, dijabarkan ke dalam Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan Rencana tahunan. Kelemahan RP, RKL, RKT, Zonasi Taman Nasional lainnya adalah kurangnya proses konsultasi public, akurasi data dan informasi, identifikasi isu-isu strategis, revisi zonasi dan keterkaitan antara penyusunan program pengelolaan. 2. Kondisi tata batas kawasan taman nasional seperti belum di tata batas, ada yang sudah ditatabatas tetapi belum temu gelang, tata batas temu gelang, temu gelang dengan BATB sudah selesai, dan sudah penetapan. 3. Leadership dan manajemen merupakan kemampuan yang disyaratkan untuk mendukung kebijakan dan merealisasikan tujuan pengelolaan secara efektif dan efisien. Persoalan eksternal merupakan dampak langsung dari perubahan ruang dan lahan yang memberikan tekanan terhadap kawasan konservasi, kondisi ini meliputi: 1. Perubahan tutupan hutan tersebut berupa pembukaan lahan untuk perluasan kabupaten/kota, perkebunan, pertanian, HTI dan kawasan terbuka open access (sarana dan prasarana umum serta pemukiman). Perambahan kawasan konservasi mencapai 27,1 juta ha atau 20% dari total luas hutan di Indonesia (Haryono, 2013). 2. Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak tahun 1998 juga memicu kebutuhan akan ruang yang didapatkan dari kawasan hutan, disamping perambahan hutan dengan motif ekonomi seperti di TN Bukit Barisan Selatan (> 50.000 ha untuk perkebunan kopi rakyat), TN Leuser (20.000 ha kawasan rusak dan 4.000 ha untuk perkebunan sawit), TN Kutai (23.000 ha areal dengan kandungan batubara 6-7 terancam, legasisasi 7 desa di 2 kecamatan dilepaskan atas permintaan Bupati Kutai Timur). 3. Keberadaan masyarakat asli, setempat ataupun masyarakat tradisional yang berada di dalam kawasan konservasi seperti masyarakat kasepuhan di TN Gunung Halimun Salak (Setiyono, 2003), dua belas suku Dayak di Tn Kayan Mentarang, masyarakat Kubu di TN Bukit Dua Belas, suku Talangmamak di Bukit Tiga Puluh, masyarakat sekitar Danau Lore Lindu di TN Lore Lindu, suku Mentawai di TN Siberut. 4. Persepsi antara stakeholder yang memiliki perbedaan kepentingan dan interest. Berdasarkan permasalahan pengelolaan kawasan diatas diperlukan perubahan paradigmatik pola pengelolaan taman nasional yang dibangun dari berbagai inisiatif, terobosan, inovasi pengelolaan, dukungan dari berbagai cabang ilmu dan kepakaran
Sintesis 2010-2014
| 139
serta didasarkan pada data dan informasi spatial dan non spatial yang terbaru dan akurat dengan mengembangkan proses keputusan melalui ilmu pengetahuan (Wiratno, 2007). Strategi pengelolaan taman nasional untuk mencapai tujuan secara efisien dan optimalisasi dilakukan melalui tahapan perencanaan, kelembagaan, dan kolaborasi. A. Tahapan Perencanaan Rencana strategis kawasan konservasi (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998), yang disampaikan dalam lokakarya Kepala Balai dan Kepala Unit dititik beratkan pada tata batas dan sistem zonasi taman nasional, pengelolaan habitat dan populasi baik di darat maupun di perairan laut, pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari kawasan, pengamanan kawasan melalui low enforcement, pembinaan kepemimpinan dan manajerial petugas dan jagawana, pengembangan kemitraan dan daerah penyangga. Rencana program dan kegiatan seperti TN Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Tahun 2010-2029 (Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, 2009) terdiri dari pengembangan organisasai kelembagaan, pemantapan kebijakan pengelolaan, peningkatan kapasitas personil dan penambahan staf, penyusunan prosedur kerja (SOP) dan petunjuk teknis , peningkatan sarana dan prasarana. Pengukuhan tata batas kawasan, penataan zonasi, pembangunana pusat data, pembangunan sinergi program dengan Strategic Plan of Action Heart of Borneo, kemitraan, penggalangan sumber dana para pihak, peningkatan konsultasi dan koordinasi. Selanjutnya pembangunan media komunikasi bersama, pengamanan kawasan, penegakan hokum, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan kehutanan, pengembangan jasa lingkungan, pembangunan pusat riset, pengembangan wisata alam, pengembangan daerah penyangga serta pemberdayaan masyarakat. Penyusunan rencana pengelolaan daearah penyangga TN Sebangau yang digagas dengan pembentukan Board of Trustee dari berbagai pihak antara pihak pengelola dalam hal ini Balai TN Sebangau, WWF Kalteng, pemerintah daerah serta masyarakat di Kabupaten Katingan dan Pulang Pisau serta Kota Palangkaraya (Yuwita, 2011), menyatakan: 1. Peningkatan kesempatan berusaha dan tingkat pendapatan ekonomi melalui pengembangan ekonomi alternatif dan perluasan pemasaran komoditas. 2. Penyediaan penyangga sumberdaya alternatif masyarakat di daerah penyangga seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat dan bahan pangan. 3. Peningkatan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi TN Sebangau. 4. Pelibatan masyarakat yang lebih partisipatif dalam perencanaan dan pengembangan daerah penyangga. 5. Peningkatan hubungan komunikasi antara otoritas pengelolaan TN Sebangau, WWF dengan masyarakat setempat dan pemerintah daerah.
Sintesis 2010-2014
| 140
6. 7.
Peningkatan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola.
B. Kelembagaan Pengembangan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan taman nasional disesuaikan dengan peranan yang terkait tugas dan tanggung jawab setiap lembaga dijelaskan dalam Edaran menteri Dalam Negeri No. 660.1/269/V/Bangda tanggal 16 Februari 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Penyangga Taman Nasional. Struktur kelembagaan pengelola daerah penyangga melibatkan berbagai instansi yaitu Pemerintah Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat di desa-desa sekitar zona penyangga TN Bukit Tigapuluh terdiri dari (Kuswanda dan Mukhtar, 2006): 1. Kelembagaan informal/tradisional yaitu lembaga adat yang dipimpin oleh batin. Fungsinya lebih sederhana atau hanya menyelesaikan persoalan adat dimana fungsi batin sebagai kepal pemerintahan menjadi hilang. 2. Kelembagaan formal, lembaga ini terdiri dari kepala desa/lurah dibantu Sekretaris Desa, Kepala Dusun, Kepala Rukun Warga dan Kepala Rukun Tetangga dengan lembaga legeslatifnya Badan Perwakilan Desa (BPD) Kegiatan penataan batas dan ruang di TN Bukit Tigapuluh dalam suatu rangkaian proses untuk membuat batas, menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang daerah penyangga. Menurut penilaian berbagai stakeholder keterlibatan dalam hal tersebut adalah sebagai berikut; Balai TN Bukit Tigapuluh (33,9%), Pemerintah Daerah (31,0%), Lembaga masyarakat local (26,5%), lembaga swadaya masyarakat (8,6%), sedangkan upaya perlindungan dan menjaga kelestarian kawasan merupakan tanggung jawab Balai Tn Bukit Tigapuluh (42,1%) dan lembaga masyarakat lokal (24,9%). Peningkatan sumberdaya manusia dan ekonomi masyarakat menjadi tugas dari lembaga masyarakat lokal (46,2%), Pemerintah Daerah (25,3%), Balai TN Bukit Tigapuluh (21,2%) dan lembaga swadaya masyarakat (7,3%). Selanjutnya, lembaga yang memantau berjalannya pengelolaan di daerah penyangga menurut stakeholder adalah lembaga swadaya masyarakat (31,5%) dan lembaga masyarakat lokal (28,7%). Pembinaan lembaga dan masyarakat lokal dapat dimulai dari kegiatan sosialisasi dan penyuluhan oleh pemerintah daerah dan/atau pusat sehingga terjadi penyelarasan program, pemanfaatan ruang, dan rencana pembangunan daerah dengan kondisi dan harapan masyarakat. Menurut Kuswanda dan Mukhtar (2006), strategi yang paling penting dalam mengembangkan lembaga masyarakat yang masyarakatnya memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan dari kawasan konservasi adalah menciptakan kemandirian dan kesempatan usaha dalam memanfaatkan sumberdaya hutan maupun lahan. Pemerintah dalam hal ini dapat berperan untuk membuat peraturan tentang akses dan/atau pemanfaatan sumberdaya hutan secara adil dan merata, menciptakan usaha alternatif, maupun mengembangkan hutan rakyat dan
Sintesis 2010-2014
| 141
hutan kemasyarakatan. Lembaga lokal perlu diberi kesempatan untuk merencanakan, mengelola, dan mengatur pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan sehingga dapat berpartisipasi dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi. C. Kolaborasi Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah dan berkembang pada pengelolaan bersama atau collaborative management merupakan kolaborasi berbagi kewenangan dan tanggung jawab antara pengelola kawasan, para pihak dan masyarakat yang berkepentingan. Tingkatan dalam kolaborasi ini dicirikan oleh intensitas interaksi diantara para pihak, dimulai dari penyampaian informasi, konsultasi, kerjasama, pertukaran informasi, pengarahan, aksi bersama, kemitraan, control masyarakat, dan koordinasi berbagai bidang ( Pomeroy dan Berkes, 1997). Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi telah terjadi di Indonesia (Peraturan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain : 1. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari governmentbased management menjadi multi stakeholder based management/collaborative management. 2. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambunagan. 3. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat. 4. Dari close access menjadi regulated open access. Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mempunyai banyak dimensi, menggabungakan berbagai pihak yang memiliki peran, dengan sasaran akhir adalah konservasi lingkungan, pemerataan distribusi manfaat dan tanggung jawab (Borrini-Feyerabend et.al , 2007). Sedangkan Tadjudin (2000) mendifinisikan manajemen kolaborasi sebagai suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang berlaku dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Nilai-nilai utama dalam pengelolaan kolaborasi (Awang et. al, 2005), antara lain: 1. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 2. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelolaan sumberdaya hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal.
Sintesis 2010-2014
| 142
3. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam. 4. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan bertanggung jawab. 5. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasilhasil dalam waktu singkat. 6. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang kolaborasi tersebut diantaranya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) (Borrini-Feyerabend et.al, 2007). Kolaborasi antara pengelola TNKM dengan masyarakat adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan, perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yang terdiri dari FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan TNKM.Taman Nasional lainnya yang juga mengimplemntasikan kolaborasi TN Bunaken dengan Dewan Pengelola TN Bunaken (DPTNB), TN Gn Gede Pangrango dan TN Gn Halimun Salak (Gede Pahala) serta TN Komodo dengan Komodo Collaborative Management Board, TN Kutai dengan Mitra Kutai. Kolaborasi antara TN Kutai dengan Mitra Kutai dinilai belum berhasil dan optimal ditinjau dari pencapaian kinerja karena program-program kegiatan yang dilaksanakan selama ini bersifat insidental/tidak berkesinambungan dan tidak diarahkan untuk mengatasi permasalahan mendasar di TNK (Falah, 2012). Pembentukan Mitra Kutai mempunyai beberapa tujuan, yaitu : 1) Penyadaran masyarakat; 2) Mendapat dukungan masyarakat luas; 3) Mengurangi tekanan terhadap hutan; 4) Pengelolaan kawasan yang lebih baik; dan 5) Kepastian hukum bagi masyarakat dan kawasan (Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, 2006). Selama 14 tahun (1995-2008) telah tersalurkan dana. Prioritas penggunaan dana adalah sebagai berikut : (1) Kampanye pelestarian 20%, (2) Pengembangan ekowisata 4%, (3) Sarana & Prasarana 20%, (4)Pengembangan SDM 3%, (5) Penelitian 2%, (6) Rehabilitasi kawasan 26%, (7) Pengamanan 5%, (8) Desiminasi 8%, dan (9) Sekretariat 12%. Tetapi kondisi yang ditemui di lapangan terkait pembukaan lahan yang terus menerus terjadi, masih adanya tindak penebangan liar di kawasan TNK, menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan Mitra Kutai belum efektif. Untuk itu diharapkan penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai melaui (1). Penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemerintah Daerah, serta wakil masyarakat; (2). Kejelasan aturan main sejak dari tahap perencanaan s.d. evaluasi; (3). Program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan di TNK; (4). Sekretariat/badan pelaksana yang independen
Sintesis 2010-2014
| 143
dan profesional;(5).Adanya pelaporan keuangan secara berkala dan transparan; (6). Audit keuangan yang dilakukan auditor independen; (7). Pemilahan secara tegas pengelolaan keuangan Mitra Kutai dengan pengelolaan keuangan Balai TN Kutai yang bersumber dari dana APBN; serta (8) Konfigurasi kelembagaan Mitra Kutai menjadi semacam konsorsium. Berdasarkan kepentingan ekologi dan ekonomi, peran para pihak yang perlu dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pentingnya pelestarian TNK untuk menumbuhkan komitmen menjaga keutuhan kawasannya. Selanjutnya, dalam penyempurnaan pengelolaan kolaboratif TN Kutai ditentukan indentifikasi factor internal dan eksternal melalui analisis SWOT untuk untuk mengatasi hambatan dan ancaman mewujudkan kelestarian TNK (Tabel 7.16).
Sintesis 2010-2014
| 144
Tabel 8.1. Analisis SWOT di TN Kutai Kekuatan 1. Status legal sebagai TN Kutai 2. Eksistensi Kemenhut, Dirjen PHKA, serta BTN Kutai 3. Potensi biodiversitas dan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah 4. Potensi hidroorologis dan obyek wisata alam 5. Komitmen perusahaan anggota Mitra Kutai 6. Adanya dasar hukum untuk membentuk kolaborasi dalam pengelolaan TNK 7. Adanya dasar hukum penetapan zonasi pemanfaatan 8. Dukungan dari Karib Kutai 9. Dukungan dari Pemkab Kutai Kartanegara dan Kota Bontang 10. Dukungan dari lembaga penelitiab dan perguruan tinggi nasional maupun internasional
1.
2.
3. 4. 5.
6. 7.
Peluang Kerja sama riset/inventarisasi kondisi potensi terkini dengan lembaga penelitian nasional/internasional Kerjasama dengan pers/media untuk mengangkat isu konflik kawasan serta potensi nilai penting TNK Rekonfigurasi Mitra Kutai Pengembangan program pendidikan dan kampanye dengan dana dari Mitra Kutai Kolaborasi dari Pemda setempat dan kepolisian dalam pengamanan dan penegakan hukum Kolaborasi pengembangan ekowisata dalam kawasan, termasuk agrowisata Kolaborasi pembangunan kawasan penelitian dengan lembaga penelitian nasional dan internasional
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
10.
1. 2.
3. 4. 5. 6.
Kelemahan Sejarah pelepasan kawasan Pengukuhan kaawsan belum selesai Belum ditetapkan zonasi kawasan Lemahnya pengamanan kawasan dan penegakan hokum Keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, serta sarana dan prasarana Balai TNK Kelembagaan dan kegiatan Mitra Kutai belum efektif Balai TNK masih dominan dalam pengelolaan kaawsan, kurangnya partisipasi Pemda, masyarakat, pers dan lembaga penelitian dalam pengelolaan Koordinasi dan komunikasi antar pihak yang lemah dalam pengelolaan TNK Belum adanya kesepahaman atau penyamaan persepsi mengenai fungsi dan tata ruang TNK Kurangnya informasi mengenai kondisi terkini TNK Ancaman Adanya legalitas desa dan masyarakat dalam kawasabn oleh Pemkab Kutim Ketidaksinkronan kebijakan Kementerian Kehutanan dengan Kementerian dalam Negeri daN Kementerian ESDM Adanya jalan arteri lintas kabupaten/kota di dalam dan sekitar kawasan Eksploitasi potensi batubara Diangkatnya isu enclave menjadi komoditi dalam kampanye pilada Kebutuhan lahan untuk pemekaran wilayah
Disamping itu, prinsip dasar pengelolaan kolaboratif yang mempertimbangkan aspek ekologi, social dan ekonomi yaitu: 1) pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan
Sintesis 2010-2014
| 145
hak masyarakat local, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe, 2003). Kegiatan masyarakat di zona khusus TN Babul yang berorientasi terjaganya sumber daya hutan dilakukan melalui strategi optimasi kolaborasi pengelolaan dengan memperhatikan faktor pendorong serta faktor penghambat pengelolaan existing land use yang kompatibel dengan pengelolaan taman nasional (Sabar et al,.2012). Optimasi kolaborasi taman nasional dalam pengelolaan zona khusus tersebut dilakukan melalui identifikasi cara –cara peningkatan kegiatan taktis untuk meningkatkan faktor pendorong serta mengurangi factor penghambat guna mensejahterakan masyarakat seperti yang terlihat pada table dibawah ini. Tabel 8.2. Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus
1.
Kondisi Pemanfaatan Lahan Aren
2.
Hutan Alam
3.
Pinus
4.
Jati
5.
Sawah
6.
Ladang
7.
Semak belukar
No
Cara penguatan faktor pendorong Mengembangkan usaha aren sebagai unit usaha kelompok bukan individu rumah tangga Mengembangkan pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang kompatibel dengan tujuan konservasi TN Babul Membangun system kompensasi atas investasi masyarakat di dalam zona inti yang tidak dapat dipanen lagi setelah ditetapkan sebagai zona inti Menetapkan areal hutan pinus sebagai areal penyangga zona khusus Meningkatkan kapasitas masyarakat mengelola tegakan tanaman jati sesuai silvikultur jenis jati Membangun system hak atas tanaman jati masyarakat yang berada di areal TN Babul Mengelola sawah secara intensif tetapi kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN Babul Membangun system perlagdangan menetap yang bersifat sequential untuk membangun pola agroforestry Mengelola areal semak belukar yang dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat
Tabel 8.3. Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat
1.
Kondisi Pemanfaatan Lahan Aren
2.
Hutan Alam
No.
Sintesis 2010-2014
| 146
Cara mengurangi faktor penghambat Mengalokasikan sebagian areal untuk tanaman kayu bakar Mengembangkan diversivikasi produk-produk aren yang tidak menggunakan kayu bakar Mengembangkan bahan bakar alternative (biofuel) Menata batas-batas areal TN secara partisipatif
No.
Kondisi Pemanfaatan Lahan
3.
Pinus
4.
Jati
5. 6 7.
Sawah Ladang Semak belukar
Cara mengurangi faktor penghambat Membangun system penggunaan areal TN yang diklaim oleh masyarakat sebagai lahan milik Memungut getah pinus sebagai sumber pendapatan masyarakat Mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh tegakan tanaman jati Membangun system pengelolaan tegakan jati yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN Menggunakan pupuk organik Melakukan transformasi lading menjadi agroforestri Melakukan rehabilitasi pola agroforestri
Kemitraan juga dilakukan antar taman nasional di Indonesia dengan taman nasioanal di luar negeri seperti Kerjasama Indonesia-Malaysia sebagai Transfrontier Park yaitu TN Betung Karihun dan TN Kayan Mentarang ataupun Kerjasama Indonesia-Malaysia sebagai Sister Parks yaitu TN Gunung Leuser, TN Alas Purwo, TN Gunung Gede Pangrango dan TN Tanjung Puting.
Sintesis 2010-2014
| 147
IX. SINTESIS Sintesis hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan laporan hasil penelitian di berbagai taman nasional di Indonesia. Sintesis hasil penelitian mengacu pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI 13 tahun anggaran 2010 - 2014. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem sebagaimana pada Gambar 9. LUARAN
KEGIATAN PENELITIAN DALAM RPI
Kriteria indikator pengelolaan TN tiap tipologi ekosistem
Valuasi Manfaat Taman Nasional
Evaluasi zonasi taman nasional
Implementasi dan evaluasiKriteria Indikator Optimal
Evaluasi pemanfaatan dan Fungsi Taman Nasional
Pengelolaan Kolaboratif
Kriteria Indikator Pengelolaan Taman Nasional
Model Pengelolaan TN Berbasisi Ekosistem
Strategi Manajemen Taman Nasional
Model Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem
Pengelolaan Daerah Penyangga
Gambar 9.1.Hubungan Luaran Dan Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem (RPI 13). A. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Tipologi Ekosistem Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli,yang dikelola dengan sistem zonasi. Potensi taman nasional terdiri keunikan, kekhasan, keindahan, dan keajaiban fenomena
Sintesis 2010-2014
| 148
Restorasi Ekosistem
alam serta tumbuhan dan satwaliar yang memiliki keanekaragaman.Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ± 6.000 jenis tumbuhan dan satwaliar yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna, kertas, dan lainnya. Berdasarkan klasifikasi ekosistem utama Taman Nasional di Indonesia teridri dari 3 (tiga) tipe ekosistem, yaitu : 16 taman nasional ekosistem pegunungan,18 taman nasional ekosistem dataran rendah dan 16 taman nasional ekosistem perairan.Saat ini terdapat lebih dari 50 taman nasional di Indonesia, yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. 1.
Evaluasi Zonasi Taman Nasional
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, dalam penyusunan draft rancangan zonasi. Kemudian di lakukan konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Penentuan zona lain pada setiap kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai kondisi setempat. Masingmasing zona dalam setiap kawasan taman nasional dapat lebih dari satu tergantung pada potensi kawasan, kondisi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional. Zona tersebut di tata dalam bentuk: (1). Zona inti; (2). Zona rimba atau Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; (3). Zona pemanfaatan; (4). Zona lainnya yaitu Zona tradisional, Zona rehabilitasi, Zona religi, budaya dan sejarah dan Zona khusus. 1.1. Penataan pengelolaan zonasi Penataan zonasi harus memperhatikan jenis zona yang dibutuhkan, luas dan tata letak zona, hal ini bertujuan untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan, kelestarain kawasan dan mempertimbangkan keperluan dasar masyarakat sekitar. 1.1.1. Zona Inti Rasionalisasi luas atau perluasan kawasan taman nasional mencerminkan suatu lansekap yang mampu mengakomodir pelestarian habitat dan ruang jelajah (home range) hidupan liar serta bentuk kawasan yang lebih kompak merupakan hal penting untuk efisiensi dan efektivitas pengamanan dan perlindungan kawasan. Kriteria dan indikator zonasi, selain didasarkan pada tingkat sensitivitas ekologi dalam kategori sensitif dan sangat sensitif, kawasan yang termasuk dalam kategori curam dan sangat curam, dan bagian habitat jenis langka/penting menjadi parameter penataan zonasi. Implikasi dari rasionalisasi luas dan parameter penataan zonasi terlihat pada kawasan yang tergolong curam dan sangat curam yang sebelumnya ada Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Secara ekologis, perubahan ini akan berdampak positif
Sintesis 2010-2014
| 149
bagi keutuhan habitat harimau sumatera dan tapir karena penambahan kawasan berhutan akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi kedua jenis satwa tersebut. Selain itu, kawasan berhutan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor biologi atau penghubung bagi harimau sumatera dan tapir dengan kawasan hutan lainnya di luar kawasan taman nasional. Dengan status harimau sumatera yang terancam punah maka keberadaan habitat yang lebih luas dan tidak terfragmentasi akan memberikan peluang hidup dan berkembangbiak yang lebih baik bagi satwa tersebut. Selain itu pula, penambahan kawasan di wilayah Selatan TNBT, Provinsi Jambi, juga memberikan dampak positif bagi kelangsungan orang utan di kawasan tersebut yang merupakan kawasan hutan yang dijadikan daerah introduksi orang utan di Provinsi Jambi. Sebagai kawasan yang rawan ancaman dan memiliki sensitivitas ekologi yang tinggi maka zona inti di tata hanya berbatasan dengan zona rimba yang berfungsi sebagai penghalang atau “barrier” bagi zona inti. Selain berfungi sebagai “barrier”, zona rimba merupakan wilayah transisi bagi zona inti dengan zona-zona lainnya, seperti zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan tradisional, sehingga berbagai aktifitas pemanfaatan di kedua zona pemanfaatan tersebut tidak berpengaruh secara langsung pada zona inti. Dengan contoh hasil penelitian perubahan batas dan zonasi TNBT, dengan luas ± 180.279 hektar yang terdiri dari zona inti seluas ± 107.969 hektar, zona rimba seluas ± 61.136 hektar, zona pemanfaatan intensif seluas ± 2.637 hektar, zona pemanfaatan tradisional seluas ± 6205 hektar, zona rehabilitasi seluas ± 1.094 hektar dan enclave seluas ± 1.235 hektar. Kawasan taman nasional perairan, seperti kawasan TN Teluk Cendrawasih memiliki zona inti dengan potensi dan keterwakilan ekosistem penting berupa ekosistem mangrove, habitat berbagai jenis burung yang dilindungi, ekosistem terumbu karang, vegetasi pantai, pantai peneluran penyu, ekosistem berbagai jenis biota laut yang dilindungi seperti kima dan penyu, tempat kegiatan religi dan budaya masih dilestarikan oleh masyarakat (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund (WWF)-Indonesia, 2009). 1.1.2. Zona Rimba Diantara penelitian intensif tentang Zona rimba adalah di TN Bantimurung Bulusaraung, zona rimba terdiri dari beberapa keanekaragaman tipe ekosistem diantaranya ekosistem karst, hutan dataran rendah non dipterokarpa pamah serta hutan pegunungan bawah dengan kondisi kawasan sebagian besar berupa hutan sekunder, berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional, zona religi sejarah dan budaya serta zona khusus sehingga mendapat banyak gangguan. Mengingat fungsinya zona ini memiliki tingkat sensitivitas ekologi kurang sensitif, habitat satwaliar, jenis tumbuhan eksotik terbatas maka kawasan ini menjadi barrier bagi zona inti (Indra et al., 2011). Untuk mengakomodir pemanfaatan potensi wisata alam dalam kawasan taman nasional yang merupakan bagian dari home range satwa maka zona rimba dapat dijadikan sebagai sebuah
Sintesis 2010-2014
| 150
alternatif dimana pada zona rimba dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan berupa wisata alam terbatas (Reno et al., 2003). Di TN Alas Purwo, zona rimba sebagian masih berupa hutan tanaman jati hasil perluasan TN. Zona Rimba di TN Teluk Cendrawasih atau Zona Perlindungan Bahari adalah wilayah darat yang karena letak dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Di kawasan TN Teluk Cendrawasih perairan zona perlindungan bahari adalah ± 500 m dari ujung reef dalam untuk melindungi terumbu karang serta ekosistem yang terdapat di dalamnya (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund (WWF Indonesia, 2009). 1.1.3. Zona Pemanfaatan Penempatan zona pemanfaatan (intensif) hendaknya di tepi kawasan, hal ini dilakukan untuk mengakomodir kepentingan pelestarian dan kepentingan pemanfaatan. Zona pemanfaatan intensif dengan potensi pemandangan yang indah dapat terletak tengah kawasan dan tersebar merata, sehingga pengembangan kawasan wisata alam ini berbenturan dengan ancaman bagi kelestarian sumberdaya alam maupun habitat satwaliar. Zona pemanfaatan sesuai dengan fungsinya memungkinkan adanya aktifitas manusia sehingga terbukanya sebagian lantai hutan. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan permudaan alam dan menyebabkan pertumbuhan yang cepat bagi jenis pionir termasuk semak antara lain Famili Euphorbiaceae yang dominan didominasi oleh jenis Antidesma cf. phaneroplebium (kayu tulang) dan Macaranga tanarius (mahang), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat gangguan pada zona pemanfaatan cukup tinggi yang menyebabkan habitatnya dalam kondisi berkendala. Apabila gangguan tersebut terus berlanjut maka bukan tidak mungkin semua vegetasi pada zona tersebut akan berkendala dan terancam oleh jenis invasif. Melalui perjumpaan langsung, pengenalan jejak, suara/bunyi-bunyian dan sarang di TNBT dalam waktu terbatas tercatat 44 individu satwa liar yang terdiri dari 7 jenis Mamalia dan 17 jenis Aves. Zona pemanfaatan adalah zona yang di dominasi jenis Aves. Kondisi ini diperkirakan berkaitan dengan habitat sebagian besar jenis burung yang menyukai kondisi seperti hutan sekunder atau habitat bagian bekas tebangan sehingga terdapat areal terbuka dan kawasan-kawasan hutan berbatasan dengan pemukiman penduduk. Penunjukkan Zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh, ditetapkan bahwa zona pemanfaatan intensif dengan luas 2.300 ha merupakan zona yang di dalamnya dapat dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian serta diperuntukkan bagi pusat pembangunan sarana/prasarana dalam rangka pengembangan kepariwisataan alam dan rekreasi. Untuk mendukung pengembangan daerah wisata tersebut telah dikembangkan kerja-sama antara Pemda setempat dengan Balai TNBT dalam pembangunan prasarana jalan. Areal air terjun khas yang berasal dari batu granit selain mempunyai potensi flora juga mempunyai fauna yang menarik, langka dan dilindungi. Seperti rangkong kuning, rangkong gading, dan rangkong putih. Pada lokasi air terjun terdapat 42 jenis tumbuhan yang
Sintesis 2010-2014
| 151
termasuk ke dalam 15 famili, tingkat semai 14 jenis, tingkat belta sebanyak 26 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 29 jenis. Disamping itu, masyarakat juga memanfaatkan tumbuhan yang termasuk HHBK yaitu rotan (Calamus sp), pasak bumi (Erycoma longifolia) dan aren (Arenga piñata). 1.1.4. Zona Tradisional Zona tradisional seperti di TN Gunung Gede Pangrango merupakan kawasan pemanfaatan sumber daya alam taman nasional diareal ex Perum Perhutani oleh masyarakat dalam batas-batas tertentu dan dengan menggunakan pola pemanfaatan tradisional seperti pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebagai bahan makanan, obat-obatan, bahan baku kerajinan dengan tidak merubah bentang alam dan merusak tegakan (Balai TN Gunung Gede Pangrango, 2009).Pemukiman berupa desa suku-suku asli dan masyarakat lokal seperti yang terdapat di kawasan TNBT dapat di tetapkan sebagai enclave dan zona pemanfaatan tradisional. Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional yang terkonsentrasi pada desa dan perkampungan penduduk, diharapkan akan mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan di luar zona pemanfaatan tradisional tersebut. Pengembangan zona pemanfaatan intensif yang berdekatan dengan zona pemanfaatan tradisional, juga dimaksudkan untuk memberikan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan mengurangi ketergantungan pada pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan melalui kegiatan wisata alam. 1.1.5. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasannya cenderung berubah dalam setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan citra landsat secara berkala, untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi.Zona rehabilitasi berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan di dalam kawasan, sehingga teknis pengelolaan zona rehabilitasi harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap kawasan (Sawitri dan Bismark, 2013). Tekanan masyarakat di daerah penyangga ke dalam kawasan merupakan dampak dari beberapa faktor seperti kepentingan dalam menyediakan mata pencarian, pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan kepemilikan lahan. Masyarakat di daerah penyangga mestinya di TNGGP dengan 66 desa di kabupaten Bogor yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani (80%-98%) dengan luas lahan 0,1 - 0,3 ha/KK, berpendidikan rendah, dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Disamping itu, luas lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang akibat pengembangan areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum
Sintesis 2010-2014
| 152
(Wahyudi, 2012). Dengan demikian Model rehabilitasi atau restorasi ekosistem taman nasional perlu disinkronikan dengan pengembangan pembangunan dalam daerah penyangga, termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam kegiatan di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi agarfungsi dan manfaat di TNGGP dapat dioptimalkan. Perubahan dan peningkatan fungsi di perluasan taman nasional dengan hutan produksi, maka areal hutan produksi yang umumnya hutan tanaman monokultur perlu di rehabilitasi atau di restorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional. Zona rehabilitasi, di TNGP areal ini seluas 19% dari luas kawasan dengan model restorasi yang ditetapkan adalah Model adopsi pohon intenasional, adopsi pohon, gerhan partisipatif, gerhan dan pengelolaan batas luar kawasan berbasis masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi program gerhan partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis masyarakat dapat dilihat dari tingkatan persepsi masyarakat terhadap model rehabilitasi. Persepsi ini dapat dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung, serta kelembagaan Model rehabilitasi yang dibangun oleh para pemangku kepentingan. Tipologi masyarakat di daerah penyangga TNGGP yang diwakili oleh beberapa desa yang menjadi lokasi penelitian. 1.2. Implementasi dan Evaluasi Kriteria Indikator Optimal Keberadaan kriteria dan indikator merupakan hal yang penting dan sebagai perangkat untuk pengelolaan hutan yang bermanfaat sebagai acuan membuat konsep, mengevaluasi dan mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari khususnya Taman Nasional. Kriteria dan indikator tersebut dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi dan jembatan yang dapat menunjukkan berbagai kondisi yang diperlukan agar kelestarian hutan dapat dipertahankan. Dengan dapat diukurnya berbagai kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan kelestarian hutan, maka diharapkan hal ini dapat membantu mengadaptasi pengelolaan taman nasional menuju kearah kelestarian atau pemeliharaan ekosistem taman nasional agar tetap berada dalam kondisi yang diinginkan sepanjang waktu. Pengelolaan suatu kawasan taman nasional secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kondisi biofisik, tata letak, luasan dan zona geografi kawasan. Bertolak dari kondisi tersebut maka pengelo-laan taman nasional didasarkan pada penetapan zonasi. Disamping itu, kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-hutan di sekitar kawasan serta pola pengelolaan daerah penyangga juga turut menjadi pertimbangan dalam menentukan sistem pengelolaan kawasan tersebut. Perbandingan porsi zonasi taman nasional di Cagar Biosfer sangat berbeda antara Taman Nasional Siberut (TNS) dan TNGGP. Hal ini disebabkan perbedaan luas, perbedaan kerapatan penduduk dan budaya masyarakat daerah penyangga serta tingkat ekonomi dan ketersediaan lahan garapan. Perbedaan ini terlihat dari porsi zonasi penting.
Sintesis 2010-2014
| 153
Kriteria Zona tertentu
Survey pendahuluan untuk memperoleh Informasi awal kondisi biofisik dan interaksi mayarakat sekitar dengan areal yang diusulkan sebagai zona tertentu oleh TN Babul
(PP 28 Tahun 2011, Permenhut No 56 tahun 2006)
Menciptakan dan mendapatkan calon perangkat kriteria dan indikator (konsep dasar kriteria dan indikator) zona tertentu
Mencakup sebanyak mungkin unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian Seleksi dan pemilihan calon perangkat kriteria dan indikator
Menyaring K&I Konsep kerangka kriteria dan indikator zona tertentu (pendekatantop-down)
Diskusi & modifikasi kerangka K&I
Uji lapang calon kriteria dan indikator zona tertentu
Data biofisik, interaksi masyarakat (kenyataan di lapangan – pendekatan bottom up)
Set minimum kriteria dan indikator zona tertentu yang sesuai dengan kondisi setempat
9.2.Bagan alir proses penetapan kriteria dan indikator tersebut dapat terlihat pada bagan alir berikut Tabel 9.1. Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional Indikator untuk pembangunan zonasi Kriteria Indikator Skor Zona Zona Zona Peman- Zona Zona Rehabiliinti Rimba faatan Khusus tasi 1. Luasan kawasan 1.1. Areal luas dan kompak 4* ● ● 1.2 Areal luas terfragmentasi 3* ● ● 10% 1.3 Areal sedang 2* ● ● 1.4 Areal kecil 1 ● 2. Keaneka● 2.1 Terdapat satwa endemik dan 4* ragaman hayati langka 7.5% 2.1.1 Spesies hampir punah 3* ● 2.1.2 Spesies terancam & sebaran 2* ● ● terbatas 2.1.3 Spesies digunakan secara 1* *-+● ● ● ● tradisional
Sintesis 2010-2014
| 154
2.2 Terdapat flora endemik langka 7.5% 2.2.1 Terdapat flora endemik 2.2.2 Terdapat sumber pangan dan obat-obatan 2.2.3 Terdapat flora penunjang ekonomi tradisional 2.3 Keragaman dan Fungsi Ekosistem 2.3.1 Terdapat ekosistem langka 5% 2.3.2 Ekosistem sebagai habitat satwa langka 2.3.3 Terdapat minimal 2 ekosistem tidak terfragmentasi 2.3.4 Ekosistem terfragmentasi 2.4 Keragaman jenis satwa liar 2.4.1 Keragaman tinggi 5% 2.4.2 Keragaman sedang 2.4.3 Keragaman rendah 3. Lanskap kawasan 3.1 Mempunyai bentang alam dari berdasar ekosistem pantai hingga pegunungan 10% 3.2 Bagian dari DAS penting penyangga kehidupan 3.3 Lanskap 2 ekosistem tidak terfragmentasi 3.4 Lanskap terfragmentasi 4. Keutuhan 4.1 Jumlah ekosistem ekosistem 4.1.1 Memiliki minimal tiga ekosistem utuh 4.1.2 Terdapat kurang dari tiga ekosistem utuh 7.5% 4.1.3 Terdapat beberapa bagian ekosistem terdegradasi 4.1.4 Sebagian besar kawasan terdegradasi 4.2 Tingkat degradasi kawasan 4.2.1 Kawasan terdegradasi kurang 5% dari 30% 4.2.2 Kawasan terdegradasi 30 – 50% 4.2.3 Kawasan terdegradasi lebih dari 50% 5. Potensi 5.1 Potensi sumber DAS/air lingkungan 5.1.1 Kawasan hulu DAS 5.1.2 Pengendali banjir 7.5% 5.1.3 Pelestarian habitat
4*
●
-
-
-
-
3* 2*
-
● -
● ●
●
●
1*
-
-
●
●
-
4* 3*
● ●
● ●
●
●
-
2
●
●
-
-
-
1
-
-
3* 2 1 4*
● ●
● -
● -
● -
● -
3
●
●
-
●
●
2*
●
●
-
-
-
1
-
-
●
●
●
4*
●
●
-
-
-
3
●
●
●
-
-
2
-
-
-
●
●
1
-
-
-
-
-
3*
●
●
●
-
-
2
-
-
●
●
-
1
-
-
-
●
●
3* 2 1
● ● ●
● ●
● ●
● ●
● ●
Sintesis 2010-2014
| 155
2.5%
6. Zonasi pengelolaan 2.5%
5%
5%
2.5%
5.2 Jasa lingkungan wisata 5.2.1 Objek wisata alam asli dari 3* alam/gejala alam 5.2.2 Objek wisata dimodifikasi 2 5.2.3 Tidak ada potensi yang dapat 1 dikembangkan 6.1 Jumlah dan luas zona 6.1.1 Terdapat tiga zona inti, 4* rimba, dan pemanfaatan 6.1.2 Terdapat tiga zona dan zona 3 rehabilitasi 6.1.3 Terdapat empat zona dan 2* zona khusus 6.1.4 Zona tidak terpola 1 6.2 Proporsi luas zona 6.2.1 Zona inti >50% luas kawasan, kompak 6.2.2 Zona pemanfaatan maksimal 30%, tersebar 6.2.3 Zona lain 5%, tersebar 6.2 Proporsi luas zona 6.2.1 Zona inti >50% luas kawasan, kompak 6.2.2 Zona pemanfaatan maksimal 30%, tersebar 6.2.3 Zona lain 5%, tersebar 6.3 Keberadaan masyarakat dalam zonasi 6.3.1 Tidak ada masyarakat dalam zona inti 6.3.2 Tidak ada masyarakat pada zona rimba 6.3.3 Terbatasnya masyarakat dalam zona khusus dan zona lain 6.3.4 Terdapat pemukiman dalam zona inti dan rimba
-
●
●
-
-
-
-
● ●
● ●
●
●
●
●
●
-
●
●
●
●
-
●
●
●
●
-
-
-
-
-
-
3*
●
●
-
-
-
2
-
●
-
-
-
1
-
-
●
●
-
3*
●
●
-
-
-
2
-
●
-
-
-
1
-
-
●
●
-
4*
●
-
-
-
-
3
-
●
-
-
-
2
-
-
●
●
●
3* 2 1
● -
● -
●
●
●
3*
-
●
-
-
-
2
●
●
-
-
●
1
-
-
●
●
●
1 7. Ancaman kawasan 2.5%
2.5%
8. Konflik satwaliar
7.1 Perburuan satwaliar dilindungi 7.1.1 Perburuan tidak ada 7.1.2 Perburuan jarang 7.1.3 Perburuan tradisional untuk budaya adat 7.2 Intervensi lahan untuk lahan dan HHBK di luar zona pemanfaatan dan zona khusus 7.2.1 Masyarakat jarang memasuki kawasan 7.2.2 Masyarakat lokal masih terbatas memasuki kawasan 7.2.3 Masyarakat tergantung kuat pada kawasan 8.1 Konflik dengan satwaliar (mamalia besar)
Sintesis 2010-2014
| 156
8.1.1 Konflik jarang 8.1.2 Konflik sewaktu-waktu 8.1.3 Konflik sering 8.2 Tingkat bahaya konflik 8.2.1 Mengancam kehidupan 2.5% 8.2.2 Mengganggu areal pertanian 8.2.3 Tidak menimbulkan kerugian 9. Pengelolaan9.1 Terdapat potensi kearifan masyarakat kolaboratif lokal 9.1.1 Persepsi stakeholder terhadap masyarakat lokal (tinggi) 2.5% 9.1.2 Tingkat kepentingan masyarakat lokal thp kawasan (tinggi) 9.1.3 Tingkat ancaman masy (tinggi) 10. Penataan 10.1 Fungsi kawasan daerah penyangga zona 10.1.1 Fungsi lindung penyangga 10.1.2 Fungsi produksi 2.5% 10.1.3 Fungsi budidaya 2.5%
2.5%
2.5%
2.5%
2.
10.2. Penataan daerah penyangga 10.2.1 Areal berhutan 1 - 2 km dari batas untuk hutan produksi dan budidaya 10.2.2 Areal peralihan 2 - 5 km 10.2.3 Areal pemukiman 5 - 7 km 10.3 Sebaran pemukiman 10.3.1 Berbatas dengan zona tradisional 10.3.2 Berbatas dengan zona pemanfaatan 10.3.3 Tersebar di zona lain
10.4 Fungsi daerah penyangga 10.4.1 Keperluan budaya/adat 10.4.2 Keperluan habitat 10.4.3 Sumber kebutuhan masyarakat
3* 2 1
● -
● -
● -
●
● ● ●
1 2 3*
-
●
●
● ●
● ● ●
3*
●
-
●
-
●
2
-
-
●
-
●
1
-
●
-
●
●
3* 2* 1
● -
●
-
● ●
● ● ●
3*
-
-
-
●
●
2 1
-
-
-
● ●
● ●
3*
-
-
-
-
-
2*
-
-
●
●
●
1
-
-
-
●
-
3 2* 1*
-
● -
●
● ●
● ● ●
Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi
Jenis tanaman buah-buahan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat diantaranya adalah jambu monyet yang diambil metenya dan dijual dengan harga berkisar Rp. 30.000,- - Rp. 50.000,- per kg, aren, pisang, mangga, jambu air, jambu biji, sirsak. Pengelolaan yang diterapkan di TNKW adalah pengelolaan kolaboratif yang saat ini banyak diterapkan di taman nasional, kawasan lindung dan kawasan hutan lainnya (Coonley dan Moote, 2001 dalam Beny dan Dwi, 2004). Karena pengelolaan kolaboratif merupakan suatu alat pemecahan masalah (resolusi konflik) yang mencakup sikap kerjasama (kooperatif) dan penegasan (asertif) dari berbagai pihak yang berkepentingan secara efektif dan adil untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas
Sintesis 2010-2014
| 157
lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok lain yang berkepentingan secara bersama-sama bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawabnya. Diversifikasi usaha masyarakat meliputi usa jasa seperti menyewakan homestay, pengambilan kehati seperti kepiting kenari dan pengambilan kerang serta menenun kain. Keragaman hayati berupa kekayaan fauna TNKW juga menarik minat masyarakat dimana kepiting kenari diambil dari tanah bebatuan dijerat dengan singkong racun ataupun kelapa pada malam hari. Kepiting kenari iyang tertangkap akan dijual apabila cukup besar dengan harga Rp. 50.000,- per ekor atau dikonsumsi sendiri apabila ukurannya cukup kecil. Kegiatan lain untuk mengisi waktu luang bagi wanita adalah menenun kain, sebanyak 40 orang. Modal usaha dibutuhkan untuk membeli benang sebesar Rp. 70.000,- dalam seminggu dapat diselesaikan satu kain yang dapat dijual dengan harga Rp. 140.000,-, sehingga dalam sebulan pendapatan dari hasil tenunan sebesar Rp. 280.000,-. Masyarakat sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh termasuk penduduk Desa Siambul, Desa Rantau Langsat dan Desa Talang Lakat sudah sejak lama memanfaatkan kawasan tersebut untuk menunjang keperluan hidup sehari-hari. Sebagian besar adalah petani ladang berpindah. Dari quisioner yang disebar diketahui bahwa rata-rata per kepala keluarga mempunyai 2 – 5 hektar lahan (63,6%). Mereka membabat pohon di sekitar areal penyangga untuk keperluan tersebut. Hasil dari pembukaan lahan biasanya mereka manfaatkan untuk keperluan sehari-hari, seperti kayu bakar dan kayu pertukangan lainnya. Pada awal pembukaan lahan, biasanya mereka menanam padi ladang. Selain itu mereka juga menanami dengan jagung, cabe, pisang dan tanaman palawija lainnya. Penanaman dilakukan selama dua tahun dan selama pengelolaan tersebut, di sela-sela tanaman padi mereka tanami dengan tanaman-tanaman tahunan seperti tanaman karet. Setelah dua tahun maka lahan tersebut mereka tinggalkan dan kembali lagi setelah empat tahun untuk memungut hasil dari tanaman karet tersebut. Sebagian penduduk juga memanfaatkan hasil hutan berupa kayu-kayu komersil untuk mereka jual. Jenis kayu yang biasa mereka ambil yaitu dari jenis meranti, kulin, kompas, mersana, kuranji, dll. Usaha sampingan lainnya yang biasa dilakukan penduduk yaitu berburu binatang. Hewanhewan yang biasa diburu yaitu rusa, kijang, kancil, babi hutan, beberapa jenis burung, ikan, labi-labi, dll. perburuan terhadap beberapa jenis satwa yang mempunyai nilai jual yang tinggi, seperti Harimau sumatera, juga terjadi di kawasan TNBT. Namun akhir-akhir ini perburuan Harimau Sumatera mulai berkurang akibat diberlakukannya undang-undang/hukum yang melarang kegiatan tersebut dan juga kegiatan partisipatif yang dilakukan oleh pihak pengelola dan beberapa lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian hewan dimaksud.Penduduk sekitar TNBT sampai saat ini masih bergantung pada sungai sebagai sumber air bersih mereka. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, air minum, memasak
Sintesis 2010-2014
| 158
dan lain sebagainya, semuanya mereka dapatkan dari sungai dan anak-anak sungai yang ada di sekitar tempat tinggal mereka yang jaraknya tidak lebih dari 500 meter. Dari hari quisioner yag disebar, diketahui bahwa 54,5% responden mengambil/tergantung sepenuhnya dari air sungai, 30% responden mengambil air dari sungai dan sumur, dan sisanya 0,9% sudah sepenuhnya mengambil air dari sumur. Anggapan air sungai merupakan sumber berbagai obat, telah menyebabkan masyarakat enggan untuk beralih menggunakan sumber-sumber air bersih lainnya. Jumlah kunjungan ke TNBT selama tahun 2002, yaitu jumlah kunjungan wisatawan nusantara sebayak 637 orang dan wisatawan manca negara sebayak 38 orang. Total jumlah pengunjung tahun 2002 yaitu 675 orang. Hanya sebagian kecil masyarakat yang ikut memanfaatkan potensi wisata yang ada di kawasan TNBT. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan pariwisata di TNBT lebih bayak dilakukan oleh aparat atau lembaga-lembaga lainnya. masyarakat hanya terlibat sebagai pendamping yang memperoleh sedikit uang dari kegiatan wisata tersebut. Namun hal ini tidak terlepas dari tingkat pengetahuan masyarakat yang masih relatif rendah terhadap bidang kepariwisataan.Pemanfatan sumber dayasumber yang ada di TNBT dapat dikatakan masih dalam kondisi yang normal. Hanya karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumberdaya-sumberdaya tersebut semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan menimbulkan kesan seolah-olah sumber daya yang ada di TNBT semakin berkurang. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan beberapa responden yang menyatakan bahwa hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu seperti rotan, jernang, kayu gaharu dan yang lainnya semakin jarang didapatkan. Namun secara umum hampir semua responden menyatakan bahwa keadaan TNBT sampai saat ini masih tetap seperti dahulu, dengan kata lain tidak banyak mengalami perubahan-perubahan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari petugas pengelola TNBT yang menyatakan bahwa sampai saat ini aktivitas masyarakat sekitar TNBT masih dalam areal penyangga, sehingga aktivitas tersebut tidak begitu mempengaruhi keadaan TNBT. Hanya saja yang perlu diperhatikan yaitu tata batas TNBT yang sampai saat ini belum begitu jelas bagi masyarakat sekitar. Sebagian besar responden (66,6%) menyatakan tidak mengetahui tata batas tersebut. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap pengelolaan TNBT kedepan, karena seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kebutuhan akan lahan juga terus meningkat, dan bila tata batas belum jelas maka secara langsung atau tidak langsung keberadaan TNBT akan terancam.Di daerah penyangga perladangan berpindah telah menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar TNBT berubah dari yang semula beragam jenis menjadi monokultur. Setiap tahunnya masyarakat membuka lahan lebih kurang 2 – 5 ha per kepala keluarganya. Hal ini menyebabkan lahan di sekitar TNBT dengan cepat berkurang dan berdampak negatif, tidak hanya bagi keanekaragaman tumbuhan, tetapi juga terhadap kondisi fisik lahan dan habitat fauna.Dampak lain yang mulai dirasakan oleh masyarakat di sekitar TNBT yaitu mulai berubahnya kondisi air sungai. Dari hasil wawancara dan penyebaran quisioner diketahui bahwa sebanyak 25% responden sudah mulai
Sintesis 2010-2014
| 159
mengeluh bahwa kondisi air sungai mulai keruh. Akibatnya masyarkat kesulitan mendapatkan air bersih untuk mereka minum, selain itu, masyarakat yang biasa menangkap ikan juga terkena dampaknya, mereka yang biasa menangkap ikan dengan menggunakan tombak (karena air sungai jernih) menjadi semakin sulit. Di musim kemarau, beberapa aliran Anak Sungai Batang Gangsal mengalami kekeringan. Hal ini dikarenakan aktivitas penebangan kayu di daerah hulu sungai yang dahulu sering dilakukan, sehingga fungsi hutan sebagai penangkap resapan air menjadi kecil. Namun saat ini aktivitas tersebut mulai berkurang, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh petugas pengelola TNBT, yaitu bahwa aktivitas penebangan kayu di hulu sungai saat ini sudah dihentikan. Hal ini tentu memberi harapan yang baik bagi kelestarian sungai-sungai yang ada di sekitar TNBT. Pemanfaatan tanaman lainnya tidak banyak memberikan pengaruh negatif pada lingkungan dan masyarakat. Hal ini juga disebabkan karena di kalangan masyarakat (khususnya Suku Talang Mamak) berlaku undang-undang tidak tertulis atau hukum adat yang menyatakan bahwa tumbuhan penghasil buah/getah tidak boleh ditebang dan sebagai konsekuensi apabila tumbuhan itu ditebang, maka yang bersangkutan akan dikenai denda berupa uang. Perburuan terhadap Harimau sumatera banyak terjadi di kawasan TNBT. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada salah seorang pemburu Harimau sumatera dikatakan bahwa dalam sebulan minimal ia bisa mendapatkan satu ekor. Hal ini tentu saja akan berdampak negatif terhadap kelestarian dan mengganggu keseimbangan alam. Pengaruh yang ditimbulkan oleh bidang kepariwisataan belum begitu terlihat di masyarakat. Seperti disebutkan di atas, masyarakat hanya terlibat pada sebagian kecil kegiatan tersebut disamping memang pengelolaan kepariwisataan di TNBT belum maksimal. 3.
Pengelolaan Kolaboratif
Keluarnya Permenhut No P.19/Menhut-II/2004 tentang pengelo-laan kolaboratif di kawasan konservasi telah menunjukkan bahwa pengelolaan kolaboratif dianggap sebagai alat yang penting untuk memecahkan permasalahan penggunaan lahan yang tumpang tindih di kawasan konservasi. Permenhut ini menyediakan petunjuk yang umum tentang persiapan, implementasi, monitoring dan evaluasi dalam pengaturan kolaboratif. Sebagian besar taman nasional telah dan sedang berada dalam proses kolaborasi ini. Beberapa taman nasional dan hutan lindung telah berada dalam proses panjang menuju pengelolaan kolaboratif jauh sebelum keluarnya Permenhut tersebut. Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM)di Kalimantan Timur adalah yang pertama mengaplikasikan kolaborasi ini (Borrini-Feyerabend et al, 2007). Kolaborasi di TNKM ini melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang tinggal di dalam kawasan taman nasional. Kolaborasi ini menghasilkan terbentuknya Forum masyarakat adat (FoMMA) ini dibentuk sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, hutan, perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Forum ini terwakili dengan baik dalam Dewan Penentu Kebijakan TNKM. Dewan ini terdiri dari
Sintesis 2010-2014
| 160
perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yaitu FoMMA, pemerintah pusat dan lokal. Pengelolaan kolaborasi juga dipraktekkan di TN Rawa Aopa Watumohai, TN Lore Lindu, TN Komodo, Hutan Lindung Wehea, HL Sungai Wain serta masih banyak lainnya. Walaupun banyak keberhasilan yang diraih akan tetapi tidak sedikit yang mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan kolaborasi ini. Tidak adanya fasilitator dalam proses kolaborasi, partisipasi masyarakat yang rendah serta dewan penasehat yang tidak berfungsi juga menjadi beberapa faktor kegagalan kolaborasi di berbagai tempat (Anshari, 2006; Angi, 2005; Erdman et al, 2004, Moeliono dan Purwanto, 2008). Contoh kegagalan ini dapat dilihat pada TN Danau Sentarum dan TN Kutai. Menurut Anshari (2006), salah satu kendala yang menghambat proses kolaborasi di TN Danau Sentarum adalah tidak adanya kepercayaan antar para pemangku kepentingan. Pengelola TN dan LSM lokal saling berkompetisi dalam memutuskan yang terbaik bagi TN dan masyarakatnya. Situasi ini menyebabkan tidak adanya pihak yang bersedia menjadi fasilitator proses kolaborasi. Demikian juga yang terjadi dengan TN Kutai yang mengalami kondisi kritis akibat adanya perambahan dan penambangan illegal. Adanya perebutan kendali atas TN antara pemerintah pusat dan daerah dan lemahnya penegakan hukum menyebabkan banyak pelanggaran hukum di tempat tersebut (Moeliono dan Purwanto, 2008). Aliansi 6 perusahaan di sekeliling TN Kutai (Mitra Kutai) yang salah satunya adalah perusahaan tambang PT. KPC (Kaltim Prima Coal) tidak berminat mendiskusikan keselamatan TN, mereka hanya sebatas memberi dana untuk kampanye hijau akan tetapi terus melanjutkan bisnis. Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi telah terjadi di Indonesia (Peratutan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain : a. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari governmentbased management menjadi multi stakeholder based management/collaborative management. b. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragamanhayati menjadi kawasan perlindungan keanekara-gaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambunagan. c. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat. d. Dari close access menjadi regulated open access. Untuk mengimplementasikan peraturan tersebut sudah selayaknya pengelolaan kawasan CADS dilakukan secara collaborative management. Berbagai lembaga terkait dan memiliki minat, kepedu-lian, atau kepentingan dalam upaya konservasi kawasan suaka alam maupun konservasi jenis dapatdilibatkan untuk membantu
Sintesis 2010-2014
| 161
meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan kawasan CADS bagi kesejahteraan rakyat. Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mempunyai banyak dimensi, menggabungkan berbagai pihak yang memiliki peran, dengan sasaran akhir adalah konservasio lingkungan, pemerataan distribusi manfaat dan tanggung jawab (Borrini-Feyerabend et.al, 2000).Sedangkan Tadjudin (2000) mendifinisikan manajemen kolaborasi sebagai suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang berlaku dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Nilai-nilai utama dalam pengelolaan kolaborasi (Awang et. al, 2005), antara lain: a. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam pengelolaan sumberdaya hutan b. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelo-laan sumberdaya hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal c. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam d. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan bertanggung jawab e. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasilhasil dalam waktu singkat f. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang kolaborasi tersebut yaitu Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) (BorriniFeyerabend et.al, 2007).Kolaborasi antara pengelola TNKM dengan masyarakat adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan, perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yang terdiri dari FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan TNKM. Stakeholder yang terkait dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebanyak 12 institusi, diantaranya adalah: Balai TN Babul, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Pertanian Kabupaten Maros, PDAM Kabupaten Maros, PNM Mandiri, masyarakat sekitar TN Babul, Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Pengelola Air, Dinas Pariwisata Kabupaten Maros,
Sintesis 2010-2014
| 162
Badan Pelaksana Penyuluhan dan tanaman Pangan Kabupaten Maros, LSM baik lokal maupun Internasional serta Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian. Kepentingan setiap stakeholder dan dampaknya terhadap pengelolaan TN Babul disajikan dalam tabel berikut. Pengelolaan kolaboratif bertujuan untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan lahan dalam TN, tata batas, perbedaan persepsi tentang pemanfaatan kawasan serta rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Kegiatan pengelolaan dimulai dengan keterlibatan masyarakat dalam menentukan zonasi dan aturan pemanfaatan, restorasi zona tradisional, pengembangan wisata dan mengelola daerah penyangga. Kegiatan dalam mengatasi konflik membentuk forum dialog, kegiatan sosiali-sasi, kegiatan pemanfaataan zona khusus dan pengembangan sumber penghasilan dilahan masyaraat. Pengelolaan Kolaboratif TNK sudah terbentuk, namun masih terbatas sebagai penyandang dana. Dalam hal ini perlu dilakukan Peningkatan fungsi kelembagaan untuk mengatasi berbagai tekanan ekosistem di TNK. Penelitian akan memberikan masukkan dalam pengelolaan zona khusus dan menetapkan kriterianya. Pola pemanfaatan sumber daya alam di Taman Nasional Sebangau adalah didasarkan pada sumber daya air (sungai) dan memungut hasil hutan. Menangkap ikan adalah mata pencaharian pokok masyarakat di sekitar Taman Nasional Sebangau. Telah teridentifikasi kelembagaan pemanfaatan lahan dan hasil hutan dalam diagram venn yang memuat pihak-pihak yang berperan dalam pemanfaatan sumber daya air tersebut. Selain kelembagaan pemanfaatan lahan dan hasil hutan, juga telah teridentifikasi zona kolaborasi dan model okupasi lahan pada TN Sebangau. Pola kolaborasi untuk Taman Nasional Sebangau masih pada tahap “Konsultasi”. Sedangkan tipologi konservasi di Taman Nasional Sebangau berada pada level “Park Outreach”. Implementasi kebijakan Permenhut No. P.19/2004 di TN Sebangau masih pada tahap yang sangat awal akan tetapi dengan berkolaborasi dengan WWF Kalteng diharapkan ke depannya proses menuju pengelolaan kolaboratif ini dapat terwujud dengan terwujudnya Board of Trustee TN Sebangau dan adanya revisi zonasi. Sosialisasi, sumberdaya manusia maupun finansial, mekanisme monitoring dan evaluasi perlu ditingkatkan dan tim terpadu program kerja TN Sebangau harus diefektifkan sehingga implementasi kebijakan Permenhut P. 19/2004 dapat berjalan dengan baik. Mengingat kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan taman nasional umumnya rendah dilihat dari tingkat pendidikannya, maka bentuk kolaborasi yang telah dilakukan di TN Babul adalah pening-katan kualitas sumberdaya manusia atau peningkatan kemampuan (capacity building) melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan, yang melibatkan stakeholder yang berkaitan seperti Badan Pelaksana
Sintesis 2010-2014
| 163
Penyuluhan dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (Kadir et.al., 2010) . Disamping itu, pencanangan zonasi yang ditujukan untuk meng-akomodir kepentingan masyarakat adalah penetapan zona tradisional, dimana kegiatan masyarakat di dalam kawasan dapat dilakukan melalui nota kesepakatan atau nota kesepahaman (MoU) terutama petunjuk teknis kegiatan peremajaan tanaman kemiri yang merupakan sumber pendapatan utama masyarakat di Kecamatan Camba, Cenrana dan Mallawa sebanyak 58%, dimana pendapatan masyarakat dari tanaman kemiri di dalam kawasan TN Babul berkisar antara 2,02%-100% atau rata-rata sebesar 79,09% (Kadir et.al., 2010). Tanaman kemiri yang telah dikembangkan oleh masyarakat secara turn-temurun di TN Babul mengalami penurunan produktivitas dalam kurun waktu empat tahun sekitar 150 kg/ha dari 0,6 to/ha,tahun 2005 menjadi 0,45 ton/ha, tahun 2009 (Yusran, 2005 dan Dishutbun Maros, 2009). Penurunan ini disebabkan umur tegakan kemiri yang telah tua, rata-rata lebih dari 56 tahun sehingga memerlukan peremajaan karena tanaman kemiri diperkirakan mencapai 4060 tahun (Elevitch dan Menner, 2006). Pengelolaan jasa lingkungan air di TN Babul melibatkan Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM), Lembaga Pengelola Air di masyarakat dan Dinas Pariwisata hendaknya berperan aktif dalam kelestarian kawasan dalam sistem bagi hasil, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Saat ini, kerjasama pengelolaan pariwisata antara TN Babul dan Pemda Maros, menghasilkan kesepakatan dalam bentuk bagi hasil 25%: 75%. Keberhasilan implementasi kolaborasi di beberapa taman nasional juga diikuti kegagalan pelaksaannnya di beberapa kawasan seperti TN Kutai dan TN Danau Sentarum. Kegagalan kolaborasi di TN Danau Sentarum diakibatkan tidak adanya kepercayaan antar pemangku kepentingan dan kompetisi dalam menentukan arah kebijakan taman nasional. Transformasi konflik disebabkan karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya.Konflik antara masyarakat dan pengelola TN Babul terjadi karena adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar TN Babul. Masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun jauh sebelum daerah tersebut ditetapkan sebagai Kawasan hutan dan berubah fungsi TN Babul menjadi terpinggirkan dari daerahnya karena keterbatasan lahan garapan dan sumber penghasilan. Sebagian anggota keluarganya pada akhirnya melakukan migrasi ke daerah lainnya (perkotaan, lintas kabupaten atau provinsi) mencari sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi seperti ini banyak terjadi di Kecamatan Camba dan Mallawa, Kabupaten Maros. Perbedaan-perbedaan yang ada antara masyarakat dan pengelola TN Babul dalam pemanfaatan SDAH, komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara masyarakat dan pengelola TN Babul, serta keterbatasan
Sintesis 2010-2014
| 164
pengelola kawasan TN Babul untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat sekitar kawasan TN Babul menjadi pemicu dan sumber terjadinya konflik. Perbedaan yang ada patut dihormati dan didialogkan. Dengan kata lain konflik yang terjadi perlu dicarikan solusinya yang dapat diterima kedua belah pihak. 4.
Upaya Penyelesaian Konflik
Konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia. Akan tetapi tidak setiap interaksi perlu melibatkan konflik.Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia mampu bergaul dengan baik dengan orang-orang, kelompok, maupun organisasi lain; pergaul-an itu mereka lakukan dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga hanya terjadi sedikit konflik di dalamnya. Bilamana konflik itu memang terjadi, maka konflik itu lebih sering dapat diatasi daripada tidak (Pruitt dan Rubin, 2009). Konflik yang muncul dalam pengelolaan SDAH bukan untuk dihilangkan akan tetapi perlu dicarikan solusinya. Demikian halnya dengan pihak yang memiliki posisi yang lemah dalam situasi konflik tidak perlu dipinggirkan akan tetapi diberikan ruang untuk berdialog. Konflik yang terjadi pada dasarnya memiliki sisi positif disamping sisi negatif. Sisi positif dari konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial, dapat memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan, dan dapat mempererat persatuan kelompok. Sisi negatif dari konflik adalah dapat membuka jalan terjadinya tindakan yang lebih keras, jumlah masalah yang timbul dalam konflik dapat meningkat, fokus yang pada awalnya bersifat khusus dapat melebar dan menjadi bersifat global, motivasi dapat berubah untuk membuat pihak lain menderita, dan jumlah pihak yang berkonflik cenderung meningkat.
Sintesis 2010-2014
| 165
9.3.Model Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Sintesis 2010-2014
| 166
B. MODEL PENGELOLAAN EKOSISTEM
TAMAN
NASIONAL
BERDASARKAN
Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan mempertimbangkan 1). nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan nilai manfaat langsung kepada masyarakat 2). Membangun kriteria dan indikator zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus yang memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan dasar masyarakat. 3). Keselarasan zona rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi, topografi, tutupan lahan dan luas kawasan 4). Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan. Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga. Secara keseluruhan kriteria dan indikator taman nasional telah teridentifikasi 10 kriteria dengan 28 indikator masing-masing dengan nilai indeks 1-4.Implementasi kriteria indikator optimal pengelolaan taman nasional dapat dilihat dari penetapan zonasi yang telah dilaksanakan dan keselarasannya dengan tata guna lahan di daerah penyangga. Taman nasional yang berbatasan dengan hutan produksi, pengelolaan hutan produksi perlu mendukung keamanan dan pelestarian satwa endemik. Untuk itu perlu pengelolaan kawasan bekas tebangan dalam bentuk wilayah konservasi seluas 30%; dan pengelolaan kawasan dengan metode Reduce Impact Logging (RIL). Taman nasional yang berbatasan dengan areal penggunaan lain, desa, perkebunan dan kawasan budidaya, areal selebar 2-7 km dari batas TN perlu dikelola dalam bentuk agroforestry sedangkan pemukiman ditata dalam jarak minimal 5 km dari batas kawasan.Keberadaan masyarakat dalam TN di identifikasi masih ada masyarakat melakukan praktek ladang berpindah berladang sawah. Sebagian taman nasional telah mendapatkan areal ladang dan pemukiman tersebut menjadi zona khusus. Zona khusus dengan bangunan sapras yang memadai telah mengindikasikan terjadinya peningkatan degradasi hutan sekitarnya melalui perluasan ladang atau pengambilan kayu. Kondisi ini perlu di evaluasi terutama pembatasan luas zona khusus dan membangun zona rehabilitasi disekitar zona khusus. Berdasarkan data dan hasil analisis diatas, kriteria indikator yang perlu di bangun untuk pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi adalah: 1. Nilai keberadaan taman nasional 2. Nilai jasa lingkungan dan karbon 3. Nilai wisata yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat 4. Nilai manfaat langsung bagi masyarakat 5. Keanekaragaman satwa liar ekosistem habitat dan keaslian vegetasi 6. Keberadaan masyarakat dan diluar kawasan
Sintesis 2010-2014
| 167
7. 8. 9.
Tata guna lahan dan pemukiman diluar kawasan Pola tanam dan vegetasi daerah penyangga Aktivitas dan kebutuhan Keberadaan masyarakat disekitar kawasan menjadi dasar untuk mengembangkan nilai taman nasional dalam pemulihan kebutuhan dasar dan peningktan ekonomi melalui pengelolaan jasa lingkungan wisata alam 10. Peningkatan persepsi masyarakat berbanding lurus dengan nilai yang didapat masyarakat dari hasil pengelolaan kawasan 11. Peningkatan persepsi masyarakat memberikan dampak positif terhadap pengamanan kawasan, pengamanan dari perburuan, keberhasilan pembinaan habitat dan restorasi ekosistem. Pengelolaan taman nasional berdasarkan ekosistem ditentukan oleh: 1. Tipe ekosisten dan keberadaan satwa liar endemik dan langka 2. Keragaman ekosistem sesuai habitat satwa tertentu 3. Potensi ekosistem dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan menjadi objek wisata 4. Kebutuhan dasar dan sosial ekonomi masyarakat 5. Tingkat partisipasi masyarakat 6. Tingkat kerusakan kawasan 7. Daya dukung kawasan sebagai habitat satwa 8. Penataan dan fungsi kawasan daerah penyangga
Pengelolaan Kolaboratif
Model
Model dan Pengelolaan Daerah Penyangga
Taman Nasional
Zonasi Taman Nasional
Dinamika Ekosistem
Nilai Jasa Lingkungan, Sosial Ekonomi, Pelestarian Biodiversitas dan Perbaikan Lingkungan
9.4.Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem.
Sintesis 2010-2014
| 168
C. STRATEGI MANAJEMEN TAMAN NASIONAL Pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional menghadapi berbagai persoalan yang dapat dikelompokkan menjadi persoalan internal maupun eksternal Persoalan internal terkait dengan organisasai serta kelembagaan diantaranya adalah: Sistem perencanaan yang dituangkan dalam Rencana Pengelolaan (RP) berjangka waktu 20-25 tahun, dijabarkan ke dalam Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan Rencana tahunan. Kelemahan RP, RKL, RKT, Zonasi Taman Nasional lainnya adalah kurangnya proses konsultasi public, akurasi data dan informasi, identifikasi isu-isu strategis, revisi zonasi dan keterkaitan antara penyusunan program pengelolaan. Persoalan eksternal merupakan dampak langsung dari perubahan ruang dan lahan yang memberikan tekanan terhadap kawasan konservasi, kondisi ini meliputi: Perubahan tutupan hutan tersebut berupa pembukaan lahan untuk perluasan kabupaten/kota, perkebunan, pertanian, HTI dan kawasan terbuka open access (sarana dan prasarana umum serta pemukiman). Perambahan kawasan konservasi mencapai 27,1 jutan ha atau 20% dari total luas hutan di Indonesia (Haryono, 2013).Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak tahun 1998 juga memicu kebutuhan akan ruang yang didapatkan dari kawasan hutan, disamping perambahan hutan dengan motif ekonomi seperti di TN Bukit Barisan Selatan (> 50.000 ha untuk perkebunan kopi rakyat), TN Leuser (20.000 ha kawasan rusak dan 4.000 ha untuk perkebunan sawit), TN Kutai (23.000 ha dengan kandungan batubara 6-7 terancam, legasisasi 7 desa di 2 kecamatan dilepaskan atas permintaan Bupati Kutai Timur). Keberadaan masyarakat asli, setempat ataupun masyarakat tradisional yang berada di dalam kawasan konservasi seperti masyarakat kasepuhan di TN Gunung Halimun Salak , dua belas suku Dayak di Tn Kayan Mentarang, masyarakat Kubu di Tn Bukit Dua Belas, suku Talangmamak di Bukit Tiga Puluh, masyarakat sekitar Danau Lore Lindu di TN Lore Lindu, suku Mentawai di TN Siberut. Persamaan persepsi antara stakeholder yang memiliki perbedaan kepentingan dan interest. Berdasarkan permasalahan pengelolaan kawasan diatas diperlukan perubahan paradigmatik pola pengelolaan taman nasional yang dibangun dari berbagai inisiatif, terobosan, inovasi pengelolaan, dukungan dari berbagai cabang ilmu dan kepakaran serta didasarkan pada data dan informasi spatial dan non spatial yang terbaru dan akurat dengan mengembangkan proses keputusan melalui ilmu pengetahuan. Strategi pengelolaan taman nasional untuk mencapai tujuan secara efisien dan optimalisasi dilakukan melalui tahapan perencanaan, kelembagaan, dan kolaborasi. 1.
Tahapan Perencanaan
Rencana strategis kawasan konservasi dititik beratkan pada tata batas dan sistem zonasi taman nasional, pengelolaan habitat dan polulasi baik di darat maupun di perairan laut, pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari kawasan,
Sintesis 2010-2014
| 169
pengamanan kawasan melalui low enforcement, pembinaan kepemimpinan dan manajerial petugas dan jagawana, pengembangan kemitraan dan daerah penyangga. Rencana program dan kegiatan seperti TN Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Tahun 2010-2029 (Balai Taman Nasional Bukut Baka Bukit Raya, 2009) terdiri dari pengembangan organisasai kelembagaan, pemantapan kebijakan pengelolaan, peningkatan kapasitas personil dan penambahan staf, penyusunan prosedur kerja (SOP) dan petunjuk teknis , peningkatan sarana dan prasarana, pengukuhan tata batas kawasan, penataan zonasi, pembangunana pusat data, pembangunan sinergi program dengan Strategic Plan of Action Heart of Borneo, kemitraan, penggalangan sumber dana para pihak, peningkatan konsultasi dan koordinasi, pembangunan media komunikasi bersama, pengamanan kawasan, penegakan hokum, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan kehutanan, pengembangan jasa lingkungan, pembangunan pusat riset, pengembangan wisata alam, pengembangan daerah penyangga serta pemberdayaan masyarakat. 2.
Kelembagaan
Pengembangan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan taman nasional disesuaikan dengan peranan yang terkait tugas dan tanggung jawab setiap lembaga dijelaskan dalam Edaran menteri Dalam Negeri No. 660.1/269/V/Bangda tanggal 16 Februari 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Penyangga Taman Nasional. Struktur kelembagaan pengelola daerah penyangga melibatkan berbagai instansi yaitu Pemerintah Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat di desa-desa sekitar zona penyangga TN Bukit Tigapuluh terdiri dari (Kuswanda dan Mukhtar, 2006): Kelembagaan informal/tradisional yaitu lembaga adat yang dipimpin oleh batin. Fungsinya lebih sederhana atau hanya menyelesaikan persoalan adat dimana fungsi batin sebagai kepal pemerintahan menjadi hilang. Kelembagaan formal, lembaga ini terdiri dari kepala desa/lurah dibantu Sekretaris Desa, Kepala Dusun, Kepala Rukun Warga dan Kepala Rukun Tetangga dengan lembaga legeslatifnya Badan Perwakilan Desa (BPD). Kegiatan penataan batas dan ruang di TN Bukit Tigapuluh dalam suatu rangkaian proses untuk membuat batas, menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang daerah penyangga menurut penilaian berbagai stakeholder sebagai berikut Balai TN Bukit Tigapuluh (33,9%), Pemerintah Daerah (31,0%), Lembaga masyarakat local (26,5%), lembaga swadaya masyarakat (8,6%), sedangkan upaya perlindungan dan menjaga kelestarian kawasan merupakan tanggung jawab Balai Tn Bukit Tigapuluh (42,1%) dan lembaga masyarakat lokal (24,9%). Peningkatan sumberdaya manusia dan ekonomi masyarakat menjadi tugas dari lembaga masyarakat local (46,2%), Pemerintah Daerah (25,3%), Balai TN Bukit Tigapuluh (21,2%) dan lembaga swadaya masyarakat (7,3%). Selanjutnya, lembaga yang memantau berjalannya pengelolaan di daerah penyangga menurut stakeholder
Sintesis 2010-2014
| 170
adalah lembaga swadaya masyarakat (31,5%) dan lembaga masyarakat lokal (28,7%). 3.
Kolaborasi
Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah dan berkembang pada pengelolaan bersama atau collaborative management merupakan kolaborasi berbagi kewenangan dan tanggung jawab antara pengelola kawasan, para pihak dan masyarakat yang berkepentingan. Tingkatan dalam kolaborasi ini dicirikan oleh intensitas interaksi diantara para pihak, dimulai dari penyampaian informasi, konsultasi, kerjasama, pertukaran informasi, pengarahan, aksi bersama, kemitraan, control masyarakat, dan koordinasi berbagai bidang ( Pomeroy dan Berkes, 1997). Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi telah terjadi di Indonesia (Peraturan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain : a. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari governmentbased management menjadi multi stakeholder based management/collaborative management. b. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambunagan. c. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat. d. Dari close access menjadi regulated open access. Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mempunyai banyak dimensi, menggabungakan berbagai pihak yang memiliki peran, dengan sasaran akhir adalah konservasi lingkungan, pemerataan distribusi manfaat dan tanggung jawab. Nilai-nilai utama dalam pengelolaan kolaborasi, antara lain: a. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam pengelolaan sumberdaya hutan b. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelolaan sumberdaya hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal c. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam d. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan bertanggung jawab e. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasilhasil dalam waktu singkat f. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Sintesis 2010-2014
| 171
Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang kolaborasi tersebut diantaranya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Kolaborasi antara penelola TNKM dengan masyarakat adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan, perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yang terdiri dari FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan TNKM. Taman Nasional lainnya yang juga mengimplemntasikan kolaborasi TN Bunaken dengan Dewan Pengelola TN Bunaken (DPTNB), TN Gn Gede Pangrango dan TN Gn Halimun Salak (Gede Pahala) serta TN Komodo dengan Komodo Collaborative Management Board, TN Kutai dengan Mitra Kutai. Kolaborasi antara TN Kutai dengan Mitra Kutai dinilai belum berhasil dan optimal ditinjau dari pencapaian kinerja karena program-program kegiatan yang dilaksanakan selama ini bersifat insidental/tidak berkesinambungan dan tidak diarahkan untuk mengatasi permasalahan mendasar di TNK (Falah, 2012). Pembentukan Mitra Kutai mempunyai beberapa tujuan, yaitu : 1) Penyadaran masyarakat; 2) Mendapat dukungan masyarakat luas; 3) Mengurangi tekanan terhadap hutan; 4) Pengelolaan kawasan yang lebih baik; dan 5) Kepastian hukum bagi masyarakat dan kawasan (Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, 2006). Selama 14 tahun (1995-2008) telah tersalurkan dana. Prioritas penggunaan dana adalah sebagai berikut : (1) Kampanye pelestarian 20%, (2) Pengembangan ekowisata 4%, (3) Sarana & Prasarana 20%, (4)Pengembangan SDM3%, (5) Penelitian 2%, (6) Rehabilitasi kawasan 26%, (7) Pengamanan 5%, (8) 8%, dan (9) Sekretariat 12%. Tetapi kondisi yang ditemui di lapangan terkait pembukaan lahan yang terus menerus terjadi, masih adanya tindak penebangan liar di kawasan TNK, menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan Mitra Kutai belum efektif. Untuk itu diharapkan penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai melaui (1). Penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemerintah Daerah, serta wakil masyarakat; (2). Kejelasan aturan main sejak dari tahap perencanaan s.d. evaluasi; (3). Program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan di TNK; (4). Sekretariat/badan pelaksana yang independen dan profesional;(5).Adanya pelaporan keuangan secara berkala dan transparan; (6). Audit keuangan yang dilakukan auditor independen; (7). Pemilahan secara tegas pengelolaan keuangan Mitra Kutai dengan pengelolaan keuangan Balai TN Kutai yang bersumber dari dana APBN; serta (8) Konfigurasi kelembagaan Mitra Kutai menjadi semacam konsorsium. Berdasarkan kepentingan ekologi dan ekonomi, peran para pihak yang perlu dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pentingnya pelestarian TNK untuk menumbuhkan komitmen menjaga keutuhan kawasannya.
Sintesis 2010-2014
| 172
D. TEKNIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 1.
Pengamanan
Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi alam adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang perlindungan hutan, penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati, serta wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. Perlindungan hutan meliputi pegamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan dan penyidikan. Perlindungan hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan ini merupakan usaha untuk : - Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,kebakaran, bencana alam, hama serta penyakit. - Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. - Penanggulangan kebakaran hutan meliputi pengembangan system penanggulangan kebakaran, deteksi dan evaluasi kebakaran, pencegahan dan pemadaman kebakaran, dan dampak kebakaran. 2.
Evaluasi fungsi
Penetapan kawasan konservasi Gunung Maras diperlukan dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Penetapan kawasan juga merupakan penataan ruang (zonasi) pada setiap kawasan konservasi dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan konservasi, baik untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, evaluasi fungsi kawasan konservasi dan sistem pengelolaannya menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan strategi pengelolaan dan pengembangan hutan konservasi, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya. Penilaian evaluasi fungsi kawasan meliputi: 1) Kawasan yang ciri khas baik asli maupun buatan, termasuk pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah 2) Potensi lingkunganKeindahan alam dan atau gejala alam
Sintesis 2010-2014
| 173
3) Luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli 4) Keanekaragaman hayati yang meliputi satwa endemik dan langka, flora endemik yang langka, keragaman dan fungsi ekosistem, dan keragaman jenis satwa liar 5) Landskap kawasan yang dicirikan mempunyai bentang alam dari pantai hingga pegunungan 6) Keutuhan ekosistem dan tingkat degradasi kawasan 7) Ancaman kawasan termasuk perburuan satwaliar yang dilindungi 8) Pengelolaan kolaboratif dimana terdapat potensi kearifan masyarakat lokal 9) Zona pengelolaan dimana terdapat tiga zona inti, rimba dan pemanfaatan 10) Penataan zona penyangga yang meliputi penataan daerah penyangga, sebaran pemukiman dan fungsi daerah penyangga Tabel 9.2. Kriteria Penilaian Kawasan Konservasi Gunung Maras No 1 2
3 4 5
Kriteria Luas Kawasan Keanekaragaman hayati
Landskap kawasan berdasar ekosistem Keutuhan ekosistem
6
Potensi sumber air DAS Zonasi pengelolaaan
7
Ancaman kawasan
Bobot 10 7,5 7,5 5 5 10 7,5 5 7,5 2,5 2,5 5 2,5 2,5 2,5
8
Konflik satwaliar
2,5 2,5
9 10
Pengelolaan kolaboratif Penataan zona penyangga
TOTAL
Sintesis 2010-2014
| 174
2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Indikator Areal sedang Spesies hampir punah Terdapat flora endemik Terdapat minimal 2 ekosistem tidak terfragmentasi Keragaman jenis satwa liar (sedang) Mempunyai bentang alam dari pantai hingga pegunungan Terdapat kurang dari tiga ekosistem utuh Kawasan terdegradasi kurang dari 30% Kawasan hulu DAS Objek wisata alam asli dari alam/ gejala alam Terdapat zona inti, rimba, dan pemanfaatan Zona inti >50% luas kawasan Tidak ada masyarakat dalam zona inti Jarang terjadi perburuan satwa liar yang dilindungi Masyarakat lokal masih terbatas memasuki kawasan Jarang terjadi konflik dengan satwaliar (mamalia besar) Mengganggu areal pertanian Tingkat kepentingan masyarakat lokal terhadap kawasan (tinggi) Fungsi produksi Areal berhutan 1-2 km dari batas untuk hutan Berbatasan dengan zona pemanfaatan Sumber kebutuhan masyarakat
Skor 2 3 3 2
Nilai 20 22,5 22,5 10
2 4
10 40
3 3 3 3 4 3 4 2
22,5 15 22,5 7,5 10 15 10 5
2
5
3
7,5
2
5
2
5
2 3 2 1
5 7,5 5 2,5 275
3.
Restorasi dan rehabilitasi
Kawasan hutan di Indonesia seluas 132.397.729 ha , yang merupakan 71% dari luas daratan Indonesia terbagi ke dalam hutan produksi 62,57% dan hutan konservasi 14, 88% dan hutan lindung 12,55%. Kawasan konservasi tersebut dibagi kedalam jenis kawsan cagar alam, cagar alam laut, suaka margasata dan suaka margasatwa laut taman nasional, taman nasional laut dan taman wisata alam. Kawasan konservasi yang mengalami kerusakan di taman nasional 316.384 ha dan KSA 146.870 ha, sehingga total kerusakan hutan konservasi mencapai 460.408 ha. Hal ini disebabkan oleh perambahan, bencana alam (kebakaran, gunung meletus, tanah longsor, banjir dll), illegal logging, dan konflik lahan dengan masyarakat. Pemulihan ekosistem kawasan konservasi merupakan kewajiban pemangku kawasan, dan kontrak kerja antara Kementerian Kehutanan dengan Presiden RI tertuang dalam PP 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan KPA dan KSA yang merupakan hasil perubahan PP 68 tahun 1998. Restorasi terakomodir kecualai CA dan zona inti taman nasional. Restorasi adalah pemulihan ekosistem, strutur, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati melalui mekanisme suksesi alami, rehabilitasi dan restorasi. Restorasi dalam arti luas adalah memanipulasi habitat atau lanskap yang terganggu agar mencapai sebuah kondisi yang diinginkan. Pelaksana restorasi adalah pemangku kawasan (Balai Besar/Balai TN dan BKSDA bekerjasama dengan perusahaan/ badan usaha (swakelola) dan kolaborasi (TNI, Masyarakat dan NGO: JICA). Badan usaha dan kolaborasi harus memiliki ijin dari Menteri Kehutanan., sehingga diperlukan pedoman teknis tatacara pelaksanaan restorasi. Strategi pelaksanaan restorasi yaitu identifikasi tapak dari site per site (species, komposisi, struktur, sebagai data dasar), tipologi site, pelaksanan (penanaman, pemeliharaan, pengkayaan dan reintroduksi) serta monev. Target restorasi pada tahun 2011 di Kawasan Konservasi seluas 104.990 Ha: taman nasional 53.583 ha suaka margasatwa 14.040 ha, TAHURA 400 ha dan HL 104.990 ha: taman nasional 53.583 ha suaka margasatwa 14.040 ha, TAHURA 400 ha dan HL 18.200 ha, tetapi target ini belum tercapai karena beberapa kendala seperti musim kemarau yang panjang. Pelaksanaan restorasi dilakukan melalui swakelola kolaborasi antara Departemen Kehutanan dengan TNI seluas 37.384 Ha di 17 taman nasional dan enam BKSDA serta kerjasama dengan NGO seperti JICA di lima taman nasional yaitu TN Sembilang (200 Ha), TN Gn Ceremai (70 Ha), TN Merapi (47 Ha), TN Bromo Tengger Semeru (40 Ha), TN Manupae Tana Daru (90 Ha). Sehubungan dengan berbagai masalah penting yang menyangkut penurunan potensi hutan dan fungsi, aspek sosial ekonomi masyarakat dan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan maka kebijakan prioritas pembangunan kehutanan dalam tahun 2005-2009 (lima kebijakan prioritas, Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 456/Menhut-VII/2004) diantaranya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan
Sintesis 2010-2014
| 175
pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Arah pembangunan jangka panjang kehutanan (2006-2025) diantaranya mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan (social forestry), sehingga pembangunan hutan rakyat, hutan kemasyarakat sebagai bentuk kegiatan resforestasi menjadi program nasional yang sangat strategis karena mendukung aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan realitas 1) stok tegakan dan kemampuan produksi kayu menurun tajam yang tidak dapat pulih dalam jangka pendek, 2) peran ekonomi kehutanan akan menurun jika tidak dilakukan optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi ekosistem, 3) kondisi ekosistem hutan produksi dan lingkungan sosial yang beragam menuntut sistem pengelolaan yang beragam pula perlu maka melakukan pergeseran orientasi pemanfaatan hasil hutan dari kayu ke non kayu dan jasa lingkungan, termasuk fungsi hutan dalam penyerapan karbon (Darusman, 2006). Peningkatan produktivitas dan pengelolaan hutan produksi dengan sumber yang beragam melalui kegiatan restorasi ekosistem (Permen Hutan. P.18/Menhut-II/2004) akan sesuai dengan manfaat ekonomi yang hendak dicapai dan akan menjadi pilihan pengelolaan hutan ke depan, seperti penciptaan dan penataan kawasan yang bernilai ekowisata tinggi, areal perburuan terbatas, dan pengembangan agroforestry di areal yang berbatasan dengan masyarakat dapat memulihkan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan produksi fungsi dan nilai hutan secara terencana (Bismark, 2006). Kerusakan lahan yang menyebabkan terjadinya lahan keritis diindikasikan dengan rendahnya produksi biomassa, terutama pada lahan yang tidak bervegetasi baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Pada kondisi tahun 2003 lahan keritis di Indonesia telah terindentifikasi seluas 23.242.881 ha, 35 % berada dalam kawasan hutan dan 65% berada di luar kawasan hutan.Untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa rehablitasi hutan dan lahan dilakukan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sosial teknis pada lahan keritis yang tidak produktif. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional (pasal 41). Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dan memberdayakan masyarakat (pasal 42). Rehabilitasi hutan dan lahan keritis adalah kegiatan atau proses menuju reforestasi, di mana reforestasi adalah penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan. Kegiatan reforestasi mempunyai kontribusi terhadap peningkatan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dioksida untuk menurunkan efek rumah kaca melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) di mana kegiatannya berada dalam tanggung jawab Departemen Kehutanan (Permen Hut
Sintesis 2010-2014
| 176
P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Rangka Mekanisme Pembangunan Bersih). Kegiatan reforestasi ini dapat dilakukan di dalam kawasan hutan, hutan adat, tanah negara atau tanah milik, sedangkan hutan yang dapat digolongkan masuk dalam kerangka MPB adalah lahan dengan luas minimal 0,25 ha ditumbuhi pohon dengan tutupan tajuk minimal 30% dan pada akhir pertumbuhannya mencapai ketinggian pohon minimal 5 m. Kegiatan reforestasi dalam rangka MPB ini dapat berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman atau izin usahan pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan carbon (pasal 3). Dalam hal ini Bupati dan Wakikota di mana areal reforestasi dilakukan pada tanah negara berperan dalam memberikan keterangan lahan atas areal untuk kegiatan MPB tersebut, sedangkan untuk tanah milik diberikan oleh camat. E. POTENSI PENGEMBANGAN KEGIATAN REFORESTASI Diantara kebijakan prioritas pembangunan kehutanan adalah reboisasi dan konservasi sumber daya alam dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Upaya meningkatkan peran serta masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan mengacu pada UU No. 41 tahun 1999, di mana masyarakat berkewajiban ikut memelihara dan manjaga kawasan hutan dari gangguan perusakan dan melaksanakan rehabilitasi hutan (UU No. 41 tahun 1999 pasal 68 dan 69). Kewajiban ini sebelumnya telah dilaksanakan melalui hutan kemasyarakatan (Hkm) (SK Menhut No. 622 tahun 1995) terutama pada kegiatan rehabilitasi hutan dan menanfaatan hasil hutan non kayu. Kegiatan ini dapat berada dalam hutan lindung dan hutan produksi. Aturan dan tata cara pelaksanaan Hkm terus disempurnakan dengan mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 (CIFOR, 2003), terakhir ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P37/Menhut-II/2007. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan dan pemberdayaan masyarakat setempat melalui sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat disebut Social Forestry atau perhutanan sosial. Kegiatan Social forestry dalam kawasan hutan milik negara disebut dengan Hkm sedangkan di lahan milik disebut hutan rakyat (HR). Social forestry merupakan acuan kebijakan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang akan datang serta sebagai basis penyempurnaan program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah ada (Permen Hut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry, pasal 4). Pihak yang berperan dalam social forestry adalah pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, badan usaha, perguruan tinggi, kelembagaan masyarakat dan lembaga internasional (pasal 10). Adapun kegiatan yang telah berjalan adalah hutan kemasyarakat, pengelolaan hutan bersama masyarakat, pengelolaan hutan bersama rakyat. Berdasarkan Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, kelompok masyarakat yang telah difasilitasi dengan peningkatan
Sintesis 2010-2014
| 177
kemampuan mengelola dan penerapan teknologi tepat guna untuk peningkatan nilai tambah hasil hutan diberi izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHkm) diantaranya pemanfaatan jasa lingkungan penanaman hutan berkayu dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Hal ini merupakan salah satu bentuk kegiatan formal rehabilitasi lahan dalam hutan.Pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan rakyat yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan perubahan paradigma pengelolaan hutan dalam mencapai fungsi ekologis dan sosial yang berimbang. Hal ini merupakan bagian skenario pengelolaan hutan Indonesia untuk meningkatkan nilai kontribusi dari manfaat langsung maupun tidak langsung, terutama serapan karbon dan konservasi tanah dan air di lahan kritis, karena kedua model hutan tersebut ditanam dengan tanaman cepat tumbuh. Hutan rakyat merupakan hasil partisipasi aktif masyarakat dalam program rehabilitasi dan reforestasi. Secara umum, sampai tahun 2003, potensi hutan rakyat di Indonesia sudah mencapai 1.570.000ha dan 780.000 ha (50 %) berada di Jawa (Mindawati et al,. 2007). Produksi kayu bulat dari hasil hutan rakyat sebagaimana dalam Tabel 1 masih relatif kecil yaitu 0,6 % pada tahun 2003 ini menunjukkan masyarakat tidak banyak menebang pohon di lahan mereka sehingga keberadaan hutan rakyat sangat penting dalam menunjukkan partisipasi aktif masyarakat dalam reforestasi dan menahan laju lahan kritis. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997, tahun 1997 hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki rakyat dengan luas minimal 0,25 ha, luas tutupan tajuk tanaman kayu 50 % atau pada penanaman tahun pertama mempunyai tanaman 500 tanaman/ha sehingga sesuai dengan program reforestasi. Sampai tahun 2003 hutan rakyat sudah di tanam di 31 propinsi dengan luas bervariasi dari 3.500 ha – 213.000 ha. Propinsi yang memiliki hutan rakyat lebih dari 100.000 ha
Sintesis 2010-2014
| 178
DAFTAR PUSTAKA Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013a. Sap tapping of Pinus merkusii in Halimun Salak National Park by communities around forest (Case study in Purwabakti Village, Bogor Regency, West Java). International Conference of Indonesia Forestry Researchers. 2nd Inafor:27-28 August 2013. Jakarta. Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013b. Land use under the pine stands in local communities economic improvement in Halimun Salak National Park. International Conference of Indopnesia Forestry Researchers. 2 nd Inafor:27-28 August 2013. Jakarta. Adalina, Y., D.R. Nurrrochmat, D. Darusman dan L. Sundawati. 2014. Harvesting non- timber forest products by local communities in Halimun Salak National Park. Jurnal Manajemen Hutan Tropika in progress. Ancrenaz, M. 2013. Orang-utans and agro-industrial plantations, perspective from Sabah. Workshop: Orangutan Conservation and Reforestation. 11-13 Juni 2013. Hotel Royal Victoria, Sangatta, Kaltim. Anggraeni, S., G. Herdiansyah, U. Natalina. 2013. Nilai ekonomi air untuk rumah tangga dan keramba di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Semitau Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) Kabupaten Kapuas Hulu. http://jurnaluntan.ac.id/index.php/jmfkh/article/...2896. Anonimous. 2005. Kondisi wilayah kasepuhan Citorek. Hasil Pemetaan Partisipasif masyarakat Wewengkon Adat kasepuhan Citorek. 11 halaman. Archive. 2007. Haluan baru. http://jejak kelana. Wordpress.com/2007/08/…. Diakses tanggal 19 Mei 2014. Arrayun,A.2010. Taman Nasional Kutai. http://senyumanarthuria.blogspot.com/2010/07/taman-nasional-kutai.html Arshanti, L. 2001. Persepsi masyarakat terhadap penggunaan dan pengelolaan lahan daerah penyangga (buffer zone) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 40 hal. Diakses 15 Pebruari 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14858. Awang, S; A. Kasim; B. Tular dan N. Salam. 2005. Menuju pengelolaan kolaborasi taman nasional: Kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. CARE International Indonesia, Kendari. Balai Taman Nasional Kutai. 2010. Rencana pengelolaan Taman Nasional Kutai 2010-2029. Balai TN Kutai, Bontang, Kalimantan Timur.
Sintesis 2010-2014
| 179
Balai Taman Nasional Kutai. 2013. Zonasi Taman Nasional Kutai. Balai TN Kutai, Bontang, Kalimantan Timur. Balai Taman Nasional Berbak. 2012. Rancangan Demontration Activities (DA) pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD Plus) Taman Nasional Berbak. Provinsi jambi & Zoological Society of London. Indonesia. 75 hal. http://adriananperbatakusuma.files.wordpress.com/2013/dokumen-proposalnaratif-da-redd-berbak-rev-final1-pdf.pdf. Diakses 20 Juni 2014. Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. 2009. Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sintang, Kalimantan Barat.http://heart ofborneo.or.id/uploads/park-reports/rencana% 20jangka %20panjang%20taman %20nasional Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Profil Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cipanas-Cianjur. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II Sumatera Utara. 2006. Zonasi Taman Nasional Batang gadis. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara. 2005. Rencana pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara 2006-2025. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sulawesi Selatan. 2005. Rencana pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Pangkep dan Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan. Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund (WWF)-Indonesia. 2009. Zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Kabupaten Nabire dan Teluk Wondana, Provinsi Papua dan Papua Barat. Manokwari. Balai Taman Nasional Ujung Kulon. 2012. Nilai ekonomi sumberdaya air. http://juvenilnangkrak.wordpress.com/2012/02/06/nilai-ekonomi-sumber-dayaair. Diakses 17 juni 2014. Bangun, T.M., S.S Mansjoer dan M. Bismark. 2009. Populasi dan habitat (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia 6(1): 19-24.
Sintesis 2010-2014
| 180
Bernadi, D.J. 2012. Pemanfaatan taman nasional sebagai wisata alam. Seminar Sumberdaya Alam, Lingkungan & Energi, Universitas Airlangga tahun 2012 tentang Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Studi kasus di objek wisata alam Gn Semeru. http://green.kompasiana. Com/penghijauan/2012/12/16/pemanfaatan-tamannasional-sebagai-wisataalam-517049 html. Bismark, M dan R. Sawitri. 2004. Pengaruh system penebangan ramah lingkungan dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman jenis ikan. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. I (2): 147-155. Bismark, M dan N.M. Heriyanto. 2007. Dinamika potensi dan struktur tegakan hutan produksi bekas tebangan dalam Cagar Biosfer Siberut. Info Hutan IV(6):553564. Bismark M. N.M. Heriyanto dan S. Iskandar. 2008. Biomassa dan kandungan karbon hutan produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5):397-407. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bismark M, R. Sawitri, RT Kwatrina. 2012a. Ujicoba model daerah penyangga (Studi kasus di Taman Nasional Kerinci Seblat). Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.Tidak diterbitkan. Bismark, M. R. Sawitri. N.M. Heriyanto.2012 b. Kajian Implementasi dan Kriteria Indikator Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Borrini-Feyerabend, G. 2007. Collaborative management of protected areas: Tailoring the approach to the content. Social Policy Group IUCN. Website:http://iucn.org/themes/spg/Files/tailor.html. Cahyadi, I. 2003. Analisis spasial struktur dan fungsi koridor hutan antara Taman Nasional Gunung halimun dengan Hutan Lindung gunung salak, Tesis, Program Pascasarjana IPB, Bogor. Tidak diterbitkan. Carignan V & MA Villard. 2002. Selecting indicator species to monitor ecological integrity a review. Environmental Monitoring and Assesment 78:45-61. Kluwer Academic Publisher Netherlands. Chik
Rini. 2012. Pembangunan jalan Aceh putus koridor satwa. http://www.mongobay.co.id/2012/07/28/pembangunan-jalan-aceh-putus-koridorsatwa.
Sintesis 2010-2014
| 181
[CIFOR]Center for International Forestry Research. 1999. Panduan penilaian dasar kesejahteraan manusia: Perangkat kriteria dan indikator. Center for International Forestry Research. Bogor Conservation International Indonesia. 2004. Keanekaragaman jenis mamalia dan burung di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Program Medan. Tidak dipublikasikan. Darusman, D. 1993. Nilai ekonomi air untuk pertanian dan rumah tangga: Studi kasus di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di ITB, 28-29 Juli 1993. De Leo, GA and S. Levin. 1997. The multifaceted aspects of ecosystem integrity. Conservation Ecology 1(1). http://www.consecol.org/vol1/ISSI/art3/ Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Taman nasional se Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, United States Agency for International Development natural Resources Management Program (USAID). Lokakarya: Kepela Balai dan Kepala Unit. Lido, Bogor. 21-25 Oktober 1998. Departemen Kehutanan. 2012. Taman Nasional Kutai. http:// www.dephut.go.id/informasi/TN%20INDO-ENGLISH/tnkutai.htm. Diakses 23 Oktober 2012. Diantoro, T.D. 2011. Perambahan kawasan hutan pada kawasan konservasi taman nasional (Studi kasus Taman Nasional Tesso Nilo, Riau). Mimbar Hukum, Vol 23 (3):431-645. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata. 2009.Pedoman perencanaan pemberdayaan masyarakat partisipatif. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Efendi, M.A. 2009. Keragaman kupu-kupu (Lepidoptera:Ditrysia) di kawasan ”hutan koridor” Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Sekolah PascaSarjana, IPB, Bogor. Ellefson. 1992. Forest resource policy and administration. Teching challenge in university professional forestry schools. Staff Paper Series, No, 86. Elevith C.R dan HI. Mannerffeson. 2006. Aleurites mollucana (kukui) species profiles for Pacific Island Agroforestry Traditional Tree. Initiative. http://www.traditionaltree.org. Diakses 20 November 2014.
Sintesis 2010-2014
| 182
Falah, F. 2012. Kajian efektifitas pengelelokaan kolaboratif Taman Nasional Kutai. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 10 (1): 37-57. Franklin, JF, D.Lindemayer, JM Mac Mahon, A Mc Kee, J. Mangunson, DA Perry, R. Waide, D. Foster. 2000. Threads of Continuity Conservation Biology Practice 1:9-16. Garsetiasih, R. 2012. Manajemen konflik konservasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) dengan masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri danTaman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 169 hal. Tidak diterbitkan. Gunawan, H., A. Syam dan E. Subiandono. 2011. Penataan ruang dan pemilihan jenis pohon dalam restorasi ekosistem kawasan konservasi (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Ceremai). Proseding: Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi, Kuningan 25 Oktober 2011. Gunawan, W. 2012. Model kebijakan restorasi kawasan konservasi. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 153 hal. Tidak diterbitkan.
Sekolah
Gron, KJ. 2008. Primate factsheets:siamang (Symphalangus syndactylus) taxonomy, morphology and ecology. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/siamang>. Diakses 24 Januari 2010. Haryono, W. 2013. Tahun ini, perambahan hutan rugikan Negara Rp. 1,17 triliun. http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/23/6/203294/Tahun -ini-Perambahan-Hutan-Rugikan-Negara-Rp.1,17-triliun. Hayati, 2011. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Hummel, FC. 1984. Forest policy. A contribution to resource development. Martinus Nijhoff/Dr W.Junk Publisher.The Hague.Netherland. Indra A.S.L.P.P., B.W. Broto, M.K. Allo, A. Barus, M. Aziz, R. Mursidin, M. Saad dan F. Ansari. 2013. Eksplorasi kondisi biofisik pada berbagai zona di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Sintesis 2010-2014
| 183
Indrioko, S. 2012. Representasi diversitas genetic dalam pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik. Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 102117. International Tropical Timber Organization (ITTO). 2002. Guidelines for the restoration, management and rehabilitation of degraded and secondary tropical forest. ITTO Policy Development Series. No 13. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2009. IUCN Redlist of Threatened Species. Version 2009.1. http://www.iucnredlist.org Irwan, ZD. 2007. Prinsip-prinsip ekologi, ekosistem, lingkungan dan pelestariannya. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara. Jalil,
A. 2013. Taman Nasional Kutai, potret kutukan kekayaan alam. http://.....kompasiana.com/..../taman-nasional-k...Diakses 20 Juni 2014.
Jati, SKW. 2014. Estimasi stok karbon hutan dengan memanfaatkan citra landsat 8 di TN Tesso Nilo, Riau. http://etd.ugm.ac.id/index.php?modpenelitian.detailβsub=penelitian detailβact=viewβtyp. Kadir A.W., M. Nurhaedah, R. Purwanti dan Supardi. 2010. Studi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara kolaboratif. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Kanji, N and Greenwood L. 2001. Participatory approaches to research and development in IIED:Learning from experience. London. http://pubs.iied.org/pdfs/909IIED.pdf. Kementerian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2010. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Kidding Allo, M. 2009. Inventarisasi vegetasi tanaman obat di TN Lore Lindu. Laporan Hasil Penelitian. BPK Makassar.
Sintesis 2010-2014
| 184
Kidding Allo, M. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic eboni (Diosyros celebica Bakh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 45-63. Knight M & Tighe S. 2003. Koleksi dokumen proyek pesisir 1997-2003 Coastal Resources Center, University of Rhode Island. Narragansett, Rhode Island, USA. Kosmaryandi, N, S. Basuni, L.B. Prasetyo dan S. Adiwibowo. 2012. Gagasan baru zonasi taman nasional: Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masyarakat Adat. JMHT Vol XVIII (2):69-77. Kwatrina R.T. dan A.S. Mukhtar. 2006. Kriteria dan Indikator Penetapan Zonasi TN Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(2). Kurniawan, H. 2010. Kemiskinan di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat di Kabupaten Pesisir Selatan (Perilaku dan strategi bertahan hidup). http://www.repository.unand.ac.id/....hasim_kurniawan _052005…Pasca Sarjana Universitas Andalas. Kurniadi, R., B. Dwiprasetyo dan A.A.S Raharjo. 2010. Valuasi potensi dan manfaat Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Kuswanda, W. dan AS.Muktar. 2006. Strategi pengembangan kelembagaan zona penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 3(5):491-504 Kuswanda, W. 2011. Valuasi nilai ekonomi air, satwaliar dan pencegah erosi Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Kuswanda , W. 2010.Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara : Cagar Alam Dolok Sipirok, Tapanuli Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. La Ode Ahyar T.M., 2009. Penilaian Ekologi Sumberdaya Hutan Mangrove Pesisir Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Thesis Magister Science. Universitas Hasanuddin. Makassar. Tidak diterbitkan.
Sintesis 2010-2014
| 185
Mardle, S., E. & S. Pascoe. 2003. Multiple criteria analysis of stakeholder opinion: A fisheries case study. Center foe economics and management of aquatic resources. University of Potsmouth. UK. Marina, I dan A.H. Dharmawan. 2011. Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia 5(1):90-96. Meijaard, E. 1999. Human-inposed threats to sunbears in Borneo. Ursus 11:185-192. Mindawati, N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review hasil penelitian hutan rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Mulyani, S. (2007). Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di kawasan agropolitan, studi kasus di kawasana agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 90 hal. Diakses 15 Pebruari 2013 dari http://repository,ipb,ac.id/handle/123456789/43849. Moeliono, M, G. Limberg, Minnigh, P.Minnigh, A Mulyana, AY Indriatmoko, NA Sapparuddin, hamzah, R. Iwan dan E. Purwanto. 2010. Meretas kebuntuan konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi taman nasional di Indonesia. CIFOR. Bogor, Indonesia Murniati. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic cempaka (Michelia champaca). Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 66-87. Neel, MC., JR Ibarra and N.C Ellstrand 2001. Implications of mating patterns for conservation of endangered plant Erigonum ovalifolium var. vineum (polygonaceae). American Journal Botany 88:1214-1222. Ngakan, P. Oka, H Komaruddin, A. Achmad, Wahyudi dan Tako. 2006. Ketergantungan, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumberdaya hayati hutan: Studi kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center For International Forestry Research. Jakarta.
Sintesis 2010-2014
| 186
Nugroho, A.W. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic ulin (Eusideroxylon swageri). Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 19-44. Nurrani, L. & S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam di Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 10 (1):6173. Nurrani, L. 2013. Kajian pola dan analisis usaha tani pemanfaatan lahan di kawasan penyangga Taman Nasional Akatajawe di Maluku Utara. Laporan Hasil Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Nurrani, L. 2013. Kajian daya dukung hasil hutan bukan kayu untuk pengembangan pemanfaatan biodiversitas secara lestari di Taman Nasional Akatajawe Lolobata. Laporan Hasil Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Petra.
2014. Mendekati masyarakat, melestarikan koridor. http: //www. tfcasumatera.org/news. Diakses 25 Juni 2014. Pomeroy dan Berkes.1997. Kolaborative. …..
Pomeroy, RS and F.Berkes. 1997. Two Tango: the role of government in fisheries co-managemnt, Marine Policy 21(5):465-480. Prayoga. 2013. Estimasi nilai ekonomi dan kontribusi kegiatan wisata terhadap konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 94 hal. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63858. Diakses 16 Juni 2014 Primarrck R.B, J. Supriatna, M Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pruitt D.G. dan J.Z. Rubin. 2009. Teori konflik sosial. Pustaka Pelajar. Jogyakarta. Purbahapsari, A.F. 2013. Penggunaan habitat koridor Kalimun Salak oleh elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun salak. 32 hal. Departemen konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. Purnomo, S dan Widiyatno. 2012. Konservasi in-situ Dipterocarps. Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis pohon
Sintesis 2010-2014
| 187
terancam Punah (Ulin, eboni dan Cempaka). Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Litbang konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Purnama, S.I.S. 2005.Penyusunan zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Sumba berdasarkan kerentanan kawasan dan aktifitas masyarakat. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Putra, R.E. 2011. Valuasi ekonomi keanekaragaman hayati Rawa Bento Kecamatan Gunung Tujuh kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, Pogram Studi Biologi. Pasca Sarjana, Universitas Andalas, 21 hal. Tidak diterbitkan. Rahayu, S, B. Lusiana dan M van Noorwijk. 2005. Above ground carbon stock assessment for various landuse systems in Nunukan, East Kalimantan. 21-34. In Lusiana, B, M van Noorwijk & S. rahayu (Eds) Carbon Stock Monitoring in Nunukan, East Kalimantan. A spatial & Modelling Approach World Agroforestry Centre. SE Asia, Bogor, Indosesia. Rambe, L. 2014. Peneliti: Koridor upaya untuk tekan konflik gajah dan manusia di Jambi. http://mongobay.co.id/.../peneliti-bangun-kori..... 3 hal. Diakses 25 Juni 2014.Ramdhani, N. 2011. Nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Rinjani: Studi kasus di obyek wisata Otak Kokok gading, Desa Perian, Kecamatan Montong Gading. http://repositori.ipb.ac.id/handle/123456789/51294. Ramdhani, N. 2011. Nilai ekonomi Tn Gn Rinjani. Studi kasus di Obyek Wisata Otak Kokok Gading dan Desa Perian Kecamatan Montong gading, Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Ramdan, H, Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan sumberdaya alam dan otonomi daerah. Perspektif Kebijakan dan valuasi ekonomi. Alqaprint Jatinagor. Bandung. Rinaldi, D., S.A. Harahap, D.M. Prawiradilaga, H.Wiriadinata, Purwaningsih, E. Sambas, I. Febriani, I. K. Ningrum dan N. Faizin. 2008. Ekologi koridor halimun-Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Taman Nasional Gunung Halimun Salak,Gunung Halimun-salak National Park Management Project, dan JICA. 25 halaman. Rosenberg, D.K., B.R. Noon, dan E.C. Meslow. 1997. Biological corridors:form, function and efficacy. BioScience 47:677-688. Rositah, E. 2006. Kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan dan penanggulangannya (Govenance Brief) CIFOR, Bogor.
Sintesis 2010-2014
| 188
Sabar, A., Supratman, M Junus. 2012. Strategi optimasi kolaborasi zona khusus taman nasional (Studi kasus Taman Nasional Babul Maros, Sulawesi Selatan). 16 hal http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d/2288be5a6d78e6f41c45d12af456.pdf. Diakses 18 Juli 2014. Samsudin, N., Budiono, W. Hermawan.2013. Valuasi nilai ekonomi Taman Nasional Bunaken: Aplikasi Travel Cost Method (TCM). Hal 1-20. http://pustakaunpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/pustaka_unpad_valuasi_nilai_ekonomi,pdf. Diakses 18 Juni 2014. Sawitri, R. S. Suharti, E. Karlina. 2011. Interaksi masyarakat dengan hutan dan lingkungan sekitarnya du Kawasan dan daerah penyangga Taman Nasional Kutai. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (2): 129-142 Sawitri, R. dan R. Garsetiasih. 2011. Biological control strategy on invasive species in Indonesian Forestry. Proceding: Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi. Kuningan, 25 Oktober 2011. Hal 133-139. Sawitri, R. dan R. Garsetiasih. 2014. Habitat, Populasi dan perilaku burung punai di Kalimantan barat dan kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. In press. Sawitri, R. dan T. Setyawati. 2011. Pengendalian jenis tanaman invasif di Taman Nasional Ujung Kulon. Proceding: Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi. Kuningan, 25 Oktober 2011. Hal 123-131. Sawitri, R. dan M. Takandjandji. 2007. Kemungkinan re-introduksi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Wana Tropika 2(3):4-6. Sawitri, R. dan E. Subiandono. 2011. Karakteristik dan persepsi masyarakat daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun salak. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 8 (3):273-285. Sawitri, R. dan E. Karlina. 2013. Evaluasi zonasi taman nasional: Studi kasus Taman Nasional Kutai. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. 42 hal. Sawitri, R dan M. Bismark. 2013. Persepsi masyarakat terhadap restorasi zona rehabilitasi di TamanNasional Gunung Gede Pangrango. Indonesian Forest Rehabilitation Journal 1(1): 91-112.
Sintesis 2010-2014
| 189
Sawitri, R. 2014. Ujicoba model daerah penyangga (Studi kasus Taman Nasional Alas Purwo). Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Sayektiningsih T. 2013. Kajian potensi pembangunan koridor orangutan (Pongo pygmaeus morio) di daerah penyangga kawasan konservasi. Laporan hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Balikpapan. Sayektiningsih, T., AW Nugroho, SE Rinaldi MK Ningsih dan Warsidi. 2010. Kajian dampak social dan ekonomi pengembangan wisata alam di Taman Nasional Kutai bagi masyarakat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Balikpapan. Setyadi, A.,C. Wulandari. H.R. Putro, S. Andayani, T. Nugroho, dan Z.K Susilo. 2006. Kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Pelajaran untuk transformasi kebijakan . WWF-Indonesia dan MFP Dephut DFID. Jakarta. Setyono, D. 2003. Upaya pengelolaan TN Gn Halimun. Makalah Seminar & Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan TN Gn Halimun. Shofwan, F.W. 2006. Interaksi burung dan tumbuhan di kawasan koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48286 Sieving, K.E.. M.F. Willson dan T L. De Santo. 2000. Defining corridor function for endemic birds in fragmented South-temperate rainforest. Conservation Biology.Vol14(4):1120Soemarto. (2013). Silaturahmi Presiden RI beserta ibu negara dengan masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2 hal. Diakses 1 Maret 2013 dari http://www.gedepangrango.org/silaturahmi-presiden-ri-beserta-ibu-neg. Soemarwoto, O. 1991. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta (ID). Penerbit Djembatan. Suaedi. 2010. Participatory design of policies for sustainable coastal zone development in Subang Regency. Modern Applied Science 5(6). http://www.ccsenet.org/mas.
Sintesis 2010-2014
| 190
Sudomo, A dan M Siarudin. 2008. Intensity dan motivasi masyarakat dalam pengambilan tumbuhan hutan secara illegal di Seksi Konservasi Wilayah II Taman Nasional Gunung Gede Pangango. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam V (5): 435-449. Sunderlin, WD, S.Dewi dan A. Puntodewo. 2007. Poverty and forests, multi-country analysis of spatial association & proposed policy. CIFOR, Bogor. Sultan, K, Mansjoer, SS & Bismark, M. 2009. Populasi dan distribusi ungko (Hylobates agilis) di Tn Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia 6(1):25-31. Sumardiani, D. (2008). Respon stakeholder terhadap pengelolaan konservasi bersama masyarakat di wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor. 86 hal. Diakses 1 Maret 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/123456789/31998/E08dsu.pdf?sequence=1 Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaborasi. Bogor. Pustaka LATIN. Taman Nasional Karimunjawa. 2012. Informasi TN Karimunjawa:Nilai biodiversitas hutan tropis dataran rendah. http://wwwdephut.go.id/uploads/files/INFORMASI%20TAMAN%20NASION AL%20KARIMUNJAWA.pdf. Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kabandungan, Sukabumi. Taman Nasional Ujung Kulon. 2012. Nilai ekonomi sumberdaya air. http://juvenilnangkrak.wordpress.com/2012/02/06/nilai-ekonomi-sumber-dayaair. Diakses 17 juni 2014. Thompson, R. 2011. Stakeholder anysis. Winning support projects.http://www.midtools.com/pages/article/newPPM 07.htm.
for
your
Tjitrosoedirdjo S.S., 2005. Inventory of the invasive alien species in Indonesia. BIOTROPIA 25:60-73. SEAMEO BIOTROP, INDONESIA. Townsley, P. 1998. Aquatic resources and sustainable rural livelihoods. In Sustainable rural livelihoods:What contribution can we made?Carney D.(ed.). London. Departement for International Development. Tumanggor, D. (2008). Studi pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan partisipasif di SKW II Gunung Putri Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 110 hal. Diakses 17 Pebruari 2013 dari
Sintesis 2010-2014
| 191
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10878/DanielTuma nggor_E2008 pdf.? sequance=2. Wahyunto, S. Ritung dan H.Subagjo. 2003. Map of peatland distribution area and carbon content in Sumatra. Wetland International-Indonesia-Program & Wildlife Habitat Cana (WHC). Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H.Subagjo. 2003. Map of peatland distribution area and carbon content in Kalimantan. Wetland International-IndonesiaProgram & Wildlife Habitat Cana (WHC). Wahyunto, H. Subagja, S. Ritung dan H.Bekti. 2007. Map of peatland distribution area and carbon content in Papua. Wetland International-Indonesia-Program & Wildlife Habitat Cana (WHC). Wahyudi, R. 2012. Selayang pandang Kabupaten Sukabumi. 2 hal. Diakses 17 Pebruari 2013 dari http://www.slideshare.net/RichieWahyudi/Selayangpandang-Kabupaten Sukabumi-data 2011. Whitten, A.J. 1980. Tke kloss gibbon in Siberut ran forest. Unpublished. Ph.D. Thesis; Cambridge University, Cambridge, UK. Wibowo A., Y. Lisnawati, Zuraida, T. Rostiwati, Sukresno, A.B. Supangat, Y. Apriani, A. Kunarso, S. Adriyani, W. Handayani dan R. Kurniadi. 2010. Potensi degradasi dan manfaat lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman. Sintesa Hasil Penelitian Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Bogor. Widada dan D. Darusman. 2004. Nilai ekonomi air domestic dan irigasi pertanian:Studi kasus di desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol X (1):15-27. Widodo, T. 2012. Pelatihan valuasi pemanfaatan jasa lingkungan air kawasan Taman Nasional Gunung Ceremai. http://btng ceremai,blogspot.com/…./pemantauandan –monitoring. Winara, A., H.Warsito, Z.L. Rumawak, N Indouw. Valuasi potensi dan manfaat Taman nasional di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di cermin retak: Refleksi konservasi dan implikasi bagi pengelolaan taman nasional. The Gibbon Foundation, Forest Press, dan PILI-NGO Movement, Forest Press dan Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal 160-191.
Sintesis 2010-2014
| 192
Wiratno. 2007. Tantangan pengelolaan taman nasional di Indonesia. http://konservasiwiratno.wordpress.com/tantangan-pengelolaan-tamannasional-di indonesia/ World Wildlife Fund. 2011. Respon WWF atas dugaan pembantaian orangutan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.https://id-id.facebook .com/notes/wwf-indonesia/respon-wwf-atas-dugaan-pembantaian-orangutandi-kabupaten-kartanegara-kali/10. Yusran. 2005. Mengembalikan kejayaan hutan kemiri rakyat. Bogor, Indonesia. CIFOR. CIFOR Governance Brief. No. 10. Yuwati, TW dan AN Robby. 2014. Analisis pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Sebangau. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Sintesis 2010-2014
| 193