Kontribusi Ilmu Dhabt Mushaf dalam dikursus Studi al-Qur’an Ridhoul Wahidi, MA1 Ilmu Dhabt al-Qur’an merupakan kajian yang sangat jarang disentuh dalam studi al-Qur‟an. Ilmu ini memiliki beberapa cakupan, diantaranya dhabt almushhaf sebagai tambahan atas terma dhabt pada umumnya, yaitu berfungsi menunjukkan berbagai hukum tilawah (membaca) serta membantu pembaca dalam mengetahui hukum tajwid, seperi Isymam, imalah, taqlil, tashil, idgham, madd, dan sebagainya. Ada juga dhabt al-Kitabah berarti melengkapinya dengan syakal, menentukan harakat di atas huruf-hurufnya untuk menghilangkan kerancuan dan kebingungan terhadapnya. Sedangkan secara terminologi yaitu tanda-tanda tertentu yang diletakkan pada huruf untuk menunjukkan harakatnya, keadaan atau hukumnya, seperti tanda sukun madd (panjang), tanwin, syaddah dan sebagainya. Kesemuanya sebagai sarana untuk menghilangkan kesulitan dan kerancuan yang mungkin terjadi karena keserupaan lafadz dan kalimat dalam rasm (tulisan). Dalam sejarah kelahirannya mushhaf ditulis dengan tanpa titik dan syakal, hingga kemudian datanglah kesulitan yang menyebabkan kekeliruan dan kesalahan dalam membacanya. Kemudian dimulailah (saat itu) pembahasan sebagai solusi untuk persoalan yang besar ini. Adapun pemecahan ini dikembalikan kepada salah seorang ulama besar pakar bahasa Arab dan al-Qur‟an, dialah Abu al-Aswad al-Dualiy. Setelah melalui perenungan dan berfikir mendalam, kemudian lahirlah ide untuk pemberian tanda yang menunjukkan harakat (gerakan/cara baca). Kemudian ia memilih seorang lelaki bijak dan pandai untuk menekuni bidang ini dan menyusun catatan/tulisan sesuai dengan apa yang dia dengar dari Abu al-Aswad. Lalu dijadikanlah catatan tersebut ke dalam mushhaf dengan ukuran yang berbeda dengan mushhaf sebelumnya. Pada saat itu 1
Dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indragiri (UNISI) Kabupaten Indragiri Hilir Riau. Saat ini sedang menempuh program S3 pada Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.
ia meringkas catatan tadi dengan tiga harakat; dhummah, fathah, dan kasrah, baik tanwin maupun non-tanwin, serta menjadikan satu tanda untuk tiga harakat tadi, yaitu dengan tanda “titik”. Adapun tempat peletakannya adalah sesuai dengan arahan dari Abu al-Aswad, sebagai berikut; fathah: titik di atas huruf, dhummah: titik di depan huruf, kasrah: titik di bawah huruf, dan tanwin: dua titik. Terdapat dalam beberapa riwayat dikatakan di sana bahwasanya titiktitik tersebut hanya diletakkan di akhir kata untuk menjelaskan harakat ir’rab (akhir dari kata). Sebab saat itu belum dibutuhkan menerangkan harakat, baik di awal maupun di tengah kata. Kemudian setelah itu ditambahkan pula ke dalam mushhaf titik ‘ajam untuk membedakan antara huruf-huruf mutasyabih di dalam rasm. Adapun permulaan titik ‘ajam ini dinisbatka kepada dua tokoh, yaitu Yahya bin Ya‟mar dan Nashr bin „Ashim. Ketika titik tersebut menyerupai titik i’rab dilihat dari syakalnya, maka untuk mebedakan antara keduanya adalah dengan menjadikan titik ‘ajam seperti warna (tinta) mushhaf. Sebab titik i’rab yang sebelumnya telah ada, memiliki warna yang berbeda dengan warna tinta mushhaf, yang itu umunya berwarna merah. Aktifitas dhabt al-mushhaf dengan peletakkan tanda titik ini kemudian berlanjut hingga Khalil bin Ahmad al-Farahidiy mengembangkannya dengan menghadirkan tanda-tanda dhabt yang lain yaitu merubah dari tanda titik menjadi harakat. Meskipun demikian peletakannya dalam mushhaf masih setelah beberapa tahun setelahnya, sebab adanya sedikit kesulitan dalam melakukan perubahan serta memberikan tambahan dalam mushhaf. Seiring berjalannya waktu dan tersebarnya kekeliruan bacaan (dalam i‟rab), meluas pula penggunaan tanda-tanda dhabt yang terbaru di dalam mushhaf. Kemudian disusunlah sejumlah kitab yang menjelaskan tanda-tanda tersebut dan mengemukakan berbagai pandangan yang terdapat di dalamnya. Tampak pula beragam ijtihad yang turut serta dalam mewarnai dan memperbaiki tanda-tanda tersebut. Ilmu ini kemudian selalu menjadi saksi akan kemajuan dalam perkembangannya, bersamaan dengan kemajuan besar-besaran teknik percetakan serta sarana distribusi elektronik.
Penggunaan tanda-tanda dhabt di dalam mushhaf ini meninggalkan persoalan hukum di dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dua pendapat besar para ulama: Pendapat pertama: mengatakan bahwa dhabt al-mushhaf dengan meletakkan titik dan syakal merupakan hal yang dilarang (ghair jaiz). Pendapat ini mendapatkan anggapan positif dan perhatiannya pada awal munculnya ilmu dhabt semata karena penjagaan para ahli (ulama) atas mushhaf dari segala sesuatu yang memasukinya. Terdapat riwayat bahwa shahabat Ibnu Umar tidak menyukai tanda titik dalam mushhaf. Abdullah ibn Mas‟ud berkata, “Bersihkanlah mushaf, dan janganlah mencampurinya dengan apapun”. Perkataan ini kemudian diikuti oleh Ibrahim an-Nakha‟i. Demikian pula al-Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya tidak menyukai adanya titik di dalam mushhaf. Malik pun demikian, bahwasanya ia tidak berkenan peletakan titik di dalam mushhaf, meskipun baginya masih tidak menjadi persoalan apabila diletakkan dalam mushhaf kecil yang dipelajari oleh anak-anak. Pendapat kedua: mengatakan bahwa dhabt al-mushhaf dibolehkan dalam rangka mencegah kesalahan dalam membaca al-Qur‟an. Diantara ulama yang berpandangan demikian adalah al-Hasan, ketika ditanyakan kepadanya tentang hal ini ia menjawab, “Tidak mengapa, selama tidak melampaui batas”. Khalid alHadza‟ berkata, “saya berpegang pada (pendapat) Ibnu Sirin tentang mushaf yang terdapat tanda titik”. Al-Laits berkata,”Menurut saya tidak menjadi masalah meletakkan titik dalam mushhaf”. Abu Yusuf mengatakan bahwa,”Ibn Abi Laila merupakan orang yang meletakkan titik di dalam mushhaf”. Para murid al-Kisa‟i juga meletakkan titik di dalam mushhaf-mushhaf mereka sesuai dengan qira‟ahnya (al-Kisa‟i). Yahya ibn Abi Katsir berkata, “Pada mulanya al-Qur‟an terbebas dari apapun. Adapun awal perubahan di dalamnya adalah adanya titik pada huruf ta’ dan ya’. Kemudian mereka (para ulama) berkata, “Tidak mengapa, itu merupakan petunjuk baginya”. Pada awalnya, nampak kekeliruan dalam penukilan pendapat al-Hasan dan Ibnu Sirin tentang hukum dhabt. Sebab terdapat, baik persetujuan maupun penolakan akan tanda titik di dalam mushhaf. Karenanya dibutuhkan pembahasan
kapan keduanya melarang dan kapan keduanya membolehkan. Kemudian didapat jawaban berupa persangkaan kuat bahwa keduanya melarang peletakan titik pada awalnya dalam rangka menjaga orisinalitas al-Qur‟an dan meninggikan keberadaannya. Maka ketika telah jelas bagi keduanya akan kebutuhan umat dan faidah akan adanya tanda tersebut dalam rangka perbaikan bacaan al-Qur‟an serta dalam mempelajarinya, menjadikan keduanya berubah pikiran dari melarang menjadi membolehkan sejak melihat bahwa hal tersebut sangatlah dibutuhkan (dharurat al-tahattum lahu). Seiring berjalannya waktu, pendapat yang melarang dan mengharamkan peletakan titik menjadi semakin lemah. Sebaliknya pendapat yang membolehkan atau bahkan yang mewajibkannya semakin kuat. Penggunaan tanda dhabt menjadi sesuatu yang mendesak, kebutuhan yang sangat penting bagi umat pada umumnya, serta mencegah kerancuan, perubahan, dan kekeliruan pada khususnya. Efek dari perbedaan-perbedaan hukum di atas, muncul ragam karya ulama tentang ilmu ini. Sejumlah ulama rasm melampirkannya dalam karya-karya mereka sehingga kita menemukan sejumlah kitab yang secara bersamaan menerangkan kedua ilmu tesebut (‘ilm al-rasm dan al-dhabt). Diantara karya yang terkenal adalah sebagai berikut: 1.
Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif, karya al-Imam Abu „Amr al-Daniy
2.
Ushul al-Dhabt, karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah
3.
Mawrid al-Dzam’an fi Rasm al-Qur’an wa Mulhaq Bihi Matn al-Dzail fi al-Dhabt, karya al-Kharraz
4.
Al-Thiraz fi Syarh al-Kharraz, karya al-Tanasiy
5.
Dalil al-Hairan Syarh Mawrid al-Dzam’an, karya al-Imam al-Maraghi
6.
Samir al-Thalibin fi Rasm wa Dhabt al-Kitab al-Mubin, karya al-Imam Ali Muhammad al-Dhiba‟, dan syarahnya Safir al-‘Alimin oleh Muhammad Fuad Thal‟ah
7.
Irsyad al-Qurra’ wal Katibin ila Ma’rifat al-Kitab al-Mubin, karya Imam Abi „Ied Ridwan, dan ringkasannya, Muqaddimah Syarifah Kasyifah
8.
Al-Sabil ila Dhabt Kalimat al-Tanzil, karya Ahmad Muhammad Abu Zaytihar
9.
Kasyf al-‘Ama wa al-Rayn ‘an Nadziri Mushhaf Dzi al-Nurayn, dan syarahnya Rasyf al-Lama, karya Muhammad al-„Aqib bin Abdillah
10. Irsyad al-Thalibin ila Dhabt al-Kitab al-Mubin, karya Dr. Muhammad Salim Muhaisin. 11. Al-Mu’nis fi Dhabt Kalam Allah al-Mu’jiz, karya Mahmud Amin Thanthawi 12. Miftah al-Aman fi Rasm al-Qur’an, karya Ahmad Malik Hammad 13. Al-Idhah al-Sathi’ ‘ala al-Muhtawa al-Jami’ Rasm al-Shahabah wa Dhabdt al-Tabi’, karya Thalib Abdullah bin Muhammad al-Amin 14. Ifa’ al-Kayl bisyarh Matn al-Dzail fi Fann al-Dhabt, karya Abdurrazzaq „Ali Ibrahim Musa Kontribusi para ulama melalui karya-karya yang terkait dengan ilmu dabt al-Qur‟an sebagaimana tertulis di atas, menunjukkan bahwa ilmu ini penting dan member peran serta kontribusi yang cukup besar. Misalnya terkait dengan isi tanda-tanda Dhabt dalam Al-Qur‟an. Tanda-tanda yang paling masyhur digunakan dalam mushhaf adalah: tiga harakat (fathah, kasrah, dhummah), tanwin, tasydid, ikhtilas, isymam, imalah, sukun, madd, idgham, hamzah, ilhaq al-mahdzuf, tamyiz al-mazid dan lainnya. Penting untuk disampaikan di sini pendapat dua kubu atau madzhab yang masyhur dalam penggunaan tanda-tanda dhabt dalam mushhaf, yaitu madzhab masyariqah dan madzhab magharibah. Adapun yang dimaksud masyariqah adalah ulama yang dinisbatkan ke wilayah-wiyayah Islam bagian timur mulai dari ujung timur dan berakhir di Mesir, karenanya ulama Mesir di sini dipandang sebagai bagian dari madzhab masyariqah. Sedangkan magharibah merupakan ulama yang dinisbatkan ke wilayah-wilayah Islam bagian barat dimulai dari batas-batas Mesir bagian barat hingga ujung al-maghrib. Diantara ulama yang ahli dalam bidang ini, ada yang berpegang pada dua madzhab tadi sekaligus, memilih antara keduanya, dan ada pula yang
membedakan mana yang lebih mudah diantara keduanya bagi para pembaca. Terdapat lima pendapat atau bahkan lebih yang ada dalam pembahasan beberapa tanda tersebut, meski ini hanya dalam sedikit bagian saja. Kemudian dalam pembagian kategori mushaf. Untuk itu dikambilkan kepada mushhaf tulisan (makhthuthah) dan cetak (mathbu’ah), mushhaf masyriqiyyah dan maghribiyyah. Dan untuk diperhatikan bahwa sebagian besar mushhaf masa lalu, yang kemudian dicetak dan beredar di tangan masyarakat saat ini tersusun sesuai dengan riwayat Hafsh dari „Ashim. Selain itu juga tersusun sesuai dengan riwayat Warasy dari Nafi‟, Qalun dari Nafi‟, al-Dawriy dari Abi „Amru dan berbagai riwayat lainnya. Mushhaf-mushhaf tersebut sebagian berbeda antar satu dengan yang lainnya di dalam jumlah tanda-tanda dhabt, sebagian yang lain sama atau sepakat. Akhirnya menjadi populer dan masyhur bahwa metode masyariqah di dalam peletakan tanda dhabt adalah berdasarkan riwayat Hafsh. Sedangkan metode magharibah adalah berdasar pada riwayat Qalun dan Warasy. Apabila terdapat perbedaan di beragam musfhaf tersebut, maka riwayat Warasy dan al-Dawriy dengan metode masyariqah dipilih, atau dengan menyeleksi sebagian ‘alamat dhabt dari masyariqah dan sebagian yang lain dari magharibah. Hal ini menunjukkan kepada kita beberapa perkara, diantaranya; keluasan perintah, bolehnya tidak berpegang secara mutlak kepada madzhab tertentu di dalam memilih tanda, memilih yang paling rajih, paling dekat, dan paling mudah, meskipun itu dengan cara memadukan antar beberapa madzhab, sebagaimana kita melihat adanya keluasan penggunaan ‘alamat al-dhabt di dalam mushhaf oleh sebagian madzhab dan ringkasnya penggunaan oleh sebagian yang lain. Sehingga wajar ditemukan sebagian tanda-tanda tersebut berbeda dengan yang masyhur dan umum digunakan di dalam kebanyakan mushhaf, dan bahkan sebagian yang lain sama sekali belum tersebut di dalam kitab-kitab yang membahas ilmu ini.