INDONESIA BANKING & FINANCE NEWSLETTER
EDISI 7 Bulan Maret 2015
KEEPING YOU UP-TO-DATE WITH THE LAST NEWS FROM THE INDONESIAN BANKING, FINANCE AND TAX IBF REPORT
IBF UPDATE
IBF TALK
SOLUSI RUPIAH HARUS CEPAT
PELEMAHAN RUPIAH TIDAK PERLU DIKHAWATIRKAN
NERACA PERDAGANGAN DAN KURS RUPIAH
PAGE 3
PAGE 8
PAGE 9 PAGE 7
IBF EDITORIAL
Salam Super... Dalam edisi Maret 2015 ini kami mengangkat issue yang sedang hangat diperbincangkan. Dimana akhirakhir ini nilai mata uang rupiah terus melemah. Disatu sisi pemerintah diharapkan bergerak cepat dalam menanggulangi permaslahan ini. Namun, dilain pihak hal ini tidak perlu dikhawatirkan, dikarenakan saat ini nilai mata uang dollar lagi meningkat diseluruh mata uang. Lalu bagaimana memandang hal ini. Semua ada di dalam newsletter edis maret 2015 ini. Salam Hangat Achi Bussiness Manager IBF
TIM IBF EDITORIAL Editor In Chief Rudi Maulana Editoral Staff Marya Ulfah Mufqi Harits Muhammad Arif Muhammad Zulpan Contibutor Rudi Maulana
Creative indah Sari Ratu Aziz Manaf Information www.ibf.proxsisgroup.com Ged. Permata Kuningan Kawasan Bisnis Epicentrum Jakarta Selatan 12980 P:021-29069519 F:021-83708681
IBF REPORT
Solusi Rupiah Harus Cepat! Sejumlah pengamat ekonomi menilai “Trio Defisit” (defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan, defisit anggaran) masih menjadi ancaman serius bagi stabilitas nilai rupiah di dalam negeri. Pasalnya, hingga akhir 2014 total defisit neraca perdagangan mencapai US$1,89 miliar, defisit transaksi berjalan (current account) US$26,23 miliar dan defisit anggaran Rp 227,4 triliun atau 2,26% dari PDB. Sementara pemerintah diminta lebih fokus dan cepat dalam upaya menangkal depresiasi rupiah lebih dalam terhadap dolar AS. NERACA Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini, sudah seharusnya pemerintah bertindak cepat untuk mengatasi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini. Tentunya pelemahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dapat membuat defisit transaksi berjalan kian membengkak.
IBF REPORT
“Selain itu, pemerintah agar segera mengimplementasikan berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan devisa ekspor, yang pada akhirnya berdampak meningkatkan pendapatan devisa dalam negeri,” ujarnya kepada Neraca, akhir pekan lalu. Dia mengakui aturan Bank Indonesia (BI) tentang devisa hasil ekspor (DHE) saat ini belum menunjukkan riil DHE dari eksportir Indonesia mengendap di perbankan lokal, namun hanya sekedar untuk kepentingan pencatatan dan pelaporan administratif ke BI. Harusnya BI mewajibkan eksportir untuk mengendapkan (hold) DHE di dalam negeri minimal 3-6 bulan. Karena, menurut dia, banyak DHE milik eksportir Indonesia yang masih terparkir di luar negeri (Singapura), yang seharusnya segera kembali masuk ke dalam negeri. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat portofolio devisa negara. Saat ini total cadangan devisa per Januari 2015 tercatat US$115,5 miliar. Hendri mengatakan, upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat nilai tukar rupiah adalah meningkatkan ekspor. Ekspor industri, terutama industri manufaktur, menjadi fokus pemerintah karena sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah pada kegiatan ekspor. “Upaya untuk meningkatkan ekspor industri manufaktur ini sangat menjadi perhatian pemerintah, mengingat sektor industri manufaktur merupakan sektor yang memberikan nilai tambah tinggi bagi kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan ekspor,” tuturnya. Dia mengingatkan, peningkatan devisa ekspor sangat penting untuk memperkuat nilai tukar rupiah, karena sangat sulit untuk menekan atau menghentikan aktivitas impor di era perdagangan bebas seperti sekarang. Pasalnya, kurs rupiah saat ini melampaui Rp 13.000 per US$ berpotensi terus merosot menghadapi situasi ekonomi AS yang membaik dan rencana The Fed menaikkan suku bunga acuannya pada semester I-2015, jika pemerintah dan BI tidak melakukan solusi kebijakan yang bersifat signifikan dan cepat menghadapi kondisi tersebut. Hal lain juga merupakan upaya nyata yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pelemahan rupiah, menurut Hendri, adalah menegakkan kembali UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. UU tersebut dengan tegas menetapkan bahwa setiap transaksi harus dilakukan dengan mata uang rupiah. Bila berhasil dilaksanakan sepenuhnya, tentu rupiah akan terjaga dari tekanan fluktuasi.
IBF REPORT
Bagaimanapun, sejumlah negara tetangga Indonesia pun telah melakukan hal ini untuk menjaga nilai kredibilitas mata uang mereka. “Ini untuk menjaga kredibilitas nilai rupiah, sekaligus mempertahankan kedaulatan rupiah,” ujarnya. Belum Mengkhawatirkan Ekonom Prof Dr Didiek J. Rachbini mengatakan, pergerakan kurs rupiah yang terus melemah di kisaran Rp13.000 per US$ harus segera diantisipasi oleh pemerintah. Meski menguntungkan, pelemahan ini ternyata juga bisa merugikan Indonesia. Pemerintah tidak boleh main-main dalam menghadapi pelemahan nilai tukar. Apalagi, masalah ini bersifat struktural hingga membuat beberapa sektor bisnis mengalami ketidakstabilan. "Rupiah yang turun selama beberapa bulan ini merupakan kelanjutan dari dua tahun sebelumnya, tidak boleh main-main. Jangan hanya mengatakan aman tanpa melakukan tindakan apa-apa," ujarnya. Dia menambahkan, jika transaksi berjalan di dalam negeri masih minus, ekspor barang juga tidak cukup untuk melakukan impor barang. Bahkan, pelemahan ini merupakan pertama kalinya setelah empat dekade setelah neraca perdagangan mengalami defisit. Dia pun mengatakan perlu perbaikan neraca transasi berjalan untuk meredam gejolak rupiah. Hal itu lantaran, neraca transaksi berjalan kerap defisit karena masih melakukan ekspor barang mentah. Namun demikian, Didik menilai kondisi rupiah belum terlalu mengkhawatirkan karena tertolong data makro ekonomi yang relatif baik."Inflasi kita bagus, cadangan devisa bagus, APBN juga lumayan sudah tidak impor bensin yang besar. Mestinya rupiah pada masa kepemimpinan Jokowi ini bertahan, bahkan mungkin bisa kuat. Mengapa? Karena masih periode “bulan madu”, harapan bisnis, ekspektasi, demokrasi yang bagus," ujarnya. Hanya sayangnya, menurut Didiek, saat ini pemerintah seperti lepas tangan dan tidak cukup solutif mengatasi pelemahan rupiah dengan mencari-cari alasan untuk menenangkan masyarakat. Ego sektoral antar lembaga pemerintahan juga masih sangat tinggi, masing-masing masih ingin berebut kewenangan. Hal ini yang harus segera dicarikan solusi mengatasi pelemahan rupiah secara signifikan, terpadu dan cepat. Direktur Indef, Enny Sri Hartati menilai pemerintah lamban dalam menyikapi depresiasi rupiah yang terjungkal semakin dalam dengan kondisi yang mengkhawatirkan sudah menembus di atas Rp 13.000 per US$. “Pemerintah lamban antisipasi rupiah," katanya. Menurut mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, anjloknya rupiah adalah sebuah "wake up call" untuk pemerintahan Jokowi.
IBF REPORT
Menurut mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, anjloknya rupiah adalah sebuah "wake up call" untuk pemerintahan Jokowi. “Kata anak-anak muda, jangan asal njeplak. Kalau hal itu dilakukan, akan merusak kredibilitas kita di dalam dan luar negeri,” ujarnya, Sabtu. Rizal mengingatkan, agar pemerintah menyadari bahwa defisit transaksi berjalan sebagian besar, dibiayai oleh aliran hot money (speculative inflows). Itulah yang menyebabkan mengapa BI sangat hati-hati. BI sepertinya sadar, penurunan tingkat BI Rate sangat besar akan membuat Rupiah anjlok mendekati Rp14.000/US$. Namun ekonom A. Prasetyantoko mengatakan, untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah itu tak bisa dilakukan dari kebijakan moneter yang berlebihan, atau dengan menaikkan BI Rate secara terus menerus. Pemerintah bersama kementerian terkait seharusnya mampu mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan di sektor riil. Sejauh ini “obat” mengatasi pelemahan rupiah hanya satu arah, yaitu berasal dari BI. Masalahnya, kenaikan BI Rate yang terus menerus akan berdampak struktural. Karena itu, pemerintah perlu segera menyelesaikan persoalan yang dampaknya terhadap melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Menurut dia, cara yang dapat ditempuh, sebisa mungkin adalah mencari solusi melemahnya ekspor dan menekan laju impor. "Persoalan ekspor-impor jangan hanya diselesaikan dengan menitikberatkan pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) semata. Jangan hanya Kemenkeu untuk menyelesaikan persoalan yang struktural itu," ujarnya. Source : http://www.neraca.co.id/
IBF TALK
Neraca Perdagangan dan Kurs Rupiah Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami tekanan. Pada penutupan pasar uang Jumat (13/3) tercatat nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 37 poin menjadi Rp. 13.187. Sementara kurs tengah Bank Indonesia juga di tutup melemah menjadi Rp. 13.191 per US$. Trend pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring dengan membaiknya perekonomian di Amerika Serikat. Hal ini akan semakin memperkuat indikasi The Fed akan menaikkan suku bunga dengan bersamaan pula penghentikan program quantitative easing III. Jelas, risiko capital outflow terus membayangi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Di sisi lain, neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatatkan surplus. Pada bulan Januari 2015, tercatat surplus neraca perdagangan kita sebesar US$ 709,3 juta. Sementara itu, pada Februari 2015 banyak pihak yang memperkirakan neraca perdagangan kita kembali surplus. BI memperkirakan surplus neraca perdagangan kita pada Februari dapat surplus sekitar US$ 500 juta. Namun banyak kalangan yang melihat bahwa surplus terjadi karena impor barang modal untuk belanja infrastruktur belum terjadi pada awal tahun 2015. Dikhawatirkan ketika belanja infrastruktur direalisasikan maka akan terdapat lonjakan impor dan membuat neraca perdagangan kita menjadi defisit.
IBF TALK
Namun banyak kalangan yang melihat bahwa surplus terjadi karena impor barang modal untuk belanja infrastruktur belum terjadi pada awal tahun 2015. Dikhawatirkan ketika belanja infrastruktur direalisasikan maka akan terdapat lonjakan impor dan membuat neraca perdagangan kita menjadi defisit. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami tekanan. Pada penutupan pasar uang Jumat (13/3) tercatat nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 37 poin menjadi Rp. 13.187. Sementara kurs tengah Bank Indonesia juga di tutup melemah menjadi Rp. 13.191 per US$. Trend pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring dengan membaiknya perekonomian di Amerika Serikat. Hal ini akan semakin memperkuat indikasi The Fed akan menaikkan suku bunga dengan bersamaan pula penghentikan program quantitative easing III. Jelas, risiko capital outflow terus membayangi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Di sisi lain, neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatatkan surplus. Pada bulan Januari 2015, tercatat surplus neraca perdagangan kita sebesar US$ 709,3 juta. Sementara itu, pada Februari 2015 banyak pihak yang memperkirakan neraca perdagangan kita kembali surplus. BI memperkirakan surplus neraca perdagangan kita pada Februari dapat surplus sekitar US$ 500 juta.Namun banyak kalangan yang melihat bahwa surplus terjadi karena impor barang modal untuk belanja infrastruktur belum terjadi pada awal tahun 2015. Dikhawatirkan ketika belanja infrastruktur direalisasikan maka akan terdapat lonjakan impor dan membuat neraca perdagangan kita menjadi defisit. Namun banyak kalangan yang melihat bahwa surplus terjadi karena impor barang modal untuk belanja infrastruktur belum terjadi pada awal tahun 2015. Dikhawatirkan ketika belanja infrastruktur direalisasikan maka akan terdapat lonjakan impor dan membuat neraca perdagangan kita menjadi defisit. Source : http://www.neraca.co.id/
IBF UPDATE
Pelemahan Rupiah Tak Perlu Di khawatirkan Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, mengklaim bahwa depresiasi atau pelemahan rupiah terhadap dolar AS merupakan hal yang tidak perlu dikhawatirkan. "Dolar AS sedang menguat ke semua mata uang, dan semua ikut tertekan. Kalau Indonesia dibandingkan dengan negara berkembang lain, depresiasi mereka lebih tinggi," katanya di Jakarta, Jumat (13/3), pekan lalu. Agus Marto lalu merujuk pada Brazil yang kerap dipandang sebagai negara berkembang utama dunia, karena telah mengalami depresiasi lebih parah dari Indonesia. Dia menjelaskan Brazil telah mengalami depresiasi mata uang real terhadap dolar AS mencapai 12% pada tahun 2014, sedangkan "year to date" sebesar 17%. "Pada tahun 2014 depresiasi rupiah terhadap dolar AS mencapai 1,8%, lalu 'year to date' sekitar enam persen. Jika dibandingkan, ya, kita tidak terlalu buruk," tukas Agus Marto. Menurut dia, kondisi secara umum memang tengah terjadi penguatan dari dolar AS dan ada kecenderungan Fed Fund Rate akan dinaikkan pada Juni tahun ini hingga 2015.
IBF UPDATE
Rencana kenaikan Fed Fund Rate pada Juni mendatang diperkirakan sekitar 0,5%-1% dan akan dinaikkan kembali pada 2016 hingga mencapai 2,5%. "Kita harus lebih bersiap pada kondisi itu. Kalau Rupiah secara umum, saya ingin sampaikan bahwa pemerintah masih berupaya untuk menjaga kestabilan moneter," ujarnya, menjelaskan Selain itu, Agus Marto juga menjelaskan, kebijakan moneter Bank Indonesia akan berfokus pada upaya stabilisasi ekonomi makro, "Posisi Indonesia secara moneter bisa dikatakan 'cautious' dan bias ketat. Kita ingin meyakinkan bahwa inflasi 2015 / 2016 bisa terealisasi sesuai target, yaitu empat persen, plus-minus satu persen," katanya. Dia yakin bahwa angka tersebut bisa terwujud pada tahun 2015, dan bahkan akan lebih baik. Bank Indonesia, lanjut Agus Marto, juga akan mengarahkan kebijakan untuk menekan angka defisit transaksi berjalan pada level yang lebih sehat, atau sekitar -2,5%3%. "Arah kebijakan BI juga secara umum akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan tetap mempertimbangkan cadangan devisa yang sehat," terang dia. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan di Jakarta terkait kondisi pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS masih dalam kondisi yang normal. "Ini bukan masalah, sebabnya adalah Amerika saat ini ekonominya bagus sekali. Yang kena imbas juga tidak hanya rupiah, seluruh mata uang juga kena," kata Sofyan ketika ditemui di Kantor Menko Perekonomian, belum lama ini. Menurut dia, kondisi rupiah tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan mata uang asing lainnya dan hanya Swiss Franch yang mengalami penguatan dari dolar AS. Head of Equities and Research UBS Indonesia, Joshua Tanja memperkirakan, Bank Indonesia akan melonggarkan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga acuan (BI Rate) hingga 7% di kuartal IV 2015, mengingat perbaikan fundamental perekonomian akan berhasil mengendalikan laju inflasi dan mempersempit defisit neraca transaksi berjalan. Source : http://www.neraca.co.id/
IBF TRAINING
Agenda Training Bulan Maret 2015 Risk management lv 1 18-20 Risk Management lv 2 18-20 Risk Management lv 3 9-11 Risk Management level 4 16-18 Risk Management Level 5 23-25 Refresment bsmr & lspp 28
Agenda Training Bulan April 2015
Risk management lv 1 22-24 Risk Management lv 2 22-24 Risk Management lv 3 13-15 Risk Management level 4 20-22 Risk Management Level 5 27-29 Refresment bsmr & lspp 25
IBF CLIP
Aset Non-Bank Banyak Dikuasai Konglomerasi, OJK Perketat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal memperketat pengawasan manajemen risiko industri keuangan non bank (IKNB) khusus bagi konglomerasi keuangan. Salah satunya, regulator akan menetapkan modal minimal berjenjang bagi entitas utama konglomerasi keuangan tersebut. “Pasti ada perhatian utama untuk konglomerasi keuangan. Selain mempersiapkan modal untuk dirinya sendiri, mereka juga harus menyiapkan cadangan modal bagi anak perusahaannya,” tekan Kepala Eksekutif IKNB OJK Firdaus Djaelani seperti dikutip Bisnis.com, Senin (16/3/2015). OJK sendiri menargerkan mampu meluncurkan regulasi terkait permodalan minimal konglomerasi keuangan pada kuartal III/2015. Sebelumnya, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Manajemen Risiko Terintegrasi dan POJK Nomor 18/POJK.03/2014 tentang Tata Kelola Terintegrasi.
IBF CLIP
Untuk itu, pada tahap pertama, OJK akan menetapkan entitas utama dari konglomerasi keuangan itu. Entitas utama dapat diartikan sebagai perusahaan induk (holding company), atau perusahaan yang paling banyak berkontribusi terhadap entitas perusahaan induknya. Kendati demikian, dirinya enggan membeberkan sejauh mana kemajuan terhadap pengawasan IKNB. Firdaus beralasan pengawasan tersebut baru saja dimulai pada Februari lalu, dan masih dalam proses pengkajian. Konglomerasi keuangan memang cukup marak ditemui di Indonesia. Mayoritas konglomerasi keuangan dimulai dari sebuah perbankan yang memiliki beberapa anak perusahaan, misalnya perusahaan pembiayaan, asuransi, atau dana pensiun. Mengutip data OJK, hampir 60% total aset IKNB berkaitan dengan perbankan, mulai dari asuransi hingga multifinance. Hingga 2014, OJK juga memetakan 16 dari 32 konglomerasi keuangan. Sebanyak 60% dari aset industri keuangan dikuasai oleh 32 konglomerasi ini. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan 16 konglomerasi—kebanyakan perbankan— belum berdampak sistemik karena kontribusi anak usaha terhadap induk rata-rata tidak melampaui 10%. Berdasarkan data regulator, total aset IKNB sampai dengan November 2014 senilai Rp1.514,6 triliun atau naik sekitar 12,84% dibandingkan posisi per Desember 2013. Penguasaan aset terbesar IKNB terdapat pada industri perasuransian Rp772,7 triliun yang diikuti perusahaan pembiayaan Rp435,9 triliun, dana pensiun senilai Rp186,1 triliun, leaga jasa keuangan khusus Rp114,9 triliun dan industri jasa penunjang sebesar Rp4,9 triliun. Source : http://finansial.bisnis.com/
IBF CLIP
OJK: Rupiah Melemah, NPL Perbankan Berpotensi Sentuh 3% Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah bisa mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) menjadi 3%. Irwan Lubis, Deputi Komisioner OJK, mengatakan pelemahan rupiah akan lebih berbahaya bagi perbankan jika kinerja sektor riil anjlok."Second round ini lewat jalur debiturnya, kalau misalnya pedagang anjlok omsetnya, dia kena second round," ungkapnya. Dia menekankan, risiko kredit ini perlu diwaspadai perbankan karena penurunan kinerja debitur akan berdampak langsung terhadap rasio kredit bermasalah. Hingga Januari 2015 rasio NPL kotor perbankan mencapai 2,28% dan berpotensi mencapai 3% jika kinerja sektor riil terus terpukul. Potensi penurunan kinerja sektor riil menurut Irwan terbuka kendati debitor perbankan tidak memiliki eksposur pinjaman valuta asing. Dia beralasan, aktivitas sektor riil domestik juga banyak yang berkaitan dengan impor. "Misal bahan bakunya ," tukasnya. Sektor-sektor yang memiliki komponen impor diperkirakan akan terdampak pelemahan rupiah. Biaya produksi diperkirakan naik. Pelemahan di beberapa sektor riil ini juga dikhawatirkan akan berdampak ke sektor turunan dan sektor penunjang dalam mata rantai industri. Hingga Januari 2015, OJK mencatat sejumlah sektor mengalami penurunan kualitas kredit. Sektor konstruksi mencatat NPL tertinggi sebesar 5% disusul sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 3,4%. Sementara itu, sektor pertambangan & penggalian mencatat kenaikan NPL tertinggi sebesar 150 basis poin menjadi 2,4%.Sektor lain yang mencatat kenaikan yakni industri pengolahan menjadi 1,9%. Adapun, sektor transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi mencatat kenaikan NPL sebesar 90 bps menjadi 3%.
IBF CLIP
Segepok Rupiah Cuma Jadi Selembar Uang Asing, Pengusaha: Malu Rasanya Nominal rupiah yang besar membuat mata uang ini seakan tidak berharga. Setumpuk uang rupiah kadang hanya berharga selembar mata uang negara lain.Tohiran, seorang pengusaha biro perjalanan, mengaku ada perasaan malu ketika membawa Rupiah ke luar negeri. Pasalnya, rupiah seakan tidak berharga. "?Misalnya ketika pergi ke Arab Saudi. Uang kita terlalu banyak tetapi nilainya kecil. Kita bawa setumpuk uang Rp 1,4 juta hanya ditukar selembar uang 500 real. Setumpuk ditukar selembar, malu rasanya," tutur dia kala ditemui di money changer PT Ayu Masagung, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2015). Oleh karena itu, Tohiran ingin agar wacana penyederhanaan nominal uang rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 atau redenominasi segera diwujudkan. Sebab, rupiah adalah simbol bangsa dan negara sehingga jangan sampai tidak dihargai. "Harusnya BI (Bank Indonesia) bisa tegas soal ini segera. Mata uang ini kan menyangkut harga diri bangsa," tegasnya. Sementara Dian, seorang arsitek, juga lebih memilih pegang dolar AS ketika melakukan perjalanan ke luar negeri. "Mau ke mana pun, biasanya saya pegang dolar dulu. Baru nanti ditukar ke mata uang lokal setelah sampai negara tujuan," tutur Dian. Senada dengan Tohiran, Dian pun menilai memegang dolar AS jauh lebih praktis dibandingkan rupiah. Segepok rupiah bisa dikonversikan ke dolar AS hanya jadi selembar. "Bawa dolar itu sedikit tapi nilainya besar. Jadi kita nggak usah bawa-bawa uang segepok, cukup beberapa lembar saja," tutur Dian. Source : http://finance.detik.com/
IBF CLIP
Soal Merger Bank Syariah BUMN, Bos Mandiri: Kredit Macetnya Tinggi Pemerintah punya rencana merger terhadap bank-bank syariah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah ingin punya bank syariah besar yang bisa bersaing dengan negara tetangga. Direktur Utama Bank Mandiri?Budi Gunadi Sadikin menuturkan, kredit macet bank BUMN syariah masih tinggi, sehingga masih perlu diperbaiki sebelum melakukan proses merger. Budi mengatakan, saat ini, pihaknya masih menunggu kajian yang dilakukan pemegang saham, dalam hal ini pemerintah. "Kita masih menunggu karena itu domain-nya pemegang saham. Kita tunggu saja kalau misalnya mereka sudah melihat pas timing-nya dan kajiannya kita jalan," kata Budi ditemui usai RUPS Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2015). Budi mengatakan, saat ini kinerja bank-bank BUMN syariah tengah lesu, sehingga sulit untuk melaksanakan program merger tersebut. Menurutnya, struktur perbankan syariah harus diperbaiki terlebih dahulu untuk melakukan proses merger. "Syariah Mandiri masih untung, cuma memang industri perbankan syariah tahun lalu nggak bagus. Setahu saya yang gede semua down, ada yang naik cuma itu kecil. ?Jadi harus ada yang diberesin di industri perbankan syariah. Jadi menurut saya itu yang pertama mungkin penting dilakukan," tuturnya. Dikatakan Budi, salah satu penyebab dari rendahnya kinerja dari perbankan syariah BUMN adalah tingkat kredit macet atau non performing loan (NPL) yang tinggi. Selain itu, sumber daya manusia di perbankan juga menurutnya masih minim dan kalah kualitas dengan perbankan konvensional. "Tahapannya menurut saya yang perlu dilakukan adalah perbaikan dari struktur industri perbankan syariah dulu, karena NPL-nya masih tinggi. Karena kalau tinggi dimerger itu nggak baik, jadi harus diperbaiki dulu?.Coba dicek. Kalau saya lihat BSM (Bank Syariah Mandiri) di atas 5% gross-nya. Saya rasa yang gede-gede segitu juga," papar Budi. "Kemudian sumber daya syariah itu sedikit sekali. Orang karena ditanya, mau masuk perbankan syariah atau biasa konvensional, mereka maunya konvensional. Itu yang mengakibatkan kualitas sumber daya manusia di bank syariah lebih rendah," imbuhnya. Source : http://finance.detik.com/
IBF CLIP
Ekonom: Rupiah Melemah Paling Dalam Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih menilai nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi cukup dalam. Menurut dia, penurunan ini lebih tinggi jika dibandingkan negara Jepang yang memang sengaja melemahkan mata uangnya. "Rupiah di antara mata uang asing paling dalam terdepresiasi. Padahal kita tidak sengaja dilemahkan. Tidak ada pengumuman resmi pemerintah maupun BI untuk melemahkan rupiah. Tapi rupiah lebih lemah dari Yen yang sengaja dilemahkan," jelas Lana dalam Media Workshop oleh PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia, di Bogor, Senin (16/3/2015). Lana mengatakan, tren penurunan ini perlu diwaspadai lantaran menurut dia tidak biasanya dalam 2 bulan rupiah melemah lebih dari Rp 500. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan Indonesia perlu mewaspadai pergerakan The Fed (Bank Sentral). "Kita mesti antisipasi dari The Fed. Kalau sudah terkena itu (The Fed) mau dibawa ke berapa rupiah, nanti semakin tidak menarik. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) return-nya hanya 4 persen, rupiah melemah 6 persen, praktis pegang saham tidak menguntungkan untuk investor asing," kata Lana. Soal intervensi, Lana mengatakan Bank Indonesia tidak hanya bisa melakukan intervensi terhadap dollar, melainkan juga kepada rupiah. "Seperti menarik jumlah rupiah melalui sertifikat deposito BI, jadi BI Rate tidak perlu naik. Bisa juga menaikkan (rate) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI)," jelas Lana. Selain itu kata dia, masih banyak instrumen moneter lainnya yang dapat dilakukan BI, seperti menaikkan giro wajib minimum. Lana menambahkan, cadangan devisa Indonesia untuk melakukan intervensi, dinilai masih cukup untuk menjalankan alternatif-alternatif tersebut. Terkait kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), Lana menilai implementasinya harus dipercepat. Menurut dia, hal tersebut bisa terjadi jika para menteri turut turun tangan dalam melaksanakan kebijakan ini. "Itu menteri-menterinya harus turun, jangan cuma dikantor. Harus menghimbau pada eksportir di tingkat kementerian masing-masing bahwa DHE jangan di tahan-tahan, sekarang kan boleh sampai 6 bulan, ini harus dipercepat paling tidak 2 bulan sudah masuk," kata Lana. Lana menambahkan, sudah saatnya para eksportir tersebut membantu pemerintah. Ditambah lagi, kata dia, Indonesia perlu mengantisipasi peluang kenaikkan suku bunga The Fed di bulan Juni. "Karena kita butuh cepat antisipasi untuk bulan Juni," ucapnya. Seperti dikutip dari data Bloomberg, di pasar spot mata uang Garuda ini pada perdagangan kemarin ditutup melorot ke posisi Rp 13.245 per dollar AS. Sementara kurs JISDOR Bank Indonesia Senin (16/3/3015), berada pada posisi 13.237 melemah dibanding sebelumnya di level 13.191.
IBF CLIP
RISET S&P : 25% Kredit Bank Terimbas Pelemahan Rupiah Lembaga Riset Standard and Poor’s mengestimasi sebanyak 25% dari total pinjaman yang disalurkan perbankan nasional bakal terkena dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Cheul Soo Cho, Analis Standard and Poor’s, mengatakan sektor korporasi bakal mengalami terpaan paling besar akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, perusahaan asal Indonesia banyak meminjam dana dalam dolar Amerika tanpa memiliki aset dalam mata uang tersebut, sehingga menyebabkan mismatch. “Sektor pengolahan produk agrikultural, metals, dan penerbangan paling banyak terkena dampak pelemahan nilai tukar ini. Kami mengestimasi sektor-sektor yang terkena risiko depresiasi rupiah menempati 25% dari total kredit bank,” tulis Soo Cho dalam risetnya yang dikutip, Senin (16/3/2015). Kendati demikian, Soo Cho menilai perbankan nasional cukup tahan banting menghadapi tekanan dari luar tersebut. Apalagi, lanjut dia, dengan adanya reformasi struktural yang digalakkan pemerintah, bakal berdampak positif pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang, termasuk sektor perbankan. Sementara itu, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Bank 3 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Irwan Lubis menuturkan sektor yang banyak melakukan aktivitas impor bakal diterpa efek pelemahan rupiah terbesar. “Tapi sebenarnya kalau NPL tidak hanya faktor itu, ada yang memang sebelum depresiasi pun sudah menurun seperti pertambangan batu bara dan sawit, itu yang harus diwaspadai,” ungkap Irwan. Source : http://finansial.bisnis.com/
ABOUT US Consulting and Management Solutions PROXSIS CONSULTANT - PT. PROXSIS SOLUSI BISNIS PROXSIS IT - PT PROXSIS GLOBAL SOLUSI SYNERGI SOLUSI - PT. SINERGI SOLUSI INDONESIA PROXSIS INC. SURABAYA - PT. PROXSIS MANAJEMEN INTERNASIONAL PROXSIS FOOD AND AGRO PROXSIS ENVIRO AND ENERGY MANAGEMENT PROXSIS ADVANCE QUALITY AND ASSET MANAGEMENT PROXSIS BPM SECURE INC. - IT SECURITY SOLUTION AND SERVICES PROXSIS TAX - PROXSIS TAX AND ACCOUNTING SERVICES
Professionals Development and Knowledge Center ISC - INDONESIA SAFETY CENTER IPQI - INDONESIA PRODUCTIVITY AND QUALITY INSTITUTE ITG.ID - IT GOVERANCE INDONESIA INDONESIA TAX CENTER
- Risk Management LSPP LV 1 - Risk Management LSPP LV 2 - Risk Management BSMR LV 1 - Risk Management BSMR LV 2 - Indonesia Banking & Finance - Indonesia Tax
IT GOVERNANCE INDONESIA
INDONESIA PRODUCTIVITY AND QUALITY INSTITUTE - ADVANCE QUALITY - BUSINESS PROCESS MGT. - FOOD AND AGRO - ENVIRO AND ENERGY
- BUSINESS CONTINUITY MANAGEMENT - PERSONAL EXAM PREPARATION - IT GOVERNANCE & MANAGEMENT - IT SECURITY - QUALITY MANAGEMENT SYSTEM - IT RISK MANAGEMENT - GREEN IT
INDONESIA SAFETY CENTER - ADVANCE & CERTIFIED SAFETY - AK3 - HSE & SAFETY MANAGEMENT - ISO - HEALTH & INDUSTRIAL HYGINE
INDONESIA BANGKING & FINANCE Permata Kuningan lt.17 Kawasan Bisnis Epicentrum HR.Rasuna Said Jl.Kuningan Mulia Kav.9C Telp : 021-29069519 Fax : 021-83708681