2
Pandangan Umum Mengenai Indonesia di Australia
5
Australia, Indonesia dan Papua
8
Partai Buruh, Permintaan Suaka dan Kasus “Bali Nine”
no.6 januari 2008
konstelasi
Analisis Dua Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Indonesia-Australia Pasca Kemenangan Partai Buruh “No country is more important to Australia than Indonesia. If we fail to get this relationship right, and nurture and develop it, the whole web of our foreign relations is incomplete... [and] the stability and prosperity which [it] has brought to [Indonesia] was the single most beneficial strategic development to have affected Australia and its region in the past thirty years”. (Pernyataan Mantan PM Australia Paul Keating, 1994)
HASIL PEMILIHAN umum nasional Australia menghasilkan kemenangan bagi Australian Labor Party (ALP), mengalahkan koalisi yang dimotori Partai Liberal. Kemenangan ALP mengakhiri dominasi Partai Liberal selama 10 tahun terakhir. Pergantian pemerintahan ini suka-tidak suka akan berdampak bagi pemerintah Indonesia, mengingat tendensi naik turun hubungan IndonesiaAustralia dalam 10 tahun terakhir yang menempatkan keduanya kerap berada dalam ketegangan. Bagi Australia, Indonesia merupakan negara yang paling diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik. Selain sebagai tetangga yang berada langsung di seberang, Indonesia juga dipandang sebagai unsur pokok dalam organisasi negara ASEAN. Kekuatan politik Indonesia di kawasan ini cukup menjadi perhatian Australia. Selain sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar, juga memiliki potensi ekonomi sangat besar. Pernyataan Paul Keating di atas, semasa menjabat, menjadi salah satu preferensi bagaimana pemerintah Australia memandang Indonesia. Namun hubungan keduanya selalu berada dalam tensi tinggi, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, di mana Partai Liberal memegang tampuk pemerintahan. Mulai dari kasus Timor-Timur, bom Bali, bom di kedutaan Australia, kasus narkotika Schapelle Corby dan Bali Nine, sampai paling terbaru pemberian temporary protection visa kepada 42 orang pencari suaka asal Papua. Persoalan-persoalan tersebut selalu memberikan posisi sulit
pada kedua pemerintahan dalam menjaga hubungan bilateral keduanya. Khusus dalam kasus pemberian visa temporer kepada para pencari suaka asal Papua, hubungan diplomatik Indonesia-Australia cukup memanas, mengakibatkan penarikan duta besar Indonesia dari sana. Menurut studi Rodd McGibbon, Pitfalls of Papua (2006), Papua menjadi isu sensitif buat Indonesia dan terbentuknya persepsi yang meluas di Indonesia bahwa Australia mendukung separatisme di Papua. Bagi McGibbon, problem Papua memiliki potensi untuk merusak hubungan bilateral keduanya, bahkan melampaui berbagai ketegangan yang pernah terjadi sebelumnya. Persepsi ini sudah mulai menguat semenjak referendum Timor-Timur tahun 1999, yang memisahkan Timor-Timur dari bagian Indonesia.Artinya, isu Papua menjadi titik paling krusial dalam poros hubungan Indonesia-Australia. Menurut McGibbon, menjadi penting untuk Australia “keluar” dari perdebatan publik soal Papua, untuk menghilangkan persepsi “Australian Factor” dalam hal Papua. Meskipun secara umum, dua partai terbesar di Australia, yakni Australian Labor Party (ALP) dan Liberal-National Party Coalition secara resmi mendukung kesatuan teritorial Indonesia, namun ada dua partai minor di Senate yakni Green dan Democrat yang selalu bersuara kritis terhadap kebijakan Australia atas isu Papua. Kedua partai sering menggunakan konflik Papua untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa. Pimpinan
Green Bob Brown misalnya, melakukan kritik keras terhadap pemerintah Howard atas soal Papua, dan mengajukan proposal kepada Senate agar pemerintah melakukan investigasi terhadap klaim genocide di Papua (McGibbon 2006: 91). Problem-problem tersebut yang akan dihadapi Partai Buruh (ALP) ke depan. Sekalipun dalam kampanye-kampanyenya selama pemilu, PM baru Kevin Ruud lebih memprioritaskan persoalan dalam negeri seperti pendidikan dan pekerjaan, namun ia akan tetap menghadapi hubungan bilateral Australia-Indonesia. Banyak yang menilai kebijakan Partai Buruh sangat kritis terhadap persoalanpersoalan pelanggaran hak asasi manusia, sehingga persoalan Papua akan menjadi pokok penting yang dihadapi pemerintahan yang baru. Di Indonesia sendiri, persoalan Papua juga belum menemukan titik balik yang lebih berarti. Pelanggaran HAM, kekerasan, konflik suku, politik lokal yang terus panas masih terus terjadi dan politik-keamanan ala Orde Baru masih terus berlanjut. Suka atau tidak suka, HAM sudah menjadi nilai universal, di mana setiap orang boleh mengkritik terjadinya pelanggaran HAM di mana saja. Maka untuk menghindari kritik dunia internasional, pemerintah Indonesia harus mengubah kebijakannya atas Papua. Terutama penerapan politik-keamanan gaya Orde Baru harus segera ditinggalkan, dan mengedepankan kebijakan yang didasarkan pada prinsip demokrasi dan nilai hak asasi manusia DG-08
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis Pandangan Umum Mengenai PANDANGAN UMUM Australia terhadap Indonesia harus dipetakan secara rinci setidaknya dalam tiga posisi; pertama yang berasal dari publik Australia secara umum yang meliputi anggota masyarakat sipil termasuk pihak gereja dan media. Kedua adalah sejumlah kecil Lembaga Swadaya Masyarakat yang biasanya terkait dengan faksi-faksi tertentu di Partai Politik dan sejumlah kecil akademisi di universitas. Ketiga adalah pemerintah, elit politik dan sebagian besar akademisi Australia. DUA INDONESIA DALAM PANDANGAN PUBLIK AUSTRALIA Publik Australia memiliki pandangan yang unik terhadap Indonesia yakni campuran simpati dan antipati sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki prasangka yang kuat terhadap struktur kekuasaan Indonesia yang dianggapnya masih dikuasai oleh kekuatan militer kepanjangan rejim otoriter lama. Sementara di pihak lain, mereka memiliki simpati yang sangat kuat terhadap unsur-unsur Indonesia yang dianggapnya lemah, seperti yang mereka perlihatkan dalam melihat Papua, dan Aceh pada peristiwa bencana tsunami. Basis pandangan ini sepenuhnya humanitarian dan lebih banyak berakar pada kemampuan karitatif kebanyakan orang Australia yang ekonominya bagus. Meskipun dari sudut pandangan yang lebih kritis, simpati semacam ini bisa juga dilihat sebagai bagian dari mekanisme bawah sadar “dislokasi” politik: intoleransi mereka terhadap Aborigin ditumpahkan dalam kompensasi perhatian kepada Papua. Aspirasi publik ini bersifat mengambang. Akibatnya dalam keadaan normal ia hanya bersifat aspirasi kemanusiaan biasa.Tapi dalam kondisi di mana muncul kasus-kasus tertentu
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://img179.imageshack.us
di Papua dan dikombinasi dengan politisasi oleh politisi setempat, maka ia bisa bertransformasi menjadi opini publik yang signifikan dalam kebijakan politik Australia. Dengan demikian di sini ada sensitivitas yang terus perlu dijaga. Misalnya, dalam beberapa survei terhadap publik yang dilakukan di Australia, diketahui bahwa masih terdapat persepsi publik Australia yang melihat Indonesia sebagai “ancaman”. PADANGAN ELIT YANG SELALU TERBELAH DUA Pandangan elit politik Australia mengenai Indonesia secara alamiah selalu akan terbelah menjadi dua, yakni kritik yang biasanya akan diam-
bil oleh pihak oposisi pemerintah dan sikap kompromistik yang biasanya akan dijalankan oleh partai berkuasa. Dengan demikian, sikap terhadap Indonesia sama sekali tidak dapat diukur melalui latar belakang partai dan sifat-sifat kepolitikannya secara umum. Ada kecenderungan semacam conventional wisdom tentang Indonesia di elit politik Australia, yakni setiap partai berkuasa selalu akan mengambil kebijakan kompromistik terhadap Indonesia, yang kemudian berakibat setiap partai oposisi —dalam kerangka kritik terhadap kebijakan partai berkuasa— akan mengambil jalan yang cenderung berlawanan dengan partai pemerintah. Oposisi selalu akan mencari isu untuk melakukan kritik terhadap Indonesia.
Indonesia di Australia Publik Australia memiliki pandangan yang unik terhadap Indonesia yakni campuran simpati dan antipati sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki prasangka yang kuat terhadap struktur kekuasaan Indonesia yang dianggapnya masih dikuasai oleh kekuatan militer kepanjangan rejim otoriter lama. Sementara di pihak lain, mereka memiliki simpati yang sangat kuat terhadap unsur-unsur Dengan asumsi tersebut, apabila saat ini Partai Buruh yang berkuasa maka Pemerintahan Buruh sudah pasti akan mengambil jalan yang lebih kompromistik terhadap Indonesia. Sementara posisi kritik akan dimainkan Partai Liberal dan Nasionalis yang akan duduk sebagai oposisi di parlemen, meskipun sebelumnya Partai Liberal di bawah Howard semasa berkuasa bersikap sangat bersahabat dengan Indonesia. Perputaran sikap ini hampir menjadi pakem dalam sirkulasi elit di Australia. Ini sekaligus membuktikan bahwa “isu Indonesia” selalu akan menjadi faktor abadi dalam politik Australia.
Indonesia yang dianggapnya lemah, seperti yang mereka perlihatkan dalam melihat Papua, dan Aceh pada peristiwa bencana tsunami. ANTI-INDONESIA Di luar dua posisi di atas, terdapat posisi yang cenderung anti-Indonesia khususnya dalam isu Papua. Mereka berpandangan bahwa Papua selayaknya memang diberikan hak untuk merdeka. Dasar pandangan ini
adalah karena adanya anggapan bahwa Indonesia telah melaksanakan praktek kolonisasi dan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua sehingga satu-satunya solusi bagi Papua adalah kemerdekaan. Salah satu isu HAM utama yang dikembangkan oleh kelompok garis keras adalah genosida di Papua dan keberlanjutan penanganan militeristik di Papua, atau dalam bahasa Senator dari Green Party Kerry Nettle “slow genocide”. Ekspolitasi isu genosida dan pelanggaran berat HAM yang muncul sebenarnya lebih banyak didasarkan atas sentimen dan informasi yang kurang akurat akibatnya argumen yang muncul juga tidak kuat. Istilah slow genocide sendiri sebenarnya tidak dikenal dalam kosa kata hak asasi, sehingga memang isu itu hanya berisi dugaan dan yang berbasis sinisme saja. Sementara kasus yang ekstrim dan paling tidak bertanggung jawab adalah penyebaran isu adanya “state sponsorship” penyebaran virus penyakit HIV/AIDS di Papua. Kelompok yang berpandangan keras semacam ini tidak banyak, dan berkisar pada satu-dua LSM misalnya Australian West Papua Association, sejumlah aktivis Green Party dan beberapa akademisi. Di kalangan kebanyakan akademisi lain, seringkali pandangan dan isu kelompok garis keras dipandang rendah kualitas datanya dan diragukan kebenarannya, karena diangap tidak memiliki basis argumen dan fakta yang solid dan kuat. Namun seringkali suara kelompok garis keras ini sering menjadi perhatian, justru karena respon yang berlebihan terhadap mereka. Di samping itu, kebijakan Indonesia mengenai Papua sendiri dan demokrasi secara umum yang sering kurang menunjukkan rasa percaya diri. Ditambah lagi dengan kewww.p2d.org — konstelasi
3
khawatiran berlebihan sebagian pihak di Indonesia, sehingga sering secara gegabah dan salah menganggap sikap kelompok garis keras sebagai satusatunya sikap publik Australia atas masalah-masalah demokrasi dan Papua di Indonesia. PERLUNYA INDONESIA MENYELESAIKAN PERSOALAN DALAM DIRINYA SENDIRI Persoalan yang terus-menerus menggelayut di Papua tidak bisa sematamata dilihat sebagai persoalan yang diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal, di mana tudingan kerap diarahkan kepada pihak Australia. Persoalan Papua juga harus dilihat dari sejauh mana pemerintah mampu menyelesaikan persoalan yang justru timbul dalam Indonesia sendiri. Diskursus yang dibangun oleh para pejabat militer dan sipil terhadap berbagai persoalan di Papua belum bisa lepas dari cara pandang Orde Baru, yakni melihat orang Papua sebagai “mereka yang bermental pemberontak” dan melihat Australia sebagai dalang gerakan separatisme. Cara melihat seperti ini seakan-akan ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua “sudah benar dan tepat” sehingga kalau masih terjadi sesuatu maka itu disebabkan oleh “orang Papua” atau “pihak luar”. Kedangkalan berpikir seperti ini tentu bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, memang cara berpikir para pejabat pemerintah yang dangkal dalam artian harafiah. Kedua, mentalitas untuk lebih menyalahkan yang lain di luar dirinya akan lebih bisa menutupi kesalahan-kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Persoalannya, kedua hal itu tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan Papua. Bahkan malah semakin memperburuk keadaan. Ditambah lagi kebijakan pemerintah untuk menutup Papua dari pihak luar (terutama jurnalis dan akademisi dan peneliti asing), semakin mendorong berbagai spekulasi dan dugaan terhadap berbagai persoalan di Papua.
4
konstelasi — www.p2d.org
Aksi yang menuntut Penegakan HAM di Papua. Sumber: http://www.kabarpapua.com
Pada sisi lain, Australia merupakan negara yang cukup banyak memberikan perhatian terhadap Papua, baik dalam hal politik maupun akademik, hingga di wilayah publik Australia. Berita mengenai Papua selalu menjadi berita yang banyak direspon oleh publik Australia, karena itu persepsi publik Australia menjadi faktor pertimbangan penting bagi pemerintah Australia dalam hal merumuskan kebijakan-kebijakannya dengan Indonesia. Persoalan pelanggaran HAM menjadi salah satu perhatian serius publik Australia. Di titik inilah Australia memiliki signifikansinya jika berkaitan dengan soal Papua. Suka tidak suka, Australia menjadi bagian dari wilayah publik internasional, wilayah di mana pemerintah Indonesia juga terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga persoalan di dalam “diri Indonesia” yang harus segera diperbaiki, sehingga pandangan-pandangan dari luar dan kebijakan-kebijakan dari dalam bisa lebih terbuka terhadap kontrol publik, yakni: Pertama, adanya pandangan yang simplistik dan menggeneralisir dalam merespon persoalan Papua. Pandangan yang simplistik ini, selain hanya memagnifikasi suara
garis keras yang sebenarnya kecil, juga memupus kemungkinan-kemungkinan pemahaman yang lebih baik mengenai Papua dari pihakpihak lain di Australia. Kedua, simplifikasi dan kebijakan yang cenderung menutup Papua dari dunia luar, di mana hal tersebut malah menimbulkan kecurigaankecurigaan dan meningkatkan posisi dan memperkuat tuduhan kelompok garis keras di Australia. Pada tahap akhir, kecenderungan ini malah akan makin membentuk persepsi buruk mengenai pemerintah Indonesia di mata publik Australia. Ketiga, kebijakan Papua yang tertutup juga cenderung akan dapat dieksploitisir oleh pihak-pihak ketiga baik di luar maupun di dalam negeri yang bermaksud menggunakan krisis di Papua sebagai materi politik masing-masing. Oleh karena itu kemauan pemerintah untuk melakukan perubahan dalam tiga hal di atas akan sedikit banyak mengubah persepsi internasional. Dan lebih penting lagi, perubahan itu sekaligus juga menjadi kontrol secara internal terhadap berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua RB-09
analisis Australia, Indonesia dan Papua SIKAP PEMERINTAHAN Australia yang menerima permintaan suaka 42 dari 43 orang Papua pada tahun 2006 lalu telah menimbulkan protes keras dari Pemerintahan Indonesia. Pemerintah Australia melalui Menteri Luar Negerinya, Alexander Downer, menyatakan bahwa Pemerintahan Australia menghormati hukum internasional yang berlaku tentang pengungsian, namun pada hakekatnya, Pemerintahan Australia tetap menjaga komitmen untuk mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua. Pembelaan diri dari Downer tidak mudah diterima oleh Indonesia mengingat masih ada sejumlah persoalan masa lalu yang berkaitan dengan hubungan diplomasi kedua negara. Masalah yang masih mengganjal itu adalah masalah lepasnya Timor Leste dari Indonesia. Sebagaimana diketahui, adanya opsi kedua (opsi kemerdekaan) dari Habibie dipengaruhi oleh surat PM Australia, John Howard. Kepemimpinan Australia dalam pasukan Interfet juga turut melukai pemerintahan Habibie pada saat itu. Setelah Timor Leste merdeka, masalah kekerasan di masa lalu seperti pembunuhan 5 wartawan Australia di Balibo terus membebani hubungan kedua negara, seperti yang terjadi pada kasus penahanan Sutiyoso di salah satu negara bagian di Austalia beberapa waktu yang lalu. Sikap Pemerintahan Australia dalam kasus Papua juga tetap dipandang dalam kerangka ancaman eksternal atas kedaulatan Indonesia. Kecurigaan Pemerintahan Indonesia atas politik Pemerintahan Australia, menurut Clinton Fernandes dalam bukunya Reluctant Indonesians: Australia, Indonesia, and the Future of West Papua (2006) sesungguhnya tidaklah tepat karena politik Pemerintahan Australia pada masa John Howard enggan (reluctant) mencampuri urusan dalam negeri
Sumber: http://news.bbc.co.uk
Indonesia. Ada tiga posisi dasar kebijakan luar negeri Australia dalam hubungan dengan Indonesia (Fernandes menyebutnya sebagai 3 mantra), yaitu promosi kepentingan nasional (national interest), tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan kebutuhan untuk menghindari fragmentasi Indonesia. Tentang upaya Pemerintahan Australia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia berangkat dari refleksi mereka terhadap sikap mencampuri (meddling) Pemerintahan dan rakyat Australia atas keadaan politik yang terjadi di Indonesia pada masa lalu. Pada awal kemerdekaan Indonesia, rakyat Australia (khususnya serikat-serikat buruh pelabuhan) memboikot pengangkutan barang-barang ke kapal milik Belanda (Fernandes 2006:17). Sikap ini berubah ketika Pemerintah Australia khawatir dengan politik Soekarno yang kekiri-kirian. Pemerintahan Australia melalui menteri luar negerinya, Richard Casey mendukung sikap Pemerintahan AS dalam peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang
terjadi di Sumatera dan Sulawesi. Dalam masalah Papua, pada awalnya Pemerintahan Australia mendukung pihak Belanda, namun seiring dengan perubahan sikap pemerintahan Kennedy (AS), pihak Australia mencabut dukungannya kepada Belanda pada bulan Desember 1961. Setelah Pepera 1969, Pemerintahan Australia makin mendukung Indonesia, terbukti dengan sikap menerima desakan Indonesia untuk menghalangi permintaan suaka dua orang Papua ke AS, dengan menahan kedua orang Papua di kepulauan Manus, pada bulan Mei 1969 (Fernandes 2006: 61). REFLEKSI ATAS PERMINTAAN SUAKA WARGA PAPUA Posisi dasar Pemerintahan Australia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia tidak selalu berjalan mulus, karena terbukti pemerintah Australia harus mengakomodir suara-suara dari masyarakat Australia yang menginginkan kebijakan politik Australia didasarkan pada nilai-nilai yang menjunjung www.p2d.org — konstelasi
5
Masyarakat Papua yang Melakukan Acara Kebudayaan Beberapa Waktu Lalu di Ancol, Jakarta. Sumber: http://www.depdagri.go.id
tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Inilah yang mendasari penerimaan atas permintaan suaka 43 orang Papua, meskipun posisi dasarnya adalah menghormati kedaulatan Indonesia atas Papua. Kondisi demikian patut menjadi perhatian kita, karena kita selalu hanya melihat dari aspek kedaulatan dan non-intervensi. Tentunya kita hanya melihat sikap pemerintah Australia itu sebagai sikap campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, tetapi kita lupa pada prinsip Pemerintah Australia yang menghargai kekebasan orang untuk memperoleh jaminan keamanan hidup dari para peminta suaka, dengan risiko keputusan itu bisa dianggap mengkhianati politik diplomasi pemerintah Australia terhadap Indonesia. Dari refleksi ini, sebaiknya kita lebih memusatkan perhatian kita pada upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi yang lebih manusiawi bagi rakyat Papua dari-
6
konstelasi — www.p2d.org
pada kita sibuk membela diri atau menyerang kebijakan negara lain. Kita patut belajar dari kasus Timor Leste. Kita sibuk membela diri dan menyalahkan diplomasi pihak lain, sedangkan politik kita ke rakyat Timor Leste tetap represif sehingga memperluas perasaan anti-Indonesia di Timor Leste. Kita mengecam diplomasi Portugal, AS dan Australia tetapi kita tidak mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh militer Orde Baru. Dalam masalah Papua, suarasuara ketidakpuasan rakyat Papua atas keindonesian semakin meluas. Motivasi awal mungkin sifatnya tidak politis, seperti kekecewaan sejumlah suku atas dirampasnya tanah-tanah ulayat demi pertambangan, lokasi perumahan transmigrasi, kesempatan kerja yang langka bagi rakyat Papua, sektor ekonomi yang didominasi oleh para pendatang, khususnya dari etnis Bugis, Buton, Makassar dan Tionghoa (Rodd McGibbon, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change, and
the Papua Conflict, 2004), maupun halhal politik seperti pemekaran wilayah, keterwakilan suku dalam pemerintahan lokal. Sayangnya, reaksi Pemerintah Indonesia turut menyuburkan benih ketidakpuasan seperti kebijakan pemekaran wilayah oleh pemerintahan Megawati menyebabkan konflik horisontal di antara kelompok pro dan anti-pemekaran, padahal sudah ada komitmen untuk melaksanakan otonomi khusus kepada wilayah Papua. Kebijakan persuasif yang sudah dirintis oleh pemerintahan Gus Dur dicemari dengan kebijakan represif, seperti pembunuhan Theys Eluay di era pemerintahan Megawati. Bahkan KSAD waktu itu, Ryamizard Ryacudu, menggelari para pembunuh Theys sebagai pahlawan yang melaksanakan tugas bangsa (Richard Chauvel and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies,2004:34). Departemen Dalam Negeri dan Lemhanas punya pandangan yang sama tentang adanya ancaman dis-
integrasi Indonesia di Papua oleh tindakan sejumlah elit politik di Papua. Profesor Ermaya dari Lemhanas menyebutkan bahwa gubernur Solossa adalah bagian dari problem yang bisa mengancam pelaksanaan pemekaran wilayah. Depdagri mengeluarkan suatu diagram tentang “konspirasi politik Papua” (Chauvel and Bhakti 2006: 44-46). Dalam diagram tersebut, ada nama-nama tokohtokoh pemerintahan Papua baik yang pernah menjabat maupun gubernur saat itu seperti Izaak Hindom, Barnabas Suebu, Jacobus Solossa yang dikategorikan sekelompok dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Papua seperti Theys Eluay, Tom Beanal, Herman Awom dan Thaha Al Hamid. Sementara itu, penanganan keamanan di Papua makin mirip seperti penanganan keamanan di Timor Leste pada masa lalu. Beberapa petinggi militer di Papua adalah eks pimpinan militer di Timor Leste seperti Mayjen Mahidi Simbolon. Juga muncul usaha membentuk kelompok-kelompok sipil bersenjata seperti rencana pembentukan milisi merah putih oleh Eurico Guterres di Timika pada akhir tahun 2003 (McGibbon 2004: 29-30) dan pengiriman Laskar Jihad di Fakfak (Richard Chauvel, Constructing Papua Nationalism: History, Ethnicity and Adaptation, 2005) menunjukkan pengulangan pendekatan keamanan gaya Orde Baru. PERLUNYA KEBIJAKAN YANG SESUAI KEBUTUHAN PAPUA Sejumlah kebijakan politik dan pengamanan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di Papua seperti yang disebutkan diatas bukanlah solusi yang tepat untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Indonesia atas Papua. Justru sebaliknya, bisa mendorong pihak yang sebenarnya tidak punya aspirasi merdeka tetapi karena kecewa dituduh pro-kemerdekaan bisa berbalik untuk berada di barisan pihak pro-kemerdekaan Papua.
Demikian juga rakyat yang terus diintimadasi oleh tindakan militer bisa bergabung dengan kelompok pro-kemerdekaan. Saat ini saja sudah banyak bermunculan kelompokkelompok masyarakat yang terinspirasi oleh nilai-nilai tradisional Koreri, suatu kepercayaan mesianistik yang meyakini akan datangnya “Ratu Adil” yang akan membebaskan rakyat Papua. Nilai-nilai Koreri ini muncul dalam aktivitas seperti kelompok/persekutuan doa yang terinspirasi akan datangnya tokoh mitologi yang akan membawa rakyat menuju hidup yang lebih sejahtera dalam alam kemerdekaan Papua. Namun yang penting untuk ditekankan, bahwa nilai Koreri lebih merujuk pada konsep kesejahteraan (Enos H. Rumansara: Kargoisme, 2007). Dalam banyak hal kita tidak mampu menafsirkan secara jernih apa yang sesungguhnya diinginkan oleh rakyat Papua. Misalnya konsep “merdeka”, Fernandes menyitir pendapat antropolog Brigham Golden yang menyatakan bahwa “merdeka” adalah suatu teologi pembebasan Papua yang menginginkan terciptanya kedamaian dan keadilan di bumi. Antropolog lainnya seperti Eben Kirksey menyatakan bahwa makna “merdeka” lebih dekat kaitannya dengan ekologi daripada ekonomi. Bahkan menurut Victor Kaisiepo (tokoh Papua di luar negeri), “merdeka” lebih didefenisikan sebagai interdependensi daripada independensi. Pandangan semacam ini menyiratkan bahwa aspirasi “merdeka” sesungguhnya punya makna yang lebih kaya daripada merdeka secara teritorial. Berangkat dari koreksi atas kebijakan politik dan keamanan yang berbau Orde Baru dan kearifan kita untuk menangkap aspirasi yang sesungguhnya dari rakyat Papua maka sudah saatnya untuk berhenti dari sekedar menyalahkan pihak lain seperti Australia dan memulai upaya “memerdekakan” rakyat Papua dari belenggu ketidakadilan. Problem terbesar di Papua adalah: pertama, ada pada diri kita
sendiri yang masih menganggap Papua adalah “bukan kita”, dan memperlakukannya sebagai “yang lain”. Kedua, oleh karenanya terus memandang Papua dengan kecurigaan dengan dasar “wilayah pemberontak”, dan menerapkan kebijakan yang justru potensial bagi munculnya resistensi (mis. pemekaran wilayah). Ketiga, untuk menanganinya maka cara-cara kekerasan dan represi ala Orde Baru masih dianggap sebagai “obat mujarab” membersihkan potensi separatisme di Papua, yakni dengan menempatkan tentara dalam jumlah besar, dan kekerasan dengan skala besar. Selama model seperti itu yang terus diterapkan pemerintah di Papua, maka tanpa ada Australia sekalipun, semangat separatisme akan sulit diredupkan HN-14
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis Partai Buruh, Permintaan Suaka dan KEMENANGAN KEVIN Rudd sebagai Perdana Menteri, menggantikan John Howard dari Partai Liberal, melahirkan suasana pembaharuan yang kuat di Australia. Untuk isu ekonomi-politik dalam negeri Australia, jelas terdapat beberapa perubahan kebijakan yang signifikan terutama dalam soal kebijakan indusri dan ketenagakerjaan. Namun demikian, sejumlah kalangan dalam negeri Australia mengatakan bahwa meskipun ada perubahan dalam kebijakan domestik namun untuk kebijakan luar negeri, pemerintahan Rudd tidak akan terlalu jauh berbeda dengan Howard. Menanggapi kemenangan Rudd ini di kalangan pengamat politik luar negeri Indonesia terdapat sejumlah kekhawatiran: pertama, dalam masa dua tahun terakhir dalam periode Howard hubungan IndonesiaAustralia terjalin dengan sangat baik. Dari sini ada dugaan bahwa perubahan rejim akan dengan serta merta akan merubah suasana ini. Kedua, dengan latar belakang Rudd yang berasal dari Partai Buruh, yang di dalamnya terdapat faksi yang sangat lantang mengkritik kebijakan HAM Indonesia, diperkirakan Rudd akan sedikit banyak mengakomodir suara mereka. Menanggapi persoalan ini, sejumlah kalangan akademisi ternama Australia justru bersikap sebaliknya. Meskipun jelas akan mengambil sikap yang lebih tegas dalam soal politik luar negeri tertentu, terutama dalam kebijakan Australia di Irak dan isu lingkungan hidup (termasuk ratifikasi Protokol Kyoto), Rudd jelas tetap akan mengambil jalan “tetangga yang ramah” terhadap Indonesia sebagaimana yang selama ini sudah berlangsung secara konvensional. Kenyataan bahwa Rudd menghubungi Presiden SBY segera setelah ia dinyatakan menang pemilu, menunjukkan bah-
8
konstelasi — www.p2d.org
Presiden SBY menerima PM Australia Kevin Rudd di sela-sela KTT PBB tentang Perubahan wa hubungan Indonesia-Australia— setidaknya dalam kerangka kedua Pemimpin Negara— tetap akan berlangsung secara normal. Namun demikian di luar pakem konvensional itu, terdapat dua masalah yang akan mengganjal hubungan Indonesia-Australia di depan, yakni masalah 42 pencari suaka asal Papua dan vonis hukuman
mati terhadap pelaku kasus Bali Nine. Dalam soal dua isu ini, baik pemerintah Australia maupun pemerintah Indonesia pasti sudah memahami secara jelas kedudukan dan posisi masing-masing pihak. Namun demikian, yang menjadi titik berat adalah pandangan dan opini publik yang demikin kuat yang tidak mungkin di abaikan oleh kedua
Kasus “Bali Nine” KECENDERUNGAN PEMERINTAHAN KEVIN RUDD TERHADAP PENCARI SUAKA Secara normatif, keputusan tetap (permanent) pemberian suaka terhadap 42 dari 43 pencari suaka dari Papua yang saat ini menerima ijin sementara, kewenangannya berada di tangan badan independen. Para pejabat resmi Australia di Departemen Luar Negeri yang menjelaskan persoalan ini menegaskan bahwa keputusan mengenai status para pencari suaka itu di luar kendali pemerintahan. Namun demikian, apa yang bakal diambil oleh pemerintahan Australia secara umum mengenai status 42 orang itu dapat kita perkirakan dari beberapa faktor berikut:
Iklim di Bali Sumber: www.presidenri.go.id - Anung pemerintahan. Dalam soal Papua, pemerintah Rudd akan sangat dipengaruhi opini umum di Australia betapapun itu hanya didukung oleh kelompok kecil politisi dan LSM. Begitupun dalam soal hukuman mati, pemerintah Indonesia juga akan sangat dipengaruhi oleh opini publik di Indonesia juga.
1.Adanya tekanan yang kuat dari publik Australia, yang berasal dari politisi sejumlah Partai, LSM dan tokoh-tokoh lembaga-lembaga masyarakat lainnya terhadap pemerintah Australia, untuk menerima ke 42 pencari suaka dengan beragam alasan; mulai dari alasan kemanusiaan semata, alasan HAM hingga alasan politis menyangkut citra politik dalam negeri. 2.Hampir bisa dipastikan bahwa panel independen akan bekerja dengan berorientasi pada aspek normatif hak asasi manusia, terutama yang menyangkut tentang hak asasi pencarian suaka sebagaimana ditetapkan oleh Convention Relating to the Status of Refugees tahun1951. Dengan demikian sudah dapat diperkirakan bahwa panel akan lebih mempertimbangkan aspirasi publik dan sentimen HAM publik Australia. 3.Ada angggapan mengenai suasana dan nasib yang tidak pasti apabila ke 42 pencari suaka dikembalikan ke Indonesia, mengingat banyaknya permainan pihak ketiga di Papua
yang jelas dihitung oleh pemerintahan Rudd. Rudd tidak akan mengambil risiko mengembalikan ke 42 orang pencari suaka, karena apabila terjadi insiden terhadap salah satu saja dari ke 42 orang setelah mereka dikembalikan, akan dengan segera menghasilkan cercaan dan serangan yang keras di dalam negeri terhadap keputusannya tersebut. Dengan melihat faktor-faktor dalam negeri Australia ini, maka bisa diperkirakan bahwa Pemerintahan Partai Buruh akan condong memberikan secara halus status permanen terhadap 42 pencari suaka. Namun demikian akan sangat mungkin pemberian itu akan dilakukan dengan cara gradual untuk mencegah reaksi yang bisa memperburuk hubungan Indonesia Australia. PERTANYAAN TENTANG HUKUMAN MATI KASUS “BALI NINE” Persoalan lain yang juga sangat krusial adalah soal hukuman pidana mati terhadap dua warga Australia dalam kasus narkoba di Bali. Pemerintah Australia, atas desakan dan opini publik, diminta untuk mengambil upaya yang serius untuk mencegah hukuman mati. Sejumlah media massa nasional Australia berulang kali memuat berbagai argumen para pakar hukum Indonesia di Australia mengenai aturan pidana mati menurut hukum Indonesia di Australia. Titik krusial dalam kasus ini adalah pada kemungkinan ekspose terpidana yang sebagian dianggap berusia muda, dalam sudut pandang publik Australia akan terlalu kejam apabila sampai dikenakan pidana mati. Mengenai kasus ini ada dua pandangan yang berbeda dari pengamat Australia:
www.p2d.org — konstelasi
9
Sumber: www.theage.com.au - Andrew Taylor Pertama, pihak praktisi hukum yang nampaknya terlibat dalam upaya hukum terhadap terpidana menjelaskan kemungkinan reaksi yang keras dari publik Australia yang berakibat buruknya hubungan kedua negara secara permanen apabila terjadi pidana mati. Namun demikian pihak-pihak ini masih bisa menerima pandangan bahwa selain melakukan upaya “judicial review” ke Mahkamah Konstitusi
10
konstelasi — www.p2d.org
(yang sudah gagal), satu-satunya upaya hukum lain yang bisa dilakukan adalah dengan menerima dan memperhatikan kultur hukum pidana mati yang baru di Indonesia. Dalam kultur baru ini, terdapat kemungkinan perubahan pidana dalam waktu tertentu apabila dinilai terpidana menunjukkan perubahan dan perbaikan selama ditahan. Kedua, selain di Indonesia, seorang warga Australia pernah di-
eksekusi mati di Singapura karena kasus narkoba. Dari pengalaman itu, memang sempat muncul reaksi keras, baik dari pemerintah maupun publik. Namun tidak lama berselang, hubungan kedua negara kembali bejalan normal. Dalam sudut pandang ini, apabila memang nanti ada hukuman mati, sudah pasti akan ada reaksi keras dari publik dan pemerintah. Tapi, oleh karena hubungan baik dengan
Kemenangan Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri, menggantikan John Howard dari Partai Liberal, melahirkan suasana pembaharuan yang kuat di Australia. Untuk isu ekonomi -politik dalam negeri Australia, jelas terdapat beberapa perubahan kebijakan yang signifikan terutama dalam soal kebijakan industri dan ketenagakerjaan. Namun demikian, sejumlah kalangan dalam negeri Australia mengatakan bahwa meskipun ada perubahan dalam kebijakan domestik namun untuk kebijakan luar negeri, pemerintahan Rudd tidak akan terlalu jauh berbeda dengan Howard.
Indonesia jauh lebih penting bagi Australia, maka keputusan untuk merubah pola hubungan dengan Indonesia secara drastis dan permamen hampir sulit terbayangkan. PENUTUP Melihat hubungan Indonesia dan Australia di era pemerintahan Partai Buruh yang baru memenangkan pemilu, dalam kasus permintaan
suaka warga Papua dan Bali Nine, setidaknya ada empat hal menarik yang bisa dilihat: Pertama, pola hubungan Indonesia-Australia ditandai oleh persilangan yang unik antara pemerintah kedua negara dan publiknya masingmasing. Keunikan ini muncul oleh karena kemungkinan munculnya ekspresi yang tidak paralel dari kedua belah pihak: apa yang disetujui oleh kedua pemerintah, seringkali tidak atau kurang disetujui dikehendaki
oleh publik kedua negara. Keadaan ini yang selalu menghadirkan ketegangan dan saling curiga permanen dalam relasi kedua negara. Lepas dari kedekatan kedua pemerintahan, di publik masing berlaku opini yang saling berbeda: di mata sebagian publik Australia, Indonesia secara umum adalah negeri yang masih di bawah despotisme militer. Sementara di mata publik Indonesia secara umum, Australia adalah tetangga yang lebih berperan sebagai lambang arogansi Barat. Kedua, dalam soal relasi AustraliaIndonesia, untuk mencegah kemungkinan krisis yang tidak perlu sebagai akibat dorongan ekstrim dari publik kedua negara, diperlukan pelembagaan dan membangun tradisi dialog di antara publik kedua negara secara permanen. Tradisi dialog ini pada masa depan harus atau dapat difungsikan sebagai “buffer” yang bisa menahan kemungkinan krisis yang bisa merugikan kedua belah negara. Tujuan dari dialog lebih difokuskan untuk mencairkan kecurigaan dan mitos-mitos publik yang muncul mengenai kedua negara. Dalam hal ini demokrasi yang maju dan dinamis di Indonesia harus dijadikan modal Indonesia untuk mengambil sikap yang lebih percaya diri. Ketiga, dalam soal hukuman mati terhadap tersangka kasus Bali Nine diperlukan langkah-langkah yang lebih baik dan ramah untuk menjelaskan sistem dan kebudayaan hukum di Indonesia kepada publik dan masyarakat hukum di Australia. Ini penting untuk menghindari kesimpulan-kesimpulan ekstrim yang mungkin muncul pasca keputusan pengadilan Indonesia terhadap para tersangka. Keempat, terlepas dari ketegangan permanen ini, kedua pemerintah sama-sama menyadari pentingnya menjalin hubungan baik. Dalam posisi ini, dengan memperhatikan status geopolitik, sebenarnya boleh dikatakan Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang Indonesia membutuhkan Australia RB-09
www.p2d.org — konstelasi
11
Sejarah Hubungan Diplomasi dan Perjanjian Indonesia dan Australia Kerjasama dan Perjanjian Tahun Refugees Rights (Hak-hak 1951 Pengungsi) Trade (Perdagangan) 1959 1964
War Cemeteries (Pemakaman Korban Perang)
Menyediakan kerjasama bilateral yang paling menguntungkan dalam hal perdagangan dan tarif. Kerjasama ini terus diperbaharui dari tahun ke tahun semenjak 1972 Hibah pembangunan 2 areal pemakaman di Indonesia untuk penguburan veteran Perang Dunia II asal negaranegara persemakmuran (commonwealth).
1967
ASEAN
Indonesia menjadi salah satu pendiri ASEAN. Organisasi kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara.
1968
Cultural Agreement (Kesepakatan Dalam Bidang Kebudayaan)
Menyuarakan aspirasi mengenai kebutuhan pemahaman dalam hal bahasa dan kebudayaan melalui pendidikan.
1969
Perjanjian fasilitas udara.
1973
Air Services (Pelayanan Transportasi Udara) Borobudur
1973
Seabed Boundaries (Batas Laut)
1974
PNG/Indonesia Boundary (Garis Perbatasan Papua Nugini/Indonesia)
1976
ASEAN
1981
Fisheries Surveillence (Pengawasan Penangkapan Ikan)
1991
Dihasilkannya "Zona Kerjasama" di wilayah antara Timor dan Northern Australia, dengan bentuk “Joint Authory” yang tanggungjawabnya dipegang oleh suatu Ministerial Council (sejumlah menteri) terhadap zona tersebut sampai tahun 2031. Kerjasama eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber minyak pada continental sheft di area antara dua wilayah. Cambodia Conflict (Konflik Kamboja) Dihasilkannya sebuah “Comprehensive Political Settlement” pada konflik tersebut. Pada tahun 1992-1993, kedua negara bekerjasama lewat keterlibatan personil pasukan bersenjata dalam United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC). Australia-Indonesia Ministerial Forum (AIMF) AIMF, yang didirikan tahun 1992, memberikan landasan yang penting bagi perluasan ikatan bilateral. Perwakilan (Forum Menteri-menteri Australia dari komunitas bisnis Australia dan Indonesia juga mengadakan dialog dengan para menteri. Indonesia)
1991
1992
Australia menyumbang 1 juta dollar untuk pelestarian candi Borobudur. Untuk wilayah di Laut Arafura dari wilayah barat Cape York sampai titik selatan Timor Barat, tidak termasuk titik selatan dari Timor Portugis. Dibuat untuk memperkuat dua kesepakatan yang ada sebelumnya. Menggantikan Perjanjian 1865 antara Inggris Raya dan Belanda. Mengikuti kerjasama Joint Survey tahun 1970. Perjanjian 1974 lebih dikembangkan dalam mengkonfirmasi pengaturan pengawasan perbatasan, termasuk toleransi terhadap aktivitas yang melewati perbatasan atas dasar keperluan tradisi dan adat. Perjanjian persahabatan dan kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara, di mana Australia bukan menjadi bagian dari ASEAN. Namun Indonesia dan Australia menjadi bagian dalam Forum Regional ASEAN, dan dalam beberapa tahun sering dilibatkan pada berbagai kerjasama dalam Perjanjian ASEAN. Diciptakannnya sebuah “Surveillance and Enforcement Line” provisional.
Timor Gap (Celah Timor)
1992
Taxation (Perpajakan)
1993
Fisheries Cooperation (Kerjasama Penangkapan Ikan)
1993
Copyright (Hak Cipta)
1995 1995
World Trade Organisation (WTO) Extradition (Ekstradisi)
1995
Australian-Indonesian Defence Cooperation Program (Program Kerjasama AustraliaIndonesia Dalam Bidang Pertahanan) Nuclear Test Ban (Pelarangan Ujicoba Nuklir)
1996
12
Keterangan 145 negara menandatangani UNHCR Convention Relating to the Status of Refugees. Australia menandatangani. Indonesia tidak.
Dihasilkannya penghapusan pajak ganda (double taxation) dalam pajak pendapatan (income tax), dan kerjasama untuk melindungi dari terjadinya fiscal evation (penggelapan fiskal). Mengakui perbatasan-perbatasan tertentu “sebagaimana telah ditetapkan”. Menjelaskan garis batas perikanan 1981 sebagai ‘status provisional’. Sebagaimana ditetapkan pula dalam 1974 Understanding dan 1989 Guidelines tentang operasi nelayan tradisional Indonesia. Kerjasama gabungan dalam penelitian perikanan. Perlindungan timbal balik dan penegakan hak cipta, pengakuan-pengakuan yang setara bagi negara yang paling disukai (most favoured nations/MFN). Kedua negara menjadi anggota. Perjanjian perdagangan sebelumnya digantikan. Kejahatan ganda sebagai syarat dilakukannya ekstradisi. Cakupan lebih luas pada kejahatan ekstradisi, termasuk “kejahatan-kejahatan politik” kecuali upaya pembunuhan terhadap kepala negara. Kedua negara saling bertukar informasi intelijen yang rawan dan mengadakan pelatihan yang melibatkan pasukan khusus dan pasukan elit. Kedua negara merupakan anggota dan juga negara pihak dalam Konferensi Perlucutan Senjata. Bentuknya kerjasama bilateral. Memfasilitasi (provides) konsultasi reguler pada tingkat menteri dalam hal “permasalahan yang mempengaruhi…keamanan bersama”, dan “perundingan dalam kasus yang menjadi tantangan baik bagi masing-masing negara maupun terhadap kepentingan keamanan bersama” sebagaimana pula masing-masing negara “setuju untuk meningkatkan… kegiatan kerjasama yang saling menguntungkan di bidang keamanan”. Untuk tujuan-tujuan kerjasama dalam berbagai aktivitas. Masing-masing negara menunjuk pejabat eksekutif yang bertangungjawab untuk melakukan koordinasi dan fasilitasi berbagai aktivitas tersebut.
1996
Agreement on Maintaining Security (Kesepakatan Untuk Pemeiharaan Keamanan)
1996
Scientific Research and Technological Development (Riset Ilmiah dan Pengembangan Teknologi)
1997
Nuclear Science and Technology Cooperation Kedua negara menyatakan diri sebagai “non-nuclear weapon state”. Bersama-sama “bekerjasama dalam penggunaan energi nuklir secara damai untuk pengembangan sosial dan ekonomi”.
1997
Seabed Boundaries (Batas Laut)
1999
Mutual Assistance on Criminal Matters (Saling Membantu Dalam Penyelesaian Soal-soal Kriminal)
1999
Development Cooperation (Kerjasama Pembangunan)
2005
2005
Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan) Kyoto Protocol
2005
Amity and Coopertion with ASEAN
2006
Framework for Security Cooperation (Kerangka Kerja untuk Kerjasama Keamanan)
konstelasi — www.p2d.org
Menentukan perbatasan Pulau Natal/Jawa, menentukan batas-batas wilayah tangkapan ikan tahun 1981. Menuntaskan penetapan batas maritim. Secara khusus menyangkut penyelundupan narkoba dan pencucian uang internasional. Mewajibkan kedua negara untuk saling membantu “menyelidiki dan menuntut kejahatan serius”. Bantuan dikecualikan dalam soal kejahatan politik atau militer, upaya penyiksaan rasial dsb, dan kejahatan-kejahatan yang tidak secara mutlak mengecualikan pelaksanaan hukuman mati. Melalui ini Kepolisian Federal Australia dan Kepolisian Indonesia bekerja sama untuk membongkar sindikat penyelundupan narkoba Bali Nine dan menyelidiki Bom Bali 2002. Berfokus pada pengiriman misi ke Indonesia terkait dengan proyek-proyek pembangunan, dan memberikan kesempatan belajar dan pelatihan pada warga Indonesia untuk belajar di Australia.Tidak disebutkan mengai bantuan imbal balik dari Indonesia. Pada Januari 2005, PM Howard dan Presiden Yudhoyono mengumumkan pembentukan lembaga Kemitraan Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development/AIPRD) yang mana Australia akan menyumbang dana $1 miliar selama lima tahun untuk rekonstruksi dan pembangunan di Aceh dan di wilayah lainnya di Indonesia. Dana tersebut sekarang telah dialokasikan untuk beberapa proyek. Komitmen untuk mengurangi emisi bahan bakar (gas) dan efek rumah kaca (greenhouse). Rezim perdagangan emisi. Australia menandatangani tetapi tidak meratifikasi. Indonesia menandatangani dan meratifikasi. Australia ikut sebagai negara pihak. Ikrar untuk tidak saling menyerang berlaku bagi kedua negara. Kedua negara adalah anggota resmi East Asia Summit. Ditandatangani di Lombok (dikenal dengan Lombok Treaty), namun belum juga diberlakukan karena belum diratifikasi. Menetapkan soal mekanisme konsultasi bilateral. Lingkup kerjasamanya meliputi pertahanan, penegakan hukum, kontraterorisme, intelijen, keamanan laut, keamanan udara, penghentian senjata pemusnah massal, dan “kerjasama bilateral untuk pengembangan nuklir demi perdamaian”. Menekankan pada sikap saling menghormati untuk persoalan kedaulatan dan integritas teritorial.