PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI BURUH TERHADAP PARTAI POLITIK (Studi Kasus Persepsi Anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 )
Disusun Oleh : Novandi Kusuma Wardana D0209061
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
PERSEPSI BURUH TERHADAP PARTAI POLITIK (Studi Kasus Persepsi Buruh Anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga Terhadap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014)
Novandi Kusuma Wardana Nuryanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract th
The 4 Indonesian general election after Orde Baru will be held in April 2014. There are 15 political parties qualified join this election. Therefore, all the parties endeavour to make a good communication to persuade the political campaign object to be their voters. It is because the party which has the highest vote will become the winner of the general election. In contrast, the citizens lack information about parties is a serious problem for the parties. It can be seen that the numbers of ‘golput’ (abstainers) increases at every period of election. The number of ‘golput’ in Indonesian general election in 2009 attained 29.01% of listed voters by KPU. It is assumpted that most of voters did not believe with the parties and they were disappointed with them. Furthermore, labour is one of the social groups which has a large numbers of voters. Therefore, if the communication between labour and parties does not correspond, it means that political parties as the communicators fail to delivered their message – especially in terms of industrial decision. On the other hand, labour through Union Workers is not being involved in the process of making decision in parliament. Therefore, labour sees the phenomenon as lack of fairness. Moreover, one of the union workers which has the same problem is SPN in Salatiga, Central Java. Furthermore, this research is conducted to know about the perception of SPN Kota Salatiga members which have 2 different views of parties. This research is exploratory research by exploring the analyzed object to describe, identify, analyze with other sources (journals, articles, documents, papers, etc) in order to make the result become more valid. Hopefully, by knowing the labours perception, parties can make a better communication with union workers as the potential object of campaign. In addition, labour, through the union workers can build a better view about parties – how important is the engagement with parties, so that they try to not ignore them. Keyword: Labour, Election, Parties, Politics, Perception. 1
Pendahuluan Tahun 2014 menjadi tahun politik bagi Indonesia, karena akan terjadi pesta politik terbesar yaitu pemilihan umum. KPU telah merilis 15 partai politik (parpol) yang bersaing memperebutkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebagai komunikator parpol memiliki tugas untuk mampu memobilisasi khalayak untuk memberikan dukungannya (Cangara, 2009: 275). Maka dari itu strategi komunikasi yang jitu sebagai sebuah hal yang harus dipenuhi dalam upaya persuasi terhadap rakyat. Namun jika melihat pada Pemilihan Umum 2009 sebelumnya, partai politik telah gagal membangun sebuah jalinan komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan parpol. Elit politik gagal dalam menyampaikan pesan politik dan mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapi bangsa. Alih-alih menggunakan berbagai media dengan budget yang mahal, strategi komunikasi yang ada justru minim pesan karena anggota parpol sendiri justru terjebak dalam persaingan dan pertikaian antar parpol daripada berusaha untuk mencari jalan keluar bagi persoalan bangsa. Kajian yang dilakukan oleh Dwi Tiyanto, Pawito, Pamela Nilan, dan Sri Hastjarjo di Surakarta menjelang pemilihan umum legislatif 2009, misalnya, menemukan kenyataan bahwa masyarakat pada dasarnya merasa kecewa atau tidak puas terhadap kinerja partai politik dan kinerja elit politik. Ketidakpuasan yang berkembang dalam masyarakat berkaitan dengan kinerja partai politik terutama berkenaan dengan terbengkalainya sejumlah fungsi penting partai politik seperti fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, rekruitmen kepemimpinan, dan fungsi sosial (Pawito, 2012: 12). Ketidakpuasan pun berkembang disalah satu kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan masa yang sangat besar, yaitu kelompok buruh. Kegagalan parpol sebagai komunikator menyebabkan tingkat kepercayaan buruh semakin turun. Hasil survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bertajuk “Orientasi Politik Buruh dalam Pemilu Legislatif 2009” menunjukkan, mayoritas buruh tidak mengetahui keberadaan partai politik, mayoritas buruh tidak memiliki pengetahuan yang cukup
2
baik terkait visi, misi dan program (platform) partai politik, dan mayoritas buruh masih menghendaki SB tidak terlibat dalam urusan politik praktis (Launa, 2011: 11). Keberadaan hasil Konvensi International Labour Organization (ILO) No.87 seharusnya menjadi angin segar bagi serikat buruh untuk meningkatkan kesolidan serikat pekerja dan memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap partai politik, justru sebaliknya keberadaan hasil konvensi tersebut tidak begitu terasa di Indonesia karena anggota dari serikat pekerja sendiri juga telah memiliki sikap politiknya sendiri. Memilih menjadi anggota/simpatisan partai, anggota lain memilih untuk tetap sebagai pengurus serikat pekerja tanpa harus menjadi anggota partai, bahkan sikap ekstrim lain ditunjukan oleh sejumlah anggota serikat pekerja untuk memilih sikap apolitis terhadap partai. Pun demikian dengan SPN Kota Salatiga, salah satu serikat pekerja dimana anggotanya memiliki jalan politik yang terpecah. Partai politik memiliki andil untuk bertanggung jawab dalam kejadian ini. Keberadaan parpol yang seharusnya sebagai komunikator politik belum dikatakan berhasil jika melihat produk kebijkan industrial yang saat yang belum memperbaiki kesejahtaraan buruh. Tidak terlibatkan anggota buruh dalam upaya
perumusan kebijakan
menjadikan salah satu
contoh
ketidakberhasilan jalinan komunikasi yang diciptakan antara parpol – pengusaha – dan buruh. Padahal jika diamati jalinan komunikasi yang efektif antara buruh dan parpol mampu memberikan keuntungan bagi parpol yang mampu menciptakan significant voters yang bermanfaat untuk partai (Hofmeister & Grabow, 2011: 13). Melihat fenomena tersebut , upaya menciptakan komunikasi yang efektif antara parpol dan buruh perlu dilakukan secara holistik. Melihat seluruh level komunikasi yang diutaran Laswell yaitu dari sisi komunikator, media, komunikan, pesan, dan dampak yang ditimbulkan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengeksplorasi bagaimana persepsi (penafsiran) buruh anggota SPN Kota Salatiga terhadap parpol peserta Pemilu 2014. Buruh sendiri merupakan komunikan dalam komunikasi politik yang dilakukan dengan parpol. Sebagai komunikator, dengan diketahuinya persepsi dari buruh setidaknya parpol dapat merumuskan komunikasi yang lebih efektif 3
terhadap kelompok buruh – melihat bahwa kelompok buruh merupakan objek pemenangan yang signifikan. Namun persepsi bersifat individu, artinya penafsiran satu buruh dengan yang lain berbeda karena latar belakan hal yang berbeda. Maka dari itu eksplorasi data dilakukan peneliti terhadap buruh yang memangku kepentingan (gatekepeer) dalam tubuh SPN Kota Salatiga sebagai representasi dari anggota serikat Pekerja.
Rumusan Masalah Bagaimanakah persepsi anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap Partai Politik peserta Pemilihan Umum 2014?
Tujuan Mengetahui persepsi anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap Partai Politik peserta Pemilihan Umum 2014.
Tinjauan Pustaka 1.
Persepsi Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita.
Persepsi merupakan inti
komunikasi, sedangkan penafsiran (intepretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2000: 167). Davidof (1981) mengeemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antar individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut 4
memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual (Walgito, 2003: 45). 2.
Partai Politik Carl J. Friedrich mendefinisikan tentang partai politik sebagai “sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mepertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun kelas materiil.” (Budiarjo, 1982: 161) Perlu diterangkan bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan merupakan kelompok-kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan fundamentil sifatnya, dan kad ang-kadang malahan bersifat ideologi (Budiarjo, 1982: 162)
3.
Buruh Pekerja/buruh menurut pengertian dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Sholihin, 2009). Dalam penelitian ini buruh merupakan partisipan politik yang dijadikan objek penelitian. Jika diamati khususnya di Indonesia, partisipasi buruh dalam berpolitik memiliki beragam cara yaitu: pertama buruh terlibat aktif didalam parpol, kedua buruh menjadi pengawas (watchdog) terhadap parpol, ketiga sikap apolitis dengan acuh dan tidak mau tau segala sesuatu tentang politik.
Metode Penelitian Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam (indeepth interview) sebagai instrumen pengumpulan data primer, kemudian hasil dari temuan data 5
disajikan secara deskriptif berdasarkan kategorisasi yang sebelumnya telah dibuat peneliti. Sebagai upaya memperkuat validitas data, hasil temuan dianalisis dengan menggunakan triangulasi sumber – yaitu dengan membandingkan dengan literatur lain (buku, jurnal, artikel, koran, laporan riset, dsb.) Pemilihan informan (sample) sebagai sumber data penelitian menggunakan teknik purposive sampling karena pada hakikatnya informan yang dipilih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang cenderung bersifat “bias kaya informasi” karena informasi (data) pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang diyakini memang mengetahui persoalan yang diteliti (Pawito, 2007: 88). Pemilihan informan dilakukan peneliti pada awalnya dengan melakukan beberapa kali observasi secara langsung ke organisasi, kemudian peneliti melakukan wawancara pengurus inti SPN Kota Salatiga dan dari situ peneliti diberikan gambaran sejumlah anggota yang memiliki kapabilitas sebagai informan. Terdapat 9 informan pengurus SPN (stakehooder) yang dipilih peneliti sebagai narasumber, 6 informan anggota SPN non-parpol dan 3 informan anggota parpol. Pertama sebelum melakukan pengumpulan data dilapangan, peneliti menyusun kategorisasi tema yang dituangkan dalam pertanyaan pada interview guide. Setelah melakukan kategorisasi tema proses pengumpulan menggunakan teknik wawancara mendalam berlangsung, pertanyaan bersifat terbuka dan memberikan kebebesan untuk informan untuk menjawab, dan kebebasan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan lebih mendalam dari catatan pada interview guide. Data yang kemudian terkmumpul kemudian dianalisis menggunkan Model Interaktif Miles dan Haberman yang melalui empat tahapan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan tahapan keempat adalah tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (Herdiansyah, 2010: 10)
6
Sajian dan Analisis Data Komunikasi antara parpol dengan buruh menciptakan penafsiran yang berbeda diantara anggota SPN Kota Salatiga dalam memaknai partai politik. Perbedaan pemahaman tersebut menimbulkan perbedaan dalam pengambilan sikap politik. Buruh didalam tubuh SPN sendiri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu para anggota yang menolak untuk terlibat sebagai anggota partai dan anggota serikat pekerja yang memilih menjadi anggota parpol. Perbedaan pandangan (penafsiran) tersebut menjadi aspek yang akan digali peneliti, bagaimana persepsi buruh non-parpol dan buruh anggota parpol terhadap partai politik peserta pemilihan umum 2014. Komunikasi yang dilakukan buruh dan parpol dilakukan melalui beragam cara yaitu melalui diskusi politik, penetapan kebijakan industrial yang harus dilakukan secara tripartid, dan aksi-aksi demonstrasi buruh. Pandangan dari buruh dikaterogisasikan peneliti kedalam dua tema, pertama adalah pengetahuan secara umum tentang partai politik meliputi definsi, fungsi, janji partai, dan media. Kedua adalah pandangan mengenai hubungan khsusnya antara parpol dan buruh. 1.
Pandangan Buruh terhadap Partai Politik Partai Politik dipandang sebagai lembaga yang mewakili masyarakat untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat dan kemudian disalurkan ke lembaga eksekutif dan legislatif. Hal tersebut diutarakan oleh Ibnu Mas’ud dalam pemaparannya: “Partai politik ya lembaga mewakili masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dalam memilih wakil atau pimpinan baik di kota, provinsi, dan pusat. Baik itu nanti berkaitan dengan legislatif maupun eksekutif.” (Wawancara responden 7, Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga) Pandangan lain juga dikemukanan oleh Nurgoho Riyanto, politisi partai PDI Perjuangan yang juga merupkan buruh anggota SPN.
7
“Partai politik adalah lembaga yang mengumpulkan aspirasi dari masyarakat, lalu kemudian aspirasi masyarakat tersebut dirumuskan dalam tujuan dan diperjuangkan.” (Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga). Pandangan kedua informan tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Klaus Jurgen Hedrich (2002) yang dikutip oleh Amanda L.Hoffman yang menyatakan bahwa: ‘[T]hey (Parties) are agents and conductors of political power, mediating between government and society. They also articulate the political interests of society, which are later translated into state policies and aims. (Hoffman, 2005: 231) 2.
Pandangan Buruh terhadap Fungsi Partai Politik Selain sebagai sarana pengumpul dan penyalur aspirasi masyarakat, partai politik
juga merupakan organisasi yang memiliki fungsi sebagai legislator (pembuat kebijakan) dan fungsi kontrol sebagai pengawas jalannya kebijakan oleh eksekutif. Tega Jatmika memaparkan bahwa: ”....khususnya adalah legislatif dimana disana parpol itulah yang akan berperan didalam lembaga legislatif, mana salah satu fungsi legislatif, fungsi pokok legislatif adalah membuat suatu legislasi atau perundangundangan yang itu harus dijalankan suatu negara......sekaligus adalah fungsi kontrol untuk eksekutif lainnya, sehingga sebenarnya keberadaan partai politik ini adalah salah satu yang sangat penting bagi suatu negara.” (Wawancara responden 2, Tega Jatmika, Ketua SPN Kota Salatiga, 26 Oktober 2013, Salatiga) Fungsi parpol dengan memberikan peranan ke pemerintah juga dipaparkan oleh Pujo Asril yang mengatakan: “Fungsi pokok Partai Politik ini adalah dia bagaimana tujuannya adalah menurut saya adalah bagaimana mereka ini mementingkan peranan mereka di pemerintahan itu bisa berkuasa didalam arti berkuasanya sendiri tidak secara makro, atau secara besar.”(Wawancara responden 4, Pujo Asril, Wakil Ketua DPP SPN Jateng, 3 November 2013, Salatiga). Pemaparan Tega Jatmika dan Pujo Asril diperkuat oleh pernyataan yang dikutip dari Johnston (2005) yang menyatakan bahwa partai tidak hanya memenangi 8
pemilihan umum, namun lebih dari itu partai juga berkewajiban untuk memobilisasi gerakan sosial untuk menegakkan demokrasi; dan secara esensial melakukan negoisasi yang berimbang diantara berbagai pihak di pemerintahan. 3.
Disfungsi Partai Politik Dalam praktiknya partai melakukan disfungsi, atau tidak berjalannya fungsi
partai secara normatif yang justru cenderung ke praktik-praktik yang tidak relevan dilakukan sebuah parpol. Misalnya fungsi rekruitmen parpol yang seharusnya digunakan untuk menjaring masyarakat yang memiliki kemampuan politik yang potensial kemudian dijadikan anggota partai. Namun yang terjadi justru sebaliknya, yaitu perekrutan preman sebagai anggota parpol seperti yang dipaparkan oleh Sumanto: “Kan di masa sekarang kan banyak orang-orang yang dimanfaatkan partai itu untuk pemengangan, misalnya partai ini merekrut preman karena istilahnya preman pada waktu seperti ini mereka akan memanfaatkan parpol .......” (Wawancara responden 6, Sumanto, Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga) Pandangan dari Sumanto juga diperkuat dengan pernyataan Sholihin (2009) dalam thesisnya yang berjudul “Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada Langsung Di Kabupaten Kudus” yang mengatakan bahwa: Di samping tim sukses yang benar-benar profesional banyak pula “tim sukses jadi-jadian”, perorangan atau kelompok orang mendatangi kandidat. Mereka mengaku punya akses sangat kuat terhadap sejumlah tokoh panutan, melalui tokoh itu tim sukses meyakinkan kandidat, ia akan mampu mengumpulkan sekian ribu suara, karena kandidat yang tengah butuh dukungan, tanpa berfikir panjang, menyambut hangat “bualan manajer tim sukses itu”. 4.
Janji Partai Politik Jika menilik kampanye parpol, janji merupakan sebuah hal yang selalu hadir
dalam proses penyampaian pesan antara parpol dengan khalayak. Hofmeister &
9
Grabow (2011) menyebutnya sebagai “Merchandise” yang diberikan kepada para pemberi suara. Buruh memandang beberapa janji yang selalu dijadikan andalan parpol dalam kampanye, salah satunya adalah janji memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal tersebut dipaparkan oleh Muh. Kholidin: “Janji partai yang paling diingat ya paling-paling ya ingin memperjuangkan kepentingan rakyat, ya kira-kira seperti itu.”(Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Ari Nugroho, politisi PAN yang juga pengurus SPN Kota Salatiga, yang mengatakan bahwa: “Janji secara umum ya mensejahteraakan masyarakat pasti dengan perubahan, dengan kata perubahan karena image masyarakat begitu melihat proses pemerintahan yang telah berjalan dan melihat lebih banyak kekurangannya” ”(Wawancara responden 5, Ari Nugroho, Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Jika diamati pemberian janji oleh parpol kepada masyarakat merupakan sebuah kewajaran. Namun melihat sistem kepartaian Indonesia yang berasaskan pada multipartai, proses realisasi janji menjadi rumit karena antar parpol berusaha untuk membuktikan janji yang sebelumnya saat kampanye disampaikan. Proses pembuktian menjadi persaingan dan tawar-menawar antar partai karena sistem keanggotan legislatif yang representatif. Gagalnya pembuktian janji oleh anggota legislatif diakibatkan karena hasil yang “deadlock” dan gagal untuk menciptakan kebijakan. (Hoffman, 2005: 233). 5.
Disorientasi Janji Parpol Janji terucap namun praktik terealisasi, begitulah pandangan sejumlah informan
yang memandang parpol tidak dapat menepati janji yang disampaikan saat kampanye. Salah satunya dipaparkan oleh Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa: “Misalnya janji memberantas korupsi tapi korupsinya subur, janji meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi yang sejahtera pengurusnya, ee.. pengurus elit politik kan seperti itu.”(Wawancara 10
responden 7, Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga) Juga Tega Jatmika Ketua DPC SPN Kota Salatiga pun menanggapi janji yang diberikan parpol dengan sinis akibat terlalu seringnya janji yang diberikan namun tidak terealisasi. “Banyak ya... contohnya bahwa ini adalah demi rakyat, untuk bangsa, kesehatan gratis, pendidikan gratis, sering to?” (Wawancara responden 2, Tega Jatmika, Ketua SPN Kota Salatiga, 26 Oktober 2013, Salatiga) Zainudin sebagai koordinator aksi sejumlah serikat buruh saat berunjukrasa didepan kantor Gubernur Jateng memiliki keseamaan pandangan dengan informan, yang menganggap bahwa Ganjar (politisi PDIP) yang sebelumnya berjanji akan mensejahterakan buruh, namun ternyata justru menyengsarakan buruh (Insetyono, 2013: 3). 6.
Persaingan Parpol di Pemilu 2014 Schattscheneider mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang
berbasis persaingan antar partai politik dan pemilihlah yang menentukan, sebagai pihak yang berada diluar sistem dan organisasi partai
(Firmanzah, 2010: 584).
Sejumlah informan memandang bahwa persaingan antar parpol akan berlangsung akan berlangsung ketat, seperti yang dipaparkan oleh Sumanto: “Kalau persaingannya tentunya cukup ketat, tinggal partai mana yanag bisa mengambil hati dari rakyat seperti itu. Mengambil hati rakyat pun perlu bukti mas, bukan janji perlu bukti.” (Wawancara responden 6, Sumanto, Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga) Namun ketatnya persaingan tersebut dianggap tidak akan memberikan perubahan yang signifikan karena mayoritas kontestan yang akan bersaingan merupakan pemain pada pemilu sebelumnya dimana pada pemilu sebelumnya angka kepercayaan publik yang dilihat dari jumlah golongan putih (golput) mencapai
11
29,01%. Pandangan tersebut disampaikan oleh Subur rahayu yang mengatakan bahwa: “Kalau pemilu 2014 itu saya kira masih sama saja dengan tahun ini (sebelumnya), karena seseorang yang menjadi tampuk pimpinan di negara ini yang masih menjadi milik satu partai dan yang lainnya ratarata akan digerogoti oleh partainya sendiri.”(Wawancara responden 1, Subur Rahayu, Sekretaris SPN Kota Salatiga, 17 Oktober 2013, Salatiga) Pemaparan Subur Rahayu diperkuat oleh hasil dari pengamatan Litbang Kompas, dapat diketahui bahwa mayoritas partai akan mengisi wajah lama di dunia perpolitikan nasional. Lebih dari 80% diisi oleh anggota legislatif 2009 lalu, sisanya adalah diisi oleh politisi baru. Salah satu contoh misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Semua anggota Fraksi PKS berjumlah 57 orang atau 100 persen kembali mencalonkan diri (Yossihara & Damardono, 2013: 52). 7.
Kampanye Parpol BPS pada 2013 membuat laporan bahwa dengan penetrasi mencapai 98 persen,
TV akan menjadi kanal paling penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta pemilih pada pemilu 2014. Sehingga parpol dengan kedekatan pada stasiun TV tertentu sudah pasti akan memanfaatkannya untuk kepentingan meraup suara (Nugroho, 2013: 58). Sejumlah informan memandang bahwa penggunaan TV masih akan menjadi media yang paling efektif pada kampanye 2014 nanti, seperti pemaparan Muh. Kholidin: Paling efektif menurut kami untuk kampanye partai melalui media elektronik.” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Sumanto menekankan pada sisi konten kampanye parpol yang harus diperbaiki. Menurut Sumanto mengumbar janji saat berkampanye merupakan bumerang bagi parpol yang justru akan menjadi titik lemah parpol karena tidak dapat membuktikan janjinya.
12
Sebetulnya tidak usah ditaruh situ, sepertinya itu bumerang lho mas sebenarnya bagi mereka. Ketika mereka jadi dan mreka jauh, akan banyak memeprtanyakan, jare cedak karo wong cilik, kata-katamu besar itu ndak bisa dibuktikan lebih baik dipendam dalam hati,......” (Wawancara responden 6, Sumanto, Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga) Anggota PDIP yang juga menjadi pengurus SPN Kota Salatiga Nurgroho Riyanto menuturkan bahwa mengakui TV yang masih menjadi sarana efektif dalam menyampaikan kampanye, namun dia juga menilai kampanye dengan cara langsung (blusukan) ke masyarakat dianggap lebih menciptakan kedekatan antara masyarakat dengan tokoh parpol. “....karena dengan blusukan sendiri tokoh yang diusung parpol itu bisa langsung bertemu dengan masyarakat, bisa tahu keluh kesahnya, dan juga blusukan itu kan membuat dekat antara tokoh parpol dengan masyarakat.”(Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Ketua Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga) 8.
Persepsi terhadap Hubungan antara Parpol dan Buruh Jika melihat pada tatacara pembuatan kebijakan ketenagakerjaan yang
mendasarkan pada aturan tripartid yaitu pelibatan ketiga pihak antara serikat pekerja, pemerintah sebagai pemangku kekuasaan, dan pengusaha – hubungan antara parpol dan serikat pekerja berada posisi yang strategis. Keduanya berada pada hubungan tawar menawar, hubungan industrial yang saling terikait, artinya meskipun buruh memilih sikap apolitis terhadap parpol namun bagaimanapun hubungan keduanya tidak dapat berjalan sendiri. Hubungan sinergis antara parpol dan serikat pekerja diutarakan oleh Joko Pitoyo dalam pemaparannya: “....sebetulnya juga singergis, sekarang ini pun sebetulnya juga buruh ini banyak yang istilahnya mendaftarkan diri sebagai legislatif, ya harapannya kalau mereka bisa diusung di legislatif ya harapannya untuk perjuangan buruh juga,..”(Wawancara responden 8, Joko Pitoyo, Wakil Ketua PSP PK. Mulyo SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
13
Namun disisi lain hubungan sinergis antara parpol tidak terjalin dengan baik. Ketidakterlibatan pihak buruh dalam setiap proses komunikasi politik dalam rangka penetapan kebijakan industrial menyebabkan hasil kebijakan dipandang berat sebelah oleh kelompok buruh. Ketidakberadaan buruh dalam penetapan kebijakan disampaikan oleh Nugroho Riyanto: “Jadi misalnya pembuatan kebijakan partai seperti kebijakan tentang upah, lalu kebijakan yang berhubungan dengan ketenaga kerjaan buruh tidak pernah dilibatkan, makanya kadang kebijakannya berat sebelah” (Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Ketua Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga) Ketidak hadiran buruh di parlemen yang notabene memiliki masa yang cukup banyak dianggap sebagai sebuah kesengajaan, Nugroho Riyanto Memaparkan bahwa: “....ya harusnya itu buruh punya wakil di dewan sana supaya dapat memperjuangkan permusan kebijakan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Tapi sampai saat ni nggak ada, tapi juga saya sangsi sebenarya sepertinya memang buruh sendiri dikondisikan agar terpecah menjadi banyak kepentingan supaya tidak ada yang bisa masuk ke dewan sana.” (Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Ketua Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga) Ketidakhadiran buruh dalam seitiap pengambilan kebijakan yang tidak memberikan perbaikan kesejahteraan kepada kelompok buruh dalam waktu yang panjang menciptakan degradasi kepercayaan terhadap parpol yang pada akhirnya berujung pada pilihan sikap apolitis. Sejumlah informan memandang bahwa parpol tidak memiliki kuasa dan kemampuan untuk menyelesaikan permasalah di kesejahteraan di kalangan buruh. Ibnu Mas’ud memaparkan: “Nggak bakal selesai no kalau masalah UMK diserahkan parpol, ndak ada yang bisa, kebanyakan orang parpol ndak paham dengan permasalahan, ndak paham dengan undang-undangnya, ndak paham dengan apa ya ini kebanyakan mereka ndak tau akar masalahnya nggak tau undang-undang juga ndak tau..” (Wawancara responden 7, Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota Salatiga, 10 November 2013, Salatiga)
14
Sikap tersebut menjadi sebuah kewajaran jika dikorelasikan dengan pernyataan Muh. Kholidin yang menyatakan bahwa perjuangan buruh tidak pernah bersinergi dengan parpol, memilih berjalan sendiri. “....karena ketidak percayaannya terhadap partai politik sehingga buruh perjuangannya ya seperti saat ini, masih berjuang sendirisendiri. Karena janji dari partai politik juga sama saja sih.....” buruh” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Dari temuan data dapat diamati bahwa hubungan antara parpol dengan serikat pekerja dalam kasus di tubuh SPN Kota Salatiga tidak berjalan dengan baik. Keberhasilan proses komunikasi yang dapat diukur dari kemampuan pemahaman dari komunikan tidak berjalan dengan baik. Buruh sebagai komunikan tidak berhasil menerima pesan yang dikirimkan oleh parpol sehingga seperti apa yang dikatakan oleh Muh. Kholidin yaitu buruh memilih perjuangan secara individu tanpa harus melibatkan partai politik. Ketidakhadiran parpol dalam upaya penyelesaian permasalahan buruh dipandang sejumlah informan sebagai tidak mampunya parpol menangani isu-isu ketenagakerjaan seperti penetapan UMK, sistem kerja kontrak, dsb. Rumongso (2013) dalam tulisannya di kolom opini Solopos yang berjudul “1001 Wajah Hiperbolis Caleg” mengatakan bahwa kaum buruh juga tidak disentuh secara personal di kantong-kantong buruh. disilain parpol yang berada pada lembaga eksekutif tidak mendengarkan masukan buruh dan hanya mestempel rekomendasi usulan UMK dari bupati/walikota (Insetyonoto, 2013: 3). Rendahnya tingkat kepercayaan buruh terhadap parpol menjadi sebuah polemik. Ketidakhadiran sosok parpol sebagai problem solver membuat sejumlah buruh SPN Kota Salatiga tidak memiliki sosok partai yang ideal menjelang Pemilu 2014 mendatang. Meski sebelumnya SPN sendiri pernah menjajaki kerjasama dengan parpol (PKS) pada Pemilu 2009 lalu, namun upaya tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap organisasi itu sendiri. Kholidin: 15
seperti penuturan dari Muh.
“Itu kerjasama nasional, dulu pernah tapi gagal artinya tidak ada satupun dari SPN yang lolos menjadi anggota dewan dari PKS, karena terjadi miss komunikasi antara MOU yang ada di pusat dan daerah tidak nyambung, dipusat ngomong begini-begini, tapi didaerah tidak.” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Gagalnya usaha kerjasama politik SPN dengan parpol bukan tanpa sebab. Kegagalan kerjasama dengan PKS merupakan salah satu bentuk, dimana visi anggota dalam berorganisasi mulai pecah. Ketidakhadiran parpol untuk menuntaskan permasalahan ketenagakerjaan karena partai lebih sibuk terjebak dengan persaingan antar parpol sehingga abai dengan komunikasi yang seharusnya terjalin dengan kontinu dan tanggungjawab parpol pemegang amanat kekuasaan pun terbengkalai. Maka menjadi sebuah kewajaran jika buruh memilih jalan politiknya untuk ikut bergabung ke berbagai partai yang dapat memberikan keuntungan “pribadi”, bukan keuntungan serikat pekerja. Buruh SPN yang juga anggota PDIP Nugroho Riyanto menuturkan bahwa setidaknya saat ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan partai yang cukup ideal dipilih untuk buruh. paparan dari Nugroho pun juga diperkuat oleh pemaparan dari Ari Nugroho yang juga merupakan politisi PAN. “Saya melihat yang ideal saat ini PDIP, bukan karena saya sekarang senang dengan PDIP, kalau saya lihat saat ini gerakan mesin partainya berjalan dengan baik....” (Wawancara responden 5, Ari Nugroho, Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga) Pandangan kedua informan diperkuat oleh pernyataaan Juliari P. Batubara politisi partai PDIP saat Rakernas, PDIP sudah menyepakati untuk memperjuangkan upah buruh hingga ke ukuran layak dan menolak upah murah karena akan banyak pihak juga rugi kalau sampai buruh mogok terus-terusan, karena akan mengganggu stabilitas ekonomi (Haryono, 2013). Peneliti melihat beragamnya pilihan politik buruh didalam satu atap organisasi menjadi sebuah kewajaran jika menilik latar belakang hubungan serikat pekerja
16
dengan parpol yang tidak terjalin denagn baik. Upaya komunikasi yang efektif belum tercipta namun perlu diupayakan melihat kedua pihak berada pada posisi strategis, pilihan apolitis menambah permasalah baru bagi parpol karena sejatinya keberhasilan sebuah demokrasi dilihat dari jumlah partisipasi masyarakat didalamnya, sayang parpol hingga saat ini belum benar-benar menjadikan serikat buruh yang memiliki basis masa yang sangat besar sebagai potential voters.
Kesimpulan Dari Hasil analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa kesimpulan dari persepsi buruh SPN Kota Salatiga terhadap parpol peserta Pemilu 2014, yaitu: 1. Buruh memandang bahwa fungsi pokok dari partai politik adalah sebagai lembaga yang mampu mengumpulkan dan menyalurkan aspirasi rakyat. Yang kemudian dari aspirasi rakyat tersebut parpol yang berada pada posisi eksekutif maupun legislatif mampu menciptakan kebijakan yang dapat menyelesaikan permasalahan publik. 2. Parpol memiliki peranan penting sebagai lembaga yang memiliki kewenangan sebagai pembuat kebijakan dan memainkan peranan dalam roda pemerintahan sebagai eksekutif (pelaksana kebijakan). Parpol juga memiliki fungsi rekruitmen, yaitu proses melalu mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dalam praktiknya fungsi rekruitmen mengalami disfungsi, pelibatan anggota masyarakat belum sesuai harapan. Anggota masyarakat yang direkrut justru merupakan anggota “jadi-jadian” – yang artinya kelompok masyarakat (contoh: preman) yang dilibatkan dalam parpol namun justru hanya mengeruk sumber daya parpol, mengaku memiliki basis masa dan kemampuan politik yang mumpuni namun kenyataannya tidak.
17
3. Dalam periode kampanye, parpol seringkali (atau selalu) mengutarakan janji yang akan direalisasikan saat sukses memenangi pemilu. Janji-janji seperti berusaha mensejahterakan rakyat, berjuang demi rakyat, pendidikan gratis, hingga kesehatan gratis menjadi sebuah trend yang diandalkan oleh para kontestan. Namun jika melihat kenyataannya pernyataan janji justru menjadi blunder jika melihat pada pemilu 2009 lalu dimana angka non-partisipasi warga mencapai sepertiga dari seluruh pemilik hak suara. Keberadaan parpol setelah menduduki kursi legislatif justru tidak dimanfaatkan dengan baik – sebaliknya banyak anggota parpol yang berdalih berjuang dengan rakyat namun justru berusaha mencari keuntungan material untuk golongannya dan tersandung kasus-kasus hukum seperti tindak pidana korupsi. 4. Penggunaan TV masih dianggap sebagai media penyampai pesan yang paling efektif karena sifatnya yang mampu menjangkau masyarakat luas, meskipun budget yang harus dikeluarkan sangat besar. TV sendiri memilik tingkat penetrasi mencapai 98 persen, tingkat penetrasinya yang tinggi dan dianggap sebagai upaya persuasif yang terbaik maka TV akan menjadi kanal paling penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta pemilih pada pemilu 2014. Selain itu parpol disuguhi dengan model kampanye personal yang dikenal dengan istilah “blusukan”. Kampanye secara blusukan merupakan salah satu media kampanye yang cukup efektif karena lebih mampu menciptakan kedekatan antara khalayak dengan parpol. 5. Parpol dan serikat pekerja memiliki hubungan industrial yang sangat strategis. Dengan adanya aturan bipartit kebijakan harus dilakukan dengan melibatkan tiga pihak yaitu pengusaha, parpol yang berada di legislatif, dan serikat pekerja. Namun posisi strategis ini belum dapat menciptakan jalinan komunikasi yang efektif antara parpol dan buruh. ketidakhadiran buruh di parlemen misalnya menyebabkan posisi tawar buruh semakin berat, yang akhirnya pada kebijakan ketenagakerjaan yang tidak sesuai harapan buruh. Kondisi tersebut terus berlangsung yang kemudian tercipta ketidakpercayaan 18
buruh terhadap parpol yang akhirnya memandang parpol bukanlah kelompok yang mampu menyelesaikan permasalahan dibidang ketenagakerjaan. Buruh memilih untuk berjalan sendiri, memperbaiki kesejahteraan kelompok buruh tanpa melibatkan partai politik.
Saran Persepsi buruh dilatarbelakangi oleh faktor eksternal yang salahsatunya dalam konteks ini adalah partai politik. Tingginya tingkat disfungsi partai politik dan tidak terealisasikan janji yang dikemukakan oleh parpol menyebabkan tingkat kepercayaan buruh terhadap parpol terus menurun. Rendahnya tingkat kepercayaan buruh terhadap parpol menciptakan sikap skeptisme yang berujung pada sikap apolitis yang enggan terlibat dalam segala urusan parpol – padahal posisi antara parpol dan serikat pekerja sangat strategis. Maka dari itu parpol perlu menciptakan positioning ulang image yang telah tercipta di benak khalayak, khsusnya terhadap kelompok buruh. Parpol perlu menciptakan komunikasi yang lebih efektif terhadap kelompok buruh, terciptanya hubungan yang harmonis antara keduanya dapat dipandang sebagai upaya parpol menciptakan potential voters dikalangan buruh – dimana memiliki jumlah masa yang sangat besar. Komunikasi yang dijalin parpol melalui kampanye atau dengan cara lain perlu mempertimbangkan pemilihan media. Meskipun penggunaan media TV dianggap masih paling efektif dimana tingginya tingkat penetrasi dan jangkauan khalayak, namun perlu dipikirkan ulang untuk mencoba mengkolaborasikan dengan model kampanye “blusukan” yang lebih memiliki sifat lebih personal dan mampu menciptakan kedekatan dengan masyarakat. Juga partai perlu mempertimbangkan penyampaian janji saat kamapanye, partai perlu mengukur kemampuan, melihat benar-benar hasil artikulasi dan secara jeli menyeleksi kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan yang nantinya dikemas dalam janji politik sehingga tidak menimbulkan blunder parpol, dimana tidak dapat membuktikan janji yang diberikan. 19
Buruh SPN Kota Salatiga perlu merapatkan barisan, beragam pilihan berpolitik yang diambil buruh anggota SPN Kota Salatiga perlu disatukan dalam satu visi. Dengan penyeragaman pandangan buruh diharapkan mampu menciptakan gerakan politik yang kuat dan kompak sehingga posisi tawar buruh semakin kuat meskipun saat ini belum berkesempatan untuk menempatkan perwakilan buruh di kursi legislatif.
Daftar Pustaka Budiarjo, M. (1982). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia. Cangara, H. (2009). KOMUNIKASI POLITIK : Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Hofmeister, W., & Grabow, K. (2011). Political Parties : Function and Organisation in Democratic societis. Singapore: Konrad Adenauer Stiftung. Mulyana, D. (2000). ILMU KOMUNIKASI : Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pawito. (2012). Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 2009 dan Media Massa : Jalan menuju Peningkatan Kualitas Demokrasi. Surakarta: UNS Press. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT.LKis Pelangi. Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: PT. Andi. Hoffman, A. L. (2005). Political parties, electoral systems and democracy: A croosnational analysis. European Journal of Research , 231. Launa. (2011). BURUH & POLITIK : Tantangan dan Peluang Buruh Indonesia Pasca Demokrasi. Journal Sosial Demokrasi Vol.10 . Sholihin, M. (2009). Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada Langsung Di Kabupaten Kudus. Semarang: Universitas Diponegoro. Insetyonoto. (2013). Buruh Tuding Gubernur Ngapusi. Solo: Harian Solopos Edisi 20 November 2013. Yossihara, A., & Damardono, H. (2013). Wajah Lama di Periode Baru. Jakarta: Harian Kompas Edisi 25 Oktober 2013. Nugroho, Y. (2013). Media, Kuasa, dan "Res Republica. Jakarta: Harian Kompas Edisi 25 November 2013. Rumongso. (2013). 1.001 Wajah Hiperbolis Caleg. Solo: Harian Solopos Edisi 20 November 2013. Haryono, Y. (2013, November 25). Upah Buruh, PDIP Dukung Beleid Gubernur Jateng. Diakses pada 3 Desember 2013, dari Krjogja.com 20