Persepsi partai politik terhadap iklan politik (studi dekriptif kualitatif tentang persepsi pengurus dewan pimpinan cabang partai demokrat, partai golkar dan partai demokrasi indonesia perjuangan kota surakarta terhadap iklan politik pasangan calon presiden susilo bambang yudhoyono dan calon Wakil Presiden Boediono versi indomie pada pemilu 2009 di televisi)
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Oleh : Yudha Yogi Prabawa D.0203149
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui/dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 20 Januari 2010 Pembimbing,
Drs. Mursito, BM. SU NIP. 19530727 198009 1 001
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari
:
Tanggal
:
Panitia Ujian Skripsi : 1. Ketua
: Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA NIP. 194904281979031001
(
)
2. Sekretaris
: Nora Nailul A, S.Sos, M.LMEd,Hons. NIP. 198104292005012002
(
)
3. Penguji
: Drs Mursito, BM, SU NIP. 195307271980031001
(
)
Mengetahui, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Dekan,
Drs Supriyadi SN, SU NIP.19601009 198601 1001
MOTTO
Surodiro jayaningrat Lebur dening pangastuti
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan Untuk ibu Yang selalu sabar dan terus berdoa Yudhanya selesai kuliah
KATA PENGANTAR
Segala ketundukan dan pengabdian tertinggi hanya kepada Alloh SWT. Saya bersyukur kepada-Nya karena masih diberikan berbagai nikmat. Salah satu wujud nikmat yang diberikan pada saya adalah selesainya penyusunan skripsi ini. Saya sangat berharap mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang menghendaki kebenaran. Dalam proses penyusunan ini saya telah dibantu oleh beberapa orang dan lembaga. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini. Pihak-pihak tersebut antara lain : 1. Drs. Supriyadi SN, SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph. D, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret 3. Drs. Mursito BM, SU, selaku dosen pembimbing yang telah membantu mengarahkan peneliti pada logika keilmuan, kaedah penelitian dan kaedah penulisan ilmiah. 4. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 5. Pengurus DPC Partai Demokrat Kota Surakarta, DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Surakarta, DPD Partai Golkar Kota Surakarta yang telah bersedia menjadi responden dan terima kasih telah diijinkan mengakses beberapa data partai. 6. Seluruh rekan-rekan Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 7. Seluruh pihak baik individu dan instansi yang belum disebutkan, terima kasih sudah membantu selesainya penyusunan skripsi ini.
Surakarta, 18 Januari 2010 Penulis,
Yudha Yogi Prabawa
DAFTAR ISI
Halaman judul ........................................................................................................... i Lembar persetujuan ...................................................................................................ii Lembar pengesahan ...................................................................................................iii Motto..........................................................................................................................iv Kata pengantar ...........................................................................................................v Persembahan .............................................................................................................vii Daftar isi ...................................................................................................................viii Abstrak ......................................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1 B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................11 C. TUJUAN PENELITIAN................................................................................11 D. MANFAAT PENELITIAN ...........................................................................11 E. KAJIAN PUSTAKA 1.
Komunikasi Politik ...............................................................................12
2.
Iklan Politik ..........................................................................................13
3.
Persepsi .................................................................................................21
4.
Iklan dan Pencitraan Politik .................................................................27
F. METODOLOGI PENELITIAN 1.
Jenis Penelitian .....................................................................................30
2.
Lokasi Penelitian...................................................................................31
3.
Teknik Pengunpulan Data ....................................................................32
4.
Teknik Analisa Data ............................................................................32
5.
Teknik Validitas Data ..........................................................................33
BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA, PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN, PARTAI GOLKAR DAN PARTAI DEMOKRAT A. KOTA SURAKARTA...................................................................................35 B. DPC PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN .....................39 C. DPC PARTAI GOLONGAN KARYA .........................................................44 D. DPC PARTAI DEMOKRAT ........................................................................50 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PERSEPSI PARTAI POLITIK TERHADAP IKLAN POLITIK .................58 a.
Tidak realistis........................................................................................61
b.
Membentuk citra ...................................................................................66
c.
Membantu meningkatkan keterkenalan ................................................71
d.
Media sosialisasi program ....................................................................75
e.
Berisi janji-janji ....................................................................................79
f.
Berlebihan (narsis)................................................................................82
g.
Seragam ................................................................................................85
B. PERSEPSI PARTAI POLITIK TERHADAP IKLAN POLTIK SBY-BOEDIONO VERSI INDOMIE DI TELEVISI PADA PEMLU 2009 ...............................................................................................89 a.
Persepsi Terhadap Pesan Verbal Iklan..................................................90
b.
Persepsi Terhadap Pesan Non-Verbal Iklan ........................................96
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...................................................................................................101 B. Saran ..............................................................................................................102 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................103
ABSTRAK
Ada fenomena menarik yang layak dicatat terkait perkembangan komunikasi politik di indonesia satu dekade terkahir ini. Yaitu munculnya kampanye partai atau kandidat melalui iklan politik di televisi. Dilihat dari perspektif positif, iklan politik mempunyai manfaat. Jika penayangan iklan disertai dengan gagasan, memperhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, media ini merupakan salah satu altenatif komunikasi politik yang baik. Iklan politik juga dinilai sebagai sarana yang efektif dan aman bagi masyarakat di bandingkan dengan pengerahan massa. SBY dan Boediono juga menggunakan strategi iklan politik dalam pemilu 2009 lalu. Salah satu yang menarik adalah iklan SBY-Boediono versi Indomie. Iklan ini menjadi perbincangan yang menarik dalam berbagai kesempatan. Versi Indomie menggunakan pendekatan yang berbeda dalam komunikasi politiknya. Pesan verbal yang disampaikan dalam bentuk jingle Indomie yang telah dimodifikasi. Sedang pesan non verbal yang ditampilkan menggunakan penyanyi Mike Indonesian Idol dan menggunakan banyak orang sedang berjalan beramai-ramai seperti layaknya iklan Indomie pada umumnya. Karena itu melalui penelitian ini peneliti bermaksud mencari tahu bagaimana persepsi partai politik terhadap iklan politik, khususnya iklan SBY-Boediono versi Indomie. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Pengurus tiga partai politik di Solo, yaitu Pengurus DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, DPD Partai Golkar, DPC Partai Demokrat Kota Surakarta. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan interview. Dalam penelitian ini diperoleh simpulan bahwa persepsi mengenai iklan politik yang dimiliki partai politik bervariasi. Dalam persepsi partai politik terhadap iklan poltik secara umum ditemukan partai politk mempersepsikan iklan politik yaitu: pertama, cenderung tidak realistis isi materinya, kedua, membentuk citra, ketiga, meningkatkan keterkenalan, keempat, media sosialisasi program, kelima, berisi janji-janji, keenam, berlebihan dalam materi isinya, ketujuh, seragam dalam tampilannya. Sementara mengenai persepsi partai politik terhadap iklan politik SBY-Boediono dipersepsikan juga bervariasi. Pihak Partai Golkar melihat iklan SBY hanya mengelabui pemilih (tidak realistis), terkesan berlebihan dan mengesankan SBY tidak percaya diri hingga harus menggunakan iklan Indomie yang sudah terkenal. Sementara PDI Perjuangan melihat persepsi diantaranya tidak kreatif, tidak tepat dan berlebihan. Lain halnya dengan Partai Demokrat. Menurutnya perspesi iklan ini kreatif, cerdas menyampaikan pesan lewat terobosan yang berbeda dan menjaga citra positif SBY. Dikatakan menjaga citra positif karena dalam seluruh iklan SBY (termasuk iklan versi Indomie) tidak pernah menyerang lawan politik lainnya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa kampanye Pilpres dalam Pemilu tahun 2009 menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berlangsung selama kurang dari dua bulan. Hal itu terhitung sejak tiga hari sejak penetapan calon oleh KPU hingga tiga hari menjelang hari pemungutan suara atau 8 Juli 2009. Disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa, tiga hari setelah penetapan peserta pemilu Pilpres, partai politik dapat melaksanaan kampanye politik dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, media massa cetak dan elektronik, penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga di tempat umum.1 Hal ini tentunya akan membuat strategi pemasaran politik yang dilakukan oleh para pelaku politik seperti partai politik dan calon presiden mengalami perubahan. Perubahan strategi kampanye itu terlihat dari peninggalan cara konvensional seperti pengerahan massa secara besar-besaran ke penggunaan strategi “public relations” dan pemanfaatan teknologi informasi. Di sadari atau tidak pada saat era teknologi informasi sekarang ini media massa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengubah persepsi konstituen terhadap Parpol dan calon presiden.2 Survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa terekam kecenderungan yang mengarah pada perubahan peta kekuatan politik. Kekuatan elektoral partai yang hingga kini diyakini menjadi mesin politik calon presiden, cenderung stagnan atau menurun. Disebutkan pula bahwa stagnasi, penurunan, dan peningkatan kekuatan
1
Untuk pertemuan terbatas peraturan KPU No 42/2008 menyebutkan, jumlah peserta paling banyak untuk tingkat pusat 1.000 orang, provinsi 500, dan kabupaten /kota 250 orang. Kampanye harus dilakukan dalam ruang tertutup. Untuk pertemuan tahap tatap muka jumlah peserta dibatasi 250 orang. 2 Prof. Drs. Totok Sarsito,SU, MA. Seminar Kekuatan Media Massa Dalam Menyampaikan Iklan Politik. Program Studi Diploma Tiga Komunikasi Terapan FISIP Universitas Sebelas Maret. Surakarta 27 November 2008
elektoral berbagai partai tersebut terkait erat dengan gejala menguatnya peran media massa menggantikan fungsi organisasi partai politik dalam menjangkau calon pemilih. LSI menyebut fenomena ini sebagai “silent revolution” atau revolusi diam-diam, yang sedang terjadi dalam kompetisi antar partai di Indonesia. Hal ini dicerminkan oleh munculnya televisi sebagai medium utama penyebaran informasi politik dan sebagai medium persuasi paling masif. Akibatnya, hanya partai yang mampu mengakses media secara sistematik tampil lebih kompetitif dibanding partai yang tak mampu mengakses media.3 Media massa menjadi begitu penting, terutama selama periode kampanye pemilihan umum. Selama periode ini media massa membanjiri khalayak dengan laporan-laporan kampanye, pidato politik para calon, polling pendapat umum, dan iklan politik. Karena dalam sistem politik demokrasi biasanya ada jaminan konstitusional untuk kebebasan pers maka setiap periode kampanye media massa berusaha mempengaruhi khalayak dan menjadi bagian dari proses pemilihan umum. Karena kecenderungan demikian maka sebagai konsekuensinya media massa, seperti diungkapkan Craik (1987:65), menjadi kekuatan penentu dalam pertarungan politik.4 Media massa atau sering diidentikkan dengan pers disebut-sebut sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuatan yang dimiliki oleh media bisa digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan namun di sisi lain juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengontrol pemerintah. Media massa diyakini punya kekuatan yang maha dahsyat untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan media massa bisa mengarahkan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk atau dicitrakan di masa yang akan datang. Media massa mampu membimbing dan mempengaruhi kehidupan di masa kini dan masa datang.5
3
www.lsi.co.id, Oktober 2008 Jurnal IPTEK No.1 tahun ke-21, 2001, berjudul Persepsi Pemilih Terhadap Berita Kampanye, LIPI Jakarta. 5 McQuail dalam Nurudin, Media Massa dan Dehumanisasi dalam Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi. 2005 hal 59 4
Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini public sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik.6 Citraan-citraan itulah yang dijual dalam kampanye dan janji-janji politik di indonesia sehingga dalam pemilihan umum orang akan dituntun memilih berdasarkan citra.7 Secara konkret proses pencitraan terhadap tokoh akan dituangkan dalam bentuk iklan politik. Publik pun menemukan hal baru ketika di sela-sela iklan produk komersial muncul iklan-iklan partai politik. Fenomena parpol beriklan sudah terlihat sejak November 1998, ketika Gus Dur tampil dalam iklan PKB bertajuk ”Saya mendengar Indonesia menyanyi” di stasiun televisi TPI dan sejumlah media cetak.8 Kemudian langkah PKB ini diikuti oleh partai-partai lainnya. Sementara pada Pemilu 2009 ini terdapat tiga nama pasangan Capres dan Cawapres yang bersaing dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan Capres Susilo Bambang Yudhoyono dan Cawapres Budiono, Jusuf Kalla dan Wiranto, Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres ini tidak luput pula menampilkan iklan politik di televisi. Iklan politik pertama pada Pemilu Capres 2009 muncul adalah milik Jusuf Kalla dan Wiranto. Pasangan ini tampil pertama kali karena memang telah mencatatkan diri sebagai pasangan Capres dan Cawapres pertama yang diumumkan ke publik. Setelah itu munculah iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan Megawati dan Prabowo menjadi yang terakhir. Hal ini dikarenakan pada satu hari menjelang penutupan pendaftaran Capres dan Cawapres di KPU, pasangan ini baru diperkenalkan kepada publik. Menurut Baden iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibandingkan intelektual. Stimulus ekonomi dalam iklan politik pada umumnya 6
Totok Sarsito, Op. Cit Totok Sarsito, Op. Cit 8 Setiyono, Iklan dan Politik, 2008 hal 37 7
terbagi menjadi dua, yaitu rasa harap dan rasa takut. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.9 Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampaikan secara verbal maupun visual. Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan dan tingkat kematian dapat memicu perasaan cemas audiens. Secara visual, adegan lingkungan yang nyaman dan makmur dapat memacu rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis kesan-kesan emosional cenderung disimpan di dalam memori jangka panjang.10 Oleh sebab itu tidak jarang iklan politik di Indonesia hanya menampilkan stimulusstimulus emosi dan bukan program-program konkret. Padahal beriklan dalam media massa tidaklah sedikit nominal rupiah yang dikeluarkan. Angka-angka dana kampanye berhamburan di media massa dengan nilai yang simpang siur. Majalah Cakram edisi April 200411 misalnya, menyebutkan bahwa PDI mempunyai alokasi paling besar, sekitar Rp 150 milyar. Kemudian diikuti Partai Golkar Rp 30 milyar, PAN 20 milyar, PKPB Rp 20 milyar, PPP Rp 10 milyar, PKB Rp 10 milyar, dan PKS Rp 10 milyar. Setelah itu baru diikuti Partai Demokrat, PBB, PDS dan PBR. Sebagai gambaran, ongkos iklan kampanye di media cetak saja sebesar Rp 200 juta sekali terbit. Dewan Pers memperkirakan,12 untuk Pemilu 2009 pendapatan iklan kampanye pemilihan presiden yang diterima media massa nasional, hingga minggu ketiga Juni 2009, sudah mencapai Rp 3 triliun. “Hitungan kasar omzet iklan sudah mencapai Rp 3 triliun merupakan penerimaan media elektronik seperti televisi dan media cetak nasional,” kata
9
Sarsito Opcit Ibid. 11 Setiyono, Opcit hal 97 12 KOMPAS, Wuih…Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Trilyun,edisi 29 juni 2009 10
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara. Diperkirakan 70 persennya mengucur ke media televisi. Televisi menjadi pilihan utama karena luas cakupan dan kecepatan penyampaiannya, sehingga menjadi wahana kampanye yang efektif.13 Iklan politik tidak beda promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang iklan politik lebih rumit daripada, iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon.14 Para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik di televisi guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Roderick Hart, profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden.15 Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun kuatnya pengaruh iklan politik di media massa, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan sabun atau produk lainnya. Berdasarkan penelitian, iklan politik hanya bermanfaat untuk menambah kepopuleran, bukan meningkatkan elektabilitas.16 Padahal banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih berpindah dukungan karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau program partai, persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters hanya 15 persen dari total pemilih. Indonesia sekitar 23 persen. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party identification. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan
13
KOMPAS, Opcit hal 94 KOMPAS, Senin 15 Maret 2004, Iklan Politik Di Televisi, 15 Ibid 16 Ibid 14
politik.17 Dilihat dari perspektif positif, iklan politik mempunyai manfaat. Jika penayangan iklan disertai dengan gagasan, memperhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, media ini merupakan salah satu altenatif komunikasi politik yang baik. Advertensi politik juga dinilai sebagai sarana yang efektif dan aman bagi masyarakat di bandingkan dengan pengerahan massa.18 Pasangan Capres dan Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono juga ikut beriklan dalam pemilu 2009 ini. KOMPAS mencatat,19 tim sukses SBY Boediono membuat 14 versi iklan yang ditayangkan di televisi dalam pemilu 2009 ini. Digarap oleh FOX INDONESIA sebagai biro iklannya, iklan-iklan politik SBY Boediono cenderung menonjolkan program-program keberhasilan presiden SBY selama menjabat. Program-program seperti : pemberantasan korupsi, bantuan langsung tunai, penurunan harga BBM, pemberian kredit usaha rakyat (KUR) menjadi tema utama hampir pada setiap iklan-iklannya. Setelah itu menjadi ciri khas diakhir semua iklannya yang ditayangkan ditutup dengan kata LANJUTKAN. Salah satu yang menarik untuk diamati adalah iklan versi INDOMIE. Disini iklan politik dikemas dengan menggunakan jinggle mie instant merk Indomie yang dinyanyikan oleh juara kontes idol, Mike. Iklan politik berdurasi 60 detik ini banyak menuai kritik. Pakar komunikasi UI, Effendy Ghazali mengatakan, iklan itu sama sekali tidak ada bobotnya dan tidak orisinal. Dicontohkannya, dengan mengambil jingle Indomie, iklan itu menjadi tidak menarik. Tidak itu saja, substansi yang terkandung dalam iklan tersebut tidak jelas. ''Iklan itu terkesan seperti sedang berjualan produk tertentu.” Jelasnya.20 Sementara menurut pengamat iklan politik Ahmad Danial, SBY sepertinya akan sulit
17
Ibid Ibid 19 KOMPAS, 2 Juli 2009, Perang Iklan Politik Episode Akhir 20 KOMPAS, 17 Juni 2009, Iklan SBY-Boediono Tak Menarik 18
mengeruk untung dari iklan politik tersebut. "Figur SBY tidak sesuai dengan iklan tersebut. Apalagi meniru iklan jingle produk tertentu." Menurut dia, persepsi masyarakat Indonesia tentang mie instan sulit diwakili oleh figur pasangan SBY-Boediono yang sama-sama berasal dari Jawa Timur. "Mie instan itu kan tidak hanya didominasi masyarakat tertentu, semua masyarakat menikmati mie," paparnya.21 Plesetan jingle iklan mie instan menjadi iklan politik SBY sepertinya jadi langkah pragmatis tim sukses SBY untuk mendongkrak popularitas SBY. Siapa tahu dengan tampil dalam iklan mie instan, SBY akan menjadi pilihan para penikmat mie instan.22 Sedangkan menurut Ketua DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng, Mie instan harus diakui telah melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Maka tak aneh, jika iklan mie instan itu dinilai cukup efektif untuk mendongkrak popularitas SBY dengan sedikit plesetan. Andi mengakui, faktor kedekatan dan kelekatan image Indomie di benak masyarakat itulah yang jadi pertimbangan utama tim kampanye SBY mengadopsi jingle itu.
Upaya tim sukses SBY menyamakan aransemen jingle iklan politik dengan
iklan mie instan itu diyakini memiliki banyak keuntungan. Setidaknya, publik cukup mudah mengingat iklan politik SBY.23 Dengan tingkat kebergantungan masyarakat Indonesia terhadap televisi begitu tinggi, penelitian mengenai televisi dalam kaitannya dengan
iklan politik dalam pemilu 2009
menjadi menarik dan penting. Penelitian ini mengambil titik fokus pada persoalan bagaimana Persepsi Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Surakarta menafsirkan Iklan Politik Pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono Versi Indomie Pada Pemilu 2009 di Televisi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan ilmiah yang bersifat awal yang dapat dikonfirmasi atau diintegrasikan ke dalam penelitian 21
www.inilah.com, Siapa Mau Mie Instant ‘Rasa’ SBY? Ibid 23 ibid 22
lain demi kesimpulan kesimpulan yang lebih valid.
B. Rumusan Masalah Bagaimana persepsi Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya Surakarta Terhadap Iklan Politik Pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono Versi Indomie Pada Pemilu 2009 di Televisi?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana Persepsi Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya Surakarta Terhadap Iklan Politik Pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono Versi Indomie Pada Pemilu 2009 di Televisi.
D. Manfaat Penelitian 1. Tercapainya tujuan penelitian diatas akan memberikan penjelasan tambahan mengenai fenomena iklan politik dan pengaruhnya terhadap persepsi masyarakat. 2. Penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu komunikasi dalam tataran studi khalayak.
E. Kajian pustaka 1. Komunikasi Politik Komunikasi politik telah dikenal sejak Cicero dan Aristoteles. Sebagai suatu bidang kajian ilmiah, komunikasi politik melintasi berbagai disiplin dan dibesarkan secara lintas disiplin.24 Ilmuwan komunikasi A. Muis25 menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai objek formalnya, sehingga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakekatnya komunikasi politik mengandung informasi atau pesan tentang politik. 24 25
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, 1992 hal 8 ibid hal 9
Selain itu, Astrid26 mengartikan komunikasi politik sebagai suatu komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Dengan demikian melalui kegiatan komunikasi politik terjadi pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup negara, sehingga komunikasi politik merupakan sarana untuk pendidikan politik atau kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan. Menurut Nimmo27 banyak aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi, dan bahkan komunikasi meliputi politik. Hal ini didasarkan pada pandangan Mark Roelofs28 yang memandang politik sebagai pembicaraan. Berdasarkan pandangan di atas jelas bahwa komunikasi dan politik saling melintasi, dan bahkan saling mencakupi, dan keduanya telah menyatu menjadi kajian komunikasi politik dan masing-masing memiliki banyak definisi, maka juga komunikasi politik memiliki banyak rumusan dengan ruang lingkup yang beragam.29 Dengan memandang inti komunikasi sebagai proses interaksi sosial dan inti politik sebagai konflik sosial. Nimmo30 merumuskan komunikasi politik sebagai kegiatan yang bersifat politis atas dasar konsekuensi aktual dan potensial, yang menata perilaku dalam kondisi konflik. Nimmo menggunakan formula Lasswell dalam menjelaskan luas lingkup komunikasi politik, yaitu komunikator politik, pesan-pesan politik, media komunikasi politik, khalayak politik dan efek politik. Berdasarkan ruang lingkup itu, terlihat bahwa surat kabar dan saluran massa lainnya tercakup dalam kajian media komunikasi politik. 2. Iklan Politik
26
ibid hal.9 Dan Nimmo, Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan dan Media , 2005 hal 9 28 ibid.hal 8. 29 ibid. hal.10. 30 Nimmo, op. cit. 27
Dalam marketing politik, gagasan mengenai image politik sangat penting. Marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Pada akhirnya semua hal yang dilakukan partai politik adalah mendefinisi dan mendefinisi ulang image yang telah ada.31 Menurut Adman Nursal dalam bukunya Political Marketing, pada dasarnya political marketing adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Tujuannya untuk membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih.32 Promosi dalam bentuk iklan hanya merupakan satu subbagian dari strategi pemasaran politik. Pergulatan orang-orang periklanan hanyalah satu bagian dari beberapa mata rantai bauran pemasaran (marketing mix), yang lazim disingkat 4P (product, price, promotion dan place). Jika memakai bauran pemasaran, product berarti partai, manusianya (misalnya ketua umum), dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan kepada konstituen. Price bisa dilihat sebagai suatu harga untuk para pendukungnya misalnya iuran bulanan bagi pengurus maupun kader, bisa juga atribut dan menchandising dari partai tersebut. Selanjutnya adalah promotion atau suatu upaya periklanan, kehumasan, dan promosi untuk sebuah partai yang di-mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal dari partai tersebut.33 Tentu saja konsep pemasaran yang lazim diterapkan untuk produk komersial tidak bisa diterapkan begitu saja untuk kepentingan politik. Konsep political marketing memerlukan pendekatan yang khas karena produk politik sangat berbeda dari produk komersial, baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakter konsumen.34
31
Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, 2007, hal 232 Setiyono, iklan dan politik, menjaring suara dalam penelitian umum, 2008, hal 18 33 ibid. 34 ibid. 32
Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan berwujud. Pesan yang disampaikan dalam iklan dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan non verbal. Di dalam pesan verbal ia merupakan kata-kata yang tersusun dari huruf vokal dan konsonan yang membentuk makna tertentu. Sementara semua pesan yang bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut mengandung arti, maka dapat disebut pesan komunikasi.35 Sementara itu iklan politik berfungsi menyampaikan pesan verbal dan visual yang sudah disusun secara persuasif dan komunikatif kepada khalayak. Dalam iklan pesan verbal dan visual agak riskan untuk dipisahkan. Bila memposisikan sebagai audience, iklan harus punya pesan verbal dan non verbal yang kredibel. Janjinya masuk akal, visinya jelas, gambarnya menyentuh dan membuat nyaman calon pemilih.36 Menurut Dan Nimmo37, periklanan politik ditujukan kepada setiap individu yang anonim. Hubungan antar individu dan calon pembeli adalah hubungan langsung, dalam arti, tidak ada organisasi dan kepemimpinan yang seakan-akan dapat mengirimkan kelompok pembeli itu kepada penjual. Karakteristik periklanan politik beroperasi sebagai komunikasi satu kepada banyak terhadap individu-individu di dalam suatu massa yang heterogen dan bukan sebagai anggota yang agak homogen. Periklanan bekerja dengan cara yang berbeda. Pertama, sasarannya bukan individu di dalam suatu kelompok melainkan individu yang independen, terpisah dari kelompoknya. Kedua, tujuannya bukan untuk mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, melainkan untuk menarik perhatian agar orang itu bertindak dan memiliki pilihan tersendiri yang berbeda dengan orang lain. Menurut Linda Lee Kaid38, iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan
35
Rendra widyatama, Pengantar Periklanan, hal 17 Sumbo Tinarbuko, iklan politik dalam realitas media, hal 81 37 Nimmo, Op. Cit. 38 Sarsito, Op. Cit. 36
melalui media massa yang meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan perilaku politik masyarakat (audience). Berdasarkan definisi tersebut, maka karakteristik iklan politik meliputi dua hal yaitu, kontrol pesan dan penggunaan saluran komunikasi massa untuk mendistribusikan pesan. Iklan politik saat ini menjadi upaya penting dari masing-masing kandidat presiden untuk mengkomunikasikan pesan mereka terhadap pemilih. Dan, iklan politik juga bermaksud untuk mendorong publik merasa lebih mantap unutk menjatuhkan pilihan pertamanya.39 Menurut kaid dan Holtz Bacha (1995) mendefinisikan iklan politik televisi sebagai moving image programming that is designed to promote the interest of given party or individual. Untuk menekankan soal kontrol pesan politik tadi, mereka memperluas definisi itu dengan menyodorkan definisi : any controlled message communicated through any channel designed
to promote the political interest of individuals, parties, groups,
government, or other organization. Definisi terakhir ini tidak saja menitikberatkan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik saja, tetapi juga membuka peluang memasukan perbedaan iklan politik dari sisi format dan saluran penyampaian pesan politik.40 Sementara menurut sumbo tinarbuko, iklan politik adalah iklan yang meanwarkan sesuatu berkaitan dengan politik. Iklan politik merupakan salah satu cara menyampaikan pesan tentang individu, partai politik, dam visi misi yang dimiliki individu atau partai politik.41 Sementara Baden42 mengungkapkan: 1. Iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual.
39
Jane Levin, The Phenomenon Of Political Advertising Akhmad Danial, Iklan Politik TV, 2009, hal 94 41 Sumbo tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, 2009 hal 58 42 Sarsito, Op. Cit. 40
2. Stimulus emosi iklan politik pada umumnya terbagi dua, yaitu rasa takut dan harap. 3. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan. Menurut Garin Nugroho43, iklan politik seharusnya mengandung dua unsur: 1) memberikan pendidikan politik dan, 2) melahirkan partisipasi politik masyarakat sehingga implikasinya bisa melahirkan tindakan sosial. Selanjutnya Garin berpendapat bahwa iklan politik berbeda dengan iklan komersial. Iklan politik adalah kemampuan mengajak partisipasi dengan mengemas kenegarawanan dalam berbagai perspektif metode komunikasi. Ia mengandung unsur ketulusan. Sementara iklan komersial adalah keterampilan mengelola pameran perhatian untuk masyarakat menjadi pembeli. Pesan iklan kampanye tampil dalam berbagai bentuk. Positif (memuji kebaikan kandidat), negative (mengkritik yang lain), atau kontras (gabungan dari keduanya). Iklan bisa berdasarkan isu atau pertanyaan mengenai karakter (atau berbagai kobinasi), mereka bisa riang, humor, atau sangat serius; mereka bisa mengajak agar takut atau bangga; mereka bisa menggunakan haknya di masa lampau atau menatap ke depan.44 Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi -- baik melalui berita, acara khusus atau iklan -- sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan pengaruh impression management. Pemasangan iklan di sejumlah stasiun swasta juga berdasarkan pengalaman Pemilu di negara-negara maju.45 Sumartono46 (2002: 6) menyebutkan tiga kekuatan televisi, yaitu: 1. Efisiensi biaya. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media paling
43
Setiyono, Op. Cit Paul freedman, Thirty Second Democracy: Campaign Advertising And American Elections 45 Setiyono, Op. Cit. 46 Sumartono, Terperangkap Dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi, 2002 hal 6 44
efektif
untuk
menyampaikan
pesan-pesan
komersialnya.
Salah
satu
keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala. 2. Dampak yang kuat. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indra: penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama, dan humor. 3. Pengaruh yang kuat. Televisi mempunyai pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan calon pembeli lebih percaya pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali. Ini adalah cerminan bonafiditas pengiklan.
Tiga kekuatan tersebut menjadikan televisi sebagai prioritas bagi partai politik untuk mengiklankan dirinya. Selain itu, televisi dianggap efektif menanamkan persepsi sang tokoh parpol kepada masyarakat.47 Iklan politik, khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political marketing. Riset Falkow dan Cwalian dan Kaid48
menunjukkan, iklan politik
berguna untuk beberapa hal: 1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat. 2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian memilih karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu. 3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
47 48
Setiyono, Op. Cit. ibid
4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu. 5. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu. 6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik.
Meski iklan hanya satu bauran dalam mata rantai pemasaran, tapi terbukti iklan lebih sedap dipandang dan lebih sering ditonton ketimbang acara debat, berita dan sejenisnya. Bahkan jika melihat hasil survei LP3ES, iklan televisi dianggap sebagai jenis kampanye paling efektif.49 Seperti halnya iklan komersial, persepsi khalayak menjadi parameter atas benar-salah atau baik-buruk suatu iklan politik. Suatu iklan dianggap melanggar etika manakala persepsi yang ditimbulkannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut khalayak tersebut. Indonesia juga dapat menggunakan rujukan baku yang ada, karena di seluruh dunia menerapkan prinsip-prinsip etika yang berlaku secara universal. Prinsip-prinsip itu adalah50 : 1. Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum. 2. Tidak menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku dan golongan. 3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Pesan-pesan periklanan politik adalah sama dengan pesan-pesan produk komersial. Ia harus sesuai dengan kebutuhan khalayak sasarannya. Ia juga meyakinkan stakeholders, membangun ekuitas merek dan mendorong penjualan. Namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa pesan-pesan periklanan harus dibangun atas dasar kebenaran.
3. Persepsi
49 50
ibid. ibid.
Soeryono Soekanto memberikan penjelasan bahwa arti penting dari komunikasi adalah ketika seseorang membertikan tafsir pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerik badaniyah, atau sikap) perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.51 Definisi-definisi tentang persepsi menekankan pada penafsiran, interpretasi, pemaknaan terhadap sensasi, stimuli atau pesan. Definisi yang diungkapkan John R. Wernburg dan Wiliam W. Wilmot misalnya, persepsi adalah cara organisme memberi makna.52 Rudolf F Verderberg, persepsi adalah proses menafsirkan informasi inderawi.53 Sedangkan J Cohen, persepsi didefinisaikan sebagai intepretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif obyek eksternal.54 Dalam bukunya Psikologi Komunikasi, Jalaludin Rakhmat mendefinisikan persepsi adalah pengalaman obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.55 Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson dalam bukunya An Introduction To Human Comunication: Understanding and Sharing menjelaskan, awalanya persepsi dianggap sebagai perekam rangsangan, yang sederhana seperti video recorder. Namun kemudian persepsi dianggap sebagai proses aktif. Disini manusia aktif dalam proses persepsi, dimana pikiran kita mampu memilih, mengorganisasikan dan memaknai apa-apa yang kita inderai.56 Dari definisi diatas jelas bahwa persepsi merupakan proses penafsiran terhadap pesan. Dengan demikian persepsi terjadi setelah ada komunikasi. Atau dengan kata lain komunikasi mempengaruhi persepsi. Ada faktor-faktor lain –mendahului atau berbarengan dengan proses komunikasi- yang juga mempengaruhi persepsi.
51
Soeryono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1974, hal. 176 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, 2003, hal. 167 53 ibid 54 ibid 55 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 2001, hal 51 56 Judy C. Pearson, Paul E. Nelson, An Introduction to Human Communication: Understanding and Sharing, 2000, hal 26 52
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi yaitu: people’s past experiences and roles, dan cultures and co-cultures.57 People’s past experience and roles (pengalaman masa lalu dan peranan). Setiap orang memiliki pengalaman, baik yang menyenangkan atau sebaliknya. Pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara dia memaknai kondisi yang sedang terjadi dan yang akan datang. Seorang tentara yang pada hari pertama bertugas sudah dimarahi komandan, akan membuatnya lebih berhati-hati saat bertemu komandan tersebut pada hari berikutnya. Anak-anak yang hidup dalam masa kecil di daerah konflik yang penuh dengan keterbatasan, kekerasan, dan ketidakadilan. Maka apabila mereka ditanya cita-cita, kebanyakan dari anak laki-laki akan menjadi tentara sedangkan anak perempuan akan menjadi perawat. Role is the part an individual plays in a group; an individual’s functions or expeted behaviour.58 Roles atau peranan sangat erat hubungannya dengan status atau kedudukan. Roles, sebagai aspek dari status, bersifat dinamis. Artinya orang lain akan selalu mengharapkan peranan atau fungsi yang biasa kita berikan, apa pun status kita. Soeryono Soekanto59 mengutip Levinson, mengatakan peranan paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu: 1.
Peranan adalah meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
2.
Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilakuan individu yang penting bagi struktur sosial.
Status dan peranan seseorang akan mempengaruhi konteks berkomunikasi: kepada siapa berbicara, bagaimana berbicara, bahasa yang digunakan, posisi tubuh dan sebagainya. Seorang mahasiswa yang memiliki dosen orang tuanya sendiri, maka berkomunikasi di 57
ibid. ibid. hal. 29. 59 Soekanto, Op. Cit. hal. 131 58
rumah dengan di kampus akan berbeda. Demikian juga seorang yang menjadi dosen, pejabat, tokoh masyarakat akan menanggapi suatu kejadian dengan mempertimbangkan statusnya. Cultures and co-cultures (kultur dan subkultur). Culture dapat diartikan as a system of shared beliefs, values, customs, behaviours, and artifacts, that the members of society use to cope with one another and with their world.60 Sedangkan co- culture is a whose beliefs or behaviour groupdistinguish it from the larger culture of which it is a part and with which it shared numerous similarities.61 Untuk semakin jelas membedakan kultur dan sub kultur, kita ambil saja contoh kultur bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai kultur dapat dibuktikan dengan adanya bahasa, pandangan hidup dan sebagainya. Sementara di dalamnya terdapat berbagai sub kultur seperti jawa, sunda, aceh, batak, dan sebagainya yang memiliki karakteristik sendiri (bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian dan lain-lain). Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa namun apabila diteliti, mempunyai dasardasar yang sama. Persamaan itu yang menjadi kultur bangsa Indonesia.62 Perbedaan kultur dan sub kultur akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Berciuman dengan teman lawan jenis ketika bertemu, dianggap biasa bagi orang-orang barat tapi sangat tabu dan hina bagi orang indonesia. Kata cokot bagi orang jawa bermakna gigit sedangkan bagi orang sunda bermakna ambil. Tersenyum sampai terlihat giginya barangkali melambangkan keakraban, tapi bagi orang papua pedalaman menunjukan gigi berarti menantang. Nilai-nilai yang ada dalam kultur dan subkultur mengarahkan, memberi batasan anggotanya, dan mengontrol setiap individu yang menjadi anggotanya. Misalnya nilai agama tentang halal dan haram akan dijadikan rujukan pemeluknya dalam mempersepsi sekaligus menentukan pilihan makanan dan pekerjaan. Nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh
60
Pearson, Op. Cit. hal 29 Ibid. hal 30. 62 Soekanto, Op. Cit. hal 41 61
masyarakat Jepang, menuntun mereka agar bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan. Namun nilai-nilai yang mempengaruhi individu tidak hanya berdasar dari kultur dan subkultur. Organisasi atau kelompok social yang kita ikuti, nilai-nilainya juga mempengaruhi kita. Perangkat aturan yang diterapkan baik tertulis maupun tidak akan menuntun persepsi, sikap dan perilaku kita. Seperti dalam masyarakat, dalam organisasi ada proses kaderisasi dimana nilai-nilai dalam organisasi disosialisasikan kepada setiap anggotanya. Organisasi atau kelompok sosial tersebut antara lain lembaga pendidikan, lembaga profesi, partai politik, kelompok agama, komunitas etnik, dan komunitas lainnya. Theodore Newcomb menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai reference group (kelompok rujukan) yaitu merupakan kelompok yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.63 Jalaludin Rakhmat menyebut faktor lain yang mempengaruhi persepsi, yaitu: faktor perhatian, faktor fungsional, dan faktor struktural.64 Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perhatian, yaitu: faktor sosiopsikologis, motif sosiogenesis, sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi seperti: kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim juga disebut sebagai kerangka rujukan. Uang Rp. 100.000,dinilai sedikit bagi orang yang berpenghasilan jutaan rupiah. Tapi uang yang sama dihargai jauh lebih besar oleh tukang becak atau buruh pabrik. Sedangkan Faktor struktural berasal 63 64
ibid. hal. 145-146 Rakhmat, Op. Cit. hal. 51-62.
dari sifat-sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.
4. Iklan dan Pencitraan Politik Di masa lampau bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap buruk. Bisa dimengerti, karena memang begitu banyak keburukan yang terjadi dalam politik dan partai politik. Kesan buruk mengenai politik dan partai politik inilah yang harus diubah. Masalahnya menjadi semakin mendesak bagi partai politik seiring dengan semakin meningkatnya persaingan. Masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan pencitraan yang positif di kalangan pemilih.65 Ketika semua partai politik melakukan hal yang sama, yaitu membeberkan rancangan program kerja mereka, maka partai politik membutuhkan citra (image) untuk membedakan satu partai politik dengan partai politik lainnya. Firmanzah66 merangkum pendapat-pendapat pakar mengenai definisi image politik. Gioia dan Thomas mengatakan bahwa image terkait erat dengan identitas. Sementara itu menurut Dutton et al., image biasanya diartikan sebagai cara anggota organisasi dalam melihat kesan dan citra yang berada di benak orang. Sedangkan menurut Peteraf dan Shanley, image bukan sekedar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau grup. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Kemudian menurut Harrop, image politik dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Citra (Image) politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik. Image politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu 65 66
Firmanzah, Op. Cit. hal 229 ibid. hal. 230
image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik.67 Citra (image) dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra (image) telah berubah menjadi sebuah mesin politik yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.68 Image politik dapat diciptakan, dibangun atau diperkuat. Image politik dapat melemah, meluntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik yang bagus dari suatu partai politik akan memberikan efek yang positif terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan umum.69 Image partai politik sangat sulit ditiru karena sangat sulit pula membangunnya. Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image politik.70 Pertama, untuk membangun image dibutuhkan waktu relatif lama. Kedua, membangun image dibutuhkan konsistensi dari semua hal yang dilakukan partai politik bersangkutan, seperti platform partai, program kerja, reputasi pemimpin partai latar belakang partai dan retorika partai. Ketiga, image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang dilakukan partai politik. Keempat, image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori kolektif masyarakat. Membangun image politik dan sampai di masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan suatu partai politik bukanlah hal yang mudah dan dapat cepat dicapai. Untuk itu, ada hal yang harus dilakukan terus menerus oleh partai politik, yaitu komunikasi politik.71 Salah satu bentuk komunikasi politik adalah iklan politik di media massa. Menurut Baden iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional 67
Ibid, hal. 230-231 Sarsito, Op. Cit. 69 Firmanzah, Op. Cit, hal 231 70 ibid. hal 232 71 Ibid. hal. 232-233 68
dibandingkan intelektual. Stimulus ekonomi dalam iklan politik pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu rasa harap dan rasa takut. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.72 Menurut Harold Mendelson ada 2 pertanyaan yang harus dijawab oleh pengiklan politik dalam merumuskan kampanyenya 1. Apa yang memotivasi khalayak. 2. Apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak. Hal yang memotivasi khalayak bisa berupa kebutuhan, harapan, cita-cita, dan sebagainya. Sementara karakteristik sosial khalayak dipengaruhi oleh demografi. Artinya pada pola komunikasi mereka dipengaruhi oleh, misalnya: kebiasaan menonton televisi, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain.73 Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampingkan secara verbal maupun visual. Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan dan tingkat kematian dapat memicu perasaan cemas audiens. Secara visual, adegan lingkungan yang nyaman dan makmur dapat memacu rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis kesan-kesan emosional cenderung disimpan di dalam memori jangka panjang.74 Oleh sebab itu tidak jarang iklan politik di Indonesia hanya menampilkan stimulus-stimulus emosi dan bukan program-program konkret.
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian
72
Sarsito, Op. Cit. Dan Nimmo, Op. Cit. 74 Ibid. 73
penelitian ini menggunakan rancangan pengambilan sampel dengan purposive sampling, yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap (berdasarkan penilaian tertentu) mewakili statistik, dan tingkat signifikasi. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode yang memaparkan situasi atau peristiwa. Metode deskriptif ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis, atau memberi prediksi. Tujuan utama penelitian diskriptif adalah menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.75 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif.
Sehingga
penjelasan
mengenai
persepsi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya diarahkan pada analisa kualitatif. Dengan demikian sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. 2. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan tempat dalam penelitian ini adalah Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kotamadya Surakarta. Penulis mendasarkan pada beberapa hal sehingga memilih sebagai lokasi penelitian. a.
Mesin politik. Ketiga partai tersebut merupakan mesin politik utama dari tiga calon presiden yang bertarung dalam pemilu presiden dan wapres tahun 2009. Di Kota Surakarta, ketiga partai ini juga mempunyai massa yang cukup banyak.
b.
Kedekatan. Secara geografis, peneliti memiliki kedekatan dengan lokasi penelitian karena peneliti tinggal di wilayah Kota Surakarta. Sehingga memungkinkan bagi peneliti lebih memahami kondisi Kota Surakarta. Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini akan mampu menjelaskan lebih dalam realita yang terjadi di
75
Consuelo G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Terjemahan Alimudin Tuwu, Jakarta, 1993, halaman 71
kota tersebut. Secara teknis, faktor kedekatan geografis ini juga memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan fase sangat penting dalam suatu penelitian. Karena dengan kata-kata itulah peneliti bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukannya, tentunya melalui proses analisis data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti antara lain: a. Wawancara: peneliti mengadakan kegiatan tanya jawab secara langsung dan mendalam dengan pihak-pihak yang terkait, yaitu: pihak pengurus DPC partai. b. Studi pustaka: pengumpulan data dan teori dengan menggunakan berbagai macam buku, majalah, internet serta informasi lainnya. 4. Teknis Analisa Data Analisa dilakukan pada saat data pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data dalam periode tertentu. Menurut Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara intensif dan terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Komponen utama proses analisa menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo: 9) terdiri dari tiga unsur, yaitu: a. Reduksi data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung sepanjang penelitian. b. Sajian data Suatu rakitan organisasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan
deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. c. Penarikan simpulan dan verifikasi Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mencatat berbagai pola, pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Simpulan akhir tidak akan terjadi sampai ada waktu proses pengumpulan data berakhir. Simpulan kemudian di verifikasi agar dapat dipertanggungjawabkan dengan melakukan diskusi dengan informan. 5. Teknik Validitas data Untuk mengetahui keabsahan data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi dengan sumber dimana dalam menganalisis data peneliti membandingkan dan mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian ini. Hal ini dapat dicapai dengan jalan: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biassa, orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA, PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN, PARTAI GOLONGAN KARYA DAN PARTAI DEMOKRAT
A. KOTA SURAKARTA Surakarta pada awalnya adalah sebuah perkampungan kecil bernama Desa Sala yang sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa. Nama Sala merupakan gabungan dari kata ‘Desa’ dan ‘Ala’ (jelek). Masing-masing suku kata terakhir ‘Sa’ dan ‘La’ digabung menjadi ‘Sala’ atau biasa dilafalkan menjadi Solo. Disebut Desa Ala (desa jelek) karena daerahnya berupa rawa-rawa yang cukup dalam.76 Namun demikian Desa Sala dipilih Sunan Paku Buwana II untuk memindah Keraton Kartosuro yang telah hancur akibat pertempuran yang terkenal dengan peristiwa Geger Pecinan.77 Geger Pecinan terjadi pada tahun 1740. Kerusuhan ini dilakukan oleh orang-orang dari etnis cina dan merupakan kerusuhan yang terbesar dalam sejarah mataram. Kerusuhan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh intimidasi yang disertai pembunuhan oleh belanda terhadap etnis cina yang ada di Batavia. Akibatnya terjadi petempuran dari etnis cina di Batavia yang selanjutnya menjalar sampai ke semua wilayah jawa, termasuk Kerajaan Mataram.78 Meskipun keraton dapat dipertahankan, namun karena pertempuran sangat dahsyat menyebabkan bangunan keraton hancur dan Paku Buwono II menyingkir ke Ponorogo. sehingga setelah perang usai, PB II memerintahkan agar menjadi daerah baru. Sebenarnya ada tiga pilihan tempat yang akan digunakan untuk memindah pusat kerajaan. Yaitu : Desa
76
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta.Jakarta 1999.hal 8 Ibid. hal 74 78 ibid, hal 68. 77
Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Dengan berbagai pertimbangan akirnya Desa Sala dipilih untuk mendirikan keraton yang baru sebagai pusat ibukota kerajaan.79 Keraton yang baru mulai didirikan pada tahun 1745. Setelah keraton selesai didirikan kemudian Sunan Paku Buwana II memindah semua yang ada di Keraton Kartosuro ke keraton baru di Kota Sala. Sejak perpindahan itu Sunan Paku Buwana II mengganti nama Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat.80 Kemudian masyarakat biasa menyebutnya dangan nama Surakarta. Untuk lebih mengetahui kondisi dan perkembangan Kota Solo beberapa tahun terakhir, berikut deskripsi Kota Solo dari berbagai aspek. Namun perlu disampaikan sebelumnya bahwa gambaran umum dihimpun dari berbagai sumber. Deskripsi Kota Solo dari poin satu dan poin dua disarikan dari rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD) Kota Surakarta tahun 2005-2025 yang diterbitakan Pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2006. Untuk poin-poin tersebut peneliti juga menambah beberapa data yang berasal dari sumber lain yaitu Situs Resmi Pemerintah Kota Surakarta, www.surakarta.go.id sedangkan untuk poin beriktunya dari berbagai sumber, baik referensi buku, media internet atau data dari instansi tertentu. 1. Kondisi Fisik Kota Solo atau biasa disebut Kota Surakarta merupakan dataran rendah yang terletak antara 11045’ 15’’ – 11045’ 35’’ Bujur Timur dan 70’ 36’’ – 70’ 56’’ Lintang Selatan. Dengan demikian Solo beriklim tropis. Wilayah Solo berada pada ketinggian sekitar 92 meter diatas permukaan air laut. Kota Solo diapit oleh tiga gunung, yaitu : Gunung Lawu dibagian timur, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di bagian barat. Sehingga wilayah tersebut merupakan cekungan solo yang biasa disebut Solo Basin. Wilayah Solo juga dilalui tiga sungai, yaitu Sungai Pepe, Sungai Jenes, dan Bengawan Solo. Sehingga tanah di Solo 79 80
Ibid, hal 73-74. Ibid, hal 84.
sebagian besar meruakan endapan aluvial dari vulkanik merapi dan endapan dari Bengawan Solo. Luas wilayah Solo sekitar 44 kilometer persegi yang dibatasi oleh tiga kabupaten di sekitarnya. Di sebelah barat, Kota Solo berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Secara administrasi Kota Solo terbagi dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, Kecamatan Laweyan, dan Kecamatan Banjarsari. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Banjarsari yang mencapai 33,63 % dari luas wilayah Kota Solo. Tiap-tiap kecamatan terbagi menjadi beberapa kelurahan kemudian rukun warga, rukun tetangga, dan kepala keluarga. Kota Solo memiliki 51 kelurahan, 692 rukun warga, 2.644 rukun tetangga, dan 123.360 kepala keluarga. 2. Kondisi Demografi Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, jumlah penduduk Kota Solo sebesar 469.532 jiwa. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, jumlah tersebut meningkat menjadi 503.827 jiwa atau meningkat 0,73 % per tahun. Sepuluh tahun berikutnya, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat penduduk Kota Solo turun menjadi 490.214 jiwa. Pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 497.234 jiwa. Sedangkan pada tahun 2004 mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebesar 2,17 % menjadi 510.711 jiwa. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk Kota Solo mencapai 534.540 jiwa dengan rasio jenis kelaminn laki-laki 250.868 jiwa dan perempuan 283.672 jiwa. Sex ratio penduduk Kota Solo adalah 96,06. Berarti setiap 100 orang perempuan terdapat 96 laki-laki.
Tingkat kepadatan Kota Solo pada tahun 2004 mencapai 11.599 jiwa/km. Daerah yang terdapat pada tahun 2004 adalah Kecamatan Pasar Kliwon dengan angka kepadatan penduduknya sebesar 16.207 jiwa/km. Sedangkan wilayah dengan tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Laweyan dengan tingkat kepadatan 10.566 jiwa/km. Berdasarkan jumlah penduduk sebenarnya Kecamatan Laweyan memiliki jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan Kecamatan Pasar Kliwon. Namun wilayah Kecamatan Laweyan lebih luas dibandingkan wilayah Kecamatan Pasar Kliwon sehingga tingkat kepadatan di Kecamatan Laweyan lebih kecil dibandingkan Kecamatan Pasar Kliwon. Pada tahun 2005 tingkat kepadatan penduduk Kota Solo mencapai 12.148 jiwa/km. Wilayah dengan kepadatan tertinggi masih berada di Kecamatan Pasar Kliwon yaitu 16.282 jiwa/km. Demikian juga wilayah dengan kepadatan terendah masih berada di Kecamatan Laweyan yaitu 10.595 jiwa/km. Pada tahun 2005 penduduk Kota Solo yang berada pada usia 65 tahun atau lebih berjumlah 36.344 jiwa. Penduduk yang memiliki usia dibawah 15 tahun berjumlah 122.344 jiwa. Sedangkan penduduk yang berada pada usia produktif, yaitu usia 15-64 tahun sebesar 375.692 jiwa. Berdasarkan angka tersebut dapat disimpulakan bahwa angka ketergantungan penduduk Kota Solo pada tahun 2005 mencapai 42,28 %. Dengan demikian berarti setiap 100 peduduk usia produktif menangung 43 orang penduduk usia tidak produktif. B. PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDI-P) 1. Sejarah PDI perjuangan Dalam penelitian ini objek penelitian yang jadi sasaran adalah kader PDI perjuangan Kota Surakarta yang masuk dalam jajaran struktural partai. Secara kesejarahan PDI perjuangan berawal dari berfusinya Partai Nasional Indonesia (PARKINDO) dan Partai Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1973. Yang dalam
perkembangannya, pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah menjadi PDI Perjuangan dalam bentuk badan hukum. Paratai Demokrasi Indonesia Perjuangan berasaskan pancasila. 2. Arah Kebijakan PDI Perjuangan a. Tujuan Umum Partai 1. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimasud dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. 2. Membangun masyarakat pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, adil dan makmur. b. Tujuan Khusus Partai 1. Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat. 2. Memperjuangkan kepentingan rakyat bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara demokratis. 3. Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan pemerintahan
yang
melindungi
segenap
bangsa
indonesia,
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. 3. Jenjang Kepengurusan Partai Terdapat enam jenjang kepengurusan dalam Anggaran Dasar PDI Perjuangan, yaitu: a. Dewan Pimpinan Pusat Partai disingkat DPP yang meliputi wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) b. Dewan Pimpinan Daerah partai disingkat DPD yang meliputi wilayah Provinsi. c. Dewan Pimpinan Cabang disingkat DPC yang meliputi wilayah Kabupaten /Kota. d. Pengurus Anak Cabang disingkat PAC yang meliputi wilayah Kecamatan. e. Pengurus Ranting Partai yang meliputi wilayah Desa/Kelurahan.
f. Pengurus Anak Ranting Partai yang meliputi wilayah Dusun/Dukuh/Rukun Warga/Lorong/Gang/ atau sejenisnya. 4. Kondisi PDI Perjuangan Kota Surakarta merupakan wilayah kota, sehingga jenjang struktur partai adalah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sampai dengan Anak Ranting. Berikut data jumlah kantor sekretariat PDI Perjuangan Kota Surakarta. Tabel II.1 Data sekretariat PDI Perjuangan Kota Surakarta No
sekertariat
Jumlah
1
DPC
1
2
PAC
5
3
Ranting
51
4
Anak Ranting
591
(Sumber : Arsip AD/ART DPC Perjuangan Surakarta) Dari data tersebut diatas jumlah sekretariat untuk DPC adalah 1 (satu); kantor sekretariat PAC (Pengurus Anak Cabang) yang bertempat di Jalan Hasanudin No.28 Laweyan, Surakarta. Pada tingkat kecamatan terdapat 5 kantor yaitu PAC Laweyan, PAC Jabres, PAC Serengan, PAC Pasar Kliwon, PAC Banjarsari. Sekretariat ranting berjumlah 51 yang berada di masing-masing kelurahan di seluruh Kota Surakarta. Jumlah anak ranting yang tersebar di seluruh Kota Surakarta sebanyak 591 kepengurusan di tingkat RW. Jumlah RW yang terdapat di Surakarta adalah 595 RW, berarti masih terdapat 4 RW yang belum terbentuk dalam kepengurusan anak ranting. a. Data Pengurus DPC PDI Perjuangan Surakarta Tabel II.2 STRUKTUR PENGURUS DEWAN PIMPINAN CABANG PDIP PERJUANGAN
KOTA SURAKARTA MASA BAKTI 2005-2010 NO
NAMA
JABATAN
1
FX. Hadi Rudyatmo
Ketua
2
Ir. Hariadi Saptono
Wakil Ketua Bidang Politik dan Pemenangan pemilu
3
YF. Sukasno
Wakil Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi
4
Supardi
Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi
5
Yayuk Purwani
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Kesra
6
Windu Winarso, SH
Wakil Ketua Bidang Hukum, HAM dan Advokasi
7
Drs. ST. Hendratmo, SH,MM
Sekretaris
8
Endah Tyasmini
Wakil Sekretaris Bidang Internal
9
Maryuwono, SH
Wakil Sekretaris Bidang Eksternal
10
Bambang Wijayanto
Bendahara
11
Drs. Teguh Prakoso
Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi dan Kekayaan Partai
(Sumber : arsip AD/ART DPC PDI Perjuangan Surakarta)
Pada periode 2005-2010 DPC Kota Surakarta dipimpin oleh FX. Hadi Rudyatmo, yang pada saat ini juga menjabat sebagai Wakil Walikota Kota Surakarta periode 2005-2010 yang berpasangan dengan Ir. Joko Widodo. Dilihat dari susunan struktur organisasi DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta terdiri dari 3 jenjang: a) Ketua; b) Sekretaris; c) Bendahara. Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil ketua bidang yang ada di partai yang berjumlah 5 orang. Sekretaris memiliki 2 orang wakil sekretaris untuk urusan internal dan eksternal. Sedangkan bendahara memiliki 1 orang wakil untuk membantu pengelolaan inventarisasi dan kekayaan partai. b. Data Keanggotaan PDI Perjuangan Tabel II.3 DATA PERSEBARAN ANGGOTA PDI PERJUANGAN TIAP KECAMATAN SURAKARTA
No
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
1
Jebres
9.577
8.340
2
Laweyan
2.884
1.978
3
Serengan
2.442
1.823
4
Pasar Kliwon
4.343
3.163
5
Banjarsari
8.326
7.456
Jumlah
27.572
22.760
(Sumber : sekretariat PDI Perjuangan) Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa PDI-P merupakan partai dengan keanggotaan total lebih dari 50.000 anggota. Jika dilihat dari tabel maka pendukung terbanyak dari Kecamatan Jebres dengan total 18.897 anggota. Kemudian Kecamatan Banjarsari berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 15.782 anggota. Kecamatan Pasar Kliwon dengan jumlah anggota 7.506. sedangkan di wilayah Laweyan, PDI Perjuangan beranggotakan 4.862 orang. Sementara jumlah paling kecil terlihat di Kecamatan Serengan yaitu 4.265 anggota.
C. PARTAI GOLONGAN KARYA (GOLKAR) 1. Sejarah Partai Golkar Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar. Sekber Golkar merupakan perhimpunan 97 organisasi fungsional non afilisasi politik yang anggotanya terus berkembang hingga mencapai 220 organisasi. Selanjutya sejak pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 GOLKAR terus menerus berhasil mengemban kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal. Setelah terjadinya gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dalam
terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada BJ Habibie maka diadakan pembaharuan beberapa undang-undang dibidang politik dengan ditetapkan undang-undang baru tentang partai politik, pemilihan umum, dan susunan dan kedudukan ke MPR, DPR, dan DPRD. Untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru peraturan tersebut maka pada tanggal 7 Maret 1999 telah dilaksanakan deklarasi Partai Golongan Karya dan sejak saat itu secara resmi Golkar menegaskan diri menjadi partai politik dalam posisi yang sejajar serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan partai politik lain. AD dan ART Partai Golkar yang baru sudah ditetapkan dalam Munas Luar Biasa pada tanggal 9-11 Juli 1998 bersamaan dengan penetapan berbagai hasil Munas Luar Biasa kiranya sebagai manifestasi pembaharuan dalam tubuh Golkar untuk tampil sesuai dengan tuntutan dan semangat reformasi. Berdasarkan hasil Munas Luar Biasa tersebut, DPP Partai Golkar menegaskan paradigma baru Partai Golongan Karya yang berintikan misi, visi dan platform perjuangan Partai Golkar dalam era reformasi. Partai golongan karya dalam paradigma baru dan diringkas sebagai golkar baru pada prinsipnya mengedepankan tema pokok perjuangannya dengan semboyan : GOLKAR BARU, BERSATU UNTUK MAJU. 2. Arah kebijakan partai golkar Dalam menyusun dan melaksanakan Program Umum Partai Golkar 2004-2009, Partai Golkar berpegang pada kebijakan dalam Anggaran Dasar sebagai berikut: a. Tujuan Partai Golkar Dalam
Anggaran
Dasar
Partai
Golkar,
tujuan
Partai
Golkar
adalah
mempertahankan dan mengamalkan pancasila serta menegakan UUD 1945, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan pembukaan UUD 1945, menciptakan masyarakat adil dan makmur, materiil dan spriritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Visi dan Misi Partai Golkar Visi Partai Golkar adalah mewujudkan masyarakat indonesia baru yag bersatu, berdaulat, maju, modern, damai, adil, makmur, beriman dan bertaqwa, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tatanan masyarakat madani. Golkar memiliki dua misi yaitu menegakan, mengamankan dan mempertahankan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara demi persatuan Indonesia; mewujudkan cita-cita proklamasi melalui pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang untuk merealisasikan masyarakat yang demokratis dan berdaulat, sejahtera, adil dan makmur, menegakan supremasi hukum dan menghormati hak asasi manusia, serta terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia. 3. Jenjang Kepengurusan Partai Dalam AD/ART Partai Golkar disebutkan, sedikitnya ada 5 jenjang kepengurusan partai yaitu: a. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) adalah badan pelaksanaan tertingi partai yang bersifat kolektif. b. Dewan Pimpinan Daerah Provinsi (DPD Provinsi) adalah badan pelakasaan partai yang bersifat kolektif di tingkat provinsi. c. Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten / Kota (DPD Kota/Kabupaten) adalah badan pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat Kabupaten/Kota. d. Pimpinan Kecamatan adalah badan pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat kecamatan. e. Pimpinan Kelurahan adalah badan pelaksaan partai yang bersifat kolektif di tingkat kelurahan. 4. Kondisi Partai Golkar Surakarta
Kota Surakarta yang merupakan wilayah kota sehingga struktur jenjang partai adalah Dewan Pimpinan Daerah Kota (DPD Partai Golkar Kota Surakarta) sampai dengan Pimpinan Kelurahan. Berikut data jumlah kantor Sekretariat Partai Golkar Surakarta. Tabel II.4 Data Sekretariat DPD Golkar Surakarta No
Sekretariat
Jumlah
1
DPD
1
2
Pimpinan Kecamatan
5
3
Pimpinan Kelurahan
51
(Sumber : Arsip DPD GOLKAR Surakarta 2009) Dari data diatas terlihat golkar memiliki jenjang kepemimpinan hanya sampai pada tingkat Pemimpin Kelurahan/Desa. DPD GOLKAR Surakarta memiliki satu kantor Perwakilan Kota, 5 Kantor Pimpinan Kecamatan dan 51 Kesekretariatan Pimpinan Kelurahan/Desa. a. Kepengurusan DPD GOLKAR Kota Surakarta Tabel II.5 Data Pengurus DPD Partai GOLKAR Kota Surakarta Periode 2004-2009 No
NAMA
JABATAN
1
R.M. Koes Rahardjo
Ketua
2
Drs. Bandung joko S, SH
Wakil Ketua
3
Kusniah Sardjono
Wakil Ketua
4
H. Suroto Mangun, ST
Wakil Ketua
5
Dr. HM alaydrus
Wakil Ketua
6
Jumadi Joko Santoso, SH
Wakil Ketua
7
Ir. Bambang Soehardjanto
Sekretaris
8
Drs. Bambang Triyanto, M. Pd
Wakil Sekretaris
9
Zaena Mutholib
Wakil Sekretaris
10
Drs. Agus nuryanto
Wakil Sekretaris
11
Dra. Titi Endah Puji
Wakil Sekretaris
12
FL. Irawan Joko, ST
Bendahara
13
Sumini Subadio
Wakil Bendahara
14
Heru Santoso, B. Sc
Wakil Bendahara
( Sumber : Surat Kepuusan DPD Partai GOLKAR Prov Jawa Tengah No. 14/GOLKAR I/X/2004) Pada periode 2004-2009 DPD GOLKAR Kota Surakarta dipimpin oleh R.M. Koes Raharjo, yang merupakan salah satu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta. Dilihat dari susunan struktur organisasi, DPD GOLKAR Kota Surakarta terdiri atas 3 jenjang: a) Ketua; b) Sekretaris c) Bendahara. Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil ketua partai yang berjumlah 5 orang. Sekretaris juga memiliki 5 orang wakil sekretaris. Sedangkan bendahara hanya memiliki 2 orang wakil untuk membantu pengelolaan inventarisasi dan kekayaan partai. b. Data persebaran anggota Partai Golkar Kota Surakarta DATA PERSEBARAN ANGGOTA DPD GOLKAR TIAP KECAMATAN DI SURAKARTA NO KECAMATAN
JUMLAH
1
Jebres
1.093
2
Laweyan
2.131
3
Serengan
807
4
Pasar Kliwon
765
5
Banjarsari
1.400
jumlah
6.196 (sumber : Sekretariat DPD GOLKAR)
Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa Partai Golkar memiliki anggota di wilayah Surakarta dengan jumlah total 6.196 anggota. Jika dilihat dari tabel maka pendukung terbanyak datang dari Kecamatan Laweyan dengan total 2.131 anggota. Kemudian Kecamatan Banjarsari berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 1.400 anggota. Kecamatan Laweyan dengan jumlah anggota 2131. Disusul Kecamatan Serengan dengan 807 anggota dan Pasar Kliwon yaitu 765 anggota.
D. PARTAI DEMOKRAT 1. Sejarah Partai Demokrat Partai demokrat didirikan atas inisiatif Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan calon Wakil Presiden dalam sidang MPR Tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan Cawapres dan hasil pooling public yang menunjukan popularitas yang ada pada diri SBY, beberapa orang terpanggil nuraninya untuk membawa SBY menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Pada tanggal 12 Agustus 2001 pukul 17.00 WIB diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di Apartemen Hilton. Di lingkungan kantor Menkopolkam juga didakan diskusi-diskusi untuk pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani Wachid (Alm). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY.
Pada tanggal 10 September 2001 jam 10.00 WIB Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI oleh Vence Rumangkang, Prof .
Dr. Subur
Budhisantoso, Prof. Dr. Irsan Tanjung, Drs. Sutan Bhatogana MBA, Prof. Dr. Rusli Ramli dan Prof. Dr. RF. Saragih, SH, MH dan diterima oleh Ka SUBDIT Pendaftaran Departemen Kehakiman dan HAM. Kemudian pada tanggal 25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Kenkeh dan HAM Nomor M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan surat keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 tentang pengesahan. Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pertama pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia. 2. Arah Kebijakan Partai Demokrat. Dalam menyusun dan melaksanakan program umum Partai Demokrat 2004-2009, Partai Demokrat berpegang pada kebijakan dalam Anggaran Dasar sebagai berikut: a. Tujuan Partai Demokrat sebagai berikut: 1)
Menegakkan, mempartahankan dan mengamankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai jiwa proklamasi kemerdekaan.
2) Mewujudkan cita-cita bangsa indonesia, sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 3) Melakukan segala usaha dan ikhtiar untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang berwawasan nasionalisme, pluralisme, dan humanisme.
4)
Meningkatkan partisipasi seluruh potensi bangsa dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang memiliki pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, serta dinamis menuju terwujudnya Indonesia yang demokratis, sejahtera, maju dan modern, dalam suasana aman dan penuh kedamaian lahir dan batin.
b. Visi partai Partai Demokrat memiliki misi bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat nasionalisme, humanisme, dan internasionalisme, atas dasar ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis, dan sejahtera. c. Misi Partai Demokrat memiliki misi sebagai berikut: 1) Memberikan garis yang jelas agar partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang signifikan didalam seluruh proses pembangunan indonesia baru yang dijiwai oleh semangat
reformasi
serta
pembaharuan
dalam
semua
bidang
kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan. 2) Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan nasional sebagai tumpuan sejarah bahwa kehadiran Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut kemerdekaan, merumuskan pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi.
3) Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat sipil yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lembaga perwakilan dan permusyawaratan. 3. Jenjang Kepengurusan Partai Demokrat Tingkatan kepengurusan Partai Demokrat terdiri dari: a. Tingkat Pusat, disebut Dewan Pimpinan Pusat. b. Tingkat Provinsi, disebut Dewan Pimpinan Daerah. c. Tingkat Kabupaten/Kota, disebut Dewan Pimpinan Cabang. d. Tingkat Kecamatan, disebut Dewan Pimpinan Anak Cabang. e. Tingkat Kelurahan atau Desa, disebut Dewan Pimpinan Ranting. f. Tingkat RW/Dusun disebut Pimpinan Anak Ranting. 4. Kondisi Partai Demokrat Surakarta Kota Surakarta sesuai dengan AD/ART yang berlaku merupakan wilayah kota sehingga jenjang partai adalah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sampai dengan Anak Ranting. Berikut data jumlah kantor sekretariat DPC Partai Demokrat. Tabel II.7 Data Sekretariat Partai Demokrat Kota Surakarta No Sekretariat
Jumlah
1
DPC
1
2
PAC
5
3
Ranting
51
4
Anak Ranting
595 (sumber : Arsip DPC Partai Demokrat Surakarta)
Dari data diatas jumlah sekretariat untuk DPC adalah 1 (satu) ; Kantor Sekretariat PAC (Pengurus Anak Cabang) yang bertempat di jalan Setiabudi no.113 Mangkubumen, Banjarsari, Surakarta. Pada Tingkat Kecamatan terdapat 5 kantor yaitu PAC Laweyan, PAC Jebres, PAC Pasar Kliwon, PAC Banjarsari, PAC Serengan. Sekretariat Ranting 51 yang berada di masing-masing kelurahan di seluruh Kota Surakarta. Jumlah anak ranting yang tersebar di seluruh Kota Surakarta sebanyak 595 kepengurusan di tingkat RW. Sekretariat Anak Ranting bersifat informal. a) Data Pengurus DPC Partai Demokrat Surakarta Tabel II. 8 STRUKTUR PENGURUS DEWAN PIMPINAN CABANG PARTAI DEMOKRAT KOTA SURAKARTA MASA BAKTI 2007-2012 NO
Nama
Jabatan
1
Dr. KP. Eddy S. Wirabhumi
Ketua
2
Supriyanto
Sekretaris
3
Drs. H. Salimin, MM
Bendahara
4
Satya Graha, SH
Wakil Ketua Keanggotaan dan Kaderisasi
5
Dra. Wahyuning C, M. Si
Wakil Ketua Pendidikan dan peningkatan SDM
6
Eko Srinardjo
Wakil Ketua UKM, Perindustrian dan Perdagangan
7
Guntur Taufik Irawan
Wakil Ketua Pemuda, Olahraga dan kominfo
8
Hj. Hadijah Ulfa
Wakil Ketua Agama dan Aliran Kepercayaan
9
Sri Widaningsih
Wakil Ketua Energi dan SDA
10
Pratihkno, SH
Wakil Ketua Pemda dan Pertanahan
11
Ary Nuryandhani, S. Pd
Wakil ketua pariwisata dan Kebudayaan
12
Dyah Liestriningsih, SH
Wakil ketua HAM, Buruh, Tani dan Tenaga Kerja
13
Reny Widyawati, SE
Wakil Ketua Pemberdayaan Perempuan
Pada periode tahun 2005-2010 DPC Partai Demokrat Surakarta dipimpin oleh Dr. KP. Eddy S. Wirabhumi, yang juga salah satu kerabat di Keraton Surakarta. Di lihat dari susunan struktur organsasi DPC Partai Demokrat Surakarta terdiri dari 3 jenjang: a)Ketua ; b)Sekretaris; c) Bendahara. Untuk jenjang ketua langsung membawahi wakil-wakil bidang partai yang berjumlah 10 orang. Sekretaris memiliki 10 orang wakil sekretaris untuk urusan internal dan eksternal. Sedangkan bendahara memiliki 8 orang wakil untuk membantu pengelolaan inventarisasi dan kekayaan partai. b) Data persebaran anggota DPC Partai Demokrat Surakarta Tabel II.9 Data Persebaran Anggota Partai Demokrat Surakarta No Kecamatan
Jumlah
1
Jebres
3.100
2
Laweyan
3.889
3
Serengan
3.600
4
Pasar Kliwon
2.468
5
Banjarsari
2.990
jumlah
15.957 (sumber : Sekretariat DPC Partai Demokrat Surakarta)
Dalam tabel diatas kita dapat melihat bahwa DPC Partai Demokrat Surakarta merupakan partai dengan anggota terbesar ke dua di wilayah Surakarta setelah PDI Perjuangan dengan jumlah total 15.957. jika dilihat dari tabel maka pendukung terbanyak datang dari Kecamatan Laweyan dengan total 3.889 anggota. Kemudian Kecamatan Serengan berada di tempat kedua dengan anggota sebanyak 3.602 anggota. Kecamatan Jebres dengan
jumlah anggota 3.101. Disusul Banjarsari 2.910 orang dan Kecamatan Pasar Kliwon 2.468 orang.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa dalam perkembangan demokrasi di Indonesia banyak terjadi perubahan-perubahan. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari sistem pemerintahan yang sedang berjalan, tetapi juga penerapan cara-cara baru komunikasi politik oleh partai politik dalam menggalang massa. Salah satu cara terbaru komunikasi politik yang dimaksud adalah iklan politik. Iklan politik dirasa merupakan cara yang mampu menjawab bagaimana cara menciptakan citra dan mempengaruhi emosi calon pemilih. Dalam politik saat ini, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui media massa seakan menjadi mantra yang diyakini mampu mempengaruhi calon pemilih. Melalui media massa pula, maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Salah satu yang menarik untuk dikaji disini adalah persepsi partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya terhadap iklan politik pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediyono versi Indomie di televisi pada Pemilu tahun 2009. Ketiga partai politik tersebut merupakan tiga dari lima besar partai politik di Kota Surakarta. Untuk lebih lanjut, persepsi dari tiga partai (PDI Perjuangan, GOLKAR dan Partai Demokrat) dapat terlihat dari hasil penelitian berikut.
A. Persepsi Partai Politik Terhadap Iklan Politik
Iklan politik merupakan bagian dari komunikasi politik. Dikatakan begitu karena ia sanggup menghubungkan partai politik dengan masyarakat, terutama calon pemilih tentang pesan-pesan politiknya. Iklan politik lewat media televisi juga disebut-sebut sebagai wadah penyebaran pesan politik yang cukup efektif dan modern. Ini disebabkan, sebagian besar masyarakat indonesia saat ini memang sudah mengkonsumsi siaran televisi. Media iklan juga sering dikatakan menjawab persoalan masa lalu bahwa kampanye politik tidak harus menggunakan pengerahan massa besar-besaran. Dalam penelitian penulis di lapangan, partai politik cenderung memiliki pengertian yang sama dalam menterjemahkan iklan politik. Menurut PDI Perjuangan iklan politik banyak diartikan secara sederhana sebagai iklan yang berisi pesan-pesan politik. Berikut pengertian iklan politik menurut FX Hadi Rudiatmo, Ketua Umum PDI Perjuangan Kota Surakarta. “Menurut saya iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi politik untuk menyampaikan pesan tentang politik. Hanya saja iklan politik seharusnya dipahami tidak sekedar jualan politik lho. Karena iklan politik mempunyai tanggung jawab mengenai isu-isu sosial dan bangsa daripada sekedar iklan. Semacam lebih cenderung mirip iklan layanan masyarakat lah daripada iklan komersil.”
Penekanan dari pengertian diatas bahwa iklan politik mempunyai tanggung jawab dalam mengangkat isu sosial dan kebangsaan. Semacam dalam pengertian bahasa iklan, tidak seharusnya dalam iklan politik bersifat hard sell saja. Beberapa materi iklan politik di indonesia memang mempunyai kecenderungan bersifat langsung pada ajakan untuk memilih nomor atau sombol tertentu. Padahal menurut pengertian yang dimaksud Rudi, iklan politik harus membangun kecerdasan masyarakat lewat usaha mengangkat isu-isu sosial dan kebangsaan serta menawarkan solusinya. Sementara itu pengertian iklan politik menurut Dr. KP. Eddy S. Wirabumi, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surakarta adalah sebagai berikut. “Iklan yang menawarkan hal-hal yang berkaitan dengan politik. Tidak harus orang atau partai lho. Bisa juga berupa gagasan atau ide. Semacam iklan anjuran untuk tidak golput itu
iklan politik lho. Jangan hanya diartikan iklan cuman partai dan individu yang mencalonkan diri menjadi pemimpin tok.”
Senada dan hampir sependapat juga diungkapkan RM. Koes Rahardjo, Ketua DPD Partai Golkar Kota Surakarta. “Adalah iklan yang berisi tentang hal yang bersangkutan dengan kehidupan politik. Misalnya tentang partai poltik, pemilihan kepala daerah dan pemilihan wakil rakyat.”
Berdasar dari pemaparan diatas, iklan politik secara definisi memang diartikan penyampaian pesan-pesan politik melewati media komunikasi guna mencapai tujuan politik. Penggunaan iklan politik juga selain digunakan aktor politik juga merupakan sarana penyampaian ide-ide atau gagasan-gagasan politik. Sudut pandang pengertian ini juga mengungkapkan bahwa iklan politik tidak harus berasal dari orang atau partai yang ingin dipilih. Pengertian iklan politik terlihat diperluas dengan memberi contoh bahwa iklan anjuran untuk tidak Golput pun sudah menjadi iklan politik. Ini didasarkan bahwa iklan anjuran untuk tidak Golput pun berisi pesan dan penginformasian politik. Sehingga masuk dalam kategori iklan politik juga. Iklan politik yang ditunjukan kepada masyarakat selanjutnya tentu saja mendapat tanggapan. Menjadi menarik karena tentu saja bila pesan yang ingin disampaikan dari pihak komunikator dalam hal ini calon aktor politik ternyata mendapat persepsi yang berbeda dengan masyarakat yang menyaksikan. Oleh karena itu dalam membuat iklan, biasanya digunakan jasa bantuan tim kreator pembuat iklan. Bukan hal yang aneh bahwa dalam beriklan selalu digunakan tim kreator yang berfungsi membuat iklan. Fungsi dari kreator ini tentu saja untuk membuat iklan yang menarik, kreatif dan tentu saja pesannya dapat ditangkap oleh penonton. Jadi ada kesepahaman dengan maksud si pembuat iklan. Kendati dalam pembuatannya sudah dikonstruksi oleh tim kreatif iklan, tetap saja terjadi perbedaan persepsi antara individu satu
dengan yang lain. Bahkan tidak jarang persepsi yang terjadi di masyarakat ternyata tidak sebangun dengan kreator iklan. Selanjutnya menjadi menarik untuk dibahas mengenai bagaimana sebetulnya persepsi partai politik terhadap iklan politik. Disini dipaparkan partai politik karena partai politik adalah pihak yang intens dalam kegiatan politik. Jadi dalam menyimak sebuah iklan politik tentu akan ada analisa yang didasari logika politik. Berikut selanjutnya akan dipaparkan poin demi poin persepsi partai politik terhadap iklan politik. a. Tidak Realistis Partai politik melihat iklan politik cenderung tidak realistis dalam materi isinya. Seluruh narasumber Partai Golkar dan PDI Perjuangan membenarkan hal itu. Menurut mereka kecenderungan yang sama juga dapat dilihat dari iklan produk komersil, bahwa dalam kenyataan sering tidak sama dengan cantuman dalam iklan. Hal ini menjadi dilematika dalam iklan politik di indonesia. Bahwa pencantuman hal yang tidak realistis sering membuat masyarakat menjadi jengah dan kurang tertarik lagi menyimak iklan politik. Namun narasumber dari Partai Demokrat menyanggah hal itu. Berikut petikan wawancara dengan Wirabumi, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Surakarta ”Sering iklan politik secara umum tidak semuanya tidak realistis, mencantumkan hal yang bersifat retorika dan normatif. Tidak semuanya, memang ada yang tidak realistis. Beberapa ada yang berangkat dari data dan fakta. Seperti dari Iklan partai Demokrat. Selalu berdasarkan data dan hasil di lapangan. Untuk di negara maju, iklan politik menjadi alat yang ampuh untuk mempengaruhi pemilih. Disana iklan merupakan cara penginformasian politik bagus, efektif dan aman. Iklan politik kan solusi komunikasi poltik tidak harus dalam bentuk berkumpulnya massa yang sering diikuti pawai konvoi.”
Partai Demokrat melihat, iklan politik dipersepsikan oleh masyarakat seperti tidak realistis memang merupakan hal yang wajar. Mengingat iklan politik di indonesia memang hal yang masih baru. Dalam proses pembelajaran demokrasi, indonesia baru melakukan pemilihan umum presiden secara langsung baru sejak tahun 2004. Sehingga proses pembelajaran demokrasi masih butuh waktu untuk dimaklumi. Seperti diungkapkan Wirabumi kembali berikut ini.
”Komunikasi politik dalam bentuk iklan politik kan baru sejak beberapa tahun terakhir. Jadi proses pembelajarannya masih awal. Sehingga perlu ditolerir bila masih ada kesalahan disana-sini. Pemilu presidan langsung saja baru sejak 2004 kemarin ya tho. Untuk sesuatu yang baru memang butuh waktu.”
Ketika penulis menayakan lebih dalam mengenai iklan politik Partai Demokrat, bagaimana bila juga dipersepsikan oleh masyarakat termasuk iklan yang memasukan hal tidak realistis. Pihak Partai Demokrat memilih jawaban diserahkan pada persepsi masyarakat masing-masing. ”Hal yang wajar dalam politik bila partai lawan menganggap iklan kami tidak jujur. Itu hal yang biasa dalam politik. Kita serahkan pada persepsi masyarakat. Yang jelas pemerintahan dibawh SBY memang telah bekerja semampu mungkin. Untuk selanjutnya kita memohon dukungan bersama agar masalah-masalah bersama dan kekurangan yang belumbelum dapat diatasi bersama-sama. Saya pikir masyarakat bisa melihat kok. Kenyataanya kepercayaan masyarakat pada SBY masih tinggi. Sehingga terpilih lagi.”
Sementara itu narasumber dari PDI Perjuangan melihat bahwa iklan politik pada dasarnya merupakan proses yang mengelabui pemilih. Banyak dari iklan politik berisi hal yang tidak realistis. Menurut mereka konten isi sering berlawanan dengan kenyataan. Berikut petikan wawancara dengan Hendratno, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta. ”Sebelumnya ada perbedaan pengertian antara iklan politik dan informasi. Nah seharusnya, iklan politik ini masuk dalam kategori informasi. Informasi keberhasilan, bukan iklannya. Karena bila sudah berkaitan iklan pasti isinya yang bagus-bagus saja. Tapi yang penting apa yang sudah anda capai. Jadi ini informasi lebih tepat menurut saya daripada disebut iklan. Jadi informasi ini jujur antara keberhasilan yang sudah diraih dengan kekurangan selama ini yang belum. Yang namanya iklan kan semua kecap nomor satu. Ga da kecap nomor dua itu gak ada. Nah ini bohong ini namanya menyesatkan masyarakat. Dan intinya bila tidak sesuai dengan yang dijanjikan di iklan menurut saya pasti pemilih akan tahu. Dan tidak akan memilih untuk pemilihan selanjutya.”
Hal yang digarisbawahi dari pernyataan diatas adalah, pada dasarnya iklan memang bertujuan meyakinkan pemilih. Sehingga menjadi hal yang mungkin terjadi adalah penggunaan cara seperti klaim bahwa dirinya nomor satu seakan menjadi sesuatu yang wajar. Sementara menurut Sukasno, Wakil Ketua PDI Perjuangan Kota Surakarta, iklan politik memang pada dasarnya sering memanipulasi dari keadaan sebenarnya. Sehingga menjadi hal yang sulit saat ini untuk mencari iklan politik yang jujur. Seringnya pesan dari
iklan politik cenderung berisi pesan normatif yang memberi harapan berlebihan kepada masyarakat namun susah dalam implementasinya. “Sulit untuk mencari iklan yang jujur dan apa adanya. Sebagian merupakan bentukan dari tim kreatif iklan ya tho. Kadang secara gambar saja yang kurang ditambah-tambahi. Apalagi pesan-pesan dan isi iklannya. Terlalu sempurna menurut saya. Lihat saja iklan SBY yang seakan-akan mencitrakan dirinya orang yang hebat banget. Seakan-akan semua jalan dipakai untuk menarik pemilh. Termasuk mengelabui pemilih gak peduli.”
Hal mendasar yang ditarik dari pernyataan Sukasno adalah hampir dari iklan politik di indonesia berisi hal yang tidak jujur. Mulai dari tampilan visual hingga isi pesan iklan merupakan hasil permak. Sehingga yang hadir dalam ranah kehidupan masyarakat adalah visualisasi kebohongan yang hadir dalam setiap kehidupan. Dalam media massa, di jalanjalan, bahkan di depan rumah mereka masing-masing. Hal ini bila benar, tentu menyalahi etika dalam beriklan. Seperti halnya iklan komersial, persepsi khalayak menjadi parameter atas benar-salah atau baik-buruk suatu iklan politik. Suatu iklan dianggap melanggar etika manakala persepsi yang ditimbulkannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut khalayak tersebut. Indonesia juga dapat menggunakan rujukan baku yang ada, karena di seluruh dunia menerapkan prinsip-prinsip etika yang berlaku secara universal. Prinsip-prinsip itu adalah iklan harus jujur bertanggungjawab dan dibangun atas dasar kebenaran81. Menjadi lebih menarik ketika selanjutnya penulis mencoba lebih dalam mengetahui mengenai bagaimana sebetulnya iklan yang memenuhi standar jujur menurut PDI Perjuangan. Berikut pernyataan dari Hendratno. “Mengakui apa yang sudah dikerjakan, bisa yang baik-baik itu apa yang sudah dikerjakan, dan mengakui apa yang belum. Selama ini yang belum itu ga pernah diucapkan atau diakui. Itu kalo terkait iklan SBY yang saya lihat. Jadi jujur, apa adanya dan konsekuen lah. Itu jujur yang dalam pegertian sederhana lho. Belum jujur menurut agama. Lebih berat lagi tentunya. Nah sekarang ini jujur yang sederhana saja dalam iklan politik sudah menjadi hal yang jarang kita lihat.”
81
Setiyono Opcit hal 351
Selanjutnya menurut partai golkar, iklan poltik memang cenderung ada unsur tidak realistis dalam penyampaiannya ke masyarakat. Wujud tidak realistis itu dalam kacamata Partai Golkar terlihat dalam pemaparan program dalam iklan politik sering hanya sekedar menebar harapan yang mengada-ada. “Tidak ada kenyataanya. Bagai angin surga saja menurut saya. Program-programnya kok sering tidak realistis. Pendidikan gratis misalnya apanya yang gratis lawong biaya pendidikan pada kenyatannya malah naik. Sembako murah misalnya, apa nanti tidak justru malah menyengsarakan petani. Masalah beras saja begitu rumit. Pupuk begitu mahal, harga jual rendah, masalah infrastruktur irigasi juga terbengkalai bagaimana kok bisa murah dalam seratus hari. Ini kan tidak realistis.”
Pemaparan diatas memberikan gambaran bahwa beberapa iklan politik cenderung menggunakan program yang normatif dan dalam iklan sering tidak dijelaskan bagaimana cara program itu bisa menjadi dapat diimplementasikan di lapangan. Informan Partai Golkar mengungkapkan, penggunaan cara-cara seperti itu seharusnya tidak dilakukan. Karena akibatnya rakyat menjadi tidak percaya lagi terhadap iklan politik. Padahal menurut Partai Golkar penggunaan iklan politik merupakan cara yang baik untuk memberikan informasi dan melakukan pendidikan politik. “Angka Golput kan tinggi ya, ini kan kalau dicermati tidak masalah di kartu pemilih tapi masalah kepedulian. Nah iklan politik ini seharusnya manjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Memberikan informasi lewat iklan itu murah tho. Lawong setiap keluarga punya televisi. Jadi bila iklan itu baik kan bisa memberikan info yang meningkatkan kepedulian politik. La iya to daripada harus bolos kerja untuk dengar visi dan program calon presiden dengan kampanye di lapangan kan mendingan melihat iklan poltik lewat televisi. Tapi kalo iklannya gak bener ya masyarakat jadinya kalau ada iklan mendingan diganti chanel-nya.”
Hal mendasar yang ditarik dari pernyataan diatas adalah iklan politik sebetulnya merupakan media yang bagus untuk menawarkan visi, misi dan program kepada calon pemilih. Namun, sering dalam tampilannya justru tidak realistis yang berakibat calon pemilih menjadi kehilangan referensi pilihan dalam Pemilu. b. Membentuk Citra
Partai politik mengamati iklan politik yang ditayangkan sering memperlihatkan citra dari pengiklan merupakan citra bentukan. Hal ini menunjukan, iklan politk digunakan untuk membentuk citra dari partai, caleg atau calon presiden saja. Ini sependapat dengan Firmanzah dalam Marketing Politik, bahwa dalam marketing politik, gagasan mengenai image politik sangat penting. Marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya.82 Pada akhirnya semua hal yang dilakukan partai politik adalah mendefinisi dan mendefinisi ulang image yang telah ada. Seperti juga berdasar hasil riset dari Falkow dan Cwalian Kaid, iklan politik berguna untuk membentuk citra dan sikap emosional terhadap kandidat.83 Narasumber dari PDI Perjuangan dan Partai Golkar membenarkan bahwa iklan berguna dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap kandidat atau partai politik. Iklan adalah proses pembentukan citra. Namun Partai Demokrat melihat wacana citra dalam iklan pada dasarnya tidak bisa dipaksakan. Menolak dari pendapat dua partai lainnya, citra yang tampil dalam iklan bila hasil bentukan, masyarakat pasti akan tahu. Selanjutnya tidak akan mengikuti ajakan memilih. “Kalo citra itu dibuat-buat masyarakat pasti bisa tahu mas. Masyarakat kita sekarang ini pinter-pinter. Malah taruhannya besar menurut saya. Dicitrakan baik bila masayrakat menilai lain malah bisa jadi bahan guyonan partai lain lho. Akhirnya malah gak jadi kepilih.”
Selanjutnya dituturkan pula bahwa pembentukan citra dalam iklan politik merupakan sebuah proses yang berlangsung lama. Orang yang dicitrakan baik, memang sudah pada dasarnya masyarakat sebelumnya mengenal dia baik. Partai yang dicitrakan peduli kepada masyarakat, pasti pada awalnya sudah dikenal pula oleh rakyat pernah menolong dalam waktu-waktu sebelumnya. “Dalam bahasa jawa ada pepatah, wong nandur kui ngunduh. iklan itu tidak membentuk citra. Bila sudah dikenal baik sebelumnya tanpa beriklan pun orang akan mengenal kita baik. 82 83
Firmanzah, Opcit hal 232 Setiyono Opcit. Hal 346-347
Karena pada awalnya sudah mengenal. Parta juga lho. Ada yang mengatakan baik karena memang sudah ada karya yang dikenal dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak bisa mas, Kita iklan terus langsung terbentuk citra.”
Dibenarkan pula oleh Budi Riyanto, Ketua Bapilu DPC Partai Demokrat Kota Surakarta, Iklan poltik tidak bisa membentuk citra. Tapi iklan politik diperlukan dalam komuniksi politik modern saat ini. Hanya saja ditambahkan oleh Budi, memang bisa saja masyarakat karena melihat iklan menjadi pada tingkat terpengaruh. Tapi untuk menjadi memilih tentu diperlukan aksi nyata yang menyentuh meraka. “Iklan itu semacam hal yang perlu mas. Tapi bukan terpenting. Membentuk citra itu harus dengan datang ke masyarakat dan menjawab semua kesulitan meraka dengan pengabdian. Itu mas namanya membentuk citra yang sebenarnya. Bukan melalui iklan saja. Masyarakat tentu akan memilih yang pernah mengerti mereka. Bukan karena pernah melihat saja di televisi.”
Pernyataan diatas menunjukan bahwa Partai Demokrat melihat iklan tidak tidak relevan dengan pembentukan citra. Bahwa iklan kendati banyak dan deras menghantam masayarakat, bila tidak didukung jaringan akar rumput di masyarakat akan cenderung seperti angin lalu. Ketika penulis menanyakan lalu bagaimanakah usaha yang dilakuakan oleh orang atau partai yang baru pertama ikut dalam kompetisi? Apakah masyarakat sudah mengetahui karyanya dan bagaimana menyampaikan visi dan misinya. Dan apakah salah menggunakan iklan sebagai media membentuk citra diri di masyarakat? Partai Demokrat lewat pernyataan Wirabumi menjawab bahwa tentu akan ada usaha-usaha yang dipikirkan oleh tim kampanye guna membuat citra di masyarakat. Sedangkan untuk jawaban jelasnya wirabumi mengatakan tidak dalam kapasitasnya menjawab pertanyaan itu. Sementara itu Partai Golkar membenarkan kecenderungan bahwa iklan politik berfungsi membentuk citra. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh seperti manusia dermawan yang selalu membantu yang lemah.
Sang tokoh menjadi juru selamat yang akan menyelesaikan semua masalah. Seperti berikut petikan pernyataan dari Koes Rahardjo, Ketua DPD Partai Golkar Kota Surakarta. “Dalam kemasan tayangan iklan poltik sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan di pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh perhatian. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Disana digambarkan, sang tokoh bersama penggiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang serba opo enenge. Iklan politik mesti ngono-ngono rata-rata.”
Koes kembali menambahkan, Ketika kita menyaksikan iklan poltik yang bertebaran di berbagai jagad media, sebenarrnya kita sedang melihat upaya keras para Caleg dan kandidat presiden mengkomunikasikan politiknya sebagai kenyataan yang tidak sebenarnya. Dikatakan kenyataan yang tidak sebenarnya karena bila pengiklan politik menjual citra dirinya yang sebenarnya, dirasa tidak mampu mendongkrak popularitas dan perolehan suara di pertarungan pemilu. Oleh sebab itu, untuk memenangkan pertarungan dibutuhkan realitas bentukan yang sering disebut pencitraan diri. Realitas kedua ini tentu kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. “Gaung dari tetabuhan itu ditandai dengan upaya para caleg dan kandidat presiden berlarian menarik massa, lalu bagaimana caranya? Tentu saja dilakukan dengan cara instan. Kenapa instan? Dikarenakan para caleg dan kandidat preesiden tidak dikenal rakyat. Oleh karena itu upaya instan yang dilakukan guna mengakomodasi pencitraan dirinya, maka satusatunya jalur lewat iklan poltik. Mereka berpendapat bahwa berbagai media iklan diyakini mempunyai kekuatan super. Ya tapi benar lho media massa sekarang itu pengeruhnya besar banget.”
Hal senada diungkapkan pula oleh Taufiqurahman, Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Kota Surakarta. “Tampilan iklan politik kemudian dipenuhi dengan proses pencitraan yang serba sempurna. Tampilan iklan poltik sejenis itu sudah menjadi rahasia umum, karena diyakini mampu memperkenalkan diri mereka di hadapan rakyat. Apalagi di Pemilu 2009 ini para caleg terbuai guyup pemilihan langsung. Mereka merasakan bak kaum selebritas yang ganteng, gagah, cantik, cerdas, santun, agamis, dan berbagai keunggulan lain. Dalam pemikiran mereka dengan memasang wajah mereka sebanyak mungkin para pemilih akan tertarik menjatuhkan pilihan pada dirinya.” Dituturkan lagi oleh Taufiqurahman, oleh beberapa kalangan, kemudian semua itu dianggap wajar dan manusiawi. Karena menurutnya karakteristik iklan politik memang
didedikasikan untuk memunculkan citra diri para caleg sesempurna mungkin. Secara teoritis iklan poltik diposisikan sebagai media penyampai pesan verbal dan visual dari para caleg kepada calon pemilih. Sementara itu Partai PDI Perjuangan Kota Surakarta melihat dalam banyak iklan politik banyak berguna untuk membentuk citra dari pengiklan. PDI Perjuangan meilhatnya hal ini seperti juga terjadi dalam iklan produk komersiil. seluruh narasumber PDI Perjuangan beranggapan bahwa iklan politik dapat merekonstruksi citra dan sikap emosional terhadap kandidat. Berikut pernyataan Rudi. “Masa kampanye singkat kan mas. Jadi momen itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Nah iklan poltik merupakan media yang pas menjawab itu semua. Melihat efek dari media kan luas. Sehingga para calon menggunakan media untuk mengakomodasi pencitraan dirinya. Apalagi media televisi. Setiap rumah saat ini uwes duwe televise. Bahkan saben sore mesti nonton. Ya tho?”
Pernyataan serupa juga diungkapkan Hendratno. Mengenai iklan politik yang sering berguna untuk membentuk citra kontestan. “Iklan politik ya kalo menurut saya, bisa menggiring emosi pemilih untuk memilih dirinya. Karena dalam iklan itu kan figur pengiklan seperti dibentuk oleh tim kreatif iklan mas. Bahwa dirinya baik, santun, bertanggung jawab, mampu menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat, wes pokoke sing apik-apik lah.”
PDI Perjuangan menafsirkan pembentukan citra dapat diartikan dalam 2 pengertian. Pertama menyangkut pihak yang belum dikenal dalam masyarakat. Iklan dapat berguna dalam proses membentuk citra dan emosi pemilih tetang calon kontestan politik dari awal. Seperti perkenalan dalam bahasa umumnya, menimbulakan kesan pertama. Saat-saat pertama inilah yang coba dibentuk citranya sebaik mungkin dalam iklan politik yang ditayangkan. Kedua, merekonstruksi citra. Ini menjadi mungkin bila masyarakat telah mengenal calon konstestan lebih dulu. Jika citra yang didapat dari masyarakat juga tidak begitu baik, maka yang dilakukan adalah iklan yang ditayangkan berisi upaya merekonstruksi ulang citra yang ada di masyarakat. Seperti diungkapkan Sukasno berikut. “Membentuk citra itu ada dua. Bila calon atau partai politik baru berkompetisi untuk yang pertama kalinya, iklan politik digunakan media kulonuwun. Ini kan saat-saat pertama jadi digunakan
membuat citra sebaik mungkin di masyarakat. Seperti kita kalo lagi ketemu pertama kan diusahakan berpenampilan sebaik mungkin, semanteb mungkin. Nah setelah itu untuk mereka yang sudah pernah berkompetisi dan citra di masyarakat belum begitu bagus, yaa butuh iklan juga untuk meyakinkan pemilih tho kalo dirinya sudah baik dan tidak seperti dulu lagi. Jadi semacam membentuk citra yang baru di masyarakat. untuk iklan politik capres kemarin yang menggunakan pencitraan baru bisa diihat di iklan Yusuf Kalla kemarin.”
Selanjutnya Sukasno menerangkan, untuk wujud pencitraan yang efektif kadang secara tidak sungkan para kontestan politik berupaya menunjukan ke masyarakat dirinya juga ikut merasakan penderitaan mereka. Adegan seperti ikut memakan nasi aking, menyambangi petani di sawah, terjun di pesisir pantai menemui nelayan adalah sebagian contoh. Kendati hal itu tidak dilakukan lagi ketika dirinya sudah terpilih menjadi wakil rakyat. c. Membantu Meningkatkan Keterkenalan Iklan politik dengan penyampaian pesan yang kreatif dan persuasif menjadi pilihan yang sangat efektif untuk membangun perhatian dan minat serta membangun target audience secara massal melalui media. Selain itu, iklan politik dibutuhkan untuk meningkatkan awarness pemilih kepada calon legislatif dan calon presiden yang berlaga dalam perhelatan Pemilu 2009.84 Seluruh informan dari partai poltik membenarkan bahwa iklan politik sanggup meningkatkan keterkenalan di mata masyarakat. Terutama bagi mereka yang baru berkompetisi untuk pertama kali tentu membutuhkan media guna mengakomodasi kepentingannya. Seperti dituturkan Sukasno, dirinya menerangkan kenapa harus memperkenalkan diri? Apakah selama ini tidak dikenal? Tentu saja sampai dengan mereka nyaleg, para caleg yang terhormat tidak pernah dekat dengan rakyatnya. Jalan pintas menurutnya, iklan politik kemudian dimitoskan sebagai cara instan untuk memperkenalkan diri pada rakyat. “Iklan dibutuhkan paling tidak untuk meningkatkan keterkenalan. Ini bisa dilihat dari kasus pemilu kemarin kan yang mencalonkan banyak. Dan tidak dari semua itu kan sudah dikenal. Jadi ya perlu lah beriklan.. Setidaknya untuk kulonuwun bahasanya. Jadi masyarakat mempunyai referensi. Namun untuk turun langsung dan berkomunikasi itu lebih menjadi 84
Sumbo Tinarbuko, Opcit hal 58.
kewajiban. Kalo iklan tok kan orang gak percaya mas. Lawong orang sekarang itu pinterpinter.”
Menurut Sukasno, keberadaan iklan politik merupakan langkah pendukung selain tentu saja harus turun langsung menemui masyarakat. Iklan politik menurut Sukasno adalah jalan pintas dikarenakan kemampuannya yang mampu menjamah masyarakat hingga pelosok pedalaman. Hal itu dikarenakan menurutnya, waktu yang terbatas tentu saja akan membatasi kemampuan dari calon kontestan pemilu untuk menemui seluruh masyarakat. Pandangan Sukasno hampir sependapat dengan Sekretaris Partai Demokrat, Suprianto, bahwa iklan dirasa mampu meningkatkan keterkenalan di masyarakat. Tidak hanya bagi yang baru pertama, iklan dirasa juga merupakan sesuatu yang cukup penting dalam menjaga pemilih agar tidak tertarik kepada calon lain. Komunikasi modern menurut Supriyanto, Pada akhirnya menuntut mereka untuk harus beriklan. Berdasarkan pengalaman, mereka yang tidak beriklan kehilangan satu langkah lebih cepat dalam upaya merayu pemilih. Dikatakan kalah cepat karena mungkin iklan memang tidak mampu secara pasti menaikan angka pasti memilih namun, mampu membuat calon aktor politik menjadi dipertimbangkan dalam keputusan memilih. Dalam keyakinan Supriyanto, Hal ini menjadi penting mengingat persaingan dalam komunikasi politik begitu berat, masyarakat sendiri juga dalam kehidupannya mulai tidak menyukai komunikasi poltik tradisional yang dilakukan dalam bentuk pawai dan pengumpulan massa. Sebagian dari mereka menilai hal itu tidak produktif dan kadang dalam pelaksanaannya cenderung chaos. “Iklan politik menjawab kebutuhan itu. Yang beriklan butuh terkenal dan masyarakat juga sekarang tidak suka model kampanye seperti dulu. Apalagi masyarakat sekarang konsumsi terhadap media kan besar. Ini sebuah peluang kalau bisa kita manfaatkan.”
Sementara menurut partai Partai Golkar, iklan memang dibutuhkan untuk menaikan kepopuleran. Melalui koes raharjo, golkar berpendapat, iklan poltik dalam menaikan
keterkenalan, membutuhkan Tim kreatif dan konsultan periklanan. Ini dikarenakan, iklan politik membutuhkan perhatian yang lebih dari sekedar iklan biasa. Dipaparkan oleh Koes, arus yang begitu deras saat ini membuat hal yang ditangkap oleh masyarakat adalah hal-hal yang berbeda dan mudah diingat. Jadi, tidak semua pesan yang disampaikan dalam iklan akan diingat oleh pemirsa. Sehingga hanya iklan yang mampu menembus arus yang begitu deras tadi yang mendapat tempat dibenak pemilih. Ditambahkan lagi oleh Koes, penerapan iklan politik pun tidak seperti iklan komersiil. Dikatakan begitu karena dalam iklan politik hal yang dikomunikasikan adalah pesan politik. Sesuatu yang abstrak untuk dirasakan dan dilihat masyarakat. Manfaatnya pun tidak dalam wujud yang langsung dirasakan. Namun butuh proses. Kendati Koes sependapat iklan dapat meningkatkan keterkenalan, namun dia juga sependapat dengan dengan Partai Demokrat bahwa iklan tidak mampu meningkatkan angka kepemilihan. Namun mampu membuat pemilih mempertimbangkan aktor politik untuk dipilih dalam perhelatan pemungutan suara. “Itu saya sepakat iklan membuat jadi terkenal. Tapi tidak terlalu tepat menurut saya. keterkenalan merupakan suatu proses agar kita dapat dipilih. Bagaimana kita dapat terpilih bila dikenal saja tidak. Lihat kasus Prabowo, disitu kan bisa dilihat bahwa 2004 Prabowo hanya sedikit dikenal, namun lihat 2009, menjadi sangat dikenal. Tinggal butuh waktu untuk 2014 bagi Prabowo menjadi calon kuat presiden. Itu kan sebuah proses, dan saya melihat iklan politik merupakan salah satu jawaban dari proses itu. Salah satu cara ya, masih ada proses komunikasi politik yang lain selain iklan politk. Dalam politik itu dinamakan tahapan-tahapan yang harus dilewati.
Koes lalu mencontohkan hal yang lain, kegagalan iklan poltik Rizal Malarangeng menunjukan bahwa popularitas tidak terlalu mempengaruhi elektabilitas. Popularitas seseorang harus juga ditunjang dengan jaringan kader di tingkat akar rumput. Jaringan seperti itu akan terpilin rapi jika selama waktu sebelumnya sudah berkarya nyata di masyarakat. “Jika seseorang mau terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya maka dia harus bekerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang nanti akan berguna kelak. Tentu saja kerja keras itu tidak dalam hitungan bulan. Mereka harus turun ke rakyat sejak 10-15 tahun sebelumnya.”
Sejarah mencatat banyak politikus, Caleg, atau ketua partai politik mengejar popularitas lewat iklan politik, namun realitas lapangan menunjukan sebaliknya. Mereka secara kasatmata populer di hadapan publik dan calon pemilih namun lemah secara elektabilitas. Dengan demikian kendati diguyur popularitas di depan public tidak serta merta kemudian dipilih. Wakil rakyat tidak cukup hanya bermodalkan popularitas. Namun juga pengalaman lapangan yang teruji ruang dan waktu. Rakyat pun perlu diyakinkan dengan pengabdian tulus lewat sebuah karya nyata yang konkret. d. Media Sosialisasi Program Seluruh informan sangat sepakat bahwa iklan politik menjadi wadah yang tepat untuk sosialisasi program politik. Baik program tersebut merupakan program baru maupun program lama yang dicoba dingatkan kembali. Ini seperti dalam teori Philip Kotller85 bahwa iklan mampu menjadi wadah untuk menyampaikan informasi, membujuk maupun mengingatkan. Menyampaikan informasi yang berharga bagi calon pemilih. Hal ini dikaitkan dalam iklan politik bisa saja informasi sederhana seperti pergantian nomor urut dan tanda logo dari partai misalnya. Informasi juga bisa berwujud juga semacam pergantian cara memungut suara. Dari sebelumnya mencoblos menjadi mencontreng. Sementara untuk fungsi membujuk, iklan dalam pendapat Kotler86 sering berguna bila arus informasi menjadi semakin jenuh. Ini bisa berwujud bujukan untuk memilih, mengubah persepsi mengenai citra politik dari calon tertentu. Sementara fungsi mengingatkan dibutuhkan bila pesan politik dirasa perlu disampaikan lagi kepada pemilih agar semakin yakin dan tidak tergoda untuk memilih yang lain.
85 86
Philip Kotler, manajemen pemasaran, analisis, perencanaan dan pengendalian, 1990 hal 88. Ibid, hal 88
Seperti juga terdapat dalam hasil riset Falkow dan Cwalian Kaid, bahwa selain iklan berguna untuk membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat. Iklan politik juga bermanfaat dalam mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu.87 Terkait dalam fungsi menyampaikan informasi program-program politik, partai PDI Perjuangan memiliki penafsiran bahwa iklan poltik bila tidak berisi iklan yang berisi pesan mengeanai program politik hanya terkesan merupakan sesuatu yang tidak mendidik. Hal ini dipandang penting melihat iklan politik sering hanya berisi ajakan langsung untuk memilih tanpa ada kejelasan mengenai sebetulnya apa program, visi dan misi sehingga dirasa mencoba membodohi masyarakat. Dikatakan membodohi masyarakat hal ini dikarenakan PDI Perjuangan lewat Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta, Rudi, melihat iklan politik tidak hanya sekedar jualan poltik. Namun juga mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat. Seperti mangangkat isuisu sosial dan mempunyai tawaran formula solusi mengatasinya. Sementara pendapat yang lain sesama informan PDI Perjuangan, Hendratno, mengungkapkan, iklan lebih merupakan wahana penginformasian poltik. Informasi yang disampaikan seharusnya menurut Hendratno merupakan informasi yang jujur dan tidak terkesan merupakan sesuatu yang muluk-muluk saja. Karena sering menurutnya iklan hanya bersifat menonjolkan dirinya sendiri. Seperti digambarkan oleh Hendratno dalam iklan kecap. “…..Yang namanya iklan kan semua kecap nomor satu. Ga da kecap nomor dua itu gak ada. Nah ini bohong ini namanya menyesatkan masyarakat. Dan intinya bila tidak sesuai dengan yang dijanjikan di iklan menurut saya pasti pemilih akan tahu. Dan tidak akan memilih untuk pemilihan selanjutya.”
Sementara menurut Partai Demokrat, iklan lebih merupakan penyampaian informasi politik yang ditujukan untuk pemilih agar tidak terjadi pemilih seakan-akan memilih kucing dalam karung. Istilah ini merupakan istilah lama yang dikarenakan pemilih jaman orde baru dimana pemilih tidak mengetahui siapa saja orang yang menjadi wakil suara dirinya. Namun
87
Setiyono, Opcit hal 346-347
saat ini istilah ini mengalami perluasan. Dikarenakan memilih dalam karung tidak hanya pada batasan fisik saja, namun juga dalam artian program kerja yang akan dilakukan. Berikut diutarakan Sekertaris DPC Partai Demokrat, Supriyanto. “Dulu orang memilih kan seperti membeli kucing dalam karung. Ini tidak hanya sebatas kita tidak tahu siapa yang mewakili kita, namun juga program yang dia canangkan kita juga tidak tahu.”
Ditambahkan oleh Supriyanto, iklan politik seharusnya memenuhi target jangka pendek dan jangka panjang dari penginformasian politik. Target jangka pendek disebutkan oleh Supriyanto berupa pengertian dari pemilih dalam segera mampu mengerti mengenai pesan yang dikomunikasikan. Pesan tersebut dapat
berupa hal-hal dasar dalam diri
pengiklan. Seperti nomor urut, logo partai dan slogan. Sedangkan mengenai target jangka panjang bisa berupa keinginan pengiklan agar iklan dapat diintepretasikan dalam alam pikiran yang lebih dalam. Hal ini mengingat bisa menyangkut hal yang tidak popular dan abstrak bagi diri pemirsa. “Pesan pemberantasan korupsi dalam setiap iklan Partai Demokrat kan tidak mudah dimengertiu sebenarnya. Iklan ini gencar dikampanyekan tapi masyarakat melihat korupsi adalah hal yang biasa dan sulit untuk dibernatas. Maka kewat iklan dapat diinformasikan seperti bagaimana cara-cara konkret korupsi dapat diberantas. Sehingga menjadi target jangka panjang bagi pemilih adalah akhirnya pemilih sadar bahwa program ini penting dan sangat substansial.”
Sementara menurut Partai Golkar, iklan politik memang seharusnya memenuhi fungsi menginformasikan program-program dan tidak hanya sekedar wahana membuai masyarakat dengan mengharu biru saja. Dalam penuturan Taufiqurahman, iklan sering hanya membuai emosi pemilih lewat kata-katanya. Diungkapkan lagi penginformasian juga hendaknya secara cerdas dan tidak hanya sekedar janji-janji yang membesarkan hati rakyat. Sudah bukan saatnya lagi iklan politik hanya berkisar janji yang pada akhirnya tidak ditepati oleh wakil rakyat ketika sudah mengemban amanah.
Penginformasian ditujukan pada dasarnya untuk mendidik politik masyarakat lebih cerdas dan bertanggung jawab dalam memilih. Tidak hanya terpikat seorang calon dari penampilan dan kemasan menarik dari iklan sebagaimana layaknya iklan produk komersiil. “Ada tanggung jawab untuk mengemban amanah ketika sudah jadi terpilih. Jadi sebelum program dilakukan harusnya kita paparkan kepada masyarkat. Kalo merencanakan saja kita susah apalagi dalam melaksanakan. Pemilih seharusnya sadar kan hal ini. Tidak hanya melihat iklan yang emosional lalu memilihnya.”
e. Berisi Janji-Janji Ada yang menarik ketika persepsi selanjutnya iklan politik oleh partai politik cenderung dipersepsikan hanya berisi janji-janji. Tidak semua dari partai politik sependapat dengan hal tersebut. Seluruh narasumber dari partai PDI Perjuangan membenarkan hal itu. Sedangkan seluruh informan Partai Demokrat tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut Partai Demokrat pesan yang disampaikan dalam iklan politik adalah komitmen politik. Jadi bukan sekedar janji-janji. Dikatakan komitmen karena menurut Partai Demokrat iklan politik pesan yang disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat selaku pemberi amanah. Komitmen yang diutarakan dalam iklan selanjutnya harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Partai Demokrat menggarisbawahi bahwa komitmen politik pada saat ini diwujudkan dalam bentuk kontrak politik. Isinya sasaran target dan tujuan dari program serta konsekuensi yang akan didapat seandainya tidak dilaksanakan. Kontrak ini menjadi batasan yang memperkuat pernyataan dasar bahwa komitmen politik tadi tidak sekedar janji-janji semata. Seperti diungkapkan Wirabumi berikut ini. “Tidak mas, ini komitmen politik jadi bukan janji-janji. Seperti yang sudah kita ketahui selama ini pemerintahan sudah berusaha dengan keras untuk menepati komitmen tadi. Dan kita lihat rakyat juga kepercayaan terhadap pemerintah tinggi. Sehingga bisa terpilih lagi. Ini faktanya kan mas, bukan janji-janji.”
Sementara menurut pendapat Partai PDI Perjuangan, Sebagian besar iklan politik dipersepsikan selalu saja berisi janji-janji. Dalam tanggapannya janji-janji iklan politik sering disebut-sebut hanya sebatas sesuatu yang berwujud retorika saja. Banyak iklan politik di
Indonesia menawarkan janji-janji yang pada akhirnya setelah menjabat, janji-janji tersebut tidak ditepati. Berikut seperti diutarakan Hendratno. “Kalo saya pribadi melihat iklan politik di Indonesia selalu saja berisi janji-janji. Janji yang menurut saya seperti angin surga. Semuanya terkesan serba mudah, serba enak ta tho mas. Seandainya saya menjadi nanti akan saya buat ini.saya buat itu, kesannya kok seperti enak gitu lho. Nah tapi kalau sudah jadi sudah lupa dengan janji-janjinya. Jangan dikira rakyat gak peduli lho mas. Mereka ini niteni lho siapa wakil rakyat yang setelah jadi kok kenyataanya gak dilaksanakan.”
Sudut pandang dari pendapat diatas tentu seperti sudut pandang rakyat kebanyakan. Sebagian besar dari rakyat memang selalu memperhatikan wakil rakyat yang sudah terpilih pada akhirnya lupa dengan apa yang diucapkan sebelum terpilih. Sukasno menambahkan, sering dalam janji politik hanya sebatas retorika saja. Tidak pernah dilaksanakan. Artinya sering dalam perncangan program hanya bersifat nornmatif dan ketika diwujudkan dalam program yang lebih detail menjadi hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Menurut Sukasno hal seperti ini harus dirubah dalam komunikasi politik Indonesia. Selain tidak mendidik, sebetulnya posisi masyarakat sendiri juga jenuh dengan iklan politik seperti ini. Menjadi menarik ternyata berdasar hasil wawancara dengan partai golkar, satu informan dari Partai Golkar mengungkapkan iklan politik memang selalu berisi janji-janji. Sedangkan dua informan lagi menyatakan kurang sepakat jika iklan politik hanya berisi janjijanji. Namun dia sebut ini merupakan sebuah tawaran program. Satu
informan
yang
menyebutkan
iklan
poltik
adalah
janji-janji
yaitu
Taufiqurahman. Dirinya berpendapat, iklan politik pada dasarnya adalah iklan juga. Dimana terdapat dalam iklan tentu saja pengakuan dirinya yang terbaik dan bujuk rayu. Bahwa iklan politik kemudian berisi janji-janji adalah hal yang wajar. Namun menurutnya iklan seperti ini pada hati pemilih tidak akan mendapat tempat. Dikarenakan menurut Taufiq, masyarakat di Indonesia sudah cukup mempunyai bekal pengetahuan yang cukup untuk membedakan iklan yang baik dan yang buruk.
Sedangkan menurut dua informan yang lain, yaitu Koes dan Supriyanto iklan politik kurang tepat jika dipersepsikan hanya sekedar janji-janji. Muatan dalam iklan poltik lebih tepat dikatakan sebagai pemaparan program. Pemaparan inilah yang pada akhirnya dikomunikasikan lewat iklan kepada pemilih. Partai Golkar melihat, kecenderungan iklan politik cenderung dipersepsikan sebagai janji-janji dikarenakan selama ini iklan politik sebagian besar berisi seperti itu. Pesan yang disampaikan seakan-akan memberi harapan yang besar kepada pemilih. Padahal aktor politik tidak mempunyai rancangan yang jelas bagaimana program itu dapat dilakukan. Seperti diutarakan oleh Koes berikut ini. “Sebatas wacana saja. Tidak jarang iklan politik memang isinya janji-janji. Masyarakat sekarang juga masih saja terbuai dengan janji-janji. Mereka sebetulnya tidak bias disalahkan, karena kehidupan mereka memang rekoso. Dan mereka menginginkan perubahan. Nah iklan politik sering berisi wacana perubahan yang menjawab keinginan rakyat yang kehidupannya memang rekoso tersebut. Jadi disini menurut saya kan ada permintaan dan penawaran.”
Ditambahkan oleh Koes, iklan politik seharusnya menjawab kebutuhan masyarakat akan perubahan tersebut, dan tidak seharusnya justru menggunakan kesempatan itu demi kepentingannya. “Sekali lagi kalo janji itu seharusnya program-program yang dapat diwujudkan dan tidak sekedar berwujud impian saja. Kasihan rakyat mereka kok menurut saya seperti dimanfaatkan saja.”
f. Berlebihan (Narsis) Narsis tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri. Tapi juga segala bentuk penyanjungan diri, pemuasan diri, atau pemujaan diri. Sementara narsisme politik adalah kecenderungan pemujaan diri berlebihan elit politik, yang membangun citra diri, meskipun itu bukan realitas diri yang sebenarnya.88 Semangat narsisme dalam iklan politik diwujudkan tampilan visual yang berupaya meyakinkan masyarakat. Dalam iklan politik sering didedahkan lewat senyuman para aktor politik. Realitas visualnya dipaksakan untuk dikonsumsi masyarakat. Dikatakan dipaksakan 88
Artikel Sigit Widagdo, “Zaman Narsisme”, Kedaulatan Rakyat, 22 Oktober 2008
karena menurut PDI Perjuangan, iklan seakan-akan keluar dari konteks asli tujuan utama beriklan. Yaitu menginformasikan pesan-pesan politik. Justru pada iklan politik yang sering disaksikan masyarakat hanya disuguhi penampilan narsis dari aktor politik dengan penampilan yang sesempurna mungkin, dengan senyuman yang terbaik dan tatapan mata yang diusahakan meyakinkan. Atas fenomena seperti itu menurut PDI Perjuangan, sebetulnya para aktor politik kita sebenarnya sedang mengadu nasib di dunia politik. Tanpa melihat bahwa tanggung jawab sebagai pengemban amanah rakyat sebetulnya merupakan tugas mulia. Para aktor politik yang menggunakan stategi narsis sebetulnya sedang menunjukan dirinya ingin instan dalam bertarung di dunia politk. Dikatakan begitu karena dengan narsis itu menunjukan dirinya sebetulnya tidak punya jam terbang. Belum pula memiliki prestasi yang membanggakan masyarakat. Berikut petikan wawancara dengan Sukasno. “Saya juga melihat iklan politik itu cenderung berlebihan. Proses iklan kok banyak dipahami sebagai pamer wajah dan gelar serta jor-joran dalam memperbanyak tampil di televisi. mereka semacam mengadu nasib menjadi sekelompok manusia terhormat. Mengupayakan diri menjadi orang yang dihormati. Jika ikhtiar terkabul, mereka mengemban tugas menjadi wakil rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar kemakmuran rakyatnya dapat terjamin lahir dan batin. Seharusnya begitu ya tho. Tapi kadang kenyataanya jauh.”
Pada titik ini PDI Perjuangan melihat para aktor politik menjalankan aktivitas tebar pesona sering mendandani dirinya dengan tampilan fisik yang sedemikian rupa dan slogan yang persuasif : Berjuang untuk rakyat, Hidup adalah perbuatan, Bangkit negeriku harapan itu masih ada. Penanda narsis yang lain dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang berpartisipasi dalam kompetisi politik. Disana dicantumkan lengkap gelar akademis yang diyakini dapat mendongkrak daya tarik aura fisiknya di depan publik. Seperti diungkapkan FX Hadi Rudiatmo. “Orang Indonesia kalo melihat gelar itu dihormati lho mas. Kalo punya gelar akademis itu diyakini menjadi priyayi lho. Dengan argumen itu banyak Caleg kan yang rame-rame mencantumkan gelar. Jadi dalam iklan politik tidak hanya persaingan penampilan saja. Namun juga gelar jadi menambah ramai persaingan. Penampilan memang memegang peranan
penting. Lawong kalo orangnya di iklan gak terlihat meyakinkan gak dipilih kok mas. Orang Indonesia kan masih terpikat luarnya saja tho.”
Benang merah dari pernyataan diatas adalah masyarakat Indonesia kadang masih juga terpukau dengan penampilan luar yang terpampang dalam iklan politik. Ini dikarenakan memang masyarakat kadanag tidak mengenal aktor politik dalam keseharian. Sehingga nilainilai yang dia tangkap adalah yang tercantum dalam iklan saja. Jadi, menjadi hal yang wajar ketika para aktor poltik selalu tampil tebar senyum di layar kaca televisi. Ketika penulis menanyakan lebih dalam mengenai kewajaran fenomena ini narasumber juga mengungkapkan hal yang serupa. Bahwa pengiklan cenderung beriklan secara seperti itu karena juga masyarakat menginginkan pemimpin yang seperti itu. Jadi semacam terjadi permintaan dan penawaran secara alami. “Repot kadang dengan kondisi masyarakat kita. Yang penting enak dilihat penampilannya kendati tidak memenuhi kualifikasi sebagai orang yang mampu memecahkan persoalan rakyat gak papa. Kecenderungannya mereka kadang sudah capek darikerja jadi terkesan ra gagas dengan kondisi politik. Sehingga iklan yang serius dan menawarkan konsep politik yang bagus justru ora payu mas. Gak bisa disalahkan juga sebetulnya lha masyarakat maunya juga gitu.”
Sementara menurut Partai Golkar, lewat penuturan Koes Rahardjo, iklan politik cenderung berlebihan dalam muatan iklannya. Beberapa iklan politik lebih menunjukan hal yang sebetulnya diluar batas kenyataan. Satu hal juga yang dicatat dari pernyataan Koes bahwa iklan politik penampilannya serba besar. Nomor besar, foto besar dengan pilihan huruf yang besar. Hal ini menunjukannya keinginan untuk dikenal publik sangat besar dan sekaligus menjadi kebanggaan dari kandidat politik untuk saling tebar pesona. “Iklan politik kita kadang iseh kadang berlebihan. Seperti penonjolan keberhasilan democrat misalnya, menyontohkan keberhasilan penurunan harga BBM sampai tiga kali. Itu kan berlebihan. Lawong harganya memang turun dipasaran kok dikatkan keberhailan menurunkan harga. Kan lucu. Trus huruf-huruf dan foto juga serba besar. Bahkan berlomba gede-gedenan foto. Sampeyan juga analisa itu to. Malah tambah gayeng tapi isine ra ono to mas.”
Sementara Partai Demokrat tidak mau berkomentar lebih jauh dalam menanggapi hal ini. Seperti dalam wawancara sebelumnya lebih memilih untuk menyerahkan kepada pendapat mesing-masing dalam mempersepsikan hal ini.
g. Seragam Partai politik memaknai iklan politik cenderung tampilannya seragam. Seluruh narasumber dari PDI Perjuangan dan Partai Golkar membenarkan hal tersebut. Namun Partai Demokrat menyanggah akan hal itu. Partai Golkar melihat dalam Pemilu 2009 lalu melihat kondisi iklan poltik TV yang dibuat, kondisinya masih sama. Isi pesan umumnya masih seragam, yaitu berisi ajakan mencoblos tanda gambar serta lebih manampilkan figure atau tokoh partai. Harapan akan perbaikan kualitas lewat wujudnya iklan politik yang menampilkan isu-isu dan program tetap tidak terwujud. Padahal iklan politik adalah bukan barang baru. Karena sudah ada pengalaman pemilu 1999 dan 2004. Berangkat dari kenyataan itu Koes berspekulasi bahwa aktor politik masih mengandalkan basis massa tradisional yang mengandalakan figur dan bukan karena program-programnya. Kembali ditambahkan Koes, keseragaman konsep dari iklan poltik di Indonesia juga disebabkan pengiklan dan tim kreatifnya miskin ide yang komprehensif dan tidak mampu membahasakan ide-idenya dengan cara yang brilian. Parahnya lagi biaya yang dihabiskan untuk iklan politik tidak sedikit. “Iklan kita cenderung seragam mas. Kalo sampeyan lihat ya tho. Ada ngajak milih tanda gambar. Terus dalam tayangannya ada sosoknya. Kalo dalam democrat ya SBY kalo dalam PDI P bukan Mega tapi Sukarno. Gitu-gitu aja. Gak berubah-berubah. Padahal mahal lho, pake tim kreatif juga tapi kok gak kreatif idenya.”
Ditambahkan oleh Koes, fenomena sosial berbentuk perang wacana iklan politik menggambarkan betapa politisi Indonesia biasa berpikir instan. Iklan politik yang mereka sebar lebih mengedepankan raut muka caleg dan kandidat presiden dijadikan komoditas yang dijual layaknya artis. Tampilannya juga seragam yaitu dengan andalan visualisasi peci, deretan gelar akademik, dan aktivitas menyantuni orang miskin, cara ini masih diyakini
mempu mencitrakan sosok caleg dan kandidat presiden yang agamis, intelek, dan perhatian kepada rakyat. “Padahal, semua itu hanya seba permukaan. Iklan politik dengan memajang wajah, mengindikasikan, si pengiklan tidak merakyat. Mereka meposisikan dirinya bagaikan sebuah produk yang layak diperjual belikan.”
Sementara menurut PDI Perjuangan keseragaman iklan politik lebih disebabkan kebutuhan akan iklan politik memang seperti itu. PDI Perjuangan berangkat dari pendapat bahwa situasi kampanye di Indonesia cukup singkat dan persaingan cukup ketat. Sehingga wajar saja bila komunikasi politik yang dilakukan adalah dengan ide-ide sedehana. Penggunaan ide sederhana ini dirasa mampu menjawab kebutuhan akan pemilih mengenai tanda gambar dan nomor urut aktor politik. Karena dua hal ini adalah hal paling mendasar ketika pemilih berhadapan dengan surat suara. Seperti diungkapkan Rudi, setiap tiba pemilihan umum nomor urut dan posisi tanda gambar selalu berubah. Sehingga membutuhkan informasi mengenai hal tersebut. Iklan politik dirasa mampu menjadi wahana yang menjawab kebutuhan tersebut. “iklan yang baik itu kan yang memenuhi tujuan dari kita beriklan. Kalau kita beriklan tujuannya menjadi dikenal ya lewat iklan tersebut kita harus mempu menjadi dari sebelumnya tidak dikenal menjadi dikenal masyarakat. Bila tujuannya rakyat membentuk citra ya lewat iklan tersebut harus menjadi citranya lebih baik. Jadi semua sesuai kebutuhan mas. Sederhana saja tho.”
Dipaparkan kembali oleh Koes, seragam dalam tampilan iklan adalah hal yang biasa. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Menurut koes, bila penampilan ikla justru dibuat terlalu berbeda bias menjadi kekagetan di masyarakat. Sejauh ini, iklan politik di Indonesia kendati cenderung harus diakui monoton namun tidak pernah bersifat kampanye negatif. “Di Amerika biasa lho mas iklan itu saling serang dan mencemoohkan. Nah di Indonesia iklan seperti di amerika kok tidak santun menurut saya. Kurang pas ya tho dengan budaya kita. Sejauh ini saya melihat iklan di Indonesia lebih baik daripada iklan di amerika soal etika berpolitik yang sehat. Pemilih Indonesia juga lebih menyukai cara santun seperti ini. Kalau kampanye negatif justru masyarakat bisa saja kehilangan simpati. Itu menurut pandangan saya.”
Sementara itu menurut Partai Demokrat, kurang sependapat bila iklan poltik di Indonesia cenderung dipersepsikan seragam. Bagi Demokrat bila seragam hanya dimaknai tampilan dari iklan politik bukanlah sesuatu analogi yang relevan. Hal ini dikarenakan iklan politik memang menginformasikan pesan politik yang dilakukan aktor politik. Sehingga wajar saja bila iklan menjadi kelihatan seperti sama antara satu dan yang lain. Karena budaya dan latar belakang serta sasaran dari iklan adalah sama. Lebih lanjut diungkapkan, iklan politik pada 2009 kemarin cukup beragam dan kreatif dari segi penyampaian pesan yang diberikan. Seperti diungkapkan Wirabumi, iklan politik Prabowo dan SBY merupakan contoh iklan yang kreatif dan mendobrak konsep lama iklan politik di Indonesia. ‘‘Iklan Prabowo bercerita dengan pandai menurut saya. Beberapa media menyebut iklan Prabowo merupakan iklan terbaik. Saya cukup sependapat. Iklan Prabowo merupakan iklan yang menarik. Iklan SBY juga merupakan iklan yang menarik. Dari sisi efektifitas, bias dilihat lewat beberapa pesan poltik yang ada dalam iklan masih diingat oleh masyarakat hingga saat ini. Jadi saya tidak sepakat kalo iklan politik di Indonesia itu tampilannya seragam. Tapi kembali ke persepsi masyarakat tentunya akan menilai bagaimana.”
Dalam penilaian Demokrat tidak disangkal memang ada iklan yang tampilannya sama antara satu partai dengan yang lain, namun menurutnya iklan poltik yang seragam lamakelamaan akan kehilangan pamornya. Hal ini mengingat para aktor poltik harus memiliki identitas yang kuat dalam komunikasi politiknya. Identitas itu lalu diekspresikan dalam bentuk nama, simbol, warna, dan tata cara yang disinergikan sedemikian rupa untuk membedakan citra diri antar masing-masing kandidat yang bersaing. Pada tingkat lebih lanjut, iklan juga harus mencantumkan standar kualitas tertentu, sehingga dapat mendorong dari sebelumnya hanya mengenal menjadi memilih. “Ada cara dalam ilmu marketing, dari sebelumnya iklan hanya dikenal menjadi akhirnya keputusan membeli. Memang harus ada proses dikenal dahulu agar akhirnya menjadi dipilih. Tapi untuk menuju hal itu, iklan kita harus berkualitas dan berbobot dalam muatannya. Tidak sekedar iklan saja.”
B. Persepsi Partai Politik Terhadap Iklan Politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono Versi Indomie di Televisi Pada Pemilu 2009. Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan berwujud. Pesan yang disampaikan dalam iklan dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan non verbal. Di dalam pesan verbal ia merupakan kata-kata yang tersusun dari huruf vokal dan konsonan yang membentuk makna tertentu. Sementara semua pesan yang bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut mengandung arti, maka dapat disebut pesan komunikasi.89 Sementara itu iklan politik berfungsi menyampaikan pesan verbal dan visual yang sudah disusun secara persuasif dan komunikatif kepada khalayak. Dalam iklan pesan verbal dan visual agak riskan untuk dipisahkan. Bila memposisikan sebagai audience, iklan harus punya pesan verbal dan non verbal yang kredibel. Janjinya masuk akal, visinya jelas, gambarnya menyentuh dan membuat nyaman calon pemilih.90 Selanjutnya untuk memahami persepsi tiga partai politik terhadap Iklan Politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono versi Indomie di televisi, akan menjadi lebih menarik bila penulis menyajikannya menjadi dua penyajian tersendiri. Yaitu persepsi tarhadap pesan verbal dan non verbal (visualisasi iklan). a. Persepsi Terhadap Pesan Verbal Iklan Dari segi konten, iklan politik televisi yang lahir pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 memiliki beberapa perkembangan. Setiyono91 menyebutkan, di awal kelahirannya pada pemilu 1999, iklan-iklan politik TV tidak berbeda dengan iklan kecap, yaitu dalam arti tidak ada pembedaan berarti antara iklan poltik dan iklan produk. Setiyono sendiri kemudian berpendapat, seharusnya iklan politik di TV maupun media lainnya, lebih berorientasi pada analisa terhadap masalah dan tawaran program 89
Rendra widyatama, Pengantar Periklanan, hal 17 Sumbo tinarbuko, iklan politik dalam realitas media, hal 81 91 Opcit, hal 36-37 90
bagaimana mengatasinya. Iklan politik seharusnya juga berisi visi dan misi parpol yang bisa dijadikan dasar pijakan bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Meskipun demikian, Setiyono mengatakan, kondisi seperti itu dimungkinkan terjadi karena pemilu 1999 merupakan pemilu bagi sebagian besar parpol. Akibatnya kebutuhan untuk mengenalkan nama dan logo partai lebih mengemuka dibanding isu dan program. Selain itu, meski sudah terbiasa untuk menangani klien non bisnis dengan memakai merketing sosial, Pemilu 1999 juga merupakan pengalaman pertama bagi biro-biro iklan untuk memasarkan klien non bisnis baru, yaitu partai politik. Berlanjut ketika Pemilu 2004, konten iklan yang dibuat oleh Parpol peserta Pemilu kondisinya sama saja. Isi dalam iklan menurut Setiyono cenderung masih menampilkan logo Parpol dan nomor partai saja. Meski begitu, dalam versi Setiyono Pemilu 2004 tidak hanya iklan politik Parpol yang muncul namun juga iklan politik Capres. Iklan politik Prabowo Subianto dinilai contoh iklan politik yang baik. Iklan ini bercerita tentang zaman ‘normal’ yang situasinya kemudian berbeda setelah reformasi. Iklan itu kemudian mengemukakan impian tentang indonesia masa depan yang dikaitkan dengan potensi kekayaan alam indonesia yang melimpah. Selain itu iklan ini juga dirasa dengan cerdas mulai menampilakn sisi human interest Prabowo yang berdiri di depan kelas layaknya guru SD, bermain bola dengan anak-anak dan sebagainya. Sementara menurut Setiyono, pada 2009 dalam iklan politik Parpol dan Capres mengalami banyak perkembangan. Dari kuantitas juga semakin banyak Parpol yang ikut serta beriklan. Muatan iklan politik Gerindra, Demokrat, PKS dan PDI Perjuangan merupakan iklan yang menarik. Iklan Gerindra diakui merupakan yang paling menonjol di ingatan pemilih. Iklan PKS dan PDI perjuangan memberi warna tersendiri karena menggunakan pendekatan berbeda. Yaitu pendekatan wacana terhadap ‘wong cilik’. Sementara Demokrat menjadi partai yang ikut serta menggunakan metode lama yaitu ‘jualan’ figur.
Iklan politik Capres 2009 dalam analisa Setiyono juga mengalami perkembangan. Bila pada 2004 iklan Capres didominasi oleh perang iklan yang tidak jelas arahnya. Tahun 2009 iklan politik berada pada arah yang bisa dibaca. Penggunaan saling klaim keberhasilan program pemerintah, pengawasan program yang dijalankan pemerintah dan pembentukan kembali citra di masyarakat. Jadi dalam 2009 iklan politik sebenarnya sudah menemukan bentuk dan diharapkan pada 2014 iklan poltik akan semakin dewasa. Iklan politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiyono versi indomie merupakan salah satu dari 14 iklan politik capres yang ditayangkan di TV. Iklan ini berdurasi satu menit dan ditayangkan di 10 stasiun televisi. Yaitu RCTI, SCTV, TPI, TRANS TV, TRANS 7, METRO TV, TV ONE, INDOSIAR, ANTV dan TVRI.92 Dalam iklan ini pesan verbal yang disampaikan dalam iklan ini adalah dinyanyikannya lagu modifikasi indomie oleh Mike Indonesian Idol. Selanjutnya dituliskan pula slogan ‘SBY Presidenku’ di akhir iklan. Persepsi partai politik terhadap pesan verbal iklan ini pun berbeda-beda. Partai Demokrat sebagai pihak pengusung SBY mengungkapkan, iklan ini merupakan iklan yang sederhana berdasar pesan verbal yang diungkapkan. Sehingga mudah diingat dan berkesan. Penilaian Golkar dan PDI perjuangan berbeda lagi. Menurutnya konten pesan verbal yang disampaikan adalah hal yang tidak jujur, tidak tepat dan berlebihan. Kendati berpendapat demikian, satu informan dari Partai PDI Perjuangan dan Partai Golkar mengakui iklan ini kreatif dan keluar dari pakem iklan namun efektif menjangkau pesannya ke pemilih. Seperti diungkapkan PDI Perjuangan lewat Hendratno. Bahwa iklan itu menggunakan jingle indomie merupakan sebuah terobosan yang tidak kreatif. Penggunaan iklan politik seharusnya mencerdaskan pemilih dengan pendidikan poltik. Iklan poltik juga
92
Iklan Politik dan Dilematikanya, Wawasan, 23 Juni 2009
seharusnya menjadikan pemilih dari yang sebelumnya tidak mempunyai acuan menjadi memiliki acuan ketika nanti memilih. Diungkapkan lagi oleh Hendratno, penggunaan iklan politik adalah berkaitan dengan penyampaian pesan politik. Jadi tidak menjadi menarik bila dikaitkan dengan makanan seperti produk mie instan dan sama sekali tidak berhubungan dengan politik. “Kesan dari iklan tersebut, ya konteksnya sebetulnya tidak cocok. Iklan Indomie kok dibuat iklan pilpres, tidak kreatif, seharusnya membuat suatu inovasi yang lain yang menarik tapi tidak berkaitan dengan makanan.”
Ketika penulis menanyakan lebih lanjut jika iklan ini tidak menarik dan kreatif, apakah iklan ini termasuk iklan yang tidak efektif? Hendratno menambahkan, efektif iklan tidak dapat diukur dari kreatif tidaknya iklan. Namun, ada lembaga tersendiri yang akan mengukurnya. Ukuran ini juga bukan jaminan pemilih akan ikut memilih seperti diiklankan. Tapi yang pasti iklan ini banyak diingat karena jingle indomie sudah bertahun-tahun didengar masyarakat. “Efektif secara pasti saya kurang tau ya. Karena kan ada lembaga tersendiri yang akan mengukur dari efektifitas iklan. Apakah pesannya tertangkap dan bagaimana kesan yang didapat dan lain sebagainya. Tapi berdasarkan dari tanggapan yang pernah saya dengar, ada yang mengatakan iklan ini cukup kreatif, tapi ada juga yang mengatakan SBY tidak percaya diri hingga harus menggunakan jingle indomie sebagai iklan. Jingle Indomie kan sangat terkenal karena sudah bertahun-tahun ditayangkan.”
Dari pernyataan diatas, Hendratno mengungkapkan ada tanggapan yang mengatakan iklan ini adalah iklan yang menarik dan kreatif. Menjadi pertanyaan selanjutnya penulis adalah pihak mana yang mengatakan iklan ini kreatif? Hendratno kembali memberikan pernyataan berikut ini. “Masyarakat bawah yang kekurangan informasi sangat bagus terhadap iklan ini. Karena iklannya sederhana dan pasti sudah dengar jingle indomie. Jadi lebih mudah dipengaruhi. Untuk masyarakat perkotaan ya rata-rata sulit dipengaruhi iklan. Karena sudah memiliki pilihan. Salah satunya dipengaruhi faktor pergaulan, wawasan dan informasi. Tapi bukan informasi iklan.”
Partai Golkar melalui penuturan Taufiqurahman melihat iklan ini mengesankan SBY tidak percaya diri bertarung dengan calon lain. Apalagi menurut Taufiqurahman SBY
adalah incumbent. Secara kekuasaan dan popularitas sudah pasti dikenal. Jadi tidak perlu beriklan seperti itu. “Ya kesannya begini ya, karena iklan itu banyak dikenal orang lebih dulu, jadi mudah bagi SBY untuk mendapat simpati bagi masyarakat. Kesan saya pribadi dari iklan itu ada positif dan negatifnya. Negatifnya itu dia saat itu menjadi presiden jadi rasanya ga pantes bagi dia kok iklan seperti itu. Kaya gak percaya diri aja. Positifnya saya lihat justru iklan itu cukup kreatif. Karena sangat sederhana tapi efektif dalam menyampaikan pesan.”
Digarisbawahi dari pernyataan ini adalah Taufiqurahman melihat iklan ini merupakan iklan kreatif. Merupakan iklan sederhana dan efektif menyampaikan pesan. Selanjutnya penulis menanyakan apakah berarti iklan ini efektif terhadap masyarakat yang melihat, Taufiqurahman memberikan penuturan berikut. “Ya tergantung masyarakatnya mas, saya melihat masyarakat sangat tertarik. Tanggapan mereka sangat baik. iklan itu saya akui sangat kreatif, iklan itu sangat sederhana tapi mengena. Masyarakat juga sampai sekarang masih inget tentang iklan itu sampai sekarang. Itu tandanya iklan itu efektif. Dan termasuk menarik ya to. apalagi masyarakat bawah. Mereka ga mau tahu. Yang penting didengarnya enak. Sampai sekarang masih mereka nyanyikan. Pendukung SBY kalo demo untuk memepertegas dukungan mereka pada SBY masih menyanyikan jingle itu.”
Taufiqurahman menegaskan hal yang menonjol dalam iklan tersebut adalah kesederhanaan dalam menyampaikan pesan. Pesan yang berwujud lagu jingle Indomie yang dimodivikasi menjadi senjata ampuh menarik perhatian pemilih. Bahkan dijadikan yel-yel hingga sekarang ketika pendukung SBY menegaskan dukungannya dalam membela programprogram pemerintah. Sementara menurut Partai Demokrat lewat penuturan Wirabumi, iklan ini tidak lebih memanfaatkan hal yang sudah dikenal selama ini oleh masyarakat. Jadi ini merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Bahwa kemudian iklan ini meniru jingle mie instan, merupakan hal yang wajar dan justru menjadikan menarik. Dirinya berpendapat iklan politik tidak harus selalu berisi materi yang ‘berat’. Namun ada kalanya masyarakat diajak keikutsertaannya dalam kegiatan politik lewat sesuatu yang ringan dan menghibur. “Sebelum digunakan SBY iklan indomie ini kan sudah dikenal banyak orang. Image yang sudah dimiliki kan satu, menunjukan keunikan budaya nusantara. Kedua menggambarkan persamaan strata sosial. Bahwa mie adalah makanan yang sudah berkembang dalam semua strata sosial. Nah pada saat itu kemudian ditransfer manjadi iklan politik SBY, persepsi dan image itu juga yang muncul bahwa SBY menjadi dalam tanda kutip milik bangsa yang berbagai
warna itu tadi. Ini perlu dihargai lho. Sebuah hal yang bagus tho menjadikan iklan politik menarik dan ringan. Jadi masyarakat tidak segera mengganti chanel TV-nya dan mau mendengar pesan-pesan politik.”
Sementara menurut Budi Riyanto, mengenai pesan verbal dalam iklan politik SBY berbunyi ‘SBY Presidenku’, adalah hal yang wajar. Bahwa dalam semua iklan politik dicantumkan penyampaian slogan adalah hal yang wajib. Diartikannya, slogan menjadi pesan utama dalam komunikasi politik. Ditambahkan oleh Budi, slogan berisi rangkuman visi dan misi dari aktor politik dalam hal ini Capres dan Cawapres. Slogan SBY Presidenku adalah menunjukan SBY merupakan sosok yang masih diharapkan memimpin republik ini lima tahun ke depan. “Bila slogan SBY waktu kampanye 2004 itu bersama kita bisa. Artinya kita bisa bersamasama mewujudkan perubahan indonesia yang lebih baik. Untuk 2009 ini, SBY presidenku menerangkan sosok SBY adalah orang yang pernah menjadi presiden dan masih diharapkan untuk memimpin lagi. Karena secara hasil kepemimpinan berdasrkan survei dari Demokrat, kepemimpinan SBY lima tahun itu bagus. Dan juga masyarakat mengharap dirinya mencalonkan diri juga besar.”
Ditambahkan oleh Budi, untuk menjadikan slogan itu menjadi mudah diingat digunakanlah jingle Indomie. Menurut Budi, jingle Indomie sudah familiar, ini mempermudah bagi tim sukses untuk membuat slogan menjadi mudah diingat. “Dan itu efektif kan, slogan kan kalo ada iramanya jadi mudah diingat.”
B. Persepsi Terhadap Pesan Non Verbal “Sebuah gambar dapat mewakili beribu kata.” Melalui kata-kata tersebut, kita semua dapat memperoleh sebuah pengertian bahwa betapa sebuah karya visual berupa gambar, lukisan, atau pun foto, sanggup menguraikan sebuah makna. Makna tidak hanya diurakan melalui pesan verbal saja. Namun juga dapat diutarakan melalui pesan non verbal. Dalam komunikasi pesan verbal dan non verbal adalah saling melengkapi fungsinya. Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang didalammnya terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk, warna, dan komposisi. Ia dikelompokan dalam komunikasi non verbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan dan ucapan.
Upaya memberdayakan simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas, bahkan istimewa, untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal. Menurut partai politik, visualisasi Iklan Politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono Versi Indomie di televisi dipersepsikan membentuk citra SBY diantaranya: menjadi milik semua golongan, didukung masyarakat indonesia menjadi presiden lagi, dan kesan bahagia akan kepemimpinan SBY selama ini dan mengharap untuk menjadi presiden lagi. Seluruh informan dari Partai Demokrat memiliki pendapat dengan persepsi ini. Sedangkan tidak seluruh informan dari Partai Golkar sependapat dengan persepsi ini. Bahkan masing-masing informan dari Partai Golkar memiliki argumen dan persepsi sendiri-sendiri. Tercatat dua Informan dari Partai PDI perjuangan juga tidak sepakat dengan persepsi diatas. Namun satu orang menyatakan sepakat sebatas SBY mempersepsikan menjadi milik semua golongan. Seperti diungkapkan oleh Hendratno, iklan politik memang harus menyampaikan dirinya adalah merupakan milik semua golongan. Dirinya menyampaikan iklan PDI Perjuangan pun juga menggunakan penyampaian seperti itu. “Iklan presiden ya harus seperti itu tho, gak boleh iklan presiden hanya milik satu golongan. Seperti milik PDI perjuangan juga begitu. Gak ada iklan politik hanya milik satu golongan. iklan politik ya untuk keseluruhan. Apa ada iklan politik yang hanya khusus untuk demokrat, ya gak ada tho. Nanti massa pemilih presiden hanya dari demokrat tok gak ada nambah dari yang lain. Jadi harus memenuhi semua suku, agama, ras, golongan termasuk domisili jawa dan luar jawa, semua harus tercakup.”
Ditambahkan oleh Hendratno, dirinya tidak sepakat dengan persepsi bahwa SBY didukung oleh masyarakat banyak dan masyarakat puas akan kepemimpinan SBY. Sehingga memohon SBY mencalonkan lagi untuk menjadi presiden. Menurutnya, masyarakat hanya menilai dari penampilan saja.
“Selama ini SBY kan banyak bermain pencitraan. Jadinya masyarakat juga mudah terbentuk persepsinya. Karena masyarakat sebagian besar di indonesia itu kan banyak yang masyarakat bawah. Jadi mudah dipengaruhi oleh penampilan saja.”
Diungkapkan pula oleh Rudi, iklan tersebut secara non verbal tidak menyimpulkan apapun. Hal yang ditonjolkan adalah jingle indomie dan tidak lebih dari itu. Ketidak sepakatan mereka mengenai persepsi terhadap iklan politik SBY Boediono versi Indomie dapat dimaknai sebagai refleksi dari kompleksitas cara mereka mengintepretasikan mengenai iklan politik. “Saya tidak melihat ada persangkaan seperti itu ya mas. Tidak dan sama sekali tidak. Jika iklan tersebut terkesan SBY diinginkan masyarakat menjadi presiden lagi menurut saya tidak. Tapi ya tergantung kepada pendapat masyarakat sendiri-sendiri. Kalo menurut saya kok tidak. Hal yang paling mengesankan hanya sebatas nyanyi indomie itu yang sangat berkesan.”
Sementara itu menurut Partai Golkar, lewat penuturan Taufiqurahman, iklan politik SBY yang mengesankan SBY didukung oleh banyak pihak untuk menjadi presiden lagi adalah sesuatu yang diluar batas wajar. Dirinya berpendapat, pembentukan citra lewat iklan mengesankan SBY sendiri tidak sanggup membentuk citra di masyarakat lewat perbuatan dan karyanya selama menjabat menjadi presiden. “Itu kan sudah berlebihan menurut saya, ada daerah tertentu yang kenyataanya bukan menjadi daerah pendukung dia. Saya menangkapnya presiden milik semua suku bangsa itu benar, tapi itu kan kalo sudah jadi,gitu to. Dia menggunakan sebagai presiden untuk menjadikan wacana nah itu ga bener menurut saya. Kalo sebagai milik semua sebagai presiden itu oke, tapi kalo milik semua untuk Pilpres selanjutnya itu yang gak bener lagi.”
Namun Taufiqurahman menambahkan, masyarakat sendiri juga mau untuk dipengaruhhi dan kurang selektif dalam menyeleksi dari iklan-iklan politik yang selama ini ditayangkan. Sehingga mau saja terkena ramuan ‘citra positif’ dari SBY. “Dalam iklan tersebut sangat memperlihatkan kalo SBY itu jujur, membentuk citra bahwa SBY jujur tegas, kalo bicara manteb, meyakinkan dan tenang. Padahal kita ga tau dibalik itu sebetulnya seperti apa. Dan masyarakat sudah cerdas untuk menilai itu. Jadi iklan politik itu lebih daripada penampilan ya to...dalam iklan politik itu sangat memperlihatkan kalo SBY itu jujur, berusaha membentuk citra kalo jujur. Tapi dari balik itu kan akhirnya kembali ke masyarakat tentang penilaian sebenarnya. Pada dasarnya masyarakat kan sudah melihat SBY dalam 5 tahun pemerintahannya. Jadi iklan politik itu lebih kepada penampilan ya to..itu berguna untuk masyarakat bawah, tapi kalo yang menengah ke atas dan sudah berlatar belakang pendidikan lain lagi. Selama ini pembentukan citra itu berlaku untuk masyarakat bawah.”
Taufiq kembali menegaskan, iklan politik adalah hasil konstruksi citra. Kendati bertujuan menyampaikan pesan politik namuan kenyataanya, pesan yang disampaikan justru menjadi tidak jelas. “Saya melihat tidak hanya SBY, hampir semua. Tapi satu hal iklan politik adalah kebohongan publik, ini secara umum. Semua tampilan yang ada adalah hasil permak. Bahkan aktor politiknya ikut dibuatkan citra yang serba sempurna.”
Ketua DPC Golkar, Koes Rahardjo, juga senada pernyataan diatas. Menurutnya iklan politik SBY tidak mengesankan SBY diinginkan oleh semua rakyat menjadi presiden lagi. Tidak pula SBY didukung semua golongan. “SBY diuntungkan sudah menjadi presiden ya. Jadi secara kekuasaan sudah tentu dia diuntungkan. Dan menurut saya iklan tersebut tidak benar kalo mengesankan SBY menjadi milik semua. Pasangan SBY Boediono justru bagi masyarakat luar jawa kurang mewakili mereka.”
Ketika penulis menanyakan lebih dalam bagaimana iklan politik yang mengesankan semua golongan? Koes menerangkan seperti berikut ini. “Iklan politik JK-Wiranto kan mencerminkan jawa dan luar jawa. Jadi merupakan wujud didukung semua golongan. Secara komposisi kan sudah pas kan mas. Tidak hanya dalam iklan mengesankan didukung semua golongan.”
Sementara menurut Partai Demokrat persepsi bahwa SBY merupakan milik semua golongan adalah benar. Seperti diungkapkan Wirabumi, tidak ada maksud yang berlebihan dari penampilan banyak orang dalam iklan poltik tersebut. Bahkan menurut Wirabumi, penggunaan banyak orang tersebut menegaskan bahwa SBY memang diinginkan oleh masyarakat untuk menjadi presiden lagi. Menurutnya hal ini sudah didasarkan pula oleh survey dari Partai Demokrat. “Tidak berlebihan menurut saya. Karena memang sudah ada dasarnya. Yaitu hasil survei bahwa SBY didukung dan diinginkan banyak orang menjadi presiden lagi. Tapi semua tentu punya penilaian sendiri-sendiri. Dalam berpolitik ini adalah hal yang wajar.”
Senada dengan Wirabumi, Supriyanto menambahkan, bahwa tim kreatif iklan SBY tentu melihat segala keadaan yang ada di masyarakat sebelum membuat iklan politik SBY.
Bahwa SBY kemudian dalam iklan dipersepsikan diinginkan oleh semua lapisan masyarakat adalah sebuah keadaan sebenarnya dari masyarakat. Dalam penekanan Supriyanto, hasil survei yang dilakukan Partai Demokrat, masyarakat cenderung melihat pemerintahan SBY banyak lebih baik dari beberapa pemerintahan sebelumnya. Serta merasa program pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu perlu didukung untuk pemerintahan selanjutnya. “Semua menurut saya berdasarkan kenyataan. Jadi dalam iklan SBY didukung semua golongan itu sah-sah saja. Survey membuktikan hal tersebut. Dan kenyataannya juga benar kan, SBY menang telak dalam pemilu kemarin.”
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 1992. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera. Bungin, Burhan. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana. Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Thaha, Idris (Ed). 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Tinarbuko, Sumbo. 2009. Iklan Politik dan Realitas Media. Yogyakarta: Jalasutra McQuail, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa(ed). Jakarta: Erlangga. Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurhajarini, Dwi. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta Nurudin. 2005. Media Massa dan Dehumanisasi dalam Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi. Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS. Rakhmat, Jalaludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Robbins, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Prenhallindo. Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Setiyono. 2008. Iklan dan Politik, Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum. Jakarta:AdGOAL.Com. Severin, Werner J. dan James W. Tankard. Alih bahasa oleh Sugeng Hariyanto.2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana. Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung: Alfabeta.
Thaha, Idris (Ed). 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Tim Penyusun Kamus. 1984. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset. Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher Sarsito, Totok. Surakarta 27 November 2008.Makalah Seminar Kekuatan Media dan Politik. Program Studi Diploma Tiga Komunikasi Terapan FISIP Universitas Sebelas Maret. KOMPAS, 29 Juni 2009 Wuih…Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Trilyun KOMPAS, 2 Juli 2009, Perang Iklan Politik Episode Akhir KOMPAS, 17 Juni 2009, Iklan SBY-Boediono Tak Menarik KOMPAS, 15 Maret 2004, Iklan Politik Di Televisi Levin, Jane. 2004. The Phenomenon Of Political Advertising.Australian Screen Education. Diakses Tanggal 30 Desember 2009 dari http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IACDocuments&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A127159247&source=gale&s rcprod=EAIM&userGroupName=iduns&version=1.0 Freedman, Paul. 2008. Thirty Second Democracy: Campaign Advertising And American Elections.The Hedgehog Review. Diakses Tanggal 30 Desember 2009 dari http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IACDocuments&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A183048315&source=gale&s rcprod=EAIM&userGroupName=iduns&version=1.0