Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
PENDIDIKAN POLITIK BAGI PARTAI POLITIK Dirlanudin 1. Pendahuluan Dunia politik realitasnya akan selalu lekat dalam dimensi kehidupan manusia. Perwujudannya akan selalu bisa ditemui dalam skala yang besar hingga skala yang terkecil. Tentu dengan tingkat variasi kajian yang berbeda antara satu dimensi dengan dimensi lain. Partaipartai politik nampak sudah mulai sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa. Keadaan sosial ekonomi bangsa yang belum begitu banyak beranjak dari keterpurukannya nampaknya masih akan menjadi komoditas yang cukup menarik untuk ditawarkan. Di samping masih banyaknya potensi tema kebangsaan lain yang masih cukup menarik untuk diperdagangkan kepada khalayak umum. Tak ketinggalan juga sebentuk kesadaran yang semakin mengkolektif terhadap wacana kepemudaan yang kian menguat diinternal para elit politik. Cepat atau lambat pasti akan muncul tarikan-tarikan yang cukup kuat antar partai politik untuk menggiring generasi muda kedalam wadah politik yang bertujuan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan mereka saat itu maupun dalam akses jangka panjang. Tentu tujuan-
tujuan itu akan lebih banyak bersifat praksis ketimbang sesuatu yang lebih ideologis, meski tidak semua menunjukan hal seperti itu. Demokrasi adalah cara bukan tujuan, artinya demokrasi sebagai sarana, karena itu demokrasi adalah sistem yang tidak sempurna, yang butuh penyempurnaan dari waktu ke waktu. Jika demokrasi dimaknai sebagai praktik politik yang terbuka, kompetitif dan bebas dalam mencapai kekuasaan, maka tujuan hakiki dari demokrasi akan terabaikan. Banyak yang lupa bahwa tujuan demokrasi yang sebenarnya adalah terciptanya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. (Taufiequrachman Ruki, 2010) Demokrasi sebagai salah satu cara mekanisme seleksi kepemimpinan politik sampai saat ini masih dianggap sangat tepat. Untuk mengimplementasikan proses demokrasi sebenarnya banyak model, sistem kepartaian hanyalah salah satu saja dari model tersebut, jika sekiranya para elit politik dan komponen masyarakat mau mengembangkannya. Masing-masing pihak dan komponen masyarakat dalam berdemokrasi perlu menahan diri dari sikap dan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi bahkan menodai makna demokrasi sesungguhnya, 1
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu pendidikan politik bagi calon elit pemerintahan, elit politik, kader, partisipan politik dan masyarakat umumnya perlu mendapat perhatian yang memadai dari semua pihak. Selama ini pendidikan politik belum dilakukan secara optimal, seperti masih ada elemen masyarakat yang mengekpresikan aspirasinya dengan demonstrasi, merusak infrastruktur maupun sarana sosial lainnya. 2. Pendidikan Politik a. Bagi Masyarakat Salah satu fungsi partai politik adalah melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, tapi fungsi yang diperankan partai politik dalam pendidikan politik masyarakat belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kesadaran politik masyarakat. Bahkan terjadi exploitasi terhadap anak. Sering kita jumpai siswa berseragam biru dan abu-abu ikut dalam kampanye terbuka partai politik, dengan mengendarai kendaraan bermotor dan meneriakan yel-yel partai politik tertentu. Sebenarnya mereka sangat tidak memahami esensi dari kampanye. Mereka memahami kampanye hanya sebatas pada uang transpor, kaus, dan hura-hura saja. Untuk itu sudah sepatutnya institusi sekolah memberikan pembelajaran politik kepada siswa-siswanya. Disinilah perlu diletakkan secara dini akan arti penting pendidikan politik bagi pemilih (voter 2
education). Di sadari atau tidak hingga detik ini dunia politik masih meletakkan generasi ini sebagai objek saja. Pemuda yang lekat dengan karakter agent of change nampaknya di upayakan sedemikian rupa agar tidak berurusan dengan kehidupan politik. Kekritisan yang melibatkan kecerdasan moral pemuda dan masyarakat bawah juga dianggap sesuatu yang tidak wajar. Daya kritis itu dipaksakan untuk hilang, yang tetap kritis selalu akan di cap sebagai anak yang bermasalah, berstigma negatif. Bahkan tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya untuk terlibat dalam aktivitas politik lantaran hadirnya kesan negatif bahwa politik itu kotor. Di sinilah pendidikan politik dikalangan pemuda dan masyarakat bawah belum mendapatkan apresasi yang cukup serta memadai dari berbagai pihak termasuk para elit partai politik. (Parpol, Pendidikan Politik dan Pemilih Pemula, http://psp.ugm.ac.id) b. Bagi Parpol Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (UU No. 2 Th 2008 Pasal 1 Ayat 4). Bila pendidikan politik ini ditujukan kepada partai politik, elit maupun kader partai politik, maka sebenarnya mencoba ikut mengajak mereka untuk berbagi dan
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
merenungkan kembali keberadaan mereka, hak dan kewajibannya yang diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang diarahkan bagi terwujudnya kualitas proses demokrasi serta terseleksinya pimpinan pemerintahan dan para wakil rakyat yang benar-benar memiliki kompetensi, sikap negarawan, etika, amanah dan tulus mengutamakan kepentingan masyarakat yang secara sosial ekonomi masih lemah. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bagi para elit partai politik dalam kontek ini: 1) mungkinkah semua partai dalam proses pemenangan pemilu tidak semata-mata didasarkan pada legitimasi sosiologis (hukum), tetapi lebih pada legitimasi etis mulai dari input, proses sampai implementasi kekuasaannya? 2) mampukah parpol dalam mengusung kader maupun calon pimpinan pemerintahan tidak semata-mata mengejar siapa yang akan menang, tetapi benar-benar memilih calon-calon yang telah teruji kepemimpinan, kemampuan dan integritasnya? 3) mampukah elit parpol menghilangkan sikap oligarki di internal partainya, jadi tidak semata-mata karena dipaksa oleh aturan ? 4) mampukah parpol mengurangi mencegah terjadinya efek samping dari masuknya plutokrasi di lingkugan partai maupun pemerintahan ? 5) mampukah parpol melakukan pendidikan politik masyarakat secara objektif sampai ke desa-desa dengan tidak ada tendensi untuk
memobilisasi mereka ? 6) sanggupkah parpol mengarahkan kader dan partipannya untuk menghindari konflik horizontal dan anarkhis pada masyarakat bawah ? 7) siapkah parpol untuk kemungkinan kalah dalam pemilu dan komitmen pada prinsip demokrasi “Agreement to disagree” ? 8) di imbangi dengan nilai- nilai: pengendalian diri, disiplin bernalar dan bermoral; 9) mampukah parpol berperilaku “demagog“ bagi ketenteraman, ketertiban dan keharmonisan masyarakatnya. 3. Peran Partai Politik Minimnya peran partai politik (parpol) untuk ikut serta melakukan pendidikan politik bagi masyarakat diakui sebagian besar kalangan parpol yang ada. Aktivitas parpol selama ini dirasa hanya terjebak dalam rutinitas lima tahunan ketika ada perhelatan pemilihan umum saja, ketika tidak ada pemilihan umum maka kerja partai politik kemudian menjadi berkurang. Menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa partai politik sebagai organisasi politik yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45. 3
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada prinsipnya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Tapi bila kita cermati politik yang dijalankan partai politik pada tataran pelaksanaannya saat ini justru dinodai dengan praktikpraktik yang hanya memperbesar kepentingan individu dan kelompoknya. Fakta seperti itulah yang mendorong munculnya gejala “golput”. Isu golput pada intinya adalah ketidak percayaan pada partai politik peserta pemilu, karena dianggap sudah banyak mengumbar janji untuk kepentingan rakyat, padahal untuk kepentingan pribadi dan golongan. Partai politik saat ini, menurut sebagian besar masyarakat dianggap “bakul jamu” dan menjadi benalu dalam negara. Sesungguhnya fatwa MUI tentang “haramnya golput” tidak perlu dipaksakan kepada umatnya bila politik yang dibangun oleh partai politik berdasarkan nilai-nilai moral serta etika. Partai politik perlu memperkuat kelembagaan partai agar dapat menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat dengan baik. Selama ini masyarakat masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan berbagai permasalahan yang dialaminya kepada stakeholder partai sebab struktur partai tidak sampai ke bawah. Di tingkat desa misalnya, hampir tidak ada partai yang memiliki struktur sampai di sana. 4
Padahal kepengurusan partai hingga ranting itu diperlukan agar masyarakat yang ada di desa lebih mudah untuk menyampaikan aspirasinya. (http://www.jelajahbudaya.com). Proses rekruitmen kader partai harus melalui mekanisme yang jelas, misal melalui pelatihan kader partai serta dipublikasikan pada masyarakat luas. Dengan begitu proses penanaman ideologi dan program kerja partai bagi kepentingan masyarakat akan terus berjalan. Ideologi dan program kerja itu terus dapat ditransfer ke masyarakat. Ini memang sulit, namun patut dicoba. Dengan ini money politik dalam pemilu akan lebih berkurang. Parpol di Indonesia memang masih sulit menjalankan fungsinya dengan baik, misal masih sulit untuk menghindarkan proses transaksional dalam pemilu, hal ini sebenarnya merugikan kepentingan masyarakat. Sebenarnya melalui partai diharapkan akan bermunculan kader kader pemimpin bangsa yang mempunyai kredibilitas dan kapabelitas yang tinggi. Sebagian dari mereka akan mengisi kepengurusan partai, sebagian lagi menjadi anggota dewan, sebagian lagi mengisi lembaga eksekutif serta ada juga yang mengisi lembaga yudikatif. Bayangkan andaikan semuanya diisi oleh putera puteri terbaik dari bangsa Indonesia. Bayangkan jika semua partai melakukan hal yang sama, menominasi putra putri terbaik, bisa diyakini proses mendapatkan dan menjalankan kekuasaan untuk semata mata kepentingan bangsa dan negara
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
akan dilakukan dengan amanah. Oleh karena itu, menjadi penting kiranya partai membangun sistem nominasi dengan governance yang baik. Dalam UU No. 12/2008 dalam sistem Pemilukada dimungkinkan calon independen, namun demikian sebagian rakyat telah memberikan amanah kepada partai dalam mencari kader terbaik untuk mengurus daerahnya. Tapi sangat disayangkan proses pemilihan tersebut sering dijadikan ajang menjual tiket pencalonan. Akhirnya partai bukan menjalankan amanah para pemilihnya, justru sebaliknya partai politik memanfaatkannya guna mencari dana dengan dalih untuk pembiayaan pengembangan partai. Jadi mensukseskan Pemilukada merupakan bentuk pertanggungjawaban partai politik terhadap pemilihnya untuk mencari dan menempatkan putra-putri terbaiknya, dalam memimpin Bangsa dan daerahnya. Mencermati perkembangan parpol yang sekarang ini semakin bebas terkadang menimbulkan pertanyaan mampukah parpol tersebut menjawab tujuan negara? Tujuan dari setiap Negara adalah mensejahterakan rakyatnya, hal ini menjadi tantangan bagi parpol untuk berlomba mensejahterakan masyarakat.
Apa Manfaat Partai Politik Bagi Masyarakat ? Hasil jejak pendapat tentang manfaat apa yg saudara rasakan (sebagai rakyat) dari sebuah atau beberapa parpol ? apakah menurut Saudara parpol itu berguna bagi rakyat)? atau hanya bermanfaat bagi anggota partainya saja ? Jawaban terbaik dipilih oleh suara terbanyak adalah bahwa:
"Manfaat partai politik antara lain melakukan pendidikan politik. Namun sejaun ini, fungsi pendidikan politik parpol belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kesadaran politik masyarakat. Justru partai politik menuai kritik. Karena parpol cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan atau kepentingan para elit parpol ketimbang kepentingan untuk memajukan masyarakat, bangsa dan negara. Ironisnya, pendidikan politik yang kerap dikumandang para elit parpol hanya sebuah slogan tak bermakna. Kondisi ini menuntut setiap partai politik untuk mengoreksi sejauhmana orientasi dan implementasi visi dan misi parpol secara konsisten dan terusmenerus." (http://id.answers.yahoo.com/quest ion/index?qid) Apakah perlu revisi Undangundang partai politik ? Ada beberapa pemikiran tentang perlunya revisi Undang-undang Partai Politik, hal ini termasuk dari kalangan parpol sendiri, antara lain menyangkut: a. Proses rekruitmen kader partai harus melalui mekanisme yang jelas; b. Tingkat besarnya partai politik memberikan pendidikan politik bagi kadernya yang akan mengikuti pemilu legislatif; c. Persyaratan bagi partai baru dan ketika partai mendaftarkan menjadi peserta pemilu; d. Parpol yang ingin mendapatkan badan hukum, yakni minimal 5
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
harus memiliki rekening awal misal minimal Rp 1miliar; e. Persyaratan calon anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum harus kurang dari satu tahun. 4. Komitmen Kelembagaan Internal Partai Para pimpinan dan kader partai perlu memiliki komitmen kelembagaan internal partai hal ini sejalan dengan perubahan perundang-undangan yang sangat boleh jadi dapat menimbulkan konflik antar kader dan antar pendukung kader, oleh karena itu perlu pembenahan aturan main dan kesepakatan internal dalam menjalankan fungsi partai politiknya. Undang-undang pemilu anggota legislatif mengatur implementasi “sistem proporsional terbuka terbatas”, dimana nomor urut menjadi prioritas kedua setelah pencapaian batas minimal perolehan suara 30%. Di satu sisi, terdapat kemajuan dari mekanisme yang diberlakukan pada pemilu 2004, yaitu adanya batas minimal pemenuhan kouta suara 30% dari BPP. Di sisi lain, sebagian kalangan menilai bahwa masih dominannya nomor urut merupakan titik lemah dan stagnasi pencapaian pemilu. Penilaian ini mendasarkan pada beragam studi evaluasi pelaksanaan Pemilu 2004 yang memunculkan persoalan representasi. Pengaturan kisaran 30% BPP untuk calon jadi ini 6
harus diakui belum dapat menggeser dominasi nomor urut. Sehingga nomor urut kecil masih lebih berpeluang daripada nomor urut besar. Meski amanat UU Pemilu mensyaratkan kombinasi antara standar minimal 30% dan nomor urut untuk calon jadi, beberapa parpol tetap berpendirian menetapkan suara terbanyak untuk calon jadi (proporsional terbuka murni). Mereka membuat aturan internal parpol, yaitu kesepakatan mengundurkan diri bila calon dengan nomor urut lebih kecil tidak memperoleh suara terbanyak, meskipun memenuhi kuota 30%. Selanjutnya jatah kursi diberikan kepada suara terbanyak. Dengan demikian nomor urut tak lagi menjadi faktor penentunya. Mekanisme pengunduran diri ini memang diatur pula dalam UU Pemilu yang menyebut calon terpilih yang mengundurkan diri dapat diganti oleh calon lain sesuai dengan keputusan pimpinan parpol. Di titik ini, modus ‘pengunduran diri’ menjadi argumentasi paling sahih bagi kebijakan parpol yang menjadikan suara terbanyak sebagai standar penetapan calon terpilih agar tidak bertentangan dengan UU. Lazim dipahami bahwa nilai demokrasi perwakilan distandarisasi oleh jumlah dukungan suara rakyat. Semakin banyak dukungan rakyat, semakin tinggi pula kualitas demokrasinya. Karena itu, hingga kini sebagian kalangan meyakini penetapan calon terpilih dengan
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
suara terbanyak tanpa nomor urut adalah pilihan paling demokratis, sebagai representasi pilihan rakyat. Wacana demokrasi yang lebih berpihak pada suara terbanyak berargumentasi bahwa ada kelebihan dari mekanisme ini: Pertama, minimalisasi monopoli elit parpol. Faktor nomor urut dianggap menyimpan semangat oligarkhi elit parpol, dengan besarnya kekuasan elit parpol dalam menentukan nomor urut calon. Kolusi dan nepotisme kerap terjadi. Karena kedekatan antara calon dengan pimpinan parpol, maka ia akan mendapatkan ‘nomor dasi’. Sebaliknya yang disinyalir berseberangan, meski punya integritas lebih baik akan mendapat ‘nomor sepatu’. Dengan demikian, suara terbanyak tak lagi ditentukan oleh segelintir elit paprol, melainkan oleh rakyat. Kedua, mendekatkan calon dengan konstituen. Para caleg akan berlomba dan bekerja keras memperoleh dukungan dari konstituennya agar mendapat suara terbanyak. Intensitas pendekatan niscaya dilakukan agar mereka percaya dengan figure sang caleg. Rakyat kini semakin cerdas. Mereka tentu akan memilih caleg yang dirasa lebih dekat dan dikenal sekaligus dinilai cakap menangani masalah kemasyarakatan. Karena rakyatlah yang secara langsung menjadi ornament demokrasi, maka nomenklatur itu menuntut pelibatan rakyat lebih besar dalam penentuan calon terpilih. Demokrasi yang masih
mengacu pada ‘nomor urut’ sesungguhnya masih belum sepenuhnya merepresentasi kedekatan kehendak rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen. Ketiga, menghilangkan praktek jual beli kursi (nomor jadi). Praktek menjelang pemilu, tak sedikit orang membeli ‘nomor dasi’ agar mereka dijamin berkantor di senayan. Penerapan suara terbanyak mengakibatkan tak berfungsinya nomor urut, sehingga jual-beli nomor jadi tak akan terjadi. Keempat, secara teknis parpol tak lagi dihadapkan pada kesulitan untuk menyusun daftar calonnya. Ketimbang harus ribut saat penyusunan daftar, pimpinan parpol bisa saja langsung memasukkan semua kandidat dalam daftar yang diajukannya. (Ali Masykur Musa, 2008) Meski demikian, bukan berarti penetapan calon jadi dengan suara terbanyak bukan tanpa celah. Karena sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut, akan mengakibatkan selebritisasi parlemen. Resikonya, yang akan terpilih hanya orang-orang yang populer tanpa diimbangi kemampuan memadai. Nihilnya singkronisasi antara popularitas dan kualitas menjadi faktor utamanya. Artinya, popularitas belum tentu sekaligus menunjukkan kompetensi personal. Tak sedikit orang-orang yang berkualitas tetapi tidak dikenal masyarakat dan sebaliknya. Pilihan suara terbanyak menyebabkan 7
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
parpol bersegera merekrut para selebriti dari berbagai latar belakang sebagai caleg. Hal itu dilakukan sebagai strategi meraup pendulum suara untuk partai. Sementara orang-orang yang memiliki integritas, visi dan misi bagus dan sudah lama mengabdi dan beproses di parpol serta-merta akan diabaikan bila tidak dikenal. Di sisi lain, perihal ‘pengunduran diri’ harus diwaspadai sebagai potensi konflik. Jika tidak segera diatur mekanismenya di internal parpol, relakah caleg nomor jadi yang memenuhi kuota 30% BPP menyerahkan jatah kursinya ke orang lain? Jika jawabannya ‘ya’, selesai persoalan. Namun jika ‘tidak’, suhu politik bangsa ini akan diwarnai oleh pertikaian antar kader di internal parpol. Dengan suara terbanyak, bukan berarti risiko pertikaian dan perpecahan menjadi tertutup sama sekali. Bukan tidak mungkin terjadi proses saling menjelekkan antarkader semata-mata hanya demi mendapatkan suara lebih banyak ketimbang calon lainnya. Muncullah paradoks. Di satu pihak, terdapat keniscayaan kerjasama agar parpolnya mendapat jatah kursi lebih banyak. Pada saat bersamaan, terjadi perebutan kursi antar individu untuk menjadi calon terpilih, dengan beragam model black campaign maupun character assassination. Nomor urut ataukah suara terbanyak, masing-masing mempunyai konsekwensi dan 8
impact beragam. Maka apapun pilihannya, demokrasi dan kedaulatan rakyat tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa arah, agar fenomena transisi demokrasi segera dapat dilampaui. 5. Mengubah Pandangan terhadap Pemilih Pemula dari Objek menjadi Subjek Keberadaan pemilih pemula, yang merupakan generasi muda, masih menjadi sasaran empuk bagi para partai politik peserta pemilu. Parpol akan berusaha merebut perhatian kalangan ini, lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk pengamanan proses regenerasi kader politk itu sendiri kedepan, meski membutuhkan maintenance cost yang tidak sedikit juga. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini tentu akan terasa cukup merugikan bagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiaptiap parpol. Namun demikian objek kajian politis ini semestinya tidak berhenti pada kerangka hitungan. Jauh lebih mendalam yakni meletakkan komponen ini pada kerangka pendidikan politik yang lebih mencerdaskan. Perlu ada pembenahan sudut pandang didalam menempatkan kalangan tersebut pada ruang politik yang lebih luas, yakni meletakkan pemilih
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
pemula sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik. Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih. Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik. (http://psp.ugm.ac.id) Tidak bermaksud menafikkan progress perbaikan kesadaran politik yang ada, salah satu fakta yang masih bisa di temui, masih didapatinya pemilih yang sekedar memilih atau asal ikut tanpa diikuti dengan kepahaman dan kesadaran. Penggunaan hak politik nampaknya tidak diiringi dengan pendidikan politik (politic education) yang memadai. Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional karena sering di tipu oleh para elit. Selama sudut pandang ini tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya “eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini. Selamanya mereka hanya akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan yang menginginkan
dukungan suara semata (habis manis sepah dibuang). Banyak partai politik yang telah menetapkan kalangan pelajar, pemilih pemula, sebagai target dukungan suara. Partai-partai politik secara terbuka mensosialisikan dirinya melalui media massa menyatakan siap merangkul kalangan ini. Fasilitasi-fasilitasi yang dikhususkan untuk kalangan pemuda disiapkan sedemikian rupa memungkinkan mereka untuk berekspresi sesuai minat dan hobi. Secara mengejutkan beberapa partai politik telah menyiapkan serangkaian program yang cukup fantastis untuk bisa menarik minat pelajar untuk terlibat secara aktif. Terlepas begitu banyaknya program yang dibuat yang terpenting saat ini untuk diketahui apakah program-program ini telah memiliki tujuan pendidikan politik yang jelas ? Apakah hasilnya bisa terukur secara kualitatif selain hitungan kuantitif pada waktu pencoblosan ? Setidaknya ada beberapa hal yang mesti menjadi out put dari program-program tersebut untuk diperhatikan: 1) mampu menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini; 2) mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang; 3) memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik; 4) secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya.
9
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
6. Kekokohan dan Adaptabilitas Sistem Kepartaian Berkembangnya aspirasiaspirasi politik baru dalam masyarakat yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menunutut pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya melalaui pembentukan partai politik baru. Tetapi pengalaman dibeberapa dunia ketiga menunjukkan pembentukan partai baru tidak akan banyak bermanfaat kalau sistem kapartaiannya sendiri tidak ikut diperbaharui. Kajian teoritis tentang sistem kepartaian mengacu pada dua aspek: 1) kajian yang menyoroti sistem kepartaian berdasarkan aspek tipologi numerik (numerical typology), yaitu sejumlah partai yang dianutnya; 2) kajian yang menyoroti sistem kepartaian berdasarkan basis pembentukan dan orientasi ideologisnya, yaitu antara partai inklusif dan eksklusif. Berbagai kajian mengenai sejumlah sistem kepartaian di dunia berdasarkan tipologi numerik menunjukkan, setiap sistem yang ada-partai tunggal, dwipartai, atau multipartai memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam hubungannya dengan tinggirendahnya indeks demokratisasi. Artinya tidak ada jaminan bahwa jumlah partai menentukan tingkat demokratisasi. Samuel Huntington dalam buku yang sudah menjadi karya klasik, Political Order in Changing Societies, 10
menegaskan bahwa dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian baru disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik. Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas: Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasiorganisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompokkelompok baru kedalam sistem politik. (Sunardi, 2008) Selain mengenai partai dan sistem kepartaian di atas, ada beberapa ciri umum yang dianggap sebagai syarat bagi berfungsinya
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
suatu sistem kepartaian yaitu adanya pola interaksi yang kompetitif antar partai maupun adanya peranan yang potensial atau aktual dari partai-partai yang terdapat dalam sistem tersebut (Harry Eckstein, “Party Sistems”, dalam International Encyclopedia of the Social Sciences). Kalau argumen di atas dikaitkan dengan kebutuhan akan suatu sistem politik yang stabil, maka pola interaksi yang kompetitif itu mengisyaratkan juga adanya kesepakatan mendasar bahwa kompetisi hanya menyangkut pada isu-isu public yang ditawarkandan bukan pada ideologi yang menjurus pada konflik. Jadi bila satu partai menjadi pemenang dalam suatu pemilihan umum dan memegang kendali pemerintahan, partai-partai yang kalah akan bertindak sebagai pengritik kebijakan pemerintahan sambil menawarkan alternatif kebijakannya guna menarik dukungan pemilih pada pemilu berikutnya. Kendati begitu, mereka tetap mengakui keabsahan pemerintah yang sedang berkuasa, atau menjadi apa yang disebut “oposisi yang setia” (loyal opposition). DAFTAR PUSTAKA Buku Costa, John Dalla, The Ethical Imperative, New York, Harper Collins Publishers, 1998.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia, 1987. Phillips, Robert, Stekcholder Theory and Organizational Ethics, First Edition, San Francisco, Berret – Koehler Publishers, Inc, 2003. Perundang-undangan Undang- undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang- undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Undang- undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Artikel Harry Kawilarang, Plutokrasi Melemahkan Peran Kelas Menengah, Sinar Harapan, 16 Mei 2005. Haryatmoko, Demagogi dan Komunikasi Politik, Kompas, 25 April 2006. Kustigar Nadaek, Tujuh Tahun Pascarezim Soeharto, Sinar Harapan, 16 Mei 2005. Cyber http://kauje.net/Arsip, Ali Masykur Musa, Pelembagaan Sistem Kepartaian:Telaah Atas Beberapa Materi Krusial Dalam UU Pemilu, 2008 http://psp.ugm.ac.id, 2010 http://www.jelajahbudaya.com/kab ar-budaya/partai-politik-harus11
Jurnal Ilmiah Niagara, Vol. 4 No. 1, Maret 2012
ikut-lakukan-pendidikan politik.html http://id.answers.yahoo.com/questi on/index?qid, 2009 http://politea.wordpress.com, Sunardi, Sistem Kepartaian Baru, 2008 http://bataviase.co.id, Taufiequrachman Demokrasi dan Governance, 2010
12
Ruki, Good