KATALOG BPS 2104020
KAJIAN AWAL
INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BADAN PUSAT STATISTIK
REPUBLIK INDONESIA
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BADAN PUSAT STATISTIK
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
© 2017 : Badan Pusat Statistik ISSN : 978-602-438-090-8 Nomor Publikasi : 07310.0701 Katalog BPS : 2104020 Ukuran Buku : 17,6 cm × 25 cm Jumlah Halaman : xii + 116 halaman Naskah : Subdirektorat Analisis Statistik Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik Tim Penyusun Pengarah : Sri Soelistyowati Penanggung Jawab : Sentot Bangun Widoyono Editor : Soedarti Surbakti Iswadi Penulis : Ema Tusianti Dyah Retno Prihatinningsih Pengolah Data : Desain Cover : Desain Layout : Dicetak Oleh
Ema Tusianti Dyah Retno Prihatinningsih Taufan Tirtayasa Adi Nugroho Taufan Tirtayasa : CV Nario Sari
Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik
Kata Pengantar Kesetaraan gender merupakan target penting dalam pembangunan manusia baik dalam lingkup global maupun nasional. Pencapaian upaya dan program peningkatan kesetaraan dan pemberdayaan gender dievaluasi dengan berbagai ukuran seperti Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Di Indonesia, pengukuran kesetaraan gender telah dimulai sejak tahun 2009 dengan dipublikasikannya IPG dan IDG. Kedua indeks tersebut merujuk pada ukuran yang dikeluarkan oleh The United Nations Development Programme (UNDP) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1995. Pada tahun 2010 UNDP melakukan pengembangan pengukuran ketimpangan gender melalui penyusunan Gender Inequality Index (GII). Menyesuaikan dengan perkembangan tersebut, pada tahun 2017 BPS melakukan kajian awal penyusunan Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Kajian awal dilakukan untuk memperoleh metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik. Hal ini perlu dilakukan karena metodologi pengukuran GII yang dibangun UNDP tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Beberapa komponen indikator tidak tersedia secara berkala dan tidak tersedia sampai level kabupaten/kota. Dengan demikian, kajian awal ini diharapkan dapat menghasilkan indikator komposit yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi wilayah, ketersediaan data, maupun metodologi yang lebih tepat secara statistik. Kajian Awal Indeks Ketimpangan Gender 2016 ini menghasilkan IKG pada tingkat provinsi. Perlu diperhatikan, angka IKG dalam publikasi ini merupakan kajian awal dan belum dapat digunakan untuk dasar pengambilan kebijakan. Kajian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menghasilkan angka IKG yang akurat dan dapat digunakan sebagai angka resmi sebagai dasar kebijakan pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Semoga publikasi yang berjudul Kajian Awal Indeks Ketimpangan Gender 2016 ini bermanfaat sebagai langkah awal untuk penyusunan indikator gender. Masukan-masukan dari berbagai pihak terkait metode yang digunakan sangat diharapkan, sehingga angka yang dihasilkan menjadi lebih valid. Ucapan terima kasih dan apresiasi disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi masukan dalam penyusunan publikasi ini.
Jakarta, Agustus 2017 Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik
Sentot Bangun Widoyono, M.A.
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
v
Daftar Isi KATA PENGANTAR.....................................................................................................v DAFTAR ISI
.........................................................................................................vI
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................ix DAFTAR SINGKATAN.................................................................................................x BAB I PENTINGNYA MENGUKUR KETIMPANGAN GENDER..........................1 A. Ketimpangan Gender dalam Perspektif Pembangunan...........3 B. Indikator Pembangunan Manusia Berbasis Gender...................5 C. Indeks Ketimpangan Gender sebagai Perbaikan Indikator Sebelumnya ..............................................................................................6 BAB II KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR.....................................................................9 A. Konsep Ketimpangan Gender ........................................................11 B. Capaian Pembangunan Manusia sebagai Ukuran Kesejahteraan........................................................................................12 C. Konsep Pemberdayaan Gender......................................................13 D. Berbagai Ukuran Ketimpangan Gender dengan Indeks Komposit.................................................................................................14 E. Ukuran Ketimpangan Gender yang Menjadi Rujukan ...........26 BAB III METODE PENGUKURAN.........................................................................29 A. Gender Inequality Index Versi UNDP...............................................31 B. Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia............................36 C. Perbedaan GII dan IKG........................................................................51 BAB IV HASIL EKSPLORASI PENGUKURAN IKG.............................................53 A. Hasil Pengukuran IKG Nasional........................................................55 B. Korelasi IKG Dengan IDG Dan IPG...................................................56 C. Gambaran IKG Provinsi........................................................................58 D. Skenario Pengukuran yang Terpilih...............................................59
vi
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BAB V KONDISI KETIMPANGAN GENDER........................................................61 A. Kesenjangan Peran Laki-Laki dan Perempuan yang Cukup Signifikan................................................................................................63 B. Variasi Ketimpangan Gender Antarwilayah...............................65 C. Ketimpangan Gender Di Berbagai Bidang.................................66 D. Hubungan IKG dan IPM ....................................................................74 E. Hubungan IKG dan IPG......................................................................77 F. Hubungan IKG dan IDG......................................................................78 BAB VI KESIMPULAN..............................................................................................81 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................87 LAMPIRAN HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG.......................................................................................................93
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
vii
Daftar Tabel Tabel 2.1. Berbagai Ukuran Kesetaraan Gender.........................................15 Tabel 2.2. Komponen Penyusun GDI UNDP..................................................16 Tabel 2.3. Komponen Penyusun GEM UNDP................................................18 Tabel 2.4. Komponen Penyusun nGDI UNDP...............................................19 Tabel 2.5. Komponen Penyusun GII UNDP....................................................21 Tabel 2.6. Komponen Penyusun GGGI World Economic Forum..............22 Tabel 2.7. Komponen Penyusun SIGI OECD Development Centre.........23 Tabel 2.8. Komponen Penyusun GEI Social Watch .....................................24 Tabel 2.9. Komponen Penyusun EU-GEI EIGE ..............................................25 Tabel 3.1. Status Indikator Proksi MMR dan ABR.........................................40 Tabel 3.2. Skenario Pengukuran IKG dengan Kombinasi Penggunaan Indikator Proksi MMR dan ABR............................47 Tabel 4.1. Hasil Pengukuran IKG dengan Beberapa Skenario.................56 Tabel 4.2. Korelasi IKG dengan IDG..................................................................57 Tabel 4.3. Korelasi IKG dengan IPG...................................................................58 Tabel 5.1. Persentase Persalinan Tidak Dilakukan di Fasilitas Kesehatan pada Lima Provinsi dan Tertinggi dan Terendah di Indonesia, 2016..........................................................63 Tabel 5.2. Persentase Perempuan Usia 15-49 Tahun yang Berumur Kurang dari 20 Tahun pada Saat Melahirkan Pertama di Lima Provinsi Tertinggi dan Terendah di Indonesia, 2016...................................................................................70 Tabel 5.3. Jumlah dan Persentase Anggota DPR RI menurut Jenis Kelamin, 1955-2014..........................................................................73
viii
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Daftar Gambar Gambar 3.1 Indikator Komponen GII UNDP.................................................31 Gambar 3.2 Alur Penghitungan GII UNDP.....................................................32 Gambar 3.3 Tahapan Penghitungan IKG Indonesia...................................37 Gambar 3.4. Indikator Komponen IKG............................................................51 Gambar 4.1 GII UNDP, 2000-2015.....................................................................60 Gambar 5.1. Jumlah Penduduk 15 Tahun Ke atas Menurut Jenis Kelamin (Juta Orang), 2014-2016.................................64 Gambar 5.2 IKG Menurut Provinsi, 2016........................................................65 Gambar 5.3. Persentase Penduduk Usia 25 Tahun Ke Atas yang Menamatkan Pendidikannya Pada Jenjang SMA Menurut Jenis Kelamin, 2010-2016.......................................72 Gambar 5.4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Menurut Jenis Kelamin, 2010-2016.....................................................................74 Gambar 5.5 Matriks Keterkaitan IKG dan IPM, 2015-2016.......................75 Gambar 5.6 Matriks Keterkaitan IKG dan IPG, 2015-2016........................77 Gambar 5.7 Matriks Keterkaitan IKG dan IDG, 2015-2016.......................79
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
ix
Daftar Singkatan Gambar ABR
: Adolescent Birth Rate
AHH
: Angka Harapan Hidup
AHP
: Analytical Hierarchy Process
ANC
: Antenatal Care
Bakesbangpol: Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Bappeda
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BKKBN
: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BPPMD
: Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Desa
BPS
: Badan Pusat Statistik
Dindikpora
: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Dinkes
: Dinas Kesehatan
Dinsos
: Dinas Sosial
Disnakertrans : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
x
DP3AP2KB
: Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana
EDEP
: Equally Distributed Equivalent Percentage
EIGE
: European Institute for Gender Equality
EU-GEI
: European Union - Gender Equity Index
EW
: Equal Weight
FA
: Female Advantages
Faskes
: Fasilitas Kesehatan
FGD
: Focus Discussion Group
GA
: Geometric Aggregation
GDI
: Gender Development Index
GEI
: Gender Equity Index
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
GEM
: Gender Empowerment Measure
GGGI
: Global Gender Gap Index
GII
: Gender Inequality Index
HDI
: Human Development Index
HDR
: Human Development Report
IDG
: Indeks Pembedayaan Gender
IKG
: Indeks Ketimpangan Gende
IPB
: Institut Pertanian Bogor
IPG
: Indeks Pembangunan Gender
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
Kespro
: Kesehatan Reproduksi
KPPPA
: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
LA
: Linear Aggregation
LPPM
: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MCA
: Multi Criteria Aggregation
MDGs
: Millennium Development Goals
MMR
: Maternal Mortality Ratio
Nakes
: Tenaga Kesehatan
nGDI
: New Gender Development Index
OECD
: Organization for Economic Co-Operation and Development
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pemilu
: Pemilihan Umum
PKGA
: Pusat Kajian Gender dan Anak
PONEK
: Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial (Emergensi Komperhensif )
PSGPA
: Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak
PSW
: Pusat Studi Wanita
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
xi
xii
Puslitbang
: Pusat Penelitian dan Pengembangan
RPJMN
: Rencana Pembangunan angka Menengah
Sakernas
: Survei Angkatan Kerja Nasional
SDGs
: Sustainable Development Goals
SDKI
: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM
: Sumber Daya Manusia
SIGI
: Social Institutions and Gender Index
Susenas
: Survei Sosial Ekonomi Nasional
TPAK
: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
TT
: Tetanus Taksoid
UGM
: Univesitas Gadjah Mada
UHO
: Univesitas Halu Oleo
UN
: United Nations
UNDP
: United Nations Development Program
Unibraw
: Universitas Brawijaya
UNIMED
: Universitas Negeri Medan
Untirta
: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
UNY
: Universitas Negeri Yogyakarta
WEF
: World Economic Forum
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BAB
1 Pentingnya Mengukur Ketimpangan Gender
Bab
1
PENTINGNYA MENGUKUR KETIMPANGAN GENDER
A. KETIMPANGAN GENDER DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN Salah satu faktor penentu daya saing suatu negara adalah kualitas sumber daya manusia, baik dalam hal kemampuan, skill, maupun produktivitasnya. Jika melihat komposisi jumlah penduduk, sumber daya manusia laki-laki dan perempuan hampir setara. Artinya, pembangunan yang dicapai, separuhnya ditentukan oleh perempuan. Untuk meningkatkan daya saing negara dan pembangunan, sebuah negara perlu meningkatkan kesetaraan gender, yaitu meningkatkan hak, tanggung jawab, kapabilitas dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Sayangnya, potret kesetaraan ini masih tercoreng oleh berbagai diskriminasi yang masih terus dialami oleh perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam proses yang cukup panjang. Paham patriarki yang membentuk pemikiran bahwa laki-laki dianggap lebih superior dalam semua lini kehidupan telah menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang turun temurun dipraktikkan di masyarakat. Ketidakadilan gender tersebut termanifestasi dalam bentuk stereotype, marjinalisasi, subordinasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Stereotype yang selama ini melekat dalam benak masyarakat adalah perempuan hanya identik dengan kegiatan domestik atau rumah tangga. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai pelaku sentral dalam keluarga. Kaum perempuan juga mengalami marjinalisasi atau proses peminggiran. Dalam dunia kerja, perempuan mendapatkan upah yang jauh di bawah upah rata-rata laki-laki dan memiliki peluang lebih rendah dalam memasuki pasar tenaga kerja (BPS & KPPPA, 2016a). Dalam pengambilan keputusan, perempuan pun masih termarginalisasi. Sebagai contoh, berdasarkan hasil pemilu 2014-2019 persentase anggota parlemen perempuan hanya mencapai 17,32 persen (BPS, 2017). Dalam pengambilan kebijakan di sektor kepemerintahan, perempuan yang menduduki jabatan struktural
PENTINGNYA MENGUKUR INDEKS KETIMPANGAN GENDER
3
PNS tidak sampai 30 persen (BPS & KPPPA, 2016b). Dalam tindak kekerasan, perempuan kerap menjadi objek. Hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/ atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir (BPS, Maret 2017). Dengan adanya berbagai fakta indikasi ketimpangan pencapaian dan pemberdayaan antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender masih menjadi target penting dalam pembangunan manusia. Kesetaraan gender yang dimaksud menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin mereka. Hal ini diduga masih ditemukannya diskriminasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi di berbagai belahan bumi lainnya. PBB pada September 2015 meluncurkan program pembangunan berkelanjutan yang diberi nama “Sustainable Development Goals” (SDGs) untuk menggantikan program sebelumnya “Millennium Development Goals” (MDGs) yang telah berakhir 2015 (BPS, 2015a). SDGs memiliki 17 program dan berlaku bagi semua negara, termasuk Indonesia. Isu gender masuk dalam agenda pembangunan Tujuan 5. Isi tujuan tersebut diantaranya mencapai kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia, isu kesetaraan gender juga tertuang dalam visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik individu, wilayah, maupun jenis kelamin. Penghapusan diskriminasi gender di semua bidang kemudian menjadi isu yang terus menerus dibahas sebagai target pembangunan. Dalam RPJMN 2014-2019 (Bappenas, 2014) perspektif gender di semua bidang dan tahapan pembangunan sangat ditekankan. Kesetaraan dalam pembangunan tersebut tidak lain untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembangunan yang berkelanjutan. Target pembangunan dalam hal kesetaraan gender adalah peningkatan kualitas hidup perempuan, peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian perspektif gender di semua tahapan
4
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER
pembangunan, dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara spesifik, program kesetaraan gender merupakan bagian tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dalam program Three Ends, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan kesenjangan ekonomi merupakan tiga permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka meningkatkan pemberdayaan dan kualitas hidup perempuan. Untuk mengevaluasi sejauh mana kesetaraan dan pemberdayaan gender yang sudah tercapai dapat dilihat dari berbagai ukuran. Indikator-indikator yang menunjukkan capaian-capaian pembangunan berbasis gender akan memberikan gambaran yang nyata tentang pengarusutamaan gender di Indonesia. B. INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER Penguatan sistem penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah gender sangatlah penting untuk penyusunan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan/program/kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu, pengukuran pencapaian pembangunan manusia berbasis gender menjadi hal yang sangat diperlukan. Pengukuran pembangunan gender di Indonesia dimulai sejak United Nations Development Program (UNDP) mengeluarkan laporan berkalanya yaitu Human Development Report (HDR) di tahun 1990 yang mencantumkan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kemajuan suatu negara (BPS, 2015b). Lima tahun kemudian, UNDP menambah konsep HDI dengan kesetaraan gender (Gender Equality). Sejak UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDR, faktor kesetaraan gender selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan setiap negara. Ukuran kesetaraan gender yang disusun UNDP sejak tahun 1995 adalah Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerement Measure (GEM). Ukuran-ukuran tersebut bertitik tolak pada konsep kesetaraan. Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal capaian kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Sedangkan GEM mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan pemberdayaan dalam sektor sosial-ekonomi. Di Indonesia, GDI atau Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan GEM atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) telah dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2009 atas kerjasama PENTINGNYA MENGUKUR INDEKS KETIMPANGAN GENDER
5
dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Pada tahun 2010, UNDP melakukan perubahan metodologi pengukuran GDI disertai dengan penghitungan HDI laki-laki dan perempuan. Menyesuaikan perubahan ini, pada tahun 2015 Indonesia merilis IPG metode baru dengan backcasting data hingga tahun 2010. Sementara itu, metode penghitungan IDG belum berubah hingga saat ini meskipun sejak tahun 2010 UNDP telah menghilangkan GEM dalam publikasi tahunannya (HDR). Pada saat yang bersamaan, UNDP mempublikasikan Gender Inequality Index (GII) sebagai salah satu ukuran yang dianggap lebih tepat menggambarkan pemberdayaan sekaligus kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan. C. INDEKS KETIMPANGAN GENDER SEBAGAI PERBAIKAN INDIKATOR SEBELUMNYA UNDP memperkenalkan GII sebagai ukuran ketimpangan gender pada tahun 2010. GII menggambarkan deprivasi pembangunan manusia sebagai dampak dari ketimpangan pencapaian pembangunan antara lakilaki dan perempuan (UNDP, 2016). GII dapat menyempurnakan kelemahan GEM dan GDI yang diduga memiliki berbagai kelemahan baik dalam hal teknis maupun konseptual. Dalam hal teknis pengukuran, GEM menggunakan bobot yang sama (equal weighting) untuk setiap komponen penyusunnya padahal setiap komponen indeks memiliki varians yang berbeda (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009). Dalam hal konsep, GEM merefleksikan urban elite bias dengan menggunakan indikator yang hanya relevan bagi negara maju (Klasen, 2006). Di sisi lain, kegagalan dalam mengukur kekuatan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga (domestik) juga menjadi salah satu kelemahan GEM (Beteta, 2006 dalam Jager & Rohwer, 2009) Sementara itu GDI memiliki kelemahan dalam mengukur angka harapan hidup yang digunakan sebagai ukuran gender gap padahal ada perbedaan aspek biologis/genetis antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, pendapatan dalam bentuk nilai nominal dapat menarik IPM perempuan menjadi jauh lebih rendah dari IPM laki-laki (Klasen, 2006). Selain itu, di beberapa negara, data pendapatan tidak tersedia sehingga lebih banyak dilakukan imputasi.
6
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER
Untuk mengakomodir kelemahan GDI dan GEM, GII menawarkan perbaikan metodologi dan alternatif indikator untuk mengukur ketidaksetaraan gender dalam tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi di pasar tenaga kerja. Dimensi pertama (kesehatan reproduksi) adalah isu gender yang timbul akibat adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, yaitu adanya diskriminasi dan kegagalan negara dan masyarakat dalam pemenuhan hak-hak seksual dan reproduksi perempuan. Aspek inilah yang menjadi ukuran khas dari GII yang tidak terdapat dalam GEM dan GDI. Dimensi kesehatan dalam GII mengukur ketimpangan gender sebagai perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang berdampak terhadap outcome kesehatan. Lebih luas lagi, ketidaksetaraan gender yang dimaksud adalah adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, ketidaksamaan hubungan kekuasaan di antara mereka, sehingga mengakibatkan perbedaan terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan mereka. Ukuran kesehatan inilah yang kemudian dikembangkan dalam pengukuran GII. Pada pengukuran GII, komponen pendapatan yang bias negara maju, bias kelompok elit, atau bias daerah perkotaan, tidak lagi dimasukkan. Disamping itu, metode atau formula penghitungan GII sudah mempertimbangkan berbagai komponen seperti pembobotan dan pengaggregasian. Pencapaian nilai yang sangat tinggi dalam satu dimensi tidak akan menutup pencapaian yang rendah di dimensi lainnya. UNDP mengakui bahwa dari waktu ke waktu GII terus menerus mengalami perbaikan pengukuran. Seiring dengan pengembangan pengukuran ketimpangan gender yang dilakukan UNDP, maka BPS melakukan kajian awal penyusunan GII atau Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh IKG yang sesuai dengan kondisi Indonesia namun tetap ilmiah dan memerhatikan aspek konseptual. Salah satu aspek yang dihasilkan dari kajian ini adalah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik. Hal ini dilakukan sebagai dampak dari metodologi GII UNDP tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Faktor penyebab permasalahan ini adalah adanya komponen indikator yang tidak tersedia secara berkala dan tidak tersedia sampai level kabupaten/kota di Indonesia. Dengan demikian, harapannya kajian awal ini dapat menghasilkan indikator komposit yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi wilayah di Indonesia/local specific issues, ketersediaan data, maupun metodologi yang tepat secara statistik. PENTINGNYA MENGUKUR INDEKS KETIMPANGAN GENDER
7
.
8
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER
BAB
2 Konsep Ketimpangan Gender dan Refleksinya dalam Sebuah Indikator
Bab
2
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
A. KONSEP KETIMPANGAN GENDER Paradigma yang muncul dibenak masyarakat saat ini menerjemahkan gender sebagai jenis kelamin. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983). Namun, seiring dengan perkembangan konsep gender, maka gender merujuk pada laki-laki dan perempuan, status keduanya dan posisi relatif antar keduanya (Lopez-Carlos and Zahidi, 2005). Gender merupakan sebuah variabel sosial ekonomi yang muncul sebagai akibat dari hubungan berbagai faktor seperti ras, umur, kelompok sosial dan etnis. Konsep gender bermula dari adanya pengakuan berbagai ahli bahwa perbedaan kepribadian dan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidak bersifat universal, tetapi ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur sosial masyarakat tertentu. Gender merupakan perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin. Sehingga gender diartikan sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan (Oakley dalam Daulay, 2007). Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar berperan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender adalah kondisi perempuan dan laki-laki untuk menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Amartya Sen (1989) mengemukakan pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh manusia dan melekat pada berbagai aspek, yaitu pemberdayaan, partisipasi dan kerjasama, keamanan, keberlanjutan, dan kesetaraan. Meningkatkan kapabilitas perempuan untuk memperluas pilihannya tidak hanya berdampak bagi perempuan itu sendiri namun pada pembangunan keseluruhan. Oleh sebab itu, kesetaraan gender harus menjadi bagian integral dari
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
11
pembangunan manusia yang berkelanjutan (UNDP, 1995). Kesetaraan peluang laki-laki dan perempuan dalam mencapai kesejahteraan merupakan kunci dari pembangunan manusia. Dengan demikian, konsep pembangunan manusia sebagai gambaran kesejahteraan perlu dijabarkan lebih rinci antara laki-laki dan perempuan. B. CAPAIAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN
MANUSIA
SEBAGAI
UKURAN
Pembangunan manusia merupakan proses perluasan pilihan, yaitu kebebasan berpolitik, partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, pilihan untuk berpendidikan, bertahan hidup dan sehat, menikmati standard hidup layak (Haq, 1995). Berdasarkan paradigma yang dikemukakan oleh Amartya Sen (1989), pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh manusia. Kebebasan bergantung pada faktor sosial ekonomi seperti akses pada pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan politik. Pembangunan manusia adalah mean and end, yang berarti cara dan tujuan akhir (Sen, 1989). Dari beberapa terminologi pembangunan manusia di atas, dalam HDR pembangunan manusia diartikan sebagai proses dimana masyarakat dapat memperluas berbagai pilihan-pilihannya. Pendapatan merupakan salah satu penentu pilihan, tetapi faktor yang lebih penting lainnya adalah kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik yang baik serta kebebasan dalam bertindak (UNDP, 1996). Konsep ini berbeda dibanding kosep klasik pembangunan yang memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan manusia memfokuskan tujuan akhir dari pembangunan. Untuk menghidari kekeliruan dalam memaknai konsep ini, perbedaan antara cara pandang pembangunan manusia terhadap pembangunan dengan pendekatan konvensional yang menekankan pertumbuhan ekonomi, pembentukan modal manusia, pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan rakyat, dan pemenuhan kebutuhan dasar, perlu diperjelas. Konsep pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori konvensional pembangunan ekonomi. Model ‘pertumbuhan ekonomi’ lebih menekankan pada peningkatan pendapatan nasional daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. ‘Pembangunan sumber daya manusia’ cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai input dari proses produksi – sebagai alat, bukan sebagai tujuan akhir. Pendekatan‘kesejahteraan’melihat manusia sebagai penerima dan bukan sebagai agen dari perubahan dalam proses pembangunan.
12
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Adapun pendekatan ‘kebutuhan dasar’ terfokus pada penyediaan barangbarang dan jasa-jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan yang dimiliki manusia di segala bidang. Dalam Publikasi HDR yang pertama tahun 1990, pembangunan manusia didekati dengan perluasan pilihan untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak (UNDP, 1996). Oleh sebab itu, ukuran pembangunan manusia mempertimbangkan dimensi kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang tidak hanya sematamata merujuk pada konsep lama yang hanya memandang pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Kesetaraan gender dalam pembangunan manusia adalah terpenuhinya hak dasar yang setara bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan hak dasar ini, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam meningkatkan kapabilitasnya dalam menciptakan pembangunan sosial ekonomi suatu negara, selain mendapatkan manfaat dari partisipasinya dalam masyarakat. Hak dasar yang dicakup diantaranya terpenuhinya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, dan lingkungan sosial yang layak. Namun, dalam pengukuran pembangunan manusia, hanya tiga dimensi yang diukur, yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. C. KONSEP PEMBERDAYAAN GENDER Dalam kamus bahasa Indonesia, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/ kemampuan. Pengertian “proses” menunjukan pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pertahapan upaya mengubah kaum yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Oleh sebab itu, pemberdayaan gender lebih mengacu pada konsep adanya proses “opportunity” bukan pada hasil akhir atau outcome. Hal ini sesuai dengan konsep UNDP (1995) yang memfokusken makna pemberdayaan pada “opportunity” bukan pada kapabilitas, yang menjadi ukuran well-being.
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
13
Pelibatan perempuan dalam berbagai aktivitas telah menjadi bagian komitmen dari berbagai organisasi dunia. Salah satu Konferensi Perempuan yang diselenggarakan UNDP di Beijing menghasilkan kesepakatan bahwa pemberdayaan perempuan dan partisipasi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan dan akses terhadap kekuasaan merupakan dasar bagi kesetaraan, pembangunan dan perdamaian di dunia (UN, 1995). Selanjutnya, pengarusutamaan gender menjadi salah satu agenda penting dalam setiap penentuan kebijakan. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa pemberdayaan gender bukan sesuatu hal yang bisa datang dengan sendirinya tanpa campur tangan eksternal (inisiatif khusus). Oleh sebab itu, program pemerintah perlu disusun untuk menciptakan kondisi bahwa perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen dalam pembangunan. Konsep pemberdayaan juga bermakna suatu proses pembangunan kapasitas yang mengarah pada partisipasi, pengambilan keputusan, kontrol, dan tindakan perubahan ke arah yang lebih luas (Karl, 1995). Dengan demikian, kesetaraan pemberdayaan gender ditujukan untuk tercapainya kesamaan akses laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, pelibatan dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam lingkup publik maupun domestik. Berbagai indikator yang umum yang digunakan dalam mengukur pemberdayaan diantaranya: 1. Partisipasi dalam pendidikan dan pelatihan 2. Partisipasi dalam dunia kerja, seperti tingkat partisipasi angkatan kerja, pekerja pada posisi tertentu seperti posisi manajerial, administratif, dan tenaga profesional 3. Partisipasi dalam jabatan publik, seperti anggota parlemen, dan pekerja pemerintah D. BERBAGAI UKURAN KETIMPANGAN GENDER DENGAN INDEKS KOMPOSIT Untuk mengevaluasi sejauh mana gambaran ketidaksetaraan gender diperlukan sebuah indikator. Indeks komposit umumnya dipilih sebagai suatu ukuran yang menganggregasikan berbagai indikator multi dimensi. Beberapa institusi internasional telah melakukan berbagai pengukuran indeks dengan berbagai versi dan pendekatan. World Economic Forum (WEF) menyusun Global Gender Gap Index (GGGI), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Development Centre memiliki Social Institutions and Gender Index (SIGI), Social Watch menyusun
14
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Gender Equity Index (GEI). Sedangkan European Institute for Gender Equality (EIGE) memiliki European Union-Gender Equity Index (EU-GEI). Di Indonesia, pengukuran kesetaraan gender merujuk pada UNDP. UNDP memiliki GDI dan GEM yang telah disusun sejak tahun 1995. Latar belakang penyusunan GDI adalah adanya kelemahan HDI yang hanya menggambarkan pencapaian rata-rata seluruh penduduk, tanpa melihat adanya kesenjangan antar kelompok penduduk, termasuk gender. GDI kemudian diperbaiki tahun 2010 dengan adanya metode pengukuran baru yang disebabkan adanya berbagai permasalahan konseptual, metodologi dan ketersediaan data, diantaranya permasalahan komponen pendapatan (Klasen, 2009). Uraian lebih rinci mengenai berbagai ukuran tersebut akan dibahas secara detail pada ulasan berikut. Tabel 2.1 Berbagai Ukuran Kesetaraan Gender No (1)
Institusi (2)
Indikator
Komponen
(3)
(4)
Konsep/ Pendekatan (5)
Publikasi (6)
1
United Nations Development Programs (UNDP).
Gender Development Index (GDI)
4 Indikator 3 Dimensi
Pembangunan manusia
Tahunan, 1995-2009
2
United Nations Development Programs (UNDP).
Gender Empowerment Measure (GEM)
4 Indikator 3 Dimensi
Pemberdayaan
Tahunan, 1995-2009
3
United Nations Development Programs (UNDP).
New Gender Development Index (nGDI)
4 Indikator 3 Dimensi
Pembangunan manusia
Tahunan, 2010 sekarang
4
World Economic Forum (WEF)
Global Gender Gap Index (GGGI)
14 Indikator 5 dimensi
Disparitas gender
Tahunan, 2006 sekarang
5
OECD Development Centre
Social Institutions and Gender Index (SIGI)
14 Indikator 5 dimensi
Norma sosial dan diskriminasi dalam institusi sosial
2009, 2012, 2014
6
Social Watch
Gender Equity Index (GEI)
11 Indikator 3 dimensi
Disparitas gender
2004-2007, 2008, 2009, 2012
7
European Institute for Gender Equality (EIGE)
European Union - Gender Equity Index (EU-GEI)
20 Indikator, 8 dimensi
Kesetaraan gender multidimensi
Dua tahunan sejak 2013
Sumber: Gender Equality in Human Development-Measurement Revisited, UNDP (2015)
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
15
1.
Gender Development Index (GDI)
GDI mengukur pencapaian pembangunan manusia tetapi mengungkapkan ketidakadilan pencapaian kesejahteraan laki-laki dan perempuan. Melalui angka GDI, kesenjangan atau gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan mampu dijelaskan dengan melihat rasio antara GDI dengan HDI. Semakin tinggi rasionya maka semakin rendah gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan, sebaliknya semakin rendah rasio maka semakin tinggi gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan. Apabila nilai GDI sama dengan HDI, maka dapat dikatakan tidak terjadi kesenjangan gender. Sebaliknya, GDI lebih rendah dari HDI meNunjukkan kesenjangan gender yang tinggi. Dengan demikian, interpretasi GDI tidak terpisahkan dari analisis HDI. GDI disusun dari komponen kesehatan, pendidikan, dan hidup layak sama halnya dengan HDI. Angka harapan hidup mewakili dimensi kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mewakili dimensi pengetahuan, serta sumbangan pendapatan mewakili dimensi ekonomi yang disajikan menurut jenis kelamin. Dengan kata lain, dinamika GDI dari waktu ke waktu sangat dipengaruhi oleh perubahan dari tiga komponen tersebut. Pengukuran GDI dengan penggunaan indikator dan teknis pengukurannya yang kurang tepat menuai reaksi dari berbagai pakar. Klasen (2006) Tabel 2.2 Komponen Penyusun GDI UNDP Dimensi (1)
Indikator (2)
Indeks Dimensi (3)
Kesehatan
Angka Harapan Hidup
Indeks Kesehatan
Pendidikan
1. Angka melek huruf 2. Rata-rata lama sekolah
Indeks Pendidikan
Ekonomi
Sumbangan pendapatan
Indeks distribusi pendapatan
Sumber: UNDP (2010)
menyebutkan bahwa GDI adalah ukuran yang kurang tepat sebagai sebuah ukuran ketimpangan gender. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan indikator pendapatan yang memiliki gap cukup besar antara laki-laki dan perempuan. Sehingga ukuran tersebut kurang valid. Di sisi lain, formula pengukuran GDI yang tidak dapat terpisahkan dari HDI menjadi salah satu penyebab munculnya new GDI (nGDI) yang akan dibahas pada ulasan berikutnya.
16
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Kelemahan lain adalah penggunaan indikator kesehatan dalam GDI yang sejauh ini masih menggunakan angka harapan hidup (AHH). Kelemahan pengukuran ketimpangan gender dengan menggunakan AHH dinilai memiliki bias yang disebabkan faktor genetik atau alamiah. Sehingga untuk menggambarkan gender gap kurang tepat (Jager & Rohwer, 2009). Indikator ini juga tidak menggambarkan konstruksi sosial yang dapat membedakan capaian pembangunan gender (Klasen, 2004). Keberlangsungan hidup laki-laki dan perempuan yang tergambar dalam harapan hidup berkaitan erat dengan aspek biologis. Hal ini telah dibuktikan dengan barbagai penelitian. Perempuan memiliki umur yang lebih panjang. Aspek tersebut kemudian disebut dengan “Female Advantages” (FA) atau kelebihan perempuan (Lemaire, 2002). Perempuan memiliki gen dan hormon yang menguntungkan untuk hidup lebih lama. Sedangkan secara gaya hidup, laki-laki lebih memiliki risiko kematian lebih tinggi karena stress, kebiasaan merokok dan pekerjaan berat. Namun demikian, secara praktik di beberapa wilayah, tindakan diskriminasi, kekerasan, agama dan budaya acap kali menyebabkan rendahnya peluang akses perempuan dalam bidang kesehatan (Lemaire, 2002). Penelitian lain yang mendukung diantaranya Apfel (1982) yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki umur yang panjang tetapi lebih sering mengalami sakit. Sedangkan menurut Verbrugge (1985) laki-laki memiliki peluang yang lebih tinggi dalam hal menderita penyakit kronis atau fatal yang tibatiba. 2. Gender Empowerment Measure (GEM) GEM memperlihatkan sejauh mana peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. Peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik mencakup partisipasi berpolitik, partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi yang disebut sebagai dimensi GEM. GEM diukur berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen; perempuan sebagai tenaga profesional, manajer, administrasi, dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian, arah dan perubahan GEM sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen tersebut. Dalam penghitungan GEM, terlebih dahulu dihitung EDEP (Equally Distributed Equivalent Persentage) yaitu indeks untuk masing-masing komponen berdasarkan persentase yang ekuivalen dengan distribusi penduduk yang merata. Penghitungan sumbangan pendapatan untuk
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
17
GEM sama dengan penghitungan untuk GDI. Selanjutnya, masing-masing indeks komponen, yaitu nilai EDEP dibagi 50. Nilai 50 dianggap sebagai kontribusi ideal dari masing-masing kelompok gender untuk semua komponen GEM. Dari berbagai ukuran tersebut, berbagai ahli mengemukakan bahwa GEM mengandung banyak kelemahan. Penggunaan indikator parlemen dan tenaga manajerial/profesional dianggap hanya relevan bagi negara maju (bias kelompok elit, dan bias daerah perkotaan) (Klasen, 2006). Penggunaan proporsi pekerja profesional, dan manajer juga bukan menggambarkan power dalam pengambilan keputusan, namun lebih merefleksikan power dalam ekonomi (Gaye, dkk, 2010). Selain itu, penggunaan indikator pendapatan juga sama lemahnya dengan pendapatan dalam penghitungan GDI (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009). Tabel 2.3 Komponen Penyusun GEM UNDP Dimensi (1)
Indikator (2)
Indeks Dimensi (3)
Keterwakilan di Parlemen
Persentase anggota parlemen; lakilaki & perempuan
Indeks keterwakilan perempuan dalam parlemen
Pengambilan keputusan
Persentase pejabat tinggi, manajer, pekerja profesional dan teknisi; lakilaki & perempuan
Indeks pengambilan keputusan
Distribusi Pendapatan
Persentase upah buruh non pertanian disesuaikan; laki-laki & perempuan
Indeks sumbangan pendapatan
Sumber: UNDP (2010)
Kelemahan lain adalah penggunaan indikator pengambilan keputusan yang hanya dilihat dari aspek ekonomi semata. Padahal ketimpangan gender lebih banyak terjadi pada aspek non-ekonomi seperti pengambilan keputusan dalam rumah tangga, seksualitas, pemilihan kontrasepsi, dan aspek lain yang sesungguhnya memiliki konsep partisipasi yang berdampak pada ketimpangan power antara laki-laki dan perempuan (Beteta, 2006). Beberapa studi mendalam berskala kecil, antara lain oleh A. Mustika dkk (2013) dan M.A.P. Palit (2009), menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peran yang dominan dalam banyak keputusan rumah tangga, seperti memutuskan menu makanan, pembelian alatalat rumah tangga, pemeliharaan kesehatan anggota rumah tangga, dan mengatur pembayaran sekolah. Bahkan dalam usaha rumah tangga, perempuan juga berperan sebagai pengambil keputusan yang penting. Dalam rumah tangga nelayan, misalnya, A. Azizi dkk (2012) mengutarakan
18
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
bahwa para isteri nelayan di Semarang Utara merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam pengolahan hasil tangkapan ikan dan pemasaran hasil olahan tersebut. Sementara itu U.P. Astuti dkk (2012) menyebutkan bahwa di kalangan keluarga petani budidaya padi sawah di Kepahiang, Bengkulu, perempuan adalah pengambil keputusan utama dalam pembelian sarana produksi, kegiatan budidaya, kegiatan panen dan pasca panen, serta pemasaran hasil. 3. New Gender Development Index (nGDI) Penghitungan GDI berhenti dilakukan oleh UNDP mulai tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2014, UNDP kembali melakukan penghitungan GDI dengan menggunakan metode baru. Perubahan metode ini merupakan penyesuaian dengan perubahan yang terjadi pada HDI. Selain sebagai penyempurnaan dari metode sebelumnya. nGDI merupakan pengukuran langsung terhadap ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam pencapaian pembangunan manusianya. Pada metode baru ini digunakan rasio HDI perempuan dengan HDI laki-laki, sehingga bisa terlihat pencapaian pembangunan manusia antara perempuan dengan laki-laki. Tabel 2.4 Komponen Penyusun nGDI UNDP Dimensi (1)
Indikator (2)
Indeks Dimensi (3)
Kesehatan
Angka Harapan Hidup
Indeks Kesehatan
Pendidikan/ Pengetahuan
1. Harapan lama sekolah 2. Rata-rata lama sekolah
Indeks Pendidikan
Ekonomi/Standard hidup layak
Pendapatan Nasional Bruto
Indeks Pendapatan
Sumber: UNDP (2010)
Dalam metode baru ini, dimensi yang digunakan masih sama seperti yang GDI sebelumnya, yaitu: 1) umur panjang dan hidup sehat 2) pengetahuan; dan 3) standar hidup layak. Menurut UNDP, ketiga dimensi tersebut digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kualitas hidup, dimana hakikatnya adalah mengukur capaian pembangunan manusia. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Adapun yang disempurnakan dari GDI sebelumnya adalah penggantian beberapa indikator untuk menyempurnakan metodologi yang digunakan. Dimensi pengetahuan menggunakan angka harapan lama sekolah dan angka rata-rata lama sekolah. Selanjutnya untuk KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
19
mengukur dimensi standar hidup layak digunakan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Pengukuran nGDI dianggap lebih baik karena memisahkan capaian pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Namun kelemahan dari nGDI ini adalah pendapatan umumnya tersedia pada level rumah tangga, sehingga disaggregasi laki-laki perempuan akan menjadi sulit (Akder, 1994 dalam Klasen & Schuler, 2009). Selain itu konsekwensi dari pengggunaan rasio pencapaian HDI perempuan terhadap laki-laki adalah interpretasi hasilnya yang memerlukan kehati-hatian. Nilai nGDI yang besar belum tentu menunjukkan kondisi pembangunan manusia yang tinggi. nGDI yang tinggi bisa terjadi karena HDI laki-laki dan perempuan sama-sama rendah. 4. Gender Inequality Index (GII) Berawal dari reaksi mengenai pengukuran GDI yang dianggap bukanlah indeks untuk mengukur ketidaksetaraan dan pengukuran GEM yang menuai banyak kritik para pakar, UNDP memperkenalkan GII tahun 2010. Indeks ini menyempurnakan GDI dan GEM. Perhitungan GII tidak lagi menggunakan indikator pendapatan sebagai salah satu komponennya, karena adaya berbagai kritik terhadap gap pendapatan yang cukup tinggi antara laki-laki dan perempuan dan ketersediaan data yang tidak terpenuhi sampai tingkatwilayah tertentu. Selain itu, GII juga menggunakan formula/ teknis pengukuran yang lebih baik, dimana nilai yang tinggi dalam satu dimensi tidak akan terlalu mendominasi hasil akhir. GII memperlihatkan besarnya kegagalan/kerugian (loss) yang terjadi dalam aspek-aspek pembangunan yang diukur akibat adanya ketidaksetaraan gender. GII memiliki hasil antara 0-1. Angka 0 mencerminkan adanya kesetaran gender yang sempurna yang menyebabkan pencapaian pembangunan ada pada tingkat optimalnya, dan angka 1 mencerminkan kesenjangan gender yang sempurna yang menyebabkan kerugian total dalam pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender tersebut. Selanjutnya, GII menjadi tolok ukur bagi kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan dengan menggunakan 3 aspek utama: kesehatan, pemberdayaan, dan angkatan kerja. Aspek tersebut disusun dari lima indikator seperti tergambar pada Tabel 2.5. Hal yang berbeda dalam GII adalah penggunaan indikator kesehatan yang tidak berlaku pada gender laki-laki. Dalam dimensi ini, kesehatan
20
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tabel 2.5 Komponen Penyusun GII UNDP Dimensi (1)
Indikator (2)
Indeks Dimensi (3)
Kesehatan
1. Angka Kematian Ibu 2. Angka Fertilitas Remaja
Indeks Kesehatan Reproduksi
Pemberdayaan
1. Persentase penduduk lakilaki dan perempuan dengan pendidikan minimal SMP 2. Persentase laki-laki dan perempuan yang duduk di parlemen
1. Indeks Pemberdayaan Perempuan 2. Indeks Pemberdayaan Lakilaki
1. TPAK laki-laki dan perempuan
1. Indeks Pasar Tenaga Kerja Perempuan 2. Indeks Pasar Tenaga Kerja Laki-laki
Pasar Tenaga Kerja Sumber: UNDP (2010)
reproduksi ditujukan untuk melihat tujuan akhir dari pembangunan kesehatan reproduksi adalah tidak adanya kasus kematian ibu dan kehamilan usia dini. Rasionalisasi dari penggunaan kedua indikator ini adalah bahwa keselamatan ibu hamil dalam melahirkan adalah gambaran dari fungsi kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, kesehatan reproduksi juga sangat berisiko jika terjadi terlalu dini. Risiko ini akan berdampak pada kondisi kesehatan secara umum dan masa depan perempuan di masa depan. Kelahiran yang terlalu dini yang diukur dari tingkat fertilitas remaja sangat berkaitan dengan risiko kesehatan ibu dan bayinya. Selain itu, dalam jangka panjang pengaruh kelahiran usia dini akan menyebabkan putus sekolah dan menimbulkan efek lain seperti terciptanya pekerja dengan kemampuan rendah. Meskipun UNDP merilis GII sejak tahun 2010, namun UNDP mengakui bahwa GII merupakan salah satu indeks percobaan dalam mengukur pembangunan manusia disamping dua ukuran lainnya, yaitu Inequalityadjusted Human Development Index (IHDI) dan kemiskinan multidimensi (Multidimentional Poverty Index). Kedepannya, GII akan terus disempurkan dengan melihat ketersediaan data diberbagai negara dan perkembangan konsep terkini. 5. Global Gender Gap Index (GGGI) Pada tahun 2006 the World Economic Forum memperkenalkan the Global Gender Gap Index (GGI). Indeks ini memfokuskan pada outcome. Dimensi
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
21
yang digunakan mencakup: partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan dan harapan hidup, dan politik. : Kelemahan pengukuran GGGI menurut Klasen & Schuler (2009) adalah penggunaan aggregasi yang sangat sederhana dari empat dimensi yang ada. Selain itu, penimbang yang digunakan cukup kompleks namun tidak mempertimbangkan perbandingan hasil antarwaktu. Sedangkan kelemahan secara konseptual, GGGI mencampuradukan konsep kesejahteraan dengan pemberdayaan dalam sebuah ukuran. Tabel 2.6 Komponen Penyusun GGGI UNDP Dimensi (1)
Partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi
1. 2. 3. 4.
5.
Indikator (2) Rasio tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terhadap laki-laki Rasio upah pada tingkat pekerjaan yang sama perempuan terhadap laki-laki Rasio pendapatan perempuan terhadap laki-laki Rasio tenaga kerja perempuan terhadap lakilaki pada jabatan senior dan manajer dalam administrasi Rasio perempuan terhadap laki-laki tenaga profesional dan teknis
Indeks Ekonomi
Pendidikan
1. Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki 2. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan dasar 3. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan menengah 4. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan atas
Indeks Pendidikan
Kesehatan
1. Rasio angka harapan hidup perempuan terhadap laki-laki 2. Sex rasio saat lahir perempuan terhadap laki-laki
Indeks Kesehatan
Politik
1. Rasio jumlah anggota parlemen perempuan terhadap laki-laki 2. Rasio jumlah pekerja perempuan terhadap laki-laki dalam tingkat pemerintahan/kementerian 3. Rasio lamanya waktu kepala negara perempuan terhadap laki-laki dalam kurun waktu 50 tahun
Indeks Pemberdayaan Politik
Sumber: Sumber: World Economic Forum (2006)
22
Indeks Dimensi (3)
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Kelemahan lain terletak pada penggunaan indikator pendapatan yang memiliki banyak keterbatasan baik dari segi kelengkapan data maupun konsepnya. Selain itu, indikator yang digunakan mencampuradukan indikator spesifik perempuan dengan indikator yang terpilah gender (lakilaki dan perempuan) (Gaye, dkk, 2010). Adapun indikator yang digunakan disajikan pada Tabel 2.6. 6. Social Institutions and Gender Index (SIGI) SIGI disusun oleh OECD sejak tahun 2009. Namun dipublikasikan tidak setiap tahun. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur ketimpangan gender adalah kelembagaan, norma sosial dan diskriminasi. Kelebihan dari SIGI adalah memasukkan institusi sosial (norma, budaya dan nilai) yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender. Hal ini tidak memfokuskan hasil outcome tetapi faktor institusional yang mempengaruhi outcome tersebut (Klasen & Schuler, 2009). Namun demikian, ukuran yang digunakan tidak bersifat global dan terlalu mengacu pada isu yang sangat spesifik. Misalnya saja penggunaan indikator sunat perempuan yang mungkin tidak bisa diterapkan untuk semua wilayah. Selain itu, indikator ini masih menjadi hal yang diperdebatkan (UNDP, 2015). Selain itu, kelemahan SIGI adalah kesulitan dalam interpretasi hasilnya karena indikator komponennya yang menggabungkan gender gap sekaligus indikator yang hanya berlaku bagi perempuan saja (Gaye, akk, 2010). Tabel 2.7 Komponen Penyusun SIGI OECD Development Centre Dimensi (1) Diskriminasi dalam norma keluarga
Kekerasan
Bias gender
Akses terhadap akses
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3.
Indikator (2) Legalitas pernikahan Pernikahan dini Pola asuh orang tua (parental authority) Hukum adat waris (inheritance) Kekerasan terhadap perempuan Sunat perempuan Kebebasan dalam reproduksi
1. Preferensi fertilitas (anak kali-laki atau perempuan) 2. Missing women (peluang kematian perempuan yang disebabkan faktor multidimensi) 1. Akses terhadap tanah 2. Akses terhadap aset non-tanah 3. Akses terhadap modal
Indeks Dimensi (3) Indeks norma keluarga
Indeks kekerasan
Indeks bias gender
Indeks akses terhadap aset
Sumber: OECD (2014)
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
23
7. Gender Equity Index (GEI) Organisasi internasional lain yang mengukur kesetaraan gender melalui indeks komposit adalah Social Watch pada tahun 2005. Social Watch mengembangkan GEI sebagai ukuran kesetaraan dengan menggunakan tiga dimensi: pendidikan, partisipasi ekonomi dan pemberdayaan. Pendekatan yang digunakan adalah konsep disparitas gender untuk setiap ukuran. Masing-masing komponen menggunakan indikator rasio, sehingga memiliki nilai 0-100. Publikasi GEI tidak disusun setiap tahun. Adapun indikator yang tercakup dalam pengukuran adalah sebagai berikut: Menurut Klasen & Schuler (2009), kelemahan GEI terletak pada metodologi yang terlalu sederhana dalam mengagregasi indikator dimensi. Selain itu, kerangka konseptualnya menyatukan konsep kesejahteraan dengan pemberdayaan secara bersamaan dalam pengukuran. Namun dibalik kesederhanaan tersebut justru melahirkan keunggulan tersendiri. Indeks yang dihasilkan sangat mudah untuk dimengerti karena hanya menggambarkan ranking tanpa melihat level/nilai (Gay,e dkk, 2010). Tabel 2.8 Komponen Penyusun GEI Social Watch Dimensi (1)
Indikator (2) Angka melek huruf Penduduk yang menamatkan pendidikan dasar Penduduk yang menamatkan pendidikan menengah Penduduk yang menamatkan pendidikan atas
Indeks Dimensi (3)
Pendidikan
1. 2. 3. 4.
Ekonomi
1. Ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja 2. Ketimpangan pendapatan 3. Jumlah tenaga kerja yang berkategori tidak rentan
Indeks ekonomi
Pemberdayaan
1. Jumlah kursi di parlemen 2. Tenaga kerja pada jabatan senior dan manajer dalam administrasi 3. Tenaga profesional dan teknis 4. Tenaga kerja dalam pemerintahan
Indeks pemberdayaan
Indeks pendidikan
Sumber: Social Watch (2012)
8. European Union - Gender Equity Index (EU-GEI) Indeks komposit yang dihitung oleh European Institute for Gender Equality (EIGE) merupakan salah satu ukuran yang menggunakan konsep multidimensi dalam menggambarkan kesetaraan gender. Indeks ini diukur
24
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
dari 8 dimensi dengan total komponen sebanyak 21 indikator. Adapun rincian indikator tersebut adalah seperti pada tabel berikut: Tabel 2.9 Komponen Penyusun EU-GEI EIGE Dimensi (1)
Indikator (2)
Indeks Dimensi (3)
Pekerjaan
1. Partisipasi 2. Segregasi 3. Kualitas pekerjaan
Indeks Pekerjaan
Keuangan
1. Sumber keuangan 2. Situasi ekonomi
Indeks Keuangan
Pengetahuan
1. Tingkat pendidikan 2. Segregasi dalam pendidikan 3. Lifelong learning
Indeks Pengetahuan
Waktu yang digunakan
1. Aktivitas ekonomi 2. Kegiatan perawataan diri 3. Kegiatan sosial
Indeks Waktu yang Digunakan
Kekuasaan
1. Kekuasaan politik 2. Kekuasaan sosial 3. Kekuasaan ekonomi
Indeks Kekuasaan
Kesehatan
1. Status 2. Prilaku 3. Akses
Indeks Kesehatan
Ketidaksetaraan
1. Populasi penduduk menurut umur, kelompok kelas tertentu, orientasi seksual, etnis, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, kemampuan fisik 2. Kausus diskriminasi
Indeks Ketidaksetaraan
Kekerasan
1. Kekerasan langsung 2. Kekerasan tidak langsung
Indeks Kekerasan
Sumber: European Institute for Gender Equality (EIGE) (2013)
Keunggulan dari EU-GEI adalah penggunaan penimbang yang berbeda setiap level pengukuran, baik pada tahapan anggrgasi sub dimensi maupun dimensinya. Selain itu, dalam uji kekuatan (robustness analysis) EIGE menggunakan kombinasi dari metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan pendapat para pakar serta bobot yang setara (UNDP, 2015). Namun penggunaan indikator yang cukup banyak bisa berdampak pada inefisiensi pengukuran.
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
25
E. UKURAN KETIMPANGAN GENDER YANG MENJADI RUJUKAN Berbagai ukuran kesetaraan gender yang telah dibangun meskipun menggunakan indikator komponen berbeda, namun memberikan hasil yang relatif sama. Hasil kajian UNDP (2015) yang menggunakan pair-wise correlation analysis, menggambarkan bahwa berbagai ukuran yang dikaji (GII, nGDI, SIGI, GGGI, GEI, EU-GEI, GDI dan GEM) memiliki korelasi rendah hingga tinggi. Korelasi yang sangat rendah (0,131) hanya terjadi pada hubungan nGDI dan EU-GEI. Namun demikian, korelasi tersebut dapat dijelaskan secara konsep. Ukuran yang digunakan pada EU-GEI lebih menggambarkan kondisi negara-negara maju. Sebaliknya, nGDI lebih universal. Kesimpulan dalam penelitian UNDP tahun 2015 tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya dalam memotret kesetaraan gender ukuran apapun yang digunakan memberikan informasi yang cukup identik. Oleh sebab itu, aplikasi di Indonesia bisa menggunakan ukuran yang lebih sederhana. Dalam hal ini, pengukuran kesetaraan/ketimpangan gender dapat menggunakan GII dengan cakupan indikator yang lebih sedikit. Namun demikian, UNDP (1995) menyarankan bahwa indeks atau indikator komposit yang digunakan harus memenuhi berbagai persyaratan, diantaranya: 1. Memiliki dasar teori yang kuat 2. Memiliki kemudahan dalam intrepretasi 3. Memiliki hubungan antardimensi yang sesuai dengan fakta di lapangan 4. Memiliki ukuran yang terbanding untuk setiap wilayah 5. Memiliki kemampuan untuk menstimulasi kebijakan 6. Tidak bersifat reduktif, namun terus melakukan penyempurnaan dengan melihat indeks yang sudah ada dan menyesuaikan dengan perubahan/fenomena terkini. Dalam kajian ini, ukuran ketimpangan gender merujuk pada GII. Alasannya adalah: 1. Hasil kajian UNDP 2015 menunjukkan bahwa semua ukuran yang ada merujuk pada satu hasil yang cukup identik. 2. Dari sisi kesederhanaan pengukuran, GII menggunakan jumlah indikator komponen yang sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Bossel (1999) yang menyatakan bahwa jumlah indikator dalam
26
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
sebuah indeks komposit seharusnya seminimal mungkin tetapi tidak meminimalkan urgensinya. Indikator yang digunakan harus komprehensif, padat, dan relevan terhadap isu yang dikaji. 3. Selama ini BPS menggunakan GDI dan GEM dalam mengukur pencapaian pembangunan manusia. Dengan demikian, UNDP menjadi rujukan dalam pengukuran indikator pembangunan manusia lainnya.
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR
27
BAB
3 Metode Pengukuran
30
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Bab
3
METODE PENGUKURAN
A. GENDER INEQUALITY INDEX VERSI UNDP Seperti yang disampaikan pada bab sebelumnya, pengukuran indeks ketimpangan gender pada kajian ini merujuk pada GII UNDP. Oleh sebab itu, pembahasan pada bab ini akan diawali dengan metodologi pengukuran GII disertai dengan tahapan pengukurannya. Metodologi pengukuran GII dilakukan dalam beberapa tahapan. Namun, pada dasarnya tahapan utama adalah penjumlahan nilai masing-masing dimensi dengan rata-rata geometrik untuk masing-masing kelompok jenis kelamin, lalu mengagregasikan nilai indeks laki-laki dan perempuan tersebut dengan menggunakan rata-rata harmonik. Indikator komponen yang digunakan adalah seperti berikut: Gambar 3.1. Indikator Komponen GII UNDP Maternal Mortality Ratio (MMR)
Adolescent Birth Rate (ABR)
• Banyaknya kematian perempuan yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup.
• Banyaknya kelahiran per 1000 perempuan pada kelompok umur 15-19 tahun
• Persentase penduduk laki-laki dan perempuan dengan pendidikan minimal SMP Pemberdayaan
• Persentase laki-laki dan perempuan yang duduk di parlemen
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
• Persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja laki-laki dan perempuan
Sumber: UNDP, 2010
METODE PENGUKURAN
31
Perhitungan indeks komposit dilakukan dengan membandingkan indeks kesetaraan gender dengan standar referensi. Melalui tahapan tersebut akan diperoleh nilai GII yang bervariasi antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai GII yang mendekati 1 (satu) menunjukkan pencapaian ketimpangan gender yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pemaknaannya, indeks ini digunakan untuk mengungkapkan sejauh mana kehilangan pencapaian keberhasilan pembangunan dalam tiga aspek pembangunan manusia (kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi ekonomi) sebagai akibat adanya ketimpangan gender. Adapun alur penghitungannya disajikan pada Gambar 3.2 berikut: Gambar 3.2. Alur Penghitungan GII UNDP Pemberdayaan
Kesehatan
Angka Kematian Ibu
Angka Fertilitas Remaja
Indeks Kesehatan Reproduksi
Persentase Pddk Laki-laki & Perempuan Berpendidikan Minimal SMP
Indeks Pemberdayaan Perempuan
Pasar Tenaga Kerja
Persentase Laki-laki & Perempuan di Parlemen
Indeks Pasar Tenaga Kerja Perempuan
TPAK Laki-laki & Perempuan
Indeks Pemberdayaan Laki-laki
Indeks Pasar Tenaga Kerja Laki-laki
Indeks Laki-laki
Indeks Perempuan GENDER INEQUALITY INDEX (GII)
Dalam mengukur GII, secara teknis tahapan penghitungannya adalah sebagai berikut: Tahap-1: Pengolahan data sehingga diperoleh angka antara 0 dan 1 Semua indikator komponen GII dibuat indeks dengan nilai antara 0 (nol) dan 1 (satu). Namun, sebagai dampak dari penggunaan rata-rata geometrik yang tidak memungkinkan mempunyai nilai nol, maka nilai minimum harus diatur untuk semua indikator komponen. Pada beberapa kasus, seperti keterwakilan perempuan dalam parlemen yang mempunyai nilai 0, maka ditentukan nilainya menjadi 0,01 persen, dengan asumsi bahwa perempuan tetap memiliki pengaruh politik. Hal yang sama dilakukan untuk indikator lainnya yang memiliki nilai 0.
32
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Penentuan nilai mínimum berbeda untuk indikator angka kematian ibu, yang memiliki satuan jumlah kematian per 100.000 kelahiran. Angka minimum yang ditetapkan UNDP adalah sebesar 10 kematian per 100.000 kelahiran. Angka tersebut diperoleh dari rata-rata dari setengah distribusi normal yang terjadi di beberapa negara. Pada kondisi kematian ibu antara 1-10, dianggap sebagai kondisi yang paling minimal di suatu negara. Tahap-2: Agregasi seluruh aspek untuk tiap jenis kelamin dengan rata-rata geometris Komponen indikator yang digunakan untuk masing-masing jenis kelamin, perempuan dan laki-laki di-agregasi dengan menggunakan rata-rata geometris. Penggunaan model geometris ini akan membuat indeks sensitif terhadap adanya hubungan atau keterkaitan antar aspek (Seth, 2009). Formula penjumlahan untuk Indeks Perempuan:
Formula penjumlahan untuk Indeks Laki-laki:
Dimana: GF
: Indeks Perempuan
GM
: Indeks Laki-laki
MMR
: Maternal Mortality Ratio
ABR
: Adolescent Birth Rate
PRF
: Persentase perempuan yang duduk di parlemen
PRM
: Persentase laki-laki yang duduk di parlemen
SEF
: Persentase perempuan dengan pendidikan minimal SMP
SEM
: Persentase laki-laki dengan pendidikan minimal SMP
LFPRF
: Persentase angkatan kerja perempuan terhadap penduduk perempuan usia kerja
METODE PENGUKURAN
33
LFPRM
: Persentase angkatan kerja laki-laki terhadap penduduk laki-laki usia kerja
Tahap-3: Penjumlahan indeks masing-masing jenis kelamin dengan menggunakan rata-rata harmonik Berbeda dengan penjumlahan indeks masing-masing jenis kelamin, penjumlahan indeks perempuan dan indeks laki-laki dilakukan dengan menggunakan rata-rata harmonik untuk menghasilkan indeks yang terdistribusi setara. Penjumlahan dengan rata-rata harmonik pada hasil ukur yang diperoleh dari rata-rata geometris masing-masing jenis kelamin akan menangkap ketidaksetaraan gender berdasarkan adanya hubungan antar-aspek dalam GII. Formula agregasi indeks laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:
Dimana: HARM (GF,GM ) : Agregasi harmonis indeks laki-laki dan perempuan Tahap-4: Penghitungan indeks masing-masing dimensi Pada tahapan ini akan dihitung indeks masing-masing dimensi dengan mengagregasi indikator komponen laki-laki dan perempuan. Namun, karena beberapa dimensi memiliki lebih dari satu indikator komponen, maka sebelumnya perlu menjumlahkan secara geometrik indikator komponen tersebut pada setiap jenis kelamin. Dimensi yang memiliki lebih dari satu komponen adalah dimensi pemberdayaan yang terdiri dari komponen anggota parlemen dan tingkat pendidikan. Demikian halnya dengan dimensi kesehatan reproduksi yang memiliki komponen angka kematian ibu dan fertilitas remaja. Khusus untuk dimensi kesehatan reproduksi agregasi ini hanya berlaku untuk perempuan. Kemudian, untuk mendapatkan indeks masing-masing dimensi, indeks dimensi laki-laki dan indeks dimensi perempuan dijumlahkan secara aritmetik. Khusus untuk dimensi kesehatan, nilai indeks komposit tidak dapat diartikan sebagai rata-rata dari indeks perempuan dan laki-laki, tetapi sebagai setengah jarak dari norma-norma yang ditetapkan untuk indikator kesehatan. Hal ini berlaku karena kesehatan reproduksi hanya berlaku pada perempuan. Sementara nilai indeks kesehatan laki-laki dianggap bernilai 1.
34
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Rumus indeks kesehatan adalah:
Rumus indeks pemberdayaan adalah:
Rumus indeks pasar kerja adalah:
Dimana: Health : Indeks kesehatan reproduksi Empowerement : Indeks pemberdayaan LFPR : Indeks pasar kerja Indeks kesehatan reproduksi, indeks pemberdayaan dan indeks pasar kerja bersifat positif, sehingga nilai indeks semakin tinggi menunjukkan pencapaian pembangunan dalam aspek tersebut yang semakin baik pula. Khusus untuk indeks kesehatan, kondisi yang negatif dengan penggunaan MMR dan ABR telah diatasi dengan penggunaan inverse. Tahap-5: Penjumlahan indeks dimensi Indeks seluruh dimensi perlu diukur untuk dijadikan sebagai standar referensi dalam penghitungan ketidaksetaraan di tahap akhir. Dalam hal ini, indeks masing-masing dimensi dirata-ratakan secara geometrik seperti pada formula berikut.
Dimana: GF,M : Indeks dimensi
METODE PENGUKURAN
35
Tahap-6: Penghitungan Indeks Komposit Kesetaraan Gender Perhitungan indeks komposit dilakukan dengan membandingkan indeks kesetaraan gender dengan standar referensi. Indeks Kesetaraan Gender adalah indeks komposit yang dihitung berdasarkan rumus berikut:
Melalui kelima tahap ini akan diperoleh nilai yang bervariasi antara 0 (nol) dan 1 (satu). Hasil penghitungan ini digunakan untuk mengungkapkan sejauh mana pencapaian keberhasilan pembangunan manusia dalam empat aspek (kesehatan reproduksi, pendidikan, partisipasi ekonomi, keterwakilan dalam jabatan publik) karena adanya kesetaraan dan keadilan gender. Tahap-7: Penghitungan GII Hasil akhir yang diperoleh dari keseluruhan tahapan ini adalah GII yang merupakan besarnya kegagalan/kerugian (loss) yang terjadi dalam aspekaspek pembangunan yang diukur akibat adanya ketidaksetaraan gender. Sehingga nilai GII sebesar 0 (nol) mencerminkan adanya kesetaran gender yang sempurna yang menyebabkan pencapaian pembangunan ada pada tingkat optimalnya. Angka 1 mencerminkan kesenjangan gender yang sempurna yang menyebabkan kerugian total dalam pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender tersebut. Formula GII adalah nilai maksimum (yaitu 1) dikurangi indeks kesetaraan gender.
B. INDEKS KETIMPANGAN GENDER (IKG) INDONESIA Pengukuran IKG Indonesia mengikuti apa yang telah ditetapkan UNDP. Namun kendalanya adalah tidak semua indikator GII UNDP tersedia setiap tahun dan tersedia pada level subnasional. Dengan demikian, penghitungan IKG Indonesia akan sedikit berbeda dengan GII. Ketersediaan data yang terbatas dapat diatasi dengan indikator pengganti atau indikator proksi. Oleh sebab itu, tahapan pengukuran IKG berbeda dengan GII namun tetap mengacu pada kaidah pengukuran indikator komposit, seperti pada bagan berikut:
36
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tahap 1- Identifikasi Indikator Proksi Dari tahapan penyusunan indikator komposit (indeks) yang disarankan OECD dalam publikasi Handbook of Constructing Composite Indicator, maka hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi indikator. Dari keseluruhan komponen pengukuran GII UNDP, MMR dan ABR tidak tersedia setiap tahun. Data tersebut hanya dapat diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan 5 tahun sekali. Dengan demikian, diperlukan indikator proksi MMR dan ABR. Gambar 3.3. Tahapan Penghitungan IKG Indonesia
Identifikasi Indikator Proksi
Back to detail, perhatikan komponen penyusunnya
Memilih dan menstrukturisasi Indikator
Periksa Perbandingan Regional
Pengolahan Data
Uji Kepekaan dengan Melihat Korelasi
Normalisasi Indikator menjadi satu ukuran yang sama
Penghitungan IKG dan Uji kekuatan dengan menggunakan berbagai skenario
Tentukan Bobot/Penimbang
Agregasi
Sumber: adaptasi dari OECD (2008) dalam Handbook of Constructing Composite Indicator
Indikator statistik adalah data atau informasi yang menjelaskan kriteria secara lebih terperinci. Indikator proksi yang dapat digunakan dalam pembentukan IKG harus memenuhi beberapa kriteria. Hal yang terpenting dalam pemilihan indikator-indikator adalah bagaimana memahami konsep-definisi dan tujuan dari ketersediaan indikator, kriteria pemilihan indikator, jenis dan aspeknya serta ukuran indikator yang digunakan. Sebuah indikator akan bernilai manakala indikator tersebut memenuhi beberapa kriteria tertentu. Daftar di bawah ini merupakan sejumlah kriteria yang mungkin dapat digunakan dalam memilih sebuah indikator: a.
Validity: Apakah sebuah indikator secara logika mampu mengukur yang “diinginkan”?
b.
Relevance: Apakah sebuah indikator relevan dan bernilai bagi pengukuran pembangunan? METODE PENGUKURAN
37
c.
Predictive: Apakah sebuah indikator mampu memberikan peringatan dini (early warning) tentang masalah yang berbahaya?
d.
Goal driven: Apakah sebuah indikator benar-benar mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan?
e.
Coverage: Apakah sebuah indikator berkaitan dengan isu secara luas atau hanya sebagian kecil wilayah?
f.
Understandable: Apakah arti dan makna dari sebuah indikator dapat dipahami oleh masyarakat di seluruh wilayah?
g.
Measurable: Apakah sebuah indikator dapat diukur dan diperoleh secara mudah?
h.
Reliability: Apakah sebuah indikator reliabel dan dapat digunakan untuk mengukur pembangunan?
i.
Accessibility/Availability: Apakah informasi tentang indikator yang diperlukan tersedia?
j.
Timely: Apakah sebuah indikator dapat memberikan umpan balik secara tepat waktu bagi pengambil keputusan?
k.
Responsive: Apakah perubahan tentang apa yang diteliti dapat didekteksi dalam pengukuran?
Dari sejumlah kriteria tersebut, ada beberapa kriteria yang dapat dipilih terkait dengan indikator ketimpangan gender, khususnya proksi indikator kesehatan reproduksi. Beberapa kriteria yang penting diantaranya adalah (i) validity, (ii) relevance, (iii) coverage, (iv) goal driven, (v) measurable, (vi) reliability/accuracy, dan (vii) accessibility. Accessibility atau ketersediaan data merupakan kendala umum yang terjadi ketika menyusun sebuah indikator komposit. Kadangkala ketika kriteria lain terpenuhi namun ketersediaan data tidak dapat terpenuhi, maka tentunya akan menjadi sulit untuk menggunakan indikator tersebut. Oleh sebab itu, memilih indikator proksi yang cocok akan menjadi pekerjaan yang cukup sulit. Meskipun pada tahap awal kajian IKG memanfaatkan ketersediaan data-data indikator yang dihasilkan oleh BPS, kedepannya untuk penyempurnaan tentu perlu dipikirkan data-data lain yang penting namun belum tersedia. Kemudian perlu dipertimbangkan siapa yang perlu mengumpulkannya dan bagaimana mekanisme pengumpulannya. Pada tahun 2014, BPS telah melakukan diskusi dengan pakar terkait indikator proksi tersebut. Poin penting sebelum menentukan indikator proksi adalah mendefinisikan terlebih dahulu konsep gender dalam kesehatan. Ketimpangan gender dalam kesehatan adalah melihat bagaimana perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan berdampak
38
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
terhadap outcome kesehatan. Sedangkan analisis gender dalam kesehatan dimaknai sebagai ketidaksetaraan yang timbul karena perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, ketidaksamaan hubungan kekuasaan di antara mereka, dan konsekuensi perbedaan tersebut terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, diputuskan bahwa indikator proksi dari MMR adalah sebuah ukuran yang menggambarkan risk signal of death, sedangkan indikator proksi ABR adalah faktor reproduksi yang dapat menghambat perkembangan wellbeing perempuan. Berbagai alternatif indikator proksi MMR diantaranya adalah: 1. Proporsi Antenatal Care (ANC) yang tidak lengkap (tanpa mendapat imunisasi Tetanus Toksoid (TT) dan tablet besi atau kunjungan kurang dari 4 kali) 2. Proporsi persalinan yang tidak ditolong tenaga kesehatan (nakes) 3. Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan (faskes) 4. Angka penggunaan kontrasepsi, unmet need tipe 1, dan unmet need tipe 2 (kegagalan kontrasepsi) 5. Kehamilan dan kelahiran yang tidak diinginkan 6. Kehamilan/ kelahiran berisiko - ibu umur 15-19 tahun dan 35+ tahun, paritas 4+, dan jauh dari PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial/Emergensi Komperhensif ) Sementara itu, alternatif indikator proksi ABR adalah: 1. Rata-rata umur perkawinan pertama 2. Rata-rata umur kehamilan pertama 3. Rata-rata umur kelahiran anak pertama 4. Rata-rata jumlah kelahiran/ paritas ibu umur 15-19 tahun 5. Akses remaja terhadap layanan informasi kespro (kesehatan reproduksi) yang benar Tahap 2 - Pemilihan Indikator Proksi dan Pengolahan Data Dalam menentukan indikator proksi perlu dilakukan identifikasi ketersediaan data dan kondisi kecukupan sampel sehingga dapat melakukan estimasi sampai level kabupaten/kota. Hasil identifikasi terhadap indikator tersebut adalah sebagai berikut:
METODE PENGUKURAN
39
Tabel 3.1 Status Indikator Proksi MMR dan ABR No (1)
40
Indikator (2)
1
Proporsi ANC yang tidak lengkap (tanpa mendapat TT dan tablet besi) (atau kunjungan kurang dari 4 kali)
2
Proporsi persalinan yang tidak ditolong tenaga kesehatan (nakes). Dalam kasus ini, nakes diantaranya: 1. Dokter kandungan, 2. Dokter umum, 3. Bidan
3
Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan (faskes). Faskes dalam Susenas adalah: 1. RS/RS bersalin 2. Klinik/bidan/ praktek dokter 3. Puskesmas/ Polindes/Pustu
Ketersediaan data (3) Indikator Proksi MMR
Status/Proksi (4)
Keterangan (5)
Ada di SDKI dan catatan registrasi Kementerian Kesehatan. Namun SDKI 5 tahun sekali, sedangkan registrasi Kemenkes perlu diidentifikasi ketersediaan datanya di seluruh kabupaten/ kota. Selain itu, catatan ANC hanya berasal dari informasi di fasilitas kesehatan tertentu, dan belum mencatat ANC di keseluruhan tenaga kesehatan
-
Tidak dipilih
Ada di Susenas tetapi unit observasi beda, Susenas 2015 dan 2016 unit observasi Ibu, sedangkan sebelumnya anak balita/baduta
Proksi: persentase perempuan umur 15-49 tahun dengan penolong kelahiran ALH terakhir (dalam 2 tahun terakhir) bukan tenaga kesehatan (dokter, bidan, paramedis lain)
Dapat diolah 2010-2016
Hanya ada di Susenas 2015 dan 2016 unit observasi Ibu
Proksi: persentase perempuan dengan penolong kelahiran ALH terakhir (dalam 2 tahun terakhir) tidak di fasilitas kesehatan
Dapat diolah 2015-2016
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tabel 3.1 Status Indikator Proksi MMR dan ABR (Lanjutan)
No (1)
Indikator (2)
Ketersediaan data (3)
Status/Proksi (4)
Keterangan (5)
4
Angka penggunaan kontrasepsi, unmet need tipe 1, dan unmet need tipe 2 (kegagalan kontrasepsi)
5
Kehamilan dan kelahiran yang tidak diinginkan
Ada di Susenas 2015 dan 2016 saja
Proksi: Persentase perempuan hamil umur 15-49 yang tidak menginginkan kehamilannya
6
Kehamilan/ kelahiran berisiko - ibu umur 15-19 tahun dan 35+ tahun, paritas 4+, dan jauh dari PONEK
Ada di Susenas tapi tidak bisa dipilih lokasinya jauh atau tidak
Proksi: Persentase perempuan hamil umur umur 15-19 tahun dan 35+ tahun, paritas 4+.
Dapat dihitung tetapi hasilnya rare cases
Ada di Susenas 20102016
Rata-rata umur perkawinan pertama perempuan pernah kawin 15-24 tahun
Dapat diolah tetapi belum memberi gambaran tingkat reproduksi dan hasilnya rare cases
Ada di Susenas 20152016
Proksi 1: Rata-rata umur saat kehamilan pertama perempuan pernah kawin usia 1524 tahun
Dapat dihitung tetapi hasilnya rare cases
Proksi 2: Proporsi perempuan pernah kawin 15-24 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama
Dapat dihitung tetapi hasilnya rare cases
Data dari Kemenkes tetapi belum diidentifikasi status ketersediaan datanya
Bahan untuk klarifikasi ke Dinas Kesehatan Provinsi
-
Dapat dihitung tetapi hasilnya rare cases
Indikator Proksi ABR
1
2
Rata-rata umur perkawinan pertama
Rata-rata umur kehamilan pertama
METODE PENGUKURAN
41
Tabel 3.1 Status Indikator Proksi MMR dan ABR (Lanjutan) No (1)
3
4
5
Indikator (2)
Rata-rata umur melahirkan anak pertama
Rata-rata jumlah kelahiran/ paritas ibu umur 15-19 tahun atau 15-24 tahun Akses remaja terhadap layanan informasi kespro yang benar
Ketersediaan data (3)
Hanya ada di Susenas terbaru (2015 &2016)
Status/Proksi (4)
Proksi 3: Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama
Dapat diolah
Proksi 1: rata-rata umur saat kelahiran hidup pertama perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun
Dapat diolah tetapi data seragam (tidak ada variasi antarwilayah)
Proksi 2: Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama
Dapat diolah
Ada di Susenas terbaru (2015&2016)
Proksi: Rata-rata jumlah kelahiran/ paritas ibu umur 1524 tahun,
Data dari Kemenkes tetapi diidentifikasi dari jumlah layanan yang diberikan
Dapat dihitung tetapi hasilnya rare cases
Tidak dapat digunakan
-
Catatan: Rare cases adalah tidak memenuhi kecukupan sampel
Dengan kondisi seperti tergambar dalam Tabel 3.1, maka diperoleh kandidat indikator proksi yang sesuai kriteria, yaitu: Indikator proksi MMR: 1. Proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan 2. Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan Indikator proksi ABR: 1. Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang memiliki umur saat kehamilan pertama kurang dari 20 tahun 2. Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang memiliki umur saat kelahiran hidup pertama kurang dari 20 tahun
42
Keterangan (5)
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tahap 3 - Penentuan Bobot/Penimbang Jika Indikator Proksi Lebih dari Satu Dengan terpilihnya lebih dari satu kandidat indikator proksi MMR dan ABR, untuk mengestimasi MMR dan ABR perlu ditentukan pilihan, apakah memilih salah satu atau memilih keduanya dengan melakukan agregasi masing-masing indeks MMR dan ABR. Untuk melakukan agregasi, perlu pembobotan dan metode agregasi yang sesuai. Penggunaan penimbang (bobot) dapat mempunyai efek yang signifikan pada indikator komposit yang dihasilkan, dalam hal ini indeks komposit dimaksud adalah indikator proksi MMR dan ABR sebagai akibat adanya dua atau lebih indikator proksi yang akan digunakan. Penimbang yang paling sering digunakan pada Indikator Komposit adalah Equal Weighting (EW), yaitu semua variabel diberikan penimbang yang sama. EW merupakan metode dengan sistem penghitungan yang lebih mudah karena dalam hal pembobotan indikator proksi menggunakan bobot yang sama. Adapun karakteristik metode ini adalah: 1. Prosesnya mudah atau sederhana untuk dilakukan 2. Tidak membutuhkan peralatan (software) tertentu maupun keahlian spesifik, hanya membutuhkan operasi matematika sederhana dan dapat menggunakan microsoft excel. 3. Pergerakan data pada masing-masing proksi (MMR dan ABR) dengan mudah dapat ditelusuri untuk keperluan analisis. Kelemahan dari metode ini adalah hasil akhir indikator proksi MMR dan ABR tidak ditentukan oleh tingkat kepentingan masing-masing indikator pembentuk, sehingga dapat menimbulkan ketidakseimbangan struktur dalam suatu indeks komposit. Hal tersebut dapat bertentangan dengan kerangka dimensi teoritik. Namun hal ini bisa diminimalisir jika pemilihan indikator sudah sangat tepat pada masing-masing dimensi. Oleh sebab itu, pemilihan indikator terlebih dahulu dikonsultasikan dengan beberapa ahli dan didiskusikan lebih lanjut. Pilihan lain adalah unequal weighting yang dapat diturunkan dari berbagai metode statistik. Penimbang dipilih untuk mencerminkan kualitas statistik dari data atau dari tingkat urgensinya. Sejumlah teknik penimbang diantaranya analisis faktor atau dari metode pendukung seperti analisis proses hirarki (AHP), dan analisis konjoin (CA). Penentuan bobot juga tergantung dari pendapat pakar, dan gambaran prioritas kebijakan serta teoritisnya. Dalam kajian ini, unequal weighting juga digunakan yang ditentukan berdasarkan judgment. METODE PENGUKURAN
43
Terdapat dua pilihan dalam pembobotan indikator proksi MMR, yaitu: 1. Menggunakan bobot yang sama (50:50) 2. Menggunakan bobot yang berbeda. Dalam kajian ini ditentukan bobot proprosi persalinan ditolong di fasilitas kesehatan lebih tinggi dari bobot indikator proporsi persalinan ditolong tenaga kesehatan (60:40). Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa fasilitas kesehatan yang memadai pada kondisi emergensi akan mengurangi risiko kematian ibu. Demikian halnya dengan ABR, terdapat dua pilihan dalam pembobotan, yaitu: 1. Menggunakan bobot yang sama (50:50) 2. Menggunakan bobot yang berbeda. Dalam kajian ini ditentukan bobot proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama lebih tinggi dari bobot indikator proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama, dengan rasio 60:40. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa ibu melahirkan dalam kondisi terlalu muda lebih rawan dari pada kondisi ibu yang hamil terlalu muda. Tahap 4 – Penyusunan Indeks Indikator Proksi Jika Indikator Proksi Lebih dari Satu Untuk kasus indikator proksi yang lebih dari satu, selain perlu melakukan pembobotan, juga penting untuk melakukan agregasi. Metode agregasi merupakan bagian yang cukup penting dalam membangun indeks komposit, karena dengan agregasi ini akan terbentuk nilai suatu indeks. Ada tiga metode agregasi yang dikenal, yaitu Linear Aggregation (LA), Geometric Aggregation (GA) dan Multi Criteria Aggregation (MCA). Metode LA, digunakan jika setiap indikator memiliki ukuran yang sama dan mendasarkan pada proporsionalitas bobot indikator, sedangkan GA cenderung digunakan pada pembentukan indeks komposit yang mengagregasikan skor-skor bernilai tinggi untuk mendeteksi perubahan kecil yang terjadi. Dalam kajian ini hanya agregasi linier dan geometric yang digunakan untuk setiap proksi indikator MMR dan ABR. Agregasi Linier/Aritmetic:
44
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Agregasi Geometrik:
Dimana: W
: Bobot dan
q = 1..….Q c = 1……M Pemilihan LA atau GA bergantung pada ada tidaknya kompensasi surplus yang diberikan pada masing-masing indikator komponen (OECD, 2008). Wilayah yang memiliki nilai yang rendah pada satu indikator komponen harus memiliki upaya yang lebih besar untuk meningkatkan hasil indeksnya ketika agregasi geometrik digunakan. Oleh sebab itu, wilayah yang memiliki nilai yang rendah akan memilih agregasi linier. Namun di sisi lain, marginal utility dari peningkatan skor yang kecil akan menghasilkan pengaruh yang besar jika menggunakan agregasi geometrik. Oleh sebab itu, suatu wilayah yang memiliki nilai skor kecil jika mengalami peningkatan yang cukup tinggi, akan menghasilkan ranking yang jauh lebih baik. Tahap 5- Penghitungan IKG dan Uji Kekuatan (Robustness) Tahapan selanjutnya merupakan kegiatan inti dari pengukuran IKG, yaitu penghitungan. Namun, karena masih terdapat komponen pengukuran yang perlu dilakukan proksimasi, maka perlu ditentukan beberapa skenario pengukuran IKG dengan memerhatikan indiktor proksi MMR dan ABR. Penentuan skenario pengukuran ini dilakukan untuk uji kekuatan/ robustness, yaitu menghasilkan alat ukur yang valid. IKG yang dihitung dengan berbagai skenario dapat menghasilkan berbagai versi pengukuran yang dapat dibandingkan variasinya satu sama lain. Hasil ukur yang baik memiliki nilai/angka yang relatif seragam antarskenario pengukuran, sehingga hasil ukurnya dapat dikatakan robust.
METODE PENGUKURAN
45
Menurut OECD (2008), beberapa cara untuk menguji kekuatan suatu indeks komposit adalah: 1. Menggunakan alternatif proses imputasi data 2. Mencoba beberapa indikator yang berbeda 3. Menggunakan metode alternatif pada proses normalisasi/ standardisasi 4. Menggunakan penimbang/bobot yang berbeda 5. Menggunakan metode agregasi yang berbeda. Hampir keseluruhan alternatif tersebut digunakan dalam pengukuran hasil akhir IKG. Terutama sebagai dampak penggunaan satu atau lebih indikator proksi MMR dan ABR. Imputasi data tidak dilakukan karena seluruh data indikator proksi tersedia sampai level provinsi untuk uji coba pengukuran. Sedangkan penggunaan alternatif indikator, bobot dan agregasi dilakukan dalam menghasilkan IKG yang robust. Alternatif indikator yang dimaksud adalah penggunaan satu atau dua indikator proksi. Alternatif bobot adalah EW maupun Inequal Weighting. Alternatif anggregasi adalah LA dan GA, sedangkan alternatif standardisasi hanya menggunakan angka target 0,01 untuk semua indikator proksi MMR dan ABR. Artinya, target ideal proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan, proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan, proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang memiliki umur saat kehamilan pertama kurang dari 20 tahun, dan proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang memiliki umur saat kelahiran hidup pertama kurang dari 20 tahun adalah hanya 1 persen kejadian. Sedangkan dalam GII UNDP target MMR adalah 10 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan ABR targetnya atau idealnya sebesar 1 kelahiran hidup per 1000 remaja umur 15-19 tahun. Adapun kombinasi dari penggunaan alternatif indikator, bobot dan metode agregasi ini Disajikan pada Tabel 3.2. Contoh interpretasi dari tabel tersebut adalah sebagai berikut: 1. Skenario A adalah penghitungan IKG dengan menggunakan: • Indikator proksi MMR: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan •
Indikator proksi ABR: proporsi perempuan pernah kawin 1549 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama (UHP)
2. Skenario K adalah penghitungan IKG dengan menggunakan: • Indikator proksi MMR: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan
46
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
•
Indikator proksi ABR: menggunakan dua indikator, yaitu proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama (UHP) dan proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama (ULP), kedua indikator diagregasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik (linier) dengan bobot yang sama
3. Skenario T adalah penghitungan IKG dengan menggunakan: •
Indikator proksi MMR: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan dan proporsi persalinan tidak di fasilitas kesehatan, kedua indikator diagregasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik (linier) dengan bobot 40 persen untuk proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan dan 60 persen untuk proporsi persalinan tidak di fasilitas kesehatan.
Tabel 3.2 Skenario Pengukuran IKG dengan Kombinasi Penggunaan Indikator Proksi MMR dan ABR Indikator Proksi MMR Grup (1)
Indikator Proksi ABR
Nakes
Faskes
Equal Nakes+Faskes Linier
Equal Nakes+Faskes Geometric
Inequal Nakes (40) +Faskes (60)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
I
UHP
A
B
C
D
E
II
ULP
F
G
H
I
J
III
Equal UHP + ULP Linier
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
Y
IV V
Equal UHP + ULP Geometric Inequal UHP (40) + ULP (60)
Keterangan: 1. Nakes: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan. 2. Faskes: Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan. 3. UHP: Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama. 4. ULP: Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama.
METODE PENGUKURAN
47
•
Indikator proksi ABR: menggunakan dua indikator, yaitu proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama (UHP) dan proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama (ULP), kedua indikator diagregasi dengan menggunakan rata-rata geometrik dengan bobot yang sama
Dengan adanya skenario pengukuran tersebut, maka modifikasi rumus UNDP terletak pada: Formula penjumlahan untuk Indeks Perempuan:
dan formula indeks kesehatan:
Dimana MMR dan ABR adalah sebuah indeks jika indikator proksi yang digunakan lebih dari satu. Selain itu, nilai 10 dan 1 sebagai pembilang pada formula MMR dan ABR disesuaikan dengan indikator proksi yang digunakan. Sehingga dalam formula penjumlahan untuk Indeks Perempuan dimodifikasi menjadi:
Sedangkan formula indeks kesehatan:
Dimana: pMMR : Indikator proksi MMR pABR : Indikator proksi ABR
48
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Dalam pengukuran indeks MMR dan ABR, standardisasi yang digunakan menyesuaikan metode distance to reference. Komponen penyusun indeks MMR dan ABR diinverse-kan terlebih dahulu karena indikator proksi ini memiliki arah yang negatif terhadap hasil ukur yang diharapkan dengan pembilang target dari indikator tersebut. Dalam hal ini target ditetapkan sebesar 1 persen (0,01). Selanjutnya, indeks indikator proksi MMR dan ABR menyesuaikan metode agregasi yang sesuai dengan skenario pengukurannya. Jika menggunakan agregasi linier/aritmetik, maka
Jika menggunakan agregasi geometrik:
Maka:
Dimana: dan Nakes : Proporsi persalinan yang tidak ditolong tenaga kesehatan Faskes : Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan Untuk kasus equal weight (EW), karena jumlah indikator ada dua untuk proksi MMR maka w1=w2=0,5 Kondisi pengukuran indeks ABR adalah identik dengan pengukuran indeks MMR. Jika menggunakan agregasi linier/aritmetik, maka
METODE PENGUKURAN
49
Jika menggunakan agregasi geometrik:
Maka:
Dimana: dan UHP : Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama ULP : Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama. Untuk kasus equal weight (EW), karena jumlah indikator ada dua untuk proksi ABR maka w1=w2=0,5 Untuk pengukuran selanjutnya formula yang digunakan sama dengan formula UNDP, baik untuk mengukur: 1. 2. 3. 4.
Indeks laki-laki Indeks dimensi Agregasi indeks laki-laki dan perempuan Hasil akhir IKG
Tahap 6- Uji Kepekaan dengan Melihat Korelasi Data Regional (Disagregasi) Untuk dapat menghasilkan angka IKG yang valid, maka perlu dilakukan uji korelasi dengan indikator kesetaraan gender yang telah ada. Dalam hal ini, digunakan IPG dan IDG. Hasil yang diharapkan adalah adanya korelasi yang negatif antara IKG dan IPG atau IDG. Hipotesis ini didasarkan atas konsep IPG dan IDG menggambarkan kesetaraan gender, sedangkan IKG menggambarkan deprivasi atau ketimpangan gender dalam pembangunan. Selain itu, untuk menghasilkan data IKG yang valid juga perlu memerhatikan kondisi detail, baik komponen penyusunnya maupun perbandingan antar subregion (provinsi). Hasil pengolahan IKG dan uji yang telah dilakukan akan dibahas pada bahasan selanjutnya.
50
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
C.
PERBEDAAN GII DAN IKG
Selain perbedaan penggunaan indikator kesehatan reproduksi, perbedaan GII dan IKG terletak pada indikator pemberdayaan. GII menggunakan tingkat pendidikan minimal SMP sebagai batasan dalam pemberdayaan di bidang pendidikan. Namun, sesuai dengan hasil kesepakatan dalam FGD sebagaimana dideskripsikan dalam lampiran, pengukuran IKG di Indonesia perlu menggunakan batasan SMA ke atas untuk menggambarkan gap pemberdayaan di bidang pendidikan. Hal ini didasari oleh beberapa alasan: 1. Ketimpangan pendidikan yang ditamatkan antara laki-laki dan perempuan terlihat pada tingkat SMA, sedangkan tingkat SMP sudah tidak terdapat perbedaan capaian yang signifikan. 2. Permintaan pasar kerja formal saat ini lebih membutuhkan pekerja dengan tingkat pendidikan minimal SMA. Hal ini dibuktikan dengan data Sakernas 2010-2016. Pekerja dengan status karyawan atau buruh lebih banyak berijazah SMA dibandingkan SMP. Persentase buruh/ karyawan berpendidikan SMA di atas 22 persen, sedangkan lulusan SMP hanya berkisar 16 persen. Dengan kondisi tersebut, maka indikator yang digunakan untuk uji coba penghitungan IKG adalah sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.4. Gambar 3.4. Indikator Komponen IKG Proksi Maternal
Mortality Ratio (MMR)
Proksi Adolescent Birth Rate (ABR)
• Proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan • Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan • Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kehamilan pertama • Proporsi perempuan pernah kawin 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun saat kelahiran hidup pertama
• Persentase penduduk laki-laki dan perempuan dengan pendidikan minimal SMA Pemberdayaan • Persentase laki-laki dan perempuan yang duduk di parlemen
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
• Persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja laki-laki dan perempuan
METODE PENGUKURAN
51
52
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BAB
4 Hasil Eksplorasi Pengukuran IKG
Bab
4
HASIL EKSPLORASI PENGUKURAN IKG
Bab ini membahas hasil eksplorasi pengukuran dengan berbagai metode. Selanjutnya, akan disimpulkan metode pengukuran yang sesuai berdasarkan hasil penelusuran secara statistik dan kesimpulan hasil Focus Discussion Group (FGD). FGD tersebut dilaksanakan di 9 provinsi di Indonesia dengan melibatkan para pakar dan stakeholder untuk membahas variabelvariabel penyusun IKG, hasil penghitungan, dan tindaklanjut pengolahan data. Laporan hasil FGD tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam publikasi ini dan tersaji pada lampiran. A. HASIL PENGUKURAN IKG NASIONAL Secara statistik, metode pengukuran yang baik memerlukan uji ketahanan untuk menghasilkan angka yang robust. Hal ini dilakukan dengan cara menghitung indeks dengan berbagai metode atau komponen yang berbeda-beda. Jika hasil indeks yang diperoleh relatif sama antarmetode penghitungan, maka hasil yang diperoleh dapat dikatakan robust (OECD, 2008). Menurut OECD (2008), beberapa cara untuk menguji kekuatan suatu indeks komposit adalah menggunakan indikator, penimbang/bobot, dan metode agregasi yang berbeda. Dalam kajian ini, alternatif tersebut digunakan ketika menghitung IKG dengan menggunakan indikator proksi MMR dan ABR. Ada 25 skenario hasil pengukuran yang dilakukan dalam kajian ini, yaitu skenario A hingga Y. Dari berbagai skenario pengukuran, angka IKG nasional berkisar antara 0,387 - 0,483. Secara variasi, hasil pengukuran menurut berbagai skenario terlihat cukup identik. Berbagai metode pengukuran menghasilkan angka yang relatif sama. Bahkan varians dari angka nasional berkisar pada angka yang sangat kecil, yaitu 0,0006. Artinya, hasil pengukuran dikatakan cukup robust.
HASIL EKSPLORASI PENGUKURAN INDEKS KETIMPANGAN GENDER
55
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran IKG dengan Beberapa Skenario Indikator Proksi MMR Grup
Indikator Proksi AFR
Nakes 2015
I
UHP
II
ULP
III
Equal UHP + ULP Linier
IV
Equal UHP + ULP Geometric
V
Equal Equal Inequal Nakes Nakes+Faskes Nakes+Faskes (40) +Faskes (60) Linier Geometrik
2016 2015 2016 2015 2016 2015 A
0,422
B 0,407 0,483 0,473
F 0,403
G 0,387 0,466 0,454
K 0,412
L 0,397 0,474 0,463
P 0,412
Inequal UHP (40)+ULP (60) 0,410
Faskes
Q 0,397 0,408 0,393
U
V 0,395 0,473 0,461
C 0,446 0,433
0,453
0,441
0,449
S
0,437 T
0,431
0,450
X 0,442
0,428 O
0,430
0,444
0,447 J
0,421
0,443
W 0,409 0,393
0,459
N
R 0,437 0,423
0,440
0,435
2016 E
I
M 0,437 0,423
2015
D
H 0,428 0,414
2016
0,437 Y
0,429
Keterangan:
0,448
0,435
1. Nakes: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan 2. Faskes: Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan 3. UHP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kehamilan pertama. 4. ULP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kelahiran hidup pertama.
Di sisi lain, hasil pengukuran untuk semua skenario menunjukkan adanya tendensi penurunan dari 2015 ke 2016. Hal ini sesuai dengan kecenderungan GII UNDP yang terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil uji coba penghitungan IKG searah dengan GII UNDP.
B. KORELASI IKG DENGAN IDG DAN IPG Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) menunjukkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hal peranan aktif dan power dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan IKG menggambarkan kehilangan dalam pembangunan manusia sebagai dampak dari ketimpangan capaian pembangunan laki-laki dan perempuan. Korelasi IKG dengan IDG seharusnya negatif, yang artinya semakin tinggi pemberdayaan gender,
56
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tabel 4.2. Korelasi IKG dengan IDG
Grup
Indikator Proksi AFR
I
UHP
II
ULP
III
Equal UHP + ULP Linier
IV
Equal UHP + ULP Geometric
V
Inequal UHP (40)+ULP (60)
Nakes 2015
2016
Faskes 2015
A -0,155
-0,145
E
-0,143
T
-0,148
-0,143
-0,149
-0,149
-0,174
-0,152
-0,150
-0,151
-0,171 S
-0,175
-0,151
W -0,184
-0,168 N
R -0,177
-0,175 I
-0,171
-0,152
V -0,154
-0,153
M -0,177
2016 E
-0,179
-0,150
Q -0,176
2015
H -0,174
-0,148
U -0,189
-0,154
L -0,154
2016
Inequal Nakes (40) +Faskes (60)
D -0,181
-0,146
P -0,190
2015
G -0,152
-0,143
O
-0,153
-0,150
K -0,189
2016 C
-0,159
-0,142
J
-0,153
2015
F -0,187
-0,153
2016 B
-0,194
-0,151
Indikator Proksi MMR Equal Equal Nakes+Faskes Nakes+Faskes Linier Geometrik
-0,171 X
-0,174
-0,150
-0,171
Keterangan: 1. Nakes: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan 2. Faskes: Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan 3. UHP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kehamilan pertama. 4. ULP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kelahiran hidup pertama.
semakin rendah deprivasi pembangunan akibat perbedaan gender. Hasil pengukuran Korelasi Pearson mendukung kondisi tersebut seperti terlihat dalam Tabel 4.2. Jika dilihat antar skenario pengukuran, korelasi skenario A cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi. Artinya indikator umur hamil pertama memiliki pengaruh lebih tinggi terhadap kondisi kesetaraan pemberdayaan gender dari penggunaan indikator proksi ABR lainnya. Demikian dengan penggunaan indikator penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang mewakili indikator kematian ibu memiliki pengaruh yang lebih besar. Senada dengan korelasi IKG dan IDG, hubungan IKG dan IPG pun menggambarkan arah yang sama. Korelasi IKG dengan IPG bernilai negatif artinya semakin tinggi kesetaraan pembangunan gender, semakin rendah deprivasi pembangunan akibat perbedaan gender. Jika dilihat menurut skenario penghitungan, maka korelasi IKG dengan menggunakan
HASIL EKSPLORASI PENGUKURAN INDEKS KETIMPANGAN GENDER
57
indikator proporsi persalinan dengan tenaga kesehatan memberikan hasil yang lebih kuat terhadap kondisi kesetaraan pembangunan gender secara umum. Tabel 4.3. Korelasi IKG dengan IPG
Grup
Indikator Proksi AFR
Nakes
2015 I
UHP
II
ULP
III
Equal UHP + ULP Linier
IV
V
Equal UHP + ULP Geometric Inequal UHP (40)+ULP (60)
2016
Faskes
2015
A -0,545
-0,482
E
2015
2015
-0,618
-0,544
-0,544
T -0,486
-0,604
-0,532
-0,548
-0,527
-0,528
-0,585 S
-0,594
-0,520
-0,585 X
-0,594
-0,520
-0,585
Nakes: proporsi persalinan tidak ditolong tenaga kesehatan Faskes: Proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan UHP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kehamilan pertama. ULP: Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kelahiran hidup pertama.
C. GAMBARAN IKG PROVINSI Untuk menghasilkan IKG yang valid maka diperlukan analisis terhadap perbandingan disagregasinya. Dalam hal ini, hasil angka IKG provinsi dari beberapa skenario tersebut perlu dibandingkan satu sama lain. Nilai yang realistis di lapangan berdasarkan profesional judgment juga diperlukan sebagai bahan masukan dalam memilih atau menetukan hasil yang “tepat”. Oleh sebab itu, konsultasi dengan pakar sangatlah diperlukan. Dalam kajian ini, diskusi dengan akademisi di berbagai universitas yang memiliki pusat kajian gender merupakan sebuah langkah dalam menentukan metode pengukuran IKG yang tepat. . Berdasarkan hasil FGD, secara umum hampir semua skenario pengukuran menunjukkan kondisi yang secara kasat mata cukup logis. Untuk posisi lima tertinggi di duduki oleh DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta, Jawa
58
-0,520
W -0,615
-0,585 N
-0,594
Keterangan:
1. 2. 3. 4.
-0,523
R -0,604
-0,585 I
-0,593
-0,528
V -0,544
-0,517
M
Q -0,611
-0,594
-0,530
2016 E
H -0,603
-0,533
U -0,618
-0,524
L
P -0,618
-0,604
-0,535
2016 D
G -0,544
-0,486
2016
-0,529
K
O
-0,549
2015 C
-0,543
-0,489
J
-0,548
Inequal Nakes (40) +Faskes (60)
F -0,617
-0,549
Equal Nakes+Faskes Geometrik
B -0,618
-0,551
2016
Equal Nakes+Faskes Linier
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Tengah, dan Kepulauan Riau. Sedangkan posisi lima terendah diduduki oleh provinsi-provinsi di Indonesia Timur seperti Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua dan Sulawesi Barat. Provinsi-provinsi dengan nilai IKG tertinggi dan terendah juga mencerminkan fenomena-fenomena terkait gender di masing-masing provinsi. Sebagai contoh DKI Jakarta, Bali, dan Yogyakarta mempunyai nilai IPG dan IPM yang tinggi. Sementara Papua Barat dan Papua mempunyai nilai IPG, IPM , maupun IDG yang rendah. Dengan demikian tinggi rendahnya nilai IKG setiap provinsi sesuai dengan indikator-indikator gender lainnya. D. SKENARIO PENGUKURAN YANG TERPILIH Setelah melihat hasil pengukuran IKG dan korelasinya terhadap IPG dan IKG, semua skenario menunjukkan arah yang hampir sama. Oleh sebab itu diperlukan pandangan dari para pakar gender dan stakeholder untuk memberi masukan terhadap metodologi yang dipakai. Indikator proksi yang digunakan harus diklarifikasi dari sisi ketepatan penggunaannya maupun konsep yang digunakan. Dari hasil diskusi disimpulkan bahwa untuk indikator proksi baik MMR atau ABR cukup satu saja, tidak perlu memakai keduanya. Pertimbangannya hasil penghitungannya dari berbagai skenario menghasilkan arah yang sama. Pertimbangan lainnya adalah karena kedua variabel yang mewakili MMR atau ABR mengukur sesuatu yang sama. Untuk proksi variabel ABR dipilih proporsi wanita pernah kawin usia 15-49 tahun yang berumur <20 tahun pada saat kelahiran hidup pertama. Alasan pemilihan variabel tersebut adalah wanita yang pernah melahirkan pasti mengalami kehamilan. Dengan demikian variabel proporsi wanita pernah kawin usia 15-49 tahun yang berumur <20 tahun pada saat kehamilan pertama tidak dipilih. Sementara itu, untuk indikator proksi MMR agak sulit untuk memilih salah satu. Kedua variabel proksi yaitu fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan bagi ibu melahirkan harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kemenkes. Fasilitas kesehatan yang dimaksud harus mempunyai fasilitas ibu melahirkan. Berdasarkan syarat tersebut, fasilitas kesehatan untuk proses kelahiran adalah minimal puskesmas. Sedangkan syarat tenaga kesehatan untuk menangani proses kelahiran adalah petugas medis yaitu dokter dan bidan yang mempunyai sertifikasi penanganan ibu melahirkan.
HASIL EKSPLORASI PENGUKURAN INDEKS KETIMPANGAN GENDER
59
Memilih salahsatu indikator, apakah faskes atau nakes saja merupakan hal yang sulit. Jika memilih indikator fasilitas kesehatan, maka wilayah-wilayah seperti Indonesia Timur akan memiliki angka yang relatif rendah. Namun, sesuai dengan program kementerian kesehatan yang menyarankan persalinan di fasilitas kesehatan, maka indikator ini juga sangat penting. Di sisi lain, persalinan di fasilitas kesehatan sudah pasti pasti ditangani oleh tenaga kesehatan. Sehingga, indikator ini sudah menggambarkan akses terhadap tenaga kesehatan sekaligus. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan kualitas penanganan ibu melahirkan variabel fasilitas kesehatan dipilih sebagai indikator proksi MMR. Dari berbagai pertimbangan dari sisi kerangka teoritis, pemilihan variabel, korelasi dengan indikator lain, hasil FGD, serta kesesuaian hasil pengukuran dengan fenomena yang ada, maka metode pengukuran skenario G yang terpilih. Pada skenario G, masing-masing dimensi hanya diwakili 1 variabel. Variabel proksi yang digunakan untuk MMR adalah proprosi persalinan tidak di fasilitas kesehatan. Sementara pendekatan varianel ABR adalah Proporsi wanita pernah kawin 15-49 tahun yang berumur <20 tahun saat kelahiran hidup pertama. Disamping itu kondisi yang memperkuat terpilihnya skenario G adalah angka indeks yang dihasilkan paling mendekati angka GII yang dihitung oleh UNDP. Jika melihat angka GII UNDP, tahun 2015 GII bernilai 0,467 (Gambar 4.1) dengan kecenderungan yang terus menurun dalam periode 2000-2015. Angka IKG dengan skenario G memiliki nilai yang hampir sama (0,466). Kondisi ini memperjelas gambaran yang cukup identik dengan angka yang dihasilkan oleh UNDP. Gambar 4.1 GII UNDP, 2000-2015 0,58
0,564
0,56
0,533
0,54 0,52 0,50
0,486
0,481
0,48
0,476
0,472
0,472
0,467
2012
2013
2014
2015
0,46 0,44 0,42 0,40
2000
2005
2010
Sumber: Sumber:http://hdr.undp.org/en/data http://hdr.undp.org/en/data
60
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
2011
BAB
5 Kondisi Ketimpangan Gender
Bab
5
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
A. KESENJANGAN PERAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN YANG CUKUP SIGNIFIKAN Kesetaraan gender dimaknai sebagai keadaan dimana perempuan dan lakilaki memiliki kondisi yang setara untuk dapat merealisasikan haknya yang penuh sebagai manusia dan untuk dapat memberikan kontribusi, serta memperoleh manfaat dari pembangunan. Oleh sebab itulah kesetaraan gender menjadi bagian dari target pembangunan bagi negara-negara yang mengalami disparitas pembangunan yang tinggi seperti Indonesia. Ketidaksetaraan capaian antar kelompok jenis kelamin mengakibatkan pembangunan tidak dapat mencapai potensinya yang optimal. Kondisi yang ideal dalam pembangunan manusia yang diharapkan adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama untuk berperan dalam pembangunan, memegang kendali atas sumber daya pembangunan yang ada, serta menerima manfaat dari pembangunan secara setara dan adil. Dengan demikian, nilai IKG dapat dilihat sebagai kerugian/kegagalan (loss) dari pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender. Namun, sebagai catatan, pengukuran ketidaksetaraan ini hanya mencakup aspek kesehatan, pemberdayaan, serta akses dalam pasar tenaga kerja. Pengukuran IKG disusun untuk membantu pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dalam mengevaluasi adanya perbedaan pencapaian pembangunan baik oleh penduduk laki-laki maupun perempuan. Dalam kajian ini, perhitungan IKG masih bersifat uji coba dengan menggunakan data tahun 2015 dan 2016 dengan cakupan lima indikator yang tersedia datanya hingga tingkat provinsi. Perhitungan tersebut dilakukan terhadap 34 provinsi di Indonesia. Penggunaan dua series data ini disesuaikan dengan sumber data utama yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dalam kurun waktu dua tahun terakhir mengalami perubahan besar.
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
63
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai IKG nasional tahun 2015 adalah 0,466. Nilai ini mencerminkan bahwa kerugian/kegagalan pencapaian pembangunan manusia akibat dari adanya ketidaksetaraan gender terkait dengan kualitas hidup dan pemberdayaan di Indonesia adalah sebesar 46,6 persen. Angka tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan peran laki-laki dengan perempuan yang cukup signifikan dalam pembangunan. Pembangunan yang dilakukan tanpa memerhatikan kesenjangan gender tidak akan mencapai potensinya yang optimal. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat populasi penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia cukup seimbang. Berdasarkan proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010, sex ratio pada tahun 2015 dan 2016 mencapai 101 (BPS, 2013). Artinya komposisi penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama. Demikian halnya dengan penduduk yang berpotensi dalam menghasilkan ekonomi. Gambar 5.1 Jumlah Penduduk 15 Tahun Ke atas Menurut Jenis Kelamin (Juta Orang), 2014-2016 100,00 95,00
91,30
91,69
92,86
93,24
94,37
94,72
90,00 85,00 80,00 75,00 70,00 65,00 60,00 55,00 50,00
2014
2015 Laki-laki
2016
Perempuan
Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja Indonesia Agustus 2016 Gambar 5.1 Jumlah Penduduk 15 Tahun Ke atas Menurut Jenis Kelamin (Juta Orang), 2014-2016
Penduduk perempuan yang separuh dari penduduk Indonesia merupakan aset pembangunan yang mendasar. Kegagalan untuk merealisasikan potensi separuh penduduk berarti kerugian bagi pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, pentingnya mengatasi kesenjangan gender bukan saja terkait dengan masalah hak asasi manusia dan keadilan, tetapi juga masalah efisiensi dalam pembangunan.
64
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
B. VARIASI KETIMPANGAN GENDER ANTARWILAYAH Pada tahun 2016, IKG turun menjadi 0,454. Gambaran yang cukup menggembirakan meskipun penurunannya cukup lamban. Hal ini sesuai dengan kecenderungan GII UNDP yang mengalami perlambatan penurunan pada kurun waktu 5 tahun terakhir. Berbeda dengan fenomena ekonomi, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat cenderung terjadi lebih lambat. Sehingga hal ini cukup dapat dimaklumi. Gambaran lain dari hasil eksplorasi pengukuran IKG adalah adanya ketidaksetaraan pencapaian masing-masing wilayah akibat adanya perbedaan infrastruktur sosial, yaitu iklim regulasi dan institusi sosial antarwilayah tersebut (Bappenas, 2012). Sehingga di tingkat provinsi, kondisi ketimpangan gender sangat bervariasi. Namun demikian, dalam kurun waktu 2015-2016, disparitas antarwilayah cenderung menurun. Di tahun 2015, IKG provinsi berkisar antara 0, 574 hingga 0,110. Sedangkan pada tahun 2016 berada pada posisi 0,558 hingga 0,212. Hal ini berarti terjadi penurunan disparitas jika diukur menurut rentang (range). Rentang IKG tahun 2016 berada pada angka 0,346, sedangkan sebelumnya berada pada angka 0,466. Gambar 5.2 IKG Menurut Provinsi, 2016 0,600 0,500
0,454
0,400 0,300 0,200 0,100
DKI Jakarta DIY Bali Kep. Riau Jateng Jatim Sumbar Sulut Gorontalo Aceh Kaltim NTB INDONESIA Sumut Sulsel Riau Jabar Banten Lampung Sumsel NTT Maluku Bengkulu Papua Kalsel Sulteng Sulbar Kalteng Kep. Babel Kaltara Sultra Kalbar Malut Jambi Papbar
0,000
Sumber: Hasil uji coba pengolahan skenario G
Sumber: Hasil uji coba Skenario G
Provinsi DKI Jakarta berada di peringkat teratas sebagai provinsi yang paling memiliki kesetaraan gender, kemudian diikut oleh DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, Papua
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
65
Barat menempati peringkat terbawah, kemudian diikuti oleh Jambi, Maluku Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, di lima provinsi dengan nilai IKG terbesar tersebut terjadi kerugian/ kegagalan pencapaian pembangunan yang paling besar akibat adanya ketidaksetaraan gender. C. KETIMPANGAN GENDER DI BERBAGAI BIDANG Seperti telah diutarakan sebelumnya IKG diukur dari sisi kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan partisipasi dalam dunia kerja. Analisis ketimpangan gender akan lebih menarik dengan membandingkan capaian pembangunan menurut jenis kelamin pada dimensi tersebut. Sebagaimana diketahui, ketimpangan gender masih terjadi di berbagai kehidupan baik dalam ruang domestik maupun di ruang publik. Diskriminasi terhadap kaum hawa menyebabkan perempuan dewasa dan remaja tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya (UNDP, 2016). Diskriminasi ini sudah dimulai sejak lahir, memasuki usia sekolah sampai pada lingkungan pekerjaan. Pada sebagian keluarga, khususnya keluarga miskin, banyak perempuan yang kurang mendapatkan perhatian baik dari sisi kesehatannya maupun pendidikannya. Diskriminasi ini mengakibatkan potensi dan peran perempuan menjadi terbatas sehingga terjadi ketimpangan di berbagai bidang. Di bidang kesehatan, perempuan mempunyai fungsi reproduksi yaitu kehamilan dan persalinan yang secara lahiriah tidak dimiliki oleh laki-laki. Fungsi tersebut tidak hanya berisiko kematian tetapi mempunyai dampak jika dialami terlalu awal (UNDP, 2010). Hal ini tercermin dari tingkat kematian ibu maupun kelahiran pada usia remaja yang tinggi. Di bidang pendidikan, perempuan cenderung menamatkan sekolah di tingkat yang lebih rendah dari laki-laki, meskipun pada jenjang Perguruan Tinggi, persentase perempuan yang mempunyai ijasah sedikit melebihi laki-laki. Hal ini tercermin dari persentase penduduk perempuan usia 25 tahun ke atas yang mempunyai ijasah Perguruan Tinggi sebesar 7,92 persen, sedikit lebih tinggi dari laki-laki dengan 7,91 persen. Namun pada jenjang SMA persentase penduduk perempuan yang mempunyai ijazah hanya 23,58 persen, lebih rendah dari laki-laki dengan persentase 29,14 persen (BPS, 2016b). Sementara dalam dunia kerja, partisipasi perempuan masih belum setara dengan laki-laki. Tercermin dari rata-rata upah pekerja laki-laki perbulan (2,43 juta rupiah) yang lebih tinggi dari perempuan (1,98 juta rupiah) (BPS, 2016c). Demikian halnya dalam pengambilan keputusan di ruang publik, peran perempuan masih sangat terbatas, yang tercermin dari
66
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
partisipasi perempuan sebagai anggota parlemen yang masih sangat kecil yaitu hanya 17,32 persen pada tahun 2015. Ketidakmerataan pada bidang-bidang tersebut pada akhirnya akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Pelayanan Persalinan di Indonesia Belum Merata Salah satu indikasi kesehatan perempuan adalah tingkat kematian ibu. Angka Kematian Ibu (AKI) sudah sejak lama menjadi indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKI menunjukkan kemampuan dan kualitas kesehatan dari sisi pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan melahirkan. Hal ini sangat erat hubungannya dengan penanganan ibu dari masa kehamilan sampai dengan masa nifas. Dalam “The WHO Application of ICD-10 to Deaths During Pregnancy, Childbirth and the Puerperium” (2012): WHO mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian perempuan saat masa hamil sampai dengan 42 hari setelah kelahiran, terlepas dari durasi kehamilan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan disebabkan oleh sesuatu yang insidental. Salah satu risiko dari kematian ibu adalah penanganan persalinan yang tidak dilakukan tenaga kesehatan serta akses yang sulit terhadap pelayanan persalinan. Penanganan persalinan yang tidak dilakukan pada fasilitas kesehatan akan mengakibatkan risiko kematian ibu menjadi lebih besar. Indikator ini sangat cocok untuk mencerminkan tingkat kematian ibu. Menurut Gaye, dkk (2010) kematian ibu mencerminkan bagaimana prioritas penanganan persalinan pada perempuan yang menunjukkan status perempuan di dalam suatu masyarakat. Semakin rendah status perempuan di dalam masyarakat, penanganan pada proses persalinan diindikasikan lebih buruk. Di Indonesia, keterbatasan akses ibu melahirkan pada fasilitas-fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, dan Poliklinik Bersalin masih cukup besar. Hasil Susenas tahun 2016 menunjukkan masih terdapat 20,30 persen ibu yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan. Meskipun terjadi penurunan dibandingkan tahun 2015 (22,37 persen), namun angka ini dirasa masih cukup tinggi. Berdasarkan Statistik Potensi Desa 2014, keberadaan fasilitas kesehatan bagi persalinan ibu yang meliputi Rumah Sakit, Rumah Sakit Bersalin/Rumah Bersalin dan Puskesmas hanya menjangkau kurang dari 20 persen desa/kelurahan di Indonesia.
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
67
Tabel 5.1. Persentase Persalinan Tidak Dilakukan di Fasilitas Kesehatan pada Lima Provinsi dan Tertinggi dan Terendah di Indonesia, 2016 Tertinggi Provinsi (1)
Terendah Persen (2)
Provinsi (3)
Persen (4)
1. Maluku
67,29
1. Bali
1,07
2. Maluku Utara
57,97
2. DKI Jakarta
1,54
3. Sulawesi Tenggara
53,70
3. DI Yogyakarta
1,84
4. Kalimantan Tengah
52,37
4. Jawa Tengah
4,84
5. Papua
48,95
5. Kep. Riau
5,73
Sumber: Diolah dari Susenas 2016
Minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan untuk persalinan disebabkan letak dan kondisi geografis suatu wilayah tempat ibu hamil. Hal ini ditunjukkan oleh persentase persalinan tidak di fasilitas kesehatan yang timpang antara wilayah Barat dan Timur. Provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Timur mendominasi angka persentase ibu melahirkan tidak di fasilitas kesehatan. Lima provinsi dengan nilai persentase tertinggi adalah Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, dan Papua. Sementara provinsi-provinsi di Jawa mendominasi nilai persentase terkecil (Tabel 5.1.). Keterbatasan sarana dan prasarana di suatu wilayah sangat menentukan minimnya akses terhadap falilitas kesehatan. Sebagai contoh di Maluku persentase desa/kelurahan yang mempunyai rumah sakit tercatat hanya sebesar 2,48 persen, rumah sakit bersalin/rumah bersalin sebesar 0,55 persen, dan puskesmas sebesar 17,28 persen. Jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, disparitasnya cukup besar. Persentase keberadaan desa/ kelurahan yang mempunyai rumah sakit di DKI Jakarta sebesar 37,08 persen. Sementara desa dengan rumah sakit bersalin/rumah bersalin dan puskesmas masing-masing sebesar 52,43 dan 93,26 persen (BPS, 2014). Fakta di lapangan tersebut menunjukkan indikasi kematian ibu di Indonesia Timur masih cukup tinggi.
Pernikahan Dini Menurunkan Potensi Remaja Perempuan Pernikahan dini di kalangan remaja perempuan akan membatasi potensi dan kemampuannya dalam mengembangkan diri baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Dampak yang ditimbulkan dari
68
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
pernikahan dini terhadap remaja perempuan berpotensi mengurangi kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi (Parson, dkk, 2015). Rendahnya pendidikan akan berdampak pada prospek pekerjaan yang akan diterima karena pendidikan erat kaitannya dengan kemampuan dan keterampilan (Khanna, T., R. Verma, dan E. Weiss, 2013). Rendahnya keterampilan dan kapabilitas dalam pekerjaan pada akhirnya akan berdampak pada produktivitas, selanjutnya berpengaruh terhadap pencapaian upah yang diterima. Selain dari sisi ekonomi, pernikahan dini juga berdampak pada kesehatan. Hubungan seksual yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperti kanker leher rahim dan penyakit menular seksual (Rifka, 2011). Disamping itu, secara psikologi, remaja usia muda belum siap untuk menghadapi kehidupan berkeluarga secara matang. Dampaknya akan lebih nyata bila remaja tersebut sudah melahirkan bayi. Kesiapan seorang perempuan untuk melahirkan atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan fisik dan kesiapan mental. Seorang perempuan dikatakan siap secara fisik untuk melahirkan jika pertumbuhan tubuhnya sudah berhenti, yaitu sekitar usia 20 tahun (BKKBN, 2005). Jika perempuan melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun akan akan berdampak buruk pada fungsi reproduksinya. Hal ini mengakibatkan risiko kematian selama persalinan oleh remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan perempuan dewasa (Rowbottom, 2007). Perempuan yang melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun akan memiliki keterbatasan antara lain dari sisi pendidikan maupun produktivitasnya. Hal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan gender dalam akses ekonomi. Di Indonesia, indikasi kelahiran pada perempuan usia dini tersebut masih cukup tinggi. Pada tahun 2016, tercatat sebesar 26,16 persen adanya kelahiran anak pertama di usia kurang dari 20 tahun pada perempuan usia subur. Dengan kata lain lebih dari seperempat perempuan usia subur yang kawin/pernah kawin di Indonesia melahirkan anak pertama pada usia kurang dari 20 tahun. Indikasi ini menunjukkan tingginya kasus pernikahan pada perempuan usia remaja di Indonesia yang juga merupakan fenomena di negara-negara berkembang. Menurut UNDP (2016), di negara-negara berkembang setiap tahunnya terdapat kurang kebih 15 juta remaja perempuan usia dibawah 18 tahun yang menikah. Jika tidak dikendalikan, angka ini akan meningkat menjadi 18 juta pada tahun 2050. Jika dilihat sebaran angka provinsi, hasilnya cukup menarik. Provinsiprovinsi dengan persentase kelahiran oleh perempuan di usia kurang dari 20 tahun hampir menyebar di seluruh wilayah. Meskipun lima besar berada di Indonesia Timur, ternyata indikator juga ini menunjukkan KONDISI KETIMPANGAN GENDER
69
persentase yang tinggi di Wilayah Barat. Provinsi-provinsi dengan persentase perempuan melahirkan pada usia belum matang cukup tinggi diantaranya adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Selatan (Tabel 5.2.). Sementara itu, provinsi di Sumatera yang persentasenya di atas 30 persen adalah Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Di pulau Jawa tercatat Jawa Barat mempunyai persentase sekitar 30 persen. Angka persentase yang tinggi juga ditunjukkan oleh provinsi Nusa Tenggara Barat, dan semua provinsi di Kalimantan, kecuali Kalimantan Timur. Tabel 5.2. Persentase Perempuan Usia 15-49 Tahun yang Berumur Kurang dari 20 Tahun pada Saat Melahirkan Pertama di Lima Provinsi Tertinggi dan Terendah di Indonesia, 2016 Tertinggi
Terendah
Provinsi (1)
Persen (2)
Provinsi (3)
Persen (4)
1. Kalimantan Tengah
35,00
1. Kep. Riau
11,40
2. Sulawesi Tenggara
34,60
2. DI Yogyakarta
12,26
3. Sulawesi Barat
34,11
3. DKI Jakarta
30,18
4. Kalimantan Selatan
33,54
4. Sumatera Utara
15,35
5. Sulawesi Tengah
32,64
5. Sumatera Selatan
17,39
Sumber: Diolah dari data Susenas 2016
Tingginya angka kelahiran bayi pada remaja perempuan disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum terdapat 3 faktor utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini yaitu alasan ekonomi, rendahnya pengetahuan masyarakat, dan faktor sosial budaya (Romauli, 2009). Faktor ekonomi antara lain untuk meringankan beban keluarga (Soekanto, 1992). Hal ini terutama terjadi pada keluarga miskin. Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan reproduksi serta pengetahuan mengenai dampak dari pernikahan dini masih terbatas. Faktor sosial budaya juga sangat berpengaruh di beberapa daerah. Disamping itu faktor lain yang mempunyai peranan yang cukup tinggi pada angka kelahiran bayi pada remaja perempuan di Indonesia adalah pergaulan yang cenderung bebas akibat pengaruh globalisasi.
70
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan Perempuan Belum Setara dengan Laki-Laki Secara umum konsep pemberdayaan perempuan didefinisikan sebagai upaya peningkatan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemberdayaan perempuan diupayakan untuk meningkatkan kapabilitas dan kualitas perempuan sehingga perannya dalam pembangunan di suatu negara akan semakin terlihat. Sejak periode tahun 1970an strategi peningkatan peran perempuan dalam pembangunan menjadi fokus program PBB. Seiring dengan perkembangan jaman, perempuan tidak hanya dipandang sebagai target dalam pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Untuk mewujudkan hal di atas maka peningkatan kapabilitas perempuan menjadi hal yang mutlak dilakukan. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan hal tersebut. Pendidikan juga merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di suatu negara. Bagi perempuan, pendidikan yang baik dan berkualitas akan mampu meningkatkan kapabilitasnya termasuk dalam perencanaan masa depan dan pengambilan keputusan. Lebih jauh, peran perempuan dalam pembangunan akan semakin nyata sehingga akan meningkatkan perekonomian suatu negara. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan pendidikan bagi semua golongan masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini masih terdapat kesenjangan dalam hal pendidikan yang ditamatkan laki-laki dan perempuan. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari capaian pada setiap jenjang pendidikan. Salah satu jenjang pendidikan yang menunjukkan batas produktivitas adalah SMA. Untuk memasuki dunia kerja formal di Indonesia, idealnya minimal harus memiliki ijasah SMA. Berdasarkan indikator pendidikan yang ditamatkan, capaian untuk perempuan masih di bawah laki-laki meskipun gapnya semakin mengecil. Pada tahun 2016 persentase perempuan usia 25 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidkan pada tingkat SMA sebesar 31,87 persen. Sementara persentase untuk laki-laki sebesar 38,93 persen (Gambar 5.3). Selama kurun waktu 7 tahun terakhir angkanya cenderung naik baik untuk laki-laki maupun perempuan, namun jarak capaian angka laki-laki dan perempuan relatif masih sama yaitu pada angka 6 persen, bahkan pada pada tahun 2016 cenderung membesar. Hal ini perlu mendapatkan perhatian Pemerintah, bahwa mewujudkan pendidikan untuk semua masih belum mendapatkan hasil yang maksimal.
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
71
Gambar 5.3. Persentase Penduduk Usia 25 Tahun Ke Atas yang Menamatkan Pendidikannya Pada Jenjang SMA Menurut Jenis Kelamin, 2010-2016 40,00 38,00
36,27
36,17
36,00 34,00 32,00 30,00 28,00 26,00
31,72 29,25
2011
2012 Laki-laki
30,32
2013
2014
2015
Perempuan
Sumber: Diolah dari data Susenas 2010-2016
Keterwakilan Perempuan dalam Dunia Politik Masih Rendah Demokrasi memberikan kesempatan yang luas bagi seluruh warga negara termasuk perempuan untuk dipilih sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Untuk memperjuangkan kepentingan perempuan tersebut, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif menjadi sangat penting. Kebijakan-kebijakan yang diambil dalam setiap keputusan parlemen harus bisa memberikan keadilan maupun kesetaraan gender. Negara telah menjamin kepentingan perempuan tersebut dengan adanya kebijakan afirmasi, yaitu sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat dan bakal calon anggota DPR/DPRD lembaga legislatif yang dituangkan dalam UU Nomor 10 tahun 2008. Implementasi dari undang-undang mengenai keterwakilan perempuan dalam politik tersebut belum tercapai secara optimal. Hal ini terlihat dari akses perempuan dalam bidang politik masih rendah. Tercatat pada hasil Pemilu tahun 2014 hanya sekitar 17,32 persen, bahkan sedikit menurun dari Pemilu sebelumnya tahun 2009 sebesar 17,86 persen (Tabel 5.3). Dari sisi internal, rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik disebabkan beberapa hal seperti rendahnya pendidikan maupun kultur atau budaya. Dari sisi kultur/budaya, perempuan cenderung mengikuti pilihan laki-laki dan tidak berhak mengambil keputusan sendiri termasuk dalam pilihan politik. Sementara dari sisi eksternal adalah pandangan
72
31,87
29,20
28,38
2010
38,93
36,26
35,34
34,36 29,97
37,78
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
2016
masyarakat bahwa memasuki dunia politik memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang cukup besar, sehingga identik dengan dunia laki-laki. Faktor-faktor tersebut secara langsung akan membatasi jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif. Tabel 5.3. Jumlah dan Persentase Anggota DPR RI menurut Jenis Kelamin, 1955-2014 Pemilu
Jumlah
Persentase Perempuan (%) (5) 5,88 6,74 8,04
Laki-laki
Perempuan
(1) 1955 1971 1977
(2) 256 429 423
(3) 16 31 37
(4) 272 460 460
1982
418
42
460
9,13
1987 1992 1997
441 438 442
59 62 58
500 500 500
11,80 12,40 11,60
1999
456
44
500
8,80
2004 2009
485 460
65 100
550 560
11,82 17,86
2014
463
97
560
17,32
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Perempuan Lebih Banyak Berperan di Ruang Domestik dibandingkan Ruang Publik Dengan adanya pembedaan dan penentuan peranan individu dalam masyarakat berdasarkan geder akan menentukan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak berperan di sektor publik, sementara perempuan di sektor domestik. Di masyarakat terdapat pandangan bahwa laki-laki merupakan tumpuan ekonomi keluarga. Jika perempuan ikut bekerja, maka alasan utamanya adalah kebutuhan finansial yaitu menambah penghasilan keluarga (Dixon, 1978). Perbedaan pandangan tersebut mengakibatkan gap tingkat partisipasi angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan masih cukup besar. Meskipun jumlah perempuan yang menjadi angkatan kerja semakin meningkat, proporsinya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Gambar 5.4 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya sebesar 50,77 persen, atau setengah dari jumlah perempuan usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Sementara laki-laki mempunyai angka TPAK sebesar 81,97 persen.
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
73
Gambar 5.4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Menurut Jenis Kelamin, 2010-2016 90,00
84,42
83,76 84,30
80,00
83,05
83,58
82,71
81,97
70,00 60,00
51,76
50,00 40,00
51,39 52,44
2010
2011
48,87 50,22
50,28
2012 Laki-laki
2013
2014
2015
Perempuan
Sumber: Sakernas Agustus 2010-2016
Selama periode 7 tahun terakhir angka TPAK perempuan tidak menunjukkan indikasi peningkatan. Sementara jarak kesenjangan antara TPAK perempuan dan laki-laki juga relatif sama selama periode tersebut. Hal ini terlihat dari angka rasio TPAK yang berada pada sekitar angka 0,6. Rasio TPAK ini menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Kesenjangan dalam aspek ketenagakerjaan juga terjawab dari data persentase penduduk menurut kegiatan terbanyak seminggu yang lalu. Data Sakernas Agustus 2016 menunjukkan bahwa persentase perempuan bekerja hanya sebesar 48,00 persen, lebih kecil dari persentase laki-laki yang mencapai 77,29 persen. Disamping itu kegiatan terbanyak mengurus rumah tangga dilakukan oleh 37,79 persen perempuan, sementara lakilaki hanya 3,75 persen. Fakta-fakta ini semakin memperkuat adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dan stigma di masyarakat bahwa perempuan seharusnya bekerja di dapur. Hal ini yang menyebabkan kesenjangan dari sisi ketenagakerjaan. D. HUBUNGAN IKG DAN IPM Pembangunan nasional utamanya ditujukan untuk mencapai kesejahteraan semua penduduk, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan maupun jenis kelamin. Kesejahteraan penduduk dapat diukur dari IPM yang mampu menangkap kemajuan pembangunan dalam tiga kemampuan dasar manusia yaitu umur panjang dan sehat, pendidikan,
74
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
50,77
2016
serta untuk menikmati standar kehidupan yang layak. IPM juga membantu menjawab beberapa pertanyaan dasar tentang kemajuan pembangunan manusia, seperti daerah mana yang pembangunan manusianya lebih baik dan lebih cepat. Keterkaitan antara IPM dan IKG kemudian menjadi hal yang menarik untuk dibahas karena sesungguhnya kesetaraan gender merupakan bagian dari pembangunan manusia. Seperti halnya yang disampaikan oleh UNDP 2015 bahwa “equal opportunities in all spheres, for all people, women and men alike, are at the heart of the human development”. Artinya, peluang yang Gambar 5.5 Matriks Keterkaitan IKG dan IPM, 2015-2016
2
2016 Sumatera Barat Kepulauan Riau DKI Jakarta DI Yogyakarta Bali Kalimantan Timur Sulawesi Utara
IPM Di Atas Angka Nasional
2015 Sumatera Barat Kepulauan Riau DKI Jakarta DI Yogyakarta Bali
IKG Di Bawah Angka Nasional 2015 Jawa Tengah Jawa Timur Nusa Tenggara Barat Gorontalo
3
Sumber: Hasil uji coba pengolahan skenario G
1
2016 Riau Banten
IKG Di Atas Angka Nasional
IPM Di Bawah Angka Nasional
2016 Aceh Jawa Tengah Jawa Timur Nusa Tenggara Barat Gorontalo
2015 Riau Banten Kalimantan Timur Sulawesi Utara
2015 Aceh Sumatera Utara Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2016 Sumatera Utara Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
4
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
75
sama untuk semua golongan manusia dalam berbagai aspek kehidupan merupakan kunci utama dalam pembangunan manusia. Oleh sebab itu, idealnya tingginya pembangunan manusia seiring dengan pembangunan yang merata bagi semua golongan baik laki-laki maupun perempuan. Gambar 5.5 menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki pembangunan manusia yang rendah akan memiliki kondisi kesetaraan gender yang rendah pula (IKG tinggi). Sebaliknya, provinsi yang memiliki IPM tinggi cenderung memiliki IKG yang rendah. Kondisi ini tercermin dari wilayah yang mendominasi posisi 5 terendah IKG, yaitu provinsi dengan pencapaian kesetaraan gender yang lebih baik. Hal yang menarik untuk dianalisis adalah provinsi-provinsi yang memiliki IPM yang tinggi (di atas rata-rata) namun memiliki IKG yang tinggi pula. Hal ini terjadi di Riau dan Banten di tahun 2016. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun secara keseluruhan penduduk memiliki kualitas hidup yang tinggi, namun sesungguhnya pembangunan tersebut belum inklusif karena kehilangan pembangunan yang diakibatkan oleh ketidaksetaraan gender cukup tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan kondisi ketimpangan gender di kedua provinsi tersebut adalah tingginya gap partisIpasi angkatan kerja antara-laki-laki dan perempuan. Dibandingkan provinsi yang lain, rasio TPAK laki-laki dan perempuan di kedua provinsi lebih tinggi, bahkan mencapai 2:1. Hal ini menggambarkan kondisi pasar kerja yang masih didominasi penduduk laki-laki. Sementara itu, provinsi yang ideal berada di Kuadran 2, yaitu provinsi yang memiliki IPM tinggi dan IKG yang rendah. Dibandingkan kondisi tahun 2015, jumlah provinsi yang ideal ini jumlahnya meningkat, dari 5 menjadi 7 provinsi dengan masuknya Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Faktor membaiknya IKG di Sulawesi Utara selain karena meningkatnya indikator kesehatan reproduksi, dan pendidikan, faktor yang tampaknya cukup memengaruhi membaiknya IKG adalah persentase perempuan di parlemen. Sedangkan di Kalimantan Timur, faktor pendidikan dan peningkatan akses ibu hamil terhadap fasilitas kesehatan berkontribusi cukup besar terhadap perbaikan IKG. Perpindahan kondisi yang lebih baik juga dialami oleh Aceh. Pada tahun 2015, Aceh berada pada Kuadran 4 dengan kondisi yang memprihatinkan baik dalam hal IPM maupun IKG. Namun di tahun 2016 Aceh mampu menurunkan ketimpangan gendernya. Selain karena meningkatnya proporsi perempuan di parlemen, faktor yang signifikan mempengaruhi adalah meningkatnya persalinan di fasilitas kesehatan.
76
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
E. HUBUNGAN IKG DAN IPG Menganalisis IKG juga lebih menarik jika dihubungkan dengan pembangunan manusia berdasarkan jenis kelamin, yang diukur dari IPG. IPG merupakan ukuran yang menggambarkan pencapaian dimensi dan variabel yang sama seperti IPM, tetapi mengungkapkan ketimpangan pencapaian kesejahteraan laki-laki dan perempuan. Metodologi penghitungan IPG mengacu pada metodologi baru yang digunakan oleh UNDP tahun 2010 dengan menggunakan rasio IPM laki-laki dengan IPM perempuan. Gambar 5.6 Matriks Keterkaitan IKG dan IPG, 2015-2016 2016
2015
2016
Sumatera Barat Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali
Aceh Sulawesi Utara Sumatera Barat Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali
Aceh Sumatera Selatan Bengkulu Banten Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku
Sumatera Selatan Bengkulu Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku
2
IPG Di Atas Angka Nasional
2015
IKG Di Bawah Angka Nasional
IKG Di Atas Angka Nasional
2016
2015
2016
Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Gorontalo Jawa Timur
Sumatera Utara Riau Jambi Lampung Bangka Belitung Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Utara Papua Barat Papua
Sumatera Utara Riau Jambi Lampung Bangka Belitung Jawa Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Utara Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Utara Papua Barat Papua Banten
3
IPG Di Bawah Angka Nasional
2015 Nusa Tenggara Barat Gorontalo
1
Sumber: Hasil uji coba pengolahan skenario G
4
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
77
IKG dan IPG menggambarkan kondisi yang berlawanan. Jika IPG mengukur kesetaraan gender dari sisi pendidikan, kesehatan dan pendapatan. IKG mengukur kehilangan pembangunan manusia akibat ketidaksetaraan pencapaian pembangunan laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, kesehatan, sosial dan politik. Dengan demikian, perbedaan IKG dan IPG terletak pada dimensi yang diukur. IKG menambahkan faktor politik di dalamnya. Pengaruh masuknya indikator pemberdayaan dalam hal politik di IKG terlihat nyata di Aceh dan Sulawesi Utara. Kedua provinsi ini berpindah posisi dari Kuadran 1 ke Kuadran 2, yang menunjukkan kondisi kesetaraan gender yang lebih baik. Peningkatan indikator parlemen perempuan mempengaruhi turunnya IKG, sedangkan IPG berada pada status yang sama (di atas angka nasional). Hal yang menarik terjadi di Jawa Timur. Provinsi ini mengalami perubahan posisi dari Kuadran 2 ke Kuadran 3 seiring menurunnya IPG. Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun kondisi kehilangan pembangunan yang diakibatkan ketimpangan gender menurun, namun pembangunan gendernya belum tentu menggambarkan kondisi yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kecepatan pembangunan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan. IPG yang menurun tidak diartikan sebagai adanya pembangunan manusia yang memburuk namun diartikan sebagai perbedaan kecepatan pembangunan kualitas laki-laki dan perempuan. Ketika kondisi pembangunan laki-laki lebih cepat dari perempuan, maka pembangunan gender cenderung menurun. Sementara itu, IKG tidak melihat perubahan kecepatan pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, perlu kehati-hatian dalam menganalisis keterkaitan IKG dan IPG. F. HUBUNGAN IKG DAN IDG Menurut UNDP (2015), konsep yang digunakan dalam menyusun IKG berangkat dari pemberdayaan. Oleh sebab itu, analisis keterkaitan IKG dengan indikator pemberdayaan pendahulunya, yaitu GEM atau IDG akan sangat menarik untuk dilakukan. Namun, hubungan IKG dan IDG menggambarkan kondisi yang berlawanan. Jika IDG mengukur pemberdayaan gender dari sisi politik, ekonomi, pendapatan dan pengambilan keputusan. IKG mengukur kehilangan pembangunan manusia akibat ketidaksetaraan pencapaian pembangunan laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, kesehatan, sosial dan politik. Dengan demikian, perbedaan IKG dan IDG terletak pada dimensi kesehatan.
78
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Mayoritas provinsi yang memiliki IKG di atas angka nasional memiliki IDG yang lebih rendah dari rata-rata (Kuadran 4 pada Gambar 5.7). Hal ini sangat masuk akal mengingat ketimpangan pemberdayaan gender akan mempengaruhi outcome dari pembangunan manusia secara umum. Perempuan yang memiliki jumlah populasi hampir setara dengan lakilaki memiliki peluang yang sama sebagai penentu pembangunan. Oleh Gambar 5.7 Matriks Keterkaitan IKG dan IDG, 2015-2016 2016
2015
2016
DKI Jakarta
Riau
Riau
Jawa Tengah
Jawa Tengah
2
Sulawesi Utara
IDG Di Atas Angka Nasional
2015 DKI Jakarta
IKG Di Bawah Angka Nasional 2015 Sumatera Barat DI Yogyakarta
Aceh
Bali
Nusa Tenggara Barat Gorontalo
Sumatera Barat
3
Kepulauan Riau DI Yogyakarta Jawa Timur Bali
Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Gorontalo
Sulawesi Tenggara Maluku
1
Maluku
2015
2016
Aceh
Sumatera Utara
Jambi
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung
Bangka Belitung Jawa Barat
Jambi
4
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung
Bangka Belitung Jawa Barat Banten
Banten
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
Kalimantan Timur Kalimantan Utara
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara Papua Barat Papua
Papua
Sulawesi Selatan Sulawesi Barat
Sumber: Hasil uji coba pengolahan skenario G
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
IDG Di Bawah Angka Nasional
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Sulawesi Utara
IKG Di Atas Angka Nasional
2016
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Maluku Utara Papua Barat
KONDISI KETIMPANGAN GENDER
79
sebab itu, capaian pembangunan manusia yang optimal akan terkoreksi cukup besar oleh ketimpangan pembangunan gender yang besar pula jika pemberdayaan gender cukup timpang. Hal yang menarik untuk dibahas adalah provinsi yang berada di Kuadran 1, yaitu provinsi yang memiliki IDG yang tinggi namun memiliki IKG yang tinggi pula. Provinsi yang konsisten berada pada posisi ini adalah Riau, Kalimantan Tengah dan Maluku. Faktor yang pengaruhnya cukup besar terhadap kondisi ini adalah variabel fasilitas kesehatan dalam proses persalinan yang relatif tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain pada satu wilayah yang sama. Kondisi ini berlawanan dengan provinsi yang konsisten berada di Kuadran 3. Provinsi di Kuadran 3 memiliki ranking IDG yang relatif buruk namun IKG nya menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Perbedaan dimensi pengukuran yang digunakan dalam IDG dan IKG yaitu dimensi kesehatan reproduksi mempengaruhi perbedaan hasil IKG dan IDG secara nyata. Pengaruh ini terlihat di Kalimantan Timur dan Aceh yang mengalami perpindahan kuadran sebagai dampak dari peningkatan akses ibu hamil terhadap fasilitas kesehatan yang signifikan.
80
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
BAB
6 Kesimpulan
Bab
6
KESIMPULAN
Kesetaraan gender di Indonesia tertuang dalam visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Adil menunjukkan tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antarindividu, wilayah, maupun gender. Dalam RPJMN 2014-2019 perspektif gender di semua bidang dan tahapan pembangunan sangat ditekankan. Target pembangunan dalam hal kesetaraan gender meliputi peningkatan kualitas hidup perempuan, peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian perspektif gender di semua tahapan pembangunan, dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik di level pusat maupun daerah. Indikator-indikator statistik gender yang telah dihitung di Indonesia adalah IPG dan IDG. Selanjutnya UNDP memperkenalkan GII atau IKG sebagai ukuran ketimpangan gender yang menggambarkan deprivasi pembangunan manusia sebagai dampak dari ketimpangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan (UNDP, 2016). GII dapat menyempurnakan kelemahan IDG dan IPG yang diduga memiliki berbagai kelemahan baik dalam hal teknis maupun konseptual. Pada tahun 2017 BPS mulai melakukan kajian untuk pengukuran IKG sesuai dengan metode yang diperkenalkan oleh UNDP. Ada 3 dimensi yang diukur dalam IKG yaitu: 1) kesehatan reproduksi; 2) pemberdayaan, yang diukur dari pencapaian pendidikan dan keterwakilan dalam jabatan publik, serta 3) partisipasi ekonomi. Salah satu aspek yang dihasilkan dari kajian pengukuran IKG adalah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik, mengingat variabel-variabel yang digunakan UNDP tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Terdapat dua komponen indikator yang tidak tersedia secara berkala dan tidak tersedia sampai tingkat kabupaten/kota di Indonesia yaitu MMR dan ABR. Sehingga kedua indikator ini perlu digantikan oleh indikator proksi yang secara ilmiah dan statistik dapat menggambarkan kedua indikator tersebut.
KESIMPULAN
83
Untuk mendapatkan metodologi yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pengukuran dilakukan dengan beberapa tahap, yang dimulai dari identifikasi variabel proksi, mencermati kesesuaian hasil dengan fenomena-fenomena yang terjadi di beberapa wilayah, uji kepekaan melalui korelasi, sampai dengan diskusi dengan para pakar dan stakeholder terkait. Hasil kajian awal pengukuran IKG dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Variabel-variabel pembentuk IKG dengan skenario terpilih adalah: a.
Proporsi perempuan kawin atau pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan di fasilitas kesehatan pada kasus kelahiran 2 tahun terakhir.
b. Proporsi perempuan kawin atau pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup pertama pada usia kurang dari 20 tahun. c.
Persentase penduduk yang berusia 25 tahun ke atas yang berijasah terakhir minimal SMA menurut jenis kelamin.
d. Persentase anggota parlemen menurut jenis kelamin. e.
84
Tingkat partisipasi angkatan kerja menurut jenis kelamin.
2.
Korelasi IKG dengan ukuran-ukuran sebelumnya yaitu IPG dan IDG menggambarkan arah berlawanan. Hal ini sesuai dengan konsep yang ada.
3.
Angka 2015 menurun di tahun 2016. Hal ini sesuai dengan kecenderungan GII UNDP yang mengalami perlambatan penurunan pada kurun waktu 5 tahun terakhir.
4.
Angka IKG juga menunjukkan masih adanya kesenjangan peran lakilaki dengan perempuan yang cukup signifikan dalam pembangunan. Demikian halnya dengan ketimpangan antar wilayah.
5.
Gambaran lain dari hasil eksplorasi pengukuran IKG adalah adanya ketidaksetaraan pencapaian masing-masing wilayah. Kondisi ketimpangan gender sangat bervariasi pada masing-masing provinsi. Namun demikian, dalam kurun waktu 2015-2016, disparitas wilayah cenderung menurun.
6.
Provinsi DKI Jakarta berada di peringkat teratas sebagai provinsi yang paling memiliki kesetaraan gender, kemudian diikuti oleh DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, Papua Barat menempati peringkat terbawah,
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
kemudian diikuti oleh Jambi, Maluku Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. 7.
Wilayah yang memiliki pembangunan manusia yang rendah memiliki kondisi kesetaraan gender yang rendah pula (IKG tinggi). Sebaliknya, provinsi yang memiliki IPM tinggi cenderung memiliki IKG yang rendah. Kondisi ini tercermin dari wilayah yang mendominasi posisi 5 terendah IKG, yaitu provinsi-provinsi dengan pencapaian pembangunan manusia yang lebih baik.
KESIMPULAN
85
DP Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
A Mustika, T.A. Rahmat dan A.S. Bahri. (2013) .Pola Pengambilan Keputusan Serta Peran dan Curahan Kerja Wanita dalam Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga di Daerah Tujuan Wisata, Jurnalpariwisata.stptrisakti.ac.id/index.php/JIP/article/view/28/27 Apfel, R.J. (1982). How Are Women Sicker than Men? An Overview of Psychosomatic Problems in Women. Psychother Psychosom, 37,106–118. Astuti, Umi Pudji, Eddy Makruf, dan Andi Ishak. (2012). Analisis Pe-ran Wanita Dalam Rumah Tangga Petani Mendukung Keberhasilan Program Slptt – Puap Di Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Azizi, A , Hikmah dan Sapto Adi Pranowo. (2012). Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Rumah Tangga Nelayan Di Kota Semarang Utara, Provinsi Jawa Tengah. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jurnal Sosek KP Vol. 7 No. 1 Tahun 2012 Bappenas. (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku I Agenda Pembangunan Nasional. Bappenas: Jakarta Beteta, H. C. (2006), “What is Missing in Measures of Women’s Empowerment?”, Journal of Human Development 7(2), 221–41. Bossel, H. (1999). Indicators for Sustainable Development Theory, Method and Applications. Winnipeg, Manitoba: International Institute for Sustainable Development. BPS. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Badan Pusat Statistik, Jakarta BPS. (2015a). Kajian Indikator Lintas Sektor: Potret Awal Pembangunan Pasca MDGs, SDGs. Badan Pusat Statistik, Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
89
BPS. (2015b). Indeks Pembangunan Manusia 2016. Badan Pusat Statistik, Jakarta BPS. (2016a). Keadaaan Angkatan Kerja Indonesia Agustus 2016. Badan Pusat Statistik, Jakarta BPS. (2016b). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016. Badan Pusat Statistik, Jakarta BPS. (2016c). Keadaaan Pekerja Indonesia Agustus 2016. Badan Pusat Statistik, Jakarta BPS. (2017). Berita Resmi Statistik. Prevalensi Kekerasan Terhadap Perempuan Di Indonesia, Hasil SPHPN 2016. No.29/03/Th.XX, 30 Maret 2017 Dijkstra, G. (2002), “Revisiting UNDP’s GDI and GEM: Towards an Alternative”,Social Indicators Research 57, 301–38. Dixon, Ruth B. (1978). Rural Women at Work. The Johns Hopkins University Press, USA. Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII European Institute for Gender Equality (EIGE). (2013). “European Gender Equality Index,” http://eige.europa.eu/content/activities/gender-equality-index. Jager, Ulrike & Anja Rohwer. (2009). Women’s Empowerement: Gender-Related Indices as A Guide for Policy. CESifo DICE Report 4,3750 Gaye, A, et al (2010). Human Development research paper 2010/46. Measuring Key Disparities in Human Development: The Gender Inequality Index. UNDP. December 2010 Khanna, T., R. Verma, and E. Weiss. (2013). Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and the Way Forward. Bangkok: UNFPA Asia Pacific Regional Office. KPPPA & BPS. (2016a). Statistik Gender Tematik: Ketimpangan Gender dalam Ekonomi. KPPPA:Jakarta KPPPA & BPS. (2016b). Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2016. KPPPA:Jakarta Klassen, S. (2006). “Gender-Related Development Measures: Some Conceptual Problems and Possible Solutions”. Journal of Human Development 7(2), 234-74.
90
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Klasen, S. and D. Schüler. (2009), “Reforming the Gender-Related Development Index (GDI) and the Gender Empowerment Measure (GEM): Some Specific Proposals”, Ibero-America Institute for Economic Research (IAI), Georg-August-Universität Göttingen, Discussion Papers no. 186. Lemaire, Jean. (2002). Why Do Females Live Longer Than Males? North American Actuarial Journal, 6:4, 21-37 Lopez-Claros, A. and S. Zahidi. (2005), “Women’s Empowerment: Measuring the Global Gender Gap”, www.webforum.org/pdf/Global_Competitiveness.../gender_gap.pdf. M.A.P. Palit. 2009. Peran dan Status Wanita Tani Etnik Papua dalam Pengambilan Keputusan Romah tangga di Distrik Sentani Kabupaten Sentani Provinsi Papua. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2014). “Social Institutions and Gender Index (SIGI),” http://genderindex.org/ Parsons, Jennifer, Jeffrey Edmeades, Aslihan Kes, Suzanne Petroni, Maggie Sexton, dan Quentin Wodon. (2015). Economic Impacts of Child Marriage: A Review of the Literature. International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank Volume 13, No 3, Fall 2015. Rifka (2011). Fenomena Pernikahan Usia Muda, Puspa Swara, Jakarta. Rowbottom, S. (2007). Giving Girls Today and Tomorrow: Breaking the Cycle of Adolescent Pregnancy. United Nations Population Fund, New York. Social Watch (2012). “Gender Equity Index (GEI),” http://www.socialwatch.org/taxonomy/term/527 Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta UN (1995), “Beijing Declaration and Platform for Action”, http://www.un.org/womenwatch/ daw/beijing/pdf/BDPfA%20E.pdf UNDP. (1996). Human Development Report 1996. New York Oxford: Oxford University Press.
DAFTAR PUSTAKA
91
UNDP. (2015). Issue Paper Prepared for the Expert Group Meeting on “Gender Equality in Human Development –Measurement Revisited”. UNDP: Human Development Report Office. UNDP. (2016). Human Development Report 2016: Human Development for Everyone. UNDP, New York. UNDP.(2017).http://hdr.undp.org/en/content/gender-inequality-index-gii World Economic Forum. (2006). The Global Gender Gap Report 2006, Geneva: World Economic Forum. World Health Organization (WHO). (2007). Maternal Mortality in 2005. Department of Reproductive Health and Research WHO, Geneva.
L Lampiran Hasil Indepth Study dan Focus Group Discussion IKG
94
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION INDEKS KETIMPANGAN GENDER A. Latar Belakang Selama ini dalam pengukuran indikator gender di Indonesia menggunakan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IKG). Seiring perkembangannya United Nations Development Program (UNDP) mengganti IDG dengan Gender Inequality Index (GII) atau Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Metode pengukurannya menggunakan beberapa beberapa variabel-variabel yang meliputi Maternal Mortality Ratio (MMR) atau rasio kematian ibu; Adolescent Birth Rate (ABR) atau kelahiran per 1000 perempuan usia 15-19 tahun; Persentase penduduk usia 25 tahun ke atas dengan pendidikan minimal SMP; persentase penduduk laki-laki/perempuan yang duduk di parlemen; dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Namun demikian beberapa variabelvaribel tersebut tidak tersedia setiap tahun dan tidak bisa dihitung sampai pada level Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu diperlukan indikator pengganti (proxy indicator). Menurut beberapa referensi, IKG mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya adalah nilai indeksnya akan bergantung pada kondisi sosial budaya masing-masing wilayah (local specific issues). Dengan demikian setiap negara dapat mengadopsi pengukuran dengan menyesuaikan kondisi masing-masing wilayah. Tantangan lain dalam menyusun IKG adalah kebutuhan akan indikator-indikator yang harus tersedia setiap tahun hingga level Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu, penggunaan indikator yang tersedia pada saat ini tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya. Pada tahun 2017, BPS melakukan kajian penyusunan IKG sampai tingkat provinsi dengan mengadopsi metode dari UNDP. Dengan menggunakan indikator proksiuntuk variabel MMR dan ABR, dihasilkan nilai IKG sementara yang menggunakan berbagai skenario penghitungan. Namun demikian untuk menyempurnakan hasil IKG, perlu ada kajian yang lebih dalam terkait dengan ketepatan penggunaan indikator tersebut beserta hasilnya. Disamping itu diperlukan juga informasi mengenai ketersediaan data mengenai variabel-variabel MMR dan ABR oleh instansi di luar BPS, dan tingkat kevalidan data yang digunakan.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
95
B. Tujuan Sehubungan dengan penyempurnaan metode pengukuran IKG yang menggunakan indikator proksi MMR dan ABR, BPS melakukan studi mendalam (Indepth Study) dalam Focus Group Discussion (FGD) dan kunjungan ke Universitas beserta Instansi terkait. Kegiatan ini dilakukan dengan dukungan pembiayaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Organisasi yang terlibat antara lain Pusat Studi Wanita/Gender di berbagai universitas, instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tujuan dilakukan Indepth Study antara lain adalah: 1. Mendiskusikan variabel-variabel indikator proksi MMR dan ABR yang bisa digunakan untuk mengukur IKG beserta ketersediaan datanya. 2. Mendiskusikan hasil uji coba pengukuran IKG dengan berbagai skenario. 3. Menggali referensi-referensi mengenai pengukuran IKG yang telah dilakukan oleh BPS. 4. Menggali local specific issues di wilayah masing-masing. C. Cakupan-cakupan dalam FGD Kegiatan FGD mengenai pengukuran IKG dilakukan di delapan provinsi di Indonesia dengan mengundang beberapa narasumber antara lain sebagai berikut: 1. Para pakar masalah gender/wanita di universitas. 2. Para peneliti masalah gender/wanita di universitas. 3. Para stakeholder yang berkaitan dengan variabel-variabel penyusun IKG antara lain: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kesehatan, Perwakilan BKKBN, Dinas Pendidikan, Dinas Ketenagakerjaan, BAPPEDA, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah gender/ perempuan. Terkait dengan tujuan dari kegiatan Indepth Study dalam FGD, disusun beberapa materi pertanyaan yang digunakan dalam diskusi antara lain sebagai berikut:
96
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
1. Ketepatan indikator-indikator yang digunakan dalam pengukuran IKG. 2. Ketepatan indikator proksi MMR dan ABR yang digunakan. 3. Target-target pencapaian dari indikator proksi MMR dan ABR oleh Kementerian terkait. 4. Hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki hasil pengukuran. Misalnya harus memasukkan variabel local specific issue atau tidak; memperbaiki konsep yang digunakan dalam variabel yang digunakan; dan lain-lain. 5. Memilih hasil exercise pengukuran IKG dari berbagai skenario, dan ketepatannya dengan kondisi di lapangan, mengingat universitas dan instansi terkait banyak yang terjun langsung ke lapangan dalam hal pemberdayaan perempuan dan masalahmasalah terkait perempuan. 6. Hasil-hasil studi mengenai gender yang pernah dilakukan oleh Pusat Study Gender/Wanita atau instansi terkait. 7. Saran-saran dari Pusat Studi Gender/Wanita dalam hal pengukuran IKG. D. Keluaran Keluaran dari kegiatan Indepth Study ini adalah memperoleh laporan hasil diskusi dengan para pakar, peneliti gender, dan stakeholder untuk memperoleh rekomendasi perbaikan metode pengukuran. Dengan demikian, publikasi hasil kajian awal Indeks Ketimpangan Gender Indonesia dapat menyajikan angka IKG yang robust yang sudah mempertimbangkan beberapa aspek serta dari kajian-kajian ilmiah ilmiah. E. Jadwal dan Lokasi Indepth Study Jadwal Indepth Study IKG dilakukan pada minggu kedua dan ketiga bulan Juni 2017. Adapun kegiatan ini dilakukan di delapan provinsi dengan rincian seperti pada tabel berikut.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
97
Tabel A. Lokasi dan Peserta FGD pada Kegiatan Indepth Study IKG
No. (1)
Provinsi dan Pemateri (2)
Sumatera Utara
1.
Pemateri: IGNA Rama Gunawan Lokasi: BPS Provinsi Sumatera Utara
Narasumber/Peserta (3) • Ratih Baiduri, Meutia Fadila, Ely Djulia, Emilia (PSGPA UNIMED) • FB. Didiek Santosa dan Anugrah P. R. (KPPPA) • Asrul (Dinas PPPA Prov. Sumut) • Putra Landri Sitepu (BAKESBANGPOL) • Cut Diana Mutia (Dinkes. Prov. Sumut)
• Ramlan, MM. dan Sabar Alberto H. (BPS Prov. Sumut) • Asna Zainab (BAPPEDA Prov. Sumut) • Yenny Marlina S. (Dinas Pendidikan Prov. Sumut) • Jujur (Disnaker Sumut) • Nur Putri Cahyo Utami (BPS RI)
Moderator: Ateng Hartono • Lampung
2.
Pemateri: Yoyo Karyono Lokasi: Universitas Lampung
• •
Novita Tresiana (Puslitbang Wanita, Anak dan Pembangunan, Unila) Warsono (LPPM Unila) Mustofa Usman, Ari Darmastuti, Trisna, Eka Agustina, dan Rodiani (Unila)
• •
• •
Zulius (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung) Perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung Yunitasari (Bappeda Provinsi Lampung) Dina Nur Rahmawati (BPS RI)
Moderator: Yosep
Jawa Barat Pemateri: Ema Tusianti
3
Lokasi: Institut Pertanian Bogor
• Ikeu Tanziha, Budi Setiawan, Fitriani, Hana Indriani, dan Margahata (PKGA, LPPM IPB) • Indah Lukitasari, Dian Wahyunizar, dan Lucia Yuliati (KPPPA) • DP3AP2KB Kab Bogor
Moderator: Sarwono
98
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
• Agus Sulistiana, Ujang Jaelani, dan Rooselira (BPS Kab. Bogor) • Budi Hardiyono (BPS Kota Bogor)
No. (1)
Provinsi dan Pemateri (2)
Jawa Tengah 4.
Pemateri: Dyah Retno P. Lokasi: BPS Provinsi Jawa Tengah
Narasumber/Peserta (3) • Agatha Ferijani dan Rika Saraswati (PSW, Unika Sugijapranata). • Evi Widawati (PSW Univ Negeri Semarang) • Mila K (PSW Univ. Sultan Agung) • Budi Dayanto (DP3AP2KB Prov Jateng) • Siwi Lestari, Anugrah P.P, dan Nadhira A.R (KPPPA) • Yuni Rahayuningtyas (Dinkes Prov. Jateng)
• Ameliasari B. (Dindik Prov Jateng) • Yuli Ratna W. (Disnakertrans prov Jateng) • Kuswara (Bappeda prov. Jateng) • Witi Muntari (LRC-KJHAM Semarang) • Martin Suanta, Endang Widowati, Eny Pramudyastuti, dan Dina Andriana (BPS Prov Jateng • Kartiana Siregar (BPS RI)
Moderator: Samiran
DI Yogyakarta
5.
Pemateri: Ema Tusianti Lokasi: BPS Provinsi DI Yogyakarta
• Tri Winarni Soenarto Putri, Wiwiek Puji Mulyani, Sri Naten, Soeprapti, Sispariyadi, Harsoyo, dan SR Budiyani (PSW Univ. Gajah Mada) • Mukhtar dan Ramos Luther (Din. KPPPA Prov. DIY) • Didiek Santosa (KPPPA) • Arif Nasirudin (BPPM DIY)
• Ana Adina P dan Sugiharto (Dinkes Prov DIY) • Cahyono SW (Din. Dikpora) • Kokom K. (PSW Univ. Negeri Yogyakarta) • Didik Sunardi (Disnakertrans) • Sacroni (Rifka Annisa) • Sentot BW (BPS RI) • Soman Wisnu, Alwan, Mutidjo, Waluyo (BPS Prov. DIY).
Moderator: Mainil Asni
Jawa Timur 6.
Pemateri: Adi Nugroho Lokasi: Universitas Brawijaya
• Melly Noviryani, Wahyu Handayani, Wike, Keppi Sukesi, Endang Setyowati (PSG, Unibraw) • Maria Angela (DP3AP2KB) • Heroe Agoesdijanto (Borenlitbang) • Meifta Eti (Dinkes Kab Malang)
• Fakih Usman, Irma, Setiorini, Yogi CP (KPPPA) • Agus Budi, Ernawati, dan Bagus Habiebie (BPS Kab Malang). • Soekesi Irawati (BPS Kota Malang) • Sunaryo (BPS Kab. Blitar). • Taufan Tirtayasa (BPS RI)
Moderator: Wike (PSG Unibraw)
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
99
100
No. (1)
Provinsi dan Pemateri (2)
Banten Pemateri: Iswadi 7.
Lokasi: BPS Provinsi Banten
Narasumber/Peserta (3) • Enggar Utari, Lia Uzliawati, Andi Apriany Fatmawati Ipah Ema Jumiati (Untirta, Serang) • Lia Susanti (Dinas Kesehatan Prov. Banten) • TB Tresna Karya Sembada (Disnakertrans prov. Banten • Evi Sofia Restu (BPPMD Prov Banten) • Adolfina Nopelis Katemba (Dinas Pendidikan Prov Banten) • Titi Eko Rahayu, Elita Gaffar, Eno Suparno (KPPPA-RI) • Angga Adrian (LSM Patrio)
• • • • • • • •
Mukhamad Mukhanif Budi Prawoto, Darusman, Saeful Hidayat (BPS-RI). Tri Tjahjo Purnomo (BPS Kab. Pandeglang) Bambang Suyatno (BPS Kab. Lebak) Faizin (BPS Kab. Tangerang) Budi Supriyanto (BPS Kota Tangerang) Nandang Efendi (BPS Kota Cilegon) Dadang Ahdiat (BPS Kota Serang) Achmad Widijanto (BPS Kota Tangsel)
Moderator: Jaih Ibrohim •
Sulawesi Tenggara
8.
•
Pemateri: Haerani Natali Agustini
• •
Lokasi: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara
• • •
Sartiah Yusran dan Yoo Eka Yana Kansil (Univ. Haluoleo) Hamrudin (Bappeda Sultra) Hasbi (Dinkes Sultra) Sri Harsani (Dinas Pendidikan Sultra) Hendrawati SSi (Dinas Kertrans Sultra) Andi ratu Bilqis (Badan Kesbangpol) Ketut Wawan (Dinsos)
Moderator: Wa Zalima
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
• Darwin (Dinas PPPA Sultra) • Merlin Guluh (KPI Sultra) Fakih Usman (KPPPA RI) • Waode Sri Marjanawati (BPS Konawe Selatan) • Nurbaety Setram (BPS Kota Kendari) • Toto, Surianti Toar, Hasyuril, St Maswiyah, Martini, Dani Jaelani, Rizkiani, Harningsih, Evi Eriany, Miftahul Khair Anwar, dan Syarif Usman (BPS Prov. Sultra)
No. (1)
Provinsi dan Pemateri (2)
DKI Jakarta Pemateri: Iswadi 9
Lokasi: KPPPA RI Jakarta
Narasumber/Peserta (3) • Titi Eko Rahayu, Indah Lukitasari, FB. Didiek Santosa, Niken Kiswandari, Lies Rosdianty, Dewi Yuni Muliati, dan Anugrah P. R. (KPPPA RI) • Ikeu Tanziha (IPB) • Sentot Bangun W, Hendri Saputra, Wachyu Winarsih, Ema Tusianti, Dyah Retno P, dan Raden Sinang (BPS)
• Destri Handayani (Bappenas) • Perwakilan dari Kemenko PMK • Perwakilan dari Pusdatin Kemedikbud • Perwakilan dari Pusdatin Kemenkes
Moderator: Lenny Nurharyanti Rosalin
E. Mekanisme FGD Diskusi dalam FGD melibatkan semua peserta FGD yang diundang. Pemilihan peserta FGD berdasarkan latar belakang keilmuan dan bidang yang sedang digeluti saat ini, seperti pusat-pusat studi wanita dan instansi terkait. Acara FGD dipandu oleh moderator. Adapun mekanime diskusi sebagai berikut: 1. Pembukaan. 2. Pemaparan materi diskusi oleh pemateri mengenai metode pengukuran IKG. 3. Pemberian tanggapan dan masukan terhadap materi IKG yang dipaparkan. 4. Penjelasan ringkas oleh pemateri materi terkait dengan tanggapan dan saran dari peserta FGD. 5. Penutupan disertai dengan kesimpulan dan tindaklanjut Untuk memperkuat metodologi IKG yang digunakan dan untuk mengklarifikasi tanggapan dan saran oleh peserta IKG, perlu dilakukan indepth study mengenai ketersediaan data-data. Indepth study dilakukan pada dinas-dinas terkait maupun universitas untuk mendapatkan referensi-referensi yang akurat mengenai metodologi IKG.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
101
102
F. Hasil FGD Medan (Sumatera Utara) Metode pengukuran IKG beserta hasil simulasi pengukuran yang disampaikan mendapat sambutan positif dari para peserta FGD IKG di Kota Medan. Berikut adalah beberapa tanggapan, masukan, dan saran hasil FGD IKG di Kota Medan: 1. Proksi MMR “proporsi persalinan yang tidak ditolong tenaga kesehatan (nakes) yaitu dokter, bidan, dan paramedis lain”, jika proksi ini diterapkan untuk Provinsi Sumatera Utara kemungkinan proporsi persalinan yang tidak ditolong nakes akan kecil sekali, karena sudah ada nota kesepakatan berupa SK Bupati dimana dukun tidak boleh membantu proses persalinan. 2. Indikator partisipasi perempuan dalam pemerintahan seharusnya tidak hanya dilihat dari partisipasi perempuan dalam parlemen (legislatif ), tetapi dilihat juga dari partisipasi perempuan dalam jabatan eksekutif dan yudikatif. 3. Usulan, untuk kedepannya perlu mengupayakan indikator “akses remaja terhadap layanan informasi kesehatan reproduksi” sebagai proksi untuk ABR karena indikator ini berdampak luas. 4. Bappeda Provinsi Sumatera Utara menyatakan sudah merencanakan melakukan pengkajian tentang gender, namun pelaksanaannya masih menunggu hasil diskusi dengan BPS. 5. Forum berpendapat bahwa dari 25 simulasi yang ditampilkan, simulasi yang paling mendekati adalah simulasi G. 6. Beberapa usulan indikator untuk dimasukkan: a. Angka partisipasi siswa perempuan SMP/SMA yang putus sekolah b. Angka keterlibatan perempuan dalam pendidikan non formal c. Angka lulusan SMA perempuan yang lanjut ke perguruan tinggi atau lanjut bekerja d. Angka partisipasi orang tua (ibu) yang aktif dalam komite sekolah e. Angka siswa perempuan berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif f. Jumlah sekolah yang berstatus SSN
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
7. Kedepannya, peningkatan kualitas proksi yang digunakan BPS dalam penghitungan IKG dapat ditingkatkan dengan integrasi dan pemanfaatan program – program pemerintah, seperti program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Bandar Lampung (Lampung) Berdasarkan hasil FGD di kota Bandar Lampung yang melibatkan Universitas Lampung dan para Stakeholder, disimpulkan: 1. Secara umum penggantian GEM yang selama ini bias kotamaju-formal menjadi GII merupakan perkembangan yang bagus dengan penggunaan variabel yang lebih down to earth. 2. Angka GII masih terdapat banyak kelemahan, antara lain: o Ukuran baru GII dengan menggunakan MMR dan ABR akan menyulitkan untuk melihat disparitas gendernya, karena tidak memiliki padanan situasi laki-laki untuk variabel MMR dan ABR karena tidak dalam situasi aple to aple dengan AHH laki-laki. Oleh sebab itu penggunaan MMR dan ABR perlu dipertimbangkan kembali. Alternatifnya adalah bisa menggunakan AHH ataupun menggunakan variabel keluhan kesehatan, penyakit kronis dan sebagainya. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan dan keberlangsungan data yang digunakan. o Indikator proksi dinilai sudah mencapai optimal sehingga sudah tidak sensitif, dengan kata lain seharusnya tidak digunakan. o Angka GII juga mengandung komposit yang hasilnya menyembunyikan variabilitas dimensinya baik level Pusat maupun Daerah. 3. Pemilihan proksi untuk ABR dan MMR bisa dijelaskan filosofisnya secara matematis yaitu dengan penghitungan matematis peluang bersyarat. Sehingga variabel yang terpilih tidak melenceng dari filosofi rumusnya. 4. Kondisi sosial budaya di suatu wilayah sangat berpengaruh dalam perlakukan terhadap perempuan, sehingga akan mempengaruhi ketidaksetaraan gender. Oleh sebab itu variabel ini sangat perlu untuk dimasukkan.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
103
104
5. Untuk proksi penggunaan MMR: o Bisa menggunakan data registrasi rumah sakit, namun hal ini dianggap tidak mewakili karena tidak tercakup yang di luar rumah sakit. o Sekitar 20 persen kematian ibu karena komplikasi sehingga melahirkan di faskes tidak cukup banyak berkorelasi dengan MMR. Saat ini, yang memiliki korelasi dengan kematian ibu adalah persalinan yang ditolong oleh dokter, sementara bidan tidak dilatih untuk tugas-tugas dokter sehingga ketika terjadi masalah komplikasi di luar masalah kandungan yang membahayakan kehamilan dan kelahiran, risiko kematian menjadi tinggi. Oleh sebab itu, variable faskes bisa dicoba dengan menggunakan proksi persalinan di puskesmas, praktek dokter dan rumah sakit (yang ditolong dokter). 6. Proporsi perempuan sebagai anggota parlemen belum menggambarkan partisipasi perempuan di bidang politik. Sebaiknya menggunakan data perempuan yang menjadi anggota atau pengurus partai politik dari Kemendagri. Bogor (Jawa Barat) Setelah dilakukan paparan mengenai metodologi yang digunakan untuk pengukuran IKG serta hasil simulasi pengukurannya, terdapat beberapa tanggapan, masukan dan saran terkait metodologi IK antara lain sebagai berikut: 1. Untuk proksi MMR ANC bisa dijadikan alternatif supaya bisa diperbandingkan antar wilayah. Namun jika indikator jika informasinya sulit diperoleh, setuju jika diproksi dengan angka persalinan yang dibantu tenaga kesehatan. 2. Pemilihan variabel Nakes dan Faskes bisa dikompositkan atau hanya salah satu saja. Untuk pemilihannya bisa mempertimbangkan hasil akhir. Misalnya ketika yang digunakan hanya faskes saja, peringkat Jambi menjadi sangat buruk. Sedangkan ketika digunakan nakes saja maka Jawa Barat memiliki peringkat lebih buruk. 3. Proksi ABR, harus didefinisikan batasan usia remaja, karena definisinya hingga saat ini masih berbeda. 4. Pemilihan proksi ABR apakah persentase yang hamil di usia muda atau melahirkan di usia muda tergantung pada tujuannya. Jika ingin melihat multiplier effect terhadap masa depan perempuan KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
dan keluarganya, indikator yang lebih menggambarkan adalah persentase yang melahirkan di usia muda. Namun jika ingin melihat dampak pada risiko kematian adalah kehamilan usia muda. 5. Variabel yang memuat isu spesifik di suatu wilayah sebaiknya tidak digunakan karena akan membuat hasil hitung tidak terbanding. Dengan demikian, gunakan variable yang universal. Local specific issues lebih baik digunakan untuk kepentingan latar belakang saja. 6. Indikator pendidikan sebaiknya menggunakan SMA daripada SMP, karena ketimpangan mulai terlihat pada level SMA. 7. Indikator ekonomi sebaiknya tidak hanya dengan TPAK, tapi mengukur power perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun demikian ketersediaan datanya tidak ada. Alternatif lain menggunakan batasan formal atau informal. 8. Indikator power dalam keluarga bisa menggunakan status gizi. Indiktor ini menggambarkan kekuasaan si ibu dalam pemilihan makanan bergizi sekaligus menggambarkan faktor lainnya seperti kemiskinan. 9. Hasil pengukuran yang lebih mendekati angka UNDP adalah skenario G. Selain itu, skenario ini menggunakan salah satu indikator proksi saja. Dari pertumbuhannya pun relatif identic dengan hasil hitung UNDP. Tapi untuk pemilihan perlu pertimbangan lain, misalnya peringkat Jambi menjadi sangat buruk. Namun demikian, pendapat dari mantan pegawai BPS Jambi, pengalaman SDKI di Jambi menunjukkan faktor sosial budaya sangat kental dalam hal pemilihan fasilitas kesehatan. Selain dipengaruhi oleh ijin/keputusan suami, penduduk lebih “nyaman” untuk bersalin di rumah. 10. Persalinan bukan di fasilitas kesehatan menunjukkan dua hal, selain menggambarkan akses (faktor eksternal) juga menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat. 11. Indikator partisipasi perempuan dalam parlemen seharusnya memasukkan jabatan eksekutif atau jabatan pada level terkecil seperti lurah atau kepala desa. Data anggota parlemen cenderung hampir tidak berubah setiap 5 tahun sekali, kecuali adanya PAW, itu pun kejadiannya tidak terlalu signifikan. Sehingga perlu indikator yang lebih dinamis. Atau juga bisa kombinasi antar keduanya.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
105
106
Semarang (Jawa Tengah) Setelah dilakukan pemaparan materi mengenai metodologi pengukuran IKG, beberapa tanggapan, saran mapun pertanyaan banyak diberikan oleh para narasumber dan peserta FGD. Tanggapan mapun saran antara lain sebagai berikut: 1. Ketersediaan data mengenai gender sangat diperlukan bagi perencanaan baik pada level makro maupun mikro, sehingga pengukuran IKG yang valid dan sahih menjadi sangat mendesak. 2. Konsep-konsep yang digunakan BPS pada variabel-variabel yang digunakan sebagai pembentuk IKG sebaiknya perlu diklarifikasi dan diperjelas. Misalnya Konsep wanita yang pernah kawin tidak harus mempertimbangkan keabsahan dari status perkawinannya. Namun dari konsep data susenas sendiri sudah memasukkan hal tersebut, sehingga dari pengukuran tidak menjadi masalah. Contoh lain misalnya data kematian Ibu, mengacu pada kematian saat melahirkan sampai proses nifas yaitu sampai 42 hari karena kematian ibu, karena kematian pada proses nifas sekitar 60 persen dari seluruh kematian ibu. 3. Hal-hal yang berkaitan dengan variabel-variabel terkait MMR (kematian ibu) bisa disimpulkan sebagai berikut: a.
Bisa menggunakan data kematian perempuan pada usia reproduksi.
b. MMR dan proporsi ANC ada di profil kesehatan ibu masingmasing provinsi ada sampai level Kabupaten, namun demikian perlu dipertanyakan konsistensi dari laporan tersebut, serta sistem pelaporannya apakah lengkap atau hanya berdasarkan keaktifan dari petugas Dinkes untuk melaporkan data tersebut. c.
Beberapa data seperti proporsi kematian maternal terhadap kematian perempuan usia reproduksi, kehamilan/kelahiran berisiko datanya tidak dipublikasikan oleh Kemenkes/ Dinkes dan harus diolah dari data-data laporan.
d. Variabel ANC sangat signifikan terhadap kematian ibu sehingga sangat baik digunakan sebagai proksi. Sumber dari berbagai literature maupun penelitian. e. Data angka kegagalan kontrasepsi ada di website BKKBN sampai level kabupaten/kota dengan lag pelaporan hanya 1
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
tahun. Data ini berdasarkan laporan petugas KB di tiap-tiap RT/RW. f.
Penggunaan faskes atau nakes dalam indikator kesehatan harus memerhatikan konsep masing-masing. Untuk faskes pendekatan adalah kualitas (minimal adalah puskesmas karena sudah mempunyai fasilitas untuk melahirkan. Sementara nakes pendekatannya adalah ijin (dokter atau bidan yang berijin). Dalam Renstra, IKI, dan IKU Kemenkes yang disebutkan adalah Faskes bukan Nakes sehingga lebih terstandar untuk dipakai sebagai proksi. Di sisi lain untuk keterbandingan nasional lebih baik menggunakan variabel Nakes, karena untuk Indonesia Timur, jika pendekatan faskes akan sulit.
4. Variabel-variabel terkait indikator proksi ABR (fertilitas remaja) a. Dibandingkan proksi variabel lain, lebih baik menggunakan data akses terhadap layanan informasi kespro, karena dampak dari akses kespro yang baik akan berpengaruh positif terhadap beberapa indikator proksi ABR lainnya. Namun demikian datanya masih perlu klarifikasi ketersediaan maupun konsepnya. Siapa yang bertugas memberikan pelayanan kespro belum ada kriteria yang jelas. b. Pendekatan yang digunakan BPS saat ini sudah baik. 5. Indikator pemberdayaan pendidikan disarankan menggunakan SMA bukan SMP 6. Untuk Indikator pemberdayaan terkait dengan ketenagakerjaan berikut beberapa tanggapan: a. Data proporsi pendapatan perempuan dalam penghitungan IDG apakah sudah benar, karena di beberapa kasus seperti di Purbalingga, perempuan lebih banyak yang bekerja dibandingkan laki-laki. b. TPAK laki-laki dan perempuan apakah sudah mempertimbangkan tenaga kerja formal dan informal. Karena jika lebih banyak tenaga informalnya, kondisinya tidak lebih baik secara perbandingan data. Untuk data ketenagakerjaan terdapat informasi mengenai tenaga kerja yang ditempatkan dan tenaga kerja yang terdaftar.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
107
108
c. Memasukkan variabel perempuan sebagai pejabat eksekutif selain variabel perempuan dalam parlemen. 7. Dalam penggunaan variabel local issue harus bisa dikuantitatifkan dan bisa diperbandingkan antarwilayah di Indonesia. Namun demikian, sepertinya hal ini sulit untuk dilakukan. 8. Banyaknya kasus-kasus kekinian terhadap perempuan yang perlu diakomodir dalam penghitungan IKG misalnya kekerasan terhadap perempuan. Hal ini karena kasus-kasus tersebut sangat berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender. Namun demikian data-datanya apakah bisa terbanding nasional, karena tergantung dari keterbukaan dan keberanian perempuan dalam melaporkan kasusnya. Disamping itu perlukan keaktifan masyarakat maupun dinas terkait untuk melaporkan dan menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Yogyakarta (DI Yogyakarta) Rangkuman hasil FGD di Yogyakarta sebagai berikut: 1. Secara metode pengukuran, pemilihan indikator proksi memakai 1 atau 2 variabel, tidak terlalu bermasalah. Hal yang perlu ditekankan adalah apakah indikator tersebut sudah menggambarkan fenomena dan apa penjelasan fenomena apa di balik indeks yang dihasilkan. 2. Penggunaan indikator-indikator sebaiknya disesuaikan dengan kondisi Indonesia dan tidak perlu selalu harus sama dengan indikator-indikator UNDP. 3. Peran laki-laki dan perempuan dalam ruang domestik dimasukkan dalam indeks belum ada, padahal perannya cukup nyata. Namun demikian sulit untuk mengukur secara kuantitas. 4. Proksi pengganti indikator MMR cukup banyak dan penyebab kematian ibu saat melahirkan juga banyak. Apakah penggunaan indikator persentase persalinan yang ditolong oleh nakes atau faskes sensitif digunakan sebagai proksi MMR. Sebagai contoh berdasarkan catatan Dinkes MMR tertinggi ada di Bantul, tapi persalinan sudah 100 persen ditolong tenaga kesehatan dan 99% dilakukan di fasilitas kesehatan. 5. Hasil diskusi mengenai disimpulkan bahwa:
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
indikator
pemberdayaan
dapat
o Penggunaan variabel ijazah SLTP ke atas kurang relevan karena untuk masuk ke pasar tenaga kerja sudah tidak digunakan, terutama untuk pekerjaan formal. Alternatif penggantinya adalah menggunakan ukuran penduduk yang menamatkan SMA ke atas atau rata-rata lama sekolah. o Penggunaan indikator keterwakilan perempuan dalam parlemen untuk negara maju sesuai, jika diterapkan di Indonesia belum sesuai. Lebih baik menggunakan kepala daerah sebagai pengambil kebijakan strategis. 6. Hati-hati dalam penggunaan indikator TPAK, karena tingkat setengah pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi 7. Hasil simulasi sudah cukup sesuai jika memerhatikan ranking antarwilayah. Malang (Jawa Timur) Hasil diskusi dengan para pakar dan stakeholder dalam FGD adalah sebagai berikut: 1. Kajian-kajian mengenai gender, perlu kerja sama yang intensif dengan univeritas karena isu gender sangat penting. 2. Pengukuran IKG masih belum memasukkan kepemilikan dan kontrol terhadap aset. Padahal indikator ini penting dalam melihat peran perempuan dalam mengambil keputusan dalam hal ekonomi. Demikian pula peran atau partisipasi dalam komunitas belum dimasukkan. Namun demikian variabel tersebut datanya tidak ada dan sulit mengukurnya. 3. Masukan terkait proksi Indikator MMR dan ABR: o Indikator MMR dan ABR sudah merepresentasikan kondisi perempuan.
cukup
bagus
o Indikator ABR tidak sesuai dengan indikator kinerja utama di dinas. Hal ini akan berdampak pada program dan kebijakan yang dilakukan di dinas kesehatan menjadi tidak sejalan dengan indikator yang digunakan dalam IKG. Sementara konsep IKG mengakomodasi rumus dari UNDP. o Konsep tenaga kesehatan dipersempit hanya dokter dan bidan saja.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
109
110
4. Penggunaan variable pendapatan sangat bias gender, karena konsep ini tidak memperhitungkan pendapatan perempuan yang berstatus ibu rumah tangga. Padahal, pembantu rumah tangga yang melakukan pekerjaan yang serupa dihitung sebagai pekerja. Variabel income tidak masuk dalam penghitungan. Perempuan yang berstatus ibu rumah tangga secara ekonomi mungkin dapat diperhitungkan dengan pendekatan pekerja keluarga. Pekerja dalam hal ini yang memberikan nilai ekonomi dalam rumah tangga, sementara output mengurus rumah tangga tidak bisa diukur. 5. Masukan terkait ketersediaan data: o Hingga saat ini, BPS hanya mampu menyediakan data hingga level kabupaten/kota terkait dengan gender. Untuk level penyajian yang lebih lebih kecil dari kabupaten/kota belum tersedia. Data hasil survei/Sensus lapangan yang berkaitan dengan Gender pada level yang lebih kecil dapat dilakukan dengan Small Area Statistik. Namun, perlu studi mendalam terutama dengan Pemerintah Daerah dan Universitas. o Indikator-indikator kesehatan sebenarnya tersedia di Kab/ Kota di Provinsi Jawa Timur khususnya di dinas terkait akan tetapi belum masuk dalam penghitungan dikarenakan belum jelasnya metodologi pengumpulan data dan keterbandingan dengan wilayah lainnya. o Beberapa indikator yang terkait dengan kependudukan dan kesehatan yang dibutuhkan hingga level kecamatan sudah tersedia dalam website: bkkbn.co.id 6. Asumsi target yang digunakan dalam simulasi penghitungan proksi ABR dan MMR, yang mungkin dapat dipertimbangkan yaitu: o Target SDGs o Target kementerian/lembaga terkait o Target dalam RPJMN 7. Hasil simulasi yang menunjukkan konsistensi yaitu BDEGJLO. Namun, yang paling sesuai dengan kondisi Jawa Timur yaitu simulasi G.
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Serang (Banten) Hasil FGD di Kota Serang yang melibatkan pakar gender dari Untirta dan stakeholder adalah sebagai berikut: 1. Kelemahan dari GII: Aspek kesehatan hanya difokuskan pada perempuan sehingga tidak ada keterbandingan dengan laki-laki. Berdasarkan filosofis rumus dari UNDP, ketidaksetaraan hanya dikarenakan kehilangan kesempatan karena adanya fungsi reproduksi yang tercermin dari MMR dan ABR. 2. Indikator Proksi MMR: o Mengusulkan tenaga kesehatan sebagai proksi MMR. Karena berdasarkan penelitian di Lampung menyimpulkan bahwa yang paling signifikan mempengaruhi MMR adalah keberadaan bidan desa, karena di desa itu memiliki bidan desa, maka angka kematian Ibu lebih rendah. Tapi untuk puskesmas, Pustu mempengaruhi tapi tidak signifikan. Artinya bahwa faskes dan nakes bisa menjadi variabel proksi tetapi tidak berlaku untuk semua wilayah. Oleh sebab itu perlu variabel selain nakes dan faskes. o Di Banten pelayanan kelahiran oleh faskes dan nakes tergantung oleh faktor sosial budaya, dimana keputuasan suami sangat kuat. Demikian pula di Lampung, angka faskes tinggi tapi MMR tinggi, karena kesadaran ibu rendah dalam memeriksakan kehamilan dan kesehatannya. Sehingga faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada angka MMR. Oleh sebab itu perlu variabel selain nakes dan faskes. o Kebijakan dari kemenkes persalinan itu harus dilakukan di faskes, jadi otomatis apabila dilakukan di faskes pasti ditolong oleh nakes. Lebih baik diambil faskes saja. o Terkait data MMR datanya hanya jumlah ibu yang meninggal pada saat melahirkan dan sampai dengan 40 hari setelah melahirkan, tetapi tidak dilihat komposisi umurnya. 3. Indikator proksi ABR data unmeet need di Susenas untuk remaja masih rare cases, tetapi untuk Banten dan Lampung masih bisa digunakan. Dari dinas kesehatan datanya adalah jumlah wanita usia subur yang memutuskan tidak akan memakai alat kontrasepsi.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
111
112
4. Variabel sosial budaya dapat digunakan untuk analisis, khususnya jika analisis sampai level Kabupaten/Kota. Kendari (Sulawesi Tenggara) Hasil diskusi dengan para pakar dan stakeholder dalam FGD di Kendari adalah sebagai berikut: 1. Konsep pemberdayaan dari pendidikan saja, karena kalau indikator lain terbatas. Namun konsep GII dilihat dari 3 dimensi. Pengitunagn ini juga masih dalam tahap ujicoba oleh UNDP, dan memungkinkan untuk berubah. Kelebihan dari GII adalah sudah mengeluarkan masalah pendapatan yang menunjukkan ketimpangan yang besar antara laki-laki dan perempuan. 2. Dalam dimensi kesehatan arahnya adalah derajat kesehatan masyarakat sehingga perlu menambahkan indikator gizi dari bayi, remaja, sampai ibu. Saran lain adalah pendekatan life circle appproach/pendekatan siklus hidup. 3. Ketersediaan data proksi MMR dan ABR: o Data proporsi ANC tiap tahun di Profil Dinas Kesehatan. Namun data yang terdeteksi hanya di faskes dan yang di nakes tidak terdeteksi. o Kematian maternal terhadap kematian perempuan usia reproduksi datanya belum terpilah. Data data kematian ibu dan bayi serta sebab-sebabnya. o Indikator akses remaja terhadap layanan informasi kespro bisa menggunakan PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) yang merupakan program dari Kemenkes. Program ini diberlakukan sejak 2012 o Data kehamilan remaja tidak tersedia. o Berdasarkan penelitian di kendari banyak kasus aborsi pada remaja tetapi tidak terlapor. Sehingga perlu pelayanan karena konsep PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) tidak dimengerti oleh para remaja. 4. Dimensi pemberdayaan: o Batasan pendidikan sebaiknya menggunakan level SMA untuk menyesuaikan permintaan pasar kerja saat ini. o Angka drop out dapat digunakan sebagai alternatif karena KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
hal ini berkaitan dengan pasar tenaga kerja. Di Sultra banyak kasus drop out o Jika akan melihat indikator pemberdayaan maka seharusnya melihat pada tiga level yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Datanya juga bisa dilansir tiap tahun. 5. Faktor sosial budaya bisa menjadi justifikasi dari hasil pengukuran pada proses analisisnya. 6. Indikator perilaku kekerasan dalam masyarakat perlu dipertimbangkan. Namun data ini sebagian besar adalah data mikro, konsistensi ketersediaan data sangat tegantung dari laporan saja. Jakarta (DKI Jakarta) Berikut adalah beberapa tanggapan, masukan, dan saran hasil FGD IKG di Jakarta: 1. IKG yang disusun di Indonesia tidak harus sama persis dengan GII UNDP baik dalam hal indikator yang digunakan maupun metode pengukurannya. 2. Indikator TPAK sebaiknya menggunakan indikator lain yang lebih sensitif karena selama bertahun-tahun TPAK laki-laki dan perempuan berada dalam angka yang relatif sama. Alternatif indikator lain diantaranya tenaga kerja professional, manajerial dan administrasi, atau labor under utilization. Indikator terakhir tersebut dapat digunakan di tahun 2017. 3. Data persalinan di fasilitas kesehatan tersedia datanya hingga tingkat kabupaten/kota tetapi data tahun 2016 belum rilis saat ini. 4. Indikator proksi dari pemberdayaan harus mempertimbangkan APKM (Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat). 5. Indikator perempuan dalam parlemen sangat lemah untuk digunakan sebagai ukuran pemberdayaan, sebaiknya ditambahkan dengan persentase kepala desa dan pejabat struktural yang dikompositkan dengan bobot tertentu. 6. Indikator kekerasan belum dimasukkan dalam pengukuran, namun sulit untuk mendapatkannya. 7. Dalam RPJMN IPG dan IDG tetap akan digunakan paling tidak sampai 2019. HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
113
114
8. IKG yang dihasilkan dalam Publikasi Kajian Awal IKG hanya angka uji coba, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai angka rujukan dalam kebijakan. G. Kesimpulan Dari berbagai diskusi dengan para pakar dan stakeholder di beberapa tempat, maka dapat disimpulkan beberapa hal mengenai metode pengukuran IKG: 1. Pengukuran Indeks Kesetaraan Gender sangat diperlukan bagi perencanaan program-program pemerintah. Meskipun masih mengandung beberapa kelemahan, rumus maupun konsep yang digunakan masih dapat terjelaskan sehingga dapat diterima oleh semua pihak. 2. Kesimpulan mengenai proksi indikator kesehatan yang diukur dari MMR dan ABR dapat dijelaskan sebagai berikut: o Variabel proksi MMR bisa menggunakan salah satu saja, karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jika menggunakan tenaga kesehatan bisa terbanding untuk seluruh wilayah di Indonesia, namun di dalam Indikator Kinerja pada Kemenkes tidak digunakan. Sementara itu fasilitas kesehatan masuk dalam Indikator Kinerja Kemenkes sehingga dari indikator ini sudah terstandar. Namun pemilihan indikator faskes memiliki kelemahan perbandingan antarwilayah karena wilayah yang memiliki kesulitan geografis kemungkinan tidak dapat menggunakan faskes secara optimal. Di sisi lain, penggunaan indikator fasilitas kesehatan secara langsung mencakup indikator tenaga kesehatan karena persalinan di fasilitas kesehatan sudah pasti ditolong oleh tenaga kesehatan. Di sisi lain, pemilihan fasilitas kesehatan secara implisit menunjukkan power pengambilan keputusan yang berada di tangan suami. Dari hasil diskusi diakui bahwa berbagai penelitian menunjukkan pemilihan tempat melahirkan dipengaruhi oleh keputusan suami. Pemilihan indikator faskes juga dilandasi oleh pemikiran bahwa indikator ini menggambarkan hal yang kompleks, selain menunjukkan akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan, juga menggambarkan akses terhadap infrastruktur dasar seperti jalan. Faktor sosial budaya juga
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
turut berperan dalam pemilihan fasilitas kesehatan. Sehingga jelaslah bahwa penggunaan indikator faskes saja sudah cukup untuk menggambarkan kondisi ketimpangan gender dalam kesehatan. o Penggunaan variabel proksi ABR lebih baik menggunakan satu saja yaitu proporsi wanita pernah kawin usia 15-49 tahun yang berumur kurang dari 20 tahun pada saat kelahiran hidup pertama, karena variabel ini sudah mencakup fase kehamilan. o Target untuk MMA dan AFR tidak ada pada dokumen perencanaan Kemenkes atau Dinas Kesehatan, oleh sebab itu asumsi 1 persen dapat diterima. 3. Kesimpulan terkait dengan indikator pemberdayaan adalah sebagai berikut: o Variabel pendidikan lebih baik menggunakan batasan SMA karena bersesuaian dengan kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini. Sehingga lebih tepat digunakan sebagai indikator pemberdayaan. o Untuk variabel persentase perempuan dalam parlemen sebaiknya menambahkan variabel eksekutif dan yudikatif. Misalnya persentase perempuan yang menduduki jabatan struktural PNS, persentase perempuan yang menjadi kepala daerah, dan persentase perempuan yang menduduki jabatan level manajer ke atas. Pertimbangannya adalah di Indonesia peran perempuan dalam parlemen masih kecil sementara di dalam eksekutif sudah cukup signifikan. Penambahan variabel mengakibatkan perbedaan konsep pengukuran dengan UNDP. Oleh sebab itu penambahan variabel tersebut perlu dikaji ketersediaan datanya sehingga perlu diujicobakan dan didiskusikan kembali. o Indikator ketenagakerjaan pada dasarnya sudah tepat. Adapun penggunaan istilah formal dan informal tidak diterapkan karena pengguaan TPAK yang bersifat umum saja sudah menggambarkan gap yang cukup jelas antara peluang laki-laki dan perempuan dalam memasuki pasar tenaga kerja. 4. Beberapa variabel seharusnya ditambahkan pada pengukuran ini yaitu: o Variabel local issue sangat berpengaruh terhadap output semua indikator. Namun indikator ini sulit untuk mengukurnya. Lebih baik dimasukkan dalam analisis IKG per wilayah saja sebagai justifikasi.
HASIL INDEPTH STUDY DAN FOCUS GROUP DISCUSSION IKG
115
116
o Variabel kepemilikan asset seharusnya dimasukkan, namun pengukurannya sulit dan tidak ada datanya. 5. Ketersediaan data beberapa variabel proksi MMR dan ABR seperti ANC, MMR, dan data kependudukan tersedia di dinasdinas sampai level Kabupaten/Kota. Namun demikian cakupan dan keterbandingan data antarwilayah masih belum jelas. Selain itu, catatan dari dinas tersebut utamanya berasal dari registrasi unit kerja di bawahnya seperti puskesmas, petugas KB, dll. Sementara data BPS menggunakan pendekatan rumah tangga yang memiliki cakupan lebih luas. 6. Dari berbagai hasil simulasi pengukuran IKG semuanya dapat diterima, namun mengerucut pada skenario G. Pada skenario ini masing-masing indikator diwakili satu variabel saja.
KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016