Indah Pada Waktunya Anditya
M
atahari mulai menunjukkan semburat merah saat aku mendengar suara motor tua Bapak yang berisik dari depan rumah. Bapak pulang lebih awal hari ini. Aku melihatnya memasuki ruang depan, melewati kamarku. Kaus biru tanpa lengannya terlihat kusam, dipenuhi debu-debu kaolin yang berwarna putih. Ia berjalan tanpa melihat kearahku namun aku bisa melihat wajah dan tubuh tua itu. Wajah yang dulu selalu terlihat garang kini mulai melebur hilang bersama garisgaris usia. Tubuhnya yang dulu tegap dan kekar kini mulai sedikit bungkuk. Terbebani oleh kerasnya hidup penambang yang semakin hari sema-
kin tak menentu nasibnya. Tak berselang lama aku mendengar suara motor lain di depan rumah. Derunya lebih halus, aku mengenali suaranya. Segeralah aku berlari ke pintu depan dan melihat seorang wanita yang sudah tak muda lagi usianya mengangkat sebuah keranjang rotan dari bangku belakang motor itu. Sepertinya hari ini jualannya tidak begitu laku lagi. Aku bisa melihat dari alisnya yang saling bertautan bahwa hari ini sepertinya lebih buruk dari kemarin. Merasa saling mengetahui hal itu, kami berdua bersama-sama bekerja dalam keheningan. “Bang Alif kemana?”
Aku berjalan menuju dapur, membawa sisa-sisa jualan hari ini untuk kami habiskan nanti. “Nggak tau, Umak1. Tadi te katanye pergi ke rumah Bang Ipan nak2 ikut mukat.” “Bapak mana? Sudah pulang?” Umak menghempaskan dirinya ke sofa tua yang ada di ruang tamu. Tubuh Umak yang gendut seolah tidak mencerminkan kehidupan kami yang serba pas-pasan. Walau begitu aku tahu pasti, wajahnya yang keras menunjukkan bahwa hidupnya tidak mudah. Rambut-rambut keritingnya yang tebal kini mulai dihiasi oleh rambutrambut berwarna perak. Sebuah kenyataan mutlak bahwa dirinya mulai digerogoti usia. “Lah3, Umak. Bapak sedang mandi sekarang.” Ia bangkit dari duduknya. “Ya sudah. Umak nak bikin kopi. Aliya belajar lagi sana.” Aku mengangguk dan berjalan menuju kamarku yang berada di depan ruang TV. Tak usah membayangkan bahwa memiliki kamar sendiri berarti aku bertingkah layaknya seorang putri. Kamarku kecil dan hampir 2/3 nya tertutup oleh dipan tua yang selalu dipenuhi baju-baju bersih yang belum digosok. Sisa-sisa celah digunakan untuk lemari bersama, atau lebih mudahnya, lemari keluarga. Walaupun mereka menyebutnya kamarku, namun tempat ini tidak lebih privat dibanding kamar mandi rumah. Pintu kamarku, begitu juga pintu-pintu kamar lainnya hanya berupa gorden usang berwarna merah yang tak pernah diganti sejak sepuluh tahun yang lalu. Kata Umak, “Ini kenangan Umak sama mereka. Umak ndak sampai hati mau ganti gorden ini.” Dipan tua itu berdecit saat aku merebahkan diri ke atasnya. Menatap langit-langit rumah yang tak bereternit dan kini kuda-kudanya mulai dipenuhi jaring-jaring laba-laba. Aku kembali teringat akan perkataanku sendiri. Mereka? Apa kabar mereka saat ini? Mereka yang datang dan pergi selama beberapa tahun. Mereka yang selalu meninggalkan bekas di hati kami tanpa pernah kembali. Kakak UGM. Itu adalah sebutan yang paling sering terdengar dari mulut siapapun di desa Burong Mandi ini sepuluh tahun yang lalu. Siapapun mengenal mereka, baik itu
warga dusun terluar yang berbatasan dengan desa Mengkubang sampai warga dan pemuda di sekitar pantai. Mereka memang bukan artis terkenal melainkan sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada dari Yogyakarta, jauh di Pulau Jawa sana. Setiap tahunnya mereka mengirim satu tim KKN –Kuliah Kerja Nyata– untuk hidup bersama kami selama dua bulan. Kami selalu menunggu-nunggu kedatangan mereka, keluarga baru yang entah bagaimana selalu membuat kami menyayangi mereka seperti keluarga kami sendiri. Mungkin mereka memang diajarkan untuk menjadi seperti itu? Entah, aku tak pernah tahu. Selama lima tahun mereka datang silih berganti, membawa wajah-wajah berbeda yang tak pernah membosankan bagi kami. Setelah lima tahun itu, tak ada lagi satu pun dari mereka yang menginjakkan kaki mereka di tanah kami ini. Aku ingat mereka mengatakan bahwa universitas mereka yang memberi batasan waktu lima tahun untuk setiap program mereka. Satu hal yang paling tidak aku duga adalah… Umak. Ia menjadi seseorang yang paling terpukul oleh hal ini, terutama angkatan ke-empat yang datang ke desa ini. Satu angkatan sebelum angkatan terakhir. Memang, aku pula menyadari bahwa Umak dan kami memang paling dekat dengan angkatan mereka. Angkatan Krisna –nama ketua angkatan mereka– begitu Umak menyebutnya. Angkatan Bang Krisna tak berbeda dengan angkatanangkatan lainnya; ramah, baik budi pekerti dan menyenangkan. Hanya saja, untuk pertama kali, beberapa dari mereka tinggal di rumah kami untuk waktu yang cukup lama. Biasanya mereka tinggal di rumah Nek Zuban, seorang neneknenek yang tinggal sendirian di rumah besar miliknya di ujung dusun Burong Mandi. Mungkin karena itulah, Umak merasakan ikatan emosional yang begitu kuat dengan mereka dan merasa sangat terpukul oleh kenyataan bahwa mereka hanya berada di sini untuk waktu yang amat sangat singkat. “Aliya, Abang pulang ini bawa ikan.” Aku terhenyak dari lamunanku mendengar suara Bang Alif, kakak laki-laki yang lebih tua
lima tahun dariku. Dengan cepat aku beranjak dari dipan dan berlari menuju pintu belakang. Ah, hari sudah gelap rupanya. Namun karena bulan purnama yang bersinar terang malam ini, aku bisa melihat wajah Bang Alif yang dihiasi senyuman karena keberhasilan tangkapannya. Tangannya yang besar dengan sigap melepaskan ikan-ikan krisi, jenis ikan lokal Belitung yang mempunyai sisik berwarna merah. Tak kalah cekatan, aku memasukkan ikan-ikan itu ke dalam baskom dan menatanya dengan rapi. Tak lama kemudian aku mendengar pintu kamar mandi terbuka dan Umak berjalan keluar dengan rambut yang masih basah. “Dapat banyak kau, Lif?” Umak mengambil satu gayung air dari tandon besar yang ada di sebelahnya. Sekejap kemudian ia mulai membersihkan sisik-sisik ikan itu dengan gerakan yang gemulai tapi tegas. Abang tersenyum. Wajahnya hitam legam seperti arang karena sering menambang dan melaut. Persis seperti Bapak. “Lumayan, Mak. Bisa buat makan malam ini sama besok.” “Ya sudah, Abang mandi sana. Bau!” Aku meninjunya pelan. Dengan gerakan melucu dia menggerakan kepalanya menuju ketiaknya dan berpura-pura mencium bau tak sedap. Walau begitu, aku yakin bau itu dapat membunuh siapa saja yang menciumnya. Menyadari hal itu, Bang Alif beranjak dan dengan cepat masuk ke kamar mandi. “Duh, Bapak sudah lapar ini.” Aku melihat dari sudut mataku, Bapak tengah menyeruput satu gelas besar kopi hitam favoritnya. Kini setelah aku perhatikan benar, wajahnya tampak amat tua. Sangat tua. Aku mulai membayangkan… jika saja Bapak kerja di PT. Sawit, pasti hidup kami tak akan selalu di ujung tanduk seperti ini. Sayangnya, Bapak divonis menderita lemah jantung saat cek kesehatan sehingga harapan kami agar Bapak bekerja di tempat yang stabil pun pupus. Tiga puluh menit berlalu dan kami kini duduk melingkar di tikar, menikmati hidangan ala kadarnya yang Umak masak. Di tengah kesibukan kami menikmati ikan goring spesial Umak, Bapak berdeham. Bukan batuk atau tersedak, karena sejurus kemudian ia sudah menatap tajam kearahku. “Jadi Aliya bulan depan sudah lulus
SMA…” Bapak menyeruput kopinya, “terus Aliya mau apa? “Jadi guru PAUD nak ke? Bu Wani baru saja berhenti. Katanya nak ngurus anak.” Umak ikut menimpali. Aku tersedak. Kenapa tiba-tiba? Bang Alif mengulurkan segelas air putih yang aku tenggak sekali teguk berusaha mengendalikan kegugupan ku. Memang, solusi paling masuk akal bagi keluarga kami saat ini adalah aku, yang cuma lulusan SMA, bekerja menjadi seorang guru PAUD. Selain tempat bekerjanya dekat, hanya lima menit berjalan dari rumah kami, aku juga akan mendapat penghasilan. Tapi… aku sudah melakukan hal gila seminggu yang lalu. Sebuah hal gila yang aku putuskan tanpa seorang pun – di rumah ini– mengetahuinya. “Aliya mau kuliah, Pak, Bu.” Keheningan yang amat tak biasa timbul seketika. Bahkan aku bisa mendengar detak jarum jam yang ada di ruangan sebelah. Tangan Bang Alif yang memegang sendok dengan gumpalan nasi menggunung terhenti tepat di depan mulutnya. Umak membeku, menatapku seolah aku baru saja mengeluarkan batu satam4 dari lubang hidungku. Bapak meletakkan cangkir
besinya yang tak sengaja beradu dengan piring kaca, mengeluarkan dentingan yang memecah sunyi. “Kuliah? Ndak, ndak kuang5. Pakai uang siapa kau nak kuliah? Makan saja susah.” Tak kusangka, reaksi Umak akan semenentang ini. Tangannya tersilang di depan dada dan menatapku tak percaya. “Tapi, Mak-” “Aliya mau kuliah dimana? Kalau di Bangka mungkin Bapak bisa usahakan.” Suara Bapak yang berat dan menenangkan memotong pembelotanku. Aku menautkan jari-jariku. “Ke tempat Kak Anggi, Pak.” Nafasku terdengar memberat. Aku tahu reaksi Umak pasti meledak-ledak. Kak Anggi adalah salah satu anggota dari angkatan Bang Krisna. Dia adalah anak kesayangan Umak yang selalu Umak ajak kemanakemana. Kak Anggi lucu dan mudah bergaul, paling cepat beradaptasi daripada teman-teman yang lain. Walaupun perempuan, ia sudah menaklukan berbagai jenis motor milik warga desa ini. Karena itu pula lah, ia menjadi salah satu pentolan terkenal selain Bang Krisna. Aku terhenyak ketika Umak menyentakku. “UGM, Aliya?!” Umak menghempaskan tangannya ke lutut kakinya yang tersila. “Kamu tahu kakak-kakak UGM kamu itu orang kaya semua. Aliya? Anak penambang dan penjaja makanan. Kamu mau bayar kuliah pakai daun?!” Aku merasakan pandangan mataku mulai kabur karena air mata yang menggenang. “Lagipula kamu ndak punya saudara di Jawa. Nak tinggal dimana kamu? Kos? Bayar lagi. Pakai uang siapa?” Umak merajamku lagi dengan kata-katanya. Bapak menepuk-nepuk pundak Umak, berusaha menenangkan emosinya yang meluap. Aku tahu pasti bahwa sebenarnya sebagian besar kemarahannya berasal dari kata UGM yang kini menjadi sebuah topik tabu dalam keluarga kami. Baginya, mereka hanya sekumpulan anak muda yang langsung melupakan desa ini setelah kembali ke Jawa. “Harus UGM, Aliya? Ndak mau yang lain?” Aku menggeleng. Mungkin memang ini terdengar egois, tapi ini satu-satunya hal yang
amat kuinginkan dalam hidupku. Sudah sepuluh tahun aku berusaha menggapai cita-citaku untuk mengejar mereka, kakak-kakak UGM itu. Hanya itu saja keinginanku. Pemuda-pemuda yang walaupun kami tahu mereka mempunyai kehidupan dengan segala hal yang berlebih, namun tetap memilih berjalan berkilo-kilometer dan makan sehari-hari yang apa adanya. Namun bukan hanya hal-hal itu yang mendorong untuk mengutarakan ide gila ini. Aku harus kuliah! Aku tidak ingin melihat keluargaku seperti ini terus menerus. Kalau saja pendidikanku lebih tinggi, pasti aku akan mendapatkan pekerjaan yang dapat menyokong keluargaku sampai tua nanti. Dan tentunya semua akan lebih mudah jika aku kuliah di sebuah universitas terkenal. Sepuluh tahun lamanya! Aku memoles diriku dan terus mengasah kemampuanku agar impianku menjadi seorang mahasiswa UGM tak menjadi bualan belaka. Aku tak pernah mengatakannya pada siapapun. Yang Bapak dan Umak tahu, aku tiba-tiba menjadi giat belajar dan menyabet rangking di sekolah dengan percuma. Semua itu aku persiapkan untuk malam ini. Malam dimana pada akhirnya seseorang akan menanyakan tentang masa depanku. “Bapak senang sekali Aliya mau kuliah. Tapi Bapak ndak tahu apa Bapak bisa kasih biaya Aliya kuliah. Aliya tahu, kan?” Semburat kesedihan terlihat di wajahnya. Berbeda dengan wajah Umak yang terlihat semakin merah padam, berusaha mencari celah untuk siap-siap menyemburku dengan api keganasannya. Tapi aku tahu, sebenarnya ia hanya khawatir yang berlebihan padaku. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sorot mataku penuh dengan determinasi. Jawaban yang sudah jelas aku persiapkan dan tak dapat terbantahkan. “Aliya dapat beasiswa. Bapak dan Umak ndak usah bayar kuliah lagi.” Keheningan itu menyeruak lagi. Aku melihat wajah Umak sedikit, hanya sedikit, melunak mendengar hal itu. Bapak tak lagi duduk tegap, aku tahu bahwa ia merasa lega. Bang Alif menatapku tak percaya. Terbersit sedikit kesedihan di matanya. Aku tak tahu untuk apa dan darimana itu berasal. “Yang benar, Aliya? Jadi Bapak ndak usah
bayar kuliah kamu?” Suara Bapak terdengar jauh lebih ringan dari sebelumnya. Aku mengangguk. “Ndak. Umak tetap ndak kuang! Mau tinggal dimana kamu di sana? Nok bini6 pula, mau tinggal sendiri?” “Aliya nanti tinggal di rumah Kak Anggi, Mak.” “Anggi? Memang Anggi masih ingat kan kamu? Sudah berapa tahun itu Aliya?” Nada suaranya meninggi. Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. “Aliya masih sering SMS Kak Anggi, Mak. Kak Anggi memang sibuk kerja, tapi sudah bilang Aliya boleh tinggal sama Kak Anggi dan suaminya.” “Suaminya? Astaga, Aliya. Kamu nanti malah merepotkan saja,” ujar Umak ketus. Bapak menyela, “Sudahlah, Mak. Kan kata Aliya, Anggi sendiri yang bilang. Kenapa te dilaranglarang terus?” “Iya, Mak. Kasihan, Aliya. Ndak lihat kah lah menangis dia?” Bang Alif yang sedari tadi diam pun angkat bicara. Umak mengernyitkan dahinya karena tiba-tiba merasa dipojokkan. “Memangnya Anggi bakal senang ada yang tinggal di rumahnya? Orang ndak dikenal pula.” Orang tidak dikenal? “Astaghfirullah, Umak. Ini Kak Anggi, Mak! Alif saja tahu kalau Kak Anggi itu baik sekali. Bukannya dulu Umak paling sayang kan Kak Anggi? Kenapa Umak jadi seperti ini?” Bang Alif menggebu-gebu. Umak terdiam. Aku melihat raut kesedihan terbersit di mukanya. Mungkin ia merasa bersalah telah mengatakan hal seperti itu tentang Kak Anggi. “Ya sudahlah, terserah kalian. Ndak ada gunanya lagi Umak bicara. Kalau mau kuliah, ya terserah Aliya. Asal Aliya tahu, kuliah ndak harus di UGM. Di Bangka kan ada nenek kau!” Ia berdiri, lalu berjalan cepat menuju kamarnya. Maafkan, Aliya… Umak. * Sebulan lebih telah berlalu sejak percakapan malam itu. Umak menjadi lebih jarang bicara padaku dan lebih banyak meminta tolong pada Bang Alif. Aku tak tahu bagaimana cara mencair-
kan hatinya, kupikir lebih baik menunggu hingga Umak bosan mendiamkanku. Aku mendesah, padahal dua hari lagi aku berangkat ke Jawa. Aku diterima di Fakultas Pertanian, sama seperti Kak Anggi. Nilai Ujian Nasionalku yang semuanya di atas sembilan sedikit banyak membantuku untuk mendapatkan satu bangku itu. Bangku impian yang kuperoleh dari keringat dan air mataku sendiri. Mataku kini menatap nanar pada sebuah koper besar berwarna hitam yang ada di hadapanku. Koper yang mencerminkan determinasiku pada impianku, berisikan jati diriku yang akan selalu mengingatkan darimana dan kemana aku akan pulang. Semua ini belum terasa nyata beberapa hari kemarin, sampai akhirnya semua barang-barangku masuk ke dalam koper hitam ini. Ya… dalam beberapa puluh jam lagi aku akan meninggalkan Belitung selama sekurangkurangnya empat tahun. Meninggalkan tanah kelahiranku ke tempat yang teramat jauh di pulau seberang sana. Aku mendengar tawa Bapak dan Umak dari dalam kamar. Mereka selalu menonton kuiskuis konyol yang menjadi tayangan rutin tiap malam Minggu. Sesekali aku mendengar tawa Bang Alif juga. Aku terdiam. Apakah mereka tak peduli sama sekali dengan kepergianku? Apa aku harus pergi dengan kesedihan seperti ini, Ya Tuhan? “Assalamualaikum.” Lamunanku terbuyar ketika aku mendengar suara seorang perempuan mengucapkan salam seraya mengetuk pintu rumah kami. Aku mendengar Bapak mematikan TV. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu depan terbuka. Hening. Mengapa tak ada suara apapun? Aku merasa ada yang janggal dan keluar dari kamarku. Umak mematung di depan pintu, sama seperti Bapak dan Bang Alif yang terduduk diam di atas tikar. Kak Anggi berdiri di depan sana. Senyum terpampang di wajahnya. Ia terlihat sangat berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Keramahan itu masih ada, namun sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh sekeras apapun hidup yang dijalaninya. Seorang laki-laki berdiri di belakangnya, pasti suaminya. “Ibu… Anggi kangen sama Ibu.” Ke-
heningan itu terusik ketika Kak Anggi menghamburkan dirinya dalam pelukan Umak. “Maafin Anggi jarang telepon ya, Bu. Ini sekarang malah Anggi datang tiba-tiba mau jemput Aliya.” Menjemputku? Kak Anggi dan suaminya? Seketika itu juga jantungku berdesir. Aku melihat bahwa Bapak dan Bang Alif pasti merasakan hal yang sama. Mereka berdiri dengan cepat dan menghambur kearah pintu. Umak tak henti-hentinya mengelus kepala Kak Anggi, suara tangisnya terdengar sangat mengharukan. Tak kusadari air mataku sendiri pun telah bergulir membasahi pipiku. Umak yang sempat meragukan sendiri kebaikan Kak Anggi, kini telah terhanyut dalam kebahagiaan tak terpera karena kehadiran Kak Anggi yang tiba-tiba ini. Terimakasih, Tuhan. Hanya itu yang kini terbersit di benakku. Aku menyesal telah merasa kesal pada Umak selama beberapa hari. Hingga sempat terpikir untuk membatalkan beasiswa itu hanya agar Umak bicara lagi padaku. Namun, melihat Umak dan Kak Anggi saat ini… aku yakin bahwa Kau akan membuat semua indah pada waktunya. *** Ibu Hendak 3 Sudah 4 Batu hitam khas Belitung 5 Boleh 6 Anak perempuan 1 2