Paris, 09 November 2007 Suhu udara yang menusuk tulang-tulang ringkihku semakin mampu membuatku merasa tak berdaya. Kala aku mencari kehangatan itu, tapi aku justru mendapatkan sesuatu yang rasanya lebih dingin. Lebih menusuk ketimbang udara diluar. Melihatmu dengannya. Oh tidak. Jangan! Tetesan airmata ini takan mampu
membuatmu kembali padaku. Teriakkan hati ini takkan mampu
membuatmu tersadar. Aku mencari segala cara, cara untuk melepaskanmu, cara untuk mencari penggantimu dan cara untuk tak lagi mengharapkanmu. Aku masih sangat menyayangimu. Tapi, rasa itu menghilang ketika kau menjauh dariku. Rasa itu muncul ketika kau kembali padaku. Tak pernahkah kau berfikir untuk membiarkanku bernafas lega? Senangkah kau melihatku menahan sesak ini? Sendiri. Hanya aku sendiri yang tahu. Hanya aku yang mengerti. Semua sakit ini. Semua sabar ini. Semua senyum ini. Semua tangis ini. Semua tawa ini. Ku tahu kau kembali hanya untuk mengobati sakit yang terlanjur kau lempar padaku. Tapi kau tidak tahu, kembalimu hanya memperdalam sakit ini. Hanya mendengar namamu. Melihatmu dari jauh, mendengar suaramu, melihat matamu mampu membuatku tak tahu harus berbuat apa. Dalam diam, aku menahan sakit di dada. Tertawa dalam keadaan yang ada.
UN (SATU)
W
aktu menunjukkan pukul 02.00 pagi. Tempat itu mulai sepi dengan pengunjung-
pengunjung setianya. Banyak dari mereka yang menyudahi pesta malam itu. Berbeda dengan gadis yang memakai dress biru selutut itu, ia masih terus berdiam diri dalam ruangan yang berkelap-kelip itu. Tatapannya kosong. Gemerlap lampu diskotik membawa dirinya hanyut dalam suasana. Matanya mulai berkunang-kunang melihat lampu diskotik
itu berputar-putar. Minuman beralkohol itu juga mampu membawanya lepas dari pikiran yang sangat mengganggu ini. Kerongkongannya pun mulai perih karna terus meneguk minuman beralkohol itu. Dia itu...cantik, putih, artis, kaya raya dan terkenal tentunya. Bola mata coklat pekat dan bening, kulit putih Asia tanpa lecet sedikitpun, hidung mancung yang sempurna, pipi tirus yang berisi, bulu mata yang cukup lentik, rambut hitam gelombang panjang yang terawat, tinggi 165senti dengan berat badan 50 kilo. Dimana sisi buruknya? Hampir tidak bercelah. Tapi Tuhan itu Maha Adil. Tidak ada orang yang sempurna di dunia atau dimanapun makhluk ciptaan-Nya berada. Dia membuka matanya dengan gerakan yang super lambat dan berat. Anjaska masih meringkuk di kasurnya. Ia terbangun dari sisa mabuk semalam. Matanya masih berkunang-kunang. Rambutnya tergerai acak-acakan. Dia masih mengenakan dress biru selututnya dengan motif laut. Anjaska mengambil air putih di meja dapurnya. Sambil mencoba mengatur nafasnya, dia lupa sekarang hari apa. Tapi dia ingat apa yang terjadi. Dia mabuk semalam karna masalah ayahnya. Benar sekali, masalah ayahnya yang bisa membuatnya gila. Dihabiskannya satu tenggukan air putih yang mampu membuat kerongkongannya merasa lebih baik.
Tok tok tok.... Anjaska menyeret langkahnya ke arah pintu apartementnya. Jessy. Gadis muda yang sudah sukses berkarir di dunia bisnis. Modis, cantik, cerdas dan dewasa. Dengan rambut coklat kemerah-merahan sebahu lurus yang membuatnya tampak anggun dan dewasa. Jessy memiliki badan yang lebih mungil ketimbang Anjaska. Gadis yang ceria dan gila akan bisnis ini sudah bersahabat karib dengan Anjaska sejak 10 tahun yang lalu. Usia mereka berjarak 4 tahun lebih tua Jessy. Anjaska dan Jessy bersahabat dimulai saat mereka masuk kursus bahasa inggris yang sama. Dan mereka memiliki kesamaan yang cukup banyak, sehingga membuat mereka begitu terasa dekat. Setiap kali ada masalah, Jessy lah yang selalu dicarinya. Dia menganggap Jessy benar-benar seperti penenang hatinya. Begitu juga dengan Jessy, ketika dia bosan dengan pekerjaannya, Anjaska yang super iseng itu akan membuat moodnya kembali seperti semula. Mereka juga bersahabat dalam segala bidang termasuk pekerjaan. Benar-benar dua orang yang tak terpisahkan. “Good morning Anjaska!” tanyanya dengan mata berbinar-binar. Anjaska menggeleng dengan mata disipitkan. “Mabuk ya semalem?” Jessy menodongkan jari lentiknya ke arah hidung Anjaska yang mancung. Anjaska sedikit memundurkan kepalanya. “Ngapain pagi-pagi kesini?” Tanya Anjaska acuh tak acuh.
Jessy mendesah gemas. “Lupa sekarang hari apa?” Tanya Jessy sambil meletakkan tasnya di meja. Anjaska menggeleng dengan raut wajah bingung. “Yah ampuuuuuunnnn, minum berapa botol semalem???” “Umm, don’t know, lupa,” Anjaska berusaha megingat-ingat tapi usahanya gagal. “Astaga, minuman keras itu sudah merusak otakmu.” “Memangnya sekarang hari apa?” “Hari ulang tahun kamu Anjaska!” seru Jessy dengan nada gemas. “Ohh...” hening. “Kamu enggak mau merayakannya?!” “Nggak, buat apa. Tidak ada yang ingat selain kamu. Percuma aja dirayakan.” “Seenggaknya kita bisa merayakan berdua.” “Dirumah ini?” Tanya Anjaska. Jessy mengangguk. “Why not? Sekarang mandi, aku akan keluar dan membeli peralatan yang kita butuhkan,” Jessy mendorong badan Anjaska masuk ke kamar mandi. Anjaska hanya menuruti kata manajernya. Jessy masih sibuk memilih kue yang enak tapi sederhana. Sampai akhirnya Jessy memilih chesse cake kesukaan Anjaska. Jessy mengucapkan terima kasih kepada pemilik toko dan bergegas pergi dari toko itu. Dia memeriksa kembali belanjaan yang baru dibelinya untuk pesta kecil-kecilan ulangtahun Anjaska. Saat melintasi jalan, ia mendengar dua gadis remaja berseragam SMA yang satu berambut gimbal dan yang satu bermodel bob sedang memegang tabloid. “Anjaska memang cantik. Cantik sekali, tapi latar belakang keluarganya hancur ya. Belum lama orangtuanya bercerai sekarang ayahnya masuk penjara karena korupsi. Kasihan sekali ya,” ucap gadis berambut gimbal itu lalu berjalan pergi. Mendengar hal itu Jessy bergegas menyetop taksi dan segera menuju apartement Anjaska. “Sudah mandinya?” Tanya Jessy begitu dia memasuki ruang tengah Anjaska dan mendapati gadis berambut gelombang ini sedang melamun. Dia mengapit kakinya dengan kedua tangan kurusnya. Matanya memang mengarah ke TV tapi pandangannya kosong. “Anjaska?” Panggil Jessy sekali lagi. “Eh, iya?” Anjaska menoleh kaget kearah Jessy yang menatapnya dengan cemas. Jessy mengehembuskan nafas berat. “Jangan melamun, nanti kesambet lho...” Jessy meletakkan chesse cake di meja ruang TV. “Jangan buang-buang listrik, aku tahu kamu itu artis ibukota, tapi Pln akan berterimakasih sama kita kalau kita tidak membuang-buang listrik,” Jessy berceloteh membuat Anjaska terseyum kecil. “Naaaahhhh gitu doooong, senyum dikit kek, jangan manyun mulu.”
Anjaska semakin melebarkan senyumannya. “Ah dasar! Mana kue yang tadi di beli??” Anjaska membuka-buka kantong plastik yang tadi dibawa Jessy. Jessy mengambil piring dan sendok kecil untuk melengkapi perkakas pesta ulangtahun Anjaska. “Itu tuan putri,” Bertuliskan Selamat Ulangtahun ke-19 Anjaska. “Aku ada hadiah spesial untukmu!” Jessy berseru dan langsung merogoh kantong belanjaannya. Anjaska mengamati Jessy yang terburu-buru mengambil barang bawaannya. “Eng-ing-eeeeeng!!” seru Jessy membuat Anjaska melongo kagum. “Oh GOD! Itu mozaik buatan siapa?!” Anjaska berlonjak girang mendapat kado bingkai foto mozaik wajahnya yang sangat mirip dengan dirinya. Mozaik itu disusun dari foto ukuran 3x2 yang berisi foto-fotonya sejak masih kecil hingga sekarang. Foto-foto itu terlihat mengkilap jika dihadapkan dengan cahaya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, foto itu hampir seluruh badannya. Foto yang diambil sang ayah saat ulangtahunnya yang ke 17 tahun. Dirinya yang mengenakan gaun berwarna ungu tua dengan full payet di dada kirinya. Serta bunga mawar besar di pundak kanannya. Disusun dengan sangat indah dan rapi. Jika dilihat dari jauh foto itu tampak seperti foto biasa, tapi begitu dilihat dari dekat, kalian akan menemukan semua kenangan indah dalam hidupnya. Semua orang tertawa bersamanya dalam susunan foto-foto itu. Anjaska tersenyum lalu membuka kartu ucapan yang bergambar kue ulangtahun itu. Joyeux Anniversaire Anjaska Serena! Dimanapun dan kapanpun kami akan selalu ada untukmu. Jangan pernah menganggap kalo semuanya akan meninggalkanmu ya. Kami sayang kamu Anjaska. Bertambah usia, artinya bertambah juga tingkat kedewasaan.
Sincerely,
Ayah, Bunda, Kak Eriska, Jessy.
Anjaska hampir meneteskan airmatanya. Mereka semua ingat, bahkan mereka memberikan kado yang belom pernah terpikirkan olehnya. Jessy tersenyum haru melihat Anjaska yang mulai meneteskan airmata dari mata coklatnya yang sangat indah. “Mereka semua tidak pernah lupa dengan hari ulangtahunmu, Anjaska,” ucap Jessy menambah haru suasana. Anjaska mengangguk cepat dan buru-buru menghapus airmata itu dengan punggung tangannya. “Terima kasih Jess, kamu sudah menjadi bagian dari keluargaku juga,” Anjaska bergegas memeluk sahabat mungilnya itu. “Kapan kalian ngerencanain ini? Untuk bikin mozaik seperti ini butuh waktu yang sangat lama kan?” “Lumayan sih, dari 6 bulan yang lalu. Itu ide dari kak Eriska. Dia bilang di Belanda ada seniman jago yang bisa membuat mozaik keren seperti itu. Karna harganya yang lumayan, akhirnya kami patungan deh, hehe,” kejujuran Jessy menambah senyuman diwajah cantik Anjaska. “Amazing banget Jess!” Anjaska memeluk bingkai fotonya yang berukuran 40x60 senti itu. Jessy tertawa geli melihat kelakuan lucu Anjaska. Tak lama, air wajah Anjaska berubah menjadi sendu. Jessy menatap wajah itu tanpa banyak bertanya. Anjaska menyunggingkan senyuman sedih.”Jess, mungkin aku bakal keluar dari dunia keartisan, mungkin aku memang gak bakat buat di dunia seni.” Jessy menggenggam tangan kecil Anjaska. “Hmm...masalah ini kita hadapin bareng-bareng ya, mungkin kita emang rekan kerja, tapi kita juga sahabat kan?” Anjaska mengangguk ragu. “Kamu gak sendirian Anjaska, kita pasti bisa ngembaliin semua kondisi ini balik lagi kayak semula,” Anjaska memeluk sahabat karibnya itu dengan erat. “Makasih ya Jess,” "Ayo tiup lilinnya!!!" Seru Jessy yang kaget melihat lilin itu tinggal setengahnya.
Keesokan paginya Jessy dan Anjaska memutuskan untuk ke kantor management mereka. Mereka ingin segera menyelesaikan masalah ini. “Kofrensi pers pun percuma, karna ayahmu sudah dijebloskan ke penjara!” sahut sang produser lantang. “Apa kita enggak bisa membuat masyarakat percaya lagi pada Anjaska?” Kata Jessy tak mau kalah. “Kebanyakan dari masyarakat hanya percaya pada apa yang mereka lihat, bukan yang mereka dengar,” pak Indra menghempaskan badannya ke kursi panas miliknya. Dan mulai berpikir keras. “Kita bisa merubah image Anjaska,” kata Jessy lagi. “Dengan apa??!”
“Dengan...” Jessy menghentikan kalimatnya. Dia tidak tahu bahkan belom terpikirkan akan melakukan apa. “Kalian cari jalan keluar ini, saya tidak mau nama management ini tercoreng dengan berita memalukan begini,” tegasnya lagi dan membuat Jessy tutup mulut. Yang sedari tadi dibicarakan hanya diam sambil merenung. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi Anjaska tidak memberikan solusi ataupun membantah ucapan kedua orang ini. Jessy dan Anjaska keluar dari ruangan pak Indra ditemani oleh dua orang satpam. Dan memang keadaan sedang tidak bersahabat dengan keduanya. Baru keluar lobi mereka sudah di serbu oleh bermacam-macam wartawan dari stasiun TV manapun. Mereka berebutan menyodorkan alat perekam dan pertanyaan. Anjaska berusaha tetap diam walau mereka terus memaksa. Hanya Jessy yang terus berusaha menenangkan suasana. “Bagaimana ini?” Jessy terus mengomel di mobil, dia memukul-mukul jok depan kadang mengacak-aak rambutnya lalu megembalikan bentuk rambutnya lagi. Anjaska hanya diam. Kalau Jessy bertanya pendapatnya dia hanya menggeleng. Kadang mengangkat bahu tanda pasrah. Dan itu membuat Jessy tambah gila. “Kita pindah negara,” celetuk Jessy tiba-tiba. “Kemana???” tanya Anjaska kaget karna Jessy mengambil keputusan mendadak. “Mmmm... Enaknya kemana ya?” tanya Jessy balik. “Terserah aja, asal jangan pernah kita pindah ke Paris.” “Aaaa... benar benar benar,” ucap Jessy sambil mengetuk-ngetuk dagunya pelan dengan jarijarinya yang lentik. “Apa...?” Feeling Anjaska mulai merasa buruk. “Paris, ya kita kesana!” dengan nada semangat abad-25 Jessy mengatakannya. “APA?!!” kali ini Anjaska menunjukkan ekspresi lain. Melotot kaget. Sekaget-kagetnya orang kaget.