BAPPENAS
Prosiding Penyelenggaraan Diskusi Publik
IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKTOR HUKUM, PERADILAN, DAN HAM
Jakarta,19 Oktober 2010
BAPPENAS
Prosiding Penyelenggaraan Diskusi Publik
IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKTOR HUKUM, PERADILAN, DAN HAM
Jakarta,19 Oktober 2010
PROSIDING DISKUSI PUBLIK 19 OKTOBER 2010
Ringkasan Penyelenggaaraan Diskusi Publik Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Sektor Hukum, Peradilan dan HAM
Nama Kegiatan
:
Diskusi Publik Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Sektor Hukum, Peradilan dan HAM
Tempat
:
Ballroom Mutiara I, Hotel Gran Melia, Jakarta
Tanggal
:
19 Oktober 2010
Pembicara
:
Drs. Syafril Basir, MPIA Kepala Sub Direktorat Alokasi Pendanaan Pembangunan Kementerian/Lembaga Bappenas Ernest Patria Raihan, MM Kepala Seksi Pengembangan Jangka Menengah, Direktorat Sistem Penganggaran – Kementerian Keuangan Bpk. Janedjri M. Gaffar Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Diani Sadiawati, SH, LLM Direktur Hukum dan HAM Bappenas Hariri YS, SH, MM Kepala Biro Perencanaan, Mahkamah Agung RI Mr. Johan Gert Pot Anggota Komisi Yudisial Belanda
iii
Peserta
:
Mahkamah Agung RI Mahkamah Konstitusi RI Kemenkumham RI Kejaksaan Agung RI Kepolisian RI Komisi Yudisial RI Komisi Pemberantasan Korupsi Komnas HAM Komnas Perempuan LSM Bidang Hukum HAM dan Peradilan
iv
DAFTAR ISI
BAGIAN SATU LATAR BELAKANG
1
BAGIAN DUA KONSEP DAN ROADMAP IMPLEMENTASI REFORMASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
3
BAGIAN TIGA REFORMASI SISTEM ANGGARAN
11
BAGIAN EMPAT RENCANA PEMBANGUNAN BIDANG HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI TARGET RPJMN 2010 - 2014 17 BAGIAN LIMA IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI MAHKAMAH KONSTITUSI 23 BAGIAN ENAM IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
37
BAGIAN TUJUH THE FINANCING OF THE JUDICIARY SYSTEM IN THE NETHERLANDS
43
BAGIAN DELAPAN KESIMPULAN
49
v
BAGIAN SATU
LATAR BELAKANG
Dengan adanya reformasi sistem keuangan negara yang menerapkan kerangka pembiayaan jangka menengah diharapkan pembiayaan selama lima tahun diketahui. Tindak lanjut restrukturisasi program setiap kementerian/lembaga (K/L) dilakukan dengan restrukturisasi program yang menghubungkan sistem organisasi, sistem perencanaan, dan sistem penganggaran serta manajemen kinerja. Prinsip anggaran yang didasarkan kepada fungsi terkait kinerja dikenal dengan money follow function. Dalam kerangka tersebut dijelaskan setiap eselon satu akan bertanggung jawab terhadap satu program tertentu beserta outcomenya. Sedangkan untuk eselon dua akan bertanggung jawab atas kegiatan ataupun output yang akan dikaitkan dengan pendanaan dan prestasi kerja. Dengan demikian, tingkat keberhasilan sebuah kinerja dapat diukur pada akhir tahun. Dalam hal ini yang menjadi tantangan adalah bagaimana menghasilkan indikator-indikator yang efisien dan efektif yang menjadi dasar pelaksanaan program.
1
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Penganggaran berbasis kinerja di bidang hukum, HAM dan peradilan merupakan salah satu prioritas RPJMN 2010-2014. Tantangannya adalah bagaimana menetapkan pengukuran kinerja mengingat sebagian besar kinerja sektor ini bersifat kualitatif sedangkan sistem penilaian kinerja pada umumnya bersifat kuantitatif. Selain hal tersebut tantangan lainnya adalah hasil pelaksanaan suatu program yang tidak langsung terlihat karena membutuhkan waktu dan proses. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam penentuan indikatorindikator penganggaran berbasis kinerja kemampuan teknis dalam penentuan indikator-indikator kinerja berdasarkan tugas dan fungsi pada masing-masing unit menjadi penting. Untuk itu, diharapkan dalam diskusi publik ini para peserta dapat membahas dan berbagi pengalaman tentang masalah-masalah yang dihadapi. Dari diskusi publik ini juga diharapkan peserta mendapat tambahan informasi untuk pengayaan kemampuan teknis dan memberikan kontribusi positif bagi pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di masa yang akan datang.
2
BAGIAN DUA KONSEP DAN ROADMAP IMPLEMENTASI REFORMASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Drs. Syafril Basir, Kasubdit Alokasi Pendanaan Kementerian/Lembaga - Bappenas
A. Landasan Hukum Reformasi keuangan negara dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undangundang tersebut mengatur tentang Penerapan Anggaran Terpadu, Anggaran Berbasis Kinerja, dan Kerangka Pengeluaran Berjangka Menengah (KPJM). Pelaksanaan teknis undang-undang tersebut dijelaskan terperinci dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mengatur tentang Kerangka Regulasi dan Kerangka Pendanaan. Penerapan kedua perundang-undangan tersebut dilakukan dalam kurun waktu lima tahun seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 terlihat adanya keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran pembangunan nasional yang dilakukan secara komprehensif. Di dalamnya terdapat tiga komponen besar perencanaan dan penganggaran yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan Rancangan APBN (RAPBN). Hubungan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
3
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Gambar 1. Komponen Besar Perencanaan dan Penganggaran
Implementasi undang-undang tersebut akan merombak tata cara perencanaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga diperlukan suatu kerangka konsep dan roadmap yang komprehensif. Untuk itu, Bappenas dan kementerian keuangan telah merancang kerangka konseptual dan roadmap ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap pengenalan yang dilaksanakan dalam kurun waktu 2005 hingga 2009. Tahap kedua adalah tahap pemantapan yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 hingga 2014. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap penyempurnaan yang akan dilakukan setelah tahun 2015.
B. Kerangka Konseptual Pada dasarnya reformasi perencanaan dan penganggaran ditujukan untuk mencapai tiga kondisi ideal yaitu: tepat, accountable, dan transparan. Perencanaan dan penganggaran yang tepat artinya kinerja yang lebih terukur dan berurutan mulai dari indikator kinerja prioritas (impact), program (outcome), dan kegiatan (output). Tepat juga berarti perencanaan dan penganggaran dilakukan secara realistis dengan memperhitungkan ketersediaan anggaran. Kondisi ideal kedua yaitu accountable yang berarti perencanaan dan penganggaran memiliki sasaran dan penanggung jawab yang jelas. Dan terakhir
4
BAGIAN DUA
yaitu transparan yang dapat diartikan sebagai kemudahan rakyat dalam mengakses perencanaan dan penganggaran melalui dokumendokumen RPJMN, Renstra, RKP, dan APBN. Untuk mencapai tujuan tersebut maka disusunlah tiga pilar utama reformasi perencanaan dan penganggaran yaitu : aggregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency. Hubungan ketiga pilar tersebut terlihat pada gambar berikut:
Konsep dan Roadmap Implementasi Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Gambar 2. Restrukturisasi Program dan Kegiatan
5
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Penganggaran berbasis kinerja bertujuan untuk pengalokasian sumber daya anggaran lebih efisien (allocative efficiency), meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam penganggaran (operational efficiency), dan meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran (more flexibility and accountability) dengan berlandaskan alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented), pengelolaan anggaran yang lebih fleksibel, tetapi tetap menjaga prinsip akuntabilitas (let the manager manages), mengikuti tugas sesuai dengan divisi, dan alokasi anggaran program atau kegiatan didasarkan kepada tugas-fungsi unit kerja yang melekat pada struktur organisasi. Akuntabilitas kinerja program dan kegiatan merupakan salah satu syarat dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja (PBK) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Hal ini akan dicapai bila telah menetapkan indikator kinerja program melalui outcome, indikator kinerja kegiatan melalui output, dan akuntabilitas kinerja organisasi. Tetapi, sebelum menerapkan PBK dan KPJM, kementerian/ lembaga harus merestrukturisasi program dan kegiatan karena kondisi berikut:
6
1.
Adanya program “keroyokan” yang menyebabkan ketidakjelasan akuntabilitas kinerja.
2.
Program hanya dijadikan sebagai “cantelan” dalam kegiatan. Hal ini tercermin dari jumlah program di kementerian/lembaga yang berubah setiap tahun.
3.
Indikator kinerja tidak dapat dievaluasi karena: i.
Indikator program dalam bentuk outcome dan indikator kegiatan dalam bentuk input.
ii.
Program dan kegiatan yang tidak berkaitan.
iii.
Indikator tidak runtut (impact, outcome, output).
BAGIAN DUA
Reformasi program kegiatan di seluruh kementerian/lembaga mengacu kepada Surat Edaran Bersama (SEB) tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran yang dilaksanakan sejak tahun 1999. Hal ini didasarkan kepada prioritas dan fokus prioritas dan keterkaitan antara program dengan kegiatan. Restrukturisasi program dan kegiatan yang dijabarkan sebagai berikut:
Konsep dan Roadmap Implementasi Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Gambar 3. Restrukturisasi Program dan Kegiatan
STRUKTUR ORGANISASI
STRUKTUR ANGGARAN
STRUKTUR PERENCANAAN KEBIJAKAN
STRUKTUR MANAJEMEN KINERJA
FUNGSI
PRIORITAS
SASARAN POKOK (IMPACT)
SUB-FUNGSI
FOKUS PRIORITAS
INDIKATOR KINERJA FOKUS PRIORITAS (OUTCOME)
MISI/SASARAN K/L (IMPACT)
ORGANISASI
ESELON 1A
PROGRAM
PROGRAM
INDIKATOR KINERJA PROGRAM (OUTCOME)
ESELON 2
KEGIATAN
KEGIATAN PRIORITAS
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN (OUTPUT)
JENIS BELANJA
Restrukturisasi program dan kegiatan yang dilakukan telah memperoleh pencapaian sebagai berikut: 1.
Diterapkannya restrukturisasi program dan kegiatan di seluruh kementerian/lembaga yang mengacu kepada SEB tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran dengan ruang lingkup antara lain: i.
Program yang terdiri dari nomenklatur baru, informasi outcome, indikator program, penanggung jawab (UKE I).
7
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
ii.
Kegiatan yang terdiri dari nomenklatur baru, informasi output, indikator kegiatan, penanggung jawab (UKE II).
iii.
Identifikasi yang terdiri dari kegiatan prioritas dan kegiatan tugas fungsi.
2.
Seluruh program dan kegiatan prioritas diterapkan dalam RPJMN 2010-2014 RENSTRA di kementerian/lembaga periode 2010-2014.
3.
Telah dipergunakan dalam RKP, RENJA K/L, dan RKA-K/L 2011.
C. Roadmap Implementasi dan Pencapaian Sebagaimana telah disebutkan bahwa penerapan penganggaran berbasis kinerja dilakukan dalam tiga tahapan yaitu: 1.
8
Tahap pengenalan (2005-2009) terdapat lima kegiatan penting yaitu: i.
Penerapan penganggaran terpadu dengan beberapa langkah penting yaitu pengintegrasian anggaran rutin dan anggaran pembangunan, penyatuan dokumen anggaran (DIP, DIK, SKO menjadi DIPA), penerapan klasifikasi anggaran (fungsi, organisasi, dan jenis belanja), dan pembentukan satuan kerja.
ii.
Pengenalan standar biaya dalam pengalokasian anggaran dan pengenalan konsep KPJM melalui standar biaya umum maupun standar biaya khusus.
iii.
Sinkronisasi penerapan fungsi/subfungsi/ program/kegiatan dari proses perencanaan sampai dengan penganggaran. Hal ini dilakukan dengan penyempurnaan sistem IT dalam proses penganggaran, studi banding ke beberapa negara, memperkenalkan konsep PBK dan KPJM kepada DPR, dan menyempurnakan standar biaya.
BAGIAN DUA
2.
iv.
Tinjauan kembali terhadap lima tahun penerapan reformasi penganggaran. Dari kegiatan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa reformasi penganggaran perlu ditingkatkan dan dikembangkan melalui penyempurnaan sistem penataan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap kementerian/ lembaga.
v.
Penandatanganan SEB, pada tanggal 19 Juni 2009 telah diterbitkan SEB Meneg. PPN dan Menkeu No. 0142/M.PPN/06/2009 dan SE No. 1848/MK/2009 yang berisi pedoman reformasi perencanaan dan penganggaran. Penandatanganan SEB tersebut juga diikuti oleh peluncuran lima Paket Buku Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran pada tanggal 14 Juli 2009 yang dapat dimiliki oleh masyarakat, yaitu: a.
Pedoman Restrukturisasi Program dan Kegiatan.
b.
Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK).
c.
Pedoman Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM).
d.
Format Baru RKA-K/L.
e.
Jadwal Pelaksanaan Penerapan dan Penutup.
Konsep dan Roadmap Implementasi Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran
Tahap Pemantapan yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 hingga 2014. Kegiatan yang akan dilakukan antara lain: i.
Restrukturisasi program dan kegiatan untuk seluruh kementerian/lembaga termasuk rumusan outcome, output, indikator kinerja dengan pendekatan struktur organisasi dan tugas fungsi masing-masing unit organisasi secara spesifik.
9
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
3.
ii.
Penetapan pagu APBN dan K/L untuk jangka menengah.
iii.
Penyempurnaan format dokumen perencanaan dan penganggaran (RKP, RENJA K/L, dan RKA-K/L) dilakukan dengan mengintegrasikan informasi kinerja dengan informasi keuangan yang akan diterapkan mulai tahun anggaran 2011.
iv.
Revisi Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan RKA-K/L.
v.
Penerapan reward and punishment system terutama dalam pelaksanaan stimulus fiskal pada tahun 2009.
vi.
Pengembangan IT dalam pengelolaan keuangan melalui proyek SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara).
Tahap Penyempurnaan yang akan dimulai setelah tahun 2015.
Secara konseptual selama tahap pengenalan telah diperoleh beberapa pencapaian seperti: penataan kegiatan yang lebih mencerminkan sasaran program dengan mengubah input based menjadi output based activities, setiap kegiatan memiliki keluaran yang terukur dengan alokasi pendanaan yang diperlukan, alokasi pada prioritas dengan implikasinya berupa pagu anggaran kementerian/lembaga, dokumentasi keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran (RKP, Renja-K/L, RAPBN, RKA-K/L). Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa isu dan tantangan yang perlu mendapat perhatian seluruh stakeholder antara lain: penyempurnaan indikator yaitu dengan pengukuran kinerja tingkat kementerian/lembaga dan nasional, penyempurnaan perkiraan perhitungan maju, penyusunan tata cara pengajuan new initiative (kebijakan baru), penguatan proses penyusunan perencanaan dan penganggaran, dan peningkatan kualitas belanja publik.
10
BAGIAN TIGA
REFORMASI SISTEM ANGGARAN
Ernest Patria Raihan, MM. Kasi Pengembangan Jangka Menengah. Direktorat Sistem Penganggaran, Kemenkeu.
Reformasi sistem anggaran ditujukan untuk mencapai kualitas analisis pengeluaran publik (public expenditure analysis) dan pengelolaan pengeluaran publik (public expenditure management) yang lebih baik. Terdapat tiga platform reform sistem anggaran yaitu: 1.
Pengelolaan fiskal secara makro yang lebih baik melalui disiplin fiskal yang mampu meningkatkan dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
2.
Meningkatkan efisiensi alokasi melalui pengelolaan sumber daya yang terbatas dan koordinasi yang lebih baik pada pengeluaran publik.
3.
Peningkatan efisiensi di tingkat operasional dengan meningkatkan keleluasaan pengelola kebijakan dan regulasi, dan pengawasan yang efektif.
Jika kita cermati maka kita akan menemukan bahwa kondisi penganggaran berbeda dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
11
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
keadilan dan kepatutan. Hal ini disebabkan oleh beberapa kondisi sebagai berikut: 1.
Kurangnya disiplin anggaran yang ditunjukkan dengan ketidakjelasan hubungan antara perencanaan kebijakan dengan anggaran.
2.
Kurangnya informasi kinerja pemerintah dalam kebijakan anggaran.
3.
Zero-based budget yaitu tidak adanya jaminan keberlangsungan anggaran (budget sustainability) dan disinsentif untuk melakukan perencanaan jangka menengah.
4.
Kurangnya transparansi dalam proses penyusunan anggaran.
5.
Tidak adanya informasi yang efisiensi dalam pelaksanaan anggaran.
6.
Kurangnya informasi akuntabilitas pengeluaran pemerintah.
7.
Intervensi politik dalam penyusunan kebijakan anggaran.
Alokasi pendanaan anggaran harus dilakukan sesuai dengan prioritas nasional. Hal ini berarti mendahulukan dana untuk program dan kegiatan dengan prioritas yang tinggi. Selain itu, alokasi anggaran harus didasarkan pada priority setting bukan political setting. Prinsip lainnya adalah membangun pendekatan untuk mencapai tujuan yang diartikan dengan adanya keterkaitan antara pendanaan anggaran terhadap action plan, monitoring dan evaluasi anggaran sehingga mampu menjadi feedback yang efektif dalam implementasinya. Tantangan utama dalam pelaksanaanya yaitu bagaimana membangun sistem monitoring dan evaluasi yang dapat memberikan feedback bagi sistem itu sendiri. Proses penganggaran tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
12
BAGIAN TIGA Reformasi SIstem Anggaran
Gambar 4. Proses Perencanaan Penganggaran
VISI PLATFROM PRESIDEN TERPILIH 1. KOMITMEN KAMPANYE (Campaign Commitment) 2. STRATEGI FISKAL NASIONAL (National Fiscal Strategy) 3. TEKANAN LINGKUNGAN (Pressures)
RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN/LEMBAGA
RENCANA PEMBANGUNAN RANGKA PANJANG NASIONAL
KERANGKA PENGELUARAN JANGKA MENENGAH (KPJM)
RENCANA KERJA KEMENTERIAN/ LEMBAGA NEGARA (RENJA K/L)
RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP)
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA NEGARA (RKA K/L)
Salah satu agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah adalah adanya kinerja yang terukur melalui penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Anggaran berbasis kinerja merupakan proses perencanaan anggaran yang mampu mengukur kinerja dan mampu menjelaskan hubungan antara rencana kebutuhan pendanaan dengan rencana target kinerja program-program pemerintah. Anggaran berbasis kinerja yang efektif mampu menginformasikan dengan baik pengeluaran pemerintah dan dampaknya pada pencapaian target-target tertentu. Dengan kondisi yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa reformasi sistem anggaran perlu dilakukan agar tercipta kondisi ideal seperti: dokumen anggaran memiliki informasi kinerja, adanya keterkaitan antara sasaran strategis dengan sasaran operasional, dan adanya dampak belanja pemerintah melalui APBN pada kinerja tertentu. Kerangka kerja sistem ini terdiri dari tiga hal mendasar
13
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
yaitu alokasi anggaran berorientasi pada hasil berdasarkan indikator kinerja, efisiensi alokasi biaya dengan orientasi pada efisiensi penggunaan sumber daya, fleksibilitas pengelola anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas, dan memudahkan pengukuran dan evaluasi kinerja. Proses tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 5. Struktur Alokasi Anggaran dalam Penganggaran Berbasis Kinerja
PROGRAM
OUTCOME
INDIKATOR KINERJA UTAMA
OUTPUT KEGIATAN
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN SUB-OUTPUT
KOMPONEN SUB-KOMPONEN
AKUN DETAIL BELANJA
BAGIAN/TAHAPAN KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN UNTUK MENGHASILKAN KELUARAN (OUTPUT)
RINCIAN/ITEM KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN DAN MENDAPAT ALOKASI ANGGARAN SESUAI PERUNTUKAN DAN KAIDAH BAS
Gambar tersebut menunjukkan proses penetapan anggaran untuk suatu program maupun kegiatan. Berdasarkan mekanisme tersebut, pemerintah dapat menetapkan prioritas pembangunan nasional yang didefinisikan dengan target-target pembangunan yang diharapkan. Selanjutnya, hal tersebut akan menjadi indikator utama bagi pencapaian kinerja pemerintah. Setelah indikator tersebut terdefinisikan maka langkah berikutnya adalah menetapkan kegiatankegiatan. Terakhir, kegiatan-kegiatan tersebut diturunkan ke dalam komponen-komponen anggaran berikutnya. Dengan demikian, dokumen anggaran mampu mencerminkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai target kinerja. Hal kedua yang menjadi agenda pembangunan jangka menengah adalah adanya kerangka pengeluaran jangka menengah. Hal ini diperlukan karena:
14
BAGIAN TIGA Reformasi SIstem Anggaran
1.
Mampu memberi perspektif yang lebih luas bagi setiap keputusan kebijakan.
2.
Lebih fokus kepada usulan kebijakan baru dan upaya penyempurnaan kebijakan berjalan.
3.
Mampu menginformasikan proyeksi yang lebih akurat tentang dampak fiskal melalui serangkaian proses informasi.
4.
Mengilustrasikan dampak finansial di masa mendatang bagi keputusan yang akan atau tengah dilaksanakan.
5.
Adanya keterkaitan yang lebih jelas antara prioritas pemerintah dan kebijakan pendanaan anggaran.
6.
Pemerintah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya anggaran.
Kerangka pengeluaran jangka menengah diterapkan dengan berlandaskan kepada anggaran bergulir, prakiraan maju, indeksasi dan penyesuaian. Anggaran bergulir merupakan komitmen berkelanjutan untuk memberikan tingkat kinerja tertentu kepada masyarakat melalui manajemen fiskal. Sistem anggaran ini dapat menetapkan alokasi sumber daya untuk jangka waktu tertentu, dan dapat digunakan sebagai koridor pemerintah dalam pengalokasian sumber daya anggaran. Landasan kedua dalam kerangka pengeluaran jangka menengah adalah prakiraan maju, indeksasi dan penyesuaian. Ini diartikan sebagai penyesuaian untuk mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal yang berpotensi mempengaruhi tingkat efektivitas kebijakan pemerintah. Selain itu, landasan ini lebih akurat dalam menyajikan biaya kebijakan pemerintah, menginformasikan kepada stakeholders tentang posisi fiskal pemerintah, dan sebagai indeksasi yang mampu membantu pemerintah untuk memperkirakan besaran pendanaan untuk mempertahankan “real value” dari tingkat pencapaian kinerja tertentu. Gambar berikut sebagai ilustrasi sistem anggaran sebelum dan sesudah adanya reformasi anggaran:
15
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Gambar 6. Perbandingan Sistem Anggaran Sebelum dan Sesudah Reformasi Anggaran
Proses Sebelum Reformasi Sistem Anggaran Proses Sesudah Reformasi Sistem Anggaran ROLLING BUDGET POLICY DECISION
FISCAL IMPACT
FISCAL IMPACT
FISCAL IMPACT
BUDGET t0
BUDGET t+1
BUDGET t+2
BUDGET t+3
POLICY DECISION
INCREMENTAL GROWTH
FISCAL IMPACT NEW INITIATIVES
BUDGET
BUDGET
FISCAL IMPACT NEW INITIATIVES
BUDGET
FISCAL IMPACT NEW INITIATIVES
BUDGET
RESOURCES ENVELOPE AS A HARD BUDGET CONSTRAINT
t+1 (?) t0
t+2 (?)
t+3 (?) t0 BUDGET
t+1 BUDGET
t+2 BUDGET
t+3 BUDGET
Sebagai upaya untuk mempertahankan pencapaian dengan sistem tersebut harus diiringi oleh serangkaian usaha untuk mempertajam definisi kebijakan prioritas dalam perencanaan nasional yang dilakukan dengan sederhana, lugas dan memiliki target yang SMART (Specific, Measureable, Achievable, Timely) dan memperjelas tugas pokok dan fungsi kementrian/lembaga dengan koordinasi dan fokus terhadap prioritas, transparansi dalam proses alokasi dan pengambilan keputusan kebijakan anggaran, adanya struktur anggaran pemerintah dan proses pencapaian target dan sasaran kebijakan, dan konsistensi kebijakan anggaran.
16
BAGIAN EMPAT RENCANA PEMBANGUNAN BIDANG HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI TARGET RPJMN 2010 - 2014 Diani Sadiawati,SH, LLM, Direktur Hukum dan HAM, Bappenas
Prioritas pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) periode 2010 hingga 2014 terdiri atas sebelas prioritas nasional yang mencakup sektor politik, hukum, pertahanan, keamanan, dan beberapa sektor lainnya. Kesebelas prioritas tersebut antara lain: reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan, pendidikan, kesehatan, pemberantasan kemiskinan, infrastruktur, ketahanan pangan, iklim investasi dan perdagangan, energi, manajemen lingkungan dan bencana alam, penanganan masyarakat terpinggirkan, terluar, dan pasca konflik, dan yang terakhir budaya, kreativitas, dan inovasi teknologi. Prioritas Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dalam bidang politik, hukum, pertahanan, dan keamanan dilakukan dengan memperkuat koordinasi di antara lembaga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, penyelamatan aset, meningkatkan penegakan hukum, dan memperkuat perlindungan HAM. Dalam pencapaian target prioritas tersebut, Direktorat Hukum dan HAM bekerja sama dengan tujuh mitra kerja seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perempuan. Dalam pelaksanaannya,
17
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Direktorat Hukum dan HAM memiliki beberapa agenda yang berupa fokus prioritas dan kegiatan prioritas antara lain: 1.
2.
18
Peningkatan efektivitas peraturan perundang-undangan yang akan dicapai melalui serangkaian kegiatan prioritas antara lain: i.
Peningkatan kegiatan penyelenggaraan pelayanan teknis, pengkajian dan penelitian serta pertemuan ilmiah dalam rangka pengembangan sistem hukum nasional.
ii.
Perancangan peraturan perundang-undangan.
iii.
Penyelenggaraan pelayanan teknis, perencanaan pembangunan hukum, analisa dan evaluasi dan penyusunan naskah akademik peraturan perundangundangan serta kerjasama bidang hukum dalam rangka pembinaan dan pengembangan sistem hukum nasional.
iv.
Penyelenggaraan pelayanan teknis, pengembangan penyuluhan hukum dan pembudayaan kesadaran hukum nasional.
v.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan.
vi.
Memfasilitasi perancangan peraturan daerah.
Peningkatan kinerja lembaga di bidang hukum dilakukan dengan beberapa kegiatan prioritas antara lain: i.
Percepatan peningkatan penyelesaian perkara.
ii.
Peningkatan manajemen peradilan umum.
iii.
Pengembangan kebijakan peradilan tipikor.
iv.
Peningkatan manajemen peradilan agama.
v.
Peningkatan manajemen peradilan militer dan TUN.
vi.
Pembinaan administrasi pengelolaan kepegawaian dan pengembangan SDM.
BAGIAN EMPAT
3.
vii.
Pembinaan administrasi pengelolaan perlengkapan sarana dan prasarana di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
viii.
Pengadaan sarana dan prasarana di lingkungan Mahkamah Agung.
ix.
Pengadaan sarana dan prasarana di lingkungan peradilan tingkat banding dan tingkat pertama.
x.
Peningkatan profesionalitas tenaga teknis peradilan dan aparatur peradilan di bidang manajemen dan kepemimpinan, dan beberapa fokus kegiatan lainnya.
Rencana Pembangunan Bidang Hukum dalam upaya mencapai RPJMN 2010 – 2014
Peningkatan penghormatan terhadap HAM dengan serangkaian kegiatan prioritas antara lain: i.
Penyediaan dana bantuan hukum di pengadilan tingkat pertama.
ii.
Penyediaan dana bantuan hukum di pengadilan agama.
iii.
Penyediaan dana bantuan hukum di pengadilan militer dan TUN.
iv.
Penanganan penyidikan pelanggaran HAM berat.
v.
Peningkatan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat.
vi.
Penguatan kesadaran HAM masyarakat dan aparatur negara.
vii.
Peningkatan penanganan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
viii.
Pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban.
ix.
Kegiatan kerjasama HAM.
x.
Kegiatan penguatan HAM.
19
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
4.
20
xi.
Kegiatan diseminasi HAM.
xii.
Kegiatan informasi HAM.
Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dilaksanakan dengan beberapa kegiatan prioritas yaitu : i.
Penanganan penyidikan tindak pidana korupsi.
ii.
Peningkatan penuntutan perkara pidana korupsi.
iii.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejati, Kejari dan Cabjari.
iv.
Pelayanan penyusunan peraturan perundang-undangan dan kerjasama hukum.
v.
Penyelidikan tindak pidana korupsi.
vi.
Penyidikan tindak pidana korupsi.
vii.
Penuntutan dan eksekusi tindak pidana korupsi.
viii.
Koordinasi dan supervisi penindakan TPK.
ix.
Pengelolaan LHKPN.
x.
Pengelolaan gratifikasi.
xi.
Penyelenggaraan pendidikan, sosialisasi, dan kampanye anti korupsi,
xii.
Pengembangan kebijakan, koordinasi dan evaluasi.
xiii.
Pengawasan intern pemerintah.
xiv.
Pengembangan kebijakan, koordinasi, monitoring.
xv.
Evaluasi percepatan pemberantasan korupsi, dan beberapa kegiatan prioritas lainnya.
BAGIAN EMPAT
Kesulitan yang dihadapi terutama hal yang terkait dengan pengukuran kinerja yang bersifat kualitatif. Kesulitan lainnya adalah ketersediaan baseline data dalam melakukan perencanaan awal, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya sejalan dengan pemenuhan kebutuhan prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014. Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting bila Direktorat Hukum dan HAM perlu melakukan kerja sama yang baik dengan ketujuh mitra kerja tersebut. Selain hal tersebut, Direktorat Hukum dan HAM perlu melakukan upaya seperti menentukan indikator, target dalam rangka pencapaian output dan outcome dalam PBK, penerapan reward dan punishment secara positif, adanya kejelasan tugas dan fungsi unit kerja dalam rangka pencapaian output dan outcome, dan terakhir, adanya instrumen pengukuran melalui standar biaya khusus (SBK) dan standar biaya umum (SBU).
Rencana Pembangunan Bidang Hukum dalam upaya mencapai RPJMN 2010 – 2014
21
BAGIAN LIMA IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Janedjri M. Gaffar. Sekretaris Mahkamah Konstitusi RI
A. Pengantar Penganggaran merupakan perencanaan keuangan secara sistematis yang menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah diterapkan dan dikembangkan untuk mencapai dalam rangka pengendalian keuangan, perencanaan manajemen, penyusunan prioritas dari penggunaan dana, dan pertanggungjawaban kepada publik. Beberapa dasawarsa lalu, anggaran disusun dengan menggunakan pendekatan kinerja berbasis anggaran (KBA). Penetapan kinerja dalam pendekatan KBA hanya didasarkan pada ketersediaan anggaran. Dengan kata lain, kinerja dapat disesuaikan dengan jumlah anggaran tertentu karena anggaran menjadi dasar dari penentuan target kinerja. Penganggaran dengan pendekatan KBA disadari mempunyai banyak kelemahan di antaranya tidak adanya muatan indikator (ukuran) kinerja dalam anggaran untuk mencapai tujuan dan sasaran layanan publik. Kesuksesan penggunaan anggaran negara hanya dilihat dari produk yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dan belum menyentuh kepada manfaat yang didapat.
23
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional menjadi lonceng dimulainya pendekatan baru dalam perencanaan dan penganggaran. Berikutnya, sejumlah peraturan perundang-undangan turut menegaskan penerapan PBK.1 Namun secara khusus, PBK merujuk pada Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 21 Ttahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Pasal tersebut menyatakan penyusunan anggaran harus memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Tulisan ini menggambarkan pengimplementasian PBK oleh lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga akan diketahui program/ kegiatan dan penganggaran MK dalam mewujudkan good governance. Penerapan good governance menjadi penting sebab selain diartikan sebagai pelayanan publik yang efisien dan pemerintahan yang bertanggung jawab pada publiknya, di dalam good governance terkandung pengertian sistem pengadilan yang dapat diandalkan.2 Sebelumnya, tulisan ini akan diawali dengan paradigma penyusunan anggaran yang dinilai sejalan dengan paradigma UUD 1945 hasil perubahan. Gagasan ini penting dikemukakan untuk menjadi bahan pemikiran dan renungan guna menemukan alternatif sistem terbaik dalam penyusunan anggaran di masa yang akan datang.
1 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional tahun 2005-2025, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga 2 H.A.S Natabaya sebagaimana dikutip oleh Bambang Suprasto H. Peluang dan Tantangan Anggaran Berbasis kinerja. Buletin Studi Ekonomi Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006. Hal. 271.
24
BAGIAN LIMA
B. Penganggaran Berparadigma Konstitusi
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
Dilihat dari perspektif pemencaran kekuasaan negara, UUD 1945 hasil perubahan menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power menggantikan sistem pada UUD 1945 sebelum perubahan yakni sistem pembagian kekuasaan atau distribution of power. Meskipun istilah separation of power, distribution of power atau division of power mempunyai arti yang tidak jauh berbeda3, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 hasil perubahan menganut teori pemisahan kekuasaan sebagaimana pendapat Montesquieu.4 Hanya saja, teori pemisahan kekuasaan dalam UUD 1945 hasil perubahan perlu dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsi atau kewenangannya, cabang kekuasaan negara memiliki eksklusifitas yang tidak boleh dicampuri oleh cabang kekuasaan negara yang lain. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, kekuasaan negara yang diwujudkan ke dalam lembaga-lembaga negara yang disusun secara vertikal-hierarkis. Dalam susunan tersebut, MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Di bawah MPR, kekuasaan
3 Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang mengatakan, the question whether the separation of power (i.e. the distribution of power of the various powers of government among different organs). Berdasarkan pendapat itu, Jimly mengatakan bahwa Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distrubution of power, baca Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006, hal. 19. 4 Konsep pemisahan kekuasaan semacam ini dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois atau The Spirit of the Laws. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. Konsepsi yang dikembangkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica. Banyak kritik terhadap Trias Politica dengan mengatakan mustahil memisahkan cabang-cabang kekuasaan secara ketat karena hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan. Padahal kalau mau dicermati, Montesquieu tidak mengatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan yang lain.
25
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
negara dibagikan kepada sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. Berbeda dengan itu, dalam UUD 1945 hasil perubahan, hubungan lembaga-lembaga negara tersusun secara horizontal-fungsional karena semua lembaga negara berkedudukan dalam tingkat yang sejajar atau sederajat. Tidak ada lagi kualifikasi lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD 1945. Kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan dijalankan menurut UUD yakni dipencarkan kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Dengan demikian, prinsip yang dianut adalah pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain. Mencermati sistem pemisahan kekuasaan tersebut maka akan menjadi kurang tepat bila dikaitkan dengan paradigma perencanaan dan penyusunan anggaran dalam pembangunan nasional yang dijalankan selama ini. Hal ini disebabkan paradigma penganggaran yang diterapkan belum mengacu kepada sistem pemisahan kekuasaan negara. Sistem penganggaran selama ini lebih berporos pada program dan anggaran presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Dalam menjalankan fungsi pemerintahan, presiden menentukan visi, misi, dan program yang kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)5. Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengungkapkan bahwa rencana pembangunan nasional jangka
5 RPJMN 2010-2014 disusun dalam tiga buku yang merupakan satu kesatuan. Dalam Buku I dimuat strategi, kebijakan umum, dan kerangka ekonomi makro yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program aksi serta sebelas prioritas pembangunan nasional dari Presiden-Wakil Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono dengan visi “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan”.
26
BAGIAN LIMA
menengah (RPJMN) merupakan penjabaran visi, misi, dan program presiden yang berpedoman kepada rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN).
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
RPJMN kemudian menjadi pedoman dalam penyusunan rencana startegis oleh seluruh kementerian/lembaga baik lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang kemudian diterjemahkan ke dalam visi, misi, dan program di kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Kemudian terjemahan visi, misi, dan program tersebut dituangkan ke dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga dan secara tahunan dalam Rencana Kerja (Renja) kementerian/lembaga yang juga memuat program prioritas lembaga masing-masing. Agar selaras dengan visi, misi, dan program presiden, Renstra kementerian/lembaga harus disinergiskan dengan RPJMN melalui pertemuan trilateral dengan otoritas anggaran yaitu kementerian/ lembaga bersangkutan, Bappenas dan kementerian keuangan untuk menetapkan apakah Renstra kementerian/lembaga sejalan dengan visi, misi, dan program presiden. Bila program prioritas Renstra/Renja khususnya di lembaga negara pada cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif tidak seiring dengan RPJMN maka program tersebut tidak menjadi program prioritas nasional6 atau hanya menjadi program penunjang saja.7 Prosedur tersebut menunjukkan bahwa dalam hal perencanaan dan penganggaran, lembaga pada kekuasaan legislatif dan yudikatif tidak memiliki ruang yang cukup untuk menentukan 6 Prioritas pada dasarnya merupakan pilihan berdasarkan urutan penting atau kurang penting. Masingmasing K/L memiliki program/kegiatan sesuai dengan urutan prioritas masing-masing. Sebagai contoh, setiap program/kegiatan diberi nomor urut 1 dan seterusnya. Artinya program/kegiatan nomor urut 1 prioritasnya lebih tinggi dibanding nomor 2 dan seterusnya. Hal ini berarti bahwa apabila ada keterbatasan anggaran atau kebijakan pemotongan anggaran maka program/kegiatan dengan prioritas yang lebih rendah merupakan program/kegiatan yang pelaksanaannya dapat ditunda terlebih dahulu. 7 Program Prioritas (Nasional) yaitu program-program yang ditetapkan Pemerintah dalam RKP sebagai prioritas pembangunan yang difokuskan pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, keadaan yang lebih aman, adil dan demokratis. Program prioritas nasional tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan prioritas. Sedangkan Program Penunjang, yaitu semua program yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, kecuali yang telah ditetapkan sebagai program prioritas nasional. Program penunjang dijabarkan lebih lanjut dalam kegiatan penunjang.
27
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
sendiri program dan anggarannya. Hal ini menyebabkan prioritas program lembaga pada kekuasaan legislatif dan yudikatif tidak tergambarkan secara utuh dalam program pembangunan nasional. Atas dasar tersebut, diperlukan adanya sistem pemisahan kekuasaan yang dicerminkan ke dalam mekanisme perencanaan dan penyusunan anggaran pembangunan nasional dengan melibatkan kementerian/ lembaga sejak awal dan memberikan ruang yang cukup untuk menyusun program pembangunan nasional, baik dalam penyusunan perencanaan pembangunan untuk jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek.
C. Kemandirian Anggaran Kekuasaan Kehakiman Adanya ruang bagi masing-masing lembaga negara baik pada tingkat legislatif maupun yudikatif untuk menyusun perencanaan dan anggaran akan lebih menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Mencermati perspektif teori, Montesquieu sebagai French Jurist di dalam The Spirit of the Laws mengemukakan ide constitutionalism yang dihubungkan the separation of powers dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman menyatakan “... the judiciary should be independent of the legislature and executive ...”.8 Dalam perkembangan selanjutnya, hal ini menjadi prinsip yang berlaku umum bagi cabang kekuasaan yudikatif yang harus bersifat independen. Independent dalam Bahasa Latin ”in” berarti di berarti segala sesuatu dilandaskan hanya pada keadaan di dalamnya. Dalam konteks lembaga peradilan diartikan bahwa lembaga peradilan semata-mata bergantung pada hukum dan keadilan dan bukan kepada yang lain. Independensi menghendaki kekuasaan yudikatif terbebas dari campur tangan, tekanan, dan paksaan baik langsung maupun tidak langsung dari lembaga negara lain.
8 MJC Vile. Constitutionalism and the Separation of Powers. Oxford, 1967.
28
BAGIAN LIMA
Dalam konteks Indonesia, lembaga negara pada tingkat yudikatif lazim disebut dengan istilah kekuasaan kehakiman. Menilik pengaturannya dalam UUD 1945 ada perbedaan yang cukup tegas antara rumusan pasal kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum perubahan dengan UUD 1945 hasil perubahan. Pada UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman lain menurut undang-undang. Lebih lanjut dinyatakan juga bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Rumusan tersebut tidak secara tegas menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan dan kedudukannya diserahkan pengaturannya berdasarkan undang-undang.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
Sementara itu, Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 hasil perubahan menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan tersebut menjelaskan sifat dan tujuan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum serta keadilan. Di samping itu, frasa kekuasaan yang merdeka memperlihatkan dan sekaligus menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari lembaga negara lainnya. Independensi yang dimiliki oleh lembaga negara pada ranah kekuasaan kehakiman tersebut dimaknai dalam hal perencanaan dan penganggaran dan independensi. Shimon Shetreet membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence, artinya independensi dalam memutuskan perkara, personal independence, yaitu adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure), internal independence, dan collective independence.9
9 Dikutip dari Saldi Isra, Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum, Pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam diskusi terbatas dengan topik ”Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum”, yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial RI.
29
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Sejalan dengan itu, menurut Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Muchsin, independensi kekuasaan kehakiman dibagi ke dalam tiga pengertian, yaitu:10 1.
Structural independence yaitu independensi kelembagaan yang dapat ditinjau dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan yudikatif.
2.
Functional independence yaitu independensi ditinjau dari segi jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial.
3.
Financial independence yaitu independensi yang ditinjau dari segi kemandiriannya dalam menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin kemandirian dalam menjalankan fungsi.
Berpijak pada konsep tersebut maka independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman telah mencakup independensi dalam pengertian structural independence dan functional independence. Sedangkan untuk financial independence sampai saat ini belum sepenuhnya independen karena masih sangat tergantung pada anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang ditentukan oleh presiden dan DPR sebagai pelaku kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal yang ingin ditegaskan adalah kemandirian anggaran bukan diarahkan untuk benar-benar terpisah dari program dan anggaran yang disusun presiden sebagai pengelola keuangan negara. Kemandirian di sini lebih mengarah kepada pemberian ruang yang cukup bagi lembaga negara di tingkat kekuasaan yudikatif dalam proses penyusunan program dan anggaran sejak awal proses penyusunan program pembangunan nasional. Wacana ini mungkin di luar kelaziman, tetapi perlu dipertimbangkan untuk dikaji lebih
10 Muchsin. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi. Jakarta. STIH IBLAM. 2004. Hal. 12.
30
BAGIAN LIMA
lanjut terutama setelah melihat perkembangan dan dinamika penegakan hukum dewasa ini. Dengan demikian, maka MA dan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dipastikan harus memiliki program/kegiatan prioritas untuk dapat melaksanakan kewenangankewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
D. Implementasi PBK di Mahkamah Konstitusi Uraian mengenai implementasi PBK di MK akan lebih baik bila diawali dengan pendeskripsian visi dan misi MK yang dituangkan dalam Renstra MK 2009-2010 yang menggambarkan target dan strategi MK. Berdasarkan UUD 1945 MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan. Keberadaan MK adalah untuk memberikan jaminan bahwa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjamin berjalannya prinsip checks and balances, serta menjamin keberlangsungan demokrasi dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Dalam konteks organisasi visi merupakan cara pandang ke depan tentang arah pergerakan organisasi agar tetap berjalan, antisipatif dan inovatif. Visi MK adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan citra negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Untuk menjabarkan visi tersebut maka MK telah menentukan misi yang didasarkan kepada prinsip supremacy of law dan equality before the law. Dalam rangka mewujudkan visi maka misi MK adalah sebagai berikut: 1.
Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya.
2.
Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.
31
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Dari uraian mengenai visi dan misi tersebut maka dapat dikemukakan pokok-pokok rencana kerja MK 2010-2014, target kinerja 2010-2014, indikator kinerja MK 2010-2014, pencapaian implementasi PBK di MK, dan dampak PBK terhadap kinerja lembaga dan individu MK.
1. Pokok-Pokok Rencana Kerja MK 2010-2014 Berpijak dari kondisi tersebut untuk dapat melaksanakan visi dan misinya dengan baik MK memerlukan perencanaan dalam pengelolaan lembaga termasuk dalam aspek pengelolaan keuangan negara melalui penganggaran. Untuk itu, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 MK memberlakukan penganggaran berbasis kinerja. Berdasarkan visi dan misi MK yang telah dijabarkan tersebut maka pada periode 20102014 MK diarahkan untuk: Menegaskan peran MK sebagai pengawal konstitusi melalui penyelenggaraan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta mengedepankan prinsip modern, cepat, dan sederhana. 1.
Membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konstitusi dan ketatanegaraan.
2.
Menata dan memperkuat organisasi MK yang independen, efektif, dan efisien
2. Target Kinerja MK 2010-2014 Secara lebih terperinci, pokok-pokok Renja MK tahun 2010-2014 dititikberatkan pada target kinerja sebagai berikut:
32
1.
Meningkatnya dukungan pelayanan administrasi umum dan administrasi yustisial yang modern, profesional dan terpercaya.
2.
Meningkatnya transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan.
BAGIAN LIMA
3.
Terwujudnya sistem peradilan konstitusi yang mandiri dan berkualitas.
4.
Terbangunnya budaya sadar berkonstitusi melalui peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang isu konstitusi dan ketatanegaraan.
5.
Meningkatnya kerjasama nasional dan internasional.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
3. Indikator Kinerja MK 2010-2014 Indikator kinerja merupakan performance commitment yang dijadikan dasar MK menentukan indikator yang terukur. Indikator-indikator tersebut disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia maupun prasarana termasuk anggaran dalam proses pengukurannya. Indikator lembaga saat ini telah sesuai dengan Keputusan Sekretaris Jenderal MK Nomor 0242/KEP/SET.MK/2010 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di mana MK memiliki empat indikator output dan outcome yang didukung empat belas indikator kinerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK sebagai supporting unit MK11 serta indikator-indikator output dari unit-unit terkecil di dalamnya. Indikator kelembagaan MK yang terdiri atas indikator output dan outcome tersebut adalah: 1.
Tingkat kepuasan pelayanan, indikator tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat pencapaian kinerja pelayanan MK dalam memberikan pelayanan kepada para pihak yang terkait dalam proses penyelesaian perkara di MK. Selain itu, indikator ini akan menjadi salah satu acuan dalam penataan sistem, mekanisme, dan prosedur pelayanan. Dalam indikator ini, aspek-aspek yang menjadi pengamatan adalah proses dalam penanganan perkara di MK yang meliputi pelayanan
11 Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa tugas Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) ialah menyelenggarakan dukungan teknis pelayanan administrasi umum dan administrasi yustisial kepada MK. Tugas tersebut diberikan untuk memberikan jaminan agar pelaksanaan kewenangan konstitusional MK dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
33
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
penerimaan permohonan, pelayanan persidangan, dan pelayanan putusan. 2.
Persentase perkara yang diputus adalah produk akhir dan paling utama bagi MK. Untuk itu, kecepatan dalam memutuskan perkara adalah hal penting selain substansi putusan. Indikator ini digunakan untuk mengetahui jumlah putusan dari perkara yang ditangani MK. Tujuannya adalah untuk menghindari kemungkinan terjadinya penumpukan perkara.
3.
Rata-rata jangka waktu penyelesaian perkara yang bersifat limitatif dan non limitatif. Perkara pengujian undangundang, SKLN, pembubaran partai politik, dan perkara terkait dengan impeachment merupakan perkara yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dibatasi jangka waktu penyelesainnya (non limitatif). Meskipun demikian, para pihak yang berperkara di MK menginginkan segera mendapat putusan perkara. Sedangkan perkara PHPU baik legislatif, presiden/wakil presiden, dan kepala daerah adalah perkara yang penyelesaiannya dibatasi oleh jangka waktu. Untuk itu kecepatan dan ketepatan penyelesaian perkara perlu diketahui.
4.
Indeks persepsi media adalah media massa yang diyakini memiliki fungsi sebagai interpretasi, transmisi nilai, dan pengawasan. Indeks diperoleh dari pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif atas pemberitaan media massa terhadap MK, pendapat serta pandangan para praktisi media massa terhadap MK. Pendapat dan pandangan media massa ini tidak ditujukan kepada substansi putusan MK melainkan pada aspek pelayanan informasi mengenai MK.
Sedangkan indikator kinerja menurut Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK sebagaimana disebutkan terdiri atas sebelas indikator. Di antara indikator tersebut, indikator yang dinilai paling dominan yakni tingkat kinerja dukungan administrasi yustisial kepada hakim dan tingkat kinerja pelayanan administrasi umum
34
BAGIAN LIMA
kepada masyarakat umum. Indikator lainnya adalah opini laporan keuangan dengan predikat wajar tanpa pengecualian dijadikan sebagai salah satu penilaian akuntabilitas kinerja lembaga. Demikian pula, indikator tingkat capaian kinerja yang merupakan pengukuran dari Menpan dan RB terkait dengan pelaporan kinerja yang harus diberikan kepada pemerintah maupun publik. Indikator digunakan sebagai bukti dan wujud dari upaya serius untuk mendukung penerapan PBK. Di samping itu, indikator persentase kajian perkara digunakan untuk mengetahui jumlah pengkajian perkara yang masuk kepada hakim MK. Indikator jumlah kerjasama nasional dan internasional terkait kerjasama yang dilakukan MK baik di dalam negeri maupun luar negeri yang bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Mahkamah Konstitusi
E. Pencapaian implementasi PBK di MK Implementasi PBK di MK telah dimulai sejak pembentukan lembaga ini dimana proses perencanaan program, kegiatan, dan anggaran dituangkan ke dalam Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya untuk Periode 2005-2009. Cetak Biru atau blue print merupakan dokumen perencanaan strategis sebagai acuan dalam penyusunan target kinerja dan anggaran. Dokumen anggaran tersebut memperlihatkan target kinerja dan kebutuhan anggaran terutama yang terkait dengan penanganan perkara konstitusi. Secara umum, implementasi PBK telah meningkatkan kinerja MK secara signifikan yang juga diikuti dengan meningkatnya kinerja individu. Implementasi PBK menuntut peningkatan kualifikasi dan kompetensi sumber daya agar mampu membuat perencanaan dan penganggaran yang lebih terukur. Hal ini disebabkan karakteristik MK sebagai peradilan konstitusi ditentukan oleh peraturan perundangundangan memiliki sifat pasif. Artinya, MK hanya diperkenankan menangani permohonan perkara yang masuk tanpa boleh aktif menentukan ataupun mencari perkara. Sifat pasif tersebut pada perkembangannya menciptakan karakter tersendiri dalam
35
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
perencanaan dan penyusunan anggaran. Hal ini disebabkan dalam penyusunan perencanaan dan anggaran MK hanya mendasarkan pada prediksi. Kesenjangan perencanaan dengan kenyataan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja pelayanan administrasi umum dan administrasi yustisial terutama faktor kesiapan sumber daya manusia atau individu dalam mendukung penanganan perkara.
F. Kesimpulan
36
1.
Paradigma UUD 1945 yang menganut sistem pemisahan kekuasaan seharusnya diikuti oleh paradigma dalam penyusunan perencanaan. Atas dasar itu, masing-masing lembaga negara di tingkat yudikatif maupun legislatif dilibatkan sejak awal dan mendapat ruang yang cukup untuk menyusun perencanaan pembangunan nasional. Program-program tersebut kemudian disinergikan dan disinkronisasikan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan melalui Bappenas.
2.
Independensi struktural dan fungsional kekuasaan kehakiman belum diikuti kemandirian anggaran. Kemandirian dalam hal ini lebih mengarah kepada pemberian ruang dalam penyusunan program dan anggaran dalam pembangunan nasional.
3.
Pencapaian implementasi PBK di MK adalah adanya program dan kegiatan dalam dokumen anggaran (DIPA dan RKA-K/L). Hal ini berdampak signifikan telah mampu meningkatkan kinerja lembaga dan individu.
BAGIAN ENAM IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA Drs. H. Hariri YS, SH, MM. Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Mahkamah Agung RI
Dalam Cetak Biru MA RI 25 tahun (2010-2035) telah dilakukan penyempurnaan visi dan misi lembaga peradilan Indonesia. Cetak Biru merupakan arahan konkrit penjabaran visi dan misi MA yang harus diimplementasikan oleh seluruh satuan kerja di lingkungan MA RI dalam menyusun Renstra, Program Prioritas, dan kegiatan turunannya agar berdampak nyata pada kinerja pengadilan dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Wewenang MA sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 antara lain: 1.
Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA.
2.
Menguji peraturan perundang-undangan dan pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada MA.
3.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
37
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Kerangka penyusunan Renstra dan Cetak Biru MA dari 2010-2035 pada saat ini didasarkan pada ODA (Organization Diagnostic Assessment). Penyusunan ini dilakukan dalam tiga fase yaitu: fase pertama yaitu persiapan rencana manajemen perubahan, fase kedua yaitu pengelolaan dan pelaksanaan perubahan, dan fase ketiga yaitu memperkuat perubahan. Selanjutnya, manajemen perubahan tersebut akan dituangkan dalam Renstra setiap lima tahun. Renstra tersebut tidak akan terlepas dari Renstra pemerintah atau Renstra nasional. Dengan pola tersebut, diharapkan bahwa Renstra setiap lima tahun akan menjadi tahapan-tahapan penyelesaian masalah di MA sehingga seluruh masalah terselesaikan pada tahun 2035. Cetak biru MA memiliki empat fokus pembenahan yaitu: 1.
Menjaga kemandirian badan peradilan dengan pelaksanaan fungsi peradilan secara optimal, pemantapan konsep satu atap, dan pembenahan sistem manejemen, organisasi, dan keuangan.
2.
Memberi pelayanan hukum yang berkualitas hal ini bisa dilakukan dengan peningkatan kualitas dan konsistensi putusan, peningkatan kualitas penyelenggaraan peradilan, dan kemudahan akses pencari keadilan.
3.
Meningkatkan kualitas kepemimpinan yang dilakukan dengan peningkatan kompetensi teknis dan non teknis dan pembenahan sistem perencanaan pengawasan.
4.
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi melalui keterbukaan pengelolaan organisasi, peningkatan pengawasan dan administrasi perkara, dan keterbukaan proses peradilan dan putusan.
Selanjutnya berdasarkan struktur organisasi dan arahan strategis, terdapat delapan arahan strategis blue print yaitu:
38
BAGIAN ENAM
1.
Internalisasi visi, misi, dan nilai-nilai.
2.
Melanjutkan penyelesaian agenda reformasi birokrasi melalui penguatan organisasi dengan pelaksanaan restrukturisasi organisasi, pengembangan tata laksana organisasi baru, penguatan kapabilitas dan manajemen SDM.
3.
Menyelesaikan tunggakan perkara.
4.
Mencanangkan sistem kamar.
5.
Memperkuat sistem dan meningkatkan kinerja pengawasan dan pembinaan.
6.
Mengembangkan Undang-Undang Contempt of Court.
7.
Kemandirian anggaran sesuai termaktub dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 yang menerangkan bahwa MA mempunyai anggaran sendiri.
8.
Melanjutkan upaya mewujudkan modernisasi pengadilan.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Lembaga Peradilan Indonesia
Selain arahan strategis tersebut, MA memiliki delapan program prioritas yaitu peningkatan penyelesaian perkara, peningkatan manajemen peradilan umum, peningkatan manajemen peradilan agama, peningkatan manajemen peradilan militer dan TUN, peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur, pendidikan dan pelatihan, peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya, serta sarana dan prasarana aparatur negara MA. Selain arahan strategis yang dituangkan ke dalam blue print MA, beberapa pokok rencana kerja MA tahun 210-2014 antara lain: penegakan Hukum dan HAM di mana target kegiatan penanganan perkara berjumlah 250.000 perkara seperti perkara korupsi, KKN tertentu, dan perkara yang menarik masyarakat, peningkatan kualitas profesi hukum dengan melakukan pendidikan dan pelatihan aparatur hukum sebanyak tiga ribu orang. Sasaran dari program ini adalah peningkatan kemampuan profesi aparatur hukum yang terdiri atas: diklat cakim 580 orang, hakim tipikor 304 orang, diklat hakim 900 orang, diklat PP 550 orang, diklat juru sita 550 orang, diklat terpadu
39
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
hakim dan jaksa 116 orang, dan terakhir implementasi kinerja MA 2010 dapat dilihat dari data jumlah sementara penyelesaian perkara (Januari hingga September 2010) MA yaitu sisa awal 8.835 perkara, perkara masuk 10.691 perkara, putus 10.235 perkara. Dan juga dengan melihat jumlah sementara tenaga teknis yang dilatih sebanyak 1.652 orang, serta jumlah penyelesaian perkara prodeo, sidang keliling, dan bantuan hukum kurang lebih 4.822 perkara. Setelah adanya restrukturisasi program, maka rencana kerja MA tahun 2011-2014 sebagai berikut:
40
1.
Program penyelesaian perkara dengan target 41.400 perkara untuk kegiatan percepatan penyelesaian perkara. Indikatornya yaitu jumlah penyelesaian perkara (termasuk perkara yang menarik perhatian), jumlah penyelesaian tunggakan perkara, jumlah penyelesaian minutasi perkara yang tepat waktu.
2.
Peningkatan manajemen peradilan umum, agama, Miltun dengan target 953.581 perkara kegiatan peningkatan manajemen peradilan. Indikatornya yaitu jumlah penyelesaian perkara yang kurang dari enam bulan, dan jumlah penyelesaian administrasi perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding. Penyediaan dana bantuan hukum dengan target 224.140 perkara. Indikatornya, yaitu jumlah penyediaan dana bantuan hukum di tingkat pengadilan pertama, jumlah pelaksanaan sidang keliling, zitting plaats, Hakim Terbang /Detasering untuk menjangkau lapisan masyarakat, dan jumlah penyelesaian perkara prodeo.
3.
Peningkatan sarana, prasarana di MA dan peradilan di bawahnya. Kegiatannya adalah pengadaan sarana dan prasarana di tingkat banding dan pertama. Target kegiatan antara lain: pengadaan tanah 400.000 m2, pembangunan gedung baru 150 unit, pembangunan lanjutan sebanyak 250 unit, pembangunan rumah dinas sebanyak 130 unit, perbaikan gedung sebanyak 360 unit, perbaikan rumah dinas sebanyak 222 unit, pengadaan kendaraan roda empat sebanyak 1800
BAGIAN ENAM
unit. Indikatornya adalah jumlah pemenuhan sarana prasarana, misalnya, pengadaan tanah lokasi pengadilan, pembangunan gedung pengadilan, perumahan dinas untuk jajaran peradilan, pengadaan kendaraan operasional pengadilan, dan sebagainya. 4.
Pendidikan dan pelatihan dengan kegiatan peningkatan profesionalitas SDM dengan target melatih 30.480 orang. Indikatornya, jumlah SDM yang dilatih dengan bidang teknis dan manajemen, jumlah hakim/hakim ad-hoc yang dilatih mengenai penanganan perkara, dan tipikor dan asset recovery, jumlah silabus dan kurikulum pelatihan yang disusun, dan jumlah pengembangan sistem diklat yang terhubung dengan sistem rekrutmen.
5.
Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas dengan kegiatan pengawasan pelaksanaan teknis, administrasi peradilan dan umum, dan penanganan pengaduan. Targetnya penyelesaian 845 laporan dengan indikator yaitu jumlah penanganan pengawasan teknis, administrasi peradilan dan umum, jumlah penanganan pengaduan masyarakat.
6.
Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya. Kegiatannya: pembinaan administrasi pengelolaan kepegawaian dan pengembangan SDM dengan target 13.448 orang. Indikatornya, jumlah rekrutmen hakim ad-hoc, jumlah rekrutmen SDM (tenaga teknis dan non teknis), transparan dan akuntabel, dan tersedianya dokumen rancangan pola karir dan pelaksanaannya.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Lembaga Peradilan Indonesia
Hasil yang diharapkan dari penganggaran berbasis kinerja adalah kinerja MA dan peradilan di bawahnya dapat lebih terukur dan memberikan dampak terhadap pelayanan kepada semua pihak. Dampak tersebut dapat terlihat dari penyelesaian perkara menjadi lebih cepat, layanan pengadilan menjadi lebih baik, pengadilan lebih mudah diakses baik secara fisik maupun online, putusan yang diberikan berkualitas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan
41
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
struktur organisasi sesuai dengan tugas, pokok, fungsi organisasi MA dan badan peradilan di bawahnya. Dalam penerapannya tak jarang ditemui beberapa hambatan dan kendala antara lain: 1.
Perubahan pola pikir sumber daya manusia Mahkamah Agung dan badan peradilan dalam perencanaan dan penganggaran selama ini antara lain: i.
Masih berorientasi pada input atau sumber daya yang diperlukan, orientasi pada output untuk kegiatan dan outcome untuk program.
ii.
Belum digunakannya indikator kinerja sebagai alat pengukur keberhasilan suatu kegiatan/program
2.
Pemahaman yang sama tentang indikator yang digunakan dan jumlah target yang dibutuhkan dengan mengacu kepada pendanaan perencanaan dan penganggaran, ketersediaan anggaran dan perhitungan yang logis.
3.
Alokasi RKAKL 2011, khususnya penyusunan output dan komponen output kegiatan untuk badan-badan peradilan di daerah yang mempergunakan lebih dari satu program dan kegiatan.
4.
Terbatasnya kemampuan SDM di bidang keuangan dan akuntansi.
5.
Belum semua kegiatan telah memiliki SBK (Standar Biaya Keluaran).
Dengan memperhatikan hambatan dan kendala tersebut, langkah strategis yang ditempuh antara lain: melakukan pembinaan secara internal maupun eksternal (Bappenas, Keuangan, dll) dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja, secara berkala melakukan evaluasi terhadap program-program kegiatan yang telah disusun, MA melakukan evaluasi organisasi, harmonisasi Tupoksi, dan melalui badan pengawasan MA melakukan kegiatan evaluasi kinerja terhadap kegiatan MA dan badan-badan peradilan.
42
BAGIAN TUJUH THE FINANCING OF THE JUDICIARY SYSTEM IN THE NETHERLANDS
Mr. Johan Gert Pot. Anggota Komisi Yudisial Belanda
Komisi Yudisial di Belanda merupakan hasil reorganisasi sistem peradilan pada tahun 2002. Komisi ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi hubungan kementerian kehakiman dengan lembaga peradilan, memungkinkan adanya pengenalan sistem manajemen terpadu pada lembaga peradilan termasuk di dalamnya penerapan penganggaran berbasis kinerja. Komisi Yudisial Belanda beranggotakan empat orang yaitu dua orang dari bidang hukum, dan dua orang dari bidang non hukum. Anggota komisi bertugas untuk masa enam tahun dan diajukan oleh menteri kehakiman dan ditetapkan oleh kerajaan. Komisi ini didukung oleh 140 orang staf. Tugas utama Komisi Yudisial adalah: 1.
Melakukan persiapan anggaran peradilan.
2.
Mengalokasikan dana anggaran kepada lembaga-lembaga peradilan.
3.
Memberikan dukungan operasional.
4.
Memberikan dukungan pada proses perekrutan dan seleksi.
5.
Meningkatkan kualitas dan keseragaman hukum.
43
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
6.
Memberikan masukan pada saat munculnya peraturan baru terutama yang terkait dengan beban kerja tambahan dan timbulnya kebutuhan anggaran tambahan pada saat berlakunya suatu peraturan.
Berdasarkan struktur tersebut di bawah ini akan terlihat bahwa komisi ini adalah bagian dari sistem peradilan dan bertugas pada bidang operasional, tetapi tidak mengurusi masalah hukum. Komisi Yudisial menetapkan target bagi dirinya sendiri sebagai pendukung bagi lembaga-lembaga peradilan. Untuk memastikan tugas dijalankan dengan baik maka komisi ini berkonsultansi secara rutin dengan ketua pengadilan, direktur operasi, kepala bagian, dan dewan pengadilan. Lebih lanjut, komisi ini tidak memiliki wewenang terhadap MA, komisi negara, dan kejaksaan. Masing-masing lembaga tersebut memiliki anggaran yang terpisah dan prioritas kebijakan strategis yang disusun setiap empat tahun dalam agenda strategis peradilan. Selanjutnya berbagai prioritas kebijakan dalam agenda tersebut dituangkan dalam rencana tahunan komisi dan lembagalembaga pengadilan. Selain itu, Komisi Yudisial tidak memiliki hubungan formal dengan parlemen sebab kementerian kehakiman yang bertanggung jawab kepada parlemen. Gambar 7. Kedudukan Komisi Yudisial dalam Sistem Peradilan Belanda
Supreme Court Mahkamah Agung
Parliament Parlemen
Minister of Justice Menteri Kehakiman
Public Prosecution Service Kejaksaan
44
Council for the Judiciary Komisi Yudisial
Support Units Unit Pendukung
Courts of Appeal Pengadilan Banding
District Courts Pengadilan Distrik
Central Appeals Tribunal
Pengadilan Banding Pusat
Trade and Industry Appeals Tribunal
Council of State Komisi Negara
BAGIAN TUJUH The Financing of The Judiciary System in The Netherlands
1. Struktur dan Mekanisme Dalam struktur pengadilan di Belanda, kepemimpinan dipegang oleh presiden, direktur operasi, dan kepala sektor. Pimpinan pengadilan tersebut merupakan anggota dewan pengadilan (Board of the Court). Dengan demikian, setiap manajer lini di setiap jenjang bertanggung jawab untuk menjalankan organisasi di bawah kepemimpinannya dalam kerangka hukum dan kebijakan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial menyiapkan, menyusun, dan membukukan anggaran sistem peradilan. Anggaran dikeluarkan sesuai dengan pengukuran beban kerja yang dikelola oleh komisi tersebut. Metode yang dilakukan dengan menghitung waktu dan pergerakan secara rata-rata penyelesaian berbagai jenis kasus. Lalu biaya per kasus dihitung dengan mengalikan rata-rata waktu penanganan dengan biaya per menit. Alokasi anggaran sistem peradilan ditetapkan dengan undang-undang setiap tahunnya. Komisi Yudisial menyampaikan kepada menteri kehakiman tentang penggunaan sumber dana lalu mendistribusikannya kepada lembaga-lembaga peradilan yang selanjutnya akan digunakan sumber anggaran. Dalam pelaksanaannya, dewan pengadilan bertanggung jawab kepada komisi tentang penggunaan dana. Dewan pengadilan memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana yang diberikan oleh komisi untuk kebutuhan pengadilan mereka. Komisi ini akan memberikan laporan kegiatannya kepada dewan setiap empat bulan atau pada saat laporan tahunan. Laporan tersebut antara lain terkait dengan keanggotaan, keuangan, organisasi, kualitas, bangunan, keamanan, dan teknologi informasi.
45
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
2. Hubungan Kementerian dengan Komisi dalam Penganggaran Proposal anggaran yang telah disusun oleh Komisi Yudisial diajukan kepada menteri kehakiman. Bila menteri dan komisi menyetujui maka anggaran disahkan dan sebaliknya maka parlemen yang akan memutuskan. Persetujuan atas satuan-satuan harga antara menteri dan komisi dilakukan setiap tiga tahun. Sementara itu, persetujuan atas kuantitas atau beban kerja antara menteri dan komisi dilakukan setiap tahun. Selain itu, unit riset dan pengembangan menyusun analisis dan prognosis untuk memperkirakan jumlah kasus yang akan masuk dengan menggunakan sistem registrasi dalam analisis dan prognosisnya. Bila terdapat perbedaan antara kesepakatan dengan realisasi maka perbedaan tersebut dimasukkan dalam equalization account.
3. Indikator Kinerja Indikator kinerja yang diterapkan adalah: 1.
Kualitas peradilan dengan tiga indikator kualitas peradilan (tidak termasuk pada kualitas putusan hukum) yaitu: i.
Customer assessment Setiap empat tahun pengadilan melakukan evaluasi dan survei konsumen pengguna berbagai jasa dan produk pengadilan. Penilaian tersebut dilakukan terhadap berbagai pihak baik pihak yang berperkara maupun kejaksaan. Terdapat sepuluh masalah yang ditanyakan dalam penilaian tersebut antara lain: persepsi keahlian, persepsi ketidakberpihakan, komprehensif tidaknya penanganan kasus, dan lamanya prosedur.
ii.
Waktu untuk prosedur Jangka waktu prosedur dihitung mulai saat pengisian berkas di pengadilan hingga kasus diputuskan di mana terdapat 23 prosedur yang diukur.
46
BAGIAN TUJUH The Financing of The Judiciary System in The Netherlands
iii.
Rasio kasus diputuskan oleh pengadilan penuh. Rasio ini mengukur banyaknya kasus yang diputuskan oleh seorang hakim atau majelis secara penuh.
2.
3.
4.
Produksi dan Keuangan untuk melakukan pengukuran: i.
Jumlah kasus yang ditangani dibandingkan dengan kesepakatan dan kasus yang terjadi dipengadilan.
ii.
Biaya per kasus dan distribusi produk dibandingkan dengan kesepakatan produksi.
iii.
Tingkat produktivitas per jam dan kasus per pegawai dibandingkan pada target dalam kesepakatan dan perbandingan antar pengadilan.
iv.
Perputaran dari tanah milik yang terpisah dibandingkan pada tiap-tiap pengadilan.
Sumber daya manusia, dalam aspek ini diukur indikator berupa: i.
Perbandingan antara jumlah hakim dan staf pendukung.
ii.
Tingkat absensi.
iii.
Perbandingan antara pria dan wanita.
iv.
Distribusi umur.
Pengembangan dan Lain: i.
Jumlah kasus dan putusan yang dipublikasikan.
ii.
Jumlah pelaksanaan mediasi dan mediasi yang berhasil.
iii.
Jumlah pengaduan dan pengaduan yang dibenarkan.
iv.
Jumlah gugatan pada impartiality/ integrity.
47
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
4. Pelajaran dari Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja di Belanda Sistem penganggaran tersebut memberikan insentif yang besar untuk lebih efisien, tetapi memiliki lebih banyak risiko dalam sistem yang saling berseberangan. Misalnya sistem baru ini dapat menunjukkan bagaimana dana digunakan namun untuk dapat melakukannya maka sistem harus dapat mencatat dan menyimpan sedemikian banyak informasi. Untuk itu, dalam penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja harus memenuhi beberapa syarat kondisi sebagai berikut:
48
1.
Pencatatan kasus dan data kasus yang seragam dan dapat dipercaya,
2.
Memutuskan tingkat detail dan pembedaan kasus,
3.
Pengukuran waktu dan pertimbangan norma beban kerja secara periodik,
4.
Membangun suatu sistem pengukuran kualitas.
BAGIAN DELAPAN
KESIMPULAN
Perubahan sistem keuangan negara menyebabkannya dimulainya perencanaan anggaran negara dengan mekanisme penganggaran berbasis kinerja sejak tahun 2010. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja yang lebih terukur dan penggunaan anggaran yang lebih efisien. Pada penerapan kerangka pembiayaan jangka menengah maka diperoleh informasi pembiayaan selama lima tahun untuk setiap sektor. Penganggaran berbasis kinerja disadari sebagai salah satu instrumen untuk mengetahui ke mana dan untuk apa anggaran yang telah dikeluarkan dari APBN dan APBD. Dengan demikian, indikator efisiensi dan efektifitas, serta target yang jelas dalam pelaksanaan program di masing-masing kementerian/lembaga dapat dirumuskan. Penganggaran berbasis kinerja juga dapat digunakan sebagai alat akuntabilitas dan transparency pemerintah serta masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran dan juga memudahkan proses pengawasan. Dengan demikian, tidak hanya sebagai dokumen kerja, tetapi terkait dengan budaya serta nila-nilai yang dianut oleh bangsa dan pemerintahan. Oleh karena itu, sebagai salah satu tahapan menuju penganggaran berbasis kinerja adalah dengan melakukan pembinaan secara internal maupun melibatkan pihak lain yang terkait dalam penerapannya
49
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
50
serta melakukan evaluasi terhadap program-program kegiatan yang telah disusun, evaluasi organisasi, harmonisasi tupoksi, dan evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi untuk menunjang implementasi penganggaran berbasis kinerja.
BAGIAN DELAPAN
In-Depth Discussion 20 - 21 OKTOBER 2010 IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKTOR HUKUM, PERADILAN DAN HAM
Ringkasan Kegiatan In-Depth Discussion
Sesi I Rabu, 20 Oktober 2010 Instansi Mitra
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Waktu
09.00 – 11.00
Hadir
Bappenas Mardiharto Tjokrowasito
International Expert Mr. J. G. Pot
Prahesti Pandanwangi
Staf Direktorat Bidang Hukum dan HAM
NLRP Binziad Kadafi
Project Manager
Dwi Hartoyo
Project Officer
Tim Fasilitator
Pembahasan
Staf Direktorat Bidang Hukum, Peradilan dan HAM menjelaskan tentang tugas pokok dan fungsi Direktorat. Pembahasan juga menjelaskan penerapan performance based budgeting di bidang hukum, HAM, dan peradilan di Indonesia.
Mr JG Pot menjelaskan mekanisme perencanaan dan penganggaran di sistem peradilan Belanda. Khususnya tentang bagaimana pembahasan dengan Parlemen, perhitungan biaya produksi, serta penanganan anggaran bila terjadi perbedaan realisasi. Mr Pot menekankan pentingnya komponen penilaian kualitas.
51
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Sesi II Rabu, 20 Oktober 2010 Instansi Mitra
Direktorat Jenderal Anggaran – Departemen Keuangan
Waktu
14.00 – 16.00
Hadir
Direktorat Jenderal Anggaran Ernest Patria Raihan, MM,
Kasi Pengembangan Jangka Menengah (PJM)
International Expert Mr. J. G. Pot
NLRP Dwi Hartoyo Project Officer Peter De Meij Project Officer
Tim Fasilitator
Pembahasan
Pak Ernest, memberikan penjelasan tentang roadmap penerapan penganggaran berbasis kinerja pada keuangan negara di Indonesia. Pak Ernest juga menjelaskan bahwa implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia mengalami berbagai kendala. Baik dari sisi teknis tentang pemahaman sistem itu sendiri, belum tersusunnya business process dan indikator kinerja, serta dukungan dari legislatif.
Mr Joop Pot, memberikan sharing pengalaman implementasi penganggaran berbasis kinerja di Belanda, khususnya tentang bagaimana menghadapi mitra kerja di sektor hukum. Diskusi juga membahas bagaimana Komisi Yudisial Belanda menangani mitra kerja seperti Departemen Kehakiman dan Lembaga-Lembaga Peradilan.
52
BAGIAN DELAPAN
Sesi III Kamis, 21 Oktober 2010 Instansi Mitra
Mahkamah Agung
Waktu
10.00 – 12.00
Hadir
Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung
Pejabat dan staf di lingkungan Badan Urusan Administrasi
Bappenas Prahesti Pandanwangi
Pembahasan
International Expert Mr. J. G. Pot
NLRP Binziad Kadafi
Project Manager
Dwi Hartoyo
Project Officer
Peter De Meij
Project Officer
Tim Fasilitator
Pak Subagyo menjelaskan tentang pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di lingkungan Mahkamah Agung. Kepala BUA menjelaskan hambatan implementasi terutama pada penetapan indikator kinerja yang sebagian besar bersifat kualitatif. Padahal untuk implementasi penganggaran berbasis kinerja, indikator yang diharapkan lebih bersifat kuantitatif.
Pada sesi diskusi tersebut, Mr JG Pot memberikan beberapa contoh bagaimana membuat indikator kinerja yang bersifat kuantitatif pada lembaga peradilan Belanda. Lebih lanjut, Mr JG Pot juga menjelaskan bagaimana mekanisme hubungan antara lembaga peradilan, Komisi Yudisial, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Parlemen.
53
DISKUSI PUBLIK Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Sektor Hukum, Peradilan, dan HAM
Sesi IV Kamis, 21 Oktober 2010 Instansi Mitra
Komisi Yudisial
Waktu
12.30 – 15.00
Hadir
Anggota Komisioner
Pejabat dan Staf di Lingkungan Komisi Yudisial
Bappenas Prahesti Pandanwangi
International Expert Mr. J. G. Pot
NLRP Binziad Kadafi
Project Manager
Dwi Hartoyo
Project Officer
Peter De Meij
Project Officer
Tim Fasilitator
Pembahasan
Anggota Komisi Yudisial memberikan paparan tentang Komisi Yudisial di Indonesia meliputi, tugas pokok dan fungsi, tata cara seleksi, serta berbagai kasus yang ditangani selama ini. Anggota Komisi juga menyampaikan harapan untuk dapat menjalin kerja sama dengan Komisi Yudisial Belanda dalam berbagai bentuk.
Mr JG Pot, memberikan paparan tentang Komisi Yudisial Belanda, meliputi tugas dan mandat, kewenangan, struktur organisasi, dan mekanisme penganggarannya. Dalam kesempatan tersebut Mr Pot juga menyambut baik harapan untuk membangun kerjasama institusi antara Komisi Yudisial kedua negara. Untuk itu, Mr JG Pot akan membawa wacana tersebut ke rapat Komisi Yudisial di Belanda.
54