BALAI DIKLAT KEUANGAN CIMAHI
Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah mempengaruhi Efisiensi Operasional pada Satuan Kerja ? Keuangan Negara
Abstrak : Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan terhadap Efisiensi Operasional pada Satuan Kerja Pemerintah Pusat di Wilayah Jawa Barat Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis deskriptif dan analisis inferensial dengan regresi berganda Keberpengaruhan diuji dengan menggunakan regresi linier berganda, sehingga dapat dijelaskan pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas
06 Juni 2012
Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang. Dewasa ini bangsa Indonesia telah mengalami transformasi dibidang tatalaksana keuangan publik. Kebijakan penting yang diambil untuk melakukan alokasi ulang terhadap berbagai sumber daya, mengurangi beban utang, dan meningkatkan pendapatan negara mengimplikasikan bahwa kini Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Kebijakan desentralisasi yang dimulai sejak 2001 juga memberikan implikasi bahwa tambahan sumber daya yang diperoleh tersebut tidak akan digunakan oleh pemerintah pusat saja, melainkan oleh pemerintah daerah dan provinsi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mengoptimalkan Efisiensi Operasional pada Satuan Kerja Pemerintah Pusat dapat melalui peningkatan pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja dan pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah.
Daftar Isi BAB 1 Pendahuluan
1
BAB 2 Landasan Teori
3
BAB 3 Metode Penelitian
8
Menurut Bank Dunia dalam kajian pengeluaran publik indonesia terdapat tiga
BAB 4 Analisis dan Pembahasan 11 BAB 5 Penutup
13
Daftar Pustaka
15
peristiwa penting yang perlu diperhatikan dalam transformasi yang luar biasa pada pengelolaan dan pengalokasian berbagai sumber daya publik di Indonesia yaitu : 1.
1997-1998 – Masa krisis ekonomi. Ekonomi lesu, pengeluaran publik turun, hutang dan subsidi meningkat, sementara itu pengeluaran pembangunan menurun tajam.
2.
2001 – Desentralisasi. Sepertiga pengeluaran pemerintah pusat dialihkan ke daerah.
3.
2006 – Dana sebesar US$15 milyar untuk dialokasikan kembali. Pengurangan subdisi bahan bakar minyak (BBM) memberikan peluang untuk dialokasikan kembali. Jumlah hutang menurun sampai di bawah 40 persen dari PDB, pengeluaran agregat meningkat sampai dengan 20 persen, dan transfer dana ke pemerintah daerah meningkat menjadi sebesar 32 persen.
Halaman 2 Sumber daya yang meningkat berdasarkan diatas harus dapat dimanfaatkan dengan baik, namun dengan berjalannya waktu ternyata sumber daya tersebut telah terfokus menjadi belanja yang mengikat. Terlebih lagi dari sisa belanja negara yang dapat diolah kembali atau dapat kita sebut sebagai fiscal Space APBN yang terbatas tersebut pemerintah menjadi lebih sulit dalam mengelola belanja negara tersebut. Masalah utama penganggaran selama ini karena penekanan diberikan pada kontrol terhadap input bukan pada pencapaian output dan outcomes, hal ini merupakan pendekatan penganggaran menggunakan pendekatan tradisional yaitu pengalokasian menggunakan konsep inkremental dan penyusunan berdasarkan pos belanja bukan berdasarkan kinerja yang akan dicapai sehingga hal tersebut menimbulkan pengalokasian sumber daya yang jumlahnya terbatas tidak efisien (Dedi Nordiawan : 2006). Permasalahan tersebut memerlukan solusi, agar dari sumber daya tersebut dapat tercipta Efisiensi Operasional (operational efficiency). Efisiensi Operasional (operational efficiency) menekankan pada efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran Masalah utama
dibandingkan dengan output yang dihasilkan oleh pengguna anggaran tersebut.
penganggaran selama ini
Penerapan konsep tersebut melalui pelaksanaan kegiatan (service delivery)
karena penekanan diberikan pada kontrol terhadap input bukan
dengan biaya yang sehemat mungkin (mengupayakan unit cost yang minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
pada pencapaian output dan outcomes merupakan pendekatan
1.2. Perumusan Masalah.
penganggaran
Sebelum lahirnya tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang
menggunakan
Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004
pendekatan tradisional
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat
yaitu pengalokasian menggunakan konsep
beberapa permasalahan mendasar dalam sistem penganggaran di Indonesia. Beberapa
inkremental dan
permasalahan yang sangat mendasar dalam sistem penganggaran di Indonesia, yang
penyusunan berdasarkan
sering kali dikemukakan oleh berbagai pihak termasuk lembaga internasional adalah (Dedi
pos belanja bukan berdasarkan kinerja yang akan dicapai sehingga
Nordiawan : 2006) : 1.
hal tersebut
Tidak jelasnya keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran, karena sering kali kebijakan disusun tanpa mempertimbangkan sumber daya yang
menimbulkan pengalokasian sumber
tersedia, dan pengalokasian anggaran tidak mencerminkan prioritas yang telah
daya yang jumlahnya
ditetapkan oleh pemerintah.
terbatas tidak efisien
2.
Rendahnya kinerja penyediaan pelayanan masyarakat karena penekanan diberikan pada kontrol terhadap input bukan pada pencapaian output dan outcomes, serta kurang memperhatikan prediktabilitas dan kesinambungan daripada pendanaannya.
3.
Kurangnya disiplin fiskal, karena total belanja negara tidak disesuaikan dengan kemampuan penyediaan pembiayaannya, dan perumusan kebijakan fiskal hanya terfokus pada stabilitas ekonomi makro jangka pendek. Kelemahan-kelemahan yang diungkapkan diatas sejalan dengan pendapat Bank
Dunia (public expenditure management handbook : 1998) antara lain mengungkapkan : Kelemahan pada alokasi sumber daya adalah lemahnya perencanaan, tidak ada kaitan
Keuangan Negara
Halaman 3
antara membuat kebijakan, perencanaan dan penganggaran serta tidak cukupnya pelaporan atas kinerja keuangan. Permasalahan inefisiensi dalam alokasi sumber daya menurut (Robinson M dan Brumby J : 2005) bahwa Efisiensi Alokasi Anggaran akan meningkat jika terjadi peningkatan pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan peningkatan pelaksanaan Anggaran Berbasis kinerja pada tahap perencanaan dan penganggaran.
BAB 2 Landasan Teori 2.1. Kajian Pustaka. 2.1.1. Anggaran Sektor Publik. Anggaran menurut Salvatore Schiavo-Campo dalam bukunya Managing Government Expenditure (1999): kata “budget” berasal dari budjet, yang berarti kantong sang raja yang berisikan uang untuk kepentingan pembayaran publik. Anggaran berasal dari kata budget (Inggris), sebelumnya dari kata bougette (Perancis) yang berarti sebuah tas kecil. Anggaran negara (state budget) menurut John F. Due dalam ”Government Finance and Economic Analysis” : Anggaran diartikan secara umum adalah rencana keuangan untuk suatu periode tertentu. Menurut Wildavsky, anggaran adalah : (i) catatan masa lalu; (ii) rencana masa depan; (iii) mekanisme pengalokasian sumber daya; (iv) metode untuk pertumbuhan; (v) alat penyaluran pendapatan; (vi) mekanisme untuk negosiasi; (vi) harapan-aspirasistrategi organisasi; (vi) satu bentuk kekuatan kontrol; dan (vii) alat atau jaringan komunikasi.
Menurut Freeman (2003), anggaran adalah sebuah proses yang
dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of allocating resources to unlimited demands).
Pengertian tersebut mengungkap
peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi publik. Organisasi sektor publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi sering kali keinginan tersebut terkendala oleh
anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang
terbatasnya sumber daya yang dimiliki (Deddi Nordiawan : 2006).
dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan
2.1.2. Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik Tahapan penyusunan anggaran berbasis kinerja menurut Deddi Nordiawan : 2006 meliputi empat langkah yaitu ; 1.
Penetapan Strategi Organisasi (Visi dan Misi). Visi dan Misi adalah sebuah cara pandang yang jauh ke depan yang memberi gambaran tentang suatu kondisi yang harus dicapai oleh sebuah organisasi.
2.
Pembuatan tujuan. Tujuan dalam hal ini adalah sesuatu yang akan dicapai dalam kurun waktu satu tahun atau sering diistilahkan dengan tujuan operasional. Karena tujuan operasional merupakan turunan dari Visi dan Misi organisasi, maka tujuan operasional
yang tidak terbatas (the process of allocating resources to unlimited demands)
Halaman 4
seharusnya menjadi dasar untuk alokasi sumber daya yang dimiliki, mengelola akivitas harian, serta pemberian penghargaan dan hukuman. 3.
Penetapan Aktivitas. Tahapan selanjutnya adalah menetapkan aktifitas dipilih berdasarkan strategi organisasi dan tujuan operasional yang telah ditetapkan.
4.
Evaluasi dan Pengambilan Keputusan. Langkah selanjutnya setelah pengajuan anggaran disiapkan adalah proses evaluasi dan pengambilan keputusan.
2.1.3. Anggaran Sebagai Fungsi Alokasi Pengeluaran pemerintah mempunyai 3 (tiga) fungsi utama (Musgrave & Pengeluaran pemerintah mempunyai 3 (tiga)
Musgrave, 1984) yaitu fungsi alokasi, fungsi redistribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi adalah mengalokasikan sumber daya yang dimiliki kepada sektor-sektor yang
fungsi utama
memberikan manfaat paling besar. Fungsi redistribusi yaitu bertujuan pembagian
(Musgrave &
pendapatan nasional kepada masyarakat lebih adil dan merata dan fungsi stabilisasi
Musgrave, 1984) yaitu fungsi alokasi, fungsi
mengarahkan kebijakan pemerintah agar kondisi perekonomian tetap stabil.
redistribusi, dan fungsi stabilisasi
2.1.4. Efisiensi operasional/operational efficiency Perlunya penggunaan public power secara efektif karena organisasi sektor publik dihadapkan pada kondisi semakin langkanya sumber daya. Guna menopang skenario strategi, menempatkan sumber daya sebagai salah satu persoalan strategis bagi organisasi sektor publik. Perlunya mencari sumber daya yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan sama pentingnya dengan bagaimana mengalokasikan sumber daya tersebut secara efisien, efektif, dan memiliki daya guna. Tujuan dasar dari sistem manajemen sumber daya, dimana anggaran sebagai satu-satunya komponen, adalah (OECD, 1999) : 1.
Aggregate fiscal dicipline.
Untuk mendesain dan menjaga disiplin fiskal
keseluruhan (aggregate fiscal diciplin), dantaranya untuk memastikan pemerintah tidak membelanjakan, secara keseluruhan, melebihi dari ketentuan, adalah merupakan satu kontrol terhadap anggaran. Efektifitas keseluruhan anggaran merupakan kedisiplinan keseluruhan sistem. Kontrol secara total merupakan tujuan dari semua sistem anggaran. 2.
Allocation Efficiency. Untuk mengalokasikan sumberdaya sesuai dengan prioritas pemerintah (diantarnya membelanjakan atas pertimbangan paling penting secara politik
–
effisiensi
alokasi/allocation
efficiency).
Alokasi
secara
efisiensi
merupakan kapasitas dalam mewujudkan prioritas melalui anggaran, yaitu (1) mendistribusikan sumber daya atas dasar prioritas pemerintah dan afektifitas program, (2) mengalihkan sumber daya dari prioritas lama ke prioritas baru atau dari yang wilayah tidak produktif ke wilayah lebih produktif sesuai dengan tujuan pemerintah. 3.
Mendorong effisiensi didalam penggunaan sumber daya anggaran di dalam menjalankan
program
dan
pemberian
pelayanan
(efisiensi
operasional/
Keuangan Negara
Halaman 5
operational efficiency) Konsep Efisiensi Operasional (operational efficiency) menekankan pada efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan output yang dihasilkan oleh pengguna anggaran tersebut. Penerapan konsep tersebut melalui pelaksanaan
kegiatan
(service
delivery)
dengan
biaya
yang
sehemat
mungkin
(mengupayakan unit cost yang minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sasaran perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja didefinisikan oleh Robinson, M., dan Brumby. J. (2005) adalah meningkatnya efisiensi operasional.
2.1.5.
Hubungan
Penganggaran
Berbasis
Kinerja
(Performance
Based
Budgeting) dengan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency) Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output, melalui formal performance information yang terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis (Robinson, M., & Brumby. J. Does Performance Budgeting Work? An Analytical Review of The Empirical Literature. IMF Working Paper. 2005:210).
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah merupakan cara memperhitungkan konsekuensi putusan
Meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan merupakan meningkatnya efisiensi alokasi (allocative efficiency) dalam proses penganggaran.
terhadap anggaran pada tahun berikutnya
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah merupakan cara memperhitungkan konsekuensi putusan terhadap anggaran pada tahun berikutnya sedangkan Anggaran Berbasis kinerja adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input (Bappenas:2009). Berdasarkan teori-teori sebelumnya dijelaskan pendekatan diatas merupakan
Sedangkan Anggaran Berbasis kinerja adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari
pendekatan yang mempengaruhi efisiensi operasional secara langsung. Kerangka
perencanaan alokasi
Pengeluaran Jangka Menengah adalah memperhitungkan konsekuensi putusan tahun
biaya atau input
sekarang ke tahun-tahun akan datang dan Anggaran Berbasis
Kinerja adalah
pengutamaan output dalam mengalokasikan anggaran. 2.1.6. Hubungan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dengan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency) Kaitan antara Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Anggaran Berbasis kinerja dengan Efisiensi Alokasi Anggaran juga diungkapkan oleh Robinson M dan Brumby J (2005), yang mengemukakan sasaran dari Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Anggaran Berbasis kinerja; 1.
Meningkatnya efisiensi alokasi dan efisiensi operasional dalam pembelanjaan publik.
2.
Meningkatnya keterkaitan yang kuat antara tujuan tingkat makro (prioritas)
Halaman 6
dengan pembelanjaan agregat dan kestabilan fiskal. 3.
Meningkatnya upaya penghematan terhadap agregat belanja, dengan cara :
Efisiensi Alokasi.
Konsolidasi Fiskal.
Penyempurnaan prioritas pembelanjaan.
Bank dunia dalam Public expenditure management handbook (1998) : Anggaran memiliki pengaruh pada tiga tingkatan outcome : 1.
Agregat Fiskal Disiplin.
2.
Alokasi sumber daya dan menggunakannya berdasarkan prioritas.
3.
Efisiensi dan efektivitas program. Bank Dunia menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan baru tersebut diatas
diharapkan menghasilkan pencapaian (outcome) yang diharapkan salah satunya adalah efisiensi alokasi. 2.2. Penelitian sebelumnya. Di Uganda, terdapat bukti bahwa MTEF berpengaruh terhadap realokasi sektoral dimana pada
2.2.1. Medium Term Expenditure Frameworks: From Concept to Practice : Preliminary lessons from Africa. Philippe Le Houerou dan Robert Taliercio (2002) meneliti kaitan antara Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Mediun Term Expenditure Framework (MTEF) di
sektor-sektor yang
negara-negara Afrika diantaranya Benin, Burkina Faso, Gabon, Ghana, Guinea, Kenya,
dianggap prioritas
Malawi, Mozambique, Namibia, Rwanda, South Africa, Tanzania dan Uganda dengan
mengalami kenaikan
tujuan dari MTEF yaitu untuk mengefektifkan alokasi sumber daya. Di Uganda, terdapat
dari tahun ke tahun,
bukti bahwa MTEF berpengaruh terhadap realokasi sektoral dimana pada sektor-sektor
sebaliknya di negara Ghana MTEF tidak memiliki kontribusi
yang dianggap prioritas mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sebaliknya di negara Ghana MTEF tidak memiliki kontribusi atas efisiensi alokasi pada sektor prioritas di negara
atas efisiensi alokasi
tersebut. Philippe Le Houerou dan Robert Taliercio juga mendapatkan hasil bahwa MTEF
pada sektor prioritas
saja belum mampu untuk memaksimalkan efisiensi sumber daya dalam Public
di negara tersebut.
Expenditure Management (PEM) hal tersebut harus diikuti dengan eksekusi dan audit yang baik.
2.2.2. The Management of Public Expenditures and Its Implications for service delivery Matthew Andrews and J. Edgardo Campos (2003) meneliti pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) di negara Uganda, Afrika Selatan dan Albania, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) memiliki potensi menjanjikan dalam
mendapatkan efisiensi
alokasi
(allocative efficiency)
pengalaman sejauh ini di negara berkembang berbeda-beda.
namun
Di Uganda reformasi
keuangan dimulai sejak tahun 2001, di Albania MTEF diperkenalkan pertama kali tahun 2001 dan di Afrika Selatan MTEF diperkenalkan tahun 1988. Temuan dalam penelitian ini yang paling penting adalah Kerangka Pengeluaran
Keuangan Negara
Halaman 7
Jangka Menengah atau Mediun Term Expenditure Framework (MTEF) dapat sukses jika para pembuat keputusan anggaran dapat memaksimalkan pelaksanaan dan pengaruhnya dalam alokasi anggaran.
2.3. Kerangka Pemikiran. Tidak jelasnya keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, penganggaran dan perspektif tahunan juga menimbulkan ketidakpastian pendanaan bagi satuan kerja, dengan telah dirubahnya pendekatan tersebut menjadi pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) diharapkan menciptakan kepastian pendanaan bagi satuan kerja, kepastian tersebut
memberikan kesempatan kepada
satuan kerja dalam
merencanakan anggaran pada tahun-tahun berikutnya secara efisien. Anggaran tradisional selama ini dirasakan kurang memperhatikan hasil (output) dari anggaran yang bersangkutan, sehingga diperlukan perubahan dalam pendekatan penganggaran tersebut. Perubahan pendekatan tradisional tersebut dengan pendekatan kinerja diharapkan dapat mengarahkan satuan kerja dapat memilih kegiatan prioritas yang
Anggaran Terpadu (Unified Budget),
memiliki hasil (output) tertinggi.
Kerangka Pengeluaran
Anggaran Terpadu (Unified Budget), Kerangka Pengeluaran Jangka menengah
Jangka menengah
(KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dan Penganggaran Berbasis
(KPJM) / Medium
Kinerja (Performance Based Budgeting) dimaksudkan untuk lebih memberikan cara
Term Expenditure
maksimal (outcome) dalam Efisiensi Alokasi Anggaran dari sumber daya yang terbatas.
Framework (MTEF) dan Penganggaran
Dengan ketiga pendekatan tersebut diatas satuan kerja dapat memilih dan memutuskan
Berbasis Kinerja
alokasi program/kegiatan terbaik (prioritas) dari berbagai alternatif program/kegiatan yang
(Performance Based
tersedia secara efisien yaitu mendapatkan tingkat keluaran (output) maksimal dari
Budgeting) dimaksudkan untuk
masukan (input) pada tingkat tertentu.
lebih memberikan cara
Berdasarkan uraian di atas kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai
maksimal (outcome) dalam Efisiensi Alokasi
berikut : UU 17 tahun 2003 Keuangan Negara UU no. 1 tahun 2004 Perbendaharaan Negara & Peraturan lainnya
Penganggaran Tradisional
Meningkatkan Efisiensi
Penganggaran
Tidak tercipta efisiensi Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
Penganggaran Berbasis Kinerja
Anggaran dari sumber daya yang terbatas
Halaman 8
BAB 3 Metode Penelitian 3.1. Obyek Penelitian Objek penelitian yang akan diteliti adalah variabel Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework), dan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency), pada Satuan Kerja Pemerintah Pusat. Satuan Kerja
yang diteliti adalah
Satuan Kerja pada Wilayah Jawa Barat. Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) adalah variabel independen, sedangkan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency) adalah variabel dependen. Semua data yaitu data Variabel Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) adalah variabel independen, Efficiency) Objek penelitian yang akan diteliti adalah
dan Efisiensi Operasional (Operational
akan dikumpulkan datanya berdasarkan daftar pertanyaan yang dibagikan
dalam bentuk kuesioner.
variabel Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Kerangka
3.2. Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian
Pengeluaran Jangka
Penelitian ini menggunakan tipe hubungan sebab akibat (causal relationship),
Menengah (Medium
karena penelitian ini mempelajari tentang besarnya pengaruh atau sebab akibat dua atau
Term Expenditure Framework), dan
lebih variabel. Dalam penelitian ini terdapat variabel dependen (Y) berupa Efisiensi
Efisiensi Operasional
Operasional (Operational Efficiency) dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen
(Operational Efficiency), pada Satuan Kerja Pemerintah Pusat.
(X1) dan (X2) yaitu Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework).
Satuan Kerja yang diteliti adalah Satuan Kerja pada Wilayah Jawa Barat
Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif analitis, yaitu penelitian untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat serta untuk menggambarkan fenomena secara akurat, dengan tujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan subjek yang diteliti. (Moh.Nazir , 2004:105).
3.2.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) (X1) dan Variabel Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) (X2), dan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency) sebagai variabel bebas (Independent variabel) (Y) sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel). 1.
Variabel Independen (X)
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) (X1), pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian
Keuangan Negara
Halaman 9
hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure
Framework
(MTEF)
(X2),
merupakan
pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju (forward estimates). Variabel
Dimensi 1. Perumusan Strategi
Indikator
(X1)
2. Perencanaan strategik
Penganggaran Berbasis Kinerja
3. Pembuatan Program
Bappenas (2009)
4. Penganggaran
(Y) Efisiensi Operasional (Operasional Efficiency)
Penentuan Visi Penentuan Misi Arah dan tujuan satuan kerja
1 2 3
Rencana strategik aktivitas melahirkan program-program Merepresentasi outcome Dapat dilakukan tindakan koreksi Target kinerja berupa outcome
4 5
6 7
Mahmudi (2005), Deddi Nordiawan (2006)
No Kuesioner
1.Menekankan pada efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan output yang dihasilkan
2.pelaksanaan kegiatan (service delivery) dengan biaya Bappenas (2009) yang sehemat mungkin World Bank (1998) (mengupayaka n unit cost yang minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan
Kesesuaian program dengan perencanaan stratejik Sumber daya untuk melaksanakan program dan kegiatan Pengkoordinasian program dengan strategi organisasi
10
Terdapat penjelasan deskriptif Berdasarkan aktivitas Mengukur input dan output. Adanya data kinerja Pengendalian kepala eksekutif Menekankan pada aktivitas
11 12 13 14 15 16
efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan output yang dihasilkan
8
1.Kerangka Konseptual.
9
35-36
pelaksanaan kegiatan (service delivery) dengan biaya yang sehemat mungkin (mengupayakan unit cost yang minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan
(X2) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF)
2.Lingkungan.
17 18 19 20 21
22 23 24 25
Bappenas (2009) Salvatore SchiavoCampo Managing 3.Prinsip Kerja Government Expenditure (1999)
Penerapan sistem anggaran bergulir (rolling budget). Adanya angka dasar (base line). Penetapan parameter. Adanya mekanisme penyesuaian angka dasar. Adanya mekanisme pengajuan usulan dalam rangka tambahan anggaran bagi kebijakan baru (additional budget for new initiatives). Kebijakan, Perencanaan, Penganggaran dan Pelaksanaan yang saling terkait. Proses pengambilan keputusan yang terkendali. Tersedianya media kompetisi. Meningkatnya kapasitas dan kesediaan untuk penyesuaian prioritas program dan kegiatan.
37-38
4.Tahapan KPJM
Pendekatan Top-Down Pendekatan Bottom-Up Kerangka Kerja Anggaran
26 27 28
Evaluasi Kebijakan berjalan. Penyusunan Prioritas. Proses Penganggaran. Penetapan baseline anggaran. Penetapan Parameter / indikator yang akan mempengaruhi besaran alokasi. Penetapan tiga tahun perkiraan maju.
29 30 31 32
33 34
Halaman 10
2.
Variabel Dependen (Y) : Efisiensi Operasional (Operational Efficiency) Konsep Operational Efficiency (Operational Efficiency) menekankan pada
efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan output yang dihasilkan oleh pengguna anggaran tersebut. Penerapan konsep tersebut melalui pelaksanaan kegiatan (service delivery) dengan biaya yang sehemat mungkin (mengupayakan unit cost yang minimal), namun tetap dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sasaran perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja didefinisikan oleh Robinson, M., dan Brumby. J. (2005) adalah meningkatnya efisiensi operasional.
3.2.3. Populasi dan Teknik Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Riduan:237).
Nasir (2004) mengatakan bahwa
populasi adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya. Nawawi (2003) menyebutkan bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek yang lengkap. Populasi dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Pemerintah Pusat. Penentuan Penelitian ini
ukuran populasi dan sampel dalam penelitian ini mengacu pada pernyataan Arikunto
menggunakan Area
(1998 ; 107), bahwa untuk menentukan anggota sampel sebagai ancer-ancer, maka
Sampling (Sampling daerah atau wilayah).
apabila subjek kurang dari seratus lebih baik diambil semua sehingga penelitian
Area Sampling (Sampling
merupakan penelitian populasi (sensus). Mengacu pada definisi tersebut dan dikarenakan
daerah atau wilayah) ialah teknik sampling yang
satuan kerja pemerintah pusat lebih dari seratus maka penelitian ini menggunakan
dilakukan dengan cara
sampel yaitu yang diteliti adalah satuan kerja pada wilayah Jawa Barat, artinya sampel
mengambil wakil dari
populasi diambil sebagai objek penelitian.
setiap wilayah geografis yang ada (Sudjana,
Secara rinci populasi dari penelitian ini disajikan pada tabel berikut ini :
1992:173-174). Wilayah Jawa Barat terdiri dari 12 KPPN, dari 12 KPPN tersebut diambil empat perwakilan sebagai sampel yaitu KPPN Bogor sebagai sampel dari wilayah kerja bagian barat, KPPN Purwakarta sebagai sampel dari wilayah kerja bagian utara, KPPN Cirebon sebagai sampel dari wilayah kerja bagian timur dan KPPN Bandung I sebagai sampel dari wilayah Selatan.
Arikunto (2003) mengatakan sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti).
Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang
Keuangan Negara
Halaman 11
diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi.
Sugiono (2004)
memberikan pengertian sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populiasi. Sukardi (2004:55) mengatakan bahwa untuk penelitian sosial, pendidikan, ekonomi dan politik berkaitan dengan masyarakat yang mempunyai karakteristik heterogen, pengambilan sampel
disamping syarat besarnya sampel
harus
memenuhi syarat
representativeness (keterwakilan) atau mewakili semua populasi. Penelitian ini menggunakan Area Sampling (Sampling daerah atau wilayah). Area Sampling (Sampling daerah atau wilayah) ialah teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah geografis yang ada (Sudjana, 1992:173-174). Wilayah Jawa Barat terdiri dari 12 KPPN, dari 12 KPPN tersebut diambil empat perwakilan sebagai sampel yaitu KPPN Bogor sebagai sampel dari wilayah kerja bagian barat, KPPN Purwakarta sebagai sampel dari wilayah kerja bagian utara, KPPN Cirebon sebagai sampel dari wilayah kerja bagian timur dan KPPN Bandung I sebagai sampel dari wilayah Selatan. Satuan Kerja pemerintah pusat yang diambil adalah satuan kerja yang bersifat KP (Kantor Pusat) dan KD (Kantor Daerah) sebagai satuan kerja pemeritah pusat pada empat KPPN perwakilan tersebut.
Jumlah KP (Kantor Pusat) dalam tabel tersebut adalah
berjumlah 285 dan jumlah KD (Kantor Daerah) 794, sehingga jumlah populasi adalah 1.079 satuan kerja.
Teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Taro Yamane atau
Slovin sebagai berikut : n = N / (N.d2 + 1) dimana : n = jumlah sampel N = Jumlah Populasi d2 = presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 95%) sehingga didapat : n = N / (N.d2 + 1) n = 1.079/(1.079.(0,1)2 + 1 n = 1.079/(1.079.(0,01) + 1 n = 1.079/(1.079.(0,01) + 1 n = 1.079/(10,79 + 1) n = 1.079/(11,79) = 91,52 92
Halaman 12
Bab 4 Analisis dan Pembahasan Sampel menurut wilayah dapat disajikan tabel 3 berikut : 4.1. Pembahasan Analisis Deskriptif Instrumen telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dan menghasilkan valid dan reliabel. Hasil yang diperoleh menunjukkan sebagian besar Satuan Kerja yang diteliti menunjukkan variabel Penganggaran Berbasis Kinerja yang dilaksanakan masih kurang yaitu sebanyak 141 satuan kerja atau 95,27 %. Sedangkan ada sebanyak 6 satuan kerja atau 4,05 % masuk dalam kelompok sedang. Satuan Kerja yang masuk kelompok penilaian terhadap variabel Penganggaran Berbasis Kinerja masuk dalam kategori tinggi ada 1 atau 0,68 %. Sedangkan yang masuk dalam kelompok penilaian terhadap variabel Penganggaran Berbasis Kinerja masuk dalam kategori rendah ada 0
atau 0%.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari bahwa pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja pada satuan kerja sebagian besar masih bersifat kurang. Hasil pengolahan data atas dimensi dan indikator Penganggaran Berbasis Kinerja menunjukkan bahwa pelaksanaan Perumusan Strategi pada satuan kerja saat ini 32%, pelaksanaan Perencanaan Stratejik pada satuan kerja 32%, pelaksanaan Pembuatan Program 40%, dan Pelaksanaan Penganggaran 37%.
Hal tersebut menunjukkan
pelaksanaan atas Penganggaran berbasis kinerja masih rendah. Hasil yang diperoleh menunjukkan sebagian besar Satuan Kerja yang diteliti menunjukkan variabel Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang dilaksanakan masih kurang yaitu sebanyak 121 satuan kerja atau 81,76 %. Sedangkan ada sebanyak 15 satuan kerja atau 10,14 % masuk dalam kelompok sedang. Satuan Kerja yang masuk kelompok penilaian terhadap variabel Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah masuk dalam kategori tinggi ada 5 atau 3,38 %. Sedangkan yang masuk dalam kelompok penilaian terhadap variabel Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah masuk dalam kategori rendah ada 7 atau 4,73%. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari bahwa pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah pada satuan kerja sebagian Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari bahwa pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah pada satuan kerja sebagian besar masih bersifat kurang.
besar masih bersifat kurang. Hasil pengolahan data atas dimensi dan indikator Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah menunjukkan bahwa pemahaman Kerangka Konseptual pada satuan kerja saat ini 36%, Lingkungan KPJM pada satuan kerja 43%, Prinsip Kerja 50%, dan Pelaksanaan Implementasi KPJM 43%.
Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan atas
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah masih rendah. Hasil yang diperoleh menunjukkan sebagian besar Satuan Kerja yang diteliti menunjukkan variabel Efisiensi Operasional yang dilaksanakan masih kurang yaitu sebanyak 118 satuan kerja atau 79,73 %. Sedangkan ada sebanyak 18 satuan kerja atau 12,16 % masuk dalam kelompok sedang. Satuan Kerja yang masuk kelompok penilaian terhadap variabel Efisiensi Operasional masuk dalam kategori tinggi ada 6 atau 4,05 %. Sedangkan yang masuk dalam kelompok penilaian terhadap variabel Efisiensi Operasional masuk dalam kategori rendah ada 6 atau 4,05%. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dari bahwa pelaksanaan Efisiensi Operasional pada satuan kerja
Keuangan Negara
Halaman 13
sebagian besar masih bersifat kurang. Hasil pengolahan data atas dimensi dan indikator Efisiensi Operasional menunjukkan bahwa pelaksanaan Efisiensi Operasional 35%.
Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan
atas Efisiensi Operasional juga masih rendah.
4.2. Pembahasan Analisis Inferensial 4.2.1. Persamaan Regresi Persamaan regresi Y = -1,552 + 0,192X1 + 0,107X2 dapat diuraikan sebagai berikut : Konstanta (a) – 1,552 artinya jika Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (X1) dan Penganggaran Berbasis Kinerja (X2) tidak dilakukan maka Efisiensi Operasional bernilai negatif (-1,552) atau tidak ada efisiensi Operasional. Koefisien regresi X1 = 0,192, artinya jika terjadi peningkatan kualitas Penganggaran Berbasis Kinerja 1 satuan maka akan meningkatkan Efisiensi Operasional (Y) sebesar 0,192 satuan. Koefisien regresi X2 = 0,107, artinya jika terjadi peningkatan kualitas Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah 1 satuan maka akan meningkatkan Efisiensi Operasional (Y) sebesar 0,107 satuan. 4.2.2.
Pengaruh
Implementasi
Penganggaran
Berbasis
Kinerja
terhadap
Efisiensi Operasional Hasil analisis regresi yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh Penganggaran Berbasis Kinerja dengan Efisiensi Operasional pada satuan kerja pemerintah pusat, diperoleh 0,192.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Penganggaran Berbasis
Kinerja dalam penelitian ini berpengaruh terhadap Efisiensi Operasional pada satuan kerja pemerintah pusat pada umumnya. 4.2.3. Pengaruh Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) terhadap Efisiensi Operasional Hasil analisis regresi yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dengan efisiensi Operasional pada satuan kerja pemerintah pusat, diperoleh 0,107, kondisi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dalam penelitian ini berpengaruh terhadap Efisiensi Operasional pada satuan kerja pemerintah pusat pada umumnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Philippe Le Houerou dan Robert Taliercio (2002) yang juga mendapatkan hasil bahwa MTEF saja belum mampu untuk memaksimalkan efisiensi sumber daya dalam Public Expenditure Management (PEM), jika ingin memaksimalkan efisiensi alokasi anggaran maka hal tersebut harus diikuti dengan eksekusi dan audit yang baik. Hasil ini juga sejalan dengan temuan Matthew Andrews and J. Edgardo Campos (2003) bahwa Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dapat sukses jika para pembuat keputusan anggaran dapat memaksimalkan pelaksanaan dan pengaruhnya dalam alokasi anggaran.
Halaman 14
Bab 5 Penutup 5.1. Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar pengaruh Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF), Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) terhadap Efisiensi Operasional (Operational Efficiency). Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) pada satuan kerja secara rata-rata kurang/rendah.
2.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) berpengaruh terhadap Operasional Efisiensi (Operational Efficiency).
Jadi
semakin baik Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) maka akan meningkatkan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency). 3.
Implementasi Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) berpengaruh terhadap Efisiensi Operasional (Operational
Efficiency).
Hal
ini
mengandung
makna
bahwa
Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) cukup kuat untuk meningkatkan Operasional Efisiensi (Operational Efficiency).
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Mediun Term
Expenditure Framework (MTEF) dapat sukses jika para pembuat keputusan anggaran dapat memaksimalkan pelaksanaan dan pengaruhnya dalam Efisiensi Operasional. 4.
Implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting)
dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework
(MTEF)
berpengaruh
positif
terhadap
Efisiensi
Operasional
(Operational Efficiency). Hal ini mengandung makna bahwa dengan adanya Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework
(MTEF),
Penganggaran
Berbasis
Kinerja
(Performance
Based
Budgeting) akan meningkatkan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency).
5.2. Keterbatasan Penelitian 1.
Pengatahuan dan Pemahaman Satuan Kerja atas pertanyaan – pertanyaan pada kuesioner penelitian berpengaruh terhadap hasil kajian ini sehingga hasil dalam penelitian ini terbatas pada pemahaman satuan kerja pada saat penelitian ini dilakukan.
2.
Penelitian ini menggunakan sampel terbatas sehingga kesimpulan akan menjadi lebih baik jika pada penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih luas lagi atau dengan menggunakan sensus.
Keuangan Negara
Halaman 15
5.3. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, penulis mengajukan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan, sebagai berikut: 1.
Satuan Kerja harus lebih memperhatikan penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
(KPJM)
/
Medium
Term
Expenditure
Framework
(MTEF)
dan
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) dalam penyusunan anggaran untuk mencapai peningkatan Efisiensi Operasional (Operational Efficiency), sehingga kinerja satuan kerja dalam penganggaran bisa menjadi lebih baik. 2.
Para pembuat keputusan anggaran pada Satuan Kerja dapat memaksimalkan Efisiensi Operasional dengan meningkatkan penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) / Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dan Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) yang baik.
3.
Peneliti yang tertarik dengan permasalahan yang sama disarankan untuk meneliti lebih lanjut terutama pada varibel tersebut di wilayah yang berbeda dan menggunakan alat analisis yang berbeda sehingga penelitian tsb dapat dibandingkan.
Daftar Pustaka Axelrod, D. 1988. Budgeting for Modern Government. St. Martin’s Press: New York. Arif Pratista, 2009, Statistik menjadi mudah dengan SPSS 17, PT Gramedia, Jakarta Adrienne Shall 2008 berdasarkan lesson learned di negara Afrika Selatan. Brown, J.R. 2003. Performance-Based Budgeting. In Rabin, J. (Ed). Encyclopaedia of Public Administration and Public Policy. Marcel Dekker: New York. Barberton C. et al (2002) ‘South Africa’ in Folscher A. (ed) Budget Transparency and Participation: Five African Case Studies IDASA, Cape Town. Burger D. (2004/05) South Africa Yearbook [Online]. Available: http://www.gcis.gov.za/docs/publications/yearbook/transport.pdf. ( 2005, October 03). Christensen, P., McElravy, J. and Miranda, R. 2003. What is wrong with budgeting – a framework for evaluating and fixing public sector financial planning process. Government Finance Review, October, volume 19 No. 5. Dickey, T. 1992. Budgeting – A practical guide for better business planning. Crisp Publication Inc.London. Deddi Nordiawan, 2006, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Salemba Empat Jakarta. Gujarati, Damodar (1995). Basic Econometrics, (3rd edition). New York:Mc-Graw Hill, Inc Indra Bastian, 2007, Audit Sektor Publik, Penerbit Salemba Empat Jakarta. Kajian Pengeluaran Publik, 2007, The World Bank, 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433, U.S.A. Mardiasmo, 2005, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi Yogyakarta. Mahmudi, 2010, Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Erlangga. Robinson M dan Brumby J : 2005, Performance budgeting, Palgrave Macmillan, October 2007 Rosen Harvey S, 2005, Public Finance seventh Edition McGraw-Hill Education (Asia).
BALAI DIKLAT KEUANGAN CIMAHI
Robinson, M., & Brumby. J. Does Performance Budgeting Work? An Analytical Review of The Empirical Literature. IMF Working Paper. 2005:210 Salvatore Schiavo Campo and Daniel Tommasi, 1999, Managing Goverment Expenditure : Asian Development Bank. Steven Cohen and William Eimicke, 1995, The New Effective Public Manager, Jossey-Bass Publisher San fransisco. Sugiyono (2000), Metode Penelitian Administrasi, Bandung, Alfabeta. The world bank, maret 2007, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia : memaksimalkan peluang baru, The world bank office Jakarta. The world bank, 1998, Public Expenditure Management Handbook, The world bank wahington, D.C. William N Dunn, 2000 Pengantar Analisis Kebijakan Publik Gadjah Mada University press. Republik Indonesia. Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Republik Indonesia. Undang Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Republik Indonesia. Undang Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Kajian Akademis Pengaruh Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah terhadap Efisiensi Operasional, Puji Agus dan Rasida, 2011
Puji Agus., SST., Ak., M.Ak Widyaiswara Muda
[email protected]