IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh DIDI ROSADI NIM 6661121564
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, Oktober 2016
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Didi Rosadi
Nim
: 6661121564
Semester
: IX (Sembilan)
Program Studi
: Administrasi Negara
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK adalah hasil karya saya sendiri, dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari skripsi ini terbukti mengandung unsur plagiat, maka gelar kesarjanaan saya bisa dicabut.
Serang,
Oktober 2016
Didi Rosadi
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama NIM Judul Skripsi
: Didi Rosadi : 6661121564 : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK
Serang, Oktober 2016 Skripsi ini Telah Disetujui untuk Disajikan Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Dirlanudin, M.Si NIP : 196109031987031001
Anis Fuad, M.Si NIP : 198009082006041002
Mengetahui Dekan Fisip Untirta
Dr. Agus Sjafari, M.Si NIP : 197108242005011002
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Nama : DIDI ROSADI NIM : 6661121564 Judul Skripsi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK Telah Diuji di Hadapan Dewan Penguji Sidang Skripsi di Serang, tanggal 21 Oktober 2016 dan dinyatakan LULUS. Serang, 21 Oktober 2016 Ketua Penguji Gandung Ismanto, MM NIP. 197408072005011001 Anggota: Dr. Suwaib Amiruddin, M.Si. NIP. 197405012005011005 Anggota: Anis Fuad, M.Si NIP. 198009082006041002 Mengetahui, Dekan Fisip Untirta
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Dr. Agus Sjafari, M.Si NIP. 197108242005011002
Listyaningsih, S.Sos, M.Si. NIP. 197603292003122001
You’ll Never Walk Alone…
Skripsi ini kupersembahkan: Untuk kedua orang tua, dan seluruh Keluarga Besar yang tak pernah lelah memotivasi ku disetiap langkah dan tulus mencintaiku, terima kasih untuk segalanya.
ABSTRAK
Didi Rosadi. NIM. 6661121564. 2016. Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I, Dr. Dirlanudin, M.Si; Dosen Pembimbing II, Anis Fuad, M.Si. Penelitian ini dilatar belakangi oleh penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang belum optimal, pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel yang belum optimal, adanya pelayanan perizinan yang belum diintegrasikan dengan SPIPISE dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE serta metode pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE kepada perusahaan PMDN dan PMA yang belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, disposisi para pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kombinasi model concurrent embedded dengan metode kuantitatif sebagai metode primer dan kualitatif sebagai metode sekunder. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 65 orang, dan sampel yang digunakan adalah sampel jenuh. Adapun pemilihan informan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan implementasi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak mencapai angka 63,47% dari angka yang diharapkan yaitu 65%, secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Saran peneliti dalam penelitian ini yaitu peningkatan kompetensi dari pelaksana, penambahan jumlah sarana dan prasarana, perbaikan fasilitas pendukung SPIPISE dan dilakukannya sosialisasi menyeluruh dan intensif kepada seluruh penanam modal. Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Sistem Pelayanan, Perizinan Investasi
v
ABSTRACT
Didi Rosadi. NIM 6661121564. 2016. Policy Implementation of the Electronic Service System of Investment Information and Licensing (SPIPISE) in Lebak Regency. Major of Public Administration Science. The Faculty of Social Science and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. 1st Advisor, Dr. Dirlanudin, M.Si; 2nd Advisor, Anis Fuad, M.Si. This research was motivated by the implementation of One Stop Services (OSS) in the field of investment which is not optimal, the licensing service implementation which easy, fast, accurate, transparent and accountable is not optimal, the licensing services that have not been integrated with SPIPISE and lack of socialization on SPIPISE implementation and training and guidance methods on SPIPISE to domestic and foreign companies that have not been effective. The objective of this study is to know how much and how the implementation of SPIPISE in Lebak. The theory was used in this research is policy implementation theory according to Van Meter and Van Horn is the policy standards and objectives, the resources, the characteristics of the implementers agencies, the disposition of implementers, interorganizational communication and enforcement activities, and the economic, social and political conditions. This research is descriptive research with used model combination of concurrent embedded with quantitative method as primary method and qualitative method as secondary method. The population of this research is 65 people, and the sample is saturated samples. The selection of informants used purposive sampling. The technique of collecting data used questionnaire, observation, interview and documentation. Data analysis used quantitative and qualitative analysis. The result of this research showed the implementation of SPIPISE policy in Lebak reached 63,47% of the number was expectedist 65%, it included in the unfavorable category quantitatively. The researcher suggestions in this research are increasing of the implementer competence, adding the total of facilities and infrastructures, improving support facilities of SPIPISE and doing a thorough and intensive socialization to all investors. Keywords: Policy Implementation, Service System, Investment Licensing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini penulis buat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi Dan Perizinan Investasi Secara Elekrronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak”. Hasil penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang selalu mendukung penulis baik secara moril maupun materiil. Maka dengan ketulusan hati dan dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan dan rasa hormat serta terima kasih penulis tujukan kepada: 1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Rahmawati, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus dosen pembimbing akademik peneliti selama menempuh jenjang S1 di Program Studi Ilmu Administrasi Negara. 4. Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. vi
vii
5. Kandung Sapto Nugroho, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 6. Listyaningsih, S.Sos., M.Si, Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 7. Riswanda, Ph.D, Sekretaris Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 8. Dr. Dirlanudin, M.Si, Dosen Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktunya untuk melakukan bimbingan dan memberikan masukan dalam setiap bimbingan yang dilakukan selama ini. 9. Anis Fuad, M.Si, Dosen Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk melakukan bimbingan dan memberikan masukan dalam setiap bimbingan yang dilakukan selama ini. 10. Ibu dan Bapak dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang senantiasa memberikan pengajaran yang baik dan ilmu yang sangat bermanfaat. 11. Rukim, SE., M.Si, Kepala Bidang Data dan Pengaduan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak yang telah membantu peneliti dalam mengerjakan tugas skripsi ini. 12. Atep Taupik Siregar, S.Kom, Tenaga IT bidang Penanaman Modal Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
viii
13. Staf Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah banyak membantu peneliti dalam mengurus segala perijinan, surat-menyurat dan urusan akademik lainnya. 14. Untuk Keluarga saya yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan serta doa yang selalu mengiringi tiap langkah saya dalam menyelesaikan skripsi ini. 15. Sahabat terdekat peneliti diantaranya Dodo, Damar, Disur, Fahmy, Restu, Pradytia, Pangku, Haris, Rafli yang selalu ada dan selalu setia mendukung saya dalam penulisan skripsi ini. 16. Dan tidak lupa Teman-teman Administrasi Negara Angkatan 2012 yang selalu berjuang bersama-sama serta saling mendukung satu sama lain dalam mengerjakan skripsi ini. Akhirnya penulis tak berhenti mengucapkan syukur kepada Allah SWT, karena atas ridho-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari banyak ditemukan kekurangan dalam penyajian materi. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut. Penulis mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran dari pembaca yang membangun.
Serang, Oktober 2016
Didi Rosadi NIM. 6661121564
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ABSTRAK ............................................................................................................... KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR DIAGRAM ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2
Identifikasi Masalah ....................................................................... 12
1.3
Batasan Masalah ............................................................................. 13
1.4
Rumusan Masalah........................................................................... 13
1.5
Tujuan Penelitian ............................................................................ 14
1.6
Manfaat Penelitian .......................................................................... 14
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .. 16 2.1
Landasan Teori ............................................................................... 16
2.1.1 Kebijakan Publik ............................................................................ 17 2.1.2 Implementasi Kebijakan ................................................................. 20 ix
x
2.1.3 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) ...................................................................... 35 2.1.4 Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing... 40 2.1.5 Pelayanan Perizinan Yang di Layani Menggunakan SPIPISE oleh BPMPPT Lebak .............................................................................. 43 2.2
Penelitian Terdahulu ....................................................................... 50
2.3
Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 51
2.4
Hipotesis Penelitian ........................................................................ 56
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 57 3.1
Pendekatan dan Metode Penelitian ................................................. 57
3.2
Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 60
3.3
Lokasi Penelitian ............................................................................ 61
3.4
Variabel Penelitian ......................................................................... 61
3.4.1 Definisi Konsep .............................................................................. 61 3.4.2 Definisi Operasional ....................................................................... 62 3.5
Instrumen Penelitian ....................................................................... 65
3.5.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 68 3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 68 3.5.3 Pengukuran Validitas Instrumen .................................................... 73 3.5.4 Pengujian Reliabilitas ..................................................................... 75 3.5.5 Uji Normalitas ................................................................................ 76 3.6
Populasi, Sampel dan Informan Penelitian ..................................... 77
3.6.1 Populasi .......................................................................................... 77
xi
3.6.2 Sampel ............................................................................................ 77 3.6.3 Informan ......................................................................................... 77 3.7
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 78
3.7.1 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif ......................... 78 3.7.2 Uji T-test ......................................................................................... 79 3.7.3 Uji Pihak Kanan.............................................................................. 80 3.7.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif ........................... 81 3.7.5 Uji Keabsahan Data ........................................................................ 82 3.8
Jadwal Penelitian ............................................................................ 83
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 85 4.1
Deskripsi Obyek Penelitian ............................................................ 85
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lebak .............................................. 85 4.1.2 Sistem Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak ...................................................... 88 4.2
Pengujian Persyaratan Statistik ...................................................... 94
4.2.1 Uji Validitas Instrumen .................................................................. 95 4.2.2 Uji Reliabilitas ................................................................................ 97 4.2.3 Uji Normalitas ................................................................................ 99 4.3
Deskripsi Data .............................................................................. 100
4.3.1 Identitas Responden ...................................................................... 101 4.3.2 Analisis Data................................................................................. 104 4.4
Pengujian Hipotesis ...................................................................... 139
4.5
Interpretasi Hasil Penelitian.......................................................... 141
xii
4.6
Pembahasan .................................................................................. 142
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 164 5.1
Simpulan ....................................................................................... 164
5.2
Saran ............................................................................................. 166
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 167 LAMPIRAN ..............................................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman TABEL 1 Daftar Pelayanan Perizinan yang Menggunakan SPIPISE ...... 9 TABEL 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik ................................. 33 TABEL 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian .............................................. 63 TABEL 3.2 Skor Item-item Instrumen Penelitian ................................... 67 TABEL 3.3 Pedoman Wawancara Penelitian .......................................... 70 TABEL 3.4 Jadwal Penelitian .................................................................. 84 TABEL 4.1 Hasil uji validitas instrumen penelitian ................................ 96 TABEL 4.2 Case Processing Summary .................................................... 99 TABEL 4.3 Reliability Statistics .............................................................. 99 TABEL 4.5 One-Sample Statistics ........................................................... 140 TABEL 4.6 One-Sample Test ................................................................... 140
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman GAMBAR 2.1 Model Implementasi Kebijakan Smith ............................ 32 GAMBAR 2.3 Kerangka Berpikir ............................................................ 55 GAMBAR 3.1 Model concurrent embedded dengan metode kuantitatif sebagai primer ................................................................. 58 GAMBAR 3.2 Analisis Data Miles & Huberman .................................... 81 GAMBAR 4.1 Ruang Lingkup SPIPISE .................................................. 89 GAMBAR 4.2 Matriks Layanan Subsistem-Subsistem SPIPISE ............. 91 GAMBAR 4.3 Grafik Uji Normalitas ....................................................... 99
xiv
DAFTAR DIAGRAM
Halaman DIAGRAM 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........... 101 DIAGRAM 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia ........................... 102 DIAGRAM 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir . 103 DIAGRAM 4.4 Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan ........................ 105 DIAGRAM 4.5 Indikator Sumber Daya ................................................... 108 DIAGRAM 4.6 Indikator Karakteristik Agen Pelaksana ......................... 111 DIAGRAM 4.7 Indikator Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana ...................................................................................... 113 DIAGRAM 4.8 Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivtas Pelaksana ......................................................................... 116 DIAGRAM 4.9 Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik ....... 119
xv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Surat Ijin Penelitian
LAMPIRAN II
Angket/kuesioner dan Pedoman Wawancara
LAMPIRAN III
Matriks Hasil Penelitian
LAMPIRAN IV
Data Pendukung Penelitian
LAMPIRAN V
Dokumentasi Penelitian
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Investasi memegang peranan penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran pembiayaan pembangunan dan investasi swasta/masyarakat. Investasi yang dilaksanakan pemerintah terutama untuk mendorong penciptaan iklim usaha yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Sedangkan investasi swasta/masyarakat baik yang berupa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalan negeri, dilaksanakan terutama untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal menjadi kekuatan ekonomi riil yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan kerja, serta menunjang pendapatan daerah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin. Naiknya peringkat investasi Indonesia ke level investment grade zone dengan outlook positif dan stabil yang disematkan oleh sejumlah lembaga 1
2
pemeringkat internasional seperti The Fitch, Moodys, S&P, merupakan modal bagi kesinambungan pembangunan di masa mendatang. Indonesia kini di mata dunia menjadi destinasi investasi utama di tengah perlambatan ekonomi global sejak 2008. (Sumber: Investasi dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016). Menariknya perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi dunia mendorong para investor global untuk berinvestasi ke Indonesia. Realisasi investasi dalam 2 (dua) tahun terakhir tercatat melampaui target yang ditetapkan pemerintah. Tahun 2012 realisasi investasi sebesar Rp.313 triliun dan tahun 2013 sebesar Rp 398,6 triliun. Pada triwulan 1 -2014, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyampaikan data realisasi investasi yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 106,6 triliun atau naik 14,6% dari periode yang sama tahun lalu. Pemerintah menargetkan investasi yang masuk pada tahun 2014 sebesar Rp 456,6 triliun. (Sumber: Investasi dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016). Menguatnya prospek ekonomi nasional dengan stabilitas yang terjaga, menjadi faktor yang menarik bagi para investor global untuk berinvestasi ke Indonesia. Indonesia saat ini menjadi negara destinasi investasi utama yang menarik di saat sebagian besar negara berkembang lainnya menghadapi kontraksi ekonomi. Bahkan Jepang untuk pertama kalinya menempatkan Indonesia sebagai destinasi investasi utama menggeser Tiongkok yang selama ini dijadikan tujuan utama investor Jepang. (Sumber: Investasi dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016).
3
Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif maka kualitas pelayanan perizinan penanaman modal merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan meningkatnya investasi di daerah. Dengan pelayanan yang sederhana pasti akan memberi nilai tambah dan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Pemerintah telah membuat beberapa regulasi dalam rangka penanaman modal dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan beberapa peraturan lainnya berkaitan Penanaman Modal yang semuanya mengarah kepada upaya peningkatan investasi. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam hal kemudahan berinvestasi ini adalah dengan membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009. Dibentuknya PTSP ini karena dari hasil survey Badan Koordinasi Penanaman Modal, Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sebuah proses mendapatkan izin usaha dan banyaknya pos (meja) yang harus dilalui oleh investor. Dalam rangka mewujudkan peningkatan investasi di Indonesia, proses pelayanan perizinan penanaman modal semakin efektif dengan dukungan egovernment. Oleh karena itu pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengembangkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di berbagai daerah yang menerapkan PTSP, salah satunya adalah Kabupaten Lebak, sebagai upaya untuk meningkatkan sinergitas daerah dengan Pemerintah Pusat dalam hal kemudahan berinvestasi.
4
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik bahwa SPIPISE adalah sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/LPNK yang memiliki kewenangan Perizinan dan NonPerizinan, Perangkat Daerah Provinsi di bidang Penanaman Modal (PDPPM) dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota dibidang Penanaman Modal (PDKPM). SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan: a. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; b. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; c. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan; d. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah. Pelayanan SPIPISE ini memudahkan investor untuk melakukan pengurusan perizinan secara simpel, murah, efisien, dan predictable. SPIPISE juga merupakan sistem informasi yang dibangun untuk memberikan kemudahan, menciptakan transparansi dan kepastian hukum bagi investor. Pemohon (investor) dapat mengurus perizinan mereka dengan perangkat teknologi tanpa perlu bersentuhan langsung dengan petugas pelayanan. Selain itu, SPIPISE juga memberikan kemudahan bagi petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk melakukan
5
validasi dan mendapatkan data dalam memproses permohonan penanaman modal yang menjadi kewenangan PTSP. Pemerintah Kabupaten Lebak melalui Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) telah terkoneksi dengan BKPM dalam pelayanan perizinan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Sehingga setiap pelayanan perizinan PMDN dan PMA di Lebak, sejak tahap pengajuan hingga penerbitan dapat dipantau prosesnya oleh BKPM secara langsung (real time). Selama ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak berkomitmen untuk mendatangkan investor baik domestik maupun mancanegara terlebih dengan adanya pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara atau MEA. Kehadiran investor tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan penyerapan lapangan pekerjaan. Karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak terus mengoptimalkan promosi agar Kabupaten Lebak menjadikan daerah investasi yang kondusif dan aman. Disamping itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (BKPM RI) tahun 2015 menetapkan Kabupaten Lebak sebagai pilot project pemetaan investasi nasional di Provinsi Banten. Terpilihnya Kabupaten Lebak tersebut lantaran dalam dua tahun terakhir berhasil meningkatkan investasi, baik Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). (Sumber: http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret 2016). Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang dilaporkan oleh perusahanaan baik baik Penanaman Modal Asing (PMA) atau
6
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), realisasi nilai investasi di Kabupaten Lebak hingga 2016 menembus Rp17,156 triliun melalui Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) izin prinsip Rp1,359 triliun, dan Penanaman Modal Asing (PMA) izin prinsip Rp9,136 triliun, PMA izin usaha Rp4,459 miliar serta Non Fasilitas Rp 6,660 triliun. (Sumber: http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret 2016). Walaupun kondisi iklim investasi di Kabupaten Lebak terbilang kondusif, dalam kenyataannya masih ada beberapa permasalahan dalam pengimplementasian SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA yang terdapat di Kabupaten Lebak, yang mana sebagai tantangan yang harus di hadapi untuk memperbaiki kualitas pelayanan yang akan datang, itu semua terlihat pada penjelasan berikut ini. Pertama, penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang belum optimal. Menurut Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2014 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa pelayanan perizinan di Kabupaten Lebak tidak sepenuhnya diakomodasi oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak, melainkan ada sebagian perizinan yang di layani oleh dinas/instansi terkait. Salah satunya adalah dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Lebak, dimana berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Oni Maelani, Spi, selaku Kasi Konservasi dan Pengendalian Sumber Daya Perikanan mengatakan
7
bahwa dinas kelautan dan perikanan masih memproses pelayanan perizinan yakni Surat Izin Usaha Perikanan dengan cara manual dan bukan menggunakan perizinan elektronik. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 30 Agustus 2016, pukul 09.30 di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak). Hal tersebut juga di konfirmasi oleh Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak yang mengatakan bahwa pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu di Lebak memang belum optimal, masih ada pelayanan perizinan yang dikeluarkan oleh dinas teknis terkait, yang mana seharusnya semua pelayanan perizinan sudah dilayani di BPMPPT Lebak. Oleh sebab itu, pihak BPMPPT Lebak terus berupaya secara bertahap untuk mewujudkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di Kabupaten Lebak agar optimal sesuai dengan aturan yang berlaku. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 31 Agustus 2016, pukul 10.00 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Hal tersebut tentunya menjadi penghambat bagi perkembangan iklim investasi di Kabupaten Lebak, karena menurut Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2014 pasal 2 berbunyi “PTSP bertujuan: (a) memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat; (b) memperpendek proses pelayanan; (c) mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan terjangkau; dan (d) mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat”. Perizinan yang masih diurus oleh dinas teknis terkait tentunya tidak sederhana seperti pelayanan yang diurus oleh BPMPPT yang mana akan membutuhkan waktu yang lama dan belum lagi penanam modal harus mengurus izin yang lainnya yang juga memakan waktu.
8
Kedua, belum optimalnya pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2014 pasal 2 poin (c) berbunyi “PTSP bertujuan: mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan terjangkau; serta dalam Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 pasal 3 poin b berbunyi “SPIPISE, bertujuan untuk mewujudkan pelayanan perizinan dan non perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel”. Berdasarkan obeservasi lapangan, peneliti menemukan bahwa pelayanan perizinan dan non perizinan menggunakan SPIPISE belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan adanya SPIPISE tersebut, yakni penggunaan SPIPISE belum sepenuhnya diketahui oleh semua penanam modal yang ada di Kabupaten Lebak, dan juga terbatasnya akses untuk masyarakat umum dalam melihat informasi dalam SPIPISE. Hal ini berdasarkan wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak yang mengatakan bahwa penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum dilakukan secara maksimal, hal ini dikarenakan penggunaan SPIPISE masih menemui beberapa kendala diantaranya server dan bandwidth yang sering bermasalah sehingga dalam memproses perizinan kurang cepat. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa transparansi dalam hal keterbukaan informasi mengenai adanya penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum terwujud, hal ini dibuktikan bahwa informasi mengenai SPIPISE belum dimasukkan kedalam website BPMPPT Lebak.
9
Ketiga, masih adanya izin-izin yang belum terintegrasi dengan SPIPISE. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak selaku badan yang melayani penanaman modal dan perizinan daerah mulai terbentuk tahun 2013 dan langsung menerapkan SPIPISE dalam kegiatan penanaman modalnya. Berikut adalah izin – izin yang dilayani oleh BPMPPT yang menggunakan SPIPISE: Tabel 1 Daftar Pelayanan Perizinan yang Menggunakan SPIPISE No. 1 2 3
Perizinan yang dilayani Izin Prinsip Penanaman Modal Izin Usaha Untuk Berbagai Sektor Usaha Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal Izin Usaha Perluasan Untuk Berbagai Sektor 4 Usaha 5 Izin Prinsip Perbahan Penanaman Modal Izin Usaha Perubahan Untuk Berbagai Sektor 6 Usaha Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan 7 Penanaman Modal Izin Usaha Penggabungan Perusahaan 8 Penanaman Modal Untuk Berbagai Sektor Usaha 9 Surat Izin Usaha Perdagangan 10 Izin Usaha Industri Sumber: BPMPPT Kabupaten Lebak, 2016.
Lamanya Proses 3 hari kerja 7 hari kerja 3 hari kerja 7 hari kerja 5 hari kerja 5 hari kerja 10 hari kerja 7 hari kerja 3 hari kerja 6 hari kerja
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ada 10 pelayanan perizinan yang menggunakan SPIPISE, namun dalam kenyataannya hanya 6 pelayanan perizinan yang menggunakan SPIPISE yaitu nomor 1, 3, 4, 5, 7, dan 8, sedangkan nomor 2,6, 9 dan 10 belum diintegrasikan dengan SPIPISE. Berdasarkan observasi dari peneliti, untuk nomot 2 dan 6 layanan tersebut belum sepenuhnya di akomodir oleh BPMPPT melainkan masih dilayani oleh dinas teknis terkait. Seharusnya
10
semua pelayanan izin usaha untuk berbagai sektor usaha dan izin usaha perubahan untuk berbagai sektor usaha sudah diintegrasikan dengan SPIPISE. Untuk nomor 9 dan 10, menurut Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang Penanaman Modal di BPMPPT Kabupaten Lebak menjelaskan bahwa seharusnya semua perizinan dengan nilai investasi diatas 500 juta rupiah sudah diintegarsikan dengan SPIPISE. Namun dalam kenyataannya, untuk perizinan nomor 9 dan 10, meskipun nilai investasi di atas 500 juta tetapi masih belum dimasukkan kedalam SPIPISE, hal ini terjadi karena masih adanya kekurangan-kekurangan fasilitas pendukung, maka izin tersebut belum diintegrasikan dengan SPIPISE. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Hal ini tentunya belum sesuai dengan Perka BKPM RI Nomor 14 Tahun 2009 pasal 3 poin (c) yang menjelaskan bahwa SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan “integrasi data dan pelayanan perizinan dan non perizinan”. Selain itu juga hal ini belum sesuai dengan Perka BKPM RI Nomor 5 Tahun 2013 pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: “Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan total nilai investasi mulai dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) izinnya harus diproses menggunakan SPIPISE”. Keempat, kurangnya sosialsisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Sosialisasi tentang SPIPISE merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena dalam penerapan SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA harus mengetahui betul bahwa BPMPPT Kabupaten Lebak telah menggunakan pelayanan perizinan dan pelaporan kegiatan penanaman modal
11
secara online melalui SPIPISE tersebut. Menurut Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak mengatakan bahwa sosialsiasi tentang SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak memang masih kurang, sosialisasi mengenai SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA yang ada di Kabupaten Lebak dilakukan satu tahun sekali yang pelaksanaannya pada pertengahan tahun padahal BPMPPT sendiri selaku badan yang berwenang di bidang penanaman modal telah melakukan usulan untuk sosialisasi dilakukan 3 – 4 kali dalam satu tahun, namun yang di akomodir oleh BKPM Pusat hanya satu tahun sekali. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Kelima, belum efektifnya metode pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE bagi pengguna layanan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena dalam penerapan SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA harus memahami betul tentang cara penggunaan dan pelaporan kegiatan penanaman modal secara online melalui SPIPISE tersebut. Menurut Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak mengatakan bahwa pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak memang belum efektif, hal ini terjadi karena pengetahuan perusahaan baik PMDN maupun PMA tentang SPIPISE masih kurang, sehingga pelatihan dan pembinaan belum efektif. Belum efektifnya pelatihan dan pembinaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah pelatihan dan pembinaan dilakukan secara bersamaan dengan sosialisasi terkait
12
penanaman modal di Kabupaten Lebak dan juga tidak tersedianya sarana dan prasarana untuk menunjang pelatihan dan pembinaan tersebut. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan perusahaan tersebut tentang bagaimana penggunaan SPIPISE sebagai penunjang untuk berinvestasi di Kabupaten Lebak. Selain itu juga, hal tersebut belum sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 14 Tahun 2009 Pasal 10 Ayat 2 poin C yang berbunyi: “pelatihan penggunaan SPIPISE kepada SDM yang akan menggunakan SPIPISE”. Pasal 10 ayat 2 poin (c) tersebut menjelaskan bahwa setiap SDM yang akan menggunakan SPIPISE harus mengikuti pelatihan penggunaan SPIPISE. Berdasarkan latar belakang tersebut pemerintah yang bersangkutan diharapkan peka melihat kondisi yang terjadi dilingkungan kegiatan investasi, permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak diharapkan dapat diatasi dengan baik, dengan latar belakang yang telah saya paparkan, maka peneliti tertarik dan berinisiatif guna melakukan penelitian mengenai “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak”.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah,
maka
peneliti
mencoba
mengidentifikasikan permasalahan yang terkait dengan Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di
13
Kabupaten Lebak yang mulai diterapkan sejak tahun 2013 memiliki beberapa permasalahan yang dapat di kerucutkan sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang belum optimal. 2. Belum optimalnya pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. 3. Masih ada perizinan yang belum dintegrasikan dengan SPIPISE. 4. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE. 5. Metode pelatihan dan pembinaan mengenai SPIPISE kepada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak yang belum efektif. 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah dan agar penelitian ini tidak menyimpang dari tujuan dan manfaat. Maka penelitian ini terfokus pada objek penelitian yaitu implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Seberapa besar implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak?
14
2. Bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak? 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan esensi dasar dari sebuah penelitian, dan menjadi faktor pendorong bagi para peneliti untuk melakukan penelitian. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui seberapa besar implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. 2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. 1.6 Manfaat Penelitian Kegunaan atau manfaat dari penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan penelitian. Bila tujuan penelitian dapat tercapai, dan rumusan masalah dapat terjawab secara akurat, maka penelitian ini dapat menghasilkan informasi yang berguna atau memiliki kegunaan. Secara lebih detail, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis
15
a. Untuk mengembangkan teori yang sudah diperoleh selama dalam perkuliahan. b. Sebagai bahan pemahaman untuk penelitian berikutnya. c. Untuk memberikan pengaruh yang positif bagi seluruh mahasiswa, khususnya peneliti agar termotivasi untuk meningkatkan kualitas belajar dan memberikan wawasan yang lebih luas lagi. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah Daerah pada umumnya dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia khususnya selaku pihak yang berwenang dalam urusan investasi dan pelayanan perizinan untuk dapat meningkatkan investasi melalui pelaksanaan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori Teori Teori dalam ilmu administrasi negara mempunyai peranan yang sama dengan teori yang ada dalam bidang ilmu lainnya, yaitu berfungsi untuk menjelaskan dan panduan dalam penelitian seperti yang dikemukakan oleh Hoy dan Miskel (Sugiyono, 2007: 55): “Theory is a set of interrelated concepts, assumptions, and generalizations that systematically describes and explains regularities in behaviour in organizations”. Berdasarkan hal tersebut, teori didefinisikan sebagai perangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi baik organisasi formal maupun organisasi informal. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan ada empat kegunaan teori di dalam penelitian menurut Sugiyono (2007: 55-56), yaitu: 1. Teori berkenaan dengan konsep, asumsi, dan generalisasi yang logis. 2. Teori berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan. 3. Teori sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan. 4. Teori sebagai pisau bedah untuk suatu penelitian. Deskripsi teori adalah teori-teori yang dianggap paling relevan untuk menganalisis objek penelitian. Landasan ini dimaksudkan untuk memberi jawaban atas pertanyaan dalam rumusan masalah sebelumnya. Untuk menjawab rumusan
16
17
masalah tersebut perlu membedah kembali tentang beberapa konsep yang telah diklarifikasikan oleh penulis. Dalam penelitian ini, peneliti mengklarifikasikan teori ke dalam beberapa teori yaitu, Teori Kebijakan Publik, Teori Implementasi Kebijakan Publik. Kemudian menjelaskan mengenai deskripsi gambaran Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE). 2.1.1
Kebijakan Publik Dalam melaksanakan agenda dari suatu pemerintahan, maka diperlukan
sebuah program yang mampu diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Agenda tersebut dapat menghasilkan sebuah gagasan yang kemudian menjadi sebuah program yang dapat dilaksanakan oleh para stakeholder. Pada akhirnya program itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dimaksud dengan agenda publik tersebut adalah kebijakan publik. Kebijakan publik tidak serta merta dapat diimplementasikan langsung, tentu harus ada rumusan-rumusan gagasan yang kemudian di formulasikan ke dalam suatu tindakan (program). Karena di dalam perumusan tersebut, setiap orang atau sekelompok orang yang ada di dalam pemerintahan memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda mengenai kebijakan publik. Begitu pula ketika kebijakan publik itu dapat dilaksanakan, juga tergantung kepada orang atau sekelompok orang memahami kebijakan tersebut. Kata ‘kebijakan’ disepadankan dengan kata kata bahasa inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata kebijaksanaan (wisdom) maupun ‘kebajikan’ (virtues) (Suharto, 2006: 7). Sedangkan pengertian kebijakan publik itu sendiri menurut
18
Nugroho (2012: 119) mengatakan kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka lakukan dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Fredrich (Agustino, 2008: 7) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang yang dimaksud atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Nugroho (2012: 143) menjelaskan keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai startegi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan. Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada sebuah fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik. Dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayanan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi, dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Dimana pemerintah yang baik (good governance) sangat penting dibutuhkan untuk membuat kebijakan-
19
kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang adil. Intervensi negara harus lebih difokuskan pada bidang pelayanan umum, seperti pemberian pelayanan kesehatan. Adapun definisi kebijakan publik adalah sebagai berikut menurut Chief J.O (Abdul Wahab, 2005: 5) adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat. Kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensipreferensi politik dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Kebijakan publik merupakan keputusan politis yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006: 42) sebagai “otoritas” dalam sistem politik yaitu; “para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya”. Dari beberapa pengetian yang telah dijelaskan oleh beberapa pakar kebijakan publik di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan publik lebih menitikberatkan pada masalah publik (masyarakat) dan permasalahan lainnya. Keputusan-keputusan dalam kebijakan publik berupaya untuk mensejahterakan masyarakat.
20
2.1.2 Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno (2007: 101-102), menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan tehnik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan kegiatan administrasif yang legitimasi hukumnya ada. Pelaksanaan kebijakan melibatkan berbagai unsur dan diharapkan dapat bekerjasama guna mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi, pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Pendapat Dwijowijoto (2004: 158) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik,
maka
ada
dua
pilihan
langkah
yang
ada,
yaitu
langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
21
Implementasi kebijakan menurut pendapat di atas, tidak lain berkaitan dengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan kebijakan tersebut melalui bentuk program-program serta melalui derivate. Derivate atau turunan dari kebijakan publik yang dimaksud yaitu melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Berikut ini beberapa definisi implementasi kebijakan menurut Bardach (Agustino, 2006: 54) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang”. Metter dan Horn (Agustino, 2006: 139) implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang digariskan dalam keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier (Agustino, 2006: 139) implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Jenkins (Persons, 2006: 463) studi implementasi adalah studi perubahan,
22
bagaimana
perubahan
terjadi,
bagaimana
kemungkinan
perubahan
bisa
dimunculkan. Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut (minimal) tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kegiatan melakukan suatu kegiatan.Sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. 2.1.2.1 Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni: Pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart (2008: 108) istilah itu dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom up approach). Masingmasing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya. Sedangkan pendekatan top down, misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga meneruskan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik-
23
tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pasar. Pendekatan top down bertitik-tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokratbirokrat pada level bawahnya. Jadi, pendekatan top down ini adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena street-level-bureaucrats tidak dilibatkan dalam formulasi kebijakan. Sehingga intinya mengarah pada sejauhmana tindakan para pelaksana sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para pembuat kebijakan di level pusat. Fokus tersebut membawa konsentrasi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efesiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan. 2.1.2.2 Model Implementasi Kebijakan Dalam literatur ilmu kebijakan publik, terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang banyak dipergunakan. Diataranya beberapa model implementasi kebijakan menurut George C. Edward III dengan Direct and Indirect Impact on Implementation, Donald Van Meter dan Carl Van Horn dengan
24
A Model of the Policy Implementation Procces, dan Thomas B. Smith dengan The Policy Implementation Procces. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan elaborasi model implementasi kebijakan yang mana peneliti memilih teori yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti yaitu teori George C. Edward III dan Van Metter dan Van Horn. Tujuannya yaitu untuk mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini. 1. Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Edward III disebut dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Berdasarkan pandangan Edward III (Agustino, 2008: 149), keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh empat faktor penting, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Adapun penjelasan mengenai keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1) Faktor Komunikasi (communication) Menurut George Edward III (Agustino, 2008: 150); komunikasi merupakan variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan telaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan baik bila komunikasi berjalan baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukut keberhasilan variabel komunikasi. Edward III (Agustino, 2008: 150-151) mengemukakan tiga variabel tersebut, yaitu: a. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan
25
birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. b. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). c. Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 2) Faktor Sumber Daya (Resourches) Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber daya. Edward III mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari: “Staff, information, authority, facilities, building, equipment, land and supplies”. Menurut Edward III (Agustino, 2008: 151-152) sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari: a. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level-bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam implementasi kebijakan. b. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dan para pelaksan terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. c. Wewenang. Pada umumnya wewenang harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang diterapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijaka; tetapi di sisi
26
lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingan sendiri atau kelompoknya. d. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (saran dan prasaran) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 3) Faktor sikap pelaksana/disposisi (Dispotition) Disposisi atau sikap dari pelaksana adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai implementasi kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Menurut Edward III (Winarno, 2005: 142-143) mengemukakan bahwa “kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward III tentang “zona ketidakacuhan”, dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaannya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda, dan tindakan penghambat lainnya. 4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucrtic Structure) Birokrasi merupakan salah satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Menurut Edward III (Agustino, 2008: 153) yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu
27
kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak terlaksana karena terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi. Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan. Menurut Edward III (Agustino, 2008: 153) terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi kearah yang lebih baik, adalah melakukan: Standard Operational Procedures (SOP) dan fragmentasi. Standard Operational Procedures (SOP) adalah kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pada tiap harinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas pegawai di antara beberapa unit kerja atau beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksana, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi,
kemudian
secara
bersama-sama
mempengaruhi
implementasi kebijakan. Kelebihan dari model ini adalah menggunakan logika berpikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ke ‘bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan dan model
28
kebijakan ini memfokuskan perhatian peneliti hanya tertuju pada kebijakan dan berusaha memperoleh fakta apakah kebijakan tersebut efektif atau tidak serta peneliti lebih fokus pada kegagalan implementasi kebijakan karena model implementasi kebijakan ini menjelaskan persoalan-persoalan atau faktor penghambat implementasi kebijakan. Kekurangan terletak pada bukti-bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksanaan, karena model ini tidak memperhitungkan level dan peran aktor lain, sehingga mengabaikan manusia sebagai target group. Model top-down ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat pada kepatuhan dan kontrol efektif. 2. Implementasi Kebijakan Model Van Meter dan Van Horn Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik. Ada enam variabel, menurut Van Meter dan Van Horn dalam buku Agustino (2008: 142) yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, adalah:
29
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. 2. Sumber Daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumber daya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena ini, sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut. 3. Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan
30
agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap/Kecenderungan (disposisi) para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. 5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik.
31
Kelebihan dari model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn yaitu memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan serta memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat dan pertanggung jawaban bersifat singel atau penuh. Kekurangan terletak pada bukti-bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksanaan, karena model ini tidak memperhitungkan level dan peran aktor lain, sehingga mengabaikan manusia sebagai target group. Model implementasi kebijakan ini termasuk dalam model top-down. Model top down ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat pada kepatuhan dan kontrol efektif. 3. Implementasi Kebijakan Model Thomas B. Smith Menurut Smith (Tachjan, 2006: 38), dalam proses implementasi ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan. Model implementasi atau alur smith tersebut dapat disajikan dibawah ini dan eempat variabel dalam implementasi kebijakan publik tersebut adalah: 1. Kebijakan yang diidealkan (idealized policy), yakni pola-pola interaksi ideal yang telah mereka definisikan dalam kebijakan yang berusaha untuk diinduksikan; 2. Kelompok sasaran (target groups), yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung dipengaruhi oleh kebijakan dan yang harus mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan; 3. Organisasi pelaksana (implementing organization), yaitu badanbadan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan; 4. Faktor lingkungan (environmental factor), yakni unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
32
Gambar 2.1 Model kebijakan Smith (Tachjan, 2006: 39) Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu terjadi ketegangan-ketegangan (tensions) yang bisa menyebabkan tibulnya protes-protes, bahkan aksi fisik, dimana hal ini menghendaki penegakan institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran kebijakan tersebut. Ketegangan-ketegangan itu bisa juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam institusi-institusi lini. Smith menggunakan model teoritisnya dalam bentuk sistem, dimana suatu kebijakan sedang diimplementasikan, maka interaksi di dalam dan diantara keempat faktor tersebut mengakibatkan ketidaksesuaian dan menimbulkan tekanan atau ketegangan. Ketidaksesuaian, ketegangan dan tekanan-tekanan tersebut menghasilkan pola-pola interaksi yang akan menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga tertentu, sekaligus dijadikan
33
umpan balik untukmengurangi ketegangan dan dikembalikan ke dalam matriks dan pola-pola interaksi dari kelembagaan. Kebaikan model pendekatan bottom-up yang dikemukakan Smith adalah kebijakan tidak berjalan secara linier dan mekanistik (banyak faktor yang mempengaruhinya) dan memungkinkan terjadinya negosiasi serta konsensus antara formulator, implementor dan target group. Kelemahannya adalah, unit birokrasi terendah sebagai pelaksana kadangkala belum siap ketika kebijakan diimplementasikan serta masih diragukan kesiapan dan kemampuannya. Berikut adalah tabel mengenai ketiga model implementasi kebijakan. Tabel 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik Model George Model Van Metter dan Van Model Thomas B. Edward III Horn Smith 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan 1. Kebijakan yang di 1. Komunikasi 2. Sumberdaya idealkan 2. Sumberdaya 3. Karakteristik Agen 2. Kelompok Sasaran 3. Disposisi Pelaksana 3. Organisasi 4. Struktur 4. Sikap Pelaksana Pelaksana Birokrasi 5. Komunikasi Antarorganisasi 4. Faktor Lingkungan 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Sumber: Peneliti, (2016) Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang diimplementasikan, pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut
34
diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat berbagai model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan politik)
di
mana
kebijakan
itu
diimplementasikan,
komunikasi
antarorganisasi dan birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi kebijakan. Adapun model-model kebijakan yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing model kebijakan diatas adalah model kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn, karena peneliti menilai teori cocok dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti. 2.1.2.3 Faktor Pendorong Pelaksanaan Kebijakan Pada tahap implementasi, berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor yang mendorong atau memperlancar maupun kekuatan yang menghambat atau memacetkan pelaksanaan program atau kebijakan, faktor pendorong (facilitating condition) pelaksana implementasi kebijakan menurut Donald P. Warwick (Wahab, 1997: 67), adalah sebagai berikut: Komitmen pimpinan politik (commitment of political leader), yakni adanya komitmen dari pimpinan pemerintahan dalam pelaksanaan suatu proyek menjadi hal yang utama, karena pimpinan politik adalah yang memiliki kekuasaan di daerah. b. Kemampuan organisasi (organization capacity); Dalam implementasi program pada hakikatnya dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya, seperti yang telah ditetapkan atau dibebankan pada salah satu unit organisasi. Kemampuan organisasi terdiri dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu kemampuan teknis dan kemampuan dalam menjalin hubungan dengan organisasi lain. c. Komitmen para pelaksana (the commitment of implementers); Salah satu asumsi yang seringkali keliru adalah jika pimpinan telah siap untuk a.
35
bergerak maka bawahan akan segera ikut untuk mengerjakan dan melaksanakan sebuah kebijaksanaan yang telah disetujui amat bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, psikologis, dan birokratisme. d. Dukungan dari kelompok pelaksana (interest group support); Pelaksanaan kebijakan lebih sering mendapat dukungan dari kelompok kepentingan dalam masyarakat, khusunya yang berkaitan langsung dengan kebijakan. 2.1.2.4 Faktor Penghambat (Impending Conditions) Yang termasuk kondisi-kondisi atau faktor-faktor penghambat menurut Warwick (Wahab, 1997, 67) antara lain: a. Banyaknya pemain (aktor) yang terlibat; Semakin banyak pihak yang terlibat dan turut mempengaruhi pelaksanaan, maka semakin rumit komunikasi dalam pengambilan keputusan dan semakin besar kemungkinan terjadi hambatan dalam implementasi proyek tersebut. b. Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda; Hal ini disebabkan adanaya tugas ganda yang dirangkai dan dijabat oleh suatu organisasi sehingga perhatian pelaksana menjadi terpecah. c. Kerumitan yang melekat pada program itu sendiri; Hambatan yang biasanya melekat adalah disebabkan oleh faktor-faktor teknis, faktor ekonomi, pengadaan pangan dan faktor perilaku pelaksana dan masyarakat. d. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak; Semakin banyak jenjang pengambilan keputusan atau memiliki prosedur yang harus disetujui oleh pihak yang berwenang, maka akan memerlukan waktu lama dalam pelaksanaannya. e. Faktor lain, yaitu waktu dan perubahan kepemimpinan; Perubahan kepeminpinan baik pada tingkat pimpinan pelaksana maupun dalam organisasi di daerah sedikit banyak mempunyai pengaruh terhadap proyek atau program. 2.1.3 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan non perizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga
36
Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan, PDPPM, dan PDKPM. Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Peresiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta Peraturan Kepala BKPM nomor 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan dan Perizinan Investasi sistem
secara elektronik
Elektronik. pelayanan
SPIPISE perizinan
pada investasi
hakikatnya yang
adalah
terintegrasi
antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini adalah BPMPPT), sehingga proses pelayanan perizinan investasi yang diselenggarakan oleh BPMPPT langsung dapat diakses dan terpantau oleh Pemerintah. Portal SPIPISE adalah piranti lunak berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan perizinan dan non perizinan penanaman modal di Indonesia. Cara mengajukan hak akses yaitu Hak akses adalah hak yang diberikan kepada
pengguna
SPIPISE
untuk
memanfaatkan
perangkat
pelayanan elektronik tersebut, namun dengan syarat telah memiliki identitas pengguna dan kode akses. Hak akses dapat diajukan langsung ke BKPM maupun instansi penanaman modal tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang telah mengoperasikan SPIPISE. Pengajuannya melalui formulir permohonan hak akses, disertai persyaratan: 1. Dokumen perusahaan yang terdiri dari rekaman Akta Perusahaan yang terbaru serta rekaman pengesahan Akta Perusahaan tersebut oleh
37
Kementerian Hukum dan HAM atau pengadilan atau Kementerian Koperasi dan UKM; 2. Dokumen pimpinan (penanggung jawab) perusahaan, berupa rekaman tanda pengenal pemohon (KTP atau paspor). Jika pemohon tidak dapat mengajukan sendiri permohonannya, ia dapat menguasakan kepada pihak lain dengan menyertakan surat kuasa resmi. Surat kuasa harus bermaterai cukup dan dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa. Setelah formulir Permohonan Hak Akses diisi dengan baik dan benar (dan telah ditandatangani di atas materai yang cukup), berkas permohonan (yang dilengkapi dokumen yang diperlukan) langsung disampaikan kepada BKPM atau instansi penanaman modal provinsi atau kabupaten/kota yang dimaksud. Dalam waktu 2 (dua) jam setelah berkas diterima dengan benar dan lengkap, hak akses akan diberikan oleh petugas PTSP disertai pemberian akun investor. Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu 1 (satu) hari setelah hak akses diberikan. Ini agar kode akses yang dimilikinya tidak diketahui pihak lain yang tidak berkepentingan. Jika dalam waktu sehari penanam modal tidak mengganti kode aksesnya, SPIPISE akan menghapus hak akses tersebut secara otomatis. Jika ingin mengalihkan hak akses ke instansi penanaman modal daerah lainnya, investor dapat mengajukan perubahan secara langsung ke instansi yang menerbitkan hak akses tersebut. SPIPISE memiliki 3 (tiga) menu utama, yakni: Informasi Penanaman Modal, Pelayanan Penanaman Modal dan Pendukung. Pada menu Informasi Penanaman Modal dapat diakses :
38
1. Peraturan perundang-undangan penanaman modal; 2. Potensi dan peluang penanaman modal; 3. Daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; 4. Jenis, tata cara proses permohonan, biaya dan waktu pelayanan perizinan dan non-perizinan; 5. Tata cara pencabutan perizinan dan non-perizinan; 6. Tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal; 7. Tata cara pengaduan terhadap layanan penanaman modal; 8. Data referensi yang digunakan dalam layanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal; 9. Data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas, upah dan tanah; 10. Informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal; Pada menu Pelayanan Penanaman Modal, investor disuguhi informasi tentang: 1. Pelayanan perizinan dan nonperizinan; 2. Pelayanan penyampaian LKPM; 3. Pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan; 4. Pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi; 5. Aplikasi antar-muka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis serta intansi terkait lainnya; 6. Penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan nonperizinan;
39
7. Jejak audit (audit trail). Pada menu Pendukung, informasi yang tersaji berupa: 1. Pengaturan penggunaan jaringan elektronik; 2. Pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik; 3. Pengelolaan informasi yang ditampilkan National Single Window for Investment (NSWi); 4. Pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan non-perizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE; 5. Pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal; 6. Pengelolaan
pengetahuan
sebagai
pendukung
analisis
dalam
pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; 7. Penyediaan panduan penggunaan SPIPISE. Adapun maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan : 1. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; 2. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
40
3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; 4. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah. 2.1.4
Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri atau (PMDN) adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanam modal Dalam Negeri dapat dilakukan oleh perseorangan WNI, badan usaha Negeri, dan/atau pemerintah Negeri yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan usaha usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan batasan kepemilikan modal Negeri atas bidang usaha perusahaan diatur di dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Sumber: https://id.wikipedia.org, diakses April 2016).. Lebih lanjut mengenai pengertian, Penanaman Modal Dalam Negeri (selanjutnya disebut sebagai “PMDN”) berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”), yaitu kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Pengertian dari penanam modal dalam negeri adalah perseorangan
41
warga Negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Badan usaha Indonesia yang dimaksudkan disini dapat berbentuk perseroan terbatas (PT) (Sumber: https://id.wikipedia.org, diakses April 2016). Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUPM, dijelaskan bahwa PMDN dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 5 ayat (3) UUPM lebih lanjut menjelaskan, penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk PT dilakukan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: a.
Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b.
Membeli saham; dan
c.
Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UUPM, perusahaan penanam modal, termasuk PMDN, yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan. Izin sebagaimana disebutkan sebelumnya diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu. Pelayananan terpadu satu pintu ini bertujuan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.
42
Perbedaan mendasar pada perusahaan PMDN dan PT biasa yaitu PMDN mendapatkan fasilitas dari pemerintah Indonesia dalam menjalankan usahanya dimana fasilitas tersebut tidak didapatkan oleh PT biasa. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUPM dijelaskan bahwa fasilitas penanaman modal tersebut dapat diberikan kepada penanaman modal yang: a.
Melakukan perluasan usaha; atau
b.
Melakukan penanaman modal baru.
Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (4) UUPM menjelaskan bentuk fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah kepada penanaman modal, termasuk di dalamnya PMDN, dapat berupa: a.
Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
b.
Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c.
Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d.
Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatn untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e.
Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
43
f.
Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Penanaman Modal Asing atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakui sisi perusahaan. Penanaman Modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal). Penanaman Modal Asing (PMA) lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak memberikan adil dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini, sangat penting bagi negara sedang berkembang mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk penyediaan lapangan kerja (Sumber: https://id.wikipedia.org, diakses April 2016). Adapun jumlah perusahaan PMDN dan PMA yang ada di Kabupaten Lebak adalah 65 perusahaan, hal ini dilihat berdasarkan perusahaan yang memiliki izin prinsip. Adapun jumlah perusahaan PMDN yaitu sebanyak 42 dan PMA sebanyak 23. (Sumber: bkpm.go.id, diakses tanggal 4 Mei 2016). 2.1.5
Pelayanan Perizinan Yang di Layani Menggunakan SPIPISE oleh BPMPPT Lebak Dalam pelaksanaan kegiatan penanaman di Kabupaten Lebak, tidak semua
pelayanan perizinan di layani menggunakan SPIPISE, hanya ada beberapa
44
perlayanan perizinan yang memang dilayanai oleh SPIPISE sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal. Adapun pelayanan perizinan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Izin Prinsip Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip, adalah Izin yang wajib dimiliki dalam rangka memulai usaha atau dengan kata lain izin prinsip adalah izin yang wajib dimiliki dalam memulai kegiatan usaha baik dalam kegiatan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Kegiatan yang mencakup memulai usaha adapun sebagai berikut: a) Pendirian usaha baru baru, baik dalam rangka PMDN maupun PMA; b) Perubahan status menjadi PMA, sebagai akibat dari masuknya modal asing dalam kepemilikan seluruh/sebagian modal perseroan dalam badan hukum, atau c) Perubahan status menjadi PMDN, sebagai akibat dari terjadinya perubahan kepemilikan modal perseroan yang sebelumnya terdapat modal asing, menjadi seluruhnya modal dalam negeri. Terdapat beberapa jenis izin prinsip, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:
45
a)
Izin prinsip baru, yakni izin pertama kali sebelum memulai kegiatan usaha;
b) Izin prinsip perluasan, yakni izin sebelum melakukan kegiatan ekspansi perusahaan; c)
Izin prinsip perubahan, yakni izin sebelum melakukan perubahan rencana investasi atau realisasinya;
d) Izin prinsip penggabungan (merger), yakni izin sebelum melakukan penggabungan 2 perusahaan atau lebih. Perizinan sebagaimana yang dimaksud di atas diajukan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat (PTSP) di BKPM, Badan Penanaman Modal PTSP (BPMPTSP) Provinsi, Kabupaten/Kota, PTSP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan PTSP Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). 1) Ketentuan Nilai Investasi dan Pemodalan PMA dalam memperoleh izin prinsip wajib melaksanakan ketentuan persyaratan nilai investasi dan permodalan, sebagai berikut: a) Total nilai investasi lebih besar dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah), di luar tanah dan bangunan; b) Untuk proyek perluasan satu bidang usaha dalam satu kelompok usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Usaha Indonesia (“KBLI”) di lokasi yang sama, dengan ketentuan akumulasi nilai investasi atas seluruh proyek di lokasi tersebut mencapai lebih dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah) di luar tanah dan
46
bangunan, maka nilai investasi diperkenankan kurang dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah); c) Untuk perluasan satu atau lebih bidang usaha dalam sub golongan usaha berdasarkan KBLI, yang tidak mendapatkan fasilitas di luar sektor industri, di satu lokasi dalam satu kabupaten/kota maka nilai investasi untuk seluruh bidang usaha lebih besar dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah) diluar tanah dan bangunan; d) Nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor minimal Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta Rupiah); e) Penyertaan dalam modal perseroan, untuk masing-masing pemegang saham minimal Rp 10.000.000 (sepuluh juta Rupiah) dan presentase kepemilikan saham dihitung berdasarkan nilai nominal saham. Perusahaan PMA yang memiliki izin prinsip sebelum peraturan ini berlaku dengan nilai modal disetor kurang dari Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta Rupiah), yang akan mengajukan permohonan untuk (i) perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek; atau (ii) izin prinsip perluasan, wajib menyesuaikan penyertaan dalam modal perseroan minimal Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta Rupiah). Penanam modal dilarang membuat perjanjian dan/atau penyertaan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas adalah untuk dan atas nama orang lain.
47
2) Masa Berlaku Izin Prinsip Masa berlaku izin prinsip sama dengan jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip. Jangka waktu tersebut diberikan satu sampai lima tahun tergantung karakteristik bidang usahanya. Apabila jangka waktu tersebut yang ditetapkan dalam izin prinsip telah habis masa berlakunya dan proyek tersebut belum selesai, maka perusahaan tidak dapat mengajukan permohonan perizinan dan non perizinan lainnya. Sehingga apabila perusahaan belum menyelesaikan proyek sesuai dalam izin prinsip, perusahaan wajib mengajukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek selambat-lambatnya 30 hari kerja sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip tersebut. Untuk jangka waktu penyelesaian proyek dalam izin prinsip yang telah habis masa berlakunya dan perusahaan tidak memperpanjang atau terlambat dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek tersebut, maka perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa surat peringatan dan ditindaklanjuti oleh BKPM mengenai proyek yang tidak diselesaikan tepat waktu. Lebih lanjut, apabila hasil dari tindak lanjut tersebut perusahaan tidak dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dan terlambat dalam memperpanjang jangka waktu penyelesaian proyek tersebut maka yang dapat dilakukan perusahaan adalah mengajukan permohonan izin prinsip baru, seperti diatur dalam Perka 14/2015, apabila perpanjangan waktu penyelesaian proyek diajukan setelah berakhirnya masa berlaku jangka
48
waktu penyelesaian proyek maka permohonan perpanjangan tersebut tidak dapat diproses dan wajib mengajukan permohonan izin prinsip baru. 3) Ketentuan Divestasi Kewajiban Perusahaan PMA untuk divestasi sebelum berlakunya Perka BKPM 14/2015 tetap mengikat dan harus dilaksanakan dengan minimal nominal kepemilikan saham sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta Rupiah). Apabila kewajiban divestasinya telah jatuh tempo dan Perusahaan PMA belum mendapatkan calon penanam modal dalam negeri, maka ia dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu. Setelah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, saham peserta Indonesia akibat pelaksanakaan divestasi dapat dijual kembali kepada perseorangan warga Indonesia/warga asing/badan usaha Indonesia/badan usaha asing. Dalam peraturan yang sebelumnya ketentuan minimal nominal kepemilikan saham tidak diatur. 4) Percepatan Izin Investasi Perka BKPM 14/2015 mengatur hal baru yaitu penerbitan izin prinsip yang disebut izin investasi. Izin ini dapat diterbitkan hanya dengan waktu 3 jam. Ketentuan untuk mendapatkan percepatan izin investasi tersebut adalah (i) nilai investasi minimal Rp 100.000.000.000 (seratus miliar Rupiah), dan/atau (ii) penyerapan tenaga kerja Indonesia minimal 1.000 (seribu) orang. Khusus untuk izin investasi yang berlokasi di kawasan industri tertentu dan telah disetujui oleh Kepala BKPM dapat memulai
49
konstruksi tanpa terlebih dahulu memiliki izin, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin lingkungan, namun izin tersebut harus diurus bersamaan dengan pelaksanaan konstruksi. 2. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip Perluasan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai kegiatan dalam rangka perluasan usaha. 3. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip Perubahan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan, dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi Penanaman Modal yang telah ditetapkan sebelumnya. 4. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan, untuk melaksanakan bidang usaha perusahaan hasil penggabungan. 5. Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. 6. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
50
7. Izin Perluasan adalah Izin Usaha yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi yang menghasilkan barang atau jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, khusus untuk sektor industri. 8. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan, dalam rangka legalisasi terhadap perubahan realisasi Penanaman Modal yang telah ditetapkan sebelumnya. 9. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan dalam rangka memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi untuk menghasilkan barang atau jasa. 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian ini juga pernah diangkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitianpenelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Adapun penelitian sebelumnya yang memang dinilai serupa oleh peneliti yaitu penelitian skripsi tentang Implementasi Strategi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang oleh Ela Kholilah (2010). Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan penentuan sampel adalah snowball sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa Implementasi Strategi SISMIOP
51
PBB Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang kurang optimal karena masih banyak hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya. Sedangkan penelitian kedua yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skripsi tentang “Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara” oleh Rizki Fani Fanatandayu (2014). Metodologi dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif deskriptif. Responden yang dijadikan populasinya adalah 60 orang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara masih rendah karena hasil perhitungannya diperoleh 64.54% dari angka minimal 65%. Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah samasama meneliti tentang implementasi sistem aplikasi yang diterapkan di lembaga pemerintahan. Selain itu, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini juga sama dengan penelitian kedua yaitu kuantitatif deskriptif. Sementara itu, perbedaannya adalah lokasi penelitian, sistem aplikasi yang digunakan, dan juga responden yang menjadi populasi. 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Menurut Sugiyono (2011:60) kerangka berpikir adalah sketsa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti.
52
Penelitian tentang Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak menggunakan model kebijakan yang diungkapkan oleh Van Metter dan Van Horn (Agustino, 2008: 142). Model teori ini menurut peneliti cocok dan sangat berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Selain itu, Model implementasi kebijakan ini termasuk dalam model top-down. Model top down ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat pada kepatuhan dan kontrol efektif. Adapun dalam melakukan penilaiannya dengan mengacu pada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan antara lain: a. Ukuran dan tujuan kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. b. Sumber daya. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu
53
diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya waktu. c. Karakteristik agen pelaksana. Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. d. Sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana. Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. e. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana. Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahankesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
54
f.
Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik. Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti gambarkan melalui gambaran berdasarkan latar belakang permasalahan yang peneliti bahas sebelumnya, teori yang digunakan yang juga telah peneliti paparkan di atas dan output atau keluaran serta hasil yang diharapkan atau outcome dapat di gambarkan dalam gambar berikut ini:
55
Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak Permasalahan yang terjadi: 1. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang belum optimal. 2. Belum
optimalnya
pelaksanaan
pelayanan
perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. 3. Masih ada pelayanan perizinan yang belum dintegrasikan dengan SPIPISE. 4. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE.
Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn (Agustino, 2008: 142 1. Ukuran dan tujuan kebijakan. 2. Sumber Daya. 3. Karakteristik agen pelaksana. 4. Sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana. 5. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan
5. Metode pelatihan dan pembinaan mengenai
Politik.
SPIPISE kepada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak yang belum efektif. Keluaran (Output) Pengetahuan tentang seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak.
Implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik berjalan dengan efektif dan efisien. Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
56
2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan salam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada faktafakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Sugiyono, 2011: 64). Sedangkan dalam Hipotesis ini di gunakan Hipotesis Deskriptif, masih di kemukakan oleh Sugiyono (2011:67), bahwa Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri. Maka hipotesis yang dipakai adalah dimana peneliti memprediksikan hipotesis paling tinggi sebesar 65% dengan penjelasan sebagai berikut: H0 :
µ ≤ 65%
H0 : “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang dari atau sama dengan 65%”. Ha :
µ ˃ 65 %
Ha : “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak lebih dari 65%”.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia. Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (Sugiyono, 2011: 2). Desain dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi (mixed methods). Menurut Sugiyono (2012: 404) metode penelitian kombinasi adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersamasama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliabel, dan obyektif. Adapun metode kombinasi yang digunakan adalah model concurrent embedded (campuran tidak berimbang), yang menurut Sugiyono (2012: 537) dikatakan metode penelitian kombinasi model concurrent embedded adalah metode penelitian yang menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan cara mencampur kedua metode 57
58
tersebut secara tidak seimbang. Dalam satu kegiatan penelitian mungkin 70% menggunakan metode kuantitatif dan 30% metode kualitatif atau sebaliknya. Metode tersebut digunakan secara bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi independen untuk menjawab rumusan masalah yang sejenis. Metode penelitian ini lebih menarik karena peneliti dapat mengumpulkan dua macam data (kuantitatif dan kualitatif atau sebaliknya) secara simultan, dalam satu tahap pengumpulan data. Dengan demikian data yang diperoleh menjadi lengkap dan lebih akurat. Berikut adalah gambar mengena model concurrent embedded: Gambar 3.1 Model concurrent embedded dengan metode kuantitatif sebagai primer
Sumber: Sugiyono (2012, 538) Berdasarkan gambar di atas, dijelaskan bahwa penelitian berangkat dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dengan fakta, selanjutnya dibuat rumusan masalah yang berbentuk pertanyaan penelitian. Setelah masalah dirumuskan, maka selanjutnya peneliti memilih teori yang dapat digunakan untuk memperjelas masalah, merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian. Setelah instrumen disusun, maka selanjutnya diuji validitas, reliabilitas, dan normalitas. Setelah instrumen valid, reliabel, dan normal, maka selanjutnya
59
dilakukan pengumpulan data kuantitatif (primer) dan kualitatif (sekunder) secara bersamaan. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen, dan pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan observasi dan wawancara. Data kualitatif diperoleh dengan sampel purposive sampling. Data yang telah terkumpul kemudian di analisis untuk digabungkan atau dibandingkan, sehingga ditemukan data kualitatif mana yang memperkuat, memperluas dan menggugurkan data kuantitatif. Data kuantitatif yang bersifat deskriptif atau pengujian hasil hipotesis berikut data kualitatif sebagai pelengkapnya selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dilengkapi dengan data kualitatif, dan langkah terakhir adalah kesimpulan dan saran. Dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif, digunakan metode penelitian kombinasi model concurrent embedded dengan metode primernya adalah metode kuantitatif dan metode sekundernya adalah metode kualitatif. Hal ini bertujuan untuk mengukur berapa presentase dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Menurut Sugiyono (2011 : 13) penelitian deskriptif yaitu, penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Berdasarkan teori tersebut, penelitian deskriptif kuantitatif, merupakan data yang diperoleh dari sampel populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan.
60
Penelitian kualitatif sendiri bersifat deskriptif. Langkah kerja untuk mendeskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting social tertuang dalam suatu tulisan yang bersifat naratif. Artinya, data, fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka. Mendeskripsikan sesuatu berarti menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi. Dalam menuangkan suatu tulisan, laporan penelitian kualitatif berisi kutipan, kutipan dari data atau fakta yang diungkap di lapangan untuk memberikan ilustrasi yang utuh dan untuk memberikan dukungan terhadap apa yang disajikan (Satori & Komariah 2010:28). Penelitian deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan keterangan-keterangan mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. 3.2 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian merupakan bagian yang membatasi dan menjelaskan substansi materi kajian penelitian yang akan dilakukan. Dalam hal ini, ruang lingkup penelitian digunakan sebagai batasan penelitian agar terfokus pada fokus penelitian. Dengan itu maka diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk lebih fokus pada penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Pembatasan ruang lingkup penelitian sendiri didasarkan pada penjabaran yang terdapat pada latar belakang masalah yang mana dipaparkan secara ringkas
61
dalam identifikasi masalah. Adapun, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan fenomena terkait seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. 3.3 Lokasi Penelitian Adapun tempat penelitian ini adalah berlokasi di Kabupaten Lebak. Pemilihan Kabupaten Lebak sebagai tempat penelitian adalah karena peneliti ingin mengetahui dan mengkaji secara mendalam seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak. 3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Definisi Konsep Definisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep yang jelas, yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Kebijakan publik merupakan serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuantujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan publik lebih menitikberatkan
pada masalah publik
(masyarakat)
dan
permasalahan lainnya. Keputusan-keputusan dalam kebijakan publik berupaya untuk mensejahterakan masyarakat.
62
2) Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan kegiatan /aktivitas yang mengacu pada pedoman-pedoman yang telah disiapkan sehingga dari kegiatan atau aktivitas yang dilaksanakan tersebut memberikan akibat/dampak bagi masyarakat. 3) Sedangkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan non perizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan, PDPPM, dan PDKPM. 3.4.2 Definisi Operasional Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan kegiatan administrasif yang legitimasi hukumnya ada. Pelaksanaan kebijakan melibatkan berbagai unsur dan diharapkan dapat bekerjasama guna mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi, pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk
63
atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn dengan A Model of the Policy Implementation Procces. Berdasarkan pandangan Van Metter Van Horn keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderugan (disposisi) para pelaksana, komunikasi antaroganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen penelitian yang dibuat oleh peneliti, adapun dengan penjelasan sebagai berikut: Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Variabel
Indikator
1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
3. Karakteristik agen pelaksana 4. Sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana 5. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Sumber: Peneliti, 2016)
Sub Indikator
1. Ukuran 2. Tujuan 3. Ketepatan 1. Sumber daya manusia 2. Waktu 3. Pendanaan 4. Sarana dan prasarana 1. Standard Operating Procedure (SOP) 1. Dukungan 2. Insentif 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Koordinasi Kejelasan Sosialisasi Kondisi Ekonomi Kondisi Sosial Kondisi Politik
No. Butir Pada Instrumen 1 2,3 4 5,6,7,8,9,10,11 12 13 14,15 16,17,18,19 20,21, 22,23,24 25,26,27 28,29,30,31 32,33,34,35 36,37 38 39 40
64
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa teori Van Meter dan Van Horn memiliki 6 (enam) indikator yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Pada indikator pertama yaitu ukuran dan tujuan kebijakan dijabarkan dengan 3 (tiga) sub indikator yaitu, ukuran, tujuan dan ketepatan dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 1 untuk sub indikator ukuran, pertanyaan nomor 2 dan 3 untuk sub indikator tujuan dan pertanyaan nomor 4 untuk sub indikator ketepatan. Indikator yang kedua, yaitu sumber daya dijabarkan dengan 4 sub indikator yaitu sumber daya manusia, waktu, pendanaan dan sarana dan prasarana dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 untuk sub indikator sumber daya manusia, pertanyaan nomor 12 untuk sub indikator waktu, dan pertanyaan nomor 13 untuk sub indikator pendanaan dan pertanyaan nomor 14 dan 15 untuk sub indikator sarana dan prasarana. Selanjutnya indikator yang ketiga yaitu karakteristik agen pelaksana dijabarkan dengan 1 (satu) sub indikator yaitu Standard Operating Procedure (SOP) dengan nomor pertanyaan 16, 17, 18, dan 19 pada instrumen pertanyaan tersebut. Indikator yang keempat yaitu sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana dijabarkan dengan 2 sub indikator yaitu dukungan dan insentif dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 20, 21, 22, 23, dan 24 untuk
65
sub indikator dukungan dan pertanyaan nomor 25, 26, dan 27 untuk sub indikator insentif. Selanjutnya indikator yang kelima yaitu komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana dijabarkan dengan 3 sub indikator yaitu koordinasi, kejelasan dan sosialisasi dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 28, 29, 30 dan 31 untuk sub indikator koordinasi, pertanyaan nomor 32, 33, 34, dan 35 untuk sub indikator kejelasan dan pertanyaan nomor 36 dan 37 untuk sub indikator sosialisasi. Indikator yang keenam yaitu lingkungan ekonomi, sosial dan politik dijabarkan dengan 3 sub indikator yaitu kondisi ekonomi, kondisi sosial dan kondisi politik dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 38 untuk sub indikator kondisi ekonomi, pertanyaan nomor 39 untuk sub indikator kondisi sosial dan pertanyaan nomor 40 untuk sub indikator kondisi politik. 3.5 Instrumen Penelitian Menurut Bungin (2009: 94-95) pengertian dasar dari instrumen penelitian adalah: Pertama, instrumen penelitian menempati posisi teramat penting dalam hal bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh data dilapangan. Kedua, instrumen penelitian adalah bagian paling rumit dari keseluruhan proses penelitian. Kesalahan dibagian ini dapat dipastikan suatu penelitian akan gagal atau berubah dari konsep semula. Oleh karena itu, kerumitan dan kerusakan instrumen penelitian pada dasarnya tidak terlepas dari peranan desain penelitian yang telah dibuat. Ketiga, bahwa pada dasarnya instrumen penelitian kuantitatif memiliki dua fungsi yaitu sebagai substitusi dan sebagai suplemen. Pada beberapa instrumen,
66
umpamanya angket, instrumen penelitian menjadi wakil peneliti satu-satunya di lapangan atau wakil satu-satunya orang yang membuat instrumen penelitian tersebut. Oleh karena itu, kehadiran instrumen penelitian di depan responden (khususnya untuk instrumen angket) adalah benar-benar berperan sebagai pengganti (substitusi) dan bukan suplemen penelitian. Sebagai suplemen, instrumen penelitian hanyalah pelengkap dari sekian banyak alat-alat bantu penelitian yang diperlukan oleh peneliti pada pengumpulan data yang menggunakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur nilai variabel yang akan diteliti (Sugiyono, 2011:92). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuisioner, dengan jumlah variabel sebanyak 1 (satu) varibael. Dalam pengumpulan data kualitatif menurut Irawan (2006: 15) menjelaskan bahwa satusatunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data, seperti tape recorder, video kaset, atau kamera. Tetapi alat-alat ini benar-benar tergantung pada peneliti untuk menggunakannya. Selain itu, konsep human instrument atau manusia sebagai instrumen sendiri menurut Satori & Komariah (2010: 61), dipahami sebagai alat yang dapat mengungkap fakta-fakta lapangan dan tidak ada alat yang paling elastis dan tepat untuk mengungkapkan data kualitatif kecuali peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif, maka peneliti menentukan siapa yang tepat dijadikan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, dan analisis data kualitatif, dan selanjutnya menyimpulkan
67
secara kualitatif bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Dalam penelitian ini, skala pengukuran instrumen penelitian menggunakan Skala Likert (Sugiyono, 2011: 93). Indikator variabel yang disusun melalui itemitem instrumen dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan, kemudian diberikan jawaban setiap item instrumennya secara gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Dengan jumlah variabel sebanyak satu variabel. Sedangkan skala pengukuran instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2011: 93). Indikator variabel yang disusun melalui item-item instrumen dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan diberikan jawaban setiap item instrumennya. Jawaban setiap item diberi skor, berikut adalah tabel skor item instrumen: Tabel 3.2 Skor Item-item Instrumen Pilihan Jawaban
Skor
Sangat Setuju
4
Setuju
3
Kurang Setuju
2
Tidak Setuju
1
(Sumber: Sugiyono, 2011: 93)
68
3.5.1 Jenis dan Sumber Data a.
Jenis Data
1) Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh peneliti melalui angket (kuisioner), wawancara (interview), dan pengamatan (observasi). 2) Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber yang dapat berbentuk buku-buku ilmiah, dokumen administrasi atau bahan lain yang sudah merupakan sata hasil olahan yang digunakan sebegai data awal maupun data pendukung dalam penelitian. b. Sumber Data 1) Responden, pegawai pengguna SPIPISE pada Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Kabupaten Lebak yang berjumlah 65 orang. 2) Informan, dalam penelitian mengenai implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak, pemilihan informannya menggunakan teknik Purposive Sampling (sampel bertujuan). 3) Literatur, yaitu data kepustakaan yang memiliki hubungan dengan penelitian. 3.5.2 Teknik Pengumpulan Data Secara teknik dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
69
a. Metode Angket Menurut Sugiyono (2011:142) Angket atau kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuisioner merupakan teknis pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. b. Wawancara Merupakan proses untuk memperoleh keterangan untuk mencapai tujuan penelitian yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi verbal berupa percakapan. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln & Guba (Moleong 2010: 186), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan mendatang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverfikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.
70
Metode wawancara yang digunakan peneliti dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak, yaitu wawancara mendalam yang mana peneliti melakukannya dengan sengaja untuk melakukan wawancara dengan informan dan peneliti tidak sedang observasi partisipasi, ia bisa tidak terlibat intensif dalam kehidupan sosial informan, tetapi dalam kurun waktu tertentu. Peneliti bisa datang berkalikali untuk melakukan wawancara. Sifat wawancaranya tetap mendalam tetapi dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara. Tujuannya yaitu untuk memperoleh data secara jelas, konkret, dan lebih mendalam. Pada prinsipnya metode ini merupakan usaha untuk menggali keterangan yang lebih dalam dari sebuah kajian dari sumber yang relevan berupa pendapat, kesan, pengalaman, pikiran dan sebagainya yang berkaitan dengan implementasi implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Adapun pedoman wawancara penelitian adalah sebagai berikut:
Variabel
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara Penelitian Indikator Pertanyaan
Ukuran dan tujuan kebijakan
Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE? Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE? Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
Kode Informan I1, I2 I1, I2 I1, I2
71
Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak? Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai? Menurut anda, bagaimana pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE? Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang Sumberdaya SPIPISE tersebut? Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE? Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini? Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini? Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE? Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Karakteristik PUSDATIN BKPM Pusat. agen Bagaimana pengetahuan dan pelaksana pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan? Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP? Sikap/ Apakah Pemerintah Daerah kecenderung Kabupaten Lebak mendukung penuh an penerapan SPIPISE di Kabupaten (disposisi) Lebak?
I1, I2
I1, I2
I1, I2
I1, I2
I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2
I1, I2
I1, I2
I1, I2 I1, I2
72
para pelaksana
Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak? Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE? Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan? Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE? Komunikasi Apakah ada sosialisasi yang dilakukan terkait penerapan SPIPISE ini, baik antar dengan masyarakat atau SKPD organisasi dan aktivitas terkait? pelaksana Bagaimana proses sosialisasi dilakukan? Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami? Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum? Apakah kondisi ekonomi turut Lingkungan mempengaruhi kebijakan ini? sosial, Apakah lingkungan sosial turut ekonomi dan mempengaruhi kebijakan ini? politik Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini? (Sumber: Peneliti, 2016)
I1, I2
I1, I2
I1, I2 I1, I2
I1, I2
I1, I2 I1, I2
I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2
c. Metode Observasi Menurut Sutrisno Hadi (Sugiyono.2011:145) berpendapat bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, yaitu suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Observasi merupakan teknik
73
pengumpulan data dengan menggunakan media panca indra dan peneliti sendiri secara langsung ke lapangan penelitiannya. d. Studi Dokumentasi Metode ini merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan perkiraan. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Dalam penelitian sosial, fungsi data yang berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai data pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui kuesioner, observasi dan wawancara mendalam. Penggunaan metode dokumentasi dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak, digunakan sebagai data pendukung terkait masalah penelitian. Dengan adanya data pendukung tersebut ditujukan sebagai penguat argumentasi dari data-data primer yang didapatkan dari hasil kuesioner, observasi dan wawancara yang telah dilakukan peneliti sebelumnya. 3.5.3 Pengukuran Validitas Instrumen Uji validitas digunakan untuk sah atau valid tidaknya suatu kuisioner. Uji validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan korelasi Product Moment. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid.
74
Pengujian validitas yang diterapkan oleh penulis adalah dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total (Sugiono, 2011: 125). Uji validitas digunakan untuk menunjukan tingkat kevalidan instrumen penelitian, artinya instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharunya diukur. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Validitas dideteksi dengan memperhatikan kolom terakhir pada hasil output SPSS 22. Pada penelitian ini, pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi pearson product moment dengan bantuan piranti lunak Statistic Program For Social Science (SPSS) versi 22. Berikut rumus dari korelasi product moment: Rumus Pearson Product Moment (Singarimbun, 1989: 137)
rxy
n xy - ( x) ( y)
((n x 2 ( x) 2 (n y 2 ( y) 2 )
Keterangan: r
= Koefisien Korelasi Product Moment
Σx
= Jumlah skor per-item pertanyaan
Σy
= Jumlah skor total
Σxy
= Jumlah hasil kali skor pertanyaan dengan total
Σx2
= Jumlah skor item yang dikuadratkan
Σy2
= Jumlah skor total yang dikuadratkan
n
= Jumlah sampel
75
3.5.4 Pengujian Reliabilitas Sugiyono (2011:130) pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan dengan test-retest (stability), equivalent, dan gabungan keduanya. Secara internal reliabilitias instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu. Pendekatan yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah pendekatan reliabilitas konsistensi internal. Adapun teknik yang digunakan untuk mengukur konsistensi internal adalah dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen (Sugiyono, 2011: 131). Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan internal konsistensi dengan menggunakan teknik Cronbach Alpha. Cronbach Alpha yaitu penghitungan yang dilakukan dengan menghitung rata-rata interkorelasi di antara butir-butir pertanyaan dalam kuesioner, variabel di katakan reliabel jika nilai alphanya lebih dari 0.30. Pengujian reliabilitas dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For Social Science (SPSS) versi 22. Berikut ini rumus Alpha Cronbach yang digunakan untuk menguji reliabilitas:
Rumus Alpha Cronbach (Husaini, 2008:291)
k k -1 Keterangan: α
= Reliabilitas Instrumen
76
3.5.5
K
= Jumlah item
Si²
= Varians responden untuk item ke i
St²
= Jumlah varians skor total
Uji Normalitas Uji Normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian diadakan dengan maksud untuk melihat normal tidaknya sebaran data yang akan dianalisis (Zuriah, 2007: 201). Cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik. Uji grafik dapat digunakan dengan melihat grafik normal probability plot, yaitu deteksi dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal sebuah grafik. Normalitas akan dipenuhi jika titik menyebar disekitar garis diagonal dengan penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal. Sebaliknya, jika menjauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Menurut Arikunto (2002: 284) menyebutkan bahwa untuk melihat data berdistribusi normal dapat dilihat dari: 1. Mengenai data itu sendiri Dikatakan bahwa data itu berdistribusi normal atau mendekati normal (atau dapat di dekati dengan teknik-teknik untuk data berdistribusi normal). 2. Mengenai populasi dari mana data sampel diambil Dikatakan bahwa populasi dari mana data sampel itu diambil ternyata berdistribusi normal atau hampir berdistribusi normal, atau dapat di dekati oleh distribusi normal. Jika titik-titik yang diletakan tidak menunjukan terletak pada garis lurus maka dapat disimpulkan bahwa data atau sampel yang diambil tidak berasal dari populasi normal.
77
3.6 Populasi, Sampel dan Informan Penelitian 3.6.1 Populasi Menurut Sugiyono (2011: 80) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi untuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pegawai pada Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Kabupaten Lebak 65 orang. 3.6.2 Sampel Menurut Sugiyono (2011:81) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti menggunakan sampel dari populasi itu atau dengan kata lain disebut sampel jenuh. Sampel jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2011: 85). Istilah lain dari sampel jenuh adalah sensus dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai pengguna pada Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Kabupaten Lebak yang berjumlah 65 orang. 3.6.3 Informan Dalam penelitian mengenai implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
78
Lebak, pemilihan informannya menggunakan teknik Purposive Sampling (sampel bertujuan). Menurut Bungin (2011: 107), purposive sampling adalah strategi menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu. Key informant digunakan sebagai informan didasarkan pada penguasaan informasi dan secara logika bahwa tokoh-tokoh kunci dalam proses sosial selalu langsung menguasai informasi yang terjadi di dalam proses sosial itu. Penentuan key informant dilakukan dengan pemilihan the primary selection (partisipan pertama), yaitu pemilihan secara langsung memberi peluang bagi peneliti untuk menentukan sampel dari sekian informan yang langsung ditemui. Dalam hal ini informan yang dijadikan sebagai key informant adalah Kepala Bidang Data dan Pengaduan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak sebagai informan pertama dengan kode informan (I1) dan juga Tenaga IT Bidang Penanaman Modal di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupten Lebak sebagai informan kedua dengan kode informan (I2). 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif Teknik pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan teknik yang di jelaskan menurut (Bungin, 2009:165-168) yaitu menggunakan cara sebagai berikut : 1. Editing Data, adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai menghimpun data dilapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
79
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadang kala belum memenuhi harapan peneliti, ada diantaranya kurang atau terlewatkan, tumpang tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu, keadaan tersebut harus diperbaiki melalui editing ini. Proses editing dimulai dengan memberi identitas pada instrumen penelitian yang telah terjawab. Kemudian memeriksa satu per satu lembaran dan poin-poin serta jawaban yang tersedia. 2. Coding Data, setelah tahap editing selesai dilakukan, berikutnya adalah mengklarifikasi data-data tersebut melalui tahap koding. Maksudnya adalah bahwa data yang telah di edit tersebut diberi identitas skor dengan menggunakan Likert. 3. Tabulating Data, yaitu memasukan data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angka-angka serta menghitungnya. Penyusunan data dalam tabel-tabel yang mudah dibaca dan tabel tersebut disiapkan untuk dianalisis. Data penelitian ini dianalisis kuantitatifnya dengan menggunakan statistik. Analisis yang dilakukan dengan dua cara yaitu: 3.7.2
Uji T-test Uji t-test digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif satu atau lebih
variabel yang datanya berbentuk interval atau ratio. Untuk menganalisis impelementasi kebijakan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara elektronik di Kabupaten Lebak, maka dalam pengujian hipotesis deskriptif
80
digunakan uji t-test untuk satu sampel atau satu variabel, dengan menggunakan rumus:
Rumus: Keterangan:
t
= Nilai t yang dihitung
x
= Nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil pengumpulan data
µo
= Nilai yang dihipotesiskan
s
= Simpangan baku sampel
n
= Jumlah anggota sampel
3.7.3 Uji Pihak Kanan Menurut Sandjaja (2006: 78) bentuk pengujian hipotesis tergantung pada bunyi kalimat hipotesis. Hipotesis satu arah harus diuji dengan statistik satu arah atau uji satu sisi (one- tailed test) dan hipotesis dua arah harus diuji dengan tes statistik dua arah atau uji dua sisi (two-tailed test). Pada suatu penelitian dengan tingkat signifikasi 0,05 atau α = 0,05, maka daerah penolakan H0 adalah 5% dan daerah penerimaan H0 adalah 95%. Pada uji satu sisi, daerah penolakan tersebut dapat terletak di sebelah kanan atau sebelah kiri dan besarnya 5%. Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk mengetahui tingkat signifikansi dari hipotesis yang diajukan. Berdasarkan metode penelitian, maka pada tahap pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan rumus t-test satu sampel dan
81
pengujian t-test satu sampel dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For Social Science (SPSS) versi 22. 3.7.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong 2010:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam menganalisis data penelitian yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan, maka peneliti menggunakan analisis data model Miles & Huberman. Model interaktif Miles & Huberman dapat dipahami dengan gambar dibawah ini:
Gambar 3.2 Analisis Data Miles & Huberman Berikut adalah penjelasan mengenai gambar analisis data menurut Miles & Huberman (dalam Fuad & Nugroho 2014:16-18), yang diantaranya: a. Reduksi Data (Data Reduction), dimaknai sebagai proses memilah dan memilih, menyederhanakan data yang terkait dengan kepentingan penelitian saja, abstraksi dan transformasi data-data kasar dari catatan
82
lapangan. Reduksi data perlu dilakukan karena ketika peneliti semakin lama di kancah penelitian akan semakin banyak data atau catatan lapangan yang peneliti kumpulkan. Tahap dari reduksi adalah memilah dan memilih data yang pokok, fokus pada hal-hal yang penting, mengelompokkan data sesuai dengan tema, membuat ringkasan, member kode, membagi data dalam partisi-partisi dan akhirnya dianalisis sehingga terlihat pola-pola tertentu. b. Penyajian Data (Data Display) berupa uraian singkat, bagan, hubungan kausal dengan kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dapat membantu peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan analisis selanjutnya berdasarkan apa yang sudah dipahami sebelumnya. c. Menarik kesimpulan/ verifikasi (Conclusion: Drawing/ Verifying), merupakan langkah terakhir dalam analisis data menurut Miles dan Huberman. Berdasarkan pola-pola yang sudah tergambarkan dalam penyajian data, terdapat hubungan kausal atau interaktif antara data dan didukung dengan teori-teori yang sesuai, peneliti kemudian mendapatkan gambaran utuh tentang fenomena yang diteliti dan kemudian dapat menyimpulkan fenomena tersebut sebagai temuan baru. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak”, menggunakan teknik analisis data Miles & Huberman dengan empat langkah analisis data, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hal ini digunakan sebagai alat untuk mempermudah peneliti untuk menganalisis data yang didapat dari hasil penelitian lapangan dan mendapatkan kesimpulan mengenai penelitian yang dilakukan peneliti. 3.7.5 Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data dapat dilakukan dengan triangulasi pendekatan dengan kemungkinan melakukan terobosan metodologis terhadap masalah-masalah tertentu yang kemungkinan dapat dilakukan seperti seperti yang dikatakan Denzin dengan “triangulasi”. Istilah penggabungan metode ini dikenal lebih akrab di
83
kalangan pemula dengan istilah ‘meta-metode’ atau ‘mix-method’, yaitu metode campuran, dimana metode kuantitatif dan kualitatif digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian (dalam Bungin 2010:257). Metode ini digunakan sebagai alat untuk menguji apakah data hasil penelitian yang telah dikumpulkan terdapat perbedaan atau tidak, sehingga dapat diketahui data tersebut dianggap absah atau tidak. Penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak, menggunakan satu teknik triangulasi pendekatan untuk menguji keabsahan data dari hasil penelitian lapangan. Teknik triangulasi pendekatan yang digunakan peneliti yaitu triangulasi sumber. Menurut Fuad & Nugroho (2014:19-20) triangulasi sumber dapat dilakukan dengan mengecek data yang sudah diperoleh dari berbagai sumber. Data dari berbagai sumber tersebut kemudian dipilah dan dipilih dan disajikan dalam bentuk tabel matriks. Data dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, berbeda dan mana yang lebih spesifik. 3.8 Jadwal Penelitian Adapun jadwal penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti dalam menyusun penelitian skripsi tentang implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak adalah sebagai berikut:
84
Tabel 3.4 Jadwal Penelitian No Kegiatan
1.
Pengajuan Judul
2.
Observasi Awal
3.
Penyusunan Proposal Seminar Proposal Revisi dan Bimbingan Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Sidang Skripsi
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Okt
2015 Bulan Nov Des
Revisi Skripsi Sumber: Peneliti, (2016)
Tahun Jan
Feb
Mar Apr
2016 Bulan Mei Jun Jul
Agu
Sep
Okt
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian Deskripsi penelitian menggambarkan mengenai objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi pada lokasi penelitian, serta hal lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Deskripsi objek penelitian juga menjelaskan gambaran umum dari Kabupaten Lebak serta Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) yang menjadi objek dalam penelitian ini. 4.1.1
Gambaran Umum Kabupaten Lebak Kabupaten Lebak terletak di sebelah selatan wilayah Provinsi Banten dan
berbatasan dengan beberapa kabupaten di Provinsi Banten (Pandeglang, Serang, dan Tangerang) serta berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Sedangkan sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Secara astronomis Kabupaten Lebak terletak pada 6°18’’ - 7°0’’ Lintang Selatan (LS) dan 105°25’’-106°30’’ Bujur Timur (BT). Luas wilayah Kabupaten Lebak adalah 3044,72 km2 atau sekitar 31,51 persen dari luas Provinsi Banten. Sehinggga menempatkan Kabupaten Lebak sebagai Kabupaten dengan wilayah terluas di Provinsi Banten (sumber: Statistik Daerah Kabupaten Lebak, 2015).
85
86
Sebagai Kabupaten dengan wilayah terluas di Provinsi Banten, Kabupaten lebak memiliki potensi pengembangan ekonomi sebagai sumber penghasilan daerah dari berbagai sektor, diantaranya adalah sektor peternakan, perikanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing potensi tersebut yang bersumber dari Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Lebak tahun 2016 yaitu: 1.
Sektor
peternakan,
pengembangan
Kabupaten
peternakan,
Lebak
pemerintah
merupakan pusat
telah
wilayah menunjuk
Kabupaten Lebak sebagai daerah terbesar ketujuh tingkat nasional untuk pengembangan ternak kerbau, maka dengan penetapan tersebut mulai tahun 2014 hingga 2015 Kabupaten Lebak fokus sebagai daerah pengembangan ternak kerbau, bahkan di Provinsi Banten, Kabupaten Lebak adalah salah satu daerah dengan populasi ternak kerbau terbanyak. Sektor peternakan di Kabupaten Lebak terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun, beberapa jenis ternak yang dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Lebak antara lain: sapi, kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging dan itik. Pengembangan ternak besar yakni kerbau sudah mencapai swasembada daging untuk kebutuhan masyarakat Kabupaten Lebak dan sudah mencukupi pasokan keluar daerah seperti Tangerang, Bogor dan Jakarta. 2.
Sektor perikanan, potensi sumber daya ikan laut di Kabupaten Lebak cukup besar, mengingat Kabupaten Lebak mempunyai panjang pantai
87
sekitar 91,42 km dengan potensi lestari untuk perairan pantai dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sebesar 10.557,24 ton/tahun yang terdiri dari potensi lestari perairan pantai sebesar 3.712,40 ton/tahun dan potensi ZEE sebesar 6.844,84 ton/pertahun. Potensi perikanan di Kabupaten Lebak terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap terbagi atas perikanan tangkap laut dan perairan umum. Untuk perikanan budidaya dikelompokkan menjadi budidaya air tawar dan budidaya air payau. Adapun sarana dan prasarana pendukung berupa kapal perahu sebanyak 794 unit, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 10 buah. 3.
Sektor pertanian, Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten penghasil produk pertanian. Konstribusi sektor pertanian pada pembentukan PDRB Lebak mencapai 38,16 persen dengan nilai ekonomi mencapai Rp 1,2 triliyun lebik. Hal ini disebabkan karena pesebaran produk pertanian berada di seluruh kecamatan.
4.
Sektor perkebunan, luas areal perkebunan di Kabupaten Lebak adalah 73.566,73 Ha (28,65%) dari luas wilayah Kabupaten Lebak. Yang meliputi: Perkebunan Rakyat (PR) seluas 57.717,57 Ha, Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 6.968,95 Ha dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 8.880,21 Ha.
5.
Sektor pertambangan, Kabupaten Lebak sejak zaman penjajahan Belanda merupakan wilayah pertambangan emas dan bahan galian lain seperti perak. Bahan galian lainnya adalah gelena yang merupakan bijih
88
timas hitam (Pb). Mineralisasi gelena terkait dengan mineralisasi emas yang tersebar di Kecamatan Cibeber, Cipanas, Panggarangan, dan Malingping. Di Kabupaten Lebak, bahan galian non logam yang bernilai ekonomis adalah berbagai jenis bahan galian industri seperti zeolit, felspar, bentonit, batu gamping, pasir kuarsa, batu sempur, batu mulia serta batubara. Kabupaten Lebak merupakan cadangan terbatas batubara untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar industri menengah dan industri kecil di dalam negeri. Potensi endapannya tersebar di daerah-daerah Bojongmanik, Panggarangan, Cihara, Cilograng dan Bayah. 4.1.2
Sistem Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)
di Kabupaten Lebak Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan non perizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan, PDPPM, dan PDKPM. Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Peresiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman modal serta Peraturan Kepala BKPM nomor 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan dan Perizinan Investasi
secara
Elektronik.
SPIPISE
pada
hakikatnya
adalah
89
sistem
elektronik
pelayanan
perizinan
investasi
yang
terintegrasi
antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini adalah BPMPPT), sehingga proses pelayanan perizinan investasi yang diselenggarakan oleh BPMPPT langsung dapat diakses dan terpantau oleh Pemerintah. Portal SPIPISE adalah piranti lunak berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan perizinan dan non perizinan penanaman modal di Indonesia. Berikut adalah penjelasan mengenai ruang lingkup SPIPISE: Gambar 4.1 Ruang Lingkup SPIPISE
Sumber: Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM RI, 2016 Berdasarkan gambar 4.1 di atas, dapat dilihat bagaiman pelayanan investor menggunakan SPIPISE. Dari portal SPIPISE, investor melihat dan memperoleh informasi mengenai investasi, kemudian melakukan registrasi data pribadi dan perusahaan, untuk Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) pelayanan perizinan dilayani oleh PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan persyaratan dan
90
ketentuan yang berlaku, sedangkan untuk Penanam Modal Asing (PMA) pelayanan perizinan dilayani oleh PTSP Pusat. Selanjutnya izin-izin yang sudah diproses oleh PTSP Pusat, PTSP Provinsi dan PTSP Kab/Kota akan di koordinasikan dengan instansi atau dinas teknis terkait guna mendapatkan informasi perizinan yang jelas dan akan diberikan kepada investor. Dalam portal SPIPISE, investor harus mendaftar dan mendapatkan hak akses. Cara mengajukan hak akses yaitu Hak akses adalah hak yang diberikan kepada
pengguna
SPIPISE
untuk
memanfaatkan
perangkat
pelayanan elektronik tersebut, namun dengan syarat telah memiliki identitas pengguna dan kode akses. Hak akses dapat diajukan langsung ke BKPM maupun instansi penanaman modal tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang telah mengoperasikan SPIPISE. Pengajuannya melalui formulir permohonan hak akses, disertai persyaratan: 1.
Dokumen perusahaan yang terdiri dari rekaman Akta Perusahaan yang terbaru serta rekaman pengesahan Akta Perusahaan tersebut oleh Kementerian Hukum dan HAM atau pengadilan atau Kementerian Koperasi dan UKM;
2. Dokumen pimpinan (penanggung jawab) perusahaan, berupa rekaman tanda pengenal pemohon (KTP atau paspor). Jika pemohon tidak dapat mengajukan sendiri permohonannya, ia dapat menguasakan kepada pihak lain dengan menyertakan surat kuasa resmi. Surat kuasa harus bermaterai cukup dan dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa. Setelah formulir Permohonan Hak Akses diisi dengan baik dan benar (dan telah
91
ditandatangani di atas materai yang cukup), berkas permohonan (yang dilengkapi dokumen yang diperlukan) langsung disampaikan kepada BKPM atau instansi penanaman modal provinsi atau kabupaten/kota yang dimaksud. Dalam waktu 2 (dua) jam setelah berkas diterima dengan benar dan lengkap, hak akses akan diberikan oleh petugas PTSP disertai pemberian akun investor. Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu 1 (satu) hari setelah hak akses diberikan. Ini agar kode akses yang dimilikinya tidak diketahui pihak lain yang tidak berkepentingan. Jika dalam waktu sehari penanam modal tidak mengganti kode aksesnya, SPIPISE akan menghapus hak akses tersebut secara otomatis. Jika ingin mengalihkan hak akses ke instansi penanaman modal daerah lainnya, investor dapat mengajukan perubahan secara langsung ke instansi yang menerbitkan hak akses tersebut. Untuk lebih jelas mengenai kegunaan hak akses dapat dijelaskan dalam gambar berikut. Berikut adalah matriks layanan subsistem-subsistem SPIPISE: Gambar 4.2 Matriks Layanan Subsistem-Subsistem SPIPISE Subsistem/ aplikasi Layanan SPIPISE I
Informasi: Potensi dan Persyaratan
II
Pelayanan Penanaman Modal
Publik
Penanam Modal
Pelaksana
Pengelola
V
V
V
V
No
V (tanpa Hak Akses)
Hak akses
Hak akses
A. Perizinan dan Nonperizinan -Pendaftaran Penanaman Modal
92
III
-Izin Prinsip & Fasilitas
No
Hak Akses
Hak akses
Hak akses
-Izin Usaha
No
Hak akses
Hak akses
Hak akses
-Rekomendasi
No
Hak akses
Hak akses
Hak akses
-Izin & Non Izin daerah
No
Hak akses
Hak akses
Hak akses
B. Pencabutan/Pembatalan
No
No Online
Hak akses
Hak akses
C. LKPM
No
Hak akses
Hak akses
Hak akses
D. Penelusuran
No
Hak akses
Hak akses
Hak akses
E. Audit Trail
No
No
Hak akses
Hak akses
1) Panduan Penggunaan
V
V
V
V
2) Business Intelligent
No
No
Hak akses
Hak akses
3) Knowledge Management
No
No
Hak akses
Hak akses
4) Helpdesk/Call Center
V
V
V
V
Pendukung
Keterangan: V dapat mengakses tanpa hak akses. Sumber: Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM RI, 2016. SPIPISE memiliki 3 (tiga) menu utama, yakni: Informasi Penanaman Modal, Pelayanan Penanaman Modal dan Pendukung. Pada menu Informasi Penanaman Modal dapat diakses : 1.
Peraturan perundang-undangan penanaman modal;
2. Potensi dan peluang penanaman modal; 3. Daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; 4. Jenis, tata cara proses permohonan, biaya dan waktu pelayanan perizinan dan non-perizinan; 5. Tata cara pencabutan perizinan dan non-perizinan; 6. Tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal;
93
7. Tata cara pengaduan terhadap layanan penanaman modal; 8. Data referensi yang digunakan dalam layanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal; 9. Data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas, upah dan tanah; 10. Informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal; Pada menu Pelayanan Penanaman Modal, investor disuguhi informasi tentang: 1.
Pelayanan perizinan dan nonperizinan;
2. Pelayanan penyampaian LKPM; 3. Pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan; 4. Pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi; 5. Aplikasi antar-muka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis serta intansi terkait lainnya; 6. Penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan nonperizinan; 7. Jejak audit (audit trail). Pada menu Pendukung, informasi yang tersaji berupa: 1.
Pengaturan penggunaan jaringan elektronik;
2. Pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik; 3. Pengelolaan informasi yang ditampilkan National Single Window for Investment (NSWi); 4. Pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan non-perizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE;
94
5. Pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal; 6. Pengelolaan
pengetahuan
sebagai
pendukung
analisis
dalam
pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; 7. Penyediaan panduan penggunaan SPIPISE. Adapun maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan : 1.
Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;
2.
Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
3.
Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel;
4.
Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah.
4.2 Pengujian Persyaratan Statistik Dalam penelitian ini, pengujian persyaratan statistik merupakan hal yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dan disajikan berasal dari instrumen yang berbentuk kuisioner yang telah diuji validitas, uji reliabilitas
95
dan uji normalitas. Berikut adalah hasil uji validitas, uji reliabilitas dan uji normalitas yang dilakukan oleh peneliti. 4.2.1 Uji Validitas Instrumen Uji validitas digunakan untuk menunjukan tingkat kevalidan instrumen penelitian, artinya instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharunya diukur. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Validitas dideteksi dengan memperhatikan kolom terakhir pada hasil output SPSS 22. Pada penelitian ini, pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi pearson product moment dengan bantuan piranti lunak Statistic Program For Social Science (SPSS) versi 22. Berikut rumus dari korelasi product moment: Rumus Pearson Product Moment (Singarimbun, 1989: 137)
rxy
n xy - ( x) ( y)
((n x 2 ( x) 2 (n y 2 ( y) 2 )
Keterangan: r
= Koefisien Korelasi Product Moment
Σx
= Jumlah skor per-item pertanyaan
Σy
= Jumlah skor total
Σxy
= Jumlah hasil kali skor pertanyaan dengan total
Σx2
= Jumlah skor item yang dikuadratkan
Σy2
= Jumlah skor total yang dikuadratkan
n
= Jumlah sampel
96
Adapun kriteria item/butir instrumen yang digunakan adalah di mana jika r hitung > r tabel, berarti item/butir instrumen dinyatakan valid, dan jika r hitung ≤ r tabel berarti item/butir dinyatakan tidak valid. Perolehan nilai r hitung diperoleh dari perhitungan statistik korelasi Product Moment dengan bantuan SPSS statistik versi 22. Tabel 4.1 Hasil uji validitas instrumen penelitian Nomor r hitung r tabel Keterangan item 1 0,771 0,244 Valid 2 0,476 0,244 Valid 3 0,795 0,244 Valid 4 0,790 0,244 Valid 5 0,539 0,244 Valid 6 0,693 0,244 Valid 7 0,451 0,244 Valid 8 0,347 0,244 Valid 9 0,795 0,244 Valid 10 0,771 0,244 Valid 11 0,476 0,244 Valid 12 0,795 0,244 Valid 13 0,790 0,244 Valid 14 0,539 0,244 Valid 15 0,693 0,244 Valid 16 0,451 0,244 Valid 17 0,347 0,244 Valid 18 0,790 0,244 Valid 19 0,451 0,244 Valid 20 0,693 0,244 Valid 21 0,771 0,244 Valid 22 0,476 0,244 Valid 23 0,795 0,244 Valid 24 0,790 0,244 Valid 25 0,771 0,244 Valid 26 0,771 0,244 Valid 27 0,476 0,244 Valid 28 0,795 0,244 Valid 29 0,790 0,244 Valid 30 0,539 0,244 Valid
97
31 0,693 0,244 Valid 32 0,451 0,244 Valid 33 0,347 0,244 Valid 34 0,790 0,244 Valid 35 0,451 0,244 Valid 36 0,795 0,244 Valid 37 0,476 0,244 Valid 38 0,771 0,244 Valid 39 0,476 0,244 Valid 40 0,795 0,244 Valid Sumber: Pengolahan Data dengan SPPS versi 22, 2016. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 40 item/butir instrumen yang valid. Perolehan nilai 0,244 dari r tabel merupakan perolehan dari korelasi product moment dengan tingkat kesalahan 5% tingkat signifikasi untuk uji satu arah. 4.2.2 Uji Reliabilitas Pendekatan yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah pendekatan reliabilitas konsistensi internal. Adapun teknik yang digunakan untuk mengukur konsistensi internal adalah dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen (Sugiyono, 2011: 131). Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan internal konsistensi dengan menggunakan teknik Cronbach Alpha. Cronbach Alpha yaitu penghitungan yang dilakukan dengan menghitung rata-rata interkorelasi di antara butir-butir pertanyaan dalam kuesioner, variabel di katakan reliabel jika nilai alphanya lebih dari 0.30. Pengujian reliabilitas dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For Social Science (SPSS) versi 22. Berikut ini rumus Alpha Cronbach yang digunakan untuk menguji reliabilitas:
98
Rumus Alpha Cronbach (Husaini, 2008:291)
k k -1 Keterangan: α
= Reliabilitas Instrumen
K
= Jumlah item
Si ²
= Varians responden untuk item ke i
St²
= Jumlah varians skor total
Dikatakan reliabel menurut Siegel, jika rhitung> rtabel, dimana r tabel telah ditentukan sebesar 0,244. Instrumen yang dilakukan uji reliabilitas adalah instrumen yang dinyatakan valid, sedangkan instrumen yang dinyatakan tidak valid maka tidak bisa dilakukan uji reliabilitas. Dengan menggunakan teknik perhitungan SPSS, diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.2 Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
% 65
100.0
0
.0
65
100.0
Tabel 4.3 Reliability Statistics Cronbach's Alpha .963
N of Items 40
Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
99
Nilai di atas menunjukkan bahwa rhitung > rtabel atau 0,963 > 0.244. Sehingga dapat diberikan kesimpulan bahwa, butir instrumen penelitian ini adalah reliabel. Berdasarkan uji validitas dan uji reliabilitas yang telah dilakukan, maka instrumen dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka pengumpulan data dalam penelitian ini. 4.2.3 Uji Normalitas Uji grafik dapat digunakan dengan melihat grafik normal probability plot, yaitu deteksi dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal sebuah grafik. Normalitas akan dipenuhi jika titik menyebar disekitar garis diagonal dengan penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal. Sebaliknya, jika menjauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Berikut adalah uji grafik terhadap sebaran data instrumen:
Gambar 4.3 Grafik Uji Normalitas Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
100
Berdasarkan data uji grafik diatas, dapat dilihat bahwa titik menyebar disekitar garis diagonal dengan penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal. Dengan ini dinyatakan bahwa penyebaran titik tersebut memenuhi kriteria bahwa data ini berdistribusi normal. 4.3 Deskripsi Data Deskripsi data merupakan bagian untuk menjelaskan penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data. Peneliti dalam tahap ini akan melakukan analisis data berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara yang dilakukan peneliti pada 65 responden dari perusahaan pengguna SPIPISE dan 2 orang informan penelitian, yang terdiri dari Kepala Bidang Data dan Pengaduan dan Tenaga IT Bidang Penanaman Modal di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Lebak dengan menggunakan teknik pengumpulan informan Purposive Sampling. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian, yaitu untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Analisis data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan teori implementasi dari Van Metter Van Horn (Winarno 2012:159)
yang mana terdiri dari enam indikator dalam
implemantasi kebijkan, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas para pelaksana dan lingkungan ekonomi,sosial serta lingkungan politik.
101
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi model concurrent embedded, dengan metode kuantitatif sebagai metode primer dan kualitatif sebagai metode sekunder, maka dalam proses menganalisis datanya pun peneliti melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif. Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam prosesnya analisis dalam penelitian ini menggunakan pengujian statistik untuk metode kuantitatif dan untuk metode kualitatif menggunakan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yaitu melakukan tiga kegiatan penting, yaitu reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan atau verifikasi hasil penelitian. 4.3.1 Identitas Responden Adapun responden yang peneliti pilih yakni berjumlah 65 orang. Pada pengisian kuesioner, responden diharuskan mengisi identitas diri yang meliputi jenis kelamin, usia dan pendidikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada beberapa diagram di bawah ini: Diagram 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
LAKI-LAKI
71%
29%
PERMPUAN
0%
20%
40%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan Tahun 2016
60%
80%
102
Berdasarkan diagram 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa persentase responden laki-laki sebanyak 46 responden atau 71%, sedangkan responden perempuan sebanyak 19 responden atau 29%. Hasil pengumpulan dan olah data hasil kuesioner menunjukkan bahwa responden yang terpilih pada penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak sebagian besar adalah berjenis kelamin laki-laki, sedangkan selisih perbedaan adalah 42% dari responden yang berjenis kelamin perempuan. Diagram 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia 17 - 25 TAHUN
22%
26 - 35 TAHUN
63%
36 - 45 TAHUN
12% 3%
46 - 55 TAHUN
0%
> 56 TAHUN 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan Tahun 2016 Berdasarkan diagram 4.2 di atas, terlihat bahwa responden berusia antara 17 – 25 tahun sebanyak 14 responden atau 22%, responden yang berusia 26 – 35 tahun sebanyak 41 responden atau 63%, responden yang berusian 36 – 45 tahun sebanyak 8 responden atau 12% dan responden yang berusia 46 – 55 tahun sebanyak 2 orang atau 3%.
103
Mayoritas responden yang terpilih pada penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak adalah pada rentang 26 – 35 tahun dan yang paling sedikit adalah responden dengan usia pada rentang 46 – 55 tahun. Diagram 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
SLTP / SEDERAJAT
0%
SMA / SEDERAJAT
0%
DIPLOMA
14% 83%
SARJANA 3%
PASCASARJANA 0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sumber: Hasil Penelitian Lapanga Tahun 2016 Berdasarkan diagram 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 9 responden atau 14% berpendidikan diploma, 54 responden atau 83% berpendidikan sarjana dan 2 orang atau 3% berpendidikan pascasarjana. Mayoritas responden yang terpilih pada penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak adalah berpendidikan sarjana. Adapun informan dalam penelitian ini adalah informan yang menurut peneliti memahami betul mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti atau biasa disebut peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Untuk
104
mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data kualitatif sebagai bagian hasil penelitian yang akan digabungkan dengan analisis kuantitatif, maka peneliti memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Kode-kode tersebut ditentukan berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan permasalahan penelitian. Yakni I1 adalah Bapak Rukim, SE.,M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT dan I2 adalah Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT Bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak. 4.3.2 Analisis Data 4.3.2.1 Analisis Data Kuantitatif Analisis data kuantitatif merupakan tahap penyajian data untuk mendeskripsikan data dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner. Kuesioner ini disebarkan kepada 65 responden. Dengan menggunakan satu variabel penelitian, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn. Dalam teori tersebut mengemukakan enam indikator yang akan diuraikan ke dalam 40 pernyataan. Skala yang dipakai dalam kuesioner adalah skala Likert, dengan pilihan jawaban sangat setuju bernilai 4, setuju bernilai 3, kurang setuju bernilai 2 dan tidak setuju bernilai 1. Maka semakin tinggi nilai yang diperoleh dari kuesioner semakin baik pula implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak begitupun sebaliknya. Pemaparan jawaban responden atas kuesioner ini akan digambarkan dalam bentuk diagram disertai pemaparan dan kesimpulan hasil jawaban dari pernyataan yang diajukan melalui kuesioner berdasarkan indikator dalam teori tersebut serta
105
akan dipaparkan hasil wawancara dengan informan sebagai hasil dari analisis data kualitatif yang dilakukan sebelumnya. Adapun pemaparan jawaban atas kuesioner dan wawancara tersebut peneliti adalah sebagai berikut: 1.
Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan dari teori implementasi Van
Metter Van Horn didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor – faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Suatu kebijakan memiliki ukuran dan tujuan yang dijadikan acuan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan tersebut diimplementasikan. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator ukuran dan tujuan kebijakan. Diagram 4.4 Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 1-4, 2016. Berdasarkan diagram 4.4 di atas, hasil jawaban responden terhadap indikator ukuran dan tujuan kebijakan yaitu pemahaman responden mengenai ukuran kebijakan penerapan Sistem Pelayanan Informasi dan
106
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) adalah sebesar 65%, pemahaman responden mengenai tujuan kebijakan penerapan SPIPISE sebesar 61.54%, kesesuaian antara pelaksanaan SPIPISE dengan tujuan yang telah ditetapkan sebesar 62,31%, dan penilaian responden mengenai kebijakan SPIPISE sudah tepat dan sesuai diterapkan pada perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA) di Kabupaten Lebak sebesar 62,31% serta di dapatkan rata-rata jawaban responden mengenai ukuran dan tujuan kebijakan sebesar 63%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah adalah pada pertanyaan mengenai pemahaman tujuan kebijakan yaitu sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti pemahaman responden mengenai tujuan kebijakan pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan termasuk dalam kategori kurang baik. Nilai persentase yang sama terjadi pada pernyataan mengenai pemahaman responden mengenai kesesuaian antara pelaksanaan SPIPISE dengan tujuan yang telah ditetapkan sebesar 62,31% dan kebijakan SPIPISE sudah tepat dan sesuai diterapkan pada perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA) di Kabupaten Lebak sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori kurang baik. Sementara itu untuk hasil jawaban responden yang nilai persentasenya tinggi yakni mengenai pemahaman reponden terhadap ukuran kebijakan sebesar 65%, hal ini berarti secara kualitatif penilaian responden mengenai pemahaman mengenai ukuran kebijakan SPIPISE termasuk dalam kategori
107
baik. Selanjutnya rata-rata jawaban responden mengenai ukuran dan tujuan kebijakan didapat angka sebesar 63%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. 2.
Indikator Sumber daya Keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan sangat bergantung
dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk menunjang setiap kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan tersebut. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap implementasi kebijakan akan menuntut keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas dalam hal ini untuk mendukung pemanfaatan SPIPISE secara optimal. Selain itu sumber daya finansial dan waktu juga merupakan faktor penunjang keberhasilan suatu kebijakan tersebut. Dalam hal ini, salah satu hal terpenting dari implementasi SPIPISE ini adalah fasilitas yang disediakan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan. Selain itu waktu pun dipertimbangkan agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu diharapkan agar SPIPISE ini dapat meningkatkan iklim investasi di Kabupaten Lebak. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator sumber daya.
108
Diagram 4.5 Indikator Sumber Daya SESUAI BIDANG
63.08%
KOMPETENSI YANG BAIK
64.62%
MEMAHAMI PROSES INPUT SPIPISE
65.38%
MENGETAHUI MAKSUD DAN TUJUAN SPIPISE MENGETAHUI SEGALA INFORMASI SPIPISE
65% 62.31%
SENANTIASA BERDISKUSI BERTUKAR…
65% 61.54%
MEMAHAMI KEWENANGAN
WAKTU PENGINPUTAN CEPAT DAN AKURAT
62.31%
DUKUNGAN FINANSIAL
62.31%
KETERSEDIAAN FASILITAS PENDUKUNG
63.08% 64.62%
FASILITAS PENDUKUNG BAIK DAN MEMADAI
RATA-RATA
64% 59% 60% 61% 62% 63% 64% 65% 66%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 5 – 15, 2016. Berdasarkan diagram 4.5 di atas, hasil jawaban responden terhadap indikator sumber daya yaitu, operator yang menangani SPIPISE memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan bidang pekerjaanya sebesar 63,08%, operator yang menangani SPIPISE mempunyai kompetensi yang baik dalam mengoperasikan SPIPISE sebesar 64,62%, operator yang menangani SPIPISE memahami proses penginputan data dalam SPIPISE sebesar 65,38%, operator yang menangani SPIPISE mengetahui maksud dan tujuan pelayanan SPIPISE sebesar 65%, para operator pengguna aplikasi SPIPISE mengetahui segala informasi yang terdapat dalam penerapan SPIPISE sebesar 62,31%, para operator pengguna aplikasi SPIPISE senantiasa berdiskusi dan bertukar informasi dengan sesama rekan kerja sebesar 65%, operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami kewenangan dalam menjalankan SPIPISE sebesar 61,54%, waktu yang dibutuhkan dalam
109
penginputan data baik perizinan dan non perizinan ke dalam SPIPISE cepat dan akurat sebesar 62,31%, penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak di dukung oleh sumber daya finansial yang cukup sebesar 62,31%, operator pengguna aplikasi SPIPISE disediakan fasilitas pendukung yang memadai dalam pelaksanaan pelayanan informasi dan perizinan investasi sebesar 63,08%, dan fasilitas pendukung baik sarana dan prasarana dalam penerapan SPIPISE sudah memadai sebesar 64,62% serta di dapatkan ratarata jawaban responden mengenai sumber daya mencapai angka sebesar 64%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai pemahaman operator pengguna aplikasi SPIPISE mengenai kewenangan dalam menjalankan SPIPISE yakni sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Nilai persentase yang tinggi didapat pada pernyataan mengenai pemahaman operator yang menangani SPIPISE dalam proses penginputan data dalam SPIPISE yakni sebesar 65,38%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Nilai persentase yang sama yakni sebesar 63,08% didapat dari hasil jawaban responden mengenai tingkat pendidikan operator SPIPISE sudah sesuai bidang kerjanya dan ketersediaan fasilitas pendukung penggunaan SPIPISE, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan mengenai kompetensi operator dalam menggunakan SPIPISE dan kondisi fasilitas pendukung yang baik dan memadai mempunyai nilai persentase
110
yang sama juga yakni 64,62%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan mengenai pengetahuan operator pengguna SPIPISE tentang maksud dan tujuan penggunaan SPIPISE dan operator SPIPISE yang senantiasa berdiskusi dan bertukar informasi keduanya mencapai angka sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya rata-rata jawaban responden mengenai sumber daya didapatkan angka sebesar 64%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. 3.
Indikator Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik agen pelaksana merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Agen pelaksana dari kebijakan ini adalah BPMPPT Lebak, BKPMPT Provinsi, BKPM RI dan investor. Karakteristik yang harus dimiliki oleh para implementor tersebut adalah kemampuan IT minimal sudah familiar dengan penggunaan komputer atau laptop dan melakukan penelusuran di jaringan internet karena hal ini berkaitan dengan pengoperasian SPIPISE, dedikasi, pemahaman SOP serta komitmen yang dimiliki oleh setiap personal dari pengguna SPIPISE dan pengelola SPIPISE ini. Berikut adalah pemaparan mengenai penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dengan indikator karakteristik agen pelaksana. Kesesuaian karakteristik ini bisa dilihat dari kinerja mereka setelah keberadaan
dari
SPIPISE
berkaitan
dengan
proses
perencanaan
111
pembangunan di Kabupaten Lebak. Jika memang kinerja mereka lebih baik setelah kebaradaan SPIPISE maka karakteristik agen pelaksana dari implementasi kebijakan ini sudah dapat dikatakan sesuai, begitu pun sebaliknya. Diagram 4.6 Indikator Karakteristik Agen Pelaksana MEMAHAMI FAQ & TROUBLESHOOT SPIPISE
65.38%
MENGETAHUI STANDARD OPERATING PROCEDURES
65%
SESUAI STANDARD OPERATING PROCEDURES
62.31% 65.38%
SESUAI TUPOKSI 65%
RATA-RATA 60%
61%
62%
63%
64%
65%
66%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dar Kuesioner Nomor 16 – 19, 2016. Berdasarkan diagram 4.6 di atas, hasil jawaban responden terhadap indikator karakteristik agen pelaksana yaitu, operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat sebesar 65,38%, semua operator pengguna aplikasi SPIPISE megetahui tentang Standard Operating Procedures (SOP) yang diterapkan sebesar 65%, pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP) sebesar 62,31%, dan di dalam lingkungan kerja Operator pelaksana SPIPISE dalam aktivitasnya sudah
112
sesuai dengan tupoksinya masing-masing sebesar 65,38%, serta didapatkan rata-rata sebesar 65%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai kesesuaian pelaksanaan SPIPISE dengan Standard Operating Procedures (SOP) yakni sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori kurang baik. Sementara itu, pernyataan yang nilai persentasenya tinggi adalah mengenai pemahaman pengguna SPIPISE tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat dan pelaksana SPIPISE dalam aktivitasnya sudah sesuai dengan tupoksinya masing-masing yakni sebesar 65,38%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya pernyataan mengenai pengetahuan pengguna SPIPISE tentang Standard Operating Procedures (SOP) yang diterapkan mencapai angka sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori baik. Adapun rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. 4.
Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan. Sikap tersebut bisa berbentuk dukungan yang mana dukungan tersebut akan sangat berpengaruh dalam penerapan suatu kebijakan. Dalam hal ini kaitannya adalah SPIPISE maka kita bisa mengetahui bagaimana kecenderungan para pengguna SPIPISE ini, apakah mereka
113
cenderung menerima atau menolak kebijakan ini berkaitan dengan keberadaan
SPIPISE
yang
bertujuan
untuk
memudahkan
proses
pembangunan di bidang investasi di Kabupaten Lebak. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelakasana: Diagram 4.7 Indikator Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana DUKUNGAN PEMDA LEBAK UNTUK SPIPISE
64.62%
DUKUNGAN PERUSAHAAN PMDN DAN…
65%
TERWUJUDNYA TRANSPARANSI DAN…
61.54%
KEMAUAN MENGOPERASIKAN SPIPISE
62.31%
MEMENTINGKAN KEPENTINGAN…
62.31%
65%
MENDAPATKAN INSENTIF ATAU GAJI…
65%
BEBAN TUGAS SESUAI INSENTIF ATAU GAJI 61.54%
SETIAP IMBALAN DIPERINCI DENGAN…
63%
RATA-RATA 59%
60%
61%
62%
63%
64%
65%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 20-27, 2016. Berdasarkan diagram 4.7 di atas, hasil jawaban responden terhadap indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana yaitu, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE pada perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing yang ada di Kabupaten Lebak sebesar 64,62%, perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE sebesar 65%, terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE ini sebesar 61,54%, operator
114
pengguna aplikasi
SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam
mengoperasikan SPIPISE sebesar 62,31%, operator pengguna aplikasi SPIPISE selalu mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan pribadi sebesar 62,31%, operator pelaksana SPIPISE mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebesar 65%, beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan penanaman modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan sebesar 65% dan setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku sebesar 61,54% serta didapatkan rata-rata sebesar 63%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE dan setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku yakni sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan yang nilai persentasenya tinggi adalah mengenai dukungan perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak penerapan SPIPISE, operator pelaksana SPIPISE mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dan beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan penanaman modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan sebesar 65%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori baik. Sementara itu dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam penerapan SPIPISE pada perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
115
yang ada di Kabupaten Lebak sebesar 64,62%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. Selanjutnya mengenai pernyataan operator pengguna aplikasi SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam mengoperasikan SPIPISE dan operator pengguna aplikasi SPIPISE selalu mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan pribadi sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. Adapun rata-rata yang didapatkan dari hasil jawaban responden adalah 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. 5. Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para Pelaksana Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam dari berbagai sumber informasi. Kejelasan dan konsistensi komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana sangat penting agar memberi kemudahan dalam pelaksanaann suatu kebijakan. Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak – pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dalam hal ini adalah implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak maka kesalahan akan semakin kecil, begitupun sebaliknya. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator tersebut:
116
Diagram 4.8 Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivtas Pelaksana KOMUNIKASI DENGAN ATASAN
62.31%
KOMUNIKASASI SESAMA OPERATOR…
62.31%
KOORDINASI DENGAN ATASAN
63.08%
KOORDINASI SESAMA OPERATOR
64.62%
KEJELASAN KOMUNIKASI
65.38%
PENGARAHAN SESUAI BIDANG KERJA
65% 62.31%
KONSISTENSI ARAHAN DARI ATASAN
65.38%
KONSISTENSI KOMUNIKASI DAN… 62.31%
SOSIALISASI PENERAPAN SPIPISE
61.54%
KEMUDAHAN LAYANAN DIKETAHUI…
63%
RATA-RATA 59%
60%
61%
62%
63%
64%
65%
66%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 28 – 37, 2016. Berdasarkan diagram 4.8 di atas, dapat dilihat bahwa hasil jawaban responden terhadap indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana yaitu, penyampaian komunikasi dari atasan kepada operator yang menangani SPIPISE sudah baik dinilai responden sebesar 62,31%, operator pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan baik dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE sebesar 62,31%, operator pengguna aplikasi SPIPISE melakukan koordinasi yang baik dengan atasan dalam proses pelayanan SPIPISE sebesar 63,08%, koordinasi dengan sesama operator pengguna SPIPISE sudah terjalin dengan baik sebesar 64,62%, kejelasan komunikasi tentang pelaksanaan SPIPISE sudah baik sebesar 65,38%, dalam menjalankan tugas operator pengguna SPIPISE diberi pengarahan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing sebesar 65%, konsistensi arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data SPIPISE sudah terjalin dengan baik sebesar 62,31%, operator pelaksana
117
SPIPISE konsisten melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE sebesar 65,38%, sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan mudah dipahami sebesar 62,31%, kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum sebesar 61,54%. Sehingga didapatkan rata-rata sebesar 63%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah terdapat pada pernyataan tentang kemudahan layanan informasi SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum dengan angka sebesar 61,54%, hal secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan yang nilai persentasenya tinggi terdapat pada pernyataan tentang kejelasan komunikasi tentang pelaksanaan SPIPISE yang sudah baik dan komunikasi dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE yakni sebesar 65,38%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Sementara itu, untuk pernyataan penyampaian komunikasi dari atasan kepada operator yang menangani SPIPISE sudah baik, operator pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan baik dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE, konsistensi arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data SPIPISE sudah terjalin dengan baik, dan sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan mudah dipahami didapatkan nilai sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. Selanjutnya pernyataan tentang koordinasi yang baik
118
dengan atasan dalam proses pelayanan SPIPISE sebesar 63,08% dan koordinasi dengan sesama operator pengguna SPIPISE sudah terjalin dengan baik sebesar 64,62%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Untuk pernyataan tentang pemberian arahan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing di dalam menjalankan tugas operator pengguna SPIPISE sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Adapun untuk rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. 6.
Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi eksternal yang kondusif. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator tersebut.
119
Diagram 4.9 Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
PENGARUH EKONOMI
65%
PENGARUH SOSIAL
61.54%
62.31%
PENGARUH POLITIK
63%
RATA-RATA
59%
60%
61%
62%
63%
64%
65%
Sumber: Hasil Peneitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 38 – 40, 2016. Berdasarkan diagram 4.9 di atas, dapat dilihat bahwa hasil jawaban responden terhadap indikator lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yaitu, lingkungan ekonomi turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 65%, lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 61,54%, dan lingkungan politik turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 62,31% serta didapatkan rata-rata sebesar 63%. Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan yang nilai persentasenya rendah terdapat pada pernyataan tentang pengaruh lingkungan sosial terhadap kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Untuk pernyataan yang nilai persentasenya tinggi terdapat pada pernyataan tentang pengaruh lingkungan ekonomi terhadap kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak yakni sebesar 65%, hal ini secara kualitatif
120
berarti termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya untuk pernyataan tentang pengaruh lingkungan politik terhadapa kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak adalah sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Adapun nilai rata-rata untuk indikator ini adalah 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik. 4.3.2.2 Analisis Data Kualitatif Analisis data kualitatif merupakan pemaparan hasil penelitian yang didapatkan dengan melakukan wawancara dengan dua orang informan yang dianggap mewakili dalam memberikan data terhadap implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak yakni I1 adalah Bapak Rukim, SE.,M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT dan I2 adalah Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT Bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak. Adapun dalam menganalisis data hasil penelitian lapangan dengan menggunakan teori dari Van Metter dan Van Horn yang mana terdiri dari enam indikator dalam impelementasi, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap atau kecenderungan para pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berikut adalah analisis data penelitian mengenai “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
121
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan dari teori implementasi Van Metter Van Horn didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor – faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Suatu kebijakan memiliki ukuran dan tujuan yang dijadikan acuan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan tersebut diimplementasikan. Berikut adalah analisis data peneliti terkait indikator ukuran dan tujuan kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan I1 mengenai ukuran dan tujuan kebijakan dijelaskan bahwa Ukurannya adalah Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mengindentifikasi
jumlah
investasi
yang
masuk
dan
untuk
mengintegrasikan semua perizinan, mempermudah serta mempercepat pelayanan perizinan bagi para investor. Sedangkan hasil wawancara dengan I2 dijelaskan bahwa Ukuran dan tujuannya tertuang dalam Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuan SPIPISE ini adalah mengakomodasi data-data perusahaan dari tahap pembangunan sampai produksi. (Hasil wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan dan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
122
a) Pemahaman Operator Perusahaan Mengenai Ukuran Kebijakan SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengapa pengetahuan operator perusahaan tentang ukuran kebijakan SPIPISE yang mencapai angka 65%, walaupun angka tersebut sesuai dengan hipotesis yang peneliti tuliskan namun tentunya peneliti ingin mengetahui secara mendalam tentang hal ini. Dari kedua informan yang telah peneliti wawancara, kedua informan tersebut memberikan informasi yang sama bahwa pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran kebijakan SPIPISE dinilai masih kurang karena memang hal ini dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang sehingga penyerapan informasi juga kurang, namun kedua informan tersebut juga menjelaskan bahwa baik perusahaan PMDN dan PMA tetap konsisten menggunakan SPIPISE karena memang mempermudah dalam urusan pelayanan perizinan investasi di Kabupaten Lebak. b) Pemahaman Operator Perusahaan Mengenai Tujuan Kebijakan SPIPISE. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pemahaman operator mengenai tujuan kebijakan SPIPISE yang hanya mendapatkan persentase sebesar 61,54% dari hasil yang hipotesiskan yaitu sebesar 65%. Dari wawancara dengan kedua infoman dijelaskan bahwa pemahaman mengenai tujuan kebijakan SPIPISE memang masih kurang, hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang kurang, pembinaan dan pelatihan
123
yang belum optimal serta kurangnya jumlah dan kompetensi operator perusahaan, sehingga informasi mengenai tujuan SPIPISE belum sepenuhnya di pahami oleh operator perusahaan. c) Kesesuaian Pelaksanaan SPIPISE dengan Tujuannya Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengapa kesesuaian pelaksanaan SPIPISE dengan tujuannya hanya mencapai angka sebesar 62,31% dari hasil yang diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan SPIPISE sudah tertuang dengan jelas dalam Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009. Adapun maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan : 1. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; 2. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan; 3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; 4. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah. Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dinilai belum sesuai dengan
124
tujuannya karena masih adanya kendala – kendala atau permasalahan yang sering terjadi dan permasalahan tersebut menghambat implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak. Permasalahan yang terjadi, diantaranya server dan bandwidth sering bermasalah, hal ini terjadi karena server dan bandwidth tersebut berada di BKPM Pusat dan diakses oleh semua pemerintah
daerah
di
bidang
perizinan
sehingga
tidak
mampu
menampungnya, sumber daya manusia yang kurang, masih ada izin usaha yang nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE dan belum optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena masih ada perizinan yang dikelola oleh dinas teknis terkait. d) Ketepatan Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengapa ketepatan penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak hanya mencapai angka persentase sebesar 62,31% dari hasil yang diharapkan. Jika kebijakan ini tepat maka tentunya akan membantu daerah dalam pertumbuhan nilai realisasi investasi dan PAD Kabupaten Lebak tersebut, namun sebaliknya jika kebijakan ini tidak tepat maka diperlukan kebijakan lainnya untuk meningkatkan nilai realisasi investasi di Kabupaten Lebak. Berdasarkan hasil wawancara dijelaskan bahwa kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak, namun diperolehnya persentase sebesar 62,31% karena dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kekurangannya diantaranya investasi di Lebak bisa dikatakan belum berskala besar sehingga perlu adanya kebijakan yang
125
bersifat teknis untuk mendukung kebijakan SPIPISE tersebut, fasilitas pendukung seperi jaringan internet, komputer dan lainnya yang menunjang penerapan SPIPISE belum sepenuhnya mencukupi sehingga perlu dilengkapi. 2. Sumber Daya Dalam hal ini, salah satu hal terpenting dari implementasi SPIPISE ini adalah kompetensi pelaksana, fasilitas pendukung, dukungan finansial yang disediakan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan. Selain itu waktu pun dipertimbangkan agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu diharapkan agar SPIPISE ini dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lebak di bidang penanaman modal. Berikut adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator sumber daya. a) Kompetensi Pelaksana Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kompetensi para pelaksana dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak yang dalam analisis kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 64,62% dari hasil yang diharapkan. Kompetensi para pelaksana yang mendukung tentunya akan memudahkan penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak, namun jika sebaliknya maka kebijkan ini akan sulit diterapkan di Kabupaten Lebak. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa jumlah dan kompetensi pelakana dalam penerapan SPIPISE baik di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA dinilai belum mecukupi. Hal ini terjadi karena jumlah operator SPIPISE di BPMPPT masih kurang
126
yakni hanya ada 4 orang, padahal jumlah yang di perlukan di kantor BPMPPT Lebak untuk pengoperasian SPIPISE minimal 6 orang. Sementara untuk operator SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA dinilai oleh kedua informan bahwa pemahaman mereka tentang SPIPISE masih kurang karena SDM di perusahaan belum ada yang secara khusus memahami SPIPISE. b) Pemahaman Operator Mengenai Proses Input SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui tentang pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE yang pada analisis kuantitatif mencapai angka 65,38% dan sudah mencapai apa yang diharapkan oleh peneliti. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa operator SPIPISE sudah memahami penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE. SPIPISE sendiri digunakan untuk pembuatan laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) yang mana menjadi hal wajib bagi setiap perusahaan untuk melakukannya setiap triwulan. Meskipun masih ada permasalahan dalam hal penginputan namun selama ini belum ada pengaduan resmi dari para investor. c) Pengetahuan Operator Mengenai Maksud dan Tujuan Penerapan SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengetahuan operator SPIPISE tentang maksud dan tujuan diterapkannya SPIPISE di
127
Kabupaten Lebak yang pada analisis kuantitatif mencapai angka sebesar 65% dan sesuai dengan hasil yang diharapkan peneliti. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa pemahaman operator SPIPISE mengenai maksud dan tujuan diterapkannya SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah baik, karena SPIPISE bertujuan untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat di bidang penanaman modal dan juga untuk meningkatkan nilai realisasi investasi. d) Pengetahuan Operator Mengenai Segala Informasi Tentang SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai penyebab pengetahuan operator mengenai segala informasi tentang SPIPISE yang hanya mencapai angka sebesar 62,31% dan hal ini belum sesuai dengan harapan peneliti. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa untuk pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE masih kurang, hal ini karena sosialisasi yang dilakukan belum optimal, dan juga pembinaan serta pelatihan belum efektif, namun selama ini belum ada pengaduan mengenai kendala dalam penggunaan SPIPISE dari para penanam modal. e) Waktu Penginputan Data Cepat dan Akurat Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai lama waktu yang dibutuhkan dalam penginputan data ke dalam SPIPISE yang pada analisis kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 62,31% dari hasil yang
128
diharapkan peneliti. Hal ini tentunya belum sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti. Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa dalam hal lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya. Adapun ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini dinilai jika tidak ada gangguan server dan jaringan internet bisa tepat waktu sesuai SOP tergantung perizinan yang di proses. Namun seringkali terjadi tidak sesuai SOP yang ada. f)
Dukungan Finansial Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai dukungan
finansial dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak yang pada analisis kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 62,31%. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti karena tidak mencapai angka yang dihipotesiskan yaitu 65%. Berdasarkan hasil wawancara dijelaksan bahwa untuk dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE ini dijelaskan sudah mendukung namun masih belum mencukupi karena masih ada permasalahan dari segi finansial dalam penerapan SPIPISE yang kurang, salah satunya adalah dana untuk mengadakan sosialisasi, dimana pelaksanaan sosialisasi hanya 1 tahun sekali seperti dijelaskan dalam wawancara dengan I1 dan I2 berikut.
129
“Sudah mendukung, karena sarana dan prasarana disediakan oleh BKPM RI, sementara dana dari APBD digunakan untuk biaya operasional turut serta dalam pendidikan dan pelatihan tentang pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mana termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). “Untuk sarana dan prasarana sudah didukung oleh BKPM RI. Namun dukungan finansial untuk acara sosialisasi masih kurang, dimana BPMPPT Lebak sering kali mengajukan pelaksanaan sosialisasi 3-4 kali namun yang di acc hanya 1 kali dalam setahun.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). g) Ketersediaan dan Kondisi Fasilitas Pendukung Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai ketersediaan fasilitas pendukung pengoperasian SPIPISE yang pada analisis kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 63,08%. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti dari angka yang dihipotesiskan sebesar 65%. Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa untuk fasilitas pendukung untuk menunjang penggunaan SPIPISE masih kurang yakni dari segi pengadaan komputer atau pc dan jaringan internet yang masih kurang baik, dan hal ini sedikit menghambat dalam penggunaan SPIPISE di Kabupaten Lebak dan tentunya dibutuhkan penambahan untuk fasilitas tersebut. 3.
Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik yang harus dimiliki oleh para implementor tersebut
adalah kemampuan IT minimal sudah familiar dengan penggunaan
130
komputer atau laptop dan melakukan penelusuran di jaringan internet karena hal ini berkaitan dengan pengoperasian SPIPISE, dedikasi serta komitmen yang dimiliki oleh setiap personal dari pengguna SPIPISE dan pengelola SPIPISE ini. Berikut adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator karakteristik agen pelaksana. adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator sumber daya. a) Pemahaman Operator SPIPISE Mengenai FAQ & Troubleshoot SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pemahaman operator SPIPISE mengenai FAQ & Troubleshoot SPIPISE di Kabupaten Lebak yang dalam analisis kuantitatif mencapai angka sebesar 65,38% dan melebihi hasil yang diharapkan yakni 65%. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat dijelaskan bahwa operator perusahaan cukup memahami, karena FAQ & troubleshoot sudah diberitahu sejak awal penerapan SPIPISE ini, dan itu dibuktikan dengan belum ada laporan ke kita mengenai kendala tentang itu. b) Pengetahuan Operator SPIPISE Mengenai Standard Operating Procedures (SOP) SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengetahuan operator SPIPISE mengenai SOP dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak yang pada analisis kuantitatif mencapai angka sebesar 65%, dalam
131
kategori kualitatif dikatakan baik. Hal ini sesuai dengan angka yang dihipotesiskan peneliti yakni 65%. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa dalam hal pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan sudah cukup. Karena perusahaan menggunakan SPIPISE untuk memudahkan pelayanan perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu. c) Penerapan SPIPISE Sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP) Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai mengapa penerapan SPIPISE belum sesuai dengan SOP, karena pada analisis kuantitatif diperoleh angka sebesar 62,31% dari kriteria yang diharapkan yakni 65%. Hal ini dalam kategori kualitatif termasuk rendah. Adapun mengenai Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP, dijelaskan oleh I1 sebagai berikut: “Belum sesuai, karena memang seringkali perizinan yang diproses mendapatkan tanda merah yang artinya perizinan tersebut keluar dari SOP. Hal ini terjadi karena server dan bandwidth yang bermasalah. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Hal ini dikonfirmasi oleh I2 terkait dengan penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP sebagai berikut: “Sangat belum sesuai karena seringnya gangguan server dan jaringan, data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa
132
diselesaikan.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa penerapan SPIPISE belum sesuai dengan SOP karena seringnya gangguan server dan jaringan, data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa diselesaikan. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP. 4.
Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan. Dalam hal ini kaitannya adalah SPIPISE maka kita bisa mengetahui bagaimana kecenderungan para pengguna SPIPISE ini, apakah mereka cenderung menerima atau menolak kebijakan ini berkaitan dengan keberadaan
SPIPISE
yang
bertujuan
untuk
memudahkan
proses
perencanaan pembangunan Kabupaten Lebak. Berikut adalah hasil analisis kualitatif mengenai indikator ini. a) Dukungan Pemda Lebak dan Perusahaan PMDN dan PMA terhadap SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai dukungan Pemda Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan angka sebesar 64,62% untuk dukungan Pemda Lebak terhadap SPIPISE, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah dan angka sebesar 65% untuk
133
dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap SPIPISE, hal ini secara kualitatif termasuk kategori baik dari angka yang dihipotesiskan peneliti yakni 65%. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1 dan I2 mengenai dukungan Pemda Lebak dalam penerapan SPIPISE ini adalah sangat mendukung walaupun belum optimal, hal ini dibuktikan dengan adanya rencana pengajuan pembuatan peraturan bupati yang mengatur tentang izin usaha. Dimana setiap izin usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta maka wajib membuat izin prinsip menggunakan SPIPISE. Selain itu juga dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE dinilai oleh I1 dan I2 mendukung, namun hal ini tergantung dari Pemda Lebak sebagai pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang memang memberikan pelayanan kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak. b) Terwujudnya Transparansi dan Akuntabilitas dalam penerapan SPIPISE Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa transparansi dan akuntabilitas hanya memperoleh angka sebesar 61,54% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah. Adapun mengenai bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE, dijelaskan oleh I1 sebagai berikut: “Untuk transparansi bagi investor itu sudah, karena dalam hal ini perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses.
134
Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Hal ini dikonfirmasi oleh I2 terkait dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE sebagai berikut: “Transparansi untuk semua investor itu sudah, hanya saja untuk masyarakat umum itu hanya beberapa informasi tertentu saja. Dan untuk akuntabilitasnya sudah baik.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE bagi investor itu sudah dilakukan, karena dalam hal ini perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses. Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik. 5.
Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para
pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam dari berbagai sumber informasi. Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak – pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dalam hal ini adalah implementasi SPIPISE
135
di Kabupaten Lebak maka kesalahan akan semakin kecil, begitupun sebaliknya. a) Komunikasi dan Koordinasi Para Pelaksana dalam Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai bagaimana komunikasi dan koordinasi para pelaksana dalam implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak. Yang mana komunikasi dan koordinasi adalah hal penting agar implementasi SPIPISE berjalan sesuai dengan tujuannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan I1 dan I2 mengenai bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dijelaskan bahwa Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal, karena memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Untuk komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan komunikasi dengan SKPD terkait perizinan juga baik, hal ini dilakukan karena memang BPMPPT sendiri hanya memiliki kewenangan mengeluarkan izin, untuk teknisnya ada dinas teknis tekait. Untuk hal terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini. Dalam hal proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE dijelaskan oleh I1 dan I2 bahwa ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan
136
bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait penanaman modal. Dengan adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di adakan pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan melalui rapat. b) Sosialisasi Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa sosialisasi penerapan SPIPISE hanya memperoleh angka sebesar 62,31% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah. Adapun dari segi sosialisasi yang dilakukan terkait dengan penerapan SPIPISE ini dijelaskan oleh I1 dan I2 bahwa sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi perusahaan tersebut. Adapun Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi Banten. Sosialisasi ini dapat dikatakan belum efektif karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun yang mana seharusnya dilakukan 3 – 4 kali setahun, dan tentunya pemahaman para investor masih kurang.
137
c) Kemudahan layanan SPIPISE Diketahui Masyarakat Umum Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa kemudahan layanan untuk masyarakat umum hanya mencapai angka sebesar 61,54% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila masyarakat butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau wartawan itu diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan. 6.
Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi eksternal yang kondusif. Berikut adalah analisis kualitatif tentang indikator ini. a) Pengaruh Kondisi Ekonomi Terhadap Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh kondisi ekonomi Kabupaten Lebak terhadap penerapan SPIPIS dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori baik.
138
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan I1 dan I2 mengenai pengaruh ekonomi terhadap kebijakan ini yakni sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan mengundang investor ke Lebak. Hal ini akan berpengaruh dalam pemasukan PAD Lebak dan bisa mengurangi angka pengangguran masyarakat Lebak. b) Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap penerapan SPIPISE yang mana dalam analisis kuantitatif yang hanya mencapai angka sebesar 61,54%% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah. Lingkungan sosial masyarakat Lebak yang memang belum sepenuhnya melek akan teknologi belum berpengaruh secara signifikan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak.
139
c) Pengaruh Kondisi Politik Terhadap Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap penerapan SPIPISE yang mana dalam analisis kuantitatif yang hanya mencapai angka sebesar 62,31%% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa kondisi politik lebak yang kondusif tentunya mempengaruhi kebijakan ini. Angka dari analisis kuantitatif tersebut termasuk dalam kategori rendah karena memang dukungan politik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak belum optimal. Hal ini terjadi karena belum dibentuknya Perda atau Perbup Kabupaten Lebak untuk mendukung secara teknis penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Perda dan Perbup dibutuhkan karena untuk memperjelas secara teknis bagaimana pengoperasian SPIPISE dan menyesuaikan penerapan SPIPISE dengan keadaan iklim investasi di Kabupaten lebak. 4.4 Pengujian Hipotesis Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri. Maka hipotesis yang dipakai adalah dimana peneliti memprediksikan hipotesis paling tinggi sebesar 65%, dengan penjelasan sebagai berikut:
140
H0 :
µ ≤ 65%
H0 : “Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang dari atau sama dengan 65%”. Ha :
µ ˃ 65 %
Ha : “Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak lebih dari 65%”. Berdasarkan hipotesis deskriptif, variabel yang diuji bersifat mandiri dan sampelnya hanya ada satu, maka peneliti menggunkan rumus one sample t-test pada SPSS versi 22 dan diperoleh hasil sabagai berikut: Tabel 4.5 One-Sample Statistics N Implementasi
Mean 65
101.5538
Std. Deviation 19.14421
Std. Error Mean 2.37455
Tabel 4.6 One-Sample Test Test Value = 65 95% Confidence Interval of the Difference Mean t df Sig. (1-tailed) Difference Lower Upper Implementasi 15.394 64 .000 36.55385 31.8101 41.2976 Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
141
Berdasarkan tabel di atas diperoleh thitung = 15,394. T tabel diperoleh dengan derajat kebebasan (df) dengan nilai 64 dan taraf signifikasi sebesar 5% dengan nilai 1,671. Karena ttabel ≤ dari thitung (1.671 ≤ 15.394), maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dari perbandingan jumlah data yang terkumpul dengan skor ideal, ditemukan bahwa Implementasi Kebijakan Sistem Pelayaan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak yaitu: 6601 10400
x 100%
= 63,47%
Artinya bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang dari atau sama dengan 65% diterima, karena hasil dari perhitungan jumlah data yang terkumpul dengan skor ideal hanya mencapai angka 63,47%. 4.5 Interpretasi Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, yang berjudul Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak, ada hal yang paling penting dan utama yaitu menjawab rumusan masalah yang telah dibuat oleh peneliti pada awal penelitian. Rumusan masalah tersebut adalah “seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak”.
142
Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, kita dapat melihat dari pembahasan yang memaparkan pengujian hipotesis dengan menggunakan rumus t-test satu sampel dengan menguji pihak kanan bahwa t tabel lebih kecil (<) dari t hitung dan hal itu dapat diartikan bahwa H0 diterima dan Ha di tolak. Karena hasil pengujian hipotesis mencapai angka 63,47% dari angka yang diharapkan yakni 65%. Sehingga dari pengujian hipotesis tersebut dapat dijelaskan bahwa hasil implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak mencapai angka 63,47% dari angka minimal yang di hipotesiskan yaitu 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Hal tersebut dapat dilihat pada kategori berikut: Tidak baik 2600
Kurang baik 5200
7800
Baik
Sangat baik 10400
6601 Nilai 6601 termasuk dalam kategori interval kurang baik dan baik, maka hasil di atas masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik. 4.6 Pembahasan Pembahasan yakni mencakup pemaparan lebih lanjut dari hasil analisis data yang ditujukan untuk memaparkan lebih jauh lagi terkait masing – masing indikator dari keberhasilan suatu implementasi kebijakan berkaitan dengan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Penelitian dengan judul implementasi kebijakan Sistem
143
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak menggunakan teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 142) yang mempunyai enam indikator diantaranya: ukuran dan
tujuan
kebijakan,
sumber
daya,
karakteristik
agen
pelaksana,
sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berikut adalah hasil pembahasan mengenai keenam indikator tersebut: 1.
Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan Dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan, kinerja implementasi
kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. Indikator ukuran dan tujuan kebijakan ini diwujudkan dalam 3 (tiga) sub indikator. Sub indikator yang pertama adalah ukuran, dimana ukuran dalam implementasi kebijkan jika dibuat realistis tentunya akan mudah untuk dilihat hasil dari implementasi kebijakan tersebut. Sub indikator yang kedua adalah tujuan, dimana tujuan adalah target yang harus dicapai berdasarkan aturan atau kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, tujuan ini tentunya juga bersifat realistis. Sub indikator yang ketiga adalah ketepatan, dimana
144
ketepatan pengimplementasian kebijakan akan sangat berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Dari pengolahan data dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri dari 4 (empat) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 4 = 1040 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 4 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 653 : 1040 = 0,627 x 100 = 62,7% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator ukuran dan tujuan kebijakan. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini: Tidak baik 260
Kurang baik 520
Baik 780
Sangat baik 1040
653 Nilai 653 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik.
145
Pada temuan lapangan diketahui bahwa ukuran dan tujuan dari kebijakan SPIPISE ini adalah Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mengindentifikasi jumlah investasi yang masuk dan untuk mengintegrasikan semua perizinan, mempermudah serta mempercepat pelayanan perizinan bagi para investor dan mengakomodasi data-data perusahaan dari tahap pembangunan sampai produksi. Dalam pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan kebijakan SPIPISE dinilai masih kurang karena memang hal ini dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang sehingga penyerapan informasi juga kurang. Hal ini tentunya memperkuat hasil analisis data kuantitatif yang menghasilkan nilai persentase untuk pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran kebijakan SPIPISE yang mencapai angka 65% dan pemahaman operator perusahaan mengenai tujuan kebijakan hanya mencapai angka 61,54%. Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dinilai belum sesuai dengan tujuannya karena masih adanya kendala – kendala atau permasalahan yang sering terjadi diantaranya adalah server dan bandwidth dan jaringan internet sering bermasalah, hal ini disebabkan oleh jauhnya lokasi perusahaan dari jangkauan internet sehingga sulit menggunakan SPIPISE, sumber daya manusia yang kurang, masih ada izin usaha yang nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE, dan belum optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena masih ada perizinan yang
146
dikelola oleh dinas teknis terkait. Hal ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang menghasilkan nilai persentase sebesar 62.31% untuk kesesuaian penerapan SPIPISE dengan tujuannya. Adapun dalam hal kebijakan SPIPISE diterapkan pada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak diketahui sudah tepat walaupun masih terdapat beberapa kekurangannya diantaranya investasi di Lebak bisa dikatakan belum berskala besar sehingga perlu adanya penyesuaian dengan keadaan setiap daerah yang berbeda-beda. Hal ini juga memperkuat hasil analisis kuantitatif yang menghasilkan nilai persentase mencapai 62,31% untuk ketepatan SPIPISE di terapkan di Kabupaten Lebak. 2.
Indikator Sumber daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumber daya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi
147
persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Berikut ini merupakan sub indikator dari indikator sumber daya. Sub indikator yang pertama adalah sumber daya manusia, dimana sumber daya manusia dalam implementasi kebijkan memegang peranan yang sangat penting, manusia yang berkualitas dan dengan jumlah yang cukup tentunya akan memudahkan terlaksananya suatu kebijakan sesuai tujuan. Sub indikator yang kedua adalah waktu, dimana waktu memegang peranan yang penting guna mengoptimalkan pelaksanaan suatu kebijakan agar cepat dan akurat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sub indikator yang ketiga adalah pendanaan, dimana dukungan dana yang cukup akan menunjang kemudahan pelaksanaan kebijakan. Sub indikator yang keempat adalah sarana dan prasarana, dimana sarana dan prasarana adalah bagian pendukung implementasi kebijakan agar melengkapi sub indikator yang lainnya. Dari pengolahan data dalam indikator sumber daya yang memuat 4 (empat) sub indikator dan terdiri dari 11 (sebelas) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 11 = 2860 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 11 = jumlah
148
pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 1818 : 2860 = 0,6356 x 100 = 63,56% atau dibulatkan 64%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator sumber daya. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini: Tidak baik 715
Kurang baik 1430
Baik 2145
Sangat baik 2860
1818 Nilai 1818 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik. Pada temuan lapangan diketahui bahwa mengenai bahwa jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dinilai belum mencukupi karena belum memiliki admin khusus SPIPISE. Selain itu, SDM di perusahaan juga belum cukup memahami mengenai penggunaan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hal ini juga mempertegas hasil penelitian kuantitatif yang mencapai 64.62% untuk hal kompetensi operator perusahaan dalam penggunaan SPIPISE. Dalam hal pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE dijelaskan sudah memahami, karena memang dalam
149
pembuatan laporan kegiatan penanaman modal itu menggunakan SPIPISE, meskipun masih ada permasalahan, belum ada pengaduan dari perusahaan mengenai hal ini. Hal ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai 65,38% untuk hal pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE. Dalam hal lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE dijelaskan bahwa tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya. Adapun ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini dinilai oleh jika tidak ada gangguan server dan jaringan internet bisa tepat waktu sesuai SOP tergantung perizinan yang di proses. Namun seringkali terjadi tidak sesuai SOP. Hal ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mana mencapai angka 62,31% untuk hal lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE dan juga ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE tersebut. Untuk dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE ini dijelaskan sudah mendukung namun masih belum mencukupi karena masih ada permasalahan dari segi finansial dalam penerapan SPIPISE yang kurang, salah satunya adalah dana untuk mengadakan sosialisasi, dimana pelaksanaan sosialisasi hanya 1 tahun sekali yang seharusnya 3 – 4 kali dalam setahun. Hal ini juga mempertegas hasil analisis
150
kuantitatif yang mana mencapai angka 62,31% untuk hal dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE. Sementara untuk fasilitas pendukung untuk menunjang penggunaan SPIPISE dijelaskan bahwa masih kurang yakni dari segi pengadaan komputer atau pc dan jaringan internet yang masih kurang baik, dan hal ini sedikit menghambat dalam penggunaan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hal ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mana mencapai angka 63,08% untuk hal ketersediaan fasilitas pendukung dan 64,62% untuk hal fasilitas pendukung yang baik dan memadai. 3.
Indikator Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula
151
agen yang dilibatkan. Sub indikator dari indikator karakteristik agen pelaksana adalah Standard Operating Procedure (SOP), dimana Standard Operating Procedure (SOP) menjadi acuan atau pedoman kerja guna melaksanakan tujuan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pengolahan data dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan yang memuat 1 (satu) sub indikator dan terdiri dari 4 (empat) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 4 = 1040 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 4 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 671 : 1040 = 0,6451 x 100 = 64,51% atau dibulatkan 65%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak baik bila dilihat dari indikator karakteristik agen pelaksana sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut. Tidak baik 260
Kurang baik 520
Baik 780
671
Sangat baik 1040
152
Nilai 671 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori baik karena lebih mendekati kategori baik. Pada temuan dilapangan diketahui bahwa pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat dijelaskan bahwa operator perusahaan cukup memahami, karena FAQ & troubleshoot sudah diberitahu sejak awal penerapan SPIPISE ini, dan itu dibuktikan dengan belum ada laporan ke kita mengenai kendala tentang itu. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 65,38% untuk hal pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat. Dalam hal pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP dinilai sudah cukup. Karena perusahaan menggunakan SPIPISE untuk memudahkan pelayanan perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu. Hal ini memperkuat analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk hal pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP. Adapun dalam hal penerapan SPIPISE dinilai belum sesuai dengan SOP karena seringnya gangguan server dan jaringan, data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa diselesaikan. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP. Hal ini memperkuat analisis kuantitatif yang mencapai angka 62,31% untuk hal penerapan SPIPISE dinilai belum sesuai dengan SOP.
153
4.
Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. Sub indikator dari indikator ini terdiri dari dua diantaranya adalah sebagai berikut. Sub indikator yang pertama adalah dukungan, dimana dukungan para pelaksana dalam implementasi kebijkan memegang peranan yang sangat
penting,
dukungan
tersebut
tentunya
akan
memudahkan
terlaksananya suatu kebijakan sesuai tujuan. Sub indikator yang kedua adalah insentif dimana insentif merupakan bagian yang tak terpisahkan, dengan insentif yang adil dan sesuai para pelaksana akan merasa dihargai dan bisa melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari pengolahan data dalam indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana yang memuat 2 (dua) sub indikator dan terdiri dari 8 (delapan) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 8 = 2080 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel
154
yang dijadikan responden, 8 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 1319 : 2080 = 0,634 x 100 = 63,4% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini: Tidak baik 520
Kurang baik 1040
Baik 1560
Sangat baik 2080
1319 Nilai 1319 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik. Pada temuan lapangan diketahui bahwa dukungan Pemda Lebak dalam penerapan SPIPISE ini adalah sangat mendukung walaupun belum optimal, hal ini dibuktikan dengan adanya rencana pengajuan pembuatan peraturan bupati yang mengatur tentang izin usaha. Dimana setiap izin usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta maka wajib membuat izin prinsip menggunakan SPIPISE. Hal ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 64,62% untuk hal dukungan Pemda Lebak dalam penerapan SPIPISE.
155
Selain itu juga dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE dinilai mendukung, namun hal ini tergantung dari komitmen pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang memang memberikan pelayanan kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak. Hal ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk hal dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE. Dalam hal transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE bagi investor dinilai sudah dilakukan, karena dalam hal ini perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses. Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik. Hal ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 61,45% untuk hal transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE. 5.
Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihakpihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya. Dalam indikator ini terdapat tiga sub indikator diantaranya adalah sebagai berikut.
156
Sub indikator yang pertama adalah koordinasi, dimana koordinasi dalam implementasi kebijkan merupakan proses kerja sama yang aktif dan berkelanjutan yang tentunya akan mudah untuk menunjang keberhasilan tujuan dari implementasi kebijakan tersebut. Sub indikator yang kedua adalah kejelasan, dimana kejelasan dalam pelaksanaan imlementasi kebijakan akan memuluskan koordinasi dalam setiap kegiatan kebijakan yang dilakukan. Sub indikator yang ketiga adalah sosialisasi dimana sosialisasi tentang implementasi kebijakan harus dilakukan agar terjadinya pemahaman dan pengetahuan dari semua pelaksana kebijakan. Dari pengolahan data dalam indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri dari 10 (sepuluh) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 10 = 2600 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 10 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 1649 : 2600 = 0,634 x 100 = 63,4% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini:
157
Tidak baik 650
Kurang baik 1300
Baik 1950
Sangat baik 2600
1649 Nilai 1649 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik. Pada temuan lapangan diketahui bahwa komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dijelaskan bahwa Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal, karena memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Untuk komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan komunikasi dengan SKPD terkait perizinan juga baik, hal ini dilakukan karena memang BPMPPT sendiri hanya memiliki kewenangan mengeluarkan izin, untuk teknisnya ada dinas teknis tekait. Untuk hal terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini. Hal ini mempertegas hasil kuantitatif yang mencapai angka 65,38% untuk hal kejelasan komunikasi tentang SPIPISE. Dalam hal proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE dijelaskan bahwa ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan bahkan sudah di
158
Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait penanaman modal. Dengan adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di adakan pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan melalui rapat. Sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi perusahaan tersebut. Adapun Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi Banten. Sosialisasi ini dapat dikatakan belum efektif karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun yang mana seharusnya dilakukan 3 – 4 kali setahun, dan tentunya pemahaman para investor masih kurang. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 62,31% untuk hal sosialisasi penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Dan yang terakhir adalah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE bahwa untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila masyarakat butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau wartawan itu diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 62,31% untuk hal kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE diketahui masyarakat umum.
159
6.
Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan ekonomi, sosial dan politik turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Dalam indikator ini terdapat tiga sub indikator yang dijelaskan sebagai berikut. Sub indikator yang pertama adalah pengaruh lingkungan ekonomi, dimana pengaruh lingkungan ekonomi akan berdampak langsung dalam proses implementasi kebijkan, lingkungan ekonomi yang bagus akan mempermudah suatu kebijakan untuk diimpelementasikan. Sub indikator yang kedua adalah pengaruh lingkungan sosial, dimana pengaruh lingkungan sosial juga akan berdampak pada kebijakan, apakah itu signifikan atau tidak, tentunya lingkungan sosial yang baik akan berpengaruh baik pula dalam pelaksanaan imlementasi kebijakan. Sub indikator yang ketiga adalah pengaruh lingkungan politik dimana kondisi politik yang kondusif akan memuluskan suatu kebijakan untuk diimplemetasikan. Dari pengolahan data dalam indikator lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri dari 3 (tiga) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 3 = 780 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 3 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan
160
tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 491 : 780 = 0,629 x 100 = 62,9% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini: Tidak baik 195
Kurang baik 390
Baik 585
Sangat baik 780
491 Nilai 491 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang baik. Pengaruh kondisi ekonomi dalam penerapan SPIPISE sangat berpengaruh. Pada temuan lapangan diketahui bahwa mengenai pengaruh ekonomi terhadap kebijakan ini yakni sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan mengundang investor ke Lebak dan bisa meningkatkan PAD Lebak serta bisa mengurangi pengangguran di Kabupaten Lebak. Hal ini
161
mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk hal pengaruh kondisi ekonomi terhadap kebijakan SPIPISE di Lebak. Begitupun dengan pengaruh lingkungan sosial, dimana pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah. Lingkungan sosial masyarakat Lebak yang memang belum sepenuhnya melek akan teknologi belum berpengaruh secara signifikan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 61,54% untuk hal pengaruh kondisi sosial terhadap SPIPISE di Lebak. Yang terakhir adalah pengaruh kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini karena kondisi lingkungan politik yang kondusif akan mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di Kabupaten Lebak. Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan Pemda Kabupaten Lebak itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak mendukung penerapan SPIPISE ini walaupun belum optimal. Hal ini terjadi karena belum dibentuknya Perda atau Perbup Kabupaten Lebak untuk mendukung secara teknis penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Perda dan Perbup dibutuhkan karena untuk memperjelas secara teknis bagaimana pengoperasian SPIPISE dan menyesuaikan penerapan SPIPISE dengan keadaan iklim investasi di Kabupaten lebak. Hal ini sesuai dengan hasil analisis kuantitatif yang
162
mencapai angka 62,31% untuk hal pengaruh kondisi politik terhadap SPIPISE di Lebak. Adapun penelitian terdahulu yang peneliti baca sebelumnya yang memang dinilai serupa oleh peneliti yaitu penelitian skripsi tentang Implementasi Strategi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang oleh Ela Kholilah (2010). Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan penentuan sampel adalah snowball sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa Implementasi Strategi SISMIOP PBB Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang kurang optimal karena masih banyak hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya. Sedangkan penelitian kedua yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skripsi tentang “Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara” oleh Rizki Fani Fanatandayu (2014). Metodologi dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif deskriptif. Responden yang dijadikan populasinya adalah 60 orang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara masih rendah karena hasil perhitungannya diperoleh 64.54% dari angka minimal 65%. Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti tentang implementasi sistem aplikasi yang
163
diterapkan di lembaga pemerintahan. Sementara itu, perbedaannya adalah metode penelitian, dimana peneliti menggunakan penelitian kombinasi model concurrent embedded atau kombinasi tidak berimbang, lokasi penelitian, sistem aplikasi yang digunakan, dan juga responden yang menjadi populasi. Peneliti dalam pembahasan ini juga ingin menyampaikan keterbatasan dalam penelitian ini. Keterbatasan peneliti dalam penelitian ini adalah masih banyak temuan-temuan penelitian yang sekiranya masih perlu diteliti dalam penelitian selanjutnya. Peneliti berharap untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik lagi untuk dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan peneliti.
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Persentase implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak mencapai angka sebesar 63,47% dari kriteria yang diharapkan, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik dan ini berarti ketercapaiannya kurang dari 65% yang mana angka tersebut merupakan hipotesis yang peneliti tentukan sejak awal. 2. Berdasarkan hasil analis data kualitatif, diketahui bahwa implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak masih terdapat kendala atau permasalahan sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak belum optimal. Permasalahan tersebut diantaranya: 1) Dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan permasalahan yang terjadi adalah pemahaman para investor mengenai ukuran dan tujuan kebijakan dalam penerapan SPIPISE masih kurang, pelaksanaan SPIPISE belum sesuai dengan tujuannya dan untuk ketepatan dan 164
165
kesesuaian penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak masih belum optimal. 2) Dalam indikator sumber daya permasalahan yang terjadi adalah jumlah dan kompetensi pelaksana dalam penerapan kebijakan SPIPISE belum mencukupi, sumber daya manusia di perusahaan juga belum cukup memahami mengenai penggunaan SPIPISE, dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE belum mencukupi dan ketepatan waktu penginputan data perizinan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE seringkali terjadi tidak sesuai SOP dan menjadi masalah yang berulang-ulang setiap tahunnya serta fasilitas pendukung untuk penggunaan SPIPISE masih kurang yakni dari segi pengadaan komputer atau pc dan jaringan internet yang masih kurang baik. 3) Dalam indikator karakteristik agen pelaksana permasalahan yang terjadi adalah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum sesuai dengan SOP yang ada. 4) Dalam indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana permasalahan yang terjadi adalah sosialisasi tentang penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum berjalan dengan optimal.
166
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan di atas, dapat dilihat bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak kurang baik sehingga saran peneliti dalam penelitian ini adalah: 1. Peningkatan komptensi para pelaksana yang menggunakan SPIPISE baik untuk operator Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPPT)
Kabupaten Lebak dan operator Perusahaan Penanam
Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA). 2. Perlu ada penambahan jumlah sarana dan prasarana penunjang SPIPISE serta perbaikan fasilitas pendukung SPIPISE. 3. Dilaksanakan Sosialisasi yang menyeluruh dan intensif, bila perlu 3 – 4 kali dalam satu tahun agar pemahaman para pelaksana mengenai SPIPISE semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Agustino, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI. _______. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Pernada Media Group. Fuad, Anis & Kandung Sapto Nugroho. 2014. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakaya Offsett. Nugroho, Riant D. 2012. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Parsons, Weynes. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sandjaja B., Alberto Heriyanto. 2006. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustakakarya. Santoso, S. 2003. SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Satori, Djam’an & Aan Komariah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Siagian, Sondang. 2009. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara. Singarimbun, M., Effendi,. S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. 167
168
_______. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. _______. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung. Usman, Husaini, & Purnomo Setiady A. 2008. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara Wahab, S.A. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Widodo, M.S, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jawa Timur: Bayu Media Publishing. Widya Wicaksono, Kristian. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: GRAHA ILMU. Winarno, B. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Jurnal Penelitian: Kholilah, Eka. 2010. Implementasi Strategi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang. Serang: FISIP UNTIRTA. Fani Fanatandayu, Rizki. 2014. Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara. Serang: FISIP UNTIRTA. Dokumen: Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal.
169
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Sumber Lain: setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 10.30 WIB. http://www.bkpm.go.id/, diakses tanggal 20 Maret 2016 pukul 11.35 WIB. http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 16.20 WIB. https://online-spipise.bkpm.go.id/, diakses tanggal 31 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB.
LAMPIRAN
LAMPIRAN I (Surat Ijin Penelitian)
LAMPIRAN II (Angket/Kuesioner dan Pedoman Wawancara)
JUDUL PENELITIAN: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK INFORMASI RESPONDEN Kuesioner I. Petunjuk 1. Berikanlah tanda ceklis (√) pada jawaban yang anda pilih dari pernyataan dibawah ini. 2. Untuk memudahkan dalam mengisi data, mohon diisi sesuai dengan keadaan dan kondisi yang terjadi dilapangan. 3. Keterangan dari jawaban : SS = Sangat Setuju S = Setuju II.
KS = Kurang Setuju
TS = Tidak Setuju
Identitas Responden
Nomor Responden Jenis Kelamin Usia
Pendidikan Terakhir
………………….(Diisi oleh petugas) (1) Laki – laki (2) Perempuan (1) 17 – 25 tahun (4) 46 – 55 tahun (2) 26 – 35 tahun (5) > 56 tahun (3) 36 – 45 tahun (1) SLTP / sederajat (4) Sarjana (2) SMA / sederajat (5) Pascasarjana (3) Diploma PERNYATAAN
Implementasi Kebijakan Indikator 1 : Ukuran dan Tujuan Kebijakan Pernyataan SS 1. Ukuran dari penerapan SPIPISE sudah cukup jelas dan mudah dipahami. 2. Tujuan dari penerapan SPIPISE sudah cukup jelas dan mudah dipahami. 3. Pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. 4. Kebijakan SPIPISE sudah tepat dan sesuai diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak.
S
KS
TS
Indikator 2 : Sumber Daya 5. Operator yang menangani SPIPISE memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. 6. Operator yang menangani SPIPISE mempunyai kompetensi yang baik dalam mengoperasikan SPIPISE. 7. Operator yang menangani SPIPISE memahami proses penginputan data dalam SPIPISE. 8. Operator yang menangani SPIPISE mengetahui maksud dan tujuan pelayanan SPIPISE. 9. Para operator pengguna aplikasi SPIPISE mengetahui segala informasi yang terdapat dalam penerapan SPIPISE. 10. Para operator pengguna aplikasi SPIPISE senantiasa berdiskusi dan bertukar informasi dengan sesama rekan kerja. 11. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami kewenangan dalam menjalankan SPIPISE. 12. Waktu yang dibutuhkan dalam penginputan data baik perizinan dan non perizinan ke dalam SPIPISE cepat dan akurat. 13. Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak di dukung oleh sumber daya finansial yang cukup. 14. Operator pengguna aplikasi SPIPISE disediakan fasilitas pendukung yang memadai dalam pelaksanaan pelayanan informasi dan perizinan investasi. 15. Fasilitas pendukung baik sarana dan prasarana dalam penerapan SPIPISE sudah memadai. Indikator 3 : Karakteristik Agen Pelaksana 16. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat. 17. Semua operator pengguna aplikasi SPIPISE megetahui tentang Standard Operating Procedures (SOP) yang diterapkan. 18. Pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP). 19. Di dalam lingkungan kerja Operator pelaksana SPIPISE dalam aktivitasnya sudah sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Indikator 4 : Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana 20. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE pada
perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing yang ada di Kabupaten Lebak. 21. Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE. 22. Terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE ini. 23. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam mengoperasikan SPIPISE. 24. Operator pengguna aplikasi SPIPISE selalu mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan pribadi. 25. Operator pelaksana SPIPISE mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. 26. Beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan penanaman modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan. 27. Setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Indikator 5 : Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana 28. Penyampaian komunikasi dari atasan kepada Operator yang menangani SPIPISE sudah baik. 29. Operator pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan baik dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE. 30. Operator pengguna aplikasi SPIPISE melakukan koordinasi yang baik dengan atasan dalam proses pelayanan SPIPISE. 31. Koordinasi dengan sesama operator pengguna SPIPISE sudah terjalin dengan baik. 32. Kejelasan komunikasi tentang pelaksanaan SPIPISE sudah baik. 33. Dalam menjalankan tugas operator pengguna SPIPISE diberi pengarahan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing. 34. Konsistensi arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data SPIPISE sudah terjalin dengan baik. 35. Operator pelaksana SPIPISE konsisten melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE.
36. Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan mudah dipahami. 37. Kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum. Indikator 6 : Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik 38. Lingkungan ekonomi turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak. 39. Lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak. 40. Lingkungan politik turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Terimakasih atas partisipasinya, semoga penelitian ini bermanfaat dalam membangun Kabupaten Lebak yang lebih baik.
Pedoman Wawancara Penelitian Variabel
Indikator
Pertanyaan Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE?
Ukuran dan tujuan kebijakan
Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
Sumberdaya
Karakteristik agen pelaksana
Kode Informan I1, I2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE? Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
I1, I2
Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai? Menurut anda, bagaimana pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE? Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE tersebut? Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE? Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini? Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini? Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE? Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat? Bagaimana pengetahuan dan pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan?
I1, I2
I1, I2
I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2
I1, I2
I1, I2
Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP? Apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak? Sikap/ Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di kecenderunga Kabupaten Lebak mendukung penuh n (disposisi) penerapan SPIPISE di Kabupaten para Lebak? pelaksana Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE? Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan? Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan Komunikasi SPIPISE? antar Apakah ada sosialisasi yang dilakukan organisasi dan terkait penerapan SPIPISE ini, baik aktivitas dengan masyarakat atau SKPD terkait? pelaksana Bagaimana proses sosialisasi dilakukan? Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami? Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum? Apakah kondisi ekonomi turut Lingkungan mempengaruhi kebijakan ini? sosial, Apakah lingkungan sosial turut ekonomi dan mempengaruhi kebijakan ini? politik Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini?
(Sumber: Peneliti, 2016)
I1, I2 I1, I2 I1, I2
I1, I2 I1, I2 I1, I2
I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2 I1, I2
LAMPIRAN III (Matriks Hasil Penelitian)
MATRIKS HASIL WAWANCARA Ukuran dan Tujuan Kebijakan
1. I
Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE?
Q1
Ukurannya adalah Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mengindentifikasi I1
jumlah investasi yang masuk dan untuk mengintegrasikan semua perizinan, mempermudah serta mempercepat pelayanan perizinan bagi para investor. Ukuran dan tujuannya tertuang dalam Perka BKPM RI Nomor 14
I2
tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuan SPIPISE ini adalah
mengakomodasi
data-data
perusahaan
dari
tahap
pembangunan sampai produksi. I Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE?
Q2
Pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan kebijakan SPIPISE masih kurang. Hal ini disebabkan oleh belum optimalnya sosialisasi yang dilakukan mengenai SPIPISE tersebut. Dari belum I1
optimalnya sosialisasi tersebut, maka informasi mengenai ukuran dan kebijakan SPIPISE belum terserap dengan baik oleh operator perusahaan tersebut. Namun demikian, perusahaan PMDN dan PMA tetap
konsisten
menggunakan
SPIPISE
karena
memang
penggunannya mempermudah pelayanan perizinan. I2
Pemahaman operator perusahaan PMDN dan PMA mengenai ukuran dan tujuan kebijakan masih kurang, karena informasi mengenai
SPIPISE juga kurang, hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang belum optimal. I Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
Q3
Belum, karena dalam penerapan SPIPISE masih banyak permasalahan yang terjadi, diantaranya server dan bandwidth sering bermasalah, hal ini terjadi karena server dan bandwidth tersebut berada di BKPM I1
Pusat dan diakses oleh semua pemerintah daerah di bidang perizinan sehingga tidak mampu menampungnya, sumber daya manusia yang kurang, dan belum optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena masih ada perizinan yang dikelola oleh dinas teknis terkait. Belum, karena pelaksanaanya masih terdapat kendala atau permasalahan diantaranya jaringan internet yang bermasalah, hal ini disebabkan oleh jauhnya lokasi perusahaan dari jangkauan internet sehingga sulit menggunakan SPIPISE, permasalahan selanjutnya
I2
adalah sumber daya manusia yang belum memahami mengenai SPIPISE itu, dan yang terakhir adalah masih ada izin usaha yang nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE, padahal jika diintegrasikan tentunya akan meningkatkan realisasi invetsasi di Lebak.
I Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak?
Q4
Sudah tepat, walaupun investasi di Lebak bisa dikatakan belum I1
berskala besar. Fasilitas pendukung seperti SPIPISE sangat dibutuhkan menarik investor agar menanamkan modal di Lebak,
karena mau tidak mau untuk ikut berkonstribusi dalam MEA, maka pelayanan investasi harus ditingkatkan dan disediakan dengan baik. Bisa dikatakan tepat, namun perlu adanya pengembangan lagi karena I2
masing-masing wilayah berbeda kebutuhan dalam pelayanan penanam modalnya sehingga butuh penyesuaian agar penerapan di daerah sesuai.
2.
Sumber daya
I Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai?
Q5
Belum mencukupi, karena jumlah operator SPIPISE hanya ada 4 I1
orang, diperlukan setidaknya 6 orang termasuk admin. Untuk diperusahaan kompetensi pelaksanannya dinilai belum memadai karena memang pemahamannya kurang. Kalau di BPMPPT cukup, namun diperusahaan masih kurang, karena
I2
SDM di perusahaan belum ada yang secara khusus memahami SPIPISE.
I Menurut anda, bagaimana pemahaman operator penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE?
Q6
dalam
Cukup memahami untuk proses penginputan karena memang dalam I1
pembuatan laporan kegiatan penanaman modal itu menggunakan SPIPISE, meskipun masih ada permasalahan, belum ada pengaduan dari perusahaan mengenai hal ini.
I2
Cukup memahami untuk proses penginputan data karena dalam pembuatan izin prinsip misalnya itu menggunakan SPIPISE selain itu
dalam melaporkan kegiatan penanaman modal itu juga menggunakan SPIPISE. I Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE tersebut?
Q7
Pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi SPIPISE I1
itu masih kurang, hal ini karena sosialisasi yang memang belum optimal, namun selama ini belum ada pengaduan mengenai kendala dalam penggunaan SPIPISE. Pengetahuan operator perusahaan dalam hal tahu tentang semua
I2
informasi itu masih kurang, karena sosialisasi yang dilakukan belum optimal.
I Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE?
Q8 I1 I2
Tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya. Tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya.
I Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini?
Q9
Jika tidak ada gangguan server dan jaringan internet bisa tepat waktu I1
sesuai SOP tergantung perizinan yang di proses. Namun seringkali terjadi tidak sesuai SOP. Namun selama ini belum ada komplain dari para investor.
I2
Kurang tepat karena seringkali keluar dari SOP dan itu menjadi masalah yang berulang-ulang setiap tahunnya.
I
Q10
Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini? Sudah mendukung, karena sarana dan prasarana disediakan oleh BKPM RI, sementara dana dari APBD digunakan untuk biaya
I1
operasional turut serta dalam pendidikan dan pelatihan tentang pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mana termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE. Untuk sarana dan prasarana sudah didukung oleh BKPM RI. Namun
I2
dukungan finansial untuk acara sosialisasi masih kurang, dimana BPMPPT Lebak sering kali mengajukan pelaksanaan sosialisasi 3-4 kali namun yang di acc hanya 1 kali dalam setahun.
I
Q11 I1 I2
3.
Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE? Masih kurang, terutama komputer atau pc dan jaringan internet masih kurang baik. Masih kurang, terutama komputer atau pc dan jaringan internet masih kurang baik.
Karakteristik Agen Pelaksana
I
Q12
Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat?
Menurut saya cukup memahami, karena FAQ & troubleshoot sudah I1
diberitahu sejak awal penerapan SPIPISE ini, dan itu dibuktikan dengan belum ada laporan ke kita mengenai kendala tentang itu.
I2
Cukup memahami menurut saya, walapun belum secara keseluruhan paham tentang FAQ & troubleshoot itu.
I
Q13
Bagaimana pengetahuan dan pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan? Pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP sudah cukup.
I1
Karena perusahaan menggunakan SPIPISE untuk memudahkan pelayanan perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu gitu. Pemahamannya dan pengetahuannya sudah cukup baik. Karena
I2
memang SPIPISE ini dibuat untuk kemudahan perizinan dan tentunya sudah ada SOP yang mengatur tentang itu.
I Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP? Q14 Belum sesuai, karena memang seringkali perizinan yang diproses mendapatkan tanda merah yang artinya perizinan tersebut keluar dari I1
SOP. Hal ini terjadi karena server dan bandwidth yang bermasalah. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP. Sangat belum sesuai karena seringnya gangguan server dan jaringan,
I2
data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa diselesaikan.
Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana
4. I
Apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung
Q15
penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak? Sangat mendukung walaupun belum optimal, karena memang
I1
penerapan SPIPISE ini masih dalam pengembangan dan penerapan di Kabupaten Lebak pun masih bertahap. Sangat mendukung, dalam hal ini kita berencana mengajukan
I2
pembuatan peraturan bupati yang mengatur tentang izin usaha. Dimana setiap izin usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta maka wajib membuat izin prinsip menggunakan SPIPISE.
I
Q16
Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak? Sangat mendukung. Dibuktikan dengan realisasi investasi Lebak
I1
yang melebih target yang ditetapkan dalam RPJMD Lebak, dimana target setiap tahunnya adalah 1 triliyun rupiah, kita dapat 5 triliyun rupiah dan itu respon yang bagus dari perusahaan. Mendukung, dan ini tergantung dari kita sebagai pemerintah daerah
I2
di bidang penanaman modal yang memang memberikan pelayanan kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak.
I
Q17
Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE? Untuk transparansi bagi investor itu sudah, karena dalam hal ini
I1
perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses. Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu
hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik. Transparansi untuk semua investor itu sudah, hanya saja untuk I2
masyarakat umum itu hanya beberapa informasi tertentu saja. Dan untuk akuntabilitasnya sudah baik.
5.
Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para Pelaksana
I
Q18
Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan? Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal, karena memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Untuk komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan
I1
komunikasi dengan SKPD terkait perizinan juga baik, hal ini dilakukan karena memang BPMPPT sendiri hanya memiliki kewenangan mengeluarkan izin, untuk teknisnya ada dinas teknis tekait. Untuk hal terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini. Untuk komunikasi dengan perusahaan sangat baik, karena memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi
I2
terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan komunikasi dengan SKPD Terkait perizinan juga baik. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya tim pengendalian penanaman modal yang sudah memiliki SK Bupati dan sudah berjalan dari maret 2015. Untuk hal
terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini. I
Q19
Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE? Proses
koordinasi
selalu dilakukan,
baik
ketika
BPMPPT
mengundang SKPD teknis terkait melalu rapat koordinasi ataupun sebaliknya, SKPD terkait perizinan selalu melibatkan BPMPPT I1
dalam rapat terkait dengan perizinan. Jadi ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait penanaman modal. Ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait
I2
penanaman modal. Dengan adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di adakan pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan melalui rapat.
I
Q20
Apakah ada sosialisasi yang dilakukan terkait penerapan SPIPISE ini, baik dengan masyarakat atau SKPD terkait? Ada, sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT
I1
mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi perusahaan tersebut.
Ada, sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT I2
mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi perusahaan tersebut.
I Bagaimana proses sosialisasi dilakukan? Q21 Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman I1
terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi Banten. Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman
I2
terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi Banten.
I
Q22 I1
Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami? Belum efektif, karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun, dan tentunya pemahaman para investor masih kurang. Belum efektif, karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam
I2
satu tahun seharusnya 3 – 4 kali dalam satu tahun hal ini tentunya pemahaman para investor masih kurang.
I
Q23
Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum?
I1
Untuk masyarakat umum bukan investor itu informasinya itu terbatas. Untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila masyarakat
I2
butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau wartawan itu diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan.
6. Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik I Apakah kondisi ekonomi turut mempengaruhi kebijakan ini? Q26 Sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan I1
adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan mengundang investor ke Lebak. Sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan
I2
adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan mengundang investor ke Lebak.
I Apakah lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan ini? Q27 Pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap I1
kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah.
Pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap I2
kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah.
I Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini? Q28 Sangat mempengaruhi karena kondisi lingkungan politik yang kondusif akan mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di I1
Kabupaten Lebak. Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan Pemda Kabupaten Lebak itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak mendukung penerapan SPIPISE ini. Sangat mempengaruhi karena kondisi lingkungan politik yang kondusif akan mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di
I2
Kabupaten Lebak. Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan Pemda Kabupaten Lebak itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak mendukung penerapan SPIPISE ini.
LAMPIRAN IV (Data Pendukung Penelitian)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta memperpendek proses pelayanan guna mewujudkan pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau dilaksanakan suatu pelayanan terpadu satu pintu;
b.
bahwa pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menyatukan proses pengelolaan pelayanan baik yang bersifat pelayanan Perizinan dan Nonperizinan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-2Tabun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
4.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
5.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
6.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 9. Peraturan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-39.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2008
tentang
Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 4861); 10. Peraturan Pemerintah Nomor
96 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5357);
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan : 1.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam
satu
kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. 2.
Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah, pemerintah
daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator
Kawasan
Ekonomi Khusus.
3. Penanaman
P RESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-43.
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
4.
Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5.
Perizinan adalah segala bentuk persetujuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6.
Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7.
Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertan.ggungjawaban Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang.
8.
Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang.
9.
Pelayanan Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat PSE adalah pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang diberikan melalui PTSP secara elektronik.
10. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE adalah
Sistem
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-5Sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang terintegrasi antara Pemerintah yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan dengan pemerintah daerah.
BAB II TUJUAN, PRINSIP, DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 PTSP bertujuan: a.
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat;
b.
memperpendek proses pelayanan;
c.
mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan
d.
mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.
Pasal 3 PTSP dilaksanakan dengan prinsip: a.
keterpaduan;
b.
ekonomis;
c.
koordinasi;
d.
pendelegasian atau pelimpahan wewenang;
e.
akuntabilitas; dan
f.
aksesibilitas. Pasal 4
Ruang lingkup PTSP meliputi seluruh pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-6Pasal ( 1)
Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilaksanakan oleh: a.
Pemerintah yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan Pemerintah;
b.
Pemerintah provinsi untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan provinsi; dan
c.
Pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan kabupaten/kota.
(2)
Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/ kota.
BAB III PENYELENGGARAAN PTSP Bagian Kesatu Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah Pasal 6 ( 1 ) Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a mencakup urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Urusan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-7(2) Urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a.
penyelenggaraan Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi;
b.
urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang meliputi:
1) Penanaman Modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; 2)
Penanaman Modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
3) Penanaman Modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah
atau
ruang lingkupnya lintas provinsi; 4)
Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;
5)
Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
6)
Bidang Penanaman Modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.
( 3 ) Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 5 meliputi: a.
Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh pemerintah negara lain;
b.
Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh warga negara asing atau badan usaha asing; c. Penanam
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-8-
c.
Penanam Modal yang menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain,
yang
didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dan pemerintah negara lain.
Pasal 7
(1)
Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6: a.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal;
b.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat melimpahkan wewenang yang diberikan oleh Menteri teknis/Kepala Lembaga dengan hak subsitusi kepada PTSP provinsi, PTSP kabupaten/kota, PTSP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, atau Administrator Kawasan Ekonomi Khusus;
c.
Menteri teknis/Kepala Lembaga dapat menugaskan pejabatnya di Badan Koordinasi Penananam Modal untuk menerima dan menandatangani Perizinan dan Nonperizinan yang kewenangannya tidak dapat
dilimpahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan melalui Peraturan Menteri teknis/Kepala Lembaga. Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-9-
Pasal 8 Menteri
(1)
teknis/Kepala Lembaga yang
memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal, menyusun dan menetapkan bidang-bidang usaha Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1), angka 2), angka 3), angka 4), dan angka 6). (2)
Kepala
Badan
Koordinasi
Penanaman
Modal berkoordinasi dengan Menteri teknis/Kepala Lembaga untuk menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 5.
Pasal 9 (1)
Menteri
teknis/Kepala
Lembaga yang
memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal, menetapkan jenis-jenis Perizinan dan Nonperizinan untuk penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal. (2) Tata cara Perizinan dan Nonperizinan untuk setiap jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki kewenangan tersebut dalam bentuk Petunjuk Teknis yang meliputi: a.
persyaratan teknis dan nonteknis;
b. tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan; dan c. mekanisme pengawasan dan sanksi. (3) Dalam ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 10 ( 3)
Dalam menetapkan jenis dan tata cara Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri teknis/Kepala Lembaga berkoordinasi dengan lembaga/instansi terkait.
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b mencakup urusan pemerintahan provinsi dalam penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang diselenggarakan dalam PTSP. (2) Urusan pemerintahan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
urusan pemerintah provinsi yang diatur dalam perundang-undangan;
b.
urusan pemerintahan provinsi yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota; dan
c.
urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan wewenang kepada Gubernur.
(3)
Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi (BPMPTSP).
(4) Dalam menyelenggarakan PTSP oleh provinsi, Gubernur
memberikan pendelegasian wewenang Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah provinsi kepada Kepala BPMPTSP Provinsi. (5) BPMPTSP Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 11 (1) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c mencakup urusan pemerintahan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang diselenggarakan dalam PTSP. (2) Urusan pemerintahan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
urusan pemerintah kabupaten / kota yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan
b.
urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan wewenang kepada Bupati/Walikota.
( 3 ) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten / kota dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota (BPMPTSP) Kabupaten/ Kota. (4) Dalam menyelenggarakan PTSP oleh kabupaten/kota, Bupati/ Walikota memberikan pendelegasian wewenang Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota kepada Kepala BPMPTSP Kabupaten/ Kota. (5) BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai peraturan perundangundangan.
Pasal 12 BPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) selain penyelenggaraan fungsi pelayanan terpadu Perizinan dan Nonperizinan, melakukan fungsi penyelenggaraan penanaman modal. Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 13 Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan
(1)
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau di Kawasan Ekonomi Khusus diselenggarakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Administrator Kawasan Ekonomi Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pelimpahan atau pendelegasian kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga, Gubernur, dan/atau Bupati/ Walikota.
BAB IV STANDAR DAN PEMBINAAN PTSP Bagian Kesatu Standar
Pasal 14 (1)
Penyelenggara PTSP wajib menyusun standar pelayanan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayanan publik.
(2)
Standar pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi komponen: a.
dasar hukum;
b.
persyaratan;
c.
sistem, mekanisme dan prosedur/Standar Operasional Prosedur; d. jangka
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 13 d. jangka waktu penyelesaian; e.
biaya/ tarif;
f.
produk pelayanan;
g.
prasarana dan Sarana;
h.
kompetensi pelaksana;
i.
pengawasan internal;
j.
penanganan pengaduan, saran dan masukan;
k. jumlah pelaksana; 1. jaminan pelayanan; m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan n.
evaluasi kinerja pelaksana;
( 3 ) Standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal;
b.
Gubernur
untuk
pelayanan
Perizinan
dan
Nonperizinan provinsi; c.
Bupati/Walikota untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan kabupaten/kota;
d.
Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Administrator Kawasan Ekonomi Khusus untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di Kawasan Ekonomi Khusus.
(4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus dalam menetapkan Standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 14 prosedur
dan
kriteria
yang
ditetapkan
oleh
Menteri/Kepala Lembaga. Pasal 15 Jangka waktu pelayanan PTSP ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen Perizinan dan Nonperizinan secara lengkap dan benar, kecuali yang diatur waktunya dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.
Bagian Kedua Pembinaan Pasal 16 (1)
Menteri
Dalam
Negeri
melakukan
pembinaan
penyelenggaraan BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/Kota. (2)
Menteri teknis/Kepala Lembaga melakukan pembinaan teknis penyelenggaraan BPMPTSP sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3)
Kepala
BKPM
melakukan
pembinaan
atas penyelenggaraan pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal dan penyelenggaraan fungsi koordinasi penanaman modal oleh BPMPTSP Provinsi, BPMPBTSP Kabupaten/ Kota, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.
BAB V PERIZINAN DAN NONPERIZINAN SECARA ELEKTRONIK Pasal 17 Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan oleh PTSP wajib menggun.akan PSE.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 15 Pasal 18 (
I
PSE oleh PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
)
mencakup aplikasi otomasi proses kerja (business process) dan informasi yang diperlukan dalam pelayanan Perizinan dan Nonperizinan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurangkurangnya meliputi: a.
potensi dan peluang usaha;
b.
perencanaan umum penanaman modal;
c.
pelaksanaan promosi dan kerjasama ekonomi;
d.
perkembangan realisasi penanaman modal;
e.
daftar bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;
f.
jenis,
persyaratan teknis, mekanisme penelusuran
posisi dokumen pada setiap proses, biaya, dan waktu pelayanan; g.
tata cara layanan pengaduan; dan
h.
hal-hal lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang Penanaman Modal. Pasal 19
PTSP dalam mengelola PSE, mempunyai kewajiban: a.
menjamin PSE beroperasi secara terus menerus sesuai standar tingkat layanan, keamanan data dan informasi;
b.
melakukan manajemen sistem aplikasi otomatisasi proses kerja
(business process)
pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan, serta data dan informasi;
c.
melakukan koordinasi dan sinkronisasi pertukaran data dan informasi secara langsung (online) dengan pihak terkait;
d.
melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan terhadap PSE; e. menyediakan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 16 e.
menyediakan jejak audit (audit trail); dan
f.
menjamin keamanan dan kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan Kementerian/ Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota melalui PSE. Pasal 20
PSE untuk Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal clilakukan melalui SPIPISE. Pasal 21 (1) Kementerian/ Lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Nonperizinan meliputi jenis, persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan Service Level Arrangement (SLA) serta informasi potensi Penanaman Modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan/atau BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota dan secara bertahap mengintegrasikan dengan PSE. (2) Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah yang belum memberikan pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal: a.
menetapkan tingkat layanan SLA; dan
b.
menggunakan standar data referensi yang ditetapkan PSE.
(3 ) BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota menggunakan standar data referensi yang ditetapkan dalam SPIPISE serta menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Nonperizinan yang meliputi jenis, persyaratan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 17 persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan
SLA
serta
informasi potensi Penanaman Modal daerah kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. (4)
Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota menyediakan perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan dan keterhubungan (interkoneksi) PSE di lingkungan masing-masing.
Pasal 22 (1)
Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota memiliki hak akses terhadap PSE.
(2)
Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas data dan informasi dan menjaga keamanan atas penggunaan hak akses tersebut.
Pasal 23 (1)
Kernenterian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota yang menggunakan PSE menyediakan jejak audit (audit trail) atas seluruh kegiatan dalam PSE.
(2)
Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mengetahui dan menguji kebenaran proses transaksi elektronik melalui PSE.
(3)
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian/ Lembaga
BPMPTSP
Provinsi,
dan
BPMPTSP
Kabupaten/Kota menggunakan jejak audit yang ada di PSE sebagai dasar penelusuran apabila terjadi perbedaan data dan informasi.
Pasal 24 Dalam menyelenggarakan PSE tanggung jawab pembiayaan dibebankan kepada: a. Badan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 18 a.
Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk antarmuka
sistem (interface) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal ke kementerian/lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota; b.
Kementerian/lembaga untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota;
c.
Pemerintah Provinsi, untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Provinsi ke Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BPMPTSP Kabupaten/Kota; dan
d.
Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Kabupaten/Kota ke Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BPMPTSP Provinsi.
Pasal 25 (1) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan PSE diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (2) Ketentuan pelaksanaan SPIPISE diatur dengan Peraturan Kepala/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
BAB VI PEMBIAYAAN PTSP Pasal 26 Biaya
yang diperlukan oleh pemerintah daerah untuk
penyelenggaraan PTSP dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 19 Pasal 27 (1)
Segala penerimaan negara yang timbul dari pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diserahkan kepada Kementerian/ Lembaga
se suai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. (2)
Segala penerimaan daerah yang timbul dari pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan pernerintahan daerah diserahkan kepada daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku: a.
Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota belum terbentuk, permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih lanjut oleh instansi yang berwenang.
b.
Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota telah terbentuk permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih lanjut oleh BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/ Kota.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 20 Pasal 29 (1)
Pemerintah daerah yang belum membentuk atau menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3), agar membentuk dan mengoperasikan PTSP paling lama 1 (satu) tahun setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.
(2)
Pemerintah daerah yang telah membentuk atau menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) namun belum beroperasi, segera mengoperasikan PTSP paling lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini diundangkan. Pasal 30
(1) Peraturan
Menteri/Kepala
Lembaga
mengenai pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang
Pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang diberikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku dan disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. (2) Pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang belum diberikan Menteri/Kepala Lembaga kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, dilakukan paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. (3) Menteri
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-21(3) Menteri/Kepala Lembaga dalam rangka pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), melakukan penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan untuk setiap jenis Perizinan dan Nonperizinan yang berada dalam lingkup tugas dan kewenangannya paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. (4) Penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan Menteri/Kepala Lembaga secara berkoordinasi dengan Lembaga/Instansi terkait tanpa mengurangi faktor keselamatan, keamanan, kesehatan dan perlindungan lingkungan dari kegiatan Penanarnan Modal. Pasal 31 (
1)
Perizinan dan Nonperizinan yang telah diperoleh dari Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan dan Nonperizinan terse but dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. -
(2) Penanam Modal yang sebelumnya telah memperoleh Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang membutuhkan Perizinan dan Nonperizinan lebih lanjut, permohonannya diajukan kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal atau BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 22 Pasal 32 Badan yang telah melaksanakan fungsi pelayanan Perizinan dan Nonperizinan secara terpadu satu pintu sebelum berlakunya dan tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini, tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Presiden ini.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini maka Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34 Peraturan yang mengatur PTSP yang telah ada disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Presiden ini paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.
Pasal 35 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-23-
Agar
setiap
orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 221
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI DeputH3idang Perekonomian, • e•Cr;+::, e7 I 1 * j
A
V
,‹-
4
t .itt,4 1 . ..t.c: 2.,
Ardiati
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
a. bahwa dalam rangka penyederhanaan Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman
Modal
telah
diterbitkan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan
dan
Nonperizinan
Penanaman
sebagaimana telah diubah dengan
Modal
Peraturan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013; b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf c Peraturan Presiden Nomor
97
Pelayanan
Tahun
2014
tentang
Terpadu
Satu
Pintu,
mengganti
Peraturan
Penanaman
Modal
Kepala
Nomor
5
Penyelenggaraan dipandang
Badan Tahun
perlu
Koordinasi
2013
tentang
Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013; c. bahwa . . .
-2-
d. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang
Pedoman
dan
Tata
Cara
Perizinan
dan
Nonperizinan Penanaman Modal; Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); 2. Undang-Undang Penetapan Undang
Nomor
Peraturan
Nomor
Perdagangan
2
Bebas
37
Tahun
Pemerintah Tahun Dan
2000
2000
tentang
Pengganti
Undang-
tentang
Kawasan
Pelabuhan
Bebas
Sabang
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054); 3. Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2007
tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4725); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 7. Undang . . .
-3-
7. Undang-Undang Penetapan
Nomor
Peraturan
44
Tahun
Pemerintah
2007
tentang
Pengganti
Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Penetapan Undang
Nomor
Peraturan
Nomor
Perdagangan
1
Bebas
36
Tahun
Pemerintah Tahun Dan
2000
2000
tentang
Pengganti
Undang-
tentang
Kawasan
Pelabuhan
Bebas
Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775); 8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 9. Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
2008
tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); 11. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2009
tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 12. Undang-Undang Pengelolaan
Nomor
Lingkungan
32
Tahun
Hidup
2009
(Lembaran
tentang Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 13. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066); 14. Undang . . .
-4-
14. Undang-Undang Pemerintahan
Nomor Daerah
23
Tahun
(Lembaran
2014
Negara
tentang Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5679); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
107,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4757) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5195);
19. Peraturan . . .
-5-
19. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Bintan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
108,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4758); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Karimun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4759); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Dewan Kawasan Sabang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5175); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2011
Nomor
3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5186); 25. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012
tentang
Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5284); 26. Peraturan . . .
-6-
26. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 27. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2012 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5287); 28. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5357); 29. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 30. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 210); 31. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 93); 32. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan
Terpadu
Satu
Pintu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 221); 33. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; 34. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing; 35. Peraturan . . .
-7-
35. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor
SKEP/638/XII/2009
tentang
Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Usaha Jasa Pengamanan
dalam
Rangka
Pelaksanaan
Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 36. Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
27/M-
DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir
(API)
Peraturan
sebagaimana
Menteri
telah
Perdagangan
diubah
dengan
Nomor
59/M-
DAG/PER/9/2012; 37. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura; 38. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 dan tentang pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu bidang
Pariwisata
dan
Ekonomi
Kreatif
di
Badan
Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2015; 39. Peraturan
Menteri
IND/PER/12/2014
Perindustrian tentang
Nomor
Pendelegasian
122/MWewenang
Pemberian Perizinan Bidang Industri dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 40. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Ketenagakerjaan di Badan Koordinasi Penanaman Modal; 41. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 40 Tahun
2014
tentang
Pendelegasian
Wewenang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Komunikasi
dan
Informatika
kepada
Kepala
Badan
Koordinasi Penanaman Modal; 42. Peraturan . . .
-8-
42. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 93 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Kesehatan di Badan Koordinasi Penanaman Modal; 43. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 44. Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
96/M-
DAG/PER/12/2014 tentang Pendelegasian Wewenang di Bidang Perdagangan dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10/M-DAG/PER/1/2015; 45. Peraturan
Menteri
Pertanian
1312/Kpts/KP.340/12/2014
tentang
Nomor Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pertanian dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 46. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2014 tentang Penunjukan
Pejabat
Ruang/Kepala
Badan
Kementerian Pertanahan
Agraria
dan
Nasional
Tata untuk
ditugaskan pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Koordinasi Penanaman Modal; 47. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal;
48. Peraturan . . .
-9-
48. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.011/2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal; 49. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2014 tentang Izin Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal Dengan Modal Asing; 50. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Nomor
40/2014
tentang
Pendelegasian
Wewenang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Komunikasi dan Informatika Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 51. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.97/MENHUT-II/2014
tentang
Pendelegasian
Wewenang Pemberian Perizinan dan Non Perizinan di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2015; 52. Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
3/PERMEN-KP/2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu PIntu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 53. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
54. Peraturan . . .
- 10 -
54. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 55. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 03 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Perhubungan di Badan Koordinasi Penanaman Modal; 56. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009
tentang
Klasifikasi
Baku
Lapangan
Usaha
Indonesia; 57. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang
Penanaman
Modal
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota; 58. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran dan Izin Prinsip Penanaman Modal Kepada Dewan Kawasan Sabang; 59. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal Kepada Dewan Kawasan Sabang; 60. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; 61. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 10 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal Provinsi dan Kabupaten/Kota;
62. Peraturan . . .
- 11 -
62. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas
Pengusahaan
Batam,
Kawasan
Kepada
Kepala
Perdagangan
Badan
Bebas
dan
Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdaganan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun; 63. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal Kepada
Kepala
Badan
Pengusahaan
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Tanjung Pinang dan Kepada
Badan
Pengusahaan
Kawasan
Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun; 64. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal kepada Kepala Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei; 65. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Penanaman Modal kepada Kepala Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei; 66. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2014 tentang Sistem Pelayanan Informasi Dan Perizinan Investasi Secara Elektronik;
67. Peraturan . . .
- 12 -
67. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal kepada Kepala Administrator
Kawasan
Ekonomi
Khusus
Tanjung
Lesung; 68. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Penanaman Modal kepada Kepala Administrator
Kawasan
Ekonomi
Khusus
Tanjung
Lesung; 69. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor
9
Tahun
2015
tentang
Penyelenggaraaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal; 70. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal;
MEMUTUSKAN: Menetapkan:
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Penanaman
Modal
adalah
segala
bentuk
kegiatan
menanam modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanam Modal Asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. 2. Penanam . . .
- 13 -
2. Penanam Modal adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing. 3. Penanaman
Modal
Dalam
Negeri,
yang
selanjutnya
disingkat PMDN, adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Penanam Modal Dalam Negeri dengan menggunakan modal Dalam Negeri. 4. Penanaman Modal Asing, yang selanjutnya disingkat PMA, adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Penanam Modal Asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan Penanam Modal Dalam Negeri. 5. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP, adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. 6. Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan
Bebas,
dan
Administrator
Kawasan
Ekonomi Khusus. 7. Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban,
dan
pertanggungjawaban
perizinan
dan
nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang. 8. Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban,
dan
pertanggungjawaban
perizinan
dan
nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang.
9. Pelayanan . . .
- 14 -
9. Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat, yang selanjutnya disebut PTSP Pusat di BKPM, adalah pelayanan terkait dengan penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat,
yang
diselenggarakan
secara
terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang penyelenggaraannya dilakukan dengan: a. pendelegasian
atau
pelimpahan
wewenang
dari
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) kepada Kepala BKPM; dan/atau b. penugasan Pejabat Kementerian/LPNK di BKPM. 10. Perizinan
adalah
segala
bentuk
persetujuan
untuk
melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah,
Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus, yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan dan informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Perusahaan Penanaman Modal adalah badan usaha yang melakukan Penanaman Modal baik yang berbadan hukum maupun belum berbadan hukum. 13. Memulai perusahaan
produksi/operasi Penanaman
adalah
Modal
telah
saat
dimana
siap
untuk
melakukan produksi/operasi barang dan/atau jasa. 14. Siap Produksi adalah kondisi dimana 80% (delapan puluh persen) mesin utama dari kegiatan produksi perusahaan di bidang usaha industri telah terpasang di lokasi proyek.
15. Siap . . .
- 15 -
15. Siap Operasi adalah kondisi dimana perusahaan di bidang usaha selain industri, telah menyiapkan seluruh sarana dan
prasarana
dalam
rangka
menjalankan
kegiatan
usahanya. 16. Izin Prinsip Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip, adalah Izin yang wajib dimiliki dalam rangka memulai usaha. 17. Izin
Prinsip
Perluasan
Penanaman
Modal,
yang
selanjutnya disebut Izin Prinsip Perluasan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai kegiatan dalam rangka perluasan usaha. 18. Izin
Prinsip
Perubahan
Penanaman
Modal,
yang
selanjutnya disebut Izin Prinsip Perubahan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan, dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi Penanaman Modal yang telah ditetapkan sebelumnya. 19. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan, untuk melaksanakan bidang usaha perusahaan hasil penggabungan. 20. Izin Investasi adalah Izin Prinsip yang dimiliki oleh Perusahaan dengan kriteria tertentu yang diatur dalam Peraturan Kepala BKPM. 21. Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. 22. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan
untuk
memulai
pelaksanaan
kegiatan
produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
23. Izin . . .
- 16 -
23. Izin Perluasan adalah Izin Usaha yang wajib dimiliki perusahaan
untuk
memulai
pelaksanaan
kegiatan
produksi yang menghasilkan barang atau jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, khusus untuk sektor industri. 24. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan, dalam rangka legalisasi terhadap perubahan realisasi
Penanaman
Modal
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya. 25. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan dalam rangka memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi untuk menghasilkan barang atau jasa. 26. Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja adalah izin usaha jasa penempatan tenaga kerja untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja. 27. Izin Kantor Perwakilan adalah izin untuk perusahaan asing di luar negeri yang memiliki perwakilannya di Indonesia. 28. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang selanjutnya disebut KPPA, adalah kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih perorangan warga negara asing atau warga negara Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan
perusahaan
asing
di
luar
negeri
sebagai
perwakilannya di Indonesia. 29. Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, yang selanjutnya disebut KP3A, adalah kantor yang dipimpin oleh perorangan WNI atau WNA yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia.
30. Kantor . . .
- 17 -
30. Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing, adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum dan berdomisili di negara asing, memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. 31. Angka Pengenal Importir, yang selanjutnya disingkat API, adalah tanda pengenal sebagai importir. 32. Pimpinan
Perusahaan
adalah
direksi/pimpinan
perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar/Akta Pendirian Perusahaan atau perubahannya yang telah mendapatkan
pengesahan/persetujuan/pemberitahuan
dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menteri Hukum dan HAM) bagi badan hukum Perseroan Terbatas dan sesuai peraturan perundang-undangan untuk selain badan hukum Perseroan Terbatas. 33. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 34. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pelaksanaan
pemerintahan urusan
daerah
pemerintahan
yang
memimpin
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom. 35. Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat
BKPM,
Kementerian
yang
adalah
Lembaga
bertanggung
Pemerintah
jawab
di
Non
bidang
Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
36. Pejabat . . .
- 18 -
36. Pejabat penghubung adalah pejabat Kementerian/LPNK yang ditunjuk sebagai front officer dan back officer untuk memberikan layanan konsultasi dan/atau memproses permohonan Perizinan dan Nonperizinan terkait dengan penanaman modal yang menjadi kewenangan Menteri Teknis/Kepala
LPNK
dengan
uraian
tugas,
hak,
wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang jelas. 37. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi, atau perangkat pemerintah provinsi yang menyelenggarakan urusan penanaman modal dengan nomenklatur lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang selanjutnya disebut BPMPTSP Provinsi, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah
daerah
provinsi,
yang
menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di Pemerintah Provinsi. 38. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten/Kota,
Kabupaten/Kota penanaman peraturan
yang
modal
atau
perangkat
Pemerintah
menyelenggarakan
dengan
nomenklatur
perundang-undangan
yang
urusan
lain
sesuai
berlaku,
yang
selanjutnya disebut BPMPTSP Kabupaten/Kota, adalah unsur
pembantu
penyelenggaraan
kepala
pemerintah
daerah daerah
dalam
rangka
Kabupaten/Kota,
yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di Pemerintah Kabupaten/Kota. 39. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut KPBPB, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
40. Kawasan . . .
- 19 -
40. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK, adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. 41. Laporan Kegiatan Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat LKPM, adalah laporan mengenai perkembangan realisasi penanaman modal dan kendala yang dihadapi Penanam Modal yang wajib disampaikan secara berkala. 42. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah sistem
pelayanan
terintegrasi
antara
kewenangan
Perizinan
dan
Pemerintah
Perizinan
dan
Nonperizinan
Pusat
yang
yang
memiliki
Nonperizinan
dengan
Pemerintah Daerah. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Pedoman
dan
Penanaman
Tata Modal
Cara
Perizinan
dimaksudkan
dan
Nonperizinan
sebagai
panduan
pelaksanaan pelayanan Penanaman Modal terkait prosedur pengajuan
dan
persyaratan
permohonan
Perizinan
dan
Nonperizinan Penanaman Modal, yang ditujukan bagi para pejabat BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, para pelaku usaha serta masyarakat umum lainnya. Pasal 3 Pedoman
dan
Tata
Cara
Perizinan
dan
Nonperizinan
Penanaman Modal bertujuan: a. terwujudnya . . .
- 20 -
a. terwujudnya pengajuan
kesamaan
dan
permohonan,
keseragaman
persyaratan
dan
prosedur tata
cara
Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal di instansi BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK di seluruh Indonesia; b. memberikan
informasi
kepastian
permohonan
Perizinan
dan
waktu
Nonperizinan
penyelesaian Penanaman
Modal; dan c. tercapainya pelayanan yang mudah, cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntabel. BAB III KEWENANGAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Penyelenggaraan PTSP di Bidang Penanaman Modal Pasal 4 (1) Penyelenggaraan
PTSP
di
Bidang
Penanaman
Modal
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, PTSP KPBPB, PTSP KEK,
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota. (2) Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: a. Pemerintah Pusat dilakukan oleh PTSP Pusat di BKPM; b. Pemerintah Provinsi dilakukan oleh BPMPTSP Provinsi; c. Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan oleh BPMPTSP Kabupaten/Kota; d. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh PTSP KPBPB; dan e. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus oleh PTSP KEK.
(3) Pemerintah . . .
- 21 -
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
mendelegasikan/melimpahkan kewenangan dalam bentuk penyerahan
tugas,
hak,
pertanggungjawaban termasuk
kewajiban
Perizinan
dan
penandatanganannya
dan
Nonperizinan
kepada
penyelenggara
PTSP di bidang Penanaman Modal. (4) Penyelenggara
PTSP
Bidang
Penanaman
Modal
memperoleh pendelegasian/pelimpahan wewenang sebagai berikut: a. Kepala BKPM dari Menteri/Kepala LPNK; b. Kepala BPMPTSP Provinsi dari Gubernur; c. Kepala
BPMPTSP
Kabupaten/Kota
dari
Bupati/Walikota; d. Kepala
Badan
Pengusahaan
KPBPB
dari
Menteri/Kepala LPNK, Gubernur dan Bupati/Walikota; dan e. Administrator
KEK
dari
Menteri/Kepala
LPNK,
Gubernur dan Bupati/Walikota. Bagian Kedua PTSP Pusat di BKPM Pasal 5 (1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan pada PTSP Pusat di BKPM dan terdiri atas: a. penyelenggaraan
Penanaman
Modal
yang
ruang
lingkupnya lintas provinsi; b. urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang meliputi: 1. Penanaman Modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; 2. Penanaman . . .
- 22 -
2. Penanaman Modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; 3. Penanaman
Modal
yang
terkait
pada
fungsi
pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; 4. Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; 5. Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari Pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain; dan 6. bidang
Penanaman
Modal
lain
yang
urusan
Pemerintah
Pusat
menurut
menjadi peraturan
perundang-undangan. (2) Penyelenggaraan dimaksud
dalam
PTSP
Pusat
ayat
(1)
di
BKPM
dilaksanakan
sebagaimana atas
dasar
pelimpahan/pendelegasian wewenang dari Menteri/Kepala LPNK
yang
Nonperizinan
memiliki di
kewenangan
bidang
Penanaman
Perizinan Modal
dan yang
merupakan urusan Pemerintah Pusat. (3) Bidang-bidang usaha Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, dan angka 6 sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK yang memiliki kewenangan Perizinan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat di bidang Penanaman Modal. Bagian Ketiga PTSP Pemerintah Provinsi Pasal 6 (1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi diselenggarakan oleh BPMPTSP Provinsi dan terdiri atas: a. urusan . . .
- 23 -
a. urusan
pemerintah
provinsi
yang
diatur
dalam
perundang-undangan; b. urusan pemerintahan provinsi yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota; dan c. urusan
Pemerintah
yang
diberikan
pelimpahan
wewenang kepada Gubernur. (2) Dalam
rangka
dimaksud
pada
penyelenggaraan ayat
(1),
PTSP
sebagaimana
Gubernur
memberikan
pendelegasian/pelimpahan wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan atas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah
Provinsi
dan
Nonperizinan
kepada Kepala BPMPTSP Provinsi. Bagian Keempat PTSP Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 7 (1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang menjadi
kewenangan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten/Kota terdiri atas: a. urusan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
di
bidang
Penanaman Modal yang ruang lingkupnya dalam satu Kabupaten/Kota; dan b. urusan Pemerintah Pusat yang diberi pelimpahan wewenang kepada Bupati/Walikota. (2) Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota
pelimpahan
memberikan
wewenang
pemberian
pendelegasian/ Perizinan
dan
Nonperizinan atas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
Bagian . . .
- 24 -
Bagian Kelima PTSP di KPBPB Pasal 8 Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang berlokasi di KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d dilakukan berdasarkan pelimpahan atau pendelegasian Gubernur,
kewenangan
dan/atau
dari
Menteri/Kepala
Bupati/Walikota
sesuai
LPNK, dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam PTSP di KEK Pasal 9 Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang berlokasi di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf
e
pendelegasian Gubernur,
dilakukan
berdasarkan
kewenangan
dan/atau
dari
pelimpahan
Menteri/Kepala
Bupati/Walikota
sesuai
atau LPNK,
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV RUANG LINGKUP PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Umum Pasal 10 (1) Ruang lingkup layanan yang diatur dalam Peraturan Kepala ini terdiri atas: a. layanan Perizinan; dan b. layanan Nonperizinan; (2) Layanan . . .
- 25 -
(2) Layanan
sebagaimana
dilaksanakan
oleh
dimaksud
PTSP
Pusat
di
pada
ayat
(1)
BKPM,
BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK
sesuai
kewenangannya,
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8. Bagian Kedua Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 11 (1) Jenis Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. Izin Usaha untuk berbagai sektor usaha; b. Izin Usaha Perluasan untuk berbagai sektor usaha; c. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal untuk berbagai sektor usaha; d. Izin Usaha Perubahan untuk berbagai sektor usaha; e. Izin Kantor Perwakilan; dan f.
Izin operasional berbagai sektor usaha.
(2) Jenis Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. Penggunaan Tenaga Kerja Asing; b. Angka Pengenal Importir; dan c. Rekomendasi teknis berbagai sektor usaha. Pasal 12 (1) Jenis Perizinan dan Nonperizinan yang diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM, ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK
yang
memiliki
kewenangan
Perizinan
dan
Nonperizinan. (2) Jenis Perizinan dan Nonperizinan yang tidak diatur pedoman dan tata caranya dalam Peraturan Kepala ini, mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK terkait, Gubernur dan Bupati/Walikota. (3) Jenis . . .
- 26 -
(3) Jenis Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. Pertimbangan Teknis Pertanahan; b. Izin Lokasi; c. Izin Mendirikan Bangunan (IMB); d. Izin Lingkungan; dan e. Perizinan dan Nonperizinan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Izin Usaha Pasal 13 (1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Prinsip/Izin Investasi, dan akan melakukan kegiatan produksi/operasi wajib memiliki Izin Usaha. (2) Permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara dalam jaringan (daring), dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum pada
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (3) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
manual,
menggunakan
formulir
permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum
pada
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (4) Perusahaan tidak dapat mengajukan Izin Usaha dalam hal Izin Prinsip/Izin Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah habis masa berlakunya. (5) Dalam . . .
- 27 -
(5) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan melanjutkan kegiatan usaha, perusahaan wajib mengajukan
permohonan
Izin
Prinsip
baru
dengan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Perusahaan PMA dapat mengajukan Izin Usaha dengan total
nilai
realisasi
investasi
lebih
besar
dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar nilai investasi tanah dan bangunan: a. di dalam subgolongan usaha yang sama di 1 (satu) lokasi proyek di 1 (satu) Kabupaten/Kota; dan b. dalam subgolongan usaha yang sama di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota, di luar sektor industri. (7) Perusahaan PMA yang telah memiliki Izin Prinsip dengan nilai
investasi
sama
atau
lebih
kecil
dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar nilai investasi
tanah
dan
bangunan
dan
jangka
waktu
penyelesaian proyeknya masih berlaku, dapat mengajukan Izin Usaha tanpa perlu memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Perusahaan yang telah memiliki Pendaftaran Penanaman Modal
dan
Akta
Perusahaan
telah
disahkan
oleh
Kementerian Hukum dan HAM, telah merealisasikan proyeknya, dan siap/telah berproduksi/beroperasi dapat langsung mengajukan Izin Usaha. (9) Perusahaan
yang
telah
memiliki
Izin
Usaha
yang
diterbitkan oleh: a. PTSP Pusat di BKPM, PTSP KPBPB, PTSP KEK; atau b. BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, untuk bidang usaha di luar sektor perdagangan; sesuai kewenangannya, tidak wajib memiliki Surat Izin Usaha
Perdagangan
(SIUP)
yang
diterbitkan
oleh
Pemerintah Daerah.
(10) Izin . . .
- 28 -
(10) Izin
Usaha
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (11) Bentuk Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (12) Izin
Usaha
berlaku
sepanjang
perusahaan
masih
melakukan kegiatan usaha, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. (13) Dalam
hal
permohonan
Izin
Usaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan (3) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (14) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (13) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Pasal 14 (1) Perusahaan yang memiliki Izin Prinsip/Izin Investasi lebih dari 1 (satu) sektor/bidang usaha dan/atau lokasi proyek dapat mengajukan permohonan Izin Usaha pada waktu yang
berbeda
sepanjang
Izin
Prinsip/Izin
Investasi
tersebut masih berlaku. (2) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih berminat untuk melaksanakan sektor/bidang usaha dan/atau lokasi proyek yang belum direalisasikan, namun masa berlaku Izin Prinsip/Izin Investasi telah berakhir,
maka
izin
terhadap
sektor/bidang
usaha
dan/atau lokasi proyek tersebut dinyatakan batal dan perusahaan harus mengajukan Izin Prinsip baru. (3) Perusahaan PMDN yang memiliki Izin Prinsip dengan lokasi proyek lintas provinsi, yang Izin Prinsip diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM, apabila: a. jangka . . .
- 29 -
a. jangka waktu penyelesaian proyek sama, pada saat akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus mengajukan permohonan Izin Usaha pada saat yang bersamaan ke PTSP Pusat di BKPM; b. jangka waktu penyelesaian proyek berbeda, pada saat akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus mengajukan permohonan Izin Usaha kepada BPMPTSP Provinsi,
atau
BPMPTSP
Kabupaten/Kota
sesuai
kewenangannya; atau c. hanya merealisasikan proyeknya di 1 (satu) provinsi, maka
permohonan
izin
usaha
diajukan
kepada
BPMPTSP Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya. (4) Perusahaan PMDN yang memiliki Izin Prinsip dengan lokasi proyek lintas Kabupaten/Kota, yang Izin Prinsip diterbitkan oleh BPMPTSP Provinsi, apabila: a. jangka waktu penyelesaian proyek sama, pada saat akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus mengajukan permohonan Izin Usaha pada saat yang bersamaan ke BPMPTSP Provinsi; b. jangka waktu penyelesaian proyek berbeda, pada saat akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus mengajukan permohonan Izin Usaha kepada BPMPTSP Kabupaten/Kota; atau c. hanya
merealisasikan
Kabupaten/Kota,
maka
proyeknya
di
permohonan
1
(satu)
Izin
Usaha
diajukan kepada BPMPTSP Kabupaten/Kota. (5) Atas
kegiatan
usaha
di
lokasi
proyek
yang
tidak
direalisasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf c, maka kegiatan usaha di lokasi proyek tersebut dinyatakan batal.
Bagian . . .
- 30 -
Bagian Keempat Izin Usaha Perluasan Pasal 15 (1) Perusahaan yang memiliki Izin Prinsip Perluasan yang masih
berlaku
produksi/operasi
dan
akan
diwajibkan
melakukan memiliki
kegiatan
Izin
Usaha
Perluasan. (2) Khusus untuk Perusahaan PMA, pada saat pengajuan permohonan Izin Usaha Perluasan, total nilai realisasi investasi wajib di atas Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar investasi tanah dan bangunan. (3) Dalam hal Izin Prinsip Perluasan yang telah disetujui dengan nilai investasi kurang dari Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar investasi tanah dan bangunan, dan jangka waktu penyelesaian proyek masih berlaku,
perusahaan
Perluasan
dengan
PMA
total
dapat
nilai
mengajukan
investasi
kurang
Izin dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar investasi
tanah
dan
bangunan,
sesuai
peraturan
perundang-undangan. (4) Permohonan Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(5) Bagi . . .
- 31 -
(5) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
manual,
menggunakan
formulir
permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (6) Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Bentuk Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Dalam hal permohonan Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin Usaha Perluasan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (10) Pengaturan terkait Izin Usaha Perluasan sama dengan pengaturan tentang Izin Usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dan Pasal 14. Bagian Kelima Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Pasal 16 (1) Perusahaan hasil penggabungan yang telah memiliki Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan, wajib memiliki Izin Usaha
Penggabungan
Perusahaan
pada
saat
siap
melakukan produksi/operasi. (2) Izin . . .
- 32 -
(2) Izin Usaha Penggabungan Perusahaan atas pelaksanaan Izin
Prinsip Penggabungan
Perusahaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diterbitkan terpisah untuk setiap sektor atau bidang usaha tertentu, sesuai ketentuan Kementerian/LPNK pembina sektor atau bidang usaha. (3) Permohonan
Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat
di
BKPM,
BPMPTSP
Provinsi,
BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya
secara
dilengkapi
daring,
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
PTSP
permohonan
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
manual,
menggunakan
formulir
permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Bentuk
Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(7) Dalam . . .
- 33 -
(7) Dalam
hal
permohonan
Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) ditolak,
Kepala
membuat
BKPM
Surat
atau
pejabat
Penolakan
yang
Izin
ditunjuk
Penggabungan
Perusahaan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Keenam Izin Usaha Perubahan Paragraf 1 Umum Pasal 17 (1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin Usaha Penggabungan Perusahaan dapat melakukan perubahan realisasi Penanaman Modal. (2) Perubahan
realisasi
Penanaman
Modal
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup perubahan: a. lokasi proyek; b. ketentuan bidang usaha; dan/atau c. masa berlaku izin usaha; (3) Atas perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perusahaan wajib memiliki Izin Usaha Perubahan. (4) Perubahan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan di dalam LKPM. (5) Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat
berlaku
ketidaksesuaian
sebagai izin
penyesuaian
yang
jika
diterbitkan
terjadi dengan
permohonan yang disampaikan oleh perusahaan, dalam hal kekeliruan berasal dari PTSP Pusat di BKPM, PTSP KPBPB, PTSP KEK, BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya. (6) Permohonan . . .
- 34 -
(6) Permohonan
Izin
Usaha
Perubahan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi
dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara
manual,
menggunakan
formulir
permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dilengkapi dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Bentuk Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (10) Dalam
hal
permohonan
Izin
Usaha
Perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin Usaha Perubahan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (11) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 2 . . .
- 35 -
Paragraf 2 Perubahan Lokasi Proyek Pasal 18 (1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin
Perluasan/Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan yang melakukan perubahan lokasi proyek serta telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan Izin Usaha di lokasi baru, dapat langsung mengajukan Izin Usaha Perubahan. (2) Khusus
untuk
(distributor
bidang
utama),
usaha
dalam
perdagangan
pengajuan
besar
permohonan
perubahan lokasi proyek disertai dengan mencantumkan besaran luas tanah untuk kantor pusat dan gudang. (3) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan Izin Usaha Perubahan di lokasi baru, dapat diterbitkan terlebih dahulu Izin Prinsip Perubahan. (4) Izin Prinsip Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditindaklanjuti dengan pengajuan permohonan Izin Usaha Perubahan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak Izin Prinsip Perubahan diterbitkan. Paragraf 3 Perubahan Ketentuan Bidang Usaha Pasal 19 Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin
Perluasan/Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan dapat melakukan perubahan ketentuan bidang usaha yang mencakup: a. jenis produksi akibat dilakukannya diversifikasi produk tanpa menambah mesin/investasi;
b. kapasitas . . .
- 36 -
b. kapasitas produksi yang tercantum dalam Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin
Perluasan/Izin
Usaha
Penggabungan Perusahaan tidak sesuai dengan kapasitas terpasang di lokasi proyek berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan; c. pemasaran dan nilai ekspor per tahun; d. penyesuaian KBLI; e. penambahan komoditi tanpa menambah kapasitas dan investasi,
khusus di bidang usaha perdagangan besar;
atau f.
penambahan subkualifikasi, khusus untuk bidang usaha jasa
konsultansi
konstruksi
asing
dan/atau
jasa
pelaksana konstruksi asing. Paragraf 4 Perubahan Masa Berlaku Izin Usaha Pasal 20 (1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin
Perluasan/Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan yang masa berlakunya akan berakhir, wajib memiliki
Izin
Usaha
Perubahan
sesuai
ketentuan
peraturan perundang-undangan. (2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Izin Usaha Perubahan, yang menyatakan bahwa Izin Usaha berlaku selama perusahaan masih melakukan kegiatan produksi/operasi atau untuk jangka waktu tertentu sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Bagi perusahaan yang telah habis masa berlaku Izin Usaha dan bukan diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya, wajib menyesuaikan
Izin
Usaha
dengan
melampirkan
persyaratan yang tercantum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Khusus . . .
- 37 -
(4) Khusus untuk bidang usaha jasa konsultansi konstruksi asing dan/atau jasa pelaksana konstruksi asing, apabila masa berlaku Izin Usaha telah berakhir, mengajukan Izin Usaha baru pada bidang usaha yang sama ke PTSP Pusat di BKPM tanpa mengajukan Izin Prinsip baru dengan melampirkan
persyaratan
yang
tercantum
sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bagian Ketujuh Izin Kantor Perwakilan Paragraf 1 Umum Pasal 21 Izin Kantor Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 27 terdiri atas: a. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA); b. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A); dan c. Izin Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA). Paragraf 2 KPPA Pasal 22 (1) Kegiatan KPPA terbatas: a. mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaanperusahaan afiliasinya; dan/atau b. mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia; dan c. berlokasi di ibukota provinsi dan beralamat di gedung perkantoran. (2) Untuk . . .
- 38 -
(2) Untuk
melaksanakan
kegiatan
kantor
perwakilan
perusahaan asing di Indonesia wajib memiliki Izin KPPA. (3) Dalam hal Kepala KPPA yang ditunjuk adalah WNA dan/atau memperkerjakan TKA, harus memperkerjakan TKI
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (4) Jangka waktu Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun. (5) Setelah periode jangka waktu 5 (lima) tahun, KPPA dapat diberikan perpanjangan waktu kembali apabila kegiatan KPPA berbeda dengan kegiatan periode sebelumnya. (6) Permohonan Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Izin KPPA diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (8) Bentuk Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (9) Dalam hal permohonan Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin KPPA selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja. (10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Pasal 23 (1) KPPA dapat mengubah ketentuan yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat di dalam Izin KPPA antara lain mencakup perubahan: a. keterangan . . .
- 39 -
a. keterangan tentang perusahaan asing yang diwakili: 1. nama perusahaan principal; 2. alamat kantor pusat/principal; dan 3. kegiatan usaha principal; b. tempat kedudukan kantor perwakilan di Indonesia: 1. alamat; dan 2. wilayah kegiatan; c. keterangan tentang Chief of Representative Office: 1. nama; 2. kewarganegaraan; 3. nomor paspor/KTP; dan 4. alamat (di negara asal dan di Indonesia); d. Penggunaan tenaga kerja: 1. manajemen; 2. tenaga ahli; dan 3. staf dan karyawan. (2) Dengan terjadinya perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan harus memiliki Izin Perubahan Ketentuan KPPA. (3) Permohonan Izin Perubahan Ketentuan KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (4) Izin Perubahan Ketentuan KPPA diterbitkan selambatlambatnya
5
(lima)
hari
kerja
sejak
diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar. (5) Bentuk Izin Perubahan Ketentuan KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin Perubahan Ketentuan KPPA selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (7) Bentuk . . .
- 40 -
(7) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Paragraf 3 KP3A Pasal 24 (1) KP3A dapat berbentuk Agen Penjualan (Selling Agent) dan/atau Agen Pabrik (Manufactures Agent) dan/atau Agen Pembelian (Buying Agent) namun dilarang melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan
tender,
menandatangani
kontrak,
menyelesaikan klaim dan sejenisnya. (2) KP3A
dapat
dibuka
di
ibukota
provinsi
dan
kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia. (3) Dalam hal Kepala
KP3A yang ditunjuk adalah WNA
dan/atau memperkerjakan TKA, harus memperkerjakan TKI
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (4) Dalam
penyelenggaraan
kegiatan
KP3A,
harus
mengajukan permohonan Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (SIUP3A) pada PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (5) SIUP3A
Sementara,
SIUP3A
Tetap,
dan
SIUP3A
Perpanjangan diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (6) SIUP3A
Perubahan
diterbitkan
selambat-lambatnya
5
(lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
(7) Bentuk . . .
- 41 -
(7) Bentuk SIUP3A sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran XII, Lampiran XIII, Lampiran XIV, dan Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan ayat (6) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang
ditunjuk
membuat
Surat
Penolakan
SIUP3A
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Pasal 25 (1) Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (SIUP3A), terdiri dari: a. SIUP3A Sementara; b. SIUP3A Tetap; c. SIUP3A Perpanjangan; d. SIUP3A Perubahan; dan e. Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing. (2) SIUP3A Sementara berlaku selama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan. (3) SIUP3A Tetap berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan. (4) SIUP3A Perpanjangan berlaku paling lama 3 (tiga) tahun kecuali ditentukan kurang dari 3 (tiga) tahun dalam surat penunjukan dan dapat diperpanjang sesuai dengan masa berlaku
penunjukan
yang
tercantum
dalam
surat
penunjukan. Pasal 26 (1) KP3A dapat mengubah ketentuan yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat di dalam Izin Kegiatan KP3A dengan mengajukan SIUP3A Perubahan, antara lain mencakup perubahan: a. keterangan . . .
- 42 -
a. keterangan tentang perusahaan asing yang diwakili: 1.
nama perusahaan principal;
2.
alamat kantor pusat/principal; dan
3.
kegiatan usaha;
b. tempat kedudukan kantor perwakilan di Indonesia: 1.
alamat;
2.
wilayah kegiatan; dan
3.
bidang kegiatan;
c. keterangan tentang pimpinan kantor perwakilan: 1.
nama;
2.
kewarganegaraan; dan
3.
nomor paspor/KTP;
4.
alamat (di negara asal dan di Indonesia);
d. penggunaan tenaga kerja: 1.
asisten kepala perwakilan;
2.
tenaga ahli; dan
3.
staf dan karyawan.
(2) Dengan terjadinya perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1),
perusahaan
harus
memiliki
SIUP3A
Perubahan. (3) Pengaturan terkait
SIUP3A Perubahan
sama dengan
pengaturan mengenai SIUP3A sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 Peraturan Kepala ini. Pasal 27 (1) KP3A
dapat
Perusahaan
membuka
Kantor
Perdagangan
Asing
Cabang di
Perwakilan
ibukota
Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota lainnya. (2) Pembukaan Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan
setelah
Kantor
Pusat
Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing memiliki SIUP3A.
(3) Izin . . .
- 43 -
(3) Izin Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
berlaku
paling
lama
3
(tiga)
tahun
kecuali
ditentukan kurang dari 3 (tiga) tahun dalam surat penunjukan dan dapat diperpanjang sesuai dengan masa berlaku
penunjukan
yang
tercantum
dalam
surat
penunjukan. Paragraf 4 Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing Pasal 28 (1) Izin Perwakilan diberikan kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi
Asing
sebagaimana
(BUJKA)
diatur
dalam
dengan
kualifikasi
peraturan
besar
perundang-
undangan. (2) Izin
Perwakilan
kegiatan
usaha
dapat jasa
digunakan konstruksi
untuk di
melakukan
seluruh
wilayah
Indonesia. (3) Izin Perwakilan berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Dalam penyelenggaraan kegiatannya, harus memiliki Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) dari PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I. (5) Izin Perwakilan BUJKA diterbitkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (6) Bentuk Izin Perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat
Surat
Penolakan
Izin
Perwakilan
BUJKA
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (8) Bentuk . . .
- 44 -
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Pasal 29 (1) Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) terdiri dari: a. Izin Baru BUJKA; b. Perpanjangan izin BUJKA; c. Pergantian data izin BUJKA; dan d. Penutupan izin BUJKA. (2) Permohonan
Izin
baru,
perpanjangan
Izin
dan/atau
pergantian data Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan biaya administrasi sebagai berikut: a. Bidang
jasa
konsultansi
perencana/pengawasan
konstruksi senilai USD 5.000 (lima ribu dolar Amerika Serikat); dan/atau b. Bidang jasa pelaksana konstruksi senilai USD 10.000 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (3) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) langsung disetor oleh BUJKA kepada kas Negara. (4) Permohonan pergantian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. pergantian data badan usaha; b. pergantian data alamat; c. perubahan jenis usaha; dan/atau d. pergantian data Kepala Perwakilan BUJKA. (5) Permohonan
penutupan
Izin
BUJKA
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diajukan pada PTSP Pusat di
BKPM
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
Bagian . . .
- 45 -
Bagian Kedelapan Penggunaan Tenaga Kerja Asing Paragraf 1 Umum Pasal 30 (1) Perusahaan
Penanaman
Perusahaan Asing
Modal
dan
Perwakilan
dapat mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing (TKA). (2) Untuk
dapat
memperkerjakan
TKA,
Perusahaan
Penanaman Modal dan Perwakilan Perusahaan Asing harus memiliki perizinan TKA, yaitu: a. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); dan b. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). (3) TKA yang akan bekerja pada Perusahaan Penanaman Modal dan Perwakilan Perusahaan Asing, yang sudah siap datang ke Indonesia wajib memiliki Visa Untuk Bekerja yang
diterbitkan
oleh
Kantor
Perwakilan
Republik
Indonesia di luar negeri. (4) Permohonan untuk perizinan TKA diajukan secara daring ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau PTSP KEK sesuai kewenangannya. Paragraf 2 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) Pasal 31 (1) Permohonan
untuk
memperoleh
pengesahan
RPTKA
diajukan pada PTSP Pusat di BKPM dengan menggunakan formulir RPTKA, sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan.
(2) Surat . . .
- 46 -
(2) Surat
Keputusan
Pengesahan
RPTKA
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (3) Setiap
perubahan
dan
perpanjangan
RPTKA
harus
memperoleh pengesahan RPTKA. (4) Perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perubahan jabatan, lokasi dan jumlah tenaga kerja asing diajukan pada PTSP Pusat di BKPM dengan menggunakan formulir RPTKA sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. (5) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada: a. PTSP Pusat di BKPM apabila lokasi kerjanya lintas provinsi, atau b. BPMPTSP Provinsi apabila lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi; dengan menggunakan formulir RPTKA sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. (6) Permohonan perubahan dan/atau perpanjangan RPTKA dilengkapi
persyaratan
sebagaimana
diatur
dalam
Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. (7) Atas permohonan
perubahan dan/atau perpanjangan
RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Keputusan Perubahan RPTKA yang ditandatangani oleh
pejabat
Kementerian
Ketenagakerjaan
sesuai
kewenangannya. (8) Surat
Keputusan
Perubahan
dan/atau
Perpanjangan
RPTKA diterbitkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
Paragraf 3 . . .
- 47 -
Paragraf 3 Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Pasal 32 (1) Permohonan IMTA diajukan pada PTSP Pusat di BKPM dengan menggunakan formulir IMTA, sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. (2) Surat Keputusan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (3) Surat Keputusan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Dalam hal perusahaan dan Perwakilan Perusahaan Asing akan
memperpanjang
IMTA
wajib
mengajukan
permohonan perpanjangan IMTA dengan menggunakan formulir IMTA, kepada: a. PTSP Pusat di BKPM untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi dan TKA yang bekerja di Kantor Perwakilan; b. BPMPTSP Provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas
wilayah
kabupaten/kota
dalam
1
(satu)
provinsi; atau c. BPMPTSP Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam satu kabupaten/kota. (5) Permohonan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum SK IMTA
dari
berlakunya, sebagaimana
TKA
yang
dengan diatur
bersangkutan menggunakan dalam
berakhir
masa
formulir
IMTA
Peraturan
mengenai
Ketenagakerjaan. (6) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pejabat Kementerian Ketenagakerjaan yang ditempatkan pada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota
menerbitkan
Surat
Keputusan
Perpanjangan IMTA. (7) Surat . . .
- 48 -
(7) Surat
Keputusan
Perpanjangan
IMTA
diterbitkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Bagian Kesembilan Angka Pengenal Importir Paragraf 1 Umum Pasal 33 (1) Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki Angka Pengenal Importir (API). (2) API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. API Produsen (API-P); dan b. API Umum (API-U); (3) Setiap importir hanya memiliki 1 (satu) jenis API dan Penandatangan
Kartu API adalah Direksi dan Kuasa
Direksi. (4) API berlaku sejak ditetapkan dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. (5) Permohonan API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP Provinsi sesuai kewenangannya secara manual, menggunakan formulir
permohonan
Lampiran
XVII
sebagaimana
dilengkapi
tercantum
dengan
dalam
persyaratan
sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (6) Perusahaan pemilik API sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan pendaftaran ulang pada PTSP Pusat di
BKPM
atau
BPMPTSP
Provinsi,
sesuai
dengan
kewenangannya, setiap 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan.
(7) Pendaftaran . . .
- 49 -
(7) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah masa 5 (lima) tahun. (8) API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (9) Bentuk API yang diterbitkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (10) Dalam hal permohonan API sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan API selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja. (11) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Paragraf 2 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) Pasal 34 (1) API-P
diberikan
hanya
kepada
perusahaan
yang
melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi. (2) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain. (3) Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan barang modal yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan telah dipergunakan sendiri dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun sejak tanggal
pemberitahuan
pabean
impor,
barang
impor
tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Paragraf 3 . . .
- 50 -
Paragraf 3 Angka Pengenal Importir Umum (API-U) Pasal 35 (1) API-U
diberikan
melakukan
hanya
impor
kepada
barang
perusahaan
tertentu
untuk
yang tujuan
diperdagangkan. (2) Impor barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk kelompok/jenis barang yang tercakup 1 (satu) bagian (section) sebagaimana tercantum pada Daftar Bagian Dalam Sistem Klasifikasi Barang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. (3) Perusahaan
pemilik
API-U
dapat
mengimpor
kelompok/jenis barang lebih dari 1 (satu) bagian (section) apabila: a. perusahaan pemilik API-U tersebut mengimpor barang yang berasal dari perusahaan yang berada di luar negeri
dan
memiliki
hubungan
istimewa
dengan
perusahaan pemilik API-U dimaksud; atau b. perusahaan pemilik API-U tersebut merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara. (4) Daftar
Bagian
Dalam
Sistem
Klasifikasi
Barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat diperoleh melalui: a. persetujuan kontraktual untuk berbagi pengendalian terhadap suatu aktivitas ekonomi; b. kepemilikan saham; c. anggaran dasar; d. perjanjian keagenan/distributor; e. perjanjian pinjaman (loan agreement); f.
perjanjian penyediaan barang (supplier agreement); atau
g. diatur dalam peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 . . .
- 51 -
Paragraf 4 Perubahan API Pasal 36 (1) Untuk setiap perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam API harus mengajukan permohonan perubahan API. (2) Pengaturan
terkait
perubahan
API
sama
dengan
pengaturan mengenai API sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 Peraturan Kepala ini. Bagian Kesembilan Pembukaan Kantor Cabang Pasal 37 (1) Perusahaan yang akan membuka Kantor Cabang melaporkan rencana
Pembukaan
Kantor
Cabang
kepada
BPMPTSP
Provinsi sesuai lokasi Kantor Cabang. (2) Laporan rencana pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
dilengkapi
dengan
dokumen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (3) Persetujuan
atas
rencana
pembukaan
kantor
cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. (4) Bentuk Persetujuan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
BAB V . . .
- 52 -
BAB V JENIS, PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN SEKTORAL Bagian Kesatu Umum Pasal 38 (1) Jenis Perizinan dan Nonperizinan sektoral yang diatur dalam
Peraturan
Kepala
ini
adalah
Perizinan
dan
Nonperizinan yang diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya. (2) Jenis
Perizinan
dan
Nonperizinan
sektoral
yang
merupakan kewenangan Pemerintah Daerah mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK terkait, Gubernur dan Bupati/Walikota. Bagian Kedua Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 39 Jenis Perizinan di Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat antara lain: a. Izin penanaman modal di bidang usaha pengusahaan jalan tol; b. Izin usaha pengusahaan air minum; c. Izin usaha pembangunan dan pengusahaan properti; d. Izin usaha jasa konstruksi asing; e. Izin usaha jasa konsultansi konstruksi asing; dan f.
Izin usaha bidang perumahan; Paragraf 2 . . .
- 53 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Perizinan Pasal 40 (1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
manual,
menggunakan
formulir
permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang
lengkap
dan
benar
atau
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 54 -
(6) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f mengikuti
ketentuan
teknis
dari
instansi
pembina
sektornya, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf d dan huruf e, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Ketiga Sektor Perdagangan Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 41 Jenis Perizinan di Sektor perdagangan antara lain: a. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk eksportir, importir dan distributor; b. Surat Izin Usaha Pergudangan untuk jasa pergudangan dan cold storage; c. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk jasa konsultansi manajemen bisnis; d. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk jasa Pengelolaan Gedung/ Apartemen; e. Surat . . .
- 55 -
e. Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Sementara; dan f.
Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Tetap dan Pendaftaran Ulang Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL). Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 42
(1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diajukan secara manual, menggunakan formulir permohonan sebagaimana tercantum
dalam
Lampiran
II
dilengkapi
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (3) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, secara daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(4) Bagi . . .
- 56 -
(4) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (5) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (6) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang
lengkap
dan
benar
atau
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina
sektornya,
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Paragraf 3 Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Pasal 43 (1) Perusahaan Penanaman Modal yang telah memiliki Izin Prinsip untuk melakukan kegiatan di bidang usaha penjualan langsung (multi level marketing/MLM) dan telah siap untuk melakukan kegiatan operasi, wajib memiliki Izin
Usaha
dengan
nomenklatur
Surat
Izin
Usaha
Penjualan Langsung (SIUPL). (2) Dalam. . .
- 57 -
(2) Dalam
proses
penerbitan
Izin
Usaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perusahaan harus melakukan presentasi tentang program pemasaran/marketing plan dan kode etik di hadapan pejabat BKPM, Direktorat Bina Usaha Kementerian Perdagangan, dan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) pada PTSP Pusat di BKPM. (3) Masa berlaku: a. SIUPL Sementara adalah 1 tahun; dan b. SIUPL Tetap adalah selama perusahaan menjalankan bidang
usahanya,
dengan
kewajiban
melakukan
pendaftaran ulang setiap 5 (lima) tahun. (4) Bentuk SIUPL Sementara, SIUPL Tetap dan Pendaftaran Ulang
SIUPL
tercantum
dalam
Lampiran
XXII
dan
Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Keempat Sektor Pariwisata Paragraf 1 Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 44 Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Pariwisata antara lain: a. Tanda Daftar Usaha Daya Tarik Wisata; b. Tanda Daftar Usaha Kawasan Pariwisata; c. Tanda Daftar Usaha Jasa Transportasi Wisata; d. Tanda Daftar Usaha Jasa Perjalanan Wisata; e. Tanda Daftar Usaha Jasa Makanan dan Minuman; f.
Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi;
g. Tanda Daftar Usaha Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi;
h. Tanda . . .
- 58 -
h. Tanda
Daftar
Usaha
Penyelenggaraan
Pertemuan,
Perjalanan Insentif, Konferensi dan Pameran; i.
Tanda Daftar Usaha Jasa Informasi Pariwisata;
j.
Tanda Daftar Usaha Jasa Konsultan Pariwisata;
k. Tanda Daftar Usaha Wisata Tirta; l.
Tanda Daftar Usaha Usaha Spa;
m. Surat Izin Produksi (SIP) film oleh produser film/TV asing di Indonesia; n. Izin Usaha Perfilman Jasa Teknik Film; o. Izin Usaha Perfilman Pengedaran Film; p. Izin Usaha Perfilman Pengarsipan Film; q. Izin Usaha Perfilman Ekspor Film; r.
Izin Usaha Perfilman Impor Film; dan
s. Rekomendasi Terkait Pemberian Izin Lokasi Syuting. Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 45 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l dilengkapi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l, diajukan ke PTSP Pusat
di
BKPM,
BPMPTSP
Provinsi,
BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(3) Bagi . . .
- 59 -
(3) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (5) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a sampai
dengan
menggunakan tercantum
huruf
l,
formulir
dalam
diajukan
secara
permohonan
Lampiran
II
manual,
sebagaimana
dilengkapi
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (6) Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l mengikuti ketentuan teknis dari instasi pembina sektor, sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
III
yang
Peraturan
Kepala ini. (8) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf m sampai dengan huruf s diatur dalam Peraturan mengenai Pariwisata. (9) Dalam . . .
- 60 -
(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Perizinan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Paragraf 3 Jangka Waktu Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi Pasal 46 Khusus untuk Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi jangka waktu diberikan dalam 2 (dua) tahap: a. Bagi perusahaan yang belum memiliki sertifikasi bintang dari Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU), diberikan Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi yang berlaku 1 (satu) tahun; atau b. Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi bintang dari Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU), wajib mengajukan Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi yang berlaku sepanjang perusahaan masih beroperasi. Bagian Kelima Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 47 Jenis Perizinan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral antara lain: a. Izin Usaha Jasa Penunjang Minyak Dan Gas Bumi; b. Izin Usaha Jasa Pertambangan; c. Izin Sektor Panas Bumi; d.Izin. . .
- 61 -
d. Izin Sektor Ketenagalistrikan; e. Izin Sektor Minyak dan Gas Bumi; dan f.
Izin Sektor Mineral dan Batu Bara. Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 48
(1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 47 huruf a dan b, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi,
BPMPTSP
Kabupaten/Kota,
PTSP
KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi
dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan
b,
diajukan
secara
manual,
dilengkapi
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan . . .
- 62 -
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang
lengkap
dan
benar
atau
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan b mengikuti ketentuan
teknis
sebagaimana
dari
tercantum
instansi dalam
pembina
Lampiran
sektor, III
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 diatur dalam Peraturan mengenai Energi dan Sumber Daya Mineral. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Keenam Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan Paragraf 1 Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 49 Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan antara lain: a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA);
b. Izin . . .
- 63 -
b. Izin
Usaha
Pemanfaatan
Hasil
Hutan
Kayu
Hutan
Tanaman Industri Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI); c. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK–RE); d. Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA); e. Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon Dan/Atau Penyimpanan Karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP PAN-KARBON) Pada Hutan Lindung; f.
Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon Dan/Atau Penyimpanan Karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP PAN-KARBON) Pada Hutan Produksi;
g. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu di atas 6.000 m3/tahun; h. Izin Perluasan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu di atas 6.000 m3/tahun; i.
Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Pastura Pada Hutan Produksi;
j.
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
k. Pelepasan Kawasan Hutan; l.
Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam;
m. Izin Lembaga Konservasi; n. Izin Pengusahaan Taman Buru; o. Izin Peminjaman Satwa Liar Dilindungi Ke Luar Negeri Untuk Kepentingan Pengembangbiakan (breeding loan); p. Izin Usaha Pemanfaatan Air Untuk Skala Menengah dan Skala Besar di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya; dan q. Izin Usaha Pemanfaatan Energi Air Untuk Skala Menengah dan Skala Besar di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya.
Paragraf 2 . . .
- 64 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 50 (1) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM secara manual. (2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dalam Peraturan mengenai Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Ketujuh Sektor Pertanian Paragraf 1 Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 51 Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Pertanian antara lain: a. Izin Usaha Tanaman Pangan; b. Izin Usaha Hortikultura; c. Izin Usaha Perkebunan; d. Izin Usaha Peternakan; e. Izin Usaha Obat Hewan (produsen); dan f.
Rekomendasi teknis; Paragraf 2 . . .
- 65 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 52 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diajukan secara manual,
dilengkapi
dengan
persyaratan
sebagaimana
tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang
lengkap
dan
benar
atau
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 66 -
(6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a sampai dengan huruf e mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina sektor, sebagaimana
tercantum
pada
Lampiran
III
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf f diatur dalam Peraturan mengenai Pertanian. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Kedelapan Sektor Perindustrian Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 53 Jenis Perizinan di Sektor Perindustrian antara lain: a. Izin Usaha Industri; dan b. Izin Usaha Kawasan Industri.
Paragraf 2 . . .
- 67 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 54 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 53, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan Perizinan
PTSP
KEK
perizinan
sebagaimana
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
dimaksud
dalam
Pasal
53,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
merupakan bagian tidak terpisahkan
I
yang
dari Peraturan
Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang
lengkap
dan
benar
atau
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 68 -
(6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari instansi
pembina
bidang
usahanya,
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
membuat
Surat
Penolakan
Izin
Usaha
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Kesembilan Sektor Kesehatan Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 55 Jenis Perizinan di Sektor Kesehatan antara lain: a. Izin Usaha untuk Izin Industri Farmasi Obat; b. Izin Usaha untuk Izin Industri Farmasi Bahan Obat; c. Izin Usaha untuk Izin Alat Kesehatan; d. Izin Usaha untuk Izin Rumah Sakit Kelas A; e. Izin Usaha untuk Izin Rumah Sakit PMA; f.
Izin Usaha untuk Izin Bank Sel Punca;
g. Izin Usaha untuk Izin Laboratorium Pengolahan Sel Punca; h. Izin Usaha untuk Izin Klinik Utama/Spesialis PMA; dan i.
Izin Usaha untuk Izin Bank Jaringan. Paragraf 2 . . .
- 69 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 58 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 55 diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara manual. (2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diatur dalam Peraturan mengenai Kesehatan. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Kesepuluh Sektor Komunikasi dan Informatika Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 57 Jenis Perizinan di Sektor Komunikasi dan Informatika antara lain: a. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Nasional; b. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Provinsi; c. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Kabupaten/Kota; d. Izin Usaha Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi; e. Izin Usaha Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi; f.
Izin
Usaha
Penetapan
Lembaga
Uji
Perangkat
Telekomunikasi; g. Izin . . .
- 70 -
g. Izin Usaha Penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta; h. Izin Usaha Penyelenggaraan penyiaran Lembaga-Lembaga Penyiaran Berlangganan; i.
Verifikasi operasional penyelenggaraan pos;
j.
Izin prinsip penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
k. Izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi teleponi dasar, multimedia dan nilai tambah teleponi; l.
Izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi untuk Badan Hukum;
m. Izin stasiun radio: pita frekuensi radio dan kanal frekuensi radio; n. Sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi; o. Pengujian alat dan perangkat telekomunikasi; p. Penempatan lembaga uji; dan q. Pendaftaran Penyelenggaraan sistem elektronika. Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 58 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 57 huruf a sampai dengan huruf h, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi
dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi . . .
- 71 -
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a sampai
dengan
huruf
h,
diajukan
secara
manual,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
dimaksud
dalam
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
Pasal 57 huruf i sampai dengan huruf q, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM secara manual. (6) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
atau
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. (7) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 huruf a sampai dengan huruf h mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina sektor, sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
III
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (8) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
57
diatur
dalam
Peraturan
mengenai Komunikasi dan Informatika. (9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (10) Bentuk . . .
- 72 -
(10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Kesebelas Sektor Kelautan Dan Perikanan Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 59 Perizinan di Sektor Kelautan dan Perikanan, yaitu Izin Usaha Tetap Perikanan Budidaya. Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 60 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 59, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi . . .
- 73 -
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan Perizinan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
sebagaimana
belum
menerapkan
daring,
permohonan
dimaksud
dalam
Pasal
59,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
merupakan bagian tidak terpisahkan
I
yang
dari Peraturan
Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari instansi
pembina
bidang
usahanya,
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya,
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Keduabelas Sektor Pendidikan dan Kebudayaan Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 61 Perizinan di Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Izin Usaha Pendidikan Non-formal. Paragraf 2 . . .
- 74 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 62 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 61, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan Perizinan
PTSP
KEK
perizinan
sebagaimana
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
dimaksud
dalam
Pasal
61,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
I
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 75 -
(6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari instansi
pembina
bidang
usahanya,
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya,
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Bagian Ketigabelas Sektor Ketenagakerjaan Paragraf 1 Jenis Perizinan Pasal 63 Jenis Perizinan di Sektor Ketenagakerjaan antara lain: a. Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Dalam Negeri; b. Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh; dan c. Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Paragraf 2 Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja Pasal 64 (1) Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja meliputi: a. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja baru. b. Penerbitan . . .
- 76 -
b. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja perpanjangan. c. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja perubahan
yang
mencakup
Perubahan
nama
perusahaan, perubahan alamat dan/atau Perubahan direksi atau komisaris. (2) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM secara manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (3) Pelaksanaan verifikasi: a. Pada saat penyerahan dokumen, perusahaan wajib menunjukkan dokumen aslinya; b. Verifikasi
terdiri
dari
verifikasi
dokumen,
pemaparan/ekspose dan verifikasi lapangan; c. Pemaparan/ekspose
dilakukan
oleh
pimpinan
perusahaan atau setingkat direktur kepada tim yang terdiri dari unsur BKPM dan Kementerian atas profile usaha dan rencana kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun kedepan. (4) Penerbitan Izin: a. Perizinan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya dengan lengkap dan benar laporan verifikasi dokumen, pemaparan/ekspose, dan verifikasi lapangan,
atau
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; b. Izin usaha diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka waktu yang sama;
c. Dalam . . .
- 77 -
c. Dalam
hal
hasil
verifikasi
dokumen,
pemaparan/ekspose dan verifikasi lapangan sesuai dengan dokumen yang dipersyaratkan maka Kepala BKPM untuk atas nama menteri menerbitkan izin usahanya; d. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. e. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf c ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. f.
Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada huruf
d
tercantum
dalam
Lampiran
IV
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. g. Izin usaha perpanjangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang
diajukan
melampaui
batas
waktu
yang
ditetapkan. h. Dalam hal perusahaan tidak melakukan pengajuan perpanjangan izin usaha jasa penempatan tenaga, maka perusahaan wajib mengembalikan izin usaha tersebut kepada Kepala BKPM atas nama Menteri. . Paragraf 3 Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh Pasal 65 (1) Izin Usaha penyediaan jasa pekerja/buruh yaitu izin yang tertulis
diberikan
kepada
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh yang memiliki modal asing dan memenuhi syarat untuk
melaksanakan usaha penyediaan jasa
pekerja/buruh. (2) Permohonan . . .
- 78 -
(2) Permohonan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/buruh meliputi: a. Penerbitan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/buruh baru; b. Penerbitan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/ buruh perpanjangan. (3) Syarat
perusahaan
PMA
yang
dapat
mengajukan
permohonan izin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi: a. Mempunyai izin prinsip; b. Berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; c. Mempunyai kantor dan alamat tetap; d. Mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP); e. Mempunyai tanda daftar perusahaan (TDP). f.
Mempunyai izin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh (khusus untuk perpanjangan); dan
g. Mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan (khusus untuk perpanjangan). (4) Jenis kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh yang dapat dilakukan perusahaan PMA: a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. Usaha
penyediaan
makanan
bagi
pekerja/buruh
(catering); c. Usaha
tenaga
pengamanan
(security/satuan
pengamanan); d. Usaha
jasa
penunjang
di
pertambangan
dan
perminyakan; dan e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
(5) Penerbitan . . .
- 79 -
(5) Penerbitan Izin: a. Perizinan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak persyaratan diteliti dan diterima dengan lengkap dan
benar,
atau
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan b. Izin pelatihan kerja diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka waktu yang sama; c. Pada saat penyerahan dokumen, perusahaan wajib menunjukan dokumen aslinya; d. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan dokumen yang dipersyaratkan maka kepala BKPM menerbitkan izin usaha pelatihan kerja; e. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. f.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
g. Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada huruf
e
tercantum
dalam
Lampiran
IV
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. . Paragraf 4 Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Pasal 66 (1) Lembaga Pelatihan Kerja yaitu instansi pemerintah, badan
hukum
atau
perseorangan
yang
memenuhi
persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. (2) Permohonan . . .
- 80 -
(2) Permohonan
Izin
Usaha
Lembaga
Pelatihan
Kerja
meliputi: a. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja baru; b. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja perpanjangan; c. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja perubahan/ penambahan program pelatihan. (3) Pelaksanaan verifikasi: a. Verifikasi terdiri dari verifikasi dokumen dan lapangan; b. Verifikasi dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur BKPM dan Kementerian; (4) Penerbitan Izin: a. Perizinan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya dengan lengkap dan benar laporan verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan,
atau
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan b. Izin pelatihan kerja diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka waktu yang sama; c. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan dokumen yang dipersyaratkan maka PTSP Pusat di BKPM menerbitkan izin usaha pelatihan kerja; d. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan. e. LPK yang telah mendapatan izin harus melapor kepada instansi
yang
ketenagakerjaan
bertanggung
jawab
kabupaten/kota
di
di mana
bidang LPK
berlokasi. f.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. g. Bentuk . . .
- 81 -
g. Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada huruf
e
tercantum
dalam
Lampiran
IV
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. h. Perpanjangan
izin
pelatihan
kerja
sebagaimana
dimaksud pada huruf a, tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan melampaui batas waktu yang telah ditetapkan. Bagian Keempatbelas Sektor Kepolisian Paragraf 1 Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 67 Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Kepolisian antara lain: a. Izin Usaha Jasa Konsultansi Keamanan; b. Izin Usaha Jasa Penerapan Peralatan Keamanan; c. Izin Usaha Jasa Pendidikandan Latihan Keamanan; d. Izin Usaha Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga; e. Izin Usaha Jasa Penyediaan Tenaga Keamanan; f.
Izin Usaha Jasa Penyediaan Satwa;
g. Surat Izin Operasional (SIO).
Paragraf 2 . . .
- 82 -
Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 68 (1) Permohonan
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 67 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya
secara
daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran
I
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem permohonan secara daring. (3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda terima dalam sistem permohonan secara daring. (4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB
atau
permohonan
PTSP
KEK
perizinan
yang
secara
belum
menerapkan
daring,
permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, diajukan secara
manual,
sebagaimana
dilengkapi
tercantum
dalam
dengan
persyaratan
Lampiran
I
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Bentuk . . .
- 83 -
(6) Bentuk
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan teknis
dari
sebagaimana
instansi tercantum
pembina
bidang
dalam
Lampiran
usahanya, III
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf g diatur dalam Peraturan mengenai Kepolisian. (8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP
KEK
sesuai
kewenangannya,
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini Bagian Kelimabelas Sektor Perhubungan Paragraf 1 Jenis Perizinan dan Nonperizinan Pasal 69 Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Perhubungan antara lain: a. Surat Izin Usaha Perusahaan Angkatan Laut (SIUPAL); b. Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS); c. Surat Penetapan Badan Usaha Pelabuhan;
d. Surat . . .
- 84 -
d. Surat Izin Usaha Perusahaan Salvage Dan Pekerjaan Bawah Air; e. Izin Usaha Perekrutan Dan Penempatan Awak Kapal (IUPPAK); f.
Izin Pengusahaan Bandar Udara Komersil (Izin Badan Usaha Bandar Udara);
g. Izin Usaha Angkutan Udara. Paragraf 2 Pedoman dan Tata Cara Pasal 70 (1) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara manual. (2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
69
diatur
dalam
Peraturan
mengenai Perhubungan. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditolak,
PTSP
Pusat
di
BKPM,
membuat
Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan menyebutkan alasan penolakan. (4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
BAB VI . . .
- 85 -
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Penandatangan Pasal 71 (1) Penerbitan
Perizinan
dan
Nonperizinan
berdasarkan
pelimpahan dan/atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ditandatangani oleh Kepala BKPM atas nama Menteri/Kepala LPNK, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Menteri/Kepala LPNK. (2) Penerbitan
Perizinan
dan
Nonperizinan
berdasarkan
pelimpahan dan/atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ditandatangani oleh Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal atas nama Kepala BKPM untuk Menteri/Kepala LPNK, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Menteri/Kepala LPNK. Pasal 72 Penerbitan
Perizinan
pendelegasian
dan
dan
Nonperizinan
pelimpahan
wewenang
berdasarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, ditandatangani oleh Kepala BPMPTSP Provinsi. Pasal 73 Penerbitan
Perizinan
pendelegasian
dan
dan
Nonperizinan
pelimpahan
wewenang
berdasarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, ditandatangani oleh Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
Pasal 74 . . .
- 86 -
Pasal 74 Penerbitan
Perizinan
dan
Nonperizinan
di
KPBPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d, dilaksanakan
oleh
PTSP
KPBPB
berdasarkan
Perundang-undangan terkait KPBPB
Peraturan
dengan berpedoman
pada Peraturan ini, ditandatangani oleh Kepala PTSP KPBPB. Pasal 75 Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e dilaksanakan oleh PTSP terkait
KEK
berdasarkan
KEK
dengan
peraturan
perundang-undangan
berpedoman
pada
Peraturan
ini,
permohonan
Perizinan
dan
ditandatangani oleh Kepala PTSP KEK. Bagian Kedua SPIPISE Pasal 76 (1) Perusahaan
mengajukan
Nonperizinan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSPKabupaten/Kota,
PTSP
KPBPB,
PTSP
KEK,
sesuai kewenangannya, secara daring melalui SPIPISE. (2) Perusahaan daring
yang
menyampaikan
sebagaimana
dimaksud
permohonan
pada
ayat
(1)
secara wajib
mengunggah seluruh dokumen asli perusahaan ke dalam folder perusahaan yang tersedia dalam SPIPISE. (3) Bagi perusahaan yang telah memiliki folder perusahaan dapat mengunggah tambahan kelengkapan dokumen asli sesuai dengan jenis permohonan yang disampaikan. (4) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang belum dapat dilakukan secara daring melalui SPIPISE, dapat diajukan secara manual.
Bagian . . .
- 87 -
Bagian Ketiga Sanksi Pasal 77 Perusahaan
(1) Direksi/Pimpinan
dan/atau
pemohon
Perizinan dan Nonperizinan yang memberikan keterangan dan/atau data palsu, tidak dapat melakukan pengurusan Perizinan dan Nonperizinan pada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, sesuai dengan kewenangannya, untuk paling sedikit 1 (satu) tahun dan akan diumumkan secara terbuka. (2) Direksi/Pimpinan
Perusahaan
dan/atau
pemohon
Perizinan dan Nonperizinan yang memberikan keterangan dan/atau
data
palsu
yang
telah
terbukti
dalam
permohonan Penanaman Modal yang disampaikan pada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP
KPBPB,
PTSP
KEK,
sesuai
kewenangannya, akan dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Surat Kuasa Pasal 78 (1) Pengurusan
permohonan
Perizinan
dan
Nonperizinan
Penanaman Modal ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau PTSP KEK, sesuai dengan kewenangannya, dilakukan oleh: a. direksi/pimpinan perusahaan sebagai pemohon; b. karyawan perusahaan yang diberi kuasa khusus untuk pengurusan permohonan tanpa hak substitusi; c. Advokat perseorangan; d. Advokat
yang
membentuk
persekutuan
perdata
sebagai konsultan hukum; e. Notaris . . .
- 88 -
e. Notaris; f.
Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan; atau
g. Perusahaan
Badan
Hukum
Indonesia
Penanaman
Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi; (2) Karyawan atau kuasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g harus mempunyai kompetensi
dan
kemampuan
untuk
memberikan
keterangan yang lengkap dan akurat kepada Pejabat PTSP Pusat
di
BKPM,
Kabupaten/Kota,
BPMPTSP
PTSP
KPBPB,
Provinsi, PTSP
BPMPTSP
KEK,
sesuai
kewenangannya serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. (3) Pemberian kuasa kepada Karyawan atau kuasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g wajib dilengkapi dengan surat kuasa asli bermeterai cukup, identitas diri yang jelas dari pemberi dan penerima kuasa, serta legalitas penerima kuasa. (4)
Legalitas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebagai berikut: a. Karyawan
perusahaan:
Surat
keputusan
pengangkatan sebagai pegawai/kontrak kerja dengan perusahaan atau surat keterangan sebagai karyawan; b. Advokat Perseorangan: kartu advokat (tidak dapat ditugaskan
kepada
associate/karyawan
kantor/perusahaan); c. Kantor Konsultan Hukum: akta pendirian firma atau akta persekutuan perdata, surat keputusan sebagai pegawai atau kontrak kerja dengan Kantor konsultan Hukum atau surat keterangan sebagai karyawan; d. Kantor Notaris: Surat Keputusan Penetapan Notaris dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Surat keputusan
sebagai
pegawai
atau
kontrak
kerja
dengan Kantor Notaris; e. Perwakilan . . .
- 89 -
e. Perwakilan kamar dagang dan industri dari negara calon pemegang saham perusahaan (Chamber of Commerce): surat keputusan sebagai pegawai atau kontrak kerja dengan perusahaan; f.
Kantor Konsultan berbadan hukum Indonesia (100% Dalam Negeri): Izin Usaha/SIUP (jasa konsultasi manajemen
bisnis/pengurusan
dokumen),
Surat
keputusan sebagai karyawan perusahaan Pasal 79 (1) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (3) wajib
menggunakan
format/bentuk
surat
kuasa
sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKPM ini. (2) Bentuk
surat
kuasa
penandatanganan
permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. (3) Bentuk
surat
kuasa
pengurusan
permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini. Pasal 80 Direksi/Pimpinan Perusahaan dan/atau pemohon Perizinan dan Nonperizinan wajib memahami, menyetujui, menjamin dan bertanggungjawab atas: a.
keaslian seluruh dokumen yang disampaikan;
b.
kesesuaian semua rekaman data yang disampaikan dengan
dokumen
aslinya
(jika
disampaikan
secara
manual); dan c.
keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan
Bagian . . .
- 90 -
Bagian Kelima Standar Penomoran Perizinan Pasal 81 (1) Dalam rangka penyeragaman penomoran atas Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP
KPBPB,
PTSP
KEK,
perlu
dilakukan pengaturan format penomoran. (2) Format penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup
penomoran
perusahaan
serta
penomoran
produk Perizinan dan Nonperizinan. (3) Penomoran perusahaan diberikan secara otomatis oleh SPIPISE. (4) Penomoran produk Perizinan mencakup komponen antara lain: a. nomor urut surat; b. kode wilayah instansi penyelenggara PTSP penerbit Perizinan; c. kode jenis Perizinan yang diterbitkan; d. kode jenis perusahaan penanaman modal; e. tahun penerbitan Perizinan; setiap
komponen
tersebut
dipisahkan
dengan
garis
miring. (5) Penomoran produk Nonperizinan mencakup komponen antara lain: a. nomor urut surat; b. kode wilayah instansi penyelenggara PTSP penerbit Nonperizinan; c. kode pejabat penandatangan; d. kode jenis Nonperizinan yang diterbitkan; e. tahun penerbitan Nonperizinan; setiap
komponen
tersebut
dipisahkan
dengan
garis
miring. Pasal 82 . . .
- 91 -
Pasal 82 (1) Kode wilayah PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf b, diatur sebagai berikut: a. penulisan kode wilayah untuk PTSP Pusat adalah angka 1 (satu); b. penulisan kode wilayah untuk PTSP KPBPB adalah KPBPB- diikuti kode wilayah dimana KPBPB tersebut berada; c. penulisan kode wilayah untuk PTSP KEK adalah KEKdiikuti kode wilayah dimana KEK tersebut berada; d. penulisan kode wilayah untuk BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, mengacu kepada ketentuan kode wilayah yang diatur oleh Badan Pusat Statistik; e. penulisan kode wilayah untuk BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota,
diawali
dengan
kode
wilayah provinsi dilanjutkan dengan kode wilayah kabupaten/kota mengacu kepada ketentuan kode wilayah yang diatur oleh Badan Pusat Statistik; (2) Kode jenis Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf c, diatur sebagai berikut: a. Izin Usaha adalah IU (huruf dalam kapital); b. Izin Usaha Perluasan adalah IU-PL (huruf dalam kapital); c. Izin Usaha Perubahan adalah IU-PB (huruf dalam kapital); d. Izin
Usaha
Penggabungan
Perusahaan
adalah
IU-PP (huruf dalam kapital). (3) Kode jenis Perusahaan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf d adalah: a. kode untuk Penanaman Modal yang mengandung modal asing adalah PMA (huruf dalam kapital);
b. kode . . .
- 92 -
b. kode untuk Penanaman Modal yang seluruh modalnya adalah modal dalam negeri adalah PMDN (huruf dalam kapital). BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 83 (1) Semua Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Kepala
ini
dinyatakan
tetap
berlaku
sampai
masa
berlakunya Perizinan berakhir. (2) Dalam hal masa berlaku Izin Prinsip perusahaan telah habis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), perusahaan dapat mengajukan Izin Usahanya paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Kepala ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 84 Dengan berlakunya Peraturan Kepala ini, Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 85 Peraturan Kepala ini mulai berlaku: (1)
untuk PTSP Pusat di BKPM setelah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diundangkan; dan
(2)
untuk BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, dan PTSP KEK selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak tanggal diundangkan. Agar . . .
- 93 -
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
Pengundangan Peraturan Kepala ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,
FRANKY SIBARANI Diundangkan di Jakarta pada tanggal DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
WIDODO EKATJAHJANA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
NOMOR
DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL NO
LAMPIRAN
JUDUL
1.
LAMPIRAN I
Persyaratan Perizinan dan Nonperizinan
2.
LAMPIRAN II
Bentuk formulir Izin Usaha/Izin Perluasan (khusus bidang
industri)/Izin
Penggabungan
Usaha
Perluasan/Izin
Perusahaan/Izin
Usaha
Usaha
Penjualan
Langsung/ Izin Usaha Jasa Konstruksi/Tanda Daftar Usaha (khusus di bidang kepariwisataan) 3.
LAMPIRAN III
Bentuk Izin Usaha Penanaman Modal Asing/Izin Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri
4.
LAMPIRAN IV
Bentuk Surat Penolakan
5.
LAMPIRAN V
Bentuk Izin Perluasan (Khusus di bidang industri)/ Izin Usaha Perluasan
6.
LAMPIRAN VI
Bentuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal
7.
LAMPIRAN VII
Bentuk Permohonan Perubahan Penanaman Modal
8.
LAMPIRAN VIII
Bentuk Izin Usaha Perubahan
9.
LAMPIRAN IX
Bentuk Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
10.
LAMPIRAN X
Bentuk Perubahan Ketentuan Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
11.
LAMPIRAN XI
Bentuk
Surat
Persetujuan
Sementara
Penunjukan
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing 12.
LAMPIRAN XII
Bentuk
Izin
Usaha
Kantor
Perwakilan
Perusahaan
Perdagangan Asing 13.
LAMPIRAN XIII
Bentuk Perpanjangan
Izin Usaha Kantor Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing 14.
LAMPIRAN XIV
Bentuk
Perubahan
Izin
Usaha
Kantor
Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing 15.
LAMPIRAN XV
Bentuk Izin Usaha Jasa Konstruksi Penanaman Modal Asing
16.
LAMPIRAN XVI
Bentuk Formulir Angka Pengenal Impor
17.
LAMPIRAN XVII
Bentuk Angka Pengenal Importir Produsen
NO
LAMPIRAN
JUDUL
18.
LAMPIRAN XVIII
Bentuk Angka Pengenal Importir Umum
19.
LAMPIRAN XIX
Bentuk Izin Pembukaan Kantor Cabang
20.
LAMPIRAN XX
Bentuk Izin Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing
21.
LAMPIRAN XXI
Bentuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Sementara
22.
LAMPIRAN XXII
Bentuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Tetap
23.
LAMPIRAN XXIII
Bentuk Surat Kuasa Penandatanganan
24.
LAMPIRAN XXIV
Bentuk Surat Kuasa Pengurusan
LAMPIRAN I PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL PERSYARATAN PERIZINAN DAN NONPERIZINAN No.
Jenis Perizinan
1.
Izin Usaha/Izin
Persyaratan 1. Rekaman
perizinan
berupa
Izin
Usaha/Izin
Prinsip/Izin
Usaha
Investasi/Izin
Kementerian/
Perluasan
Lembaga/Dinas terkait yang telah dimiliki; 2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dilengkapi dengan pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dan persetujuan/pemberitahuan perubahan dari Menteri Hukum dan HAM, dan perubahannya (apabila ada) 3. NPWP perusahaan; 4. Rekaman legalitas lokasi proyek dan/atau alamat perusahaan terdiri dari: a. Rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau bangunan
untuk
kantor
dan/atau
gudang
jual-beli
(PPJB)
berupa: 1) Perjanjian
pengingkatan
disertai dengan bukti pelunasan, atau 2) akta
jual
beli
oleh
PPAT
atas
nama
Perusahaan, atau 3) sertifikat Hak Atas Tanah, dan 4) IMB; atau b. Bukti
perjanjian
sewa
menyewa
tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman perjanjian
sewa-menyewa
bangunan
atas
nama
jangka waktu sewa:
tanah
perusahaan
dan/atau dengan
-2-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha industri, 2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha jasa/perdagangan, terhitung sejak tanggal permohonan diajukan; Keterangan: - dengan mencantumkan luasan lahan yang dipergunakan. - bila kurang dari jangka waktu tersebut, dilampirkan surat keterangan dari direksi untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi lain. c. Bukti afiliasi dan perjanjian pinjam pakai, bila: 1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh dan terpadu dengan beberapa perusahaan lainnya yang memiliki afiliasi, atau 2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada
di
lahan
atau
bangunan
yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki afiliasi, 3) afiliasi
sebagaimana
dimaksud
di
atas,
apabila 1 (satu) grup perusahaan, yang dibuktikan
dengan
kepemilikan
saham
dalam Akta perusahaan. 5. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri. 6. Kelengkapan
perizinan
daerah
sesuai
lokasi
proyek: a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah setempat; b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri
atau
gedung
perkantoran,
tidak
-3-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan diwajibkan
melampirkan
rekaman
Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU; 7. Rekaman
dokumen
lengkap
persetujuan/pengesahan Dampak
Lingkungan
Analisis (AMDAL)
dan Mengenai
atau
Upaya
Pengelolaan
Lingkungan
(UKL)
dan
Upaya
Pemantauan
Lingkungan
(UPL)
atau
Surat
Pernyataan
Kesanggupan
Pengelolaan
dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL); 8. Rekaman Izin Lingkungan untuk perusahaan yang telah memiliki AMDAL atau UKL-UPL; 9. LKPM
periode
penyampaian
terakhir dari
dan
tanda
PTSP
terima
Pusat
Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota; 10. Rekomendasi
dari
Kementerian/Lembaga
pembina apabila dipersyaratkan sesuai ketentuan bidang usaha, misalnya: - rekomendasi dari Kementerian Perdagangan c.q. Direktorat Bina Usaha untuk pengajuan SIUPL; - rekomendasi dari Kementerian Perindustrian: Industri dengan KBLI 2410 dan 2420/ Industri cakram optic / Industri minuman beralkohol; - rekomendasi teknis Izin Usaha dari Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian untuk perkebunan buah kelapa sawit dan industri minyak kelapa sawit; - dan lainnya 11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
dengan
oleh
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa; 12. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran II untuk pengajuan permohonan secara manual;
-4-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 13. Untuk
pengurusan
SIUPL
Sementara
ditambahkan: a. rekaman surat izin atau surat pendaftaran lainnya dari Kementerian/Lembaga untuk jenis produk yang diperdagangkan sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan
dengan
minimal 2 (dua) jenis produk; b. rekaman
kontrak
penunjukan
kerjasama
(apabila
barang/jasa
atau
perusahaan dari
surat
mendapat perusahaan
lain/produsen/supplier); c. rekaman
identitas
penanggungjawab
Direktur
Utama
perusahaan
dan
atau pasfoto
berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar; d. rancangan program kompensasi mitra usaha, kode etik, dan peraturan perusahaan; 14. Untuk
permohonan
SIUPL
Tetap
ditambah
persyaratan:
a. melampirkan asli dari SIUPL Sementara; b. rekaman neraca perusahaan tahun terakhir; 15. Untuk Permohonan IUJK ditambah persyaratan: a. Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang masih berlaku; b. Rekaman
identitas
penanggungjawab
Direktur
Utama
perusahaan
dan
atau
Pasfoto
berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar; 16. Untuk
permohonan
Izin
Usaha
Tetap
Jasa
Penunjang Pertambangan (Minerba, atau Panas Bumi, atau Migas) ditambahkan persyaratan: a. Izin
Usaha
Jasa
Penunjang
Pertambangan
(IUJP) atau; b. Surat Keterangan Terdaftar (SKT). 17. Khusus untuk bidang usaha perdagangan dan jasa, dilampirkan dengan:
-5-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan a. rincian investasi yang mencantumkan alokasi investasi terbesar; b. bukti setor modal ditempatkan dan disetor atau neraca keuangan yang mencantumkan equity perusahaan; 18. Khusus untuk bidang usaha perdagangan besar (distributor utama) ditambahkan persyaratan: a. Surat Penunjukan Distributor dan; b. Bukti penguasaan gudang. 19. Hasil pemeriksaan lapangan bila diperlukan; 20. Presentasi bila diperlukan.
2.
Izin Usaha
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang
Perubahan
mencantumkan lokasi proyek dan/atau alamat
(Perubahan
perusahaan yang dimohonkan untuk diubah;
Lokasi Proyek)
2. Rekaman
Akta
perubahannya
Pendirian
dilengkapi
Anggaran
Dasar
perusahaan
dengan
dan
pengesahan
Perusahaan
dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP perusahaan; 3. Untuk perubahan lokasi proyek dan/atau alamat perusahaan
dilengkapi dengan data pendukung
berupa rekaman legalitas lokasi proyek dan/atau alamat perusahaan terdiri dari: a. Rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau bangunan
untuk
kantor
dan/atau
gudang
jual-beli
(PPJB)
berupa: 1) Perjanjian
pengingkatan
disertai dengan bukti pelunasan, atau 2) akta
jual
beli
oleh
PPAT
atas
nama
Perusahaan, atau 3) sertifikat Hak Atas Tanah, dan 4) IMB; atau b. Bukti
perjanjian
sewa
menyewa
tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman
-6-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan perjanjian
sewa-menyewa
bangunan
atas
nama
tanah
dan/atau
perusahaan
dengan
jangka waktu sewa: 1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha industri, 2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha jasa/perdagangan, 3) terhitung
sejak
tanggal
permohonan
diajukan; Keterangan: - dengan mencantumkan luasan lahan yang dipergunakan. - bila kurang dari jangka waktu tersebut, dilampirkan surat keterangan dari direksi untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi lain (pilih salah satu), c. Bukti afiliasi dan perjanjian pinjam pakai, bila: 1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh dan terpadu dengan beberapa perusahaan lainnya yang memiliki afiliasi, atau 2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada
di
lahan
atau
bangunan
yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki afiliasi, 3) afiliasi
sebagaimana
dimaksud
di
atas,
apabila 1 (satu) grup perusahaan, yang dibuktikan
dengan
kepemilikan
saham
dalam Akta perusahaan. 4. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri. 5. Kelengkapan
perizinan
daerah
sesuai
lokasi
proyek: a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar
-7-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan kawasan industri sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah setempat; b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri
atau
diwajibkan
gedung
perkantoran,
melampirkan
tidak
rekaman
Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU; 6. Rekaman
dokumen
lengkap
persetujuan/pengesahan Dampak
Lingkungan
Analisis (AMDAL)
dan Mengenai
atau
Upaya
Pengelolaan
Lingkungan
(UKL)
dan
Upaya
Pemantauan
Lingkungan
(UPL)
atau
Surat
Pernyataan
Kesanggupan
Pengelolaan
dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL); 7. Rekaman Izin Lingkungan untuk perusahaan yang telah memiliki AMDAL atau UKL-UPL; 8. Akta
perubahan
tempat
kedudukan
beserta
persetujuan Menteri Hukum dan HAM apabila lokasi
kantor
pusat
perusahaan
yang
baru
berbeda Kabupaten/Kota dengan lokasi lama; 9. Rekaman NPWP sesuai lokasi proyek atau alamat perusahaan yang baru; 10. LKPM
periode
penyampaian
terakhir
dan
dari
tanda
PTSP
terima
Pusat
Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota; 11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa; 12. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran VIII
untuk
pengajuan
permohonan
secara
manual; 3.
Izin Usaha
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang
Perubahan
mencantumkan bidang usaha dan jenis serta
(Perubahan
kapasitas
produksi
yang
dimohonkan
untuk
-8-
No.
Jenis Perizinan Ketentuan Bidang Usaha)
Persyaratan diubah; 2. Rekaman
Akta
perubahannya
Pendirian
dilengkapi
Anggaran
Dasar
perusahaan
dengan
dan
pengesahan
Perusahaan
dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP perusahaan; 3. Data pendukung perubahan jenis produksi akibat dari dilakukannya diversifikasi berupa: a. diagram alir produksi (flow chart of production) dilengkapi dengan penjelasan detail; b. penjelasan perhitungan kapasitas produksi dan gambar jenis produksi; 4. Untuk perubahan pemasaran dan perkiraan nilai ekspor
per
tahun,
lampirkan
ditambah
alasan
persyaratan:
perubahan
dari
direksi/pimpinan perusahaan; 5. Untuk penyesuaian KBLI, ditambah persyaratan: melampirkan alasan penyesuaian KBLI dan bukti atau penjelasan secara detail; 6. Untuk penambahan komoditi (khusus di bidang usaha
perdagangan
besar
tanpa
menambah
kapasitas dan investasi) ditambah persyaratan: surat penunjukan distributor untuk komoditi baru yang ditambahkan; 7. Untuk penambahan subkualifikasi (khusus untuk bidang usaha jasa pelaksana konstruksi atau jasa konsultansi konstruksi) ditambah persyaratan: sertifikasi badan usaha (SBU) terbaru; 8. LKPM
periode
penyampaian
terakhir dari
dan
tanda
PTSP
terima
Pusat
Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota; 9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
dengan
oleh
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
-9-
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan penerima kuasa 10. Hasil
pemeriksaan
lapangan
(apabila
diperlukan); 11. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran VIII
untuk
pengajuan
permohonan
secara
manual. 4.
Izin Usaha Perubahan (Perubahan
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang dimohonkan untuk diubah; 2. Rekaman
Akta
Masa Berlaku
perubahannya
Izin Usaha)
Anggaran
Pendirian
dilengkapi Dasar
perusahaan
dengan
dan
pengesahan
Perusahaan
dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP perusahaan; 3. Data pendukung tentang perpanjangan masa berlaku
Izin
Usaha,
apabila
dipersyaratkan,
berupa: - rekomendasi/izin operasioal dari kementerian terkait bidang usaha; atau - persyaratan perpanjangan masa berlaku izin usaha
sesuai
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan; 4. LKPM
periode
penyampaian
terakhir dari
dan
tanda
PTSP
terima
Pusat
Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota; 5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa 6. Hasil pemeriksaan lapangan (apabila diperlukan). 7. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran VIII
untuk
manual.
pengajuan
permohonan
secara
- 10 -
No.
Jenis Perizinan
5.
Izin Usaha Penggabungan
Persyaratan 1. Rekaman perizinan yang dimiliki berupa Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan; 2. Rekaman
Akta
perubahannya
Pendirian (Jika
ada)
perusahaan dilengkapi
dan
dengan
pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dan persetujuan/pemberitahuan Menteri
Hukum
dan
perubahan,
HAM
serta
dari NPWP
perusahaan; 3. Legalitas lokasi proyek: a. rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau bangunan
untuk
kantor
dan/atau
gudang
jual-beli
(PPJB)
berupa: 1) Perjanjian
pengingkatan
disertai dengan bukti pelunasan, atau 2) akta
jual
beli
oleh
PPAT
atas
nama
Perusahaan; atau 3) sertifikat Hak Atas Tanah; dan 4) IMB; atau b. Bukti
perjanjian
sewa
menyewa
tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman perjanjian
sewa-menyewa
bangunan
atas
nama
tanah
perusahaan
dan/atau dengan
jangka waktu sewa: 1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha industri, 2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha jasa/perdagangan, terhitung sejak tanggal permohonan diajukan; Keterangan: - dengan mencantumkan luasan lahan yang dipergunakan. - bila kurang dari jangka waktu tersebut, dilampirkan surat keterangan dari direksi untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi lain.
- 11 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan c. perjanjian pinjam pakai: 1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh dan terpadu dengan beberapa perusahaan lainnya yang memiliki afiliasi; atau 2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan berada
di
lahan
atau
bangunan
yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki afiliasi, afiliasi sebagaimana dimaksud di atas, apabila 1 (satu) grup perusahaan, yang dibuktikan dengan
kepemilikan
saham
dalam
Akta
perusahaan; 4. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri; 5. Kelengkapan
perizinan
daerah
sesuai
lokasi
proyek: a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah setempat; b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri
atau
diwajibkan
gedung
perkantoran,
melampirkan
tidak
rekaman
Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU; 6. Rekaman
dokumen
lengkap
persetujuan/pengesahan Dampak
Lingkungan
Analisis (AMDAL)
dan Mengenai
atau
Upaya
Pengelolaan
Lingkungan
(UKL)
dan
Upaya
Pemantauan
Lingkungan
(UPL)
atau
Surat
Pernyataan
Kesanggupan
Pengelolaan
dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL); 7. LKPM
periode
penyampaian
terakhir dari
dan PTSP
tanda
terima
Pusat
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
Di
- 12 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 8. Rekomendasi
dari
Kementerian/Lembaga
pembina apabila dipersyaratkan sesuai ketentuan bidang usaha, misalnya : - rekomendasi dari Kementerian Perdagangan c.q. Direktorat Bina Usaha untuk pengajuan SIUPL; - rekomendasi dari Kementerian Perindustrian: Industri
dengan
KBLI
2410
dan
2420/
Industri cakram optic / Industri minuman beralkohol; - rekomendasi teknis Izin Usaha dari Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian untuk perkebunan buah kelapa sawit dan industri minyak kelapa sawit; - dan lainnya 9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
lapangan
(apabila
penerima kuasa; 10. Hasil
pemeriksaan
diperlukan); 11. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran II untuk pengajuan permohonan secara manual 6.
Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari BKPM; 2. Surat permohonan tertulis yang ditujan kepada Menteri Ketenagakerjaan melalui Kepala BKPM, diketik di atas kertas dengan kop perusahaan beralamat lengkap disertai nomor telepon, nomor faksimil,
alamat
email,
distempel
dan
dan/atau
akte
ditandatangani oleh perusahaan; 3. Rekaman
akte
pendirian
perubahan sebagai badan hukum yang dilegalisir oleh instansi yang berwenang;
- 13 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 4. Daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan identitas diri
(KTP/paspor) dan pasfoto ukuran
4X6 berlatar belakang merah (foto memakai pakaian formal); 5. Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama lembaga; 6. Rekaman surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan
sarana
dan
prasarana
pelatihan
kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan; 7. Surat keterangan domisili dari pejabat yang berwenang; 8. Rekaman bukti registrasi standar kompetensi dari Kementerian
Ketenagakerjaan
yang
dijadikan
acuan pelaksanaan program pelatihan; 9. Surat
kerjasama
dengan
LPK
yang
sudah
terakreditasi dari LA-LPK; 10. Profil perusahaan sekurang-kurangnya: a. struktur organisasi dan uraian tugas; b. program pelatihan kerja berbasis kompetensi yang akan diselenggarakan; c. program kerja LPK dan rencana pembiayaan selama 1 (satu) tahun; d. daftar riwayat hidup instruktur dan tenaga pelatihan; e. instruktur tenaga kerja asing minimal memiliki kualifikasi sebagai tenaga ahli dibidangnya; f. daya kapasitas/daya tampung peserta. 11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
dengan
penerima kuasa.
oleh
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
- 14 -
No.
Jenis Perizinan
7.
Izin Usaha Lembaga
Persyaratan 1. Rekaman Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja yang masih berlaku;
Pelatihan Kerja
2. Surat permohonan tertulis yang ditujukan kepada
(LPK)Perpanjan
Menteri melalui Kepala BKPM, diketik di atas
gan
kertas dengan kop LPK beralamat lengkap disertai nomor telepon, nomor faksimil, alamat email, distempel dan ditandatangani oleh kepala LPK; 3. Surat rekomendasi dari dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota; 4. Rekaman sertifikat akreditasi dari LA-LPK; 5. Rekaman surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan
sarana
dan
prasarana
pelatihan
kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang telah diselenggarakan; 6. Realisasi program pelatihan kerja yang telah dilaksanakan; 7. Laporan kinerja LPK selama 3 (tiga) tahun; 8. Program kerja LPK dan rencana pembiayaan selama 1 (satu) tahun; 9. Daftar dan riwayat hidup instruktur dan tenaga pelatihan; dan 10. Dalam hal terdapat instruktur tenaga asingnya minimal memiliki kualifikasi sebagai tenaga ahli di bidangnya. 11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
dengan
oleh
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa 8.
Izin Usaha
1. Yang terkait dengan susunan direksi/komisaris.
Lembaga
Bagi LPK yang melakukan perubahan terkait
Pelatihan Kerja
dengan susunan direksi/komisaris, LPK wajib
(LPK)Perubahan
melaporkan perubahan dimaksud secara tertulis
/ Penambahan
kepada Menteri melalui Kepala BKPM dengan
- 15 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan
Program
melampirkan dokumen perubahan berupa akte
Pelatihan
pendirian perusahaan dan akte perubahan yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. 2. Perubahan Program Pelatihan
a. Bagi LPK yang akan melakukan perubahan terkait dengn program pelatihan baik berupa penambahan pelatihan
atau
kerja,
pengurangan
harus
program
mengajukan
surat
permohonan secara tertulis kepada Menteri melalui kepala BKPM dengan melampirkan syarat sebagai berikut: 1) Rekaman Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja yang masih berlaku; 2) daftar
usulan
penambahan
atau
pengurangan program pelatihan; 3) daftar
instruktur
dan
tenaga
pelatihan
sesuai perubahan program; 4) Rekaman
tanda
bukti
kepemilikan
atau
penguasaan saran dan prasarana pelatihan kerja sesuai perubahan program.
b. Dalam
hal
program
penerbitan
pelatihan
izin
maka
penambahan
akan
dilakukan
verifikasi dokumen dan lapangan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
pengajuan
permohonan
perubahan
diterima.
c. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan dokumen yang dipersyaratkan maka Kepala BKPM menerbitkan izin perubahan program pelatihan.
d. Izin penambahan program pelatihan hanya diberikan
kepada
LPK
yang
tidak
sedang
dihentikan sementara (suspend).
e. Jangka waktu berlakunya izin penambahan program pelatihan kerja tidak boleh melebihi jangka waktu berlakunya izin LPK.
- 16 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 3. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa 9.
Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Di Dalam Negeri
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari BKPM; 2. Rekaman akta pendirian (berikut perubahannya) yang
telah
mendapatkan
pengesahan
dari
Kementerian Hukum dan HAM 3. Rekaman domisili 4. Rekaman NPWP 5. Rekaman
bukti
wajib
lapor
ketenagakerjaan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 yang masih berlaku 6. Rekaman anggaran dasar yang memuat kegiatan di bidang jasa penempatan tenaga kerja 7. Rekaman
bukti
kepemilikan
sarana
dan
prasarana kantor serta peralatan kantor atau bukti
surat
perjanjian
sewa
menyewa
kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun 8. Bagan struktur organisasi dan personil 9. Rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja minimal 1 (satu) tahun 10. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6 sebanyak 3 lembar 11. Bukti surat pemberitahuan rencana pendirian LPTKS dari instansi yang bertangung jawab dibidang
ketenagakerjaan
kabupaten/kota
sesuai dengan domisili perusahan 12. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
dengan
penerima kuasa.
oleh
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
- 17 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan
10.
Izin Usaha Jasa
1. Rekaman surat Izin Usaha Jasa Penempatan
Penempatan Tenaga Kerja Perpanjangan
Tenaga Kerja yang masih berlaku; 2. Bukti
penyampaian
laporan
kepada
direktur
jenderal pembinaan penempatan tenaga kerja atau kepala instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan
instansi
yang
provinsi
bertanggungjawab
atau
kepala
di
bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam bentuk rekapitulasi penempatan; 3. Rekaman NPWP; 4. Rencana penempatan tenaga kerja yang akan datang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; 5. Rekaman
bukti
kepemilikan
sarana
dan
prasarana kantor serta peralatan kantor atau bukti
surat
perjanjian
sewa
menyewa
kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun; 6. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6 sebanyak 3 lembar; 7. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa.
11.
Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Perubahan
1. Rekaman Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja yang masih berlaku; 2. Surat permohonan perubahan dari pimpinan perusahaan; 3. Rekaman pengesahan perubahan akta notaris; 4. Rekaman KTP pimpinan perusahaan yang baru 5. Rekaman NPWP; 6. Alamat lengkap dan nomor telp/fax yang baru; 7. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6 sebanyak 3 lembar;
- 18 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan 8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa. 12.
Izin Usaha Penyediaan Jasa
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari BKPM; 2. Rekaman akta pendirian dan anggaran dasar
Pekerja/Buruh
perusahaan
serta
Baru
keputusan pengesahan serta surat keputusan persetujuan
perubahannya
dan/atau
dan
surat
pemberitahuan
yang
dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; 3. Rekaman surat keterangan domisili yang masih berlaku sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum jatuh tempo, yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa setempat atau surat izin tempat usaha (SITU); 4. Rekaman surat keterangan sewa gedung yang dikeluarkan
oleh
Pengelola
penggunaan
gedung
oleh
Gedung,
apabila
perusahaan
PMA
didasarkan pada perjanjian sewa/kontrak; 5. Rekaman NPWP dan surat keterangan terdaftar (SKT) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan; 6. Rekaman
TDP
yang
masih
berlaku,
yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berwenang; 7. Rekaman surat keterangan dari instansi yang berwenang
mengenai
kegiatan
usaha
jasa
penunjang yang akan dilakukan (misalnya surat keterangan
dari
menyelenggarakan
kementerian urusan
pemerintahan
yang di
bidang energi dan sumber daya mineral, untuk
- 19 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan jasa
penunjang
di
pertambangan
atau
perminyakan); 8. Asli profil perusahaan yang ditandatangani oleh direktur utama; 9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa 13.
Izin Usaha Penyediaan Jasa
1. Rekaman
Izin
Usaha
Penyediaan
Jasa
Pekerja/Buruh yang masih berlaku; 2. Rekaman akta perubahan nama dan kedudukan
Pekerja/Buruh
perusahaan, maksud dan tujuan serta kegiatan
Perpanjangan
usaha,
permodalan,
komisaris
(bila
persetujuan
susunan
ada)
dan
dan/atau
direksi
surat
dan
keputusan
pemberitahuan
yang
dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (bila ada); 3. Rekaman surat keterangan domisili yang masih berlaku sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum jatuh tempo, yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa setempat atau surat izin tempat usaha (SITU); 4. Rekaman surat keterangan sewa gedung yang dikeluarkan
oleh
Pengelola
penggunaan
gedung
oleh
Gedung,
apabila
perusahaan
PMA
didasarkan pada perjanjian sewa/kontrak; 5. Rekaman
TDP
yang
masih
berlaku,
yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berwenang; 6. Rekaman surat keterangan dari instansi yang berwenang
mengenai
kegiatan
usaha
jasa
penunjang yang akan dilakukan (misalnya surat keterangan
dari
kementerian
yang
- 20 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
di
bidang energi dan sumber daya mineral, untuk jasa
penunjang
di
pertambangan
atau
perminyakan); 7. Fotocopy bukti wajib lapor ketenagakerjaan; 8. Asli profil perusahaan yang ditandatangani oleh direktur utama; 9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa 14.
KPPA
1. Rekaman anggaran dasar (article of association/ incorporation), dari perusahaan asing yang akan membuka Inggris
kantor
atau
perwakilan,
terjemahannya
dalam
bahasa
dalam
bahasa
Indonesia dari penterjemah tersumpah; 2. Surat penunjukan (Letter of Appointment) dari perusahaan asing yang akan membuka kantor perwakilan kepada pihak yang ditunjuk sebagai Chief ofRepresentative Office; 3. Bukti diri Chief of Representative Office:
a. jika perorangan WNA, melampirkan rekaman paspor
yang
mencantumkan
masih
berlaku
dengan
jelas
yang nama,
tandatangan pemilik paspor;
b. jika perorangan WNI, melampirkan rekaman KTP yang masih berlaku; 4. Surat pernyataan (Letter of Statement) dari Chief of
Representative
kesediaan
untuk
Office tinggal
yang dan
menyatakan
hanya
bekerja
sebagai Chief of Representative Office, tanpa melakukan kegiatan bisnis lainnya di Indonesia; 5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 21 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa
15.
KPPA
1. Rekaman Izin KPPA;
PERUBAHAN
2. Rekaman Laporan KPPA; 3. Dalam hal terjadi perubahan: a. keterangan
tentang
perusahaan
perubahan
(principal)
yang
nama
diwakili,
agar
melampirkan rekaman anggaran dasar (article of
association/incorporation)
atau
certificate
change of name dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah atau di legalisasi oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; b. untuk permohonan perubahan alamat Kantor Pusat/Principal
di
luar
negeri
ditambah
persyaratan berupa bukti registrasi kedudukan perusahaan dari instansi terkait di luar negeri; c. tempat kedudukan kantor perwakilan, agar melampirkan domisili terbaru d. keterangan tentang Chief of Representative Office, agar melampirkan: 1) surat penunjukan (Letter of Appointment) dari perusahaan kantor ditunjuk
asing
perwakilan sebagai
yang
akan
kepada Chief
of
membuka
pihak
yang
Representative
Office; 2) bukti diri Chief of Representative Office: perorangan asing, melampirkan rekaman paspor
yang
masih
berlaku
yang
mencantumkan nama dan tandatangan pemilik paspor dengan jelas; perorangan
Indonesia,
melampirkan
rekaman KTP yang masih berlaku dan rekaman NPWP; 3) surat pernyataan (Letter of Statement) dari
- 22 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan Chief
of
Representative
Office
yang
menyatakan kesediaan untuk tinggal dan hanya bekerja sebagai Chief ofRepresentative Office, tanpa melakukan kegiatan bisnis lainnya di Indonesia; 4. Penggunaan tenaga kerja agar melampirkan surat pernyataan jumlah tenaga kerja yang digunakan disertai rekaman identitas dan surat keterangan kerja; 5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa. 16.
SIUP3A Sementara
1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari principal company, menunjuk orang yang akan menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi oleh
Notaris
Publik
dan
Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ; 2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor perwakilan
di
Indonesia
dan
tidak
boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala perwakilan
yang
ditunjuk
yang
isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja di tempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 4. Letter
of
Reference
dari
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 5. Rencana kerja perwakilan 6. Kepala kantor perwakilan melampirkan:
Atase
- 23 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah; b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih berlaku
yang
mencantumkan
nama
dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas; atau c. perorangan
Indonesia,
rekaman
KTP
yang
masih berlaku dan NPWP; 7. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa 17.
SIUP3A Tetap
1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari principal company, menunjuk orang yang akan menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi oleh
Notaris
Publik
dan
Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ; 2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor perwakilan
di
Indonesia
dan
tidak
boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala perwakilan
yang
ditunjuk
yang
isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja ditempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 4. Letter
of
Reference
dari
Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 5. Kepala kantor perwakilan melampirkan: a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah; b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih
- 24 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan berlaku
yang
mencantumkan
nama
dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas dan rekaman IMTA; atau c. perorangan
Indonesia,
rekaman
KTP
yang
masih berlaku dan NPWP; 6. Surat Domisili dari Kelurahan setempat/Surat keterangan ruang kantor dari pengelola gedung; 7. Rekaman SIUP3A Sementara; 8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa. 18.
SIUP3A Perpanjangan
1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari principal company, menunjuk orang yang akan menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi oleh
Notaris
Publik
dan
Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ; 2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor perwakilan
di
Indonesia
dan
tidak
boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala perwakilan
yang
ditunjuk
yang
isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja ditempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 4. Letter
of
Reference
dari
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 5. kepala kantor perwakilan melampirkan: a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah;
Atase
- 25 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih berlaku
yang
mencantumkan
nama
dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas dan rekaman IMTA; atau c. perorangan
Indonesia,
rekaman
KTP
yang
masih berlaku dan NPWP; 6. Surat Domisili dari Kelurahan setempat/Surat keterangan ruang kantor dari pengelola gedung; 7. Rekaman TDP; 8. Rekaman SIUP3A Tetap; 9. Laporan kegiatan kantor perwakilan; 10. Penggunaan tenaga kerja (perbandingan tenaga kerja
asing
dan
tenaga
kerja
pendamping
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan) agar melampirkan surat pernyataan jumlah tenaga kerja yang digunakan disertai rekaman identitas dan slip gaji; 11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa 19.
SIUP3A
1. Rekaman SIUP3A;
PERUBAHAN
2. Laporan kegiatan kantor perwakilan; 3. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Kepala KP3A; 4. Untuk permohonan perubahan nama perusahaan asing (principal) ditambah persyaratan rekaman anggaran
dasar
(article
of
association/
incorporation) atau certificate change of name dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah atau
di
legalisasi
oleh
perwakilan
Republik
Indonesia di luar negeri; 5. Untuk permohonan perubahan alamat Kantor
- 26 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan Pusat/Principal
di
luar
negeri
ditambah
persyaratan berupa Letter of Reference dari Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; 6. Untuk
permohonan
perubahan
tempat
kedudukan kantor perwakilan KP3A di Indonesia ditambah persyaratan: a. Surat Domisili alamat baru dari Kelurahan setempat atau surat keterangan ruang kantor dari pengelola gedung; b. rekaman TDP atas alamat lama; 7. Untuk permohonan perubahan Kepala/pimpinan Kantor Perwakilan KP3A ditambah persyaratan: a. Letter of Appointment Kepala KP3A yang baru yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal; b. Letter of Statement yang ditandatangani oleh Kepala
/pimpinan
kantor
perwakilan
di
Indonesia yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan
Atase
Perdagangan/Perwakilan
RI
di
negara asal c. curriculum vitae/riwayat hidup dan ijazah; d. perorangan asing, rekaman paspor yang masih berlaku
yang
mencantumkan
nama
dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas; atau e. perorangan
Indonesia,
rekaman
KTP
yang
masih berlaku dan NPWP; f. pasfoto berwarna 2 (dua) lembar ukuran 4 x 6; g. Penggunaan tenaga kerja (perbandingan tenaga kerja asing dan tenaga kerja pendamping Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan) agar melampirkan surat pernyataan
jumlah
tenaga
kerja
yang
digunakan disertai rekaman identitas dan slip gaji; 8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 27 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
20.
Izin BUJKA
Baru
1. Surat permohonan; 2. Rekaman akta pendirian BUJKA induk di negara asal yang telah dilegalisir oleh notaris publik atau lembaga yang berwenang di negara asal; 3. Data umum BUJKA; 4. Surat rekomendasi dari kedutaan besar negara asal di Indonesia yang menyatakan bahwa BUJKA yang bersangkutan merupakan badan usaha yang teregistrasi dengan sah dan memiliki reputasi baik; 5. Rekaman Izin Usaha Jasa Konstruksi BUJKA induk yang masih berlaku yang telah dilegalisir oleh instansi penerbit; 6. Rekaman
Sertifikat
Penyetaraan
yang
telah
dilegalisir oleh Lembaga Tingkat Nasional; 7. Surat penunjukan Kepala Perwakilan BUJKA oleh BUJKA induk (Letter of Appointment); 8. Rekaman laporan keuangan BUJKA induk yang terbaru dan telah diaudit oleh akuntan publik; 9. Rekaman paspor atau kartu tanda penduduk calon Kepala Perwakilan; 10. Daftar riwayat hidup calon Kepala Perwakilan BUJKA; 11. Rekaman
surat
keterangan
domisili
kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang diterbitkan oleh Kelurahan setempat; 12. Surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen; dan 13. Surat pernyataan bahwa direksi atau komisaris BUJKA induk tidak sedang menjabat sebagai direksi atau komisaris pada BUJKA lain. 14. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 28 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
21.
perpanjangan
1. Surat permohonan;
Izin Perwakilan
2. Data umum BUJKA;
BUJKA
3. Izin perwakilan asli yang akan/sudah habis masa berlakunya; 4. Sertifikat
penyetaraan
yang
telah
dilegalisir
Lembaga Tingkat Nasional; 5. Surat rekomendasi yang telah diperbarui dari kedutaan besar negara asal di Indonesia yang menyatakan bahwa BUJKA yang bersangkutan merupakan badan usaha yang teregistrasi dengan sah dan memiliki reputasi baik; 6. Rekaman Izin Usaha Jasa Konstruksi BUJKA induk yang masih berlaku; 7. Laporan kegiatan tahunan dan tanda terima penyerahan. 8. Rekaman
NPWP
Perwakilan
BUJKA
yang
bersangkutan; 9. Rekaman paspor atau kartu tanda pengenal Kepala Perwakilan; 10. Rekaman
surat
keterangan
domisili
kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang diterbitkan oleh kelurahan setempat; 11. Rekaman
bukti
pembayaran
jaminan
sosial
ketenagakerjaan untuk setiap proyek konstruksi yang dilaksanakan dan telah dilegalisir oleh instansi terkait jaminan sosial ketenagakerjaan; dan 12. Surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen. 13. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office
- 29 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
22.
Penutupan izin
1. Surat permohonan;
BUJKA
2. Izin Perwakilan asli; dan 3. Surat pajak nihil. 4. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
23.
Pergantian data izin BUJKA
1. Persyaratan permohonan pergantian data badan usaha meliputi: a. surat permohonan; b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku; c. rekaman akta penggantian nama perusahaan yang telah dilegalisir oleh notaris publik di negara asal; d. surat rekomendasi dari kedutaan besar negara asal di Indonesia yang menyatakan bahwa BUJKA
yang
bersangkutan
telah
berganti
keterangan
domisili
kantor
Indonesia
yang
namanya; e. rekaman
surat
perwakilan
BUJKA
di
diterbitkan oleh kelurahan setempat; dan f. surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen. 2. Persyaratan permohonan pergantian data alamat meliputi: a. surat permohonan; b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku; c. rekaman Akta Penggantian alamat perusahaan yang telah dilegalisir; d. surat rekomendasi dari kedutaan besar Negara asal di Indonesia yang menyatakan bahwa
- 30 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan BUJKA
yang
bersangkutan
telah
berganti
keterangan
domisili
kantor
Indonesia
yang
alamatnya; e. rekaman
surat
perwakilan
BUJKA
di
diterbitkan oleh kelurahan setempat; dan f. surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen. 3. Persyaratan permohonan perubahan jenis usaha meliputi: a. surat permohonan; b. izin Perwakilan asli yang masihberlaku; c. rekaman Sertifikat Penyetaraan yang telah dilegalisir Lembaga Tingkat Nasional; dan d. surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen. 4. Persyaratan permohonan pergantian data Kepala Perwakilan BUJKA meliputi: a. surat permohonan; b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku; c. surat penunjukan Kepala Perwakilan BUJKA baru
oleh
BUJKA
induk
(Letter
of
Appointment); d. daftar riwayat hidup Kepala Perwakilan BUJKA baru; e. Exit Permit Only
(EPO)
Kepala
Perwakilan
BUJKA lama; f. rekaman paspor atau kartu tanda penduduk Kepala Perwakilan yang baru; g. surat
pernyataan
kebenaran
dan
keaslian
dokumen; dan h. surat pernyataan bahwa direksi atau komisaris BUJKA induk tidak sedang menjabat sebagai direksi atau komisaris pada BUJKA lain.
- 31 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan
5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh Chief of Representative Office dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa. 24.
Angka Pengenal 1. Rekaman akta pendirian dan perubahannya yang Importir
terkait dengan susunan direksi terakhir serta
Produsen
pengesahan/persetujuan/permberitahuan
(API-P)
Kementerian Hukum dan HAM;
dari
2. Rekaman surat keterangan domisili kantor pusat perusahaan
dari
kantor
kelurahan
setempat/pengelola gedung/ pengelola kawasan; 3. Rekaman NPWP dan Rekaman Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 4. Rekaman Izin Prinsip Penanaman Modal/Surat Persetujuan/Izin Usaha yang dimiliki dan masih berlaku; 5. Rekaman Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), Kartu Izin Tinggal (KITAS), paspor dan NPWP bagi penandatangan dokumen impor warga negara asing (WNA); 6. Rekaman Kartu Tanda Penduduk dan NPWP bagi Warga Negara Indonesia (WNI); 7. Pasfoto terakhir dengan latar belakang warna merah masing-masing Pengurus atau Direksi Perusahaan yang menandatangani API 2 (dua) lembar ukuran 3 x 4; 8. Penandatangan API-P maksimal 4 (empat) orang yang terdiri dari
minimal 1 (satu) orang direksi
dan lainnya kuasa direksi dengan melampirkan Surat Kuasa untuk penandatangan dokumen impor (kartu API-P); 9. Permohonan perusahaan
ditandatangani bermeterai
oleh
cukup
pimpinan dan
cap
- 32 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan perusahaan sesuai dengan Lampiran XVII untuk pengajuan permohonan secara manual; 10. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa; atau 11. Persyaratan
lain
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. Untuk
permohonan
perubahan
API-P
ditambah
persyaratan : 12. Asli API-P lama. 25.
Angka Pengenal 1. Rekaman akta pendirian dan perubahannya yang Importir Umum
terkait dengan susunan direksi terakhir serta
(API-U)
pengesahan/persetujuan/permberitahuan
dari
Kementerian Hukum dan HAM; 2. Rekaman surat keterangan domisili kantor pusat perusahaan
dari
kantor
kelurahan
setempat/pengelola gedung/ pengelola kawasan; 3. Rekaman NPWP dan Rekaman Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 4. Rekaman Pendaftaran/ Surat Persetujuan yang dimiliki; 5. Rekaman Izin Usaha dibidang perdagangan impor yang dimiliki; 6. Referensi asli dari bank devisa; 7. Rekaman Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), Kartu Izin Tinggal (KITAS), paspor dan NPWP bagi penandatangan dokumen impor warga negara asing (WNA); 8. Rekaman Kartu Tanda Penduduk dan NPWP bagi Warga Negara Indonesia (WNI); 9. Pasfoto terakhir dengan latar belakang warna merah masing-masing Pengurus atau Direksi
- 33 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan Perusahaan yang menandatangani API 2 (dua) lembar ukuran 3 x 4; 10. Untuk yang mengimpor lebih dari 1 (satu) bagian, melampirkan: a. surat
pernyataan
bermeterai
cukup
yang
mencantumkan jenis hubungan istimewa dan negara asal dengan perusahaan yang berada di luar negeri, bagian (section); b. bukti
hubungan
istimewa
(persetujuan
kontraktural yang menyatakan jangka waktu persetujuan, dasar,
kepemilikan
perjanjian
perjanjian
saham,
anggaran
keagenan/distributor,
pinjaman
atau
perjanjian
penyediaan barang) yang ditandasahkan oleh Atase
Perdagangan/Pejabat
konsuler/perwakilan
RI
di
Diplomatik/ luar
negeri;
dan/atau c. surat
keterangan
Perdagangan/Pejabat
dari
Atase
Diplomatik/
konsuler/
perwakilan RI di luar negeri. 11. Penandatangan API-U maksimal 4 (empat) orang yang terdiri dari
minimal 1 (satu) orang direksi
dan lainnya kuasa direksi dengan melampirkan surat Kuasa untuk penandatangan dokumen impor (kartu API-U); 12. Permohonan perusahaan
ditandatangani bermeterai
oleh
cukup
pimpinan dan
cap
perusahaan sesuai dengan Lampiran XVII untuk pengajuan permohonan secara manual; 13. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara
langsung
perusahaan
oleh
dengan
direksi/pimpinan
dilengkapi
dokumen
penerima kuasa; atau 14. Persyaratan
lain
sesuai
perundang-undangan.
dengan
peraturan
- 34 -
No.
Jenis Perizinan
Persyaratan
Untuk permohonan perubahan API-U ditambah persyaratan : 15. Asli API-U lama. 26.
Pembukaan Kantor Cabang
1. Rekaman
seluruh
Perluasan/Izin
Izin
Prinsip/Izin
Prinsip
Prinsip
Perubahan/Izin
Usaha/Izin Usaha Perluasan; 2. Rekaman
akta
pendirian
perusahaan
dan
perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan dan persetujuan/pemberitahuan perubahan dari Menteri Hukum dan HAM; 3. Rekaman Akta Pembukaan Kantor Cabang; 4. Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 5. Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; 6. Laporan yang tidak disampaikan secara langsung oleh pelapor harus dilampiri surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh direksi/pimpinan perusahaan dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN II PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk formulir Izin Usaha/Izin Perluasan (khusus bidang industri)/Izin Usaha Perluasan/Izin Usaha Penggabungan Perusahaan/Izin Usaha Penjualan Langsung/ Izin Usaha Jasa Konstruksi/Tanda Daftar Usaha (khusus di bidang kepariwisataan) FORMULIR IZIN USAHA/IZIN PERLUASAN (KHUSUS BIDANG INDUSTRI)/IZIN USAHA PERLUASAN/IZIN USAHA PENGGABUNGAN PERUSAHAAN/IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG/IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI/TANDA DAFTAR USAHA (KHUSUS DI BIDANG KEPARIWISATAAN)* I.
KETERANGAN PEMOHON 1. Nama Perusahaan
: ................................................
2. Nomor & Tanggal Izin Prinsip PM
: ................................................
3. Bidang Usaha
: ................................................
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
: ................................................
5. a. Akte Pendirian dan Perubahannya
: ........................................
(Nama Notaris, Nomor dan Tanggal) b. Pengesahan Menteri Hukum & HAM
: ........................................
(Nomor dan Tanggal) 6. Alamat Kantor Pusat
: .................................................
- Nomor Telepon
: .................................................
- Faksimile
: .................................................
- E-mail
: .................................................
7.
Alamat Lokasi Proyek/Pabrik
: ..................................................
- Nomor Telepon
: .................................................
- Faksimile
: .................................................
- E-mail
: .................................................
8. Penanggungjawab Perusahaan Nama
a)
: ................................................. : .................................................
-2-
Alamat Tempat Tinggal
: .................................................
Nomor Telepon/Faksimile
: .................................................
Nomor KTP/IMTA
: ..................................................
a) Diisi untuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL), Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) dan Izin Usaha di bidang industri hanya untuk minuman beralkohol. 9. Nama Penanggung Jawab Teknikb) : .............................................. b) Diisi untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) 10. Kemampuan Keuanganc) c)
: ..................................................
Diisi untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
II. REALISASI PROYEK menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
proyek
kami
telah
siap
produksi/operasi komersial dengan data sebagai berikut : 1. Kapasitas Produksi dan Pemasaran Per Tahun : Jenis Barang/Jasa
Satuan
Kapasitas
Ekspor (%)
Keterangan
…..………
………
……. ..
…........
………
…..………
………
……. ..
…........
………
Klasifikasi/Kualifikasi Bidang Usaha d): Klasifikasi No.
Kualifikasi
Nomor
Subbidang/bagian
Kode
subbidang
Kemampuan Dasar Tahun
Nilai (juta Rp)
d) Diisi hanya untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) disesuaikan dengan Sertifikasi Badan Usaha (SBU) Jenis barang dagangan:e) Jenis Barang
Nomor Pendaft. BPOM/Kemenkes/
Keterangan
Instansi Teknis ............................
............................
............................
............................
............................
............................
e)
Diisi hanya untuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL)
-3-
2. Nilai Ekspor per tahun
: US$ …….…........….…….…….
3. Saat Mulai Berproduksi/Operasi
: .............................................
Bulan
: ……………......…………………
Tahun
: ………………......………………
4. Investasi Proyek (Menggunakan Mata Uang sesuai IP) a. Modal Tetap
: ………………......………………
- Pembelian & Pematangan Tanah : ………………......……………… - Bangunan / Gedung
: ………………......………………
- Mesin & Peralatan
: ………………......…………..
- Lain – Lain
: ………………......……………….
Sub Jumlah
: ………………......………………
b. Modal Kerja (untuk 1 turn over)
: ………………......………………
c. Jumlah (a+b)
: ……………..…………………
5. Penggunaan Tanah*)
: …… m2/ha
*) pilih salah satu
milik sendiri menggunakan proyek terdahulu sewa
6. Sumber Pembiayaan a. Modal Sendiri
: ………………………………
b. Laba yang Ditanam Kembali
: ………………………………
c. Modal Pinjaman
: ………………………………
Jumlah
: ………………………………
7. Modal Perseroan
:
a. Modal Dasar
: ………………………………
b. Modal Ditempatkan
: ………………………………
c. Modal Disetor
: ………………………………
8. Tenaga Kerja
:
Asing (L/P)
Pimpinan Perusahaan
:
………….
………….
- PT. .................... : Komisaris
:
………….
………….
:
………….
………….
:
………….
………….
:
………….
………….
- Manager
:
………….
………….
- Tenaga Ahli
:
………….
………….
c. Tenaga Kerja Langsung
:
………….
………….
Jumlah
:
………….
………….
a.
Direksi - Koperasi ............. : Pimpinan b. Tenaga Profesional
Indonesia (L/P)
-4-
III.PERNYATAAN Bahwa saya, nama : ……………………….,
dalam kapasitas saya sebagai
Pimpinan Perusahaan PT .............................. dengan ini menyatakan : 1. Apabila dalam pelaksanaan penanaman modal
ini di kemudian hari
menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, Perusahaan bersedia memikul segala akibat yang ditimbulkan termasuk penggantian kerugian kepada masyarakat. 2. Saya
menyatakan
bahwa
permohonan
ini
dibuat
dengan
benar,
ditandatangani oleh yang berhak di atas meterai yang cukup, dan saya menyatakan bahwa saya menjamin dan bertanggung jawab secara hukum atas :
a. Keaslian seluruh dokumen yang disampaikan, b. Kesesuaian seluruh rekaman/fotokopi data
yang disampaikan
dengan dokumen aslinya, dan
c. Keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan. …………………………..,………..20….. Mengetahui/Menyetujui,
f)
Direktur/Pimpinan Kawasan Industri
Yang membuat pernyataan, Direktur Utama, Meterai Rp.6.000,-
…………………………
…………………………
Nama terang, tanda tangan
Nama terang, tanda tangan
Jabatan dan cap Kawasan Industri
Jabatan dan cap perusahaan
f) bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri
-5-
Penandatanganan permohonan yang didalamnya tercantum PERNYATAAN harus dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan. Untuk kondisi yang sangat khusus dan terbatas, penandatanganan dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan - satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan, dilengkapi dengan: a.
Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinan bagi direksi/pimpinan perusahaan untuk menandatangani permohonan dan bahwa direksi/pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan; b. Surat Perintah Tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman identitas diri direksi/pimpinan perusahaan dengan menunjukkan aslinya; d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN
DAN
TATA
CARA
PERIZINAN
DAN
NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Izin Usaha Penanaman Modal Asing/Izin Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri KOP SURAT BKPM/BPMPTSP PROVINSI/ KABUPATEN/KOTA/ PTSP KPBPB/PTSP KEK NOMOR : TENTANG IZIN USAHA ......* PENANAMAN MODAL ASING/ PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI KEPALA BKPM/BPMPTSP PROVINSI/ KABUPATEN/KOTA/PTSP KPBPB/ PTSP KEK Menimbang
:
a. bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan yang diterima tanggal ........…. dan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Triwulan ........…. Tahun ........…. atas pelaksanaan Pendaftaran Penanaman Modal/Izin
Prinsip
Persetujuan
Penanaman
tanggal
........….
atas
Penanaman Modal
nama
PT.
Modal/Surat
Nomor
........….
........….
yang
bergerak di bidang usaha ........…. dengan lokasi di Kabupaten/Kota
........….
Provinsi
........….,
permohonan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;
-2-
b. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan Kepala
BKPM/BPMPTSP
PROVINSI/BPMPTSP
KABUPATEN/KOTA/PTSP KPBPB/PTSP KEK tentang Izin Usaha ........…. Mengingat
:
1. Undang-Undang
...............
(Kementerian
teknis
terkait); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1986
tentang Kewenangan Pengaturan,
Pembinaan dan
Pengembangan Industri; 5. Peraturan
Pemerintah
Nomor
20
Tahun
1994
tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah
diubah
dengan
Peraturan
Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001; 6. Peraturan Pemerintah ........…. (Kementerian teknis terkait); 7. Keputusan Presiden ........…. (Kementerian teknis terkait); 8. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2012; 9. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu; 10. Peraturan
Menteri
........….
(Pelimpahan/Pendelegasian dari Kementerian teknis terkait); 11. Peraturan
Menteri
........….
(Kementerian
teknis
terkait); 12. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor ... Tahun ... tentang Pedoman dan Tata
-3-
Cara
Pengajuan
Permohonan
Perizinan
dan
Nonperizinan Penanaman Modal. MEMUTUSKAN: Menetapkan
PERTAMA
:
:
Memberikan
Izin
Usaha
…
kepada
perusahaan
penanaman modal asing/dalam negeri: 1. Nama Perusahaan
: .................................
2. a. Akta pendirian dan
: Nomor... tanggal …
oleh Notaris….. perubahannya b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ...... Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM 3. Bidang Usaha
: ................................
4. Nomor perusahaan
: ................................
5. NPWP
: .................................
6. Penanggung jawab
: .................................
Perusahaan
**
Catatan: **) khusus untuk izin usaha di bidang industri hanya untuk minuman beralkohol 7. Alamat a. Kantor Pusat Telepon/Faksimile b. Lokasi Proyek***
: ................................. : ................................. : ................................. ................................
Telepon/Faksimile
: ................................
Catatan: ***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha industri) Atau Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun.... sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri diberlakukan.
-4-
8. a. Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa per tahun: Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas Keterangan**** …..………
…… ……...
........
…........
…..………
…… ……...
........
…........
b. Pemasaran (bila ada ekspor) - .................: ...... % ( .....................) ekspor Keterangan: ****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau US$.) - Jenis produksi tidak termasuk yang wajib ekspor - Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi produk dalam lingkup industri …….. - Tidak diperkenankan melakukan kegiatan perdagangan ……... - Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra) 9 . Investasi (Rp. atau US$) a. Modal Tetap - Pembelian dan pematangan
: ….......................
tanah - Bangunan dan gedung : …........................ - Mesin dan peralatan
: …........................
Lain-lain
: …........................
Sub. Jumlah
: …........................
b. Modal Kerja (untuk 1
: …........................
turn over/3 bulan) c. Jumlah
: ….......................
Keterangan 10. Tenaga Kerja Indonesia
: ......Orang(..L/.P)
11. Penggunaan Tanah
: ...... m2/ha*****)
-5-
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas nama PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala ..... (instansi pertanahan daerah) KEDUA
:
Mewajibkan perusahaan sebagaimana tersebut pada diktum PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai berikut : 1. Mengajukan izin perluasan :
a. di
bidang
usaha
industri
melakukan
peningkatan kapasitas produksi untuk jenis produksi dalam 5 (lima) digit KBLI yang sama dan kapasitas lebih besar dari 30 persen dari kapasitas izin dilakukan di lokasi yang sama dengan kegiatan produksi sebelumnya;
b. di bidang usaha selain industri melakukan penambahan
investasi
dan
peningkatan
kapasitas produksi untuk KBLI 4 (empat) digit yang sama yang dilaksanakan di lokasi yang sama
atau
berbeda
dengan
pelaksanaan
kegiatan penanaman modal yang tercantum dalam izin usaha sebelumnya 2. Melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam dokumen AMDAL/RKL-RPL atau UKL-UPL (atau
melaksanakan
kegiatan
pengelolaan
pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku). 3. Memenuhi
ketentuan
nilai
investasi
Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau setaranya dalam US Dollar di luar nilai investasi untuk
tanah
dan
bangunan
(khusus
untuk
pengajuan izin usaha perdagangan dan/atau jasa sektor tertentu) 4. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan (semester) berikut:
dengan
periode
laporan
sebagai
-6-
1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat pada
akhir
bulan
Juli
tahun
yang
disampaikan
paling
bersangkutan; 2) Laporan lambat
Semester pada
II
akhir
bulan
Januari
tahun
berikutnya. kepada : a. Kepala BPMPTSP Provinsi; b. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota; c. Kepala BKPM c.q. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di kawasan industri). KETIGA
:
Izin Usaha …... ini berlaku: 1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan …. dan seterusnya selama perusahaan masih melakukan kegiatan usaha (atau sesuai dengan ketentuan perundang-undangan); 2. Untuk
melaksanakan
kegiatan
pembelian/penjualan dalam negeri dan ekspor dengan mengikuti ketentuan yang berlaku (atau untuk melaksanakan kegiatan usaha ….. dengan mengikuti ketentuan yang berlaku); 3. Untuk
pemakaian
gudang
atau
tempat
penyimpanan yang berada dalam komplek/tempat usaha yang bersangkutan. 4. (Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin Prinsip
Penanaman
Modal
lebih
dari
satu
sektor/bidang usaha/lokasi proyek dan baru direalisasi sebagian) Izin Usaha..... (sesuai dengan nomenklatur) yang diterbitkan berdasarkan Izin Prinsip masih
Penanaman tetap
berlaku
Modal
Nomor...tanggal...
sebagai
pelaksanaan kegiatan usaha .... .
dasar
hukum
-7-
KEEMPAT
:
Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan telah siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA
:
Apabila
ketentuan
dalam
keputusan
ini
tidak
dipenuhi, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. KEENAM
:
Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan, dan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di
:
Pada Tanggal
: a.n. MENTERI ......
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, atau KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK ……………………………………….. Tembusan disampaikan kepada Yth. : 1. Menteri ........... (kementerian teknis terkait); 2. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (bagi Izin Usaha dalam rangka penggabungan perusahaan atau akuisisi); 3. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; 4. Direktur Jenderal Pajak; 5. Direktur Jenderal Bea dan Cukai; 6. Gubernur yang bersangkutan; 7. Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara asal Penanam Modal Asing; 8. Kepala BKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan BPMPTSP PROVINSI/ BPMPTSP KABUPATEN/KOTA atau PTSP KPBPB atau PTSP KEK); 9. Kepala BPMPTSP PROVINSI (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP KABUPATEN/KOTA);
-8-
10. Kepala BPMPTSP KABUPATEN/KOTA (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP PROVINSI); 11. Pejabat Promosi Investasi Indonesia di negara asal Penanam Modal Asing. KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN IV PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Surat Penolakan KOP SURAT INSTANSI (sesuai kewenangan) Nomor
:
Jakarta,
Sifat
:
Lampiran
:
Perihal
: Penolakan Pemberian Izin…..... * (sesuai dengan nomenklatur) Kepada Yth. ........................................ ........................................ ........................................ Sehubungan dengan permohonan Saudara yang diterima PTSP PUSAT DI BKPM/BPMPTSP PROVINSI/BPMPTSP KABUPATEN/ KOTA/PTSP permohonan
KPBPB/PTSP ………..*
KEK
(sesuai
tanggal dengan
......................
perihal
nomenklatur),
dan
memperhatikan: a. ......; b. ......; c. dst. dengan ini kami menolak untuk memberikan izin ..........* (sesuai dengan nomenklatur), dengan alasan sebagai berikut: 1. ...................... 2. ....................... 3. dst.
-2-
……., ………… a.n. MENTERI ...... KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, atau GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ............................................... Tembusan : 1. Menteri ........…. (kementerian teknis terkait); 2. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; 3. Direktur Jenderal Pajak; 4. Gubernur yang bersangkutan; 5. Kepala BPMPTSP Provinsi; 6. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN V PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Izin Perluasan (Khusus di bidang industri)/ Izin Usaha Perluasan KOP SURAT INSTANSI (Sesuai Kewenangannya) NOMOR : TENTANG IZIN PERLUASAN (Khusus di Bidang Industri)/IZIN USAHA PERLUASAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING* *coret yang tidak perlu KEPALA BKPM atau BPMPTSP PROVINSI atau BPMPTSP KABUPATEN/KOTA Menimbang
:
a.
bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan yang diterima tanggal .......…. dan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Triwulan.......…. Tahun .......…. atas pelaksanaan Pendaftaran Perluasan Penanaman
Modal/Izin
Penanaman
Modal/Surat
Prinsip
Perluasan
Persetujuan
Perluasan
Penanaman Modal No. .......…. tanggal .......…. atas nama PT. .......…. yang bergerak di bidang usaha .......…. dengan lokasi di Kabupaten/ Kota .......…. Provinsi
.......….,
permohonan
tersebut
telah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan
-2-
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Izin Perluasan/Izin Usaha Perluasan; Mengingat
:
1.
Undang-Undang .......…. (Kementerian teknis terkait);
1.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
3.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
17
Tahun
1986
tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri; 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001;
5.
Peraturan Pemerintah .......…. (Kementerian teknis terkait);
6.
Keputusan Presiden .......…. (Kementerian teknis terkait);
7.
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2012;
8.
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
9.
Peraturan
Menteri
.......….
(Pelimpahan/pendelegasian dari Kementerian teknis terkait); 10. Peraturan
Menteri
.......….
(Kementerian
teknis
terkait); 11. Peraturan
Kepala
Badan
Koordinasi
Penanaman
Modal Nomor .... Tahun ... tentang Pedoman dan Tata Cara
Pengajuan
Permohonan
Nonperizinan Penanaman Modal.
Perizinan
dan
-3-
Memperhatikan
:
1.
Izin Usaha ...........................;
2.
Izin Usaha ...........................; MEMUTUSKAN
Menetapkan
PERTAMA
:
:
Memberikan Izin Perluasan/ Izin Usaha Perluasan kepada perusahaan penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri: 1. Nama Perusahaan
: .................................
2. a. Akta pendirian dan
: Nomor... tanggal …
oleh Notaris….. perubahannya b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ...... Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM 3. Bidang Usaha
: ................................
4. Nomor perusahaan
: ................................
5. NPWP
: .................................
6. Penanggung jawab
: …..........................
Perusahaan ** Catatan: **) khusus untuk izin usaha dibidang industri hanya untuk minuman beralkohol) 7. Alamat a. Kantor Pusat Telepon/Faksimile b. Lokasi Proyek***
: ................................. : ............................... : ................................. ................................
Telepon/Faksimile
: ................................
Catatan: ***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha industri) Atau
-4-
Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun .... sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri diberlakukan 8. a. Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa per tahun: Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas Keterangan**** …..………
…… ……...
........
…........
…..………
…… ……...
........
…........
b. Pemasaran (bila ada ekspor) - .................: ...... % ( .....................) ekspor Keterangan: ****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau US$.) - Jenis
produksi
tidak
termasuk
yang
wajib
ekspor - Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi produk dalam lingkup industri …… - Tidak
diperkenankan
melakukan
kegiatan
perdagangan .... - Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra) 9 . Investasi (Rp atau US$) : a. Modal Tetap
:
- Pembelian dan pematangan : …...................... tanah - Bangunan dan gedung
: .........................
- Mesin & peralatan
: ….....................
- Lain-lain
: ….....................
Sub. Jumlah
: ….....................
b. Modal Kerja
: …....................
c. Jumlah
: …....................
10. Tenaga Kerja Indonesia
: ..orang (..L /..P)
11. Penggunaan Tanah
: ..... m2/ha
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas nama PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala ..... (instansi pertanahan daerah)
-5-
KEDUA
:
Mewajibkan
perusahaan
sebagaimana
tersebut
pada
diktum PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai berikut : 1. Mengajukan izin perluasan :
a. di bidang usaha industri melakukan peningkatan kapasitas produksi untuk jenis produksi dalam 5 (lima) digit KBLI yang sama dan kapasitas lebih besar
dari
30
persen
dari
kapasitas
izin
dilakukan dilokasi yang sama dengan kegiatan produksi sebelumnya;
b. di bidang usaha selain industri melakukan penambahan
investasi
dan
peningkatan
kapasitas produksi untuk KBLI 4 (empat) digit yang sama yang dilaksanakan di lokasi yang sama atau berbeda dengan pelaksanaan kegiatan penanaman modal yang tercantum dalam izin usaha sebelumnya. 2. Melaksanakan dalam
semua
dokumen
(atau
ketentuan
AMDAL/RKL-RPL
melaksanakan
pemantauan
yang
lingkungan
atau
kegiatan hidup
tercantum UKL-UPL
pengelolaan sesuai
dengan
ketentuan yang berlaku); 3. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan (semester) dengan periode laporan sebagai berikut: 1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan; 2) Laporan Semester II disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya. kepada : a. Kepala BPMPTSP Provinsi; b. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota; c. Kepala BKPM c.q. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di kawasan industri).
-6-
KETIGA
:
Izin Perluasan/ Izin Usaha Perluasan ini berlaku: 1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan …. dan seterusnya selama perusahaan masih melakukan kegiatan
usaha
(atau
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan); 2. Untuk melaksanakan kegiatan pembelian/penjualan dalam negeri dan ekspor dengan mengikuti ketentuan yang berlaku (atau untuk melaksanakan kegiatan usaha ….. dengan mengikuti ketentuan yang berlaku); 3. Untuk pemakaian gudang atau tempat penyimpanan yang berada dalam komplek/tempat usaha yang bersangkutan. 4. Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin Prinsip Penanaman Modal lebih dari satu sektor/bidang usaha/lokasi proyek dan baru direalisasi sebagian) Izin Usaha..... (sesuai dengan nomenklatur) yang diterbitkan
berdasarkan
Izin
Prinsip
Penanaman
Modal Asing Nomor...tanggal... masih tetap berlaku sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan usaha .... KEEMPAT
:
Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan telah siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA
:
Apabila ketentuan dalam keputusan ini tidak dipenuhi, dapat
dikenakan
sanksi
sesuai
dengan
peraturan
perundangan yang berlaku. KEENAM
:
Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan,
dan
akan
sebagaimana mestinya. Ditetapkan di
:
Pada Tanggal
:
diadakan
perbaikan
-7-
a.n. MENTERI ......... KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, atau KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK atau GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ........................................... Tembusan disampaikan kepada Yth. : 1. Menteri ....... (kementerian teknis terkait); 2. Kepala BKPM; 3. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; 4. Direktur Jenderal Pajak; 5. Gubernur yang bersangkutan; 6. Kepala BPMPTSP Provinsi; 7. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota. KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VI PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal
KOP SURAT INSTANSI (sesuai kewenangan) NOMOR : TENTANG IZIN USAHA PENGGABUNGAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING* *) pilih salah satu
(Kepala PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota) Menimbang
:
a. bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan yang diterima tanggal ........…. dan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Triwulan ........…. Tahun ........…. atas pelaksanaan Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal No. ........…. tanggal ........…. atas nama PT. ........…. yang bergerak di bidang usaha ........…. dengan lokasi di Kabupaten/Kota ........…. Provinsi ........…., permohonan tersebut telah memenuhi syarat-syarat undangan;
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
-2-
b. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal/ Kepala BPMPTSP Provinsi / Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota/Kepala PTSP KPBPB/ Kepala PTSP KEK* tentang Izin Usaha Penggabungan Perusahaan. Mengingat
: 1. 2.
Undang-Undang ........…. (Kementerian teknis terkait); Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2007
tentang
2014
tentang
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986
tentang
Penanaman Modal; 3.
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
Pemerintah Daerah; 4.
Kewenangan
Pengaturan,
Pembinaan
dan
Pengembangan Industri; 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001;
6.
Peraturan
Pemerintah
........….
(Kementerian
teknis
(Kementerian
teknis
terkait); 7.
Keputusan
Presiden
........….
terkait); 8.
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2012;
9.
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu
Pintu di Bidang Penanaman
Modal; 10. Peraturan Menteri ........…. (Pelimpahan/pendelegasian dari Kementerian teknis terkait); 11. Peraturan Menteri ........…. (Kementerian teknis terkait); 12. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor.. Tahun .. tentang Pedoman dan Tata Cara
-3-
Pengajuan
Permohonan
Perizinan
dan
Nonperizinan
Penanaman Modal. MEMUTUSKAN Menetapkan
:
PERTAMA
:
Memberikan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan kepada perusahaan penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri: 1. Nama Perusahaan
: .................................
2. a. Akta pendirian dan
: Nomor... tanggal … oleh
perubahannya
Notaris…..
b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ...... Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM 3. Bidang Usaha
: ................................
4. Nomor perusahaan
: ................................
5. NPWP
: .................................
6. Penanggung jawab
: ................................
Perusahaan ** Catatan: **) khusus untuk izin usaha di bidang industri hanya untuk minuman beralkohol) 7. Alamat a. Kantor Pusat Telepon/Faksimile b. Lokasi Proyek***
: : ................................. : ............................... : ................................. ................................
Telepon/Faksimile
: ................................
Catatan: ***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha industri) Atau Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun .... sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri diberlakukan.
-4-
8. a.Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa per tahun: Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas Keterangan**** …..………
…… ……...
........
…........
…..………
…… ……...
........
…........
b. Pemasaran (bila ada ekspor) - .................: ...... % ( .....................) ekspor Keterangan: ****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau US$.) - Jenis
produksi
tidak
termasuk
yang
wajib
ekspor - Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi produk dalam lingkup industri …… - Tidak
diperkenankan
melakukan
kegiatan
perdagangan .... - Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra) 9. Investasi (Rp atau US$) a. Modal Tetap
:
- Pembelian dan pematangan : …...................... tanah - Bangunan dan gedung
: .........................
- Mesin & peralatan
: ….....................
- Lain-lain
: ….....................
Sub. Jumlah
: ….....................
b. Modal Kerja
: …....................
c. Jumlah
: …....................
10. Tenaga Kerja Indonesia
: ..orang (..L /..P)
11. Penggunaan Tanah
: ..... m2/ha
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas nama PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala ..... (instansi pertanahan daerah)
-5-
KEDUA
:
Mewajibkan perusahaan sebagaimana tersebut pada diktum PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai berikut : 1. Mengajukan Izin Perluasan:
a.
di bidang usaha industri melakukan peningkatan kapasitas produksi untuk jenis produksi dalam 5 (lima) digit KBLI yang sama dan kapasitas lebih besar dari 30 persen dari kapasitas izin dilakukan di lokasi
yang
sama
dengan
kegiatan
produksi
sebelumnya;
b.
di
bidang
usaha
selain
industri
melakukan
penambahan investasi dan peningkatan kapasitas produksi untuk KBLI 4 (empat) digit yang sama yang
dilaksanakan
di
lokasi
yang
sama
atau
berbeda dengan pelaksanaan kegiatan penanaman modal
yang
tercantum
dalam
izin
usaha
sebelumnya. 2. Melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam dokumen
AMDAL/RKL-RPL
melaksanakan lingkungan
kegiatan
hidup
atau
UKL-UPL
pengelolaan
sesuai
dengan
(atau
pemantauan
ketentuan
yang
berlaku); 3. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan (semester) dengan periode laporan sebagai berikut:
1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan;
2) Laporan Semester II disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya. kepada : a. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota; b. Kepala BPMPTSP Provinsi; c. Kepala
BKPM
c.q.
Deputi
Bidang
Pengendalian
Pelaksanaan Penanaman Modal; d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di kawasan industri).
-6-
KETIGA
:
Izin Usaha Penggabungan Perusahaan bagi perusahaan penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri ini berlaku : 1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan …. dan seterusnya kegiatan
selama usaha
perusahaan
(atau
sesuai
masih
melakukan
dengan
ketentuan
perundang-undangan); 2. Untuk
melaksanakan
kegiatan
pembelian/penjualan
dalam negeri dan ekspor dengan mengikuti ketentuan yang berlaku (atau untuk melaksanakan kegiatan usaha …..................
dengan
mengikuti
ketentuan
yang
berlaku); 3. Untuk pemakaian gudang atau tempat penyimpanan yang
berada
dalam
komplek/tempat
usaha
yang
bersangkutan. 4. (Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin Prinsip Penanaman
Modal
lebih
dari
satu
sektor/bidang
usaha/lokasi proyek dan baru direalisasi sebagian) Izin Usaha..... (sesuai dengan nomenklatur) yang diterbitkan berdasarkan
Izin
Prinsip
Penanaman
Modal
Asing
Nomor...tanggal... masih tetap berlaku sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan usaha .... . KEEMPAT
:
Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan telah siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA
:
Apabila ketentuan dalam keputusan ini tidak dipenuhi, dapat
dikenakan
sanksi
sesuai
dengan
peraturan
perundangan yang berlaku. KEENAM
:
Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan,
sebagaimana mestinya.
dan
akan
diadakan
perbaikan
-7-
Ditetapkan di : Pada Tanggal : a.n. MENTERI ......... KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, atau KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK atau GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ……………………………………
Tembusan disampaikan kepada Yth. : 1.
Menteri ....... (Kementerian teknis terkait);
2.
Direktur Jenderal teknis yang bersangkutan;
3.
Direktur Jenderal Pajak;
4.
Gubernur yang bersangkutan;
5.
Kepala BPMPTSP Provinsi;
6.
Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VII PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Permohonan Perubahan Penanaman Modal
PERMOHONAN PERUBAHAN PENANAMAN MODAL
Permohonan ini disampaikan kepada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau PTSP KEK * untuk mendapatkan persetujuan perubahan atas realisasi penanaman modal yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin Usaha Penggabungan Perusahaan, dan seluruh perubahannya. Nama Perusahaan
: PT. ..........................................................
Perizinan yang akan diubah
: ............................................sebagai berikut :
KETENTUAN
SEMULA
MENJADI
*) pilih salah satu Catatan : diisi dengan ketentuan yang akan diubah semula : adalah data ketentuan yang akan diubah sebagaimana yang tercantum dalam Perizinan yang dimiliki
-2-
menjadi : adalah data ketentuan yang diinginkan perusahaan Alasan perubahan : ……………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………………………. PERNYATAAN Bahwa saya, nama
: ……………………….,
dalam kapasitas saya sebagai
Pimpinan Perusahaan PT .............................. dengan ini menyatakan : 1. Apabila dalam pelaksanaan penanaman modal
ini di kemudian hari
menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, Perusahaan bersedia memikul segala akibat yang ditimbulkan termasuk penggantian kerugian kepada masyarakat. 2. Saya
menyatakan
bahwa
permohonan
ini
dibuat
dengan
benar,
ditandatangani oleh yang berhak di atas meterai yang cukup, dan saya menyatakan bahwa saya menjamin dan bertanggungjawab secara hukum atas:
a. Keaslian seluruh dokumen yang disampaikan, b. Kesesuaian seluruh rekaman/fotokopi data yang disampaikan dengan dokumen aslinya, dan
c. Keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan.
…………………………..,……….20…….. Pemohon, Tanda Tangan dan Stempel Perusahaan Meterai Rp. 6.000,……………….……………… Nama dan Jabatan Penandatangan
-3Penandatanganan permohonan yang didalamnya tercantum PERNYATAAN harus dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan. Untuk kondisi yang sangat khusus dan terbatas, penandatanganan dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan - satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan, dilengkapi dengan: a.
Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinan bagi direksi/pimpinan perusahaan untuk menandatangani permohonan dan bahwa direksi/pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan; b. Surat Perintah Tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman identitas diri direksi/pimpinan perusahaan dengan menunjukkan aslinya; d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VIII PERATURAN
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL Bentuk Izin Usaha Perubahan KOP SURAT INSTANSI (sesuai kewenangan) IZIN USAHA PERUBAHAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING* *) pilih salah satu Nomor
:
Nomor Perusahaan
:
Sehubungan dengan permohonan yang Saudara sampaikan tanggal ……… dengan ini diberitahukan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Republik Indonesia memberikan IZIN USAHA PERUBAHAN, sebagai berikut : 1. Nama Perusahaan
: ………………………………………
2. NPWP
: ………………………………………
3. Alamat Kedudukan Perusahaan
:
a. Alamat Kantor Pusat
: ………………………………………
b. Kabupaten/Kota
: ………………………………………
c. Provinsi
: ………………………………………
d. Telepon
: ………………………………………
e. Faksimile
: ………………………………………
f. E-mail
: ………………………………………
-2-
4. Rekomendasi/Izin Operasional
: ………………………………………
(jika dipersyaratkan, diisi dengan nomor, tanggal dan nama pemerintah/instansi penerbit rekomendasi /izin operasional) 5. Perizinan yang akan diubah
: ………………………………………
(diisi dengan nomor/tanggal perizinan) 6. Data perubahan
KETENTUAN
: SEMULA
MENJADI
Jenis KBLI Satuan Kapasitas Keterangan
Jenis KBLI Satuan Kapasitas Keterangan
1. Lokasi Proyek a. Alamat b. Kabupaten/ Kota c. Provinsi 2.a. Jenis dan Kapasitas produksi terpasang/ jenis jasa pertahun
b. Pemasaran (bila ada
...........: ..... % ( ...............) ekspor
...........: ..... % ( ...............) ekspor
ekspor) 3. Masa berlaku izin usaha
catatan : dicantumkan catatan yang diperlukan terkait dengan perubahan produksi LAIN- LAIN : 1. Persetujuan atas perubahan yang dinyatakan dalam Izin Usaha Perubahan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin Perluasan Nomor .............. tanggal .............. 2. Hal-hal lain yang tidak dinyatakan dalam Izin Usaha Perubahan ini, sepanjang tidak bertentangan dengan atau masih dalam ketentuan, hak dan kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam perizinan sebelumnya, tetap berlaku sebagaimana adanya.
-3-
a.n. MENTERI ......... KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, atau KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK atau GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …………………………………… Tembusan disampaikan kepada Yth. : 1.
Menteri ....... (kementerian teknis terkait);
2.
Kepala BKPM;
3.
Direktur Jenderal teknis yang bersangkutan;
4.
Direktur Jenderal Pajak;
5.
Gubernur yang bersangkutan;
6.
Kepala BPMPTSP Provinsi;
7.
Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, ttd. FRANKY SIBARANI
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL, Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal; b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; c. Pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang Penanaman Modal; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844; 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 4. Undang-Undang ...
-2-
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1.
Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2.
Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
3.
Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
4.
Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5.
Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6.
Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Laporan ...
-3-
7.
Laporan Kegiatan Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat LKPM, adalah laporan berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal.
8.
Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
9.
Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat PDPPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah provinsi.
10. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat PDKPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten/kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah kabupaten/kota. 11. Departemen adalah lembaga yang dipimpin oleh seorang menteri yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan dan nonperizinan bagi penanam modal. 12. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP, adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. 13. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan, PDPPM, dan PDKPM. 14. Portal SPIPISE adalah piranti lunak berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal di Indonesia. 15. Pengelola adalah Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM yang melakukan pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan SPIPISE secara berkelanjutan. 16. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan dan acuan penilaian kualitas layanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. 17. Jejak audit adalah rekam jejak seluruh tahap proses yang dilakukan baik dalam satu instansi atau lembaga maupun antarlembaga, untuk menjaga keabsahan hasil proses secara hukum, serta melengkapi semua jejak kejadian dan pertanggungjawaban atas setiap penyimpangan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemberi layanan perizinan. 18. Akses adalah kegiatan menggunakan SPIPISE. 19. Hak ...
-4-
19. Hak akses adalah hak yang diberikan oleh pengelola SPIPISE kepada pengguna SPIPISE yang telah memiliki identitas pengguna dan kode akses untuk menggunakan SPIPISE. 20. Identitas pengguna (user ID) adalah nama atau pengenal unik sebagai identitas diri dari pengguna SPIPISE. 21. Kode akses adalah kumpulan angka, huruf, simbol, karakter lainnya, atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk memverifikasi identitas pengguna. 22. Akun pengguna (user account) yang selanjutnya disebut akun adalah tempat menyimpan berbagai informasi milik pengguna yang disimpan dalam SPIPISE minimal mencakup identitas pengguna dan kode akses. 23. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telekopi (telecopy), atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 24. Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. 25. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti, atau yang dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 26. Antarmuka sistem (system interface) adalah metode interaksi antara SPIPISE dengan sistem lainnya di luar SPIPISE. 27. Sistem rujukan statistika adalah suatu sistem yang ditetapkan sebagai acuan dalam merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. 28. Data referensi adalah data dasar yang disepakati sebagai acuan dalam lalu-lintas hubungan pertukaran data dalam SPIPISE. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Peraturan ini dimaksudkan untuk mengatur penanam modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan dengan SPIPISE.
Pasal 3 …
-5-
Pasal 3 SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan a. penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman modal; b. pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; c. integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan; d. keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah. BAB III RUANG LINGKUP SPIPISE Pasal 4 (1) SPIPISE terdiri dari : a. Subsistem Informasi Penanaman Modal; b. Subsistem Pelayanan Penanaman Modal; c. Subsistem Pendukung. (2) Subsistem Informasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, menyediakan jenis informasi, antara lain a. peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal; b. potensi dan peluang penanaman modal; c. daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan; d. jenis, tata cara proses permohonan, biaya, dan waktu pelayanan perizinan dan nonperizinan; e. tata cara pencabutan perizinan dan nonperizinan; f. tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal; g. tata cara pengaduan terhadap pelayanan penanaman modal; h. data referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal; i. data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas, upah, dan tanah; j. informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal. (3) Subsistem Pelayanan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari sistem elektronik, antara lain a. pelayanan perizinan dan nonperizinan; b. pelayanan penyampaian LKPM; c. pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan; d. pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi; e. aplikasi ...
-6-
e. aplikasi antarmuka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis dan/atau instansi terkait dengan penanaman modal; f. penelusuran proses nonperizinan;
pelayanan
permohonan
perizinan
dan
g. jejak audit (audit trail). (4) Subsistem Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari sistem elektronik, antara lain a. pengaturan penggunaan jaringan elektronik; b. pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik; c. pengelolaan informasi yang ditampilkan dalam NSWi; d. pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE; e. pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal; f. pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; g. penyediaan panduan penggunaan SPIPISE. Pasal 5 (1) Sistem Elektronik Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a ayat (1) dan (2) dibangun pengelola dalam bentuk a. sistem elektronik terpusat, menjadi kewenangan PTSP;
bagi perizinan dan nonperizinan yang
b. antarmuka sistem SPIPISE dengan instansi teknis yang memiliki sistem elektronik yang memenuhi persyaratan kelayakan transaksi elektronik, bagi perizinan dan nonperizinan yang tidak menjadi kewenangan PTSP; c. formulir elektronik permohonan dan persetujuan perizinan dan nonperizinan untuk instansi teknis, bagi pelayanan perizinan dan nonperizinan yang tidak termasuk pada huruf a dan huruf b. d. fasilitas penyimpanan atau pengisian dokumen elektronik perizinan dan nonperizinan yang telah disahkan oleh BKPM, PDPPM, PDKPM, atau instansi terkait. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah a. mengikuti ketentuan peraturan informasi dan transaksi elektronik;
perundang-undangan
tentang
b. menyediakan sistem elektronik pertukaran data dengan SPIPISE sesuai dengan spesifikasi yang disepakati antara pengelola dan instansi yang bersangkutan; c. menyediakan pengelola;
informasi
ketersediaan
sistem
elektronik
kepada
d. menyediakan jaringan elektronik yang teramankan.
Pasal 6 …
-7-
Pasal 6 (1) Penanam Modal dapat menyampaikan pengaduan melalui SPIPISE terhadap a. pelayanan perizinan dan nonperizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan, mekanisme, prosedur, dan tingkat pelayanan (service level arrangement/SLA) yang ditampilkan dalam portal SPIPISE; b. kendala, hambatan, dan masalah dalam penggunaan aplikasi SPIPISE. (2) SPIPISE akan mengirimkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada BKPM, PDPPM, PDKPM, dan/atau instansi terkait yang menerbitkan perizinan dan nonperizinan yang diadukan. (3) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan/atau instansi terkait harus memberikan tanggapan terhadap pengaduan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui SPIPISE selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja sejak pengaduan diterima. (4) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait dapat menyampaikan pengaduan terkait kendala, hambatan, dan masalah dalam penggunaan aplikasi SPIPISE kepada pengelola. (5) Pengelola memberikan tanggapan terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (4) melalui SPIPISE selambatlambatnya dalam 2 (dua) hari kerja sejak pengaduan diterima. Pasal 7 (1) Server SPIPISE ditempatkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) SPIPISE dapat diakses melalui portal SPIPISE yang diberi nama National Single Window for Investment (NSWi). BAB IV HAK AKSES Pasal 8 (1) Setiap orang dapat mengakses Subsistem Informasi Penanaman Modal, tanpa menggunakan hak akses. (2) Penanam modal dapat mengakses sistem elektronik a. perizinan dan nonperizinan, b. laporan kegiatan penanaman modal (LKPM), c. pencabutan dan pembatalan perizinan dan nonperizinan, d. pemantauan pelayanan permohonan perizinan dan nonperizinan, dalam Subsistem Pelayanan Penanaman Modal dengan menggunakan hak akses. (3) Pelayanan perizinan dan nonperizinan sebagaimana pada ayat (2) huruf a, khusus untuk Pendaftaran Penanaman Modal, dapat diakses penanam modal, tanpa menggunakan hak akses.
(4) Penanam ...
-8-
(4) Penanam modal hanya dapat mengakses Subsistem Pendukung yang terbatas pada: a. pelayanan pengaduan terhadap nonperizinan;; b. panduan penggunaan SPIPISE,
pelayanan
perizinan
dan
tanpa menggunakan hak akses. (5) Pelaksana pelayanan perizinan dan nonperizinan di BKPM, PDPPM, dan PDKPM harus menggunakan hak akses untuk mengakses seluruh Subsistem Pelayanan Penanaman Modal. (6) Pelaksana pelayanan perizinan dan nonperizinan di BKPM, PDPPM, dan PDKPM dapat mengakses Subsistem Pendukung a. pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan serta masalah dalam penggunaan SPIPISE; b. pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan putusan yang terkait dengan penanaman modal; c. pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal; d. panduan penggunaan SPIPISE. dengan menggunakan hak akses, kecuali huruf a dan huruf d, tanpa menggunakan hak akses. (7) Pengelola SPIPISE memiliki hak akses ke seluruh subsistem SPIPISE. Pasal 9 (1) Untuk mendapatkan hak akses SPIPISE, penanam modal harus mengajukan secara langsung ke BKPM, atau PDPPM, atau PDKPM yang telah menggunakan SPIPISE. (2) Penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membawa dokumen berupa a. tanda pengenal pemohon berupa KTP/paspor; b. bukti sebagai pimpinan perusahaan atau badan usaha atau koperasi, seperti: 1. akta atau akta terakhir yang mencantumkan susunan direksi badan usaha yang dilengkapi dengan pengesahan atau persetujuan oleh departemen yang membidangi masalah hukum, 2. tanda daftar di Pengadilan bagi badan usaha tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, atau 3. pengesahan akte pendirian koperasi dari kementerian/dinas yang membidangi koperasi. (3) Dalam hal penanam modal tidak dapat mengajukan langsung hak akses ke BKPM, PDPPM, atau PDKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penanam modal dapat menunjuk pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli bermeterai cukup yang dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa. (4) Bentuk surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran I. (5) Penanam ...
-9-
(5) Penanam modal atau yang mewakili penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus mengisi Formulir Permohonan Hak Akses, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. (6) BKPM, PDPPM, atau PDKPM menerima dan menilai permohonan hak akses yang diajukan penanam modal. (7) Jika hasil penilaian permohonan hak akses telah memenuhi persyaratan, BKPM, PDPPM atau PDKPM akan menerbitkan hak akses berupa surat persetujuan secara otomatis oleh SPIPISE, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. (8) Pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sekaligus disampaikan dengan pemberian akun penanam modal. (9) Pemberian hak akses diterbitkan selambat-lambatnya 2 (dua) jam setelah permohonan hak akses beserta dokumen pendukungnya diterima oleh petugas PTSP dan dinyatakan lengkap dan benar. (10) Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu selambatlambatnya 1 (satu) hari setelah hak akses diberikan. (11) Apabila penggantian kode akses sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan, secara otomatis hak akses akan dinonaktifkan. (12) Penanam modal dapat mengajukan perubahan atau pengalihan hak akses yang telah dimiliki kepada BKPM, PDPPM, atau PDKPM yang menerbitkan hak akses. Pasal 10 (1) PDPPM, atau PDKPM, atau instansi teknis dapat mengajukan secara tertulis permohonan hak akses penggunaan SPIPISE dan penetapan administrator hak akses kepada pengelola, dengan mengisi permohonan sebagaimana tercantum pada Lampiran IV. (2) Atas permohonan penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola melakukan a. evaluasi ketersediaan piranti keras dan piranti lunak serta SDM yang dimiliki pemohon; b. persiapan awal (setting) piranti keras dan piranti lunak yang akan digunakan; c. pelatihan penggunaan SPIPISE kepada SDM yang akan menggunakan SPIPISE; d. evaluasi dan uji coba kesiapan penggunaan SPIPISE. (3) Jika hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d telah dinyatakan memenuhi syarat, pengelola menerbitkan Surat Penetapan Penggunaan SPIPISE yang juga termasuk penetapan administrator dan jumlah hak akses kepada PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis. (4) Jika hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dinyatakan belum memenuhi syarat, pengelola menerbitkan Surat Penolakan Penggunaan SPIPISE kepada PDPPM, PDKPM dan instansi teknis. (5) Bentuk Surat Penetapan Penggunaan SPIPISE atau Surat Penolakan Penggunaan SPIPISE sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tercantum pada Lampiran V.
(6) Administrator ...
- 10 -
(6) Administrator hak akses dari PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis bertanggung jawab atas pengelolaan hak akses kepada pimpinan instansinya. (7) Akibat hukum penyalahgunaan hak akses yang dikelola PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis menjadi tanggung jawab instansi masing-masing. (8) Dalam hal PDPPM sudah mampu melaksanakan evaluasi dan persiapan penggunaan SPIPISE oleh PDKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola dapat melimpahkan kewenangan evaluasi persiapan penggunaan SPIPISE kepada PDPPM. (9) Pelimpahan kewenangan evaluasi persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur tersendiri dengan Peraturan Kepala BKPM. Pasal 11 (1) Pemilik hak akses wajib menjaga keamanan hak akses dan kerahasiaan kode akses yang dimilikinya. (2) Hak akses tidak dapat dipindahtangankan tanpa pemberitahuan kepada BKPM atau PDPPM atau PDKPM pemberi hak akses dengan dilengkapi surat kuasa bermaterai cukup atau surat keterangan penunjukan. (3) Hak akses berlaku secara hukum sebagai bentuk pemberian persetujuan secara elektronik yang bobot tanggung jawabnya setara dengan tanda tangan tertulis. (4) Penyalahgunaan hak akses oleh pihak lain yang disebabkan oleh pemindahtanganan tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab hukum pemilik hak akses. BAB V KETENTUAN SUBSISTEM INFORMASI Pasal 12 Informasi dalam SPIPISE dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pengguna. Pasal 13 (1) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait mengintegrasikan informasi penanaman modal yang dimilikinya ke dalam SPIPISE. (2) Jenis informasi sesuai dengan yang dimaksud pada ayat (1), antara lain sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2). (3) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait menjaga kebenaran, keamanan, kerahasiaan, keterkinian, akurasi, serta keutuhan data dan informasi. Pasal 14 (1) BKPM bersama-sama dengan instansi teknis menetapkan standar data dan informasi yang digunakan dalam SPIPISE. (2) Informasi yang disampaikan oleh BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis berpedoman pada standar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 15 …
- 11 -
Pasal 15 (1) BKPM melakukan harmonisasi dan verifikasi informasi. (2) Harmonisasi dan verifikasi informasi dilakukan oleh masing-masing unit kerja BKPM sesuai dengan tugas dan fungsinya. BAB VI KETENTUAN SUBSISTEM PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Penanam Modal Pasal 16 Penanam modal bertanggung jawab atas kebenaran data dan keabsahan permohonan perizinan dan nonperizinan yang diajukan melalui SPIPISE. Pasal 17 Penanam modal dan penyelenggara SPIPISE berkomunikasi secara elektronik ke alamat email dan/atau akun penanam modal. Pasal 18 (1) Setiap penanam modal yang telah berbentuk badan hukum atau badan usaha yang mengajukan permohonan perizinan dan nonperizinan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM akan diberikan nomor perusahaan secara otomatis oleh SPIPISE. (2) Setiap penanam modal yang tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan akan diberikan nomor perusahaan secara otomatis oleh SPIPISE pada saat memperoleh Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha.. (3) Nomor perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai identitas penanam modal. (4) Penanam modal yang dimaksud pada ayat (1) adalah yang sudah memiliki a. pengesahan dari departemen yang membidangi hukum bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum, b. tanda daftar di Pengadilan bagi badan usaha tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, atau c. pengesahan akte pendirian koperasi dari kementerian/dinas yang membidangi koperasi. Pasal 19 (1) Pendaftaran Penanaman Modal adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal. (2) Penanam modal dapat mengajukan Pendaftaran Penanaman Modal melalui SPIPISE dilengkapi dengan dokumen pendukung secara elektronik. (3) Apabila terdapat dokumen pendukung yang tidak dapat disampaikan secara elektronik, penanam modal menyampaikan dokumen fisik kepada PTSP BKPM atau PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM. (4) PTSP ...
- 12 -
(4) PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM menerbitkan tanda terima permohonan setelah permohonan dinyatakan lengkap dan benar. Pasal 20 (1) Permohonan perizinan dan nonperizinan penanaman modal diajukan oleh penanam modal yang telah memiliki hak akses melalui SPIPISE kepada PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan perizinan dan nonperizinan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung secara elektronik. (3) Kelengkapan dokumen permohonan melalui SPIPISE mengacu pada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal. (4) PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM menerbitkan tanda terima permohonan setelah permohonan dinyatakan lengkap dan benar. Pasal 21 (1) PTSP-BKPM atau PTSP-PDPPM atau PTSP-PDKPM akan menyampaikan perizinan dan nonperizinan secara elektronik ke alamat surat elektronik (e-mail) atau ke akun penanam modal setelah seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM. (2) Dokumen cetak perizinan dan nonperizinan yang telah ditandatangani Kepala BKPM, atau Kepala PDPPM, atau Kepala PDKPM, atau pejabat instansi terkait dapat diambil penanam modal dan/atau penerima kuasa dengan menunjukkan tanda terima. (3) Dalam hal dokumen perizinan dan nonperizinan tidak diambil dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, dokumen perizinan dan nonperizinan dikirim melalui pos ke alamat korespodensi. Pasal 22 Penanam modal dapat menyampaikan LKPM secara elektronik melalui SPIPISE kepada BKPM, PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu kepada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal. Pasal 23 Sistem elektronik LKPM, pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan serta pengenaan sanksi dan pembatalan sanksi penanaman modal dalam SPIPISE mengacu kepada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal. Bagian Kedua BKPM, PDPPM, dan PDKPM Pasal 24 (1) PDPPM dan PDKPM yang terintegrasi dengan SPIPISE harus memiliki tingkat pelayanan (SLA) setiap jenis perizinan dan nonperizinan yang dilayani melalui SPIPISE. (2) Informasi ...
- 13 -
(2) Informasi tingkat pelayanan masing-masing instansi dipublikasikan melalui portal SPIPISE atau NSWi. Pasal 25 PDPPM atau PDKPM yang terintegrasi dengan SPIPISE, masing-masing, harus a. mengoperasikan sistem elektronik berdasarkan panduan penggunaan; b. mengikuti tingkat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); c. menjaga kerahasiaan data dan informasi penanam modal; d. melakukan pemeliharaan keterhubungan/interkoneksi dari PDPPM atau PDKPM ke BKPM; e. melakukan pemeliharaan piranti keras pendukung pelayanan perizinan dan nonperizinan. Pasal 26 PTSP PDPPM dan PTSP PDKPM menggunakan SPIPISE dalam melakukan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Pasal 27 Ketentuan pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal yang menggunakan SPIPISE adalah sebagai berikut: a. permohonan perizinan dan nonperizinan yang diajukan kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM,, dan PTSP PDKPM harus diproses dengan menggunakan SPIPISE; b. petugas/pejabat yang melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan menggunakan hak akses untuk pemberian persetujuan dalam proses otomasi; c. perizinan dan nonperizinan yang dikeluarkan oleh SPIPISE tetap memerlukan tanda tangan basah sebagai dokumen yang sah; d. penomoran perizinan dan nonperizinan dilakukan sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal; e. apabila terjadi kesalahan data atau informasi atas perizinan dan nonperizinan yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM, dilakukan perbaikan dengan cara koreksi atas perizinan dan nonperizinan oleh PTSP yang mengeluarkan dengan tembusan kepada pengelola; f. dalam hal PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM tidak dapat mengakses atau menggunakan SPIPISE 1. permohonan perizinan dan nonperizinan yang lengkap dan benar tetap diterima oleh kantor depan (front office) dengan memberikan tanda terima; 2. penyelesaian permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM, tanpa menggunakan SPIPISE setelah terlebih dahulu memberi tahu secara tertulis kepada pengelola. Pasal 28 ...
- 14 -
Pasal 28 (1) Dalam hal permohonan perizinan dan nonperizinan yang disampaikan melalui SPIPISE telah lengkap dan benar, kantor depan PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM akan memberikan tanda terima melalui surat elektronik atau SPIPISE kepada penanam modal. (2) Dalam hal permohonan perizinan dan nonperizinan yang disampaikan melalui SPIPISE belum lengkap dan benar, kantor depan PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM memberitahukan bahwa permohonan tersebut belum dapat diterima. Pasal 29 LKPM yang lengkap yang disampaikan secara manual, dimasukkan ke dalam SPIPISE oleh BKPM, atau PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya. Pasal 30 Dalam hal LKPM disampaikan secara elektronik a. BKPM. atau PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya akan memberikan tanda terima secara elektronik ke surat elektronik atau akun penanam modal; b. apabila LKPM yang disampaikan belum lengkap, BKPM, PDPPM atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya meminta perbaikan LKPM secara elektronik kepada penanam modal. Pasal 31 LKPM yang disampaikan secara elektronik akan diproses lebih lanjut sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal. Bagian Ketiga Instansi Teknis Pasal 32 Instansi teknis yang telah terintegrasi dengan SPIPISE a. mengoperasikan aplikasi SPIPISE sesuai dengan panduan penggunaan; b. mengikuti tingkat pelayanan yang telah disepakati dan dipublikasikan dalam NSWi; c. menjaga kerahasiaan data dan informasi penanam modal; d. melakukan pemeliharaan piranti keras pendukung dan interkoneksi ke SPIPISE; e. menjaga keamanan lalu-lintas pertukaran data ke SPIPISE. Pasal 33 (1) Instansi teknis yang berwenang di bidang perizinan dan nonperizinan penanaman modal mengintegrasikan sistemnya dengan SPIPISE. (2) Integrasi ...
- 15 -
(2) Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. model interaksi SPIPISE dengan instansi teknis ditetapkan oleh pengelola berdasarkan pemenuhan persyaratan minimum sistem elektronik seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (2); b. model interaksi SPIPISE dengan instansi teknis yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a terlebih dahulu dibahas dan dituangkan dalam bentuk kesepakatan antara pengelola SPIPISE dan instansi teknis; c. kesepakatan sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat hal-hal, antara lain 1. model interaksi yang digunakan; 2. jenis layanan perizinan dan nonperizinan dari instansi teknis yang akan diintegrasikan ke SPIPISE; 3. data yang akan dipertukarkan sesuai dengan format atau standar pertukaran data yang disepakati; 4. tingkat layanan perizinan dan nonperizinan yang tidak dilayani PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP-PDKPM. Bagian Keempat Pengelola SPIPISE Pasal 34 Pengelola SPIPISE bertanggung jawab untuk a. membangun dan mengelola SPIPISE yang menjadi tanggung jawab BKPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan pusat data; b. melakukan koordinasi dengan instansi teknis, PDPPM, dan PDKPM dalam mengembangkan SPIPISE; c. menyediakan panduan penggunaan setiap sistem elektronik perizinan dan nonperizinan dalam Portal SPIPISE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a; d. menjamin interoperabilitas SPIPISE; e. menjamin ketersediaan layanan SPIPISE; f. menjaga keamanan SPIPISE; g. menjaga kinerja dan ketersediaan pusat data SPIPISE; h. melakukan pemantauan dan evaluasi SPIPISE; i. memelihara pusat data, piranti lunak serta piranti keras dan hosting SPIPISE. j. menerbitkan laporan perkembangan penanaman modal secara nasional yang mencakupi laporan kinerja PTSP secara nasional dan laporan kinerja SPIPISE secara nasional yang diterbitkan berkala. Pasal 35 (1) Pengelola melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan penggunaan SPIPISE yang meliputi a. operasionalisasi SPIPISE; b. jaringan ...
- 16 -
b. jaringan, piranti keras, piranti lunak, dan telekomunikasi sebagai bagian dari teknologi informasi pendukung SPIPISE; c. validitas dan integritas data penanaman modal; d. informasi dalam Portal SPIPISE. (2) Pemantauan dan evaluasi SPIPISE dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. (3) Pengelola menyampaikan laporan kinerja SPIPISE kepada Kepala BKPM berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi ini sebagai dasar perbaikan dan pengembangan SPIPISE. Pasal 36 (1) Pengelola menjamin keamanan lalu-lintas pertukaran data dalam SPIPISE melalui a. kontrol akses (access control), suatu sistem yang memungkinkan pengelola mengontrol akses terhadap fasilitas fisik dan sistem informasi; b. kebenaran (authentication), kemampuan setiap pihak yang terlibat dalam transaksi untuk menguji kebenaran dari pihak lainnya; c. kerahasiaan (confidentiality), perlindungan terhadap data/ informasi terhadap kegiatan akses oleh pihak yang tidak berwenang; d. keakuratan (Integrity), perlindungan terhadap keakuratan serta keutuhan, baik untuk data/informasi maupun perangkat lunak; e. non-repudiation, sistem dapat memastikan kebenaran pengirim dan penerima sehingga tidak ada pihak yang dapat menyangkal. (2) Untuk memberikan jaminan keamanan lalu-lintas pertukaran data dalam SPIPISE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola menerapkan mekanisme, antara lain a. enkripsi, untuk menjamin authentication dan integrity; b. tanda tangan digital (digital signature), untuk menjamin kebenaran/keaslian (authentication), keakuratan (integrity), dan nonrepudiation. (3) Gangguan terhadap keamanan lalu-lintas pertukaran data antarinstansi dengan SPIPISE menjadi tanggung jawab masing-masing instansi. Pasal 37 (1) SPIPISE menyediakan jejak audit atas seluruh kegiatan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan. (2) Apabila sistem instansi teknis terintegrasi dengan SPIPISE, sistem tersebut memiliki jejak audit atas seluruh proses sistem elektronik dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan. (3) Jejak audit dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk a. mengetahui dan menguji kebenaran proses transaksi elektronik melalui SPIPISE; b. dasar ...
- 17 -
b. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan data dan informasi antarpemangku kepentingan SPIPISE; c. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan antara dokumen cetak dan data yang tersimpan dalam SPIPISE. (5) Dalam hal terjadi perbedaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan c, data dan informasi yang tersimpan dalam SPIPISE merupakan data dan informasi yang dianggap benar. BAB VII PENGEMBANGAN SPIPISE Pasal 38 (1) Pengembangan SPIPISE dapat dilakukan apabila terjadi penyempurnaan fungsi sistem elektronik dan penambahan atau penyederhanaan jenis perizinan dan nonperizinan. (2) Sistem elektronik yang dikembangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diaudit kesesuaian fungsinya oleh instansi yang ditunjuk BKPM. BAB VIII PEMBIAYAAN SPIPISE Pasal 39 (1) Pembiayaan SPIPISE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. (2) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara BKPM meliputi pembangunan dan pengelolaan SPIPISE yang terdiri dari a. perangkat keras dan perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE; b. perangkat lunak yang meliputi 1. Subsistem Informasi Penanaman Modal; 2. Subsistem Pelayanan Penanaman Modal; 3. Subsistem Pendukung. (3) Subsistem Pelayanan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b termasuk antarmuka sistem (interface) dari BKPM ke kementerian teknis/LPND, PDPPM, dan PDKPM. (4) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara instansi teknis meliputi a. jaringan dan keterhubungan dari kementerian teknis/LPND ke BKPM; b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE. (5) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah provinsi meliputi a. jaringan dan keterhubungan dari PDPPM ke BKPM; b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE. (6) Pembiayaan ...
- 18 -
(6) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah kabupaten/kota meliputi a. jaringan dan keterhubungan dari PDKPM ke BKPM; b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE. BAB IX KEADAAN KAHAR Pasal 40 (1) Dalam hal SPIPISE tidak dapat berfungsi karena keadaan kahar (force majeur), pelayanan perizinan dan nonperizinan melalui PTSP dilaksanakan dengan menggunakan prosedur keadaan darurat. (2) Prosedur keadaan darurat sebagaimana pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala BKPM. (3) Dalam hal terjadi keadaan kahar, pengelola tidak bertanggung jawab terhadap tidak beroperasinya SPIPISE dan hilangnya data dan informasi penanaman modal. (4) Setelah berakhirnya keadaan kahar, data dan informasi penanaman modal yang diproses dalam keadaan darurat dimasukkan ke dalam SPIPISE oleh instansi penerbit perizinan dan nonperizinan. Pasal 41 Pengelola melengkapi SPIPISE dengan pusat pemulihan data. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 Penggunaan SPIPISE oleh PTSP BKPM, PTSP PDPPM, dan PTSP PDKPM dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan secara bertahap dan berlaku sepenuhnya paling lambat 36 (tiga puluh enam) bulan sejak ditetapkan Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal. Pasal 43 Dalam masa transisi belum terbangunnya SPIPISE dan/atau sudah terbangun tetapi PDPPM dan PDKPM belum terkoneksi dengan SPIPISE, a. PDKPM menyampaikan setiap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang diterbitkan setiap hari kepada kepala PDPPM dengan tembusan kepada kepala BKPM melalui faksimili; b. PDPPM mengirimkan setiap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang diterbitkan setiap hari ke BKPM melalui faksimili; c. BKPM memasukkan data Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang dimaksud pada huruf a dan huruf b ke dalam pangkal data (database) perizinan dan nonperizinan. BAB XI ...
- 19 -
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Iindonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2009 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL, KEPALA, ttd GITA WIRJAWAN
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 510 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretariat Utama BKPM Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan
Natalia Ratna Kentjana
LAMPIRAN V (Dokumentasi Penelitian)
DOKUMENTASI 1.
Foto Bersama Informan
Wawancara dengan Bapak Rukim, SE., M.Si, Kepala Bidang Data dan Pengaduan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak.
Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, Tenaga IT bidang Penanaman Modal Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak.
2.
Foto Kegiatan Sosialisasi LKPM Online
Sosialisasi dan pembinaaan mengenai LKPM Online, dimana LKPM Online adalah bagian dari SPIPISE dengan pemateri dari BKPMPT Provinsi Banten dan BKPM RI.
CURRICULUM VITAE
DATA DIRI Nama
: Didi Rosadi
Tempat dan Tanggal Lahir
: Lebak, 15 Juni 1994
Alamat
: Kp. Kadugawir Ds. Sumberwaras Kec. Malingping Kabupaten Lebak Provinsi Banten Kode Pos. 42391
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Agama
: Islam
Moto Hidup
: “You’ll Never Walk Alone”
Hobi
: Sepakbola dan Futsal
KONTAK No. Kontak/HP
: 08561375663
E-mail
:
[email protected]
Perguruan Tinggi
: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Fakultas
: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan
: Ilmu Administrasi Negara
NIM
: 6661121564
Riwayat Pendidikan Tahun
Jenjang Pendidikan
Nama Institusi Pendidikan
Sedang di tempuh
Strata 1 (S1)
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2009-2012
Sekolah Menengah Atas
SMA Negeri 1 Malingping
2006-2009
Sekolah Menengah Pertama
MTs MA Cikeusik Malingping
2001-2006
Sekolah Dasar
SD Negeri 2 Bolang
Organisasi Tahun
Jenis/Nama Organisasi
2007-2008
OSIS MTs MA Cikeusik Malingping
2010-2011
KIR Logos SMAN 1 Malingping
2013-2014
Fosmai FISIP UNTIRTA