IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK ROKOK (STUDI PADA AKTIVITAS PEMERINTAH PUSAT DALAM MEMPERSIAPKAN PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK) Ghina Kamilia1 dan Achmad Lutfi2 1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Departemen Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok. Pajak Rokok merupakan pajak daerah baru sebagai bentuk local taxing power. Pajak Rokok dipungut dengan model Piggyback Tax System yang jarang diterapkan di Indonesia sehingga membutuhkan persiapan dalam mekanisme pemungutan dan penyetorannya. Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Charles O Jones tentang tahapan aktivitas dalam implementasi kebijakan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma post positivist melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok dilakukan melalui dua tahap, yaitu aktivitas organisasi dan aktivitas interpretasi serta terdapat enam kegiatan utama penunjang aktivitas ini sejak tahun 2010 hingga tahun 2013. Secara keseluruhan implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, meskipun terdapat kendala dalam aktivitasnya. Kata kunci : Pajak Rokok; Implementasi kebijakan; Pemungutan pajak; Pajak daerah
IMPLEMENTATION OF CIGARETTE TAX POLICY (STUDIES IN CENTRAL GOVERNMENT ACTIVITIES ON PREPARING CIGARETTE TAX COLLECTION ABSTRACT This thesis discusses the implementation of policy in central government activities on preparing Cigarette tax collection. Cigarette tax is a local tax as a new form of local taxing power. Cigarette taxes levied by Piggyback tax system models are rarely applied in Indonesia and thus require preparation in the collection and remittance mechanism. This study uses the theory proposed by Charles O Jones on stage in policy implementation activities. This study was performed using a post positivist paradigm through in-depth interview and literature study. The results showed that the implementation of policy in central government activities on preparing Cigarette tax collection has done in two stages, activity of organization and activity of interpretation and also there are six main activities supporting this stages since 2010 to 2013. Overall, the implementation of policy in central government activities on preparing Cigarette tax collection has done as expected, although there are some constraints in execution. Key Words: Cigarette tax; Policy implementation; Tax collection; Local tax
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Sistem desentralisasi yang kini diterapkan di Indonesia menuntut pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dalam kerangka otonomi daerah. The Liang Gie dalam Kaho (2003:8-9) menyatakan bahwa desentralisasi ditujukan untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien dan efektif, lebih menumpahkan perhatian pada kekhususan daerah (secara geografis, kependudukan, dan kegiatan ekonomi), dan agar pemerintah daerah dapat secara langsung membantu pembangunan daerahnya tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari elemen desentralisasi yang menentukan
keberhasilan
otonomi
daerah.
Dalam
meningkatkan
akuntabilitas
penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangannya dengan didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengelolaan keuangan tersebut salah satunya diwujudkan melalui upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2014:136). Upaya peningkatan PAD dilakukan karena semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dalam menyelenggarakan roda pemerintahan dan pelayanan publik. Upaya meningkatkan PAD, terutama dalam sektor perpajakan, dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan pengganti dan penyempurna Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan suatu langkah strategis dan fundamental yang ditempuh oleh pemerintah dalam membangun hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih ideal (Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2010: iv). Salah satu kebijakan desentralisasi fiskal yang diterapkan pemerintah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah melaksanakan local taxing power. Kebijakan ini memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengelola dan memungut pajak daerah dan retribusi daerah kepada penduduk di daerahnya masingmasing. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan melalui local taxing power salah satunya dilakukan melalui menambah jenis pajak daerah sesuai dengan aturan closed list system. Penambahan jenis pajak daerah dilakukan dengan menciptakan jenis pajak baru, yaitu Pajak Rokok bagi daerah Provinsi. Pajak Rokok sebagai jenis pajak baru adalah pungutan atas cukai rokok. Pajak Rokok masuk dalam kategori pajak provinsi sebagai bentuk perluasaan objek pajak daerah sebagai
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
sumber Pendapatan Asli Daerah. Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai, sedangkan yang ditetapkan sebagai subjek rokok adalah konsumen rokok. Penetapan Pajak Rokok sebagai pajak baru memiliki peranan dalam fungsi budgeter. Pajak Rokok dianggap sebagai pajak yang sangat potensial sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Hal ini disebabkan karena konsumsi dan produksi rokok yang terus meningkat tiap tahunnya di Indonesia. Menurut Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran 2013, produksi rokok pada tahun 2007 sampai dengan 2011 mengalami peningkatan sebesar rata-rata 5,8% (Kementrian Keuangan RI, 2012:65). Pajak terhadap rokok juga dianggap potensial karena adanya tren peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau tiap tahun di Indonesia yang mengalami pertumbuhan rata-rata 14,6 persen per tahun (Kementrian Keuangan RI, 2012:63). Adanya tren peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau secara otomatis akan meningkatkan penerimaan Pajak Rokok, karena dasar perhitungan tarif Pajak Rokok adalah sepuluh persen dari cukai rokok. Pemungutan pajak terhadap rokok dianggap menjadi salah satu solusi bagi tuntutan rasa keadilan dari berbagai daerah yang tidak mendapatkan dana bagi hasil cukai tembakau. Dengan adanya Pajak Rokok, maka seluruh daerah akan mendapatkan hasil penerimaan Pajak Rokok walaupun daerah tersebut tidak memiliki potensi tembakau. Penerimaan tambahan yang diterima provinsi dari hasil pemungutan Pajak Rokok akan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen) sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD juga menyebutkan bahwa hasil penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan di bidang kesehatan bagi masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang terhadap pelanggaran terkait rokok. Pemungutan Pajak Rokok dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah yang secara otomatis akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011:201). Pajak Rokok merupakan jenis pajak daerah yang unik sehingga berbeda dengan pajak daerah lainnya. Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah nilai cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap rokok. Hal ini menyababkan pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang diwakilkan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di daerah bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Pemungutan Pajak Rokok merupakan model Piggyback Tax System atau juga dikenal dengan model opsenten atau surcharge. Model ini membuat pajak diadministrasikan dan dipungut oleh pemerintah pusat yang lebih tinggi dan kemudian menyalurkannya ke kas daerah yang bersangkutan. .Dana dari hasil penerimaan cukai tersebut akan ditransfer kepada provinsi berdasarkan perhitungan rasio jumlah penduduk terhadap jumlah penduduk nasional. Sesuai dengan ketentuan mengenai Pajak Rokok sebagaimana diatur dalam pasal 181 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka pajak ini akan mulai dipungut pada 1 Januari 2014. Jangka waktu yang diberikan oleh pemerintah sejak Undang-undang 28 Tahun 2009 disahkan hingga Januari 2014 ditujukan untuk mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan dalam pemungutan pajak baru ini. Pemungutan Pajak Rokok oleh pemerintah pusat sebagai pajak daerah menggunakan model Piggyback Tax System menimbulkan berbagai permasalahan dan resistensi. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) yang ditunjuk sebagai pelaksana pemungutan awalnya menolak untuk memungut pajak ini karena pemungutan Pajak Rokok yang notabenenya merupakan pajak daerah bukanlah tugas dari DJBC. Selain itu, Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga menyatakan kesulitan dan ketidaksiapannya dalam pengelolaan hasil penerimaan Pajak Rokok dalam rekening kas umum negara. Berbagai mekanisme pemungutan dan pengelolaan pun didiskusikan bersama antara Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam upaya menentukan mekanisme terbaik agar tidak menganggu tupoksi masing-masing. Pembuatan Peraturan Daerah sebagai dasar pemungutan Pajak Rokok pun berjalan lambat sehingga Direktorat jenderal Perimbangan Keuangan harus bekerjama dengan Kementrian Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan kepada daerah dalam percepatan pembuatan peraturan daerah terkait Pajak Rokok agar pemungutan kebijakan ini dapat dilaksanakan. Berdasarkan pada permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok serta kendala yang dihadapi dalam aktivitas tersebut. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang membentuk kerangka berpikir yaitu konsep pajak daerah, pajak rokok, dan implementasi kebijakan publik. Davey (1988:3940) menyebutkan bahwa kriteria umum perpajakan daerah yang baik adalah: (1) Pajak yang
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan pajak sendiri; (2) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah; (3) Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah; dan (4) Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan, atau dibebani pungutan tambahan oleh pemerintah daerah. Berry dan Berry dalam Licary dan Meier (1997:7) menyatakan bahwa “State tobacco excise taxes also appear to be easy taxes to raise when a state needs a modest amount of new revenue”. Pemberlakuan Pajak Rokok dianggap sebagai salah satu cara mudah untuk meningkatkan pemasukan keuangan dari jenis pendapatan baru. Sehubungan dengan implementasi kebijakan publik, Mazmanian dan Sabatier (1983:20) menyebutkan bahwa implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi setelah suatu kebijakan dinyatakan berlaku atau dirumuskan, mencakup didalamnya usaha-usaha untuk mengadministrasikan dan untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian melalui proses dengan berbagai tahapan. Charles O Jones (1984:168) menyebutkan bahwa terdapat tiga aktivitas utama yang penting dalam implementasi kebijakan publik, yaitu: (1) Organisasi yaitu aktivitas dalam upaya menetapkan dan menata kembali sumber daya, unit-unit, dan metode-metode yang mengarah pada upaya mewujudkan kebijakan menjadi hasil sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan; (2) Interpretasi yaitu aktivitas penjelasan substansi dari suatu kebijakan yang masih abstrak ke dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami sehingga dapat dilaksanakan dan diterima oleh para pelaku dan sasaran kebijakan; dan (3) Aplikasi, merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan ke dalam realitas nyata yaitu aktivitas penyediaan pelayanan secara rutin, pembayaran atau lainnya sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan yang ada. Implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok akan digambarkan melalui dua aktivitas, yaitu pada aktivitas organisasi dan aktivitas interpretasi. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma post positivist dalam rangka menggambarkan implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok sesuai dengan tahapan aktivitas implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Charles O Jones serta kendala yang dihadapi dalam aktivitas tersebut. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif dengan manfaat murni tanpa disponsori
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
pihak manapun dan berdasarkan keinginan peneliti untuk melakukan penelitian sejak Januari 2014 hingga Juni 2014. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam yang terdiri dari Kementrian Keuangan RI, Kementrian Dalam Negeri RI, Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta sebagai perwakilan pemerintah daerah, Asosiasi pengusaha rokok, dan akademisi. Selain itu, studi dokumentasi dan literatur juga peneliti lakukan dalam mengumpulkan data penelitian, baik informasi dari bahan cetak maupun non cetak. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan coding (Neuman, 2007:330). Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Illustrative method (Neuman, 207:338). Hasil Penelitian dan Pembahasan Implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok dibutuhkan untuk membuat dan menentukan mekanisme yang tepat untuk pemungutan, pengelolaan sementara, dan penyetoran hasil penerimaan Pajak Rokok oleh pemerintah pusat serta untuk menjaga kestabilan keuangan negara. Dalam menganalisis implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok, terdapat dua aktivitas yang dilakukan, yaitu aktivitas organisasi dan aktivitas interpretasi. Aktivitas organisasi terdiri dari pelaksana kebijakan, petunjuk pelaksanaan kebijakan, anggaran, dan manajemen pelaksanaan. Aktivitas Interpretasi terdiri dari kebijakan turunan dan komunikasi. Aktivitas Organisasi Pada tahap aktivitas ini, pemerintah pusat menetapkan dan menata pelaksana kebijakan serta petunjuk pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok. Pemerintah pusat juga menetapkan dan menata sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok, terutama anggaran. Selain itu ditetapkan pula manajemen pelaksanaannya yang memuat alur koordinasi pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok serta pemimpin dalam pelaksanaan kebijakan ini. Aktivitas organisasi dapat dilihat dari beberapa hal, yakni pelaksana kebijakan, petunjuk pelaksanaan kebijakan, anggaran, dan manajemen pelaksanaan. Penentuan pelaksana kebijakan biasanya ditentukan menggunakan mekanisme rekrutmen. Namun berbeda dengan penentuan pelaksana kebijakan Pajak Rokok, eksekutor dipilih dan ditentukan berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang yang telah melekat pada masing-masing instansi di bawah Kementrian Keuangan. Hal ini dilakukan dalam rangka
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
mewujudkan efektivitas dan efisiensi pemungutan. Instansi yang ditunjuk adalah instansi yang telah berpengalaman dalam melakukan pemungutan cukai dan dalam pengelolaan kas umum negara. Terdapat tiga instansi dibawah Kementrian Keuangan yang menjadi pelaksana kebijakan Pajak Rokok, yaitu: (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) sebagai Person in Charge atau pihak yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan seluruh pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok, termasuk didalamnya melakukan rekonsiliasi dan pelaporan terhadap penerimaan Pajak Rokok ke pemerintah daerah. DJPK juga memiliki tugas sebagai pembina bagi daerah; (2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai pihak yang akan melakukan pemungutan Pajak Rokok; dan (3)
Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPb) sebagai pihak yang akan melakukan penyetoran, penatausahaan dan pengelolaan penerimaan Pajak Rokok sebelum ditansfer ke daerah. Selain pelaksana pemungutan Pajak Rokok oleh DJBC, penatausaha dan pengelola sementara hasil penerimaan Pajak Rokok oleh DJPb, dan koordinator utama serta pembina daerah oleh DJPK, terdapat pula penunjukan tim pelaksana pembuatan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Selain bertugas membuat PMK, tim ini juga memiliki tanggung jawab untuk berkoordinasi dalam kegiatan persiapan pemungutan Pajak Rokok lainnya. Tidak ada mekanisme perekrutan dalam pembentukan tim ini. Penentuan anggota tim didasarkan pada jabatan yang dibutuhkan dan disposisi pimpinan. Pembentukan tim diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 12/KM.7/2013 tentang Pembentukan Tim Penyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Tim terdiri dari perwakilan DJPK, DJPb, DJBC, dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri. Struktur tim terdiri dari pengarah, tim kerja, dan sekretariat. Selanjutnya aktivitas dalam organisasi adalam membuat petunjuk pelaksanaan kebijakan. Dalam rangka persiapan impelementasi kebijakan pemungutan Pajak Rokok, terdapat enam kegiatan utama yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Kegiatan sosialisasi dibagi menjadi dua tahap yaitu: (1) Sosialisasi kebijakan Pajak Rokok; (2) Persiapan pembuatan RPMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok; (3) Penetapan PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok; (4) Persiapan aplikasi pemungutan Pajak Rokok; (5) Sosialisasi PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok serta bimbingan teknis aplikasi pemungutan Pajak Rokok; dan (6) Pembinaan pembuatan Peraturan Daerah.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Sesuai dengan Pasal 27 ayat 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok yang diatur dalam PMK 115/PMK.07/2013 disesuaikan dengan mekanisme pemungutan cukai rokok yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. DJBC melakukan pengembangan Sistem Aplikasi Cukai agar sistem ini dapat mengakomodir pemungutan Pajak Rokok bersamaan dengan pemungutan cukai. Berikut mekanisme pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.
Gambar 1 Mekanisme Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok Sesuai PMK No. 115/PMK.07/2013 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013 Langkah pertama yang dilakukan adalah pengusaha mengisi dengan lengkap dan benar dokumen cukai rokok (CK-1) dan dokumen Pajak Rokok (Surat Pemberitahuan Pajak Rokok/SPPR) serta mengajukannya ke Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC). Setelah mengajukan dokumen SPPR dan dokumen CK-1, maka KPPBC melakukan akan penelitian terhadap dokumen tersebut. Pengusaha menerima kedua dokumen yang telah dinomori kemudian mengisi formulir permohonan pita cukai. Kemudian pengusaha melakukan pembayaran cukai secara bersamaan dengan pembayaran Pajak Rokok
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
ke bank persepsi. Dalam hal pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Bank/Pos Persepsi maka pengusaha akan mendapatkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Bukti tersebut kemudian diserahkan kepada pejabat bea dan cukai untuk diteliti apakah setoran yang dilakukan telah sesuai. Jika telah sesuai, maka pita cukai akan diberikan dan Kantor Bea dan Cukai akan melakukan penataushaan penerimaan Pajak Rokok. Kepala Kantor Bea dan Cukai akan menyampaikan laporan bulanan penerimaan Pajak Rokok kepada Direktur Cukai. Selanjutnya Direktur Cukai akan menyampaikan rekapitulasi dan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok ke Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DJPK. Laporan hasil penerimaan Pajak Rokok juga didapatkan dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Mekanisme pelaporan yang dilakukan bank persepsi kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara terhadap penerimaan kas negara menggunakan mekanisme sistem Laporan Penerimaan Harian. Laporan penerimaan harian dilakukan menggunakan sistem Rekening Kas Umum Negara yang dikelola oleh DJPb. Seluruh penerimaan negara akan disetorkan ke rekening kas umum negara di Bank Indonesia oleh bank persepsi tiap harinya, namun untuk penerimaan Pajak Rokok sifatnya hanya dititipkan sementara hingga proses penyetoran ke rekening kas umum daerah dilakukan, yakni pertriwulan. Setelah DJPK menghitung realisasi penerimaan Pajak Rokok, maka Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menentukan proporsi pembagian kepada Provinsi berdasarkan rasio jumlah penduduk. Selanjutnya DJPK dan DJPb menunjuk KPPN Jakarta II untuk mengelola proses penyetoran kepada daerah. Bank Indonesia akan melakukan pemindahbukuan dana kepada Rekening Kas Umum Daerah masing-masing provinsi. Aktivitas organisasi juga dilakukan melalui penetapan anggaran. Penetapan anggaran persiapan pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dalam Petunjuk Operasional Kegiatan. Anggaran persiapan pemungutan Pajak Rokok yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan termasuk kedalam anggaran Program Peningkatan Pengelolaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Program ini dilakukan melalui Perumusan Kebijakan, Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi di Bidang PDRD. Anggaran yang dimiliki untuk program ini adalah sebesar Rp 21.388.809.000,00. Program ini dibagi menjadi tiga sub program yaitu: 1. Peraturan di Bidang Perimbangan Keuangan dengan anggaran sebesar Rp 1.024.006.000,00. Dalam sub program Peraturan di Bidang Perimbangan Keuangan, salah satu kegiatannya adalah penyusunan Peraturan Menteri Keuangan Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok dengan anggaran sebesar Rp 388.069.00,00.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Kegiatan ini memiliki tiga sub kegiatan, yaitu: (1) persiapan; (2) penyusunan RPMK tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok; dan (3) finalisasi RPMK tata cara pemungutan Pajak Rokok. Sub kegiatan persiapan memiliki anggaran sebesar Rp 249.200.000,00 yang digunakan untuk honor tim penyusun RPMK. Sub kegiatan Penyusunan RPMK memiliki anggaran sebesar Rp 96.967.000,00 yang digunakan untuk belanja bahan, belanja barang non operasional lainnya, dan belanja perjalanan dinas paket meeting luar kota. Sub kegiatan finalisasi RPMK memiliki anggaran sebesar Rp 41.902.000,00 yang digunakan untuk belanja bahan, belanja barang non operasional lainnya, dan belanja perjalanan dinas paket meeting luar kota. 2. Rekomendasi Kebijakan di Bidang Perimbangan Keuangan dengan anggaran sebesar Rp 1.138.666.000,00. Dalam sub program ini, tidak terdapat penganggaran secara spesifik terkait persiapan pelaksanaan Pajak Rokok. Namun sub program ini memiliki kegiatan seperti penyusunan rekomendasi di bidang PDRD yang dilakukan melalui rapat koordinasi dan konsinyering serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian peraturan daerah yang bermasalah 3.
Layanan Sosialisasi dan Bimbingan Teknis dengan anggaran sebesar 19.226.137.000. Dalam sub program layanan sosialisasi dan bimbingan teknis, kegiatan terkait pelaksanaan Pajak Rokok adalah sosialisasi PMK tentang Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok dengan anggaran sebesar Rp 333.048.000,00 dan Bimbingan Teknis Sistem Aplikasi PMK Pajak Rokok dengan anggaran sebesar Rp 537.921.000,00. Kegiatan sosialisasi PMK tentang Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok memiliki tiga sub kegiatan, yaitu: (1) persiapan sosialisasi PMK dengan anggaran sebesar 12.060.000,00; (2) pelaksanaan sosialisasi PMK dengan anggaran sebesar Rp 278.756.000,00; dan (3) pelaporan akhir dengan anggaran sebesar Rp 42.232.000,00. Kegiatan Bimbingan teknis Sistem Aplikasi PMK Pajak Rokok memiliki sub kegiatan pelaksanaan bimbingan teknis dengan anggaran sebesar Rp 498.321.000,00 dan finalisasi bimbingan teknis dengan anggaran sebesar Rp 41.600.000,00. Penetapan besaran alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk persiapan pemungutan
Pajak Rokok ditentukan berdasarkan kegiatan yang akan dilaksanakan selama persiapan pelaksanaan kebijakan ini seperti yang telah ditentukan dalam jadwal kegiatan pelaksanaan Pajak Rokok. Selain untuk pelaksanaan kegiatan penunjang kebijakan, alokasi anggaran juga memuat insentif yang diberikan bagi pelaksana kebijakan. Dalam kebijakan Pajak Rokok, insentif kebijakan diberikan kepada pihak-pihak yang tergabung dalam tim penyusun PMK. Insentif diberikan dalam bentuk honor tim.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Hal terakhir yang dilakukan dalam aktivitas organisasi adalah menetapkan manajemen pelaksana, yaitu terkait koordinasi dan pemimpin. Koordinasi dilakukan didalam instansi dan antarinstansi yang terlibat. Koordinasi antarinstansi dilakukan melalui tim penyusunan Rancanangan Peraturan Menteri Keuangan tentang tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Tugas utama tim ini adalah melakukan perumusan dan penyusunan RPMK, namun tim ini juga memiliki fungsi sebagai forum koordinasi antarinstansi yang terlibat dalam mempersiapkan implementasi Kebijakan Pajak Rokok. Anggota tim penyusun PMK berasal dari dari empat direktorat yang berbeda, yaitu Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementrian Keuangan, dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri. Kegiatan yang dilakukan dalam tim selain penyusunan RPMK adalah rapat pengarahan dan rapat teknis. Rapat pengarahan merupakan rapat dengan agenda pemberian arahan dari eselon 1 (pengarah) ke anggota tim, sedangkan rapat teknis memiliki agenda koordinasi untuk mengambil suatu keputusan terkait pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok. Koordinasi sangat dibutuhkan ketika terdapat pembahasan yang tidak dapat diputuskan dengan mudah sehingga dibahas dirapat yang lebih besar. Selain koordinasi antarorganisasi, tentunya terdapat pula koordinasi di dalam masingmasing instansi. Direktorat yang terlibat pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Cukai, Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kapabeanan dan Cukai, dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Direktorat yang terlibat pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah Direktorat Sistem Perbendaharaan, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, dan Kantor Pelayanan Perrbendaharaan Negara. Sedangkan di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, hanya Direkotrat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang terlibat dalam aktivitas ini. Selain koordinasi, dilakukakan pula penetapan pemimpin dalam pelaksanaan kebijakan. Pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok dipimpin oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan yang diwakilkan oleh pejabat eselon 1, dalam hal ini Direktur Jenderal, memimpin pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok sekaligus menjadi penanggung jawab dan pengawas persiapan serta pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan ditunjuk sebagai koordinator utama pelaksanaan kebijakan ini sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara otomatis maka tanggung jawab pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok dipegang oleh DJPK.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Aktivitas Interpretasi Aktivitas ini merupakan penjelasan substansi dari suatu kebijakan yang masih abstrak ke dalam bahasa yang lebih operasional agar pelaksana kebijakan dapat mengetahui dan dapat menerima apa yang harus dilakukan. Aktivitas interpretasi tidak hanya sekedar menjabarkan kebijakan, namun juga diikuti dengan kegiatan mengkomunikasikan kebijakan kepada seluruh stakeholder agar mereka mengetahui apa yang menjadi arah, tujuan, dan sasaran kebijakan. Komunikasi kebijakan dibutuhkan agar stakeholder terlibat secara langsung
dan
mengamankan pelaksanaan kebijakan. Aktivitas interpretasi dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu kebijakan turunan dan komunikasi. Kebijakan turunan dalam pelaksanaan Pajak Rokok dibutuhkan untuk menjabarkan isi dari kebijakan umum Pajak Rokok yang termuat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kebijakan turunan dibutuhkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengetahui apa yang harus mereka lakukakan dalam rangka persiapan dan implementasi kebijakan ini. Kebijakan turunan pertama dalam tataran teknis operasional pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Kebijakan ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 5 UU 28/2009 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan turunan terkait pelaksanaan Pajak Rokok juga diatur dalam peraturan daerah. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sesuai dengan Pasal 95 UU 28/2009 mengamanatkan bahwa pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sehingga daerah dapat memungut dan mendapatkan hasil pungutan pajak tersebut. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menargetkan bahwa seluruh daerah telah memiliki Perda Pajak Rokok sebelum tahun 2014. Kebijakan turunan lainnya yang dibutuhkan dalam implementasi kebijakan ini adalah Peraturan Gubernur dan/atau Ketentuan Umum Pajak Daerah (KUPD). Kebijakan ini dibutuhkan untuk mengatur ketentuan mengenai pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya serta tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa. Kebijakan turunan yang lebih operasional juga dimuat dalam Nota Dinas, Kerangka Acuan Kerja (Term of Reference), dan Surat Ketetapan. Contohnya dalam pengembangan Sistem Aplikasi Cukai agar dapat mengakomodir pungutan atas Pajak Rokok, maka diterbitkanlah Nota Dinas nomor ND 49/BC.4/2013 kepada Direktur
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Informasi Kapabeanan dan Cukai perihal Kerangka Acuan Kerja Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi Terkait Implementasi Pemungutan Pajak Rokok. Dalam membuat kebijakan turunan, kejelasan dan konsistensi isi dari kebijakan turunan tersebut terhadap kebijakan diatas dan sebelumnya sangat dibutuhkan. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus memiliki kejelasan ketika diinstruksikan, seperti mekanisme yang jelas, waktu pelaksanaan yang jelas, dan sasaran yang jelas. Ketidakjelasan isi kebijakan dapat menyebabkan pelaksana kebijakan memiliki pengertian dan pemahaman yang berbeda. Konsistensi dibutuhkan agar kebijakan umum dan aturan pelaksanaan kebijakan dapat berjalan selaras. Kebijakan yang tidak konsisten dapat membuat pelaksana kebijakan mengalami kebingungan dalam melaksanakan kebijakan. Contohnya adalah mekanisme pemungutan Pajak Rokok yang disesuaikan dengan mekanisme pemungutan cukai. Pembagian tugas, fungsi dan wewenang dalam pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok pun telah diberikan dengan jelas disesuaikan dengan tupoksi masing-masing instansi. Selain kebijakan turunan, aktivitas organisasi juga terdiri dari komunikasi. Komunikasi kebijakan dilakukan kepada stakeholder agar mengetahui dan memahami apa yang menjadi arah, tujuan, dan sasaran kebijakan. Kebijakan perlu dikomunikasikan agar stakeholder dapat terlibat dalam kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga mereka dapat menerima, mendukung, dan mengamankan pelaksanaan kebijakan. Komunikasi kebijakan biasanya dilakukan melalui sosialisasi kebijakan. Dalam implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok, sosialisasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu sosialisasi kebijakan Pajak Rokok dan sosialsiasi peraturan pelaksana serta aplikasi pemungutan Pajak Rokok. Pelaksanaan sosialisasi diatur dalam Kerangka Acuan Kerja Layanan Sosialisasi dan Bimbingan Teknis. Penanggung jawab dan penyelenggara kegiatan sosialisasi Pajak Rokok adalah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang diwakilkan oleh Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sosialisasi tahap pertama yaitu sosialisasi kebijakan Pajak Rokok dilakukan di dua tempat, yaitu Semarang dan Surabaya pada tahun 2012. Agenda dari sosialisasi kebijakan ini adalah memberikan informasi kepada stakeholder, terkait urgensi diberlakukannya kebijakan Pajak Rokok, pemanfaatan hasil penerimaan Pajak Rokok oleh daerah, dan pembuatan Peraturan Daerah sebagai sebagai dasar pemungutan Pajak Rokok. Diharapkan dengan informasi dan pemahaman yang diterima oleh stakeholder, maka tidak terjadi penolakan terhadap kebijakan ini. Sosialisasi tahap pertama ini menghadirkan pembicara dari Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), dan Kementerian Dalam
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Negeri. Sedangkan peserta sosialisasi yang diundang, antara lain Dinas Pendapatan Daerah, Biro Hukum, Bagian Hukum, dan asosiasi pengusaha rokok. Sosialisasi tahap kedua terkait peraturan pelaksana dan bimbingan teknis aplikasi pemungutan Pajak Rokok dilakukan di lima tempat, yaitu Purwakarta, Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya pada tahun 2013. Pertimbangan penetapan kelima tempat tersebut adalah karena didaerah tersebutlah potensi pemungutan rokok, dalam hal ini pabrik rokok, berada. Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk memberikan informasi kepada stakeholder terkait mekanisme pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Selain memberikan informasi, dilakukan pula bimbingan teknis melalui simulasi pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Diharapkan melalui sosialisasi dan bimbingan teknis ini, seluruh pihak, baik pengusaha atau importir sebagai wajib pajak serta KPPBC dan KPPN sebagai eksekutor, tidak akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Pihak yang diundang dalam sosialisasi dan bimbingan teknis ini adalah perwakilan masing-masing Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, asosiasi pengusaha rokok, dan perwakilan pengusaha pabrik rokok atau importir rokok sebagai wajib pajak. Keterlibatan keempat instansi dibutuhkan dalam sosialisasi tahap kedua ini karena tiap instansi memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing. Komunikasi kebijakan juga dilakukan dengan membuka akses bagi pihak eksternal untuk berpartisipasi. Dengan menghadiri sosialisasi pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok, berarti pengusaha dan importir rokok sebagai wajib pajak berpartisipasi dalam upaya mensukseskan pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok. Dalam proses penyusunan mekanisme pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok, partisipasi pihak eksternal memang sangat terbatas, bahkan cenderung tertutup. Partisipasi pemerintah daerah pun dilakukan secara tidak langsung dengan diwakilkan oleh Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementrian Keuangan dan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementrian Dalam Negeri sebagai pembina daerah. Namun dalam proses pembuatan kebijakan Pajak Rokok, pihak eksternal memiliki akses yang cukup luas untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya. Komunikasi kebijakan melalui akses pihak eksternal untuk dapat berpartisipasi biasanya dilakukan melalui forum diskusi atau media komunikasi lain seperti fax, surat dan email. Kendala yang Dihadapi dalam Implementasi Kebijakan pada Aktivitas Pemerintah Pusat Mempersiapkan Pemungutan Pajak Rokok Pasal 184 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah menyebutkan bahwa peraturan pelaksanaan atas UU 28/2009, termasuk Peraturan
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, sudah harus selesai dan ditetapkan paling lambat satu tahun sejak UU 28/2009 diundangkan. Dengan demikian, seyogyanya PMK tersebut seharusnya telah selesai dibuat dan ditetapkan pada Tahun 2010. Namun dalam perjalanan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan ini terdapat beberapa kendala sehingga menghambat proses penyusunan dan penetapan PMK. PMK tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok pun baru dapat diterbitkan pada Agustus 2013. Kendala yang dihadapi dalam proses penyusunan RPMK ini adalah terkait dengan pelaksanaan administasi pemungutan Pajak Rokok oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pengaturan mengenai penampungan penerimaan Pajak Rokok sebelum disetorkan ke kas umum daerah provinsi, dan penentuan penetapan data jumlah penduduk sebagai dasar penyerahan hasil Pajak Rokok ke daerah. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai instansi yang akan melaksanakan pemungutan Pajak Rokok pada awalnya menyatakan penolakannya untuk melaksanakan pemungutan ini. Penolakan yang dilayangkan oleh DJBC untuk memungut Pajak Rokok didasari pada alasan bahwa pemungutan Pajak Rokok yang notabenenya merupakan pajak daerah bukanlah tugas DJBC. Penolakan yang dilakukan oleh DJBC cukup kuat, bahkan mereka menyarankan untuk melakukan amandemen UU 28/2009 tentang PDRD terkait instansi pemungut Pajak Rokok. DJBC juga menolak untuk ikut serta dalam pembuatan dan penyusunan RPMK tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Penolakan yang dilayangkan DJBC setelah kebijakan Pajak Rokok ini diterbitkan terjadi karena pada saat formulasi UU 28/2009, perwakilan DJBC yang dilibatkan hanya Direktur Jenderal Bea Cukai. Sedangkan pada tahap persiapan implementasi, Direktur Jenderal Bea Cukai yang terlibat saat formulasi UU 28/2009 tersebut telah diganti. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai inisiator dan koordinator utama pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok ini berusaha keras untuk melakukan pendekatan kepada DJBC agar menerima tugas barunya untuk memungut Pajak Rokok. Salah satu usaha terbesar yang dilakukan DJPK adalah menyelenggarakan rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Wakil Menteri Keuangan. Setelah dilakukan rapat koordinasi dengan Wakil Menteri Keuangan, akhirnya Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyetujui dan menyatakan kesanggupannya untuk melakukan pemungutan Pajak Rokok dengan syarat bahwa mekanisme pemungutan Pajak Rokok tidak boleh menganggu mekanisme pemungutan cukai. Selain penolakan diawal yang dilayangkan oleh DJBC untuk memungut Pajak Rokok, kendala yang dihadapi dalam pembuatan dan penyusunan PMK adalah penentuan pengaturan mengenai penampungan penerimaan Pajak Rokok sebelum disetorkan ke kas umum daerah
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
provinsi. Awalnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan menawarkan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan untuk menggunakan mekanisme penerimaan yang dikelola oleh DJPK melalui pembuatan rekening baru. Namun apabila mekanisme ini digunakan, khawatir akan menyulitkan wajib pajak karena mereka harus menyetorkan Pajak Rokok dan Cukai rokok ke rekening yang berbeda. Selain itu, DJPK juga merasa keberatan jika mekanisme ini yang digunakan karena mereka tidak memiliki pengalaman dalam pengelolaan dan pengawasan keuangan. Mekanisme kedua yang ditawarkan adalah menggunakan Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) yang dimiliki oleh DJPb. Namun jika mekanisme ini diterapkan, akan terjadi kesulitan dalam pengelolaan keuangan karena penerimaan negara dari cukai secara otomatis pengaturannya akan masuk ke Rekening Kas Umum Negara. Setelah melalui beberapa kali rapat koordinasi, akhirnya diputuskan bahwa penerimaan Pajak Rokok akan dikelola di Rekening Kas Umum Negara dengan mekanisme uang titipan. Dengan mekanisme ini, Direktorat Jenderal Perbendaharaan berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan bank persepsi untuk membuat kode akun baru, yakni penerimaan Pajak Rokok. Kendala ketiga yang membuat penerbitan PMK mundur dari waktu yang telah ditentukan adalah penetapan penentuan data jumlah penduduk yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan penyerahan hasil penerimaan Pajak Rokok kepada daerah. Pada mulanya jumlah penduduk ditentukan berdasarkan data yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil masing-masing provinsi. Namun dengan data ini, diresahkan bahwa probabilitas pemalsuan data jumlah penduduk akan besar. Akhirnya ditetapkan bahwa proporsi pembagian Pajak Rokok untuk provinsi ditetapkan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional. Rasio jumlah penduduk ini ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk perhitungan Dana Alokasi Umum untuk tahun anggaran yang bersangkutan. Sejatinya, keterlamabatan penyelesaian RPMK tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok ini tidak begitu berpengaruh terhadap pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok, mengingat pelaksanaan pemungutan baru akan dimulai pada tahun 2014. Namun secara tidak langsung, keterlambatan ini mempengaruhi pembuatan Peraturan Daerah Pajak Rokok oleh pemerintah daerah. Beberapa daerah menunda pembuatan Peraturan Daerah tentang Pajak Rokok karena mereka menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Namun secara keseluruhan, kendala yang dihadapi dalam persiapan pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok ini masih dapat diatasi
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
bersama melalui berbagai forum diskusi dan koordinasi untuk dicarikan solusi terbaik bagi semua pihak. Simpulan Implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dalam dua tahap, yakni aktivitas organisasi dan aktivitas interpretasi. Aktivitas organisasi terdiri dari penentuan pelaksana kebijakan, petunjuk pelaksanaan kebijakan, anggaran, dan manajemen pelaksanaan. Aktivitas interpretasi terdiri dari kebijakan turunan dan komunikasi. Adapun pemerintah pusat memiliki enam enam kegiatan utama untuk menunjang aktivitas yang dilakukan, yaitu: (1) Sosialisasi kebijakan Pajak Rokok; (2) Persiapan pembuatan RPMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok; (3) Penetapan PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok; (4) Persiapan aplikasi pemungutan Pajak Rokok; (5) Sosialisasi PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagai peraturan pelaksana kebijakan Pajak Rokok serta bimbingan teknis aplikasi pemungutan Pajak Rokok; dan (6) Pembinaan pembuatan Peraturan Daerah. Implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok dilakukan sejak tahun 2010 hingga tahun 2014. Kendala yang dihadapi oleh pemerintah pusat dalam implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok terdiri dari beberapa hal, yakni terkait dengan pelaksanaan administasi pemungutan Pajak Rokok oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pengaturan mengenai penampungan penerimaan Pajak Rokok sebelum disetorkan ke kas umum daerah provinsi, dan penentuan penetapan data jumlah penduduk sebagai dasar penyerahan hasil Pajak Rokok ke daerah. Kendala ini menyebabkan proses penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok yang ditargetkan selesai pada tahun 2010 sesuai dengan amanat UU 28/2009 baru dapat diselesaikan pada tahun 2013. Keterlamabatan penyusunan PMK ini tidak begitu berpengaruh terhadap pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok, mengingat pelaksanaan pemungutan baru akan dimulai pada tahun 2014. Namun secara tidak langsung, keterlambatan ini mempengaruhi pembuatan Peraturan Daerah Pajak Rokok oleh pemerintah daerah.
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Saran Saran yang diberikan untuk implementasi kebijakan pada aktivitas pemerintah pusat dalam mempersiapkan pemungutan Pajak Rokok dan implementasi kebijakan lainnya, yaitu: 1. Dalam pelaksanaan sosialisasi kebijakan Pajak Rokok maupun sosialisasi kebijakan lainnya, hendaknya pemerintah pusat juga mengundang media massa. Media massa dapat membantu pemerintah pusat untuk mensosialisasikan kebijakan yang hendak diimplementasikan kepada seluruh masayarakat Indonesia yang tidak masuk dalam daftar peserta sosialisasi. 2. Dalam pembuatan peraturan pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok maupun pembuatan peraturan pelaksana kebijakan lainnya, hendaknya pemerintah pusat membuat prasimulasi implementasi kebijakan. Prasimulasi diadakan sebelum dilakukannya sosialisasi untuk memastikan bahwa mekanisme yang dibuat telah sesuai dapat diaplikasikan. 3. Pemerintah pusat sebaiknya membuat mekanisme pengawasan pemanfaatan hasil penerimaan Pajak Rokok oleh daerah. Mekanisme ini disiapkan untuk memastikan bahwa earmarking yang ditetapkan telah dilaksanakan sesuai dengan aturan. 4. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antarpembuat kebijakan. Komunikasi dan koordinasi yang baik dibutuhkan antara pembuat kebijakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribus Daerah dengan pembuat kebijakan terkait peraturan pelaksanaan kebijakan Pajak Rokok. Hal ini dibutuhkan agar tidak terjadi penolakan-penolakan dari pelaksana kebijakan yang ditunjuk setelah kebijakan ditetapkan.
Referensi Davey, Kenneth. 1988. Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta: UI Press Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Nota Dinas Nomor: ND-49/BC.4/2013 tentang TOR Sistem Aplikasi cukai Sentralisasi Terkait Implementasi Pemungutan Pajak Rokok Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2010. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Peningkatan Kualitas Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. Pelengkap Buku Pegangan (Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah). Jakarta: Kementrian Keungan
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Petunjuk Operasional Kegatan Tahun Anggaran 2013 Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2007. Pedoman Nasional Pajak Daerah & Retribusi Daerah. Jakarta: Kementrian Keuangan Jones, Charles O. 1884. An Introduction to the Study of Public Policy. Monterey, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Kaho, Josef Riwu. 2003. Prospek Otonomi Daerah di Negara Indonesia: Identifikasi Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 12/KM.7/2013 tentang Pembentukan Tim Penyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tentang Dasar Perhitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau Kementrian Keuangan Republik Indonesia . Nota Dinas Nomor ND 49/BC.4/2013 tentang Kerangka Acuan Kerja (Term of Reference) Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi Terkait Implementasi Pemungutan Pajak Rokok Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Available: [http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Nota%20Keuangan%20RAPBN%20 2013.pdf] [2014, Juni 29] Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Penetapan Cukai Hasil Tembakau Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Available: [http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/UU_no_33_th_2004.pdf] [2013, 15 Juli] Licary, Michael J dan Meier, Kenneth J. 1997. Regulatory Policy When Behavvior Is Addictive: Smoking, Cigarette Taxes and Bootlegging. Political Research Quarterly (Vol. 50). No 1. 5-24 Mazmanian, Daniel A, dan Sabatier, Paul A. 1983. Implementation and Public Policy. United States of America: Scott Foresman and Company Neuman, Lawrence W. 2007. Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches, second edition. Boston: Allyn and Bacon Surono. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2013: Sinergi Dalam Roadmap Industri Hasil Tembakau. Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai. Available: [http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_content&view=article &id=844%3Akebijakan-tarif-cukai-hasil-tembakau-2013-sinergi-dalam-roadmapindustri-hasil-tembakau&catid=146%3Aartikel-online&Itemid=85][2014, 20 Mei]
Implementasi kebijakan.…, Ghina Kamilia, FISIP UI, 2014