36
III. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian terdahulu menunjukkan perkembangan yang sistematis dalam penelitian kelapa sawit Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, penelitian kelapa sawit berfokus pada bagian hulu, yakni pengembangan areal kelapa sawit domestik – sesuai dengan fenomena pada kurun waktu tersebut - baik kebijakan pemerintah melalui program PIR, efisiensi dan supply response areal kelapa sawit Indonesia. Kemudian, sejalan dengan liberalisasi perdagangan global, penelitian kelapa sawit bertumpu pada ekspor CPO Indonesia, analisis daya saing dan pengenaan pajak ekspor.
Dewasa ini penelitian kelapa sawit mengarah pada
minyak goreng dan permintaan CPO untuk energi (biodiesel). Dari perkembangan penelitian terdahulu tersebut, terlihat bahwa penelitian kelapa sawit merupakan sebuah sistem agribisnis kelapa sawit yang saling berkaitan satu sama lain, dari sektor hulu hingga ke hilir, dan diantara berbagai penelitian terdahulu terdapat beberapa diantaranya yang relevan untuk dijadikan acuan dalam peneltiian ini.
3.1. Hasil Penelitian Beberapa Model Komoditas 3.1.1. Respon Penawaran Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran (supply response) kelapa sawit domestik antara lain adalah ekspektasi harga kelapa sawit, harga karet alam pada tahun sebelumnya, upah riil tenaga kerja, kebijakan pemerintah dan trend waktu. (Sukiyono, 1995). Respon areal dibedakan antara Perkebunan Besar Swasta dengan Perkebunan Negara, dimana pada tahun 1980 keduanya mencapai hampir seluruh areal kelapa sawit Indonesia (97.9%).
Peubah harga CPO merupakan faktor yang berpengaruh terhadap areal kelapa sawit Indonesia. Harga kelapa sawit domestik mempunyai efek yang signifikan pada penawaran kelapa sawit pada perkebunan besar swasta
dan
perkebunan negara (Sukiyono, 1995). Seiring dengan orientasi ekspor yang semakin tinggi, areal kelapa sawit perkebunan swasta dan perkebunan negara dipengaruhi oleh harga CPO dunia (Purba, 2001). Dari besarnya respon peubah harga tersebut, ditemukan bahwa perkebunan swasta memiliki perilaku yang berbeda dengan perkebunan negara, dimana perkebunan swasta memiliki orientasi komersial dan memaksimumkan keuntungan serta responsif terhadap perubahan harga, sedangkan pada perkebunan negara, koefisien ekspektasi harga kelapa sawit memiliki tanda negatif dan bertentangan secara ekonomi, yang artinya perkebunan negara berperilaku tidak rasional terhadap perubahan harga kelapa sawit. Koefisien upah riil tenaga kerja pada perkebunan swasta cukup signifikan pada taraf 5 persen dan mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan Sukiyono, 1995). Hal ini dapat diartikan bahwa perkebunan swasta memiliki perilaku yang rasional dalam merespon perubahan upah tenaga kerja. Jika upah tenaga kerja naik, ceteris paribus, maka petani akan mengurangi areal yang akan ditanami kelapa sawit. Namun pada perkebunan negara terjadi hal yang sebaliknya, dimana koefisien upah tenaga kerja bertanda positif yang kelihatannya tidak sesuai. Dipandang dari teori statistik dan ekonomi, hasil tersebut menunjukkan bahwa upah tenaga kerja bukanlah faktor penting untuk menerangkan variasi pada areal kelapa sawit milik negara. Keadaan tersebut dapat dijelaskan bahwa pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan CPO domestik untuk industri minyak goreng, tetapi
juga untuk perluasan kesempatan kerja. Tampaknya tujuan kedua relatif lebih penting sehingga walaupun terjadi kenaikan upah buruh, pemerintah akan tetap membangun perkebunan kelapa sawit. Pengaruh teknologi pada areal kelapa sawit menunjukkan hasil yang berbeda antara perkebunan swasta dan perkebunan negara. Pada perkebunan swasta trend waktu bertanda positif, artinya perubahan teknologi mempunyai efek yang nyata dalam perluasan areal kelapa sawit, sedangkan pada perkebunan negara trend waktu bertanda negatif (tidak sesuai dengan asumsi yang diharapkan). Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan negara tidak mempunyai insentif untuk meningkatkan produktivitas. Tingkat penyesuaian areal kelapa sawit perkebunan swasta adalah 0.43. Interpretasi angka tersebut ialah bahwa perkebunan swasta dapat menyesuaikan 43 persen dari areal kelapa sawit yang diinginkan per tahun dalam merespon perubahan harga. Dari data tersebut dapat dihitung bahwa panjang waktu yang diperlukan
untuk
penyesuaian
adalah
5.4
artinya
perkebunan
swasta
membutuhkan 5.4 tahun untuk memenuhi 95 persen penyesuaian areal. Temuan tersebut cukup beralasan karena perkebunan swasta mungkin kesulitan dalam mendapatkan areal baru atau kredit yang cukup. Namun sebaliknya pada perkebunan negara tampaknya tidak terdapat lag-adjustment dimana hal ini konsisten dengan hasil temuan sebelumnya bahwa variabel harga bukanlah faktor yang mempengaruhi perubahan areal kelapa sawit pada perkebunan negara.
3.1.2. Efisiensi Ekonomi Relatif Penelitian Sukiyono di atas bertujuan untuk menjawab faktor-faktor apakah yang mempengaruhi luas areal kelapa sawit di Indonesia, yang diformulasikan dalam model supply response. Dari jawaban yang diperoleh
ternyata masing-masing faktor tersebut memiliki respon yang berbeda antara perkebunan besar swasta dan perkebunan negara. Perbedaan antara perkebunan swasta dan perkebunan negara bukanlah hal yang baru. Dari penelitian Saragih (1980), juga dapat diperoleh bahwa terdapat perbedaan antara perkebunan swasta dan perkebunan negara dan juga perbedaan efisiensi berdasarkan ukuran perkebunan antara perkebunan besar dan perkebunan kecil. Alat analisis yang digunakan adalah model fungsi keuntungan (profit function) yang kemudian secara matematis disusun dalam bentuk unit output price (UOP) profit function. Sedangkan untuk mengetahui tingkat produksi dianalisis dengan menggunakan fungsi Cobb-Douglas, dimana variabel yang berpengaruh terhadap produksi antara lain adalah upah tenaga kerja, input pupuk, luas usaha, umur tanaman dan modal. Efisiensi ekonomi relatif dilakukan untuk melihat (1) perbedaan efisiensi teknis (technical efficiency), dimana pada penggunaan input yang sama dihasilkan tingkat output yang berbeda; (2) perbedaan efisiensi harga (price efficiency) dimana masing-masing pengusahaan memiliki perbedaan nilai produk marginal sehingga gagal memaksimumkan keuntungan jangka pendek, dan (c) terdapatnya perbedaan keuntungan yang disebabkan oleh perbedaan harga output dan harga input pada kondisi pasar yang sama. Dari fungsi keuntungan tersebut disimpulkan bahwa keuntungan akan naik lebih cepat jika areal tanam naik serta pengaturan tata letak pabrik yang tepat, dimana dengan letak pabrik yang tepat pengolahan tandan buah kelapa sawit dapat dilakukan dengan cepat dan menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar.
3.1.3. Open Economy: Perdagangan Internasional Minyak Sawit Dalam analisa ekonomi terbuka faktor ekonomi eksternal sangat mempengaruhi keuntungan produsen minyak sawit sehingga ketidakstabilan harga internasional mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap ketidakstabilan penerimaan ekspor hasil pertanian (Simatupang,.1984) dibandingkan dengan ketidakstabilan
permintaan dan
penawaran ekspor hasil-hasil pertanian.
Ketidakstabilan harga dan permintaan internasional ini terutama disebabkan pengaruh yang sangat besar dari negara-negara MEE dalam perdagangan minyak nabati internasional, baik dalam penentuan harga dan jumlah komoditas ekspor minyak nabati dunia maupun minyak nabati dari Indonesia (Labys, 1973; Suryana, 1987). Sehubungan dengan ketidakstabilan penerimaan ekspor komoditas pertanian Indonesia, Suryana (1989) meneliti integrasi pasar minyak nabati di negara EEC-10. Ternyata sejak tahun 1960, integrasi pasar minyak nabati di negara tersebut meningkat terus, khususnya minyak kelapa, minyak kedele, minyak bunga matahari, minyak sawit dan minyak ikan. Tingkat integrasi pasar yang tinggi pada komoditas tersebut menyebabkan perubahan yang sangat besar terhadap komoditas lain bila salah satu komoditas mengalami perubahan harga. Untuk mengatasi ketidakstabilan penerimaan ekspor non-migas maka kebijakan nilai tukar efektif sangat diperlukan. Nasution (1988; 1990), Pangestu (1988), dan Tambunan (1989) menyatakan bahwa strategi peningkatan ekspor non migas memerlukan kebijakan moneter dan perdagangan dalam bentuk nilai tukar efektif untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi. Perdagangan internasional Indonesia telah menimbulkan terms of trade yang merugikan bagi kesejahteraan domestik, karena seluruh komoditas ekspor non-migas dinyatakan dalam bentuk dollar Amerika Serikat. Pada hal nilai dollar tersebut sedang melemah terhadap
nilai mata uang lainnya. Devaluasi akan meningkatkan ekspor sedangkan ekspansi moneter cenderung menurunkan ekspor. Manurung (1993), menyusun suatu model ekonometrika kelapa sawit Indonesia dan selanjutnya digunakan untuk mengetahui dampak dari suatu kebijakan dengan cara simulasi. Dari model ekspor minyak sawit Indonesia diketahi bahwa ekspektasi ekspor minyak sawit Indonesia sangat responsif terhadap perubahan kondisi perekonomian, teknologi dan peraturan kelembagaan. Devaluasi lebih efektif meningkatkan ekspor minyak sawit ke Eropa dibanding perubahan harga ekspor. Oleh sebab itu kebijakan moneter khususnya perubahan nilai tukar valuta asing dan tingkat bunga sangat efektif mempengaruhi ekspor minyak sawit ke wilayah Eropa. Berdasarkan hasil simulasi, dapat diketahui bahwa kebijakan deregulasi perdagangan akan meningkatkan jumlah produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia. Apabila harga minyak sawit di pasar Roterdam naik maka harga minyak sawit di dalam negeri juga akan naik. Disamping itu, kebijakan deregulasi juga meningkatkan impor minyak sawit, karena kenaikan jumlah konsumsi dan ekspor tidak dapat diimbangi oleh peningkatan jumlah produksi. Kebijakan deregulasi berdampak positif terhadap ekspor dan impor minyak sawit dunia atau meningkatkan volume perdagangan minyak sawit dunia. Kebijakan pajak ekspor akan menurunkan produksi minyak sawit domestik dan juga menurunkan harga ekspor. Dengan menurunnya harga ekspor maka jumlah ekspor minyak sawit Indonesia juga akan menurun. Tetapi laju penurunan ekspor lebih tinggi dari laju penurunan produksi, sehingga impor minyak sawit Indonesia akan naik. Berdasarkan simulasi yang dilakukan maka implikasinya terhadap kebijakan perkelapasawitan nasional adalah (1) kebijakan penurunan tingkat suku
bunga pasar uang sangat diperlukan untuk meningkatkan aktivitas produksi dan perdagangan internasional; (2) kebijakan devaluasi nilai tukar asing tidak perlu dilakukan karena kebijakan tersebut akan menurunkan insentif produksi dan konsumsi minyak sawit, dan kebijakan nilai tukar lebih baik diserahkan pada mekanisme pasar; (3) kebijakan deregulasi perdagangan minyak sawit harus dibarengi dengan kebijakan pembebasan impor, karena pembebasan impor akan meningkatkan jumlah penawaran domestik dan sekaligus meningkatkan produksi minyak goreng; (4) kebijakan penurunan 5 persen pajak ekspor akan meningkatkan surplus devisa dan memperbaiki posisi neraca perdagangan dan peningkatan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia; (5) kebijakan penghapusan subsidi harga pupuk sudah relevan dilakukan, karena peningkatan harga pupuk 60 persen akan meningkatkan efisiensi produksi dan konsumsi; (6) untuk mempengaruhi harga internasional minyak sawit, Indonesia dan Malaysia perlu mengadakan kerja sama dalam bentuk manajemen industri pengolahan minyak sawit menjadi komoditi konsumsi akhir sehingga total ekspor minyak sawit dunia berkurang.
3.1.4. Daya Saing Minyak Sawit Indonesia di Pasar Internasional Dari penelitian yang dilakukan oleh Dradjat, Suprihatini, Herman, dan Anwar (2005) diperoleh informasi penting tentang posisi dan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional dikaitkan dengan situasi pasar domestik. Analisis yang digunakan adalah pendekatan pangsa pasar (market share approach), yakni dengan menerapkan Partial Adjustment Model atau Adaptive Model. Kedua model tersebut digunakan untuk menganalisis (1) respon harga dan (2) tingkat akselerasi. Dari analisis respon harga diperoleh parameter elastisitas harga minyak sawit Indonesia sebagai akibat dari adanya perubahan rasio harga
minyak sawit dari negara lain atau terhadap perubahan harga minyak kedele di negara importir. Sedangkan analisis akselerasi dapat diketahui seberapa cepat penyesuaian yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam mengantispasi perubahan harga minyak sawit di negara importir. Situasi pasar internasional minyak sawit ditandai dengan pertumbuhan produksi yang lebih cepat dibanding konsumsi dan juga pertumbuhan ekspor lebih tinggi dibanding impor.--Implikasinya adalah munculnya situasi yang semakin kompetetif antar negara-negara eksportir. Dalam situasi kompetetif tersebut ternyata minyak sawit Indonesia mempunyai peluang untuk berkembang. Hal ini didukung oleh adanya keunggulan komparatif Indonesia dan pasar yang sedang tumbuh. Di pasar internasional, pangsa minyak sawit Indonesia belum mampu mengungguli minyak sawit Malaysia dan Sisa Dunia di beberapa pasar impor. Minyak sawit Malaysia mengungguli Indonesia di Amerika Serikat, Jepang, Pakistan, India dan Cina. Sedangkan minyak sawit Indonesia hanya unggul di pasar Italia dan Belanda. Dari sisi komoditas, minyak sawit menghadapi persaingan dengan minyak kedele. Di Italia dan Jerman, minyak sawit sisa dunia mempunyai potensi menguasai pasar, sedangkan minyak sawit Malaysia mempunyai potensi menggeser posisi Indonesia di pasar Belanda. Walaupun demikian minyak sawit Indonesia mempunyai potensi untuk berkembang, khususnya di Inggris dan Francis. Implikasi penting dari penelitian tersebut adalah perlunya strategi peningkatan daya saing minyak sawit Indonesia melalui peningkatan efisiensi maupun kegiatan pemasaran serta pengaturan sistem distribusi minyak sawit domestik.
3.1.5. Disagregasi Wilayah dan Pola Pengusahaan Zulkifli (2000) dan Purba (2000) melakukan penelitian dengan pendekayan ekonometrika tentang keragaan kelapa sawit Indonesia dan melakukan disagregasi wilayah.
Zulkifli membaginya berdasarkan pulau,
sehingga diperoleh gambaran kelapa sawit pada masing-masing pulau. Sedangkan Purba membagi dalam 3 kelompok, yakni Sumatera Bagian Utara, Sumatera Lainnya dan Luar Sumatera. Pembagian ini didasarkan latar belakang historis perkembangan kelapa sawit di Indonesia, yang diawali di
Sumatera
Bagian Utara, sehingga daerah ini telah memiliki akumulasi pengetahuan, kemudian berkembang ke daerah Riau dan Sumatera Selatan dan provinsi lainnya di Sumatera. Tahap berikutnya adalah ke luar sumatera. Kedua penelitian ini menggunakan metode pendugaan 2 SLS dalam model persamaan simultan.
3.1.6. Pajak Ekspor Pengenaan pajak ekspor berdampak pada penurunan ekspor secara dramatis dan berpengaruh negatif terhadap daya saing industri CPO Indonesia (Hasan, et al., 2001; Susila, 2004 dan Obado, et al. (2009). Disamping itu, pajak ekspor berhubungan negatif dengan luas areal produktif, produksi CPO, ekspor, dan harga domestik, namun berhubungan positif dengan konsumsi domestik dan stok. (Obado, et al., 2009, dan Juoro, 2010). Pajak ekspor berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan investasi, produksi, ekspor dan pendapatan usahatani. Kebijakan pajak ekspor merupakan instrumen yang efektif untuk mengendalikan CPO domestik dan harga minyak goreng. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan adanya transfer kesejahteraan dari produsen ke konsumen dan pemerintah (Susila, 2004), artinya pengenaan pajak ekspor menambah kesejahteraan bagi konsumen dan pemerintah.
3.1.7. Minyak Goreng Sawit Domestik Minyak goreng merupakan suatu sistem yang terdiri atas minyak goreng kelapa (CCO/Crude Coconut Oil) dan minyak goreng sawit (CPO/Crude Palm Oil) (Sinaga dan Ardana, 2003). Hasil penelitian menunjukkan: (1) areal panen kelapa dan kelapa sawit kurang responsif terhadap perubahan upah tenaga kerja perkebunan dan peubah-peubah harga, (2) ekspor CCO dan ekspor CPO kurang responsif terhadap perubahan peubah harga ekspor, nilai tukar rupiah, dan pajak ekspor. Ekspor CPO Indonesia lebih responsif terhadap perubahan harganya sendiri dan tingkat produksi dalam negeri dan (3) pendugaan persamaan permintaan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit menunjukkan bahwa permintaan minyak goreng sawit responsif terhadap perubahan harga minyak goreng kelapa dengan elastisitas 1.25, tetapi permintaan minyak goreng kelapa kurang responsif terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dengan elastisitas 0.188. Hal ini mencerminkan bahwa konsumen minyak goreng kelapa tidak mudah beralih ke minyak goreng sawit, sebaliknya konsumen minyak goreng sawit mudah beralih ke minyak goreng kelapa. Dengan kata lain minyak goreng kelapa cukup kuat mensubstitusi minyak goreng sawit, sebaliknya minyak goreng sawit tidak cukup kuat mensubstitusi minyak goreng kelapa. Suharyono (1996) menganalisis dampak kebijakan ekonomi pada komoditi minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia, dengan data time series periode 1969-1993. Hasil estimasi menunjukkan bahwa (1) luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan masing-masing peubah eksogen yang diperhitungkan dalam model, disamping itu produktivitas minyak sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan harga ekspor; (2) produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif
terhadap teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik. Perubahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit pengruhnya terhadap permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan; (3) permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa (bersifat substitusi). Kebijakan
ekonomi
yang
dinilai
paling
ideal,
karena
mampu
meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah (1) kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi; (2) kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan; (3) kebijakan peningkatan pendapatan nasional. Sejalan dengan meningkatnya permintaan CPO untuk kebutuhan energi (biodiesel), terdapat korelasi yang kuat antara kenaikan harga minyak bumi dengan harga CPO dunia (Purba dan Sri Hartoyo, 2010). Kenaikan harga minyak bumi mempengaruhi kenaikan harga CPO dunia (Sri Hartoyo, 2010). CPO merupakan salah satu bahan baku biodiesel, sehingga untuk meningkatkan produksi biodiesel, permintaan CPO meningkat. Akibatnya, harga ekspor CPO dan harga CPO domestik Indonesia juga meningkat. Kenaikan ekspor CPO mendorong kenaikan produksi CPO domestik. Tetapi, persentase kenaikan produksi CPO lebih kecil dibandingkan dengan persentase kenaikan ekspor, sehingga ketersedian CPO domestik menurun. Penurunan supply CPO yang disertai dengan peningkatan harga CPO menyebabkan permintaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng menurun. Akibatnya, produksi minyak goreng menurun secara nyata (Hartoyo, 2010). Secara ringkas, studi tentang penelitian terdahulu yang relevan dengan tujuan penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7.
Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Kelapa Sawit
No
Peneliti
1
2
3 3.1.
3.2.
3.3.
Model
Efisiensi Ekonomi Relatif: Saragih (1980) Profit Function
Ketut Sukiyono (1995)
Partial and Adaptive Expectation Model (PAAEM) atau Nerlove Model
Analisis Perekonomian Terbuka : Perdagangan Internasional Naya,.1974; Simultaneous Simatupang,.1984 Equation, Metoda pendugaan : 2SLS
Daya Saing Minyak Sawit Labys, 1973; Suryana, Ekonometrika 1987
Integrasi Pasar Suryana (1989)
Model persamaan simultan, 2SLS
Hasil
Kaitannya dengan Disertasi
Terdapat perbedaan antara perkebunan swasta dan perkebunan negara dan juga perbedaan efisiensi berdasarkan ukuran perkebunan antara perkebunan besar dan perkebunan kecil Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit Indonesia.
Analisis Areal Panen (mature area). (Tujuan 1)
Analisis Areal Panen (mature area). (Tujuan 1)
Penelitian tersebut juga menganalisis lagadjustment untuk menjawab pertanyaan berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian perluasan areal.
faktor ekonomi eksternal sangat mempengaruhi keuntungan produsen minyak sawit sehingga ketidakstabilan harga internasional mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap ketidakstabilan penerimaan ekspor hasil pertanian
Keterkaitan peubah harga dunia dengan ekspor. (Tujuan 2)
Ketidakstabilan harga dan permintaan internasional disebabkan pengaruh negara-negara MEE dalam perdagangan minyak nabati, baik dalam penentuan harga dan jumlah komoditas ekspor minyak nabati dunia maupun minyak nabati dari Indonesia
Demand side dari negara MEE.
Meneliti integrasi pasar minyak nabati di negara EEC-10
Saat ini demand telah bergeser oleh India dan Cina. (Tujuan 2)
Tingkat yang
integrasi tinggi
pasar pada
Saat ini demand telah bergeser oleh India dan Cina. (Tujuan 2)
No
Peneliti
Model
3.4
Libero (1971) Philippina
Ekonometrika
3.5
Nasution (1988; 1990), Pangestu (1988), dan Tambunan (1989)
Model persamaan simultan, 2SLS
3.6
Bautista dan Encarnation (1972) dan Nainggolan (1988)
Model persamaan simultan, 2SLS
3.7
Manurung (1993)
Model persamaan simultan, 2SLS
4
Daya Saing Bambang Drajat, et al, (1995)
Partial Adjustment Model atau Adaptive Model.
Hasil komoditas tersebut menyebabkan perubahan yang sangat besar terhadap komoditas lain bila salah satu komoditas mengalami perubahan harga. Hal ini sejalan dengan penelitian Perubahan faktor ekonomi eksternal ke arah yang lebih baik akan meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor kelapa. Peningkatan tingkat upah sub sektor industri kelapa Philippina akan menurunkan penerimaan devisa ekspor. Untuk mengatasi ketidakstabilan penerimaan ekspor non-migas maka kebijakan nilai tukar efektif sangat diperlukan
strategi peningkatan ekspor non migas memerlukan kebijakan moneter dan perdagangan dalam bentuk nilai tukar efektif untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi Tingkat nilai tukar mata uang dan tingkat inflasi serta pendapatan sektor industri mempengaruhi ekspor hasil-hasil pertanian. Devaluasi akan meningkatkan ekspor Ekspektasi ekspor minyak sawit Indonesia sangat responsif terhadap perubahan kondisi perekonomian, teknologi dan peraturan kelembagaan. Kebijakan moneter sangat efektif mempengaruhi ekspor minyak sawit ke wilayah Eropa. Di pasar internasional, pangsa minyak sawit Indonesia belum mampu mengungguli minyak sawit Malaysia dan Sisa Dunia di beberapa pasar impor.
Kaitannya dengan Disertasi
Melihat dari sisi yang berlawanan, yakni analisis tentang ekspor CPO Indonesia. (Tujuan 2)
Peubah Nilai Tukar digunakan dalam penelitian ini (Tujuan 2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor. (Tujuan 2)
Menyajikan Model yang komprehensif. (Tujuan 2)
Tidak semua negara dianalisis, tetapi negara yang paling dominan saat ini.
No
Peneliti
Model
Hasil Minyak sawit Malaysia mengungguli Indonesia di Amerika Serikat, Jepang, Pakistan, India dan Cina. Sedangkan minyak sawit Indonesia hanya unggul di pasar Italia dan Belanda.
5 5.1
Disagregasi Wilayah Zulkifli (2000)
5.2
Purba (2000)
6 6.1.
6.2.
Model persamaan simultan, 2SLS Model persamaan simultan, 2SLS
Melakukan analsis analisis liberalisasi perdagangan kelapa sawit Indonesia. Meneliti performance kelapa sawit Indonesia berdasarkan perbedaan wilayah dan pola pengusahaan. Indonesia didisagregasi, dalam 3 kelompok wilayah produksi dan 3 jenis pengusahaan (negara, swasta dan rakyat)
Kebijakan Pemerintah dan Distribusi Tingkat Kesejahteraan Hayami dan Herdt Model Menganalisis surplus (1978) persamaan produsen dan konsumen simultan pada komoditas padi. Surplus produsen meningkat jika elastisitas penawaran meningkat Pinstrup dan Anderson Model elastisitas penawaran (1978) persamaan sangat berpengaruh kepada simultan besar surplus konsumen
6.3.
Sinaga (1989)
7 7.1.
Pajak Ekspor Hasan, et al. (2001)
7.2.
Susila (2004)
Kaitannya dengan Disertasi Disamping itu, Malaysia dan Indonesia memiliki tujuan pasar yang berbeda. (Tujuan 2)
Kedua penelitian tersebut telah melakukan disagregasi wilayah dan pola pengusahaan. Peubah-peubah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Areal Panen kelapa sawit (Tujuan 1 dan 3) Berkaitan dengan Tujuan 1
Berkaitan dengan Tujuan 1
Model persamaan simultan
Distribusi surplus konsumen dan produsen menunjukkan hubungan yang positip dengan elastisitas permintaan dan penawaran
Berkaitan dengan Tujuan 1
Vector autoregressive model
pengenaan pajak ekspor berdampak pada penurunan ekspor secara dramatis dan berpengaruh negatif terhadap daya saing industri CPO Indonesia studi ini menyajikan secara komprehensif tentang kebijakan Pajak Ekspor. Kebijakan pajak ekspor merupakan instrumen yang efektif untuk mengendalikan CPO
Bagian Tujuan 1
Model persamaan simultan
dari
Kebijakan Pajak ekspor dikaitkan dengan ekspor. (Tujuan 1)
No
Peneliti
7.3.
Obado,
8 8.1.
Minyak Goreng Suharyono (1996)
8.2.
Sinaga (2004)
8.3.
et al. (2009)
Hartoyo, et al. (2011)
Model
Model persamaan simultan , 2 SLS
Model persamaan simultan, 3 SLS
Model persamaan simultan, 2 SLS
Model persamaan simultan, 2 SLS
Hasil domestik dan harga minyak goreng. Kesejahteraan produsen berkurang dan ditransfer ke konsumen dan pemerintah. Pajak ekspor berhubungan negatif dengan luas areal produktif, produksi CPO, ekspor, dan harga domestik, namun berhubungan positif dengan konsumsi domestik dan stok. (1) luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan masing-masing peubah eksogen; (2) produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, Permintaan minyak sawit berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit domestik; (3) permintaan minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa, dan minyak goreng kelapa cenderung bersifat substitusi. Memadukan industri minyak goreng kelapa (CCO) dan minyak goreng sawit (CPO)
Permintaan minyak goreng sawit responsif terhadap perubahan harga minyak goreng kelapa, tetapi permintaan minyak goreng kelapa kurang responsif terhadap perubahan harga minyak goreng sawit. Kenaikan harga minyak bumi akan menyebabkan ekspor CPO Indonesia meningkat dan selanjutnya ketersediaan minyak goreng sawit Indonesia menurun.
Kaitannya dengan Disertasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor. (Tujuan 1)
Faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal dan ekspor. (Tujuan 1 dan 2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor. (Tujuan 2)
Berhubunggan dengan analisis minyak goreng sawit (Tujuan 1)
3.2. Kontribusi Penelitian Empiris Pada tahap awal (tahun 1980-an) penelitian aspek ekonomi minyak sawit di Indonesia berpusat pada aspek pengembangan areal (supply side), efisiensi dan PIR-BUN. Kemudian penelitian berkembang dalam hal liberalisasi perdagangan seiring dengan era perdagangan bebas tahun 1991 dan pemberlakuan pasar bebas tahun 2020. Sebagai komoditas komoditas yang berorientasi ekspor, penelitian dalam hal perdagangan internasional masih tetap relevan. Fenomena berikutnya adalah masalah fluktuasi harga dan terganggunya pasokan industri dalam negeri, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor (PE), sehingga topik penelitian berkembang pada kebijakan pajak ekspor dan industri minyak goreng. Secara ringkas perkembangan tersebut disajikan pada Gambar 9. Penelitian Terdahulu
Penelitian Disertasi
Supply side, luas areal efisiensi
Kajian ekspor CPO dalam konteks liberalisasi perdagangan
1. Menganalisis dampak pajak ekspor terhadap industri minyak goreng sawit domestik 2. Menganalisis keragaan pasar CPO di pasar domestik dan pasar global
Kebijakan pajak ekspor, distribusi kesejahteraan dan minyak goreng
Gambar 9. Perkembangan Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Penelitian Dari penelusuran penelitian tersebut, maka kontribusi penelitian ini adalah: (1) menyajikan informasi empiris dampak pajak ekspor CPO terhadap industri minyak goreng domestik, (2) menganalisis keragaan Pasar CPO di pasar domestik dan pasar global.