BAB III TINJAUAN PUSTAKA
ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR PENDAHULUAN Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstrakardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut.[2] Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas His ataukah di ventrikel mulai dari infra his bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar antara 60100/menit. Tergantung dari letak fokus, selain menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dapat terjadi Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry mechanism di sekitar nodus AV. Pada bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di supra ventrikel yang bersifat takikardia. [2]
MEKANISME TAKIARITMIA[2] Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature beat. Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium, kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kanal ion, sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan gangguan perbanyakan (propagation) impuls. Pembentukan rangsang bertambah (enchanced impulsed formation) yang dapat disebaban oleh peningkatan otomatisitas (enhanced autmaticity) dan aktivitas pemicu (triggered activity). 21
Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut atrial khusus, serabut AV junction dan serabut Purkinje. Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas serabut pacemaker laten karena terjadi depolarisasi parsial pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4 sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung. Keadaan ini didapat pada: (1) peningkatan katekolamin endogen dan estrogen, (2) gangguan elektrolit(misal hipokalemia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek mekanis, dan (5) obat-obatan (misal digitalis). Aktivitas Pemicu (triggered activity): Dapat disebabkan oleh early after depolarization, yang terjadi pada fase 2 dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi terlambat (delayed). Karena itu mekanisme ini terjadi tidak secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (late), Na dan Ca yang masuk ke dalam sel meningkat, sehingga terjadi gelombang sesudah (after) depolarisasi dan bila mencapai ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol. Mekanisme ini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel dan jaringan His-Purkinje di mana kadar katekolamin meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada bradikardia, hipokalemia. Semua keadaan ini menghasilkan akumulasi Ca intracellular. Mekanisme Reentry: Teori ini banyak dipakai untuk menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap (sustain). Persyaratan terjadinya mekanisme ini adalah: (1) adanya blok unidirectional pada salah satu jalan konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3) Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada dalam fase refrakter relatif kembali, (4) ada extra beat sebagai pemicu terjadinya mekanisme reentri. Secara matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x masa refrakter. Perjalanan berulang dari impuls tersebut mengakibatkan timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (Wolf Parkinson White) di mana terdapat jalan tambahan misal dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal pada nodus AV-His-Purkinje. Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis patologis karena jaringan parut (scar) akibat infark miokard. Blok unidireksional terjadi karena perubahan arsitektur jaringan 22
sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan refrakter yang inhomogen misal karena infark miokard.
SINUS TAKIKARDIA: Frekuensi nadi melebihi 100/menit dan biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam, kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis, hipoksemia, atau gagal jantung kongestif. Pada gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus karotis bisa memperlambat takikardia. Pengobatan: ditujukan pada penyakit primer. Lain halnya bila terdapat kasus gagal jantung kongestif, yaitu pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan inhibitor ACE atau Angiotensin Receptor Blocker.
FIBRILASI ATRIAL (FA): Kelainan ini sering didapat dan dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan. Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam waktu 2x24 jam, disebut paroksismal. Bila terus menerus menetap menjadi kronik disebut permanen. Sedangkan persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi pada manusia normal terutama karena stres emosional atau sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada pasien jantung atau paru dengan hipoksia, hiperkapnia, atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik. FA persisten sering terdapat pada pasien jantung, yaitu reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit hipertensi kardiovaskular, penyakit paru kronik, defek septal atrial, juga pada tirotoksikosis. Sedangkan lone FA bila pasien tidak mengidap penyakit jantung. Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang berkaitan dengan (1) frekuensi ventrikel yang sangat cepat sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pectoris dan dapat juga menyebabkan kardiomiopati yang disebabkan oleh takikadia (tachycardia-mediated). (2) Bila terlalu lambat dapat menimbulkan sinkop. (3) Emboli sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demam reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroke non hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga mengurangi curah jantung output dengan akibat terjadi fatigue. (5) Rasa khawatir (ansietas) dengan palpasi. Pada gambaran EKG gelombang 23
P tidak terlihat dengan jelas. Respon aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak teratur (iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat melewati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih lambat daripada aksi atrial. Pengobatan: Penyakit primer harus diobati, seperti tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk, misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi. Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya memblokade di nodus AV yaitu pada slow conduction pathway, dengan memperpanjang masa refrakternya. Pemberian antikoagulan sampai INR minimal 1,8 untuk mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan pengobatan adalah untuk kontrol rate yaitu dengan penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis. Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama sinus dapat diberikan obatobatan golongan IC, sotalol, amiodaron untuk mempertahankan iramanya, yaitu sebagai kontrol ritme. Penatalaksanaan Farmakologis Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga disamping penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gagal jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya. Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan tubuh. Selain itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga dihindari polifarmaka. Obat-obatan aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok kontrol rate untuk mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta (kelas II), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil, diltiazem (kelas IV). Disamping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah kelompok rhytme control untuk mengkonversi dari AF ke irama sinus, yaitu: (1) Golongan yang memblokade kanal ion Na (kelas IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas III yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan menghambat kanal ion K, yaitu amiodaron, sotalol. Intervensi Invasif
24
Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan defibrilator untuk mengatasi VT
dan VF yang termasuk dalam resursitasi jantung paru. Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal. Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan teknik kateterisasi sampai ke atrium kiri mencapai vena pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus, dilakukan ablasi. Selain itu ada juga teknik bedah MAZE dengan membentuk multiple scars di atria kanan dan kiri sehingga mencegah penjalaran gelombang fibrilasi.
FLUTTER ATRIAL (FIAT) Aritmia ini biasanya berkaitan dengan penyakit jantung organik. Flutter ini dapat terjadi secara paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis, gagal nafas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama setelah operasi jantung terbuka. FIAT dapat berubah menjadi AF dan jarang menimbulkan emboli sistemik. FIAT mempunyai kekhasan berupa gambaran gelombang P seperti gigi gergaji (saw teeth), mempunyai frekuensi atrial sekitar 250-350/menit. Sedangkan frekuensi ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2:1 di nodus AV. Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuesnsi ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti aritmia golongan IA atau IC atau amiodarone untuk merubah kembali menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan sampai kembali ke FIAT dapat diberikan golongan IA, IC, atau golongan II. Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daera isthmus yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampai 85%.
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI PAROKSISMAL (PSVT) [2, 3] Penemuan Klinis Supraventrikular takikardi paroksismal adalah istilah imim yang menunjukkan takiaritmia yang muncul di atas bifurkasio dari His bundle. Letak kelainan adalah di nodus AV. Sekitar
25
90% dari aritmia ini muncul karena mekanisme reentrant; sisanya 10% muncul karena kenaikan automatisitas. ATRIOVENTRICULAR NODAL REENTRANT TACHYCARDIA (AVNRT) Termasuk Paroksismal supra takikardia ventrikular, dan merupakan bentuk kelainan yang umum dari PSVT, berkisar 50-60% dari kasus yang ada. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi berkisar antara 120-250/menit dan dipicu oleh atrial ekstra sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi keterlambatan konduksi di dalam nodus AV. Dalam nodus AV terdapat dua jalur yaitu jalur cepat dan jalur lambat yang disebut dengan dual pathway. Jalur cepat memberikan konduksi yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang sedangkan jalur lambat memberikan konduksi lambat dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi rangsang hanya melalui jalur cepat sehingga interval PR normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade di jalur cepat sehingga konduksi rangsang berikutnya dialirkan melalui jalur lambat dan selain itu kecepatan rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk terjadi reentry AV nodal dan terjadilah takikardia dan disebut AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga gelombang P tak terlihat di EKG. Seringkali, pasien dengan AVNRT tidak memiliki dasar penyakit jantung. Faktor presipitasi yang sering termasuk alkohol, kafein, dan simpatomimetik amin. Pasien dengan AVNRT biasanya berumur dekade ketiga atau keempat, dan mayoritas (sekitar 70%) adalah perempuan. ATRIOVENTRICULAR RECIPROCATING TACHYCARDIA (AVRT) Berjumlah sekitar 30% dari PSVT. Pada kebanyakan kasus, impuls turun ke nodus AV dan mengikuti jalur retrograd ke jalur accessory bypass. Karena aktivasi dari venrikel melalui jalur konduksi normal, jalur asesori ini terselubung, dan morfologi QRS normal. Pikirkan AVRT apabila denyut jantung lebih cepat dari 200 denyut/menit atau apabila gelombang P terlihat mengikuti kompleks QRS. SINUS NODE REENTRY DAN INTRA-ATRIAL REENTRY Adalah penyebab yang kurang umum dari PSVT, berkisar sekitar 5% dari kasus. Pada aritmia ini, denyut jantung biasanya 130-140 denyut/menit. Lebih sering, pasien dengan aritmia ini memiliki dasar penyakit jantung. AUTOMATIC ATRIAL TACHYCARDIA 26
Adalah penyebab yang kurang umum juga pada aritmia, berkisar kurang dari 5% dari PSVT. Denyut jantung biasanya 160-250 denyut/menit tapi dapat juga lambat sekitar 140 denyut/menit. Pada kasus ini, mekanisme yang mendasari meningkatkan automatisitas daripada reentri. Automatic atrial tachycardia biasanya dikaitkan dengan dasar penyakit jantung. Aritmia ini sulit untuk diobati dan dapat muncul kembali dengan pengukuran standar termasuk kardioversi. PSVT dapat diklasifikasikan menjadi AV Nodal Dependent atau independent. Strategi ini terbukti berguna, yang berarti bahwa nodus AV terkait dengan sirkuit reentran. Untuk ritme ini, manajemen farmakologik didesign untuk mengurangi konduksi melalui nodus AV. Gambaran Klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop dengan hipotensi. Terapi Pasien tidak stabil[3] Pasien dengan PSVT dengan hemodinamik yang tidak stabil membutuhkan sinkronisasi DC kardioversi dengan segera. Rekomendasi adalah memulai dengan level energi yang rendah (50 joules [J]) dan lalu menaikan dosis inisial dari 50 J seperti yang diperlukan sampai ritme sinus dapat pulih. Apabila keadaan klinis mengijinkan, berikan sedasi intravena. Hindari kesalahan umum dalam menunda kardioversi darurat untuk dilakukan aktivitas perawatan yang lainnya. Apabila kardioversi segera tidak tersedia, manuver fisik yang menyebabkan stimulasi vagal dapat dicoba. Pasien stabil[3] Takikardia yang terkait dengan PSVT biasanya dapat dengan baik ditoleransi ecuali pasien memiliki dasar penyakit jantung atau disfungsi ventrikel kiri. 1. Manuver fisik – pada pasien yang stabil, manuver fisik yang menyebabkan stimulasi vagal dapat dicoba sebelum pemberian medikasi. Manuver yang menstimulasi saraf vagal seperti manuver valsava(ekspitasi melawan penutupan glotis), manuver Muller (inspirasi dalam melawan penutupan glotis), cold water facial immersion, gagging, dan tindakan pijat sinus karotikus sebagai manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan PSVT yang disebabkan dari mekanisme dependen nodus AV dan nodus sinoatrial (SA). Penekanan pada bola mata tidak boleh dilakukan. Lakukan pijatan sinus karotikus hanya sesudah auskultasi dari bising karotis. 27
2. Pengobatan farmakologis – apabila stimulasi vagal terkontraindikasi atau tidak efektif, adenosin dipertimbangkan sebagai terapi medikal lini pertama untuk konversi dari PSVT. Secara umum, agen farmakologis dengan properti penghambat AV seperti adenosin, β-bloker, calsium channel blocker, dan digoksin digunakan untuk manajemen akut dan prevensi pada AV nodal dependent PSVT. Agen antiaritmik lain seperti prokainamide dan amiodarone, yang memiliki efek pada level yang bervariasi dari sistem konduksi jantung digunakan untuk manajemen dan prevensi dari AV nodal independent PSVT. Pengobatan antiaritmik dapat dipertimbangkan untuk konversi dari PSVT ketika agen penghambat nodus AV tidak berhasil. Bila tak berhasil dapat diberikan adenosin intravena. Selain itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta. Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat dilakukan dengan pancing atrial atau ventrikel melalui intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk dilakukan kardioversi. a. Adenosin – adenosin adalah nukleosid endogenus yang memperlambat konduksi melalui nodus AV dan terbukti berhasil untuk menterminasi lebih dari 90% dari PSVT yang disebabkan oleh mekanisme AV nodal reentry (AVNRT dan AVRT). Adenosin dapat juga efektif untuk menterminasi sinus node reentry tachycardia. Seringkali adenosin akan menyebabkan blok AV yang sementara, secara singkat mengekspos aktivitas atrial yang mendasari. Pemberian medikasi dengan efek yang memanjang dari nodus AV (β-bloker atau calcium channel blocker) dapat mengurangi reduksi yang lebih tetap pada ritme ventrikular. Pemberian adenosin secara cepat, dan diikuti secepatnya dengan bilasan 20 cc salin setiap dosisnya. Pemberian dosis inisial intravena adalah 6 mg dalam 1-3 detik. Apabila hal ini tidak menterminasi PSVT, dosis sebesar 12 mg dapat diberikan dalam 2 menit. Dosis 12 mg dapat diulang satu kali apabila diperlukan. Efek samping yang umum termasuk kemerahan pada wajah, hiperventilasi, dispnue, dan nyeri dada. Efek samping ini biasanya sementara karena pendeknya waktu paruh dari adenosin (kurang dari 5 detik). Peringatan pada pasien akan gejala ini membantu. Efek dari adenosin diantagoniskan oleh kafein dan theofilin dan dipotensiasi oleh dipidamol dan karbamazepin. Pasien dengan transplan jantung dapat sensitif secara berlebihan kepada efek dari adenosin; apabila dibutuhkan, gunakan dosis yang lebih kecil. Karena 28
adenosin dapat memprovokasi bronkospasme, gunakanlah dengan hati-hati apabila pemberiannya diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit jalan nafas reaktif. Adenosin juga dapat diberikan pada pasien yang stabil dengan takikardia dengan kompleks QRS yang melebar yang dicurigai berasal dari supraventrikular. Adenosin lebih dipilih daripada calcium channel blocker pada pasien dengan hipotensi atau gangguan fungsi jantung dan pada pasien yang secara konkomitan menerima agen yang memblok β-adrenergic. b. Β-blocking agents – β-bloker seperti metoprolol atau esmolol memperlambat formasi impuls nodus SA dan konduksi lambat melalui nodus AV. Medikasi ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit saluran nafas reaktif yang berat dan CHF. Metoprolol adalah alternatif dari calcium channel blocker dan diberikan secara intravena dengan dosis 5 mg setiap 5 menit untuk tiga dosis. Esmolol adalah penyekat β selektif β1 yang kerjanya sangat pendek yang memiliki keuntungan dari waktu paruh yang singkat (~10 menit) dan onset cepat. Pemberian dosis loading 0.5 mg/kg selama satu menit. Hal ini diikuti dengan infus pemeliharaan 50µg/kg/menit. Apabila respon inadekuat, dosis lain dari 0.5µg/kg/menit dapat diberikan setelah 4 menit dan infus pemeliharaan ditingkatkan ke 100µg/kg/menit. Ketika denyut jantung dicapai, kurangi infus pemeliharaan ke 25µg/kg/menit. c. Calcium channel blocker Calcium channel blocker seperti diltiazem atau verapamil efektif untuk mengkonversikan PSVT ke ritme sinus. Efikasi dari diltiazem dan verapamil dalam hal seperti tingkat konversi, kecepatan respon, dan profil keamanan tampaknya mirip. Medikasi ini menurunkan konduksi nodus SA dan AV dan menyebabkan perpanjangan dari periode refrraktori nodus AV. Calcium channel blocker juga menurunkan kontraktilitas miokardial dan resistensi vaskular perifer. Penggunaan calcium channel blocker dengan hati-hati pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau CHF. Hindari medikasi ini pada pasien dengan WCT dengan asal yang tidak diketahui, ventrikular takikardi (VT), atau takikardia dengan preeksitasi ventrikular. Hipotensi adalah efek samping yang paling mengkhawatirkan dari pemberian intravena dan muncul pada 10-15% dari pasien.
29
(1) Verapamil – dosis inisial dari verapamil adalah 5-10 mg diberikan intravena selama 1-2 menit. Dosis tambahan 5-10 mg dapat diberikan setiap 15 menit bila diperlukan sampai efek yang diinginkan dicapai atau total 30 mg telah diberikan. (2) Diltiazem – dosis inisial dari diltiazem adalah 0.25 mg/kg diberikan secara intravena selama 2 menit (20 mg untuk rata-rata orang dewasa). Apabila diperlukan, dosis 0.35 mg/kg dapat diberikan dalam 15 menit. Setelah konversi, infus pemeliharaan dapat dimulai pada 5-10 mg/jam dan dapat ditingkatkan pada maksimum 15 mg/jam apabila diperlukan. Pilihan antara β-bloker dan calcium channel blocker tergantung pada multipel faktor, tetapi keduanya tidak boleh diberikan secara intravena untuk pasien yang sama. Keduanya memiliki onset yang cepat (menit) dan keduanya harus digunakan dengan hati-hati pada PPOK dan CHF yang berat. Medikasi yang mana pasien sedang jalankan dan pilihan dokter harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan hipertiroidisme dan penyakit jantung kongenital, β-bloker adalah pilihan yang terbaik. d. Digoksin Pemberian digoksin meningkatkan tonus vagal sementara mengurangi aktivitas simpatetik. Sebagai hasilnya, konduksi melalui nodus AV diperlambat. Digoksin dapat diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0.5 mg. Dosis tambahan dari 0.25 mg dapat diberikan apabila dibutuhkan setiap 4-6 jam, dengan dosis total tidak melebihi 1.25 mg dalam 24 jam. Keuntungan segera digoksin dikurangi melalui aksi onsetnya yang lambat. Ketika digunakan dengan kombinasi, digoksin memungkinkan pemberian agen antiaritmik yang diberikan bersamanya dengan dosis yang lebih rendah. Hindari digoksin pada pasien dengan AF pada preeksitasi ventrikular. e. Amiodarone Amiodarone adalah agen antiaritmia kelas III dengan properti penghambat kanal natrium dan kalium dan penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium. Berdasarkan dari penghambat β dan properti penghambat kanal kalsium, amiodaron memperlambat konduksi melalui nodus AV lebih dari 10 menit. Hal ini diikuti dengan infus pemeliharaan 1 mg/menit untuk 6 jam dan kemudian 0.5 mg/menit. Dosis bolus tambahan 150 mg dapat diulangi bila dibutuhkan untuk PSVT yang resisten atau berulang sampai dengan dosis total harian 2 gram. 30
f. Prokainamid Prokainamid adalah agen antiaritmik kelas IA dengan properti penghambat kanal natrium. Prokainamid akan memperlambat konduksi melalui baik nodus AV, dan apabila ada accessory bypass tract. Prokainamid dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PSVT refrakter dengan agen penghambat nodal AV. Dosis loading yang direkomendasikan dari prokainamid adalah 17 mg/kg diberikan dengan infus intravena lambat dengan ritme 20-30 mg/menit (1 gram untuk dewasa rata-rata). Hentikan infus inisial apabila aritmia ditekan, munculnya hipotensi, atau pelebaran kompleks QRS lebih dari 50% dari durasi normalnya. Setelah aritmia tertekan, mulailah infus pemeliharaan sekitar 1-4 mg/menit.
NON REENTRANT TACHYCARDIA: MULTIFOCAL ATRIAL TACHYCARDIA (MAT) Biasanya terjadi karena intoksikasi digitalis atau hipokalemia atau efek teofilin atau obat adrenergik. Gambaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval R-R ireguler. Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk menghentikan respons ventrikel.
OBAT ANTIARITMIA[2] Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: Kelas I. Yang berfungsi memblokade kanal Na pada membran sel sehingga menutunkan kecepatan maksimal depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade kanal Na tersebut, kelas I dibagi menjadi: Kelas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid. Kelas IB. Kinetik kerjanya cepat dan memperpendek repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai efek yang ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah, tetapi mempunyai efek besar pada kasus dengan heart rate tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid. 31
Kelas IC. Kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon, flekainid, lorkainid. Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi proartimia. Kelas II. Obat antisimpatik: menurunkan otomatisasi nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ni adalah penyekat beta, misal propanolol dan lainnya. Pemberian penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan mencegah terjadinya sudden cardiac death dan IMA berulang. Golongan ini menunjukkan terjadinya Ventricular Activity (VA) complex termasuk VT. Kelas III. Golongan ini memblokade kanal kalium sehingga repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode refrakte. Contoh: amiodarone, bretilium, sotalol (sebetulnya termasuk golongan penyekat beta). Amiodarone sangat efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang berkaitan dengan penyakit jantung. Nammun mesti dipehatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap paru, saluran cerna, dan lainlain. Kelas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan dengan potensial aksi yang berespon lambat misal di nodus AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) komplek. Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol. Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT. Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti artimia. Efek digitalis: memperlambat ventricular rate sehingga dapat dipakai pada FA, FIAT dan atrial takikardia lain. Adenosin: menterminasi SVT reentrant yaitu AVNRT dan bekerja di nodus AV.
ACE INHIBITOR [2]
32
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif menurut beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka sudden cardiac death juga akan menurun.
PNEUMOTHORAKS DEFINISI Pneumothoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumothoraks spontan: terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: [4] 33
Pneumothoraks spontan primer: pada orang sehat. Faktor risiko: - Merokok[4,5] - Orang yang tinggi dan kurus[5] - Sindrom marfan[5] - Kehamilan[5] - Pneumothoraks familial[5] Penyebab: umumnya ruptur bleb subpleural atau bullae. [4] Pneumothoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberkulosis paru, asma, cystic fibrosis, pneumonia Pneumocystis carinii, dll. [4]
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang didahului trauma, termasuk: biopsi transthorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, torakosintesis, biopsi transbronkial, dll. [4]
PATOFISIOLOGI[5]
Pneumothoraks spontan Pneumothoraks spontan pada kebanyakan pasien muncul dari ruptur dari bleb dan bulae. Walaupun pneumothoraks spontan primer (PSP) didefinisikan muncul pada pasien tanpa penyakit paru dasar, pasien ini memiliki asimptomatik bleb dan bullae yang dideteksi oleh CT Scan atau selama thorakotomi. PSP biasanya ditemukan pada pasien muda yang tinggi, muda tanpa penyakit paru parenkimal dan mungkin terkait dengan peningkatan shear forces pada apeks. Walaupun PSP terkait dengan adanya bleb pleura apikal, tempat anatomi yang tepat dari kebocoran udara biasanya tidak pasti. Fluorescein-enhanced autoflorescence thoracoscopy (FEAT) adalah sebuah novel method untuk memeriksa tempat kebocoran udara pada PSP. Lesi positif FEAT dapat dideteksi walaupun terlihat normal pada thorakoskopi dengan cahaya putih yang normal.[6] Pada respirasi normal, ruangan pleural memiliki tekanan negatif. Sewaktu pengembangan dinding dada keluar, tekanan permukaan antara pleura pariteal dan viseral mengembangkan paru ke luar. Jaringan paru secara intrinsik memiliki elastisitas, cenderung kolaps ke dalam. Apabila ruang pleural diisi oleh gas dari ruptur bleb, paru kolaps sampai tercapai equilibrium tercapai atau ruptur tertutup. Ketika pneumothoraks membesar, paru mengecil. Konsekuensi fisiolgis utama pada proses ini adalah menurunnya kapasitas vital dan tekanan parsial dari oksigen. Peradangan paru dan stres oksidatif dihipotesiskan penting pada patogenesis PSP.[7] Perokok aktif, menaikkan risiko PSP, memiliki peningkatan jumlah dari sel 34
inflammatory pada jalan nafas yang kecil. Penelitian bronchoalveolar lavage (BAL) pada pasien dengan PSP menemukan bahwa derajat inflamasi terhubung dengan perluasan emphysematouslike changes (ELCs). Satu hipotesis yang dihasilkan ELCs dari degradasi jaringan paru dikarenakan ketidakseimbangan pelepasan enzim dan antioksidan dari innate immune cells.[8] Pada satu penelitian, aktivitas erythrocyte superoxide dismutase secara signifikan lebih rendah dan peninggian plasma malondialdehyde pada pasien dengan PSP daripada subjek kontrol normal. [7] Buktii-bukti menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin penting pada patogenesis pada banyak kasus dari PSP. Pengelompokkan keluarga yang memiliki kondisi ini telah dilaporkan. Kelainan genetik yang terkait dengan PSP termasuk sindrom Marfan, homosistinuria, dan sindrom Birt-Hogg-Dube (BHD). Sindrom Birt-Hogg-Dube adalah kelainan autosomal dominan yang dicirikan dengan tumor kulit jinak (hemartoma folikel rambut), kanker renal dan kolon, dan pneumothoraks spontan. Pneumothorax spontan muncul pada sekitar 22% pasien dengan sindrom ini. Gen yang bertanggung jawab untuk sindrom ini adalah gen supresor tumor yang terletak pada band 17p11.2. Gen yang mengkode folliculin(FLCN) diduga menjadi etiologi pada sindrom
Birt-Hogg-Dube. Mutasi
multipel telah ditemukan, dan variasi fenotip ditemukan. Pada satu penelitian, 8 pasien tanpa keterkaitan kulit atau ginjal memiliki kista paru dan pneumothorax spontan.[9] Mutasi germ-line pada gen ini telah ditemukan pada 5 pasien, dan tes
genetik tersedia. Tension pneumothorax[5] Tension pneumothorax muncul pada waktu disrupsi yang terkait dengan pleura viseral, pleura pariteal, atau pohon trakeobronkial. Kondisi ini muncul ketika jaringan yang terkena membentuk katup 1 arah dan menghambat udara yang keluar. Volume dari udara intrapleural yang tidak dapat diabsorbsi ini bertambah dengan tiap inspirasi karena efek katup 1 arah. Sebagai tambahan pada mekanisme ini, penggunaan tekanan positif dengan terapi ventilasi mekanik dapat menyebabkan udara terperangkap. Begitu tekanan meningkat, paru ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia. Tekanan yang lebih lanjut meningkatkan penyebab pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral dan menimpa dan menekan baik sisi kontralateral dan mengganggu aliran balik vena ke atrium kanan. Hipoksia menyebabkan paru yang kolaps pada sisi yang terkena dan paru yang tertekan pada sisi kontralateral menyebabkan terganggunya pertukaran gas yang efektif. Hipoksia dan penurunan aliran balik vena menyebabkan kompresi pada dinding tipis dari atrium yang mengganggu fungsi 35
jantung. Kinking dari vena cava inferior dipikirkan menjadi kejadian insial yang menghambat darah ke jantung. Hal ini terbukti pada pasien trauma yang hipovolemik dengan pengurangan aliran darah balik ke jantung. Pada berberapa penyebab, kondisi ini secara cepat berprogresi ke insufiensi nafas, kolaps kardiovaskular, dan, ujungnya, kematian apabila tidak disadari, dan tidak diobati. DIAGNOSIS[4] Gejala: nyeri dada, akut, terlokalisir, dispnea (pada pneumothoraks ventil: tiba-tiba, makin berat), batuk, hemoptisis. Pemeriksaan fisik:
Takipneu, Sisi terkena (ipsilateral): o Statis: lebih menonjol o Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal o Fremitus: menghilang o Perkusi: hipersonor o Auskultasi: suara nafas melemah - menghilang Tanda pneumothoraks tension: o Keadaan umum sakit berat o Denyut jantung > 140 kali/menit o Hipotensi o Takipneu, pernafasan berat o Sianosis o Diaforesis o Deviasi trakea ke sisi kontralateral o Distensi vena leher
Foto thoraks: [4]
Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen PA tegak pneumothoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada
apeks, Bila perlu foto pada saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi difragma, ekspansi rib cage.
CT Scan: membedakan pneumothoraks terlokulasi dari kista atau bullae AGD: hipoksemia, mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia. 36
DIAGNOSIS BANDING[4] Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi pleura, kanker paru.
PEMERIKSAAN PENUNJANG[4] Foto thoraks, CT Scan thoraks Analisis gas darah: bila diperlukan. TERAPI[4]
Pneumothoraks unilateral kecil (<20%) dan asimtomatik: observasi, foto thoraks
serial. Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan
kateter 16F atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar. Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul bagain bedah/subbagian bedah thoraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapat disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi
pneumothoraks lagi: tube dapat dicabut. Jika pneumothoraks rekuren: o Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau: o Konsul bagian bedah/subbagian bedah thoraks untuk pertimbangan: Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping
pleura parietal), atau Torakoskopi, atau open thoracotomy.
Indikasi:
Kebocoran udara memanjang, Reekspansi paru tidak sempurna Bullae besar Risiko pekerjaan
Indikasi relatif:
Pneumothoraks tension 37
Hemopneumothoraks Bilateral pneumothoraks Rekurenns ipsilateral/kontralateral
KOMPLIKASI[4] Gagal nafas, pneumothoraks tension, hemopneumothoraks, infeksi/piopneumothoraks, penebalan pleura, atelektasis, pneumothoraks rekuren, emfisema mediastinum, edema paru reekspansi PROGNOSIS[4] Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/komorbid.
DAFTAR PUSTAKA 1. Lechtzin N. Dyspnea. In: Porter RS, Kaplan JL, Homeier BP. The Merck Manual of: Patient Symptoms. New Jersey: Whitehouse Station; 2008. P.150-3. 2. Makmun LH. Aritmia Supraventrikel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P.1528-31. 3. Bollinger BC, Heidenreich J. Cardiac Arrythmias. In: Stone CK, Humphries RL. Current Diagnosis and Treatment: Emergency Medicine. New York: McGraw Hill; 2008. P. 580-3. 4. Ismail D, Alwi I, Rahman M, Waspadji S, Soewondo P, Subekti I, et al. Pneumothoraks. In: Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P. 87-9. 5. Daley BJ. Pneumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview. Accessed on: April 4, 2013. 6. Noppen M, Dekeukeleire T, Hanon S, Stratakos G, Amjadi K, Madsen P. Flouresceion-enhanced autofluorescence thoracoscopy in patients with primary spontaneous. Am J Respir Crit Care Med. Jul 1 2006; 174(1): 26-30. 7. Tabakoglu E, Ciftci S, Hatipoglu ON, Altiay G, Caglar T. Levels of superoxide dismutase and malondialdehyde in primary spontaneous pneumothorax. Mediators Inflamm. Jun 2004; 13 (03):209-10.
38
8. Haraguchi S, Fukuda Y. Histogenesis of abnormal elastic fibres in blebls and bullae of patients with spontaneous pneumothorax: ultrastructural and immunohistochemical studies. Acta Pathol Jpn. Dec 1993; 43 (12):709-22. 9. Gunji Y, Akiyoshi T, Sato T, Kurihara M, Tominaga S, Takahashi K. Mutations of the Birt Hogg Dube gene in patients with multiple lung cysts and recurrent pneumothorax. J Med Genet. Sep 2007; 44(9):588-93. 10. Ruple J, Tailey R, Elling B, Drummonds B, Busti A, Shuster M, et al. Unstable Tachycardia. In: Field JM. Advanced Cardiovascular Life Support: Provider Manual. American Heart Association; 2006. P.91.
LAMPIRAN
39
40