III. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan penelitian terdahulu, serta tulisan maupun makalah tentang perkembangan dan kebijakan percengkehan nasional yang terkait dengan penelitian ini, juga sekaligus dengan aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian baik dari ruang lingkup maupun metodologinya.
3.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Percengkehan Nasional Penelitian tentang komoditas cengkeh di Indonesia telah pernah dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pada bagian ini, akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Studi-studi tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian, menyangkut aspek yang ditelaahnya yaitu, aspek permintaan dan penawaran cengkeh, aspek kebijakan dalam produksi cengkeh, aspek tataniaga dan kebijakan dalam tataniaga cengkeh, serta aspek industri rokok kretek.
3.1.1. Aspek Permintaan dan Penawaran Cengkeh Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh pernah dilakukan antara lain oleh Gwyer, Chaniago dan Wachyutomo. Penelitian Gwyer (1976), bertujuan
untuk
memproyeksikan
penawaran
dan
permintaan
cengkeh
Indonesia. Penawaran cengkeh diproyeksikan melalui produksi menggunakan metode peramalan rata-rata bergerak (moving average), sedangkan permintaan cengkeh diproyeksikan dengan menggunakan dua metode yaitu metode pertama adalah berdasarkan data yang lama kemudian membuat ekstrapolasi dan metode kedua membuat fungsi permintaan. Hasil penelitiannya, menyatakan bahwa pada
60 tahun 1983, terjadi keseimbangan antara produksi dan kebutuhan cengkeh domestik. Penelitian Chaniago (1980) menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Tujuannya untuk mengetahui hubungan penawaran dan permintaan rokok kretek, menilai pengaruh perubahan peubah-peubah utama yang terkandung di dalamnya, dan menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan cengkeh, sehingga dapat membuat proyeksi permintaan cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kuantitas rokok kretek yang ditawarkan tergantung pada tersedianya bahan baku cengkeh baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor, sedangkan perubahan harga rokok kretek tidak berpengaruh. Faktor penghambat bagi perkembangan industri rokok kretek adalah harga tembakau dan pita cukai yang tinggi. Sedangkan yang mempengaruhi permintaan rokok kretek adalah perubahan harganya dan kenaikan pendapatan. Kemudian, Wachyutomo (1996) yang menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di Indonesia, juga menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Hasil penelitiannya antara lain menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek adalah kenaikan harga cengkeh di tingkat petani. Pada penelitian Gwyer dan Chaniago, peubah-peubah dalam model diklasifikasikan menjadi peubah endogen dan eksogen dan model dibangun dalam struktur kausalitas. Perbedaan kedua studi tersebut dengan penelitian
61 Wachyutomo, adalah untuk menganalisis dampak kebijakan dalam percengkehan nasional disusunlah beberapa alternatif kebijakan yang dianggap relevan.
3.1.2. Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh Penelitian menyangkut kebijakan dalam produksi cengkeh pernah dilakukan oleh Dumais, Ruaw dan Talumingan (2002). Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak yang dapat ditimbulkan apabila diterapkannya usulan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Minahasa berupa pajak terhadap komoditas cengkeh. Penelitian ini menggunakan analisis PAM (Policy Analysis
Matrix). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur efek dari kebijakan pemerintah yang ada dan yang baru diusulkan dalam memproduksi cengkeh dengan tingkat teknologi tertentu pada beberapa sistem pola tanam dengan zone ekologi yang berbeda dan (2) menentukan IRR (internal rate return) pada teknologi yang ada sehubungan dengan pernyataan pemerintah bahwa pajak keuntungan dapat digunakan untuk meningkatkan teknologi dalam pertanaman cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1) perbedaan antara harga privat dan harga sosial dalam produksi cengkeh sangat kecil mungkin disebabkan datanya yang kurang akurat dan (2) dalam beberapa zone ekologi yang berbeda dan dengan menggunakan sumberdaya yang ada,
produksi cengkeh di
Kabupaten Minahasa sangat efisien. 3.1.3. Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh Studi tentang implementasi kebijakan dalam tataniaga cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara, pernah dilakukan oleh Sarijowan dan Rumondor, pada kurun waktu yang berbeda.
62 Penelitian Sarijowan (1986), mengkaji tentang keberhasilan KUD di Sulawesi Utara dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh berkaitan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri. Analisis data yang digunakan adalah analisis fungsi diskriminan dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) beberapa keragaan KUD/koperasi seperti, perkembangan jumlah anggota, pelayanan kepada anggota dan peran serta anggota melunasi simpanan wajib dan pokok, akan menentukan keberhasilannya dalam melaksanakan tataniaga cengkeh dan (2) pemasaran cengkeh melalui KUD/koperasi belum mampu meningkatkan peran serta anggota menjual cengkeh ke KUD/koperasi, karena petani/anggota belum menerima harga yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, Rumondor (1993) mengkaji secara lebih komprehensif perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara. Dalam studinya tersebut, dibahas bagaimana perkembangan sistem tataniaga cengkeh sejak awal Repelita I serta bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap efisiensi tataniaga dan tingkat pendapatan petani cengkeh. Analisis data yang digunakan menggabungkan pendekatan deskriptif dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa perkembangan pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara sejak awal Repelita I sampai tahun 1990
didominasi oleh
lembaga tataniaga pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau (PAP) yang merupakan perpanjangan tangan dari pabrik rokok kretek (PRK). Namun, sejak diberlakukan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, peran lembaga tersebut cenderung berkurang digantikan oleh lembaga formal seperti KUD, PUSKUD dan BPPC. Namun, dampak kebijakan pemerintah tersebut, ternyata kurang berhasil apalagi pada saat panen raya tahun 1991-1992 diakibatkan belum efisiennya
63 tataniaga cengkeh sehingga pendapatan petani cenderung turun karena masih kurang disiplinnya para pelaksana tataniaga dalam menjalankan fungsinya serta tidak dilibatkannya PRK secara aktif dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh. Selain studi-studi yang dikemukakan di atas, terdapat juga studi yang dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995) guna mengevaluasi pelaksanaan tataniaga cengkeh dalam negeri khususnya pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992. Analisis data yang digunakan bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa kesimpulan penting yang diperoleh adalah: (1) pelaksanaan tataniaga cengkeh yang berlaku di lapangan, ternyata tidak sesuai dengan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 dan (2) sistem tataniaga cengkeh cenderung menjadi semakin tidak efisien karena rantai tataniaga menjadi lebih panjang. Sementara, saran yang dikemukakan adalah memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh yaitu: (1) membatasi kegiatan penyanggaan dan (2) membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikut sertakan Gappri. Sebagai
lanjutan
dari
studi di atas,
Gonarsyah
(1996)
kembali
menganalisis penyempurnaan kebijakan tata niaga cengkeh (TNC) untuk mengantisipasi periode pasca GATT. Data dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu : (1) PAM dan (2) ekonometrik berupa persamaan simultan. Temuan yang diperoleh adalah pengendalian pasokan cengkeh dapat dilakukan dengan menggunakan 4 instrumen kebijakan yaitu: (1) pengendalian impor, (2) pemantauan harga dasar cengkeh, (3) pengendalian luas areal, dan (4) mengarahkan cengkeh.
kawasan
timur
Indonesia
sebagai
wilayah
pengembangan
64 3.1.4. Aspek Industri Rokok Kretek Industri rokok kretek menarik perhatian Bird, dengan melakukan studi pada tahun 1999. Tujuannya penelitiannya adalah untuk menguji hubungan antara struktur pasar, persaingan perusahaan dan intervensi pemerintah dalam sektor manufaktur Indonesia selama periode 1975 hingga 1995. Terdapat dua metodologi empiris yang digunakan, yaitu: (1) pendekatan Structure-Conduct-
Performance (S-C-P) untuk organisasi industrinya dan (2) studi kasus untuk industri rokok dan industri semen. Temuannya antara lain: (1) pada tahun 1994, industri rokok kretek terkonsentrasi pada empat pabrik rokok besar, yaitu PT Gudang Garam, PT Djarum, PT Sampoerna dan PT Bentoel, dengan rasio konsentrasi empat perusahaan tersebut (CR4 ratio) pada pasar rokok kretek adalah sebesar 85 persen dari 144 perusahaan rokok kretek. Terbentuknya struktur pasar yang oligopsonistik, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: mekanisasi produksi dalam skala besar, perubahan dalam kondisi permintaan, dan persaingan yang intensif diantara pabrik-pabrik tersebut dan (2) hasil estimasi pengaruh pengeluaran iklan dari tujuh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar berdasarkan data iklan bulanan dan pangsa pasarnya, menunjukkan bahwa persaingan dalam periklanan merealokasikan penjualan diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Bahwa meningkatnya iklan dalam persentase yang sama akan mengubah distribusi pangsa pasar masing-masing perusahaan, namun dalam jangka panjang ternyata perusahaan besar akan lebih sukses karena perusahaan besar memiliki keuntungan dari segi image, bila dibandingkan dengan perusahaan kecil. Selanjutnya, Wibowo (2003) menggambarkan potret industri rokok di Indonesia melalui perkembangan perusahaan, perkembangan produksi rokok,
65 perkembangan tenaga kerja serta produtivitas tenaga kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan data yang digunakan adalah data deret
waktu
antara
tahun
1981-2002.
Beberapa
kesimpulan
yang
dikemukakannya, adalah: (1) produksi industri rokok mengalami masa kejayaan pada tahun 1998, dengan total produksi hampir 270 milyar batang, namun tahun 2002 hanya mencapai 207 milyar batang, atau menurun sebesar 5 persen per tahun, (2) penyerapan tenaga kerja industri rokok selama tahun 1998 hingga 2002, secara keseluruhan masih mengalami pertumbuhan yang signifikan yaitu rata-rata 4 persen per tahun. Dari total tenaga kerja tersebut, industri rokok kretek mendominasi tenaga kerja hingga mencapai 95 persen dari total tenaga kerja dalam keseluruhan industri rokok, (3) peningkatan penyerapan tenaga kerja tidak diikuti dengan peningkatan produksi rokok, dengan demikian produktivitas tenaga kerja mengalami penurunan, dimana pada tahun 1998 produksi mampu mencapai 4 570 batang per orang per hari, namun pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 3 131 batang per orang per hari, dan (4) produktivitas per perusahaan dalam industri rokok justru lebih tinggi dimasa krisis, dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Kemudian, Sumarno dan Koncoro (2002) meneliti tentang struktur, kinerja dan kluster industri rokok kretek Indonesia, dari tahun 1996 hingga 1999, dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP) serta kluster industri. Berikut ini adalah beberapa temuannya: (1) berdasarkan klasifikasi Bain (1956), industri rokok kretek Indonesia memiliki struktur oligopoli dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh nilai konsentrasi rasio (CR4/8) industri rokok kretek yang tinggi, (2) krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1998 tidak lantas membuat struktur industri rokok
66 kretek mengalami perubahan drastis, (3) secara umum, kinerja industri rokok kretek mengalami pertumbuhan walaupun perekonomian Indonesia mengalami krisis. Indikasi pertumbuhan kinerja ditunjukkan oleh adanya pertumbuhan sumbangan nilai tambah dan tenaga kerja industri terhadap industri manufaktur Indonesia, (4) industri rokok memiliki empat daerah utama yang dikategorikan sebagai kluster industri rokok kretek di Indonesia, yakni Kudus untuk PT Djarum, Kediri untuk PT Gudang Garam, Surabaya untuk PT HM Sampoerna dan Malang untuk PT Bentoel, (5) industri rokok kretek di Indonesia merupakan pangsa pasar tenaga kerja yang tinggi, terlebih di keempat daerah utama tersebut, dan (6) industri rokok kretek merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur di Indonesia. Sementara itu, analisis pola konsumsi rokok sigaret kretek mesin (SKT), sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM), dilakukan oleh Tjahjaprijadi dan Indarto (2003). Tujuannya penelitiannya adalah: untuk mengetahui, (1) pengaruh harga rokok dan harga rokok substitusi terhadap konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM dan (2) pengaruh pendapatan konsumen rokok terhadap konsumsi rokok jenis SKT, SKM dan SPM. Hasil penelitiannya adalah: (1) konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM, mempunyai hubungan yang negatif dengan harganya masing-masing, namun bersifat inelastis. Artinya, harga rokok jenis SKT, SKM dan SPM tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi masing-masing rokok tersebut karena faktor selera lebih dominan daripada faktor harga, (2) pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok jenis SKM dan SKT, sedangkan berpengaruh positif pada konsumsi jenis SPM, dan (3) Rokok jenis SKM tidak dapat disubstitusi oleh rokok jenis SKT dan SPM, sedangkan rokok jenis SKT disubstitusi oleh rokok jenis SPM.
67 3.2. Tinjauan Tulisan dan Makalah Tentang Percengkehan Nasional 3.2.1. Aspek Usahatani Cengkeh Husodo (2006), menyatakan bahwa untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan, agar dicapai harga yang layak dan menguntungkan petani melalui mekanisme pasar, tetapi juga tidak memberatkan industri rokok kretek, maka perlu dilakukan regulasi yang menyangkut agribisnis percengkehan nasional. Ada dua strategi dan kebijakan yang seyogyanya ditempuh, yaitu: (1) intensifikasi dan rehabilitasi kebun cengkeh di daerah sentra produksi seluas 70.000 hektar dan penggantian tanaman tua atau tanaman rusak (TT/TR) melalui peremajaan seluas 35 000 hektar dan (2) mendorong keterlibatan swasta dalam kegiatan on farm agribisnis percengkehan seperti pada dekade 1970-an, baik yang tergabung dalam GAPPRI maupun Perkebunan Besar Negara/Swasta. Porsi keterlibatan swasta tersebut perlu ditingkatkan dari 5 persen menjadi 10 persen, dengan catatan total areal yang dikembangkan tidak lebih dari 250 000 hektar. Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya over supply. Keterlibatan swasta ini diharapkan dapat menjadi stabilisator, dinamisator dan motivator agribisnis percengkehan. Sedangkan keterlibatan Perkebunan Besar Negara dan Swasta diharapkan dapat menjadi prime mover agribisnis percengkehan termasuk dalam adopsi dan rekayasa teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saingnya. Dukungan kebijakan dimaksud, antara lain mencakup beberapa hal sebagai
berikut:
(1)
pemberdayaan
penyuluhan
dan
organisasi
petani
perkebunan untuk memprioritas pengembangan cengkeh di 10 provinsi sentra produksi, (2) penciptaan iklim yang kondusif untuk mendorong kemudahan swasta ikut berinvestasi, dalam kegiatan on farm dan produksi minyak cengkeh,
68 eugenol dan pestisida nabati serta penyediaan bibit untuk keperluan replanting (peremajaan), (3) pengaturan kembali (regulasi) berbagai peraturan perundangundangan yang menyangkut harga, tata niaga, perizinan dan permodalan, (4) mendorong upaya pengembangan agribisnis cengkeh. Kegiatan ini perlu didukung penelitian dan pengembangan serta intensifikasi, rehabilitasi maupun peremajaan tanaman. Dalam lima tahun ke depan, kegiatan tersebut perlu difokuskan pada penelitian produk-produk berbahan baku cengkeh serta pengembangan program intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan di 16 provinsi sentra penghasil cengkeh, (5) untuk mendukung pembiayaan kegiatan tersebut, disamping APBN, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pungutan dana yang bersumber dari CESS, (6) menciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan industri rokok/pedagang agar tercapai kesepakatan harga
yang
menguntungkan
semua
pihak,
dan
(7)
untuk
melindungi,
meningkatkan pendapatan dan memperkuat posisi tawar petani cengkeh, perlu segera dibentuk Dewan Cengkeh Nasional.
3.2.2. Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional Simatupang (2004), dalam salah satu tulisannya, mengemukakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh tidak semestinya terjadi karena neraca cengkeh Indonesia masih defisit dalam arti kebutuhan dalam negeri masih lebih besar dari produksi dalam negeri, sementara volume perdagangan cengkeh di pasar dunia amat kecil (pasar tipis). Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh adalah perubahan kebijakan tataniaga yang menimbulkan perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh, yaitu: (1) pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
69 (BPPC) serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 (kesepakatan dengan IMF). Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor cengkeh dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20 000 ton per tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia langsung melonjak tajam dari US$ 0.99 per kg tahun 1997 menjadi US$ 7.8 per kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat mencapai Rp. 80 000 per kg dan (2) pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/ MPP/Kep/7/2002 tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya seperti BPPC pada periode tahun 1990 hingga 1998. Dengan rasional untuk meraih laba sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan bertahan sekitar US$ 1.8 per kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15 000 per kg pada akhir-akhir ini. Opsi kebijakan yang dapat dipilih antara lain: (1) menetapkan harga pembelian di tingkat petani cengkeh dengan dukungan dana talangan dari pemerintah, (2) menetapkan tarif dan liberalisasi impor cengkeh, (3) meminta asosiasi pabrik rokok menetapkan harga pembelian cengkeh minimum di tingkat petani, dan (4) membentuk wadah masyarakat dan kemitraan strategis tripartit Petani- Gappri- Pemerintah (Dewan Percengkehan Nasional). Sementara
itu,
Siregar
dan
Suhendi
(2006)
dalam
makalahnya,
menyatakan bahwa cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang erat keterkaitannya dengan beberapa sektor ekonomi, terutama industri rokok
70 kretek.
Permasalahan
yang
terkait
dengan
agribisnis
cengkeh
yaitu
ketidakpastian harga (fluktuasi harga). Selain dari sisi teknis, permasalahan juga dapat terjadi dari sisi kebijakan. Pada kondisi fiskal yang cukup ketat (defisit anggaran), terdapat kecenderungan bahwa pemerintah menaikkan penerimaan negara, termasuk yang bersumber dari cukai dan salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok. Beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam makalah tersebut adalah: (1) dengan melihat potensi lahan yang tersedia cukup besar dan persyaratan tumbuhnya relatif terpenuhi serta indikator finansial yang cukup baik maka dapat disimpulkan bahwa komoditas cengkeh layak diusahakan. Agribisnis cengkeh memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat besarnya peranan komoditas tersebut dalam menggerakkan perekonomian nasional. Industri rokok sebagai salah satu subsistem dalam agribisnis cengkeh memberikan sumbangan penting bagi penerimaan negara, (2) Indonesia merupakan ”negara besar” dalam perdagangan internasional cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena aspek alam, aspek perilaku industri, maupun aspek kebijakan domestik, dapat mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut. Dengan kata lain, perubahan yang tidak diingingkan pada ketiga aspek tersebut dapat menjadi sumber ketidakstabilan (fluktuasi) yang dapat merugikan para pelaku pasar terutama petani sebagai pelaku terlemah, dan (3) kebijakan pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara dengan menaikkan HJE diperkirakan
akan
mengganggu
peran
agribisnis
cengkeh
terhadap
perekonomian. Setidaknya jumlah produksi rokok dan pembelian cengkeh dan tembakau akan berkurang, sehingga pendapatan petani kedua tanaman tersebut diperkirakan akan berkurang. Penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang,
71 baik dalam usahatani cengkeh dan tembakau maupun dalam industri rokok kretek.
3.2.3. Aspek Kesehatan Indonesia berada pada urutan ke 5 negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia, hal ini disebabkan oleh besarnya populasi penduduk Indonesia dan tingginya prevalensi merokok. Sebagian besar atau sebesar 88 persen perokok Indonesia memilih rokok kretek yaitu rokok yang mengandung cengkeh. Survey remaja sekolah (Global Youth Tobacco Survey) di Jakarta tahun 2000 menunjukkan bahwa 83.5 persen remaja sekolah terpapar asap tembakau di tempat-tempat umum. Walaupun 90.0 persen dari mereka setuju adanya pelarangan merokok di tempat umum, tetapi hanya 43.0 persen yang tahu bahaya asap rokok orang lain bagi kesehatan. Selanjutnya, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi rokok adalah: (1) peningkatan harga dan pajak, (2) larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor pada tembakau, (3) penyuluhan dan pemberian informasi kepada masyarakat, (4) undang-undang tentang udara bersih, dan (5) pengepakan dan pelabelan.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO adalah traktat atau konvensi internasional yang pertama dalam pengendalian tembakau. Tujuannya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena penggunaan tembakau. FCTC merupakan instrumen yang mengikat secara hukum dalam strategi kesehatan masyarakat global untuk membantu negaranegara anggota WHO dalam penyusunan program nasional pengendalian
72 tembakau. Pemerintah Indonesia ikut serta selama empat tahun penuh dalam serangkaian negosiasi sebelum FCTC disepakati secara aklamasi dalam sidang WHA (World Health Assembly) tahun 2003 (Badan Litbang Depkes, 2004).
3.3. Aspek yang Dikaji dalam Penelitian Ini Sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, maka secara umum, penelitian ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dalam mengkaji permasalahan percengkehan nasional, baik dalam industri cengkeh maupun industri rokok kretek nasional. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, masing-masing peneliti mencoba mengkaji secara lebih spesifik lagi permasalahan dalam percengkehan nasional dengan memotretnya dari beberapa aspek yang terpisah, seperti aspek permintaan dan penawaran cengeh, aspek usahatani cengkeh dan penerapan kebijakan di dalamnya, aspek tataniaga cengkeh dan penerapan kebijakannya, serta aspek industri rokok kretek. Sementara itu, metode analisis yang digunakan masing-masing peneliti tersebut adalah: pendekatan deskriptif, pendekatan ekonometrik, atau pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM). Penelitian ini mencoba untuk mengkaji perkembangan percengkehan nasional, secara lebih komprehensif lagi, mencakup aspek keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional, aspek interaksi antara kedua industri tersebut yang direpresentasikan oleh interaksi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek, hingga yang lebih spesifik lagi adalah aspek usahatani cengkeh pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di Indonesia, yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Sedangkan, metode analisis yang
73 digunakan dalam penelitian ini adalah menggabungkan beberapa pendekatan tersebut diatas, yakni: pendekatan deskriptif, ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM) serta teori permainan (game theory). Secara umum, semua metode analisis yang digunakan bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara khusus, pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan percengkehan nasional. Selanjutnya keterkaitan antara
industri
cengkeh
dan
industri
rokok
kretek
dianalisis
dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik yang bertujuan menggambarkan bentuk hubungan antara peubah-peubah utama dalam kedua industri tersebut, serta menentukan peubah-peubah yang paling berpengaruh. Setelah itu, pendekatan
multi-period PAM digunakan untuk menganalisis perkembangan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara sebagai salah satu daerah sentra produksi yang potensial, untuk mengkaji lebih jauh bagaimana rentabilitas dari usahatani tersebut, serta berapa sebenarnya biaya produksi cengkeh per kilogram, supaya dapat diketahui apakah usahatani tersebut masih menguntungkan atau tidak, pada tingkat harga yang berlaku pada saat itu. Sedangkan untuk mengkaji kemungkinan kerjasama antara kedua industri tersebut digunakan analisis game
theory, yang bertujuan untuk melihat interaksi langsung antara industri cengkeh (petani cengkeh) dan industri rokok kretek (PRK) dalam pemasaran komoditas cengkeh.