III. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG Tanaman jagung (Zea mays, L.) merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat. Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledeae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung merupakan tanaman semusim (annual) yang satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif (Wikipedia Indonesia, 2005). Umumnya tanaman jagung memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter.
Gambar 2. Tanaman jagung Biji jagung terdiri dari empat bagian pokok anatomi, yaitu kulit (perikarp); endosperma, yaitu bagian yang menyimpan nutrisi untuk mendukung germinasi; lembaga; dan tudung pangkal (tip cap), yaitu tempat penempelan biji pada tongkol. Setiap bagian anatomi memiliki komposisi yang berbeda-beda. Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang disusun oleh 6 lapis sel, yaitu epikarp (lapisan paling luar), mesokarp, dan tegmen (seed coat) yang terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak (Johnson, 1991). Bagian terbesar biji jagung adalah endosperma yang mengandung pati, sebagai cadangan energi. Sel endosperma memiliki lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron menyelubungi endosperma dan lembaga. Dalam endosperma terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991). Bagian-bagian anatomi jagung tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoeseney, 1998). Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Pericarp
Jumlah (%) 5.3
Endosperma
82.9
Lembaga 11.1 Tipcap 0.8 Sumber : Watson (2003)
8
Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma terdiri dari 86% pati yang tersusun atas dua polimer glucan, yaitu amilosa (25-30%) dan amilopektin (70-75%). Kandungan lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas asam lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat, serta asam lemak tak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang tekandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, ribovlafin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen Pati Protein Lemak Gula Biji utuh 73.4 9.1 4.4 1.9 Endosperma 87.6 8.0 0.8 0.62 Lembaga 8.3 18.4 33.2 10.8 Pericarp 7.3 3.7 1.0 0.34 Tip cap 6.3 9.1 3.8 1.6 Sumber : Watson (2003)
Abu 1.4 0.3 10.5 0.8 1.6
Serat 9.5 1.5 14 90.7 95
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein memiliki sifat tidak larut dalam air karena protein tersebut mengandung asam amino hidrofobik yang terdiri dari leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya prosentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Johnson, 1991). Sementara glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol. Komposisi asam amino pada glutelin memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan zein, seperti lisin, arginin, histidin, dan triptofan, tetap kandungan asam glutamatnya rendah.
B. TEPUNG JAGUNG Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik melalui proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga, dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung yang harus dipisahkan sebelum proses penepungan agar tidak terdapat butirbutir hitam pada tepung (Johnson dan May, 2003). Penggilingan jagung menjadi tepung jagung dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode penggilingan basah dan metode penggilingan kering. Pada penggilingan kering hal yang lebih diutamakan adalah pemisahan endosperma dari bagian-bagian lembaga dan tip cap sehingga dapat dihasilkan grits, meal, flour, dan germ. Grits digunakan untuk membuat makanan
9
sereal atau makanan ringan yang dibuat dengan metode ekstrusi (Johnson, 1991). Sedangkan pada penggilingan basah dihasilkan pati, protein, minyak, dan serat (Hoseney,1998). Komposisi kimia tepung jagung dalam 100 g bahan menurut Departemen Kesehatan RI dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia tepung jagung dalam 100 g bahan Komposisi Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vit A (SI) Vit B1 (mg) Vit C (mg) Air (g) Sumber : Departemen Kesehatan RI, (1996)
Jumlah 355 9.2 3.9 73.7 10 256 2.4 510 0.38 0 12.0
Pada penelitian yang dilakukan Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung dilakukan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan dalam proses penepungan jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga, dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga, dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung tidak terlalu keras, sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung. Menurut Merdiyanti (2008), perendaman jagung dapat meningkatkan rendemen penepungan, karena semakin lama jagung tersebut direndam maka akan membuat endosperma biji jagung semakin lunak yang akan membuat semakin banyak tepung jagung yang dihasilkan. Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung menggunakan disc mill (penggiling halus). Hasil penggilingan halus berupa tepung jagung. Tepung jagung hasil penggilingan tersebut masih harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung yang optimal, yaitu halus dan homogen (Putra, 2008). Diagram alir pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 3. Pada proses pengeringan umumnya dilakukan sampai kadar air tepung jagung sebesar 15-18%. Selain itu setelah proses Penggilingan II, umumnya dilakukan pengayakan bertahap mulai dari ayakan 50 mesh dan seterusnya untuk tepung yang lebih halus. Proses penepungan jagung dapat menghasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian Rianto (2006), proses penepungan jagung dengan menggunakan ayakan sebesar 80 mesh akan menghasilkan rendemen sebesar 40%. Sedangkan menurut Merdiyanti (2008), proses penepungan jagung yang menggunakan ayakan 100 mesh mempunyai rendemen sebesar 24%. Penurunan rendemen ini disebabkan oleh penggunaan ayakan tepung yang semakin kecil. Penggilingan jagung untuk produksi tepung jagung umumnya dilakukan dalam skala besar (Suprapto dan Marzuki, 2005). Untuk penggilingan basah, proses diawali dengan pembersihan jagung yang dilanjutkan dengan proses perendaman atau steeping pada suhu 48520C selama 30-50 jam (Hoseney, 1998). Jagung yang telah direndam lalu dilanjutkan dengan proses degerminasi dengan menggunakan degerminator. Selanjutnya jagung dimasukkan ke dalam attrition mill, yang ditujukan untuk menghancurkan biji jagung ke ukuran kecil dan
10
memisahkan germ tanpa menghancurkannya. Selanjutnya jagung akan dilewatkan ke dalam mesin hydrocyclone yang akan memisahkan germ, pati, protein, dan kulit atau hull. Germ yang dibersihkan dan dikeringkan siap untuk diolah menjadi minyak (Matz, 1992). Sementara pati jagung dan protein jagung (corn gluten meal) siap digunakan untuk membuat produk pangan lainnya.
Gambar 3. Pembuatan tepung jagung (Juniawati, 2003) Sementara penggilingan kering dapat dibagi menjadi tiga metode penggilingan, yaitu metode full fat, bolted, dan tempered degermed (Duensing et al., 2003). Hasil penggilingan dari ketiga metode ini memiliki perbedaan sedikit dalam karakteristiknya. Ketiga metode ini diawali dengan proses yang sama, yaitu pembersihan jagung. Penggilingan dengan metode full fat menghasilkan produk yang mengandung seluruh lemak yang ada pada biji jagung. Karena hampir seluruh komponen lemak pada jagung berada di dalam germ, maka proses penggilingan ini seringkali disebut dengan penggilingan tanpa proses degerming. Maka penggilingan dengan gerinda atau millstones digunakan untuk menggiling jagung. Sejumlah kecil kulit atau bran dengan ukuran yang besar dipisahkan dengan pengayakan, yang menghasilkan full-fat corn meal. Untuk metode bolted milling, proses pengayakan digunakan untuk memisahkan partikel lain yang lebih besar seperti kulit, tip cap, dan germ, dari jagung yang digiling. Untuk metode ini lebih umum digunakan roller mill atau hammer mill dibandingkan dengan menggunakan millstones. Proses penggilingan diikuti dengan tahap pengayakan atau bolting, dimana germ dan kulit dipisahkan. Atau dapat digunakan juga aspirator untuk memisahkan germ dan kulit, yang akan menghasilkan bolted corn meal. Sementara untuk metode tempering-degerming milling,
11
menggunakan penambahan air ke biji jagung atau proses tempering untuk memfasilitasi proses degerming (Duensing et al., 2003). Selanjutnya dilakukan proses degerminating, yang menghasilkan endosperma berukuran besar pada suatu penampung dan germ, kulit, dan endosperma dengan ukuran lebih kecil yang melewati dinding perforasi pada degerminator. Untuk bagian endosperma berturut-turut dilakukan proses pengeringan, pendinginan, aspirasi, pemisahan densitas atau density separating, dan proses sizing untuk memproduksi flaking grits dan grits kasar. Bagian- bagian sisa dari proses ini dimasukkan ke dalam roller mills untuk pengecilan ukuran ke dalam fraksi yang lebih kecil, termasuk grits, fine grits, meals, dan tepung jagung (Duensing et al., 2003). Masing-masing fraksi ini akan melewati proses sizing, pengeringan, ataupun pendinginan tambahan untuk menyesuaikan dengan spesifikasi pembeli.
C. PASTRY Produk pastry adalah campuran dari terigu, air, dan lemak yang jika dikombinasikan dengan proporsi tertentu akan membentuk adonan yang fleksibel yang dapat dibentuk menjadi serangkaian bentuk makanan yang dapat diisikan dengan savoury fillings (Baking Industry Research Trust, 2010). Faridah et al., (2008) membagi produk pastry menjadi beberapa jenis, yaitu : puff pastry, danish pastry, croissant, phyllo pastry, short pastry, dan choux pastry. Puff pastry merupakan pastry yang dibuat dari adonan tanpa ragi dan lemak roll-in. Pastry ini memiliki beberapa lapisan yang akan mengembang jika dipanggang. Pastry mengembang sesuai dengan kombinasi dari bahan-bahan adonan dan juga dengan uap air yang terbentuk di antara lapisan-lapisan pastry. Karakteristik produk akhir puff pastry adalah ringan, flaky, dan lembut. Danish pastry dan croissant dibuat dari adonan beragi dan lemak roll-in. Danish pastry umumnya memiliki topping atau isi yang manis, sedangkan croissant umumnya tidak diisi. Karakteristik produk ini bersifat crispy di lapisan luarnya, namun bersifat soft dan tender di bagian dalamnya. Sifat adonan dari kedua produk pastry ini sama, namun yang membedakan adalah bentuk produknya.
Gambar 4. Produk pastry, dari kiri atas ke kanan bawah : puff pastry, danish pastry, croissant,phyllo pastry,short pastry, dan choux pastry Phyllo pastry umumnya berbentuk tipis seperti kertas dan dapat dengan mudah direnggangkan. Pastry ini terdiri dari beberapa lapisan yang teregang dan membungkus filling atau bagian isi dan dioles dengan butter. Pastry ini sangat lembut teksturnya dan dapat hancur dengan mudah.
12
Short pastry adalah produk pastry yang setelah proses pemasakan akan terasa crumbly atau mudah hancur di dalam mulut. Produk ini dibuat dengan mencampurkan terigu dan lemak, lalu penambahan cairan seperti air atau telur. Saat lemak dicampurkan ke dalam adonan, pembentukan gluten pada adonan akan terhambat, yang akan menjaga produk pastry akan crumbly atau mudah hancur di dalam mulut. Bagian utama dari produk short pastry adalah bagian kulit atau crust dan bagian pengisi atau filler. Crust dari produk pastry ini diklasifikasikan menjadi tiga jenis adonan (Sultan, 1981), yaitu : jenis mealy, jenis medium flaky, dan long flake. Ketiga jenis ini pada dasarnya serupa dalam bahan dasar adonannya. Namun, ketiga jenis ini berbeda dalam metode dan derajat pencampuran dari tepung dan lemak dan dalam jumlah air atau cairan lainnya yang ditambahkan ke dalam adonan. Adonan yang mealy akan menyerap air lebih sedikit dibandingkan dengan kedua adonan dengan jenis flaky tersebut. Hal ini terjadi karena tepung dan lemak dicampurkan sampai suatu kondisi dimana hampir semua bagian tepung terbungkus oleh lemak, sehingga hanya ada sedikit bagian tepung yang dapat menyerap air. Sedangkan choux pastry adalah pastry yang sangat ringan yang diisikan dengan krim. Pastry ini umum diisi dengan berbagai macam jenis krim dan umumnya di bagian topping ditambahkan cokelat. Choux pastry juga dapat diisikan dengan keju, daging tuna, ataupun daging ayam dan umum disajikan sebagai makanan pembuka.
D. SHORT PASTRY a.
Produk Short pastry Short pastry adalah produk pastry yang setelah proses pemasakan akan terasa crumbly. Produk ini dibuat dengan mencampurkan terigu dan lemak, lalu penambahan cairan seperti air atau telur. Saat lemak dicampurkan ke dalam adonan, pengembangan gluten pada adonan akan dihambat, yang akan menjaga produk pastry akan crumbly atau mudah hancur di dalam mulut (Baking Industry Research Trust, 2010). Banyak formula mengindikasikan short pastry sebagai dasar dari produk-produk makanan penutup, seperti Pie, Tartlet, ataupun Quiche (Faridah et al., 2008). Secara umum ketiga makanan penutup ini sama komposisi adonannya. Contoh produk lain dari short pastry antara lain seperti sweetcrust pastry yang pembuatannya sama dengan pembuatan short pastry pada umumnya, namun dilakukan lagi penambahan gula yang akan membuat campuran adonan memiliki rasa manis dan mencegah terbentuknya rentangan gluten, yang akan membuat tekstur produk mudah hancur di dalam mulut.
Gambar 5. Produk short pastry b.
Bahan-bahan Pembuatan Short pastry Bahan dasar yang digunakan untuk membuat crust dari produk short pastry atau pie pastry adalah, tepung, lemak, air dingin, garam, susu, dan gula.
13
Tepung untuk membuat crust tidak boleh mengandung terlalu banyak gluten ataupun terlalu sedikit gluten seperti beberapa tepung untuk membuat cake. Tepung yang kaya gluten menyerap air dengan cepat dan gluten akan mengembang dengan cepat pula dan menyebabkan tekstur keras (Sultan, 1981). Tepung untuk cake tidak menyerap dan memerangkap air dengan cepat, yang akan menyebabkan adonan yang sticky atau lengket. Sementara tepung untuk pastry, umumnya digiling dari soft winter wheat, yang sangat cocok untuk adonan crust untuk pastry (Sultan,1977). Hal ini sangat penting karena efek pengerasan dari pengembangan gluten saat proses mixing adonan crust dari produk pastry ingin dihindari. Tepung roti cenderung akan menyerap cairan dengan cepat dan akan membentuk efek keras dan berserabut atau berserat jika dicampurkan. Tepung cake terlalu lembut dan tidak akan sepenuhnya menyokong tingginya presentase lemak di dalam adonan dan dapat menyebabkan adonan hancur saat dipanggang. Karakteristik tepung pastry berada di antara kedua jenis tepung tersebut. Lemak yang digunakan untuk membuat crust harus bersifat plastis dan memiliki rentang titik leleh yang bagus. Vegetable shortening adalah lemak yang umum digunakan. Lemak ini bersifat plastis, memiliki rentang temperatur yang baik dan tidak memiliki flavor. Jika butter digunakan untuk meningkatkan rasa dan flavor, disarankan sekitar 30-40% butter dicampurkan dengan shortening lalu didinginkan sebelum digunakan untuk membuat adonan (Sultan, 1981). Diantara lemak-lemak padat yang ada, lemak yang hanya terdiri dari kandungan lemak, memiliki efek shortening dan tenderizing yang lebih baik dibandingkan dengan lemak padat yang mengandung air, seperti butter dan margarin (McWilliams, 2005). Namun jenis lemak yang digunakan disesuaikan dengan selera dan kebutuhan. Air dingin dan cairan lain memungkinkan pembentukan adonan crust. Tepung akan dibasahkan dan dirubah menjadi massa yang lengket dan melekat yang mengandung lemak dan bahan-bahan yang lain. Penggunaan air dingin akan mempertahankan kekuatan dan plastisitas dari shortening dan lemak lainnya (Sultan, 1977). Bahan-bahan kering seperti gula, garam, dan susu bubuk umumnya dilarutkan terlebih dahulu di dalam air sebelum proses mixing. Jumlah air yang ditambahkan akan bervariasi tergantung dengan formula dan metode dari proses mixing. Telur juga dapat digunakan untuk menggantikan air dingin untuk ditambahkan ke dalam adonan, karena telur memiliki kandungan air yang cukup tinggi, yaitu sekitar 73.7% (Vail et al., 1978). Penambahan telur menambahkan sokongan terhadap struktur, flavor, warna, dan meningkatkan nutritional value. Garam ditambahkan untuk menajamkan flavor dari bahan-bahan lain dalam crust. Garam harus dilarutkan terlebih dahulu di dalam air untuk memastikan distribusi yang merata ke seluruh adonan. Jika dicampurkan langsung dengan tepung, maka garam tidak akan terdistribusi secara merata ke dalam adonan. Susu ditambahkan dalam bentuk bubuk yang ditambahkan dengan dilarutkan ke dalam air terlebih dahulu. Saat ditambahkan bersama dengan tepung dapat menyebabkan adonan menjadi keras dan kaku setelah proses mixing. Susu menambahkan penampakan warna yang baik pada crust. Gula, dekstrosa, ataupun corn syrup memperbaiki penampakan warna dan rasa manis dari crust. Namun bahan-bahan tersebut cenderung menyerap air yang dapat menyebabkan crust menjadi lembek jika produk pastry disimpan. Buah-buahan, sayur-sayuran, ataupun krim merupakan bahan pengisi atau filler yang umum dalam produk short pastry. Pada bahan pengisi tersebut ditambahkan thickener yang bertujuan untuk mengentalkan bahan pengisi, untuk membentuk permukaan yang halus dan berkilau pada bahan pengisi, jika menggunakan bahan pengisi buah, untuk menghentikan
14
aktivitas asam dari buah, menjaga warna dan flavor buah, dan yang terakhir untuk menjaga konsistensi dari gel yang terbentuk saat proses pendinginan (Sultan, 1981). Pati jagung adalah thickener yang paling umum digunakan untuk bahan pengisi produk pastry. Pati lain yang juga bisa digunakan adalah pati tapioka, potato starch, rice starch,maupun gum, seperti alginat, gum tragacanth, dan gum arab. c.
Proses Pembuatan Short pastry Proses pembuatan short pastry atau pie pastry diawali dengan pembuatan kulit pie atau crust dengan mencampurkan bahan-bahan atau proses mixing. Saat membuat shortcrust pastry, pencampuran lemak dan tepung sebelum penambahan cairan apapun harus diperhatikan. Metode pengadukan adonan diperhatikan untuk mencegah kelembaban atau bahan-bahan cair kontak langsung dengan tepung. Metode pengadukan adonan short pastry dibagi menjadi dua metode (Faridah et al., 2008), yaitu metode gosok (rub in) dan metode blending (creaming). Pada metode rub in atau juga dikenal dengan metode cut in, lemak padat didistribusikan ke dalam bahan-bahan kering seperti terigu, gula, dan garam dengan gerakan memotong menggunakan pastry blender ataupun pisau, yang akan melapisi terigu. Hal ini untuk memastikan bahwa granula tepung cukup dilapisi oleh lemak, mencegahnya menyerap kelembaban dan semakin kecil kemungkinannya untuk membentuk gluten (Vail et al., 1978). Kemudian dimasukkan bahan cair untuk membentuk adonan yang lembut. Jika terlalu banyak pencampuran atau tekanan pada tahap ini dapat mengakibatkan pecahnya lapisan lemak sehingga kelembaban dapat masuk. Pengadonan yang terus menerus juga dapat merusak adonan. Pengadonan yang berlebihan akan memperpanjang untaian gluten yang akan membentuk produk pastry yang chewy berlawanan dengan produk short pastry yang bersifat crumbly. Pada metode blending atau creaming lemak, gula dan 50% terigu dikrimkan atau diaduk menjadi pasta (adonan basah), lalu ditambahkan cairan secara bertahap sampai tercampur rata. Kemudian dicampurkansisa terigu dengan waktu yang sangat singkat agar tidak terbentuk gluten. Gula mempunyai efek melunakkan gluten sehingga produk menjadi empuk. Proses selanjutnya adalah proses sheeting. Proses sheeting adalah proses penipisan adonan untuk mendapatkan ketebalan tertentu (Baking Industry Research Trust, 2010). Setelah dicapai ketebalan yang diinginkan, adonan di cetak dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan dan diletakkan di dalam wadah. Adonan yang diletakkan di dalam wadah ini adalah bagian crust atau kulit pie dari pie pastry. Wadah yang umum digunakan adalah sejenis tin plate ataupun wadah dari aluminium foil. Namun jika pembuatan kulit pie dilakukan dalam skala yang kecil, setelah adonan kulit pie siap dapat juga dilakukan proses dividing atau pembagian adonan dalam proporsi yang lebih kecil dalam bobot yang diinginkan (Anonim1, 1996). Adonan yang lebih kecil tersebut lalu diletakkan ke dalam wadah, lalu diberi tekanan sehingga bentuk adonan sesuai dengan wadah. Setelah adonan crust yang telah dicetak ada di dalam wadah, selanjutnya dilakukan proses filling atau pengisian filler dan diikuti dengan baking atau proses pemanggangan pada rentang suhu 1800-210oC. Proses filling dan baking dapat dilakukan dengan berbagai variasi, tergantung dengan jenis filler yang akan digunakan. Filler dapat ditambahkan dan dipanggang bersamaan dengan kulit pie sejak awal, ditambahkan ke dalam kulit pie yang telah dipanggang secara singkat sebelumnya lalu dipanggang kembali, ataupun ditambahkan ke dalam kulit pie yang telah dipanggang sepenuhnya. Pengerjaan yang cepat dalam membuat produk short pastry sangat penting dan penanganan adonan secara langsung sesingkat mungkin saat mengkombinasikan dengan bahan-bahan lainnya.
15
E. TEKSTUR Tiga faktor penerimaan untuk mengevaluasi produk pangan adalah penampakan atau appereance, flavor, dan tekstur (Bourne, 1990). Jika salah satu dari ketiga faktor ini tidak memenuhi harapan maka produk pangan tidak akan dikonsumsi, ataupun jika tetap dikonsumsi akan memicu respon negatif dari konsumen. Tekstur merupakan salah satu manifestasi dari sifat rheologi dari produk pangan (Pomeranz dan Meloan, 1994). Menurut Hellyer (2004), sifat-sifat tekstur dari produk pangan memiliki karaktersitik : 1) merupakan grup atau sekumpulan sifatsifat fisik; 2) didapatkan dan diketahui dari struktur produk pangan; 3) dapat dirasakan melalui sentuhan; dan 4) pengukuran objektif umumnya menggunakan fungsi massa, jarak, dan waktu. Analisis tekstur produk pangan dapat dilakukan secara organoleptik dengan menggunakan panca indera ataupun secara instrumen dengan menggunakan alat. Hasil yang didapat dari analisis secara organoleptik merupakan hasil yang subyektif. Hasilnya pun beragam tergantung pada penilaian yang diberikan oleh panelis. Berbeda dengan analisis secara organoleptik, analisis tekstur dengan menggunakan alat akan menghasilkan data yang lebih akurat karena bersifat obyektif (Peleg, 1983). Menurut Smewing (1999), analisis tekstur dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau instrumen seperti Instron, LFRA Texture Analyzer, dan Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer. Analisis tekstur secara organoleptik dinilai belum dapat memberikan data yang akurat, karena penilaian panelis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis kelamin, usia, kondisi fisik, dan faktor lainnya. Pengukuran tekstur dengan menggunakan alat dianggap akurat karena tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Tujuan utama dari studi tentang tekstur adalah menentukan satu atau beberapa tes mekanik yang memiliki kapasitas untuk menggantikan evaluasi sensori menggunakan manusia sebagai suatu alat untuk mengevaluasi tekstur produk pangan (Peleg, 1983). Pengujian dari tekstur sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu : uji destruktif dan uji non-destruktif. Uji destruktif menghancurkan struktur dari sampel, sehingga tidak sesuai untuk tes yang berulang atau untuk menggunakan sampel tersebut untuk tujuan lain. Sedangkan uji non-destruktif tetap mempertahankan kondisi sampel mendekati kondisi awal sebelum diujikan, sehingga pengujian dapat dilakukan pada sampel yang sama.
Gambar 6. Alat texture analyzer Satu terobosan penting dalam evaluasi tekstur produk pangan adalah pengembangan dari teksturometer atau texture analyzer, yang didesain untuk mensimulasikan gerakanan mengunyah dari mulut manusia. Menurut Szczesniak (1963), evaluasi parameter mekanik dari produk pangan dengan menggunakan teksturometer berkorelasi dengan baik dengan skor yang didapatkan dari panelis profil tekstur. Hubungan ini mengindikasikan bahwa teksturometer
16
memiliki kapasitas untuk mengukur karakteristik tertentu dengan jenis dan intensitas yang serupa dengan yang didapatkan dari mulut manusia. Dalam menggunakan texture analyzer untuk menentukan dan mengukur parameter tekstur suatu produk pangan, diperlukan aksesoris probe yang tepat. Aksesoris ini yang akan kontak langsung dengan permukaan sampel produk pangan. Terdapat beberapa jenis probe berdasarkan bentuknya, antara lain berbentuk silinder, cone, dan sphere. Penggunaan masing-masing probe yang berbeda memiliki fungsi dan tujuan berbeda pula. Probe silinder sesuai digunakan untuk berbagai macam jenis sampel dan sesuai untuk mengukur sampel yang permukaannya tidak seragam, seperti roti atau cokelat chips. Probe cone sesuai digunakan untuk uji spreadability pada sampel seperti butter, margarin, ataupun produk spread. Sedangkan probe sphere sesuai digunakan untuk uji kerapuhan dari produk chips ataupun produk snack lain dan pengujian kekuatan bahan packaging.
Gambar 7. Berbagai jenis probe, dari kiri ke kanan : silinder, cone, dan sphere/ball Prinsip dari analisis tekstur adalah memberikan tekanan atau kompresi kepada sampel dengan menggunakan probe tertentu. Terdapat dua metode dalam mengukur tekstur dari suatu sampel, pertama adalah dengan mengukur besarnya gaya yang diperlukan untuk menghasilkan deformasi yang konstan, atau dengan mengukur deformasi yang disebabkan oleh besar gaya yang konstan. Besarnya tekanan yang diberikan pada sampel bervariasi dengan jenis probe yang digunakan. Mesin texture analyzer akan merekam data hasil pengujian dan mengubahnya dalam bentuk kurva hubungan gaya (force) dan waktu. Dari kurva tersebut dapat ditentukan parameterparameter tekstur dari sampel yang diujikan.
17