III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN HALAL Pangan di dalam UU RI No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses persiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan yang halal adalah pangan yang diizinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi (Girindra 2005). Dalam hal ini, pangan yang baik dapat diartikan sebagai pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik. Konsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Ketentuan halal dan haramnya suatu bahan pangan berasal dari Allah SWT. Ketentuan ini tercantum di dalam Al-Quran dan Hadis. Menurut Apriyantono (2001), kriteria makanan atau minuman halal diantaranya : 1. Tidak boleh mengandung sesuatu yang dianggap haram menurut hukum Islam. 2. Pada tahap persiapan, proses, transportasi, dan penyimpanan menggunakan peralatan yang bebas dari sesuatu yang dianggap haram menurut hukum Islam. 3. Pada tahap persiapan, proses, transportasi, dan penyimpanan tidak terjadi kontak langsung dengan makanan yang haram menurut hukum Islam.
B. PANGAN HARAM Halal berati boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi 2000). Sebagai umat muslim, peraturan halal juga telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa “Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala”. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 173, Girindra (2005) menyatakan bahwa makanan yang diharamkan meliputi : 1. Bangkai, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya. 2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir. 3. Daging babi, mayoritas ulama menyatakan bahwa seluruh bagian babi haram untuk dikonsumsi, baik daging, lemak, tulang, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, maupun semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. 4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah. Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Khamar ialah minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasullah saw. Berdasarkan Hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Daud dari Abdullah bin Umar : Setiap
4
yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan (Departemen Agama RI 2003).
C. SISTEM JAMINAN HALAL Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu perangkat kerja yang tersusun dari komitmen manajemen, sumber daya, dan prosedur yang saling berhubungan untuk menjamin kehalalan produk sesuai dengan persyaratan sehingga status kehalalannya konsisten dan berkelanjutan (LPPOM MUI 2010a). Sistem Jaminan Halal dapat mengadopsi prinsip-prinsip sistem manajemen yang telah dikembangkan sebelumnya seperti Total Quality Management (TQM), ISO 9000, dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Apriyantono et al. 2007). Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject, tetap inspection. Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect, dan zero risk (three zero consept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengharuskan setiap orang di dalam setiap posisi dalam organisasi mempraktekan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu (Apriyantono 2001). Sistem jaminan halal merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Sistem Jaminan Halal harus diuraikan scara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang secara garis besar terdiri dari : 1. Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (halal policy) 2. Panduan halal (halal guidelines) 3. Sistem Manajemen Halal (halal management system) 4. Uraian titik kritis keharaman produk (haram critical control point) 5. Sistem Audit Halal Internal (internal halal audit system)
D. SERTIFIKASI HALAL Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan yang rinci terhadap suatu produk yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI. Sertifikasi halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk berupa sertifikat halal, sehingga dapat menentramkan batin yang mengonsumsinya. Selain itu bagi produsen, sertifikasi halal dapat mencegah kesimpangsiuran status kehalalan produk yang dihasilkan. Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan olah MUI atas dasar fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI (Girindra 2008). Lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal di Indonesia yaitu LPPOM MUI. Sertifikasi dan pencantuman tanda halal bersifat sukarela (tidak ada keharusan). Namun, hal ini perlu dilakukan mengingat kehalalan suatu produk untuk dikonsumsi oleh umat Islam hukumnya wajib. Sementara itu, kehalalan suatu produk dapat menjamin bahwa produk tesebut diolah dengan baik dan aman dikonsumsi bagi siapa pun. Bagi produsen sendiri, produk bersertifikat halal dapat membuka peluang ekspor yang luas karena produknya memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan industri pangan lainnya.
5
Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System). 2. Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan. 3. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut. 4. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin. 5. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran dari mulai direksi sampai karyawan memahami tata cara memproduksi produk halal dan baik. 6. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi keseuaian Sistem Jaminan Halal yang dilakukan untuk menjamin kehalalan produk. 7. Perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.
E. PROSEDUR SERTIFIKASI HALAL Prosedur sertifikasi halal merupakan kriteria dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal (LPPOM MUI 2010b). Prosedur sertifikasi halal saat ini, sedikit berbeda dari sebelumnya karena adanya beberapa kebijakan baru yang diterapkan oleh LPPOM MUI. Prosedur sertifikasi halal saat ini mencakup :
1. Kriteria Pendaftaran a. Industri Pengolahan 1) Produsen harus mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi yang sama dan/atau yang memiliki merek/brand yang sama. 2) Produsen harus mendaftarkan seluruh lokasi produksi termasuk maklon dan pabrik pengemasan. 3) Ketentuan untuk tempat maklon harus dilakukan di perusahaan yang sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang bersedia disertifikasi halal. b. Restoran dan Katering 1) Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh menu yang dijual termasuk produk-produk titipan, kue ulang tahun serta menu musiman. 2) Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh gerai, dapur serta gudang. c. Rumah Potong Hewan 1) Produsen harus mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang berada dalam satu perusahaan yang sama. 2) Harus mempekerjakan jagal yang beragama Islam dan terlatih dalam proses penyembelihan sesuai dengan syariat Islam (memiliki sertifikat penyembelih). 3) Lokasi penyembelihan jauh dari tempat peternakan dan pemotongan babi. 4) Menerapkan standar pelaksanaan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam.
6
2. Persyaratan Dasar a. Persyaratan Dokumen Bahan (Daftar Bahan beserta lampiran Sertifikat Halal, Alur Proses, Spesifikasi Teknis, pernyataan pork free facilities untuk bahan impor kritis, matriks bahan). b. Persyaratan Dokumen Proses berupa diagram alir proses produk yang didaftarkan. c. Persyaratan Dokumen Fasilitas/Sarana dan Prasana Produksi (pernyataan pork free facilities untuk produk yang akan disertifikasi). d. Persyaratan Dokumen Produk (Nama produk tidak berasosiasi dengan produk haram). e. Persyaratan Manual Sistem Jaminan Halal dan bukti implementasi Sistem Jaminan Halal. f. Perusahaan memiliki Auditor Halal Internal (AHI) dalam organisasi manajemen halal.
3. Kriteria Audit a. Telah melengkapi semua dokumen halal untuk seluruh bahan yang digunakan. b. Telah memiliki Manual Sistem Jaminan Halal Perusahaan. c. Telah menerapkan Sistem Jaminan Halal dengan status implementasi minimal “B”. d. Telah menandatangani “Akad Sertifikasi” dan melunasi biaya yang telah disepakati.
4. Tahapan Proses Sertifikasi Halal Secara umum proses sertifikasi halal dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) persiapan pengajuan sertifikasi halal, (2) pendaftaran sertifikasi halal, (3) audit Sistem Jaminan Halal, (3) audit di lokasi pabrik, (4) evaluasi rapat auditor, dan (5) penentuan kehalalan oleh Sidang Fatwa MUI. Garis besar tahapan proses sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 2 yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pendaftaran sertifikasi halal dapat dilakukan di tiga tempat, yaitu (1) BPOM, (2) LPPOM MUI Pusat, dan (3) LPPOM MUI Provinsi. Pendaftaran melalui BPOM dilakukan untuk produk yang membutuhkan pencantuman label halal pada kemasannya dan dijual secara langsung untuk konsumsi masyarakat (industri pengolahan yang menghasilkan produk retail). Pendaftraran melalui LPPOM MUI Pusat dilakukan untuk industri pengolahan dan restoran yang memiliki jangkauan pemasaran atau outlet lebih dari satu provinsi. Sementara itu, pendaftaran melalui LPPOM MUI Daerah dilakukan untuk industri pengolahan yang termasuk dalam kelompok Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), bleaching earth, dan karbon aktif. Serta, restoran atau katering atau Rumah Potong Hewan (RPH) yang memiliki jangkauan pemasaran atau outlet hanya pada provinsi tersebut (pemasaran bersifat lokal) di daerahnya. b. Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi borang yang telah disediakan. Borang tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan. c. Borang yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya dikembalikan ke sekretariat LPPOM MUI untuk diperiksa kelengkapannya, dan bila belum memadai perusahaan harus melengkapi sesuai dengan ketentuan. d. LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal audit. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan atau audit ke lokasi produsen.
7
Pada saat audit, perusahaan harus dalam keadaan memproduksi produk yang disertifikasi. e. Hasil pemeriksaan atau audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan diberitahukan kepada perusahaan melalui audit memorandum. Jika telah memenuhi persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit guna diajukan pada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. f. Laporan hasil audit disampaikan oleh Pengurus LPPOM MUI dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan. g. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi halal. h. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya dan status implementasi SJH oleh Komisi Fatwa MUI. i. Sertifikat Halal dan Status Implementasi SJH berlaku selama dua tahun sejak tanggal penetapan fatwa. j. Tiga bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir, produsen harus mengajukan perpanjangan sertifikat halal sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan LPPOM MUI. Apabila produsen telah mendapatkan sertifikat halal, maka perlu diperhatikan juga untuk masa berlaku, sistem pengawasan, dan prosedur perpanjangan sertifikat halal tersebut. Hal-hal yang perlu diketahui untuk masa berlaku sertifikat halal, diantaranya : 1. Sertifikat Halal hanya berlaku selama dua tahun dan Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan untuk daging yang diekspor. 2. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LPPOM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan. 3. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus mendaftar kembali untuk Sertifikat Halal yang baru. 4. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halal, maka tidak diizinkan lagi menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal. 5. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LPPOM MUI. 6. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya. 7. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
8
Rencana Sistem Jaminan Halal
Penyusunan Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya
Sosialisasi dan Uji Coba Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya
Audit Internal dan Evaluasi
Revisi
Produsen Pengajuan Sertifikasi Halal LPPOM MUI
Cek Sistem Jaminan Halal
Tidak Lengkap
Audit di Lokasi Produksi
Revisi Evaluasi Revisi Fatwa MUI
Gambar 2. Diagram alir proses sertifikasi halal
9
Perusahaan berkewajiban melakukan beberapa hal selama berada dalam sistem pengawasan LPPOM MUI, yaitu: 1. Mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal sepanjang berlakunya Sertifikat Halal 2. Menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan sekali setelah terbitnya Sertifikat Halal, 3. Melaporkan dan mendapat izin dari LPPOM MUI apabila melakukan perubahan bahan, proses produksi, dan lainnya 4. Menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Sidak LPPOM MUI. Apabila masa berlaku sertifikat halal akan segera berakhir, maka perusahaan wajib melakukan perpanjangan sertifikat halal. Prosedur perpanjangan sertifikat halal diantaranya : 1. Produsen harus mendaftar kembali dan mengisi borang yang disediakan. 2. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk. 3. Produsen berkewajiban melengkapi kembali daftar bahan baku, matriks produk versus bahan serta spesifikasi, sertifikat halal, dan bagan alir proses terbaru. 4. Prosedur pemeriksaan dilakukan seperti pada pendaftaran produk baru. F. INDUSTRI PANGAN DI INDONESIA Perkembangan industri pangan di Indonesia cukup pesat. Industri pangan merupakan suatu kegiatan yang sangat luas. Di dalam kegiatan industri pangan, tidak hanya produksi, pengolahan dan distribusi yang terlibat di dalamnya, tetapi juga banyak melibatkan kegiatan lain di luar teknologi hasil pertanian, antara lain industri pengepakan, industri zat-zat kimia yang membuat zat pengawet, zat pewarna, dan lain-lain. Industri pangan menghasilkan berbagai produk pangan olahan dalam bentuk makanan tradisional maupun modern. Produksi pangan olahan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Berdasarkan skala dan pola pertumbuhannya, industri pangan dikelompokkan menjadi: (1) industri pangan besar, (2) menengah dan kecil, (3) industri katering, (4) restoran dan hotel, serta (4) industri makanan jajanan atau rumah tangga (Wirakartakusumah 1994). Selanjutnya Wirakartakusumah mengemukakan bahwa konsumen di masa mendatang akan semakin menuntut mutu dan kesegaran pangan. Konsumen akan semakin khawatir mengenai kesehatan dan gizi, keamanan pangan dan berbagai cemaran mikroba dan kimiawi yang mengganggu kesehatan atau menyebabkan penyakit, perhitungan harga serta kemudahan untuk menyiapkan atau menghidangkannya. Dorongan ini akan membantu berkembangnya inovasi teknologi pangan yang menghasilkan beragam jenis dan bentuk pangan olahan untuk memenuhi keinginan konsumen. Pertumbuhan industri pangan olahan tahun 2010 untuk skala besar dan menengah ratarata akan mencapai 10 hingga 15 persen. Sementara itu, untuk UKM (Usaha Kecil Menengah) sekitar tiga hingga lima persen. Pertumbuhan industri makanan dan minuman akan lebih banyak menyebar di luar Pulau Jawa. Bentuk konsumsi masyarakat akan mengalami perubahan dari yang sebelumnya lebih banyak produk primer akan mulai bergeser ke produk olahan. Data GAPMMI menyebutkan ada 1.159.983 industri pangan di Indonesia dengan total tenaga kerja mencapai 3.4 juta orang. Berdasarkan jumlah total industri tersebut tercatat jumlah industri skala rumah tangga mencapai 1.087.489, industri kecil sebesar 66.178, dan industri besar menengah sebesar 6.316 (GAPMMI 2010).
10
G. PERTUMBUHAN SERTIFIKASI HALAL Berdasarkan data LPPOM MUI Pusat, pertumbuhan sertifikasi halal selalu meningkat dari tahun ke tahun. Terbukti dari data tahun 2008 hingga tahun 2011 jumlah produk yang telah mendapatkan sertifikat halal selalu meningkat. Pada tahun 2008, jumlah produk yang mendapatkan sertifikat halal sebanyak 10242 produk. Kemudian pada tahun 2009, jumlah produk yang mendapatkan sertifikat halal meningkat menjadi 10550 produk. Pada tahun 2010, jumlah produk yang mendapatkan sertifikat halal meningkat lebih dari 100% menjadi 27121 produk. Grafik pertumbuhan sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 3. Data-data produk bersertifikat halal tersebut kemungkinan masih rendah, apabila dibandingkan dengan jumlah produk yang saat ini tersebar di pasar dan belum terigistrasi oleh BPOM. Oleh karena itu, kemungkinan jumlah produk yang belum bersertifikat halal masih banyak beredar di pasaran.
Pertumbuhan Sertifikat Halal
Jumlah
30000
27121
20000 10242
10550
10000 0 2008
Jumlah Produk
2009 Tahun
2010
Gambar 3. Grafik pertumbuhan sertifikasi halal (LPPOM MUI 2010) H. KEBIJAKAN BARU LPPOM MUI Salah satu upaya dalam meningkatkan kredibilitas, pihak LPPOM MUI menerapkan beberapa kebijakan baru dalam proses sertifikasi. Kebijakan tersebut disosialisasikan mulai tanggal 6 Januari 2011. Beberapa kebijakan baru LPPOM MUI dalam proses sertifikasi diantaranya : 1. Mempertegas kebijakan Sistem Jaminan Halal (SJH) sebagai prasyarat sertifikasi halal untuk semua kategori perusahaan dan pendaftaran. Pada awalnya, bukti implementasi Sistem Jaminan Halal di perusahaan, diserahkan kepada LPPOM MUI paling lambat enam bulan setelah terbitnya sertifikat halal. Selain itu pada saat pendaftaran, perusahaan hanya menyerahkan Manual Sistem Jaminan Halal Minimum yang berisi klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal, dan ruang lingkup penerapan SJH. Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh pihak LPPOM MUI, tak sedikit dari perusahaan yang lupa ataupun tidak menyerahkan Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem Jaminan Halal sangat berperan penting untuk menjamin kontinuitas kehalalan suatu produk setelah mendapatkan sertifikat halal. Selain itu, Sistem Jaminan Halal menjadi pertanggungjawaban perusahaan dalam memproduksi produk dengan halal. Oleh karena itu, pihak LPPOM MUI mensyaratkan kepada perusahaan yang akan mengajukan sertifikasi halal untuk menyusun manual Sistem Jaminan Halal berdasarkan kategori perusahaan beserta bukti implementasinya. Selain itu, perusahaan akan mendapatkan sertifikat halal, jika status
11
implementasi Sistem Jaminan Halal bernilai minimum “B” (LPPOM MUI 2010b). Audit sertifikasi halal sudah mencakup audit implentasi Sistem Jaminan Halal. 2. Pembayaran biaya sertifikasi halal dilakukan pada saat pendaftaran. Biaya sertifikasi ini belum termasuk biaya transportasi dan akomodasi untuk para auditor. Sebelumnya, biaya sertifikasi halal dibebankan pada perusahaan apabila perusahaan telah menerima sertifikat halal. Berdasarkan hal itu pula, tak sedikit perusahaan yang lupa atau tidak memenuhi kewajiban tersebut padahal proses sertifikasi telah berjalan dan sertifikat halal telah diterima. Selain itu, ada beberapa perusahaan yang tidak mengambil sertifikat halal yang telah diterbitkan LPPOM MUI, sementara itu pembiayaan selama proses sertifikasi halal telah dilakukan oleh LPPOM MUI. Kebijakan baru ini dibuat tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, akan tetapi lebih kepada kesungguhan pihak perusahaan dalam menjalani setiap tahapan selama proses sertifikasi halal. Hal ini diharapkan pihak perusahaan dapat bekerja sama dengan baik dengan LPPOM MUI pada saat proses sertifikasi halal. Jika perusahaan belum melunasi biaya yang telah disepakati, maka audit sertifikasi tidak dapat dijadwalkan. 3. Menetapkan masa berlaku status Sistem Jaminan Halal sama dengan Sertifikat Halal yaitu dua tahun. Selain itu, menetapkan masa berlaku Sertifikat Sistem Jaminan Halal selama empat tahun. Sebelumnya, masa berlaku status Sistem Jaminan Halal adalah 1 tahun. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan masa berlaku status Sistem Jaminan Halal dengan Sertifikat Halal. Pada saat perpanjangan Sertifikat Halal, perusahaan masih memiliki status Sistem Jaminan Halal yang masih berlaku. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara mempercepat audit Sistem Jaminan Halal bersamaan dengan audit perpanjangan Sertifikat Halal, sehingga perusahaan akan memperoleh status baru dengan masa berlaku yang sama dengan Sertifikat Halal. 4. Kegiatan audit akan lebih melibatkan auditor nasional yang ada di LPPOM Provinsi. Hal ini bertujuan untuk meingkatkan pelayanan prima kepada produsen yang menghendaki sertifikasi halal. Saat ini, LPPOM MUI terus berusaha meninggkatkan jumlah dan kompetensi auditor. Jumlah auditor saat ini terdiri atas 415 orang tenaga ahli dari berbagai ilmu, termasuk ahli pangan, ahli kimia, dan ahli syari’ah dan tersebar di LPPOM Pusat dan Daerah (Hakim 2011). Selain itu, terdapat beberapa kebijakan terbaru LPPOM MUI di bidang (1) Organisasi dan Kelembagaan LPPOM, (2) Standar dan Pelatihan, dan (3) Penelitian dan Kajian Ilmiah. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain : 1. Membina hubungan dan komunikasi strategis dengan seluruh pemangku kepentingan LPPOM MUI, baik dengan pemerintah, asosiasi industri, perusahaan, maupun masyarakat. 2. Setiap produk yang dinyatakan halal dan beredar di Indonesia harus mengikuti Standar Halal dari Majelis Ulama Indonesia. 3. Rujukan Standar Halal adalah hasil-hasil fatwa dari komisi fatwa MUI, hasil telaah ilmiah (scientific judgment), dan kultur budaya Indonesia. 4. Standar Halal MUI yang telah disusun oleh LPPOM MUI diharapkan segera disahkan oleh Pemerintah sebagai Standar Halal Indonesia. 5. Standar Halal Indonesia menjadi rujukan setiap Stakeholder Kehalalan di Indonesia bahkan di dunia Internasional. 6. Penyelenggaraan jasa pelatihan dan konsultasi dalam rangka membantu perusahaan mendapatkan Sertifikat Halal dari MUI.
12
7. Perusahaan Baru wajib mengikuti penjelasan semua persyaratan yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakan audit lapangan. 8. Kewajiban perusahaan setelah menerima Sertifikat Halal MUI adalah : a. Mengikuti pelatihan tentang Sistem Jaminan Halal setidaknya minimal sekali dalam dua tahun bagi organisasi Manajemen Halal Perusahaan. b. Menandatangani Surat Perjanjian untuk tetap konsisten menggunakan bahan yang ada dalam Matrik Bahan. c. Matrik Bahan didokumentasikan sebagai lampiran dalam surat perjanjian antara perusahaan kepada LPPOM MUI. d. Apabila perusahaan berencana melakukan perubahan baik mengganti atau menambah bahan, maka setiap perubahan bahan wajib dilaporkan terlebih dahulu sebelum digunakan dalam proses produksi ataupun trial produksi. 9. Melakukan pengujian produk/material paling lama tiga hari setelah penerimaan sample. 10. Mengeluarkan surat persetujuan penggunaan bahan paling lama tiga hari setelah surat persetujuan bahan dan data pendukung diterima dari perusahaan. Bentuk baku agar sasaran mutu tercapai adalah sebagai berikut : a. Perusahaan mengisi borang persetujuan bahan dengan format yang telah disiapkan oleh LPPOM MUI. b. Ketentuan pengisian : 1) Dibuat dalam format excel 2) Pengiriman surat dapat dilakukan melalui fax apabila kurang dari lima lembar atau melalui kurir atau pos bila surat lebih dari lima lembar 3) Khusus untuk surat pengantar permohonan izin penggunaan bahan baku tersebut dikirim melalui email
[email protected] dan hanya melampirkan tabel nama bahan yang diajukan.
13