III. TINJAUAN PUSTAKA A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan pengemas.
1. Bahan Baku Utama a. Tepung Terigu Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air, glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno, 1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh dari fraksi prolamin. Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.37512006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan
16
peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006 (*) No.
Jenis uji
1. 1.1. 1.2.
Keadaan Bentuk Bau
1.3. 2. 3.
Warna Benda asing Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 Kadar air Kadar abu Kadar protein Keasaman Falling number (atas dasar kadar air 14%) Besi (Fe) Seng (Zn) Vitamin B1 (thiamin) Vitamin B2 (riboflavin) Asam folat Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Tembaga (Cu) Cemaran arsen
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 15.1. 15.2. 15.3. 16. 17. 17.1. 17.2. 17.3.
Satuan
Persyaratan
-
Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih, khas terigu Tidak ada Tidak ada
% (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b) mg KOH/100 g detik mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Minimum 95 Maksimum 14,5 Maksimum 0,6 Minimum 7,0 Maksimum 50 Mimimum 300 Minimum 50 Minimum 30 Minimum 2,5 Minimum 4 Minimum 2
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 1,00 Maksimum 0,05 Maksimum 10 Maksimum 0,50
koloni/g APM/g koloni/g
Maksimum 106 Maksimum 10 Maksimum 104
Angka lempeng total E. coli Kapang
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).
b. Air Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. (1985) yang dikutip oleh Mulya (1988) menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal akan membentuk pasta yang baik.
17
Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 disebutkan/dinyatakan pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum. Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VII/2002 mencakup persyaratan/ parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/ MENKES/ SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 (*) No. 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 4. 4.1. 4.2.
Jenis/Parameter uji Parameter fisik Warna Rasa dan bau Suhu/temperatur Kekeruhan Jumlah zat padat terlarut (TDS) Parameter Kimiawi Aluminium (Al) Besi (Fe) Kesadahan Klorida (Cl) Mangan (Mn) pH Natrium (Na) Sulfat Tembaga (Cu) Sisa klor Amonia Air raksa (Hg) Antimon (At) Barium (Ba) Boron (B) Kimia An-organik Arsen (As) Fluorida (F) Kromium-valensi 6 Kadmium (Cd) Nitrit, sebgai NO2 Nitrat, sebagai NO3 Sianida (CN) Selenium (Se) Parameter Mikrobiologi E. coli atau feacal coli Total bakteri coliform
Satuan
Kadar maksimum yang diperbolehkan
TCU o C NTU mg/l
15 Tidak berasa & berbau Suhu udara ± 3 oC 5 1000
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,2 0,3 500 250 0,1 6,5 – 8,5 200 250 1,0 1,5 0,001 0,005 0,7 0,3
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Jumlah/100 ml Jumlah/100 ml
0,05 1,5 0,05 0,003 3 50 0,07 0,01 0 0
(*) Sumber : Departemen Kesehatan (2002).
2. Bahan Baku Pembantu Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.
18
a. Garam Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat (meningkatkan elastisitas dan fleksibelitas), dan untuk mengikat air (Sunaryo, 1985). Garam dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Mulya, 1988). Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal dari PT Saltindo di Jakarta. Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional (2000), garam yang digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai pangan (makanan) yang komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan penambahan kalium yodat (KIO3). Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000 (*) No. 1. 2.
Kriteria uji Kadar air (H2O) Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung dari jumlah klorida
3.
Yodium dihitung sebagai kalium yodat (KIO3) Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg) Arsen (As)
4. 4.1. 4.2. 4.3. 5.
Satuan % (b/b) % (b/b), atas dasar bahan kering mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Persyaratan mutu Maksimum 7 Minimum 94,7 Minimum 30 Maksimum 10 Maksimum 10 Maksimum 0,1 Maksimum 0,1
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000).
b. Tepung Telur Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia, Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).
19
Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan/ keuntungan sebagai berikut : (a) Umur simpan lebih lama; (b) Penyimpannya lebih mudah atau tanpa refrigerasi; (c) Mengurangi ruang penyimpanan, biaya penyimpanan dan biaya transportasi, dan (d) Mempermudah pengaturan komposisi bahan (Dijen IKAH, Depperindag & Fakultas Teknologi Pertanian – IPB, 2003). Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug Administration (FDA) USA dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA (*) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kriteria uji Kadar air Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Gula pereduksi Total mikroba Bakteri koliform Bakteri Salmonella Warna Bau
Satuan % % % % % koloni/g koloni/g -
Persyaratan mutu Maksimum 5,0 40,0 Minimum 45,0 3,7 Maksimum 0,1 Maksimum 25.000 Maksimum 10 Negatif atau nol Specified on purchase Lembut
(*) Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB (2003). 3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Menurut Codex Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan,
pengolahan,
persiapan,
perlakuan,
pengepakan,
pengemasan,
pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
20
Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam Permenkes No.722/MenKes/Per./IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No. 1168/MenKes/ Per/VI/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur makanan). Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat atau kalium karbonat (K2CO3) serta bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat (USA) dan Inggris melalui pemasok lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT United Chemical Inter Aneka di Jakarta. a. Garam Alkali (Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat) Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali tersebut (Puspasari, 2007). Kedua bahan tersebut ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia (Sax, 1975). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722/ MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg. b. Tartrazin C1 19140 Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya
21
berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno (1989), tartrazin tahan terhadap cahaya, asam asetat, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH) 10 persen. Pada NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh, tetapi aluminium (Al) tidak berpengaruh. Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter Aneka, Jakarta. Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per./IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi internasional Codex masih dalam tahap pembahasan (CAC, 2006). Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2007) tentang ”Kajian Paparan Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta Utara” menyimpulkan bahwa : (a) Hasil survei konsumsi pangan yang mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi ratarata pada seluruh responden sebesar 306,38 g/orang/hari, nilai konsumsi rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran porsinya relatif lebih besar; (b) Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil penelitian belum melampaui nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tartrazin. Tingkat paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24 μg/kg BB (3,08 % ADI), nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak karena tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif rendah. Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada seluruh responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk, makanan ringan dan biskuit; dan (c) Mi instan merupakan produk pangan yang memiliki tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin terbesar pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta Utara. Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan tingkat paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian paparan tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah Jakarta Utara yang dilaporkan Anisyah (2007) dapat dilihat pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi (*) No.
Produk pangan
1.
Mi Instan atau Mi kering - Sebelum diolah - Setelah diolah Kembang gula Minuman berkarbonasi Minuman nonkarbonasi Minuman serbuk Minuman buah, squash Sirup Kue lapis Biskuit Roti Makanan ringan Jelli Jem, selai Es krim Susu fermentasi
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kadar tartrazin dalam produk pangan (mg/kg) Rata-rata Min - Maks 22,50 16,77 90,53 13 22
1 - 100 8,28 27,25 5 - 300 10 15 10
Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan menurut peraturan (mg/kg) Indonesia Codex Eropa 300
300
-
300 70 mg/l (produk siap konsumsi)
300 300
300 100
-
40
70 mg/l (produk siap konsumsi)
300
100
13,30 10
0,16 4 -
40 20
70 mg/l (produk siap konsumsi) 70 mg/l (produk siap konsumsi)
300 300
100 100
18 200 72,86 11 88,57 25,95 213 76 50,50
4,2 200 10 11 10 5,4 200 10 1
33,33 200 200 11 200 84,35 226 200 100
70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 300 300 300 200 200 100 18 (berasal dari aroma yang digunakan)
300 300 300 300 300 500 500 300
100 200 200 200 200 -
-
(*) Sumber : Anisyah (2007).
4. Bahan Kemasan Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan kemasan sekunder (kotak karton atau karton boks) dengan kapasitas 20 kemasan plastik . a. Plastik Polipropilen (Plastik jenis PP) Plastik jenis Polipropilen (PP) merupakan kemasan yang ringan, mudah dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis, yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan (Puspasari, 2007). Sifat utama dari polipropilen (PP) adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku. Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada
23
polietilen (PE), sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak (Puspasari, 2007).
b. Kotak Karton Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB (Corrugated Fibred Board). Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.
5. Proses Produksi Mi Kering Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano (1990) pada prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya hanyalah pada tahap setelah pemotongan (cutting); yaitu pada pembuatan mi kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi, pembutan larutan alkali, pencampuran adonan (mixing), pengepresan dengan roll press, pembentukan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming), pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), penge-ringan dengan oven (drying), pendinginan (cooling), pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di gudang.
24
Penimbangan Bahan baku dan Bahan Lain
Pembuatan Larutan Alkali
Pencampuran (Mixing)
Pembentukan adonan menjadi lembaran dengan roll press
Pembentukan untaian pita mi (Slitting)
Pengukusan dengan menggunakan uap panas (Steaming)
Pendinginan (Cooling)
Pemotongan (Cutting)
Pengeringan dengan menggunakan uap panas
Pendinginan (Cooling)
Pengemasan produk mi kering dalam plastik PP & kotak karton Penyimpanan di Gudang
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering (Sumber : Ridwan dan Wiriano, 1990).
25
a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur, tepung telur, bahan tambahan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan digunakan untuk pembuatan larutan alkali.
b. Pembuatan Larutan Alkali Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air, garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali, uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
c. Pencampuran Adonan (Mixing) Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan ( Pribadi, 2004). Umumnya air yang ditambahkan sekitar 28-35% dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan dipertahankan pada kisaran suhu 32-38oC. Suhu tersebut dipertahankan dengan cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap panas. Apabila suhunya kurang dari 32oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar; sedangkan jika suhunya lebih dari 38oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi
26
kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket; sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan balingbaling
mesin
adonan.
Kenaikan
suhu
tersebut
berpengaruh
terhadap
pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan distribusi air dalam tepung.
d. Pengepresan Dengan Roll Press Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan seratserat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan (Pribadi, 2004). Agar dapat menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu sekitar 35-37oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut. Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press. Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.
d. Pembentukan/Pencetakan Untaian Mi (Slitting) Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi (Ridwan dan Wiriano, 1990).
27
Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil (slitter) yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir bergerigi (Noerthana, 2005); selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombanggelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi yang bergelombang rata. Menurut Noerthana (2005), agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil slitting baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Hasil mixing adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak panas; (2) Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; (3) Fungsi sisir mi (noodle comb) harus dalam kondisi baik; (4) Ketepatan pemasangan mangkuk pemisah mi (devider); (5) Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman roll cutter-nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat tumpul; dan (6) kebersihan alat.
e. Pengukusan (Steaming) Pengukusan (steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten menjadi lebih rapat (Pribadi, 2004). Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Prangdimurti, 1991). Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1995). Lebih lanjut Sunaryo (1985) menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mi yang dapat
28
memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi.
f. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
g. Pemotongan (Cutting) Pemotongan (cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.
h. Pengeringan (Drying) Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau aw-nya (Fellows, 2000). Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi, menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100oC selama 30 menit.
i. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan cara melewatkan mi dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan
29
suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket (Pribadi, 2004). Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan secara sempurna.
j. Pengemasan (Packing) Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinankemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara, serangan serangga, dan lain sebagainya (Syarief et al, 1989).
B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan pangan (BTP). 1. Cemaran Mikrobiologis Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi kering memiliki aw sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan Buckle et. al (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi (pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi kering tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik yang berasal dari bahan baku dan bahan lainnya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), cemaran mikroba yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan
30
angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000). Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream cakes, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al (1990) dan Narvaiz et. al (1992) dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu. Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998) sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah
31
dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi oleh air dari luar. Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E. Coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia enterolita dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminum/dikonsumsi (Jones dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli 2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.
2. Cemaran Kimia Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01. 2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa cemaran kimia yang mungkin timbul/terdapat pada mi kering berupa cemaran kimia logam-logam berat berupa timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb, Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya. Sedang seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat berasal darti proses produksi pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.
32
3. Cemaran Fisik Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir, tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus negatif.
C.
PERMASALAHAN
KEAMANAN
PANGAN
PADA
INDUSTRI
PANGAN Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai
33
dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturam Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004). Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999). Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999). Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah. Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).
34
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsipprinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan (*) Aspek Keamanan Pangan - GMP (Good Manufacturing Practice) SOP (Standard Operating Procedure) - Sanitasi dan Higiene
Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan Paham dan Paham tapi Paham tapi Paham tapi menerapkan menerapkan menerapkan tidak secara penuh sebagian besar sebagian kecil menerapkan sama sekali
25
40
25
10
25
35
7,5
32,5
30
45
20
5
Sumber : Sudibyo et al. (2001). Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40% industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998). Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase
35
industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak Mengimplementasikan Higiene (*). No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek Kegiatan
Pelatihan terhadap karyawan yang menangani pangan Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil) Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lainlain) Pengendalian hama Pengendalian catatan/dokumen
Persentase (%) Industri Kecil Pangan yang mengimplementasikan/ tidak mengimplementasikan higiene Ya Tidak
15,5
84,5
25,5
74,5
30,0
70,0
30,0
70,0
40,0
60,0
45,5
55,5
40,0
60,0
35,0 20,0
65,0 80,0
(*) Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004. Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala dalam pengembangan dan penerapannya. Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al (2001) terhadap industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala
36
menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri pangan dari luar.
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP Di dalam setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) merupakan suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek keamanan dan kesehatan. Konsep program persyaratan kelayakan dasar ini pertama kali berasal dan dicetuskan oleh Agriculture and Agri-Food Canada's (AAFC) dalam rangka program peningkatan keamanan pangan di Kanada dan mereka mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar ini sebagai "suatu langkah-langkah universal atau prosedur yang mengendalikan kondisi oprasional dalam suatu industri pangan yang didirikannya guna memenuhi kondisi lingkungan tetap baik untuk menghasilkan pangan yang aman" (Gombas dan Stevenson, 2000). NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) (1998) mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar sebagai "suatu prosedur termasuk prosedur cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) yang ditujukan untuk menyediakan kondisi operasional dasar sistem HACCP". Pada prinsipnya program persyaratan kelayakan dasar untuk
37
sistem HACCP mencakup suatu program dan prosedur yang sudah harus tersedia di dalam industri pangan yang didirikannya; termasuk juga didalamnya program penerimaan bahan baku dan cara penyimpanannya, manajemen terhadap adanya keluhan pelanggan/konsumen, kemampuan telusur bahan ingredien yang digunakan hingga produk pangan dihasilkan serta program persetujuan untuk pemasok (approved supplier) barang-barang yang masuk ke dalam perusahaan industri pangan (Gombas dan Stevenson, 2000). Menurut Bernard dan Parkinson (1999), program persyaratan kelayakan dasar ini seperti halnya rancangan HACCP (HACCP Plan) sebaiknya terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya juga dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs ini jika diperlukan dapat ditinjau/dikaji ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didisain dan direncanakan, diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF, 1998). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM, 1996), tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan GMP adalah : (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi
38
pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan. Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996). Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan
39
berisiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999). Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : Desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, Pengendalian proses produksi atau operasi (Pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan produk), Pemeliharaan (Maintenance) dan Sanitasi (Pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan), Higiene/kebersihan personil/karyawan (Status kesehatan karyawan, kebersihan
personil,
tingkah
laku
personil,
prosedur
penerimaan
tamu/pengunjung), Transportasi (Persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya), Informasi Produk dan Kesadaran (Identifikasi lot, informasi produk, labelling), dan pendidikan konsumen; serta Pelatihan.
E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI PANGAN 1. Definisi dan Terminologi HACCP HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama, identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga penyediaannya; prinsip kedua, penentuan titik kendali kritis dan batas kritis untuk
40
mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995). Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF (1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya. Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahayabahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini, komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan NACMCF (FAO/WHO, 1997). Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya (hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing, penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan
41
produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya. Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul (illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria tindakan pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut bersifat kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat segera melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990). Disamping itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem HACCP ini berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan dan tujuan penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999). Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya (hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997) mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan terjadinya suatu bahaya. Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union), HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993 (Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001 (FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan
42
penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC P (Suprapto, 1999). Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahaptahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.
2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik, proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan
43
pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (recordkeeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik. Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan
dasar
sistem
HACCP.
Adanya
komitmen
dan
manajemen
kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan. Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir, keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan, manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk (recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.
44
Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) (*) No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan Keterangan pengembangan sistem HACCP 1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup Langkah pendahuluan penerapan sistem HACCP pertama 2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan kedua 3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk Langkah pendahuluan pangan ketiga 4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan keempat 5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan kelima 6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang Prinsip HACCP berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan pertama tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk pengendaliannya 7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point Prinsip HACCP kedua (CCP) 8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP keempat 10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap Prinsip HACCP kelima kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian 11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi Prinsip HACCP sistem HACCP keenam 12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP ketujuh (*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).
Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi, pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan
45
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan (internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan (tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP. Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi, target pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan deskripsi tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi langsung (ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan sebagainya. Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang ada di lapangan (NACMCF, 1999). Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)
46
ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata (signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu : identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya. Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar, grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan risiko keparahan bahayanya (*). Bahaya Tinggi (Grup I) Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F Shigella dysenteriae Salmonella typhii, paratyphy A, B Virus Hepatitis A dan E Brucella abortis; B. suis Vibrio cholerae O1 Vibrio vulnivicus Taenia solium Trichinella spiralis
Bahaya Sedang , Potensial menyebar (Grup II)
Bahaya Sedang, Terbatas Penyebarannya (Grup III)
Listeria monocytogenes
Bacillus cereus
Salmonella sp Shigella sp
Campylobacter jejuni Clostridium perfringens
Enterovirulent Escherichia coli (EEC) Streptococcus pyrogenes Rotavirus Norwalk virus grup Entamoeba histolytica Diphyllobothrium latum Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum
Staphyloccus aureus Vibrio cholerae, non O1 Vibrioparahaemolyticus Yersinia enterocolotica Giardia lamblia Taenia saginata
(*) Sumber : ICMSF (1992).
Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat
47
dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk, antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*) Sumber Bahan Kimia Terbentuk secara tidak sengaja
Ditambahkan secara atau tidak sengaja
sengaja
Jenis Bahan Kimia Berbahaya - Mikotoksin - Skrombotoksin (histamin) - Ciguatoksin - Toksin jamur - Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP) - Alkaloid pirolizidin - Fitohemaglutinin - PCB (polychlorinated biphenyl) - Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan - Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) - Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit), perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis - Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.
(*) Sumber : Fardiaz (1996).
Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992). Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar, kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/ makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer, 2005).
48
Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*) Material Gelas
Kayu
Batu/kerikil Logam Serangga dan kotorannya Bahan insulasi Potongan tulang Plastik
Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lainlain) Sisik, kulit
Bahaya Potensial Terpotong, berdarah, luka dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, gigi patah Terpotong, infeksi, mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya Penyakit, trauma psikologis dan tercekik Tercekik, penggunaan asbes dalam waktu lama Tercekik, trauma Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, terpotong, gigi patah dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya Tercekik
Sumber Botol, wadah, pengolahan
lampu,
peralatan
Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting Lapangan, gedung Mesin pengolahan lapangan, kawat, pekerja Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, gudang Material bangunan Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar) Lapngan, bahan pengemas, pallet, pekerja Pekerja/karyawan Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar
(*) Sumber : Corlett (1992)
Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan untuk membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi, serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya tersebut (Bernard et al, 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point). Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F
49
disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*) Kelompok Bahaya Bahaya A Bahaya B Bahaya C Bahaya D Bahaya E Bahaya F
Karakteristik Bahaya Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised) Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
(*) Sumber : NACMCF (1995) Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*) Produk Berisiko Tinggi . Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi
. Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan susu . Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau di atasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis
Produk Berisiko Sedang . Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan . Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar . Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing
Produk Berisiko Rendah . Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah dan minuman asam
. Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas . Selai (jam), marmelade dan conserves
. Produk-produk konfeksioneri berbasis gula . Minyak dan lemak
(*) Sumber : NACMCF (1995).
Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko
50
bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti yang tercantum pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*) Karakteristik Bahaya 0 (+) (++) (+++) (++++) (+++++) A+ (Kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya BF (*) Sumber : NACMCF (1995).
Kategori Risiko 0 I II III IV V VI
Jenis Bahaya Tidak mengandung bahaya A sampai F Mengandung satu bahaya B sampai F Mengandung dua bahaya B sampai F Mengandung tiga bahaya B sampai F Mengandung empat bahaya B sampai F Mengandung lima bahaya B sampai F Kategori risiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis" (Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF (1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan (chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia, pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan baik oleh tim HACCP. Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia atau fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya tersebut pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa
51
contoh batas kritis yang perlu ditetapkan dan harus dipenuhi sebagai alat tindakan pengendalian/pencegahan bahaya dalam industri pengolahan pangan misalnya adalah : suhu dan waktu maksimal yang ditetapkan untuk proses kecukupan thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendingin-an/pembekuan, jumlah maksimal residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH maksimal yang diperkenankan pada tahap proses formulasi bahan dan batas maksimal penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam proses produksi pangan.
52
P1
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?
Ya
Tidak Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?
Berhenti *)
Bukan CCP
Tidak
P2
Ya
Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)
Ya
Tidak
P3
Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?
Ya
P4
Tidak
Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)
Tidak
Bukan CCP
Berhenti *)
Ya Bukan CCP
Berhenti *
Titik Kendali Kritis (CCP)
* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP
Gambar 2. Diagram alir bagan penentuan titik kendali kritis atau CCP (Sumber : BSN, 1998; Codex Alimentarius Commission/CAC, 1997)
53
Langkah penerapan selanjutnya adalah pemantauan (monitoring) terhadap titik kendali kritis dan batas kritisnya. Monitoring/pemantauan menurut NACMCF
(1999)
merupakan
rencana
pengawasan
dan
pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dan batas kritisnya dalam keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam tahap verifikasi berikutnya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1) Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya; dan (3) Pengukuran dan pengamatan batas kritis untuk memperoleh data yang teliti dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk (Corlett, 1991). Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi oleh tim HACCP agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk pangan masih dalam batas kritisnya dan menjamin tidak ada bahayanya. Idealnya, pemantauan/monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100% sehingga efektif dalam memberi jaminan keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Namun bila hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan pemantauan secara tidak kontinyu dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga keamanan benar-benar terjamin. Kegiatan pemantauan/monitoring terhadap CCP dan batas kritisnya mencakup, yaitu : apa (what) yang dipantau, dimana (where) tempat dilakukan pemantauan, bagaimana (how) cara melakukan pemantauan, kapan (when) pemantauan dilakukan dan siapa (who) orang yang melaksanakan tindakan pemantauan (Gombas et al, 2000). Langkah penerapan berikutnya adalah menerapkan prosedur untuk melakukan tindakan koreksi (corrective action) apabila pada CCP tersebut terjadi penyimpangan (bias). Menurut NACMCF (1999) dinyatakan bahwa tindakan koreksi sebaiknya mencakup beberapa unsur sebagai berikut : (a) Penentuan dan pengoreksian
penyebab
terjadinya
ketidaksesuaian
(non-compliance),
(b)
Penentuan disposisi produk yang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar proses
54
yang ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan potensi bahaya baru, dan (c) Pencatatan dan pendokumentasian terhadap tindakan koreksi yang telah diambil dengan tujuan untuk memodifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya. Langkah penerapan selanjutnya adalah menerapkan prosedur pencatatan dan pendokumentasian sistem HACCP yang efektif. Dokumentasi dan rekaman sistem HACCP sangat penting bagi industri pangan untuk keperluan kaji ulang (review) penerapan sistem HACCP dan bagi auditor keamanan pangan untuk mengetahui apakah rancangan HACCP-nya sudah diterapkan secara efektif dan konsisten dalam operasionalnya. Dokumen-dokumen
dan
rekaman-rekaman
sistem
HACCP
yang
diperlukan untuk keperluan audit keamanan pangan mencakup : susunan tim HACCP yang telah disahkan oleh pimpinan manajemen perusahaan, deskripsi produk yang dibuat termasuk penggunaannya, diagram alir dan denah area produksi, tabel analisis dan identifikasi bahaya, tabel penentuan CCP (critical control point), tabel pengendalian sistem HACCP, instruksi kerja CCP, rekaman pemantauan lainnya dan daftar amandemen atau perubahan dokumen. Langkah penerapan berikutnya adalah tim HACCP melakukan kegiatan verifikasi terhadap sistem HACCP. Kegiatan verifikasi tim HACCP dalam industri pangan dapat dilakukan dengan cara mengaji ulang dan audit untuk mencek terhadap metode, prosedur, cara uji, cara analisis dan lain-lain yang dipraktekan di lapangan untuk mengetahui apakah sistem HACCP sudah sesuai dengan
rancangan
HACCP
(HACCP
Plan)
yang
sudah
disusun
dan
beroperasi/bekerja dengan efektif dan benar (NACMCF, 1999). Verifikasi menurut SNI 01-4852-1998 adalah penerapan metode, prosedur, pengujian, dan cara pendataannya, disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP (HACCP Plan). Dalam panduan HACCP yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998 memasukkan validasi ke dalam bagian dari verifikasi. Sementara itu, dalam standar ISO 22000 : 2005, verifikasi disebutkan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi. Sedang, validasi ditegaskan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif
55
bahwa persyaratan bagi penggunaan khusus atau penerapan telah mampu dipenuhi. Verifikasi yang dilakukan oleh tim HACCP mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan penerapan sistem HACCP, yaitu : penetapan jadwal verifikasi yang tepat, peninjauan kembali (review) rancangan HACCP, pemeriksaan dan penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya, pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang harus dilakukan, pengambilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; catatan tertulis mengenai kesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap rancangan dan tindakan koreksi/perbaikan yang dilakukan; validasi rancangan HACCP, termasuk pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP serta pemeriksaan kembali modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991). Selain itu, verifikasi oleh tim HACCP dilakukan dengan cara melakukan audit internal dan kaji ulang manajemen atau management review. Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat tertentu, yaitu : (a) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan; (b) jika diketahui bahwa produk tertentu memerlukan perhatian khuus karena informasi terbaru tentang keamanan pangan; (c) jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab terjadinya keracunan pangan; dan (d) jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran/rekomendasi dari instansi yang berwenang dan kompeten di bidang keamanan pangan.
F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, programprogram HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan Bernard, 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem HACCP
dalam
industri
pangan
mempunyai
beberapa
kendala
dalam
56
penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri pangan dapat mencakup : kurangnya manajemen komitmen, hambatan mental (psikologis), hambatan oraganisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP.
1. Kurangnya Komitmen Manajemen Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama penerapannya (Stevenson dan Bernard, 1999). Oleh karena itu, kurangnya manajemen komitmen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekan dengan baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai program keamanan yang dijanjikan (Mayes, 1994). Dengan demikian, agar sistem HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP. Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program HACCP,
pihak
manajemen
harus
komitmen
untuk
menyediakan
dan
mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al, 1999). Bahkan setelah awal periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan. Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya. Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak
57
hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang diperlukan sebelum pelatihan secara formal sistem HACCP dilakukan. Komitmen manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan.
2. Hambatan Mental (Psikologis) Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melaui seminar atau pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang sistem HACCP; dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli perusahaan (Jouve, 1994), lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al, 1990) dan kurangnya tenaga ahli di bidang teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya (Stevenson, 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan. Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur, karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas. Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi, prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih
58
perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih menjamin keamanan produk pangannya.
3. Hambatan Organisasi Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan. Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem; pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan; inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP, inspeksi terhadap bahan baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan penyimpnan data rekaman. Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugas-tugas tersebut dapat didisain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut hasil studi Henson et al (1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh : Pertama, perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia (supervisor) dan ditingkat manajerial. Kedua, motivasi karyawan, tidak hanya termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau manajerial.
4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi Dan Operasi Sistem HACCP Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya
59
beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaanya adalah apa saja yang memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP? Menurut hasil penelitian Henson et al (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup : biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP.
5. Konsepsi Yang Salah Tentang Sistem HACCP Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan keuntungannya terhadap masyarakat (Motarjemi dan kaferstein, 1999). Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang salah ini pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan. Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek higiene yang baik atau good hygiene practice. Meskipun hal tersebut memang benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisional tersebut dengan cara : (a) Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b) Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi
60
bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada operatornya. Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks dan mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman yang banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat bingung peserta pelatihan sehingga perlu penyedehanaan konsep serta menerangkan kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keprluan bisnis perusahaannya. Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat sebagai alat bukti penjamin keamanan pangan yang memadai dari pada sekedar hanya memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja. Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem HACCP memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru. Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan. Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan
61
skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai kesulitan dalam menerapakan sistem HACCP.
Beberapa permasalahan tersebut adalah : karena kurangnya
tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan. Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh indutri menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP berpengaruh
terhadap
pengembangan
sistem
HACCP;
ketidakcukupan
tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat, kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.
62