III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Inhibitor Enzim Enzim merupakan protein yang memiliki aktivitas katalitik yang aktif secara spesifik. Spesifitas enzim disebabkan oleh adanya sisi aktif enzim yang hanya dapat mengikat molekul substrat tertentu. Terdapat enam jenis enzim berdasarkan reaksi kimia yang dikatalisis, yaitu oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Enzim α-amilase termasuk dalam jenis enzim hidrolase karena memerlukan air dalam memecah ikatan spesifik α-1,4glikosidik. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, suhu, aw, kofaktor enzim, dan inhibitor (Whitaker 1996). Inhibitor merupakan senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim saat ditambahkan ke dalam reaksi enzim-substrat. Terdapat dua jenis inhibitor, yaitu inhibitor reversibel dan irreversibel. Inhibitor reversibel dapat dengan cepat membentuk kompleks ekuilibrium difusi nonkovalen terkontrol dengan enzim dan kompleks ini dapat terdisosiasi dengan dialisis atau filtrasi gel. Sementara itu, inhibitor irreversibel membentuk ikatan kovalen dengan enzim yang tidak dapat terdisosiasi (Lehninger 1990). Terdapat empat jenis penghambatan oleh inhibitor reversibel, yaitu penghambatan kompetitif, non-kompetitif, unkompetitif, dan alosterik. Inhibitor kompetitif umumnya memiliki struktur yang menyerupai substratnya sehingga inhibitor juga dapat mengikat sisi aktif enzim dan menghambat perubahan substrat oleh enzim. Penghambatan ini dapat dikurangi dengan menambahkan konsentrasi substrat. Sementara itu, inhibitor non-kompetitif berikatan pada enzim di luar sisi aktifnya sehingga penambahan substrat tidak mempengaruhi aktivitas penghambatan enzim (Suhartono 1989).
Non-kompetitif Kompetitif
Unkompetitif Tanpa inhibitor
1/[Konsentrasi Substrat]
Gambar 3. Grafik teoretikal (1/v terhadap 1/[S]) untuk enzim Michaelian dengan dan tanpa kehadiran inhibitor (Stojan 2005) Inhibitor unkompetitif merupakan senyawa yang berikatan secara reversibel dengan kompleks enzim-substrat dan tidak dapat berikatan dengan molekul enzim bebas (Suhartono
1989). Penghambatan alosterik terjadi saat inhibitor berikatan dengan enzim multi-subunit (Whitaker 1996). Beberapa organisme melibatkan inhibitor dalam sistem pengaturan metabolik dan fisiologis sehingga beberapa inhibitor terdapat secara alami. Inhibitor tripsin umumnya terdapat pada sereal dan kacang-kacangan. Sementara itu, terdapat tiga jenis inhibitor α-amilase alami, yaitu protein yang diproduksi oleh tanaman seperti sereal dan kacang-kacangan, polipeptida sederhana yang diproduksi oleh beberapa spesies Streptomyces, dan karbohidrat sederhana yang mengandung N yang diproduksi oleh Streptomyces (Ho et al. 1994 diacu dalam Whitaker 1996).
B. Phaseolamin White kidney bean (Phaseolus vulgaris) mengandung senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase secara non-kompetitif. Senyawa inhibitor tersebut memiliki tiga bentuk, yaitu isoform 1 (α-AI1), isoform 2 (α-AI2), dan α-amylase inhibitor like (α-AIL). Senyawa yang memiliki aktivitas anti α-amilase pada manusia dan terdapat paling banyak pada white kidney bean adalah isoform α-AI1 (Iguti dan Lajolo 1991 diacu dalam Obiro et al. 2008). Senyawa ini dikenal luas sebagai phaseolamin. Pada tanaman Phaseolus vulgaris, phaseolamin hanya ditemukan di bagian biji dan terkonsentrasi pada aksis. Jumlahnya di dalam aksis tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlahnya di dalam kotiledon biji (Moreno 1990 diacu dalam Obiro et al. 2008). Menurut Moreno dan Chrispeels (1989) diacu dalam Obiro et al. (2008), phaseolamin terakumulasi dalam biji white kidney bean sejumlah 9-11% dari protein biji. Persentase ini dapat menggambarkan rendemen phaseolamin yang dihasilkan dari ekstraksi white kidney bean, meskipun metode ekstraksi juga menentukan jumlah rendemen yang dihasilkan. Selain itu, jumlah phaseolamin yang didapatkan dari white kidney bean yang sudah dikeringkan juga berkurang, sehingga phaseolamin lebih baik diekstrak dari white kidney bean yang tidak mengalami perlakuan pengeringan (Moreno 1990 diacu dalam Obiro et al. 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Marshall dan Lauda (1975) dan Lee et al. (2002), phaseolamin didapatkan dari proses purifikasi ekstrak white kidney bean (Phaseolus vulgaris) varietas Great Northern. Proses purifikasi tersebut mencakup lima tahap, yaitu ektraksi kasar, pemanasan, dialysis, kromatografi DEAE-cellulose, kromatografi Sephadex G-100, dan kromatografi CM-cellulose. Phaseolamin merupakan senyawa glikoprotein dengan berat molekul sebesar 56,7 kDa (Lee dan Whitaker 2000 diacu dalam Obiro et al. 2008). Phaseolamin juga cenderung tidak larut dalam etanol 70% dan aktivitas penghambatannya terhadap enzim α-amilase hilang setelah dipanaskan pada suhu 100oC. Phaseolamin dengan konsentrasi sebesar 1,08 mg/ml tidak memiliki kemampuan untuk menggumpalkan sel darah merah manusia, meskipun ekstrak kasar white kidney bean dengan konsentrasi sebesar 0,02 mg/ml, dalam kondisi yang sama, dapat menggumpalkan sel darah merah manusia (Marshall dan Lauda 1975). Phaseolamin mengandung kurang lebih 10% karbohidrat (Marshall dan Lauda 1975). Namun, menurut Sawada et al. (2002) diacu dalam Obiro et al. (2008), kompleks N-glikosilasi pada phaseolamin tidak memiliki efek terhadap aktivitas penghambatannya karena kompleks tersebut berada pada posisi yang tidak berinteraksi dengan enzim α-amilase saat pembentukan kompleks enzim-inhibitor. Selain itu, Gibbs dan Alli (1998) diacu dalam Obiro et al. (2008) juga menyatakan bahwa penghilangan gugus karbohidrat pada phaseolamin tidak memberi pengaruh 8
terhadap aktivitas penghambatannya. Gambar 4 menunjukkan struktur phaseolamin yang ditumpuk dengan struktur Lathyrus ochrus Isolektin I (LoLI) untuk membandingkan kedua struktur. Ion logam dan rantai samping asam amino yang terlibat dalam pengikatan karbohidrat oleh lektin berwarna kuning, sedangkan residu yang berinteraksi dengan sisi aktif enzim α-amilase berwarna hijau. Lokasi ketiga gugus N-glikosilasi ditunjukkan dengan warna ungu.
Gambar 4. Struktur rantai karbon α unit monomer α-AI1 (merah) dan LoLI (biru) (Bompard-Gilles et al. 1996) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan phaseolamin terhadap enzim α-amilase bergantung pada pH, suhu, waktu inkubasi, dan adanya ion-ion pada saat interaksi antara enzim dan inhibitor berlangsung (Obiro 2008). Nilai pH optimum penghambatan adalah 4,5 (Le Berre-Anton et al. 1997 diacu dalam Obiro et al. 2008), 5,5 (Marshall dan Lauda 1975), dan 5,0 (Kotaru et al. 1987 diacu dalam Obiro et al.2008). Suhu optimum penghambatan adalah 37oC. Waktu inkubasi yang dibutuhkan untuk mencapai penghambatan optimum tergantung pada pH yang digunakan. Le Berre-Anton et al. (1997) diacu dalam Obiro et al. (2008) menyatakan bahwa waktu inkubasi optimum adalah 10 menit pada nilai pH optimum untuk penghambatan, yaitu 4,5. Sementara itu, Marshall dan Lauda (1975) menyatakan bahwa waktu inkubasi optimum adalah 20 menit pada nilai pH optimum aktivitas α-amilase, yaitu 6,9. Waktu inkubasi yang lebih lama pada nilai pH 6,9 menunjukkan bahwa inhibitor harus dikonsumsi sebelum atau dengan makanan untuk mencapai kondisi penghambatan secara in vivo (Obiro 2008). Beberapa jenis ion mempengaruhi aktivitas penghambatan. Lajolo dan Filho (1985) diacu dalam Obiro et al. (2008) menyatakan nahwa peningkatan aktivitas penghambatan phaseolamin terhadap amilase saliva dipengaruhi oleh keberadaain ion-ion dengan urutan sebagai berikut: nitrat > klorida > bromida > iodida > tiosianat. Gibbs dan Alli (1998) diacu dalam Obiro et al. (2008) menyatakan bahwa ion klorida penting untuk mencapai penghambatan maksimum dan ion kalsium meningkatakan laju inisial pengikatan inhibitor terhdapa amilase. Mereka juga menyatakan bahwa ion-ion K, Mg, sulfat, dan Na tidak berpengaruh dalam aktivitas penghambatan dan begitu pula peningkatan kekuatan ionik. Phaseolamin hanya memiliki aktivitas penghambatan spesifik terhadap enzim α-amilase yang berasal dari saliva manusia, pankreas manusia, dan pankreas babi. Aktivitas enzim α-amilase yang berasal dari tanaman dan mikroorganisme tidak dipengaruhi oleh phaseolamin. Tabel 1 9
menunjukkan aktivitas penghambatan phaseolamin terhadap enzim α-amilase yang berasal dari berbagai sumber. Adanya sedikit efek penghambatan terhadap enzim α-amilase yang berasal dari Bacillus amyloliquefaciens dapat disebabkan oleh sisa-sisa enzim proteolitik saat menyiapkan enzim bakteri tersebut (Marshall dan Lauda, 1975). Tabel 1. Aktivitas penghambatan phaseolamin terhadap α-amilase dari berbagai sumber (Marshall dan Lauda, 1975) Sumber α-amilase Aktivitas Penghambatan* (%) Bacillus amyloliquefaciens
3
Bacillus subtilis
0
Bacillus licheniformis
0
Aspergillus oryzae
3
Barley malt
0
Rye
0
Helix pomatia
97
Pankreas babi
97
Saliva manusia
94
Pankreas manusia
100
*Perbandingan dengan aktivitas enzim α-amilase kontrol tanpa inhibitor
Penelitian tentang mekanisme penghambatan phaseolamin terhadap enzim α-amilase menunjukkan bahwa senyawa inhibitor secara efektif menghambat penyerapan karbohidrat dengan mencegah akses substrat terhadap bagian aktif enzim (Obiro et al. 2008). Kompleks inhibitorenzim sebagian besar terbentuk oleh ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan ikatan antar protein (Bompard-Gilles et al. 1996 diacu dalam Obiro et al. 2008). Menurut Obiro et al. (2008), berdasarkan beberapa penelitian terkini, phaseolamin dapat diaplikasikan sebagai inhibitor enzim α-amilase secara in vivo. Beberapa efek fungsional yang diberikan oleh phaseolamin terhadap manusia, antara lain menurunkan berat badan dan mengecilkan lingkar pinggang (Wu 2010), menurunkan massa lemak dalam tubuh (Celleno et al. 2007), dan menurunkan kadar insulin dalam plasma darah sehingga memiliki aktivitas antidiabetes (Boivin et al. 1987 diacu dalam Obiro et al. 2008; Udani et al. 2004). Beberapa studi telah dilakukan terkait toksisitas phaseolamin baik secara akut maupun kronis. Toksisitas akut merupakan respon toksisitas yang langsung muncul setelah dikonsumsi dan diinduksi dalam sekali pemaparan. Toksisitas akut diukur berdasarkan nilai dosis letal (LD 50), yaitu jumlah dosis yang menyebabkan kematian subjek uji sebesar 50% dari populasi setelah satu kali mengonsumsi senyawa tersebut (Pariza 1996 dalam Obiro et al. 2008). Menurut Harikumar et al. 2005 diacu dalam Obiro et al. 2008), tidak ada toksisitas akut yang teramati secara evaluasi klinis, biokimia dan histopatologikal analisis pada level sekali konsumsi phaseolamin. Pengukuran toksisitas kronis membutuhkan waktu studi yang lebih lama, umumnya 20-24 bulan, dengan pemberian phaseolamin kepada tikus percobaan secara kontinu. Dosis toleransi maksimum adalah level dimana sampel dapat diberikan kepada binatang tanpa memicu tandatanda toksisitas yang terlihat jelas (Pariza 1996 diacu dalam Obiro et al. 2008). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa phaseolamin yang memiliki aktivitas sebesar 3000 unit α-amilase inhibitor/g, < 3400 unit hemaglutinasi/g dan < 40 unit tripsin inhibitor aman dikonsumsi pada level 10
subkronis 85 mg/kg berat badan per hari atau 6,0 g untuk individu dengan berat badan sebesar 70 kg (Obiro et al. 2008). Enzim α-amilase (EC 3.2.1.1) merupakan enzim yang dapat memecah ikatan α-1,4glikosidik pada pati dan menghasilkan glukosa, maltosa, atau dekstrin, serta glukoamilase. Aktivitas enzim α-amilase umumnya dapat diukur dengan dua cara yaitu dengan mengukur sisa pati yang tidak terhidrolisis oleh enzim α-amilase atau jumlah gula pereduksi yang dihasilkan oleh hidrolisis enzim α-amilase terhadap pati. Kedua cara tersebut dapat digunakan dalam mengukur penghambatan phaseolamin terhadap aktivitas enzim α-amilase (Fossum dan Whitaker 1974). Metode yang digunakan Fuwa (1954), Marshall dan Lauda (1975), dan Xiao et al. (2006) dalam mengukur aktivitas enzim α-amilase adalah dengan mengukur warna kompleks iodin dengan pati. Semakin besar aktivitas penghambatan phaseolamin, maka jumlah pati yang terhidrolisis semakin sedikit sehingga komplek iodin dengan pati yang terbentuk semakin banyak dan menghasilkan warna biru. Warna kompleks tersebut dapat dikuantifikasi dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer. Metode lain yang dapat digunakan adalah pengukuran gula pereduksi yang terbentuk akibat hidrolisis pati oleh enzim α-amilase. Terdapat dua pereaksi yang umum digunakan dalam pengukuran gula pereduksi, yaitu reagen DNS (Fossum dan Whitaker 1974, Lee et al. 2002, dan Xiao et al. 2006) dan alkaline copper (Fuwa 1954, Green III et al. 1989, dan Roychan dan Chaudari 2001). Kedua pereaksi ini dapat bereaksi dengan gula pereduksi yang terbentuk dan menghasilkan komples warna yang juga dapat dikuantifikasi dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer. Adanya penghambatan aktivitas enzim α-amilase oleh phaseolamin dapat diamati oleh perbedaan nilai absorbansi yang dihasilkan. Di antara ketiga metode tersebut, metode yang paling sering digunakan dalam pengukuran aktivitas penghambatan phaseolamin terhadap enzim α-amilase adalah mengukur gula pereduksi yang terbentuk dengan reagen DNS. Penghambatan aktivitas enzim α-amilase oleh phaseolamin dapat diukur dengan menginkubasikan terlebih dahulu enzim dan inhibitor tersebut. Konsentrasi inhibitor dan waktu preinkubasi yang digunakan dalam metode pengukuran yang dilakukan oleh Fossum dan Whitaker (1974), Lee et al. (2002), dan Xiao et al. (2006) berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan untuk menentukan konsentrasi inhibitor dan waktu preinkubasi yang optimum dalam metode yang dikembangkan. Preinkubasi dilakukan pada pH 6.9 karena nilai pH tersebut sesuai dengan nilai pH cairan tubuh saat mengonsumsi phaseolamin meskipun bukan merupakan pH optimum untuk penghambatan.
C. Validasi Metode Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita 2004). Validasi metode meliputi penentuan parameter statistik suatu metode untuk menentukan kecocokan penggunaan metode tersebut untuk tujuan tertentu. Sebagian besar metode divalidasi sesuai dengan konsensus standar organisasi. Menurut International Conference on Harmonisation (1995), terdapat sepuluh parameter yang dapat digunakan dalam menentukan validitas suatu metode, yaitu kecermatan, keseksamaan, spesifitas, batas deteksi, batas kuantitasi, linearitas, jangkauan, ketangguhan, kekuatan, dan sensitivitas.
11
1. Kecermatan Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya (Harmita 2004). Kecermatan suatu metode bergantung pada sebaran galat sistematik di dalam tahapan metode tersebut. Oleh karena itu, galat sistematik harus dikurangi untuk mendapatkan metode dengan kecermatan yang tinggi. Beberapa cara untuk mengurangi galat sistematik, antara lain menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut standar, dan pelaksanaannya yang cermat sesuai prosedur. Kecermatan dapat ditentukan dengan berbagai cara, seperti melakukan percobaan recovery, prosedur kalibrasi adisi standar, menguji materi standar, dan sebagainya. Selain itu, dapat juga dilakukan perbandingan hasil percobaan metode yang akan divalidasi dengan hasil yang didapatkan dari metode tervalidasi yang sudah ada (Crowther et al. 2000). 2. Keseksamaan Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan antara beberapa seri pengukuran dari beberapa kali pengambilan sampel homogen dalam kondisi pengukuran yang sama (Crowther et al. 2000). Keseksamaan dapat dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu keterulangan (repeatability), keseksamaan intermediat (intermediate precision), dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan menunjukkan keseksamaan yang didapatkan dalam kondisi percobaan yang sama dengan interval waktu yang singkat. Keseksamaan intermediat menunjukkan keseksamaan yang didapatkan dalam variasi laboratorium, seperti perbedaan hari, analis, alat, dan sebagainya. Sementara itu, ketertiruan menunjukkan keseksamaan antar laboratorium. Keseksamaan suatu analit bergantung pada analis, kondisi laboratorium, konsentrasi analit, jenis dan sifat kontaminan, batas deteksi, dan stabiitas analit (Garfield et al. 2000). Menurut Horwitz (1979) diacu dalam Garfield et al. (2000), semakin rendah konsentrasi suatu analit, maka semakin besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap ketertiruan suatu metode. Setiap penurunan konsentrasi analit sebanyak 10%, maka koefisien variasi akan bertambah sebanyak dua kali lipatnya. Hubungan ini tidak dipengarui oeh jenis analit, matriks, metode analisi, dan teknik pengukuran (Horwitz 1979 diacu dalam Garfield et al. 2000). 3. Batas deteksi dan batas kuantitasi Batas deteksi suatu prosedur analisis adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang dapat dideteksi tetapi tidak dapat dikuantitasi sebagai nilai tertentu. Batas kuantitasi adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang dapat dikuantitasi dengan kecermatan dan keseksamaan yang sesuai. Penentuan batas deteksi dan batas kuantitasi bergantung pada ada atau tidaknya penggunaan instrumen dalam metode yang akan divalidasi. Metode yang menggunakan instrumen tertentu dapat ditentukan batas deteksi dan batas kuantitasinya dengan cara melakukan analisis blanko berulang. Sementara itu, batas deteksi dan batas kuantitasi metode tanpa instrumen dapat ditentukan dengan cara mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat (Harmita 2004).
12
4. Spesifitas, linearitas, dan jangkauan Selektivitas atau spesifisitas adalah kemampuan metode dalam mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Selektivitas metode ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya atau pembawa plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tersebut. Linieritas adalah kemampuan metode analisis dalam menghasilkan respon yang mmiliki hubungan proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel (Crowther et al. 2000). Sementara itu, jangkauan suatu prosedur analisis adalah rentang antara konsentrasi terendah dan konsentrasi tertinggi analit dalam sampel yang memiliki kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang diinginkan. 5. Ketangguhan, kekuatan, dan sensitivitas Ketangguhan (ruggedness) suatu metode adalah derajat ketertiruan hasil uji yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, analisis, instrumen, bahan pereaksi, suhu, hari yang berbeda, dan sebagainya. Ketangguhan umumnya dinyatakan sebagai tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Ketangguhan metode merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara lab dan antar analis (Harmita 2004). Kekuatan (robustness) adalah ukuran kapasitas suatu metode untuk tetap tidak dipengaruhi oleh variasi kecil pada parameter metode serta menunjukkan indikasi bahwa metode yang digunakan dapat dipercaya pada kondisi normal (Crowther et al. 2000). Sementara itu, sensitivitas adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur suatu analit secara akurat dengan adanya interferensi yang terdapat dalam matriks sampel.
13