III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 BAWANG PUTIH 3.1.1 Riwayat Tanaman bawang putih diduga berasal dari Cina, kemudian menyebar ke daerah laut tengah, dan beberapa negara di dunia. Budidaya bawang putih telah ada sejak abad ke 16, dan kini sentra primer tanaman ini adalah Cina, India, Asia Tengah, Mediterania, Meksiko Selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Tanaman bawang putih diduga masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke 19, bersamaan dengan arus lalu lintas perdagangan antar negara, terutama pedagang Cina dan India (Winarno dan Koswara 2002). Sekitar pertengahan abad ke-17, tepatnya tahun 1665, wabah sampar (pes) melanda Inggris dengan hebatnya. Ribuan penduduk meninggal dan ribuan lagi terpaksa mendapat perawatan intensif. Wabah ini telah menjalar ke seluruh pelosok daratan Eropa dan menjadi momok yang mengerikan waktu itu. Bahkan, wabah ini telah menyebar sampai daratan Amerika. Di tengah-tengah kekalutan itu terjadi keanehan di sebuah rumah di daerah Chester, Inggris. Seluruh penghuni rumah itu selamat dari wabah. Selidik punya selidik, ternyata di dalam rumah itu tersimpan sejumlah besar bawang putih. Konon, menurut catatan sejarah, bawang putih inilah sang penyelamatnya (Wibowo 2007). Pada masa-masa berkecamuknya perang, bawang putih pun tidak ketinggalan. Dalam perang dunia I, bawang putih mempunyai peranan besar dalam pengobatan bagi prajurit yang terluka di medan perang. Peranan bawang putih ini terulang lagi dalam perang dunia II. Pada waktu itu, bagian pelayanan kesehatan telah mencatat bahwa beribu-ribu ton bawang putih digunakan selama berkecamuknya perang tersebut (Wibowo 2007). Bagi bangsa Roma, bawang putih bahkan dianggap sebagai sumber kekuatan. Tentara Roma yang terkenal gagah perkasa di medan pertempuran ternyata tidak dapat berpisah dengan bawang putih. Seperti ketagihan, mereka selalu ingin memakan bawang putih dalam jumlah banyak. Konon, ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan keberanian dan semangatnya. Discorides, ketua tim dokter yang bertugas pada balatentara Roma sekitar abad II, selalu memberikan resep bawang putih kepada para pasukannya untuk mengatasi keluhan sakit paru-paru, mulas, gangguan pencernaan, dan sebagainya (Wibowo 2007). Bawang putih atau garlic merupakan anggota bawang-bawangan yang mungkin paling populer. Bawang yang mempunyai nama ilmiah Allium sativum L. ini merupakan keturunan bawang liar Allium longicurpis Regel, yang tumbuh di Asia Tengah yang beriklim subtropis. Setelah dibudidayakan (sativum berarti dibudidayakan), bawang putih menyebar ke daerah-daerah di Laut Tengah dan akhirnya menyebar di Indonesia (Winarno dan Koswara 2002). Secara taksonomi, klasifikasi tanaman bawang putih adalah sebagai berikut : divisio : Spermatophyta
sub divisio : Angiospermae klas : Monocotyledone ordo : Lili familia : Liliaceae genus : Allium spesies : Allium sativum Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia. Bawang putih mempunyai nilai komersial yang tinggi dan tersebar di seluruh dunia. Oleh karena itu tidak heran jika bawang putih memiliki banyak nama. Di Indonesia bawang putih punya banyak nama panggilan, yaitu lasuna moputi (Manado), pia moputi (Gorontalo), lasuna kebo (Makasar), bawang bodas (Priangan), kosai botil (Pulau Buru), dan bawa de are (Halmahera). Sementara itu, di Negara-negara seberang mempunyai nama panggilan lain. Orang-orang Inggris menyebut garlic, orang Arab menamainya thoam, dan di Jerman disebut knoflook (Wibowo 2007). Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992 tentang Standar Bawang Putih, deskripsi bawang putih adalah umbi tanaman bawang putih (Allium sativum L.) yang terdiri atas siung-siung bernas, kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih, dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia, dimana air adalah komponen dengan jumlah terbesar (Winarno dan Koswara 2002).
3.1.2 Botani Tanaman bawang putih merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 30-60 cm dan membentuk rumpun. Sebagaimana warga kelompok Monokotiledon, sistem perakarannya tidak memiliki akar tunggang. Akarnya berupa akar serabut yang tidak panjang, tidak terlalu dalam berada di dalam tanah. Dengan perakaran yang demikian, bawang putih tidak tahan terhadap kekeringan. Kebutuhan air untuk pertumbuhannya cukup banyak, terutama pada waktu proses pembesaran umbi (Wibowo 2007). Tanaman bawang putih memiliki daun yang panjang, pipih, dan agak melipat ke dalam dengan arah membujur. Banyaknya daun 7-10 helai per tanaman. Kelopak-kelopak daunnya meskipun tipis tetapi kuat dan membungkus kelopak-kelopak daun di dalamnya yang lebih muda sehingga membentuk batang semu (Winarno dan Koswara 2002). Di bagian bawah tanaman terdapat umbi-umbi yang terbungkus oleh kelopakkelopak daun yang tipis dan kering membentuk umbi-umbi kecil. Umbi-umbi kecil ini terbalut oleh kelopak daun yang mengering. Bagian dasar atau pangkal umbi berbentuk cakram yang sebenarnya merupakan batang pokok tidak sempurna (rudimenter). Dari batang ini muncul akar-akar serabut yang tumbuh mendatar. Akar serabut tersebut merupakan akar penghisap makanan semata dan bukan pencari air dalam tanah. Umbi bawang putih dan bagian-bagiannya dapat dilihat pada Gambar 1 (Wibowo 2007). Tanaman bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 700 – 1000 meter di atas permukaan laut. Suhu lingkungan yang paling sesuai adalah 15 - 25°C, namun tanaman ini masih dapat tumbuh pada suhu 27 – 30°C (Winarno dan Koswara 2002).
Gambar 1. Umbi bawang putih dan bagian-bagiannya (Wibowo 2007) Keterangan Gambar : A. Umbi bawang putih B. Umbi bawang putih dipotong melintang C. Siung bawang putih dibelah membujur memperlihatkan bagian di dalamnya 1. Pusta tajuk yang dibungkus daun-daun bawang putih membentuk batang semu 2. Pangkal daun (pelepah) yang mongering, tipis dan kuat membungkus siung-siung menjadi satu membentuk umbi besar 3. Daun dewasa pada siung yang paling luar membungkus daun menebal (siung), berfungsi sebagai pelindung siung 4. Daun dewasa menebal disebut siung 5. Batang pokok yang rudimenter berbentuk seperti cakram, sering disebut “cakram” 6. Akar serabut tidak panjang, tidak terlalu dalam tertanam dalam tanah 7. Lubang kecil silindris dalam tunas yang berisi tunas vegetatif 8. Siung kedua yang tumbuh menempel di bagian luar umbi tetapi masih terbungkus satu menjadi umbi 9. Tunas vegetatif dalam siung yang akan menjaid calon tanaman baru 10. Ujung siung yang sering mongering dan mempersulit keluarnya tunas vegetatif 11. Tunas vegetatif yang muncul dari umbi samping 12. Umbi samping Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan bawang putih adalah sekitar 100-200 mm/bulan. Sering hujan pada malam hari akan menimbulkan penyakit tepung embun. Menjelang panen bawang putih tidak menginginkan turunnya hujan karena akan berpengaruh pada produksi umbi (Wibowo 2007).
Kelembapan yang disukai bawang putih adalah sekitar 60-70%. Kalau terlalu tinggi akan sangat tidak menguntungkan, yaitu mudah terserang penyakit oleh jamur Upas dan Alternaria, serta cendawan-cendawan lainnya. Oleh karena itu, bawang putih ditanam pada musim kemarau dengan pengairan yang baik (Wibowo 2007). Keasaman tanah yang baik untuk bawang putih adalah pH 6,0-6,8. Dalam rentang yang lebih besar, bawang putih masih toleran terhadap keasaman tanah sekitar pH 5,5-7,5. Tanah dengan kadar pH asam sekitar pH 4 atau lebih rendah dapat dikurangi keasamannya dengan pengapuran. Akan tetapi, akar bawang putih sangat peka terhadap pengapuran secara langsung. Karenanya, pengapuran tanah untuk budidaya bawang putih dilakukan sebelum penanaman, yaitu sekitar satu bulan sebelumnya (Wibowo 2007). Bawang putih umumnya diusahakan di daerah dataran tinggi dengan iklim kering. Tanaman ini memiliki daun yang pipih, lurus dan padat, sedangkan umbinya terbagi menjadi bagian kecil-kecil atau dalam bentuk tunggal yang dilindungi lapisan kulit. Bawang putih dapat dipanen apabila tanda-tanda umur panen tanaman sudah terlihat yaitu bila 35-65% daunnya sudah menguning, umbi berhenti tumbuh dan menonjol di atas permukaan tanah, serta ujung umbi mulai berwarna kecoklatan. Umumnya bawang putih dipanen pada umur 105-120 hari (Purnomowati et al. 1992). Nilai gizi bawang putih bervariasi berdasarkan jenis dan bagian bawang yang dimakan. Nilai gizi bawang putih juga ditentukan oleh kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya. Komposisi zat gizi bawang putih per 100 gram bahan yang dapat dimakan tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi zat gizi bawang putih per 100 g bahan yang dapat dimakan Komponen Kandungan Energi (kkal)
122
Protein (g)
3.5-7,0
Lemak (g)
0.3
Total Karbohidrat (g)
24,0-27,4
Kalsium (mg)
26-28
Fosfat (mg)
79-109
Besi (mg)
1.4-1.5
Natrium (mg)
16-28
Kalium (mg)
346-377
Serat (g) Air (g)
0,7 60.9-67.8
Sumber : Wibowo (2007)
3.1.3 Jenis Bawang putih merupakan jenis rempah yang penting. Beberapa varietas telah dikembangkan di dataran tinggi dan dataran rendah, yaitu Lembu Putih (dataran rendah), Lembu Hijau dan Kuning (dataran sedang), serta Gombloh dan Layur (dataran tinggi). Beberapa jenis bawang putih memproduksi bunga tetapi tidak ada yang menghasilkan biji. Setiap umbi bawang putih dapat berisi 10 siung, yang terbungkus oleh membran
yang putih. Negara penghasil utama bawang putih adalah Cina, Spanyol, Mesir, Thailand, Korea, dan India (Winarno dan Koswara 2002). Sering dijumpai jenis bawang putih yang ditanam di suatu tempat berbeda dengan jenis yang ditanam di daerah lain. Sama-sama bawang putih, tetapi terdapat perbedaan sifat atau ciri-cirinya. Sama-sama bawang putih, tetapi jenisnya yang berbeda. Perbedaannya dapat dilihat dari besar tanaman, umur panen, produktivitas tanaman, ukuran umbi, jumlah dan ukuran siung, bentuk dan warna umbi, kandungan zat kimia dalam umbi, ketahanan terhadap penyakit, persyaratan pertumbuhan, dan sebagainya. Istilah bagi jenis yang berbeda sifat atau ciri-cirinya ini disebut dengan kultivar atau varietas (Wibowo 2007). Apabila pada suatu areal tanaman ditemui ada jenis baru yang berbeda, jenis tersebut disebut dengan kultivar. Namun demikian, suatu jenis bawang putih hanya dapat disebut kultivar baru, jika memiliki perbedaan sifat atau ciri-ciri dengan jenis bawang putih yang sudah ada. Bila setelah kultivar tersebut ditanam kembali dan ternyata setelah beberapa generasi masih menunjukkan sifat yang tidak berubah, dalam arti sudah mantap, maka jenis tersebut dapat disebut sebagai varietas baru. Dengan demikian antara kultivar dengan varietas ada perbedaannya. Kultivar sifat-sifatnya belum mantap, sedangkan varietas memiliki sifat yang mantap dan tidak berubah meskipun ditanam dalam beberapa generasi. Bawang putih mempunyai dua subspesies, yaitu hardneck dan softneck. Softneck lebih mudah dibudidayakan dan lebih tahan lama, sedangkan hardneck cenderung sedikit menghasilkan bunga dan umbi. Hardneck termasuk spesies Allium sativum, subspesies ophioscorodon. Hardneck umumnya digemari oleh juru masak sebab menghasilkan flavor yang khusus dan mudah dikupas umbinya. Subspesies ini tumbuh baik pada iklim dingin dan mempunyai daya simpan sedang. Mereka dicirikan oleh terbentuknya batang kayu yang kuat pada bagian tengah. Batang ini nantinya akan menghasilkan bunga. Subspesies ini biasanya mengalami musim panen yang agak lama. Bawang putih dari subspesies ini menghasilkan panas dan aroma yang kuat, memiliki pelepah pembungkus siung yang mudah dilepas, dan memiliki tangkai sentral yang tinggi. Selain itu, bawang putih yang tergolong ke dalam subspesies hardneck memiliki bunga yang steril, memiliki siung antara 4-12 buah, masa simpan yang lebih pendek dibandingkan softneck, dalam beberapa bulan penyimpanan lebih mudah mengering dan membentuk tunas (Everhart et al. 2003). Softneck juga termasuk dalam spesies Allium sativum, tetapi tergolong subspesies sativum. Bawang putih softneck dicirikan oleh adanya batang pusat yang lunak dan tidak terlihat jelas, di sekelilingnya terdapat lapisan umbi. Subspesies ini tidak bergerombol dan umbi yang dihasilkannya sangat besar. Softneck biasanya digunakan untuk pengawetan dan memiliki daya simpan mencapai lebih dari 10 bulan setelah dipanen. Subspesies ini mudah ditanam, hasilnya berlimpah dan mudah beradaptasi dengan keadaan tanah dan kondisi iklim yang bervariasi. Subspesies ini cepat dipanen dan menghasilkan panas yang lebih ringan. Bawang putih yang termasuk jenis ini diantaranya Silverskin, Ajo Rojo, Keeper, Early Italian Red, Kettle River Giant, Oregon Blue, Red Toch, Translyvanian, Susanville, Japanese, Pyong Vang, Red Janice, dan Shantung (Anonim 2008). Bahan baku bawang putih yang digunakan pada kegiatan magang ini, yaitu varietas Kating dan Shantung. Bawang putih varietas Kating termasuk ke dalam subspesies hardneck dan berasal dari Cina. Bawang putih ini dicoba di Kebun Percobaan
Cipanas, Jawa Barat, yang ketinggiannya sekitar 1100 m dpl. Namun demikian, baru dapat dipungut hasilnya pada umur enam bulan. Hasilnya pun masih terhitung rendah, sekitar 1.4 ton umbi kering per hektar. Varietas Kating yang didatangkan dari RRC belahan selatan pada garis lintang 23°LU, memang masih dapat berumbi di Indonesia. Tetapi kalau Kating dari daerah Cina Utara, pada garis lintang 40°LU, diduga sukar berumbi di Indonesia (Wibowo 2007).
3.1.4 Komponen Aktif Citarasa dan aktivitas biologi bawang ditentukan oleh jenis dan jumlah prekursor pembentuk citarasa (Eskin 1979). Prekursor pembentuk flavor pada bawang putih lebih ditentukan oleh S-2-propenil sistein sulfoksida. Eskin (1979) menggolongkan bawang berdasarkan prekursor citarasa utamanya (Tabel 2). Tabel 2. Penggolongan bawang berdasarkan prekursor citarasa utamanya Prekursor Spesies S-1-propenil-Lsistein sulfoksida
Allium cepa L.
S-2-propenil-L-sistein sulfoksida
Allium sativum L. Allium tuberosum R. Allium ursinum L. Allium alfaturense
S-metil-L-sistein sulfoksida
Allium flavum L. Allium pulchellum D. Sumber : Eskin (1979)
Substrat enzim alliinase (Ѕ-2-propenyl-L-cysteine sulphoxide) diidentifikasi sebagai prekusor utama pada bawang putih. Komponen ini dikonversi menjadi 2propenyl-2-propenethiol-sulphinate (allicin), tetapi di dalam bawang putih setidaknya masih terdapat lebih dari empat prekusor. Prekusor ini terletak pada semua bagian sitoplasma sel (Lagos et al. 1995). Citarasa dan aktivitas biologi bawang putih timbul setelah jaringan selnya terluka. Rusaknya jaringan sel bawang putih menyebabkan enzim alliinase (alliin alkylsulphinate-liase atau C-S liase; EC. 4.4.1.4) yang terdapat pada vakuola sel bawang putih menjadi aktif (Eskin 1979). Mekanisme reaksi enzim alliinase dapat dilihat pada Gambar 2.
R-SO-CH2-CH(NH2)COOH (alliin)
aliinase + H2O
S + NH3 + CH3COCOOH (volatil) (amoniak) (asam piruvat)
Gambar 2. Mekanisme reaksi enzim aliinase yang terdapat pada bawang putih (Eskin 1979)
Ketika jaringan segar pada sel bawang putih terluka, prekusor flavor bereaksi di bawah kontrol enzim alliinase (S-alk(en)yl-L- cysteine sulphoxide Lyase) untuk menghasilkan allyl sulphenic acid yang sangat reaktif, serta ammonia dan asam piruvat. Alliin atau S-allyl cysteine sulphoxide adalah komponen sulfur pertama yang diisolasi dari Allium sativum L. (bawang putih). Enzim alliinase terikat pada vakuola sel, sedangkan prekusor flavor terikat pada sitoplasma yang kehadirannya dalam sel berupa gelembunggelembung kecil yang terikat satu sama lain. Oleh karena itu, enzim hanya dapat bereaksi dengan prekusor ketika selnya dirusak. Pada bawang putih, katalisis dari alliinase membentuk allicin, yang memberikan karakteristik bau pada bawang putih (Pandey 2001). Allicin merupakan komponen utama yang memberikan bau khas pada bawang putih. Allicin dihasilkan ketika bawang putih diiris atau dihancurkan yang akan menimbulkan reaksi enzimatik yaitu enzim alliinase yang mengkonversi alliin menjadi allicin. Allicin dikenal sebagai suatu senyawa yang kuat daya anti bakterinya, kira-kira daya kerjanya sama dengan penisilin terhadap bakteri. Daya kerja allicin sebanding dengan 15 unit penisilin per miligramnya (Winarno dan Koswara 2002). Alisin bersifat sangat tidak stabil dan di udara bebas akan berubah menjadi dialil disulfida hanya dalam satu menit saja. Dialil disulfida merupakan senyawa sekunder penentu aroma bawang putih. Beberapa produk volatil lainnya dari hasil dekomposisi lanjut komponen sulfur pada bawang putih adalah dialil sulfida, dialil trisulfida, dimetil trisulfida, metil alil disulfida, 1-propenil alil disulfida, dimetil sulfida, alil metil disulfida, metil propil disulfida, dan vinildithiin (Winarno dan Koswara 2002). Degradasi enzimatik dan non-enzimatik alliin dapat dilihat pada Gambar 3. Alliinase (S-2-propenyl-L-cysteine sulfoxide) Allyl sulfenic acid + Ammonia + (Alliin) Diallyl disulfide Pyruvate acid kondensasi degradasi SO 2 Diallyl degradasi Diallyl sulfide thiosulfinate Diallyl thiosulfinate (Allicin) Penguraian kondensasi β-eliminasi β Thioacrolein + Allyl sulfenic acid Ajoene + Thioacrolein el dehidrasi & i dekomposisi 3,4-dihidro-3-vinyl-1,2-dithiin m (produk sampingan) in Allyl thiol + Allyl sulfonic acid as + 2-vinyl-(4H)-1,3-dithiin i Allicin (produk utama) transformasi 3,4-dihidro-3-vinyl-1,2-dithiin dekomposisi suhu kamar, 2 jam
Diallyl trisulfide
Diallyl sulfide (14%), Diallyl disulfide (66%), & Diallyl trisufide (9%) Gambar 3. Degradasi enzimatik dan non-enzimatik alliin (Block 1992)
3.2 METODE EKSTRAKSI Untuk mendapatkan komponen volatil dari suatu bahan pangan, maka diperlukan suatu metode ekstraksi yang dapat memisahkan antara komponen volatil yang akan dianalisis dengan komponen-komponen non-volatil lainnya, seperti protein, karbohidrat, air, lemak, mineral, vitamin, dan lain-lainnya dari suatu bahan pangan (Reineccius 1993). Heath dan Reinneccius (1986), menyatakan bahwa dalam mengekstrak/mengisolasi komponen-komponen volatil dari suatu bahan pangan diperlukan suatu tahapan perlakuan terhadap bahan pangan tersebut sehingga komponen interest yang akan dianalisis dapat terekstrak dengan baik dan efisien. Adapun tahapan proses ekstraksi tersebut meliputi: 1. Perlakuan awal terhadap bahan pangan yang akan dianalisis, dengan cara pemotongan, penggilingan, penghalusan, pencacahan, atau sentrifugasi. Hal ini bertujuan agar pelarut organik yang digunakan untuk mengekstraksi komponen volatil dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bahan tersebut. 2. Kontak bahan dengan pelarut. Pada tahap ini diharapkan pelarut dapat menangkap komponen-komponen volatil yang terdapat di dalam bahan, dengan demikian proses pencampuran bahan dengan pelarut harus dilakukan secara efisien dan optimal, misalnya dengan pengadukan (stirer), pemanasan, atau vorteks. 3. Pemisahan hasil ekstrak dari bahan yang dianalisis. Proses pemisahan bahan dengan pelarut harus dilakukan dengan teliti, sehingga residu-residu yang dapat mengganggu (seperti serat, biji, kotoran) proses analisis selanjutnya dapat dihilangkan. 4. Penguapan pelarut dan pemekatan. Penguapan pelarut bertujuan agar konsentrasi komponen flavor yang telah diperoleh menjadi lebih pekat sehingga intensitas baunya menjadi meningkat. Proses penguapan pelarut dilakukan pada suhu rendah (titik didih pelarut) untuk menghindari kerusakan atau kehilangan komponen flavor. Heath (1981) menyatakan bahwa komponen flavor yang diekstrak dari suatu bahan pangan dapat mengalami kerusakan (off-flavor) ataupun hilang sebagian karena proses degradasi termal yang terlalu berlebihan sehingga akan menimbulkan aroma yang menyimpang ataupun berkurang aroma aslinya. Ria (1989) melaporkan semakin halus ukuran partikel bahan, semakin banyak jumlah komponen yang diekstrak. Ekstraksi komponen bawang putih dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode. Berdasarkan bentuknya, hasil ekstraksi dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk ekstrak dan distilat. Block (1992) menerangkan bahwa kehilangan komponen volatil pada bentuk ekstrak lebih kecil, tetapi di dalamnya terlarut berbagai macam senyawa organik seperti karbohidrat, lemak, pigmen dan komponen lainnya, dan hasil ekstrak dalam bentuk distilat lebih jernih. Beberapa metode ekstraksi komponen flavor yang sering/umum digunakan adalah ekstraksi dengan pelarut organik, distilasi vakum, Likens-Nickerson (Simultaneous Distilation and Extraction), serta metode dynamic headspace maupun static headspace (Larsen dan Poll 1990). Schay (1975) menyarankan agar dilakukan pemilihan metode dan prosedur ekstraksi dengan tepat karena sangat penting dan menentukan hasil ekstraksi flavor, sehingga didapatkan flavor yang menyerupai/identik dengan flavor aslinya, sebab tidak semua metode ekstraksi cocok untuk mengekstrak komponen flavor dari suatu bahan pangan. Yu et al. (1989) menerangkan bahwa dengan menggunakan metode distilasi Likens-Nickerson dapat mengekstrak komponen volatil aktif bawang putih lebih banyak (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan beberapa komponen volatil aktif bawang putih yang dapat terekstrak dengan berbagai metode ekstraksi Konsentrasi (x 10-6 g/g umbi bawang putih) Komponen Distilasi air Distilasi L-N Distilasi uap Dialil sulfida
29.60
30.86
49.39
Dialil disulfida
548.11
537.18
530.44
Dialil trisulfida
1010.83
1060.89
1024.90
Total volatil
2065.25
2331.42
2076.57
Sumber : Yu et al. (1989)
3.2.1 Maserasi (Perendaman) Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik merupakan metode yang cukup sederhana di antara metode ekstraksi lainnya, akan tetapi untuk beberapa bahan pangan seperti buah-buahan, metode ini cukup efisien karena dapat mengekstrak komponen flavor buah-buahan yang sebagian besar komponennya merupakan komponen yang sensitif terhadap pengaruh suhu tinggi. Tahapan dari proses ekstraksi ini meliputi persiapan bahan mentah, pencampuran dengan pelarut, pemisahan bahan terlarut dari residunya, serta penguapan dan pemekatan pelarut. Heath (1981), membagi metode ekstraksi dengan pelarut menjadi tiga, yaitu maserasi, digestion, dan perkolasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan penghancuran sampel terlebih dahulu, kemudian dicampur dan direndam dengan pelarut beberapa jam pada suhu dingin sambil dilakukan pengadukan agar pencampurannya merata. Setelah komponen volatil tercampur dengan pelarut, dilakukan pemisahan antara pelarut dan bahan dengan cara penyaringan. Digestion merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan pemanasan pada suhu sekitar 60ºC, lamanya proses ekstraksi berlangsung sekitar 24 jam. Perkolasi merupakan proses ekstraksi dengan mengalirkan pelarut terhadap bahan yang diekstrak secara kontinyu dan dilakukan dengan menggunakan pemanasan maupun tanpa pemanasan. Cronin (1982) menyatakan bahwa penggunaan pelarut untuk mengekstrak komponen flavor harus mempunyai titik didih rendah sebab penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dapat dengan mudah dilakukan dan tidak merusak komponen flavor yang terekstrak. Selain itu, Larsen dan Poll (1990) menyarankan agar pada perbandingan antara pelarut dan bahan yaitu 1 : 1 (w/v) sehingga hasil ekstraksi tidak membentuk gel dan cukup efisien dalam mengekstrak komponen volatil. Pelarut organik yang digunakan untuk mengekstrak komponen flavor terbagi menjadi dua, yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Heath (1981) menyatakan bahwa pada pelarut polar terdapat gugus karbonil atau hidroksi yang cukup reaktif dan mempunyai konstanta dielektrik yang lebih rendah serta tidak larut dalam air. Dalam memilih pelarut yang akan digunakan untuk ekstraksi perlu dipertimbangkan beberapa hal, seperti sifat bahan yang akan diekstrak, tingkat oksidasi pembentukan artefak, mudah tidaknya terbakar, dan tingkat toksisitasnya. Beberapa pelarut organik beserta titik didihnya, yang dapat digunakan dalam mengekstraksi komponen flavor tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar pelarut organik untuk ekstraksi flavor dan titik didihnya Titik didih Titik didih Pelarut Pelarut (ºC) (ºC) Metil klorida
-24
Etil klorida
12.5 30-70
Isopentana
27-31
Petroleum eter
Dietil eter : Pentana (2:1)
33.5
Dietil eter
35
Pentana
36
Dikloromentana
Aseton
58
Kloroform
61
Tetrahidrofuran
66
Heksana
69
Etil asetat
77
Karbon tetraklorida
Etanol
77.5
Benzena
80
81
Nitrometana
98
Heptana
98.5
Metil glikol
124.5
Etilen glikol
135
n-amil asetat
138
Isoamil asetat
142.5
Sikloheksanol
160
Propilen glikol
188
Gliserol
290
Sikloheksana
78.5
40.5
Sumber : Heath (1981)
3.2.2 Likens-Nickerson Likens dan Nikerson pada tahun 1964, telah melakukan modifikasi alat ekstraksi komponen flavor yang bertujuan meningkatkan efisiensi metode ekstraksinya, dengan mengkombinasikan metode distilasi dan ekstraksi dengan pelarut dalam suatu rangkaian alat yang prosesnya berjalan secara simultan. Satu labu diisi dengan bahan yang telah dicampur dengan air dan salah satu labu lainnya berisi pelarut organik. Masing-masing labu dipanaskan sesuai dengan kondisi titik didihnya dan uapnya bertemu pada bagian tengah alat Likens-Nickerson. Metode ekstraksi ini tidak cocok digunakan untuk mengekstrak komponen-komponen volatil yang tidak tahan panas tinggi (termolabil) sehingga dapat menyebabkan kerusakan ataupun kehilangan komponen flavor (off-flavor) bahkan dapat saja terjadi kemungkinan terbentuk komponen volatil baru hasil dari reaksi senyawa-senyawa kimia yang disebabkan oleh degradasi suhu.
3.3 FRAKSINASI Fraksinasi merupakan proses pemisahan komponen berdasarkan perbedaan sifat tertentu dari suatu komponen penyusun senyawa atau campuran. Fraksinasi biasanya didasarkan oleh perbedaan ukuran partikel, kepolaran, berat molekul, titik didih, dan perbedaan muatan listrik atau medan magnet. Menurut Morris dan Morris (1976), metode pemisahan yang paling sederhana adalah filtrasi atau penyaringan. Menurut Morris dan Morris (1976), metode alir dapat digunakan untuk memisahkan dan mengetahui kandungan molekul-molekul organik. Efisiensi pemisahan metode alir tergantung pada gaya yang menghambat dan mendorong, serta sifat zat yang akan dipisahkan. Morris dan Morris (1976) mengklasifikasikan metode pemisahan kromatografi berdasarkan
gaya-gaya antar fase yang bekerja, yaitu berdasarkan penyerapan (adsorpsi), pertukaran ion, partisi, dan penyaringan (Tabel 5). Tabel 5. Klasifikasi metode pemisahan Gaya Gaya Metode pendorong penghambat pemisahan (F1) (F2)
Gaya penentu pemisahan
Jenis pemisahan
Kromatografi a. adsorpsi
Hidrodinamik
Energi
F2
Polar
F2
Ionik, dimensi
permukaan Gaya Van der Walls b. penukaran,
Hidrodinamik
Elektrostatik
pengeluaran
Polarisabilitas
ion
Penyaring
molekuler
molekul c. partisi
Hidrodinamik
Difusi, interaksi
F2
Polar
F2
Dimensi
dipole, pengaruh asosiasi dan disosiasi d. penyaring
Hidrodinamik
Osmotik
molekuler e. elektroforesis
Gravitasi
Friksi molekuler
F1
Ionik
Elektrokinetik Elektrostatik Sumber : Morris dan Morris (1976)
Metode pemisahan dengan kromatografi dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas, HPLC, dan kromatografi gas. Kromatografi gas mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode kromatografi lainnya, yaitu dapat memisahkan komponen dalam waktu lebih singkat, daya pemisahan yang lebih tinggi, dapat menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif komponen, dan mempunyai kepekaan analisis yang paling tinggi (McNair dan Bonelli 1988). Teranishi et al. (1971) menyatakan bahwa pemisahan komponen dengan kromatografi gas lebih sempurna dengan menggunakan kolom kapiler dan suhu yang terprogram. Analisis yang dapat dilakukan dengan metode kromatografi gas adalah analisis kualitatif dan kuantitatif (McNair dan Bonelli 1988, Fardiaz 1989). Analisis kualitatif digunakan untuk menentukan ada tidaknya suatu komponen, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk
menghitung jumlah atau besarnya suatu komponen yang terkandung di dalam suatu senyawa atau bahan tertentu.
3.3.1 Analisis Kualitatif Fardiaz (1989) dan McNair dan Bonelli (1988) menyatakan bahwa analisis kualitatif yang paling sederhana ditentukan berdasarkan data waktu retensi atau volume retensi, yaitu dengan membandingkan data waktu retensi komponen contoh dengan data waktu retensi standar.
3.3.2 Analisis Kuantitatif Prinsip analisis kuantitatif adalah besarnya puncak kromatogram berbanding lurus dengan jumlah yang terdapat dalam suatu cuplikan yang diinjeksikan (Fardiaz 1989). Analisis kuantitatif dapat ditentukan berdasarkan tinggi puncak, kalibrasi mutlak, dan dengan cara standar internal (McNair dan Bonelli 1988). Fardiaz (1989) menyatakan bahwa pengukuran tinggi puncak merupakan analisis kuantitatif yang paling sederhana, tetapi relatif paling lemah sebagai dasar perhitungan kuantitatif karena tergantung pada kondisi operasional, reproduksibilitas penyuntikan, dan banyaknya contoh yang diinjeksikan. Analisis kuantitatif yang dihitung berdasarkan luas puncak harus dikoreksi dengan faktor koreksi dari tanggapan detektor terhadap setiap komponen yang dianalisis (McNair dan Bonelli 1988, Fardiaz 1989). Kalibrasi mutlak merupakan analisis kuantitatif dengan menggunakan kurva standar komponen murni, analisis ini membutuhkan banyak komponen standar, tanggapan detektor cukup berpengaruh, dan cara perhitungan yang cukup rumit. McNair dan Bonelli (1988) menyatakan bahwa analisis kuantitatif yang didasarkan pada standar internal lebih sederhana. Standar internal yang digunakan mempunyai sifatsifat, yaitu terpisah dari komponen contoh, terelusi dekat dengan komponen yang dianalisis, mendekati konsentrasi yang dianalisis, dan mempunyai struktur yang mirip dengan komponen yang dianalisis. Campen, isoamil alkohol, dan benzil alkohol merupakan komponen beraroma yang dapat digunakan sebagai standar internal pada analisis komponen volatil, disebabkan ketiga komponen tersebut tidak terdapat pada bawang putih. Ceci et al. (1991) melaporkan bahwa isoamil alkohol dapat digunakan sebagai standar internal pada analisis komponen volatil bawang putih, sedangkan benzil alkohol telah digunakan pada analisis bawang merah dan bawang putih (Block 1992).
3.4 UJI SENSORI Prosedur uji sensori merupakan salah satu bagian yang penting dalam penelitian flavor. Uji sensori bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan aroma karena reaksi kimia atau proses fisik di dalam bahan selama proses ekstraksi ataupun selama penyimpanan bahan dan untuk menentukan relevansi serta korelasi antara komponen kimia dengan flavor yang dihasilkan (Acree 1993). Pada uji sensori diperlukan beberapa panelis, baik panelis terlatih (berpengalaman) maupun tidak terlatih, tergantung jenis dan tujuan uji sensori tersebut. Menurut Larmond (1975), tidak ada ketentuan yang pasti mengenai jumlah panelis yang digunakan, akan tetapi semakin
banyak jumlah panelis maka hasil uji organoleptik tersebut semakin baik pula karena variasi data antar individu semakin kecil. Akan tetapi, penggunaan panelis semi terlatih maupun panelis terlatih jauh lebih efisien, baik dari segi keakuratan data maupun waktu. Sebelum dilakukan uji sensori, para calon panelis terlatih atau semi terlatih diseleksi dan dilatih terlebih dahulu karena setiap individu berbeda sensitifitas, keinginan, serta kemampuannya sehingga akan diperoleh jumlah panelis yang sedikit tetapi dapat diandalkan (Amerine et al. 1965). Jenis uji sensori yang umumnya digunakan di dalam penelitian flavor, meliputi uji pembedaan, uji skalar maupun uji penerimaan (Soekarto 1985). Uji-uji ini berguna dalam menganalisis berbagai macam perlakuan dan modifikasi proses.
3.5 KACANG SALUT Kacang salut atau dikenal dengan istilah katom adalah kacang tanah yang dibalut dengan adonan tapioka kemudian digoreng sampai kering dan garing (Tarwiyah dan Kemal 2001). Citarasa kacang salut berasal dari bumbu-bumbu yang digunakan, antara lain bawang putih, garam, dan gula. Bumbu-bumbu tersebut dimasukkan pada saat pembuatan larutan bumbu. Larutan bumbu terdiri atas campuran air, tepung, dan bumbu-bumbu. Larutan bumbu dipanaskan sampai mengental sebelum digunakan sebagai lem perekat dalam proses penyalutan. Pada kacang salut, citarasa yang mendominasi berasal dari bawang putih. Intensitas rasa dan aroma bawang putih pada kacang salut yang diproduksi oleh PT. Garudafood tidak selalu konsisten. Oleh karena itu, bawang putih akan dianalisis komponen volatilnya secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode ekstraksi yang sesuai dan fraksinasi dengan kromatografi gas.