III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Preservasi dan Restorasi Mengacu Basuni (2009), pengertian konservasi adalah preservasi yang merupakan lawan restorasi (arti sempit), namun dalam arti luas pengertian konservasi mencakup segala aktivitas konservasi termasuk preservasi, restorasi, dan aktivitas lain yg mungkin berhubungan. Tindakan preservasi bertujuan untuk menjaga selama mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti keadaannya semula (asli,utuh) yang biasa dicapai dengan memodifikasi beberapa fitur yang semula tidak terlihat, mencakup aktivitas preservasi langsung, preservasi lingkungan, dan preservasi informasional. Tujuan konservasi adalah untuk perlindungan, pengawetan, dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam hayati secara lestari, selaras, seimbang dengan berpedoman pada asas manfaat dan kelestarian, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan untuk
kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia inter dan antar generasi (konsideran, pasal 2, dan pasal 3 UU no 41/1999; pasal 3 dan pasal 5 UU no 5 tahun 1990; dan pasal 33 UUD 1945). Aktivitas dalam bidang pengelolaaan kawasan hutan konservasi mencakup preservasi dan restorasi. Dalam praktik nyata, preservasi dan restorasi bisa merupakan dua akibat dari operasi teknis yang sama. Overlap antara hasil preservasi dan restorasi menjadi jauh lebih besar karena preservasi sering sangat tergantung pada restorasi untuk beberapa kualitas obyek yang dikonservasi (Vina 2005 dalam Basuni 2009). Dasar logika preservasi terjebak pada pandangan arkeologis, aksi-aksi perlindungan bertujuan untuk mengawetkan SDA hayati. Pemanfaatan SDA hayati untuk kebutuhan hidup manusia (ekonomis) memerlukan pemeliharaan eksistensi SDA tersebut demi keberlanjutan hidup (ekologis) dan pemanfaatannya. Tarik menarik kepentingan pengawetan dan pemanfaatan SDA ini memunculkan gerakan konservasi (Wiratno, et al., 2004). Restorasi adalah semua tindakan untuk mengubah struktur obyek konservasi untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui (Basuni, 2009). Dengan pengertian restorasi tersebut maka jebakan logika preservasi ini bisa dihilangkan.
15 3.2. Manajemen Kawasan Taman Nasional di Indonesia Salah satu kategori kawasan konservasi adalah taman nasional. Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilaksanakan melalui sistem zonasi, yakni: a) zona int;i b) zona rimba; dan c) zona pemanfaatan; dan atau d) zona lain sesuai dengan keperluan (PP 28/2011 pasal 18 ayat 1). Model pengelolaan taman nasional di Indonesia antara lain tertuang dalam UU No.5/1990 pasal 30 s/d pasal 33. Wiratno et al. (2004) mengatakan bahwa konsekuensi dan arahan pengelolaan taman nasional tersebut meliputi bahwa pengelolaan taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi dan menggunakan pendekatan konservasi ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh dalam skala bioregional sebagaimana penegasan Kongres Taman Nasional IV di Caracas Venezuela tahun 1992 dan tidak terbatas hanya pada konservasi spesies, dengan tujuan untuk membuat program-program kerjasama secara sadar, sukarela serta lintas wilayah, untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati yang dapat mendukung kehidupan lokal dan peradabannya. Issu sosial dalam manajemen kawasan hutan konservasi terkait dengan sosial ekonomi masyarakat adalah adanya konflik dengan penduduk setempat dan bahwa penduduk di sekitar kawasan hutan konservasi cenderung lebih miskin (Basuni 2009). Pemahaman tentang karakteristik konflik secara baik sangat diperlukan untuk menemukan resolusi konflik. Model ‘pengelolaan partisipatif dan atau kolaboratif’ dalam manajemen kegiatan restorasi dapat diajukan sebagai resolusi konflik yang terjadi di TNGGP dimana keinginan masyarakat lokal dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan SDH (kawasan konservasi) yang ada di dekatnya. Kegiatan restorasi kawasan perluasan TNGGP yang disusun bersama masyarakat akan mempertemukan tujuan pengelolaan SDH yang ada di dalam kawasan taman nasional dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian Karsodi (2007) di lokasi perluasan TNGGP menyimpulkan bahwa berdasarkan konflik yang teridentifikasi maka manajemen yang dijalankan sebaiknya adalah pengelolaan kolaboratif. Soekmadi (2003) menguraikan hal-hal yang perlu diperhatikan guna lebih memastikan pengembangan peran serta para pemangku kepentingan (kemitraan) dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu: 1) Harus memberikan manfaat
16 nyata bagi
masyarakat
sehingga
masyarakat
yang
kehilangan peluang
(opportunity) ataupun akses pada SDA dalam kawasan harus diberikan kompensasi. 2) Mengakomodaskan kepentingan lokal dan menjamin kepentingan konservasi secara simultan. 3) Perencanaan harus holistik dimana perencanaan tentang pengembangan partisipasi dan kemitraan sebaiknya dilakukan bersamasama dengan perencanaan manajemen mengingat kawasan konservasi bukanlah sistem yang berdiri sendiri, melainkan saling berkait dengan sistem atau subsistem lainnya yang saling mempengaruhi membentuk sebuah ketergantungan ekonomi, sosial, ataupun budaya. Ragam manfaat taman nasional berhubungan dengan tipe pengelolaannya yang sangat bergantung pada spesifikasi tujuan konservasi yang ditetapkan. Beberapa dari manfaat tersebut dapat dinilai dengan harga pasar, namun banyak manfaat yang disediakan taman nasional ataupun kawasan konservasi yang justru sulit dinilai dalam satuan moneter. Manfaat tersebut biasanya merupakan manfaat sosial yang sering justru menjadi justifikasi bagi perlindungan terhadap kawasan konservasi. Mengacu pada Dixon dan Sherman (Wiratno et al. 2004) dapat diajukan kategori lain dari manfaat taman nasional, yaitu: 1) Manfaat rekreasi; 2) Perlindungan daerah aliran, mencakup: Pengendalian erosi, Reduksi banjir setempat, dan Pengaturan aliran sungai; 3) Proses-proses ekologi yang meliputi: Fiksasi dan siklus nutrisi, Formasi tanah, Sirkulasi dan pembersihan udara dan air, dan Dukungan bagi kehidupan global; 4) Keragaman
hayati,
meliputi:
Sumber
genetik,
Perlindungan spesies,
Keragaman ekosistem, dan Proses-proses evolusioner; 5) Pendidikan dan penelitian; 6) Manfaat-manfaat konsumtif; 7) Manfaat-manfaat nonkonsumtif; Estetika, Spiritual, Kultural/sejarah, dan Nilai keberadaan; 8) Nilai-nilai masa depan, meliputi: Nilai guna pilihan.
17 3.3. Metodologi Rekayasa Sosial dan Teori Ekonomi Kelembagaan Pasar sebagai institusi penggerak kegiatan ekonomi yang menciptakan kesejahteraan namun juga menimbulkan polusi, sebab dalam pemikiran klasik dan neoklasik tersimpan cacat filosofis dalam wujud asumsi-asumsi yang melatarinya. Ekonomi kelembagaan mencoba mengkiritisinya. Kubu ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economic) secara ekstrem menganggap bahwa seluruh asumsi ekonomi klasik dan neoklasik merupakan falsifikasi yang fatal sehingga harus dibatalkan. Kubu ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic) menyatakan bahwa sebagian asumsi ekonomi klasik dan neoklasik layak dibuang namun sebagian lainnya tetap dapat diadopsi. Asumsi yang tidak realistis adalah bahwa tidak ada biaya transaksi (zero transaction costs) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Individu bekerja menurut insentif ekonomi dengan mengesampingkan dinamika perilaku yang dipengaruhi beragam aspek (misalnya sosial, politik, budaya, hukum, dsb (Yustika 2006). Dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987).
Menurut
Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964), diacu dalam Howell et al. (1987) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari manfaat (benefit). Manfaat dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan. Seperti
penjelasan
North
bahwa
‘ekonomi
kelembagaaan
baru’
menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan non pasar dengan fondasi teori ekonomi neoklasik, sehingga masih memakai asumsi dasar teori neoklasik tentang ‘kelangkaan dan kompetisi’ tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental. Oleh karena itu ‘ekonomi kelembagaaan baru’ mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dll) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (Yustika 2006). ). Untuk pemahaman lebih rinci, Hodgson (1998) dalam Yustika (2006) menegaskan bahwa: 1) Terdapat derajat pemberian penekanan pada faktor kelembagaan dan budaya. 2) Analisis kelembagaan bersifat interdisiplin,
18 3) Tidak ada sumber-sumber untuk menyusun model agen dan atau pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan. 4) Teknik matematis dan statistik dianggap sebaagai pelayan teori ekonomi daripada esensi teori ekonomi sendiri. 5) Analisis tidak diawali dengan membangun model-model matematis, namun diawali dari gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab akibat. 6) Pemanfaatan harus dibuat dari bahan empiris historis dan komparatif mengenai kelembagaan sosio-ekonomi. Pernyatan-pernyataan tersebut merupakan basis kerangka metodologis ekonomi kelembagaan. Dengan demikian struktur dan perilaku masyarakat (dalam perspektif ekonomi kelembagaan) harus mendapat ruang yang lebar dalam setiap analisis ekonomi (Yustika 2006). Ekonomi kelembagaan tidak berupaya mempelajari perilaku rasional tetapi berusaha untuk mengenali bentuk-2 perilaku (misal perilaku tradisional individu atau kelompok) yang merupakan pola yang mendonorkan stabilitas dan keseragaman yang dapat dilembagakan (Kapp 1988). Ekonomi kelembagaan mencakup dua arus hubungan antara ekonomi (economics) dan kelembagaan (institutions).
Maksudnya pendekatan ini menguliti dampak kelembagaan
terhadap ekonomi, dan sebaliknya pengembangan kelembagaan untuk merespon pengalaman ekonomi (Kasper and Streit, 1998). Dapat disimpulkan bahwa antara ekonomi dan kelembagaan mempunyai hubungan resiprokal. Dalam mengambil kesimpulan, ekonomi kelembagaan memilih pendekatan induktif. Ekonomi kelembagaan tidak membangun manusia ekonomi, tetapi mengenai apa yang manusia lakukan dan pikirkan (Yustika 2006). Teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Pada aras ini teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial yang punya dua dimensi yaitu: 1) berkaitan dengan (persoalan) negara, dan 2) bersinggungan dengan (urusan) masyarakat. Pesan penting yang diusung ilmu sosial adalah ‘tidak ada kebenaran tunggal’ (Yustika 2006).
19 Analisis ilmu ekonomi dibagi dalam empat cakupan (Miller 1988 dalam Yustika 2006): 1) Alokasi sumberdaya; 2) Pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga; 3) Distribusi pendapatan; 4) Struktur kekuasaan. Pendekatan klasik dan neoklasik lebih banyak memakai tiga instrumen pertama. Pendekatan
kelembagaan
lebih
menekankan
instrumen
terakhir
untuk
menganalisis fenomena ekonomi. Ekonomi kelembagaaan baru mempunyai beberapa cabang ilmu, yang dapat dibagi kedalam dua kategori: 1) Sejarah ekonomi baru
dan aliran pilihan publik (fokus pada analisis makro); 2) Teori
ekonomi biaya transaksi dan informasi ekonomi (fokus pada analisis mikro) dan bentuk-bentuk tata kelola aktivitas ekonomi (Yustika 2006). Dua pendekatan penelitian ilmu sosial yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Konstruksi penelitian kuantitatif berdiri atas tiga premis: general, obyektif, dan terukur (prediktif); Sebaliknya penelitian kualitatif berdiri atas tiga premis: partikular, subyektif, dan non prediktif. Premis-premis ini sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan. Metode penelitian kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik (Meetoo and Temple 2003). Pendekatan kuantitatif yakin bahwa fenomena sosial berlaku universal, peneliti dan obyek tidak dibebani nilai, setiap tindakan individu merupakan derivasi dari perlakuan kumpulan individu. Menurut epistemologinya, metode penelitian kualitatif bersandar pada pendekatan interpretatif (Meetoo and Temple 2003). Jika pendekatan interpretatif dikaitkan dengan pelaku penelitian (atau peneliti) maka fokusnya adalah persoalan subyektivitas; jika dikaitkan dengan obyek penelitian (yang diteliti) maka fokusnya adalah masalah partikularitas. (Yustika 2006). Pada dasarnya setiap pendekatan penelitian punya kelemahan dan kelebihan yang diakibatkan oleh perbedaan metode maupun orientasi yang diinginkan. Setiap penelitian harus berurusan dengan representasi (yaitu pilihan dan jumlah sampel yang dipakai). Penelitian kualitatif dapat langsung menunjuk satu daerah, komunitas, kelompok, keluarga, bahkan individu sebagai sampel penelitian. Hal ini dapat terjadi karena penelitian kualitatif tidak berorientasi kepada hasil yang memiliki daya prediksi, melainkan fokus pada proses penggambaran yang berujung pada penjelasan. Prosedur agar subyektivitas penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar akademis sehingga dapat menjaga
20 nilai ilmiah, adalah: 1) penelitian kualitatif dibuat secara bertingkat sehingga halhal yang subyektif mengalami obyektivikasi melalui pendalaman-pendalaman analisis; 2) mengurangi intervensi peneliti terhadap ungkapan responden dengan menyalin tuturan asli responden (Yustika 2006). Pendekatan ekonomi kelembagaan berhubungan dengan metode penelitian kualitatif. Ekonomi kelembagaan dalam analisisnya sangat mementingkan struktur kekuasaan (ekonomi, sosial, politik, hukum, dll) yang hidup dalam masyarakat yang seterusnya mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dalam pertukaran atau transaksi. Penelitian kualitatif peduli dengan seluruh aspek yang melekat dalam fenomena sosial. Kompleksnya struktur sosial membutuhkan penjelasan dan interpretasi mendalam, dan analisis seperti itu hanya diperoleh jika metode yang digunakan berorientasi pada pengenalan situasi interaksi sosial. Nah pada titik ini ekonomi kelembagaan memberi jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks dan penelitian kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akibat dari proses sosial tersebut (Yustika 2006). Landasan teori yang mementingkan peran institusi terletak pada masalah kerjasama kemanusiaan. Keberadaan institusi adalah untuk menurunkan ketidakpastian yang tercakup dalam interaksi manusia. Sumber ketidakpastian adalah kompleksitas masalah yang hendak diselesaikan dan software penyelesaian masalah yang dimiliki individu (North 1991). Kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yang beroperassi pada dua level (Pejovich, 1995): 1) Pengembangan dan spesifikasi kelembagaan yang menyangkut aturan main (rules of the game). 2) Kegiatan ekonomi yang menyangkut interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia, yang menyangkut permainan itu sendiri (game) (Yustika 2006). Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa jenis pengetahuan ada tiga yaitu pengetahuan tentang nilai, pengetahuan tentang bukan nilai (value-free positivistic knowledge), pengetahuan tentang preskripsi (fungsi dari jenis pengetahuan nilai dan bukan nilai) (Johnson, 1986). Keberhasilan suatu preskripsi merupakan fungsi pengetahuan nilai dan bukan nilai; dan uji keberhasilannya bersifat ex post sehingga suatu penelitian rekayasa sosial berhasil jika resep tentang restrukturisasi
21 kelembagaan menghasilkan performance yang diharapkan. Dampak alternatif perubahan
institusi
terhadap
kelembagaan
ditentukan
oleh
kemampuan
kelembagaan mengendalikan sumber interdependensi antar individu dalam masyarakat. Rekayasa sosial dipandang sebagai proses evolusi (disamping memahami hubungan sebab akibat, juga untuk memahami proses learning). Penelitian rekayasa sosial menghasilkan preskripsi yang memberikan rekomendasi apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya diputuskan oleh pengambil keputusan, maka penelitian rekayasa sosial ditentukan oleh orientasi metodologi (tepatnya adalah orientasi metodologi pragmatisme dengan workability sebagai kaidah uji obyektivitasnya). Sumber interdependensi ditentukan oleh karakteristik inheren dari komoditas seperti inkompatibilitas, high exclusion cost goods, eksternalitas, skala ekonomi, joint impact goods,ongkos transaksi, surplus, dan interdependensi antar generasi (Pakpahan, 1989). Selanjutnya Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa konteks suatu penelitian rekayasa sosial adalah masalah nyata yang merupakan penelitian problem solving. Dengan demikian output penelitian adalah suatu preskripsi atau suatu resep. Rekayasa sosial merupakan upaya memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat melalui perubahan kelembagaan sehingga mengatur perubahan dalam batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property rights), dan aturan representasi. Rekayasa sosial adalah restrukturisasi kelembagaan maka disiplin ekonomi kelembagaan digunakan sebagai kerangka analitik. Dua jenis penelitian ekonomi kelembagaan (Schmid 1979 dalam Pakpahan, 1989): 1) Penelitian ekonomi kelembagaan untuk menjelaskan dan memprediksi perubahan kelembagaan (developmental institutional economics); 2) Penelitian tentang dampak dari perubahan kelembagaan terhadap performance (institutional impact analysis). Dengan memperoleh pengetahuan mengenai dampak alternatif perubahan struktur kelembagaan terhadap performance maka dapat disajikan cook book tentang alternatif perubahan tersebut. Yustika (2006) menjelaskan bahwa dampak alternatif kelembagaan terhadap performance sangat berguna untuk melakukan evaluasi tentang alternatif kelembagaan yang sesuai. Dengan demikian perubahan kelembagaan adalah perubahan rule of the game.
22 Oleh karena itu output penelitian rekayasa sosial adalah pengetahuan tentang preskripsi (resep) untuk memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat atau orang. Bagian-bagian penting dari proses rekayasa sosial adalah: 1) Analisis tentang dampak batas yurisdiksi, 2) Kepemilikan, dan 3) Aturan representasi dalam pembuatan keputusan (Pakpahan, 1989). Yustika (2006) menjelaskan bahwa konsep kontrak dalam ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menurut Richter adalah konsep mengenai hak kepemilikan. Asumsi dasarnya adalah masing-masing jenis pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Binner 1999) dan Tipe kontrak dapat dipilah kedalam tiga jenis: yaitu teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak relasional. (Furubotn and Richter 2000). Dua tipe penegakan kesepakatan atau kelembagaan yang eksis, yaitu tipe aturan formal dan tipe aturan informal.
3.4. Partisipasi Pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan
kehidupan
masyarakat sehingga partisipasi dapat dimaknai sebagai ambil bagian atau share dalam suatu aktivitas pembangunan (Syahyuti, 2006). Partisipasi dapat dibedakan berdasarkan bentuk partisipasi itu sendiri yaitu dalam tingkatan atau levelnya. Arstein (1969) dalam Setyowati (2006) mengidentifikasi partisipasi berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada partisipan sebagai berikut: a. Manipulasi (non level partisipasi), b. Terapi (non level partisipasi), c. Informasi, d. Konsultasi, e. Placation, f. Kemitraaan, g. Pendelegasian wewenang dan h. Kontrol masyarakat. Pada level manipulasi dan terapi (non level partisipasi) dimana inisiatif pembangunan tidak bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tetapi membuat pemegang kekuasaan menyembuhkan atau mendidik masyarakat. Kemudian pada level berikutnya yaitu level informasi dan konsultasi yang disebut pula dengan sebutan tokenisme dimana masyarakat memperoleh informasi dan menyuarakan pendapat tapi tidak dijamin bahwa pendapat tersebut diakomodasi. Pada level placation yang merupakan level tertinggi dari tokenisme dimana masyarakat dapat memperoleh informasi dan memberikan informasi kepada pemegang kekuasaan
23 tetapi kewenangan tetap ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Level berikutnya adalah kemitraan dimana masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Kemudian pada level terakhir adalah pendelegasian dan kontrol masyarakat dimana masyarakat yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan. Partisipasi dapat dibagi dalam delapan tahapan yaitu (UNCD 1996): 1) Manipulation, 2) Information, 3) Consultation, 4)Consensus-building, 5)Decisionmaking, 6) Risk-sharing, 7)Partnership, 8) Self-management. Pengertian masingmasing tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Manipulation: Tahap terendah dari partisipasi (non partisipasi) yang dibangun sebagai peluang non doktrin.
b.
Information: Tahap partisipasi dimana stakeholder diberikan informasi tentang hak, tanggungjawab dan pilihan. Tahapan pertama yang penting adalah menuju pada keihlasan atau kesadaran untuk berpartisipasi. Pada tahapan ini terjadi satu arah komunikasi dengan jaringan atau sumber negosiasi
c.
Consultation: Pada tahapan ini terjadi komunikasi dua arah. Stakeholder memiliki kesempatan untuk mengutarakan saran dan pemikiran, tetapi saran dan pemikirannya tidak dijamin akan digunakan atau
dimplementasikan
dalam tujuan tertentu. d.
Consensus-building: Pada tahap ini, stakeholders berinterakasi untuk dapat memahami dan bernegosiasi satu dengan lainnya dalam kelompok. Secara umum kelemahannya adalah kerentanan individu dan kelomppk yang cenderung diam atau menyetujui secara pasif..
e.
Decision-making: Ketika konsensus dilaksanakan melalui keputusan kolektif, maka ditandai dengan inisiasi pembagian tanggungjawab terhadap hasil dari aktvitas tersebut. Negosiasi pada tahapan ini merefelksikan perbedaan tingkat kemampuan dari individu dan kelompok
f.
Risk-sharing: Tahapan partisipasi dimana terjadi pembagian manfaat dan resiko sebagai konsekuensi dalam pengambilan keputusan..
g.
Partnership: Tahapan partisipasi yang menunjukkan terjadinya hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah dibangun bersama.
24 h.
Self-management: Tahapan puncak dari partisipasi. Stakeholder berinteraksi dalam proses pembelajaran yang memberikan manfaat. Warner (1997) membedakan tiga model partisipasi yaitu: 1) popular
partisipation model, memiliki tujuan pemberdayaan (kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi); 2) selective partisipation model, memiliki tujuan keberlanjutan institusi; dan 3) consensus partisipation model, memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Probst et al. ( 2003) membagi empat tipe partisipasi sebagai berikut : 1) Contractual participation yaitu aktor sosial memberikan hak pengambilan keputusan pada aktor sosial lainnya; 2) Consultative participation yaitu Sebagaian besar keputusan dipegang oleh satu kelompok stakeholder tetapi penekananannya adalah pada konsultasi dan mengumpulkan informasi dari yang lain; 3) Collaborative participation yaitu aktor yang berbeda berkolaborasi dan mengutamakan kesamaan hak melalui pertukaran pengetahuan, kontribusi dan distribusi kekuatan dalam pengambilan keputusan; 4) Collegiate partisipation yaitu aktor yang berbeda berkerjasama sebagai kolega atau parner. Menurut Inoue (1998) bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut : 1) Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan, 2) Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group partipation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong, 3) Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya, 4) Partisipasi upah kerja (wage labor
partipation) adalah individu sebagai
tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah.
25 Paradigma pembangunan selama ini lebih memusatkan pada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan faktor produksi dan kapital, dipengaruhi oleh dua teori penting yang diusung Rostow dan Harold-Domar, berimplikasi pada konsumsi yang tak terbatas yang diikuti oleh deplesi SDA sebagai sumber input dan pendukung kehidupan (Mubyarto, 2005; Todaro, 1989; Amien 2005; Siahaan, 2007). Hasil pembangunan (Todaro,1989) antara lain dicirikan oleh meningkatnya ketergantungan terhadap SDA. Paradigma pembangunan yang demikian bersifat top down
karena kurang melihat
interdepensi antara elemen-elemen
pembangunan yang begitu kompleks dan masyarakat diletakkan pada subordinat pembangunan (Amin, 2005). Pendekatan dan pemikiran yang kontradiktif yaitu model pendekatan bottom up
dengan
pendekatan
keharusan
pelibatan
masyarakat
dalam
proses
pembangunan secara aktif melalui berbagai bentuk partisipasinya mengingat bahwa masyarakatlah yang menjadi subjek (bukan objek) dari pembangunan. Pendekatan ini dicirikan oleh adanya proses partisipasi dan terjadinya pembelajaran sosial. Menurut Maarleveld dan Danbegnon (1999), diacu dalam Wollernberg et al. (2005) bahwa pembelajaran sosial dalam pengelolaan SDA merupakan kombinasi pengelolaan adaptif yang melibatkan pembelajaran secara sadar dari eksperimen kebijakan dan politik yang didefinisikan sebagai konflik antara pemangku kepentingan dengan SDA. Model pembangunan yang demikian dikenal sebagai model partisipatif. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan (Karky 2001). Menurut Howell at al. (1987) bahwa terlibatnya masyarakat dalam pengambilan keputusan publik didasarkan pada adanya hak dan kewajiban (baik formal ataupun nonformal) yang dimiliki oleh masyarakat serta penilaian ekonomi sebagai faktor pendorong yang kuat. Keterlibatan seseorang dalam pembangunan juga dipengaruhi oleh adanya harapan penghargaan (reward) dari berbagai sumber termasuk pihak pemerintah, swasta dan kelompok atau anggota masyarakat. Kenneth dalam Dasgupta dan Serageldin (1999) mengungkapkan bahwa penghargaan dapat meningkatkan interaksi antara masyarakat bukan karena motif
26 ekonomi, tapi masyarakat lebih pada membangun jaringan pertemanan atau persabahatan. Mengingat bahwa pertukaran sosial merupakan jaminan
yang
bersifat non formal, maka penghargaan sifatnya baku dan tidak ada jaminan bagi pihak tertentu untuk dapat mengajak seseorang terlibat dalam pembangunan. Faktor lainnya yang mendorong proses pelibatan masyarakat dalam program pembangunan adalah kepercayaan. Howell et al. (1987) mengungkapkan bahwa banyak
kegagalan
pembangunan
implementasi
diakibatkan
oleh
pelibatan hilangnya
masyarakat legitimasi
dalam atau
program
kepercayaan
masyarakat. Munculnya konsep pembangunan partisipatif di Indonesia terjadi seiring isu desentralisasi dengan
pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada
strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi
secara
bersama
sehingga
menunjang
pencapaian
pembangunan
berkelanjutan (Hardy dan Lloyd 1994 ; Clement dan Hansen 2001). Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan masyarakat
dalam
perencanaan
pembangunan
mulai
dari
perencanaan,
implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi. Dari uraian Fahmi et.al, 2003 dapat disimpulkan bahwa perencanaan partisipatif dalam pengelolaan kawasan hutan sesungguhnya memiliki konsep perlindungan kawasan itu sendiri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (meminimumkan dampat negatif yang ditimbulkan. Berdasarkan identifikasi kepentingan masyarakat lokal (first appropriators), lingkungan eksternal (second appropriators), dan policy makers dan hubunganhubungan diantara ketiganya tersebut maka dapat disusun model perencanaan pengelolaan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan masyarakat di sekitar kawasan hutan, Suharjito (2004) menemukan dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi (dalam menyampaikan aspirasi) yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan diimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya, seperti pembuatan kompos dan pemeliharaan kambing. Namun masyarakat masih tergantung pada hutan sebagai sumber
27 pendapatan rumah-tangganya, aktivitas non farm dan off farm belum dikembangkan oleh masyarakat dan masyarakat enggan berpartisipasi pada kelembagaan ekonomi (koperasi) karena pengalaman masa lalu yang dianggap kurang menguntungkan.
3.5. Analisis Akses Istilah akses sudah sering digunakan dalam literatur pada hak kepemilikan dan cara-cara lain utk mendapatkan pemanfaatan dari suatu sumberdaya oleh analis kepemilikan (analis properti) dan analis SDA. Definisi klasik dalam literatur properti bahwa akses sebagai ’hak untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu’. Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa akses berbeda dari properti dalam banyak hal, dan mereka telah
mengembangkan konsep akses dan
menjelaskan sekumpulan faktor-faktor yang luas untuk membedakan akses dari properti. Selanjutnya Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai ’kemampuan (abilitas) untuk mendapatkan manfaat dari barang (mencakup objekobjek material, person, institusi dan simbol-simbol)’. Akses menurut definisi ini lebih terkait dekat pada ’sekumpulan kekuatan atau kekuasaan (powers)’ daripada sekedar gagasan dalam properti sebagai ’sekumpulan hak’. Formulasi ini mencakup satu kisaran luas dari bentuk-bentuk hubungan (relasi) sosial yang menghambat maupun mendorong manfaat dari penggunaan sumberdaya, bukan hanya relasi properti itu sendiri. Dengan demikian akses berbeda dari properti, terfokus pada abilitas, lebih luas daripada sekedar hak seperti dalam teori properti, Jika studi properti konsen pada pemahaman klaim, khususnya klaim yang McPherson (1978) definisikan sebagai hak, maka studi akses konsen pada pemahaman tentang berbagai cara orang dapat mengambil manfaat dari sumberdaya, termasuk (tetapi tidak hanya terbatas pada) relasi-relasi properti. Abilitas
masyarakat
untuk
memanfaatkan
sumberdaya
dipengaruhi
kekuasaan yang mewujud di dalam dan terpraktikkan melalui berbagai mekanisme, proses-proses, dan relasi-relasi sosial. Kekuasaan ini merupakan helai-helai di dalam “kumpulan-kumpulan (bundles)” dan “jaringan-jaringan (webs)” dari kekuasaan secara material, kultural, dan politikal-ekonomis yang
28 kesemuanya menggambarkan akses pada sumberdaya. Dengan demikian, akses sebagai “kumpulan” dan ‘jaringan” dari “kekuasaan” dapat memungkinkan aktoraktor untuk mendapatkan, mengontrol, dan memelihara akses. Karena itu, analisis akses memerlukan perhatian pada properti sebagaimana aksi-aksi yang melawan hukum, relasi-relasi produksi, pemberian nama relasi-relasi, dan sejarah dari semua itu. Peletakan analisis ini kedalam sebuah kerangka politikal-ekonomis membantu kita untuk identifikasi keadaan yang ada melalui beberapa orang yang dapat mengambil manfaat dari sumberdaya khusus sementara yang lainnya tidak dapat (Bell 1998:29). Berry (1993) dalam Ribot and Peluso (2003) menjelaskan bahwa aspek politikal ekonomis menjadi bukti ketika aksi sosial dibagi kedalam akses kontrol (access-control) dan akses pemeliharaan (access-maintenance). Akses kontrol adalah abilitas untuk menengahi akses-akses lainnya. (Kontrol menurut Rangan, 1997 adalah berhubungan dengan checking dan arah aksi, fungsi atau kekuasaan dari arahan dan aturan aksi bebas). Pemeliharaan akses menuntut pembelanjaan sumberdaya atau kekuasaan untuk memelihara sebuah akses sumberdaya khusus yang terbuka. Pemeliharaan dan kontrol adalah komplementer. Keduanya merupakan posisi-posisi sosial yang terkadang terkristal seputar arti dari akses. Keduanya merupakan relasi-relasi antar aktor dalam hubungannya pada kecocokan sumberdaya, manajemen, atau penggunaan. Dalam waktu bersamaan, pemahaman dan nilai dari sumberdaya sering bersaing diantara mereka yang mengontrol dan mereka yang memelihara akses. Ide properti tersusun dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dilihat sebagai sebuah perbedaan yang paralel dalam meng-klaim hak-hak yang merupakan sebuah arti dari akses kontrol sementara pelaksanaan kewajiban merupakan sebuah bentuk pemeliharaan akses yang bertujuan melestarikan hakhak tersebut (Hunt, 1998:9) dalam Ribot and Peluso (2003). Terdapat satu istilah ketiga, yaitu akses perolehan (gaining access), sebagai proses yang lebih umum melalaui jalan mana akses ditetapkan. Perhatian studi properti adalah pada pemahaman klaim, khususnya klaim yang McPherson (1978) definisikan sebagai hak, sedangkan studi akses pada pemahaman tentang berbagai cara orang dapat mengambil manfaat dari
29 sumberdaya, termasuk (tetapi tidak hanya terbatas pada) relasi-relasi properti. Akses menurut definisinya lebih terkait dekat pada ’sekumpulan kekuasaan’ daripada sekedar gagasan dalam properti sebagai ’sekumpulan hak’. Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa sebuah kunci pembeda antara akses dan properti terletak pada perbedaan antara “kemampuan” dan “hak”. Abilitas merupakan saudara kandung dengan “kekuasaan” yang diartikan dalam dua sense, yaitu: pertama, sebagai kapasitas beberapa aktor untuk mempengaruhi praktik-praktik dan ide-ide dari pihak yang lainnya (Weber 1978:53; Lukes 1986:3) dan yang kedua, kita melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang muncul dari orang, meskipun tidak selalu mengikuti. Kekuasaan adalah melekat dalam berbagai jenis bentuk relasi tertentu dan dapat muncul dari, atau mengalir melalui konsekuensi-konsekuensi (yang diharapkan atau tidak diharapkan) atau efek-efek dari bentuk-bentuk relasi sosial. Akses adalah tentang semua alat atau cara yang memungkinkan seseorang dapat mengambil manfaat dari sesuatu atau dari barang. Properti umumnya menimbulkan beberapa macam klaim-klaim yang diketahui secara sosial dan didukung secara sosial atau hak-hak —apakah yang diakui oleh hukum, kebiasaan, atau konvensi. Adapun kesamaannya terletak pada manfaat. Istilah “manfaat” adalah umum untuk definisi yang digunakan pada akses dan properti. Properti dan akses konsen pada relasi-relasi antar orang atau masyarakat dalam kaitan perhatian pada manfaat atau nilai-nilai -- kecocokan, akumulasi, ransfer, distribusi, dan lain sebagainya. Manfaat adalah penting karena orang, institusi, dan masyarakat hidup atasnya dan untuk manfaat-manfaat tersebut, dan berselisih serta bekerjasama terkait manfaat-manfaat tersebut. Menggunakan kerangka definisi dari akses, Ribot dan Peluso (2003) menyajikan metode analisis akses untuk mengidentifikasi konstelasi arti, relasi, dan proses yang memasukkan berbagai aktor dalam memanfaatkan sumberdaya. Metode analisis akses bertujuan untuk memfasilitasi analisis mendasar (grounded analyses atau nalisis alasan-alasan yg mendasari) tentang siapa yang secara aktual mengambil manfaat dari barang dan melalui proses-proses apa mereka dapat melakukannya sedemikian. Analisis akses juga membantu kita untuk memahami mengapa beberapa orang atau institusi mengambil manfaat dari sumberdaya,
30 apakah mereka punya hak atau tidak. Hal ini merupakan sebuah perbedaan utama antara analisis akses dan properti. Analisis akses mencakup: 1) pengidentifikasian dan pemetaan aliran manfaat yang khusus dari interest; 2) pengidentifikasian mekanisme melalui cara mana aktor-aktor yang berbeda bisa mendapatkan perolehan, kontrol, dan pemeliharaan dari aliran manfaat dan distribusinya; dan 3) analisis relasi-relasi kekuasaan menggarisbawahi mekanisme akses yang mencakup instansi-instansi dimana manfaat didapatkan.