III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Pengertian Dasar Subsidi 3.1.1. Definisi Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (Pass dan Lowes, 1997), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah. Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya), atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya). Subsidi dapat bertujuan: (1) subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut, (2) subsidi ekspor, yang diberikan kepada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan negara, (3) subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerja dan mengurangi pengangguran, dan (4) subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu. Selanjutnya Spencer dan Amos (1993), menyatakan bahwa subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah output Subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran
44
pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah (Suparmoko, 2003). Definisi
pupuk
bersubsidi
adalah
pupuk
yang
pengadaan
dan
penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceren Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV yaitu lokasi gudang atau kios pengecer di wilayah kecamatan dan/atau desa yang ditunjuk atau ditetapkan oleh distributor, dimana tujuannya adalah untuk
meringankan
beban petani dalam penyediaan
dan penggunaan pupuk untuk kegiatan usahataninya
sehingga
dapat
meningkatkan
pertanian
guna
produktivitas
dan produksi
komoditas
mendukung ketahanan pangan nasional. 3.1.2. Subsidi Dalam Konteks Teori Mikroekonomi Stiglitz (2005) menjelaskan bahwa subsidi merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam penentuan kebijakan pengeluaran dana pemerintah. Menganalisa suatu program pemerintah, seperti subsidi rehabilitasi lahan milik, dengan jalan mempelajari perkembangan serta permasalahan program sering memberikan manfaat untuk dilakukan penyempurnaan. Analisa berikutnya, mencoba menghubungkan antara kebutuhan, sumber permintaan terhadap salah satu bentuk kegagalan pasar seperti kompet7isi yang tidak sempurna, barang publik, eksternalitas, pasar yang tidak lengkap, dan informasi yang tidak sempurna. Walaupun keadaan ekonomi mencapai pareto, intervensi pemerintah dapat dilakukan apabila terdapat dua alasan, yaitu: (1) pendapatan masyarakat yang berasal dari suatu perekonomian pasar tidak terdistribusi dengan baik, (2)
45
kurang sempurnanya kriteria penilaian kesejahteraan di dalam persepsi seseorang terhadap kesejahteraannya. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu kebijakan untuk produksi publik, kebijakan produksi swasta dengan perlakuan pajak dan subsidi, serta kebijakan produksi swasta dengan adanya pengaturan dari pemerintah. Bentuk subsidi dapat berupa pengenaan suatu sistem perpajakan ataupun pemberian bantuan hibah secara langsung. Apabila subsidi berupa hibah langsung, maka persyaratan subsidi tersebut perlu ditetapkan sesuai dengan tujuan subsidi. Penilaian suatu subsidi harus dilihat dalam kurun waktu jangka panjang, dimana produsen dan konsumen telah menyesuaikan perilakunya, dan penilaian output dalam kurun waktu jangka pendek. Fogiel (1992) menjelaskan apabila subsidi dianggap sebagai kebalikan dari pajak, maka kebijakan subsidi pada suatu kegiatan dapat mempengaruhi keseimbangan pasar yang berhubungan dengan kegiatan tersebut. Pengaruh pajak atau subsidi terhadap suatu barang pada pasar persaingan sempurna, dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2. Penerapan pajak pada suatu barang akan menggeser kurva penawaran S ke kiri, yaitu S T . Sebaliknya kebijakan subsidi akan menggeser kurva penawaran S ke kanan S S . Kuantitas barang akan menurun dan harga barang akan mengalami kenaikan dengan adanya pajak. Sedangkan subsidi akan menyebabkan penurunan harga serta meningkatkan jumlah persediaan barang. Elastisitas penawaran dan permintaan akan berhubungan dengan kebijakan subsidi. Pada Gambar 3, kurva permintaan adalah inelastis sempurna. Oleh sebab itu, jumlah barang yang diminta akan tetap serta tidak dipengaruhi oleh kebijakan subsidi.
46 Price ST
S
D
PF
SS
PT PS D S QT
QS
Quantity
Sumber : Fogiel (1992) QF
Gambar 2. Pengaruh Pajak atau Subsidi
Price
D
SF SS PF PS
Q
Quantity
Sumber : Fogiel (1992) Gambar 3. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Inelastis Namun demikian, harga barang akan turun sebesar nilai subsidi. Dalam hal ini, konsumen akan mendapat manfaat secara menyeluruh dari kebijakan subsidi tersebut. Sama halnya dengan kurva penawaran yang elastis sempurna pada Gambar 4, kebijakan subsidi akan dimanfaatkan sepenuhnya oleh konsumen sejalan dengan turunnya harga keseimbangan dari P F ke P S .
47
Price
PF
SF
PS
SS
QF
QS
Quantity
Sumber : Fogiel (1992) Gambar 4. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Elastis Sebaliknya, apabila kurva permintaan bersifat elastis sempurna, ataupun kurva penawaran yang bersifat inelastis sempurna, maka produsen akan menikmati semua keuntungan dari kebijakan subsidi. Di dalam Gambar 5, dimana kurva permintaan bersifat elastis sempurna, kebijakan subsidi tidak merubah harga kecuali ada perubahan dari sisi permintaan. Price SF SS
P
D
QF
QS
Quantity
Sumber : Fogiel (1992) Gambar 5. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Elastis Di dalam Gambar 6, volume barang yang ditawarkan tidak dipengaruhi oleh kebijakan subsidi, karena bentuk kurva penawaran yang bersifat inelastis
48
sempurna. Mengingat subsidi tidak mempengaruhi kurva permintaan, maka keseimbangan akan tetap di tingkat harga P dan kuantitas barang sebanyak Q. S
Price
D P
Q
Quantity
Sumber : Fogiel (1992) Gambar 6. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Inelastis Ketika kurva penawaran bersifat inelastis sempurna dimana pihak produsen menerima subsidi dari pemerintah serta tidak mempengaruhi situasi pasar, maka produsen tersebut mendapatkan keuntungan menyeluruh dari subsidi. Secara ringkas, apabila kurva penawaran bertambah inelastis atau kurva permintaan bertambah elastis, maka produsen akan menerima lebih banyak manfaat dengan adanya subsidi. Sebaliknya, kurva penawaran yang lebih elastis atau kurva permintaan yang lebih inelastis, maka kebijakan subsidi akan menyebabkan bertambahnya keuntungan bagi pihak konsumen. Kebijakan subsidi pemerintah selalu berhubungan dengan barang dan jasa yang memiliki eksternalitas positif. Pada saat pengaruh negatif dari subsidi menciptakan alokasi yang tidak efektif, konsumen mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan (boros). Selanjutnya apabila harga lebih rendah dibandingkan opportunity cost, maka ada kemungkinan bagi produsen untuk
49
menjadi tidak efektif
dalam menggunakan sumber daya untuk memproduksi
barang-barang yang disubsidi (Spencer dan Amos, 1993). Subsidi yang tidak transparan dan tidak ditargetkan dengan baik bisa saja menyebabkan distorsi harga, inefesiensi, dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak. Dalam konteks ketersediaan pupuk, subsidi pupuk adalah merupakan sejumlah transfer yang dibayar oleh pemerintah kepada industri pupuk yang dihitung berdasarkan selisih antara harga pokok penjualan dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya subsidi tersebut diharapkan ketersediaan pupuk selalu dapat terpenuhi dengan harga yang terjangkau oleh produsen tani sehingga fungsi ketahanan pangan dapat berjalan dengan baik. Mengingat arti strategisnya komoditas pupuk, pemerintah beranggapan bahwa harga pupuk tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, karena fluktuasi harga akan mengakibatkan perubahan daya beli petani, konsentrasi pemupukan, dan pada akhirnya volume dan kualitas panen. Apalagi kenaikan harga pupuk tidak dengan sendirinya diikuti kenaikan harga output. Di satu sisi harga pupuk harus
dipertahankan cukup rendah agar
terjangkau oleh petani, di lain pihak keekonomian produksi pupuk juga harus dijaga agar industri pupuk tidak mengalami kerugian. Oleh karenanya semenjak awal tahun 1970 hingga sekarang pemerintah selalu mengintervensi ketersediaan pupuk melalui kebijakan subsidi. Menurut Wayan (2010) secara garis besarnya subsidi pupuk berdampak positif terhadap: 1) peningkatan modal petani, 2) pengembangan pasar pupuk yang sebelumnya belum berfungsi sehingga menekan biaya distribusi, 3)
50
adopsi teknologi dengan mengurangi risiko dalam pembelajaran teknologi baru,
meningkatkan efektivitas
penyuluhan,
dan
organisasi petani,
4)
peningkatan produktivitas petani, dan 5) perbaikan pendapatan usaha tani. Dampak positif pertama yang bersifat langsung
dari subsidi pupuk
adalah meningkatnya ketersediaan modal bagi petani. Dengan harga pupuk yang
disubsidi,
sebagian
modal petani yang seharusnya digunakan untuk
membeli pupuk dapat dialokasikan untuk membeli input yang lain. Kontribusi biaya untuk pupuk berkisar antara − 9 22 persen dari total biaya, bergantung pada takaran dan teknologi
yang
ditetapkan.
Jika
pada awalnya
petani
menggunakan pupuk dengan takaran lebih rendah, subsidi pupuk mendorong mereka meningkatkan takaran pupuk menjadi optimal. Dampak positif kedua adalah subsidi pupuk
dapat
mengatasi pasar
pupuk yang belum bekerja secara efisien atau terjadi kegagalan pasar (market failure). Struktur pasar yang kurang kompetitif, asimetri kekuatan informasi antara penjual dan pembeli sehingga margin keuntungan serta biaya distribusi yang tinggi, dapat ditekan dengan kebijakan subsidi pupuk. Argumen ini valid jika subsidi pupuk dapat menyediakan pupuk sesuai dengan azas enam tepat, yaitu tepat jumlah, kualitas, waktu, harga, jenis, dan tempat. Dampak positif ketiga dari subsidi pupuk adalah mendorong adopsi teknologi. Hal ini valid untuk petani yang belum mengenal secara baik manfaat pupuk, termasuk takaran pupuk yang berimbang/optimal. Dengan adanya subsidi pupuk,petani tidak khawatir menggunakan teknologi baru (jenis dan takaran pupuk) karena harga pupuk disubsidi.
51
Ketiga dampak positif yang diuraikan di atas menciptakan dampak positif keempat,
yaitu
meningkatkan
elastisitas produktivitas
produktivitas. Dengan menggunakan konsep
terhadap
harga
pupuk, Syafa’at et al. (2006)
menganalisis dampak subsidi pupuk terhadap produktivitas beberapa tanaman pangan. Secara umum, elastisitas bertanda negatif, yang berarti penurunan harga pupuk (subsidi harga pupuk) akan meningkatkan produktivitas. Sebagai contoh, elastisitas produktivitas padi terhadap harga pupuk urea, SP36, dan ZA masingmasing adalah -0,0681, 0,0799, dan -0,0086. Jika harga pupuk urea turun 1 persen maka produktivitas padi akan meningkat 0,0681 persen. Disebutkan pula bahwa secara nasional, penghapusan subsidi pupuk menurunkan produktivitas hingga 9,50 persen. Resultan dari dampak positif subsidi pupuk adalah meningkatnya pendapatan atau keuntungan usaha tani. Dampak subsidi pupuk terhadap produksi pertanian, misalnya padi, dan pasar beras dapat di lihat pada Gambar 7. Jika harga pupuk yang berlaku sebesar P’0 jumlah pupuk yang digunakan oleh petani adalah sebanyak X 0 yang mampu menghasilkan produksi padi sebesar Y 0 . Pada jumlah produksi sebesar ini, kuantitas keseimbangan di pasar beras adalah sebanyak Q’’ 0 dengan harganya sebesar P’’0 . Dalam upaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintah berkeinginan untuk menaikkan jumlah produksi padi, untuk itu penggunaan pupuk sebagai input utama dalam produksi padi harus ditingkatkan. Dengan memperhatikan daya beli petani terhadap permintaan pupuk akhirnya pemerintah berkeinginan untuk menetapkan ceiling price (Harga Eceran Tertinggi) sebesar P’ 1 . Penetapan HET ini tidak dilakukan pemerintah melalui sistem penambahan kuota, namun diatur
52
Ppup
S0(pup) S1(pup) E’0
P’0 E’1
P’1
(a). Pasar Input Pupuk
Dpup 0
Q’2
Q’0
Qpup
Q’1
Y
Pbrs
Y1 Y = f(X)
S0(brs) S1(brs)
P’’0 Y0
E’’0
P’’1
E’’1
Dbrs APP
0
0
X0
X1
(b). Produksi Padi
MPP
Xpup
0
Q’’0
Q’’1
Qbrs
(c). Pasar Output Beras
Gambar 7. Pengaruh Subsidi Pupuk Terhadap Pasar Input, Jumlah Produksi Padi, dan Pasar Output Beras
melalui mekanisme pasar. Dalam hal ini jika pemerintah melakukan pemaksaan terhadap produsen pupuk agar menjual pupuk pada tingkat harga sebesar P’ 1 maka produsen hanya mampu menjual pupuk di pasar input sebanyak Q’2 , yang sudah tentu akan mengakibatkan penurunan jumlah pupuk yang digunakan oleh petani sehingga produksi padi akan menurun, yang akhirnya mempengaruhi
53
negatif pasokan di pasar beras. Oleh karena itu agar harga keseimbangan pupuk dapat turun hingga sebesar P’1 melalui mekanisme pasar maka jumlah pasokan pupuk di pasar harus bertambah. Cara pemerintah untuk menambah pasokan pupuk ini adalah dengan memberi subsidi input terhadap produsen pupuk. Dengan adanya subsidi tersebut kemampuan produsen pupuk untuk menaikkan produksinya semakin bertambah, yang akhirnya akan menggeser kurva penawaran pupuk di pasar input dari S’0 ke S’1 . Apabila diasumsikan kemampuan beli petani terhadap pupuk tidak berubah, sehingga tidak menggeser kurva permintaan pupuk, maka yang terjadi di pasar input adalah excess demand. Keadaan ini akan menekan harga pupuk turun hingga mencapai P’1 . Dengan turunnya harga menyebabkan kemampuan petani untuk membeli pupuk semakin bertambah menjadi X 1 , sehingga jumlah produksi dapat dinaikkan menjadi Y 1 . Di pasar beras pada akhirnya akan terjadi tambahan pasokan yang membuat kurva penawaran beras meningkat dari S 0(brs) ke S 1(brs) , yang menyebabkan excess demand karena kurva permintaan beras tidak berubah. Melalui mekanisme pasar hal ini menyebabkan harga beras di pasar menurun, yang memberi efek terhadap jumlah beras yang diminta bertambah dari Q’’ 0 menjadi Q’’1 yang berarti memperbesar kemampuan ketahanan pangan di masyarakat. Pemahaman terhadap subsidi pupuk paling tidak perlu dipandang dari dua aspek, yaitu aspek efisiensi ekonomi dan aspek redistribusi pendapatan atau pengalihan surplus dari konsumen ke produsen. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar petani Indonesia adalah petani berlahan sempit dengan pemilikan aset yang terbatas dan nilai tukar komoditas pertanian yang
54
cenderung melandai. merupakan
salah
Dalam
kondisi
satu instrumen
demikian, subsidi
kebijakan
publik
yang
pupuk penting
dapat bagi
peningkatan kapasitas produksi petani sekaligus merangsang petani untuk tetap berproduksi. 3.1.3. Subsidi Dalam Konteks Teori Makroekonomi Subsidi pada hakikatnya merupakan instrumen fiskal yang bertujuan untuk memastikan terlaksananya peran negara dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Skema ini semakin penting tatkala negara (pemerintah) telah mengurangi perannya secara signifikan dalam aktivitas ekonomi, sehingga pemerintah yang berposisi sebagai regulator layak mengeksekusi pemberian subsidi. Oleh karena itu, subsidi sebagai instrumen fiskal ini kadang kala juga disebut sebagai salah satu skema untuk mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure). Dalam kerangka ini, subsidi pasti diperuntukkan bagi sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Walaupun dalam implementasi di berbagai negara sektor-sektor ekonomi yang diberikan subsidi itu memiliki perbedaan, namun secara umum sektor ekonomi tersebut bagi pemerintah masing-masing merupakan sektor ekonomi yang paling penting. Dalam struktur belanja APBN dengan bentuk I account, pengeluaran atau belanja pemerintah dibagi menjadi : (1) belanja pegawai (gaji dan tunjangan, honorarium dan vakasi, kontribusi sosial), (2) belanja barang (belanja barang, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, BLU), (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang (utang dalam negeri, utang luar negeri,) (5) subsidi (energi dan non energi), dan (6) belanja hibah. Dengan demikian terlihat jelas
55
dalam pengeluaran pemerintah ini subsidi merupakan salah satu bagian yang paling penting, sehingga besar kecilnya nilai subsidi dipastikan akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah. Belanja
subsidi
pemerintah
Indonesia
selama
tahun
2005-2010
berfluktuasi cukup tajam. Untuk tahun 2006, 2009 dan 2010, belanja subsidi pemerintah mengalami penurunan yang cukup tajam dengan rata-rata sekitar -21.18 persen per tahun. Sedangkan di tahun 2007 dan 2008 mengalami kenaikan yang sangat mencolok hingga mencapai rata-rata sebesar 61.54 persen per tahun. Secara keseluruhan rata-rata belanja subsidi pemerintah sepanjang tahun 20052010 adalah sebesar Rp. 159,91 triliun per tahun atau sekitar 28,40 persen per tahun dari total belanja APBN. 100 90 80
2,09
Subsidi Lainnya
2,95 4,17
7,33
5,51
22,02
Subsidi Pajak
30,48
60
29,07
50 40
Subsidi Minyak Goreng Subsidi Bunga Kredit
27,57
PSO
79,16 59,77
30
Subsidi Obat Generik Subsidi Kedele
10,52
28,29
70
8,12
55,78
Subsidi Benih 50,53
20
34,56
42,41
Subsidi Pupuk Subsidi Pangan
10
Subsidi Listrik 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Subsidi BBM
Sumber diolah Gambar 8.
Alokasi Belanja Subsidi Pemerintah Indonesia Menurut Jenis Tahun 2005-2010
56
Pada Gambar 8. dapat dilihat bahwa belanja subsidi pemerintah secara garis besarnya dialokasikan kedalam dua jenis yakni subsidi energi dan non energi. Subsidi energi didistribusikan ke BBM dan listrik. Di lain pihak subsidi non energi terdistribusi pada subsidi pangan, pupuk, benih, PSO, bunga kredit, minyak goreng, pajak, kedele, obat generik, dan subsidi lainnya. Alokasi terbesar adalah untuk subsidi BBM dengan rata-rata per tahun sebesar 53.70 persen terhadap total belanja subsidi, berikutnya adalah subsidi listrik sebesar 24.13 persen per tahun, menyusul pangan dan pupuk masing-masing sebesar 5.90 persen dan 5.56 persen per tahun. Berdasarkan struktur belanja pemerintah di atas maka sudah dapat dipastikan
naik
turunnya
subsidi
yang
dikeluarkan
pemerintah
akan
mempengaruhi perekonomian Indonesia, terlebih lagi jika melihat bahwa belanja subsidi selama ini menjadi kontributor terbesar dalam total pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu seandainya pengeluaran subsidi dinaikan maka berdasarkan Keynessian cross akan terjadi peningkatan pengeluaran agregat, yang berikutnya menggeser kurva IS dalam pasar barang, kemudian akhirnya akan meningkatkan aggregate demand dalam pasar keseimbangan umum. Pengeluaran subsidi secara konseptual bukan hanya meningkatkan aggregate demand namun dapat juga meningkatkan aggregate supply, terutama jika subsidi yang ditambah tersebut merupakan subsidi untuk jenis BBM, listrik dan pupuk, yang merupakan input dalam proses produksi. Dengan kata lain, pemberian subsidi input seperti pupuk misalnya mempunyai efek ganda dalam perekonomian. Selain mendorong kenaikan aggregate demand juga sekaligus dapat meningkatkan aggregate supply. Untuk memperjelas konsep pemikiran di atas, sebagai contoh teoritis dapat
57
digambarkan
bagaimana
dampak
peningkatan
subsidi
pupuk
terhadap
perekonomian Indonesia, lihat Gambar 9.
C, I, G, NX Y AE1=C0 + I0 + G1 + NX0 AE2 =C0 + I1 + G1 + NX0 AE0 =C0 + I0 + G0 + NX0
Y r
Y0
Y2
Y1 LM0
r1 r0
IS1
IS0 P
Y0
Y2
Y
Y1 AS0
AS1
P1 P0 AD1 AD0 Y0 Gambar 9.
Y2
Y3
Y
Dampak Subsidi Pupuk Terhadap Perekonomian Secara Teoritis
58
Dalam bentuk pasar yang lain yaitu pasar input, peningkatan subsidi pupuk akan meningkatkan pasokan pupuk di pasar yang akan menyebabkan turunnya harga pupuk. Keadaan ini menyebabkan kemampuan produsen tani untuk
membeli
pupuk
semakin
bertambah,
sehingga
mereka
mampu
meningkatkan produksinya (lihat kembali Gambar 7). Hal ini secara agregat akan meningkatkan penawaran agregat dalam perekonomian, yang ditandai dengan bergesernya kurva AS. Dengan asumsi kurva AS bergerak secara proporsional dari AS 0 ke AS 1 maka harga akan kembali pada P 0 namun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi menjadi Y 3 . Pada akhirnya dapat digeneralisasikan bahwa peningkatan belanja subsidi pupuk oleh pemerintah secara makroekonomi akan menaikan pertumbuhan ekonomi pada tingkat inflasi yang tidak berubah. 3.2. Kebijakan Subsidi Pupuk di Indonesia 3.2.1. Dinamika Kebijakan Subsidi Pupuk Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan yang secara historis menjadi tulang punggung kebijakan subsidi bidang pertanian di Indonesia. Sejak program Bimas dan Inmas dilaksanakan pada tahun 1969, subsidi pupuk sudah menjadi komponen utama kebijakan subsidi bidang pertanian. Dalam program tersebut, penggunaan pupuk merupakan salah satu komponen Panca Usaha Tani yang merupakan batang tubuh dari program Bimas (Susila, 2010). Kebijakan subsidi pupuk dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu (1) Periode 1960-1979, (2) Periode 1979-1998, (3) Periode 1998-2002, dan 4) Periode 2003 – sekarang (Kariyasa, 2007).
59
1. Periode 1960-1979 Pada awal periode ini, untuk pertama kalinya pengadaan dan penyaluran pupuk di atur oleh pemerintah. Ada subsidi pupuk bagi petani peserta Bimas dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setiap badan usaha. Sistem penyaluran pupuk kepada penyalur/pengecer adalah secara konsinyasi. Petani menebus pupuk dengan menggunakan kupon kepada penyalur sebagai pertanggungjawaban atas pupuk yang diterimanya secara konsinyasi dari PT. Pusri. Tidak adanya ketentuan stok, sehingga tidak ada jaminan stok tersedia di setiap waktu. Kurangnya stok juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani, dan di sisi lain pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk mengimpor pupuk. 2. Periode 1979-1998 Sampai tahun 1993, seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan ditataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri. Ditetapkan prinsip 6 (enam) tepat dan ketentuan stok yang menjamin ketersediaan pupuk. Perkembangan berikutnya sejak tahun 1993/1994 hanya pupuk urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk urea bersubsidi di bawah tanggung jawab PT. Pusri, sedangkan untuk jenis yang lain tidak diatur. Sekalipun masih ada prinsip 6 (enam) tepat dan ketentuan stok untuk pupuk urea, namun tidak ada jaminan kemantapan ketersediaan pupuk akibat adanya disparitas harga antara pasar pupuk urea bersubsidi dan nonsubsidi. Pada tahun 1998, pupuk SP36, ZA dan KCL kembali disubsidi, walaupun hanya untuk beberapa waktu saja, dimana pada tanggal 1 Desember 1998 subsidi pupuk dan tataniaganya dicabut.
60
3. Periode 1998-2002 Terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 sampai tanggal 13 Maret 2001 pupuk tidak bersubsidi dan pupuk menjadi komoditas bebas, dimana berlaku mekanisme supply dan demand. Tidak ada prinsip 6 (enam) tepat lagi, serta ketentuan stok pupuk sehingga sering terjadi fenomena kelangkaan pupuk yang ditandai mahalnya harga pupuk di tingkat petani. Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk memberi peluang munculnya pupuk alternatif yang kualitasnya diragukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian dengan SK Menperindag No.93/2001 tanggal 14 Maret 2001. Pada dasarnya sebagian besar materi Kepmen ini hampir sama dengan ketentuan tataniaga sebelumnya (Kep. Menperindag No.378/1998). Perbedaan yang mendasar adalah Kep. Memperindag No.93/2001 memberikan kesempatan kepada semua produsen pupuk untuk melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk urea ke subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat yang pada Kepmen sebelumnya hanya dilaksanakan oleh PT. Pusri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Kepmen No.93/2001 masih belum menjamin ketersediaan pupuk menurut prinsip 6 (enam) tepat. 4. Periode 2003-sekarang Berdasarkan SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2003 bahwa sistem pendistribusian
pupuk
berdasarkan
rayonisasi,
dimana
setiap
produsen
bertanggung jawab penuh memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi
61
sendiri, maka wajib melakukan kerjasama dengan produsen lain dalam bentuk kerja sama operasional (KSO). Besar subsidi ditentukan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk subsidi gas sebagai bahan utama produksi pupuk. Sementara HET di tingkat pengecer untuk keempat jenis pupuk itu ditentukan oleh Mentan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Pertanian. Petani diharapkan dapat memperoleh pupuk dengan harga yang relatif terjangkau melaui kebijakan tersebut. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertanian kemudian menetapkan HET pupuk yang harus dibayarkan oleh petani, mekanisme ini tidak lain untuk mengontrol terjadinya variabilitas harga, apakah petani menerima harga pupuk pada kisaran HET tersebut atau jauh dari HET. Apabila ternyata petani harus membayar jauh di atas HET, maka mengindikasikan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam proses distribusi pupuk tersebut. Pemberian subsidi pupuk menunjukkan komitmen pemerintah untuk membantu petani dalam memperoleh pupuk dengan tingkat harga yang wajar. 3.2.2. Mekanisme Distribusi Pupuk dari Periode ke Periode Distribusi pupuk dari waktu ke waktu dapat dikelompokkan menjadi 4 periode yaitu: (1) jalur tataniaga pupuk sebelum kebijakan penghapusan subsidi, (2) jalur tataniaga pupuk sesudah kebijakan penghapusan subsidi, (3) jalur tataniaga pupuk yang ditetapkan tim interdept, dan (4) jalur tataniaga pupuk setelah kebijakan April 2001 (rayonisasi). Sebelum diterapkan kebijakan pasar bebas untuk tataniaga dan penghapusan subsidi pupuk, pemerintah memberikan hak monopoli kepada PT. Pusri sebagai distributor tunggal pupuk dari lini I sampai lini III. Dari lini III
62
sampai lini IV, penyaluran pupuk untuk tanaman pangan (pupuk bersubsidi) dilakukan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) penyalur (Gambar 10). Dari lini IV, KUD menyalurkan pupuk ke petani melalui kios-kios, sementara untuk pupuk kebutuhan nonpangan penyaluran pupuk dari lini III dilakukan oleh PT. Pertani (BUMN) dan penyalur swasta yang ditunjuk oleh PT. Pusri. Tujuan diterapkan sistem ini agar pemerintah dapat mengontrol penyaluran pupuk, sehingga kemungkinan terjadinya berbagai gejolak dapat diantisipasi. Jika terjadi kelangkaan pupuk, pemerintah diharapkan dapat mengetahui dimana terjadinya hambatan penyaluran.
Sumber : Kementrian Pertanian (2009) Gambar 10. Jalur Distribusi Pupuk Sebelum Pencabutan Kebijakan Subsidi Pupuk Sejak dihapuskannya subsidi pupuk dan monopoli PT. Pusri dalam distribusi pupuk sejak 1 Desember 1998, maka jalur tataniaga pupuk di Indonesia mengalami penyesuaian, seperti disajikan pada Gambar 10. Kebijakan ini telah membuka persaingan antara pelaku bisnis pupuk, sehingga diharapkan mampu menciptakan harga yang lebih bersaing di tingkat petani. Untuk melayani kebutuhan Kredit Usaha Tani (KUT), jalur distribusi dominan
63
dilakukan oleh PT. Pusri masih dipertahankan, namun mulai dari lini III, LSM sudah diperbolehkan berpartisipasi sekalipun masih sangat kecil. Peranan KUD tidak hanya melayani kebutuhan KUT, tetapi juga dapat menjadi penyalur di tingkat kecamatan bagi pengecer-pengecer di tingkat desa atau di titik bagi. Di samping itu, PUSKUD tidak hanya menjual jasa angkutan, tetapi juga dapat menjadi distributor dan pemasok pupuk bagi KUD. Di sisi lain, para importir tidak lagi diharuskan menyalurkan pupuknya lewat produsen pupuk di lini I, tetapi dapat membangun saluran sendiri melalui penyalur swasta yang diteruskan ke kios-kios besar dan seterusnya. Kios besar pun dengan volume permintaan minimal 50 ton bisa langsung memesannya ke lini II, dan tidak harus ke lini III. Petani melalui kelompok taninya juga dapat melakukan kontrak beli berkisar 6-10 ton langsung ke penyalur swasta, dan tidak harus ke kios besar atau kios kecil. Dalam perkembangannya, pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan sampai
ke
tingkat
kabupaten.
Sebelumnya
produsen
pupuk
hanya
bertanggungjawab hingga pemasaran di lini II. Saat ini pembelian pupuk di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan pembelian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I dan II ditetapkan atas usulan Tim Interdept yang terdiri dari pengusaha (produsen), Departemen Pertanian, Dep Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kehutanan, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
64
Sumber : Kementrian Pertanian (2009) Gambar 11. Jalur Distribusi Pupuk Sebelum dan Setelah Pencabutan Kebijakan Subsidi Pupuk Adapun tugas ini adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor pertanian. Distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pupuk yang dirasakan mahal oleh petani maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) besarnya Rp. 200,- per kg. Distribusi pupuk yang ditetapkan Tim Interdept tahun 2001 disajikan pada Gambar 12. Berlakunya kebijakan rayonisasi penyaluran pupuk mengharuskan penebusan pupuk dilakukan pada lini III, meskipun delivery order (DO) tetap dikeluarkan di Pemasaran Pupuk Daerah (PPD) lini II (propinsi). Implikasinya adalah ketersediaan pupuk antar Pemasaran Pupuk Kabupaten (PPK) menjadi
65
Sumber : Kementrian Pertanian (2009) Gambar 12. Jalur Distribusi Pupuk yang Ditetapkan Tim Interdepth, April 2001 tanggung jawab sepenuhnya PT. Pusri. Implementasi dari kebijakan distribusi pupuk tersebut menyebabkan berubahnya rantai pemasaran pupuk seperti disajikan pada Gambar 13.
Sumber : Kementrian pertanian (2009) Gambar 13. Jalur Distribusi Pupuk Saat Ini
66
Pola jalur pemasaran berdasarkan sistem rayonisasi ini ternyata penerapannya juga cenderung tidak efektif, karena masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga akibat sistem pengawasan yang telah dibentuk Lemahnya
pemerintah
tidak
pelaksanaan
pernah
sistem
berfungsi
pengawasan
sebagaimana
diharapkan.
menyebabkan
terjadinya
perembesan pupuk baik antar pasar bersubsidi maupun dari pasar bersubsidi ke pasar nonsubsidi serta ekspor secara ilegal. Dari fakta dan informasi di atas, baik dilihat dari kinerja sistem distribusi pupuk dari periode ke periode maupun dari penerapan kebijakan tataniaga pupuk membuktikan bahwa sampai saat ini belum ada sistem distribusi dan kebijakan tataniaga pupuk yang menjamin tersedianya pupuk dengan prinsip 6 (enam) tepat, aman sampai di tingkat petani. Lebih menyedihkan lagi bahwa pupuk bersubsidi yang semestinya menjadi hak petani kecil seringkali dinikmati oleh pelaku-pelaku dalam distribusi dan pemasaran pupuk. Fenomena ini tentunya terjadi karena tidak adanya penerapan sistem pengawasan yang serius sampai di tingkat pengguna, serta tidak adanya penerapan sanksi bagi para penyelundup. Dalam rangka menjamin distibusi pupuk sampai ke petani, dilakukan pengawasan yang dilakukan oleh seluruh instansi terkait yang tergabung dalam kelompok kerja (pokja) pupuk di pusat maupun melalui Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di provinsi dan kabupaten/kota. Agar pengawasan tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien, maka peran aktif pemerintah daerah melalui optimalisasi kinerja KP3 di provinsi dan kabupaten/kota dalam pengawalan dan pengawasan terhadap distribusi dan HET pupuk bersubsidi di wilayahnya sangat diharapkan, sehingga distribusi pupuk dapat sampai ke petani.
67
Mekanisme pengawasan distribusi pupuk dapat dilihat pada Gambar 14.
Sumber : Kementrian pertanian (2009) Gambar 14. Mekanisme Pengawasan Distribusi Pupuk 3.3. Subsidi Input Pertanian Menurut Dorward et al. (2008), Pada era enampuluhan dan tujuhpuluhan, subsidi input pertanian merupakan kebijakan yang biasa diterapkan pada pembangunan pertanian khususnya untuk masyarakat miskin di pedesaan. Meskipun kebijakan subsidi masih terus berlangsung sampai saat ini pada taraf dan tingkatan tertentu, tetapi terdapat beberapa ahli yang melakukan penelitian di Afrika yang menyatakan bahwa pada tahun delapanpuluhan dan Sembilanpuluhan
68
subsidi tidak efektif dan merupakan kebijakan tak berguna yang menyebabkan penggunakan berlebih anggaran Negara. Lebih lanjut Dorward et al. (2008), menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini ketertarikan terhadap subsidi input pertanian di Afrika meningkat, seiring dengan kemunculan inovasi sistem pemberian subsidi. Argumentasi penerapan kebijakan subsidi input pertanian di Afrika adalah bertujuan mengembangkan input pertanian di sektor swasta dalam jangka pendek, memperbaiki kesuburan tanah, perlindungan sosial bagi penerima subsidi yang miskin, keamanan pangan nasional dan keluarga serta memenuhi tuntutan politik. Sedangkan untuk kasus di Asia khususnya penggunaan subsidi dalam revolusi hijau bertujuan untuk menggairahkan jalur pemasaran dan pasar desa untuk jangka panjang, penurunan harga makanan pokok dan kenaikan upah, peningkatan pendapatan bagi rakyat miskin yang tidak menerima subsidi sebagai dampak dari peningkatan upah, perubahan struktur mata pencaharian di perekonomian nasional dan pedesaan dalam jangka panjang. Subsidi input pertanian bukan merupakan cara mudah untuk menangani tingginya harga makanan dan pupuk. Oleh karena itu, rancangan dan pelaksanaannya harus didisain untuk dapat mempromosikan peningkatan akses petani kepada input pertanian dan sekaligus meninggkatkan produktifitas penggunannya. Kebijakan subsidi input pertanian harus terintegrasi dengan kebijakan
lainnya
sehingga
tujuan
peningkatan
produktifitas
pertanian,
pembangunan pedesaan dan pengelolaan peningkatan produksi dapat tercapai dengan baik (Chirwa et al, 2008).
69
Lebi lanjut Chirwa et al. (2008) menyatakan bahwa voucher atau kupon bisa menjadi cara yang efektif dalam mendistribusikan dan menargetkan akses subsidi untuk memaksimalkan peningkatan produksi dan pendapatan ekonomi dan sosial, dengan kesempatan untuk inovasi kerjasama swasta/publik dalam meningkatkan penyaluran alat-alat dan sistem permintaan. Akan tetapi terdapat banyak tantangan praktis dan politik pada desain program dan pelaksanaan untuk meningkatkan efisiensi, kendali biaya dan membatasi perlindungan dan kemungkinan penipuan. 3.4. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian Pada umumnya studi tentang peranan pembangunan ekonomi dilakukan dengan pendekatan sektoral. Studi dengan fokus utama pada sektor pertanian dilakukan oleh Arndt et al.(1998) dan Nokkala (2002). Sistem Neraca Sosial Ekonomi atau Social Accounting Matrix (SAM) Mozambique 1995 yang dinamakan MOZAM telah digunakan oleh Arndt et al. (1998) untuk memberikan pemahaman
tentang
kompleksitas
perekonomian
Mozambique
termasuk
keterkaitan antar sektor dengan fokus utama pada peranan sektor pertanian. Data MOZAM terdiri dari 40 aktivitas produksi, 40 komoditi dan 3 faktor produksi ( pertanian dan non pertanian, tenaga kerja, dan kapital). Rumah tangga dibedakan menjadi 2 tipe yaitu rumah tangga perkotaan dan perdesaan. Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah(government expenditure) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pengeluaran rutin(recurrent expenditure) dan investasi pemerintah (government invesment). Pembagian pengeluaran pemerintah ini dimaksudkan untuk menangkap peran aliran dana yang digunakan untuk membiayai
70
pengeluaran rekonstruksi. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi pengamatan pengeluaran rutin relatif terhadap pajak penghasilan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis multiplier untuk mengukur dampak kumulatif baik secara langsung maupun tidak langsung dari suatu shock. Setelah itu Structural Path Analysis (SPA) digunakan untuk mendekomposisi nilai multiplier yang dihasilkan menjadi pilahan-pilahan. Studi Arndt et al. (1998) menyimpulkan bahwa: Pertama, pengembangan pertanian sangat sesuai dalam membangun keseluruhan kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumah tangga. Kedua, pengembangan pertanian dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan. Ketiga, strategi pertumbuhan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan harus memfokuskan diri pada sektor pertanian, hal ini diperlihatkan oleh dampak multiplier yang besar pada saat peubah-peubah ini melalui aliran perekonomian masyarakat perdesaan. Arndt et al. (1998) juga melakukan studi yang menyajikan pengukuran kuantitatif keuntungan potensial karena peningkatan produktivitas sektor pertanian dan membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Analisis yang dilakukan didasarkan pada analisis computable general equilibrium (CGE), model untuk menangkap keunggulan struktural yang penting dari perekonomian Mozambique. Model ini secara eksplisit mengikursertakan pemilahan biaya pemasaran untuk kegiatan ekspor, impor dan juga penjualan domestik. Pertanian diaggregasi ke dalam 8 sub sektor. Permintaan rumah tangga dibedakan menjadi permintaan atas barang-barang yang dipasarkan dan barang-barang konsumsi
71
produk rumah tangga dengan penilaian harga didasarkan pada biaya produksi dan bukan didasarkan pada harga pasar. Hasil dari studi ini Arndt et al. (1998) mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas pertanian adalah hal yang sangat penting untuk perekonomian Mozambique, karena akan memberikan keuntungan potensial yang cukup besar bagi perekonomian. Namun, peningkatan output pertanian ini berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu terdapatnya biaya pemasaran yang cukup tinggi di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan jatuhnya harga cukup signifikan. Penurunan ini akan mentransmisikan keuntungan dari faktor pendapatan ke sektor pertanian dan faktor produksi. Namun, kondisi ini ternyata membawa keuntungan bagi rumah tangga perdesaan karena tersedianya pangan yang lebih banyak dan rendahnya harga produsen yang akan menurunkan biaya konsumsi rumah tangga. Nokkala (2002)
melakukan studi dengan tujuan untuk
menelaah
implementasi program investasi sektor pertanian di Zambia dengan menggunakan kerangka SAM 1995. Ada empat alternatif pola pengeluaran dana investasi sektor pertanian yang dipresentasikan sebagai suatu skenario kebijakan, yaitu skenario: (1) implementasi aktual, (2) implementasi optimal, (3) pengeluaran investasi sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga neraca endogen dan tiga neraca eksogen. Tiga neraca endogen tersebut adalah neraca produksi, faktor produksi dan institusi, sedangkan neraca eksogen terdiri dari neraca pemerintah, kapital dan rest of the world (ROW). Di samping itu, studi ini mendekomposisi matrik multiplier ke dalam empat komponen, yaitu: (1) initial injection (injeksi
72
awal), (2) kontribusi bersih dari transfer efek multiplier sebagai hasil dari transfer langsung neraca endogen, (3) kontribusi bersih dari open-loop effect yang menyerap interaksi antara tiga neraca endogen, dan (4) kontribusi bersih dari sirkulasi closed-loop effect yang menjamin bahwa arus pendapatan antara neraca endogen saling berhubungan. Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi oleh Nokkala (2002) menyatakan bahwa peran skenario shocks pengeluaran aktual Agricultural Sector Investment Program (ASIP) mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar daripada pertanian non komersial. Dari aspek pendapatan, program ASIP meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumah tangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Hal ini mendukung pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan, dalam hal ini kelompok berpendapatan rendah. Hasil analisis skenario 2, 3, dan 4 memperlihatkan hal yang senada dengan skenario 1, namun dengan komposisi besaran yang berbeda. 3.5. Tinjauan Studi Tentang Kebijakan Subsidi Pupuk Penelitian tentang kebijakan subsidi pupuk telah dilakukan di beberapa negara, diantaranya oleh Grepperud et al. (1999) di Tanzania, Yamano et al. (2010) di Afrika selatan, Sharma et al. (2009), Painuly dan Mahendra (1998) melakukan di India, Salimonu (2008) di Nigeria, Ekanayake (2009) di Sri Lanka, Minot dan Benson (2009) di Afrika dan penelitian mengenai penggunaan pupuk organik di Belanda oleh Feinerman and Marinus (2005).
73
Grepperud et al. (1999) melakukan penelitian tentang liberalisasi perdagangan jagung versus subsidi pupuk di Tanzania. Penelitian ini menyajikan analisis economy-environmental interlinkages dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) dalam rangka mengevaluasi langkahlangkah dua kebijakan dalam menstimulasi pertumbuhan dan produksi hasil pertanian di Tanzania. Model ini adalah multisektor yang fokus pada produksi sektor hasil pertanian dan proses soil mining. Analisis ini menunjukkan bahwa kedua reformasi kebijakan memiliki dampak yang luas dan signifikan saling melengkapi antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian di Tanzania. Subsidi pupuk mendorong manajemen produksi pangan dan pola produksi lahan yang intensif, sementara disisi lain liberalisasi pedagangan komoditas jagung menstimulasi proses produksi tanaman pangan dan tanah lebih intensif. Hanya dampak kecil yang teridentifikasi dari kedua reformasi kebijakan tersebut yaitu distribusi dan erosi tanah. Yamano et al. (2010) melakukan penelitian tentang subsidi pupuk dan aplikasinya di Afrika bagian timur.
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor
determinan penggunaan pupuk anorganik untuk tanaman pangan di negara Kenya, Ethiopia dan Uganda. Kajian ini juga menganalisis faktor-faktor determinan harga pupuk dan mengevaluasi kebijakan pupuk di setiap negara dengan menggunakan panel data. Kenya adalah salah satu dari beberapa negara Afrika yang telah berhasil melakukan liberalisasi pasar pupuk dan mencapai peningkatan yang substansial dalam penggunaan pupuk selama beberapa dekade. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu harga DAP dan permintaan di Kenya dapat dijelaskan terutama oleh kekuatan pasar dan faktor agro-ekologi yang
74
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan berorientasi pasar yang akan efektif. Salah satu faktor yang paling penting yang mempengaruhi penggunaan pupuk di Kenya adalah harga pupuk. Perkiraan hasil menunjukkan bahwa pengurangan relatif kecil dalam harga pupuk akan mengakibatkan peningkatan besar dalam penggunaan pupuk di negeri ini. Di sisi lain, Yamano et al. (2010) menyatakan
bahwa Ethiopia
menerapkan sistem state-led fertilizer marketing, sehingga faktor-faktor kebijakan yang terkait akan menentukan harga pupuk. Program subsidi pupuk yang diterapkan di Ethiopia menyebabkan non optimal penggunaan pupuk yang pada gilirannya akan menghasilkan pengembalian yang lebih rendah untuk investasi publik. Walaupun, program subsidi tersebut dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, namun program ini secara implementasi masih rendah. Sementara Uganda harus belajar dari pengalaman dua negara tetangga tersebut. Sharma et al. (2009) melakukan penelitian tentang penerima manfaat dari kebijakan subsidi pupuk di India. Penelitian ini menunjukkan bahwa subsidi pupuk meningkat secara signifikan dari periode pasca-reformasi dari Rs. 4389 crore pada tahun 1990-1991 menjadi Rs. 75.849 crore pada 2008-09. Persentase GDP juga mengalami peningkatan dari 0.85 persen pada 1990-1991 menjadi 1.52 persen pada 2008-2009. Studi ini juga menunjukkan persepsi umum tentang sepertiga subsidi pupuk yang dikelola oleh industri pupuk di India tidak berjalan dengan baik karena ada asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) bahwa masuknya India ke pasar dunia sebagai importir tidak mempengaruhi harga dunia; (2) pasar pupuk dunia yang memiliki struktur pasar persaingan sempurna tidak berjalan dengan baik pula.
75
Lebih lanjut Sharma et al. (2009) menyatakan bahwa arus perdagangan pupuk di pasar dunia yang lebih terkonsentrasi memberikan dampak signifikan terhadap harga dunia dan hal ini mempengaruhi india sebagai negara pengimpor. Selain itu, India menggunakan pendekatan Import Parity Pricing (IPP) yang menyebabkan industri pupuk di India mau tidak mau masuk ke dalam persaingan dunia yang akan membuat industri efisien sehingga mampu bertahan. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan transfer langsung subsidi pupuk ke petani tidak aman dan tidak tepat, serta dampak negatifnya lebih besar daripada manfaat yang dirasakan. Studi ini juga menyoroti distribusi subsidi pupuk antara skala usaha pertanian. Petani kecil dan marginal mempunyai kontribusi besar dalam subsidi pupuk dibandingkan kontribusi mereka pada daerah yang dibudidayakan. Penurunan subsidi pupuk memiliki dampak negatif pada produksi pertanian dan pendapatan petani kecil dan marjinal karena mereka tidak mendapatkan manfaat dari harga output lebih tinggi tetapi keuntungan dari harga input yang lebih rendah. Salimonu (2008) menganalisis sejauhmana akses subsidi pupuk kepada para petani komoditas tanaman pangan di negara Osun, Negeria. Studi ini menggunakan multistage sampling procedure, data primer dari 84 responden para petani tanaman pangan dengan memperhitungkan skala usaha, penggunaan pupuk, persepsi manfaat dari kebijakan subsidi dan karakteristik para penerima manfaat lainnya dari kebijakan subsidi. Alat-alat analisis yang digunakan adalah terutama statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata petani di daerah penelitian adalah petani yang memiliki skala usaha kecil dengan menggunakan 11.27 kg per hektar pupuk anorganik. Mayoritas sekitar 69 persen petani memiliki
76
manfaat rendah dari adanya kebijakan subsidi tersebut. Karakteristik penting dari penerima manfaat kebijakan lebih dipengaruhi oleh politik daripada petani itu sendiri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah stakeholderspertanian seharusnya bersama-sama menyusun metode terbaik dalam men-delivery suatu kebijakan. Yawson et al. (2010), meneliti tentang ketersediaan, akses, dan penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani berskala kecil pada dua komunitas di wilayah tengah negara Ghana, yaitu komunitas district capital dan komunitas typical farming. Penelitian ini menemukan bahwa perlu adanya usaha untuk memperbaiki distribusi pupuk dengan kupon agar menjamin efektivitas yang tinggi terhadap akses pupuk dan menciptakan partisipasi petani lebih berkelanjutan. Kombinasi faktor harga dan non harga merupakan hambatan akses ke subsidi pupuk. Dari hasil penelitian ini, beberapa petani mendapatkan manfaat dari program subsidi pupuk. Walaupun, para responden secara umum menyatakan tidak puas, namun mengakui bahwa program ini penting dan perlu dilanjutkan. Penelitian ini memberikan sinyal bahwa perlu penyesuaian yang dapat memiliki implikasi
manajemen secara skala makro yang berkelanjutan dari program
subsidi. Painuly dan Mahendra (1998) melakukan kajian tentang konsekuensi lingkungan dari pupuk dan pestisida dalam pertanian dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak negatif dari bahan kimia terhadap lingkungan. Isu-isu tersebut kemudian dianalisis secara perspektif penggunaan pupuk dan pestisida dalam pertanian India. Konsumsi pupuk di India terkonsentrasi di sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibudidayakan. Penggunaannya telah meningkat, namun tidak digunakan secara efisien. Ada
77
beberapa kemungkinan teknologi dan alternatif untuk mengurangi dampak negatif dari bahan kimia terhadap lingkungan, seperti kontrol biologis pada hama, manajemen hama terpadu, dan pengembangan varietas terhadap tahan hama tanaman. Hal ini harus dipertimbangkan saat merumuskan strategi untuk pertanian berkelanjutan di India dan negara-negara berkembang lainnya. Ekanayake (2009) melakukan penelitian tentang dampak subsidi pupuk pada tanaman padi di Sri Lanka. Masalah ini dianalisis dengan menggunakan tiga fungsi permintaan secara terpisah untuk pupuk yang utama dengan menggunakan model regresi sederhana. Hasil regresi menunjukkan bahwa perubahan harga pupuk dan padi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan pupuk, yang menunjukkan fakta bahwa subsidi pupuk bukan merupakan penentu utama dari penggunaan pupuk dalam budidaya padi. Studi ini juga menemukan bahwa ada korelasi yang relatif lebih tinggi antara penggunaan pupuk dan harga gabah dari antara penggunaan pupuk dan harga pupuk. Temuan ini menunjukkan bahwa subsidi pupuk bisa ditarik secara bertahap dari waktu ke waktu. Sebagai gantinya, infrastruktur yang tepat dan fasilitas institusional yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dalam budidaya padi dan mekanisme yang efektif untuk pemasaran output yang akan menghasilkan harga yang menguntungkan untuk padi dapat diperkenalkan untuk lebih efektif hasil. Minot dan Benson (2009), studi tentang subsidi pupuk di Afrika dengan sistem voucher, hasilnya bahwa pengalaman hingga saat ini belum cukup untuk mendukung bahwa sistem voucher adalah sistem yang sukses. Perlu penelitian yang lebih dalam dengan memperhatikan beragam faktor yang berpengaruh.
78
Feinerman and Marinus (2005) menganalisis substitusi pupuk organik dengan pupuk kimia (anorganik). Model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah menganalisis dampak dari parameter utama yang mempengaruhi inferioritas pupuk organik dibandingkan dengan pupuk kimia, termasuk ketersediaan yang rendah dan non-uniformity dari nitrogen pada pupuk organik dan tingkat non-uniformity baik tinggi maupun rendah dari tanaman dimana nitrogen tersedia disuplai melalui pupuk organik. Penelitian ini juga menganalisis sensitivitas sejauhmana keputusan pemupukan yang optimal dan dampaknya pada lingkungan yang terkait dengan mempertimbangkan faktor harga produksi, biaya pupuk dan pajak lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya subsidi akan memutuskan penggunaan nitrogen pada tanaman dengan pupuk kimia. Penelitian mengenai subisidi pupuk di Indonesia telah dilakukan oleh Osorio et al. (2010), Syafa'at et al. (2007), Rachbini (2006), Manaf (2000), Hutauruk (1996) dan Hendayana et al. (1993). Osorio et al. (2010) melakukan penelitian tentang siapa yang mendapatkan manfaat dari kebijakan subsidi pupuk di Indonesia dengan menganalisa distribusi manfaat subsidi pupuk dan pengaruhnya pada produksi padi.
Penelitian ini
menghasilkan bahwa sebagian besar petani memperoleh keuntungan dari subsidi pupuk. Akan tetapi sekitar 40 persen petani besar memanfaatkan sekitar 60 persen subsidi. Sifat regresif subsidi pupuk sejalan dengan penelitian yang dilakukan di negara-negara lain, sejumlah besar pupuk subsidi digunakan oleh petani besar. Pupuk yang digunakan dalam jumlah secukupnya memiliki pengaruh positif dan berarti pada panen beras, namun juga menyatakan bahwa penggunaan pupuk
79
secara berlebih memiliki pengaruh berlawanan pada hasil panen (garis kurva-U terbalik). Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan kinerja layanan publik untuk pertanian dengan berinvestasi pada barang-barang publik di bidang pertanian lainnya, yang menghasilkan laba panen lebih tinggi, sambil tetap berfokus pada dua tujuan khusus yaitu meningkatkan produksi di sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Terdapat beberapa pilihan menggunakan sumber daya yang baru diperoleh, mengingat pupuk hanya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil panen dan produktifitas pertanian yang melengkapi, bukan menggantikan, investasi dalam irigasi, peningkatan pelayanan, peningkatan pemasaran produk pertanian (terutama di kepulauan luar Jawa), penelitian dan pengembangan di sektor pertanian. Subsidi pupuk hanyalah salah satu pilihan untuk itu dan bisa jadi bukan merupakan alat yang paling efektif dari segi biaya. Alternatif yang lebih efektif untuk mendukung petani kecil dan mengatasi kemungkinan kendala di pasar kredit adalah dengan membangun sistem transfer uang tunai, sistem yang sudah pernah dilaksanakan di Indonesia secara intensif. Petani akan berada di posisi yang lebih baik untuk menentukan tingkatan dan kombinasi alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan mereka dengan diberlakukannya sistem transfer uang tunai. Akses petani akan lebih baik pada alat-alat (termasuk pupuk) untuk meningkatkan produktifitas. Selain itu sistem transfer uang tunai juga lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam bentuk dukungan keuangan. Syafa'at et al. (2007) melakukan studi mengenai kaji ulang kebijakan subsidi dan distribusi pupuk dengan metode deskriptif dan evaluasinya dilakukan
80
secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi. Hasil studi tersebut adalah (1) periode tahun 1970-sekarang modus subsidi yang diterapkan pemerintah berupa subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) pupuk, tahun 19701998 sistem distribusi yang digunakan pemerintah adalah sistem distribusi tertutup, sedangkan tahun 1999-sekarang sistem distribusi yang digunakan adalah sistem distribusi terbuka; (2) wacana untuk mengganti modus subsidi dari subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk menjadi subsidi yang dibayarkan langsung kepada petani dalam bentuk kupon secara umum kurang memperoleh respon positif; (3) produsen dan pelaku distribusi (distributor dan pengecer) di lokasi penelitian menyatakan bahwa dari prinsip 6 (enam) tepat, yaitu tepat jenis, kualitas, waktu, tempat, harga dan jumlah yang umumnya tidak terpenuhi adalah prinsip tepat jumlah; (4) di lokasi penelitian pada tingkat petani, prinsip 6 (enam) tepat umumnya terpenuhi dan responden juga menyatakan puas terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini dengan alasan utama pupuk mudah diperoleh pada saat dibutuhkan; (5) modus subsidi yang langsung dibayarkan kepada produsen (pabrik) pupuk yang berlaku saat ini perlu dipertahankan. Rachbini (2006) melakukan penelitian tentang dampak liberalisasi perdagangan pupuk terhadap kinerja perdagangan pupuk dan sektor pertanian di Indonesia. Dampak liberalisasi perdagangan pupuk cenderung menurunkan kinerja perdagangan pupuk dunia, sehingga diperlukan efisiensi produksi pupuk di Indonesia.
Namun untuk
mengantisipasinya,
Indonesia tidak
hanya
mengefisienkan saja, tetapi tetap harus disertai kebijakan subsidi supaya kinerja pertanian tidak turun.
81
Penelitian mengenai dampak penghapusan subsidi pupuk terhadap permintaan pupuk dan produksi padi di Jawa Barat dilakukan oleh Andari (2001) dengan menggunakan analisis regresi. Dari penelitian ini diketahui bahwa peningkatan harga pupuk yang disebabkan oleh kebijakan penghapusan subsidi pupuk diikuti dengan kenaikan harga padi di tingkat petani rata-rata sebesar 20 persen, kecuali penggunaan urea yang relatif tetap, kenaikan harga pupuk mempengaruhi perubahan penggunaan pupuk, tidak terdapat perbedaan fungsi produksi antara sebelum dan sesudah subsidi dihapuskan, fungsi permintaan input yang diperoleh menunjukkan tidak terdapat perbedaan permintaan antara sebelum dan sesudah subsidi dihapuskan. Permintaan input bersifat inelastis, setelah subsidi dihapuskan pendapatan petani lebih rendah namun secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata, usaha untuk meningkatkan pendapatan petani sebaiknya tidak dilakukan dengan kebijakan subsidi pupuk maupun input yang lain, tetapi lebih sesuai dengan meningkatkan harga output. Manaf (2000) melakukan penelitian pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis SNSE dengan menggunakan analisis alur struktural (Structural Path Analysis) serta analisis penggandaan (multiplier). Penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) kebijakan subsidi harga pupuk pada umumnya tidak mendorong kontinuitas peningkatan produksi secara umum, (2) subsidi harga pupuk memiliki dampak yang mengarah (bias) pada pengusaha menengah besar dibandingkan pada pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil, dan (3) jika dapat dilakukan dengan efektif, efisien dan dapat mencapai target yang dituju, subsidi melalui harga pupuk yang diperuntukkan bagi rumah tangga petani
82
sebesar 1 (satu) persen dari anggaran pembangunan dapat meningkatkan rata-rata pendapatan rumahtangga petani sebesar 22 persen. Hutauruk (1996) melakukan analisis dampak kebijakan harga dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada luas areal panen, produktivitas jangka pendek dan jangka panjang, produksi, surplus produsen dan kesejahteraan produsen. Studi tentang kebijaksanaan harga dan subsidi pupuk di Indonesia dilakukan oleh Hendayana et al. (1993) dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis dengan model ekonometrika. Temuan penelitian ini bahwa penyusunan kebutuhan pupuk melalui RDKK/RDK tidak bermanfaat, terjadi rembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain. Berdasarkan struktur inputoutput, pangsa pengeluaran untuk pupuk relatif kecil. Jika harga-harga input diimbangi dengan kenaikan harga output dan produktivitas yang memadai, maka dalam jangka pendek tidak akan berpengaruh terhadap upaya peningkatan produksi. Analisis kebijakan subsidi pupuk tidak terlepas dari aspek teknis, sehingga banyak penelitian-penelitian terdahulu tentang elastisitas dan efisiensi penggunaan input pupuk.
Studi mengenai elastisitas penggunaan pupuk terhadap jumlah
produksi sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Semua peneliti menemukan bahwa penggunaan pupuk oleh petani di negara Indonesia bersifat inelastis, karena elastisitas produksinya lebih kecil dari satu. Bahkan diantaranya ada yang menemukan nilai elastisitas pupuk terhadap jumlah produksi bertanda negatif atau lebih kecil dari nul. Elastisitas pupuk yang lebih kecil dari satu dan
83
bertanda positip menunjukkan bahwa pemakaian pupuk saat ini belum efisien, oleh karenanya perlu ditingkatkan bukan hanya dari sisi kuantitasnya namun juga termasuk kualitas pemakaiannya. Sedangkan untuk elastisitas pupuk yang bertanda negatif, berarti saat ini petani sudah irrasional dalam menggunakan pupuk, sehingga perlu dikurangi pemakaiannya karena sudah melampui pemakaian yang optimal. Studi yang menjelaskan besarnya elastisitas penggunaan pupuk terhadap produksi pertanian, diantaranya yang dilakukan oleh Suwarto (2009) yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas lahan tanaman pangan dengan melibatkan faktor-faktor produksi luas lahan, tenaga kerja, pupuk nitrogen, pupuk phosfat, pupuk organik, serta variabel-variabel non teknis yaitu pendidikan, umur dan kelembagaan lahan. Hasil analisa menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas diperoleh nilai elastisitas penggunakan pupuk anorganik nitrogen dan phosfat keduanya jauh lebih rendah dibandingkan pupuk organik. Elastisitas pupuk nitrogen terhadap produktifitas tanaman pangan adalah sebesar 0.026, kemudian elastisitas pupuk phosfat sebesar 0.007. Sedangkan untuk pupuk organik, elastisitas produksinya sebesar 0.113. Bahkan bila dibandingkan dengan input produksi lainnya seperti tenaga kerja dan lahan, besaran elastisitas penggunaakn pupuk organik masih terlihat lebih tinggi. Dimana elastisitas produksi tenaga kerja adalah 0.109 dan lahan -0.136. Meskipun demikian, besaran elastisitas pupuk organik yang masih lebih kecil dari 1 menandakan bahwa petani tanaman pangan saat ini berada dalam kondisi yang decreasing yang mengindikasikan bahwa setiap tambahan pupuk organik akan menghasilkan
84
tambahan output yang lebih rendah dibandingkan tambahan inputnya (pupuk organik). Selanjutnya khusus untuk tanaman padi, Triyanto (2006) menemukan bahwa koefisien variabel pupuk terhadap produksi padi adalah sebesar 0.017 (inelastis), artinya bila ada penambahan pupuk secara agregat sebesar 1 persen
maka ada kecenderungan bahwa produksi padi dapat ditingkatkan
sebesar 0.017 persen. Kecilnya pengaruh penggunaan pupuk terhadap produksi padi
di
Jawa
Tengah
ini
sulit
untuk
dijelaskan.
Diduga
ada
tiga
kemungkinan yang menjadi penyebabnya, pertama karena kecilnya penggunaan pupuk, kedua besarnya penggunaan pupuk terutama Urea kemungkinan
kurang
sesuainya
dan
ketiga
komposisi penggunaan pupuk di Jawa
Tengah. Begitu juga dengan Darwanto (2009) dalam studinya menemukan bahwa variabel pupuk mempunyai nilai koefisien elastisitas terhadap padi yang lebih kecil dari satu yakni sebesar 0.34. Dilihat dari nilai elastisitas yang kurang dari 1 ini maka dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk bersifat inelastis, dimana setiap penambahan 1 persen pupuk maka output padi akan bertambah sebesar 0.34 persen. Termasuk Bagio (2007) juga menemukan bahwa koefisien elastisitas pupuk terhadap produksi adalah kurang dari satu yakni sebesar 0.090 yang menunjukkan kondisi inelatistis, artinya apabila petani menaikkan penggunaan input pupuk sebesar 10 persen maka kenaikan produksi yang diharapkan hanya sebesar 0.90 persen, yang berarti lebih rendah dari pertambahan input. Hasil analisa efisiensi juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk bersama dengan bibit, insektisida dan tenaga kerja masih dalam kategori yang tidak efisien.
85
Selain itu Sukatami (2009) juga menemukan bahwa penggunaan pupuk berpengaruh positip terhadap jumlah produksi padi, dengan nilai elastisitasnya sebesar 0.123 yang artinya untuk setiap peningkatan pupuk yang digunakan sebanyak 1 persen dapat menyebabkan kenaikan produksi padi sebesar 0.123 persen. Studi mengenai pupuk dan tanaman padi yang cukup terbaru dilakukan oleh Sulhan (2010). Penelitiannya menggunakan metode survei dengan melibatkan 120 Rumah Tangga Petani (RTP) yang ditentukan secara acak sederhana dari 170 RTP. Data yang dikumpulkan adalah tingkat penggunaan lahan dan pupuk urea pada setiap RTP. Alat analisis yang digunakan adalah Fungsi Produksi Cobb-Douglas dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat elastisitas penggunaan lahan dan pupuk urea. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan lahan dan pupuk urea digunakan alat analisis Efficiency Index (EI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan lahan dan pupuk urea dalam usahatani padi memiliki indek efisiensi yang lebih kecil dari 1 yang berarti tingkat penggunaan kedua faktor produksi tersebut masih kurang karena dari setiap penambahan satu unit faktor produksi tersebut akan memberikan penerimaan yang lebih besar daripada besarnya biaya yang dikeluarkan. Oleh karenanya penggunaan kedua faktor produksi tersebut belum efisien sehingga disarankan untuk ditingkatkan penggunaannya. Sedangkan untuk tanaman pangan lainnya, misal cabai, Soetiarso (1995) mengatakan bahwa pupuk kandang dan pupuk TSP masih dimungkinan untuk ditambah lagi penggunaannya untuk meningkatkan produksi cabai merah. Penggunaan pupuk kandang bila ditambah 1 persen akan dapat meningkatkan
86
produksi sebesar 0.467 persen, sedangkan dengan pupuk TSP akan meningkatkan produksi sebesar 0.451 persen. Studi mengenai penggunaan pupuk pada tanaman cabai juga dilakukan oleh Kalsum (2008) yang dapat menunjukkan bahwa elastitas pupuk kandang adalah 0.476 yang berarti setiap penambahan satu persen input pupuk kandang akan meningkatkan produksi sebesar 0.476 persen. Hasil temuannya juga menunjukan bahwa pupuk urea mempunyai nilai elastisitas yang negatif sebesar -0.0346, sehingga dapat dikatakan penggunaan pupuk urea sebenarnya sudah optimal. Selanjutnya elastisitas pupuk NPK sebesar 0.01998 bertanda positip yang berarti setiap penambahan satu persen input pupuk kandang akan menaikan produksi sebesar 0.01998 persen. Ini berarti pemakaian pupuk NPK di daerah penelitian belum optimal karena penambahan pupuk NPK sebenarnya masih dapat menaikkan produksi walupun dalam jumlah kenaikan yang kecil. Terakhir studi yang dilakukan oleh Tumangor (2009) yang memperoleh temuan bahwa nilai elastisitas pupuk terhadap produksi coklat adalah sebesar 0.048 yang bersifat inelastis, dimana setiap penambahan pupuk sebanyak 1 persen hanya mampu meningkatkan produksi coklat sebanyak 0.048 persen. Hal ini disebabkan petani belum melakukan pemakaian pupuk yang tepat waktu dan tepat sasaran atau belum melakukan pemakaian dosis pupuk yang seimbang. 3.6. Tinjauan Studi Tentang Penentuan Prioritas Alternatif Keputusan dengan Menggunakan Metode Analytic Network Process (ANP) Penelitian-penelitian tentang proses pengambilan keputusan dengan menentukan prioritas dari beberapa alternatif keputusan yang diaplikasikan untuk
87
berbagai bidang telah dilakukan oleh Chen et al. (2011) untuk bidang perbankan, Pramod dan Banwet (2010) pada telekomunikasi, Chang (2007) pada bidang entertainment, Suswono (2010) bidang pangan, Bayazit(2006) dan Yurdakul (2003) untuk efisien distribusi dan kinerja perusahaan. Chen et al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul The Analytic Network Process for The Banking Sector : An Approach To Evaluate The Creditability Of Emerging Industries, mengidentifikasi kualitas pinjaman bank lebih baik untuk mengurangi Non Performing Loan (NPL). Penelitian ini menggunakan kombinasi antara literatur yang relevan, wawancara dengan para ahli, mengadopsi metode Delphi, dan analytic network process (ANP) untuk membangun metode evaluasi serta untuk menentukan efektivitas ANP tersebut. Dalam studi ini, peneliti menerapkan ANP untuk membangun sebuah metode evaluasi dan memperkenalkan empat kriteria serta sepuluh sub-kriteria untuk mengevaluasi enam model Bancassurance aliansi alternatif. Penelitian ini membuktikan bahwa ANP adalah alat yang efektif untuk memberikan solusi yang akurat untuk pembuat keputusan. Pramod dan Banwet (2010), melakukan penelitian yang berjudul Analytic Network Process Analysis of an Indian Telecommunication Service Supply Chain : A Case Study bertujuan untuk menganalisis dimensi kualitas kinerja dari sebuah perusahaan jasa telekomunikasi mengenai rantai pasokan dalam konteks India. Saat ini ledakan yang cepat telah terjadi di sektor telekomunikasi. Salah satu masalah yang penting yang harus dihadapi oleh manajemen puncak adalah membandingkan evaluasi dari berbagai alternatif di dalam menyediakan layanan telekomunikasi. ANP adalah alat yang dapat membantu proses pengambilan
88
keputusan yang bersifat multi-kriteria yang dapat merangkum faktor-faktor yang saling terkait dalam mempengaruhi keputusan. Sebagai dasar evaluasi kinerja digunakan pada sector jasa telekomunikasi ini digunakan empat prespektif dimensi, yaitu pelanggan, bisnis internal, inovasi dan pembelajaran, serta keuangan, yang diadopsi dari balanced scorecard. Tiga layanan publik sektor organisasi telekomunikasi yang telah dianalisis adalah (1) konsultasi; (2) pelayanan; (3) pelatihan dan kontrol kualitas. Chang (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Selecting the Hosts of Taiwan TV-Shopping Channels by Analytic Network Process mengatakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelesaikan permasalahan di dalam proses penyeleksian pembawa acara yang paling sesuai untuk acara TV-Shopping di Taiwan. Berawal dari mewawancara 60 praktisi, kemudian mengumpulkan sembilan kriteria terbaik untuk menyeleksi pembawa acara TV-Shopping yang paling sesuai dan mengambil kriteria-kriteria tersebut untuk dipertimbangkan ke dalam tiga prespektif. Setelah berdiskusi dengan para praktisi, peneliti menemukan bahwa dalam mengevaluasi kriteria adalah saling terkait. Analytic Network Process (ANP) yang mencakup hubungan saling ketergantungan antara kriteria dari tingkat yang berbeda atau dalam tingkat yang sama merupakan pendekatan
baru
untuk
multi-kriteria
pengambilan
keputusan.
Peneliti
berpendapat bahwa model penelitian ini diusulkan adalah generik, lebih fleksibel, dan komprehensif, serta sesuai untuk dieksploitasi untuk memilih pembawa acara saluran TV-Shopping. Suswono (2010), melakukan penelitian strategi peningkatan daya saing Perum Bulog dengan tujuan menentukan strategi alternatif peningkatan daya saing
89
Perum Bulog ke depan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan alternatif strategi yang prioritasnya paling tinggi untuk dipilih adalah strategi value creation dan strategi efficiency untuk peningkatan daya saing Perum Bulog. Hal ini menunjukkan bahwa strategi value creation dipercaya mampu meningkatkan daya saing Perum Bulog. Meski demikian, strategi efficiency sudah selayaknya dipertimbangkan sebagai secondary strategy sepanjang mampu melakukan secara simultan dengan strategi value creation. Bayazit (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Use of Analytic Network Process in Vendor Selection Decisions, mengatakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan wawasan yang baik dalam penggunaan Analytic Network Process (ANP) yang merupakan metodologi kriteria pengambilan beberapa keputusan dalam mengevaluasi masalah seleksi pemasok. Pedekatan metodologi dalam penelitian ini adalah penyeleksian pemasok yang mempunyai permasalahan multi-tujuan yang memiliki banyak pendekatan secara kualitatif dan kuantitatif. Dalam studi ini, model ANP yang diusulkan dalam mengevaluasi proses seleksi pemasok sebagai kerangka kerja untuk membatu manajer. Hal ini menunjukkan bahwa ANP dapat digunakan sebagai alat analisis untuk memecahkan masalah multi-kriteria pemilihan supplier yang saling ketergantungan. Yurdakul (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Measuring Long-term Performance of a Manufacturing Firm Using Analytic Network Process (ANP) approach mempunyai tujuan untuk memberikan pengukuran model kinerja multikriteria sebuah perusahaan manufaktur yang berada di daerah penting dalam menghasilkan pendapatan serta biaya pengendalian dalam operasi perusahaan
90
manufaktur tersebut. Dalam mengembangkan model pengukuran kinerja, digunakan pendekatan Analytic Network Process (ANP). Pendekatan ANP tersebut merupakan bentuk umum dari metodologi Analytic Hierarchy Process (AHP), dimana penggunaannya lebih dianjurkan ketika terdapat kebebasan antar elemen yang berbeda dari suatu sistem yang dilanggar. Dalam sistem manufaktur, atribut sistem saling berhubungan. Selanjutnya, kepentingan relatif dari atributatribut tersebut saling berhubungan satu sama lain dan mempunyai kontribusi terhadap kinerja keseluruhan yang dipengaruhi oleh strategi kompetitif yang diterapkan oleh perusahaan manufaktur tersebut. Model evaluasi kinerja yang dikembangkan di penelitian ini menggabungkan struktur kompetitif dan saling bergantungan antara atribut sistem di dalam hierarki struktur dan mencapai representasi yang lebih realistis dan akurat dari kinerja jangka panjang perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan dan dipaparkan di atas, penelitian mengenai kebijakan subsidi pupuk telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk di indonesia, tetapi belum ada penelitian secara komprehensif mengenai dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap perekonomian nasional secara menyeluruh terhadap distribusi pendapatan yang meliputi pendapatan institusi (rumah tanggga, perusahaan dan pemerintahan), faktor pruduksi/nilai tambah (tenaga kerja dan modal), dan pendapatan sektor produksi (khususnya sektor produksi yang terkait dengan pertanian).
Pada penelitian ini,
dilakukan penelitian mengenai kebijakan subsidi pupuk dan pengangaruhnya terhadap distribusi pendapatan (institusi, faktor produksi dan sektor produksi). Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan disagregasi untuk jenis pupuk
91
menjadi pupuk anorganik dan organik sehingga akan jelas diketahui dampak dari kebijakan susbisdi pupuk untuk kedua jenis pupuk tersebut. Selanjutnya, agar supaya kebijakan yang terpilih dapat diimplementasikan dengan baik, maka dalam menentukan kebijakan subsidi pupuk perlu memperhatikan berbagai kriteria. Kriteria tersebut tidak hanya memperhatikan kriteria ekonomi saja tetapi juga non ekonomi (multicritea decision making), maka metode
Analytic Network Process (yang banyak digunakan dalam
pemilihan alternatif keputusan seperti hasil penelitian yang diapaparkan di atas) diaplikasikan untuk memilih prioritas kebijakan susbidi pupuk pada penelitian ini.