III. STRATEGI DAN KEBIJAKAN 3.1.
Pelajaran dari Strategi dan Kebijakan Umum Sebelumnya Meskipun secara relatif semakin menurun, peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional masih dominan. Menurunnya sumbangan sektor pertanian tersebut ternyata tidak diikuti oleh penurunan secara proporsional dalam beban/penyerapan tenaga kerja, yang berakibat adanya ketimpangan produktivitas antara sektor pertanian dan sektor diluar pertanian. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasiona, baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain Pada situasi kisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter saat ini, sektor pertanian kembali berperan sebagai sektor penyelamat pembangunan nasional, melalui: (a) Perannya dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai; (b) Perannya dalam perolehan devisa melalui ekspor; (c) Perannya sebagai reservoar (penampung) tenaga kerja yang kembali ke pedesaan sebagai akibat dampak krisis; (d) Perannya dalam menanggulangi kemiskinan masyarakat yang semakin meningkat; (e) Perannya dalam pengendalian inflasi; dan (f) Dengan tingkat pertumbuhan yang masih positif, sektor pertanian berperan dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Terlepas dari keberhasilan yang telah dicapai dan peran strategis sektor pertanian diatas, tantangan pembangunan pertanian saat ini dan mendatang dirasakan semakin berat. Disamping masih adanya masalah yang belum terselesaikan dari kegiatan pembangunan yang lalu, telah pula timbul masalah baru sebagai konsekuensi perubahan lingkungan strategis global dan domestik, dan masalah yang timbul akibat krisis ekonomi yang terjadi. Pembangunan pertanian difokuskan kepada aspekaspek peningkatan ketahanan pangan, penyediaan lapangan kerja dalam rangka mengatasi pengagguran, peningkatan pendapatan dalam rangka pengentasan kemiskinan serta peningkatan devisa melalui ekspor.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 1
Dalam dekade terakhir, produksi dari berbagai komoditas, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan menunjukkan peningkatan berarti. Keberhasilan ini telah berdampak kepada perbaikan peningkatan ketahanan pangan nasional, perolehan devisa dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari fenomena di atas, jelas bahwa strategi pembangunann yang tidak mementingkan sektor pertanian berakibat pada kerapuhan tatanan ekonomi nasional. Sebaliknya diperlukan kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian untuk memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas. 3.2.
Strategi Umum dan Kebijakan Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian 2005-2009 disusun berlandaskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Agenda pembangunan ekonomi dalam RPJMN yang terkait dengan pembangunan pertanian, antara lain: (a) revitalisasi pertanian, (b) peningkatan investasi dan ekspor non-migas; (c) pemantapan stabilisasi ekonomi makro; (d) penanggulangan kemiskinan; (e) pembangunan perdesaan; dan (f) perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Revitalisasi pertanian antara lain diarahkan untuk meningkatkan: (a) kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90-95 persen dari kebutuhan; (b) diversifikasi produksi dan konsumsi pangan; (c) ketersediaan pangan asal ternak; (d) nilai tambah dan dayasaing produk pertanian; dan (e) produksi dan ekspor komoditas pertanian. Strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian adalah sebagai berikut: a. Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan bebas KKN. b. Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian. c. Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan. d. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memberdayakan SDM pertanian. e. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. f. Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. g. Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 2
Arah kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan pertanian jangka panjang adalah: a. Membangun basis bagi partisipasi petani; b. Meningkatkan potensi basis produksi dan skala usaha pertanian; c. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan sumberdaya insani pertanian yang berkualitas; d. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pertanian: e. Mewujudkan sistem pembiayaan pertanian tepat guna; f. Mewujudkan sistem inovasi pertanian; g. Penyediaan sistem insentif dan perlindungan bagi petani; h. Mewujudkan sistem usahatani bernilai tinggi melalui intensifikasi, diverdifikasi dan pewilayahan pengembangan komoditas unggulan; i. Mewujudkan Agroindustri berbasis pertanian domestik di pedesaan; j. Mewujudkan sistem rantai pasok terpadu berbasis kelembagaan pertanian yang kokoh; k. Menerapkan praktek pertanian dan manufaktur yang baik; dan l. Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani dan pertanian. Banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan. Beberapa kebijakan strategis yang perlu ditekankan dan memerlukan penanganan segera yaitu: a. Kebijakan ekonomi makro yang kondusif yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dam suku bungan riil positif. b. Pembangunan infrastruktur pertanian meliputi pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, perluasan lahan pertanian terutama di luar Jawa, pencegahan konversi lahan terutama di Jawa, pengembangan jalan usahatani dan jalan produksi serta infrastruktur lainnya.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 3
c. Kebijakan pembiayaan untuk mengembangkan lembaga keuangan yang khusus melayani sektor pertanian, lembaga keuangan mikro, pembiayaan pola syaraiah, dan lainnya. d. Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran baik di pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain itu, untuk melindungi sektor pertanian dari persaingan di pasar dunia, diperlukan: (a) memperjuangkan konsep Strategic Product (SP) dalam forum WTO; (b) penerapan tarif dan hambatan non-tarif untuk komoditas-komoditas beras, kedelai, jagung, gula, beberapa produk hortikultura dan peternakan. e. Kebijakan pengembangan industri yang lebih menekankan pada agroindustri skala kecil di perdesaan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petanai. f. Kebijakan investasi yang kondusif untuk lebih mendorong minat investor dalam sektor pertanian. g. Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran untuk sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya. h. Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian meliputi: infrastuktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup pertanian, menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi dayasaing pertanian, serta alokasi APBD yang memadai. Beberapa kebijakan yang langsung terkait dengan sektor pertanian dan dalam kewenangan atau memerlukan masukan dari Departemen Pertanian adalah: a. Kebijakan dalam pelaksanaan manajemen pembangunan yang bersih, transparan, dan bebas KKN, diarahkan untuk menyusun kebijakan peningkatan kesejahteraan pegawai disertai penerapan reward and punishment secara konsisten. b. Kebijakan dalam peningkatan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, diarahkan untuk: (a) peningkatan keterbukaan dalam perumusan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, (b) peningkatan evaluasi, pengawasan, dan pengendalian manajemen pembangunan pertanian, (c) penyelarasan pembangunan pertanian antar sektor dan wilayah. c. Kebijakan dalam memperluas dan meningatkatkan basis produksi secara berkelanjutan diarahkan untuk: (a) peningkatan investasi swasta, (b) penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan, (c) kebijakan pewilayahan komoditas, dan (d) penataan sistem pewarisan lahan pertanian. d. Kebijakan dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 4
revitalisasi penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan pertanian, (b) peningkatan peran serta masyarakat, (c) peningkatan kompetensi dan moral aparatur pertanian, (d) penyelenggaraan pendidikan pertanian bagi petani, dan (e) pengembangan kelembagaan petani. e. Kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian diarahkan untuk: (a) pengembangan sarana dan prasarana usaha pertanian, (b) pengembangan lembaga keuangan perdesaan, (c) pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran. f. Kebijakan dalam meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna diarahkan untuk: (a) merespon permasalahan dan kebutuhan pengguna, (b) mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian spesifik lokasi, (c) pengembangan produk berdayasaing, (d) penyelarasan dan integrasi dengan penguasaan IPTEK pertanian, dan (e) percepatan proses dan perluasan jaringan diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian. g. Kebijakan dalam meningkatkan promosi dan proteksi komoditas pertanian, diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan subsidi tepat sasaran dalam sarana produksi, harga output, dan bunga kredit untuk modal usahatani (b) peningkatan ekspor dan pengendalian impor, (c) kebijakan penetapan tarif impor dan pengaturan impor, (d) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha, (e) perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi produksi, pengelolaan pascapanen dan pengolahan hasil, dan (f) penguatan sistem pemasaran dan perlindungan usaha. 3.3.
Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang dutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan).
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 5
Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Sedangkan konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegitan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang. Inti permasalahan dalam mewujudkan kemandirian pangan terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, dan perubahan selera. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional, pertumbuhannya lambat atau malahan stagnan, karena adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada pangan impor yang tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara. Permasalah lain yang menonjol dalam kemandirian pangan adalah masih adanya kelompok masyarakat (dalam proporsinya cukup besar) yang mempunyai daya beli rendah atau yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab, sehingga mereka mengalami kerawanan pangan kronis maupun transien. Jika kondisi yang mereka alami ini berkelanjutan,maka bangsa ini akan kehilangan potensi sebagian sumberdaya manusianya karena menurunnya kualitas fisik maupun kecerdasannya.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 6
Menyikapi permasalahan tersebut, pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada kekuatan ekonomi domestik, yang mampu menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategik domestik dan global, sasaran pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian pangan yang diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator : (a) mantapnya ketersediaan pangan nasional, yang dicerminkan oleh impor pangan utama di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional, (b) menurunnya tingkat kerawanan pangan yang dicirikan oleh pengurangan jumalh penduduk setengahnya, yang mempunyai tingkat konsumsi pangan energi kurang dari 70 persen dari AKG (angka kecukupan gizi), (c) terpenuhinya kebutuhan pangan tingkat rumah tangga, yang direpresentasikan oleh konsumsi energi sebesar 2.000 kkal/kap/hari dan konsumsi protein 52 gram/kap/hari, (d) meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan, dan menurunnya ketergantungan pada`satu jenis pangan tertentu pada`tingkat rumah tangga, sesuai pola pangan harapan sebesar 96,6, yang dicerminkan oleh kontribusi konsumsi maksimal kelompok padi-padian 51,6 persen dan kelompok minyak dan ternak sebesar 10 persen serta kontribusi minimal untuk kelompok umbi-umbian 5,7 persen, pangan hewani 11,2 persen, buah/biji berminyak 3,0 persen, kacangkacangan 4,8 persen, gula 5,0 persen, sayur dan buah 5,7 persen dan sumber pangan lainnya sebesar 3 persen. Menyadari keberagaman potensi sumber daya pangan antar daerah dan keberagaman selera serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, kemandirian pangan dalam konteks ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui upaya (a) memanfaatkan potensi dan keragaman sumber daya lokal yang dilaksanakan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik wllayah, (b) mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis pangan yang berdaya saing dan berkelanjutan, (c) mengembangkan perdagangan pangan regional/antar wilayah, (d) memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana, (e) memberikan jaminan akses yang lebih baik bagi masyarakat miskin atas pangan yang bersifat pokok.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 7
Pokok-pokok kebijakan ketahanan pangan yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan jangka panjang yaitu; (a) mengembangkan sistem pengaturan perdagangan pangan yang adil, (b) melakukan pengendalian konversi lahan, (c) meningkatkan produktivitas usaha pangan, (d) peningkatan pengelolaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, (e) meningkatkan kutu dan keamanan pangan, (f) melakukan antisipasi terhadap dinamika perubahan iklim dan sumberdaya air, (g) meningkatkan pengelolaan pertumbuhan penduduk dan (h) mengembangkan aliansi solidaritas masyarakat mengatasi masyarakat mengatasi kerawanan pangan. Langkah-langkah kebijakan oprasional pembangunan ketahanan pangan nasional dilakukan dengan: (a) Pengembangan produksi dan ketersediaan pangan, melalui pemeliharaan dan peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, peningkatan produksi pangan domestik meliputi volume, kualitas dan keragamannya, serta pengembangan teknologi; (b) Distribusi dan akses pangan melalui pemanfaatan wahana perdagangan internasional, dilaksanakan dengan menfasilitasi dan mengatur ekspor, impor pangan, yang berorientasi pasar dan berpihak pada keseimbangan kepentingan produsen maupun konsumen; serta peningkatan efesiensi sistem distribusi pangan; (c) Pengelolaan terhadap permintaan dan konsumsi pangan melalui pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang serta; peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat terhadap pangan. 3.4.
Strategi dan Kebijakan Pembiayaan Pertanian Modal, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan telah berperan penting dalam perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia. Walaupun alokasi pembiayaan untuk kegiatan pertanian ini relatif kecil dibandingkan dengan sektor lain, akan tetapi ketersediaan modal khususnya kredit program yang telah diluncurkan sejak kredit pola Bimas ternyata mampu mengantar Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Ketersediaan modal untuk pertanian khususnya kredit lunak saat ini menjadi sangat terbatas setelah berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Kebijaksanaan tersebut mengisyaratkan pembiayaan pertanian tidak lagi dapat sepenuhnya bergantung pada KLBI, akan tetapi lebih banyak mengandalkan ketersediaan modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan perbankan dan non
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 8
perbankan di dalam negeri maupun luar nrgeri, dengan pola penyaluran yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial. Sehubungan dengan itu diperlukan upaya dalam memfasilitasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan yang ada maupun pengembangan sumber pembiayaan baru bagi para pelaku agribisnis, mulai dari petani skala kecil, menengah, koperasi sampai skala besar. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pembiayaan pertanian adalah sebagai berikut: (a) Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya; (b) Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas. Hal ini disebabkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5C (Character, Collateral, Capacity, Capital, dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani; (c) Usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh pihak investor, sehingga menghambat aliran modal investasi maupun modal kerja ke sektor pertanian; (d) Skim kredit pada umumnya masih membiayai usaha produksi, belum menyentuh kegiatan praproduksi, pasca produksi, dan pascapanen. Padahal kegiatan off farm ini memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan on farm; (e) Belum berkembangnya lembaga penjaminan usaha di bidang pertanian (Asuransi Pertanian) yang mengakibatkan lembaga keuangan maupun investor enggan untuk menyalurkan dananya pada kegiatan agribisnis; (f) Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan dukungan pembiayaan sektor pertanian tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional yang memprioritaskan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional; dan (g) Belum berkembangnya Lembaga Keuangan Pedesaan/ Lembaga Kredit Mikro di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan masyarakat untuk menabung dengan jumlah modal yang keluar pedesaan (capital outflow). Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan pertanian adalah sebagai berikut : (a) menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber pembiayaan; (b) mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau oleh petani kecil di pedesaan; (c) mengembangkan pola penjaminan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 9
kredit dan pola pendampingan bagi UMKM agribisnis; (d) mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah untuk pembiayaan sektor pertanian; (e) Mengembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga keuangan mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaan UMKM agribisnis; (f) mengembangkan skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit agribisnis yang mudah diakses oleh petani; (g) mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan yang telah ada; (h) meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di luar negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis; dan (i) meningkatkan partisipasi/memobilisasi dana masyarakat untuk pengembangan agribisnis. 3.5.
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ekspor Produk Pertanian Target ekspor komoditas pangan, perkebunan, dan peternakan tahun 2005 diharapkan dapat mencapai 7,8 miliar dollar AS. Nilai expor diharapkan tumbuh minimal 5% per tahun, sehingga tahun 2009 total ekspor dapat mencapai 12 miliar dollar AS. Strategi pengembangan ekspor yang perlu ditempuh adalah: A.
Meningkatkan daya saing produksi dalam negeri melalui: a. Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar, b. Menumbuh kembangkan industri pengolahan hasil pertanian di perdesaan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. Meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk ekspor baik segar maupun olahan, d. Penumbuhan kawasan agroindustri melalui Pelayanan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P3HP), e. Pengembangan sarana dan prasarana pasar termasuk cold storage dan packing house, f. Harmonisasi tarif, pajak/pungutan ekspor & standardisasi mutu,
B.
Peningkatkan pangsa pasar ekspor melalui: a. Pengembangan informasi pasar & market intelligence, b. Penguatan diplomasi, negosiasi dalam membuka pasar,
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 10
c. Perluasan akses pasar melelui promosi dan pengembangan Free Trade Area (FTA), d. Peningkatan kerjasama internasional, e. Peningkatan kemampuan negosiasi dan diplomasi (sekretariat WTO, training, magang), dan f. Sosialisasi hasil-hasil negosiasi & diplomasi 3.6.
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Pertanian Sektor pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah, a. l. sempitnya lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia (900 m2/kapita), makin banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan < 0,5 ha/keluarga, cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan pertanian, untuk kepentingan domestik dan ekspor non migas. Oleh karena itu, revitalisasi pertanian perlu dipercepat a.l. melalui: (i) kompensasi konversi lahan sawah, (ii) pembukaan lahan pertanian baru, dan (iii) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga tani. Pembangunan pertanian Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, menyediakan lapangan kerja, mensejahterakan petani, dan meningkatkan devisa. Tujuan tersebut belum tercapai disebabkan oleh: (a) Terus meningkatnya kebutuhan terhadap produk pertanian, sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk sekitar 1,6 persen per tahun; (b) Sempitnya penguasaan lahan pertanian dan meningkatnya jumlah petani gurem. Secara nasional petani dengan lahan garapan < 0,5 ha, meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 persen per tahun; (c) Tingginya laju konversi lahan pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun; (d) Gap produktivitas pertanaman dengan potensinya. Produktivitas ratarata nasional padi sawah, jagung, dan kedelai baru mencapai 4,6; 3,0 dan 1,2 ton/ ha. Dengan penerapan inovasi teknologi, produktivitas ini dapat ditingkatkan masing-masing sampai 5,4; 4,5; dan 2 ton/ha; (e) Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan, sehingga belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Selain itu, lemahnya
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 11
kelembagaan ini berakibat pada tidak efisiennya sistem pertanian, dan rendahnya keuntungan yang diterima petani; dan (6) Sektor pertanian dipandang tidak atraktif dibanding sektor lain, menyebabkan derasnya arus urbanisasi angkatan kerja sehingga meningkatkan pengangguran di perkotaan. Dari sisi sumberdaya lahan terbuka peluang besar untuk pembukaan lahan pertanian melalui (1) pemanfaatan lahan terlantar, yang dewasa ini diperkirakan mencapai luas 9,7 juta ha, dan (2) pembukaan lahan baru untuk pertanian. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi. Kebijakan pertanian 5 tahun ke depan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi berbagai komoditas unggulan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan usaha serta kesejahteraan petani. Selain itu, konversi lahan sawah ke non pertanian yang sekarang berada pada angka 110.000 ha per tahun (berdasarkan data antara 1999-2002), diharapkan dapat diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun sejak 2009 secara bertahap mendekati nol. Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alangalang dan semak belukar) di 13 propinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah (c) perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan (f) penguatan kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan. Tujuan pemanfaatan lahan terlantar adalah memfasilitasi masyarakat untuk menggunakan lahan tersebut untuk pertanian, dengan bimbingan teknis, bantuan langsung, dan kredit, disediakan oleh pemerintah. Peta lahan terlantar tersebut sudah tersedia dalam skala 1 : 50.000. Model pengembangan yang dipilih dalam pemanfaatan lahan terlantar adalah pola pengembangan agroindustri pedesaan dengan ciri utama sebagai berikut: (a) berorientasi pada
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 12
permintaan pasar (lokal, regional dan internasional); (b) komoditas yang dipilih disesuaikan dengan potensi sumberdaya lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, seperti padi, jagung, kedelai, sayuran dan ternak, serta tanaman tahunan; (c) areal pengembangan diprioritaskan pada wilayah dengan kendala minimum. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas petapeta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok. Luas lahan yang sesuai untuk perluasan lahan sawah berdasarkan peta skala 1:1.000.000, tersedia sekitar 16 juta ha, dengan sebaran paling luas di Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Pada umumnya lahan basah tersebut merupakan lahan rawa (pasang surut dan lebak). Untuk operasional perluasan lahan sawah masih diperlukan peta pada skala lebih detail (1:50.000). Berdasarkan proyeksi kebutuhan beras tahun 2009 diperlukan penambahan produksi beras sebanyak 1,8 juta ton beras atau setara dengan 3 juta ton GKG, atau perluasan areal seluas 600.000 ha dalam 5 tahun ke depan, apabila tidak ada konversi lahan. Dalam pelaksanaanya perluasan lahan sawah akan disesuaikan dengan ketersediaan dana. Lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Lahan yang secara bio-fisik sesuai untuk perluasan tanaman tahunan (buah-buahan, dan tanaman perkebunan) masih cukup luas (25 juta ha). Lahan ini dapat dimanfaatkan untuk areal perkebunan rakyat untuk komoditas kakao (Sulsel, Sulteng, Sultra) dan sawit (Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Papua), dan buah-buahan tropika. Sebagian lahan yang berpotensi untuk tanaman tahunan tersebut berstatus tanah negara.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 13
Untuk mencapai kelayakan usahatani per kepala keluarga (KK), luas lahan usahatani yang diperlukan adalah sekitar 5 ha per KK (3 ha komoditas perkebunan dan pakan ternak, 1,5 ha tanaman pangan, dan 0,5 ha pekarangan dan ternak), dengan menggunakan alsintan. Usaha tani ini diarahkan untuk mendorong berkembangnya agroindustri pedesaan yang atraktif, dicirikan dengan luasnya lahan garapan (5 ha), penggunaan alsintan, ketersediaan sarana produksi, sarana pengolahan hasil pertanian, ketersediaan kelembagaan pedesaan, serta pemberdayaan pemuda dan perempuan tani. Untuk implementasi kegiatan ini diperlukan sertifikasi keagrarian yang jelas. Tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian (terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah lingkungan. Pengembangan kelembagaan di setiap lokasi agroindustri pedesaan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat, dengan melibatkan berbagai departemen terkait dan swasta. Kelembagaan yang dimaksud termasuk lembaga perkreditan, lembaga input, lembaga pemasaran, dan lembaga penyuluhan. Pembukaan lahan pertanian baru memerlukan kerjasama antar departemen Pemerintah, swasta dan masyarakat tani, yang terkoordinasi dengan baik. 3.7.
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Produk Pertanian Baru Untuk mempercepat peningkatan nilai tambah yang pada gilirannya akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelakunya, maka strategi pengembangan komoditi pertanian harus difokuskan kepada produk hilir agroindustri. Mengingat besarnya investasi untuk mengembangkan produk hilir, maka komoditi yang akan dikembangkan produk hilirnya harus dipilih yang mempunyai nilai tambah besar, investasinya tidak terlalu besar, pasar produknya cukup luas, penguasaan sumberdaya manusia mencukupi dan tersedianya berbagai prasyarat normatif
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 14
lain yang mampu dipenuhi. Untuk itu pengembangan komoditi akan diprioritaskan kepada komoditi sebagai berikut: (1) Padi Beras sangat penting dalam memelihara stabilitas ekonomi, sosial dan keamanan nasional. Hal ini karena beras merupakan bahan makan pokok penduduk, sehingga bila terjadi kekurangan akan cepat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Pentingnya peranan beras terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, mendorong kebijakan setiap negara, termasuk negara industri maju memprioritaskan masalah pangan negaranya masing-masing. Setiap negara berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok masyarakatnya dari produksi dalam negeri. Bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di wilayah kepulauan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap ketertsediaan pangan pokok beras. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan beras melalui produksi dalam negeri menjadi prioritas pembangunan nasional. Pemenuhan kebutuhan beras yang mengandalkan impor akan berisiko tinggi, karena jumlah beras di pasaran internasional terbatas dibandingkan dengan kebutuhan nasional, serta akan memerlukan devisa yang cukup besar. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 25,58 juta keluarga pertanian terdapat 18,12 juta keluarga tani (70,84%) yang mengusahakan padi dan palawija, atau sekitar 34,47 % dari total keluarga nasional yang berjumlah 52,56 juta keluarga. Jumlah tersebut belum termasuk keluarga yang bergerak dalam bidang usaha dan jasa yang terkait dengan industri perberasan. Dalam bidang ketahanan pangan, padi berperan penting sebagai bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia dan menyumbangkan lebih dari 55 persen terhadap konsumsi energi dan protein. Ketersediaan beras yang cukup bagi kebutuhan konsumsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap tingkat asupan gizi masyarakat yang merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar untuk memperolehnya secara cukup. Dalam bidang perekonomian, beras memiliki peranan yang cukup besar baik masa lalu, masa kini, dan masa mendatang yang antara lain tercermin dari sumbangannya terhadap PDB terbesar dibanding komoditas lainnya dan juga terhadap penyediaan lapangan kerja dan berusaha. Kontribusi PDB padi
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 15
tahun 2003 mencapai 66 persen dari total PDB sub-sektor tanaman pangan. Disamping itu usahatani padi menjadi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga. Permasalahan yang dihadapi saat ini yang menjadi kendala pelaksanaan pembangunan adalah; (a) stagnasi penerapan teknologi, (b) alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, (c) ketersediaan lahan dan air cenderung menurun baik jumlah maupun kualitasnya, (d) kemerosotan tingkat kesuburan lahan dan kualitas air akibat degadrasi kualitas lingkungan, dan (e) penyimpangan iklim dan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Khusus masalah iklim dan gangguan OPT baik hama maupun penyakit tanaman, dan kekeringan serta banjir cenderung meningkat setiap tahun. Masalah tersebut belum dapat diprediksi dan dikendalikan secara optimal sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, penurunan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani. Di masa depan diperkirakan gangguan OPT, kekeringan dan banjir akan semakin kompleks akibat perubahan fenomena iklim global yang berpengaruh terhadap pola musim/cuaca serta perkembangan OPT. Kebijakan pengembangan padi diarahkan untuk dapat mencapai hasil (outcomes); (a) peningkatan produksi, produktivitas, maupun luas panen, (b) berkembangannya wilayah-wilayah sentra produksi dan wilayah-wilayah penyangga untuk mendorong peningkatan pendapatan petani, (c) terciptanya ketahanan pangan dan keamanan pangan. Untuk mewujudkan hasil tersebut, selama periode 2005-2025 diharapkan akan tercapai peningkatan produksi rata-rata 0,85 persen, produktivitas 0,48 persendan luas panen 0,37 persenper tahun. Dengan demikian pada tahun 2009 (jangka menengah) diharapkan akan tercapai produksi sebesar 56,68 juta ton, produktivitas 46,49 ku/ha, dan luas panen 12,19 juta ha dan pada tahun 2025 (jangka panjang) produksi sebesar 64,90 juta ton, produktivitas 50,19 ku/ha, dan luas panen 12,94 juta ha. Sasaran ini dirancang dengan mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis antara lain permasalahan, tantangan dan peluang yang kemungkinan dihadapi, serta laju perkembangan selama 5 – 20 tahun yang lalu. Pengembangan wilayah-wilayah sentra padi secara bertahap juga tetap akan menjadi prioritas. Sasaran pengembangan fokus pada subsektor onfarm yang terpadu dengan subsektor hulu dan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 16
hilir. Pada subsektor hulu, pembangunan jaringan irigasi, rehab jaringan, cetak sawah, pengembangan irigasi bertekanan, pengembangan ifrastruktur konservasi lahan dan air, jalan usaha tani dan pengembangan alat dan mesin serta eksplorasi pembiayaan tetap menjadi prioritas. Pada sub sektor hilir sasaran pengembangan diarahkan pada meningkatkan nilai tambah dan daya saing, stabilitas harga gabah, penurunan kehilangan hasil pada perlakuan panen dan pasca panen, dan terbentuknya kelembagaan pemasaran untuk meningkatkan posisitawar petani dan memperlancar perdagangan antar pulau serta pemasaran ekspor. Kegiatan untuk pengembangan basis padi diarahkan pada: (a) membangun dan mengembangkan kawasan/sentra padi modern; (b) meningkatkan efisiensi usahatani melalui inovasi teknologi; (c) memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, (d) memberdayakan petani serta masyarakat pedesaan; (e) mengembangkan kelembagaan dan kemitraan, (f) mengembangan sarana–prasarana, (g) memperluas areal tanam (PAT), dan (h) mengembangan sistem perbenihan perlindungan tanaman. Sedangkan kegiatan untuk pengembangan pasar dan nilai tambah diarahkan pada: (a) menurunkan kehilangan hasil, (b) meningkatkan daya saing dan nilai tambah melalui peningkatkan mutu dan rendemen gabah/beras, (c) meningkatkan efisiensi biaya pengolahan dan pemasaran serta memperpendek mata rantai pemasaran, (d) meningkatkan posisi tawar petani, dan (e) mengurangi impor beras. Saat ini diterapkan kebijakan perberasan, meliputi: (a) penetapan HPP; (b) penerapan tarif impor dan larangan impor pada saat panen raya; (c) subsidi benih dan pupuk; (d) pengembangan teknologi; dan (e) penyediaan infrastruktur. (2) Jagung Jagung merupakan komoditas pangan sumber karbohidrat kedua setelah beras, sangat penting untuk ketahanan pangan. Jagung juga berperan penting dalam industri pakan ternak serta industri pangan. Dalam kurun lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan industri pakan ternak, makanan dan minuman terus meningkat sekitar 10%-15% setiap tahun. Misalnya, tahun 2004 kebutuhan bahan baku jagung untuk pakan ternak saja mencapai 6.7 juta ton.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 17
Produksi jagung nasional masih bersifat musiman, saat penen raya melimpah dan dilain pihak menurun pada saat paceklik. Hal ini sangat berkaitan dengan musim tanam yang dominan dilakukan pada musim hujan (Oktober- Maret), sedangkan pada musim kemarau (April-September) luas pertanaman relatif sedikit. Produksi jagung di Indonesia tersebar di seluruh pelosok, dan dalam luasan yang belum memenuhi skala usaha yang mampu mensuplai produksi yang cukup untuk setiap saat dalam satu wilayah. Dengan demikian untuk memperoleh produksi yang besar diperlukan proses pengumpulandari berbagai daerah yang terpencar. Pergudangan belum memadai sehingga belum mampu menampung hasil produksi saat panen raya. Alat dan mesin (alsin) prosesing dan pengolahan hasil juga masih terbatas. Rendahnya mutu jagung yang dihasilkan petani terutama komponen mutu kadar air dan kadar aflatoksin. Hal ini disebabkan karena saat panen yang pada umumnya bersamaan dengan musim hujan serta keterbatasan sarana pasca panen terutama dryer dan corn sheller. Kondisi demikian mengakibatkan produksi jagung tidak bisa dimanfaatkan saat kebutuhan masa-masa paceklik dan tidak sesuai dengan kebutuhan pabrikan yang memerlukan pasokan dalam jumlah dan mutu tertentu secara kontinyu. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama ini seperti tarif bea masuk impor, serta pencegahan penyelundupan masuknya produk luar belum berjalan maksimal. Harga jagung di tingkat petani biasanya jatuh dibawah harga normal dan merugikan petani produsen. Jagung impor sering membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah karena pemerintah negara-negara eksportir melindungi petaninya secara baik dengan berbagai cara. Kondisi demikian mengakibatkan insentif yang diterima petani belum optimal sesuai dengan yang diharapkan, sehingga kurang mendorong gairah petani untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan usahataninya. Pengembangan jagung diarahkan untuk mencapai tujuan terciptanya Indonesia menjadi produsen jagung yang tangguh dan mandiri pada tahun 2025 dengan ciri-ciri produksi yang cukup dan efisien, kualitas dan nilai tambah yang berdaya saing, penguasaan pasar yang luas, meluasnya peran stakeholder, serta adanya dukungan pemerintah yang kondusif. Dalam periode 2005-2025, produksi jagung nasional diproyeksikan ratarata tumbuh sebesar 4,26%.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 18
Dalam operasionalnya, pengembangan jagung dilakukan melalui pengembangan kawasan yang terpadu meliputi sentra produksi jagung, pengembangan pakan ternak serta diintegrasikan dengan industri perunggasan dan pengembangan ruminansia. Pengembangan produksi jagung diarahkan untuk melibatkan peranan pihak swasta seluas-luasnya untuk bermitra dengan kelompok tani. Kemitraan yang dikembangkan meliputi aspek penyedian sarana-prasarana dan infrastruktur, budidaya/produksi, pengumpulan hasil, prosesing, pergudangan, pengolahan dan pemasaran hasil. Untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut diperlukan dukungan kebijakan makro yang kondusif, sehingga masing-masing pihak yang bermitra dapat menjalankan fungsinya dan meraih keuntungan serta manfaat yang besar. Pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil jagung yang akan dilaksanakan adalah: (a) pengembangan dan penanganan pasca panen dalam rangka meningkatkan mutu jagung, (b) pembangunan unit-unit pengolahan di tingkat petani/gapokan /asosiasi, (c) penguatan modal, (d) penguatan peralatan mesin kegiatan pengolahan seperti pengering jagung (dryer), corn sheller (pemipil), mesin tepung, mesin bongol jagung (pemotong/pencacah bonggol), mixer (pencampur pakan) dan gudang, serta, (e) pengembangan sistem informasi dan promosi, serta asosiasi jagung, serta (f) pengembangan drying dan silo center di setiap lokasi sentra produksi jagung. (3) Kedelai Kedelai merupakan komoditas utama tanaman pangan yang memiliki peran dalam ketahanan pangan, dan sebagai bahan pokok dalam industri pakan dan pangan. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti kecap, susu kedelai, tahu, tempe, taucho dan sebaginya. Konsumsi kedelai tahun 1998 sebesar 6,83 kg per kapita per tahun meningkat menjadi 11,81 kg per kapita per tahun pada tahun 2004. Permasalahan utama kedelai dalam negeri antara lain adalah makin menurunnya produksi akibat meningkatnya impor dan melemahnya daya saing. Sebagai gambaran produksi kedelai nasional tahun dalam periode 1999-2003 turun dari 1,38 juta ton biji kering pada tahun 1999, menjadi hanya 0,67 juta ton pada tahun 2003 atau rata-rata turun -11,01 persen per tahun.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 19
Sedangkan pada tahun 2004 (Aram III), prouduksi kedelai diperkirakan mencapai 0,73 juta ton biji kering, lebih besar dari tahun 2003. Masalah yang dihadapi kedelai domestik adalah rendahnya kualitas dan daya saing produk sehingga kalah bersaing dengan produk impor. Di samping dari aspek mutu, harga kedelai dalam negeri juga kalah bersaing dengan harga impor. Rendahnya harga kedelai impor selain karena efisiensi usahatani yang sudah cukup baik juga adanya kebijakan perlindungan dari negara asalnya baik perlindungan yang diterapkan terhadap petani produsen, maupun perlindungan melalui kredit/subsidi impor yang dterapkan oleh negara-negara pengekspor. Sedangkan kedelai nasional, selain beum efisen, perlindungan juga masing sangat kurang. Peningkatan produksi kedelai dihadapkan pada tantangan penurunan insentif usahatani dan persaingan yang kurang adil dengan produk impor. Pengembangan kedelai kedepan diarahkan untuk mencapai tujuan terciptanya Indonesia menjadi produsen kedelai yang tangguh dan mandiri pada tahun 2025 dengan ciri-ciri produksi yang cukup dan efisien, kualitas dan nilai tambah yang berdaya saing, penguasaan pasar yang luas, meluasnya peran stakeholder, serta adanya dukungan pemerintah yang kondusif. Sasaran yang ingin dicapai 2005-2009 produksi kedelai meningkat 7 persen per tahun. Untuk merealisasikan sasaran tersebut ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam (PAT), peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nialai tambah, perbaikan akses pasar, pengembangan unit usaha bersama, perbaikan sistem permodalan, pengembangan imprastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha. Untuk melaksanakan strategi tersebut diperlukan dukungan kebijakan harga, tataniaga, subsidi, pembiayaan, investasi, fiskal dan moneter, standarisasi, dan karantina. Pengembangan kedelai diarahkan untuk melibatkan peranan pihak swasta seluas-luasnya untuk melakukan kemitraan dengan petani/kelompok tani. Kemitraan yang dikembangkan meliputi berbagai aspek mulai dari penyedian sarana-prasarana budidaya/produksi, pengumpulan hasil, prosesing, pergudangan, pengolahan dan pemasaran hasil. Untuk mendukung pelaksanaan strategi tersebut diperlukan dukungan kebijakan makro yang kondiusif, sehingga masimng-masing pihak yang
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 20
bermitra dapat menjalankan fungsinya dan meraih keuntungan serta manfaat yang adil. Strategi pengembangan pengolahan dan pemasaran kedelai yang perlu dilakukan adalah: (a) meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan rantai pemasaran serta meningkatkan posisi tawar petani, (b) meningkatkan harga jual kedelai di tingkat petani, (c) meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan memperpendek mata rantai pemasaran serta meningkatkan posisi tawar petani sehingga memperoleh harga yang wajar. Untuk maksud tersebut maka program pengembangan pengolahan dan pemasaran kedelai mencakup: (a) Pengembangan kemitraan pemasaran antara petani dengan pengusaha industri kedelai, (b) Pengendalian impor melalui penerapan kebijakan proteksi terutama tarifikasi serta kebijakan non tarif barier seperti residual efek kedelai transgenik dll, (c) Peningkatan perdagangan antar pulau dalam rangka memperlancar aliran/distribusi kedelai antar wilayah/pulau, (d) Pengembangan/penguatan kelembagaan pemasaran di tingkat petani, (e) Pengembangan teknologi pengolahan kedelai yang berbasis pada kedelai domestik agar sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar. (4) Pisang Pisang merupakan komoditas unggulan yang memiliki kontribusi besar (+ 30 %) terhadap produksi buah-buahan nasional. Selain memiliki potensi yang besar dalam menunjang peningkatan pendapatan masyarakat petani, pisang juga merupakan bahan baku industri olahan (untuk chip, keripik, puree, tepung) dan komoditas yang potensial untuk meningkatkan ekspor buah. Permasalahan utama pengembangan pisang nasional adalah sistem usahataninya masih tradisional, belum menerapkan teknologi budidaya yang sesuai standar teknik budidaya (SOP), usaha budidaya bersifat sampingan, belum didukung dengan sarana dan prasarana usaha yang memadai, adanya serangan layu fusarium, penanganan pasca panen tradisionil, belum dilakukan grading (pengkelasan) dan standarisasi produk. Usaha budidaya pisang kedepan akan dilakukan melalui 3 pola pengembangan yaitu: (a) pola pengembangan kebun besar oleh investor, (b) pola pengembangan kebun buah rakyat berskala komersial (5 – 10 Ha per petani) dan (c) pola pengembangan kebun buah rakyat dengan penerapan teknologi maju.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 21
Sasaran produksi pisang tahun 2005 sebesar 4.707.000 ton, tahun 2009 sebesar 6.125.000 ton dan tahun 2025 ditergetkan sebesar 11.266.000 ton. Sebagian besar produksi tersebut digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, kebutuhan industri pengolahan dan untuk peningkatan ekspor. Seperti halnya negara maju, konsumsi pisang perkapita dapat ditingkatkan mencapai 20 – 25 kg pertahun. Strategi yang akan ditempuh dalam pengembangan pisang adalah: (a) pengembangan varietas unggul, (b) penyiapan benih, (c) pewilayahan komoditas, (d) penerapan teknologi maju, (e) pengembangan perlindungan komoditi pisang, (6) peningkatan mutu, (f) pengembangan kawasan sentra produksi, (g) pengembangan kelembagaan petani, (h) pengembangan sarana dan prasarana kebun, (i) pengembangan agroindustri pedesaan. Kebutuhan biaya keseluruhan untuk mendukung pengembangan pisang sampai dengan 2025 adalah Rp 23,2 triliun, dengan rincian untuk tahun 2006-2009 sebesar Rp 1,97 triliun dan tahun 2010-2025 sebesar Rp 21,24 triliun. Sumber pembiayaan yang diharapkan untuk mendukung pengembangan pisang berasal dari pemerintah tahun 2005-2009 sebesar + 15 – 20 %, sedangkan sisanya merupakan partisipasi masyarakat serta swasta. Periode 2010 – 2025 kontribusi pembiayaan dari pemerintah sebesar 7,5 – 10 %. (5) Jeruk Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi buah, kebutuhan akan jeruk akan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, komoditas jeruk juga untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan (juice, concentrate), dan untuk ekspor. Usahatani jeruk saat ini umumnya masih dilakukan dalam skala kecil, tersebar, teknik budidaya secara tradisionil, belum menerapkan teknologi maju dan penggunaan benih bermutu yang masih rendah menyebabkan produksi dan mutu jeruk rendah, kurang memiliki daya saing. Pengembangan komoditas jeruk akan dilakukan melalui 3 pola yaitu: (a) pola pengembangan kebun jeruk skala besar, (b) pola pengembangan kebun jeruk skala menengah dan (c) pola pengembangan kebun jeruk rakyat skala kecil, memperbaiki teknik budidaya di wilayah sentra produksi yang telah ada.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 22
Melalui ketiga pola tersebut diharapkan peran dari swasta terutama untuk pengembangan perkebunan jeruk skala besar. Untuk pengembangan kebun skala menengah dan skala kecil peran dari pemerintah diharapkan lebih difokuskan pada pembukaan lahan dan pembangunan prasarana. Sasaran produksi jeruk tahun 2009 adalah 2.089.000 ton dan tahun 2025 ditargetkan mencapai 4.238.000 ton. Program yang dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut adalah: (a) penyediaan kawasan areal pengembangan sentra sesuai dengan pewilayahan komoditas, dilengkapi prasarana irigasi dan jalan, (b) penumbuhan industri benih dalam sistem perbenihan yanng handal, (c) penyediaan teknologi maju dalam bentuk Standar Operasional dan Prosedur (SOP) serta bimbingan penerapannya, (d) pemberdayaan kelembagaan usaha petani dan bimbingan manajemen, (e) pelatihan SDM pelaku usaha (f) bimbingan manajemen mutu terpadu, termasuk penerapan GAP, (g) pelayanan informasi pasar dan promosi. Kebutuhan biaya keseluruhan untuk mendukung pengembangan jeruk skala menengah dan skala kecil diperkirakan sebesar Rp 30,09 triliun, dengan rincian untuk tahun 2006-2009 sebesar Rp 2,36 triliun dan tahun 2010-2025 sebesar Rp 27,73 triliun. Kontribusi pembiayaan dari pemerintah pada tahun 2005 – 2009 diharapkan sebesar 15–20 %, sedangkan periode 2010–2025 sebesar 7,5 – 10 %. (6) Bawang merah Bawang merah merupakan komoditas pertanian rakyat yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan pasar yang cukup luas. Konsumsi bawang merah nasional pada tahun 2004 mencapai 725.000 ton dan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan. Selain konsumsi dan industri olahan, produksi bawang merah juga diarahkan untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan untuk benih. Usahatani bawang merah saat ini masih dihadapkan pada permasalahan tingginya harga benih bermutu pada musim tanam raya, disisi lain pada saat panen raya harga produknya rendah. Sasaran produksi bawang merah tahun 2009 adalah 1.023.000 ton, dan tahun 2025 diperkirakan mencapai 1.626.672 ton.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 23
Program yang dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut adalah (a) pengalokasian kawasan pengembangan sentra produksi berbasis potensi wilayah, (b) penyediaan prasarana produksi untuk peningkatan produksi dan mutu, (c) pengembangan varietas unggul dan industri perbenihan, (d) penguatan sistem perlindungan tanaman (e) peningkatan kemampuan SDM, (f) fasilitasi permodalan melalui skema kredit dan sistem informasi pemasaran (g) pengembangan kelembagaan petani dan kelembagaan usaha, (h) pengembangan usaha kemitraan, (i) promosi dan pengembangan pasar. Kebutuhan biaya keseluruhan untuk mendukung pengembangan bawang merah tahun 2005-2025 adalah Rp 37,6 triliun, dengan rincian untuk tahun 2005-2009 diperkirakan sebesar Rp 9,2 triliun, sedangkan untuk tahun 2010-2025 diperkirakan sebesar Rp 28,4 triliun. Pembiayaan tersebut diharapkan diperoleh dari dukungan pemerintah 10 - 20 % pada periode 2005 - 2009, sedangkan sisanya 85 – 90 % diharapkan peran dari masyarakat dan swasta. Pada periode 2010 – 2025 dukungan pemerintah yang diharapkan adalah 5 – 10 %. (7) Anggrek Perkembangan usaha anggrek dalam negeri saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terkait dengan peningkatan pendapatan konsumen, tuntutan keindahan lingkungan, pembangunan industri pariwisata, perkantoran dan perhotelan. Usaha anggrek pada masa mendatang perlu dilakukan melalui sistem pengelolaan usaha ke arah pengembangan industri yang memanfaatkan potensi nasional melalui: (a) modernisasi sistem produksi, (b) penerapan manajemen usaha secara profesional, (c) pemilihan komoditas unggulan sesuai selera konsumen, (d) penerapan sistem manajemen mutu, (e) penerapan teknologi inovatif dan (f) peningkatan akses informasi dan modal. Sasaran produksi anggrek tahun 2009 adalah 50.299.910 tangkai dan 17.285.940 pot, periode tahun 2020-2025 diperkirakan mencapai 494.533.972 tangkai dan 167.627.895 pot. Produksi tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peningkatan ekspor. Program yang dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut adalah (a) penyediaan varietas unggul spesifik lokasi
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 24
sesuai lahan dan agroklimat, (b) peningkatan produksi dan mutu melalui penerapan SOP, (c) pengembangan kawasan sentra, (d) fasilitasi peningkatan kualitas SDM, (e) Fasilitasi pengembangan kelembagaan, (f) Fasilitasi pengembangan jejaring dan jaringan kerja dalam dan luar negeri, (g) pengembangan sistem informasi usaha, (h) penataan data base dan penyusunan profil, (i) promosi peluang usaha agribisnis anggrek. Dukungan yang diharapkan dalam mencapai pengembangan anggrek antara lain: (a) penyediaan varietas unggul, (b) penyediaan teknologi pengelolaan tanaman terpadu, (c) pengembangan perbenihan, (d) penanganan pasca panen, (e) kemudahan dalam akses permodalan, (f) prasarana dan sarana distribusi dan pemasaran anggrek. Kebutuhan biaya keseluruhan untuk pengembangan anggrek tahun 2005-2025 adalah Rp 56,37 triliun, dengan rincian untuk 2005-2009 adalah sebesar Rp 9,97 triliun yang diharapkan dari pemerintah + 16 – 17 % sisanya diharapkan dari swasta dan investor asing. Sedangkan untuk periode 2010-2025 kebutuhan biayanya adalah Rp 46,4 triliun, diharapkan dari pemerintah sebesar + 8 – 8,5 % dan sisanya diharapkan dari swasta dan investor asing. (8) Kelapa Sawit Produksi Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia mencapai 85 % produksi dunia. Pembangunan perkebunan di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 5,2 juta ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat seluas 1,8 juta ha (34,9 %), Perkebunan Besar Negara seluas 0,65 juta ha (12,3 %) dan Perkebunan Besar Swasta 2,8 juta ha (52,8 %). Lokasi pembangunan kelapa sawit tidak hanya di Sumatera tetapi sudah memasuki Kawasan Timur Indonesia. Sasaran pembangunan Kelapa Sawit untuk sampai tahun 2025 adalah (a) produktivitas kelapa sawit mencapai 20 ton TBS/ha; (b) pendapatan petani mencapai US$ 2.500/KK/tahun (minimal 80% dari harga FOB dan petani mempunyai saham di unit pengolahan); (c) tertatanya sistem distribusi dan transportasi produk CPO yang efisien; (d) diterapkan secara konsisten dan kontinue zero waste product/green product; (e) tersedianya dana khusus pengembangan kelapa sawit; (f) berkembangnya industri hilir CPO. Strategi pengembangan kelapa sawit yaitu pemberdayaan di hulu dan memperkuat di hilir, untuk itu diperlukan dukungan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 25
organisasi sawit board. Peranan pemerintah sebagai pendorong terjadinya integrasi kegiatan on farm dan off farm serta mengembangkan sistem mekanisme resiko dan ketidakpastian. Dalam jangka pendek pengembangan industri hilir kelapa sawit diarahkan kepada produk CPO, PKO, abu TKKS, pulp kertas, pakan ternak, MDF, jok mobil/kasur, arang aktif, olein, stearin, pupuk cair, asam lemak, sabun dan deterjen, minyak goreng, margarin, shortenning, vanaspati, minyak pelumas. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pengembangan industri hilir diarahkan pada pengembangan produk bio-diesel, vitamin A, vitamin E, alkohol sulfat, alhokol etoksilat, aditif pastik dan karet, alkanolamida (kosmetika), polihodrokso butirat (bioplastik), emulsi pangan grade tinggi, tinta, agrosida, dll. Kebijakan pembangunan jangka menengah kelapa sawit nasional mengacu kepada (a) peningkatan produktivitas kelapa sawit yang dilaksanakan melalui peremajaan, pengembangan industri benih, peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan plasma nutfah, pengembangan kelembagaan petani; (b) pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah melalui penerapan fasilitasi pendirian PKS skala 5 – 10 ton TBS/jam, pendirian pabrik minyak goreng skala kecil, pengembangan industri hilir, peningkatan kerjasama bidang promosi, penelitian dan SDM, fasilitasi pengembangan bio diesel, pengembangan market research dan market intelegent (c) dukungan pembiayaan. Sasaran pembangunan Kelapa Sawit untuk sampai tahun 2009 adalah (a) penyediaan bibit kelapa sawit dan mudah dijangkau; (b) tercapainya produktivitas 15 ton; (c) peningkatan diversifikasi produk; (d) pengembangan produk pasar kelapa sawit; (e) peningkatan pengembangan industri hilir yang terintegrasi dengan ketersediaan PKS; (f) peningkatan SDM; (g) pengelolaan kelapa sawit; (h) tersedianya dana khusus untuk kelapa sawit. (9) Karet Karet merupakan komoditi yang peranannya penting di Indonesia yang menyerap 1,4 juta tenaga kerja dan memberikan devisa terbesar kedua setelah kelapa sawit yaitu sebesar US $ 1.494 juta tahun 2003. Luas areal tanam karet Indonesia sebesar 3,29 juta ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat 2,8 juta ha (85%),Perkebunan Besar Negara seluas 0,221 juta ha (6,7 %) dan Perkebunan Besar Swasta seluas 0.272 ha (8,3%) dan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 26
pada tahun 2003 menyerap tenaga kerja on farm sebesar 1,4 juta tenaga kerja. Areal perkebunan karet Indonesia seluas 3,3 juta ha merupakan luas areal terbesar dunia yang kemudian disusul Thailand (1,96 juta ha), Malaysia (1,54 juta) dan Cina (0,61 juta ha. Namun, jumlah produksi Indonesia (1,63 juta ton) menduduki nomor 2 dunia, sedangkan nomor 1 adalah Thailand (2,35 juta ton) dan India menduduki nomor 3 (0,63 juta ton). Dalam aspek on farm baru sekitar 40 persen menggunakan benih varietas unggul, sedangkan pengembangan benih ungul belum membudaya, tingkat produktivitas tanaman 600 kg/ha/tahun, pada saat ini 400 ribu ha merupakan tanaman yang perlu diremajakan dan tidak tersedia fasilitasi pendanaan untuk peremajaan, system agribisnis perkebunan belum terintegrasi secara baik dan belum memanfaatkan potensi kayu karet yang tersedia. Sasaran pengembangan industri hilir karet dalam jangka pendek adalah: SIR, karet remah, karet rumah tangga, ban dalam, ban mobil, bantalan karet lori, karet ban berjalan (conveyor). Sedangkan sasaran jangka menengah dan jangka panjang adalah: produk bahan cat, minyak rem, pernis dan bahan kanvas rem. Sasaran pengembangan Karet untuk sampai tahun 2025 adalah (a). Produksi karet akan mencapai 3,5-4 juta ton dan akan menjadi produsen utama dunia, (b). Produktivitas rata-rata akan mencapai 1.200-1.500 kg per ha, (c) Jenis bahan tanaman yang akan digunakan + 85% menggunakan klon unggul, (d). Pendapatan peatni karet mencapai US $ 2.000/KK. Sasaran pengembangan Karet untuk sampai tahun 2009 adalah (a). Produksi karet akan mencapai 2 juta ton dan akan menjadi produsen utama dunia, (b). Produktivitas rata-rata akan mencapai 800 kg per ha, (c) Jenis bahan tanaman yang akan digunakan + 55% menggunakan klon unggul, (d). Pendapatan peatni karet mencapai US $ 1.500/KK. Arah kebijaksanaan jangka panjang usaha agribisnis karet Indonesia adalah berbasis lateks dan kayu yang berdaya saing tinggi, mensejahterakan masyarakat, berkelanjutan dan Indonesia akan menajdi penghasil karet alam terbesar dunia pada tahun 2025 dengan produksi sebesar 3-4 juta ton/ha.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 27
Strategis yang akan dilaksanakan untuk jangka panjang adalah (a). Peningkatan produktivitas perkebunan rakyat melalui penggunaan klon unggul, percepatan peremajaan karet tua/rusak, diversifikasi usahatani dan pola tanam. (b). Upaya khusus untuk off farm melalui penignkatan kualitas bahan karet (bokar), peningkatan efisiensi pemasaran, penyediaan fasilitasi perkreditan bagi petani karet, fasilitasi penyediaan infrastruktur, peningkatan nilai tambah produk hilir. Fokus kegiatan yang akan dilaksanakan dalam jangka menengah adalah (a) Peningkatan produktivitas usahatani melalui fasilitasi penggunaan klon unggul latex (3.000 kg/ha/th) dan kayu (300m3/ha) dilaksanakannya fasilitasi pengembangan koln unggul, fasilitasi percepatan peremajaan tanaman tua/rusak terutama pada perkebunan rakyat melalui disiminasi pelaksanaan peremajaan partisipatip, fasilitasi diversifikasi usahatani dan pola tanam dan fasilitasi peningkatan efisiensi usaha dalam setiap tahapan. (b) Dukungan kegiatan off farm melalui disiminasi penerapan SNI Bokar, fasilitasi pemasaran bokar, fasilitasi akses kepada sumber pembiayaan, fasilitasi pemasaran dan promosi produksi unggul, fasilitasi penggunaan industri hilir tingkat pedesaan maupun unit lebih besar yang ramah lingkungan dan fasilitasi perbaikan sistem produksi. (10) Kakao Pada tahun 2002, Indonesia merupakan produsen kakao nomor 3 dunia yang memberikan devisa sebesar US $ 701 juta dan menyerap tenaga kerja sebesar 621 ribu orang di pedesaan. Pada tahun 2003 kakao Indonesia telah mencapai luasan 917 ribu ha yang meliputi Perkebunan Rakyat mencapai 801 ribu ha (87,33%), Perkebunan Besar Negara seluas 54,8 ribu ha (5,97%) dan Perkebunan Besar Swasta seluas 61, 5 ribu ha (6,7%). Ditinjau dari kualitas kakao Indonesia, bila diberi perlakuan fermentasi maka citarasa kakao Indonesia dapat mencapai citarasa yang di produksi dari Ghana, dan kakao mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga jenis ini dapat digunakan sebagai blended. Hal ini memberi peluang pasar dunia yang cukup baik. Ditinjau dari aspek ekosistem dan dukungan kelestarian lingkungan tanaman kakao dengan karekteristiknya memegang peran dalam penyerapan CO2 dan memperbaiki fungsi hidro-orologis.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 28
Namun demikian saat ini masih terdapat berbagai permasalahan yaitu (a) Penyebaran benih unggulan anjuran belum merata, (b) belum ditemukannya klon unggul yang tahan PBK (penggerek buah kakao) yang saat ini telah menyerap 45 persen dari areal kakao, (c) Belum adanya insentif bagi petani yang mengadakan fermentasi, (d). Masih berlakunya automatic detention. Program pengembangan industri hilir komoditas kakao adalah: biji kakao, kakao padat, tepung kakao, kakao cair, pulp plasenta, pakan ternak, pupuk kompos. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, diarahkan pada pengembangan produk farmasi, kosmetika, media tumbuh mikro-organisme. Adapun kebijakaan jangka panjang pembangunan kakao mencakup (a) Peningkatan produktivitas usaha dan mutu kakao Indonesia, melalui optimasi hasil penelitian, gerakan pengendalian hama PBK, peremajaan dan klonolisasi, (b) Peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani melalui strategi pengembangan industri hilir, pengembangan kemitraan antara petani dan industri pengolahan, diversifikasi usaha dan pola tanam. (c) Dukungan fasilitasi penyediaan akses kepada sumber pembiayaan. Kebijakan jangka menengah dalam pembangunan kakao nasional adalah (a) Peningkatan produktivitas melalui intensifikasi tanaman, perluasan kakao dalam rangka pengutuhan areal, rehabilitasi dan peremajaan tanaman, diversifikasi usaha; (b) Pemberdayaan petani; (c) Penataan Kelembagaan; (d) Pengolahan dan Pemasaran Hasil; (e) Pemantapan infrastruktur. Sasaran jangka menengah mencakup (a) tersedianya benih unggul tahan PBK dan terpenuhi kebutuhan benih bagi petani, (b). Tercapainya produktivitas tanaman 1,2 ton/ha/tahun, (c). Tercapainya produk susuai SNI anjuran dan harga di tingkat petani mencapai 75% dari harga FOB, (d). Terbangunnya infrastruktur dan SDM yang berkualitas. (11) Kelapa Kelapa merupakan komotiti yang dimiliki oleh sebagian besar petani pekebun. Luas areal komoditi kelapa sebesar 3.88 juta ha, dimana Perkebunan Rakyat sebesar 98%, Perkebunan Besar Swasta seluas 71.848 ha (1,8%) dan Perkebunan Besar Negara seluas 7.070 ha (0,2%) dan tersebar diseluruh provinsi Produksi kelapa Indonesia ini memberikan devisa sebesar US $
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 29
88,24 juta pada tahun 2003. dan mejerap tenaga kerja sebesar 1,5 juta orang. Usahatani kelapa dengan memanfaatkan produk primernya berupa kopra dapat memberikan pendapatan sebesar Rp 1,7 juta/ha/tahun, dengan asumsi produktivitas sebesar 1 ton per tahun dan harga Rp 1.700/kg, maka pendapatan usahatani ini menggambarkan tingkat kemiskinan bagi petani kelapa tersebut, Untuk itu perlu adanya usaha peningkatan diversifikasi produk kelapa, intensifikasi dan peremajaan untuk tanaman kelapa tua/rusak. Pengembangan industri hilir kelapa dalam jangka pendek adalah: minyak goreng, kelapa parut, santan kaleng/santan kemasan, tepung santan, kue kelapa, gula kelapa, kecap dan cuka kelapa, pakan ternak, sari kelapa (nata de coco), sabut kelapa (karpet, sikat, tali, jok mobil, jok pesawat, kasur), media tumbuh hidroponik, margarin, arang tempurung kelapa, sabun cuci dan sabun mandi, sampo, industri rumah tangga (meubelair) dan bahan bangunan. Sedangkan dalam jangka menengah dan jangka panjang adalah: oleo-kimia kelapa, bahan cat, gliserin dan karbon aktif murni. Dalam jangka panjang sasaran pembangunan kelapa Indonesia adalah merupakan komoditi mendukung sumber devisa dan merupakan komoditi yang sangat mendukung peningkatan kesejahteranaan masyarakat perkelapaan Indonesia. Sasaran ini akan diwujudkan secara bertahap dalam periode lima tahunan. Sasaran yang diharapkan dalam pengembangan kelapa dalam jangka menengah adalah (a) Produktivitas tanaman dapat mencapai 1,5 ton setara kopra/ha/tahun; (b) Diharapkan 40% dari total area tanaman kelapa yang ada berasal dari benih unggul; (c) Jenis produksi dari tanaman kelapa akan beragam, tidak hanya dalam bentuk kopra atau kelapa segar dan seluruh produksi akan dapat dimanfaatkan. Kegiatan pengembangan akan difokuskan kepada: (a) Peningkatan produktivitas usahatani,melalui kegiatan peremajaan, diversifikasi usahatani (seperti intercropping, mixcropping, intruduksi ternak), pemanfaataan kayu kelapa, pemanfaatan limbah (batok dan sabut) dan pengembangan areal selektif dalam pengutuhan areal untuk mencapai skala ekonomi; (b) Pemberdayaan petani melalui penguatan kelembagaan ekonomi (koperasi atau perusahaan bersama masyarakat dan
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 30
kelembagaan non ekonomi (asosiasi petani); dan (c) Penataan kelembagaan (penjabaran UU No 18 tahun 2004). (12) Tebu Potensi dan prospek pengembangan agribisnis pergulaan di Indonesia sangat besar, mengingat: (a) tebu adalah tanaman tropis yang sangat sesuai untuk dikembangkan di Indonesia, (b) jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia. (c) aset pabrik gula baik eks Belanda yang masih dapat direhabilitasi, dimodernisasi dan ditingkatkan kapasitasnya, maupun asset pabrik gula baru di luar Jawa, (d) asset SDM khususnya petani tebu yang turun-temurun dan para ahli pergulaan, serta kekayaan plasma nutfah di Lembaga Penelitian Gula. Kebijakan pengembangan agribisnis gula adalah: (a) Penetapan kebijakan pengambangan industri pergulaan nasional di bidang: harga, produksi, impor, penelitian, pengembangan dan pendidikan, investasi & pembiayaan, promosi dan perdagangan internasional; (b) Mensinergikan sub sistem agribisnis industri pergulaan, memfasilitasi, promosi dan katalisasi penyelesaian – penyelesaian masalah industri pergulaan nasional; dan (3) Memberdayakan dan melindungi usaha agribisnis pergulaan nasional khususnya petani. Sasaran pengembangan produk hilir tebu dalam jangka pendek dan jangka menengah adalah: etanol, pupuk (kompos), MDF, kertas dan biogas. Sasaran umum sampai dengan 2025 adalah: (a) terwujudnya industri gula nasional yang kompetitif yasng memanfaatkan semua potensi produksi dari pohon industri tebu melalui pengembangan Produk Pendamping Gula Tebu, (b) tercapainya swasembada gula secara dinamis, serta (c) petani tebu yang lebih sejahtera dan diwadahi dalam lembaga ekonomi bersama. Indikator dari pencapaian sasaran ini adalah: (a) Produktivitas gula nasional rata-rata minimal 9 ton hablur/ha; (b) Rata-rata biaya produksi secara nasional adalah maksimum Rp 2.500/kg; (c) Minimal 25% PG sudah mengembangkan produk pendamping gula tebu (PPGT) yang terintegrasi; (d) Produksi gula nasional dapat memenuhi minimal 95% dari konsumsi gula nasional yang pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 4,5 juta ton; (e) Pendapatan bersih usahatani gula tebu minimal Rp 10 juta/ha/tahun.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 31
Sasaran jangka menengah 2005-2009 adalah: (a) Produktivitas gula nasional rata-rata 8,7 ton hablur/ha; (b) Rata-rata biaya produksi gula nasional dibawah Rp 2.800/kg; (c) Minimal 75% kelembagaan petani sudah kuat dan mandiri; (d) Terbangunnya minimal dua PG baru di luar Jawa; (e) Terbangunnya minimal 2 PG yang sudah mengembangkan PPGT secara terintegrasi; (f) Produksi gula nasional minimal dapat memenuhi 80% konsumsi gula nasional; (g) Pendapatan petani minimal Rp 8 juta/ha. Untuk menyelamatkan industri gula nasional, dilakukan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002 – 2007. Sasaran dari program ini sampai 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan rendemen rata-rata 8,79% dan hablur ratarata 7,74 ton/hektar. Modal kerja yang dibutuhkan setiap tahun mencapai Rp. 2,5 trilyun pada tahun 2002 yang akan meningkat menjadi Rp. 3,7 trilyun pada tahun 2007. Terdapat tiga sub program besar yaitu : (a) rahabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, (b) rehabilitasi pabrik gula, dan (c) peningkatan investasi untuk pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan industri gula baru di luar Jawa. Dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi perkebunan tebu petani yang dimulai pada tahun 2003, telah berhasil mendorong peningkatan produksi gula pada tahun 2004 yaitu mencapai 2,05 juta ton atau meningkat 24 persen. (13) Sapi Konsumsi daging sapi tahun 2004 sebesar 2,14 kg/kap/tahun dan tahun 2009 diperkirakan 2,9 kg/kap/tahun. Tingginya permintaan dan rendahnya kemampuan suplai dalam negeri mengakibatkan ketergantungan Indonesia terhadap suplai impor, sementara memacu suplai dalam negeri dengan mengandalkan kebijakan tanpa adanya terobosan tidak akan dapat menutupi gap antara suplai dengan permintaan. Sehingga pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 30 persen kebutuhan dalam negeri tergantung impor. Pengembangan ternak sapi potong di Indonesia masih terbuka sangat lebar karena gap antara suplai dengan kebutuhan sangat besar. Dari sisi permintaan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan target perbaikan ekonomi, sementara suplai dalam negeri tidak mampu mengimbangi tingginya laju pertumbuhan konsumsi. Sementara dari sisi produksi cenderung stagnan atau melambat yang pada akhirnya memaksa Indonesia harus impor dalam bentuk sapi bakalan,
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 32
daging dan jeroan. Keadaan ini secara lambat laun mengakibatkan Indonesia sangat tergantung kepada suplai bersumber impor dan suatu saat akan terjadi keadaan dimana struktur pasar daging sapi dapat diintervensi oleh harga daging impor. Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa populasi sapi potong sangat tidak mencukupi untuk melakukan produksi sesuai kebutuhan. Suplai dalam negeri pada tahun 2009 diperkirakan hanya mencapai sekitar 70% dari total kebutuhan, sementara memacu produksi dengan mengandalkan kebijakan pemerintah seperti selama ini dinilai tidak akan mencukupi. Sektor swasta juga sangat enggan untuk masuk ke industri ini karena dinilai kurang menguntungkan, akibatnya produksi hanya mengandalkan industri sapi potong dengan tipe Usaha Mikro dan Kecil dengan skala kepemilikan rata-rata di bawah 2 ekor, yaitu sebesar 77,2% serta sifat usahanya terpencar-pencar. Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang dapat menutupi gap populasi ril dengan populasi ideal adalah melalui penciptaan stimulasi agar swasta berani masuk ke usaha ini. Selain itu juga tidak terlepas dari aspek perbibitan yang belum ditangani secara serius dan pada gilirannya menurunkan jumlah bibit dan semakin sulitnya ditemukan mutu bibit yang berkualitas di dalam negeri. Di samping masalah aspek perbibitan, aspekaspek ancaman penurunan populasi dan produktifitas ternak sapi potong juga dihadapkan kepada masalah kasus penyakitpenyakit hewan menular di Indonesia yang masih bercokol dan belum tertangani secara tuntas seperti Brucellosis, penyakit sterilitas dan pemotongan ternak betina produktif. Ketersediaan pakan masih menghadapi kendala khususnya untuk kawasan Timur Indonesia berupa tidak adanya ketersediaan hijauan sepanjang tahun. Sedemikian kompleksnya permasalahan yang mengancam kondisi ternak sapi potong, apabila tidak ditangani secara lebih serius hal ini dapat menimbulkan ancaman berupa penurunan populasi sapi dan ketergantungan kepada impor. Melihat permasalahan di atas maka arah kebijakan pengembangan ternak sapi potong membutuhkan adanya iklim usaha yang dapat memberi insentif bagi swasta dan masyarakat untuk berani melakukan ivestasi secara langsung. Iklim usaha yang hanya mengandalkan kepada mekanisme berinvestasi yang berlaku secara umum terbukti tidak mampu meningkatkan populasi sebagai mesin produksi daging sapi dalam rangka
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 33
mengejar laju kebutuhan daging sapi (gap populasi ril dengan populasi ideal sebesar -17,3% atau kekurangan 2,2 juta ekor pada tahun 2009). Pemberian insentif ini dapat menjadi pemacu agar sektor swasta dan masyarakat lebih bergairah lagi memasuki usaha sapi potong. Selain itu tentunya juga dapat merangsang agar usaha sapi potong dapat merubah dirinya dari usaha tradisional menjadi bersifat industri. Dari aspek teknis pemerintah harus menggalakkan sistem perbibitan yang benar di sentra-sentra perbibitan seperti dengan pengadaan bibit dasar, bibit sebar dan bibit induk. Di samping itu pemerintah juga harus kembali membenahi sistem perbibitan pemerintah dan rakyat dengan mendirikan Village Breeding Centre. Aspek pakan yang selalu mengalami kekurangan di KTI perlu mendapat perhatian berupa pemecahan masalah dari kekurangan air. Salah satu metode yang bisa ditempuh adalah melalui pembangunan sumur-sumur pompa atau embung air di padang pengembalaan. Kekurangan pakan yang terjadi setiap tahunnya merupakan disinsentif kepada perkembangan usaha sapi potong di KTI karena populasi langsung mengalami penurunan yang signifikan pada saat-saat musim kemarau. Pemerintah harus tetap dapat menjadikan Indonesia bebas dari berbagai Penyakit Hewan Menular dengan mengambil kebijakan khusus untuk menolak masuknya penyakit bersangkutan dari luar negeri dengan melaksanakan maximum Security. Akibat produksi yang masih rendah mengakibatkan kekuatan usaha sapi potong (bebas penyakit PMK dan BSE) tidak dapat digunakan bahkan kekuatan tersebut dapat menjadi kelemahan karena tidak adanya negara sumber impor selain Australia dan New Zealand. (14) Ayam Konsumsi daging ayan broiler Indonesia tahun 2004 sebesar 4,4 kg/kap/thn dan tahun 2009 diperkirakan 5,95 kg/kap/thn, konsumsi telur ayam ras 4,25 kg/kap/thn dan tahun 2009 sebesar 5,62 kg/kap/thn. Sedangkan konsumsi ayam buras sebesar 0,80 kg/kap/thn dan tahun 2009 sebanyak 1,08 kg/kap/thn. Dari sisi produksi Indonesia sudah mampu berswasembada dan memiliki potensi yang sangat besar untuk penambahan produksi. Dengan indikator produksi pakan baru sebesar 58% dari kapasitas terpasang di tahun 2004, berarti
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 34
masih ada sebesar 42% potensi untuk menambah produksi daging dan telur ayam yang hilang dan terabaikan. Hanya saja potensi penambahan produksi ini tidak bisa dicapai karena pasar ayam yang sudah jenuh (suplai sesuai permintaan), sementara penetrasi ekspor belum dilakukan. Pada tahun 1970-an, kondisi ayam ras masih belum dimulai dan terbukti berupa tidak tercantumnya dalam buku statistik. Tapi tiga puluh tahun kemudian populasi ayam ras kita telah mencapai lebih kurang 1 Miliar. Hal ini dinilai suatu pertumbuhan populasi yang sangat pesat. Peningkatan populasi ayam ras yang begitu pesat menyebabkan perunggasan merupakan motor pembangunan peternakan Indonesia. Namun di tengah-tengah tingkat pertumbuhan dunia perunggasan yang begitu tinggi, muncul permasalahan baru, usaha perunggasan yang awalnya ditangani oleh peternak kecil, sekarang telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, bahkan terjadi integrasi secara besar-besaran mulai dari hulu, on-farm sampai hilirnya. Kondisi pasar perunggasan memungkinkan adanya persaingan sempurna (persaingan bebas) antara integrator dengan peternak onfarm skala kecil, implikasinya berupa dominasi pasar oleh perusahaan integrator. Pertumbuhan perunggasan di Indonesia dinilai artificial, sangat rawan dan semu (foot-lose industry) serta belum berbasiskan kepada sumberdaya lokal. Industri ini masih sangat tergantung kepada input impor seperti bahan baku pakan, bibit dan teknologi. Dalam hal ini upaya-upaya restrukturisasi industri juga perlu terus dilanjutkan. Di bidang industri perunggasan, arah kebijakan adalah pembenahan dalam aspek pasar agar terjadi persaingan yang sehat dan berkeadilan. Dengan kata lain mencegah tidak terjadinya struktur pasar yang dapat didikte oleh salah satu industri. Jika perlu sebaiknya dibuat pembatasan terhadap industri-industri yang ditekuni oleh masyarakat seperti usaha budidayaayam ras, sementara usaha yang membutuhkan high technology diserahkan kepada pihak swasta. Begitu juga perlu dilakukan stimulasi agar perusahaan integrator dapat melakukan ekspansi ke pasaran ekspor dan pasar dalam negeri dapat menjadi andalan bagi peternak berskala kecil. Untuk mengurangi ketergantungan industri perunggasan terhadap impor, produksi jagung dan kedelai perlu mendapat perhatian. Pembenahan terutama diarahkan ke usaha bersifat
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 35
industri sehingga sifat kontinuitas dan kepastian suplai bisa terjamin.
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005
III - 36