III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2007 sampai Desember 2007 dengan mengambil lokasi di salah satu sentra pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Kampar yaitu perkebunan PIR-Trans PTPN V Sei Pagar. Lokasi penelitian meliputi empat desa yaitu Desa Hangtuah dan Sialang Kubang termasuk Kecamatan Perhentian Raja, Desa Sei Simpang Dua termasuk Kecamatan Kampar Kiri Hilir dan Desa Mayang Pongke termasuk Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Secara geografis, kebun kelapa sawit terletak pada posisi 0o12! – 0o20! Lintang Utara dan 101º14! – 101º24! Bujur Timur (Gambar 7).
Gambar 7. Lokasi Penelitian Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Sei Pagar
54 Dari segi iklim, lokasi penelitian cocok untuk kelapa sawit dengan curah hujan tahunan rata-rata 1840 – 3400 mm/tahun, hari hujan rata-rata 116-172. dan kelembaban nisbi udara rata-rata >75%. Topografi datar-berombak, jenis tanah didominasi oleh Haplosaprists dan Dystrudepts . Sejak tahun 1985-1990, kelapa sawit rakyat (plasma) di lokasi ini dikembangkan melalui pola PIR-Trans seluas 6000 hektar terdiri dari 5 afdeling (afdeling A-E) dan kebun inti seluas 2813 hektar terdiri dari 4 afdeling (afdeling I-IV). Untuk pengolahan pasca panen TBS, terdapat 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton TBS/jam . Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan yaitu: 1. Secara geografis, lokasi penelitian termasuk areal strategis yang terletak pada kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura-Growth Triangle (IMS-GT) sehingga memiliki keunggulan dalam pemasaran produksi hasil olahan kelapa sawit seperti CPO dan produk lainnya. 2. Kebun kelapa sawit rakyat tersebar relatif luas yaitu sekitar 703 508 hektar atau sekitar 47,3% dari total areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau. 3. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat masih mengalami kendala yang mencakup kendala teknis, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan hidup. 3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Jenis dan Sumber Data Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dibutuhkan data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi aspek fisik sumberdaya lahan, iklim, demografi, sosial budaya, ekonomi, pengelolaan perkebunan kelapa sawit, dan laporan serta dokumen lainnya yang relevan. Data sekunder bersumber dari RSPO, Perusahaan Inti, Instansi Terkait Pemda, LSM, Kelompok Tani, dan instansi lain yang berhubungan dengan kelapa sawit. Data primer diperoleh dengan cara survei dengan meliput data fisik lahan, data sosial budaya, ekonomi, demografi, pengelolaan kelapa sawit. Data ini bersumber dari Kelompok Tani, Instansi Terkait Pemda, LSM, Perusahaan Inti, dan Instansi lainnya yang berkaitan dengan kelapa sawit. Jenis dan sumber data primer lebih rinci disajikan pada Lampiran 3 dan data sekunder pada Lampiran 4. 3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, sampel yang diambil dikelompokkan
dalam 2 macam yaitu sampel biofisik dan sampel sosial-
ekonomi. Sampel Biofisik meliputi aspek iklim, karakteristik sumberdaya lahan,
55 pengelolaan lahan, proses produksi dan pengolaan hasil panen serta pengolahan limbah. Pengambilan sampel tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: • Data iklim diperoleh dari stasiun iklim perkebunan atau stasiun iklim terdekat lainnya. • Data sifat kimia tanah diperoleh dari pengambilan sebanyak 47 contoh tanah komposit yang mewakili semua satuan tanah yang ada di lokasi perkebunan. Untuk setiap satu contoh komposit, merupakan campuran 10 anak komposit (sub sample), yang lokasi pengambilannya mengikuti Sistem Diagonal. Pada setiap sub sampel, diambil contoh tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Contoh tanah ini digabungkan dengan contoh anak komposit lainnya kedalam kedalam 1 wadah dan diaduk rata, kemudian diambil sekitar 0,5 kg contoh tanah komposit sebagai pewakil satuan peta tanah. Contoh tanah ini dianalisis di laboratorium tanah untuk menentukan sifat kimia dan biologi. Jumlah contoh tanah yang diambil sesuai dengan jumlah satuan peta tanah yang dijumpai di lapangan. • Data sifat fisika diperoleh dengan pengambilan sebanyak 24 contoh ring yang mewakili semua satuan tanah yang ada di lapang pada kedalaman 0-20 cm, dan 20-60 cm. Contoh ini dianalisis di laboratorium fisika untuk menentukan sifat fisik tanah seperti: B.D, permeabilitas, ruang pori dan lain-lain. • Data lereng diperoleh dari peta topografi lokasi perkebunan, kemudian dikelaskan dengan Program Arc-View. • Data penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi foto udara dan di cross cheking dengan pengamatan lapang. • Data kualitas air diperoleh dengan pengambilan sebanyak 14 contoh air dari badan air permukaan (sungai) dan sumur penduduk. Jumlah contoh air disesuaikan dengan sebaran sungai dan sumur yang ada di lokasi penelitian terutama pada inlet sungai, sentra pemukiman dan pabrik kelapa sawit serta outlet sungai. • Untuk melihat pencemaran karena limbah cair PKS, dilakukan pengambilan sebanyak 12 contoh limbah cair dari kolam penampung limbah cair PKS yaitu pada kolom penampung primer, kolam penampung sekunder, kolam penampung tertier dan kolam penampung akhir (sudah siap dibuang ke sungai). Seperti halnya contoh tanah, contoh air ini dianalisis di laboratorium untuk menentukan kualitas limbah PKS
56 • Data rendemen TBS diperoleh dari data pabrik pengolahan kelapa sawit yang ada di lokasi penelitian. • Data kualitas CPO diperoleh dari laboran hasil analisis kimia contoh CPO • Data pengolahan limbah padat pabrik kelapa sawit (tandan buah kosong, tempurung) diperoleh dari laporan pengelolaan limbah padat pabrik kelapa sawit. Untuk pengelolaan limbah padat perkebunan (pangkasan daun, babatan rumput/gulma) diperoleh dari laporan kegiatan
pengolahan limbah kebun
sawit. • Data produksi dan perkembangannya diperoleh dari laporan kegiatan panen TBS kelompok tani, KUD dan pabrik kelapa sawit. • Data penggunaan bahan kimia untuk pengendalian hama/penyakitr diperoleh dari kegiatan pemeliharaan kebun kelompok tani, KUD dan perusahaan inti. • Data penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik diperoleh dari kelompok tani, KUD dan perusahaan inti. Sampel sosial-ekonomi meliputi perkembangan kesehatan, pendidikan, pendapatan dan pengeluaran masyarakat, skim kredit pola PIR-Trans, bentukbentuk lembaga yang relevan dengan perkebunan kelapa sawit, konflik sosial, sistem penguasaan lahan, aksesibilitas publik terhadap pengelolaan perkebunan dan hal-hal lainnya yang relevan. Perekaman data yang dilakukan terhadap responden berbeda dimana: • Penetuan partisipan untuk AHP dan Analisis Prospektif dilakukan
dengan
purposive sampling dari para pakar perkebunan kelapa sawit plasma seperti: staf PTPN V di Pekanbaru dan di Sei Pagar, Instansi terkait (BAPPEDA, BAPEDALDA, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Dinas Kehutanan), ketua Kelompok Tani maju, Ketua KUD dan LSM. Partisipan untuk AHP sebanyak 14 orang dan Prospektif Analisis sebanyak 10 orang, pengisian kuesioner dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD). Metode FGD dipilih dengan pertimbangan bahwa FGD merupakan diskusi kelompok dari sejumlah individu yang memiliki pemahaman yang hampir sama terhadap topik diskusi dan memfokuskan pada interaksi dalam kelompok berdasarkan pertanyaan yang diajukan moderator (Krueger, 1988; Lestari, 2007). Dengan demikian, nilai-nilai yang diperoleh dari setiap pertanyaan yang diajukan lebih seragam sehingga membantu dalam pembobotan terhadap variabel-variabel yang sudah ditetapkan dalam AHP maupun Analisis Prospektif.
57 • Pengambilan data terhadap petani, ketua kelompok tani dan staf KUD serta stakeholders lainnya dilakukan dengan memakai kuesioner terstruktur (daftar pertanyaan terstruktur). Penentuan respoden dilakukan secara acak bertingkat (stratified random sampling) agar semua desa yang ada di lokasi penelitian terwakili. • Jumlah responden untuk pengisian kuesioner petani, kelompok tani dan staf KUD serta stakeholders lainnya sebanyak 100 orang yang ditentukan berdasarkan rumus Siegel (1990) sebagai berikut: n =
N 1 + Ne 2
Dimana: n = jumlah sampel N = Jumlah populasi E = Galat, maksimum 10% 3.2.3. Teknik Analisis Data Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui dinamika perkembangan perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini. Hasil analisis ini dijadikan acuan untuk melakukan simulasi pada perumusan alternatif model pengelolaan untuk masa mendatang. Selanjutnya, hasil analisis juga dijadikan pertimbangan dalam mengimplementasikan model pengelolaan kebun plasma berkelanjutan yang dibangun. Tahapan analisis dan data yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 8. Analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian dimana untuk mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan dan faktor-faktor pembatasnya serta produktivitas lahan kebun kelapa sawit plasma diestimasi dengan membuat peta kesesuaian lahan, model fungsi produksi kelapa sawit plasma dianalisis dengan model
ekonometrika
kelembagaan
untuk
Fungsi
Produksi
(Produktivitas)
melihat
instansi/lembaga
yang
Nerlove. terkait
Analisis
dan
pola
keterkaitannya diestimasi dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Untuk memperoleh alternatif model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan, data yang terukur dan kuantitatif dianalisis dengan pendekatan Sistem Dinamis. Untuk memperoleh skenario strategis implementasi model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan digunakan Analisis Prospektif. Matrik dari tujuan, jenis data, cara pengumpulan data, teknik analisis dan keluaran masing-masing tujuan disajikan pada Lampiran 5.
58
Data primer dan sekunder: fisik, ekonomi, sosial
Erosi Fungsi produksi Nerlove
USLE
Peta: Jenis tanah, topografi, land use, peta kebun
AHP
GIS Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan
Komponen Sosial
Komponen Ekonomi
Komponen Fisik
Analisis Sistem Dinamis Power Sim Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Validasi Tidak Valid Analisis Prospektif
Skenario strategis implementasi model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan
Gambar 8. Skema Tahapan Analisis Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan 3.2.3.1. Sifat Fisika dan Degradasi Tanah Sifat fisika tanah turut menentukan produktivitas lahan selain sifat kimia tanah terutama yang berkaitan dengan drainase tanah. Sifat-sifat fisika tanah diperoleh dengan pengambilan contoh ring pada setiap satuan tanah yang ada di lapang pada kedalaman 0-20 cm, dan 20-60 cm. Contoh ini dianalisis di laboratorium fisika untuk menentukan sifat fisik tanah seperti: B.D, permeabilitas, ruang pori dan lain-lain. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat degradasi lahan dengan produktivitas lahan dimana semakin terdegradasi lahan maka produktivitas lahan
59 semakin menurun. Erosi tanah merupakan faktor utama dari degradasi lahan sehingga penentuan tingkat erosi menjadi penting untuk menduga tingkat degradasi lahan. Erosi tanah diprediksi dengan menggunakan pendekatan persamaan prediksi kehilangan tanah secara komprehensif atau dikenal dengan The Universal Soil Loss Equation (USLE) (Troeh et al., 2004). USLE merupakan model kotak kelabu untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah, yang memungkinkan menduga rata-rata laju erosi tanah, pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu, untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau sedang diterapkan (Arsyad, 1989). Rumus pendugaannya adalah: A = R X K X LS X C X P Dimana: A R
= Besarnya erosi tanah yang mungkin terjadi (ton/ha/tahun) = Besarnya faktor curah hujan dan aliran permukaan (didekati dengan Indeks Erosi Hujan Wischmeier, EI30). = Faktor kepekaan erodibilitas tanah (kehilangan tanah per unit erosivitas hujan pada lahan kosong dengan kemiringan 9% dan panjang lereng 22,1 m. = Panjang dan kecuraman lereng = Faktor pengelolaan penutup tanah (tanaman) = Faktor tindakan pengelolaan tanah (konservasi tanah).
K
LS C P
Nilai dari masing-masing variabel pada rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Nilai R Nilai R didekati dengan Indeks Erosi Hujan Wischmeier (El30) yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (l30) tahunan. Besarnya nilai R digunakan rumus berikut: El30 = 6,119(RAIN)121(DAYS)-0,47MAXP0,53 Dimana: = Indeks erosi hujan bulanan = Curah hujan rata-rata bulanan (dalam cm) = Jumlah hari hujan rata-rata per bulan = Curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan El30 tahunan adalah jumlah El30 bulanan El30 RAIN DAYS MAXP
60 b. Nilai K K merupakan faktor erodibilitas tanah yang besaran nilainya didekati berdasarkan nilai K beberapa tanah yang ada di Indonesia atau dengan menggunakan rumus berikut (Kurnia dan Suwardjo, 1984, dalam Arsyad, 1989): 100K = 1,292{2,1M1,14(10)-4(12-a) + 3,25(b-2) +2,5(c-3) Dimana: M a b
c
= Persentase pasir sangat halus (diameter 0,05-0,1 mm) dan debu (diameter 0,05-0,02 mm) X (100-persentase liat) = persentase bahan organik = Kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah (granuler sangat halus=1; granuler halus=2; granuler sedangkasar=3 dan berbentuk blok, blocky plat, masif=4) = kelas permeabilitas profil tanah (sangat lambat=6; lambat=5; lambat-sedang=4; sedang=3; sedang-agak cepat=2 dan cepat=1)
Setelah data-data tersebut diperoleh maka besarnya nilai K bisa diperoleh dengan menggunakan Nomograf Erodibilitas Tanah. c. Nilai LS Nilai LS merupakan faktor panjang dan kemiringan lereng yang dihitung antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan kecuraman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang terletak pada kecuraman lereng 9% dan panjang lereng 22 meter. Nilai LS didekati dengan menggunakan Nomograf Faktor LS atau dengan persamaan sebagai berikut: LS =
X (0,0138 + 0,00965s + 0,00138s 2 )
Dimana: X = Panjang lereng dalam meter S = kecuraman lereng dalam persen d. Nilai C Faktor C dalam USLE adalah nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah tanpa tanaman dan diolah bersih. Dengan demikian, faktor C mengukur pengaruh bersama antara jenis tanaman dan pengelolaan yang diterapkan pada sebidang lahan. Besarnya nilai faktor C didekati berdasarkan pengelolaan tanaman menurut Arsyad (1989) seperti pada Tabel 4.
61
Tabel 4. Nilai Faktor C pada Berbagai Kondisi Pengelolaan Tanaman No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19.
20.
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
31. 32. 33.
Macam penggunaan Tanah terbuka (tanpa tanaman) Sawah Tegalan tanpa disepesifikasi Ubi kayu Jagung Kedelai Kentang Kacang tanah Padi Tebu Pisang Akar wangi/sereh wangi Rumput B.D (tahun pertama) Rumput B.D (tahun kedua) Kopi dengan penutup tanah buruk Talas Kebun campuran: - Kerapatan tinggi - Kerapatan sedang -Kerapatan rendah Perladangan Hutan alam: -Serasah banyak -Serasah kurang Hutan produksi: -Tebang habis -Tebang pilih Semak belukar/padang rumput Ubi kayu + kedelai Ubi kayu + kacang tanah Padi – sorgum Padi + kedelai Padi + mulsa jerami 4 ton/ha Padi + mulsa Crotalaria sp. 3 ton/ha Kacang tanah + gude Kacang tanah + kacang tunggak Kacang tanah: - + mulsa jerami 4 ton/ha - +mulsa jagung 4 ton/ha - +mulsa Crotalaria sp. 3 ton/ha - +mulsa kacang tunggak - +mulsa jerami 2 ton/ha Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Alang-alang
Nilai faktor C 1,00 0,01 0,70 0,80 0,70 0,399 0,40 0,20 0,561 0,20 0,60 0,40 0,287 0,002 0,20 0,85 0,10 0,20 0,50 0,40 0,001 0,005 0,50 0,20 0,30 0,181 0,195 0,345 0,417 0,096 0,387 0,495 0,571 0,049 0,128 0,136 0,259 0,377 0,079 0,357 0,001
62 e. Nilai P Faktor P adalah nisbah besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah menurut arah lereng. Nilai P pada berbagai tindakan konservasi tanah disajikan pada Tabel 5 (Arsyad, 1989). Tabel 5. Nilai Faktor P pada Berbagai Tindakan Konservasi Tanah No 1.
Tindakan konservasi tanah Teras bangku: - Konstruksi baik - Konstruksi sedang - Konstruksi kurang baik - Teras tradisional Strip tanaman rumput Bahia Pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur: - Kemiringan 0-8% - Kemiringan 9-20% - Kemiringan > 20% Tanpa tindakan konservasi tanah
2. 3.
4.
Nilai P 0,04 0,15 0,35 0,40 0,40 0,50 0,75 0,90 1,0
3.2.3.2. Kesesuaian Lahan (Land Suitability) Kesesuaian lahan menggambarkan produktivitas lahan dan sangat menentukan tingkat produksi tanaman yang dibudidayakan bersama dengan potensi tanaman dan pengelolaan yang diterapkan. Dengan demikian, kesesuaian lahan perlu diketahui untuk mengestimasi tingkat produksi tanaman pada tingkat pengelolaan yang diterapkan. Kesesuaian lahan pada hamparan tanah mempunyai tingkat yang berbeda-beda sehingga diperlukan metode tertentu untuk mengevaluasinya agar diperoleh sebaran dan kelas yang mewakili areal tanam kelapa sawit. Kesesuaian lahan untuk kelapa sawit diperoleh dengan Over-lay peta tanah, peta lereng, peta rupabumi, peta penggunaan lahan (vegetasi), dan peta bahan induk (Gambar 9). Bahan-bahan untuk membuat peta kesesuaian lahan adalah: a. Peta SRTM berupa peta digital 3 dimensi untuk melihat kondisi lereng lokasi penelitian dalam formula Digital Elevation Model (DEM). b. Peta Land Unit yang memuat satuan peta tanah lokasi penelitian serta karateristiknya. c. Citra ETM7 merupakan peta Landsat yang memuat vegetasi permukaan tanah (Land cover).
63 d. Peta Rupabumi yang memuat kondisi garis kontur lokasi penelitian.
SRTM
Land unit
CITRA ETM7
PETA RUPABUMI SCAN
GEOREPLIKASI ANALISIS VISUAL DAN ON SCREEN DIGITIZING
- Peta garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, fasilitas umum lainnya - Peta tanah, peta tutupan lahan (land cover) - Observasi lapang - Analisis contoh tanah, air, limbah PKS, daun kelapa sawit
REANALISIS LAND EVALUATION PETA KESESUAIAN LAHAN
Gambar 9. Bahan dan Tahapan Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan (Land Suitability Map) Peta Rupabumi di scan untuk melihat kondisi lereng, kemudian dilakukan georatifikasi (penyamaan posisi geografi) semua peta dasar ke dalam 1 sistem/unit yang sama, dalam hal ini sistem UTM (Universal Transfer Mercator). Langkah selanjutnya adalah melakukan tumpang tindih (overlay) semua peta dasar, diikuti dengan analisis visual pada screen (screen digitizing) yang menghasilkan gambaran garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, peta tanah, peta tutupan lahan dan penggunaan lainnya. Hasil analisis awal ini diikuti dengan observasi lapang untuk melihat kondisi aktual di lapangan, dilakukan pengambilan contoh tanah, air, daun tanaman dan limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS). Semua contoh-contoh tersebut dianalisis di laboratorium untuk mengetahui sifat-sifat tanah, air,
64 tanaman dan limbah PKS secara kuantitatif. Tindakan selanjutnya adalah melakukan analisis ulang (reanalisis) untuk mencocokkan hasil analisis awal dengan hasil observasi lapangan antara lain posisi geografi, bentuk alur sungai, batas-batas satuan lahan. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan hasil reanalisis, hasil analisis contoh tanah, air, daun tanaman dan limbah cair PKS serta syaratsyarat pertumbuhan tanaman kelapa sawit dengan mengacu kepada sistem yang dikembangkan oleh Hardjowigeno et al. (1999) yaitu Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah dan Djaenudin et al (2003) yaitu Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Dari sini diperoleh peta kesesusian lahan lokasi penelitian sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk memperoleh model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma yang berkelanjutan. 3.2.3.3. Fungsi Produksi Nerlove Petani sebagai manajer dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma memiliki perilaku tertentu dalam merespon faktor-faktor produksi yaitu: perkembangan harga input (sarana produksi), harga output (TBS), tingkat upah tenaga kerja, kebijakan pemerintah, teknologi dan harga komoditas pesaing. Respon petani ini berpengaruh langsung terhadap intensitas pengelolaan yang diterapkan petani dan berujung kepada tingkat produksi yang diperoleh. Pemahaman terhadap perilaku petani menjadi penting untuk diketahui dalam mengestimasi produksi kelapa sawit dari kebun plasma di lokasi penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit diestimasi dengan Model Otoregresif yaitu model distribusi yang memiliki lag variabel terikat sebagai variabel bebas (penjelas) (Sumodiningrat, 1998). Ada beberapa macam model otoregresif, tetapi yang dipakai dalam penelitian ini adalah Model Penyesuaian Parsial yang dikembangkan oleh Nerlove (Nerlove’s Partial Adjusment Model)(Koutsoyiannis, 1977). Berkaitan dengan komoditas kelapa sawit, model ini berdasarkan pada asumsi bahwa petani akan menyesuaikan tingkat produksi dengan tingkat harga yang diterima, dalam artian petani akan meningkatkan produksi jika harga meningkat dan sebaliknya petani akan menurunkan produksi jika harga komoditas yang dipasarkan menurun. Namun demikian, penurunan atau peningkatan produksi ini mengacu pada adanya beda kala (lag) antara dua periode yaitu harga pada tahun sebelumnya dan saat sekarang. Respon petani terjadi setelah beda kala sebagai dampak dari
65 perubahan harga-harga input dan output serta kebijakan pemerintah. Dalam bentuknya yang paling sederhana, produksi kelapa sawit merupakan respon dari luas areal dikalikan dengan produktivitas. Respon luas areal yang diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas yang menurut Koutsoyiannis (1977) modelnya dapat dituliskan sebagai berikut: A*t = B0 + B1Pt + Ut ............................................................................ Dimana: A*t Pt
(1)
= Areal panen yang diinginkan pada tahun t = Harga TBS pada tahun t.
Luas areal yang diinginkan tidak bisa diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didasarkan pada suatu hipotesis yang merupakan perilaku penyesuaian parsial dalam bentuk persamaan: At – At-1 = δ(A*t – At-1) + Vt ………………………………………............. (2) Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu tersebut disebut koefisien penyesuaian parsial (δ) yang bernilai di antara dua nilai ekstrim yaitu 0 dan 1, dimana: δ = 0, berarti perubahan yang diharapkan tidak berpengaruh terhadap luas areal tanam δ =1, berarti areal tanam yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga penyesuaiannya terjadi seketika. Persamaan (2) dapat diatur kembali sehingga terbentuk persamaan berikut: At = δ A*t + (1-δ) At-1 + Vt ................................................................... (3) Areal tanam kelapa sawit yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Jika persamaan (1) disubstitusikan ke persamaan (3) maka diperoleh persamaan: At = δ (B0 + B1Pt + Ut) + (1-δ) At-1 + Vt = δ B0 + δ B1Pt + (1-δ) At-1 + (Vt + δut) .......................................... Dimana: δ B0 δ B1 dan 1-δ Vt + δut
= Konstanta = Koefisien = Peubah pengganggu
(4)
66 Secara umum, model di atas dapat ditulis sebagai berikut:
At
= βο +
k
∑β j =1
Dimana: Xj (j)
j
Χ jt + ∂At −1 + ∈t ............................................
(5)
= 1,2,.........,k) adalah variabel-variabel penjelas (independen) yang relevan.
Aplikasi dari respon luas areal kelapa sawit berupa modifikasi terhadap persamaan regresi linier berganda (Sukiyono, 1995) sehingga konsisten dengan spesifikasi Nerlove sebagai berikut: At
= a0 + a1 HGTBSt + a2 HGKRTt + a3 UPTKt + a4 Dummyt + a5 TRENDt + a6 At-1 + ∈1 ..............................................
(6)
Dimana: = Luas areal tanam perkebunan kelapa sawit pada tahun t At = Harga riil TBS di tingkat petani pada tahun t HGTBSt HGKRTt = Harga riil karet di tingkat petani pada tahun t = Upah tenaga kerja riil pada tahun t UPTKt = Kebijakan pemerintah pada tahun t Dummyt TRENDt = Teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit tahun t At-1 = Lag luas areal tanam kelapa sawit ∈1 = Peubah pengganggu. Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan respon areal tanam adalah: a1, a4 dan a5 >0; a2 dan a3 < 0 dan 0< a6 <1 Produktivitas kelapa sawit dapat dirumuskan dalam spesifikasi Nerlove berikut: PSt = b0 + b1 HGTBSt + b2 HGPUt + b3 HGPSt + b4 HGPKt + b5 HGPMt + b6 PSt-1 + ∈2 ................................................... (7) Dimana: PSt = Produktivitas kelapa sawit pada tahun t = Harga riil TBS pada tahun t HGTBSt HGPUt = Harga riil pupuk Urea pada tahun t HGPSt = Harga riil pupuk SP-36 pada tahun t HGPKt = Harga riil pupuk KCl pada tahun t HGPMt = Harga riil pupuk majemuk pada tahun t = Lag produktivitas kelapa sawit PSt-1 ∈2 = Peubah pengganggu Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan produktivitas kelapa sawit adalah: b1 > 0; b2, b3, b4 dan b5 < 0; 0 < b6 <1 Dari persamaan tersebut dapat dibuat persamaan identitas produksi kelapa sawit sebagai berikut: PRt
= At * PSt ............................................................................. (8)
PRt
= Produksi kelapa sawit pada tahun t.
67 Pendugaan model luas areal tanam dan produktivitas kelapa sawit plasma dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0. Perilaku petani plasma terlihat dari nilai koefisien regresi pada persamaan luas areal tanam dan produktivitas. Lebih lanjut, koefisien regresi luas areal tanam dan produksi kelapa sawit dapat dijadikan dasar untuk mengetahui elastisitas produksi kelapa sawit sebagai indikasi dari besarnya perubahan variabel tidak bebas (dependence variable) akibat perubahan variabel bebas (independence variable). Produksi dalam persamaan identitas produksi kelapa sawit (persamaan 8) dapat ditulis dengan cara lain sebagai berikut: Q = A.Y ............................................................................................ (9) Dimana: Q = Produksi kelapa sawit plasma A = Luas areal tanam kelapa sawit plasma Y = Produktivitas kelapa sawit plasma Persamaan 9 dapat diteruskan dalam bentuk lern sebagai berikut: Ln Q = Ln (A.Y) ............................................................................. (10) Ln Q = Ln A + Ln Y ..................................................................... (11) Persamaan 11 dapat diturunkan untuk memperoleh elastisitas produksi kelapa sawit plasma sebagai berikut:
∂LnQ ∂(LnA + LnY ) = …………………………………………………. (12) ∂LnP ∂LnP Elastisitas produksi kelapa sawit plasma dapat ditulis sebagai berikut:
El QP =
∂Ln A ∂LnY ………………………………………………….. (13) + ∂Ln P ∂Ln P
ElQP = El AP + ElYP
…………………………………………………… (14)
Dimana: ElQP = Elastisitas produksi kelapa sawit plasma ElAP = Elastisitas luas areal tanam kelapa sawit plasma ElYP = Elastisitas produktivitas kelapa sawit plasma 3.2.3.4. Analytical Hierarchy Process (AHP) Pengelolaan kebun kelapa sawit plasma melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders) yang sering berakibat pada kekurang harmonisan kinerja pengelolaan karena benturan kepentingan. Para pemangku kepentingan tersebut adalah petani, perusahaan inti, lembaga keuangan (bank), instansi
68 terkait pemerintah daerah, LSM dan masyarakat sekitar kebun. Dalam rangka memenuhi semua keinginan pemangku kepentingan tersebut diperlukan adanya kelembagaan yang mengaitkan peranan masing-masing dalam mekanisme kerja yang harmonis. Untuk itu diperlukan maka model kelembagaan pengelolaan kebun plasma kelapa sawit yang menggambarkan peranan dan keterkaitan masing-masing pemangku kepentingan. Estimasi model kelembagaan dilakukan dengan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty pada dekade 1970-an dengan tujuan untuk memecahkan persoalan yang kompleks dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan untuk dapat diekspresikan dalam mengambil keputusan yang efektif terhadap persoalan tersebut. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagian serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lainnya (IPPM, 1991). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik yang diawali dengan perumusan masalah yaitu menata persoalan yang kompleks dalam suatu hirarki yang dimulai dengan goal/sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria
dan akhirnya alternatif
(Marimin, 2004). Ma’arif dan Tanjung (2003) menyatakan bahwa struktur hirarki AHP terdiri dari 5 tingkatan yang dimulai dari fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif strategi. Dalam penyelesaian masalah menggunakan AHP, terdapat beberapa tahapan yang harus dikerjakan sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Dalam kontek ini, terdapat tujuh tahapan yang harus dilalui yaitu identifikasi sistem, penyusunan hirarki, pengisian matriks pendapat individu, penentuan konsistensi, menyusun matriks gabungan, pengolahan vertikal dan menghitung vektor prioritas sistem (Gambar 10). Identifikasi sistem merupakan proses untuk memahami permasalahan yang akan diselesaikan dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai, kriteria yang akan diusahakan untuk menentukan alternatif yang akan dipilih. Menyusun hirarki dengan melakukan abstraksi struktur suatu sistem dengan mempelajari fungsi interaksi antar komponen dan juga dampaknya pada sistem. Abstraksi struktur ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari puncak atau
69 besaran utama, turun ke sub-sub tujuan, lalu ke pelaku yang memberi dorongan, turun ke tujuan pelaku dan akhirnya strategi alternatif.
Mulai
Identifikasi Sistem
Penyusunan Hirarki
Pengisian Matriks Pendapat Individu
CR Konsisten (terpenuhi?) Revisi Pendapat
Tidak
Menyusun Matrik Gabungan Pengolahan Vertikal
Ya Menghitung Vektor Prioritas Sistem
Selesai
Gambar 10. Tahapan-Tahapan dalam Penggunaan AHP (Saaty, 1993) Langkah selanjutnya adalah penentuan tingkat kepentingan dari tingkat faktor sampai alternatif secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dengan membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkatan hirarki sehingga diperoleh nilai tingkat kepentingan 2 elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantifikasi pendapat gabungan tersebut, digunakan skala dasar penilaian tingkat kepentingan yang bernilai 1-9, dimana nilai 1 berarti 2 elemen yang dibandingkan sama pentingnya, dan 9 berarti 1 elemen yang dibandingkan ekstrim penting dibandingkan dengan elemen lainnya (Tabel 6). Penilaian
70 kepentingan relatif 2 elemen berlaku aksioma berbning terbalik, artinya jika elemen ke i dinilai 3 kali lebih penting dari pada elemen j, maka elemen j nilainya 1/3 pentingnya terhadap elemen i. Banyaknya penilaian dalam penyusunan matriks ini adalah n(n-1)/2 karena matriknya berbanding terbalik dan elemenelemen diagonal sama dengan 1. Hasil perbandingan berpasangan disusun dalam bentuk matriks pendapat inividu agar dapat diolah untuk menentukan bobot yaitu dengan mencari nilai eigen (eigen factor). Jawaban dapat diketahui dengan mengalikan matrik nilai eigen dari alternatif dengan bobot kriteria. Tabel 6. Skala Dasar Penilaian Tingkat Kepentingan dalam AHP Tingkat kepentingan
Definisi
1
Elemen 1 sama pentingnya dibanding elemen lainnya
3
Elemen 1 moderat pentingnya dibanding elemen lainnya
5
Elemen 1 kuat pentingnya dibanding elemen lainnya
7
Elemen 1 sangat kuat pentingnya dibanding elemen lainnya
9
Elemen 1 ekstrim kuat pentingnya dibanding elemen lainnya
2,4,6,8
Tingkat kepentingan elemen 1 di antara 2 penilaian berdekatan
Sumber: Saaty (1993)
Tahap berikutnya adalah menentukan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif dengan indeks konsistensi (consistency index, CI), dimana CI dinyatakan baik jika nilai rasio konsistensi (consistency ratio, CR) < 0,1. Nilai CR dihitung dengan rumus: CR = CI/RI, dimana RI (Random Index) adalah nilai dari Tabel yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory. Setelah nilai konsistensi ratio dipenuhi, langkah selanjutnya adalah penyusunan matriks gabungan karena AHP diaplikasikan untuk mengolah data berupa pendapat dari responden yang multi desipliner. Proses ini dilakukan dengan mengunakan rata-rata geomterik sebagai berikut:
X G = n π n . Xi i =1 dimana:
X G = Rata-rata geometrik; n = Jumlah responden Xi = Penilaian oleh responden ke i
71 3.2.3.5. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem digunakan pada penelitian ini karena dalam pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan melibatkan banyak stakeholders dengan beragam kepentingan yang memerlukan penyelesaian secara holistik. Komponen pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara umum dikelompokkan sumberdaya
menjadi manusia,
3 dan
komponen
utama
sosial-ekonomi.
yaitu
sumberdaya
Pendekatan
sistem
alam, akan
memberikan penyelesaian masalah yang komplek dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendisain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem terdiri dari tahapan analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi sistem dan validasi sistem. Tahapan tersebut bisa diteruskan dengan melakukan uji sensitivitas model dan arahan penerapan model untuk pengembangan yang dibangun. Analisis Kebutuhan. Dalam tahap analisis kebutuhan dirumuskan semua stakeholders dan kebutuhannya dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Berdasarkan hal tesebut, stakeholders dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan antara lain: petani plasma sawit, perusahaan inti perkebunan kelapa sawit, Dinas Perkebunan Kabupaten, Instansi Terkait Tingkat Kabupaten, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat di luar lokasi perkebunan (Lampiran 6). Formulasi Masalah Analisis kebutuhan menunjukkan adanya benturan kebutuhan dan kepentingan stakeholders yang terlibat karena masalahnya komplek. Hal ini membutuhkan suatu rumusan masalah agar sistem yang dibangun bisa bekerja efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan analisis kebutuhan tersebut formulasi masalah dalam pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen kelapa sawit adalah: 1. Kompetensi dan keterampilan petani sawit dan pekerja pengolahan pasca panen belum memadai untuk membangun perkebunan berkelanjutan. 2. Minimnya peran serta Instansi Terkait Kabupaten dan Propinsi dalam membina dan memberdayakan masyarakat setempat.
72 3. Sumberdaya lahan di lokasi perkebunan merupakan tanah dengan status kesuburan rendah, masam, sehingga memerlukan teknologi pengelolaan spesifik lokasi yang tepat untuk mempertahankan produktivitas lahan. 4. Rendahnya kepedulian petani terhadap kelestarian lingkungan. 5. Rendahnya
keterlibatan
LSM
sebagai
lembaga
pendamping
dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah. 6. Rendahnya kepedulian stakeholders, terutama policy maker daerah terhadap pencegahan dan upaya konservasi sumberdaya lahan sehingga degradasi lahan perkebunan masih terjadi secara intensif. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan salah satu tahapan dalam aplikasi pendekatan sistem dalam pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen kelapa sawit berkelanjutan. Tahapan ini menghubungkan kebutuhan-kebutuhan dengan permasalahan yang dihadapi sebagai mata rantai yang digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop). Analisis selanjutnya adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar sebab-akibat ke dalam kotak gelap (black box). Terdapat 5 variabel dalam tahapan ini yaitu: 1. Variabel input terkendali 2. Variabel input tak terkendali 3. Variabel output dikehendaki 4. Variabel output tak dikehendaki 5. Variabel kontrol sistem Variable input berasal dari luar sistem dan dalam sistem, meliputi input terkendali dan tak terkendali. Variabel output meliputi output dikehendaki dan output tak dikehendaki. Parameter disain sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan merupakan proses yang mempengaruhi input menjadi output (Gambar 11). Gabungan simpal-simpal umpan balik menunjukkan kompleksitas pengelolaan perkebunan kelapa sawit dimana semakin banyak variabel dan parameter berarti semakin rinci dan dinamis.
73
Input tak terkendali: - Kondisi sosial budaya masyarakat lokal - Harga input dan output - Kondisi politik dan ekonomi nasional - Standar kualitas produk perdagangan global
Input terkendali: - Penyediaan lahan - Penyediaan saprodi - Kapasitas PKS - Kebutuhan tenaga kerja - Target produksi - Kapasitas bangunan pabrik - Gedung perkantoran dan perumahan karyawan - Standarisasi gaji karyawan - Sarana kesehatan, pendidikan, sosial dan fasilitas umum lainnya - Mitra usaha - Arus informasi teknologi dan managemen
Input Lingkungan - Kesesuaian lahan - Biodiversitas lingkungan - UU No. 32 2004 - Iklim
Disain sistem pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen kelapa sawit
Output dikehendaki: - Produktivitas lahan berkelanjutan - Peluang kerja meningkat - Degradasi lahan rendah - Pencemaran air, udara, tanah dan penurunan biodiversitas rendah - Pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat - Konflik sosial dan politik rendah - Penyediaan sarana kesehatan, pendidikan, sosial dan fasilitas umum lainnya meningkat - Arus informasi teknologi dan pengelolaan perkebunan lancar
Output tak dikehendaki - Produktivitas lahan menurun dan tidak berkelanjutan - Konflik sosial dan politik tinggi - Degradasi lahan intensif - Pencemaran udara, air, tanah dan penurunan bioiversitas tinggi - Pendapatan dan kesejahteraan masyarakat turun
Umpan balik sistem perencanaan
Gambar 11. Diagram Input-Output dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Simulasi Sistem Simulasi sistem merupakan tahapan pendekatan sistem dengan kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem. Selain itu, juga bisa diketahui pengaruhnya pada komponenkomponen dari suatu perlakuan yang dicobakan pada beberapa komponen. Hasil
simulasi
biasanya
ditampilkan
sebagai
grafik
dan
tabel
yang
mengilustrasikan variabel-variabel sensitif yang mempengaruhi perilaku sistem.
74 Validasi Model Validasi model adalah tahapan penyimpulan apakah model yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji untuk memperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Tujuannya untuk menguji kebenaran struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistik. Model yang dihasilkan dari simulasi sistem dibandingkan dengan kondisi saat ini (existing condition) untuk melihat perbedaan antara keduanya dan sekaligus tingkat validitas model yang dibangun (Hartrisari, 2007). Sensitivitas Model Analisis sensitivitas model dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana model dapat digunakan apabila ada perubahan pada asumsi atau sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah bila variable model berubah. Model dikategorikan sensitif jika perubahan nilai variabel input menyebabkan perubahan output model. Hasil analisis ini dapat diketahui keterbatasan penggunaan model (Hartrisari, 2007). Terdapat tiga jenis pengujian sensitivitas model yaitu sensitivitas numerik, sensitivitas perilaku dan sensitivitas kebujakan. Uji sensitivitas numerik dilakukan dengan cara mengubah nilai numerik input yang menyebabkan perubahan pada nilai numerik output model. Selanjutnya, interpretasi model yang dibangun bisa memberikan arahan untuk mengidentifikasi
variabel-variabel
strategis untuk
dijadikan
acuan
perumusan skenario dan kebijakan dalam mengelola produksi dan pengelolaan pasca panen kelapa sawit. Lebih jauh lagi, model yang dibangun juga berpeluang untuk diaplikasikan pada lokasi perkebunan kelapa sawit yang memiliki karakteristik biofisik dan sumberdaya lahan yang mirip dengan lokasi penelitian. 3.2.3.6. Analisis Prospektif Analisis prospektif merupakan salah satu analisis yang banyak digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan berupa skenario strategis yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, industri ataupun masalah lainnya untuk mencapai kondisi yang efektif dan efisien pada masa mendatang. Analisis prospektif dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksplorasi dan mengantisipasi perubahan melalui skenario. Dapat juga sebagai alat normatif yang merupakan pendekatan berorientasi tindakan yang dimulai dari visi terpilih
75 mengenai masa depan dan menentukan jalur untuk mencapainya. Dengan demikian, analisis prospektif tidak berfokus pada optimasi solusi, tetapi pada penyediaan berbagai macam pilihan dan tujuan bagi para pembuat keputusan dan turut merancang serangkaian alternatif ketimbang memilih alternatif terbaik (Bourgeois, 2004). Menurut Hardjomidjojo (2004) aplikasi analisis prospektif melalui 2 tahapan yaitu: menerangkan tujuan penelitian dan melakukan identifikasi terhadap variable-variabel berdasarkan hasil yang diperoleh dari pendekatan sistem model dinamik. Analisis Prospektif diawali dengan melakukan analisis struktur dari variabel-variabel yang diperoleh dalam analisis Sistem Dinamis dengan memakai tabel pengaruh langsung antara variabel dari masalah yang diteliti (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh Langsung Antar Variabel dalam Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Dari/Terhadap A B C D E F G H
A XXX
B
C
Faktor D E
F
G
H
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
Keterangan: A–H = Variabel penting dalam sistem Skoring: 0 2
= tidak ada pengaruh; = berpengaruh sedang;
1 = Berpengaruh kecil; 3 = Berpengaruh kuat
Mekanisme pengisian Tabel tersebut adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar variabel sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar variabel sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar variabel kecil dan skor 0 jika pengaruh langsung antar variabel tidak ada. Setelah diperoleh variabel-variabel kunci dari Tabel 7, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap variabel dalam model pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen kelapa sawit
plasma pada masa mendatang (Gambar 12). Variabel-variabel
yang terletak pada kuadran I memiliki pengaruh terhadap kinerja sistem dominan, ketergantungan dengan elemen lainnya rendah. Dalam aplikasi model,
76 variabel-variabel ini disebut variabel kunci dan bisa di ”adjust” untuk memperoleh skenario strategis.
Pengaruh
I
Variabel Penggerak ( Input)
IV
Variabel Bebas (Unused)
II
Variabel Penghubung (Stakes)
III
Variabel Terikat (Output)
Ketergantungan
Gambar 12. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antara VariabelVariabel Kunci dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan (Bourgeois, 2004) Variabel-variabel yang terletak pada kuadran II memiliki pengaruh terhadap kinerja model tinggi, ketergantungan dengan elemen lainnya juga tinggi sehingga sedikit saja perlakuan yang diberikan pada variabel ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan elemen lainnya dalam model. Variabelvariabel ini tidak bisa di ”adjust”. Variabel-variabel yang terletak pada kuadran III memiliki ketergantungan dengan elemen lainnya tinggi, pengaruhnya terhadap kinerja model rendah. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel kuadran III merupakan variabel dengan keterikatan terhadap output dari sistem tinggi. Variabel-variabel yang terletak pada kuadran IV merupakan variabel yang bebas dengan karakteristik memiliki pengaruh dan ketergantungan rendah. Oleh karena itu, variabel-variabel ini tidak memerlukan perhatian yang serius tidak mempengaruhi kinerja model. Lebih lanjut, Bourgeois (2004) menyatakan bahwa terdapat 2 tipe sebaran variabel-variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan yaitu:
77 1. Tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran IV ke kuadran II. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel-variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau laverage variable. Hal ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang. 2. Tipe sebaran variabel yang mengumpul di kuadran I ke kuadran III sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan yang kuat dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain itu, dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari Analisis Prospektif adalah Analisis Morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan
masa depan agar
skenario stategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua variabel kunci yang terpilih. Sebagai contohnya: variabel luas lahan, akan memiliki 3 keadaan di masa mendatang yaitu: luas menurun, luas lahan tetap dan luas lahan semakin bertambah. Variabel-variabel kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian dicantumkan dalam sebuah tabel (Tabel 8). Tabel 8.
Variabel-variabel Kunci dan Beberapa Keadaannya yang mungkin Terjadi Di Masa Mendatang
Variabel
Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang 1 2 3 4
Variabel-1 Variabel-2 Variabel-3 Variabel-4 Variabel-5 Variabel-6 Analisis morfologis diteruskan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi variabel-variabel kunci dalam merumuskan skenario di masa mendatang melalui identifikasi saling ketidaksesuaian di antara keadaan-keadaan variabel kunci (incompatibility Identification). Pelaksanaan tahapan ini dengan mencantumkan keadaan-keadaan yang tidak dapat atau sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan pasangan keadaan yang tidak sesuai. Sebagai contoh keadaan 1 (misalnya: luas lahan berkurang) dari variabel kunci luas lahan tidak mungkin terjadi
78 bersamaan dengan keadaan 3 ( kebijakan pemerintah daerah mendukung kelembagaan sistem penguasaan lahan yang semakin baik) dari faktor 3 (kebijakan pemerintah daerah) (Tabel 9) Tahapan terakhir adalah membangun skenario strategis pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan variabel-variabel kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih tidak lebih dari 5 skenario atau ada upaya lainnya yaitu mengelompokkan skenario yang mirip ke dalam satu cluster skenario misalnya: berdasarkan peluang terjadinya keadaan di masa mendatang, skenario dikelompokkan kedalam cluster skenario pesimis, cluster skenario medium dan cluster skenario optimis. Tabel 9.
Keragaan Variabel Kunci, Keadaan dan Identifikasi Ketidaksesuaian Pasangan (Incompatibility Identification) Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang
Variabel
1
2
3
4
Variabel-1 Variabel-2 Variabel-3 Variabel-4 Variabel-5 Variabel-6
3.4.
Definisi Operasional Definisi operasional diperlukan untuk memberikan gambaran komponen
penelitian, instansi terkait serta batasan penelitian terkait dengan luasnya aspek yang diteliti. Beberapa definisi operasional yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) merupakan institusi tingkat provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perencanaan dan pembangunan. 2. BAPEDALDA
(Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Daerah)
merupakan institusi tingkat provinsi/kabupaten/kota yang membidangi pengendalian dampak lingkungan akibat dari aktivitas pembangunan.
79 3. BOD (Biochemical Oxigen Demand) adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk mendekomposir dan menstabilkan sejumlah bahan organik melalui proses oksidasi biologi aerobik. 4. BPS
(Badan
Pusat
Statistik)
merupakan
institusi
tingkat
pusat/provinsi/kabupaten/kota yang membidangi sumber data dan informasi. 5. CD (Community Development) merupakan pembangunan masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 6. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa-senyawa anorganik dan organik sebagaimana pada BOD. 7. Daya Dukung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan (tanah, air, udara) untuk berfungsi dalam berbagai interaksi dan batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan serta meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia. 8. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan melalui proses fisik, kimia dan biologi yang sifatnya sementara maupun permanen. 9. Erosi adalah hilangnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain oleh suatu media alami (air atau angin). 10. Fermentasi anaerob adalah perlakuan (treatment) terhadap limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dengan memberikan mikroorganisme anaerob untuk memperbaiki kualitas lembah cair tersebut
sebelum dilakukan
fermentasi aerobik. 11. Fermentasi aerob adalah perlakuan terhadap limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dengan memberikan mikroorganisme aerob untuk memperbaiki kualitas lembah cair tersebut sebelum dialirkan ke areal pertanaman kelapa sawit sebagi bahan pembaik tanah atau sebagai sumber pupuk organik. 12. FGD (Focus Group Discussion) adalah diskusi kelompok dari sejumlah individu yang memiliki status sosial dan pemahaman terhadap tema diskusi hampir sama dengan memfokuskan interaksi dalam kelompok berdasarkan pertanyaan yang dikemukakan oleh moderator dalam kelompok diskusi. 13. GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya.
80 14. Incompatibility Identification (Identifikasi Ketidaksesuaian) adalah identifikasi yang dilakukan dengan cara menghubungkan keadaan variabel-variabel di masa mendatang yang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mungkin bisa terjadi pada saat yang bersamaan. Contohnya: jika di masa mendatang keadaan kualitas sumberdaya manusia menurun dan kurang terampil maka tidak mungkin kesesuaian lahan meningkat. 15. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 16. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai
tempat
permukiman
perdesaan,
pelayanan
jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 17. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 18. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yan diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya. 19. Kebun plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan berpola PIR-BUN. 20. Kelembagaan atau pranata sosial merupakan sistem perilaku dan hubungan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat yang meliputi 3 komponen yaitu (a) organisasi/wadah dari suatu lembaga, (b) fungsi kelembagaan dalam masyarakat dan (c) perangkat peraturan yang ditetapkan oleh sistem kelembagaan (SK Menteri Kehutanan Tahun 2003) 21. Kelompok
Tani
(POKTAN)
adalah
kumpulan
petani
yang
tumbuh
berdasarkan keakraban dan keserasian serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya pertanian untuk bekerja sama meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya. 22. Komoditas andalan adalah komoditas potensial yang dipandang dapat dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain, karena disamping
81 memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi usaha yang tinggi. Efisiensi usaha itu dapat tercermin dari efisiensi produksi, produktivitas pekerja, profitabilitas dan lain-lain. 23. Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pihak yang terlibat (Mitchell et al., 2003). 24. Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis. 25. Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. 26. Lag adalah beda waktu (kala) antara kebijakan yang diterapkan pemerintah dengan perilaku petani sebagai respon dari kebijakan tersebut. 27. Limbah pabrik kelapa sawit (PKS) adalah produk-produk hasil olahan PKS yang tidak diinginkan, terbentuk bersamaan dengan produk-produk yang dinginkan serta berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan jika tidak dikelola secara benar. 28. Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) adalah salah bentuk organisasi Non Government Organization (NGO’s) yang sifatnya tidak mencari keuntungan (nirlaba) sebagai wahana bagi masyarakat untuk meningkatkan peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam 29. Modal adalah besarnya uang yang dikeluarkan untuk membiayai usahatani meliputi aspek sarana produksi, proses produksi dan pemasaran produk usahatani dan biaya-biaya lainnya. 30. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall dan Day, 1977). 31. Partisipasi adalah kesediaan untuk membantu sesuai kemampuan setiap anggota masyarakat untuk keberhasilan setiap program yang diintroduksikan ke pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. 32. Pembangunan berkelanjutan dapat didefenisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk
sumberdaya ke
82 dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23, 1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefenisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (United Nation, 1948). 33. Pengembangan kelembagaan kelompok tani adalah upaya membangun dan memperkuat kelembagaan kelompok tani agar anggotanya mampu dan mandiri untuk melaksanakan pengelolaan usahataninya dengan ciri (a) ada aturan internal kelompok yang mengikat, (b) kejelasan dan tanggungjawab anggota, (c) pengakuan hak anggota, (d) aktivitas rutin kelompok berjalan lancar. 34. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara terpadu oleh pemerintah atau pihak-pihak lainnya dengan prinsip dasar (a) penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi yang dimiliki masyarakat, (b) memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat dan (c) melindungi masyarakat melalui pemihakan kepentingan masyarakat untuk meningkatkan daya saing. 35. Pendapat/persepsi petani adalah suatu penilaian atau pandangan petani melalui proses psikologi yang selektif terhadap suatu obyek/segala sesuatu yang ada di lingkungannya dengan segala kemampuan yang dimilikinya, yang dipengaruhi oleh pendidikan, keadaan sosial, ekonomi dan budaya. 36. Pencemaran
lingkungan
adalah
masuknya
baha-bahan
buangan
(kontaminan) ke dalam komponen lingkungan (air, tanah dan udara) sampai pada suatu tingkat/keadaan tertentu dapat membahayakan/mengganggu fungsi dari komponen lingkungan tersebut. 37. Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan kelapa sawit rakyat yang pengembangannya dilakukan melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) bekerjasama dengan mitra berupa perusahaan perkebunan negara maupun swasta nasional. 38. Perkebunan berkelanjutan adalah kondisi perkebunan dengan pengelolaan sumberdaya yang ada mampu memenuhi aspek ekonomi dan sosial manusia yang berubah serta dapat mempertahankan/meningkatkan kualitas lingkungan, melestarikan sumber daya alam sehingga tidak mengurangi peluang pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
83 39. Perkebunan Inti adalah perkebunan besar lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang dibangun dan dimiliki oleh perusahaan inti dalam rangka pelaksanaan proyek PIR. 40. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang ditetapkan sebagai pelaksana PIR. 41. Petani plasma adalah petani yang ditetapkan sebagai penerima pemilikan kebun plasma dan berdomisili di wilayah plasma. 42. Pola Perusahaan Inti Rakyat disebut pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya
sebagai
plasma
dalam
suatu
sistem
kerjasama
saling
menguntungkan utuh dan berkesinambungan. 43. Sistem Aplikasi Lahan (Land Aplication System) adalah sistem yang memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai bahan pembaik tanah atau sebagai sumber pupuk organik dengan cara mengalirkan limbah cair tersebut ke areal pertanaman. 44. Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). 45. SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan bahwa dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik lebih menekankan
pada
penyelesaian
permasalahan
secara
utuh
dan
menyeluruh, sedangkan efektifitas berarti bahwa sistem yang telah dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan (Hardjomidjojo, 2006). 46. Tanaman perkebunan adalah kelapa sawit, karet, teh, coklat dan tanaman keras lainnya yang ditetapkan oleh Mentri Pertanian sebagai tanaman yang dikembangkan dalam rangka proyek PIR. 47. Tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah tanaman kelapa sawit muda yang berumur kurang dari tiga tahun sejak ditanam di lapangan dan belum memproduksi tandan buah segar (TBS). 48. Tanaman menghasilkan (TM) adalah tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari tiga tahun sejak ditanam di lapangan dan sudah menghasilkan TBS
84 49. Tandan buah segar (TBS) adalah produksi tanaman kelapa sawit yang dijual ke pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai material untuk membuat crude palm oil (CPO) dan minyak inti sawit. 50. Tindakan konservasi tanah adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut
dan
memperlakukannya
sesuai
dengan
syarat-syarat
yang
diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. 51. Uji sensitivitas numerik adalah intervensi yang dilakukan dengan cara mengubah nilai numerik input model yang dibangun yang tentunya akan menyebabkan perubahan pada nilai numerik output model. 52. Wilayah
plasma
adalah
wilayah
pemukiman
dan
usahatani
yang
dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanaan proyek PIR yang meliputi pekarangan, perumahan dan kebun plasma.