III. METODE PENELITIAN
3.1. Cakupan Penelitian Penelitian indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dianalisis secara makro pada tingkat regional dan nasional. Daerah tingkat regional dalam penelitian ini meliputi lima wilayah kepulauan yaitu (1) Jawa, (2) Sumatera, (3) Sulawesi, (4) Kalimantan, (5) wilayah lainnya yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Penelitian indeks dan status keberlanjutan ini dilakukan untuk menilai keberlanjutan ketersediaan beras pada existing condition periode waktu 2003 – 2004 dari lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi). Perhitungan ketersediaan beras tingkat nasional yang berkelanjutan dilakukan menggunakan sistem dinamis. Periode analisis adalah tahun 2005 – 2015. Data dan informasi yang terkait dengan ketersediaan beras terutama untuk keperluan analisis kebutuhan adalah data yang dikumpulkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), di delapan provinsi yang mewakili seluruh ekosistem padi yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (peneliti mengikuti di dua provinsi yaitu Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Penelitian dilaksanakan selama 20 bulan dimulai pada bulan Maret 2005 sampai dengan bulan November 2006. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi
dengan
responden yang terkait dengan ketersediaan beras, yang terdiri dari petani padi, pedagang perantara, pengusaha penggilingan, koperasi, lembaga keuangan mikro, dolog, Dinas Pertanian, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penyuluh, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Deptan dan perguruan tinggi IPB. Data sekunder dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Departemen Pertanian; Pusat Penelitian dan Pengembangan
37 Tanaman
Pangan,
Departemen
Departemen
Pertanian;
Balai
Pertanian;
Besar
Balai
Mekanisasi
Besar
Pasca
Pertanian,
Panen,
Departemen
Pertanian; Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian; Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian; Direktorat Jenderal Pengairan, Depkimpraswil; Badan Bimas Ketahanan Pangan (Pusat dan Daerah), Dewan Ketahanan Pangan, Dinas Kehutanan (Pusat dan Daerah), Badan Pertanahan Nasional, serta Perguruan Tinggi. Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Ketersediaan Beras Nasional A. 1. 2. 3. 4. 5. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Yang
Jenis Data Data Primer Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi KBB Indentifikasi kebutuhan Identifikasi Masalah Tingkat pengaruh dan ketergantungan dalam KBB Penetapan faktor dominan dalam KBB Data Sekunder Perilaku penyediaan Perilaku konsumsi/kebutuhan Produksi padi Produktivitas (sawah &ladang) Luas lahan (sawah & ladang) Konversi gabah ke beras Ketersediaan beras
8. Kebutuhan untuk benih, pakan dan industri 9. Tercecer 10. Cadangan beras 11. Impor beras 12. Cetak sawah 13. Alih fungsi lahan 14. Intensitas pertanaman (IP 100, IP 200, IP 300) 15. Dampak irigasi terhadap luas panen 16. Dampak iklim terhadap luas panen 17. Luas lahan puso 18. Harga input 19. Elastisitas penawaran 20. Jumlah penduduk 21. Pertumbuhan penduduk 22. Konsumsi beras per kapita 23. Harga beras 24. Elastisitas permintaan karena perubahan harga Keterangan: KBB = Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan
Diperlukan
Dalam
Penelitian
Sumber Data Responden Responden Responden Responden Responden Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Depperindag dan Deptan Badan Pusat Statistik, Dewan Ketahanan Pangan Deptan dan Depperindag Depperindag dan Deptan Bulog, Badan Ketahanan Pangan Bulog dan Importir (rice trader) Badan Pusat Statistik dan BPN Badan Pusat Statistik dan BPN Departemen Pertanian Depkimpraswil dan Hasil penelitian Badan Pusat Statistik dan Hasil penelitian Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Hasil studi Hasil sensus, Biro pusat statistik Badan Pusat Statistik Susenas, Biro Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Hasil penelitian
3.3. Metode Pengambilan Sampel Metoda pengambilan sampel dalam rangka menghimpun informasi dan data dari responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan dasar bahwa responden mempunyai keahlian, reputasi dan pengalaman pada bidang yang diteliti. Untuk kepentingan mengidentifikasi faktor/atribut dari lima dimensi dalam ketersediaan beras (untuk analisis indeks keberlanjutan) dan menentukan faktor kunci (untuk analisis prospektif) dipilih 22 orang responden yang umumnya adalah pengajar pada perguruan tinggi IPB, peneliti pada Badan
38 Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dan pejabat pemerintah di berbagai bidang keahlian yaitu agroklimat, ekonomi pangan, gizi masyarakat, budidaya padi, pasca panen padi, mekanisasi padi, padi pasang surut, sumberdaya air, kehutanan, sumberdaya lahan dan sistem (Lampiran 71). Untuk kepentingan pengumpulan data identifikasi kebutuhan dan formulasi masalah (untuk analisis sistem dinamis) responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) di delapan provinsi yang mewakili delapan ekosistem sawah. Peneliti mengambil data secara langsung di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Kalimantan Barat sedangkan keenam provinsi lainnya diambil dari data yang dikumpulkan oleh Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian yang pada waktu yang bersamaan sedang menggali permasalahan dan kebutuhan yang dibutuhkan oleh stakeholder dalam agribisnis padi di beberapa provinsi. Secara rinci lokasi penelitian dan jumlah responden di masing-masing daerah dapat dilihat pada Lampiran 72. 3.4. Metode Analisis Metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Analisis ordinasi Rap-Rice dengan menggunakan metode “multivariate” yang dikenal dengan Multi Dimensional Scaling (MDS). Metode ini digunakan untuk menilai status keberlanjutan (existing condition) ketersediaan beras nasional dan juga status keberlanjutan ketersediaan beras antar wilayah dari berbagai dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi) dalam analisis ini juga akan didapatkan peubah yang sensitif mempengaruhi ketersediaan beras dari berbagai dimensi, (2) Analisis Prospektif, digunakan untuk mengidentifikasi faktor dominan (faktor kunci) yang mempengaruhi ketersediaan beras yang berkelanjutan. Analisis ini dilakukan dalam tiga tahap: (a) menganalisis peubah dominan dan sensitif yang didapat dari analisis status keberlanjutan, (b) menganalisis peubah dominan dan analisis kebutuhan atau peubah penting dari responden di berbagai provinsi yang mewakili beberapa ekosistem padi, (c) menganalisis peubah gabungan yang berada pada kuadran satu dan dua dari analisis prospektif di point a dan b, hasilnya peubah yang ada di kuadran satu dan dua merupakan peubah yang dipakai dalam analisis berikutnya yaitu analisis sistem dinamis, (3) Analisis sistem dinamis menggunakan software Powersim. Metode pendekatan ini digunakan untuk merancang bangun model ketersediaan
39 beras nasional dan mengetahui ketersediaan beras di masa yang akan datang (defisit atau surplus). Studi pustaka Pra survey pakar Basis pengetahuan Kebijakan Pemerintah Pendapat pakar
Status keberlanjutan Peubah sensitif yang mempengaruhi ketersediaan beras Peubah Dominan Dari Pakar dan Basis Pengetahuan
Goal yang ingin dicapai Tujuan penelitian
Analisis kebutuhan stakeholder Analisis formulasi permasalahan stakeholder
Analisis keberlanjutan
Peubah dominan dari stakeholder
Analisis prospektif
Peubah Dominan/Kunci Dari Pakar dan Stakeholder Analisis sistem dinamis Model Ketersediaan Beras
Rancang Bangun Implementasi Rekayasa Model Penyediaan Beras
Validasi Model
Ok Ya
Tidak
Implementasi Model
Gambar 6. Tahapan Analisis Penelitian Hubungan antara tujuan, metoda analisis dan output dalam penelitian ini dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 6.
40 Tabel 6. Ringkasan Tujuan, Output dan Metode Analisis Penelitian No 1
Tujuan Mengkaji keragaan penyediaan dan kebutuhan beras regional dan nasional
Output Perkembangan penyediaan dan kebutuhan beras
2
Menilai indeks dan status keberlanjutan serta mengidentifikasi atribut sensitif yang berpengaruh pada sistem
3
Mengidentifikasi faktor kunci yang berpengaruh pada sistem dan merancang bangun model ketersediaan beras yang berkelanjutan (KBB)
Indeks dan status keberlanjutan Atribut sensitif yang berpengaruh pada ketersediaan beras berkelanjutan Faktor kunci yang berpengaruh pada KBB (pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi) Model KBB
4
Merumuskan skenario dan strategi kebijakan dalam sistem KBB
Skenario yang memungkinkan dan strategi kebijakan KBB
Metode Analisis Analisis deskriptif (Tabulasi dan Trend Linear) Metode Multi Dimensi Scalling (MDS) (Rap Analysis) MDS (Leverage Analysis) Analisis prospektif
Analisis sistem dinamik Analisis prospektif Analisis sistem dinamik
Masing-masing metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 3.4.1. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Analisis indeks dan status keberlanjutan dilakukan dengan teknik ordinasi Rap-Rice modifikasi dari Rap-Fish yaitu menempatkan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metoda Multi-Dimensional Scaling (MDS). MDS merupakan salah satu metoda “multivariate” yang dapat menangani data metrik (skala ordinal atau nominal). Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa “plotting” titik obyek di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre dalam Susilo, 2003). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. MDS juga merupakan tehnik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah (Fauzi dan Anna, 2005).
41 Analisis ordinasi Rap-Rice dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: (1) tahapan penentuan atribut sistem ketersediaan beras secara berkelanjutan yang mencakup 5 dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi, (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (skoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, (3) Analisis ordinasi untuk menentukan ordinasi dan nilai stress, (4) penyusunan indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi, (5) Analisis Sensitivitas (Leverage Analysis) untuk melihat atribut atau peubah yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dan (6) Analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidak pastian. Setiap atribut di masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan. Skor ini menunjukkan nilai baik (good) dan nilai buruk (bad). Nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan bagi ketersediaan beras sedangkan nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan. Di antara dua nilai ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Dalam penelitian ini dimensi yang masuk dalam status keberlanjutan ketersediaan beras ada lima yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi. Indikator dari keberlanjutan di masing-masing dimensi seperti yang sudah dikemukakan pada kerangka pemikiran mengikuti konsep yang dikemukakan oleh FAO (2000), Dale dan Beyeler (2001), Smith dan Mc Donald (1998) serta Chen (2000). Indikator masing-masing dimensi oleh para pakar dijabarkan dalam bentuk atribut yang lebih rinci seperti yang terlihat pada Tabel 7 – Tabel 11.
42 Tabel 7. Atribut dan skor Keberlanjutan Ekologi
I. Keberlanjutan Ekologi 1. Persentase 0;1;2; Luas Hutan 3; 4; 5
Buruk
Skor
Baik
Dimensi/Atribut
5
0
2. Kelas Kemampuan Lahan
0; 1; 2;3;4; 5;6;7
0
7
3. Penggunaan Pupuk Kimia Per ha
0; 1; 2
0
2
4. Temperatur Rata-Rata Tahunan
0; 1; 2; 3
0
3
5. Curah Hujan Per Tahun
0; 1; 2; 3
0
3
6. Jumlah Bulan Kering
0; 1; 2; 3
0
3
7. Kesesuaian Lahan
0; 1; 2; 3
0
3
8. Ketersediaan Sistem Irigasi
0; 1; 2
0
2
9. Produktivitas Padi
0; 1; 2
2
0
10. Konversi Lahan/Alih Fungsi Lahan
0; 1; 2
0
2
11. Pencetakan Sawah/ Pembukaan Lahan 12. Puso Padi Akibar Banjir
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2
0
2
13. Puso Padi Akibat Kekeringan 14. Puso Padi Akibat Jasad Pengganggu 15. Status Lahan Abadi Untuk Padi
0; 1; 2
0
2
0; 1; 2
0
2
0; 1; 2
2
0
Keterangan
Sumber data
Didasarkan pada luas areal tanpa hutan: (0) ≥80; (1) 70-80; (2) 60-70 (3) 50-60 (4) 40-50 (5) <40 Didasarkan pada luas lahan menurut kelas kemampuan lahan menurut Soepardi dalam Sitorus (1989): (0) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas I, (1) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas II, (2) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas III, (3) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas IV, (4) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas V, (5) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas VI, (6) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas VII, (7) sebagian besar lahan termasuk dalam kelas VIII Didasarkan pada banyaknya penggunaan pupuk kimia per ha tanaman padi per wilayah kepulauan relatif terhadap Indonesia : (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar o (0) 24-29 C untuk kelas kesesuaian lahan S1 (1) >29-32 dan 22-<24 untuk kelas S2 (2) >3235 dan 18-<22 untuk kelas S3 (3) >35 dan <18 untuk kelas N2 (0) >1500 mm untuk kelas kesesuaian lahan S1 (1) 1200-1500 untuk kelas S2 (2) 800-<1200 untuk kelas S3 (3) <800 untuk kelas N2 (0) <3 untuk kelas kesesuaian lahan S1 (1) 3-<9 untuk kelas S2 (2) 9-9,5 untuk kelas S3 (3) >9,5 untuk kelas N2 (0) A1, A2, B1, B2 untuk kelas kesesuaian lahan S1 (1) A1, A2, B1, B2, B3 untuk kelas S2 (2) A1, A2, B1, B2, B3, C1, C2, C3 untuk kelas S3 (3) A1, A2, B1, B2, B3, C1, C2, C3, D, D2, D3 untuk kelas N1 Didasarkan pada jenis pengairan dan frekuensi dua kali penanaman padi tahun 2003: (0) bagian besar lahan menggunakan sistem Irigasi teknis (1) bagian besar lahan menggunakan sistem Irigasi semi teknis (2) bagian besar lahan menggunakan sistem sederhana Didasarkan pada produktivitas padi di setiap wilayah relatif terhadap Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada konversi lahan sawah di setiap wilayah relatif terhadap Indonesia sejak tahun 1998-2003: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada pencetakan lahan sawah di setiap wilayah relatif terhadap Indonesia sejak tahun 1998-2003: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada luas tanaman padi yang puso akibat banjir (ha) tahun 1999 dan 2002: (0) menurun (1) tetap (2) meningkat Didasarkan pada luas tanaman padi yang puso akibat kekeringan (ha) tahun 1999 dan 2002: (0) menurun (1) tetap (2) meningkat Didasarkan pada luas tanaman padi yang puso akibat jasad pengganggu (ha) tahun 1999 dan 2002: (0) menurun (1) tetap (2) meningkat (0) belum ditentukan; (1) dalam rencana/pembahasan; (2) sudah ditentukan
Dewan Ketahanan Pangan, 2005 Survey tanah Sitorus
Indikator Pertanian, 2004 Statistik LH Indonesia, 2004 Statistik LH Indonesia, 2004 Statistik LH Indonesia, 2004 Statistik LH Indonesia, 2004 Indikator Pertanian, 2004
Indikator Pertanian, 2004 Sensus Pertanian, b 2003 (Hasil pencacahan) Sensus Pertanian, b 2003 (Hasil pencacahan) Statistik Indonesia, a 2001 &2003 Statistik Indonesia, 2001&2003 Statistik Indonesia, 2001&2003 Menko Perekonomi an, 2005 (RPKK)
43 Atribut-atribut yang ditentukan dalam dimensi keberlanjutan ekologi (lingkungan) terdiri pada atribut yang menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan keberlanjutan daya dukung lingkungan, sehingga tidak melewati batas kemampuannya untuk mendukung seluruh aktivitas yang ada di dalamnya dan meningkatkan kapasitas serta kualitas dari ekosistem agar sistem penunjang kehidupan tetap terjamin. Pada Tabel 7 disajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan ketersediaan beras pada dimensi
keberlanjutan
ekologi.
Atribut
yang
digunakan
untuk
menilai
keberlanjutan ekologi seluruhnya ada 15 atribut. Atribut-atribut yang ditentukan dalam dimensi keberlanjutan ekonomi lebih ditekankan
kepada
atribut
yang
menggambarkan
efisiensi
ekonomi,
kesejahteraan yang berkesinambungan bagi pelaku usaha dan peningkatan pemerataan
serta
distribusi
kesejahteraan
dalam
masyarakat
secara
keseluruhan. Atribut yang digunakan dalam dimensi ekonomi seluruhnya ada 12 atribut. Atribut dan Skor keberlanjutan ekonomi Rap-Rice dapat dilihat pada Tabel 8. Dalam dimensi keberlanjutan sosial budaya, atribut-atribut yang ditentukan berkaitan dengan stabilitas penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam hal ini kebutuhan pangan pokok beras, menghargai sistem sosial budaya dan mempertahankan keaneka ragaman budaya serta mendorong partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan. Atribut dan Skor keberlanjutan sosial budaya Rap-Rice dapat dilihat pada Tabel 9. Atribut dalam dimensi keberlanjutan kelembagaan menggambarkan suatu kondisi kelembagaan baik kelembagaan masyarakat maupun pemerintah yang dapat mendukung sistem ketersediaan beras, sehingga dengan adanya lembaga-lembaga ini diharapkan neraca ketersediaan beras positif seperti yang diharapkan
dan
berkelanjutan.
Atribut
yang
digunakan
untuk
menilai
keberlanjutan neraca ketersediaan beras dimensi kelembagaan ada 10 atribut. Atribut dan Skor keberlanjutan neraca ketersediaan beras dimensi kelembagaan Rap-Rice dapat dilihat pada Tabel 10.
44 Tabel 8. Atribut dan Skor Keberlanjutan Ekonomi Keterangan
Sumber data
Buruk
Skor
Baik
Dimensi/Atribut
1. Efisiensi Ekonomi
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada hasil hitungan R/C: (0) tidak layak (R/C < 1), (1) Break even point ((R/C = 1), (2) layak ((R/C > 1)
Patanas, 2006
2. Tingkat Keuntungan
0; 1; 2
2
0
Indikator Pertanian, 2004
3. PDRB
0; 1; 2; 3; 4
4
0
4. Produksi Padi
0; 1; 2; 3; 4
4
0
5. Nilai Tukar Petani
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada persen keuntungan per ha dari usaha penanaman padi di setiap wilayah relatif terhadap persen keuntungan per ha dari usaha penanaman padi di Indonesia: (0) lebih kecil; (1) sama; (2) lebih besar Didasarkan pada PDRB 2003 di setiap wilayah relatif terhadap rata-rata PDRB Indonesia 2003: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas ratarata Didasarkan pada produksi padi di setiap wilayah relatif terhadap produksi padi Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada nilai tukar petani di setiap wilayah relatif terhadap nilai tukar petani di Indonesia: (0) lebih kecil, (1) sama; (2) lebih besar
6. Perubahan Upah Riil Buruh Tani
0; 1; 2
2
0
Kinerja PKP, 2004
7. Jumlah Rumah Tangga Pertanian Dengan Luas Lahan > 0,5 ha yang Dikuasai 8. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di subsektor Tanaman Pangan 9. Harga Eceran Beras
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2; 3; 4
4
0
10. Persentase Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan
0; 1; 2; 3
0
4
11. Persentase Pangsa Produksi Padi
0; 1; 2; 3; 4
4
0
12. Banyak Desa yang Memiliki Sarana Produksi Pemasaran
0; 1; 2; 3; 4
4
0
Didasarkan pada perubahan upah riil buruh tani menurut propinsi (rata2 Juni-Agustus 2003 terhadap Juni-Agustus 2002 dan rata2 AgustusOktober 2002 terhadap Agustus-Oktober 2001 (BPS 2003): (0) turun tajam (<-2,5%), (1) tidak ada perubahan (-2,5 - < 2,5%), (2) naik tajam (> 2,5%) Didasarkan pada jumlah rumahtangga pertanian dengan luas lahan yg dikuasi ≥ 0,5 ha di setiap wilayah relatif terhadap jumlah rumah tangga pertanian dengan luas lahan > 0,5 ha yang dikuasai di Indonesia: (0) lebih kecil, (1) sama, (2) lebih besar Didasarkan pada jumlah tenaga kerja pertanian di subsektor tanaman pangan di setiap wilayah relatif terhadap jumlah tenaga kerja pertanian di subsektor tanaman pangan di Indonesia: (0) lebih kecil, (1) sama, (2) lebih besar Didasarkan pada trend perkembangan harga beras tahun 2000-2003: (0) menurun, (1) fluktuasi dengan tren menurun, (2) tetap, (3) fluktuasi dengan tren meningkat, (4) meningkat Didasarkan pada trend persen populasi di bawah garis kemiskinan nasional tahun 1996, 1999 dan 2003 (Peta Kerawanan Pangan Indonesia: (0) menurun, (1) fluktuasi dengan tren menurun, (2) tetap, (3) fluktuasi dengan tren meningkat, (4) meningkat Didasarkan pada pangsa berbagai sentra produksi padi di setiap wilayah relatif terhadap pangsa sentra produksi padi di Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada desa yang memiliki pasar dengan bangunan permanen di setiap wilayah 2003 relatif terhadap rata-rata desa yang memiliki pasar dengan bangunan permanen di indonesia 2003: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata
I. Keberlanjutan Ekonomi
Statistik Indonesia, d 2004 Statistik Pertanian, 2003 Kinerja PKP, 2004
Statistik Pertanian, 2003
Statistik Pertanian, 2003 Statistik Indonesia, c 2003 Dewan Ketaha nan Pangan, 2005 (PKPI) Ekonomi Padi dan Beras Deptan, 2004 Indikator Pertanian, 2001&2003
45 Tabel 9. Atribut dan Skor Keberlanjutan Sosial Budaya Skor Baik III. Keberlanjutan Sosial-Budaya 1. Persentase Tingkat 0; 1; 0 Partisipasi 2; 3; Konsumsi Beras 4 Wilayah Perkotaan 2. Persentase Tingkat 0; 1; 0 Partisipasi 2; 3; 4 Konsumsi Beras Wilayah Pedesaan 3. Persentase Desa 0;1; 2; 5 yang Tidak 3; 4; 5 Memiliki Akses Penghubung yang Memadai 4. Pertumbuhan 0; 1; 0 Penduduk 2; 3; 4
Buruk
Dimensi/Atribut
4
4
0
4
5. Jumlah Rumahtangga Petani Padi
0; 1; 2; 3; 4
4
0
6. Rumahtangga Pertanian yang Pernah Mengikuti Penyuluhan Pertanian
0; 1; 2; 3; 4
4
0
7. Pertumbuhan Konsumsi per Kapita
0; 1; 2
0
2
8. Perempuan Berpendidikan
0; 1; 2
0
2
9. Pendidikan Formal
0; 1; 2; 3; 4
4
0
10. Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sektor Tanaman Pangan
0; 1; 2; 3; 4
4
0
Keterangan
Sumber data
Didasarkan pada olahan data Susenas (1990, 1993, 1996, 1999): (0) menurun, (1) fluktuasi dengan trend menurun; (2) sama, (3) fluktuasi dengan trend meningkat, (4) meningkat Didasarkan pada olahan data Susenas (1990, 1993, 1996, 1999): (0) menurun, (1) fluktuasi dengan trend menurun, (2) sama, (3) fluktuasi dengan trend meningkat, (4) meningkat Didasarkan pada persentase desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat (hasil olahan PKPI): (0) ≥ 30, (1) 25 - < 30, (2) 20 - < 25, (3) 15 - < 20, (4) 10 - < 15, (5) 0 - < 10
Susenas, 1993, 1996, 1999
Didasarkan pada trend perkembangan penduduk tahun 1990, 2000 dan 2003: (0) menurun, (1) fluktuasi dengan trend menurun, (2) sama, (3) fluktuasi dengan trend meningkat, (4) meningkat Didasarkan pada jumlah rumahtangga petani padi dan palawija tahun 1993 di setiap wilayah relatif terhadap jumlah rumahtangga petani padi di Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata, (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada jumlah RT pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan di setiap wilayah relatif terhadap jumlah RT pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian di Indonesia 2003: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata, (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada trend tingkat konsumsi beras (kg/kap/th) tahun 1996 dan 1999: (0) menurun, (1) tetap, (2) meningkat Didasarkan pada persen perempuan buta huruf di setiap wilayah kepulauan relatif terhadap persen perempuan buta huruf di Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada persen rumahtangga usaha padi terhadap pendidikan formal: (0) persen terbesar adalah tidak tamat SD: (1) persen terbesar adalah tamat SD, (2) persen terbesar adalah tamat SMP, (3) persen terbesar adalah tamat SMA, (4) persen terbesar adalah tamatan PT Didasarkan pada desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tanaman pangan di setiap wilayah relatif terhadap Desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tanaman pangan di Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata, (1) di bawah rata-rata, (2) sama; (3) diatas rata-rata; (4) jauh diatas rata-rata
Susenas, 1993, 1996, 1999 DKP, 2005 PKPI
Statistik Indonesia, c 2003 Statistik Pertanian, 2003
Sensus Pertanian, a 2003
Susenas, 1996, 1999 PKPI, DKP, 2005 Padi dan Palawija BPS
Statistik Podes Indonesia, d dan 2003 2005
46 Tabel 10. Atribut dan Skor Keberlanjutan Kelembagaan Dimensi/Atribut
Skor
Keterangan Baik
Buruk
2
0
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0; 1; 2
I. Keberlanjutan Kelembagaan 1. Perkembangan 0; 1; 2 KUD
Sumber data
Didasarkan pada perkembangan jumlah KUD di setiap wilayah relatif terhadap ratarata perkembangan jumlah KUD di Indonesia tahun 2005: (0) lebih kecil; (1) sama; (2) lebih besar Didasarkan pada jumlah STPP di setiap wilayah (0) tidak ada; (1) terdapat hanya 12 unit; (2) terdapat 3-4; (3) terdapat 5-6
Statistik Potensi Desa Indonesia, 2005 Statistik Pertanian, 2003
0
Didasarkan pada jumlah SPP di setiap wilayah (0) tidak ada; (1) terdapat hanya 1 unit; (2) terdapat lebih dari 1 unit
Statistik Pertanian, 2003
4
0
Statistik Pertanian, 2003
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada jumlah BPTP di setiap wilayah (0) tidak ada; (1) terdapat hanya 12 unit; (2) terdapat 3-4; (3) terdapat 5-6; (4) terdapat lebih dari 6 unit Didasarkan pada jumlah BPSBTPH di setiap wilayah (0) tidak ada; (1) terdapat hanya 1 unit; (2) terdapat lebih dari 1 unit
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada jumlah BPTPH di setiap wilayah (0) tidak ada; (1) terdapat hanya 1 unit; (2) terdapat lebih dari 1 unit
Statistik Pertanian, 2003
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada jumlah LKM disetiap wilayah relatif terhadap rata-rata jumlah LKM Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar
8. Kelompok Usaha Pertanian
0; 1; 2
2
0
9. Jumlah Kelompok Taruna Tani
0; 1; 2
2
0
10.Jumlah kelompok Wanita Tani
0; 1; 2
2
0
Didasarkan pada jumlah RT KUP di setiap wilayah relatif terhadap rata-rata jumlah Rt KUP Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada jumlah kelompok di setiap wilayah relatif terhadap rata-rata jumlah kelompok di Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar Didasarkan pada jumlah kelompok di setiap wilayah relatif terhadap rata-rata jumlah kelompok di Indonesia: (0) lebih kecil (1) sama (2) lebih besar
Statistik Potensi Desa Indonesia, 2005 Sensus Pertanian, a 2003
2. Kelembagaan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) 3. Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) 4. Jumlah Unit Pelaksana Teknis Balitbang (BPTP) 5. Jumlah Unit Pelaksana Teknis Ditjen BP Tanaman Pangan (BPSBTPH) 6. Jumlah Unit Pelaksana Teknis Ditjen BP Tanaman Pangan (BPTPH) 7. Lembaga Keuangan Mikro
Statistik Pertanian, 2003
Statistik Pertanian Statistik Pertanian
Keterangan: BPSBTPH = Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura BPTPH = Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura BPTP = Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Atribut dalam dimensi keberlanjutan teknologi merupakan gambaran tentang teknologi yang digunakan dan dimiliki sehingga mampu mendorong ketersediaan beras yang berkelanjutan. Ada 11 atribut teknologi yang dianggap oleh para pakar dapat mewakili keberlanjutan teknologi dan tersedia datanya. Atribut dan Skor keberlanjutan teknologi Rap-Rice dapat dilihat pada Tabel 11.
47 Tabel 11. Atribut dan Skor Keberlanjutan Teknologi
IV. Keberlanjutan Teknologi 1. Jumlah Mesin 0; 1; Pengolah Lahan Jenis 2; 3; 4 Traktor Roda Dua (Two Wheels Tractors) dan Roda Empat (Four Wheels Tractors) 2. Jumlah Alat 0; 1; 2 Penanaman
Sumber data
4
0
Didasarkan pada jumlah mesin pengolah lahan di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin pengolah lahan di Indonesia: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata
Alat-alat Pertanian, 2002
2
0
Didasarkan pada trend perkembangan jumlah alat penanaman (Jabber, seeder dan transplanter) selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada jumlah alat pemupukan urea tablet (applikator) di setiap wilayah relatif terhadap jumlah alat aplikator di Indonesia 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas ratarata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada trend perkembangan jumlah pompa air selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada trend perkembangan jumlah alat hand sprayer dan knapsack motor sprayer selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada perkembangan jumlah alat fumigator di setiap wilayah relatif terhadap jumlah alat fumigator di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah ratarata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada jumlah mesin perontok padi di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin perontok padi di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah ratarata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada trend perkembangan selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada jumlah mesin pembersih gabah (cleaner) di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin pembersih gabah (cleaner) di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada trend perkembangan selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada jumlah mesin penggiling padi di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin penggiling padi di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah rata-rata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas ratarata; (4) jauh di atas rata-rata Didasarkan pada trend perkembangan RMU selang waktu 2000 dan 2002: (0) menurun; (1) tetap; (2) meningkat Didasarkan pada jumlah mesin pemecah kulit gabah di setiap wilayah relatif terhadap jumlah mesin pemecah kulit gabah di Indonesia tahun 2002: (0) jauh di bawah ratarata; (1) di bawah rata-rata; (2) sama; (3) di atas rata-rata; (4) jauh di atas rata
Alat Pertanian, 2000&2002
3. Jumlah Alat Pemupukan Urea Tablet (Applicator)
0; 1; 2; 3; 4
4
0
4. Pompa Air
0; 1; 2
2
0
5. Jumlah Pemberantas Pengganggu
Mesin Jasad
0; 1; 2
2
0
6. Jumlah Pemberantas Pengganggu Emposan (Fumigator)
Mesin Jasad Jenis Tikus
0; 1; 2; 3; 4
4
0
7. Jumlah Perontok Padi
Mesin
0; 1; 2; 3; 4
4
0
Mesin Gabah
0; 1; 2
2
0
Mesin Gabah
0; 1; 2; 3; 4
4
0
10. Jumlah Mesin Penyosoh Beras (polisher) 11. Jumlah Mesin Penggiling Padi
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2; 3; 4
4
0
12. Jumlah Mesin Rice Milling Unit (RMU)
0; 1; 2
2
0
13. Jumlah Mesin Pemecah Kulit Gabah (Husker)
0; 1; 2; 3; 4
4
0
8. Jumlah Pengering (Dryer) 9. Jumlah Pembersih (Cleaner)
Keterangan
Buruk
Skor
Baik
Dimensi/Atribut
Alat-alat Pertanian, 2002
Alat Pert, 2000&2002 Alat-alat Pertanian, 2000&2002 Alat-alat Pertanian, 2002
Alat-alat Pertanian, 2002
Alat Pert, 2000&2002 Alat-alat Pertanian, 2002
Alat Pert, 2000&2002 Alat-alat Pertanian, 2002
Alat-alat Pertanian, 2000&2002 Alat-alat Pertanian, 2002
48 Proses ordinasi Rap-Rice ini menggunakan perangkat lunak modifikasi RAPFISH (rapid Apraisal For Fisheries) yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada untuk melakukan evaluasi keberlanjutan di bidang perikanan (Kavanagh, 2001) yang dalam perkembangannya RAPFISH ini dipakai juga untuk evaluasi keberlanjutan bidang-bidang lainnya seperti budidaya ternak, usahatani padi organik agribisnis sapi dan ketahanan pangan (Mersyah, 2004; Suwandi, 2005: Ridwan, 2005 dan Syafruddin, 2006). Pendekatan MDS dalam RAPFISH memberikan hasil yang stabil (Pitcher and Preikshot, 2001 dalam Fauzi dan Anna, 2005) dibandingkan dengan metoda multi variate analysis yang lain (misal factor analysis). Dalam MDS, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi atau penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:
d=
( x −x 1
2
2
2
+ y1 − y2
2
+ z1 − z2 + ...
)
Konfigurasi dari objek atau titik didalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij) sebagaimana persamaan berikut:
d ij = α + βδ ij + ε Teknik yang digunakan dalam meregresikan persamaan di atas adalah Algoritma ALSCAL (Alder et al., 2000 dalam Fauzi dan Anna, 2005). Metoda ALSCAL mengoptimisasikan jarak kuadrat (square distance = dijk ) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:
m
1 s= ∑ m k =1
⎡∑ ⎢ i ⎢ ⎢ ⎢⎣
∑ (d j
2
− o 2 ijk
ijk
∑∑ 0 i
4
j
ijk
)
2
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥⎦
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis:
d 2 ijk = ∑ wka (xia − x ja r
a =1
)
2
49 Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R2 (Malhotra, 2006). Nilai stres yang rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Di dalam pendekatan RAPFISH, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stres yang lebih kecil dari 0.25 atau S < 0.25 (Fauzi dan Anna, 2005). Nilai R2 yang baik adalah R2 yang nilainya mendekati 1. Melalui MDS, posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi yaitu sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Sumbu horizontal menunjukkan perbedaan sistem yang dikaji dalam ordinasi “buruk” (0 persen) sampai “baik” (100 persen) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sedangkan sumbu vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara sistem yang dikaji. Hasil analisis menghasilkan suatu nilai dimana nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji. Analisis ordinasi ini dapat dilakukan juga untuk menganalisis seberapa jauh status keberlanjutan untuk masing-masing dimensi. Gambaran analisis keberlanjutan antar dimensi dapat divisualisasikan dalam sebuah diagram layang (kite diagram) seperti terlihat pada Gambar 7.
Ekologi
100
75
Kelembagaan
50 25
Ekonomi
0
Teknologi
Sosial Budaya
Gambar 7. Diagram Layang Keberlanjutan Ketersediaan Beras Nasional Skala indeks keberlanjutan sistem yang dikaji mempunyai selang 0 persen 100 persen. Jika nilai indeks lebih dari 50 persen maka sistem yang dikaji tersebut dapat dikategorikan berkelanjutan (sustainable) dan bila indeks kurang dari 50 persen maka sistem yang dikaji belum berkelanjutan. Namun dalam penelitian ini dilakukan modifikasi dengan membuat empat kategori status keberlanjutan dari skala dasar tersebut, seperti yang terlihat pada Tabel 12.
50 Tabel 12. Kategori Status Keberlanjutan Nilai Indeks
Kategori
0.00 – 25.00
Buruk: Tidak berkelanjutan
25.01 – 50.00
Kurang: Kurang berkelanjutan
50.01 – 75.00
Cukup: Cukup berkelanjutan
75.01 – 100.00
Baik: Sangat berkelanjutan
Analisis sensitivitas (leverage) dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat atribut
mana
saja
yang
sangat
dominan
atau
sensitif
mempengaruhi
keberlanjutan dibanding atribut lainnya. Untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error) terhadap seluruh dimensi pada proses pendugaan nilai ordinasi digunakan analisis Monte Carlo dengan metode “scatter plot” (Kavanagh, 2001; Fauzi dan Anna, 2005). Analisis ini merupakan metoda simulasi yang dapat melihat aspek ketidak pastian yang dapat disebabkan antara lain oleh: (1) dampak dari kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi, (2) dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian, (3) kesalahan dalam data entry dan (4) Tingginya nilai stres yang diperoleh dari algoritma ALSCAL. Secara lengkap tahapan analisis keberlanjutan dari penelitian ini disajikan pada Gambar 8. Mulai
Identifikasi sistem dan pendefinisian (didasarkan kriteria yang konsisten)
Review Atribut (meliputi berbagai kategori dan skoring kriteria)
Skoring (mengkrontruksi reference point untuk good and bad serta anchor) Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo (Analisis Ketidakpastian)
Simulasi Leverage (Analisis Sensitivitas)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 8.
Tahapan Indeks dan Status Analisis Keberlanjutan Menggunakan MDS dengan Aplikasi Modifikasi Rapfish
51 3.4.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem diartikan sebagai metoda pengkajian permasalahan yang dimulai dari analisis kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu model operasional dari sistem tersebut. Dalam pendekatan sistem ada beberapa tahapan analisis
diantaranya adalah (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi
masalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) validasi dan verifikasi model serta (6) implementasi. Sedangkan Maani dan Cavana (2000) menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dalam tahapannya kecuali melakukan rencana skenario sebelum tahapan implementasi. 3.4.2.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyatno, 1987). Dalam melakukan analisis kebutuhan ini dinyatakan kebutuhankebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang didiskripsikan. Langkah awal dalam mengidentifikasi kebutuhan adalah dengan mendata para stakeholder yang terkait. Bedasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian pihak-pihak yang terkait dalam penyediaan dan konsumsi beras beras dikelompokkan sebagai berikut: (1) Pemerintah (pusat dan daerah) serta Departemen terkait, (2) Swasta (pedagang, koperasi, penggilingan, importir), (3) Konsumen, (4) Petani dan kelompok tani (produsen beras) dan (5) Masyarakat umum. Analisis kebutuhan dilakukan pada stakeholder di 8 provinsi yang mewakili 8 ekosistem padi yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur (Lampiran 71). Participatory Rural Appraisal merupakan program yang dilakukan oleh BPTP untuk melihat kendala dan kebutuhan yang diperlukan di masing-masing daerah. Peneliti mengikuti Participatory Rural Appraisal di dua provinsi yaitu Kalimantan Barat dan Jawa Barat.
52 Tabel 13. Analisis Kebutuhan Stakeholder Dalam Sistem Penyediaan dan Konsumsi Beras No.
Stakeholder/ Pelaku Sistem
Kebutuhan Stakeholder/Pelaku Sistem
• • • • • • • • • •
Harga saprodi rendah Harga gabah tinggi Tersedianya benih dengan mutu yang baik Produktivitas padi tinggi Modal pinjaman tersedia Tenaga kerja tersedia Penyuluhan Sarana irigasi memadai Teknologi berproduksi Pendapatan yang tinggi
Swasta • Pedagang beras • Pengusaha penggilingan • Koperasi pedesaan
• • • •
Keuntungan usaha yang layak Jaminan bahan baku Jaminan usaha berkelanjutan Akses penghubung memadai
3.
Konsumen
4.
Masyarakat LSM
• • • •
Tersedia sepanjang waktu Kualitas baik Harga murah Keserasian kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan Tidak terjadinya gejolak sosial Tidak terjadi degradasi SDA dan lingkungan Kelembagaan panen Penyerapan tenaga kerja Neraca beras positif (semua kebutuhan beras terpenuhi) secara berkelanjutan Peningkatan produksi padi Pemanfaatan sumberdaya secara optimal Penurunan tingkat degradasi SDA dan lingkungan Peraturan daerah (penggunaan lahan) Koordinasi dan kerjasama antar sektor Penyuluhan lembaga dan pendampingan
1.
Petani
2.
5.
Pemerintah pusat dan daerah, Departemen terkait: Deptan, Bulog, Deperindag
• • • • • • • • • • •
3.4.2.2. Formulasi Masalah dalam Sistem Adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara peran stakeholder, akan menimbulkan conflict of interest dalam sistem. Untuk memetakan berbagai kepentingan stakeholder diperlukan analisis formulasi masalah penyediaan dan konsumsi beras seperti terlihat pada Tabel 14.
53 Tabel 14. Analisis Formulasi Permasalahan Stakeholder dalam Sistem Penyediaan dan Konsumsi Beras No. 1
Stakeholder/Pelaku Sistem Petani Produsen dan kelompok tani
Formulasi Permasalahan
• • • •
2.
3.
Swasta • Pedagang beras • Pengusaha penggilingan • Koperasi pedesaan • Lembaga keuangan/perkreditan Konsumen
4.
Masyarakat LSM
5.
Pemerintah pusat, daerah dan Departemen terkait
• • • • • • • • • • • •
Harga gabah yang diterima petani rendah, harga input tinggi Keuntungan usaha relatif terhadap tanaman lain rendah Keadaan iklim, air irigasi dan lahan kurang mendukung peningkatan produksi Tingginya alih fungsi lahan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida sering datangnya tidak tepat waktu Mutu gabah yang diperdagangkan rendah Kontinuitas bahan baku kurang terjamin Ketatnya birokrasi untuk pendirian usaha Penyaluran kredit perlu agunan dan kredit macet Persaingan usaha ketat dan keuntungan kurang Harga berfluktuasi dan tinggi pada saat tidak musim panen Mutu beras kurang terjamin Belum melekatnya budaya pangan non beras Meningkatnya pertentangan dan konflik sosial (kelembagaan panen) Koordinasi vertikal dan horizontal belum berjalan terutama untuk penetapan lahan untuk padi, distribusi pangan raskin dan pembelian gabah dari petani. Lemahnya dukungan atas sarana infrastruktur terutama irigasi Lemahnya dukungan dan informasi waktu tanam serta harga
3.4.2.3. Indentifikasi Ketersediaan Beras Nasional Beras merupakan pangan pokok penting yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia, hal ini dilihat dari partisipasi konsumsi yang mencapai hampir 100 persen (98 %), sehingga pemantauan terhadap ketersediaan beras perlu dilakukan setiap tahunnya. Pemodelan ketersediaan beras ditujukan untuk mengetahui perilaku ketersediaan beras di masa yang akan datang sebagai pemenuhan untuk konsumsi rumah tangga (RT), pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan benih, pakan dan ekspor. Dalam penelitian ini model ketersediaan beras Nasional dibagi ke dalam dua subsistem yaitu subsistem penyediaan dan subsistem kebutuhan beras. Model ini dibuat berdasarkan identifikasi permasalahan yang dituangkan ke dalam diagram sebab akibat (causal loop ), dimana bahasa gambar yang dipakai dalam diagram sebab akibat ini adalah dengan memakai gambar panah yang saling mengait, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkap akibat. Jika terjadi hubungan umpan balik (feedback) antar variabel dalam diagram sebab akibat maka keterkaitan tersebut disebut sebagai suatu (feedback loop). Model sistem ini diformulasikan dalam diagram alir (stock and flow) dan diformulasikan dengan menggunakan Software Powersim.
54 3.4.2.3.1. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Untuk melihat sistem penyediaan beras dibuat diagram lingkar sebab akibat yang menggambarkan keterkaitan hubungan antara sistem penyediaan dan sistem kebutuhan beras, serta komponen atau elemen yang berinteraksi di dalam sistem seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Laju Konversi Lahan Basah
+
(-)
-
Luas Lahan Basah +
(+)
Gap
Pakan Ternak/ Unggas
+
Produksi Padi Lahan Basah
+
Goal lahan basah
+
Laju Pembukaan Lahan Basah
+
+
-
+
+
Produktivitas Padi Lahan Basah
Total Produksi Padi
IP
Laju Konversi Lahan Kering
+
(-)
-
Goal lahan kering
-
+ Laju Pembukaan Lahan Kering
Penyediaan +
Impor
Ekspor
-
+
Kebutuhan Beras Nasional
+
Kebutuhan Konsumsi Beras RT Nasional +
Konsumsi Perkapita Kota
Laju Pertumbuhan Penduduk Desa
+
+
Bahan Baku Industri (Non Makanan) + +
+ Kebutuhan Konsumsi Beras Kota Konsumsi Perkapita Desa
Kebutuhan Konsumsi Beras Desa
Gambar 9.
+
KETERSEDIAAN BERAS NASIONAL
(+)
+
Stok/Cadangan
+
+
Laju Pertumbuhan Penduduk Kota
(+) Penduduk Desa
Total Produksi Beras
Gap
Penduduk Kota
+
+
+
+
Produktivitas Padi Lahan Kering
+
+
Produksi Padi Lahan Kering
+
Tercecer/ Susut
+
(+)
+
-
Rendemen Gabah_Beras
Luas Lahan Kering (Panen) +
Kebutuhan Benih
-
+
Diagram Alir Sebab Akibat Simulasi Model Dinamis Ketersediaan Beras Sebagai Ketahanan Pangan Berkelanjutan
55 3.4.2.3.2. Diagram Black Box Dari diagram lingkar sebab akibat di atas selanjutnya dimanfaatkan ke dalam konsep konstruksi “black box” atau diagram masukan keluaran. Untuk lebih jelasnya variabel-variabel yang mempengaruh kinerja sistem tersebut disajikan pada Gambar 10.
• • •
Jumlah penduduk Iklim dan cuaca Topografi lahan
Output yang Dikehendaki
Input Lingkungan
Input Tak Terkontrol
• • •
Kebijakan Pemerintah Nilai tukar rupiah Kondisi sosial ekonomi (global)
• • • • •
Neraca beras positif atau kebutuhan beras terpenuhi Produksi tinggi Kualitas lahan yang lestari Beras terdistribusi dengan baik Keuntungan petani tinggi
Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan
Output yang Tak Dikehendaki
Input Terkontrol
• • • • • •
Teknologi budidaya
• •
Teknologi pasca panen Perluasan areal tanam
•
Konversi lahan Konsumsi per kapita
•
Pertumbuhan penduduk
•
Biaya produksi tinggi Puso akibat gangguan iklim dan HPT Pencemaran saluran air Penggunaan SDA yang berlebihan Gas metan meningkat
Manajemen Pengendalian Sistem Ketersediaan Beras Nasional (Umpan Balik)
Gambar 10.
Diagram Masukan Keluaran Model Neraca Ketersediaan Beras Nasional
3.4.2.4. Formulasi Model Formulasi model merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah ditentukan dalam bentuk kontekstual dengan bahasa simbolis. Formulasi model Sub Model Penyediaan dan Sub Model Sistem Kebutuhan dapat dilihat secara rinci sebagai berikut:
56 a.
Sub Model Penyediaan Gambar 11 menunjukkan bentuk model sederhana diagram-alir sistem
dinamik dari subsistem penyediaan. Subsistem penyediaan beras dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain produksi padi, luas areal padi (sawah dan ladang), produktivitas padi, alih fungsi lahan, pembukaan lahan, intensitas pertanaman (IP) dan konversi gabah ke beras serta impor. Luas areal padi dalam penelitian ini akan memberikan pengaruh positif terhadap produksi atau merujuk kepada kerangka pemikiran kesisteman disebut mempunyai hubungan kausal positif. Semakin tinggi luas areal padi maka semakin tinggi produksi padi yang dihasilkan, dan semakin banyak padi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Dalam penelitian ini luas areal padi dibagi ke dalam dua yaitu areal padi lahan basah yaitu sawah dan padi lahan kering atau ladang, dimana pola hubungannya serupa. Sementara itu semakin tinggi luas areal yang tersedia maka semakin besar peluang terjadinya alih fungsi lahan seperti yang sedang terjadi saat ini terutama di Jawa, banyak lahan padi dikonversi untuk keperluan lain seperti industri, perumahan dan jalan. Konversi lahan ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap luas areal. Hal ini berarti semakin besar konversi lahan maka semakin berkurang luas areal. Hubungan yang terjadi pada loop seperti ini dinyatakan sebagai
feedback negatif. Oleh karena itu pemerintah saat ini berusaha
melakukan perluasan areal dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan mencanangkan lahan pertanian abadi, lahan sawah 15 juta hektar dan lahan kering 15 juta hektar. Pada loop ini digunakan variabel perantara yaitu gap yang menyatakan selisih antara goal lahan dengan luas areal riil. Variabel gap pada loop ini akan menghasilkan hubungan feedback negatif.
57
Prodktvts_padi_lhn_basah Fraksi_pakan_ternak IP
Luas_lhn_basah
Produksi_padi_lhn_basah Pakan_Ternak
Lj_konversi_lhn_basah
Lj_pembukaan_lhn_basah
Fraksi_bibit Total_produksi_padi
Fraksi_konversi_lhn_basah
Fraksi_pembukaan_lhn_basah
Bibit Produksi_padi
Gap_lhn_basah Goal_lhn_basah
Tercecer
Fraksi_tercecer
Produksi_padi_lhn_kering
Produksi_beras fr_rend_gbhbrs
Prodktvts_padi_lhn_kering
fr_ekspor
Luas_lhn_kering Lj_pembukaan_lhn_kering
Stok_beras_Nas
Ekspor
Lj_konversi_lhn_kering Fraksi_konversi_lhn_kering PENYEDIAAN_BERAS_NASIONAL
Gap_lhn_kering Fraksi_pembukaan_lhn_kering
Goal_lhn_kering fr_iImpor
iImpor
Gambar 11. Struktur Sub Model Penyediaan Beras Nasional Produktivitas padi akan memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi padi.
Hal
ini
berarti
semakin
tinggi
produktivitas
padi akan
mengakibatkan semakin tinggi produksi. Begitupula intensitas pertanaman (IP) mempunyai pengaruh positif terhadap luas areal, semakin tinggi IP maka luas areal akan semakin besar. Dari hubungan sebab akibat antar variabel pada sub model sistem penyediaan di atas dilakukan penterjemahan diagram sebab akibat ke diagram alir (stok dan flow). Sub Model Penyediaan dirumuskan dalam persamaan matematis sebagai berikut: Penyediaan = Penyediaan_beras .......................................................................(1)
58 Dimana: Penyediaan_beras = Produksi_Beras + Impor - Ekspor + Stok_Cadangan Persamaan (1) ini menyatakan bahwa penyediaan beras nasional merupakan produksi beras yang dihasilkan oleh Indonesia ditambah beras impor dan stok cadangan beras yang ada dikurangi dengan banyaknya beras yang diekspor. Produksi_beras = Total_produksi_padi*Rendemen_gabah_beras ....................(2) dimana: Total_produksi_padi = Produksi_padi – Pakan_Ternak – Bibit – Tercecer Rendemen_gabah_beras = 62 Persamaan (2) menyatakan bahwa total produksi padi merupakan perkalian produksi padi dalam bentuk gabah kering giling dengan konversi gabah atau rendemen gabah beras menjadi beras. Rendemen yang dipakai dalam analisis sesuai dengan informasi yang didapat dari Sawit (1999) yang menyatakan bahwa untuk periode tahun 1990 -1996 rendemennya adalah 66 persen, sedangkan sekarang adalah sebesar 62 persen. Rendemen menurun dari tahun ke tahun disebabkan karena kualitas penggilingan menurun karena mesinnya sudah banyak yang tua. Total_produksi_padi = Produksi_padi_sawah + Produksi_padi_ladang ............ (3) dimana: Produksi_padi_sawah = Luas_lahan_basah * Produkstivitas_padi_sawah Produksi_padi_ladang = Luas_lahan_kering*Produktivitas_padi_ladang Total produksi padi (3) merupakan penjumlahan dari produksi padi sawah dan produksi padi ladang. Sementara produksi pada sawah/ladang diperoleh dari perkalian
antara
luas
lahan
basah/kering
dengan
produktivitas
padi
sawah/ladang. Luas_lahan_basah
=
8400030
+
dt*Lj_pertumbuhan_lahan_basah
–
dt*Laju_konversi_lahan_basah ..................................(4) dimana, Luas_lahan_basah
= luas areal panen padi sawah (Ha)
Laju_pembukaan_lahan_basah
= laju pembukaan lahan sawah
Laju_konversi_lahan_basah
= laju konversi lahan sawah
Persamaan (4) menyatakan bahwa luas areal panen mengakumulasi perbedaan antara laju pembukaan lahan sawah dan laju konversi lahan sawah terhadap keadaan luas areal panen sebelumnya yaitu luas panen pada tahun
59 2005 (tahun dasar simulasi) sebesar 8 400 030 hektar. Luas areal panen adalah besarnya luas lahan yang dapat menghasilkan padi, sedangkan konversi lahan merupakan konversi lahan sawah ke penggunaan lain misal non pertanian seperti untuk perumahan dan keperluan publik lainnya seperti jalan. Luas_lahan_kering
=
1165000
+
dt*Laju_pertumbuhan_lahan_kering
–
dt*Laju_konversi_lahan_kering .................................(5) dimana, Luas_lahan_kering
= Luas lahan kering untuk padi ladang
Laju_pembukaan_lahan_kering
= Laju pembukaan ladang
Laju_konversi_lahan_kering
= Laju konversi ladang
Luas areal panen padi lahan kering (ladang) menyatakan bahwa luas areal lahan kering mengakumulasi perbedaan antara laju pembukaan lahan dan laju konversi lahan terhadap keadaan luas areal panen sebelumnya, yaitu luas panen pada tahun 2005 sebesar 1 165 000 hektar. Luas areal panen ini yang digunakan untuk tanaman padi ladang. Pembukaan lahan adalah
besarnya lahan yang
dapat diusahakan untuk menambah luas areal yang ada, sedangkan konversi lahan merupakan penggunaan areal padi ladang untuk kepentingan lain (non padi) dan pemanfaatan bagi kepentingan non pertanian. b. Sub Model Kebutuhan Sub-sistem konsumsi merupakan penjabaran dari sub-sistem permintaan. Gambar 9 menunjukkan bagan alir sistem dinamik dari sub-sistem konsumsi. Komponen utama pada sub-sistem ini adalah pertumbuhan penduduk termasuk di dalamnya tingkat kelahiran dan tingkat kematian serta tingkat konsumsi per kapita yang lebih jauh dipengaruhi oIeh adanya diversifikasi pangan. Dalam model ini penduduk dipisahkan ke dalam dua kategori, yaitu penduduk desa dan penduduk kota. Unsur lain yang juga berpengaruh pada subsistem konsumsi adalah kebutuhan beras untuk produksi bahan pangan lain (industri), bibit dan cadangan beras nasional yang ditentukan oleh pemerintah (iron stock). Kebutuhan beras untuk bahan industri dinyatakan sebagai persentase dari total kebutuhan beras konsumsi, untuk kebutuhan pakan dinyatakan berdasarkan persentase produksi padi dan untuk kebutuhan bibit dihitung berdasarkan luas tanam.
60
Produksi_beras fr_bhn_Baku_Ind Konsumsi_perkapita_kota Penduduk_Kota
Kebutuhan_Bahan_Baku_Industri
Lj_pertumbuhan_kota Kebutuhan_beras_kota Fraksi_pertumbuhan_kota KEBUTUHAN_BERAS_NASIONAL Kebutuhan_konsumsi_beras_RT_nasional
Penduduk_Desa
Kebutuhan_beras_desa
Lj_pertumbuhan_desa Fraksi_pertumbuhan_desa Konsumsi_perkapita_desa
Gambar 12. Struktur Sub Model Kebutuhan Beras Nasional Sub model kebutuhan konsumsi dirumuskan dalam persamaan matematis sebagai berikut: Kebthn_beras_nasional = Kbthn_konsumsi_beras_RT_nasional + Kebthn_industri_makanan_dan_non_makanan..................................................(6) dimana, Kebthn_beras_nasional
: Total kebutuhan beras nasional (ton)
Kbthn_konsumsi_beras_RT_nasional: Total kebutuhan beras bagi rumah tangga nasional (ton/th) Kebthn_industri_non_makanan
: Kebutuhan bahan baku beras pada Industri makanan dannon makanan (ton)
Persamaan
(6)
merupakan
persamaan
untuk
mengetahui
kebutuhan/jumlah beras yang diperlukan untuk konsumsi nasional. Besarnya merupakan penjumlahan antara total kebutuhan beras bagi rumah tangga nasional (ton/th) dengan kebutuhan bahan baku beras bagi industri non makanan (ton). Kebthan_konsumsi_beras_RT_nasional = Kebthn_beras_desa + Kebthn_beras_ Kota ..................................................(7)
61 dimana, Kebthn_beras_desa = Penduduk_desa * Konsumsi_perkapita_desa Kebthn_beras_kota = Penduduk kota * Konsumsi_perkapita_kota Persamaan (7) menyatakan bahwa total kebutuhan beras bagi rumah tangga nasional (ton/th) merupakan penjumlahan antara kebutuhan beras bagi penduduk desa Indonesia (ton/th) dengan kebutuhan beras bagi penduduk kota Indonesia (ton/th). Sementara kebutuhan beras bagi penduduk desa/kota diperoleh dari perkalian antara jumlah penduduk desa/kota dengan tingkat konsumsi penduduk desa/kota di Indonesia. Kebutuhan industri dirumuskan dalam persamaan matematis sebagai berikut: Kebthn_industri_non_makanan = +dt*Laju_ind ..................................................(8) dimana, Laju_ind = Produksi_beras * frk_keb_ind/100 Persamaan (8) menyatakan bahwa kebutuhan industri non makanan merupakan kebutuhan bahan baku beras pada industri non makanan (ton) yang besarnya diperoleh dari perkalian antara produksi beras nasional (ton) dengan persentase kebutuhan industri non makanan terhadap produksi beras (%/th). Sementara produksi beras diperoleh dengan mengacu kepada persamaan (2) dan (3).
3.4.2.5. Model Perberasan Nasional Hasil akhir dari sub-sistem produksi adalah total produksi beras (Tot_Prod_Brs), dan hasil akhir dari sub-sistem konsumsi adalah total kebutuhan beras (Keb_Brs_Nas). Kedua peubah ini akan digabungkan menjadi satu peubah yang akan menggambarkan terjadinya kelebihan atau kekurangan persediaan beras nasional (Neraca_Brs_Nas). Sub model neraca dirumuskan dalam persamaan matematis sebagai berikut: Neraca_beras =Total_penyediaan– Total_kebutuhan ........................................(9) dimana, Total_Penyediaan
= Produksi_beras + Impor – Ekspor + Stok_cadangan
Total_kebutuhan
= Kebthn_industri_non_makanan + Kebthn_konsumsi_ Beras_RT_nasional
62 Persamaan
(9)
merupakan
persamaan
untuk
mengetahui
neraca
ketersediaan beras nasional (ha). Besarnya merupakan penjumlahan antara penyediaan beras nasional (ton) dengan total kebutuhan beras nasional (ton). Penggambaran dari gabungan kedua sub-sistem dalam bentuk diagram-alir ditunjukkan pada Gambar 13.
Peny_Brs_Nas
Keb_Brs_Nas
Neraca_Brs_Nas Gambar 13. Model Perberasan Nasional Pada Model Perberasan Nasional ini, akan terlihat terjadinya kelebihan (surplus) atau kekurangan (defisit) beras di tingkat nasional, nilai kekurangan atau kelebihan yang terjadi akan dapat dipakai sebagai landasan penggambilan keputusan atau kebijakan pada waktu yang akan datang. 3.4.2.6. Validasi Model Verifikasi model dilakukan dengan pengecekan secara dimensional (satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model meliputi level, rate, dan konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi dan time step yang dipilih, serta meminta stakeholder untuk mengevaluasi model yang dibuat. Validasi model merupakan suatu usaha untuk menyimpulkan apakah model sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Validasi model ini umumnya dilakukan sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu dengan membandingkan perilaku dinamis model dengan kondisi sistem nyata, apabila model telah dianggap valid, selanjutnya model ini dapat dipergunakan sebagai wakil sistem nyata.
63 Menurut Muhammadi et al. (2001) validasi model
terbagi menjadi dua
tahap yaitu (1) Validasi struktur model dan (2) Validasi kinerja output model. Validasi struktur model mempunyai tujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauh mana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata, sedangkan validasi kinerja bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Dalam validitas kinerja output dilakukan dua langkah (a) Pertama, membandingkan secara visual output simulasi dengan pola perilaku secara empirik, jika ada penyimpangan yang menonjol, kemudian memperbaiki variabel dari parameter model berdasarkan hasil penelusuran terhadap sebab-sebab penyimpangan tersebut, (b) Kedua, jika secara visual pola output simulasi sudah mengikuti pola data aktual maka dilakukan uji statistik, dengan tujuan membandingkan sejauh mana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Banyak Uji statistik yang dapat dipakai untuk mengukur penyimpangan antara output simulasi dengan data aktual diantaranya Mean Absolut Deviasi (MAD), Mean Square Error (MSE), Mean Absolut Persentase Error (MAPE) dimana masing masing uji statistik di atas mengukur keakuratan output simulasi, sedangkan Mean Percentase Error (MPE) dapat menentukan apakah metoda peramalan mengandung bias (Hauke et al., 2001). Dalam penelitian ini akan dilakukan dengan uji statistik MAPE dan MPE dimana rumus matematiknya sebagai berikut :
MAPE =
ˆ 1 n Yt − Yt ∑ Y n t =1 t
Dimana : Yt
= nilai data aktual
Yt
= nilai simulasi model
n
= tahun/interval waktu
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE Lomauro dan Bakshi (1985) dalam Utami (2006) adalah : MAPE < 5 %
: Sangat tepat
5 % < MAPE< 10 %
: Tepat
MAPE >10 %
: Tidak Tepat
64 Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE di atas (Hauke et al., 2001) adalah bila nilai MAPE mendekati nol maka model tidak bias atau dapat dikatakan secara konsisten nilai simulasi tidak melebihi atau di bawah nilai data aktual.
3.4.2.7. Analisis Prospektif Analisis prospektif ini akan digunakan untuk menentukan peubah-peubah dominan yang mempengaruhi sistem yang dikaji. Menurut Bourgeois and Jesus (2004) metoda analisis partisipatori prospektif (Participatory Prospective Analysis = PPA) ini merupakan alat yang didisain untuk mengetahui atau menyelidiki dan mengantisipasi perubahan dengan partisipasi para ahli (expert) termasuk stakeholder yang memberikan hasil yang cepat. Metoda ini sangat cocok pada situasi dimana banyak stakeholder berinteraksi pada sistem yang kompleks, terutama sangat cocok untuk memberikan alternatif kebijakan pada lokal dan sektoral serta dapat memperkuat kapasitas stakeholder menjadi lebih aktif dalam pengambilan keputusan terkait dengan masa depannya. Griffin dalam Bourgeous dan Jesus (2004) menyatakan bahwa metoda prospektif ini merupakan alat yang sangat cocok dan diperlukan untuk analisis kebijakan, terutama pada penelitian yang menyangkut pertanian berkelanjutan dan
pembangunan
berkelanjutan
karena
dapat
memfasilitasi
antisipasi
perubahan perubahan dalam lingkungan yang tidak stabil. Metoda analisis prospektif ini berkembang di Perancis pada tahun 1990-an. Metoda ini menganalisis implikasi dari berbagai alternatif asumsi dan bertujuan untuk memberikan berbagai pilihan bagi pengambil kebijakan. PPA ini dapat digunakan untuk merencanakan strategi (Strategic Actions) atau untuk menemukan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam melakukan analisis prospektif perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut (Hartrisari, 2002a): 1.
Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting dengan menggunakan
kriteria
faktor
variabel,
menganalisis
pengaruh
dan
ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor ke dalam 4 (empat) kuadran utama .
65 2.
Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama.
3.
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa
perubahan
mana
yang
dapat
terjadi
bersamaan,
dan
menggambarkan skenario dengan memasang perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Metoda ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih luas, pendekatan yang dibangun oleh CIRAD dan CAPSA memakai delapan tahapan sebagai berikut (Bourgeous dan Jesus, 2004): (1) definisikan batasan sistem, (2) identifikasi variabel, (3) definisikan variabel kunci, (4) analisis pengaruh bersama (mutual), (5) interpretasi keterkaitan antar pengaruh dan ketergantungan, (6) definisikan variabel states, (7) membangun skenario dan (8) Implikasi strategi dan langkah antisipasi. Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks sebagai berikut. Tabel 15. Pengaruh Langsung Antar Faktor Dalam Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Dari ↓ A B C D E F Terhadap→ A B C D E F G H I J Sumber: Godet, 1999 Keterangan : A – J = Faktor penting dalam sistem Pedoman penelitian Skor: Keterangan 0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat
G
H
I
J
66 Untuk menentukan faktor kunci digunakan software analisis prospektif yang akan memperlihatkan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam
Pengaruh
sistem, dengan tampilan sebagai berikut. (1)
(2)
Faktor Penentu (Driving Variables) INPUT
Faktor Penghubung (Leverage Variables) STAKE
(4)
(3)
Faktor Bebas (Marginal Variables) UNUSED
Faktor Terikat (Output Variables) OUTPUT
Ketergantungan
Gambar 14. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Dalam Sistem. Sumber : Byl et al., 2002; Hartrisari, 2002a; Bourgeois and Jesus, 2004 Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004) , yaitu : 1.
Kuadran Pertama (driving variables) Kuadran ini memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variables) yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem.
2.
Kuadran Dua (leverage variables) Faktor-faktor yang terdapat pada kuadran ini menunjukan bahwa faktor tersebut mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor (leverage variables), faktor-faktor yang ada di kuadran ini sebagian dianggap peubah yang kuat.
3.
Kuadran Tiga (output variables) Faktor dalam kuadran ini mewakili faktor output (output variables), dimana pengaruhnya kecil tapi ketergantungannya tinggi.
67 4.
Kuadran Empat (marginal variables) Dalam kuadran empat, akan ditemukan faktor marjinal (marginal variables), yang pengaruhnya kecil dan ketergantungannya juga rendah. Faktor ini bersifat bebas dalam sistem.
3.4.3. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model yang dikaji. Hasil uji sensitivitas dalam penelitian ini terlihat dalam bentuk perubahan perilaku dan atau kinerja model. Perlakuan atau intervensi terhadap model umumnya didasarkan kepada kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata, maupun berdasarkan pilihan kebijakan yang mungkin terjadi. Ada dua kategori analisis sensitivitas yang dibedakan dari intervensinya yaitu intervensi fungsional dan intervensi struktural (Muhammadi et al., 2001). Intervensi fungsional yaitu intervensi terhadap parameter tertentu dalam model, intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan antisipasi terhadap perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata di masa datang. Selanjutnya dilakukan simulasi dan mengamati hasil dan dampaknya terhadap keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Intervensi struktural adalah intervensi yang mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur yang dapat dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang membentuk struktur model. Tahapan analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap: (1) uji sensitivitas untuk masing-masing parameter. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat parameter yang sensitive terhadap kinerja model. Dengan merubah parameter, kemudian dilihat dampaknya terhadap kinerja model. Kriteria yang dipakai untuk menilai performa sensitivitas dalam penelitian ini mengikuti kriteria seperti yang dikemukakan Maani dan Cavana (2000), parameter dikatakan sensitif (sensitive) bila parameter dirubah sebesar 10 persen dan dampaknya terhadap kinerja sistem dapat mencapai 5 – 14 persen, sangat sensitif (very sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model berkisar 15 – 34 persen dan sangat sangat sensitive (highly sensitive) bila dampaknya terhadap kinerja model lebih besar dari 35 persen. Parameter yang memiliki sensitivitas tinggi merupakan parameter penting dalam menentukan skenario kebijakan karena dalam simulasi model, parameter yang sensitive adalah jenis parameter yang dapat mencapai tujuan (goal) dalam periode waktu tertentu. (2)
68 uji sensitivitas kombinasi parameter terpilih, sehingga diperoleh bermacam kombinasi parameter untuk mempengaruhi kinerja sistem. Kombinasi parameter ini berguna dalam menentukan kebijakan di masa yang akan datang.
IV. KERAGAAN PENYEDIAAN DAN KEBUTUHAN BERAS DI INDONESIA
Dalam level agregat, sistem neraca ketersediaan beras di Indonesia secara nasional tergantung pada dua subsistem yaitu subsistem permintaan atau kebutuhan dan subsistem penawaran atau penyediaan beras. Bila kebutuhan lebih tinggi dari penyediaan maka terjadi excess demand atau dikatakan ketersediaan beras (neraca beras) nasional negatif dan bila sebaliknya terjadi excess supply atau ketersediaan beras (neraca beras) nasional positif. Dalam bab ini akan dibahas mengenai keragaan penyediaan dan kebutuhan beras di Indonesia. Beberapa hal yang akan dikemukakan dalam Sub Bab 4.1 penyediaan antara lain adalah perkembangan produksi, perkembangan luas lahan padi, produktivitas, perkembangan jumlah alat dan mesin pertanian, struktur biaya, keuntungan dan efisiensi usahatani padi.
4.1.
Penyediaan Beras
4.1.1. Perkembangan Produksi Padi di Indonesia Produksi padi atau beras domestik yang tersedia untuk dikonsumsi merupakan tolok ukur penyediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Perkembangan produksi padi selama beberapa tahun terakhir (19902005) menunjukkan kecenderungan meningkat relatif lambat dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 1.21 persen (Tabel 16). Pada tahun 1990 produksi beras yang tersedia untuk dikonsumsi sebesar 30.79 juta ton beras dan pada 2 tahun terakhir (2004 dan 2005) cukup tinggi, lalu berfluktuasi selama masa krisis dan kemarau panjang pada tahun 1997-1998 produksi beras sempat menurun, begitu pula pada tahun 2001, dan kembali meningkat untuk tahun tahun berikutnya. Selama periode 1995 – 2005 impor meningkat dengan pertumbuhan 15.86 persen per tahun. Impor berfluktuasi antar tahun dan mencapai tingkat yang relatif tinggi pada tahun 1999 yaitu sebesar 4.18 juta ton beras dan menurun pada dua tahun terakhir. Dalam periode 1990 - 2005, permintaan beras domestik cenderung meningkat,
hal
ini
disebabkan
karena
peningkatan
jumlah
penduduk.
Pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu yang sama mencapai 40 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan domestiknya masih bergantung pada impor. Kenyataan ini ditunjukkan oleh rataan produksi beras selama 10 tahun terakhir yang hanya mencapai 91 persen
70 dari total konsumsi dalam negeri (Rachman, et al. dalam Rachman dan Dermoredjo, 2004). Tabel 16. Perkembangan Produksi dan Penyediaan Beras di Indonesia, Tahun 1990-2005 Produksi Tahun Produksi Padi GKG
Ekuivalen Beras
Penyediaan Beras DN untuk Konsumsi
Impor (1000 Ton)
Penyediaan (1000 Ton)
Jumlah Penduduk (1000 Jiwa)
Penyediaan / kapita (kg)
1990
45,571
29,361
25,793
29.8
25,823
178,500
144.67
1991
44,688
29,047
25,293
178.9
25,472
181,160
140.61
1992
48,240
31,356
27,304
634.2
27,938
183,860
151.95
1993
48,181
31,318
27,270
-
27,270
186,548
146.19
1994
46,648
30,321
26,403
876
27,279
189,379
144.04
1995
49,744
32,334
28,155
3,014
31,169
192,200
162.17
1996
51,102
33,216
28,924
1,232
30,156
195,064
154.59
1997
49,377
31,206
27,947
782
28,729
197,971
145.12
1998
49,237
31,118
27,871
2,907
30,778
200,921
153.19
1999
50,866
32,147
28,803
4,183
32,986
202,831
162.63
2000
51,866
32,779
29,393
1,510
30,903
205,843
150.13
2001
50,461
31,891
28,579
1,406
29,985
208,643
143.71
2002
51,490
32,542
29,161
3,710
32,871
211,439
155.46
2003
52,138
32,951
29,528
2,760
32,288
214,251
150.70
2004
54,088
34,184
30,633
632
31,265
217,077
144.03
2005 53,985 34,118 30,574 305 30,879 219,898 140.42 Pertumbuhan * (1990-2005) 1.21% 1.07% 1.19% 1.38% 1.40% -0.02% 15.86% (%) Sumber: Departemen Pertanian, 2002, Biro Pusat Statistik (diolah) - Data Produksi dan Tersedia untuk Konsumsi; Sulastri Surono dan Syarifuddin Musa (2001) - Data Penduduk (pertengahan tahun); BPS Keterangan : - Konversi padi-beras : 65% tahun 1990-1996; 63,2% tahun 1997-2005 - Tersedia untuk konsumsi : produksi dikurangi untuk bibit, pakan, industri, susut paca panen dan perjalanan; serta 8 persen koreksi lahan * - Data Impor : Bulog (1990-1996); The Rice Report (1997-2005), Pertumbuhan impor (1995 – 2005) - Data Penduduk:BPS:”Penduduk Indonesia”, Hasil Sensus 2000 (diolah, penduduk pertengahan tahun)
Daerah penghasil padi di Indonesia sekitar 56 persen dihasilkan dari Pulau Jawa, selebihnya sekitar 22 persen dari Pulau Sumatera, 10 persen dari Pulau Sulawesi, 5 persen dari Pulau Kalimantan dan 7 persen tersebar di berbagai pulau lainnya. Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan sebagai penyangga produksi beras nasional. Namun masalah sekarang adalah tingginya konversi lahan pertanian ke lahan untuk pemukiman dan industri, sehingga tidak terjadi peningkatan luas tanam padi di Jawa bahkan ada kecenderungan menurun.
71
60000
Produksi
50000 40000 30000 20000 10000 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Jaw a
Sumatera
Bali dan NT
Kalimantan
Sulaw esi
Maluku dan Irja
Indonesia
Gambar 15. Perkembangan Produksi Padi Di Berbagai Wilayah Di Indonesia, Tahun 1990 - 2005 4.1.2. Perkembangan Luas Lahan Padi Di Indonesia Luas lahan padi di berbagai wilayah sentra produksi di Indonesia dapat dibedakan menurut sistem pengairan atau jenis ekosistemnya yaitu lahan sawah beririgasi, lahan sawah tadah hujan dan lahan rawa pasang surut dan lebak. Pada Tabel 17 terlihat
bahwa perkembangan luas lahan padi di Indonesia
berjalan sangat lambat, bahkan ada kecenderungan menurun pada dekade terakhir yaitu pada periode tahun 1990 – 2000 dari 8 138 818 menjadi 8 083 327 hektar. Bila dilihat antar wilayah, ternyata luas lahan padi di Jawa, sejak tahun 1980 telah mengalami penurunan dari 3.48 juta hektar (1980) menjadi 3.34 juta hektar pada tahun 2000. Penurunan terjadi juga di wilayah Bali dimana areal padi menyusut sebesar 20 persen pada periode 1980 – 2000. Luas lahan sawah untuk wilayah Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan pada periode yang sama justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya yaitu mengalami peningkatan. Keadaan ini menunjukkan adanya pergeseran potensi sumberdaya pertanian dari Jawa ke Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Perkembangan luas lahan sawah irigasi di Indonesia pada dua dekade mengalami peningkatan dari 4.04 juta hektar pada tahun 1980 menjadi 4.85 juta hektar pada tahun 2000 atau meningkat dengan pertumbuhan sebesar 1 persen per tahun sedangkan untuk sawah tadah hujan di Indonesia terjadi sebaliknya yaitu mengalami penurunan dari 2.26 juta hektar pada tahun 1980 menjadi 2.04 pada tahun 2000 atau menurun sebesar 0.49 persen per tahun.
72 Tabel 17. Perkembangan Luas lahan Padi Menurut Sistem Pengairan di Beberapa Wilayah Indonesia, Tahun 1980- 2003. Jenis Lahan Padi/Wilayah Sawah irigasi Sumatera Jawa Sulawesi Bali Nusa Tenggara Kalimantan Total Indonesia Sawah tadah hujan Sumatera Jawa Sulawesi Bali Nusa Tenggara Kalimantan Total Indonesia Rawa pasang surut dan lebak Sumatera
1980
1990
2000
2003
759,247 2,504,950 361,243 99,471 194,883 120,347 4,040,141
884,778 2,535,131 503,885 91,710 216,467 164,414 4,396,385
1,070,608 2,574,938 632,931 85,137 265,600 226,958 4,856,088
1,289,033 2,543,018 792,631 106,070 256,315 252,620 5,239,687
495,129 963,775 295,102 824 58,898 456,381 2,269,904
595,315 864,521 273,440 923 70,132 345,515 2,149,846
585,506 765,740 285,938 907 61,104 346,967 2,046,260
652,853 780,410 289,851 979 69,975 357,629 2,151,697
454,514 (217,892) 14,857 14,937 7,149 269,288 (218,398) 760,745 (473,233)
730,288 (212,117) 23,095 60,699 31,705 746,810 (263,757) 1,509,450 (591,066)
588,506 (278,005) 4,467 17,256 3,625 567,125 (328,271) 1,180,979 (631,624)
528,827
Total sawah Sumatera Jawa Sulawesi Bali Nusa Tenggara Kalimantan
1,708,890 3,483,582 671,282 100,295 260,930 846,016
2,210,381 3,422,747 838,024 92,623 318,304 1,256,739
2,244,634 3,345,145 936,125 86,086 330,287 1,141,050
2.470,713 3.334,627 1.086,850 107,049 326,398 1,074,393
Total Indonesia
7,075,790
8,138,818
8,083,327
8,400,030
Jawa Sulawesi Nusa Tenggara Kalimantan Total Indonesia
11,199 4,368 108 464,144 1,008,646
Keterangan
: Angka Dalam Tanda kurung Adalah Total Lahan Pasang Surut. Bali Tidak Memiliki Lahan Rawa Pasang Surut. Sumber Data : BPS (1980-2005).
Keadaan ini menurut Kasryno et al. (2004) mengindikasikan bahwa pengembangan lahan beririgasi dilakukan pada areal yang selama ini sudah menjadi lahan sawah, artinya pengembangan lahan sawah beririgasi teknis terjadi dengan mengkonversi lahan sawah tadah hujan dan lahan irigasi pedesaan. Pangsa lahan sawah beririgasi di Indonesia mencapai 57 persen pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2000 dari seluruh total lahan sawah yang ada, sedangkan pangsa lahan sawah irigasi di masing masing
73 wilayah berturut turut adalah Bali (82.9 %), Jawa (77 %), Sulawesi (66 %), Sumatera (48 %) dan Kalimantan (20 %). Luas lahan sawah tadah hujan di Indonesia pada tahun 1990 sekitar 2.27 juta hektar dan pada dua dekade terakhir mengalami penurunan menjadi 2.05 juta hektar. Penurunan ini lebih disebabkan terjadinya penurunan luas lahan tadah hujan di Jawa, hal ini terlihat dari pangsa yang menurun dari 42.45 persen pada tahun 1990 menjadi 37.44 persen pada tahun 2000. Secara keseluruhan selama periode 1981 – 1998, konversi lahan sawah di Indonesia mencapai 1 771 055 hektar, sedangkan penambahan lahan sawahnya mencapai 3 218 224 hektar, sehingga neraca lahan sawah Indonesia bertambah 1 447 169 hektar. Jumlah lahan sawah yang terkonversi di seluruh Indonesia selama kurun waktu 1981 – 1998 sudah perlu diwaspadai karena jika dibandingkan dengan luas baku lahan sawah tahun 2000, berarti luas lahan sawah yang terkonversi sudah mencapai sekitar 23 persen dan 13 persen diantaranya terjadi pada lahan sawah di Jawa (Deptan, 2002b). Faktor
pendorong
terjadinya
konversi
lahan
sawah
serta
sistem
ketersediaan sistem irigasi antara lain: pesatnya peningkatan jumlah penduduk yang telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jalan, kawasan industri dan perdagangan serta
fasilitas umum lainnya seperti pusat
perbelanjaan, tempat rekreasi, lapangan golf yang memerlukan tanah yang luas, sebagian di antaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah. Tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian dalam hal ini padi. Faktor sosial budaya, antara lain karena keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah sehingga tidak memenuhi skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Otonomi Daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan PAD yang kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya penting bagi masyarakat secara keseluruhan. 4.1.3. Perkembangan Produktivitas Padi Produktivitas padi di Indonesia bila dilihat dari beberapa dekade meningkat dengan kecenderungan yang melambat pada dekade terakhir dibandingkan dekade-dekade sebelumnya, hal ini dapat terlihat pada Gambar 16 bahwa produktivitas padi di Indonesia pada tahun 1970, 1980, 1990 dan 2005 berturut turut adalah 2.321, 3.393, 4.297 dan 4.415 ton per hektar. Bila dibandingkan
74 antar wilayah dari beberapa periode waktu, produktivitas padi di Jawa selalu lebih tinggi daripada wilayah lainnya di luar Jawa untuk tahun 1970, 1980, 1990 dan 2005 produktivitasnya adalah sebesar 2.476, 3.963, 5.021 dan 5.043 ton per hektar. Pada periode waktu 1970-1980 produktivitas padi di Jawa meningkat sangat pesat dan ini berlanjut sampai dengan tahun 1990, setelah periode tersebut produktivitas meningkat dengan laju peningkatan yang sangat kecil. Berbeda dengan Jawa, wilayah-wilayah di luar jawa pada periode terakhir produktivitasnya masih mengalami peningkatan yang cukup tinggi. 6
Produktivitas
5 4 3 2 1 0 1970
1980
1990
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun Jaw a
Sulaw esi
Bali NT dan Lainnya
Indonesia
Sumatera
Kalimantan
Gambar 16. Perkembangan Produktivitas Padi per Hektar di Berbagai Wilayah di Indonesia, Tahun 1970- 2005 Selain masalah luas panen dan produktivitas yang peningkatannya cenderung menurun, juga dari sisi pasca panen diketahui bahwa angka konversi atau rendemen menurun dari waktu ke waktu. Sawit (1999) dalam Surono (2001) menyatakan bahwa angka konversi atau rendemen tahun 1950 adalah sebesar 71 persen, kemudian menjadi 66 persen pada tahun 1987 dan menurun lagi menjadi 63.2 persen pada tahun 1996. Selanjutnya Balitpa Sukamandi memperkirakan rendemen tersebut pada tahun 1998 paling tinggi hanya 62 persen. Berkurangnya rendemen bukan karena disebabkan kehilangan padi semasa panen dan pasca panen tapi lebih disebabkan oleh umur mesin penggilingan yang sudah tua dan kapasitasnya kecil-kecil.
75 4.1.4. Analisis Usahatani Padi Analisis pendapatan usahatani meliputi dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen penerimaan. Sedangkan pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Hasil analisis pendapatan usahatani padi yang disajikan dalam penelitian ini merupakan perhitungan dari data PATANAS (Panel Petani Nasional) yang dikumpulkan oleh peneliti dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Departemen Pertanian di beberapa kasus
desa
Patanas, tepatnya di Desa Sumber Rejo (Lampung Tengah), Desa Sampalan (Karawang, Jawa Barat), Desa Genjak (Lombok Tengah, NTB), Desa Selosari (Kediri, Jatim) dan Desa Passeno (Sidrap, Sulawesi Selatan). Analisis ini dilakukan pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2005 dengan 3 jenis luas lahan yang berbeda yaitu lahan sempit (<0.311 ha), lahan sedang (0.311 – 0.795 ha) dan lahan luas (>0.795 ha). Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa usahatani padi di Pedesaan Patanas menguntungkan, ditunjukkan oleh nilai pendapatan yang positif dan R/C yang lebih besar dari satu. Pendapatan yang diterima baik pada musim kering maupun musim hujan pada ketiga jenis luasan yang berbeda berkisar antara Rp 3.148.000 – Rp 3.892.000 per hektar dengan pendapatan terendah dihasilkan pada luasan lahan luas di musim kemarau dan pendapatan tertinggi dihasilkan pada luasan lahan sedang di musim hujan. R/C rasio yang dihasilkan baik pada musim kering maupun musim hujan pada ketiga jenis luasan yang berbeda berkisar antara 2.34 – 2.65 dengan R/C rasio terendah dihasilkan pada luasan lahan sempit di musim kemarau dan R/C rasio tertinggi dihasilkan pada luasan lahan sedang di musim hujan. R/C rasio yang lebih besar dari satu menunjukkan biaya (cost) yang dikorbankan dalam kegiatan usahatani dapat memberikan imbalan (revenue) yang lebih besar atau sering disebutkan bahwa aktivitas ekonomi padi adalah efisien. Komponen biaya usahatani padi umumnya terdiri dari biaya untuk sarana produksi, upah tenaga kerja dan biaya lainnya, dengan total biaya berkisar antara 37.75 – 42.73 persen dari total penerimaan. Biaya terbesar berasal dari upah tenaga kerja yang berkisar antara 23.47 – 25.76 persen dan biaya terendah berasal dari sarana produksi yang berkisar antara 10.10 – 12.58 persen. Biaya untuk upah tenaga kerja terdiri dari upah pengolahan tanah (traktor, ternak, manusia), persemaian, tanam, penyiangan, pemupukan, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman), panen dan angkut, sedangkan biaya untuk
76 sarana produksi antara lain terdiri dari biaya untuk pembelian benih, pupuk anorganik (antara lain urea, SP36, KCl, ZA), pupuk organik, PPC/ZPT (Zat Pengatur Tumbuh), insektisida dan herbisida. Apabila dilakukan perhitungan secara rinci, terlihat bahwa biaya terbesar dialokasikan untuk upah tenaga kerja pemanenan yang berkisar antara 11.99 – 13.05 persen, dengan biaya terendah pada luasan lahan sedang dan luas di musim hujan dan biaya terbesar pada luasan lahan sedang di musim kemarau. Tingginya biaya tenaga kerja ini mengindikasikan bahwa usahatani padi menyerap cukup banyak tenaga kerja untuk kegiatan pemanenan. Biaya terbesar kedua dialokasikan untuk pupuk anorganik yang berkisar antara 6.76 – 8.55 persen dengan biaya terendah pada luasan lahan sedang di musim kemarau dan biaya terbesar pada luasan lahan sempit di musim hujan. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Berdasarkan Tabel 18 produktivitas padi pada musim hujan rata-rata di ketiga jenis luasan adalah 5.650 ton perhektar, lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau yaitu 4.637 ton perhektar. Sedangkan harga menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu pada musim kemarau harga lebih tinggi yaitu Rp 1.205 per kilogram dibandingkan pada musim hujan yang hanya mencapai Rp 1.074 per kilogramnya. Hal ini disebabkan pada musim hujan, penawaran wilayah yang menyebabkan harga menurun.
77 Tabel 18. Struktur Biaya Usahatani Padi Sawah Beririgasi di Pedesaan Patanas Indonesia, 2005 (%, Ha) Uraian A. Penerimaan B. Total biaya 1. Sarana produksi a. Benih b. Pupuk anorganik - Urea - SP-36 - KCI - ZA - Lainnya c. Pupuk organik d. PPC / ZPT e. Insektisida f. Herbisida 2. Upah tenaga kerja a. Pengolahan tanah - Traktor - Ternak - Manusia b. Persemaian c. Tanam d. Penyiangan e. Pemupukan f. Pengendalian OPT g. Panen h. Angkut
Sempit 100 42.73 12.58 2.14 8.03 4.60 2.91 0.21 0.14 0.17 0.00 0.00 2.25 0.16 25.76 5.95 4.16 1.14 0.65 0.13 4.83 1.05 0.08 0.16 12.14 1.42
M K 2004 Sedang Luas 100 100 39.44 39.97 10.66 10.10 1.82 1.40 6.76 7.82 4.22 5.08 2.24 2.53 0.13 0.17 0.08 0.04 0.09 0.00 0.00 0.00 0.19 0.11 1.56 0.14 0.33 0.63 25.18 6.19 4.59 1.03 0.57 0.09 3.48 0.76 0.11 0.20 13.05 1.30
M H 2004/05 Sedang Luas 100 100 37.75 40.32 10.87 11.19 1.76 1.52 7.71 7.95 4.22 4.40 3.17 3.39 0.18 0.09 0.03 0.01 0.11 0.06 0.03 0.09 0.14 0.08 0.92 1.18 0.31 0.37
Sempit 100 39.91 11.22 2.06 8.55 5.14 2.89 0.22 0.70 0.23 0.00 0.00 0.32 0.29
25.29 5.97 4.32 0.99 0.66 0.14 3.84 1.09 0.13 0.25 12.46 1.41
25.45 5.58 4.35 0.83 0.40 0.18 3.44 0.87 0.05 0.33 12.30 2.67
23.47 4.98 3.87 0.22 0.89 0.11 3.20 1.40 0.18 0.10 11.99 2.05
25.06 5.04 4.02 0.31 0.71 0.00 3.66 1.21 0.17 0.50 11.99 2.41
24.56 5.15 4.08 0.45 0.62 0.12 3.43 1.16 0.13 0.28 11.92 2.37
24.02 5.56 4.20 0.63 0.64 0.13 3.64 1.12 0.13 0.27 12.19 1.89
4.15
3.24
3.41
4.07
3.57
3.86
25.40 5.78 4.20 0.81 0.77 0.21 3.20 1.46 0.32 0.77 12.18 1.52
3. Biaya lain-lain 4.39 3.60 4.47 Keterangan: Sempit < 0,311, Sedang 0,311-0,795, Luas> 0,795 Ha.
Sub-agregat 100 39.29 11.16 1.86 8.06 4.58 3.15 0.16 0.04 0.13 0.40 0.07 0.81 0.32
Agregat
Sub-agregat 100 40.54 11.10 1.78 7.54 4.63 2.56 0.17 0.09 0.09 0.00 0.10 1.31 0.37
100 39.00 11.12 1.82 7.79 4.61 2.86 0.15 0.06 0.11 0.02 0.09 1.06 0.34
78 Tabel 19. Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Beririgasi di Pedesaan Patanas Indonesia, 2005 (Ha) M K 2004 Uraian
MH 2004/05
Sempit
Sedang
Luas
Sub-agreqat
Sempit
Sedang
Luas
Sub-agregat
Agregat
Produktivitas
(kg)
4,838
4,607
4,467
4,637
5,746
5,663
5,541
5,650
5,144
Harga jual
(Rp/kg)
1,205
1,230
1,182
1,205
1,035
1,104
1,085
1,074
1,140
Penerimaan
(Rp 000)
5,830
5,667
5,280
5,588
5,947
6,252
6,011
6,068
5,864
100
100
100
100
100
100
100
100
(Rp 000)
2,491
2,235
2,110
2,265
2,373
2,360
2,424
2,384
2,293
(%)
42.73
39.44
39.97
40.54
39.91
37.75
40.32
39.29
39.10
(Rp 000)
3,339
3,432
3,148
3,323
3,574
3,892
3,587
3,684
3,571
(%)
57.27
60.66
60.03
59.46
60.09
62.25
59.68
60.71
60.90
2.34
2.54
2.50
2.47
2.51
2.65
2.48
2.54
2.56
Biaya I unit (Rp/kg) 515 485 472 488 Keterangan: Sempit < 0,311, Sedang 0,311 - 0,795, Luas> 0,795 Ha. Lokasi: 1) Desa Sumber Rejo, Lampung Tengah (Lampung) 2) Desa Sampalan, Karawang (Jabar) 3) Desa Ganjak, Lombok Tengah (NTB) 4) Desa selosari, Kediri (Jatim) 5) Desa Passeno, Sidrap (Sulsel)
413
417
437
422
446
(%) Total biaya
Pendapatan
R/C
100
79 4.2. Kebutuhan Beras Kebutuhan atau permintaan beras untuk konsumsi rumah tangga selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh konsumsi beras per kapita. Kebutuhan konsumsi per kapita pada periode 1990 – 2004 meningkat dengan pertumbuhan 3.08 persen per tahun. Dari 127.7 kilogram per kapita per tahun pada tahun 1990 meningkat menjadi 138.0 kilogram pada tahun 2002 dan selanjutnya menjadi 152.3 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2004. Dari Tabel 20 terlihat bahwa peningkatan laju pertumbuhan total konsumsi per kapita lebih disebabkan karena adanya peningkatan yang cukup tinggi dari permintaan antara yaitu permintaan yang mencakup dari penyediaan jasa boga, seperti rumah makan, hotel dan restoran. Sedangkan konsumsi beras dalam RT selama periode 1990 – 2004 justru mengalami penurunan sebesar 2.75 persen pertahun dari 117.7 kilogram per kapita per tahun menjadi 99.4 kilogram per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi RT saat ini mulai berubah, ada kecenderungan bahwa
banyak anggota RT yang makan di luar rumah
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 20. Perkembangan Konsumsi Beras Per Kapita di Indonesia Periode 1990 - 2004 (Kg / Kapita / Tahun) Tahun
Konsumsi Beras Dalam Rumah Tangga
1990
117.7
10.0
127.7
1993
116.8
17.4
134.2
1996
111.2
23.6
134.8
1999 2002 2004 Pertumbuhan 1990 – 2004 (%/thn)
103.5
26.6
130.0
100.5 99.4
37.5 52.9
138.0 152.3
-2.75
34.06
3.08
Permintaan Antara
Total Konsumsi Per Kapita
Sumber : Departemen Pertanian, 2005 Keterangan : Konsumsi per Kapita 1990, 1993, 1996, 1999,2002 dari Susenas; 2004 perkiraan Permintaan antara mencakup industri pengolahan, hotel, rumah makan dan penyediaan jasa boga, diestimasi berdasarkan Tabel Input-Output
Beras selain untuk konsumsi di dalam rumah tangga, hotel, rumah makan dan jasa boga, juga digunakan untuk kegiatan lain seperti industri tepung beras dan bihun, penambahan stok pemerintah, program bantuan pangan dan ekspor.
80 Namun yang terbesar adalah kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan yang lainnya. Menurut Suryana (2002)a total permintaan beras (rumah tangga dan industri) pada tahun 2002 mencapai 142 kg per kapita per tahun. Untuk negara Asia, rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun untuk Myanmar dan Laos adalah cukup besar di atas 150 kg, sedangkan
Thailand, China dan India
sekitar 100 kg per kapita per tahun karena mereka mempunyai kemampuan menghasilkan produk pangan yang makin beragam dan Jepang dengan pendapatan mencapai US $ 32.350 konsumsi berasnya hanya 60 kg (Pambudy et al., 2002). Secara agregat tingkat partisipasi konsumsi beras di indonesia hampir mencapai 100 persen atau di berbagai wilayah pada tahun 1999 berkisar antara 91.4 – 99.8 atau rata-rata desa kota adalah 97.07 persen (Tabel 21 dan Tabel 22), hal ini menunjukkan bahwa hampir semua rumah tangga mengkonsumsi beras. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada rumah tangga di perkotaan tetapi juga di pedesaan, namun umumnya tingkat partisipasi konsumsi beras di desa lebih beragam antar wilayah dibandingkan tingkat partisipasi konsumsi di kota. Kecenderungan ini juga menunjukan bahwa pola pangan pokok masyarakat desa lebih bervariasi daripada di kota. Diduga bahwa pola pangan pokok masyarakat pedesaan adalah umbi umbian, jagung atau pisang, masyarakat kota lebih memilih mi sebagai pengganti beras.
Tabel 21. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras (%) Wilayah Kota di Indonesia, Tahun 1990 - 1999 Wilayah kota Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lain-lain (Maluku+papua) Sumber: Susenas 1990 – 1999
1990 99.9 99.9 99.7 99.7 100
1993 99.9 99.9 100 99.9 99.6
1996 99.8 99.8 99.9 99.4 99.8
1999 97.7 92.7 96.8 98.5 97.7
Laju Pertumbuhan -0.73 -2.40 -0.97 -0.40 -0.77
Tingkat partisipasi konsumsi beras ini dihitung dari jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi
beras terhadap total rumah tangga contoh, sedangkan
tingkat konsumsi per kapita menunjukkan jumlah beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga dalam satu tahun. Informasi tersebut disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22.
81 Tabel 22. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras (%) Wilayah Desa di Indonesia, Tahun 1990 -1999 Wilayah Desa Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lain-lain (Maluku dan Papua) Sumber: Susenas 1990 – 1999
1990 100 97.6 100 98.5 80.7
1993 99.9 98.6 99.9 99.5 78.6
1996 99.8 99.7 100 99.1 80.2
1999 99.8 98.2 99.5 98.4 91.4
Laju Pertumbuhan -0.07 0.21 -0.17 -0.03 4.47
Bila dibandingkan laju pertumbuhan tingkat partisipasi konsumsi antara wilayah desa dan wilayah kota di berbagai kepulauan di Indonesia pada periode 1990 – 1999 menunjukkan pola yang berbeda, dimana di wilayah perkotaan cenderung terjadi penurunan dengan kisaran 0.40 – 2.40, penurunan konsumsi yang cukup tinggi terjadi di Jawa yaitu 2.40 persen sedangkan yang terendah terjadi di Sulawesi. Pola ini berbeda di daerah pedesaan justru di Jawa meningkat dengan laju pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 0.21 persen, bahkan di wilayah desa Maluku dan Papua meningkat sangat tinggi yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4.47 persen (Tabel 22). Pola konsumsi pangan pokok rumah tangga ditentukan oleh sumbangan energi dari setiap pangan pokok terhadap total energi yang berasal dari pangan pokok. Pola pangan pokok bertumpu beras bila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen dan pola pangan pokok beras + komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari 5 persen (Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989). Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di setiap provinsi (Tabel 23) di samping umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Dominasi beras dalam pola pangan pokok tidak tergantikan oleh jenis pangan pokok lain. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi-umbian dan sebaliknya. Walaupun diversifikasi pangan sudah sejak lama dicanangkan, namun belum terlihat indikasi penurunan konsumsi beras yang signifikan (Departemen Pertanian, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras besar dan sulit diubah. Untuk komoditas selain beras, preferensi masyarakat dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada seperti ketersediaan, selera, kemudahan memasak dan daya beli. Kecenderungan tersebut juga terjadi pada provinsi-provinsi yang pola pangan pokok utamanya bukan beras. Beras
82 mempunyai kelebihan dibandingkan pangan sumber karbohidrat lainnya yaitu mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizinya lebih baik dibanding pangan lainnya (Ariani, 2004). Hal ini antara lain yang menyebabkan terjadinya perubahan pangan pokok utama dari non beras ke beras, namun sulit mengubah dari beras ke non beras.
Tabel 23. Distribusi Provinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok di Indonesia 1979, 1984 dan 1996 Pola Makanan Pokok Beras
1979a Kalsel, DKI, NAD, Sumbar
1984a DKI, NAD, Sumbar, Bengkulu
Beras+Umbi-umbian
Jatim, NTB, Kalteng, Kalbar, Bali, DIY, Lampung, Bengkulu, Jambi, Riau, Sumsel, Sumut, Sumbar, Jabar Sulut, NTT
Kaltim, Kalbar, Sumut, Riau, Jabar
Beras+Jagung+Umbiumbian Beras+Umbiumbian+Jagung Beras+Umbiumbian+Sagu+Pisang Beras+Sagu+Umbi-umbian Beras+Umbiumbian+Sagu+Jagung Beras+Sagu Beras+Jagung Beras+Jagung+Sagu+Umbiumbian Beras+Sagu+Umbiumbian+Jagung Sumber: Rachman, 2001
Sulsel, Jatim Maluku
Jateng,
1996b NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel
Kalteng, Kalsel, Sumsel, Jambi,
Sulut, Jateng, Tim-Tim, Jatim NTT, Lampung, DIY, Bali Maluku
Sultra
Papua Papua Sulteng
Maluku, Papua NTB, Sultra
Sulsel,
Sultra Sulteng
Beras bukan hanya sebagai pangan pokok utama, tetapi juga merupakan pangan pokok tunggal. Pada tahun 1979, di Kawasan Timur Indonesia (KTI), provinsi yang mempunyai pola pangan pokok tunggal beras hanya Kalimantan Selatan, namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan (Rachman, 2001). Dengan adanya perubahan pola pangan tersebut, maka peran pangan
83 daerah, terutama pangan sumber karbohidrat non beras, dalam pembentukan pola konsumsi pangan masyarakat di daerah tersebut menjadi lemah. Makin kuatnya peran beras sebagai pangan pokok ditunjukkan pula oleh masyarakat berpendapatan rendah di Jawa Tengah, NTB dan Bengkulu, beras merupakan indikator ketahanan pangan mereka. Mereka menganggap bila ketersediaan beras untuk konsumsi keluarga cukup, mereka termasuk dalam kategori tahan pangan dan sebaliknya (Ariani, 2004) Tingkat konsumsi beras di Indonesia cenderung menurun. Pada tahun 1996, terdapat 11 provinsi dengan konsumsi beras lebih dari 120 kilogram per kapita per tahun, dan pada tahun 1996 tinggal 3 provinsi. Namun, kebijakan pangan yang bias pada beras mengakibatkan pola konsumsi makanan pokok yang semula beragam menjadi hanya beras. Fenomena yang juga perlu diperhatikan adalah tergesernya pangan lokal dan makin meningkatnya konsumsi mi. Walaupun tingkat konsumsi per kapita menurun, total konsumsi beras tetap meningkat karena jumlah penduduk terus bertambah. Meningkatnya permintaan beras
juga didorong oleh bertambahnya permintaan dari industri
pengolahan, hotel dan restoran (permintaan antara). Tabel 24. Pengelompokkan Provinsi di Indonesia Menurut Tingkat Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1996 dan 1999 Tingkat Konsumsi Beras (kg/kap/th) >120
Jumlah Propinsi 11
100 – 1200
9
<100
6
1996 Nama Propinsi NAD, Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Jabar, Bali, NTB, Kalteng, Sulsel, Sultra Riau, Sumsel, Lampung, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng
DKI, Jateng, DIY, Jatim, Maluku, Papua
Jumlah Propinsi 3
15
8
1999 Nama Propinsi NAD, Sumut, NTB
Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra DKI, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Maluku, Papua
Bila dilihat dari Tabel 25 konsumsi beras antara desa dan kota pada periode 1993 – 2004 konsumsi di desa lebih tinggi dibandingkan di kota, pada tahun 1993 konsumsi di desa 113.7 kilogram per tahun turun menjadi 98.3
84 kilogram pada tahun 2004 dengan laju penurunan sebesar 5.53 persen, sedangkan konsumsi di kota 113.5 kilogram per tahun dan turun menjadi 81.8 kilogram pada tahun 2004 dengan laju penurunan sebesar 7.83 persen, dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa laju penurunan konsumsi beras per kapita di kota ini lebih besar dibandingkan dengan di desa . Tabel 25. Perkembangan Konsumsi Beras Periode Sebelum, Masa dan Pasca Krisis Ekonomi di Indonesia, 1993 - 2004 Tahun 1993 1996 1999 2002 2004 Laju Pertumbuhan 1993 – 1996 1996 – 1999 1999 – 2002 2002 – 2004 1993 - 2004
Desa 113.7 121.0 111.8 109.6 98.3
Kota 113.5 108.9 96.0 89.7 81.8
-2.2 -7.6 -2.0 -10.3 -5.53
-4.1 -11.8 -6.6 -8.8 -7.83
Sumber: BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002, 2004 (diolah)
Bibit / benih 0.9%
GKG yang diolah menjadi beras 92.7%
Pakan Ternak 0.44 Bahan baku industri 0.56% Susut / tercecer 5.4%
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, 2005 Gambar 17. Penggunaan Produksi Padi GKG di Indonesia, 2005 Penggunaan padi tertinggi adalah untuk diolah menjadi beras sebesar 92.7 persen, benih 0.9 persen, bahan baku industri 0.56 persen, pakan ternak 0.44 persen dan susut atau tercecer sebesar 5.4 persen. Berdasarkan Gambar 17 diketahui bahwa penggunaan padi tertinggi adalah untuk diolah menjadi beras, bila dilihat lebih jauh, produksi beras ini sebagian besar digunakan untuk konsumsi yaitu sebesar 96.67 persen, untuk industri non makanan sebesar 0.66
85 persen, pakan ternak/unggas sebesar 0.17 persen dan susut/tercecer sebesar 2.5 persen.
Pakan ternak / unggas 0.17%
Produksi beras DN utk konsumsi 96.67%
Industri non makanan 0.66% Tercecer / susut 2.5%
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, 2005 Gambar 18. Penggunaan Beras Untuk Konsumsi dan Penggunaan Non Pangan di Indonesia 2005 Kebutuhan atau permintaan beras untuk konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita. Penduduk Indonesia bila dilihat dari perkembangannya terus meningkat. Dari hasil sensus penduduk 2000, jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2000 adalah 206 264 595 orang. Angka pertumbuhan per tahun selama periode 1990 – 2000 adalah sebesar 1.49 persen per tahun. Angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk periode sebelumnya 1980 – 1990 yang mencapai 1.97 persen per tahun. Faktor yang mempengaruhi dalam penurunan laju pertumbuhan penduduk selama periode 1990 – 2000 adalah menurunnya tingkat kelahiran dan juga tingkat kematian. Sedangkan faktor perpindahan dianggap tidak berpengaruh karena jumlahnya kecil dan berimbang (BPS, 2001b). Walaupun akhir-akhir ini angka pertumbuhan penduduk telah menurun, namun peningkatan jumlah penduduk masih terus berlangsung, bahkan hingga pada abad 21 (Ananta dan Adioetama, 1990; Suryana, 2002c).
86 4.3. Perkembangan Harga Beras Selama tahun 2002 terjadi penurunan harga beras secara konsisten di pasar internasional yang mempengaruhi harga beras domestik. Hingga September 1998, harga beras dunia lebih tinggi daripada di pasar domestik. Namun sejak Oktober 1998 hingga tahun 2002, harga beras dunia lebih rendah daripada harga domestik (Tabel 26). Kecenderungan menurunnya harga beras di pasar internasional terkait dengan siklus pasar dunia yang tengah mengalami penurunan. Perubahan pasar beras dari pasar terkendali ke pasar bebas seiring dengan menurunnya harga beras dunia menyebabkan harga beras di pasar domestik makin terbuka terhadap fluktuasi pasar (Rachman dan Dermoredjo, 2004). Tabel 26. Perkembangan Harga Beras di Pasar Internasional dan Pedagang Besar Serta Harga Gabah di Tingkat Produsen Domestik, 1995 - 2003 Rata-rata (Rp/kg) Trend (% / bulan) Harga Harga Harga Harga perdagangan produsen internasional perdagangan besar (GKP) besar 1995 685.40 822.96 419.81 3.91 -0.16 1996 803.72 856.62 432.72 3.31 0.12 1997 855.90 980.46 499.34 2.98 0.48 1998 2,725.29 1,907.71 880.80 0.83 0.37 1999 1,689.13 2,513.31 1,079.01 0.97 0.30 2000 1,470.21 2,269.15 976.07 0.61 0.31 2001 1,563.20 2,429.32 1,159.23 0.25 0.24 2002 1,760.76 3,194.33 1,298.17 7.52 19.04 2002 1,702.50 2,983.33 1,230.80 -2.13 6.51 2002 1,655.69 2,733.33 1,208.47 -3.56 -23.94 2002 1,619.67 2,766.67 1,221.50 -4.31 0.00 2002 1,587.82 2,800.00 1,173.50 -0.37 3.70 2002 1,568.56 2,800.00 1,133.45 -1.87 0.00 2002 1,539.70 2,800.00 1,050.00 -3.53 0.00 2002 1,569.39 2,780.05 1,134.76 1.93 -0.71 2002 1,545.24 2,731.76 1,140.50 -1.54 -1.74 2002 1,599.33 2,678.78 1,115.67 3.50 -1.94 2002 1,582.63 2,663.02 1,098.44 -1.04 -0.59 2002 1,663.43 2,620.50 1,071.74 5.11 -1.60 2003 1,552.52 2,546.40 1,034.11 -6.67 -2.83 2003 1,411.22 2,416.48 989.08 -9.10 -5.10 Sumber: 1) World Bank dalam Rachman dan Dermoredjo (2004, diolah) 2) Bulog dan BPS dalam Rachman dan Dermoredjo (2004, diolah) Tahun
4.4.
Harga internasional
Harga produsen 0.34 1.30 1.88 0.73 0.29 0.02 -0.13 12.10 -5.41 -10.81 1.38 4.99 -2.93 -13.72 8.07 0.51 -2.18 -1.54 -2.43 -3.51 -4.35
Kebijakan Perberasan di Indonesia
4.4.1. Kebijakan Perberasan Era Sebelum Krisis Ekonomi (1959-1998) Di Indonesia beras dikategorikan sebagai bahan pangan pokok, artinya mempunyai kedudukan strategis karena yang terlibat dalam industri perberasan cukup banyak, mempunyai peran yang signifikan dalam indek harga konsumen dan dalam industri perberasan yang terlibat umumnya jutaan petani kecil, miskin dan berpendidikan rendah. Nainggolan (2006) berpendapat bahwa terdapat
87 kecenderungan kuat bahwa sektor pertanian selalu dituntut menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi dan trade balance). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Peran komoditi beras yang strategis ini mendorong pemerintah Indonesia untuk senantiasa melakukan campur tangan (intervensi) dalam bidang perberasan. Campur tangan pemerintah dalam harga dan distribusi beras ini telah dilakukan dalam kurun waktu lama. Mubyarto (1975) dalam Sapuan (2002a), membagi kurun waktu kebijakan harga beras sampai dengan awal pemerintah Orde Baru ke dalam tiga periode, yaitu: (i) kebijakan makanan murah (the cheap food policy) yang dilakukan sejak Pemerintah Belanda sampai dengan tahun 1959, (ii) kebijakan upah natura (the food wage policy) yang dilakukan Pemerintah dari tahun 1959 sampai tahun 1966 dan (iii) kebijakan tekan inflasi (the kill inflation policy) yang dijalankan Pemerintah dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1969. Akibat dari kebijakan tersebut harga beras selalu tertekan, sehingga tidak memberikan rangsangan kepada petani untuk meningkatkan produksi. Secara operasional kebijakan harga beras yang berorientasi produsen dan konsumen mulai diberlakukan tahun 1970 dan dilaksanakan dalam rangkaian program stabilisasi harga yang mengandung prinsip-prinsip: (i) pada tingkat bawah dijaga dengan harga dasar, (ii) pada tingkat atas dijaga dengan harga batas tertinggi, (iii) dengan margin antara harga dasar dan harga batas tertinggi yang cukup untuk terlaksananya perdagangan antar musim secara dinamis guna menjaga harga riil beras agar tidak merosot. Permasalahan pemasaran beras pada tahun 1960-an dipengaruhi oleh keadaan prasarana yang jelek dan struktur pasar yang terpecah-pecah. Larangan peredaran beras antar daerah menjadikan pasar beras terbagi-bagi dan seolah-olah bekerjasama menciptakan keuntungan yang tidak wajar bagi perdagangan spekulatif (Sucipto, 1968 dalam Sapuan, 2002b). Untuk
memecahkan
masalah
tersebut,
ditempuh
langkah-langkah
kebijakan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran. Pembangunan jalan-jalan yang menghubungkan daerah produksi dan pusat konsumen memperoleh prioritas.
Iklim
yang
mendorong
investasi
di
bidang
pengolahan
dan
pembangunan gudang-gudang serta investasi sarana transportasi diciptakan
88 oleh pemerintah. Peraturan yang menghambat pemasaran yang efisien ditinjau kembali.
Sistem
standarisasi
kualitas,
penyiaran
informasi,
perbaikan
pengumpulan data statistik, perbaikan lalu lintas pos dan telekomunikasi diprogramkan oleh Pemerintah (Departemen Penerangan dalam Sapuan, 2002a). Selain itu, berbagai langkah penting juga dilakukan oleh pemerintah untuk mendinamisasi sistem tataniaga beras. Langkah-langkah penting ini senantiasa disesuaikan dengan kondisi perberasan Indonesia. Salah satu contohnya adalah diberlakukannya pembelian dalam bentuk gabah oleh Bulog sejak tahun 2000. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan pemasukan beras eks impor sebagai pengadaan dalam negeri karena harganya yang relatif murah dibanding dengan harga pengadaan dalam negeri oleh Bulog. Kebijakan ini dipertegas lagi pada tahun 2001. Kebijakan lainnya terkait dengan harga beras dapat dilihat dari adanya periodisasi yang menunjukkan perubahan cara penetapan harga dasar (floor price) dan harga batas tertinggi (ceiling price). Pada periode tahun 1970 – 1972 harga dasar hanya dikaitkan dengan harga pupuk saja dan harga batas tertinggi ditetapkan sama di seluruh Indonesia untuk semua jenis atau kualitas. Periode selanjutnya 1973 – 1984 adalah penetapan harga dasar dengan incremental benefit cost ratio dan pendekatan pembedaan harga jual antar kualitas dan antar tempat untuk penetapan harga batas tertinggi. Periode 1985 – 1990 adalah periode yang menggunakan pendekatan penetapan harga dasar dengan memperkenalkan hubungan faktor yang terkait, yaitu: (i) antara harga masukan dan keluaran, (ii) antara harga beras dan hasil pertanian lainnya dan (iii) antara harga beras domestik dan harga beras di pasar internasional. Sejak tahun 1998 terdapat perubahan yang mendasar terhadap instrumen yang digunakan untuk pengendalian harga beras yaitu dibukanya pasar beras internasional mulai akhir 1998 (monopoli impor beras oleh Bulog dihapus). Di samping itu pada pertengahan tahun 1998 dimulai penyaluran beras langsung kepada rakyat miskin melalui program Operasi Pasar Khusus (OPK). Penyaluran beras pada golongan Anggaran (TNI, PNS, POLRI) dihapus mulai tahun 2000 (Sapuan 1999, 2002c).
89 4.4.2. Kebijakan Perberasan Era Sesudah Krisis Ekonomi (1998 - Sekarang) Jauh sebelum krisis, kebijakan pemerintah sebenarnya sangat mendukung perberasan
nasional.
Instrumen
yang
dibentuk
adalah
penetapan
dan
pengendalian harga dasar gabah yang setiap tahun disesuaikan dengan masukan, inflasi dan faktor lainnya. Badan Urusan Logistik (Bulog) dibentuk untuk mengamankan harga dasar gabah dan stabilitas domestik. Bulog juga diberi hak monopoli impor mengadakan pangan sejak tahun 1970-an. Dengan kebijaksanaan ini, ekonomi perberasan dalam negeri ditangkal dari gejolak perubahan global. Sejak tahun 1998, kebijakan perberasan Indonesia mengalami perubahan drastis. Seluruh instrumen pendukung kecuali harga dasar telah dihapus oleh pemerintah. Unsur-unsur penopang yang telah hilang tersebut adalah: (a) insulasi pasar domestik dari pasar internasional, dengan dicabutnya monopoli impor beras yang selama ini dimiliki oleh Bulog disubstitusi dengan kebijakan tarif impor beras, (b) captive market bagi beras Bulog yang berupa catu beras bagi PNS, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi terbatas, (c) dihapuskannya dana KLBI bagi Bulog dan Koperasi untuk pembelian gabah/beras petani, sehingga Bulog harus beroperasi dengan dana komersial dan (d) dihapuskannya beberapa subsidi input, terakhir adalah dicabutnya subsidi pupuk dan distribusinya diserahkan kepada mekanisme pasar (Pambudy et al., 2002). Untuk memperbaiki kebijakan perberasan nasional tersebut, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 9 Tahun 2001 yang diperbaharui lagi dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Isi inpres tersebut antara lain: (1) memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional, (2) memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, (3) melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah, (4) menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen dan (5) memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan (Nainggolan, 2006).
90 Seiring dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah pun melakukan dua kali penerbitan Inpres Perberasan Nasional sepanjang tahun 2005. Inpres yang
pertama
adalah
Inpres
No.
2
Tahun
2005,
yang
merupakan
penyempurnaan kebijakan perberasan menuju kebijakan perberasan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Dalam Inpres ini tidak digunakan lagi istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tetapi diubah menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Melalui Inpres ini pemerintah juga berupaya keras memperbesar volume pengadaan gabah dalam negeri melalui jalur lembaga usaha ekonomi pedesaan (LUEP) yang dimulai sejak 2 tahun terakhir (Nainggolan, 2006). Inpres yang kedua adalah Inpres No. 13 tahun 2005, yang merupakan respon dari adanya kenaikan harga BBM yang kedua tahun 2005. Pada prinsipnya, inpres tersebut sama dengan Inpres No. 2 Tahun 2005 tetapi dengan penyesuaian harga gabah dan beras, serta penyesuaian mutu beras. Secara umum dapat dikatakan bahwa Inpres ini merupakan bentuk dukungan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Inpres yang terbaru adalah Inpres No 3 Tahun 2007 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2007. Melalui inpres ini pemerintah memutuskan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik sebesar 17.65 persen dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.000 per kilogram gabah. Gabah kering giling (GKG) naik sebesar 14.4 persen dari Rp 2.250 menjadi Rp 2.575 per kilogram dan beras naik dari Rp 3.550 menjadi Rp 4.000 per kilogram di gudang Bulog (Sekretariat Kabinet RI, 2007). Inpres No 3 Tahun 2007 merupakan bentuk kebijakan harga dan non harga dari pemerintah yang diharapkan menjadi salah satu instrumen mensejahterakan petani. Kebijakan non harga pada Inpres No 3 ini antara lain: 1.
Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggul bersertifikat.
2.
Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi.
3.
Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pasca panen.
4.
Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan sawah irigasi teknis.
5.
Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi usahatani.
91 Dalam operasionalnya, pemerintah memerlukan instrumen-instrumen kebijakan yang dirumuskan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini operasionalisasi kebijakan sesuai dengan tujuan yang dimaksud (Suryana dan Hermanto, 2004):
4.4.2.1. Peningkatan Produktivitas dan Produksi Padi Instrumen kebijakan untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan beras nasional meliputi: 1.
Pengembangan
infrastruktur
untuk
mendukung
usahatani
padi.
Realisasinya adalah telah dialokasikannya dana sekitar Rp 2 triliun pada tahun anggaran 2003 kepada Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Dana ini digunakan untuk investasi pembangunan prasarana irigasi terutama di luar Jawa, sedangkan di Jawa kegiatan investasi pembangunan irigasi lebih diprioritaskan pada upaya rehabilitasi dan pemeliharaan sarana irigasi yang telah ada. 2.
Peningkatan akses petani terhadap sarana petani dan sumber permodalan. Dalam rangka memberikan dukungan permodalan bagi petani padi, pemerintah telah meyalurkan kredit ketahanan pangan (KKP), yang merupakan kredit komersial dengan plafon kredit sekitar Rp 2 triliun.
3.
Peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju. Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani dalam rangka mendukung program intensifikasi usahatani padi, pemerintah memberikan subsidi pupuk dan benih sekitar satu triliun rupiah pada tahun anggaran 2002.
4.
Ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa, pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru.
5.
Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran. Untuk menekan kehilangan pascapanen, pemerintah berupaya meningkatkan akses petani terhadap sarana dan teknologi pascapanen. Peningkatan akses ini diharapkan dapat menurunkan kehilangan hasil dan memperbaiki kualitas gabah/beras dalam negeri.
92 4.4.2.2. Diversifikasi Usaha di Pedesaan Penerapan kebijakan ini dilakukan dengan mempromosikan diversifikasi usahatani padi di pedesaan secara berkelanjutan, diantaranya melalui program diversifikasi pada tingkat usahatani (on-farm diversification), diversifikasi usaha yang terkait dengan usahatani (off-farm diversification) dan diversifikasi menurut wilayah pengembangan agroekosistem membentuk kawasan agribisnis unggulan (regional diversification). Instrumen untuk mendukung kebijakan ini adalah dengan terus menerus mengupayakan penyaluran kredit agribisnis dengan bunga bersubsidi sehingga petani dan lembaga usaha di pedesaan dapat melakukan investasi dalam bidang agribisnis dan agroindustri.
4.4.2.3. Stabilitas Harga Gabah Petani Stabilitas harga gabah pada tingkat harga yang wajar diperlukan untuk memberikan insentif bagi petani guna meningkatkan produktivitas dan produksi padi, sehingga secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, lokal dan nasional. Inpres No. 9 Tahun 2002, No. 2 Tahun 2005, No. 13 Tahun 2005 serta No.3 Tahun 2007 merupakan perwujudan dari keberpihakan pemerintah kepada petani. Melalui Inpres ini pemerintah menaikkan HPP untuk GKG secara periodik disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Kebijakan HPP ini bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitas.
4.4.2.4. Kebijakan Impor Beras dan Tarif Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh Bulog ini dilakukan untuk menjaga stok pangan nasional dan stabilitas harga beras di dalam negeri. Kebijakan pengaturan impor yang dirumuskan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 9/MPP/Kep/I/2004 merupakan alternatif dari kebijakan tarif. Secara umum, keputusan tersebut mengatur: (1) pelarangan impor beras 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah panen raya sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada bulan Januari – Juni dan (2) pada periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu.
93 Kebijakan tarif ini tercantum dalam Inpres No 9 Tahun 2002 yang dilakukan dalam rangka melindungi petani dari dampak negatif perdagangan bebas untuk komoditi beras. Dalam pelaksanaannya, Departemen Pertanian secara terus menerus berupaya untuk menyesuaikan tarif bea masuk beras hingga mencapai tarif yang paling optimal. Kebijakan penyesuaian tarif ini merupakan pilihan terbaik dari berbagai kebijakan perdagangan yang ada karena kebijakan ini tidak terlalu mendistorsi pasar dan menimbulkan dampak yang dapat diperhitungkan sebelumnya.
4.4.2.5. Kebijakan Jaminan Sosial Pangan Kebijakan jaminan sosial pangan ini dituangkan dalam program distribusi beras murah kepada rumah tangga miskin melalui program Raskin (distribusi beras bersubsidi kepada kelompok masyarakat miskin). Kebijakan untuk memberikan perlindungan bagi konsumen, terutama bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan ini tercantum dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No 3 Tahun 2007.
4.5. Keragaan Pasar Beras Dunia Produksi beras dunia tahun 1990 sebesar 351.97 juta ton dan meningkat menjadi 416.56 pada tahun 2006, dengan pertumbuhan 1.08 persen per tahun. Sebagian besar produksi beras dunia diproduksi dan dikonsumsi di Asia. Umumnya Negara-negara di Asia lebih mengutamakan produksi berasnya untuk mencukupi keperluan dalam negeri dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan (USDA, 2007). Meningkatnya produksi beras tersebut menyebabkan volume beras yang diperdagangkan di pasar internasional meningkat sebesar 6.15 persen per tahun dari 12.80 juta ton pada tahun 1990 menjadi lebih dari dua kali lipat yaitu 28.96 pada tahun 2006 (Tabel 27). Namun demikian, meskipun persentase volume beras yang diperdagangkan di pasar internasional terhadap produksi beras cenderung meningkat dari 3.6 persen menjadi 6.9 persen selama periode 1990 2006, persentase tersebut cenderung kecil dibandingkan dengan persentase volume perdagangan kedelai, jagung dan gandum terhadap produksinya yang mencapai masing-masing 30, 15 dan 20 persen.
94 Tabel 27. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia, 1990 – 2006 (000 t) Tahun
Produksi
Perdagangan Dunia
1990 351,973 1991 354,592 1992 355,629 1993 355,311 1994 364,482 1995 371,432 1996 380,157 1997 386,821 1998 394,082 1999 408,392 2000 396,894 2001 392,823 2002 381,240 2003 391,636 2004 400,777 2005 418,002 2006 416,565 Rataan 383,577 R (%/tahun) 1.08 * Keterangan: : Persentase volume beras yang diperdagangkan dunia Sumber: USDA (2007 diolah)
*
Persentase (%) 12,804 3.64 15,158 4.27 15,625 4.39 16,730 4.71 21,922 6.01 20,800 5.60 19,700 5.18 18,818 4.86 27,670 7.02 24,941 6.11 22,846 5.76 24,414 6.22 27,813 7.30 27,550 7.03 27,116 6.77 27,716 6.63 28,957 6.95 22,387 6.15 5.07 di pasar internasional terhadap produksi beras
Negara produsen utama beras dunia dapat dilihat pada Tabel 28. Selama periode 1990-2006 posisi negara produsen utama beras tidak mengalami perubahan, dimana pada tahun 2006 negara Cina masih menempati posisi teratas dengan pangsa 30.7 persen, diikuti oleh India (21.9%), Indonesia (8.0%), Vietnam (5.5%), Thailand (4.4%) dan Myanmar (2.5%). Total produksi keenam Negara tersebut pada tahun 1990 dan 2006 masing-masing mencapai 87 persen dan 73 persen dari produksi beras dunia. Dominasi Cina dan India terhadap produksi beras dunia selama satu dekade terakhir terlihat dari kontribusinya yang relatif tinggi, masing-masing 37 persen, 30 persen pada tahun 1990 dan 30 persen, 21 persen pada tahun 2006. Kenaikan pangsa produksi yang konsisten juga dicapai oleh Vietnam, Thailand dan Myanmar dari 3.5 persen, 3.2 persen dan 2.3 persen tahun 1990 menjadi 5.5 persen, 4.4 persen dan 2.5 persen pada tahun 2006. Keberhasilan keenam negara produsen utama beras tersebut terkait erat dengan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara. Beberapa faktor penting yang perlu dicatat berkaitan dengan keberhasilan China dalam mewujudkan ketahan pangan yang tangguh adalah: (1) sistem kebijakan pangan nasional yang rasional, obyektif dan fokus serta terkoordinir dengan baik oleh Dewan Negara dengan ujung tombaknya The State Development Planning Commission (SDPC), (2) kebijakan industri pedesaan yang dilakukan oleh China sejak tahun 1980-an telah berhasil mengalih profesikan 100 juta jiwa petani untuk
95 bekerja pada sektor industri di pedesaan, (3) dukungan yang kuat dari lembagalembaga penelitian dari berbagai perguran tinggi yang selalu meningkatkan usahanya untuk mencapai hasil yang maksimal dan berusaha membimbing petani dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertanian dan (4) bantuan dan kerjasama teknik luar negeri dan badan-badan pangan dunia dimanfaatkan secara maksimal, fokus, rasional dan berhasil guna (Kustia, 2002). Tabel 28. Negara Produsen Utama Beras Dunia, 1990 – 2006 (000 t) Negara Cina India Indonesia Vietnam Thailand Myanmar USA Pakistan Mesir Australia Total
1990 1996 2000 2001 2002 2003 2004 132,532 136,570 131,536 126,700 123,200 112,462 125,363 111,953 120,012 84,871 91,600 78,000 88,530 83,130 29,042 32,084 32,000 32,500 32,500 35,024 34,830 12,393 18,003 20,473 20,600 20,500 22,082 22,716 11,347 13,662 16,830 16,830 16,500 18,011 17,360 7,943 9,000 10,771 9,860 10,440 10,730 9,570 5,098 5,453 5,941 6,563 6,630 6,420 7,462 3,265 4,307 4,700 4,100 3,850 4,848 5,025 2,122 2,989 3,900 3,422 3,800 3,900 4,128 563 894 1,259 1,000 0.75 316,258 342,974 312,281 313,175 295,421 302,007 309,584 (89.9) (90.2) (78.7) (79.7) (77.5) (77.1) (77.2) Total Dunia 351,973 380,157 396,894 392,823 381,240 391,636 400,777 Keterangan: Angka dalam kurung adalah persentase terhadap produksi beras dunia Sumber: USDA (2007, diolah)
2005 126,414 91,790 34,959 22,772 18,200 10,440 7,113 5,547 4,135 321,370 (76.9) 418,002
2006 128,000 91,050 33,300 22,900 18,250 10,600 6,239 5,200 4,383 319,922 (76.8) 416,565
Lain halnya dengan pemerintah India yang menetapkan kebijakan peningkatan produktivitas sebagai prioritas. Kebijakan ini berupa pemberian susidi pupuk, bahan bakar dan pembelian peralatan pertanian. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah untuk sektor pertanian ini secara konsisten terus menerus mengalami peningkatan. Khusus untuk pembelian peralatan pertanian, pemerintah India memberikan harga konsesi kredit murah melalui sektor perbankan (Soemintaatmadja, 2002). Negara produsen utama beras berikutnya adalah Vietnam. Secara garis besar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Vietnam dapat dibagi dua, yaitu kebijakan umum dan kebijakan khusus. Kebijakan umum yang dibuat oleh pemerintah Vietnam antara lain: (a) cadangan pangan untuk menjaga kestabilan sosial politik, (b) rehabilitasi dan pengembangan jaringan irigasi dan (c) pengembangan varietas unggul padi. Sementara kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah Vietnam antara lain: (a) penyediaan lahan pertanian yang dapat digunakan oleh petani dan rakyat miskin tanpa dibebani sewa tanah, (b) pemberian jaminan tingkat keuntungan tertentu bagi petani padi dengan membeli semua beras yang dijual di pasar jika harga padi jatuh di bawah US$ 0,09 per kg, (c) pembebasan pajak penggunaan tanah bagi petani miskin, (d) pemberian subsidi bunga pinjaman, pembelian produk (padi/beras) untuk keperluan
96 cadangan pangan dan mengurangi tarif impor khususnya bahan baku untuk pembuatan sarana produksi pertanian (Mohsin, 2002). Hampir senada dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Vietnam, secara garis besar ada dua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Thailand yaitu kebijakan umum dan kebijakan khusus. Kebijakan umum yang dibuat antara lain: (a) pendirian pusat penelitian, (b) pembentukan Public Warehouse Organization (PWO) dan (c) pembentukan Marketing Organization for Farmers (MOF). Kebijakan khusus yang menarik untuk disampaikan adalah Paddy Mortgage, disamping kebijakan perdagangan internasional. Dalam skema paddy mortgage (pegadaian padi) yang dilaksanakan oleh Bank of Agriculture and Cooperative, para petani akan memperoleh pinjaman dengan tingkat kredit yang preferential sampai 90 persen dari nilai padi yang digadaikan (Utomo, 2002). Negara produsen beras yang keenam adalah Myanmar. Untuk mendukung pembangunan pertanian, pemerintah Myanmar menggariskan 5 strategi dasar, yaitu: (a) membuka dan mengembangkan lahan baru, (b) pembangunan saluran irigasi,
(c)
memberikan
dukungan
terhadap
mekanisasi
pertanian,
(d)
menerapkan teknologi pertanian yang modern dan (e) penggunaan bibit unggul (Koro, 2002). Namun demikian tidak semua negara produsen beras menjadi negara pengekspor. Indonesia dan Myanmar misalnya, merupakan salah satu produsen utama beras dunia, namun bukan merupakan negara pengekspor beras. Hal ini dikarenakan tingginya kebutuhan domestik sehingga hampir semua produksi beras dialokasikan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Situasi pedagangan seperti ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk konsumsi domestik, sehingga surplus yang diperdagangkan menjadi sangat terbatas (Rachman dan Dermoredjo, 2004). Kurang lebih 18 persen dari volume beras yang diperdagangkan di pasar internasional diserap oleh lima negara importir terbesar, yaitu Indonesia (1.8%), Nigeria (5.5%), Iran (4.3%), Irak (4.5%) dan Bangladesh (1.8%). Total impor kelima negara tersebut mengalami peningkatan dari tahun 1990 sebesar 1.31 juta ton (10.2%) menjadi 5.23 juta ton (18%) pada tahun 2006 (Tabel 29).
97 Tabel 29. Eksportir dan Importir Utama Beras Dunia, 1990 – 2006 (000 juta t) Negara Eksportir Thailand Vietnam USA Cina Pakistan India Mesir Australia Myanmar Total Total Dunia
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
3,988 1,048 2,331 689 1,274 505 159 619 176 10,789 12,804 (84.2)
5,891 2,315 2,993 32 1,592 4,179 160 519 645 18,326 20,800 (88.1)
6,549 3,370 2,847 2,951 2,026 1,449 500 617 159 20,468 22,846 (89.6)
7,521 3,528 2,541 1,847 2,417 1,936 705 617 670 21,782 24,414 (89.2)
7,245 3,245 3,295 1,963 1,603 6,650 468 366 1,002 25,837 27,813 (92.9)
7,552 3,795 3,834 2,583 1,958 4,421 579 141 388 25,251 27,550 (91.7)
10,137 4,295 3,090 880 2,986 3,172 826 131 130 25,647 27,116 (94.6)
7,250 5,000 3,800 750 2,350 4,500 1,100 125 150 25,025 27,716 (90.3)
7,376 4,705 3,363 1,216 3,579 4,537 958 317 47 26,098 28,957 (90.1)
192 3,011 1,500 1,500 3,500 2,750 650 900 224 450 1,250 1,906 1,897 1,448 1,369 1,600 614 1,583 1,100 765 964 900 950 950 268 96 1,274 959 1,178 672 889 1,000 11 1,567 638 401 313 1,112 801 800 1,309 6,707 5,762 5,531 7,852 6,882 4,659 5,250 12,804 20,800 22,846 24,414 27,813 27,550 27,116 27,716 (10.2) (32.3) (25.2) (22.7) (28.2) (24.9) (17.2) (18.9) Keterangan: Angka dalam kurung adalah persentase terhadap total perdagangan beras dunia Sumber: USDA (2007 diolah)
539 1,600 1,251 1,306 531 5,227 28,957 (18.0)
Importir Indonesia Nigeria Iran Irak Bangladesh Total Total Dunia