III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Metode Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 40 hari kalender, dari tanggal 1 Februari sampai 30 April 2007. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua tempat, lokasi pertama di Pulau Pombo untuk pengambilan contoh biofisik terumbu karang. Pulau Pombo dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa pulau ini merupakan TWAL yang memiliki kekayaan terumbu karang yang diperkirakan mengalami degradasi akibat aktifitas dekstruktif manusia. Lokasi kedua di Dusun Waainuru dan Batu Dua, sebagai tempat pengambilan populasi nelayan karang. 3.2. Metode Penentuan Responden Populasi target yang menjadi objek pengamatan adalah nelayan karang yang aktifitas melautnya sehari-hari menangkap ikan karang bernilai ekonomis di kawasan perairan terumbu karang Pulau Pombo. Dalam studi ini, saat dilakukan survei awal yang teridentifikasi adalah dominan nelayan ikan karang yang berasal dari Dusun Waainuru, dan selebihnya dari Dusun Batu Dua. Penentuan responden dari populasi target digunakan teknik convenience (hapzard atau accidental) yaitu prosedur memilih responden yang paling mudah tersedia, sembarang atau kebetulan ditemui (Juanda, 2007). Posedur ini digunakan berdasarkan kenyataan bahwa di lapangan tidak tersedia data sekunder yang berkaitan dengan data statistik populasi nelayan ikan karang, baik yang dari Dusun Waainuru maupun Batu Dua. Hasil survei di lapangan ditemukan bahwa ukuran populasi nelayan ikan karang relatif kecil, hanya 25 RTP, sehingga diputuskan untuk dilakukan sensus lengkap. 3.3. Metode Penentuan Lokasi Contoh Stasiun Penentuan contoh stasiun pengamatan terumbu karang di Pulau Pombo terlebih dahulu dilakukan towing, berdasarkan metoda “Manta Tow” (English et al., 1994), yakni menyusuri daerah terumbu karang yang mengelilingi Pulau Pombo. Pengamatan meliputi penutupan karang hidup, karang mati dan karang
30
lunak berdasarkan 5 kategori, yaitu: kategori 1 untuk tutupan 0 – 10%, kategori 2 untuk tutupan 11- 30%, kategori 3 untuk tutupan 31 – 50%, kategori 4 untuk tutupan 51 – 75%, dan kategori 5 untuk tutupan 76% - 100% (UNEP, 1993). Tiap titik koordinat awal dan titik koordinat pemberhentian towing direkam dengan menggunakan GPS (Global Position Sistem). Setelah diperoleh hasil pengamatan berupa kondisi berdasarkan kategori dan koordinatnya, kemudian ditentukan stasiun contoh yang mewakili setiap kategori yang ada. 3.4. Metode Penentuan Contoh Terumbu Karang Pengamatan kondisi terumbu karang di setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan metoda transek kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m. Untuk mendapatkan contoh terumbu karang yang diinginkan, terlebih dahulu digelar pita roll meter sepanjang 50 m sejajar garis pantai, kemudian diletakan transek kuadrat mengikuti pita tersebut, jarak peletakan antar transek kuadrat adalah 2,5 m, sehingga diperoleh contoh terumbu karang pada luasan 1 m2 sebanyak 14 kali atau seluas 14 m2. Tahapan kegiatan ini diulang sebanyak 3 kali dengan jarak antar ulangan adalah 5 m tegak lurus garis pantai, dilakukan pada setiap stasiun baik di rataan terumbu karang (reef flat) maupun di lereng terumbu karang (reef slope). Dengan demikian untuk lokasi contoh stasiun pada rataan terumbu karang maupun lereng terumbu karang total 42 kali pengamatan, atau diperoleh contoh terumbu karang dengan luas pengamatan 42 m2. Untuk membantu dan mempermudah identifikasi terumbu karang hingga ke tingkat jenis, hasil pengamatan tersebut direkam dengan menggunakan kamera under water, dalam penelitian ini digunakan kamera Olympus 5 mega pixel dengan lensa ukuran 7,8 – 23,4 mm. Sedangkan untuk mengidentifikasi terumbu karang digunakan buku panduan dari Veron (1986), NOAA (2003), AKKII (2003), dan Suharsono (2004). Adapun untuk pengambilan contoh terumbu karang seluas transek kuadrat 1 x 1 m di gunakan rangka tetra-pod, dengan frame 1 x 1 m dan tiang penyangga dengan ketinggian 2,5 m yang terbuat dari pipa PVC 2/3 mm, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini.
31
15 cm 15 cm
2,5 m
1m
1m Gambar 4. Rangka tetra-pod untuk pengambilan gambar contoh terumbu karang (modifikasi dari English et al., 1994). 3.5. Metode Analisa Data Biofisik Terumbu Karang Data contoh pengamatan biofisik terumbu karang yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan penghitungan tutupan susbstrat dan dominansi koloni, dengan menggunakan formula berikut ini (Bouchon, 1981): (i) tutupan substrat (S%):
S% =
total ukuran koloni ×100 ……..……………………….... (1) total permukaan (kuadrat)
ukuran-ukuran koloni dinyatakan dalam ukuran area permukaan. Untuk mengukur luas tutupan substrat ini digunakan program ImageJ. Kategori tutupan terumbu karang sebagai berikt: 0-24,9% kondisi rusak, 25-49,9% kondisi cukup, 50-74,9% kondisi baik, dan 75-100% kondisi sempurna (Yap dan Gomez, 1984); (ii)
dominansi dari koloni (dalam jumlah) dari tiap-tiap jenis: Spesies A =
jumlah koloni A ×100 total jumlah koloni
..……..………..….……….... (2)
32
dan (iii) penghitungan indeks mortalitas (MI) (Gomes et al., 1988): MI =
% Karang mati % Karang mati + % Karang hidup
…..……….…..….……….... (3)
Nilai MI mempunyai kisaran antara 0 – 1, apabila nilai MI mendekati 0, berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi. Nilai MI mendekati 1 berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian yang besar atau memiliki kesehatan yang rendah (Ferianita, 2007). 3.6. Metode Analisa Data Ekonomi
Analisa data yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada batasanbatasan: 1) Ikan karang ekonomis hasil tangkapan sebagai produk akhir dari ekosistem terumbu karang merupakan ikan karang ekonomis hasil tangkapan nelayan ikan karang di kawasan perairan terumbu karang Pulau Pombo di Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Untuk mengetahui apakah hasil tangkapan nelayan ikan karang merupakan ikan karang ekonomis, dalam penelitian ini digunakan buku Petunjuk Identifikasi Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia karangan Peristiwady (2006). 2) Untuk melakukan analisa finansial terlebih dahulu ikan-ikan karang ekonomis hasil tangkapan nelayan dikelompokkan berdasarkan hubungannya dengan perang fungsional terumbu karang sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari makan. 3) Analisa finansial usaha dihitung berdasarkan harga rata-rata ikan hasil tangkapan dan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh unit perahu. Penelitian ini menggunakan analisis biaya-manfaat untuk mendapatkan nilai ekonomi ekosistem terumbu karang Pulau Pombo, dan oleh karena merupakan TWAL maka dalam perhitungan nilai ekonominya mengadopsi perhitungan manfaat ekonomi KKL yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2005). Dimana tahapan awal dalam analisis biaya-manfaat untuk KKL ini terlebih dahulu dibuat capaian finansial (financial performance) dari kegiatan perikanan karang yang ada pada saat ini. Nilai akhir yang diperoleh adalah menggambarkan nilai ekonomi dalam kondisi saat ini (existing condition).
33
Capaian finansial tersebut digambarkan melalui tiga indikator utama nilai ekonomi yakni Penerimaan Bersih (net revenue), Nilai Tambah (value added) dan Pendapatan Perahu (boat income) yang merupakan proksi dari surplus produsen. Masing-masing indikator ekonomi tersebut oleh Fauzi dan Anna (2005) dijelaskan sebagai berikut: (i) Penerimaan bersih didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya operasi; (ii) Nilai tambah merupakan selisih antara penerimaan bersih dan biaya tetap per perahu. Nilai tambah ini merupakan rente ekonomi (resource rent) karena sudah menggambarkan selisih antara total penerimaan dari sumber daya ikan karang, yang merupakan output dari ekosistem terumbu karang, dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menmanfaatan sumber daya tersebut; dan (iii) Pendapatan perahu merupakan nilai akhir yakni selisih antara nilai tambah dan total biaya tenaga kerja (total labor cost/TLC). Karena tujuan dari nilai tiap indikator ekonomi ini adalah untuk mencerminkan nilai ekonomi dari manfaat tidak langsung terumbu karang yang menyediakan jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, yang mana pendekatannya berdasarkan harga pasar dari ikan karang hasil tangkapan yang mempunyai kaitan dengan ketiga jasa tersebut, maka capaian finansial dari tiap indikator ekonomi tersebut ditampilkan dalam 3 kelompok yang berbeda, berdasarkan ketiga jasa tadi. Nilai pasar dari ikan-ikan karang ini dianggap mencerminkan nilai ekonomi dari fungsi ekologis terumbu karang yang menghasilkan jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan. Oleh karena manfaat ekosistem terumbu karang juga menyangkut manfaat jangka panjang maka manfaat ekonomi terumbu karang di perairan Pulau Pombo dihitung dengan memperhatikan aspek intertemporal tersebut. Menurut Fauzi (2004) bahwa pilihan intertemporal menyangkut membandingkan nilai atau manfaat ekonomi dari sumber daya alam pada periode waktu yang berbeda, dimana pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal adalah melalui proses pendiskontoan (discounting). Lebih lanjut lagi menurut Fauzi (2004) bahwa, karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan suku bunga, maka pengukuran nilai suku bunga harus diukur dalam nilai riil, yaitu selisih antara suku bunga nominal dengan laju inflasi. Ini dapat dipahami, bahwa dalam dimensi ekonomi makro
34
suku bunga merupakan instrument untuk mengkopensasi inflasi, maka inflasi rendah, atau malah nol, adalah cocok untuk upaya pelestarian ekosistem atau sumber daya alam. Dalam penelitian ini suku bunga riil yang digunakan adalah 7,43%, merupakan selisih antara suku bunga nominal 9% dan laju inflasi 1,57% (April 2007) pada saat dilakukan penelitian. Dengan mengadopsi formula Fauzi dan Anna (2005), maka Present Value dari manfaat ekonomi terumbu karang TWAL Pulau Pombo dalam jangka panjang dihitung sebagai: t −1 ⎤ ⎡ 1 ⎤ ⎡ n m PV = ∑ ⎢ ⎢∑∑ pij hij Eij − cij Eij − w j ( pij hij Eij − cij Eij ) − FCij ⎥ …. (4) ⎥ t = 0 ⎣1 + δ ⎦ ⎣ i =1 j =1 ⎦ ∞
dimana: p = harga ikan oleh perahu i pada lokasi j ij h = cath rate perahu i pada lokasi j ij E = unit input (effort ) yang digunakan oleh perahu i pada lokasi j ij c = biaya per unit input (effort) ij w = biaya tenaga kerja pada lokasi j j FC = Biaya tetap dari alat i pada lokasi j ij
Mengingat beragamnya harga ikan karang, biaya dan armada alat tangkap maka dilakukan standarisasi atau pembobotan untuk memperoleh rataan tertimbang (weighted avarega). Untuk harga ikan karang (H) yang diterima oleh para nelayan adalah sebagai berikut: n
H = ∑ wjhj
.... (5)
j =1
dimana bobot (weighted) didasarkan pada rasio penen (p) antar armada j dengan total panen, atau w j = pj / ∑ pj. Untuk biaya pemanfaatan (C) ikan karang adalah
sebagai berikut : n
C = ∑ wjc j
.... (6)
j =1
dimana bobot (weighted) didasarkan pada rasio pendaratan antara armada j dengan total pendaratan, atau w j = hj / ∑ hj. Adapun untuk sarana alat tangkap untuk penghitungannya terlebih dahulu dihitung berdasarkan depresiasi, dalam
35
penelitian ini digunakan waktu selama 5 tahun dengan asumsi dalam kurun waktu tersebut modal untuk pembelian sarana alat tangkap sudah kembali, titik impas (break even point). Alat tangkap yang beragam yang digunakan dalam aktifitas pemanfaatan sumber daya ikan karang, terutama handline, diukur dengan satuan yang setara, dilakukan standarisasi effort antar alat, yaitu sebagai berikut:
E j = ϕ jDj
.... (7)
dengan φ = υj/ υs. dimana: E = effort dari alat tangkap j yang distandarisasi j D = jumlah hari laut ( fishing days) dari alat tangkap j j ϕ = nilai fishing power dari alat tangkap j j u = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j j u = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi s Pada tahapan pertama perhitungan nilai ekonomi ini, maka capaian finansial terlebih dahulu diukur per unit perahu, dan nilainya ditampilkan dalam kelompok berbeda berdasarkan ketiga jasa, setelah itu untuk nilai agregat ekonomi terumbu karang di TWAL Pulau Pombo dengan luasan 0,6536 km2 (65,36 ha) dihitung dari nilai per perahu dengan total perahu yang menangkap ikan karang yang sama, yang beroperasi di TWAL tersebut. Hasil perhitungan ini merupakan nilai ekonomi aktual terumbu karang, yang kemudian digunakan sebagai nilai dasar untuk melakukan estimasi dalam luasan 1 hektar, yang selanjutnya dijadikan sebagai nilai basis untuk melakukan analisis sensitifitas berdasarkan perubahan produktifitas. Dengan mengumpulkan data harga ikan (P), jumlah upaya tangkap (E) dan perubahan luasan terumbu karang (W), maka dapat diduga nilai ekosistem terumbu karang berdasarkan fungsinya terhadap produktifitas perikanan. Dalam hal ini metode yang digunakan berdasarkan pada pendekatan effect on production (EoP). Teknik EoP yang digunakan adalah Present Value Generate Per Hectare, Model-Income Approach. Teknik ini dilakukan dengan mengkapitalisasi atau mendiskon aliran bersih dari manfaat terumbu karang (produksi ekologis-biologis) yang diambil sebagai
36
indikator nilai sekarang (present value) habitat terumbu karang. Dengan membagi total nilai sekarang dari produksi terumbu karang dengan luas terumbu karang, akan diperoleh nilai sekarang per hektar dari ekosistem terumbu karang. Pendekatan ini mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan baik yang berasal dari tenaga kerja atau faktor produksi lainnya. Pendekatan ini dapat dijabarkan sebagai berikut: ⎛ ∑ Bt ⎜ ⎜ (1 + r )t Present value per Hectare Model = ⎝ L
⎞ ⎟ ⎟ ⎠ .........................................(8)
dimana: Bt = manfaat dari ekosistem terumbu karang per tahun. t = jumlah tahun proyeksi. r = tingkat suku bunga. L = luas kawasan terumbu karang. Sedangkan untuk menghitung residual rent, yang definisikan sebagai perubahan antara biaya faktor produksi dan nilai panen dari ekosistem terumbu karang, adalah sebagai berikut: ⎛ ∑ Bt − C t ⎜ ⎜ (1 + r )t Present value Residual per Hectare Model = ⎝ L
⎞ ⎟ ⎟ ⎠ .....................(9)
dimana: Bt = manfaat dari ekosistem terumbu karang per tahun. Ct = biaya produksi per tahun. t = jumlah tahun proyeksi. r = tingkat suku bunga. L = luas kawasan terumbu karang. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (income factor) terhadap nilai ekonomi total (Barton, 1994). 3.7. Kajian Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang TWAL Pulau Pombo
Kajian pengelolaan ini merujuk pada sukses dari no-take marine reserve di Pulau Sumilo, Pillipina (Alcala, 2001), yang memiliki kesamaan berupa adanya praktek penangkapan ikan yang merusak sebelum dijadikan DLP, dan masuk dalam jalur penyebaran terumbu karang, kawasan segi tiga terumbu karang dunia (coral triangle), yang dianggap mempunyai kemiripan ekologinya. Disamping itu juga merujuk pada hasil studi di DPL Mombasa (McClanahan dan Kaunda-Arara, 1996).
37
Luas terumbu karang yang dilindungi atau DPL adalah 20% (13,072 ha) dari total luas terumbu karang Pulau Pombo (65,36 ha). Dijadikan sebagai kawasan tertutup untuk aktifitas perikanan karang, dan menyisahkan 80% (52,288 ha) untuk bukan DPL yang terbuka bagi penangkapan ikan karang, khusus oleh nelayan kecil seperti yang ada saat ini, dan dikakukan kontrol terhadap aktifitas penangkapan ikan yang merusak. Hasil yang diharapkan dari kawasan tertutup ini adalah terjadi pemulihan kesehatan terumbu karang, kualitas habitat meningkat, yang dengan sendirinya akan meningkatkan pula peran fugsionalnya sebagai jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari makan. Dengan demikian kapasitas produksi ekosistem terumbu karang berupa produk kahir ikan karang akan naik, karena DPL akan mempengaruhi populasi ikan, terjadi kelimpahan ikan karang dan kekayaan jenis dari famili yang berbeda (McClanahan dan Arthur, 2001), yang kemudian akan di ekspor (spillover) ke kawasan tanpa DPL. Oleh Alcala (2001) secara sederhana digambarkan sebagai berikut, 1 ha DPL akan mengekspor 100 ikan ke tanpa DPL, 100 ha akan mengirim 10.000 ikan. Jadi bila 13,072 ha kawasan DPL, maka ikan yang dikirim ke kawasan tanpa DPL karena limpahan kurang lebih 1.300 ikan. Kajian pengelolaan dibuat dengan melakukan analisis sensitifitas berdasar skenario perubahan produktifitas perikanan karang. Analisis sensitifitas dilakukan dengan asumsi-asumsi berikut ini: ¾ Pada kondisi tanpa pengelolaan (TP), diasumsikan terjadi penurunan hasil
tangkapan tiap sepuluh tahun sebesar 2%, 8% dan 16% dari kondisi basis. Disebabkan oleh karena rusaknya habitat (terumbu karang), merujuk pada laporan dari Cesar et al. (2003) yang terjadi di Indonesia. ¾ Pada kondisi dengan pengelolaan (DP), diasumsikan terjadi penurunan hasil
tangkapan sebesar 35% dari kondisi basis, merupakan dampak jangka pendek (10 tahun) dari ditutupnya akses ke tempat penangkapan ikan, merujuk pada studi di DPL Mombasa (McClanahan dan Kaunda-Arara, 1996). Sepuluh tahun kedua diasumsikan terjadi kenaikan hasil tangkapan sebesar 73% dari kondisi basis, merujuk pada studi di DPL Pulau Sumilon (Alcala, 2001). Sepuluh tahun ketiga diasumsikan terjadi kenaikan hasil tangkapan sebesar
38
100%, karena membaiknya kesehatan terumbu karang, yang berdampak positif pada atribut biologi di dalam DPL seperti kelimpahan, biodiversitas dan biomas ikan (Watson dan Ormond, 1994; Wantiez et al., 1997; Halpern, 2003). Studi di DPL Mombasa catch per nelayan (CPUE) meningkat sekitar 110% dari 20 menjadi 40 kg/nelayan/bulan (McClanahan dan Kaunda-Arara, 1996), dan studi di DPL St. Lucia dilaporkan bahwa selama 5 tahun sejak didirikannya telah terjadi peningkatan catch rate (CPUE of fish traps) sebesar 46-90% (Roberts et al., 2001). ¾ Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kesehatan terumbu karang dari
status rusak (tutupan 23%) pada kondisi basis menjadi status cukup (tutupan 25-49,9%) diasumsikan sepuluh tahun, demikian pula dari status cukup menjadi status baik (tutupan 50-74,9%). Seperti yang terjadi di DPL Pulau Sumilon, bahwa kesembuhan habitat terjadi selama 6-8 tahun (Cesar, 1996), dan kesembuhan untuk ikan kecil seperti planktivores caesionids (fusiliers) jangka waktu 4-5 tahun, namun untuk jenis karnivora besar pada level top food webs seperti Serranidae, Lethrinidae dan Lutjanidae waktu kesembuhan adalah sepuluh tahun atau lebih (Alcala, 2001). Studi di DPL Pulau Apo, dilaporkan jumlah ikan meningkat secara nyata, sedangkan di tanpa DPL terjadi peningkatan jumlah ikan setelah tahun ke-9 ditetapkannya DPL, yang merupakan spillover effect (Alcala, 2001). Tabel 3 di bawah ini menampilkan matriks skenario antara tanpa pengelolaan dan dengan pengelolaan untuk terumbu karang TWAL Pulau Pombo. Tabel 3. Matriks Skenario Tanpa Pengelolaan dan Dengan Pengelolaan Analisis Sensitifitas
tahun ke-0
Tingkat tangkapan (kg/thn)
basis
Tingkat tangkapan (kg/thn)
basis
Skenario tahun ke-10 tahun ke-20 Tanpa Pengelolaan turun 2% turun 8% Dengan Pengelolaan turun 35% naik 73%
tahun ke-30 turun 16% naik 100%
Untuk memandu pengambilan keputusan dan memilih proyek atau tindakan dalam kaitan dengan pemanfaatan ekosistem atau sumber daya terumbu karang digunakan analisis biaya manfaat. Pendekatan ini akan membantu menilai dan memprioritaskan
proyek
atau
tindakan
yang
dipilih
berdasarkan
pada
pertimbangan atas pengalokasian sumber daya (keuangan) yang minimum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
39
Adapun kriteria yang paling umum digunakan dalam analisis manfaat biaya ini adalah Net Present Value (NPV). NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah NPV yang positif dan alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama. Secara matematis, Net Present Value dapat disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979) : n
NPV = ∑ i =1
Bi − Ci ............................................................................(10) (1 + r )i
Dimana : B = manfaat per tahun C = biaya r = suku bunga per tahun i = jangka waktu perhitungan proyek